bab ii tinjauan pustaka - sinta.unud.ac.id ii.pdf · traktus vestibulospinalis medial terutama...
Post on 01-Feb-2018
226 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lansia
2.1.1 Definisi
Usia lanjut adalah suatu tahap akhir dari siklus kehidupan manusia dan
merupakan bagian dari proses kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan
dialami oleh setiap individu. Berdasarkan kriteria Badan Kesehatan Dunia (WHO)
membagi batasan usia lansia menjadi: kelompok usia 45 – 59 tahun sebagai usia
pertengahan (middle elderly), kelompok usia 60 – 74 tahun disebut lansia (elderly),
kelompok usia 75 – 90 tahun disebut tua (old), dan usia di atas 90 tahun disebut
sangat tua (very old). Berdasarkan UU No. 13 Tahun 1998 menyatakan bahwa
lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas (Rohana,
2011).
Penurunan anatomik dan fungsi organ lebih tepat jika tidak dikaitkan ke
dalam umur kronologik akan tetapi dengan umur biologiknya. Dengan kata lain,
mungkin seseorang dengan usia kronologik baru mencapai usia dewasa akhir,
tetapi sudah menunjukkan berbagai penurunan anatomik dan fungsional yang
nyata akibat umur biologiknya yang sudah lanjut sebagai akibat tidak baiknya
faktor nutrisi, pemeliharaan kesehatan, dan kurangnya aktivitas. Menua adalah
proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki
diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya
sehingga tidak dapat bertahan terhadap paparan dan memperbaiki kerusakan yang
diderita (Darmojo, 2006).
2.1.2 Epidemiologi Gangguan Keseimbangan pada Lansia
Gangguan keseimbangan postural merupakan hal yang sering terjadi pada
lansia. Apabila keseimbangan postural lansia tidak terkontrol, maka akan dapat
meningkatkan resiko jatuh (Siburian, 2006). Faktor risiko jatuh pada lansia
meliputi faktor intrinsik (host) dan faktor ekstrinsik (environmental). Faktor
intrinsik terdiri dari: permasalahan keseimbangan dan berjalan, kelemahan otot,
riwayat jatuh sebelumnya, penggunaan alat bantu, permasalahan penglihatan,
radang sendi, depresi, permasalahan kognitif, serta usia lebih dari 80 tahun. Faktor
ekstrinsik meliputi: penggunaan alas kaki yang tidak tepat, permukaan lantai yang
licin atau kasar, pencahayaan yang kurang, serta banyaknya hambatan yang
terdapat pada lingkungan (Rubenstein, 2002).
Setiap tahunnya terdapat satu per tiga lansia di dunia yang berumur di atas
65 tahun mengalami jatuh. Angka ini cenderung meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Jatuh dan osteoporosis secara bersamaan mengakibatkan
terjadinya fraktur panggul pada lansia. Sebanyak 38% lansia yang jatuh dan
dirawat di rumah sakit mengalami fraktur panggul dan 90% kejadian fraktur
panggul dialami oleh lansia berumur 70 tahun ke atas (British Columbia, 2004).
Sekitar satu per empat kematian di AS disebabkan oleh jatuh dan terjadi pada 13%
populasi lansia yang berusia di atas 65 tahun. Sekitar 30-73% lansia yang
mengalami jatuh cenderung akan terjadi jatuh yang berulang. Jatuh yang berulang
menjadi alasan utama ketergantungan lansia pada lingkungan sekitar. Efek
panjang yang dirasakan lansia yaitu berkurangnya rasa percaya diri, depresi,
hingga terisolasi secara sosial (Josephson, 2006).
2.2 Keseimbangan
2.2.1 Definisi
Keseimbangan merupakan kemampuan relatif untuk mengontrol pusat
gravitasi (center of gravity) atau pusat massa tubuh (center of mass) terhadap
bidang tumpu (base of support). Pusat gravitasi (center of gravity) adalah suatu
titik dimana massa dari suatu obyek terkonsentrasi berdasarkan tarikan
gravitasinya. Pada manusia normal, pusat gravitasi terletak di perut bagian bawah
dan sedikit di depan sendi lutut. Agar dapat menjaga keseimbangan, pusat
gravitasi tersebut harus berpindah untuk mengompensasi gangguan yang dapat
menyebabkan orang kehilangan keseimbangannya (Barnedh, 2006).
Keseimbangan melibatkan berbagai gerakan di setiap bagian tubuh dan
didukung oleh sistem muskuloskeletal serta bidang tumpu. Tujuan tubuh
mempertahankan keseimbangan, yaitu untuk menyangga tubuh melawan gaya
gravitasi dan faktor eksternal lain, untuk mempertahankan pusat massa tubuh agar
sejajar dan seimbang dengan bidang tumpu, serta menstabilkan bagian tubuh
ketika tubuh lain bergerak (Irfan, 2012). Kemampuan untuk menyeimbangkan
massa tubuh dengan bidang tumpu akan membuat manusia mampu untuk
beraktivitas secara efektif dan efesien (Yuliana, 2014).
2.2.2 Fisiologi Keseimbangan
Keseimbangan tercipta apabila terdapat integritas antara tiga sistem sensorik
(visual, vestibular, dan proprioseptif), sistem saraf pusat sebagai unit pemroses
(central processing), serta sistem neuromuskuloskeletal sebagai efektor melalui
respon motorik untuk merespon perubahan gravitasi, pergerakan linear atau
angular, dan perubahan lingkungan.
Sistem proprioseptif memiliki peranan dalam menjaga keseimbangan
postural dan memiliki hubungan dengan traktus spinoserebralis posterior dan
anterior. Traktus ini membawa informasi proprioseptif dan postural dari
ekstremitas bawah. Sinyal-sinyal yang dijalarkan dalam traktus spinoserebralis
posterior terutama berasal dari kumparan otot dan sebagian kecil berasal dari
reseptor somatik di seluruh tubuh, seperti organ tendon Golgi, reseptor taktil yang
besar pada kulit, dan reseptor-reseptor sendi. Semua sinyal ini memberitahu
serebelum tentang bagaimana keadaan (1) kontraksi otot, (2) derajat ketegangan
tendon otot, (3) posisi dan kecepatan gerakan bagian tubuh, dan (4) kekuatan kerja
pada permukaan tubuh (Guyton, 2008). Traktus ini kemudian naik di medulla
spinalis ipsilateral masuk ke pedunkulus serebelum inferior dan berakhir di
serebelum. Traktus spinoserebralis anterior menerima masukan somatosensorik
dari batang tubuh dan ekstremitas atas, masuk ke radiks dorsalis, traktus tersebut
menyilang dan naik ke serebelum melalui pedunkulus serebelum superior. Traktus
ini membawa informasi proprioseptif dari batang tubuh dan ekstremitas atas dan
sebagian kecil ekstremitas bawah (Barnerdh, 2006).
Batang otak juga memiliki sistem dalam mengatur gerakan seluruh tubuh
dan keseimbangan. Sistem keseimbangan postural melibatkan nuklei retikular
pontin dan nuklei retikular medular. Kedua rangkaian ini berfungsi secara
antagonistik satu sama lain dimana nuklei retikular pontin akan merangsang otot-
otot antigravitasi dan nuklei retikular medular berfungsi untuk merelaksasi otot
yang sama (Guyton, 2008).
Nuklei retikular pontin menjalarkan sinyal eksitasi menuju medula melalui
traktus retikulospinal pontin pada kolumna anterior medula spinalis. Serabut-
serabut dari jaras ini berakhir pada neuron-neuron motorik bagian medial dan
anterior yang merangsang otot-otot aksial tubuh yang berfungsi untuk melawan
gravitasi, meliputi: otot-otot kolumna vertebra dan otot-otot ekstensor dari
anggota tubuh. Sebaliknya nuklei retikular medular menjalarkan sinyal inhibitorik
ke neuron-neuron motorik anterior antigravitasi yang sama melalui traktus yang
berbeda, yaitu traktus retikulospinal medula yang terletak pada kolumna lateralis
medula spinalis. Nuklei retikular medular menerima input kolateral yang kuat dari
traktus kortikospinal, traktus rubrospinal, dan jaras motorik lainnya dan secara
normal semua sistem ini mengaktifkan sistem inhibitorik retikular medular untuk
memberikan umpan balik sinyal eksitasi dari sistem retikular pontin, sehingga
dalam keadaan normal, otot-otot tidak tegang secara abnormal (Guyton, 2008).
Seluruh nuklei vestibular, fungsinya berkaitan dengan nuklei retikular
pontin untuk mengatur otot-otot antigravitasi. Nuklei vestibular menjalarkan
sinyal eksitasi yang kuat ke otot-otot antigravitasi melalui traktus
vestibulospinalis medialis dan lateralis dalam kolumna anterior medulla spinalis.
Peran spesifik dari nuklei vestibular adalah untuk mengatur secara selektif sinyal-
sinyal eksitatorik dari berbagai otot antigravitasi untuk menjaga keseimbangan
sebagai responnya terhadap sinyal dari apparatus vestibular (Guyton, 2008).
Traktus vestibulospinalis lateralis mendapatkan informasi lewat macula (utrikulus
dan sakulus) dan berperan dalam percepatan linear. Pada waktu gerakan
percepatan linear tersebut terjadi eksitasi neuron motorik ekstensor dan inhibisi
neuron motorik fleksor. Sedangkan traktus vestibulospinalis medial menjalar ke
medulla spinalis servikal dan torakal atas fasikulus longitudinalis medial. Traktus
vestibulospinalis medial terutama berfungsi mengatur refleks vestibulospinal
untuk stabilisasi kepala dan mata, traktus ini menghubungkan kanalis
semisirkularis ke neuron motorik servikalis yang menginervasi otot-otot leher
(Barnerdh, 2006).
Jika seseorang berdiri di atas permukaan yang tidak bergerak dengan lapang
visual yang stabil, maka input visual dan somatosensorik mendominasi kontrol
orientasi dan keseimbangan karena mereka merupakan sistem keseimbangan yang
lebih sensitif dari sistem vestibular terhadap perubahan posisi tubuh yang halus.
Sistem somatosensorik khususnya proprioseptif lebih sensitif terhadap perubahan
cepat dari orientasi tubuh, sedangkan sistem visual lebih sensitif terhadap
perubahan posisi yang lebih lambat. Sedangkan bila seseorang berdiri di atas
permukaan yang bergerak atau miring, otot-otot batang tubuh dan ekstremitas
bawah berkontraksi dengan cepat untuk mengembalikan pusat gravitasi tubuh ke
posisi seimbang. Dalam hal ini yang berperan adalah sistem proprioseptif dan
vestibular. Sistem vestibular terutama berperan dalam perubahan posisi yang
lambat. Sedangkan perubahan posisi yang cepat terutama dikompensasi oleh
sistem proprioseptif (Barnerdh, 2006).
2.2.3 Komponen-komponen Pengontrol Keseimbangan
1) Sistem Informasi Sensoris
a. Sistem Visual
Penglihatan merupakan sumber utama informasi tentang lingkungan dan
penglihatan berperan dalam mengidentifikasi dan mengatur jarak sesuai dengan
tempat kita berada. Penglihatan muncul ketika mata menerima sinar yang berasal
dari obyek sesuai jarak pandang (Irfan, 2012). Sistem visual juga memberikan
informasi mengenai posisi kepala, penyesuaian kepala untuk mempertahankan
penglihatan, dan mengatur arah serta kecepatan pergerakan kepala karena ketika
kepala bergerak, objek sekitar berpindah dengan arah berlawanan (Colby, 2007).
Masukan reseptor visual berperan penting terutama pada landasan penunjang yang
tidak stabil, misalnya pada saat bertumpu pada tumit, goyangan anteroposterior
pada tubuh akan berkurang pada saat mata terbuka dibandingkan dengan mata
tertutup (Sugiarto, 2005). Gambar anatomi mata disajikan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Sistem Visual
Sumber: anonim, 2009
Sistem visual memegang peranan penting dalam menjaga keseimbangan.
Sekitar dua puluh persen serabut saraf dari mata berinteraksi dengan sistem
vestibular. Gangguan visual yang dapat menyebabkan gangguan keseimbangan, di
antaranya:
- aneisokonia adalah perbedaan kemampuan magnifikasi atau pembesaran dan
pembentukan bayangan di retina pada mata kanan dan kiri,
- anisometropia adalah keadaan di mana terdapat perbedaan refraksi yang
signifikan antara ke dua mata (perbedaan 10 Dioptri),
- diplopia (double vision) adalah keadaan melihat bayangan ganda akibat sumbu
ke dua mata tidak parallel,
- gangguan fungsi binocular vision, yaitu gangguan dalam mengordinasikan ke
dua mata sebagai satu kesatuan dalam aspek konvergensi dan divergensi dengan
aspek akomodasi,
- serta strabismus yaitu gangguan aligment mata kanan dan kiri (Sugiarto, 2005).
b. Sistem Vestibular
Aparatus vestibular merupakan organ sensoris untuk mendeteksi sensasi
keseimbangan. Alat ini terbungkus di dalam labirin tulang. Dalam sistem ini
terdapat tabung membran dan ruangan yang disebut labirin membranosa dan
merupakan bagian fungsional dari apparatus vestibular. Labirin membranosa
terdiri atas: koklea (duktus koklearis), tiga kanalis seminiverus, dan ruangan besar
yaitu, utrikulus dan sakulus. Koklea merupakan organ sensorik utama
pendengaran dan tidak berhubungan dengan keseimbangan. Kanalis seminiverus
bertanggung jawab terhadap keseimbangan dinamis, yaitu keseimbangan saat
tubuh sedang bergerak seperti berjalan atau dalam keadaan tidak seimbang
(tersandung atau tergelincir), sedangkan fungsi dari utrikulus dan sakulus sebagai
penjaga keseimbangan statis tubuh, yaitu berperan dalam kontrol postur dan
monitoring kepala (Guyton, 2008). Pada permukaan dalam utrikulus dan sakulus
terdapat daerah sensorik kecil yang disebut sebagai makula. Makula pada
utrikulus berperan penting dalam menentukan orientasi kepala ketika kepala
dalam posisi tegak, sebaliknya makula pada sakulus memberikan sinyal orientasi
kepala saat seseorang sedang berbaring. Anatomi sistem vestibular dijabarkan
pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Sistem Vestibular
Sumber: anonim, 1997
Setiap makula ditutupi oleh lapisan gelatinosa yang dilekati oleh kristal
kalsium karbonat kecil yang disebut statokonia. Dalam makula, juga terdapat
beribu-ribu sel rambut dan akan menonjolkan silia ke dalam lapisan gelatinosa
tersebut. Setiap sel rambut mempunyai 50 sampai 70 silia kecil yang disebut
stereosilia, ditambah satu silium besar yang disebut kinosilium. Perlekatan
filamentosa yang tipis, menghubungkan ujung setiap stereosilium dengan
strereosilum selanjutnya yang lebih panjang dan pada akhirnya ke kinosilium.
Apabila stereosilia melekuk ke arah kinosilium pelekatan filamentosa akan
menarik stereosilia berikutnya ke arah luar badan sel dan mampu menghantarkan
ion positif mengalir ke dalam sel dari cairan endolimfatik di sekelilingnya
sehingga menimbulkan depolarisasi membran reseptor. Sebaliknya, pelekukan
stereosilia ke arah berlawanan (ke belakang kinosilium) akan menurunkan
tegangan pada pelekatan dan keadaan ini mampu menutup saluran ion dan
terjadilah hiperpolarisasi reseptor.
Pada setiap makula, setiap sel rambut diarahkan ke berbagai jurusan
sehingga beberapa dari sel rambut dapat terangsang ketika kepala menunduk ke
depan, dan yang lainnya terangsang ketika kepala menengadah ke belakang atau
ketika membelok ke salah satu sisi. Pola inilah yang nantinya memberitahukan
kepada otak posisi kepala dalam ruangan, seperti yang dijabarkan pada Gambar
2.3.
Gambar 2.3 Sel rambut dari alat keseimbangan
Sumber: Pearson, 2011
Setiap apparatus vestibularis terdapat tiga buah kanalis semisirkularis
dikenal sebagai kanalis semisirkularis anterior, posterior, dan lateral (horizontal)
yang tersusun tegak lurus satu sama lain, sehingga kanalis ini terdapat dalam tiga
bidang. Sel-sel rambut akan menjalarkan sinyal yang sesuai ke nervus vestibularis
untuk memberitahukan sistem saraf pusat mengenai perubahan perputaran kepala
dan kecepatan perubahan pada setiap tiga bidang ruangan. Dengan kata lain,
mekanisme kanalis semisirkularis dapat meramalkan akan terjadinya
ketidakseimbangan, sehingga menyebabkan pusat keseimbangan mengadakan
tindakan pencegahan antisipasi yang sesuai. Dengan cara ini, orang tidak akan
jatuh secara tak terduga sama sekali, karena sebelum terjadinya
ketidakseimbangan orang itu mulai mengadakan koreksi keadaan tubuhnya
(Guyton, 2008). Mekanisme kerja sistem vestibular terhadap keseimbangan
dijabarkan pada bagan Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Mekanisme kerja sistem vestibular terhadap keseimbangan
Sumber: Sugiarto, 2005
c. Sistem Somatosensorik
Somatosensorik adalah perasaan yang dirasakan pada bagian tubuh yang
berasal dari somatopleura yaitu kulit, otot, tulang, dan jaringan pengikatnya.
Somatosensorik tediri dari perasaan dangkal (perasa eksteroseptif), perasa dalam
(perasa proprioseptif), dan perasa luhur. Somatosensorik eksteroseptif sederhana
meliputi rasa nyeri, rasa suhu, dan rasa raba. Somatosensorik proprioseptif terdiri
dari rasa nyeri dalam, rasa getar, rasa tekan, rasa gerak, dan rasa sikap.
Somatosensorik luhur adalah perasaan yang mempunyai sifat diskriminatif dan
Sistem Vestibuler
Reseptor
Utrikulus dan
Sakulus
Fungsi Statik
Kontrol
Postur
Kanalis
Semisirkularis
Fungsi Dinamik
Monitoring
posisi kepala
Kontrol
reflek dari
gerakan
mata
Mengara
hkan
gerakan
kepala
Informasi diteruskan ke:
Serebelum
N. VII
Batang Otak
Otot Ekstra Okuler
tiga dimensional, misalnya dengan meraba, menekan, dan merasakan suhu suatu
benda dengan mata tertutup, dapat menentukan benda apa yang dipegang, dari
bahan apa benda itu dibuat, dan sebagainya. Susunan somatosensorik adalah
perantara untuk menyadari dan merasakan rangsang dari dunia luar. Dari susunan
saraf perifer, rangsangan diteruskan melalui neuron-neuron ke susunan saraf pusat
yang mengolah impuls, sehingga dapat menghasilkan suatu perasaan. Impuls
tersebut dinamakan impuls aferen. Ada dua jenis susunan saraf yang digunakan
untuk mengalirkan impuls aferen tersebut, yaitu susunan eksteroseptif dan
susunan proprioseptif (Sugiarto, 2005).
Susunan proprioseptif adalah susunan saraf yang menghantarkan impuls
rasa tekan, rasa gerak, rasa sikap, rasa getar, rasa nyeri dalam, dan rasa
diskriminatif. Sel neuron sistem proprioseptif mempunyai neurit dan dendrit yang
hampir sama panjangnya. Informasi proprioseptif disalurkan ke otak melalui
kolumna dorsalis medula spinalis. Sebagian besar masukan (input) proprioseptif
menuju serebelum, tetapi ada pula yang menuju ke korteks serebri melalui
lemniskus medialis dan thalamus (Willis Jr, 2007). Macam-macam reseptor dalam
sistem proprioseptif yaitu: korpus vaterpacini untuk rasa tekan, letaknya di bagian
bawah kulit dan jaringan ikat, organ golgi di dalam tendon dan selaput sendi,
muscle spindle ada dalam otot berfungsi sebagai stretch reseptor, piring Golgi-
Massoni ada dalam kulit untuk menangkap rasa tekan halus (Sugiarto, 2005).
Pengaturan serebral dan sereberal terhadap gerakan voluntar yang melalui sistem
somatosensorik dijabarkan pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Pengaturan Serebral dan Sereberal Terhadap Gerakan Voluntar
Sumber: Guyton dan Hall, 2008
2) Central Processing
Central processing berfungsi untuk menentukan titik tumpu tubuh dan
alligment gravitasi pada tubuh serta mengorganisasikan respon sensorimotor yang
dibutuhkan oleh tubuh. Respon motorik yang dihasilkan oleh sistem saraf pusat
berguna untuk menjaga postur tubuh agar tetap seimbang. Sistem saraf pusat
menerima input sensorik, menginterpretasikan dan mengintegrasikan kemudian
menghubungkan pada sistem neuromuskular untuk memberikan output motorik
yang korektif sehingga mampu menciptakan keseimbangan yang baik ketika
dalam keadaan diam (statis) ataupun keadaan bergerak (dinamis). Komponen
sistem saraf pusat yang terlibat dalam proses kontrol postural yaitu: corteks,
thalamus, basal ganglia, nuckelus vestibular, dan cerebellum (Suadnyana, 2013).
3) Efektor
a. Respon otot-otot postural yang sinergis
Respon otot-otot postural yang sinergis mengarah pada waktu dan jarak dari
aktivitas kelompok otot yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan
dan kontrol postur. Beberapa kelompok otot baik pada ekstremitas atas maupun
bawah berfungsi mempertahankan postur saat berdiri tegak serta mengatur
keseimbangan tubuh dalam berbagai gerakan (Irfan, 2012).
Keseimbangan pada tubuh dalam berbagai posisi hanya akan dimungkinkan
jika respon dari otot-otot postural bekerja secara sinergi sebagai reaksi dari
perubahan posisi, titik tumpu, gaya gravitasi, dan aligment tubuh. Kerja otot yang
sinergi berarti bahwa adanya respon yang tepat (kecepatan dan kekuatan) suatu
otot terhadap otot yang lainnya dalam melakukan fungsi gerak tertentu. Gerak
dengan pola normal berasal dari adanya perencanaan gerak yang
diimplementasikan dalam bentuk aktivasi otot dengan kekuatan dan kecepatan
yang sesuai (Irfan, 2012).
b. Kekuatan otot
Kekuatan otot diperlukan saat melakukan aktivitas. Semua gerakan yang
dihasilkan merupakan hasil dari adanya suatu peningkatan tegangan otot sebagai
respon motorik. Kekuatan otot dapat dijabarkan sebagai kemampuan otot
menahan beban baik berupa beban internal (internal force) maupun beban
eksternal (external force). Kekuatan otot sangat berhubungan dengan sistem
neuromuskuler yaitu seberapa besar kemampuan sistem saraf mengaktivasi otot
untuk melakukan kontraksi, sehingga semakin banyak serabut otot yang
teraktivasi, maka semakin besar pula kekuatan yang dihasilkan otot tersebut (Irfan,
2012).
Kekuatan otot dari kaki, lutut serta pinggul harus adekuat untuk
mempertahankan keseimbangan tubuh saat adanya gaya dari luar. Kekuatan otot
tersebut berhubungan langsung dengan kemampuan otot untuk melawan gaya
gravitasi serta beban eksternal lainnya yang secara berkelanjutan mempengaruhi
posisi tubuh. Kemampuan otot untuk melakukan reaksi tegak dan stabil
merupakan bentuk dari aktivitas otot untuk menjaga keseimbangan baik saat statis
maupun dinamis. Hal tersebut dapat dilakukan apabila otot memiliki kekuatan
dengan besaran tertentu (Irfan, 2012).
c. Range of Motion
Range of motion merupakan luas lingkup gerak sendi yang bisa dilakukan
oleh sendi. ROM juga merupakan ruang gerak suatu kontraksi otot dalam
melakukan gerakan, apakah otot tersebut memendek atau memanjang secara
penuh atau tidak sehingga berpengaruh terhadap keseimbangan. ROM
menentukan kemampuan sendi dalam membantu gerak tubuh dan mengarahkan
gerakan terutama saat gerakan yang memerlukan keseimbangan yang tinggi, serta
keterjangkauan lingkup gerak sendi untuk memenuhi kebutuhan gerak yang
memungkinkan untuk seimbang (Suadnyana, 2013).
Gambar 2.6 Bagan Fisiologi Keseimbangan
Sumber: Barnedh, 2006
2.2.4 Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan
1) Pusat gravitasi (Centre of Gravity-COG)
Pusat gravitasi merupakan titik utama pada tubuh yang mendistribusikan
massa tubuh secara merata. Bila tubuh selalu ditopang oleh titik ini, maka tubuh
dalam keadaan seimbang. Gangguan keseimbangan dapat terjadi karena adanya
perubahan postur sebagai akibat dari perubahan titik pusat gravitasi. Pada manusia,
pusat gravitasi berpindah sesuai dengan arah atau perubahan berat. Pusat gravitasi
manusia ketika berdiri tegak adalah tepat di atas pinggang di antara depan dan
belakang vertebra sakrum ke dua. Kemampuan seseorang untuk mempertahankan
keseimbangan dalam berbagai bentuk posisi tubuh sangat dipengaruhi oleh
kemampuan tubuh menjaga centre of gravity untuk tetap dalam area batas
Talamus
Korteks
Nukleus
Vestibularis
Organ
Vestibuler Visual
Serebelum
Spinoserebralis
Proprioseptif
Nukleus
Rubra
Rubrospinal
Vestibul
ospinal
Retikulo
spinal
Kornu anterior
Neuromuskular
stabilitas tubuh (stability limit). Stability limit adalah batas dari luas area di mana
tubuh mampu menjaga keseimbangan tanpa adanya perubahan tumpuan (Irfan,
2012). Pusat gravitasi tubuh dijabarkan pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7 Centre of Gravity
Sumber : Irfan, 2012
2) Garis gravitasi (Line of Gravity-LOG)
Garis gravitasi adalah garis imajiner yang berada vertikal melalui pusat
gravitasi dengan pusat bumi. Hubungan antara garis gravitasi, pusat gravitasi
dengan bidang tumpu akan menentukan derajat stabilitas tubuh. Garis gravitasi
pada seseorang yang sedang berdiri berjalan mulai dari prosesus mastoideus pada
tulang temporal, bagian anterior sakral ke-dua, bagian posterior dari hip, dan
anterior knee dan ankle,seperti yang dijabarkan pada Gambar 2.8 (Neumann,
2002).
Gambar 2.8 Line of Gravity
Sumber : Irfan, 2012
3) Bidang tumpu (Base of Support-BOS)
Bidang tumpu adalah bagian dari tubuh yang berhubungan dengan
permukaan tumpuan. Ketika garis gravitasi tepat berada pada bidang tumpu, tubuh
dalam keadaan seimbang. Stabilitas yang baik terbentuk dari luasnya area bidang
tumpu. Semakin besar bidang tumpu, semakin tinggi stabilitas. Misalnya berdiri
dengan kedua kaki akan lebih stabil dibanding berdiri dengan satu kaki. Base of
Support pada gerak manusia akan memberikan reaksi pada pola gerak individu.
Semakin dekat bidang tumpu dengan pusat gravitasi, maka stabilitas tubuh makin
tinggi (Wen Chang, 2009). Bidang tumpu dijabarkan melalui Gambar 2.9.
Gambar 2.9 Base of Support
Sumber: Irfan, 2012
2.2.5 Penyusun Keseimbangan Postural
Kontrol postural tidaklah dianggap sebagai salah satu sistem atau set
dalam meluruskan dan mencapai keseimbangan refleks. Sebaliknya, kontrol
postural dianggap sebagai keterampilan motorik yang kompleks berasal dari
interaksi antara berbagai proses sensorimotor. Terdapat dua tujuan utama dalam
kontrol postural yaitu: orientasi postural dan keseimbangan postural. Orientasi
postural dipengaruhi oleh kontrol aktif alignment tubuh terhadap gravitasi,
landasan penyangga, sistem visual, dan informasi internal. Orientasi spasial pada
kontrol postural bergantung pada interpretasi sistem visual, vestibular, dan
somatosensoris. Keseimbangan postural dipengaruhi oleh koordinasi sensorimotor
untuk menstabilkan center of mass dan penjalaran eksternal pada stabilitas
postural.
Horak (2006) menyimpulkan terdapat 6 komponen dasar penyusun sistem
kontrol postural, seperti terlihat pada Gambar 2.10. Penurunan kemampuan pada
salah satu komponen dapat menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan dan
meningkatkan kejadian jatuh pada lansia.
Gambar 2.10 Penyusun Keseimbangan Postural
Sumber: Horak, 2006
1). Kendala Biomekanik (Biomechanical Constraints)
Komponen kendala biomekanik yang terpenting dalam keseimbangan
adalah ukuran dan kualitas dari bidang tumpu (base of support) yaitu kaki.
Keterbatasan pada ukuran, kekuatan, lingkup gerak, nyeri, atau kontrol dari kaki
akan mempengaruhi keseimbangan (Tinetti et al, 1988). Pada posisi berdiri,
terdapat area seperti kerucut (limit of stability) yang menjelaskan kemampuan
seseorang dalam menggerakkan pusat gravitasi tubuh dan mengontrol
keseimbangan tanpa merubah bidang tumpu, (McCollum dan Leen, 1989) seperti
terlihat pada Gambar 2.11.
Gambar 2.11 Normal dan Abnormal Limits of Stability
Sumber: Horak, 2006
Pada gambar A menunjukkan lansia pria sehat yang berusaha
menggerakkan pusat gravitasi tubuh ke arah depan tanpa melewati batas stabilitas,
sedangkan gambar B menunjukkan lansia wanita dengan gangguan multisensoris
yang berusaha menggerakkan pusat gravitasi tubuh ke arah depan tanpa melewati
batas stabilitas. Gambar C menunjukkan lansia wanita dengan gangguan
multisensoris yang berusaha menggerakkan pusat gravitasi tubuh ke belakang,
tetapi secara tiba-tiba mengambil langkah untuk melebarkan bidang tumpu.
Secara singkat, batas stabilitas diartikan sebagai kemampuan untuk menggerakkan
pusat gravitasi sejauh mungkin pada arah anteroposterior atau mediolateral tanpa
memindahkan bidang tumpu (Sibley et al, 2015).
Sistem saraf pusat mengatur keadaan internal pada batas stabilitas kerucut
dengan mengatur seberapa besar gerakan yang diperlukan dalam mengontrol
keseimbangan. Pada sebagian besar lansia dengan defisit keseimbangan, stabilitas
kerucut ini sangatlah kecil atau representasi sistem saraf pusat terhadap stabilitas
kerucut mengalami penurunan (Duncan et al, 1990).
2). Strategi Gerakan (Movement Strategies)
Sistem saraf pusat memiliki 3 sistem untuk menjaga keseimbangan setelah
tubuh mengalami perturbasi/gangguan, di antaranya: refleks regang, respon
postural otomatis, dan respon volunter. Respon postural otomatis berhubungan
dengan long loop reflexes yang biasanya terjadi sekitar 100-120 msec pada orang
dewasa normal. Respon postural otomatis diinformasikan melalui situasi feedback
dan feedforward. Feedforward mendeskripsikan mengenai pengaturan sistem
saraf pusat dalam mengatur respon postural saat mengantisipasi suatu perubahan
posisi tertentu. Sebagai contoh pada gerakan menangkap bola. Gerakan
menangkap bola merupakan gerakan yang disadari atas perubahan pusat
gravitasinya, tetapi respon postural otomatis setidaknya akan memprediksi
keadaan ini dengan mengantisipasi gerakan volunteer dalam rangka menstabilisasi
pusat gravitasi tubuh sehingga perubahan sikap atau gerakan terhadap stimulus
yang diberikan akan menjadi akurat. Sementara, feedback berhubungan dengan
situasi dimana tubuh mendapatkan gaya eksternal, seperti: tergelincir atau
terdorong. Maka, pusat gravitasi tubuh berubah dan sistem saraf pusat berperan
dalam mengatur respon postural untuk menyesuaikan pusat gravitasi tubuh
terhadap bidang tumpu. Respon yang diberikan dapat berupa respon protektif atau
respon korektif (Guccione, 2001).
Penelitian dalam bidang respon postural otomatis berfokus pada respon
neurofisiologi pada perturbasi postural dalam paradigma feedback. Bentuk
gerakan yang biasanya digunakan dalam menyusun perturbasi misalnya ketika
pasien berdiri secara normal. Variabel primer yang dites yaitu latency (waktu
dalam melakukan respon otot) dan sequence (ketepatan gerakan respon otot).
Nashner menjelaskan mengenai 3 strategi gerakan sebagai respon normal dalam
mengantisipasi perturbasi postural yang tidak diinginkan. (1). Ankle Strategy
digunakan pada perubahan bidang tumpu yang cukup kecil. Pada strategi ini,
aktivasi otot dilakukan dari distal ke proksimal yaitu mengaktivasi otot-otot
bagian ekstremitas bawah. Misalnya, saat tubuh mengalami kehilangan
keseimbangan ke arah belakang, maka otot yang akan diaktivasi pertama kali
yaitu m. tibialis anterior (100 msec) yang diikuti oleh m. quadriceps dan m.
abdominal. Sebaliknya, apabila tubuh kehilangan keseimbangan ke arah depan
maka otot yang akan diaktivasi yaitu: m. gastrocnemius, m. hamstring, dan m.
paraspinal. (2). Hip Strategy terjadi ketika perturbasi besar atau pusat gravitasi
tubuh mendekati limit of stability (batas stabilitas) akibat bidang tumpu yang tidak
stabil. Tujuan dari strategi ini yaitu mempertahankan pusat gravitasi tubuh
terhadap bidang tumpu dengan mengaktivasi tubuh bagian proksimal ke distal.
Pada forward sway akan mengaktivasi m. abdominal dan m. quadriceps,
sedangkan backward sway akan mengaktivasi m. paraspinal dan m. harmstring.
(3). Stepping strategy terjadi saat perturbasi dalam jumlah yang sangat besar yaitu
pusat gravitasi tubuh melebihi batas stabilitas. Strategi ini digunakan untuk
memperbesar bidang tumpu sehingga dapat mempertahankan keseimbangan
(Nashner et al, 1979).
3). Strategi Sensoris (Sensory Strategies)
Informasi sensoris dari somatosensori, visual, dan vestibular, harus
diintegrasikan untuk menginterpretasi keadaan lingkungan. Dalam lingkungan
yang cukup terang dengan basis yang kuat dari dukungan, orang sehat
mengandalkan informasi somatosensori (70%), visual (10%), dan vestibular
(20%). Namun, ketika seseorang berdiri di atas permukaan yang tidak stabil,
mereka meningkatkan bobot sensorik untuk vestibular dan informasi visual
mereka serta mengurangi ketergantungan masukan somatosensori untuk orientasi
postural (Peterka, 2002).
Kemampuan untuk meningkatkan informasi bobot sensorik (re-weight
sensory) bergantung pada seberapa penting konteks sensori dalam menjaga
stabilitas ketika seorang individu bergerak dari satu konteks sensori ke yang
lainnya. Seorang individu dengan gangguan defisit periperal pada sistem
vestibular atau somatosensori (neuropati) akan mengalami keterbatasan dalam
kemampuan untuk meningkatkan informasi bobot sensorik dan memiliki peluang
jatuh lebih tinggi (Horak, 2006).
4). Orientasi dalam Ruang (Orientation in Space)
Kemampuan untuk mengarahkan bagian-bagian tubuh sehubungan dengan
gravitasi, bidang tumpu, sistem visual dan referensi internal adalah komponen
penting dari kontrol postural. Sistem saraf yang sehat secara otomatis mengubah
cara tubuh berorientasi pada ruang, tergantung pada konteks dan tugas. Orang
yang sehat dapat mengidentifikasi gravitasi vertikal dalam gelap untuk jarak 0,5°.
Penelitian telah menunjukkan bahwa persepsi vertikal atau tegak, mungkin
memiliki beberapa representasi saraf (Karnath et al, 2000). Persepsi vertikal
visual atau kemampuan untuk menyelaraskan garis ke gravitasi vertikal dalam
gelap, tidak tergantung pada persepsi postural (atau proprioseptif) vertikal;
misalnya kemampuan untuk menyelaraskan tubuh dalam ruang tanpa visual.
Ketiadakakuratan referensi internal pada vertikalitas akan menghasilkan
keselarasan (alignment) postural otomatis yang tidak selaras dengan gravitasi dan
membuat seseorang tidak stabil (Bisdorff et al, 1996).
5). Kontrol Dinamik (Control of Dynamics)
Mengontrol keseimbangan selama berjalan dan ketika berpindah dari satu
postur ke lainnya memerlukan kontrol yang kompleks dari pusat gravitasi tubuh.
Tidak seperti dalam posisi tegak, pusat gravitasi tubuh tidak dalam basis
dukungan kaki ketika berjalan atau berubah dari satu postur ke yang lain (Winter
et al, 1993). Stabilitas postural ke arah depan selama berjalan datang dari ayunan
ekstremitas di bawah jatuhnya pusat gravitasi. Namun, stabilitas lateral berasal
dari kombinasi kontrol tubuh bagian lateral dan peletakan kaki bagian lateral
(Bauby dan Kuo, 2000). Seorang lansia yang rentan terhadap jatuh cenderung
memiliki penempatan lateral yang lebih besar dari pusat gravitasi tubuh serta
penempatan kaki secara lateral dan tidak teratur (Prince et al, 1997).
6). Proses Kognitif (Cognitive Processing)
Banyak sumber daya kognitif yang diperlukan dalam kontrol postural.
Bahkan berdiri diam-diam membutuhkan proses kognitif, seperti dapat dilihat
oleh peningkatan waktu reaksi pada orang berdiri dibandingkan dengan mereka
yang duduk dengan dukungan. Semakin sulit tugas postural, semakin pengolahan
kognitif diperlukan. Dengan demikian, waktu reaksi dan kinerja dalam tugas
kognitif menurunkan kesulitan saat tugas postural meningkat (Teasdale dan
Simoneau, 2001). Karena kontrol postur dan sumber lain berbagi proses kognitif,
kinerja tugas postural juga terganggu oleh tugas kognitif sekunder (Camicioli et al,
1997). Individu yang memiliki pengolahan kognitif yang terbatas karena
gangguan neurologis dapat menggunakan lebih dari proses kognitif yang tersedia
untuk mengendalikan postur. Jatuh merupakan hasil dari proses kognitif yang
tidak cukup untuk mengontrol postur sementara sibuk dengan tugas kognitif
sekunder lainnya (Horak, 2006).
2.3 Proses Penurunan Keseimbangan pada Lansia
Penurunan keseimbangan pada lansia disebabkan oleh berbagai macam
faktor di antaranya adalah adanya gangguan pada sistem sensorik, gangguan pada
sistem saraf pusat (SSP), maupun adanya gangguan pada sistem muskuloskeletal.
Informasi mengenai posisi tubuh terhadap lingkungan atau gravitasi diberikan
oleh sistem sensorik, sedangkan sistem saraf pusat berfungsi untuk memodifikasi
komponen motorik dan sensorik sehingga stabilitas dapat dipertahankan melalui
kondisi yang berubah-rubah. Gangguan pada sistem sensorik meliputi gangguan
pada sistem visual, vestibular, dan somatosensoris (Suadnyana, 2013).
Sistem visual seperti sistem organ lain mengalami degenerasi karena proses
penuaan. Pada sistem visual lansia, terjadi penebalan jaringan fibrosa dan atrofi
serabut saraf, berkurangnya sel-sel reseptor di retina, serta perubahan elastisitas
lensa dan otot siliaris. Penurunan fungsi visual tersebut, menyebabkan masalah
dalam persepsi bentuk dan kedalaman serta informasi visual mengenai posisi
tubuh yang diperlukan untuk kontrol postural (Barnedh, 2006).
Sistem lain yang mengalami penurunan fungsi adalah sistem vestibular.
Perubahan degeneratif tersebut mengenai organ vestibular seperti: otolith,
epithelium sensorik dan sel rambut, nervus vestibularis, dan serebelum. Makula
secara progresif mengalami demineralisasi dan menjadi terpecah-pecah. Hal ini
mengakibatkan penurunan kemampuan dalam menjaga respon postural terhadap
gravitasi dan pergerakan linear. Selain itu terjadi pula atrofi sel rambut disertai
pembentukan jaringan parut dan setelah usia di atas 70 tahun terjadi penurunan
sebanyak 20% jumlah sel rambut di makula dan 40% di krista ampularis kanalis
semisirkularis (Barnedh, 2006).
Sistem somatosensori memberikan informasi tentang posisi tubuh dan
kontak dari kulit melalui tekanan, taktil sensor, getaran, serta proprioseptor sendi
dan otot. Sensasi kulit melalui sentuhan, getaran dan tekanan sensor penting
dalam setiap aktivitas sehari-hari, terutama yang melibatkan gerakan. Sensitivitas
kulit berkurang dengan bertambahnya usia. Kurangnya masukan dari taktil,
tekanan dan getaran reseptor membuatnya sulit untuk berdiri atau berjalan dan
mendeteksi perubahan dalam pergeseran, yang penting dalam menjaga
keseimbangan (Suadnyana, 2013).
Lansia juga mengalami penurunan dalam kemampuan motorik. Hal ini
berhubungan dengan penurunan terhadap kontrol neuromuskular, perubahan sendi,
dan struktur lainnya. Menurunnya sistem muskuloskeletal berpengaruh terhadap
keseimbangan tubuh lansia karena terjadinya atropi otot yang menyebabkan
penurunan kekuatan otot, terutama ekstremitas bawah, sehingga menyebabkan
langkah kaki lansia menjadi lebih pendek, jalan menjadi lebih lambat, tidak dapat
menapak dengan kuat dan cenderung mudah goyah, serta ada kecenderungan
untuk tersandung. Hal ini mengakibatkan lansia menjadi kurang percaya diri dan
lebih berhati-hati dalam berjalan. Penurunan kekuatan otot pelvis dan tungkai juga
menjadi faktor kontribusi bagi penurunan respon postural tersebut. Secara
bersamaan, hampir seluruh gerakan menjadi tidak elastis dan halus. Gangguan
motorik ini utamanya disebabkan oleh mulai hilangnya neuron-neuron di medulla
spinalis, otak, dan serebelum (Siti, 2009). Oleh karena itu, penurunan fungsi
setiap sistem pada lansia akan menyebabkan penurunan pada keseimbangan,
seperti yang dijabarkan pada Gambar 2.12.
Proses Degenerasi
Makula Kanalis
Semisirkularis
n. vestibularis
Degenerasi Otolit
Penurunan respon
gravitasi dan
akselerasi linear
Penurunan respon
postural
Penurunan jumlah
sel rambut di Krista
ampularis
Penurunan jumlah
serabut saraf dan
berkurangnya
sinaps di ganglion
skarpa
Penurunan respon
gerakan angular
Penurunan
kecepatan hantaran
saraf
Gangguan visus
dan proprioseptif
GANGGUAN KESEIMBANGAN POSTURAL
Hemiparesis
OA Genu, DM
Gagal Jantung
Medikasi
Gambar 2.12 Gangguan Keseimbangan Postural
Sumber: Barnedh, 2006
2.4 Balance Strategy Exercise
1) Latihan strategi pergelangan kaki (ankle strategy exercise)
Ankle strategy exercise menekankan pada kontrol goyangan postural dari
ankle dan kaki. Ankle strategy exercise berfungsi untuk menjaga pusat gravitasi
tubuh, yaitu ketika membangkitkan putaran pergelangan kaki terhadap permukaan
penyangga dan menetralkan sendi lutut dan sendi panggul untuk menstabilkan
sendi proksimal. Saat latihan kepala dan panggul bergerak dengan arah dan waktu
yang sama dengan gerakan bagian tubuh lainnya di atas kaki. Pada goyangan ke
depan, respon sinergis otot normal pada latihan ini mengaktifkan otot
gastrocnemius, hamstring dan otot-otot ekstensor batang tubuh Pada respon
goyangan ke belakang, mengaktivasi otot tibialis anterior, otot quadrisep diikuti
otot abdominal (Yuliana, 2014). Ankle strategy exercise dijabarkan melalui
Gambar 2.13.
Gambar 2.13 Ankle strategy exercise
Sumber: Yuliana, 2014
2) Latihan strategi pinggul (hip strategy exercise)
Hip strategy exercise menggambarkan kontrol goyangan postural dari pelvis
dan trunkus. Kepala dan pinggul dengan arah yang berlawanan. Hip strategy
exercise mengandalkan gerakan batang tubuh yang cepat untuk membangkitkan
gaya gesek/gerakan horizontal melawan landasan penyangga untuk menggerakkan
pusat gravitasi. Dalam hal ini bila permukaan landasan penyangga digerakkan ke
belakang, subyek miring ke depan pada sendi panggul dengan mengaktifkan otot-
otot abdominal dan otot quadrisep, tibialis anterior. Strategi ini diobservasi bila
goyangan besar, cepat dan mendekati batas stabilitas, atau jika berdiri pada
permukaan sempit dan tidak stabil untuk memberikan pengimbangan tekanan
(Yuliana, 2014). Hip strategy exercise dijabarkan melalui Gambar 2.14.
Gambar 2.14 Hip strategy exercise
Sumber: Yuliana, 2014
3) Latihan strategi melangkah (stepping strategy exercise)
Stepping strategy exercise mengGambarkan tahapan dengan kaki atau
menjangkau dengan lengan dan mencoba untuk memperbaiki landasan penyangga
baru dengan mengaktifkan anggota gerak bila titik berat melampaui landasan
penyangga semula. Strategi melangkah dilakukan sebagai upaya dalam merespon
gangguan yang menyebabkan subyek goyang melebihi batas stabilitas. Dalam
keadaan demikian, melangkah yang harus dilakukan untuk mendapatkan kembali
keseimbangan (Yuliana, 2014). Stepping strategy exercise dijabarkan melalui
Gambar 2.15.
Gambar 2.15 Stepping Strategy Exercise
Sumber: Yuliana, 2014
2.5 Pelatihan 12 Balance Exercise
Gerakan 12 balance exercise meliputi: single limb stance, eye tracking,
clock reach, tandem stance, single limb stance with arm, balancing wand, knee
marching, body circles, heel to toe, grapevine, stepping exercises, dan dynamic
walking (Wolf et al, 2001). Gerakan single limb stance merupakan gerakan
mempertahankan keseimbangan tubuh dengan mengangkat salah satu kaki dan
menjadikan kaki lainnya sebagai tumpuan. Target dari latihan ini yaitu untuk
mengaktifkan otot-otot core dan gluteus yang berfungsi dalam memberikan postur
yang baik pada tubuh sehingga memperbaiki alligment tubuh dan dapat
menunjang dalam memperbaiki keseimbangan postural lansia (Krause, 2009).
Latihan balancing wand merupakan latihan keseimbangan dengan
meletakkan tiang pada telapak tangan dalam keadaan duduk dan lansia
diinstruksikan untuk mempertahankan tiang tersebut agar tidak jatuh selama yang
ia bisa lakukan. Latihan ini berfungsi untuk melatih koordinasi mata dengan
lengan tangan. Gerakan lengan tangan berperan penting dalam menjaga stabilitas
tubuh sebagai efek dalam mempertahankan pusat gravitasi tubuh ketika
memproteksi tubuh agar tidak jatuh. Ketika lansia tidak bisa mempertahankan
landasan tumpu dan pusat gravitasi maka tubuh akan jatuh, tetapi lengan tangan
memiliki refleks untuk menjaga agar trunk (tubuh) tidak membentur lantai (Maki,
1997).
Posisi berdiri statis pada tandem stance berfungsi untuk meningkatkan
keseimbangan statis dan menguatkan otot-otot ankle dalam upaya
mempertahankan pusat gravitasi tubuh. Latihan ini juga berhubungan dengan
latihan hel to toe pada 12 balance exercise. Heel to toe mengadaptasi gerakan
tandem dan digunakan sebagai latihan berjalan. Latihan jalan tandem adalah
bentuk latihan keseimbangan pada posisi tubuh dinamik, dimana kemampuan
tubuh untuk menjaga keseimbangan pada posisi bergerak, dengan cara berdiri
lurus dan pandangan ke depan kemudian berjalan pada satu garis lurus atau kaki
kanan berada di depan kaki kiri dan saat melangkah berikutnya kaki kiri berada di
depan kaki kanan begitu seterusnya sampai titik yang ditentukan (Wulandari,
2013). Latihan jalan dengan total durasi mencapai 4-6 menit pada 12 balance
exercise dapat memperbaiki daya tahan pada lansia. Daya tahan dibutuhkan
sebagai efektor dalam mempertahankan keseimbangan (Guccione, 2001).
Kejadian jatuh pada lansia sering kali disebabkan karena multi gerakan
seperti saat bekerja yang mengharuskannya melakukan gerakan berputar dan lain
sebagainya. Oleh karena itu, latihan keseimbangan yang dianjurkan sebaiknya
mampu memperbaiki koordinasi dari lansia serta memperkenalkannya pada situasi
lingkungan yang berbeda seperti pada 12 balance exercise yang menggunakan
tantangan saat latihan. Latihan tersebut terlihat jelas pada stepping exercise di
mana lansia diharapkan mampu menyelesaikannya sesuai urutan yang telah
ditetapkan. Prinsip stepping exercise yaitu meningkatkan fungsi dari pengontrol
keseimbangan tubuh, meliputi sistem informasi sensorik, central processing, dan
efektor untuk bisa beradaptasi dengan perubahan lingkungan (Guccione, 2001).
Latihan lainnya seperti dynamic walking merupakan latihan berjalan sambil
membaca buku berguna untuk stimulasi sensorik pada sistem vestibular. Latihan
ini berperan penting dalam mengirimkan input pada vestibulospinal dan
memerintahkan efektor untuk mempertahankan posisi tubuh agar tetap stabil
(Herdman, 1990).
Penelitian yang dilakukan oleh Wolf et al, terhadap 49 lansia yang berusia
lebih dari dari 75 tahun membuktikan bahwa pemberian 12 balance exercise 3
kali seminggu selama 4-6 minggu mampu meningkatkan keseimbangan dinamis
setelah dievaluasi dengan menggunakan Berg Balance Scale. Hal ini dikarenakan
12 balance exercise dapat memperbaiki postural alignment, meningkatkan
kekuatan otot ekstremitas lansia, dan memperbaiki daya tahan yang akan
berdampak pada efektivitas dalam menjaga keseimbangan dinamis (Wolf et al,
2001).
2.6 Berg Balance Scale
Berg Balance Scale (BBS) dibuat pada tahun 1989 dirancang untuk
memberikan tantangan terhadap pasien untuk menjaga keseimbangan secara
bertahap untuk mengurangi basis penyangga tubuh. BBS menggunakan 14 item
pengukuran dengan skala 0 sampai 4. Nilai 0 diberikan apabila pasien tidak
mampu melakukan tugas yang diberikan dan nilai 4 diberikan apabila pasien
mampu melengkapi tugas sesuai kriteria yang diberikan. Nilai maksimum untuk
pengukuran ini adalah 56. Tes ini cukup mudah untuk dilakukan dan hanya
membutuhkan stop watch, penggaris, 2 jenis kursi, dan bangku kecil (untuk
melangkah). Berg Balance Scale dinilai sebagai prediktor yang paling efektif
untuk jatuh dan gangguan keseimbangan serta sudah beberapa kali divalidasi
(Neuls et al, 2011).
Lima penelitian menginvestigasi hubungan BBS dengan populasi pada
lansia. Empat penelitian menggunakannya pada komunitas lansia sedangkan 1
penelitian pada nursing home care. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa
range sensitivitas antara 53% - 88,2%, spesifisitas antara 53% - 96%, dan cutoff
scores antara 46 – 54. Peneliti juga menyimpulkan bahwa lansia yang memiliki
score BBS dibawah 46 kemungkinan memiliki resiko yang besar untuk
mengalami jatuh (Thorbahn, 1996).
Studi lainnya juga menunjukkan bahwa BBS memiliki sensitivitas sebesar
82,5% dan spesifisitas sebesar 93%. Peneliti menyimpulkan bahwa lansia yang
memiliki skor BBS sebesar 50 cenderung memiliki resiko jatuh sebesar 10 % dan
apabila skor BBSnya sebesar 38 atau kurang, maka lansia memiliki risiko jatuh
sebesar 90%. Peneliti menjelaskan bahwa berdiri dengan satu kaki merupakan
prediktor terbaik dalam memprediksi jatuh pada lansia (Lajole, 2004).
top related