bab ii tinjauan umum a. tinjauan tindak pidana 1 ...repository.radenfatah.ac.id/6947/2/skripsi bab...
Post on 06-Feb-2021
8 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
17
BAB II
TINJAUAN UMUM
A. Tinjauan Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah hukum pidana adalah suatu istilah yang dipakai di dalam ilmu hukum pidana
dalam bahasa Belanda diterjemahkan dengan istilah “strafbaarfeit” didalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana tidak terdapat penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud
dengan strafbaarfeit itu sendiri. 1
Istilah “strafbaarfeit” sendiri yang merupakan bahasa Belanda tersebut atas tiga
kata, yaitu straf yang berarti hukuman (pidana), baar yang berarti dapat (boleh), dan feit yang
berarti tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Jadi istilah strafbaarfeit adalah
peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang dapat dipidana.2
Tindak pidana juga dapat diistilahkan dengan delik yang berasal dari bahasa Latin
yakni kata delictum. Dalam Kamus bahasa Indonesia tercantum delik adalah perbuatan yang
dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang tindak
pidana menurut beberapa pendapat ahli delik memiliki pengertian yaitu :
a. Menurut Simons, delik yaitu kelakuan yang diancam dengan pidana yang bersifat
melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh
orang yang mampu bertanggung jawab.
b. Menurut Moeljatno, delik yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan mana disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi barang siapa
yang melanggar larangan tersebut.
c. Teguh Prasetyo, delik yaitu perbuatan yang melanggar hukum dilakukan dengan
kesalahan oleh orang yang mampu bertanggung jawab dan pelakunya diancam
dengan pidana.3
Berdasarkan beberapa pendapat ahli tersebut, dapat dibuatkan suatu kesimpulan
mengenai tindak pidana, yaitu sebagai berikut :
1. Suatu perbuatan yang melawan hukum.
2. Orang yang dikenai sanksi harus mempunyai kesalahan (asas tiada pidana tanpa
kesalahan). Kesalahan sendiri terdiri dari kesalahan yang disebabkan secara
1M Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, Hukum Pidana, (Malang: Setara Press, 2016), 58
2I Made Widnyana, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta,Fikahati Aneska, 2010), 32
3Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi ke-1 cetakan ke-6, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2015), 217
17
-
18
sengaja dan yang disebabkan secara sengaja dan yang disebabkan karena
kelalaian.
3. Subjek atau pelaku baru dapat dipidana jika ia dapat bertanggung jawab dalam
artian berfikiran waras.
Tindak pidana merupakan suatu perbuatan manusia yang bertentangan dengan
hukum yang berhubungan dengan kesalahan yang disertai ancaman (sanksi) berupa pidana
tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Sedangkan perbuatan pidana adalah
suatu aturan hukum yang dilarang dan diancam pidana. Dimana larangan ditujukan kepada
perbuatan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidana ditujukan
kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Oleh karena itu antara kejadian dan orang
yang menimbulkan kejadian memiliki hubungan erat satu sama lain yang tidak dapat
dipisahkan.
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Menurut Moeljatno, unsur-unsur tindak pidana adalah :
a. Perbuatan.
b. Yang dilarang (oleh aturan hukum).
c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).
Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, oleh aturan hukum. Berdasarkan kata
majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada pada perbuatan itu, tapi tidak
dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana mengambarkan bahwa
tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataannya benar-benar dipidana. Pengertian diancam
pidana merupakan pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana. 4
Adapun tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur
subjekif dan unsur objektif sebagai berikut :
a. Unsur Objektif
Unsur yang terdapat di luar si pelaku. Unsur-unsur yang ada hubungannya dengan
keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan di mana tindakan-tindakan si pelaku itu harus
dilakukan terdiri dari :
1) Sifat melanggar hukum.
2) Kualitas dari si pelaku.
4Adami Chazawi, Pelajaran Pidana Bagian 1, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012), 79
-
19
Misalnya keadaan sebagai pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut
pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu
perseroan terbatas di dalam kejahatan pasal 398 KUHP.
3). Kausalitas
Yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu
kenyataan sebagai akibat.
b. Unsur Subjektif
Unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang
dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalam hatinya unsur ini terdiri dari :
1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan.
2) Maksud pada suatu percobaan, seperti ditentukan dalam pasal 53 ayat (1) KUHP.
3) Macam-macam maksud seperti terdapat dalam kejahatan-kejahatan pencurian,
penipuan, pemerasan, dan sebagainya.
4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam pasal 340 KUHP, yaitu
pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu.
5) Perasaan takut seperti terdapat di dalam pasal 308 KUHP.
6) Orang yang mampu bertanggung jawab. 5
Unsur-Unsur dalam tindak pidana ini sebenarnya adalah untuk melengkapi kembali
atau menjelaskan mengenai jenis dan ruang lingkup perbuatan manusia yang dapat dikenai
aturan hukum. Tanpa memandang apakah keputusan untuk melakukan tindak pidana tersebut
timbul dari dirinya sendiri atau tidak karena gerakan oleh pihak ketiga, orang yang dapat
dinyatakan sebagai pelaku tindak pidana dapat dikelompokan kedalam beberapa macam yang
terlihat pada pasal 55 dan pasal 56 KUHP yang berbunyi:
Pasal 55:
1) Sebagai pelaku suatu tindak pidana akan dihukum.
Ke-1:Mereka melakukan, menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan
itu
Ke-2: Mereka yang dengan pemberian, kesanggupan, penyalahgunaan kekuasaan
atau martabat, dengan paksaan, ancaman, atau penipuan, atau dengan
memberikan kesempatan, sarana, atau keterangan dengan sengaja
membujuk perbuatan itu.
5Ismi Gunaidi dan Joenadi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Grup, 2014), 40
-
20
2) Tentang orang-orang tersebut belakangan (sub ke-2) hanya perbuatan- perbuatan
yang oleh mereka dengan sengaja dilakukan, serta akibat-akibatnyadpat
diperhatikan.
Pasal 56 :
1) Sebagai pembantu melakukan kejahatan akan dihukum:
Ke-1 : Mereka yang dengan sengaja membantu pada waktu kejahatan itu
dilakukan.
Ke-2 : Mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, sarana atau
keterangan untuk melakukan kejahatan.
Oleh kedua pasal ini diadakan lima golongan peserta tindak pidana, yaitu:
a. Yang melakukan perbuatan (plegen,deder).
b. Yang menyuruh melakukan perbuatan (doen plegen, middelijke deder).
c. Yang turut serta melakukan perbuatan (medeplegen, mededader).
d. Yang membujuk supaya perbuatan dilakukan (uitlokken, uitlokker).
e. Yang membantu perbuatam (medeplichting zijn, medeeplichtige).
Golongan a, yaitu si pelaku atau deder, tidak perlu lagi dibicarakan, karena sudah
dibahas dalam bab-bab yang dahulu dari buku ini. Maka, tinggal akan berturut-turut dibahas
golongan b,c,d, dan e.6
Di dalam peristiwa pidana yang dapat diartikan sebuah peristiwa pidana harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Harus ada suatu perbuatan, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan seseorang atau
sekelompok orang.
2. Perbuatan harus sesuai sebagaimana yang dirumuskan dalam Undang-Undang.
Pelakunya harus telah melakukan suatu kesalahan dan harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
3. Harus ada kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Jadi, perbuatan itu
memang dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar ketentuan
hukum.
4. Harus ada ancaman hukumannya. Dengan kata lain, ketentuan hukum yang
dilanggar itu mencantumkan sanksinya.7
6Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung:PT Redaksi Refika,2003),
117-118 7Masriani, Yulius Tiena, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), 63
-
21
Secara umum penulis dapat menyimpulkan bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah
adanya niat dari diri pelaku sendiri, lalu adanya perbuatan yang mana perilaku yang dapat
melawan aturan hukum, pelaku yang mana subjek hukum yang melakukan suatu perbuatan
yang dilarang oleh hukum, dan adanya sanksi pidana yang mengatur tentang perbuatan atau
kejahatan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
3. Jenis-Jenis Tindak Pidana
Membagi suatu kelompok benda atau manusia dalam jenis –jenis tertentu atau
mengklafikasikan dapat sangat bermacam-macam sesuai dengan kehendak yang
menklafikasikan atau mengkelompokan, yaitu menurut dasar apa yang diinginkan, demikian
pula halnya dengan tindak pidana. Adapun jenis-jenis tindak pidana yaitu :8
1. Pelanggaran dan Kejahatan
Perbuatan-perbuatan yang didasari oleh masyarakat sebagai suatu tindak pidana
karena Undang-Undang menyebutkan sebagai delik.Kejahatan adalah perbuatan yang
melanggar dan bertentangan dengan apa yang ditentukan dalam kaidah dan tegasnya,
perbuatann yang melanggar larangan yang ditetapkan dalam kaidah hukum dan tidak
memenuhi atau melawan perintah yang telah ditetapkan dalam kaidah hukum yang berlaku
dalam masyarakat.
2. Delik Formal (Formil) dan Delik Material (Materiil)
Delik formal adalah delik yang dianggap selesai dengan dilakukannya perbuatan itu,
atau dengan perkataan lain titik beratnya berada pada perbuatan itu sendiri. Tidak
dipersalahkan apakah perbuatannya, sedangkan akibatnya hanya merupakan aksidentalia (hal
yang kebetulan). Contoh delik formal adalah Pasal 362 (pencurian), Pasal 160 (penghasutan),
dan Pasal 209-210 (penyuapan). Sebaliknya jika delik materilal titik beratnya pada akibat
yang dilarang, delik itu dianggap selesai jika akibatnya sudah terjadi, bagaimana cara
melakukan perbuatan itu tidak menjadi masalah. Contohnya adalah pasal 338 (pembunuhan),
yang terpenting adalah matinya seseorang, caranya boleh dengan mencekik, menusuk,
menembak, dan sebagainya.
3. Delik Dolus dan Delik Culpa
Dolus dan Culpa merupakan bentuk kesalahan yang akan dibicarakan tersendiri di
belakang. Yang mana delik Dolus adalah delik yang memuat unsur kesengajaan itu mungkin
dengan kata-kata yang tegas, dengan sengaja, tetapi mungkin juga dengan kata-kata lain yang
senada, seperti diketahuinya, dan sebagainya. Contohnya adalah Pasal-pasal
8Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010), 57-62
-
22
162,197,310,338, dan masih banyak lagi. Sedangkan Delik Culpa di dalam rumusannya
memuat unsur kealpaan dengan kata karena kealpaanya, misalnya pada pasal 359,360,195.
Didalam beberapa terjemahan kadang-kadang dipakai istilah karena kesalahnya.
4. Delik Commissionis dan Delik Omissionis
Pelanggaran hukum dapat berbentuk berbuat sesuatu yang dapat dilarang atau tidak
berbuat sesuatu yang diharuskan (to commit = melakukan, to omit = meniadakan). Delik
Commissionis barangkali tidak terlalu sulit dipahami, misalnya berbuat mengambil,
menganiaya, menembak, mengancam, dan sebagainya. Sendangkan Delik Omissionis dapat
kita jumpai pada pasal 522 (tidak dating menghadap ke pengadilan sebagai saksi), pasal 164
(tidak melaporkan adanya pemufakatan jahat).
5. Delik Aduan dan Delik Biasa (Bukan Aduan)
Delik aduan (klachdelict) adalah tindak pidana yang penuntutanya hanya dilakukan
atas dasar adanya pengaduan dari pihak yang berkepentingan atau terkena. Misalnya
penghinaan, perzinahan, pemerasan. Jumlah delik ini tidak banyak terdapat didalam KUHP.
Siapa yang dianggap berkepentingan, tergantung dari jenis deliknya dan ketentuan yang ada.
Untu perzinahan misalnya, yang berkepentingan adalah suami atau istri yang bersangkutan.
Terdapat dua jenis delik aduan, yaitu delik aduan absolute, yang penuntutannya hanya
berdasarkan pengaduan, dan delik aduan relative disini karena adanya hubungan istimewa
antara pelaku dengan korban, misalnya pencurian dalam keluarga (Pasal 367 ayat (2) dan
(3)).
4. Sanksi Pidana
Sanksi dalam bahasa Indonesia diambil dari bahasa Belanda, Sanctie. Arti lain
sanksi dalam konteks hukum, sanksi berati hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan, dan
dalam konteks sosiologi sanksi dapat berarti control social.9 Sanksi adalah suatu langkah
hukuman yang dijatuhkan oleh negara atau kelompok. Sanksi adalah satu hal yang sangat
sering kita dengar dan kita saksikan. Dalam lingkup masyarakat kecil kata sanksi ini banyak
digunakan untuk menghukum seseorang atau kelompok yang bersalah.
Sanksi pada awalnya hanya terdapat satu macam sanksi, yaitu sanksi kriminal berupa
hukuman dalam arti sempit dengan kehidupan, kesehatan atau kepemilikan, sanksi pidana
tujuanya adalah retributive atau menurut pandangan modern adalah adanya pencegahan.
Sanksi mengandung inti berupa suatu ancaman pidana kepada mereka yang melakukan
pelanggaran norma. Sanksi mempunyai tugas agar norma yang ditetapkan itu ditaati dan
9Ali Mahrus, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta, Sinar Grafika, 2012), 193
-
23
dilaksanakan. Sanksi merupakan alat pemaksa agar seseorang menaati norma-norma yang
berlaku dalam masyarakat10
.
Menurut Mahrus Ali, Sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling banyak
digunakan di dalam menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang dinyatakan bersalah
melakukan perbuatan pidana. Bentuk-bentuk sanksi ini bervariasi, seperti pidana mati, pidana
seumur hidup, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda yang merupakan pidana
pokok, dan pidana berupa pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu,
dan pengumuman putusan hakim merupakan pidana tambahan.11
Sanksi pidana merupakan sanksi yang bersifat lebih tajam jika dibandingkan dengan
pemberlakuan sanksi pada hukum perdata maupun dalam hukum administrasi. Pendekatan
yang dibangun adalah sebagai salah satu upaya untuk mencegah dan mengatasi kejahatan
melalui hukum pidana dengan pelanggaran dikenakan sanksinya berupa pidana. Menurut
Roeslan Saleh, mengemukakan pendapat bahwa pidana adalah reaksi atas delik dan ini
berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik
(perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-
undang). Pidana menentukan sanksi terhadap pelanggaran peraturan larangan. Sanksi itu
dalam prinsipnya terdiri atas penambahan penderitaan dengan sengaja.
Menurut Richard D. Schwartz Dan Jerome H. Skonlick sanksi pidana dimaksudkan
untuk:
a. Mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana.
b. Mencegah orang melakukan perbuatan yang sama seperti yang dilakukan oleh
terpidana.
c. Menyediakan saluran untuk mewujudkan motif-motif balas dendam.12
Tujuan pemidanaan adalah mencegah dilakukannya kejahatannya pada masa yang
akan dating, tujuan diadakannya pemidanaan diperlukan untuk mengetahui sifat dasar dari
pidana, bahwa dalam kontes dikatakan penderitaan jahat menimpa dikarenakan oleh
perbuatan jahat.
B. Penganiayaan
1. Pengertian Penganiayaan
Mr. M. H. Tirtaamidjaja membuat pengertian “penganiayaan” sebagai berikut.
“menganiaya” ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. Akan
10
R. Soeoso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006), 40 11
Ali Mahrus, Dasar-Dasar Hukum Pidana, 200 12
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Jakarta, PT Eresco, 2004), 1
-
24
tetapi suatu perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain tidak dapat
dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menjaga keselamatan
badan.13
Dalam kamus Bahasa Indonesia disebutkan penganiayaan adalah perlakuan
sewenang-wenang (penyiksaan, penindasan, dan sebagainya). Dengan kata lain untuk
menyebut seseorang telah melakukan penganiayaan, maka orang tersebut harus memiliki
kesengajaan dalam melakukan suatu kesengajaan dalam melakukan suatu perbuatan untuk
membuat rasa sakit pada orang lain atau luka pada tubuh orang lain atau pun orang itu dalam
perbuatannya merugikan kesehatan orang lain.
Di dalam KUHP yang disebut dengan tindak pidana terhadap tubuh disebut dengan
penganiayaan, mengenai arti dan makna kata penganiayaan tersebut banyak perbedaan
diantara para ahli hukum dalam memahaminya. Penganiayaan diartikan sebagai “perbuatan
yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atas luka pada tubuh orang
lain”.
Penganiayaan juga merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan
sengaja atau tidak sengaja untuk melukai atau mencederai orang lain. 14
Adapun tindak pidana penganiayaan atau mishandeling itu diatur dalam Bab ke-XX Buku ke-
II KUHP, yang dalam bentuknya yang pokok diatur dalam Pasal 351 ayat (1) sampai dengan
ayat (5) KUHP yang berbunyi :
1. Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua tahun dan
delapan bulan atau dengan denda pidana setinggi-tingginya tiga ratus rupiah
(sekarang empat ribu lima ratus rupiah).
2. Jika perbuatan tersebut menyebabkan luka berat pada tubuh, maka orang yang
bersalah dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.
3. Jika perbuatan tersebut menyebabkan kematian, maka orang yang bersalah
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun.
4. Disamakan dengan penganiayaan, yakni kesengajaan merugikan kesehatan.
5. Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dipidana.
Dari rumusan Pasal 351 KUHP di atas itu orang dapat mengetahui bahwa undang-
undang hanya berbicara mengenai penganiayaan tanpa menyebutkan unsur-unsur dari tindak
13
Leden Marpaung, Tindak Pidana terhadap nyawa dan tubuh (pemberantas dan prevensinya,
(Jakarta, Sinar Grafika, 2002), 5 14
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 33
-
25
pidana penganiayaan itu sendiri, kecuali hanya menjelaskan bahwa kesengajaan merugikan
kesehatan (orang lain) itu adalah sama dengan penganiayaan.
Dengan demikian, untuk menyebut seseorang itu telah melakukan penganiayaan
terhadap orang lain, maka orang tersebut harus mempunyai opzet atau suatu kesengajaan
untuk:
a. Menimbulkan rasa sakit pada orang lain
b. Menimbulkan luka pada tubuh orang lain.
c. Merugikaan kesehatan orang lain. Dengan kata lain, orang itu harus mempunyai
opzet yang ditunjukan pada perbuatan untuk menimbulkan rasa sakit pada orang
lain atau untuk menimbulkan luka pada tubuh orang lain ataupun untuk
merugikan kesehatan orang lain.
Dengan demikian dapat dikatan bahwa tindak pidana penganiaayan adalah semua
tindakan melawan hukum dan tindakan seseorang kepada orang yang membahayakan atau
mendatangkan rasa sakit pada badan atau anggota badan manusia yang mana luka yang
diderita oleh korban sesuai dengan kategori luka pada pasal 90 (KUHP) yang berisi:
1. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama
sekali atau yang menimbulkan bahaya maut.
2. Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
pencarian.
3. Kehilangan salah satu panca indra.
4. Mendapat cacat berat.
5. Menderita sakit lumpuh.
6. Terganggu daya piker selama empat minggu atau lebih.
7. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.15
2. Jenis-Jenis Penganiayaan
Menurut KUHP penganiayaan dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:
a. Penganiayaan Biasa (Pasal 251 KUHP)
Dalam hal penganiayaan biasa, Pasal 351 KUHP memuat dua perbuatan yang
dibuat, yaitu :
1) Setiap perbuatan yang mengakibatkan luka-luka (rasa sakit), luka-luka berat atau
mati (ayat (1), (2), (3), dari Pasal 351 KUHP.)
15
Pasal 90 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP)
-
26
2) Disamakan dengan orang menganiaya adalah setiap perubuatan dengan sengaja
merusak kesehatan orang lain (ayat (4) Pasal 351 KUHP).
b. Penganiayaan Berat (Pasal 354 KUHP)
Penganiayaan berat apabila seseorang dengan sengaja menimbulkan luka luka berat
atau luka parh kepada orang lain. Perbedaan Pasal 354 dengan Pasal 351 ayat (2) adalah Pasal
354, perbuatan penganiayaan dilakukan dengan sengaja sedangkan Pasal 351 ayat (2),
perbuatan penganiayaan dilakukan dengan tidak sengaja.
Jenis penganiayaan yang diatur didalam Pasal 358 KUHP yaitu kejahatan
penganiayaan yang timbul dalam penyerangan dan perkelahian. Unsur-unsur Pasal 358
KUHP antara lain:
1) Dengan sengaja turut serta dalam penyerangan atau perkelahian yang dilakukan
beberapa orang.
2) Serangan atau perkelahian tersebut menimbulkan akibat luka berat atau kematian
orang lain.
3) Apabila seseorang peserta yang dimaksud oleh Pasal 358 KUHP mempunyai
maksud tersendiri, maka terhadap dirinya tidak dapat diberlakukan dengan
peraturan yang merumuskan perbuatannya tersebut.
Penganiayan berat atau dapat disebut juga menjadikan berat pada tubuh orang lain
haruslah dilakukan dengan sengaja. Kesengajaan itu harus mengenai ketiga unsur dari tindak
pidana yaitu, pebuatan yang dilarang, akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larang itu
dan bahwa perbuatan itu melanggar hukum.
Ketiga unsur diatas harus disebutkan dalam undang-undang sebagai unsur dari
tindak pidana, seorang jaksa harus teliti dalam merumuskan apakah yang telah dilakukan oleh
seorang terdakwa dan ia harus menyebukan pula tuduhan pidana semua unsur yang
disebutkan dalam undang-undang sebagai unsur dari tindak pidana. Apabila dihubungkan
dengan unsur kesengajaan maka kesengajaan ini harus sekaligus ditujukan baik tehadap
perbuatannya, (misalnya menusuk dengan pisau), maupun terhadap akibatnya, yakni luka
berat.
Hanya dapat merumuskan luka berat yang telah di jelaskan pada Pasal 90 KUHP
sebagai berikut:
Luka berat berarti :
a. Jatuh sakit atau luka yang tak dapat diharapkan akan sembuh lagi dengan
sempurna atau yang dapat mendatangkan bahaya maut.
b. Senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pekerjaan pencaarian.
-
27
c. Didak dapat lagi memakai salah satu panca indra.
d. Mendapat cacat besar.
e. Lumpuh (kelumpuhan).
f. Akal (tenaga paham) tidak sempurna lebih lama dari empat minggu.
g. Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan.
Pada Pasal 90 KUHP diatas telah dijelaskan tentang golongan yang bisa dikatakan
sebagi luka berat, sedangkan akibat kematian pada penganiayaan berat bukanlah merupakan
unsur penganiayaan berat, melainkan merupakan faktor atau alasan memperberat pidana
dalam penganiayaan berat
c. Penganiayaan Ringan (Pasal 352 KUHP)
Menurut KUHP Pasal 352 ayat (1), penganiayaan ringan adalah penganiayaan yang
tidak berakibat suatu penyakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan. Dari
ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 352 ayat (1) KUHP dapat diketahui, bahwa untuk
dapat disebut sebagai tindak pidana penganiayaan ringan, tindak pidana tersebut harus
memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
a. Bukan merupakan tindak pidana penganiayaan dengan direncanakan terlebih
dahulu.
b. Bukan merupakan tindak pidana penganiayaan yang dilakukan:
1) terhadap ayah atau ibunya yang sah, terhadap suami, istri, atau terhadap
anaknya sendiri.
2) terhadap seorang pegawai negeri yang sedang menjalankan tugas jabatannya
secara sah.
3) dengan memberikan bahan-bahan yang sifatnya berbahaya untuk nyawa atau
kesehatan manusia.
c. tidak menyebabkan orang yang dianiaya menjadi sakit atau terhalang dalam
melaksanakan tugas-tugas jabatannya atau dalam melaksanakan kegiatan-
kegiatan pekerjaannya.16
Pasal 352 ayat (2) KUHP : Penganiayaan ringan diancam dengan maksimum
hukuman penjara 3 bulan dan denda tiga ratus rupiah, apabila tidak termasud dalam rumusan
16
Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, dan Kesehatan Edisi Kedua,
(Jakarta, Sinar Grafika, 2012), 144
-
28
Pasal 353 dan 356 KUHP dan tidak menyebabkan sakit atau halangan untuk menjalankan
jabatan atau pekerjaan. 17
d. Penganiyaan Berencana (Pasal 353 KUHP)
Pasal 353 KUHP mengenai penganiyaan berencana merumuskan sebagai berikut :
a. Penganiayaan dengan berencana lebih dulu, di pidana dengan pidana penjara
paling lama empat tahun.
b. Jika perbutan itu menimbulkan luka-luka berat, yang bersalah di pidana dengan
pidana penjara palang lama tujuh tahun.
c. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah di pidana dengan
pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Menurut Mr.M.H. Tirtamidjaja arti di rencanakan lebih dahulu adalah “bahwa ada
suatu jangka waktu, bagaimanapun pendeknya untuk mempertimbangkan, untuk berfikir
dengan tenang”. Apabila kita pahami tentang arti dari di rencanakan diatas, bermaksud
sebelum melakukan penganiayaan tersebut telah di rencanakan terlebih dahulu, oleh sebab
terdapatnya unsur direncanakan lebih dulu sebelum perbuatan dilakukan, direncanakan lebih
dulu (disingkat berencana), adalah berbentuk khusus dari kesengajaan dan merupakan alasan
pemberat pidana pada penganiayaan yang bersifat subjektif, dan juga terdapat pada
pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP).
Sebelum melakukan penganiayaan, si pelaku tidak langsung melakukan kejahatan
itu tetapi ia masih berfikir dengan batin yang tenang apakah resiko/akibat yang akan terjadi
yang disadarinya baik bagi dirinya maupun orang lain, sehingga si pelaku sudah berniat untuk
melakukan kejahatan tersebut sesuai dengan kehendaknya yang telah menjadi keputusan
untuk melakukannya. Maksud dari niat dan rencana tersebut tidak di kuasai oleh perasaan
emosi yang tinggi, waswas/takut, tergesa-gesa atau terpaksa dan lain sebagainya.
Penganiayaan berencana diatur dalam Pasal 353 KUHP apabila mengakibatkan luka
berat dan kematian adalah berupa faktor atau alasan pembuat pidana yang bersifat objektif,
penganiayaan berencana apabila menimbulkan luka berat yang di kehendaki sesuai dengan
(ayat 2) bukan disebut lagi penganiayaan berencana tetapi penganiayaan berat berencana
(Pasal 355 KUHP), apabila kejahatan tersebut bermaksud dan ditujukan pada kematian (ayat
3) bukan disebut lagi penganiayaan berencana tetapi pembunuhan berencana (Pasal 340
KUHP).
17
Triandy Anugrah, “Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Penganiayaan yang Mengakibatkan
Luka Berat (Studi Kasus Putusan Nomor: 819/Pid.B/2015/Pn.Makasar)”, Skripsi, (Makasar, Fakultas Hukum
Universitas Hassanudin, 2016), 57
-
29
e. Penganiayaan Berat Berencana (Pasal 355 KUHP)
Penganiyaan berat berencana, dimuat dalam Pasal 355 KUHP yang rumusannya
adalah sebagai berikut :
a. Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, dipidana
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
b. Jika perbuatan itu menimbulkan kematian yang bersalah di pidana dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun.
Bila kita lihat penjelasan yang telah ada diatas tentang kejahatan yang berupa
penganiayaan berencana, dan penganiayaan berat, maka penganiayaan berat berencana ini
merupakan bentuk gabungan antara penganiayaan berat (Pasal 354 ayat 1 KUHP) dengan
penganiyaan berencana (Pasal 353 ayat 1 KUHP). Dengan kata lain suatu penganiayaan berat
yang terjadi dalam penganiayaan berencana, kedua bentuk penganiayaan ini haruslah terjadi
secara serentak/bersama. Oleh karena harus terjadi secara bersama, maka harus terpenuhi
baik unsur penganiayaan berat maupun unsur penganiayaan berencana.
C. Persertaan Melakukan Tindak Pidana (Deelneming)
Penyertaan adalalah perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu
orang yang saling terkait dan secara sadar menegetahuai apa yang dilakukan, tetapi ada juga
yang dikarenakan unsur paksaan. Penyertaan di atur dalam pasal 55 dan pasal 56 KUHP yang
berarti bahwa ada dua orang atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau dengan
perkataan ada dua orang atau lebih mengambil bagian untuk mewujudkan suatu tindak pidana
dapat di sebutkan bahwa seseorang tersebut turut serta dalam hubungannya dengan orang
lain.18
Prof.Satochid Kartanegara mengartikan Deelneming apabila dalam satu delik
tersangkut beberapa orang atau lebih dari satu orang. Menurut doktrin, Deelneming menurut
sifatnya terdiri atas: 19
a.Deelneming yang berdiri sendiri,yakni pertanggung jawaban dari setiap peserta
dihargai sendiri-sendiri
b.Deelneming yang tidak berdiri sendiri, yakni pertanggungjawaban dari peserta
yang digantungkan dari perbuatan peserta lain,
18
Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung, Refika Aditama, 2011), 174 19
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah bagian satu, (Balai Lektur Mahasiswa),
497 - 498
-
30
1. Bentuk-bentuk Deelneming
Bentuk-bentuk deelneming atau keikutsertaan yang ada menurut ketentuan-
ketentuan pidana dalam pasal 55-56 KUHP adalah:
a. melakukan perbuatan (plegen,deder).
b. menyuruh melakukan perbuatan (doen plegen, middelijke deder).
c. turut serta melakukan perbuatan (medeplegen, mededader).
d. membujuk supaya perbuatan dilakukan (uitlokken, uitlokker).
e. yang membantu perbuatan (medeeplichtige).
a. Melakukan Perbuatan (plegen, deder)
Orang yang memenuhi semua unsur delik sebagaimana di rumuskan oleh undang-
undang, baik unsur subjektif maupun objektif, Umumnya pelaku dapat diketahui dari jenis
delik yakni delik formil dan delik materil.
b. Menyuruh Melakukan Perbuatan (doen plegen, middelijke deder)
Di dalam ilmu hukum pidana, orang yang menyuruh orang lain melakukan suatu
tindak pidana itu biasanya disebut sebagai orang middellijk dader atau seorang mettelbare
tater, yang artinya seorang pelaku tidak langsung. Ia disebut pelaku tidak langsung karena ia
memang secara tidak langsung melakukan sendiri tindak pidana, melainkan dengan perantara
orang lain.
Menurut ketentuan pidana di dalam pasal 55 KUHP, seorang middelijke dader atau
seorang pelaku tidak langsung itu dapat dijatuhi hukuman yang sama beratnya dengan
hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelakunya sendiri, dan dalam hal ini yaitu hukuman
yang dapat dijatuhkan kepada pelaku materialnya itu sendiri. Untuk adanya suatu doen
plegen itu adalah juga tidak perlu, bahwa suruhan untuk melakukan suatu tindak pidana itu
harus diberikan secara langsung untuk middelijke dader kepada orang materieele dader.
Melainkan ia dapat juga diberikan dengan perantaraan orang lain.
c. Turut Serta Melakukan Perbuatan (madeplegen, madedader)
MedePlegen merupakan melakukan penganiayaan bersama-sama dalam tindak
pidana ini pelakunya paling sedikit harus ada dua orang yaitu yang melakukan (dederplegen)
dan orang yang turut melakukan (medeplegen).
Sejarah mencatat bahwa ajaran turut serta ini pertama kali merupakan buah pikiran
dari von Feurbach yang membedakannya dalam dua bentuk peserta, yaitu (a). mereka yang
-
31
langsung berusaha terjadinya peristiwa pidana dan (b). mereka yang hanya membantu usaha
yang dilakukan oleh mereka yang disebut pada ada yaitu mereka yang tidak langsung
berusaha, ini yang disebut gehilfe. Urheber adalah yang melakukan inisiatif, dan gehilfe
adalah yang membantu saja.
Perkembagan ajaran turut serta kemudian dimasukkan dalam Pasal 55 dan Pasal 56
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang terbagi dalam urheber terdiri dari yang
melakukan (plegen), yang menyuruh (supaya) melakukan (doen plegen), yang turut
melakukan (medeplegen) dan yang membujuk (supaya melakukan) yang disebut uitlokker,
sedangkan dalam Pasal 56 KUHP disebut mereka yang menjadi gehilfe yaitu yang membantu
(medeplichtige).20
Menurut Hazewinkel-Suringa (halaman 240-241) Hoge Raad Belanda
mengemukakan dua syarat bagi adanya unsur turut serta melakukan tindak pidana, yaitu:
1) Kerja sama yang disadari antara para turut pelaku yang merupakan suatu
kehendak bersama diantara mereka.
2) Mereka harus bersama-sama melakukan kehendak itu.
Tidak ada kesulitan apabila misalnya, dua orang pencuri bersama-sama mengangkut
suatu peti berisi pakaian dari rumah seseorang. Juga adalah merata pendapat bahwa apabila
seorang pencuri merusak kunci pintu rumah dan seorang pencuri lain masuk ke dalam rumah
dan mengambil barang-barang yang dicuri, maka kini ada dua turut pelaku (made daders)
tindak pidana pencurian dengan merusak, dari Pasal 363 KUHP.
Lain halnya apabila seorang pencuri masuk rumah dan mengambil barang,
sedangkan kawannya hanya berdiri diluar rumah untuk menjaga, dengan maksud memberi
tahu kepada kawannya jika ada orang datang, yang mungkin akan menangkap mereka. Kini si
penjaga sama sekali tidak melakukan suatu perbuatan yang cocok dengan suatu perumusan
dalam pasal yang bersangkutan, Maka, para objektivis tentunya cenderung untuk menolak
menganggap si penjaga sebagai “turut pelaku”. Sebaliknya para subjektivis akan mudah
menganggap adanya turut melakukan (medeplegen) oleh kini sudah tampak maksud kerja
sama antara para turut pelaku.
Syarat adanya medeplegen adalah pertama adanya kerjasama secara sadar, dan
kedua ada pelaksanaan bersama secara fisik. Sebagai catatan dari Jan Rummenlink bahwa
dalam syarat medeplagen tersebut bahwa tidak perlu ada rencana atau kesepakatan yang
dibuat terlebih dahulu. Sebaliknya yang perlu dibuktikan hanyalah adanya saling pengertian
20
Basir Rohrohmana, Penerapan Ajaran Turut Serta dalam Tindak Pidana Korupsi, https://E-
jurnal.unair.ac.id, hlm.215 (diakses 1-11-2019 pukul 12.55 WIB)
-
32
diantara sesama pelaku dan pada saat perbuatan diwujudkan masing-masing pelaku
bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama.
Selanjutnya Jan Rummelink mengemukakan 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi
pembujukan yang dapat diancam pidana yaitu :
1. Kesengajaan untuk menggerakkan orang lain melakukan suatu tindakan yang dilarang
Undang-Undang dengan bantuan sarana sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang.
2. Keputusan untuk berkehendak pada pihak lainnya harus dibangkitkan. Syarat ini
berkenaan dengan kausalitas psikis.
3. Orang yang tergerak (terbujuk atau terprovokasi) mewujudkan rencana yang ditanamkan
oleh pembujuk atau penggerak untuk melakukan tindak pidana atau setidak-tidaknya
melakukan percobaan kearah itu. Itikad buruk penggerak saja tidaklah cukup, upayanya itu
haruslah terwujud secara nyata ke dalam perbuatan.
4. Orang yang terbujuk niscaya harus dapat dimintai tanggung jawab pidana, bila tidak maka
tidak muncul pembujukan melainkan upaya menyuruh melakukan (doenplegen).
Satochid Kartanegara menerjemahkan medeplichtigeheid sebagai “membantu
melakukan” kaitan dengan ini Brada Nawawi menyatakan bahwa sifat yang dilihat
perbuatannya, pembantuan ini bersifat accessoir Artinya untuk adanya pembantuan harus ada
orang yang melakukan kejahatan (harus ada orang yang dibantu). Tetapi dilihat dari
pertanggung jawabannyya tidak accessoir, artinya dipidananya pembantu tidak tergantung
pada dapat tidaknya sipelaku dituntut atau dipidana.
Lebih lanjut dijelaskan oleh Brada Nawawi Arief ditinjau dari jenisnya pembantuan
ini ada 2 (dua) jenis, yakni Pertama, menurut waktunya adalah pada saat kejahatan dilakukan,
dan caranya tidak ditentukan secara limitative dalam undang-undang. Kedua, jenis menurut
waktunya sebelum kejahatan dilakukan, caranya ditentukan secara limitatif dalam Undang-
Undang yaitu dengan cara memberi kesempatan, sarana atau keterangan.21
d. Membujuk Supaya Perbuatan Dilakukan (uitlokken, uitlokker)
Uitlokking atau mereka yang menggerakkan untuk melakukan suatu tindakan
dengan daya – upaya tertentu, adalah bentuk penyertaan penggerakkan yang inisiatif berada
pada penggerak. Dengan perkataan lain, suatu tindak pidana tidak akan terjadi bila inisiatif
tidak ada pada penggerak. Karenanya penggerak harus dianggap sebagai petindak dan harus
dipidana sepadan dengan pelaku yang secara fisik menggerakkan. Tidak menjadi persoalan
21
Basir Rohrohmana, Penerapan Ajaran Turut Serta dalam Tindak Pidana Korupsi, https://E-
jurnal.unair.ac.id , hlm. 225(diakses 1-11-2019 pukul 14:25 WIB).
-
33
apakah pelaku yang digerakkan itu sudah atau belum mempunyai kesediaan tertentu
sebelumnya untuk melakukan tindak pidana.22
e. Yang membantu perbuatan (medeplichtig zijn, medeeplichtig)
Dilihat dari perbuatannya, pembantuan ini bersifat accesoir artinya untuk adanya
pembantuan harus ada orang yang melakukan kejahatan (harus ada orang yang dibantu).
Tetapi dilihat dari pertanggungjawabannya tidak accesoir, artinya dipidananya pembantu
tidak tergantung pada dapat tidaknya si pelaku dituntut atau dipidana.
D. Tindak Pidana Islam
1. Pengertian Tindak Pidana Islam
Tindak pidana Islam merupakan syariat Allah yang mengandung kemaslahatan bagi
kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Syariat Islam yang dimaksud, secara
materil mengandung kewajiban asas bagi setiap manusia untuk melaksanakannya. Konsep
kewajiban asasi Syariat, yang berarti menempatkan Allah sebagai pemegang dari segala hak,
baik itu yang ada pada diri sendiri maupun yang ada pada diri orang lain. Setiap orang hanya
pelaksana dari kewajiban yang diperintahkan Allah. Perintah Allah yang dimaksud harus
diamalkan untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain.
Adapun yang dimaksud dengan Jinayah ini meliputi, hukum membunuh orang,
memotong anggota tubuh, melukai orang, menghilangkan manfaat badan seperti
menghilangkan satu panca indera. 23
2. Tujuan Hukum Pidana Islam
Tujuan hukum pidana Islam tidak dapat dilepaskan dari membicarakan tujuan syariat
Islam secara umum, karena hukum pidana Islam merupakan bagian dari syariat Islam. Syariat
Islam ketika menetapkan hukum-hukum dalam masalah kepidanaan mempunyai tujuan
umum, yaitu mendatangkan maslahat kepada umat dan menghindarkan mereka dari mara
bahaya.
Syariat Islam secara umum bertujuan untuk mengamankan lima hal mendasar dalam
kehidupan umat manusia. Lima hal ini adalah aspek agama, aspek akal, aspek jiwa, aspek
harta benda dan keturunan. Lima hal ini adalah perkara yang sangat fundamental dalam
pandangan Islam bagi umat manusia.
22
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
(Jakarta, Storia Grafika), 350-359 23
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, 54
-
34
Kelima tujuan hukum Islam diatas, bila dihubungkan dengan hukum pidana, maka
dapat digambarkan sebagai berikut:24
a. Memelihara Agama
Karena agama mempunyai kedudukan yang sangat penting, maka sangat wajar bila
islam menempatkan eksistensi agama bagi manusa sebagai kebutuhan hidup yang sangat
fundamental. Dalam rangka menjaga eksistensiagama yang sangat penting bagi kehidupan
manusia, maka Islam menetapkan hukum pidana riddah.
b. Memelihara Jiwa
Menyadari pentingnya jiwa atau hak hidup bagi manusia, maka hukum Islam
mengatur tentang larangan membunuh dengan menerapkan hukuman Qishash.
c. Memelihara Akal Pikiran
Menyadari urgensi kedudukan akal dalam kehidupan manusia, maka Islam
mengharamkan minuman keras (Khamar) karena tindakan mengonsumsi minuman keras dan
narkoba dapat berakibat rusaknya akal dan pikiran manusia.
d. Memelihara Keturunan
Menyadari urgesi kesucian keturunan manusia, maka ajaran Islam mengharamkan
perbuatan zina dengan ancaman pidana yang sangat keras.
e. Memelihara Harta
Menyadari urgensi tentang perlunya jaminan atas terpeliharanya harta maupun hak
milik bagi kemaslahatan manusia, maka Islam melarang perbuatan mencurii, dn merampok
(begal).
Berdasarkan uraian tersebut, jelas bahwa hukum Islam termasuk juga hukum pidana,
tidak hanya melindungi kepentingan individu, tetapi juga kepentingan masyarakat dan
negara, bahkan lebih dalam lagi adalah kepentingan yang berhubungan dengan keyakinan
agama, baik menyangkut jiwa, akal atau potensi berpikir, keturunan, maupun harta kekayaan,
jadi wilayah yang menjadi tujuan perlindungan dari hukum pidana Islam ini jelas luas sekali
karena menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia, kaitannya dengan sesame manusia
maupun dengan sang pencipta.
Menurut Oktoberriansyah tujuan hukumm pidana Islam, yaitu:
1. Al-Jaza’ (pembalasan)
24
Ade Maman Suherman, Pengantar Pebandingan Sistem Hukum , (Jakarta: Rajawali Press, 2008),
163
-
35
Konsep ini memberikan arti bahwa setiap perbuatan jahat yang dilakukan seseorang
kepada orang lain akan mendapatkan balasan yang setimpal dengan apa yang dilakukannya
tanpa melihat apa balasan itu bermanfaat bagi dirinya atau orang lain.
2. Al-Jazru (pencegahan)
Pencegahan ini dimaksudkan untuk mencegah suatu tindak pidana agar tidak
terulang lagi.
3. Al-Ishlah (pemulihan/perbaikan)
Yaitu memulihakn pelaku tindak pidana dari keinginan melakukan tindak pidana.
Tujian inilah menurut oleh sebagian fuqaha merupakan tujuan yang paling asas dalam sistem
pemidanaan Islam.
4. Al-Istiadah (restorasi)
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Kathleen Day dalam artikelnya bahwa
keadilan restorasif adalah sebuah metode untuk merespon tindak pidana dengan melibatkan
pihak-pihak yang bertikai dalam rangka memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh
tindak pidana tersebut.
5. Al-Takfir (penebus dosa)
Yaitu tujuan yang berdimensi ukhrawi, orang yang melakukan kejahatan tidak hanya
dibebankan pertanggungjawban/hukuman di dunia saja, tetapi juga
pertanggungjawaban/hukuman di akhirat. Penjatuhan hukuman di dunia merupakan salah
satu untu menggugurkan dosa-dosa yang telah dilakukan.25
3. Dasar-Dasar Hukum Pidana Islam
Sumber hukum tujuan ajaran Islam bertujuan untuk memahami sumber nilai ajaran
Islam yang dijadikan petunjuk kehidupan manusia yang harus ditaatinya, yang urutannya
adalah:26
a. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber ajaran Islamyang pertama, menurut kumpulan wahyu-
wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Diantara kandungan isinya
ialah peraturan-peraturan hidup untuk mengatur kehidupan manusia dalam hubungannya
dengan Allah, hubungannya dengan perkembangan dirinya, hubungan dengan sesame
manusia, dan hubungannya dengan alam berserta mahluk lainnya. Serta menjelaskan tentang
ancaman/hukuman bagi hambanya yang melanggar ketentuannya.
25
Oktoberriansyah, Tujuan pemidanaan dalam Islam, (Volume I, Nomor I, 2011), 23-24 26
Desi Nurdiyanti, “Tindak Pidana Pembantuan dalam Penipuan Ditinjau dari Hukum Pidana Islam
(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Sungguminasa Nomor: 237/Pid.B/2015/PN.Sgun)”, Skripsi, (Makasar,
Fakultas Syraiah dan Hukum UIN Alauddin Makasar, 2017), 57
-
36
b. Sunnah / Hadits Nabi
Sunnah merupakan sumber ajaran Islam yang kedua, karena hal-hal yang
diungkapkan oleh Al-Qur’an yang bersifat umum atau memerlukan penjelas, maka Nabi
Muhammad SAW, menjelaskan melalui sunnah, Sunnah adalah perbuatan, perkataan,
perizinan Nabi Muhammad SAW.
c. Ar-Ra’yu
Ar-Ra’yu atau penalaran adalah sumber ajaran Islam yang ketiga. Penggunakan akal
(penalaran) manusia dalam menginterpretasi ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah yang bersifat
umum. Hal itu dilakukan oleh ahli hukum Islam karena memerlukan penalaran manusia.
d. Ijma’
Ijma’ adalah kebulatan pendapat fuqha mujtahidin pada suatu masa atas sesuatu
hukum sesudah masa Nabi Muhammad SAW.
e. Ijtihad
Ijtihad adalah perincian ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits
yang bersifat umum. Orang yang melakukan perincian disebut Mujtahid.
f. Qiyas
Qiyas adalah mengecualikan hukum suatu perkara yang belum ada ketetapan
hukumnya dengan suatu perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya.
g. Istihsan
Istihsan adalah mengecualikan hukum suatu peristiwa dari hukum peristiwa
peristiwa lain yang sejenisnya dan memberikan kepadanya hukum yang lain yang sejenisnya.
Pengecualian dimaksud dilakukan dengan dasar yang kuat.
h. Maslahat Mursalah
Maslahat Mursalah adalah penetapan hukum berdasarkan kemaslahatan (kebaikan,
kepentingan) yang tidak ada ketentuannya dari syara’ baik ketentuan umum maupun
ketentuan khusus.
i. Saddu Zari’ah
Saddu Zari’ah adalah menghambat atau menutup sesuatu yang menjadi jalan
kerusakan untuk menolak kerusakan. Sebagai contoh, melarang orang meminum seteguk
minuman memabukan (padahal seteguk itu tidak memabukan).
j. Urf
Urf adalah kebiasaan yang sudah turun-menurun tetapi tidak bertentangan dengan
ajaran Islam.
-
37
Diantara sumber-sumber hukum tersebut hanya Al-Qur’an dan Hadits yang berisi
aturan-aturan asasi bersifat umum (kulli), sedang sumber-sumber hukum yang lain lebih
sesuai jika dikatakan hanya sebagai cara mengambil hukum dari Al-Qur’an dan Hadits.
Bahkan diantara kedua sumber hukum ini hanya Al-Qur’an yang menjadi sumber hukum
pokok, sedangkan Hadits hanya penjelas terhadap maksud-maksud Al-Qur’an dan mengatur
hal-hal yang tidak diterangkan oleh Al-Qur’an. Oleh karena itu, tidak mungkin Hadits
menentang Al-Qur’an, lebih-lebih sumber yang lain.
4. Hukuman Tindak Pidana Penganiayaan menurut Hukum Islam
Penganiayaan dalam hukum pidana Islam disebut dengan istilah tindak pidana atas
selain jiwa atau jinayat selain pembunuhan. Yang artinya setiap tindakan haram yang
dilakukan terhadap anggota tubuh, baik dengan cara memotong, melukai maupun
menghilangkan fungsinya.27
Yang dimaksud dengan tindak pidana atas selain jiwa atau
penganiayaan, seperti dikemukakan oleh Abdul Qadir Awdah adalah setiap perbuatan
menyakiti orang lain yang mengenai badannya, tetapi tidak sampai menimbulkan kematian
atau menghilangkan nyawa.
Pengertian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili,
bahwa tindak pidana atas selain jiwa adalah setiap tindakan melawan hukum atas badan
manusia, baik berupa pemotongan anggota badan, pelukaan, maupun pemukulan, sedangkan
jiwa atau nyawa dan hidupnya masih tetap tidak terganggu.
Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana, jika ada unsur formil yaitu
harus ada nas yang melarang perbuatan dan mengancam dengan hukuman, unsur materiil
yaitu melakukan perbuatan yang membentuk tindak pidana, baik perbuatan maupun sikap
tidak berbuat. dan unsur moral yaitu pelaku harus seorang mukallaf artinya dia bertanggung
jawab atas tindak pidana yang diperbuat, sebuah kejahatan jika tidak memenuhi unsur-unsur
tersebut maka tidak bisa dikatakan jarimah (tindak pidana).
Adapun unsur-unsur dalam Jarimah Penganiayaan yaitu :
1. Adanya pelaku tindak pidana penganiayaan
2. Adanya kesengajaan Adanya perbuatan
3. Adanya akibat perbuatan (yang dituju), rasa sakit pada tubuh, dan atau luka
pada tubuh
4. Akibat yang menjadi tujuan satu-satunya
27
Sayyid sabiq, FikihSunnah, (Bandung : PT Alma’arif 2009), 109
-
38
5. Adanya perencanaan penganiayaan sehingga mengakibatkan luka berat.28
Hukuman pelaku penganiayaan dibagi menjadi dua bagian, yaitu penganiayaan yang
dikenakan qishas dan penganiayaan dikenakan diyat.
a. Hukum Qishas, atau balasan yang setimpal. Hal ini diberlakukan qishahs atau balasan
yang setimpal itu memang dapat dilaksanakan tidak melebihi atau mengurangi.
Apabila seseorang memotong anggota badan manusia, tidak diperselisihkan bahwa ia
dikenakan qishas, suatu penganiayaaan adakalanya membinasakan salah satu anggota
badan orang yang dianiaya atau tidak membinasakannya. Apabila termasuk
penganiayaanyang membinasakan anggota badan maka kesengajaan pelakunya ialah
apabila sengaja memukul dengan disertai arah dan dengan memakai alat yang dapat
melukai pada ghalibnya. Tetapi apabila penganiayaan itu karena main-main atau
dengan memakai alat tidak melukai pada ghalibnya atau karena untuk memberikan
pelajaran, maka perbedaan pendapat fuqaha dalam hal ini mirip dengan perbedaan
pendapat tentang pembunuhan, sebagian mengatakan qishas dan sebagian lagi tidak
diqishas.29
Jadi penganiayaan sengaja apabila terjadi menurut syara telah ditentukan masa
hukumannya adalah qishas, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 45:
30
ْفِس َواْلَعْْيَ بِاْلَعْْيِ َواْْلَْنَف بِاْْلَْنِف َواْْلُُذَن بِاْْلُ ْفَس بِالن َّ َنا َعَلْيِهْم ِفيَها َأنَّ الن َّ نَّ وََكَتب ْ نِّ َواْْلُُروَح ُذِن َوالسِّ بِالسِّقَ َفَمنْ ۚ ِقَصاٌص ارَةٌ فَ ُهوَ ِبهِ َتَصدَّ ُ فَُأولََِٰئَك ُهُم الظَّاِلُموَن لَْ َوَمنْ ۚ َلهُ َكفَّ ََيُْكْم ِبَا أَنْ َزَل اَّللَّ
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan
gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka
melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim.”
b. Hukum Diyat, merupakan hukuman pengganti untuk qishas apabila hukuman qishas
terhalang karena sesuatu sebab. Diyat sebagai hukuman pengganti berlaku dalam
tindak pidana penganiayaan sengaja. Disamping itu juga diyat merupakan hukuman
pokok apabila kejahatan menyerupai sengaja atau kesalahan. Diyat baik sebagai
hukuman pengganti digunakan untuk diat kamilah. Diat kamilah atau diat sempurna
28
Ahmad Wardi Muslisch, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika 2005), 180 29
Amir Syafruddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Bogor, Kencana2003), 269 30
Q.S Al-Maidah: 45
-
39
berlaku apabila manfaat jenis anggota badan hilang seluruhnya. Pada penganiayaan
ini banyak hal yang diperhatikan dalam menjatuhkan hukuman diyat antara lain dari
jenis perbuatannya sendiri ada yang berat dan ada yang ringan.
Dalam Fiqih Jinayah kasus tindak pidana yang mengakibatkan kematian dengan
sengaja melakukan perbuatan yang dilarang seperti memukul dengan tongkat, cambuk,
tangan dan benda-benda yang pada dasarnya tidak mematikan tetapi yang terjadi korban
meninggal akibat penganiayaan tersebut. Tindak pidana ini berakibatkan pada konsekuensi
atau sanksi pada pelaku kejahatan tersebut. Allah SWT telah menetapkan sanksi bagi pelaku
pembunuhan yang bersalah (tidak sengaja) melalui firman Allah SWT dalam surat Al-
Baqarah ayat 178: 31
َلى ُعِفَي َلُه َفَمنْ ۚ بِاْلُْرِّ َواْلَعْبُد بِاْلَعْبِد َواْْلُنْ َثىَٰ بِاْْلُنْ َثىَٰ اْْلُرُّ ۚ يَا أَي َُّها الَِّذيَن آَمُنوا ُكِتَب َعَلْيُكُم اْلِقَصاُص ِف اْلَقت ِْلكَ ۚ ِمْن َأِخيِه َشْيٌء فَاتَِّباٌع بِاْلَمْعُروِف َوأََداٌء إِلَْيِه بِِإْحَساٍن ِلَك ۚ َوَرْْحَةٌ َربُِّكمْ ِمنْ ََتِْفيفٌ ذََٰ َفَمِن اْعَتَدىَٰ بَ ْعَد ذََٰ
فَ َلُه َعَذاٌب أَلِيٌم
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-
orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita
dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah
(yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar
(diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu,
maka baginya siksa yang sangat pedih.”
Menurut Prof.Drs.H.A.Dzajuli bahwa maksud dari pokok hukuman adalah
memelihara dan menciptakan kemaslahatan manusia dan menjaga dari hal-hal yang
masfsadah, serta memberi petunjuk dan pembelajaran kepada manusia, hukum pidana yang
merupakan aturan-aturan yang bersumber dari syariat islam yang memiliki tujuan yang luhur
dan baik untuk kepentingan pelaku tindak pidana maupun masyarakat pada umumnya.
5. Pembagian Tindak Pidana Menurut hukum Pidana Islam
Dilihat dari segi hukuman yang diancamkan dalam hukum Pidana Islam terdapat
beberapa jenis tindak pidana atau jarimah. Dimana jarimah tersebut diancamkan kepada
Terdakwa baik tindak pidana tersebut dilakukan dengan sengaja atau tidak disengaja
berdasarkan berat ringannya hukuman. Jenis-jenis tersebut sebagai berikut:
a. Jarimah Hudud
Jarimah Hudud, yaitu jarimah yang diancamkan hukuman had yaitu hukuman yang
telah ditentukan dan telah menjadi hak Allah SWT. Dan yang dimaksud dengan hak Allah
31
Q.S Al-Baqarah: 178
-
40
adalah hukuman tersebut tidak bias dihapuskan oleh perorangan ataupun masyarakat yang
diwakili oleh negara. Adapun tindak pidana yang diancamkan hukuman had salah satunya
adalah perzinahan yaitu Ulama Hanafiyah mendefinisikan zina adalah hubungan seagama
yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan dari depan yang bukan miliknya (haknya).
Sedangkan menurut Malikiyah yang dimaksud dengan zina adalah senggama seorang laki-
laki kepada farji perempuan yang bukan haknya dengan sengaja. Menurut Dzahiri zina adalah
hubungan senggama yang diharamkan. Ancaman tersebut telah termasuk dalam Al-Quran. 32
b. Jarimah Qishas dan Diyat
Qishash berasal dari kata قصاص yang artinya memotong atau berasal dari
kata Iqtassan yang artinya mengikuti, yakni mengikuti perbuatan si penjahat sebagai
pembalasan atas perbuatannya. Menurut syara' qishash ialah hukuman balasan seimbang bagi
pelaku pembunuhan maupun perusakan atau penghilangan fungsi anggota tubuh orang lain
yang dilakukan dengan sengaja.
Berdasarkan pengertian di atas maka qishash dibedakan menjadi dua yaitu:
1.Qishash pembunuhan (yang merupakan hukuman bagi pembunuh).
2.Qishash anggota badan (yang merupakan hukuman bagi pelaku tindak pidana melukai,
merusak atau menghilangkat fungsi anggota badan).
Hukuman qishash wajib dilakukan apabila memenuhi syarat-syarat sebagaimana
berikut:33
1. Orang yang terbunuh terpelihara darahnya (orang benar baik).
Jika seorang mukmim membunuh orang kafir, orang murtad, pezina yang sudah
menikah, ataupun seorang pembunuh, maka dalam hal ini hukuman qishash tidak berlaku.
Seorang muslim yang membunuh kafir ini tidak diqishash dan tidak dikenai hukuman
apapun. Kafir yang berada di bawah kekuasaan penguasa muslim dan berinteraksi secara
damai dengan kalangan muslimin. Penguasa muslim berhak menghukum seorang muslim
yang membunuh kafir dzimmi. Semakin jelas disini, bahwa pada prinsipnya seorang muslim
harus menghargai siapa pun, termasuk juga kalangan non muslim, selama mereka tidak
berniat menghancurkan dinul Islam dan mendzalimi kalangan muslimin.
2. Pembunuh sudah baligh dan berakal.
Orang yang berakal adalah orang yang sehat sempurna pikirannya, dapat membedakan
baik dan buruk, benar dan salah, mengetahui kewajiban, dibolehkan dan yang dilarang, serta
yang bermanfaat dan yang merusak. Seseorang yang sudah baligh dibebani hukum syarak
32Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Beirut: Daar Al-Fikr, 1983 jilid 2),426.
33Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, 200
-
41
apabila ia berakal dan mengerti hukum tersebut. Orang bodoh dan orang gila tidak dibebani
hukum karena mereka tidak dapat mengerti hukum dan tidak dapat membedakan baik dan
buruk, maupun benar dan salah.
3. Pembunuh bukan bapak (orang tua dari terbunuh).
Dalam hal ini hakim berhak menjatuhkan ta'zir kepada orang tua tersebut, semisal
mengasingkannya dalam rentangw aktu tertentu atau hukuman lain sehingga membuatnya ia
jera. Adapun jika seorang anak membunuh orang tuanya maka ia wajib dihukum qishash.
4. Orang yang dibunuh sama derajatnya dengan orang yang membunuh.
Seperti muslim dengan muslim, merdeka dengan merdeka, dan hamba dengan hamba.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Al- Baqarah ayat 178: 34
َلى ُعِفَي َلُه َفَمنْ ۚ بِاْلُْرِّ َواْلَعْبُد بِاْلَعْبِد َواْْلُنْ َثىَٰ بِاْْلُنْ َثىَٰ اْْلُرُّ ۚ يَا أَي َُّها الَِّذيَن آَمُنوا ُكِتَب َعَلْيُكُم اْلِقَصاُص ِف اْلَقت ِْلكَ ۚ ِمْن َأِخيِه َشْيٌء فَاتَِّباٌع بِاْلَمْعُروِف َوأََداٌء إِلَْيِه بِِإْحَساٍن ِلَك ۚ َوَرْْحَةٌ َربُِّكمْ ِمنْ ََتِْفيفٌ ذََٰ َفَمِن اْعَتَدىَٰ بَ ْعَد ذََٰ
أَلِيٌم فَ َلُه َعَذابٌ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-
orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita
dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah
(yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar
(diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu,
maka baginya siksa yang sangat pedih.”
5. Qishash dilakukan dalam hal yang sama.
Misalnya jiwa dengan jiwa, mata dengan mata, dan lain sebagainya. Sebagaimana
firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 45: 35
ْفِس َواْلَعْْيَ بِاْلَعْْيِ َواْْلَْنَف بِاْْلَْنِف َواْْلُُذَن بِاْْلُ ْفَس بِالن َّ َنا َعَلْيِهْم ِفيَها َأنَّ الن َّ نِّ َواْْلُُروَح وََكَتب ْ نَّ بِالسِّ ُذِن َوالسِّقَ َفَمنْ ۚ ِقَصاٌص ارَةٌ فَ ُهوَ ِبهِ َتَصدَّ ُ فَُأولََِٰئَك ُهُم الظَّاِلُموَن لَْ َوَمنْ ۚ َلهُ َكفَّ ََيُْكْم ِبَا أَنْ َزَل اَّللَّ
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan
gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka
melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim.”
Sedangkan Diyat adalah Hukuman pokok bagi pembunuhan dan penganiayaan semi
sengaja dan tidak sengaja. Diyat menurut bahasa berarti denda, tebusan atau ganti rugi.
Sedangkan diyat menurut istilah syara’ diyat adalah pemberian sejumlah barang atau uang
34
Q.S Al-Maidah: 178 35
Q.S Al-Maidah: 45
-
42
kepada keluarga korban untuk menghilangkan dendam, meringankan beban korban dan
keluarganya sebagai ganti hukum qishosh yang telah dimaafkan oleh keluarga korban,diyat
diisyaratkan dalam pembunuhan dan penganiayaan.
c. Jarimah Ta’zir
Tazir menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ditulis dengan "ta`zir" yang artinya
hukuman yang dijatuhkan atas dasar kebijaksanaan hakim karena tidak terdapat dalam
Alquran dan hadis. Sedangkan secara istilah adalah hukuman yang diberika kepada pelaku
dosa-dosa yang tidak diatur dalam hudud atau aturan. Tazir diberlakukan terhadap pelaku
dosa sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukan sekalipun tidak dijelaskan bentuk
hukumannya baik dalam Alquran dan Hadits. Sehingga hal tersebut ditentukan oleh penguasa
yang berwenang untuk memberikan hukuman.36
6. MedePlegen dalam Hukum Pidana Islam
MedePlegen merupakan melakukan penganiayaan secara bersama-sama, dalam
tindak pidana ini pelakunya paling sedikit harus ada dua orang yaitu yang melakukan
(dederplegen) dan orang yang turut melakukan (medeplegen). Medeplegen dapat terjadi jika
adanya kerjasama secara sadar dan ada pelaksanaan bersama secara fisik adanya kerjasama
secara sadar dan adanya pelaksanaan bersama secara fisik. Dalam Fiqih Jinayah kasus tindak
pidana yang mengakibatkan kematian dengan sengaja melakukan perbuatan yang dilarang
seperti memukul dengan tongkat, cambuk, tangan dan benda-benda yang pada dasarnya tidak
mematikan tetapi yang terjadi korban meninggal akibat penganiayaan tersebut. Tindak pidana
ini berakibatkan pada konsekuensi atau sanksi pada pelaku kejahatan tersebut. Allah SWT
telah menetapkan sanksi bagi pelaku pembunuhan yang bersalah (tidak sengaja) melalui
firmannya Surah Al-Baqarah: 178)37
َلى ُعِفَي َلُه َفَمنْ ۚ بِاْلُْرِّ َواْلَعْبُد بِاْلَعْبِد َواْْلُنْ َثىَٰ بِاْْلُنْ َثىَٰ اْْلُرُّ ۚ يَا أَي َُّها الَِّذيَن آَمُنوا ُكِتَب َعَلْيُكُم اْلِقَصاُص ِف اْلَقت ِْلكَ ۚ ِمْن َأِخيِه َشْيٌء فَاتَِّباٌع بِاْلَمْعُروِف َوأََداٌء إِلَْيِه بِِإْحَساٍن ِلَك ۚ َوَرْْحَةٌ َربُِّكمْ ِمنْ ََتِْفيفٌ ذََٰ َفَمِن اْعَتَدىَٰ بَ ْعَد ذََٰ
فَ َلُه َعَذاٌب أَلِيٌم
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-
orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita
dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah
(yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar
(diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu,
maka baginya siksa yang sangat pedih.”
36
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, 249 37
Q.S Al-Baqarah: 178
https://id.wikipedia.org/wiki/Al-Qur%27anhttps://id.wikipedia.org/wiki/Hadis
-
43
Dengan demikian, pelaksanaan eksekusi qisas, baik penganiayaan maupun
pembunuhan, harus melibatkan pemerintah melalui mekanisme persidangan majelis hakim
pengadilan. Dalam hal ini Indonesia sebagai salah satu negara hukum, dipastikan memiliki
hukum acara, baik bidang perdata maupun pidana, hanya saja bidang pidana Islam hingga
kini belum bisa dilaksanakan sebagaimana yang ditetapkan Al-Quran dan Hadi
top related