bab ii tinjauan pustaka - repository.ub.ac.idrepository.ub.ac.id/11546/3/bab ii.pdf · tanah, di...
Post on 18-Jan-2021
13 Views
Preview:
TRANSCRIPT
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanah
Tanah adalah campuran partikel-partikel yang trediri dari salah satu atau seluruh
jenis berikut :
Berangkal (boulders) adalah potongan batuan yang besar, biasanya lebih besar dari
250 sampai 300 mm. Untuk kisaran ukuran 150 sampai 250 mm, fragmen batuan
ini disebut kerakal (cobbles) atau pebbles.
Kerikil (gravel) yaitu partikel batuan yang berukuran 5 mm sampai 150 mm.
Pasir (sand) yaitu partikel batuan yang berukuran dari 0,002 sampai 0,074 mm.
Lanau (silt) merupakan partikel batuan yang berukuran dari 0,002 sampai 0,074
mm.
Lempung (clay) adalah partikel mineral yang berukuran lebih kecil dari 0,002 mm.
Partikel-partikel ini merupakan sumber utama dari kohesi pada tanah yang
”kohesif”.
Koloid (colloids) adalah partikel mineral yang ”diam”, berukuran lebih kecil dari
0,001 mm.
(Joseph E. Bowless 1993)
Tanah yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah pasir. Tanah pasir
adalah tanah terbentuk dari batuan beku serta batuan sedimen yang memiliki butir kasar
dan berkerikil.
Berdasarkan lokasi terdapatnya, tanah pasir dibagi atas:
Pasir sungai
Pasir gunung
Pasir laut.
Berdasarkan ukurannya, pasir dibagi atas :
Pasir kasar : 0,6 mm - 2 mm.
Pasir setengah kasar : 0,2 mm – 0,6 mm.
Pasir halus : 0,06 mm – 0,2 mm.
7
2.2 Lereng
Lereng adalah suatu permukaan tanah yang miring dan membentuk sudut
tertentu terhadap suatu bidang horizontal. Pada tempat dimana terdapat dua permukaan
tanah yang berbeda ketinggian, maka akan ada gaya-gaya yang bekerja mendorong
sehingga tanah yang lebih tinggi kedudukannya cenderung bergerak kearah bawah yang
disebut dengan gaya potensial gravitasi yang menyebabkan terjadinya longsor.
Adapun jenis lereng yang sering dijumpai antara lain ;
Lereng alami, yaitu lereng yang terdapat pada bukit dan tebing sungai.
Lereng Buatan ada 2 tipe :
- Lereng akibat penggalian, baik itu berupa saluran maupun pemotongan
lahan biasa disebut cut slopes.
- Lereng akibat timbunan, misalnya untuk urugan ataupun sebagai
bendungan, biasa disebut fill slopes.
Sedangkan dalam analisis dapat dibedakan menjadi :
Lereng tak berhingga atau infinite slopes, atau lereng yang dapat dianggap tidak
terhingga ketinggiannya.
Lereng berhingga atau finite slopes atau lereng dengan tinggi yang terbatas.
2.2.1 Stabilitas Lereng Tanah
Suatu permukaan tanah yang miring dengan sudut tertentu terhadap bidang
horizontal dan tidak dilindungi biasanya dinamakan sebagai lereng tak tertahan
(unrestrained slope). Bila permukaan tanah tidak datar, maka komponen berat tanah
yang sejajar dengan kemiringan lereng akan menyebabkan tanah bergerak kearah
bawah. Bila komponen berat tanah tersebut cukup besar, kelongsoran lereng dapat
terjadi. Dengan kata lain, gaya dorong (driving force) melampaui gaya berlawanan yang
berasal dari kekuatan geser tanah sepanjang bidang longsor.
Faktor yang perlu dilakukan dalam pemeriksaan tersebut adalah menghitung dan
membandingkan tegangan geser yang terbentuk sepanjang permukaan retak yang paling
mungkin dengan kekuatan geser dari tanah yang bersangkutan. Proses ini dinamakan
analisis stabilitas lereng (slope stability analysis). Lereng dapat tidak stabil akibat dari
bencana alam yang berupa banjir, gempa bumi, ataupun gunung meletus. Di lain pihak,
ketidakstabilan lereng dapat disebabkan lereng yang terlalu tinggi.
8
2.3 Klasifikasi Tanah berdasarkan Sistem Unified (U.S.C.S)
Sistem ini mengelompokkan tanah dalam tiga kelompok besar :
a. Tanah berbutir kasar : apabila kurang dari 50% berat total contoh tanah ayakan
lolos ayakan No. 200
b. Tanah berbutir halus : apabila lebih dari 50% berat total contoh tanah ayakan
lolos ayakan No. 200
c. Tanah organik
Untuk tanah berbutir kasar menggunakan huruf penunjuk sebagai berikut:
Huruf pertama Huruf kedua
G – Kerikil (Gravel)
S - Pasir (Sand)
W – Bergradasi baik ( Well Graded)
P - Bergradasi jelek (Poor Graded)
M – Lanau (Silt / Moam)
C – Lempung (Clay)
Sistem ini pada mulanya diperkenalkan oleh Casagrande pada tahun 1942. Dan
secara internasional telah diakui serta dipakai untuk pekerjaan teknik pondasi, seperti:
bendungan, bangunan dan konstruksi yang hampir sama. Sering juga dipergunakan
untuk desain lapangan udara dan spesifikasi pekerjaan tanah bagi jalan. Sistem unified
merupakan hasil pengujian laboratorium. Pengujian yang digunakan adalah analisa
butir, dan batas-batas attenberg. Di bawah ini adalah tabel klasifikasi tanah menurut
sistem unified:
9
Tabel 2.1 Sistem klasifikasi unified
10
2.4 Jenis Kelongsoran Tanah
Jenis – jenis longsoran yang dapat terjadi, antara lain :
a. Tanah Longsor Tipe Translasi
Longsoran translasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada
bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.
Gambar 2.1 Tanah Longsor Tipe Translasi
b. Tanah Longsor Tipe Rotasi
Longsoran rotasi yaitu bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang
gelincir berbentuk cekung.
Gambar 2.2 Tanah Longsor Tipe Rotasi
c. Tanah Longsor Tipe Gelincir (Slides)
Tanah longsor tipe gelincir adalah tanah longsor batuan atau tanah atau
campuran keduanya yang bergerak melalui bidang gelincir tertentu yang
bertindak sebagai bidang diskontinuitas , berupa bidang perlapisan batuan atau
bidang sesar/patahan, bidang kekar, bidang batas pelapukan. Jika bidang-bidang
diskontinuitas tersebut sejajar dengan bidang perlapisan, maka semakin besar
peluang terjadinya tanah longsor.
11
Gambar 2.3 Tanah Longsor Tipe Gelincir
d. Tanah Longsor Tipe Jatuhan (Falls)
Runtuhan batu terjadi ketika sejumlah besar batuan atau material lain
bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umumnya terjadi pada lereng yang
terjal hingga menggantung terutama di daerah pantai. Batu-batu besar yang jatuh
dapat menyebabkan kerusakan yang parah.
Gambar 2.4 Tanah Longsor Tipe Jatuhan
e. Tanah Longsor Tipe Rayapan (Creep)
Rayapan Tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat. Jenis
tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenis tanah longsor ini hampir tidak
dapat dikenali. Setelah waktu yang cukup lama longsor jenis rayapan ini bisa
menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah miring ke bawah.
12
Gambar 2.5 Tanah Longsor Tipe Rayapan
f. Tanah Longsor Tipe Aliran (Flows)
Jenis tanah longsor ini terjadi ketika massa tanah bergerak didorong oleh
air. Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng, volume dan tekanan
air, dan jenis materialnya. Gerakannya terjadi di sepanjang lembah dan mampu
mencapai ratusan meter jauhnya. Di beberapa tempat bisa sampai ribuan meter
seperti di daerah aliran sungai di sekitar gunung api.
Gambar 2.6 Tanah Longsor Tipe Aliran
g. Tanah Longsor Tipe Robohan (Topples)
Gerakan massa tipe robohan hamper serupa dengan tanah longsor tipe
falls, pada tipe topples ini gerakannya dimulai dengan bagian paling atas dari
bongkah lepas dari batuan induknya karena adanya celah retakan pemisah,
bongkah terdorong ke depan hingga tidak dapat menahan bebannya sendiri.
13
Gambar 2.7 Tanah Longsor Tipe Robohan
Sedangkan dalam analisis dapat dibedakan menjadi :
Lereng tak berhingga atau infinite slopes, atau lereng yang dapat dianggap
tidak terhingga ketinggiannya.
Lereng berhingga atau finite slopes atau lereng dengan tinggi yang terbatas.
2.5 Analisis Stabilitas Lereng
Analisis kestabilan lereng harus berdasarkan model yang akurat mengenai
kondisi material bawah permukaan, kondisi air tanah dan pembebanan yang mungkin
bekerja pada lereng. Tanpa sebuah model geologi yang memadai, analisis hanya dapat
dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang kasar sehingga kegunaan dari hasil
analisis dapat dipertanyakan. Metode yang digunakan adalah Metode Keseimbangan
Batas.
Tujuan dari analisis kestabilan lereng antara lain adalah sebagai berikut:
Membuat rancangan lereng yang aman dan ekonomis.
Merupakan dasar bagi rancangan ulang lereng setelah mengalami longsoran.
Memperkirakan kestabilan lereng selama konstruksi dilakukan dan untuk jangka
waktu yang panjang.
Mempelajari kemungkinan terjadinya longsoran, baik pada lereng buatan
maupun lereng alamiah.
Menganalisis penyebab terjadinya longsoran dan cara memperbaikinya.
Mempelajari pengaruh gaya-gaya luar pada kestabilan lereng.
Gangguan pada stabilitas lereng dapat mengakibatkan kelongsoran.
Pada prinsipnya, cara yang dipakai untuk menjadikan lereng agar lebih aman
dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu :
1. Memperkecil gaya penggerak
14
Gaya penggerak dapat diperkecil hanya dengan cara merubah bentuk lereng
yang bersangkutan. Untuk itu ada dua cara :
a. Membuat lereng lebih datar, yaitu mengurangi sudut kemiringan
b. Memperkecil ketinggian lereng
2. Memperbesar gaya melawan
Gaya melawan dapat ditambah dengan beberapa cara, yang sering dipakai
antata lain :
a. Dengan memakai “counterweight“, yaitu tanah timbunan pada kaki lereng
b. Dengan mengurangi tegangan air pori di dalam lereng
c. Dengan cara mekanis, dengan memasang tiang atau membuat dinding
penahan
d. Dengan cara injeksi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hasil perhitungan dari analisis
stabilitas lereng, yaitu :
Pengaruh luar (external effect)
Pengaruh luar yaitu pengaruh yang menyebabkan bertambahnya gaya geser
dengan tanpa adanya perubahan kuat geser tanah. Misalnya akibat perbuatan
manusia mempertajam kemiringan tebing atau memperdalam galian tanah dan
erosi.
Pengaruh dalam (internal effect)
Pengaruh dalam yaitu longsoran yang terjadi dengan tanpa adanya perubahan
kondisi luar dan gempa bumi. Misalnya yang umum untuk kondisi ini adalah
pengaruh bertambahnya tekanan air pori di dalam lereng. (K. Terzaghi)
Menurut Smaalen (1980), penyebab keruntuhan lereng yang potensial tergantung
pada :
a. Sifat fisik tanah (kepadatan, tegangan geser, c dan ф)
Dimana nilai-nilai tersebut didapatkan dari tes di laboratorium. Sifat fisik tanah
tersebut dapat diubah dengan melakukan pemadatan tanah sehingga nilai-nilai
kepadatan, tegangan geser c dan ф dapat dinaikkan, tetapi permeabilitas
tanahnya menurun.
b. Tekanan Air Tanah
Dapat ditinjau dari tinggi muka air tanah dan biasanya diasumsikan dalam
keadaan kritis.
15
c. Pembebanan
Pembebanan yang dilakukan pada sisi atas lereng dimasukkan dalam
perhitungan
d. Bentuk Lereng
Kegunaan dari perhitungan tentu saja untuk menemukan bentuk lereng yang
aman.
Berdasarkan empat hal di atas, maka pembentukan model lereng harus
memperhatikan tiga hal diatas kecuali pembebanan, agar tidak terjadi keruntuhan lereng
sebelum model tersebut diuji.
Analisis stabilitas lereng adalah untuk menentukan nilai dari faktor keamanan
dari bidang longsor yang potensial. Asumsi yang dipakai dalam analisis tersebut yaitu :
a. Kelongsoran lereng terjadi di sepanjang permukaan bidang longsor tertentu dan
dapat dianggap sebagai masalah bidang dua dimensi.
b. Masa tanah yang longsor dianggap berupa benda yang massif.
c. Tahanan geser dari massa tanah pada setiap titik sepanjang bidang longsor tidak
tergantung dari orientasi permukaan longsoran, atau dengan kata lain kuat geser
tanah dianggap isotropis.
d. Faktor keamanan didefinisikan dengan memperhatikan tegangan geser rata-rata
sepanjang bidang longsor yang potensial dan kuat geser tanah rata-rata
sepanjang permukaan longsoran. Jadi kuat geser tanah mungkin terlampaui
dititik-titik tertentu pada bidang longsornya, padahal faktor keamanan hasil
perhitungan lebih besar dari 1.
2.5.1 Tipe Keruntuhan Lereng
Penyelidikan yang pernah diadakan di Swedia menegaskan bahwa bidang
keruntuhan lereng tanah menyerupai bentuk busur lingkaran Tipe keruntuhan lereng
yang normal terjadi dapat dibagi atas :
1. Keruntuhan pada lereng (slope failure)
2. Keruntuhan pada kaki lereng (toe failure)
3. Keruntuhan dibawah kaki lereng (base failure)
Keruntuhan pada lereng (slope failure) terjadi karena sudut lereng sangat besar
dan tanah yang dekat dengan kaki lereng tersebut memiliki kekuatan yang tinggi.
Keruntuhan pada kaki lereng terjadi ketika tanah yang berada di atas dan di bawah kaki
16
lereng bersifat homogen. Sedangkan keruntuhan dasar lereng terutama diakibatkan
sudut lereng yang kecil dan tanah yang berada di bawah kaki lereng lebih halus dan
lebih plastis daripada tanah di atasnya.
Gambar 2.8 Tipe-tipe keruntuhan pada lereng
2.5.2 Analisis Stabilitas Lereng Tanpa Perkuatan
Faktor keamanan didefinisikan sebagai perbandingan antara gaya geser yang
menahan kelongsoran dan gaya yang menggerakan atau menyebabkan kelongsoran,
atau :
dengan :
τ adalah tahanan geser maksimum yang dapat dikerahkan oleh tanah
τd adalah tegangan geser yang terjadi akibat gaya berat tanah yang akan longsor
F adalah faktor keamanan
Menurut teori Mohr-Coulomb, tahanan geser (τ) yang dapat dikerahkan oleh
tanah, di sepanjang bidang longsor dinyatakan oleh :
τ = c + σ tan ф (2.2)
dengan :
c = kohesi, σ = tegangan normal, dan ф = sudut geser dalam tanah.
Nilai-nilai c dan ф adalah parameter kuat geser tanah di sepanjang bidang longsor.
(2.1)
17
Dengan cara yang sama, dapat dituliskan persamaan tegangan geser yang terjadi
(τd) akibat beban tanah dan beban-beban lain pada bidang longsornya:
τd = cd + σ tan фd (2.3)
dengan cd dan фd adalah kohesi dan sudut geser dalam yang terjadi atau yang
dibutuhkan untuk keseimbangan pada bidang longsornya.
Subsitusikan persamaan (2.4.2.2) dan (2.4.2.3) ke persamaan (2.4.2.1)
diperoleh persamaan faktor aman,
Persamaan (2-3) dapat pula dituliskan dalam bentuk :
Untuk maksud memberikan faktor aman terhadap masing-masing komponen kuat geser,
faktor aman dapat dinyatakan oleh :
dengan Fc = faktor aman pada komponen kohesi dan Fф = faktor aman pada komponen
geser dalam tanah. Umumnya faktor aman stabilitas lereng atau faktor aman terhadap
kuat geser tanah diambil lebih besar atau sama dengan 1,2.
2.5.3 Metode Analisis Tekanan Tanah Pada Kondisi Batas
Saat ini terdapat beberapa metode untuk menganalisis besar tekanan tanah yang
bekerja pada lereng yang diperkuat tiang. Salah satu metode berbasis teoritik yang
diperkenalkan oleh Ito dan Matsui (1975) dan De Beer dan Carpentier (1977). Terdapat
pula metode empirik dari hasil uji pembebanan secara lateral di lapangan untuk tekanan
tanah pada kondisi batas disampaikan oleh Broms (1964). Tekanan tanah dalam kondisi
batas menggunakan analisis metode elemen hingga tiga dimensi yang disampaikan oleh
Pan et al (2002) dan W.B. Wei (2009) serta tekanan tanah dalam kondis batas metode
elemen hingga dua dimensi yang disampaikan oleh Eng Chew Ang (2005).
(2.4)
(2.5)
(2.6a)
(2.6b)
18
a. Metode teoritis Ito dan Matsui (1975)
Gambar 2.9 Deformasi plastis disekitar tiang
Ito dan Matsui (1975) yang pertama kali mengusulkan metode untuk
memprediksi tekanan tanah pada kondisi batas untuk lereng yang diperkuat tiang dalam
baris berdasarkan pada teori deformasi plastis. Metode tersebut memprediksi besarnya
tekanan tanah padamana tanah mencapai keseimbangan plastis berdasarkan pada
kriteria leleh Mohr-Coulomb. Asumsi-asumsi pada metode Ito dan Matsui (1975) :
Tanah berperilaku plastis pada daerah AEBB´E´A´ disekeliling tiang seperti
ditunjukkan di gambar 2.9.
Tidak terjadi geseran pada permukaan EB dan E´B´ oleh karenanya tegangan
pada gaya antar muka tiang-tanah dipandang sebagai tegangan prinsipal.
Kondisi regangan bidang terjadi pada arah kedalaman.
Permukaan keruntuhan geser terjadi sepanjang keliling tiang bagian dalam.
Tiang adalah elemen yang kaku dibadingkan elemen tanah dalam arah vertikal.
Jika gaya geser bekerja pada permukaan AEB dan A´E´B´, distribusi tegangan
tanah pada AEBB´E´A´ selalu sama dan jika tidak terjadi gaya geser
permukaan.
Gaya horizontal lateral permukaan berada di belakang dan didepan baris tiang.
Metode analitik Ito dan Matsui (9175) ini analisisnya didasarkan pada perbedaan
atau tegangan lateral netto yang bekerja pada keliling tiang dalam baris tiang pada jarak
pusat ke pusat yang konstan. Tegangan lateral netto pada tiang bisa bervariasi dari nol
19
ketika tidak ada perpindahan sampai tegangan batas pada saat perpindahan lateral besar.
Gaya per satuan panjang tiang pada kondisi batas = p(z) pada setiap kedalaman z
dimana tanah berada pada keadaan keseimbangan plastis ( gambar 11) adalah fungsi
dari berat isi tanah = , sudut geser dalam tanah = , kohesi = c, jarak pusat ke pusat
tiang = D1, dan jarak antar tiang bagian dalam = D2 dan z = adalah kedalaman dari
permukaan tanah. Berdasarkan pada asumsi diatas, gaya lateral yang bekerja pada tiang
dapat diestimasikan dengan persamaan berikut :
Dimana :
D1 = jarak pusat ke pusat antar tiang
D2 = jarak antar tiang bagian dalam
= sudut geser dalam tanah
= berat isi tanah
= kedalaman dari permukaan tanah
(
Untuk jenis tanah pasir/sand, gaya lateral dapat diestimasi dengan menentukan c = 0
maka pada persamaan (6.15), menjadi :
(2.8)
(2.7)
20
Untuk jenis tanah lempung/clay, gaya lateral dapat diestimasi dengan menentukan =
0, maka pada pers (6.15) menjadi :
b. Metode De Beer dan Carpentier (1977)
De Beer dan Carpentier, 1977 dalam Sayhan Firat (2009), mengembangkan
persamaan komparasi dari Ito dan Matsui (1975), persamaan tekanan tanah pada
kondisi batas menjadi :
Dimana :
dan
Untuk jenis tanah pasir/sand, gaya lateral dapat diestimasi dengan menentukan c = 0
maka pada persamaan (6.18), menjadi :
Untuk jenis tanah lempung/clay, gaya lateral dapat diestimasi dengan menentukan =
0, maka pada pers (2.18) menjadi :
(2.9)
(2.10)
(2.11)
(2.12)
(2.13)
21
2.6 Stabilitas Lereng Menggunakan Perkuatan Pile
Penggunaan pile untuk menstabilisasi kelongsoran aktif, dan sebagai tindakan
pencegahan pada lereng stabil, menjadi salah satu teknik perkuatan lereng inovatif yang
penting dalam beberapa tahun belakangan ini. Pile yang digunakan pada stabilisasi
lereng biasanya dibebani dengan gaya lateral oleh perpindahan horisontal tanah di
sekitarnya dan karena itu pile tersebut dianggap sebagai pile pasif. Penelitian yang
terdahulu menyatakan bahwa lereng kelongsoran dapat distabilkan dengan
meningkatkan faktor keamanan sebesar beberapa persen (Viggiani 1981).
2.6.1 Reaksi Pile
Analisa stabilitas pile dilakukan untuk mengetahui bagaimana reaksi dan gaya-
gaya yang bekerja pada pile. Adapun variable yang dapat digunakan untuk mengukur
stabilitas pile adalah regangan yang terjadi pada pile. Regangan yang terjadi dapat
dilihat dari pembacaan nilai pada strain gauge. Sedangkan untuk perubahan pergerakan
pile, dapat dilihat berdasarkan pembacaan LVDT.
Melalui pembacaan strain gauge, dapat dilihat bagaimana reaksi pile terhadap
gaya-gaya yang dihasilkan oleh tanah. Melalui pembacaan strain gauge, maka dapat
dihitung besarnya gaya geser yang bekerja pada pile, momen pada pile, dan defleksi pile
akibat gaya-gaya tanah yang bekerja. Variable yang didapatkan dari pembacaan strain
gauge adalah variable regangan (ε), yang kemudian diolah untuk mendapatkan besarnya
gaya geser, momen dan defleksi pada pile.
a. Perhitungan regangan
Perhitungan nilai regangan dari pembacaan strain gauge dapat diolah untuk
menghitung nilai momen yang bekerja, lendutan pile dan gaya lateral yang terjadi.
εaxial = (εup slope + εdown slope ) / 2
εlintang = εtotal – εaxial
Gambar 2.10 Lokasi penempatan strain gauge
22
b. Perhitungan momen
Pada pile, perhitungan bending momen dapat dirumuskan sebagai berikut :
σ = (P / A) ± (M / W) , P = 0
E. εlintang = M / W
E. εlintang = ( M / I ) . x
M = ( I . E . εlintang ) / x
Dimana : M = Momen yang bekerja di pile
I = Momen inersia pile
E = Elastisitas pile = 24.107
kN/m2
εlintang = regangan lintang pile = εtotal – εaxial
x = jarak dari garis netral pada diagram regangan
P = 0 dikarenakan tidak ada gaya yang terjadi pada arah tegak lurus pile
c. Perhitungan defleksi
Pada perhitungan defleksi pile, digunakan formulasi sebagai berikut :
E.I ( d2y / dx
2 ) = M
y = { ∫∫( M (x) dx ) dx } / E.I
Dimana : y = defleksi yang terjadi pada pile
M = Momen yang bekerja pada pile
Bila dalam perhitungan distribusi bending momen sepanjang pile dicoba dalam
bentuk persamaan cubic polynomial untuk setiap kedalaman x, maka:
M (x) = ax3 + bx2 + cx + d
Dimana : x = panjang pile sepanjang poros dari permukaan atas
a, b, c dan d = konstanta yang didapatkan dari grafik
maka,
y (x) = { ∫∫( M (x) dx ) dx } / E.I
y (x) = 1 / EI . { (a/20) x5 + (b/12) x
4 + (c/6) x
3 + (d/2) x
2 + Fx + G }
Dimana : F dan G = konstanta integrasi yang didapatkan melalui persamaan kondisi
batas
23
d. Perhitungan gaya geser / gaya lateral
Sedangkan untuk menghitung gaya geser pada pile, digunakan persamaan
Deeken seperti dibawah ini :
σ = (P / A) ± (M / W) , M = 0
E. εaxial = P / A
P = E.A. εaxial
P = εaxial . E . A
Dimana : P = Gaya geser pada pile
εaxial = regangan axial pile
E = Elastisitas pile
A = Luas penampang pile
M = 0 dikarenakan pada arah axial / poros, tidak terjadi momen.
2.6.2 Analisis Stabilitas Lereng dengan Pile
Ketika faktor keamanan lereng dipertimbangkan menjadi tidak mencukupi,
stabilitas lereng dapat ditingkatkan dengan memasang struktur penahan seperti satu
baris pile. Pile harus didesain untuk dapat menghasilkan gaya stabilisasi yang
dibutuhkan untuk meningkatkan faktor keamanan yang dibutuhkan.
Gambar 2.11 Analisis Stabilitas Lereng Menggunakan Sebaris Pile
Jika gaya lateral bekerja pada pile (atau reaksi gaya lateral terhadap massa
longsor) diketahui, desain dari pile stabilisasi dapat dilakukan pada perlakuan berikut.
Tercatat bahwa sebuah penaksiran gaya lateral akurat adalah sebuah poin penting utama
untuk analisis stabilitas, karena efek gaya tersebut baik pada pile maupun lereng adalah
berkebalikan
24
Gambar 2.12 Analisa stabilitas lereng dengan stabilitas pile ( tiang )
Seperti tergambar pada gambar, diameter pile d diletakkan dalam satu baris
dengan jarak D1 melalui tanah berdeformasi plastis. Ketika deformasi lateral terjadi
pada tebal lapisan tanah H dengan arah tegak lurus terhadap arah satu baris pile, gaya
lateral bekerja pada pile sebagai hubungan antara pile dengan lapisan tanah. Pada
analisis, hal tersebut cukup untuk menghubungkan dengan perilaku lapisan tanah antara
dua pile, yang ditunjukkan pada gambar 2.6.
Ito dan Matsui ( 1975 ) dan Ito al et. (1979,1982) telah mengembangkan
analisis sebelumnya untuk menunjukkan bahwa piles menahan deformasi plastis tanah
seperti gerakan massa tanah atau kelongsoran, sehingga deformasi plastis tersebut dapat
dicegah. Teori yang dikemukakan Ito dan Matsui disebut dengan Teori Deformasi
Plastis, yang mengukur gaya lateral yang melewati dua piles dan pergerakan massa
tanah atau kelongsoran.
2.7 Lokasi Terbaik Tiang Pada Lereng Yang Diperkuat
Penetapan lokasi terbaik pada lereng yang diperkuat tergantung pada
pelaksanaan, faktor keamanan, momen dan gaya geser maksimum yang bekerja pada
tiang, banyaknya tiang yang digunakan, baris tiang yang digunakan serta jarak antar
tiang perkuatan. Terdapat dua kriteria yang bisa dipenuhi sebelum memutuskasn lokasi
terbaik perkuatan tiang pada lerang yang diperkuat (Poulos, 1995) sebagai berikut : (1)
25
Pemancangan tiang harus dimasukkan sampai dibawah permukaan keruntuhan kritis
untuk menghindari kegagalan dipermukaan, (2)
Untuk menghindari relokasi kegagalan permukaan dibelakang atau dimuka
tiang, tiang perkuatan seharusnya diletakkan disekitar pusat lingkaran keruntuhan kritis.
Lee et al. (1995), mengusulkan lokasi terbaik tiang pada tanah lempung homogen
sebagai berikut dan dapat dilihat di gambar 2.15:
Perkuatan tiang sebaiknya di kaki atau di puncak lereng.
Panjang tiang, jarak antar tiang adalah faktor penting yang mempengaruhi kinerja
stabilitas lereng yang diperkuat .
Modulus tanah dan kekakuan tiang mempunyai pengaruh yang kecil terhadap
respon stabilitas lereng yang diperkuat tiang.
Gambar 2.13 Analisis stabilitas tiang-tanah yang disederhanakan
Hassiotis et al. (1997), mengusulkan lokasi terbaik tiang untuk stabilitas lereng
yang diperkuat satu baris tiang sebagai berikut :
Untuk memberikan faktor keamanan yang maksimum, perkuatan tiang sebaiknya
diletakkan pada tengah-tengah kemiringan lereng.
Ujung tiang paling atas sebaiknya terkekang berupa jepit atau sendi untuk
meminimumkan momen lentur dan gaya geser yang bekerja pada tiang.
26
2.8 Perhitungan Stabilitas Lereng Menggunakan Program PLAXIS
Untuk menghitung stabilitas lereng dengan Finite Element Method (FEM)
dibutuhkan asumsi yang lebih sedikit dibandingkan dengan metode konvesional, yang
membuat koefisien keamanan minimum lebih akurat dibandingkan dengan
menggunakan metode irisan. Dengan menggunakan FEM untuk menganalisa sistem
interaksi lereng dengan perkuatan pile, pile biasanya dianggap menjadi elastis, yang
mengarahkan pada kenyataan bahwa hanya deformasi dan gaya dalam yang dapat
dianalisa sedangkan sistem stabilitas dan keruntuhan lereng tidak dapat. Dalam tulisan
ini, pengujian tentang barisan pile dan sistem interaksi lereng disajikan dengan program
PLAXIS yang menggunkan metode elemen hingga.
Pada PLAXIS yang kami gunakan adalah PLAXIS 2D, jadi untuk mengetahui
pengaruh jarak dan panjang pile tidak langsung bisa memasukkan ke dalam material
pile. Untuk mengetahui pengaruh jarak dan diameter maka harus mentransformasikan
EI dan EA baik pile maupun tanah ke dalam bentuk EI equivalen. Dinding sheet-pile
dimodelkan dengan elemen yang lebih kaku dalam jaring elemen hingga. Bentuk
analisis ini mengijinkan kelompok pile untuk dianalisa langsung dengan
menggabungkan kelompok pile tersebut dalam jaringan metode hingga, meskipun pile
tunggal sudah cukup mewakili, karena model dinding sheet-pile ekivalen memodelkan
satu baris pile dengan jarak yang sama. Randolph dan Stewart menunjukkan analisis
spesifik regangan bidang lapangan dimana satu baris pile digantikan oleh sheet-pile
ekivalen dengan kelenturan yang sama dengan kelenturan rata-rata satu baris pile dan
tanah yang ditunjukkan pada gambar berikut:
27
Gambar 2.14 Gambaran Dinding Sheet Pile Ekivalen untuk Analisis Elemen Hingga
Regangan Bidang
D1 =S= jarak pusat ke pusat pile
D2 = jarak tepi ke tepi pile
Untuk mentransformasikan digunakan persamaan berikut :
EIeq = (EI tanah + EI pile)/S
I eq = 1/12.D1.h3
Untuk penelitian ini kami mengambil E tanah 10550 kN/m2 dan E pile = 24.10
7
kN/m2.
top related