bab ii tinjauan umum tentang penyidikan dalam...
Post on 01-Feb-2018
221 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PENYIDIKAN DALAM KERANGKA
PENCEKALAN (PENCEGAHAN – PENANGKALAN)
A. Penyidikan, Penyidik, Tugas dan Kewenangannya.
1. Pengertian Penyidikan
Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah
penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya tindak
pidana dalam suatu peristiwa. Ketika diketahui ada tindak pidana terjadi, maka saat
itulah penyidikan dapat dilakukan berdasarkan hasil penyelidikan. Pada tindakan
penyelidikan, penekanannya diletakkan pada tindakan “mencari dan menemukan”
suatu “peristiwa” yang dianggap atau diduga sebagai tindakan pidana. Sedangkan
pada penyidikan titik berat penekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta
mengumpulkan bukti”. Penyidikan bertujuan membuat terang tindak pidana yang
ditemukan dan juga menentukan pelakunya.
Pengertian penyidikan tercantum dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP yakni
dalam Bab I mengenai Penjelasan Umum, yaitu:
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”40
Berdasarkan rumusan Pasal 1 butir 2 KUHAP, unsur-unsur yang
terkandung dalam pengertian penyidikan adalah:
40 Undang-Undang Nomor Tentang Kitab Undang-Undang Hukum acara Pidana, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981., Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76 tahun 1981, Pasal 1 butir 2.
Universitas Sumatera Utara
a. Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang mengandung tindakan-
tindakan yang antara satu dengan yang lain saling berhubungan;
b. Penyidikan dilakukan oleh pejabat publik yang disebut penyidik;
c. Penyidikan dilakukan dengan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
d. Tujuan penyidikan ialah mencari dan mengumpulkan bukti, yang dengan
bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi, dan menemukan
tersangkanya.
Berdasarkan keempat unsur tersebut dapat disimpulkan bahwa sebelum
dilakukan penyidikan, telah diketahui adanya tindak pidana tetapi tindak pidana itu
belum terang dan belum diketahui siapa yang melakukannya. Adanya tindak
pidana yang belum terang itu diketahui dari penyelidikannya.41
Penyidik menurut Pasal 1 butir ke-1 KUHAP adalah pejabat polisi Negara
Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. KUHAP
lebih jauh lagi mengatur tentang penyidik dalam pasal 6, yang memberikan batasan
pejabat penyidik dalam proses pidana. Adapun batasan pejabat dalam tahap
penyidikan tersebut adalah pejabat penyidik POLRI dan Pejabat penyidik negeri
sipil.
2. Pengertian Penyidik
42
Disamping yang diatur dalam Pasal 1 butir ke 1 KUHAP dan Pasal 6
KUHAP, terdapat lagi Pasal 10 yang mengatur tentang adanya penyidik pembantu
41 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di In donesia , (Malang: Bayumedia Publishing, April 2005), hal.380-381
42 Undang-Undang Nomor Tentang Kitab Undang-Undang Hukum acara Pidana, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981., Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76 tahun 1981., Pasal 6 Ayat 1 .
Universitas Sumatera Utara
disamping penyidik.43
a. Pejabat Penyidik Polri
Untuk mengetahui siapa yang dimaksud dengan orang yang
berhak sebagai penyidik ditinjau dari segi instansi maupun kepangkatan,
ditegaskan dalam pasal 6 KUHAP. Dalam pasal tersebut ditentukan instansi dan
kepangkatan seorang pejabat penyidik. Bertitik tolak dari ketentuan pasal 6
KUHAP yang dimaksud, yang berhak diangkat sebagai pejabat penyidik antara
lain adalah:
Agar seorang pejabat kepolisian dapat diberi jabatan sebagai penyidik,
maka harus memenuhi syarat kepangkatan sebagaimana hal itu ditegaskan dalam
Pasal 6 ayat (2) KUHAP. Menurut penjelasan Pasal 6 ayat 2, kedudukan dan
kepangkatan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah, diselaraskan dan
diseimbangkan dengan kedudukan dan kepangkatan penuntut umum dan hakim
peradilan umum. Peraturan Pemerintah yang mengatur masalah kepangkatan
penyidik adalah berupa PP Nomor 27 Tahun 1983. Syarat kepangkatan dan
pengangkatan pejabat penyidikan antara lain adalah sebagai berikut:
1. Pejabat Penyidik Penuh
Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai pejabat “penyidik penuh”, harus
memenuhi syarat-syarat kepangkatan dan pengangkatan,yaitu:
a. Sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi;
b. Atau yang berpangkat bintara dibawah Pembantu Letnan Dua apabila
dalam suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang
berpangkat Pembantu Letnan Dua;
43 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, cet VII (Jakarta: Sinar Grafika),., hal 110.
Universitas Sumatera Utara
c. Ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia
2. Penyidik Pembantu
Pasal 10 KUHAP menentukan bahwa Penyidik Pembantu adalah Pejabat
Kepolisan Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian
Negara menurut syarat-syarat yang diatur denganperaturan pemerintah.44
Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai “penyidik pembantu” diatur didalam
Pasal 3 PP Nomor 27 Tahun 1983. Menurut ketentuan ini, syarat kepangkatan
untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik pembantu: 45
a. Sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi;
b. Atau pegawai negeri sipil dalam lingkungan Kepolisian Negara dengan
syarat sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (Golongan
II/a);
c. Diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia atas usul
komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing.
b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Penyidik Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b
KUHAP, yaitu pegawai negeri sipil yang mempunyai fungsi dan wewenang
sebagai penyidik. Pada dasarnya, wewenang yang mereka miliki bersumber pada
undang-undang pidana khusus, yang telah menetapkan sendiri pemberian
44Nico Ngani, I Nyoman Budi Jaya; Hasan Madani, Mengenal Hukum Acara Pidana, Bagian Umum Dan Penyidikan . (Yogyakarta: Liberty) hal 19
45 M.Yahya Harahap,. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, cet VII (Jakarta: Sinar Grafika),. , hal. 111-112
Universitas Sumatera Utara
wewenang penyidikan pada salah satu pasal.46
3. Tugas dan Kewenangan penyidikan yang ditentukan didalam KUHAP
Wewenang penyidikan yang
dimiliki oleh pejabat pegawai negeri sipil hanya terbatas sepanjang yang
menyangkut dengan tindak pidana yang diatur dalam undang-undang pidana
khusus itu. Hal ini sesuai dengan pembatasan wewenang yang disebutkan dalam
Pasal 7 ayat (2) KUHAP yang berbunyi:
“Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi landasan hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri”
Yang berwenang melakukan penyidikan dicantumkan dalam Pasal 6
KUHAP, namun pada praktiknya, sekarang ini terhadap beberapa tindak pidana
tertentu ada penyidik-penyidik yang tidak disebutkan di dalam KUHAP. Untuk itu
pada subbab ini akan dipaparkan siapa sajakah penyidik yang disebutkan di dalam
KUHAP dan siapa saja yang juga yang merupakan peyidik namun tidak tercantum
di dalam KUHAP. Adapun tugas penyidik itu sendiri antara lain adalah:
Pertama, membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 75 KUHAP. (pasal 8 ayat (1) KUHAP)
Kedua , menyerakan ber kas perkara kepada penuntut umum. (Pasal 8 ayat (2)
KUHAP),
Ketiga , penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang
terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana korupsi
wajib segera melakukan penyidikan yang diperlukan (Pasal 106 KUHAP),
46Ibid., hal.113
Universitas Sumatera Utara
Keempat, menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada
penuntut umum (Pasal 8 ayat (3) KUHAP),
Kelima , dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa
yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal tersebut kepada
penuntut umum. (Pasal 109 ayat (1) KUHAP),
Keenam , wajib segera menyerahkan berkas perkara penyidikan kepada penuntut
umum, jika penyidikan dianggap telah selesai. (Pasal 110 ayat (1) KUHAP).
Ketujuh , dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk
dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan
petunjuk dari penuntut umum (Pasal 110 ayat (3) KUHAP),
Kedelapan , setelah menerima penyerahan tersangka, penyidik wajib melakukan
pemeriksaan dan tindakan lain dalam rangka penyidikan (Pasal 112 ayat (2)
KUHAP),
Kesembilan , Sebelum dimulainya pemeriksaan, penyidik wajib memberitahukan
kepada orang yang disangka melakukan suatu tindak pidana korupsi, tentang
haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu
wajib didampingi oleh penasihat hukum (Pasal 114 KUHAP),
Kesepuluh , wajib memanggil dan memeriksa saksi yang menguntungkan bagi
tersangka (Pasal 116 ayat (4) KUHAP),
Kesebelas , wajib mencatat dalam berita acara sesuai dengan kata yang
dipergunakan oleh tersangka (Pasal 117 ayat (2) KUHAP),
Keduabelas , wajib menandatangani berita acara pemeriksaan tersangka dan atau
saksi, setelah mereka menyetuji isinya (Pasal 118 ayat (2) KUHAP),
Universitas Sumatera Utara
Ketigabelas , dalam hal tersangka ditahan dalam waktu satu hari setelah perintah
penahanan dijalankan, penyidik harus mulai melakukan pemeriksaan (Pasal 122
KUHAP),
Keempatbelas , dalam rangka melakukan penggeledahan rumah, wajib terlebih
dahulu menjukkan tanda pengenalnya kepada ter sangka atau keluarganya (Pasal
125 KUHAP),
Kelimabelas , membuat berita acara tentang jalannya dan hasil penggeledahan
rumah (Pasal 126 ayat (1) KUHAP),
Keenambelas , membacakan terlebih dahulu berita acara tentang penggeledahan
rumah kepada yang bersangkutan, kemudian diberi tanggal dan ditandatanganinya,
tersangka atau keluarganya dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua
orang saksi (Pasal 126 ayat (2) KUHAP),
Ketujuhbelas , wajib menunjukkan tanda pengenalnya terlebih dahulu dalam hal
melakukan penyitaan (Pasal 128 KUHAP),
Kedelapanbelas , memperlihatkan benda yang akan disita kepada keluarganya dan
dapat minta keterangan tentang benda yang akan disita itu dengan disaksikan oleh
Kepala Desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi (Pasal 129 ayat (1)
KUHAP),
Kesembilanbelas , Penyidik membuat berita acara penyitaan (Pasal 129 ayat (2)
KUHAP),
Keduapuluh , menyampaikan turunan berita acara penyitaan kepada atasannya,
keluarganya dan Kepala Desa (Pasal 129 ayat (4) KUHAP),
Universitas Sumatera Utara
Keduapuluh satu , menandatangani benda sitaan sesaat setelah dibungkus (Pasal
130 ayat (1) KUHAP),
Sedangkan kewenangan dari penyidik antara lain adalah:
1. Sesuai dengan pasal 7 ayat (1) KUHAP, penyidik berwenang untuk
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya
tindak pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal diri tersangka;
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g. Memanggil orang untuk diperiksa sebagai tersangka atau saksi
(Pasal 7 ayat (1) jo Pasal 112 ayat (1) KUHAP);
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara;
i. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab;
2. Dalam hal dianggap perlu dapat meminta pendapat seorang ahli atau orang
yang memiliki keahlian khusus (Pasal 120 KUHAP jo Pasal 133 ayat (1)
KUHAP).
Universitas Sumatera Utara
3. Penyidik dapat mengabulkan permintaan tersangka, keluarga, atau
penasihat hukum tersangka atas penahanan tersangka (Pasal 123 ayat (2)
KUHAP).
4. Penyidik dapat mengadakan penjagaan atau penutupan tempat atau rumah
yang digeledah demi keamanan dan ketertiban (Pasal 127 ayat (1)
KUHAP).
5. Penyidik berhak memerintahkan setiap orang yang dianggap perlu tidaknya
meninggalkan tempat terrsebut selama penggeledahan berlangsung (Pasal
127 ayat (2) KUHAP).
6. Dalam hal timbul dugaan kuat ada surat palsu atau yang dipalsukan,
penyidik dengan izin ketua pengadilan negeri setempat dapat datang atau
dapat minta kepada pejabat penyimpan umum yang wajib dipenuhi, supaya
ia mengirimkan surat asli yang disimpannya itu kepadanya untuk dipakai
sebagai bahan perbandingan (Pasal 132 ayat (2) KUHAP)
Dalam melaksanakan tugasnya tersebut Penyidik wajib menjunjung tinggi
hukum yang berlaku. Untuk itu Penyidik membuat berita acara pelaksanaan
tindakan (Pasal 75 KUHAP) tentang:47
1. Pemeriksaan tersangka;
2. Penangkapan;
3. Penahanan;
4. Penggeledahan;
5. Pemasukan rumah;
47 Darwan Prinst,Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta: Djambatan, 1989)., hal 92-93.
Universitas Sumatera Utara
6. Penyitaan benda;
7. Pemeriksaan surat;
8. Pemeriksaan saksi;
9. Pemeriksaan tempat kejadian;
10. Pelaksanaan Penetapan dan Putusan Pengadilan
11. Pelaksanaan tindakan lain sesuai KUHAP.
4. Proses Pemeriksaan Penyidikan yang Dilakukan Oleh Penyidik
Pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik difokuskan sepanjang hal yang
meyangkut persoalan hukum. Titik pangkal pemeriksaan dihadapan penyidik ialah
tersangka. Dari dialah diperoleh keterangan mengenai peristiwa pidana yang
sedang diperiksa. Akan tetapi, sekalipun tersangka yang menjadi titik tolak
pemeriksaan, terhadapnya harus diberlakukan asas akusatur. Tersangka harus
ditempatkan pada kedudukan menusia yang memiliki harkat martabat. Dia harus
dinilai sebagai subjek, bukan sebagai objek. Yang diperiksa bukan manusia
tersangka. Perbuatan tindak pidana yang dilakukannyalah yang menjadi objek
pemeriksaan. Pemeriksaan tersebut ditujukan ke arah kesalahan tindak pidana yang
dilakukan oleh tersangka. Tersangka harus dianggap tak bersalah, sesuai dengan
prinsip hukum “praduga tak bersalah” (presumption of innocent ) sampai diperoleh
putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.48
Pada pemeriksaan tindak pidana, tidak selamanya hanya tersangka saja
yang harus diperiksa. Adakalanya diperlukan pemeriksaan saksi atau ahli. Demi
48 M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, cet VII (Jakarta: Sinar Grafika),., hal 134
Universitas Sumatera Utara
untuk terang dan jelasnya peristiwa pidana yang disangkakan. Namun, kepada
tersangka harus ditegakkan perlindungan harkat martabat dan hak-hak asasi,
kepada saksi dan ahli, harus juga diperlakukan dengan cara yang
berperikemanusiaan dan beradab.
Menurut Buku Petunjuk Pelaksanaan Tentang Proses Penyidikan Tindak
Pidana, yang ditetapkan oleh Kapolri Jendral Polisi Drs. Rusdihardjo tanggal 1
September 2000 di Jakarta, di dalam Bab II (Penggolongan) disebutkan bahwa
kegiatan-kegiatan pokok dalam rangka penyidikan tindak pidana dalam buku
petunjuk pelaksanaan (Bujuklak) ini dapat digolongkan sebagai berikut:49
a. Penyidikan tindak pidana meliputi:
1. Penyelidikan
2. Penindakan
a. Pemanggilan
b. Penangkapan
c. Penahanan
d. Penggeledahan
e. Penyitaan
3. Pemeriksaan
a. Saksi
b. Ahli
c. Tersangka
49 Luhut M.P. Pangarib uan, Hukum Acara Pidana, Satu Kompilasi Ketentuan ketentuan KUHAP dan Hukum Internasio nal, Cet-III ,(Jakarta: Djamb atan), hal 735
Universitas Sumatera Utara
4. Penyelesaian dan Penyerahan Berkas Perkara
a. Pembuatan Resume
b. Penyusunan Berkas Perkara
c. Penyerahan Berkas Perkara
b. Dukungan Teknis Penyidikan
c. Administrasi Penyidikan
d. Pengawasan dan Pengendalian Penyidikan.
Jadi, dapat diketahui proses penyidikan menurut Bujuklak adalah seperti
rangkaian yang telah penulis uraikan diatas tersebut. Akan tetapi, penyidik Polri
tidak secara serta-merta dapat melakukan kegiatan penyidikan dengan semaunya,
melainkan ada juga batasan-batasan yang harus diikuti oleh penyidik tersebut agar
tidak melanggar hak asasi manusia mengingat kekuasaan penyidik dalam
melakukan rangkaian tindakan tersebut terlampau besar. Batasan-batasan kegiatan
penyidik tersebut terdapat pada Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak
Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisan Republik Indonesia. Di
dalam pasal 13 ayat (1) Peraturan tersebut disebutkan, dalam melaksanakan
kegiatan penyelidikan, setiap petugas POLRI dilarang:
a. Melakukan intimidasi, ancaman, siksaan fisik, psikis ataupun seksual untuk
mendapatkan informasi, keterangan atau pengakuan;
b. Menyuruh atau menghasut orang lain untuk melakukan tindakan kekerasan
di luar proses hukum atau secara sewenang-wenang
c. Memberitakan rahasia seseorang yang berperkara;
Universitas Sumatera Utara
d. Memanipulasi atau berbohong dalam membuat atau menyampaikan
laporan hasil penyelidikan;
e. Merekayasa laporan sehingga mengaburkan investigasi atau
memutarbalikkan kebenaran;
f. Melakukan tindakan yang bertujuan untuk meminta imbalan dari pihak
yang berperkara;
Mengenai batasan-batasan tentang tindakan pemeriksaan yang dilakukan
Penyidik dalam rangka proses penyidikan, juga terdapat batasan-batasan yang
dituangkan di dalam peraturan a quo tersebut. Batasan-batasan tersebut terdapat
di dalam Pasal 27 Ayat (2), yang menyebutkan:
Dalam melakukan pemeriksaan terhadap saksi, tersangka atau terperiksa, petugas
dilarang:
a. Memeriksa saksi, tersangka atau terperiksa sebelum didampingi
penasihat hukumnya, kecuali atas persetujuan yang diperiksa;
b. Menunda-nunda waktu pemeriksaan tanpa alasan yang sah, sehingga
merugikan pihak terperiksa;
c. Tidak menanyakan keadaan kesehatan dan kesiapan yang diperiksa pada
awal pemeriksaan;
d. Tidak menjelaskan status keperluan terperiksa dan tujuan pemeriksaan;
e. Mengajukan pertanyaan yang sulit dipahami terperiksa, atau dengan cara
membentak-bentak, menakuti atau mengancam terperiksa;
f. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak relevan dengan tujuan
pemeriksaan;
Universitas Sumatera Utara
g. Melecehkan, merendahkan martabat dan/atau tidak menghargai hak
terperiksa;
h. Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan yang bersifat fisik atau
psikis dengan maksud untuk mendapatkan keterangan, informasi atau
pengakuan;
i. Memaksa saksi, tersangka/terperiksa untuk memberikan informasi
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan rahasia jabatannya;
j. Membujuk, mempengaruhi atau memperdaya pihak yang diperiksa untuk
melakukan tindakan atau tidak melakukan tindakan yang dapat merugikan
hak-hak yang diperiksa;
k. Melakukan pemeriksaan pada malam hari tanpa didampingi oleh
penasehat hukum dan tanpa alasan yang sah;
l. Tidak memberikan kesempatan kepada terperiksa untuk istirahat,
melaksanakan ibadah, makan, dan keperluan pribadi lainnya tanpa
alasan yang sah;
m. Memanipulasi hasil pemeriksaan dengan tidak mencatat sebagian
keterangan atau mengubah keterangan yang diberikan terperiksa yang
menyimpang dari tujuan pemeriksaan;
n. Menolak saksi atau tersangka untuk mengajukan saksi yang meringankan
untuk diperiksa;
o. Menghalang-halangi penasehat hukum untuk memberi bantuan hukum
kepada saksi/tersangka yang diperiksa;
p. Melakukan pemeriksaan ditempat yang melanggar ketentuan hukum;
Universitas Sumatera Utara
q. Tidak membacakan kembali hasil pemeriksaan kepada yang diperiksa
dengan bahasa yang dimengerti, sebelum pemeriksaan diakhiri; dan
r. Melalaikan kewajiban tanda tangan pemeriksa, terperiksa dan/atau orang
yang menyelesaikan jalannya pemeriksaan.
5. Proses Penyidikan oleh KPK
Istilah “penyidikan” memiliki persamaan arti dengan “pengusutan”, yang
merupakan terjemahan dari istilah Belanda “osporing” atau yang dalam bahasa
Inggrisnya “ Investigation” . Istilah penyidikan pertama-tama digunakan sebagai
istilah yuridis dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan
Pokok Kepolisian Negara.50
Secara konkrit penyidikan dapat diperinci sebagai tindakan yang dilakukan
oleh Penyidik untuk mendapatkan keterangan tentang:
Kini dengan adanya Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) telah tercipta persamaan persepsi diantara para Sarjana
Hukum tentang pengertian penyidikan.
51
a. Tindak pidana yang telah dilakukan;
b. Kapan tindak pidana itu dilakukan;
c. Dimana tindak pidana itu dilakukan;
d. Dengan apa tindak pidana itu dilakukan
e. Bagaimana tindak pidana itu dilakukan
f. Mengapa tindak pidana itu dilakukan; dan
g. Siapa pembuatnya atau yang melakukan tindak pidana itu
50 Djoko Prakoso, POLRI Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum, cet. 1, (Jakarta: Bina AKsara, 1 987), hal. 5
51 Ibid, hal 7
Universitas Sumatera Utara
Di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, yang mengatur tentang
Komisi Pemeberantasan Korupsi tidak terdapat definisi secara tersendiri tentang
pengertian penyidikan. Hal tersebut dikarenakan pandangan pembentuk undang-
undang yang menganggap bahwa definisi penyidikan yang diberikan KUHAP
dirasakan sudah cukup, sehingga pengertian penyidikan menurut Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 adalah sama dengan pengertian penyidikan yang ada
didalam KUHAP. Dengan demikian, UU Nomor 30 Tahun 2002 mengambil alih
pengertian tentang penyidikan yang ada di dalam KUHAP untuk menjadi
pengertan menurut UU No. 30 Tahun 2002.
Tidak hanya masalah pengertian penyidikan saja yang diambil alih oleh
UU No. 30 Tahun 2002. Berbagai masalah tentang proses penyidikan yang diatur
didalam UU No. 8 Tahun 1981 juga banyak yang diambil oelh UU No 30 Tahun
2002. Pengambilalihan tersebut tidak dengan menulis ulang isi pasal-pasal itu
dalam UU Nomor 30 Tahun 2002, melainkan pengaturan tersebut dimasukkan ke
dalam satu pasal sebagai pasal yang menjembatani. Pasal itu adalah pasal 39 ayat
(1) Undang-Undang No 30 Tahun 2002. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan bedasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undnag-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. 52
Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 merupakan pasal
penting yang menjembatani hubungan antara Undang-Undang No 30 tahun 2002
52 Op.Cit., pasal 39 ayat 1
Universitas Sumatera Utara
dengan KUHAP dan Undang-undang lain yang mengatur tentang hukum acara
pidana dalam hal tindak pidana korupsi. Ketentuan pasal tersebut perlu
diperhatikan karena banyak ketentuan hukum acara tentang proses penyidikan
tindak pidana korupsi yang tersebar dalam berbagai undang-undang yang mengatur
tentang tindak pidana korupsi. Dengan adanya pasal tersebut, maka ketentuan
tentang proses penyidikan yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan lain
dapat dipergunakan juga sebagai hukum acara bagi proses penyidikan tindak
pidana korupsi, sepanjang tidak bertentangan dengan UU Nomor 30 Tahun 2002.
Tindakan penyidikan ini dalam prakteknya dilakukan oleh seorang yang
disebut penyidik. Menurut KUHAP yang disebut penyidik adalah “pejabat polisi
negara Republik Indonesia atau pegawai negeri sipil tertentu untuk melakukan
penyidikan” .53 Sedangkan menurut UU No 30 Tahun 2002 penyidikan tindak 53
pidana korupsi dilakukan oleh penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi
(Penyidik KPK). Penyidik KPK adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan
Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.54
Sebelum penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi
melakukanpenyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi, terlebih dahulu
penyidik harus mengetahui mengenai terjadinya tindak pidana korupsi tersebut.
Pengetahuan tentang telah terjadinya tindak pidana korupsi dapat diketahui dari
proses penyelidikan. Penyelidikan tersebut dilakukan oleh penyelidik pada Komisi
Penyidik KPK memiliki tugas untuk melakukan tugas penyidikan terhadap tindak
pidana korupsi yang menjadi kewenangannya.
53Op.Cit ., pasal 1 butir 1 54 Op.Cit., pasal 45 ayat 1
Universitas Sumatera Utara
Pemberantasan Korupsi (penyelidik KPK). Penyelidik KPK adalah penyelidik
pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi. Penyelidik KPK bertugas untuk melakukan penyelidikan
tindak pidana korupsi .55 Dalam setiap penyelidikan yang dilakukan oleh
penyelidik KPK harus berdasarkan perintah Komisi Pemberantasan Korupsi. Dan
penyelidikan yang dilakukan oleh penyelidik KPK tersebut adalah untuk dan atas
nama Komisi Pemberantasan Korupsi .56
Menurut UU Nomor 30 tahun 2002 yang dimaksud dengan bukti permulaan yang
cukup adalah:
Setelah penyelidik KPK mndapat kepastian berdasarkan bukti permulaan
yang cukup, bahwa suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana benar-benar
merupakan suatu tindak pidana korupsi, kemudian penyelidik melaporkan
mengenai terjadinya tindak pidana korupsi tersebut kepada Komisi Pemberantasan
Korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi kemudian akan nebebtukan apakah
terhadap tindak pidana itu dapat atau tidak dapat dilakukan penyidikan. Jika
menurut pendapat Komisi Pemberantasan Korupsi bahwa berdasarkan
pemeriksaan pendahuluan tersebut tidak terdapat bukti permulaan yang cukupmaka
Komisi Pemberantasan Korupsi menghentikan penyelidikan. Namun bila Komisi
Pemberantasan Korupsi berpendapat bahwa telah terdapat bukti permulaan yang
cukup, maka selanjutnya Komisi Pemberantasan Korupsi akan memerintahkan
agar tindak pidana korupsi tersebut diteruskan ke tahap penyidikan.
57
55 Ibid, Pasal 44 56 Ibid, Pasal 39 57 Ibid, Pasal 44 ayat (2)
Universitas Sumatera Utara
“Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan baik secara biasa maupun secara elektronik atau optik.” Berdasarkan ketentuan tersebut maka agar penyelidikan tindak pidana
korupsi dapat ditingkatkan menjadi penyidikan maka harus diperoleh bukti
permulaan yang cukup yaitu berupa sekurang-kurangnya 2 alat bukti.
Mengenai apa yang dimaksud dengan alat bukti yang sah diatur dalam
KUHAP pasal 184 ayat (1) yang berbunyi:58
a. Keterangan saksi;
Alat bukti yang sah adalah:
b. Keterangan ahli;
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa
Selain dapat diperoleh dari alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam
pasal 184 ayat (1) KUHAP tersebut, alat bukti juga dapat diperoleh dari informasi
atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan, baik secara biasa
maupun secara elektronik atau optik. Yang dimaksud dengan informasi atau data
yang disimpan secara elektronik nisaknya adalah data yang disimpan dalam mikro
film, Compact Disk Read Only Memory (CD ROM) atau Write Once Read Many
(WORM). Sedangkan yang dimaksud dengan informasi atau data yang tersimpan
pada alat optik adalah data penghubung elektronik (electronic interchange), surat
58 Op.Cit. pasal 184 ayat (1)
Universitas Sumatera Utara
elektronik ( e- mail ), telegram, teleks, dan faksimili .59
Tindak pidana korupsi yang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
dilimpahkan kepada Kepolisian atau Kejaksaan wajib dilaporkan
perkembangannya kepada KPK. Hal ini sesuai dengan tugas supervisi yang
diemban KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia. Dengan
adanya kewajiban untuk melaporkan perkembangan kasus tindak pidana korupsi
yang dilimpahkan oleh KPK kepada Kepolisian atau Kejaksaan maka akan
terhindar segala upaya pemeti-esan dalam penyidikan tindak pidana korupsi
tersebut. Dalam hal tindak pidana korupsi terjadi dan KPK belum melakukan
penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh
Kepolisian atau Kejaksaan, Kepolisia atau Kejaksaan tersebut wajib
memberitahukan tentang penyidikan yang dilakukannya kepada KPK paling
lambat 14 hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan. Dalam hal
tersebut diatas maka penyidikan yang dilakukan leh Kepolisian atau Kejaksaan
tersebut wajib dilakukan koordinasi secara terus-menerus dengan KPK.
Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan bahwa penyelidikan
ditingkatkan ke penyidikan, selanjutnya Komisi Pemberantasan Korupsi
menentukan apakah penyidikan akan dilakukan sendiri oleh KPK atau diserahkan
kepada Kejaksaan atau Kepolisian. Hal tersebut dikarenakan tidak semestinya
kasus korupsi menjadi kewenangan KPK. Jika tidak memenuhi persyaratan maka
tindak pidana korupsi tersebut diserahkan kepada Kejaksaan atau Kepolisian.
60
59 Undang -Undang tentang Perubahan Atas UU No, 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 2 0 Tahun 2001, LN No.134, TLN No. 4150, penjelasan pasal 26 A huruf a.
60 Ibid, Pasal 50 ayat (1) dan (2)
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal KPK udah mulai melakukan penyidikan maka Kepolisian tidak
berwenang langi untuk melakukan penyidikan. Dalam hal penyidikan dilakukan
bersamaan oleh Kepolisian dan/atau Kejaksaan dan KPK, penyidikan yang
dilakukan oleh Kepolisian atau Kejaksaan tersebut segera dihentikan.61
Dalam hal penyidik KPK telah mulai melakukan penyidikan suatu
peristiwa yang dipandang sebagai tindak pidana korupsi, penyidik
memberitahukan hal tersebut kepada penuntut pada Komisi Pemberantasan
Korupsi (penuntut KPK).
Ketentuan
tersebut diatas adalah untuk menghindari terjadinya overlapping serta
kesemrawutan dalam penyidikan tindak pidana korupsi. Dengan adanya ketentuan
diatas diharapkan tidak terjadi kebingungan di dalam masyarakat tentang
kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan
oleh institusi KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan. Karena sebelum adana KPK,
masyarakat bingung tentang institusi yang berwenang untuk melakukan penyidikan
tindak pidana korupsi. Dimana saat itu terjadi dualisme kewenangan antara
kepolisian dan kejaksaan.
62
61 Ibid, pasal 50 ayat (3) dan (4) 62 Hal ini berdasarkan ketentuan KUHAP pasal 109 ayat (1) jo UU No. 30 tahun 2002
pasal 39 ayat (1)
Pemberitahuan tersebut dilakukan agar penuntut KPK
dapat mengikuti perkembangan penyidikan dari kasus tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh penyidik KPK. Pemberitahuan tersebut dilakukan dalam rangka
upaya pengawasan dari penuntu KPK terhadap penyidik KPK agar kasus tindak
pidana korupsi tersebut disidik secara penuh tanggung jawab oleh penyidik KPK.
Hal tersebut harus dilakukan penyidik KPK walaupun penyidik KPK tidak
memiliki kewenangan untuk menghentikan penyidikan atas tindak pidana korupsi
Universitas Sumatera Utara
yang ditanganinya.63
a. Interview
Karena tidak adanya kewenangan penyidik KPK untuk
menghentikan penyidikan yang dilakukannya tidak menghapuskan kewajibannya
untuk memberitahukan penuntut KPK tentang penyidikan atas tindak pidana
korupsi yang disidiknya.
Di dalam melakukan tugas penyidikannya, penyidik KPK dapat melakukan
pemeriksaan terhadap tersangka pelaku dan orang-orang terkait dengan tindak
pidana korupsi. Pemeriksaan tersebut pada dasarnya bertujuan untuk mendapatkan
keterangan-keterangan yang diperlukan guna membuat terang suatu tindak pidana
korupsi yang terjadi. Dengan dilakukannya pemeriksaan terhadap tersangka pelaku
dan orang-orang yang terkait dengan tindak pidana korupsi juga dapat membuat
terang tentang siapa saja yang menjadi pelaku tindak pidana korupsi tersebut dan
apa perannya masing-masing dalam tindak pidana korupsi tersebut. Hasil
pemeriksaan yang dilakukan tersebut kemudian akan dimasukkan dalam Berita
Acara Pemeriksaan. Berita Acara Pemeriksaan inilah yang kemudian akan menjadi
pegangan dalam proses selanjutnya. Dalam melakukan pemeriksaan biasanya
digunakan metode:
b. Interogasi
c. Konfrontasi
Dalam pemeriksaan terhadap tersangka pelaku tindak pidana korupsi perlu
dilakukan hal-hal sebagai berikut :
63 Penyidik KPK tidak lagi berwenang untuk melakukan pen ghentian penyidikan dalam tindak pidana korupsi berdasarkan ketentuan UU No. 30 Tahun 2002 pasal 40.
Universitas Sumatera Utara
a. Penyidik memberitahukan kepada tersangka tentang hak-haknya, terutama
haknya untuk mendapatkan bantuan hukum; 64
b. Memberitahukan kepada saksi atau orang lain yang terkait untuk tidak
menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang dapat memberi
kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor .
65
c. Saksi diperiksa dengan tidak disumpah kecuali apabila ada cukup alasan
untuk diduga bahwa ia tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di
pengadilan. Saksi diperiksa secara tersendiri, tetapi boleh dipertemukan
yang satu dengan yang lain dan mereka wajib memberikan keterangan yang
sebenarnya. Penyidik menanyakan kepada tersangka apakah memiliki saksi
atau ahli yang menguntungkan yang akan diajukan olehnya. Bilamana ada
maka hal tersebut dicatat dalam Berita Acara Pemeriksaan, kemudian
penyidik KPK memanggil dan memeriksa saksi tersebut.
66
d. Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa
tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun.
67
e. Penyidik KPK mengusahakan untuk mengetahui peranan tersangka
dalam tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa (apakah sebagai dader,
mede dader, mede pleger, uitlokker, atau peran lainnya).
f. Setelah memperoleh keterangan penyidik mencatat keterangan tersebut ke
dalam berita acara yang kemudian ditandatangani oleh penyidik dan oleh
yang memberikan keterangan tersebut setelah mereka menyetujui isinya.
64 Op.Cit., pasal 54 65 Undang-Undang Pemberantasan Tin dak Pidana Korupsi. UU No. 31 Tahun 1999. LN
No. 140 tahun 1999, TLN No 3874, Pasal 31 ayat 2. 66 Op.Cit,. pasal 116 67 Ibid, pasal 117 ayat (1)
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal tersangka atau saksi tidak tidak mau membubuhkan
tandatangannya, penyidik mencatat hal itu dalam berita acara dengan
menyebut alasannya.
g. Agar diperoleh keter angan, petunjuk-petunjuk dan bukti-bukti yang kuat,
maka hasil pemeriksaan tersangka atau saksi yang dituangkan dalam Berita
Acara Pemeriksaan baik secara sendiri-sendiri maupun secara keseluruhan
dievaluasi guna mengembangkan dan mengarahkan pemeriksaan
selanjutnya atau untuk membuat simpulan dari hasil penyidikan yang telah
dilakukan. Dari hasil evaluasi tersebut penyidik KPK dapat menyusun
resume untuk pemberkasan dan penyerahan berkas perkara.
6. Penghentian Penyidikan
Setiap penyidikan perkara pidana, tidak tertutup kemungkinan menemukan
jalan buntu sehingga tidak mungkin lagi melanjutkan penyidikan. Dalam situasi
demikian, penyidik diberi kewenangan untuk melakukan penghentian penyidikan.
KUHAP menyebutkan secara terbatas alasan yang dipergunakan untuk
menghentikan penyidikan. Alasan terbatas ini harus dapat dipertanggungjawabkan
di depan persidangan bila ada pihak yang berwenang mengajukan gugatan
praperadilan. Alasan penghentian penyidikan diatur dalam pasal 109 ayat (2) yaitu
karena tidak cukup bukti , atau peristiwa tersebut bukan peristiwa pidana atau
penyidikan dihentikan demi hukum.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan uraian diatas, maka penghentian penyidikan dapat dirumuskan
sebagaimana berikut:68
a. Karena tidak cukup bukti
Tindakan penyidik menghentikan penyidikan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana karena untuk membuat suatu terang peristiwa itu dan menentukan pelaku-pelaku sebagai tersangkanya tidak terdapat cukup bukti atau dari hasil penyidikan diketahui bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum.
Berdasarkan uraian diatas, berikut lebih lanjut uraian mengenai alasan penghentian
penyidikan, yaitu:
Penyidikan yang tidak memperoleh cukup bukti dan menuntut
tersangka untuk membuktikan kesalahan tersangka di depan persidangan maka
penyidik berwenang menghentikan penyidikan. Mengenai cukup atau tidaknya
bukti dikaitkan dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menyatakan:69
Menurut pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang dinamakan alat bukti yang
sah ialah keterangan saksi, keterangan ahli, sur at, petunjuk dan keterangan
terdakwa.
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan adanya minimal dua alat bukti dan dari alat bukti itu ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar benar terjadi dan terdakwalah pelakunya.”
70
68 Ibid 69 Op.Cit,. pasal 183 70 Ibid., ps 184 ayat (1)
Terhadap penghentian karena alasan tidak cukup bukti, perkara
pidana tidak digolongkan sebagai nebis in idem . Karena keputusan penghentia
penyidikan bukan merupakan putusan badan peradilan. Jika dikemudian hari
ditemukan bukti-bukti baru yang dapat menjadi dasar penuntutan, penyidikan
atas perkara pidana dapat dibuka kembali.
Universitas Sumatera Utara
b. Karena bukan merupakan tindak pidana
Penyidikan telah dilakukan dan ternyata terungkap fakta-fakta yang
tadinya dipersangkakan perbuatan pidana namun ternyata bukan perbuatan
pidana, maka penyidik harus menghentikan penyidikan. Terhadap penghentian
penyidikan dengan alasan bukan merupakan perkara pidana, penyidik tidak
dapat mengadakan penyidikan ulang karena perkara tersebut bukan merupakan
lingkup hukum pidana. Kecuali bila ditemukan indikasi yang kuat
membuktikan sebaliknya.
c. Penyidikan dihentikan demi hukum
Penghentian penyidikan demi hukum ini dikaitkan dengan alasan-
alasan hukum yang mengakibatkan penyidikan tidak dapat dilanjutkan, yaitu:
- Hapusnya hak menuntut pidana karena nebis in idem Seseorang tidak
dapat dituntut untuk kedua kalinya atas dasar perbuatan yang sama,
dimana perbuatan tersebut sudah pernah diadili dan telah diputus
perkaranya oleh hakim pengadilan.71
- Dalam hal delik aduan tidak diajukan pengaduan Jika orang yang
bersangkutan dalam tindak pidana aduan yaitu korban tidak
mengajukan pengaduan maka penyidik tidak diperbolehkan untuk
melakukan penyidikan. Hal ini dikaitkan dengan larangan penuntutan
dalam tindak pidana aduan tanpa adanya aduan seperti yang diatur
71 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pasal 76
Universitas Sumatera Utara
dalam pasal 72 KUHP.72
- Daluarsa (lewat waktu)
Hal ini juga kadang berkaitan dengan
kepentingan pribadi korban yang merasa keberatan jika perkaranya
diketahui orang banyak.
Setelah melewati tenggang waktu tertentu, terhadap suatu tindak
pidana tidak dapat dilakukan penuntutan dengan alasan tindak pidana
tersebut telah melewati batas waktu atau daluarsa. Dengan gugurnya
hak menuntut pidana maka tidak ada lagi alasan kepada penyidik
untuk melakukan penyidikan. Mengenai masalah daluarsa diatur
dalam ketentuan Bab VIII Pasal 78 sampai Pasal 82 tentang hapusnya
hak menuntut pidana dan menjalankan pidana.
- Tersangka pelaku tindak pidana meninggal dunia
Asas dari pemidanaan adalah kesalahan, seseorang tidak dapat
dipidana tanpa adanya kesalahan. Jika tersangka pelaku tindak pidana
meninggal dunia aka kesalahannya terkubur bersama dirinya dan
tidak diwariskan pada ahli warisnya. Sehingga jika pada waktu
penyidikan tersangka meninggal dunia, maka penyidikan terhadap
tersangka harus dihentikan sesuai dengan pasal 83 KUHP.
- Tersangka menderita sakit jiwa
Seorang penderita sakit jiwa, baik yang terus-menerus maupun yang
kumat-kumatan secara hukum tidak mampu
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tidak dapat diketahui
72 Ibid., pasal 72
Universitas Sumatera Utara
dengan pasti apakah perbuatannya itu dilakukan secara sadar atau
tidak, dan apakah ia paham akibat dari perbuatan yang akan
dilakukannya. Hal ini diatur dalam pasal 44 KUHP. Dalam hal
penghentian penyidikan dengan alasan hukum ini tidak dapat
melakukan penyidikan ulang. Kecuali ternyata terdapat bukti yang
kuat ternyata keadaan tersebut rekayasa pelaku.
B. Penyidikan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisan Negara Republik Indonesia Dan Peraturan Pelaksananya 1. Penyidikan Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia
Pengertian penyidikan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ini kurang lebih sama dengan
pengertian penyidikan pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Pada pasal 1 butir ke-10 menyebutkan:73
Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan Sedangkan
Pasal 1 Butir ke-13 menyebutkan:
74
Jadi pada dasarnya, pengertian penyidikan yang ada pada UU
Kepolisian dan KUHAP itu sama. Dalam kegiatan penyidikan yang dilakukan
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”
73 Undang-Undang Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU Nomor 2 Tahun 2002, Lembaran Negara RI Nomor 2 Tahun 2002, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4168, Pasal 1 Butir 10
74 Ibid,. Pasal 1 Butir 13
Universitas Sumatera Utara
oleh Penyidik, didalam UU Kepolisian diberi suatu batasan-batasan. Pasal 16
ayat (2) UU a quo menyebutkan bahwa tindakan penyelidikan dan penyidikan
jika memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan
tersebut dilakukan;
c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan
jabatannya;
d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan
e. Menghormati hak asasi manusia.
2. Tugas dan Kewenangan Penyidik POLRI Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisan Negara Republik Indonesia dan Peraturan Pelaksananya
Pengaturan mengenai tugas dan wewenang penyidik menurut UU
Nomor 2 Tahun 2002 ini memang tersebar didalam pasal-pasalnya. Penulis
dalam hal ini mencoba merinci apa saja yang menjadi tugas dan wewenang
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia ini. Mengenai tugas pokok
kepolisian Negara Republik Indonesia terdapat pada pasal 13 UU a quo,
yaitu:
1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
2. Menegakkan hukum; dan
3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Rumusan tugas pokok tersebut bukan merupakan urutan prioritas,
ketiga-tiganya sama penting, sedangkan dalam pelaksanaannya tugas pokok
mana yang akan dikedepankan sangat tergantung pada situasi masyarakat dan
lingkungan yang dihadapi karena pada dasarnya ketiga tugas pokok tersebut
dilaksanakan secara simultan dan dapat dikombinasikan. Di samping itu, dalam
pelaksanaan tugas ini harus berdasarkan norma hukum, mengindahkan norma
agama, kesopanan, dan kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi
manusia.75
Kelima, Menyelenggar akan indentifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,
laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan kepolisian.
Tugas Penyidik POLRI yang tercantum di dalam Undang- Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
disebutkan antara lain adalah:
Pertama, membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,
kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum
dan peraturan perundang-undangan (Pasal 14 huruf c),
Kedua , Turut serta dalam pembinaan hukum nasional (Pasal 14 huruf d),
Ketiga , Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umun (Pasal 14 huruf
e),
Keempat , Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak
pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan
lainnya (Pasal 14 huruf g),
75 Ibid., Penjelasan Pasal 14
Universitas Sumatera Utara
(Pasal 14 huruf h).
Ketentuan Undang-Undang Hukum Acara Pidana memberikan peranan
utama kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam penyelidikan dan
penyidikan sehingga secara umum diberi kewenangan untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana. Namun demikian,
hal tersebut tetap memperhatikan dan tidak mengurangi kewenangan yang
dimiliki oleh penyidik lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.
Kemudian, mengenai kewenangan Penyidik POLRI yang berkaitan
dengan proses penyidikan menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ini antara lain adalah:
Pertama, Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan
kepolisian dalam rangka pencegahan (Pasal 15 ayat (1) huruf f);
Kedua , Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian (Pasal 15 ayat (1)
huruf g);
Ketiga, Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
(Pasal 15 ayat (1) huruf h);
Keempat, Mencari keterangan dan barang bukti ( Pasal 15 ayat (1) huruf i);
Kelima, Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Sosial (Pasal 15 ayat (1)
huruf j);
Keenam , Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu
(Pasal 15 ayat (1) huruf m);
Ketujuh , Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan
Universitas Sumatera Utara
penyitaan; (Pasal 16 ayat (1) huruf a);
Kedelapan, Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat
kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan (Pasal 16 ayat (1) huruf b);
Kesembilan, Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam
rangka penyidikan (Pasal 16 ayat (1) huruf c);
Kesepuluh, Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri (Pasal 16 ayat (1) huruf d);
Kesebelas , Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat (Pasal 16 ayat (1)
huruf e);
Keduabelas, Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi (Pasal 16 ayat (1) huruf f);
Ketigabelas, Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara; (Pasal 16 ayat (1) huruf g);
Keempatbelas, Mengadakan penghentian penyidikan (Pasal 16 ayat (1)
huruf h);
Kelimabelas, Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum (Pasal 16
ayat (1) huruf i);
Keenambelas , Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab (Pasal 16 ayat (1) huruf l).
3. Pencekalan (Pencegahan – Penangkalan) Menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian
Cekal adalah berasal dari singkatan cegah-tangkal berasal dari kata
pencegahan dan penangkalan yang memberikan mewajibkan pada pejabat
Universitas Sumatera Utara
keimigrasian yang bertugas pada tempat-temat Pemeriksaan Imigrasi guna
melakukan penolakan bersifat sementara terhadap Warga Negara Indonesia
yang terkena pencegahan untuk ke luar atau penolakan terhadap Warga
Negara Asing, khusus bagi Warga negara Indonesia dengan wewenang dan
tanggung jawab penangkalan dilakukan sebuah tim yang dipimpin Menteri
bidang kehakiman dengan anggota yang terdiri dari unsur Mabes TNI,
Kejaksaan Agung, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri
serta mengikutkan Badan-badan bidang intelijen bagi yang terkena
penangkalan untuk masuk ke dalam wilayah Indonesia berdasarkan alasan
tertentu.76 Walaupun pengertian cekal ini pernah pula dipergunakan dalam
artian lain yaitu pelarangan tampil bicara di sebuah seminar atau diskusi bagi
orang tertentu atau sebuah pertunjukan yang mempunyai pengertian berbeda
dengan pengertian dalam Keimigrasian.77
tertentu untuk ke luar dari wilayah Indonesia berdasarkan alasan tertentu”
Adapun definisi dari pencegahan dan penangkalan menurut Pasal 1
angka (12) dan angka (13) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 Tentang
Keimigrasian adalah sebagai berikut:
“Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap orang orang
78
tertentu untuk masuk ke wilayah Indonesia berdasarkan alasan tertentu”
“Penangkalan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap orang-
orang 79
76
http://id.wikipedia.org/wiki/Cekal, diakses pada tanggal 5 Desember 2010 77 http://id.wikipedia.org/wiki/Cekal, diakses pada tanggal 5 Desember 2010 78 Undang-Undang Tentang Keimigrasian, UU Nomor 9 Tahun 1992, Lembaran Negara
RI Nomor 33 Tahun 1992, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3474, Pasal 1 Butir 12 79 Undang-Undang Tentang Keimigrasian, UU Nomor 9 Tahun 1992, Lembaran Negara
RI Nomor 33 Tahun 1992, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3474, Pasal 1 Butir 13
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya, pencegahan dilakukan dengan alasan dibawah ini:80
a. Bersangkutan dengan urusan yang bersifat keimigrasian;
b. Bersangkutan dengan urusan piutang negara;
c. Bersangkutan dengan urusan perkara pidana;
d. Bersangkutan dengan pemeliharaan dan penegakan keamanan
dan pertahanan negara.
Dengan ketentuan Keputusan Pencegahan harus disampaikan dengan
surat tercatat kepada orang atau orang-orang yang terkena pencegahan
selambat-lambatnya tujuh hari terhitung sejak tanggal penetapan Pencegahan.
Selanjutnya, untuk pencegahan yang dilakukan Jaksa Agung terhadap
orang-orang karena keterlibatannya dalam perkara pidana, tidak diatur secara
jelas lama pencegahannya, lain halnya untuk pencegahan karena alasan
pemeliharaan dan penegakan keamanan yang masa pencegahannya diatur
enam bulan dan bisa diperpanjang untuk paling lama enam bulan dengan
ketentuan seluruh masa perpanjangan pencegahan tidak lebih dari dua tahun.81
Sedangkan alasan-alasan untuk penangkalan dibedakan sebagai
berikut:
82
1. Bagi warga Negara asing (WNA), yaitu:
a. Diduga terlibat sindikat kejahatan internasional;
b. Bersikap bermusuhan dan mencemarkan nama baik
Pemerintah Indonesia;
80 http://id.wikipedia.org/wiki/Cekal, diakses pada tanggal 5 Desember 2010 81 http://id.wikipedia.org/wiki/Cekal, diakses pada tanggal 5 Desember 2010 82 http://id.wikipedia.org/wiki/Cekal, diakses pada tanggal 5 Desember 2010
Universitas Sumatera Utara
c. Diduga melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
keamanan dan ketertiban umum, kesusilaan, agama, dan
adat kebiasaan masyarakat Indonesia;
d. Atas permintaan negara, yang bersangkutan berupaya
menghindarkan diri dari ancaman dan pelaksanaan
hukuman di negara tersebut karena melakukan kejahatan
yang juga diancam pidana menurut hukum Indonesia;
e. Pernah diusir dari wilayah Indonesia;
f. Alasan-alasan yang berkaitan dengan keimigrasian;
2. Bagi warga Negara Indonesia (WNI), yaitu:
a. Telah lama meninggalkan Indonesia atau telah menjadi
penduduk negara lain dan melakukan tindakan atau sikap
bermusuhan dengan Pemerintah Indonesia;
b. Apabila masuk ke Indonesia dapat mengganggu jalannya
pembangunan, menimbulkan perpecahan bangsa, atau dapat
mengganggu stabilitas nasional;
c. Adanya ancaman keselamatan diri atau keluarganya.
Untuk penangkalan terhadap warga negara asing dilakukan karena
berbagai alasan dari adanya dugaan mereka terlibat dalam sindikat kejahatan
internasional serta alasan lain sedangkan warga negara Indonesia dapat pula
ditangkal. Namun kewewenangan dan tanggung jawab penangkalan terhadap
warganegara Indonesia harus dilakukan oleh sebuah tim yang dipimpin
Menteri bidang Kehakiman dengan anggota yang terdiri dari unsur Mabes
Universitas Sumatera Utara
ABRI, Kejaksaan Agung, Departemen Luar Negeri, Departemen Dalam
Negeri dan Badan-badan bidang Intelijen.83
4. Kewenangan dan Tata Cara Pencegahan dan Penangkalan Menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian
Kewenangan mengenai pencegahan diatur dalam Pasal 11 ayat (1)
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian, yang
menyatakan bahwa:84
1. Menteri, sepanjang menyangkut urusan yang bersifat
keimigrasian;
“Wewenang dan tanggung jawab pencegahan dilakukan oleh:
2. Menteri Keuangan, sepanjang menyangkut urusan piutang
negara;
3. Jaksa Agung, sepanjang menyangkut pelaksanaan ketentuan
Pasal 32 huruf g Undang-undang Nomor 5 tahun 1991 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia;
4. Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, sepanjang
menyangkut pemeliharaan dan penegakan keamanan dan
pertahanan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia,
83 http://id.wikipedia.org/wiki/Cekal, diakses pada tanggal 5 Desember 2010 84 Undang-Undang Tentang Keimigrasian, UU Nomor 9 Tahun 1992, Lembaran Negara
RI Nomor 33 Tahun 1992, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3474, Pasal 11 Ayat 1
Universitas Sumatera Utara
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1
tahun 1988.”
Adapun mengenai pelaksanaan atas keputusan pencegahan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Menteri atau Pejabat
Imigrasi yang ditunjuk olehnya.85
Selanjutnya, tata cara atau mekanisme melakukan pencegahan diatur
dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian,
yaitu sebagai berikut:
86
1. Pencegahan ditetapkan dengan keputusan tertulis.
2. Keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat
sekurang-kurangnya:
a. identitas orang yang terkena pencegahan;
b. alasan pencegahan; dan
c. jangka waktu pencegahan.
3. Keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan
dengan surat tercatat kepada orang atau orang-orang yang
terkena pencegahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung
sejak tanggal penetapan.
Sedangkan pengaturan kewenangan mengenai penangkalan dimuat
dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 Tentang
Keimigrasian, dibagi menjadi 2 (dua) yaitu sebagai berikut:
85 Undang-Undang Tentang Keimigrasian, UU Nomor 9 Tahun 1992, Lembaran Negara RI Nomor 33 Tahun 1992, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3474, Pasal 11 Ayat 2
86 Undang-Undang Tentang Keimigrasian, UU Nomor 9 Tahun 1992, Lembaran Negara RI Nomor 33 Tahun 1992, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3474, Pasal 12 Ayat 1, Ayat (2), dan Ayat (3).
Universitas Sumatera Utara
1. Wewenang dan tanggung jawah penangkalan terhadap orang
asing dilakukan oleh:87
a. Menteri, sepanjang menyangkut urusan yang bersifat
keimigrasian;
b. Jaksa Agung, sepanjang menyangkut pelaksanaan
ketentuan Pasal 32 huruf g Undang-undang Nomor 5 Tahun
1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia;
c. Panglima Angkatan Bersenjata Repubilk Indonesia
sepanjang menyangkut pemeliharaan dan penegakan
keamanan dan pertahanan negara sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara
Republik Indonesia, sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998.
2. Wewenang dan tanggung jawab penagkalan terhadap Warga
Negara Indonesia dilakukan oleh sebuah Tim yang dipimpin
oleh Menteri dan anggotanya terdiri dari unsur-unsur:88
a. Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia;
b. Kejaksaan Agung Republik Indonesia;
c. Departemen Luar Negeri;
d. Departemen Dalam Negeri;
87 Undang-Undang Tentang Keimigrasian, UU Nomor 9 Tahun 1992, Lembaran Negara RI Nomor 33 Tahun 1992, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3474, Pasal 15 Ayat 1.
88Undang-Undang Tentang Keimigrasian, UU Nomor 9 Tahun 1992, Lembaran Negara RI Nomor 33 Tahun 1992, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3474, Pasal 16 Ayat 1.
Universitas Sumatera Utara
e. Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional;
dan
f. Badan Koordinasi Intelijen Negara.
Adapun mengenai pelaksanaan atas keputusan penangkalan baik terhadap warga
Negara asing maupun warga Negara Indonesia hamper sama dengan ketentuan
mengenai pencegahan dimana hanya dilakukan oleh Menteri atau Pejabat Imigrasi
yang ditunjuk olehnya.89
89Undang-Undang Tentang Keimigrasian, UU Nomor 9 Tahun 1992, Lembaran Negara RI Nomor 33 Tahun 1992, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3474, Pasal 15 ayat 2 jo. Pasal 16 Ayat 2.
Universitas Sumatera Utara
top related