bab ii tinjauan umum terhadap kebijakan formulatif ... · narkotika dalam peradilan pidana”....
Post on 29-Oct-2020
2 Views
Preview:
TRANSCRIPT
60
BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP KEBIJAKAN FORMULATIF,
REHABILITASI, PECANDU, KORBAN, PENYALAHGUNAAN
NARKOTIKA DAN SISTEM PERADILAN PIDANA
2.1. Pengertian atau Definisi Serta Makna Beberapa Kata Sebagai
Variabel Terangkai Dalam Judul
Dalam tinjauan umum ini diuraikan mengenai variabel – variabel judul
yang terangkai dalam proposisi atau rangkaian kalimat seperti : “Kebijakan
Formulatif Rehabilitasi Terhadap Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahguna
Narkotika Dalam Peradilan Pidana”. Terhadap judul yang memunculkan dua
buah permasalahan akan dibahas dan dikaji, serta dianalisis berdasarkan
landasan teoritis yang terdiri dari komponen – komponen : asas – asas hukum,
konsep-konsep hukum, doktrin, yurisprudensi dan teori – teori hukum.
Kesemuanya dari landasan teoritis sebagai pisau analisis atas masalah yang
tersedia akan terurai penjabarannya dalam uraian berikut.
2.1.1. Pengertian dan Arti Kebijakan dan Formulatif
Secara arti kata atau etimologi kebijakan berakar dari asal kata bijak,
mendapat awalan “ke” dan akhiran “kan” terangkai menjadi “kebijakan”
mengandung arti : kepandaian, kemahiran, kebijaksanaan, rangkaian konsep
dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu
pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak42
42 Tim Penyusun, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 131
60
61
Kata kebijakan terkait dengan judul disertasi ini dimaksudkan adalah
berupa kebijaksanaan oleh badan legislatif dalam ke depan memformulasikan
aturan norma hukum menyangkut aturan rehabilitasi bagi pecandu dan korban
penyalahguna narkotika dalam setiap tahapan proses peradilan pidana.
Termasuk pula kebijakan yudikatif atau aplikatif terkait rehabilitasi yang
diberikan kepada pecandu dan korban akibat penyalahgunaan narkotika seperti
maksud yang dituju oleh Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009. Secara
etimologi kata “formulatif” diartikan sebagai : “perumusan, merumuskan atau
menyusun”.43 Jadi dua buah kata dirangkaian menjadi kebijakan formulatif,
mengandung makna bahwa badan legislatif atau pembentuk undang – undang
perlu membentuk rumusan norma hukum dalam pasal Undang – Undang
Narkotika menyangkut substansi rehabilitasi bagi pecandu dan korban
penyalahguna narkotika.
2.1.2. Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan suatu perbaikan terhadap seseorang yang
berperilaku buruk. Irwin memandang bahwa ideas of rehabilitation through
punishment were first embodied in the penitentiaries, built during the
Jacksonian era of the late 19th century; Reformer hoped that felons would be
kept in solitude, reflecting penitently on their sins in order that they might
cleanse and transform themselves.44 (Terjemahan bebas: Ide rehabilitasi
melalui hukuman pertama kali diwujudkan dalam lembaga pemasyarakatan,
43 Ibid, h. 279 44 Irwin, J., 1980, Prisons in Turmoil, Little, Brown, Boston, h. 2.
62
dibangun selama era Jacksonian dari akhir abad ke-19. Reformis berharap
penjahat akan diisolasi dalam kesendirian, merefeksikan penyesalan atas dosa-
dosa mereka agar mereka bisa membersihkan dan mengubah diri). Rehabilitasi
berada pada kajian antara kriminologi dan penologi.
2.1.3. Pengertian Pencandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika
Menurut pengaturan Pasal 1 angka 13 Undang-undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa "Pecandu Narkotika adalah orang
yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan
ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis."
Ketergairtungan Narkotika merupakan suatu kondisi yang ditandai oleh
dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus-menerus dengan takaran
yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila pecanduannya
dikurangi dan/atau dihentikan secaja tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan
psikis yang khas.
Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga
terdapat istilah korban penyalahguna narkotika. Dalam Penjelasan Pasal 54
Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa
yang dimaksud dengan "Korban Penyalahgunaan Narkotika" adalah seseorang
yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu,
dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika, Istilah "korban
berbeda dengan istilah (penyalah guna). Penyalah Guna berdasarkan Pasal 1
Angka 15 Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah
orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum.
63
2.1.4. Pengertian Sistem Peradilan Pidana
Sistem peradilan pidana pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat
oleh Frank Remington dengan istilah "criminal justice system". Criminal justice
system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap
mekanisme administrasi peradilan pidana dan peradilan pidana sebagai suatu
sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik
administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri
mengandmg implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional
dan dengan cara efesien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala
keterbatasannya.45 Sistem peradilan pidana dengan demikian merupakan suatu
istilah manajemen dalam menanggulangi kejahatan.
Menurut Mardjono Reksodipoetro, sistem peradilan pidana sebagai
sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan nemasyaratan terpidana.46 Beranjak dari definisi
tersebut di atas, Mardjono mengemukakan tujuan dari sistem peradilan pidana
adalah:
1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegaskan dan yang bersalah pidana.
3. Dan mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi47
45 Atmasasmita, Romli, 1996, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan
Abolmonisme9Binacipta, Bandung, h. 14. (selanjutnya disebut Romli Atmasasmita II). 46 Anwar, Yesmil dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Peradilan Pidana; Konsep,
Kamponen dan Pelaksanaan dalam Penegakan Hukum di Indonesia., Widya Padjajaran,
Bandung, h. 35. (selanjutnya disebut Anwar, Yesmil dan Adang I). 47 Ibid
64
Sistem peradilan pidana dapat dilihat dari sudut pendekatan normatif,
manajemen dan sosial. Ketiga bentuk pendekatan tersebut, sekalipun berbeda,
tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain, Bahkan lebih jauh ketiga bentuk
pendekatan tersebut saling mempengaruhi dalam menentukan tolok ukur
keberhasilan dalam menanggulangi kejahatan.48 Dengan demikian sistem
peradilan pidana merupakan suatu pendekatan dalam menanggulangi kejahatan
melalui koordinasi antara penegak hukum dan pengawasan terhadap kinerja
penegak hukum baik pengawasan secara internal maupun pengawasan secara
eksternal.
2.2. Landasan Teoritis
Penjabaran dan pemaparan dalam Bab II ini juga dengan mengemukakan
beberapa landasan teoritis keilmuan hukum. Adapun acuan teori – teori sebagai
pisau analistis terhadap permasalahan yang disajikan akan dijadikan pedoman
dan landasannya. Hal yang dimaksud landasan teoritis keilmuan tersebut
meliputi : asas – asas hukum, konsep – konsep hukum, doktrin – doktrin
hukum, yurisprudensi, hasil penelitian terdahulu dan terakhir adalah teori –
teori hukum yang relevan. Masing-masing sub-sub landasan teoritis akan
terurai dalam penjabaran berikut :
48 Atmasasmita, Romli, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana Prenada
Media Grup, Jakarta, h. 5. (selanjutnya disebut Romli Atmasasmita III).
65
2.3 Asas – Asas Hukum
Perlunya memahami asas hukum karena di dalamnya terkandung
prinsip-prinsip antara lain:
1. Asas hukum merupakan fikiran-fikiran yang member! arah, yang menjadi
dasar kepada tata hukum yang ada;
2. Asas hukum merupakan sesuatu yang ditaati oleh orang-orang, apabila
mereka ikut bekerja dalam mewujudkan undang-undang;
3. Asas hukum dipositifkan baik dalam perundang-undangan
maupun yurisprudensi;
4. Asas hukum tidak bersifat transedental atau melampaui alam kenyataan
yang dapat disaksikan oleh pancaindra;
5. Asas hukum berkedudukan relatif dan melandasi fungsi pengendalian
masyarakat, penyelenggaraan ketertiban dan penanggulangan kejahatan;
6. Asas hukum merupakan legitimasi dalam prosedur pembentukan,
penemuan dan pelaksanaan hukum;
7. Asas hukum berkedudukan lebih tinggi dari undang-undang dan pejabat-
pejabat penguasa, sehingga tidak merupakan keharusan untuk mengaturnya
dalam hukum positif.49
Paul Scholten dalam pandangannya yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo
menulis bahwa "asas hukum bukan merupakan peraturan, akan tetapi hukum
tidak dapat dipahami dengan baik tanpa asas-asas, karena asas hukum
merupakan arah yang datang dari putusan moral yang ditanamkan dalam
hukum berupa pernyataan umum yang tidak dapat diabaikan. Mengingat
dengan adanya asas hukum menyebabkan suatu peraturan perundang-undangan
lebih berkualitas".50
Bambang Poernomo dalam pendapatnya "dengan mengenal,
menghubungkan, dan menyusun asas di dalam hukum pidana positif, itu berarti
49 Muladi, 1997, HakAsasi Manusia, Politih dan Sistem Peradilan Pidana, Universitas
Diponogoro, Semarang, h.144 (selanjutnya disebut Muladi III) 50 Satjipto Rahardjo, 2006, Hukum dalam Jagat Ketertiban, UKI Press, Jakarta, h. 128
(selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo II)
66
menjalankan hukum secara sistematis, kritis, dan harmonis sesuai dengan
dinamika garis-garis yang ditetapkan dalam politik hukum pidana".51
Berdasarkan hal itu, dalam konteks hukum pidana baik materiil maupun
formil, berlakunya asas di pandang penting untuk diketahui, karena dengan asas
membuat hubungan dan susunan hukum pidana dapat berlaku, demikian pula
dengan asas dapat dipergunakan memecahkan suatu kasus yang terjadi.
Fuller telah menentukan 8 (delapan) asas yang harus dipenuhi
dalam pembentukan hukum yaitu:
1. Law system contains of rules, not only based on a verdict about
particular things;
2. The ride must be publish to public;
3. Unretroactive, it will break the integrity of a system;
4. Makes on commonly understood form;
5. Should not be conflict with another rule;
6. Should not require an act that exceeds what can be done;
7. Should not be frequently changed;
8. The rule should compability with the daily implementation.52
(Diterjemahkan secara bebas:
1. Bahwa sistem hukum terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan
putusan-putusan sesaat untuk hal-hal tertentu; yang tidak dapat
diabaikan. Mengingat dengan adanya asas hukum menyebabkan suatu
peraturan perundang-undangan lebih berkualitas". 2
2. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik;
3. Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem;
4. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;
5. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan;
6. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa
dilakukan;
7. Tidak boleh sering diubah-ubah;
8. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.
51 Bambang Pornomo, 1992, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta,
h.56 (selanjutnya disebut Bambang Pornomo III) 52 Lon L Fuller, 1971, The Morality of Law, Yale University Press, New Haven.
67
Pandangan Lon L.Fuller di atas menegaskan bahwa kepastian hukum
merupakan dasar untuk dapat menjaga dan menjamin keselamatan setiap
individu, sehingga pecanduan asas menjadi ukuran legitimasi dalam prosedur
pembentukan, penemuan dan pelaksanaan hukum.53 Sehingga menurut Paton
fungsi dari asas hukum adalah "a principle is the broad reasen which lies at the
base of a rule of law, it has not exhausted itself in giving birth to that particular
rule but is fertile. Principle the means by which the law lives, grows, and
develops, demonstrate that law is not mere collection of rules" (Terjemahan
secara bebas: suatu prinsip merupakan alasan yang menjadi dasar dari aturan
suatu hukum, hal ini tidak akan menyia-nyiakan dirinya dengan melahirkan
aturan tertentu yang tidak dapat berlaku. Suatu prinsip akan berarti, bilamana
ada hukum yang hidup, tumbuh, dan berkembang, yang dapat menunjukkan
bahwa hukum bukan semata hanya sekumpulan peraturan).54
Berdasarkan hal itu, dalam konteks hukum pidana materiil, di dalam
perumusan perbuatan yang dilarang (kriminalisasi) ada 3 (tiga) permasalahan
pokok yang terkait, diantaranya asas legalitas, pertanggungjawaban pidana
(kesalahan) dan sanksi yang diancamkan baik pidana maupun tindakan.55
Adapun asas – asas hukum sebagai dasar kajian atas substansi
rehabilitasi bagi pecandu narkotika, yang melandasi pula secara umum esensi
undang – undang narkotika yang berlaku saat ini di Indonesia secara ius
constitutum, meliputi asas – asas hukum.
53 Sudarto V, Op Cit, h. 11 54 G.W. Paton, 1964, A Text-Book of Jurisprudence, Oxford Univ Press, London, h.204 55 Muladi III, Loc Cit
68
Terkait dengan pencanangan rehabilitasi medis bagi pecandu bahkan
atau korban narkotika menurut Pasal 102 Undang – Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika adalah merupakan kebijakan baru, atau sebagai
tindakan kriminalisasi. Esensi atau makna kriminalisasi yang diberlakukan bagi
pecandu narkotika atau sebagai korban narkotika sangat berhubungan dengan
asas – asas yang menjadi fondasi pembentukan undang-undang narkotika yang
berlaku saat ini atau sebagai ius constitutum dan ius operatum bagi negara
Indonesia dalam pemberantasan termasuk juga penanggulangan atau
pencegahan bahaya narkotika dalam segala jenis dan bentuknya. Asas – asas
dimaksud seperti tersurat dalam Pasal 3 Undang – Undang Nomor 25 Tahun
2009 tentang Narkotika sebagai berikut :
a. Keadilan
b. Pengayoman
c. Kemanusiaan
d. Ketertiban
e. Perlindungan
f. Keamanan
g. Nilai-nilai ilmiah, dan
h. Kepastian hukum
i. Perundang-undangan
Adanya beberapa asas yang melandasi esensi dibentuknya Undang –
Undang Narkotika oleh pembentuk undang-undang dihubungkan dengan usaha
bentuk rehabilitasi medis. Bagi pecandu atau sebagai korban pemakai
narkotika, maka penulis dapat memberikan kajian atas makna dari asas – asas
yang tersurat diatas, dengan siratan masing-masing makna seperti berikut :
69
2.3.1. Asas Keadilan
Mengandung esensi dan makna bahwa bagi pecandu atau bahkan
disebut korban, perlu diberikan porsi secara adil berupa perlakuan bagi pecandu
atau korban narkotika secara proforsional dan korektif sesuai pembagian
macam keadilan. Secara bentuk keadilan proforsional bahwa seseorang
posisinya sebagai pecandu atau korban penyalahgunaan narkotika perlu
dibedakan dengan seseorang yang posisinya sebagai pengedar, untuk itu perlu
dikoreksi kedudukan atau posisi seseorang perannya dalam posisi hukum.
Maka keadilan korektif perlu diporsikan untuk menempatkan dan menilai posisi
seseorang dalam perannya ketika dihadapkan dengan kasus narkotika tersebut,
sehingga tampak makna keadilan dalam penerapannya memporsikan tiap orang
dihadapan hukum mencapai porsi dan posisi keadilan secara substantif.
2.3.2. Asas Pengayoman
Pengayoman berarti memberi perlindungan pada seseorang atau subyek
yang memberi rasa nyaman akan dirinya. Dalam hubungan dengan pecandu
atau sebagai korban narkotika tidak mesi diberi pembalasan berupa pidana
namun perlu untuk diayomi orangnya, berupa diberikan pengobatan untuk
sembuh dari sakitnya, secara lebih kongkrit diberikan pengobatan secara medis
dengan wujud tindakan rehabilitasi secara fisik dan seperti terbebas dari
ketergantungan akan narkotika apapun bentuknya
70
2.3.3. Asas Kemanusiaan
Kemanusiaan mengandung arti serta makna memperlakukan seseorang
sesuai harkat dan martabat manusia secara beradab. Dengan memberikan
manusia tersebut hak-hak yang ia miliki sejak lahir sekalipun seseorang sebagai
individu telah dianggap melanggar norma tertentu terutama norma hukum
seperti melakukan penyalahgunaan narkotika yang secara hukum dianggap
telah melanggar hukum. Namun orangnya sebagai subyek hukum perlu
dipulihkan kembali.
2.3.4. Asas Ketertiban
Ketertiban berarti adanya keteraturan atau menurut aturan atau
peraturan atau keadaan serba teratur baik dalam hubungan dengan adanya
undang-undang tetang narkotika yang dibentuk oleh negara, bermaksud agar
setiap orang sebagai subyek hukum taat untuk tidak menyalahgunakan
pemakaian narkotika tersebut, karena barang narkotika tersebut ketika
disalahgunakan akan fungsinya dapat mengganggu ketertiban hidup manusia
seperti menimbulkan efek yang merugikan berupa timbulnya kejahatan,
kematian bahkan mengganggu stabilitas negara.
2.3.5. Asas Perlindungan
Perlindungan berarti tempat berlindung. Negara dalam membuat
undang-undang tentang narkotika, mengandung makna bahwa negara
bermaksud memberi tempat berlindung bagi negaranya melalui undang-undang
narkotika yang ada untuk tidak melanggar atau tidak melakukan
71
penyalahgunaan narkotika mereka akan selamat dari bahaya narkotika tersebut.
Termasuk pula negara akan melindungi pelanggarnya seperti pemakai atau
pecandu narkotika sebagai korban akan dilindungi oleh negara melalui tindakan
kebijakan dari pemerintah melalui Departemen Kesehatan dengan aksi
langsung berupa rehabilitasi medik dan rehabilitasi sosial bagi setiap pecandu
narkotika tersebut.
2.3.6. Asas Keamanan
Keamanan berarti keadaan aman atau ketentraman. Dalam hubungannya
dengan keberadaan undang-undang tentang narkotika yang ada dan diciptakan
oleh negara bermaksud untuk memberi rasa aman dan tentram bagi semua
warga negara sebagai dampak yang ditimbulkan dari bahaya narkotika tersebut.
Berbagai gangguan rasa aman dan tentram akan muncul akibat dari
penyalahgunaan pemakaian narkotika tersebut, seperti kriminalitas dalam
segala macam dan bentuknya yang dapat mengganggu rasa aman dan tentram
di masyrakat.
2.3.7. Asas Nilai-Nilai Ilmiah
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika salah
satu asasnya tersurat asas nilai-nilai ilmiah (dalam penjelasan umum Pasal 3
tertulis cukup jelas). Penulis dapat interpretasikan bahwa nilai-nlai ilmiah
diformat sebagai asas dalam Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 tersebut
dimaksudkan bahwa narkotika disamping berdampak buruk bila
disalahgunakan oleh manusia, juga berpengaruh positif atau berguna bagi
72
manusia narkotika tersebut, ketika difungsikan sesuai keperluannya. Seperti
untuk pengobatan, kepentingan operasi tertentu di bidang kesehatan atau
tindakan medik, bahkan kepentingan dunia ilmiah seperti penelitian di
laboratorium tertentu.
2.3.8. Asas Kepastian Hukum
Kepastian hukum berarti sebagai landasan atau dasar bagi negara untuk
menindak pelaku-pelaku di bidang narkotika baik seperti pecandu atau korban
ataupun sebagai pengedar narkotika berupa diciptakannya undang – undang di
bidang narkotika berupa terakhir dengan adanya Undang – Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika yang berlaku saat ini.
2.3.9. Asas Perundang-undangan
Perundang-undangan sangat diperlukan untuk penciptaaan hukum yang
baik. Asas perundang-undangan sebagaimana yang dikemukakan oleh Lon
Fuller menunjukkan beberapa kriteria mengenai hukum yang baik. Lon Fuller
menyebutkannya sebagai the inner morality of law atau dengan istilah lain
yakni the morality that makes law possible. Dalam hukum yang baik tersebut
terdapat delapan prinsip tersebut meliputi (1) general; (2) made known or
available to the affected party (promulgation); (3) prospective, not retroactive;
(4) clear and understandable; (5) free from contradictions; they should not (6)
require what is impossible; (7) be too frequently changed; finally (8) there
73
should be congruence between the law and official action.56 (terjemahan bebas
(1) umum; (2) diketahui atau tersedia untuk pihak yang terkena dampak
(diundangkan); (3) prospektif, tidak berlaku surut; (4) yang jelas dan mudah
dimengerti; (5) bebas dari kontradiksi; (6) mengharuskan apa yang tidak
mungkin; (7) akan terlalu sering berubah; akhirnya (8) harus ada kesesuaian
antara hukum dan tindakan resmi).
Suatu pebuatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan
ketentuan di atasnya. Hal ini menimbulkan hierarki dalam peraturan
perundang-undangan atau yang dikenal melalui ajaran stufenban theori oleh
Hans Kelsen. Dalam ajaran stufenban theorie dinyatakan bahwa suatu sistem
hukum adalah suatu hierarkis dari hukum dimana suatu ketentuan hukum
tertentu bersumber pada ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi sebagai
ketentuan yang lebih tinggi adalah grundnorm atau norma dasar yang bersifat
hipotesis. Ketentuan yang lebih rendah adalah lebih konkret daripada ketentuan
yang lebih tinggi.57
Pecanduan asas perundang-undangan sangat diperlukan dalam menyusun
suatu peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan bagi
komponen peradilan pidana untuk mendekriminalisasikan pecandu dan korban
penyalahgunaan narkotika. Dengan demikian, teori perundang-undangan
digunakan dalam menganalisis permasalahan kedua yakni pengaturan tindakan
rehabilitasi di masa mendatang.
56 Hart, H.L.A., 1983, Essays in Jurisprudence and Philosophy, Clarendon, Exford, h.
347. 57 Rasjidi, Lili dan Rasjidi, Ia Thania, 2007, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum,
Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 61.
74
Rangkaian beberapa asas tersebut diatas, adalah sebagai dasar
operasional bagi negara atau pemerintah melalui komponen penegak hukumnya
untuk bertindak dan menangani pelanggaran hukum dibidang narkotika, juga
dapat melakukan tindakan secara preemtif, preventif maupun represif.
2.4. Konsep – Konsep Hukum
Konsep (concept) adalah kata yang merupakan abstraksi
yang digeneralisasikan dari gejala-gejala tertentu.58 Konsep hukum yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Konsep Perlindungan Hukum, Konsep
due process of law dan Konsep tentang Unsur Minimal Proses Hukum yang
Adil.
2.4.1. Konsep Perlindungan Hukum
Setiap pembentukan suatu Negara didalamnya akan terdapat hukum
untuk mengatur warganya, sehingga tercipta hubungan antara Negara dengan
warga negaranya. Hubungan tersebut akan melahirkan hak dan kewajiban.
Perlindungan hukum akan menjadi hak bagi warga Negara dan disisi lain
perlindungan hukum menjadi kewajiban bagi Negara. Indonesia mengklaim
dirinya sebagai Negara hukum sebagaimana tersirat dalam Pasal 1 Ay at (3)
UUD Negara RI Tahun 1945 yang tersurat : "Indonesia adalah Negara hukum".
Oleh karenanya setiap tindakan pemerintah dan institusinya harus berlandaskan
atas hukum.
58 Amiruddin dan Zainai Asikin, 2008. Pengantar Metode Penelitian Hukum, cetakan
keempal, PT. Raja Grafmdo Persada, Jakarta, h. 47.
75
Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa Perlindungan hukum adalah
memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain
dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat
menikmati semua' hak-hak yang diberikan oleh hukum.59 Philipus M. Hadjon
menyatakan perlindungan Hukum adalah perlindungan akan harkat martabat,
serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek
hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan.60
Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa Negara Indonesia sebagai
Negara Hukum berdasarkan atas Pancasila haruslah memberikan perlindungan
hukum terhadap warga masyarakatnya yang sesuai dengan Pancasila. Oleh
karena itu perlindungan hukum berdasarkan Pancasila berarti pengakuan dan
perlindungan hukum akan harkat dan martabat manusia atas dasar nilai
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan, Persatuan, Permusyawaratan, serta
Keadilan Sosial. Nilai-nilai tersebut melahirkan pengakuan dan perlindungan
hak asasi manusia dalam wadah Negara kesatuan yang menjunjung tinggi
semangat kekeluargaan dalam mencapai kesejahteraan bersama.61
2.4.2. Konsep Due Process of Law
Secara prinsip, pembicaraan mengenai proses hukum yang adil (due
process of law) tentu tidak bisa lepas dengan sistem peradilan pidana, dan juga
59 Satjipto Rahardjo, 1993. Penyelenggaraan Keadilan dalam Masyarakat yang sedang
Bembah", Jurnal Masalah Hukum. 60 Hadjon,Philipus, M., 1987 , Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu,
Surabaya, h. 37. 61 Ibid, h. 84
76
terkait dengan perlindungan hukum terhadap tersangka, terdakwa dan
terpidana. Mengenai hal ini Heri Tahir menyatakan bahwa :
"... sistem peradilan pidana merupakan wadah dari proses hukum yang adil,
sehingga tidak mungkin membicarakan proses hukum yang adil tanpa
adanya sistem peradilan pidana. Demikian sebaliknya, proses hukum yang
adil pada hakikatnya merupakan roh dari sistem peradilan pidana itu
sendiri yang ditandai dengan adanya perlindungan terhadap hak-hak
tersangka dan terdakwa".62
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa, dalam proses hukum
yang adil (due process of law) terdapat perlindungan terhadap hak-hak
tersangka dan terdakwa. Dalam mencapai proses hukum yang adil (due process
of law) peradilan pidana juga harus mencerminkan perlindungan terhadap hak-
hak tersangka dan terdakwa sebagai persyaratan terselenggaranya proses
hukum yang adil. Konsep hukum ini relevan untuk membahas permasalahan
pertama dan kedua yang terkait dengan rehabilitasi.
Due process of law dapat diartikan sebagai proses hukum yang adil dan
tidak memihak, layak, serta merupakan proses peradilan yang benar, yang telah
melalui mekanisme atau prosedur-prosedur yang ada, sehingga dapat diperoleh
keadilan substantif. Yesmil Anwar dan Adang mengemukakan bahwa :
Due Process of Law pada dasarnya bukan semata-mata mengenai rule of
law, akan tetapi merupakan unsur yang esensial dalam penyelanggaraan
peradilan yang intinya adalah ia merupakan "...a law which hears before it
condemns, which proceeds upon inquiry, and reders judgement only after
trial...'". Pada dasarnya yang menjadi titik sentral adalah perlindungan hak-
hak asasi individu terhadap arbitrary action of the government63
62 Heri Tahir, 2010, Proses Hukum yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidnna di
Indonesia, cetakan pertama, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, h. 7 63 Anwar, Yesmil dan Adang, 2009, Sisiem Peradilan Pidana; Konsep, Komponen, &
Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, cetakan pertama, Widya Padjajaran.
h. 113-114.
77
Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa dalam due process of
law mengandung adanya perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia
utamanya terhadap pembahasan mengenai rehabilitasi, sekalipun ia adalah
seorang pelaku tindak pidana (tersangka/terdakwa) harus mendapatkan
perlindungan hukum yang dijamin oleh negara, terlebih ia berniat untuk taubat
sebagai pemakai maupun pengedar narkotika.
2.4.3. Konsep Tentang Unsur Minimal Proses Hukum yang Adil
Pendapat Tobias dan Petersen, due process of law (yang berasal dari
Inggris, dokumen Magna Charta, 1215) merupakan constitutional guaranty...
that no person will be deprived of live, liberty of property for reason that are
arbitrary ... protecs the citizen agints arbitrary actions of the government.
Menurut Tobias dan Petersen, unsur-unsur minimal dari due process of law
adalah hearing, counsel, defence, evidence and a fair and impartial court.64
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa "hearing" adalah salah satu
unsur minimal dalam due process of law. Konsep hukum ini relevan membahas
permasalahan yang terkait dengan pengaturan rehabilitasi ke depan pada
permasalahan kedua.
2.4.4. Konsep Negara Hukum
Negara hukum sudah merupakan tipe negara yang umum dimiliki oleh
bangsa-bangsa di dunia dewasa ini. Negara hukum meninggalkan tipe negara
64 Ibid, h. 22 – 23
78
yang memerintah berdasarkan kemauan penguasa.65 Negara hukum sebagai
negara yang susunannya diatur dengan sebaik-baiknya dalam Undang-undang
sehingga segala kekuasaan dari alat-alat pemerintahannya didasarkan hukum.66
Oleh karena itu negara hukum itu ialah negara yang diperintah bukan oleh
orang-orang tetapi oleh Undang-undang (state the not governed by men, but by
laws), karena itu didalam negara hukum hak-hak rakyat dijamin sepenuhnya
oleh negara dan terhadap negara begitu pula sebaliknya kewajiban-kewajiban
rakyat harus dipenuhi seluruhnya dengan tunduk dan taat kepada segala
peraturan pemerintah dan Undang-undang negara.67
Dalam konsep negara hukum modern atau negara hukum sosial, negara
berkewajiban mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat baik
kesejahteraan sosial maupun ekonomi. Ciri negara berkesejahteraan atau negara
hukum sosial (sociale rechstaat) adalah negara berupaya mensejahterakan
rakyatnya. Adapun ciri-ciri tersebut akhirnya muncul dua konsekuensi yaitu:
a. Campur tangan pemerintah terhadap kehidupan rakyat sangat luas, hingga
mencakup hampir semua aspek kehidupa rakyat, dan
b. Dalam melaksanakan fungsinya pemerintahan menggunakan asas freis
ermessen atau diskresi.68
65 Rahardjo, Satjipto, 2009, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Genta
Publishing, Yogyakarta, h. 2. (Selanjutnya disebut Rahardjo, Satjipto I). 66 Fadjar, A. Mukthie, 2005, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, h.
6. 67 Ibid. 68 Hatta, Moh., 2009, Beberapa Masalah Penegakan Hukum Pidana Umum & PIdana
Khusus, Liberty, Yogyakarta, h. 13
79
Menurut Sudargo Gautama negara hukum adalah suatu negara dimana
perseorangan mempunyai hak terhadap negara, dimana hak-hak asasi manusia
diakui oleh undang-undang, dan untuk merelisasikan perlindungan hak-hak ini
kekuasaan negara dipisah-pisahkan hingga badan penyelenggara negara, badan
pembuat Undang-undang dan badan peradilan berada pada pelbagai tangan, dan
dengan susunan badan peradilan yang bebas kedudukannya untuk dapat
memberi perlindungan semestinya kepada setiap orang yang merasa hak-
haknya dirugikan, walaupun andaikata hal ini terjadi oleh alat negara sendiri.69
Konsep rechtstaat yang bertumpu atas sistem hukum Eropa Continental
yang disebut civil law atau Modern Roman Law lahir dari perjuangan
menentang absolutisme sehingga bersifat revolusioner. Sedangkan konsep rule
of law yang bertumpu atas sistem hukum Anglo Saxon yang disebut common
law berkembang secara evolusioner.70 Konsep negara hukum rechtstaat
adalah :
1) Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus
berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;
2) Adanya jaminan terhadap hak warganegara;
3) Adanya pembagian kekuasaan negara;
4) Adanya pengawasan dari badan peradilan.71
F.J. Stahl berusaha menyempurnakan cita negara hukum tersebut.
Menurut F.J. Stahl, rechtsstaat memiliki unsur-unsur pokok yaitu (1)
pengakuan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia; (2) pemisahan
69 Gautama, Sudargo, 1973, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung,
h. 21. 70 Hadjon, Philipus M., 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina
Ilmu, Surabaya, h. 76. 71 Soemantri M., Sri. 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni,
Bandung, h. 29 -30
80
kekuasaan berdasarkan prinsip Trias Politica; (3) pemerintahan
diselenggarakan berdasarkan Undang-undang (wetmatig bestuur); (4) adanya
peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus perbuatan
melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad). 72 F.J.
Stahl mensyaratkan empat unsur yang harus dipenuhi untuk disebut sebagai
negara hukum.
The rule of law mempunyai dua pengertian yaitu pengertian formil dan
pengertian materiil (ideologis). Dalam pengertian formil dimaksudkan
kekuasaan publik yang teorganisir. Hal itu berarti setiap sistem kaidah yang
didasarkan pada hierarki perintah merupakan rule of law. Pengertian formil
dimaksud, dapat menjadi alat yang paling efektif dan efisien untuk menjalankan
pemerintahan yang tirani. The rule of law dalam arti materiil bertujuan untuk
melindungi warga masyarakat terhadap tindakan yang sewenang-wenang dari
penguasa sehingga memungkinkan manusia untuk mendapatkan martabatnya
sebagai manusia. Oleh sebab itu inti dari rule of law dalam arti materiil adalah
adanya jaminan bagi warga masyarakat untuk memperoleh keadilan sosial,
yaitu keadaan yang dirasakan oleh warga masyarakat penghargaan yang wajar
dari golongan lain sedangkan setiap golongan tidak merasa dirugikan oleh
kegiatan golongan lainnya.73
Rule of Law memiliki beberapa konsekuensi yaitu: pertama, supremasi
absolute ada pada hukum, bukan pada tindakan kebijaksanaan atau prerogatif
penguasa; kedua, berlakunya prinsip persamaan dalam hukum (equality before
72 Kranenburg, 1975, Ilmu Negara Umum, Terjemahan Sabaroedin, Pradnya Paramita,
Jakarta, h. 90. 73 Ali, H. Zainuddin, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 81.
81
the law), dimana semua orang harus tunduk pada hukum, dan tidak seorang pun
yang berada diatas hukum (above the law); ketiga, konstitusi merupakan dasar
dari segala hukum bagi negara yang bersangkutan. Dalam arti ini, hukum yang
berdasarkan konstitusi harus melarang setiap pelanggaran terhadap hak dan
kemerdekaan rakyat.74
Konsep Negara Hukum adalah dasar yang diperlukan sebagai landasan
perlunya legitimasi kewenangan komponen peradilan pidana dalam
dekriminalisasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika. Konsep
negara hukum digunakan dalam membahas permasalahan pertama dan kedua.
Konsep negara hukum pada dasarnya menginginkan setiap tindakan
dilegitimasi melalui peraturan perundang-undangan yang baik. Salah satunya
tugas negara menyelenggarakan sektor kesehatan bagi setiap warga negaranya,
seperti merehabilitasi pecandu narkotika.
2.4.5. Konsep Restorative Justice
Restorative justice model diajukan oleh kaum abolisionis yang
melakukan penolakan terhadap sarana koersif yang berupa sarana penal dan
diganti dengan sarana reparatif. Restorative justice model mempunyai beberapa
karakteristik yaitu:
a. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain
dan diakui sebagai konflik;
b. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan
kewajiban pada masa depan;
c. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi;
74 Fuady, Munir, 2009, Teori Negara Hukum Modern (rechtstaat), Refika Aditama,
Bandung, h. 3
82
d. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi
sebagai tujuan utama;
e. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas
dasar hasil;
f. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial
g. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif;
h. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah
maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak
pidana didorong untuk bertanggung jawab;
i. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman
terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik;
j. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan
ekonomis;
k. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restorative. 75
Paham abolisionis menganggap sistem peradilan pidana mengandung
masalah atau cacat struktural sehingga secara relatistis harus dirubah dasar-
dasar sruktur dari sistem tersebut. Dalam konteks sistem sanksi pidana, nilai-
nilai yang melandasi paham abolisionis masih masuk akal untuk mencari
alternatif sanksi yang lebih layak dan efektif daripada lembaga seperti
penjara.76 Restorative justice sebagai produk dari paham abolisionis ini telah
diterapkan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak. Dalam Pasal 1 angka 6 dinyatakan:
Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan
melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang
terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan
menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan
pembalasan.
75 Muladi, 1996, Kapita Seleksi Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, h. 125. 76 Atmasasmita, Romli II, Op.Cit., h. 101.
83
Restorative Justice sebagai salah usaha untuk mencari penyelesaian
konflik secara damai di luar pengadilan masih sulit diterapkan. Di Indonesia
banyak tradisi/ kebiasaan/ custom yang mengarahkan/ mengindikasikan
menjadi restorative justice, namun keberadaannya tidak diakui negara atau
tidak dikodifikasikan dalam hukum nasional. Hukum adat bisa menyelesaikan
konflik yang muncul di masyarakat dan memberikan kepuasan pada pihak yang
berkonflik. Munculnya ide restorative justice sebagai kritik atas penerapan
sistem peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap tidak efektif
menyelesaikan konflik sosial. Penyebabnya, pihak yang terlibat dalam konflik
tersebut tidak dilibatkan dalam penyelesaian konflik. Korban tetap saja menjadi
korban, pelaku yang dipenjara juga memunculkan persoalan baru bagi keluarga
dan sebagainya.77
2.4.6. Konsep Rehabilitasi
Beth M. Huebner menyatakan bahwa rehabilitation is a central goal of
the correctional system. This goal rests on the assumption that individuals can
be treated and can return to a crime free lifestyle.78 (terjemahan bebas:
Rehabilitasi adalah tujuan utama dari sistem pemasyarakatan. Tujuan ini
bertumpu pada asumsi bahwa individu dapat diobati dan dapat kembali ke
kejahatan gaya hidup bebas). Rehabilitasi adalah sebuah perawatan yang
77 Mustofa, Muhammad, Menghukum Tanpa Memenjarakan:Mengaktualisasikan
Gagasan "Restorative Justice" Diskusi yangdiselenggarakan Departemen Kriminologi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI dan Australia Agency for International Development, Depok,
26 Februari 2004. 78 Beth M. Huebner, 2016, “Rehabilitation”, Available at
http://www.oxfordbibliographies.com/view/document/obo-9780195396607/obo-
9780195396607-0046.xml p. 1, Accessed 29th January 2016.
84
dilakukan secara intensif kepada seseorang yang membutuhkan. Disebutkan
pula:
Rehabilitation is another utilitarian rationale for punishment. The goal of
rehabilitation is to prevent future crime by giving offenders the ability to
succeed within the confines of the law. Rehabilitative measures for
criminal offenders usually include treatment for afflictions such as mental
illness, chemical dependency, and chronic violent behavior. Rehabilitation
also includes the use of educational programs that give offenders the
knowledge and skills needed to compete in the job market.79
Terjemahan bebas:
Rehabilitasi adalah manfaat rasional lain dari penghukuman. Tujuan dari
rehabilitasi adalah untuk mencegah kejahatan dengan memberikan
kemampuan bagi pelaku untuk berhasil dalam batas-batas hukum.
Langkah-langkah rehabilitatif untuk pelaku kriminal biasanya termasuk
perawatan untuk penderitaan seperti penyakit mental, ketergantungan obat,
dan perilaku kekerasan kronis. Rehabilitasi juga termasuk pecanduan
program pendidikan yang memberikan pelaku pengetahuan dan
keterampilan yang diperlukan untuk bersaing di pasar kerja.
Rehabilitasi dipandang sebagai suatu bentuk penghukuman yang berupa
tindakan perbaikan. Dalam Pasal 1 angka 7 dan 8 Peraturan Bersama diatur
mengenai definisi rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Rehabilitasi medis
adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan
pecandu dari ketergantungan narkotika. Rehabilitasi sosial adalah suatu proses
kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar
bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam
kehidupan bermasyarakat. Rehabilitasi dilakukan di lembaga rehabilitasi.
Lembaga rehabilitasi medis adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang
melaksanakan rehabilitasi medis bagi pecandu, korban penyalahgunaan dan
79 Net Industries, 2016, “Punishment - Theories Of Punishment”, Available at
http://law.jrank.org/pages/9576/Punishment-THEORIES-PUNISHMENT.html p . 1, Accessed
29th January 2016.
85
penyalahguna narkotika yang dikelola oleh pemerintah. Lembaga rehabilitas
sosial adalah tempat atau panti yang melaksanakan rehabilitasi sosial bagi
pecandu, korban penyalahgunaan dan penyalahguna narkotika yang di kelola
oleh pemerintah.
Konsep rehabilitasi digunakan dalam menganalisis masalah pertama dan
kedua.
2.4.7. Konsep Perlindungan Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah unsur yang sangat penting dalam
negara hukum. Menurut Jerome J. Shestack, istilah ‘HAM’ tidak ditemukan
dalam agama-agama tradisional. Namun demikian, ilmu tentang ketuhanan
(theology) menghadirkan landasan bagi suatu teori HAM yang berasal dari
hukum yang lebih tinggi dari pada negara dan yang sumbernya adalah Tuhan
(Supreme Being). Tentunya, teori ini mengabaikan adanya penerimaan dari
doktrin yang dilahirkan sebagai sumber dari HAM.80 Konsep hak asasi manusia
ini menunjukkan hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia karena kodratnya
yang harus mendapatkan perlindungan.
Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia menyebutkan:
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
80 Sujatmoko, Andrey, 2009, Sejarah, Teori, Prinsip dan KontroversI HAM, Makalah
pada Training Metode Pendekatan Pengajaran, Penelitian, Penulisan Disertasi dan Pencarian
Bahan Hukum HAM Bagi Dosen-Dosen Hukum HAM, Yogyakarta, 12 - 13 Maret 2009.
86
Setiap negara wajib memberikan pengakuan, perlindungan dan
pemenuhan HAM. Dalam kajian ilmiah keilmuan, teori HAM secara garis
besar dibagi menjadi dua teori yakni sebagai berikut:
a) Teori universalis (universalist theory) hak asasi manusia
Doktrin komtemporer hak asasi manusia merupakan salah satu dari
sejumlah perspektif moral universalis. Ketertiban alam ini harus menjadi
dasar dari seluruh sistem keadilan rasional. Kebutuhan atas suatu
ketertiban alam kemudian diturunkan dalam serangkaian kriteria universal
yang komprehensif untuk menguji legitimasi dari sistem hukum yang
sebenarnya buatan manusia.
b) Teori relativisme budaya (cultural relativism theory)
Gagasan tentang relativisme budaya mendalilkan bahwa kebudayaan
merupakan satu-satunya sumber keabsahan hak dan kaidah moral. Oleh
karena itu hak asasi manusia dianggap perlu dipahami dari konteks
kebudayaan masing-masing negara. Semua kebudayaan mempunyai hak
hidup serta martabat yang sama yang harus dihormati. Berdasarkan dalil
ini, para pembela gagasan relativisme budaya menolak universalisasi hak
asasi manusia, apalagi bila ia didominasi oleh satu budaya tertentu.81
Berbicara masalah HAM, tentu tidak dapat dilepaskan dengan kewajiban
dasar. Pelaksanaan hak dan kewajiban menjadi ukuran untuk menentukan
keadilan. Kewajiban dasar manusia menurut Pasal 1 angka 2 Undang-undang
81 Smith, Rhona K.M. et.al., 2010, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi
Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII), Yogyakarta, h. 19-20.
87
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah seperangkat
kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana
dan tegaknya hak asasi manusia. Konsep HAM digunakan dalam menganalisis
permasalahan pertama dan kedua, dimana tindakan rehabilitasi merupakan
perwujudan perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM).
2.4.8. Konsep Kriminalisasi
Kriminalisasi adalah suatu bentuk kebijakan hukum pidana. Substansi
kriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan kebijakan kriminal
yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut
bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat
dan dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan
kesejahteraan masyarakat.82 Kriminalisasi merupakan suatu kebijakan yang
memandang bahwa suatu tindakan yang tadinya bukan tindak pidana namun
kini dipandang sebagai tindak pidana.
Kriminalisasi merupakan suatu proses penetapan suatu perbuatan orang
sebagai perbuatan yang dipidana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya
Undang-undang di mana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi yang
berupa pidana. Adanya kriminalisasi ini menimbulkan dua pertanyaan, yaitu
apakah yang menjadi ukuran dari pembentuk Undang-undang menetapkan
suatu perbuatan menjadi perbuatan yang dapat dipidana dan apakah kriteria
bagi pembentuk Undang-undang untuk menetapkan ancaman pidana terhadap
82 Arief, Barda Nawawi II, Op.Cit., h. 28.
88
tindak pidana yang satu lebih tinggi daripada ancaman pidana pada tindak
pidana yang lain.83
Hullsman menyebutkan beberapa kriteria absolut yang perlu
diperhatikan dalam proses kriminalisasi, yaitu sebagai berikut:
a. Kriminalisasi seharusnya tidak ditetapkan semata-mata atas keinginan
untuk melaksanakan suatu sikap moral tertentu terhadap suatu bentuk
perilaku tertentu.
b. Alasan utama untuk menetapkan satu perbuatan sebagai tindak pidana
seharusnya tidak pernah didirikan suatu kerangka untuk perlindungan
atau perlakuan terhadap seorang pelaku kejahatan potensial dalam
kepentingannya sendiri.
c. Kriminalisasi tidak boleh berakibat melebihi kemampuan perlengkapan
peradilan pidana.
d. Kriminalisasi seharusnya tidak boleh dipergunakan sebagai suatu tabir
sekedar pemecahan yang nyata terhadap suatu masalah. 84
Keputusan untuk melakukan kriminalisasi harus didasarkan pada faktor-
faktor kebijakan tertentu yang mempertimbangkan bermacam-macam faktor
termasuk:
a) Keseimbangan sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan
hasil-hasil yang ingin dicapai,
b) Analisis biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya
dengan tujuan-tujuan yang ingin dicari,
c) Penilaian atau penaksiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya
dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber-sumber
tenaga manusia, dan
d) Pengaruh sosial kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan
dengan atau dipandang dari pengaruh-pengaruhnya yang sekunder.85
Dalam Pasal 54 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika disebutkan bahwa “Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan
Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.” Dalam
83 Pratimaratri, Uning, Kriminalisasi Akibat Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi dari Perspektif Moral Pancasila, Law Reform: Jurnal Ilmiah Hukum &
Pembangunan, Volume II, No. 1, Februari 2012. 84 Saleh, Roeslan II, Op.Cit., h. 87. 85 Arief, Barda Nawawi II, Op.Cit., h. 7.
89
ketentuan umum pada Pasal 1 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika disebutkan bahwa Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan
pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan
Narkotika dan Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan
secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika
dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
Istilah kriminaliasi menurut Sudarto mengandung arti dan makna
sebagai suatu proses.86 Lebih lanjut menurut Sudarto bahwa kriminalisasi
dimaksudkan proses penetapan suatu perbuatan orang sebagai perbuatan yang
dapat dipidana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya undang – undang,
dimana perbuatan itu diancam dengan pidana yang siap untuk diterapkan oleh
hakim, seperti alam hubungan ini diciptakannya Undang – Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika. Dan selanjutnya apabila dijatuhkan pidana
dilaksanakan oleh pihak eksekutif secara administratif dibawah kendali Menteri
Kehakiman.
2.4.9. Konsep Pencandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika
Menurut Pasal 1 angka 13 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika disebutkan bahwa “Pecandu Narkotika adalah orang yang
menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan
ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.”
Ketergantungan Narkotika merupakan suatu kondisi yang ditandai oleh
dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus-menerus dengan takaran
86 Sudarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h. 32
90
yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila pecanduannya
dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan
psikis yang khas.
Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 juga terdapat istilah
korban penyalahguna narkotika. Dalam Penjelasan Pasal 54 Undang-undang
Nomor 35 Tahun 2009, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ”korban
penyalahgunaan Narkotika” adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan
Narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk
menggunakan Narkotika. Istilah “korban penyalah guna” berbeda dengan
istilah “penyalah guna” Penyalah Guna berdasarkan Pasal 1 angka 15 Undang-
undang Nomor 35 Tahun 2009 adalah orang yang menggunakan Narkotika
tanpa hak atau melawan hukum.
2.4.10. Konsep Sistem Peradilan Pidana
Sistem peradilan pidana pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat
oleh Frank Remington dengan istilah “criminal justice system”. Criminal
justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap
mekanisme administrasi peradilan pidana dan peradilan pidana sebagai suatu
sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik
administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri
mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional
dan dengan cara efesien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala
91
keterbatasannya.87 Sistem peradilan pidana dengan demikian merupakan suatu
istilah manajemen dalam menanggulangi kejahatan.
Menurut Mardjono Reksodipoetro, sistem peradilan pidana sebagai
sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan pemasyaratan terpidana.88 Beranjak dari definisi
tersebut di atas, Mardjono mengemukakan tujuan dari sistem peradilan pidana
adalah:
1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas
bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah pidana.
3. Dan mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya. 89
Sistem peradilan pidana dapat dilihat dari sudut pendekatan normatif,
manajemen dan soial. Ketiga bentuk pendekatan tersebut, sekalipun berbeda,
tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Bahkan lebih jauh ketiga bentuk
pendekatan tersebut saling mempengaruhi dalam menentukan tolok ukur
keberhasilan dalam menanggulangi kejahatan.90 Dengan demikian sistem
peradilan pidana merupakan suatu pendekatan dalam menanggulangi kejahatan
melalui koordinasi antara penegak hukum dan pengawasan terhadap kinerja
penegak hukum baik pengawasan secara internal maupun pengawasan secara
eksternal. Konsep peradilan pidana akan berperan mengatasi masalah hukum
87 Atmasasmita, Romli, 1996, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan
Abolisionisme, Binacipta, Bandung, h. 14. (selanjutnya disebut Romli Atmasasmita II). 88 Anwar, Yesmil dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Peradilan Pidana; Konsep,
Komponen dan Pelaksanaan dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Padjajaran,
Bandung, h. 35. (selanjutnya disebut Anwar, Yesmil dan Adang I). 89 Ibid. 90 Atmasasmita, Romli, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana Prenada
Media Grup, Jakarta, h. 5. (selanjutnya disebut Romli Atmasasmita III).
92
saat ini, dan penanggulangannya sehingga akan relevan digunakan dalam
menganalisis permasalahan pertama.
Penyidikan merupakan bagian dalam proses peradilan pidana. Menurut
Pasal 1 angka 2 KUHAP, Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Penyidikan dilakukan oleh penyidik. Pasal 1 angka 1 KUHAP menyebutkan
Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai
negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk
melakukan penyidikan.
Ketentuan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
merupakan ketentuan lex specialist dari KUHAP. Dalam Undang-undang
Nomor 35 Tahun 2009 ditentukan bahwa penyidik meliputi Penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia, penyidik BNN dan penyidik pegawai
negeri sipil. Menurut Pasal 81, Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia
dan penyidik BNN berwenang melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan
dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan Undang-
undang ini. Selanjutnya dalam Pasal 82 ayat (1) disebutkan bahwa Penyidik
pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
tentang Hukum Acara Pidana berwenang melakukan penyidikan terhadap
tindak pidana penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika.
93
Menurut Pasal 1 angka 7 KUHAP, Penuntutan adalah tindakan penuntut
umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang
berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang
pengadilan. Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap
siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah
hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang
mengadili. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-
undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Penuntutan dilakukan di depan sidang pengadilan dan hakim berwenang
untuk mengadili perkara. Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk
menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas,
jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini (maksudnya KUHAP).
2.4.11. Konsep Perlindungan Korban
Konsep perlindungan korban ini digunakan dalam membangun
paradigma berpikir bahwa pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika
adalah korban. Ada beberapa ahli yang mengemukakan pendapat mengenai
korban ini, diantaranya Stephen Schafer, Ezzat Abde Fattah dan lain-lain.
Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat
tindakan orang lain yang bertentangan dengan kepentingan diri sendiri atau
orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain
yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi yang menderita.
94
Crime Dictionary sebagaimana yang dikutip oleh Soeharto
mengemukakan bahwa victim is a person who has injured mental or physical
suffering, loss of property or death resulting from an actual or attempted
criminal offense commited by another.91 Korban adalah seseorang yang telah
mengalami penderitaan mental dan fisik, kehilangan harta benda atau kematian
yang disebabkan oleh kejahatan atau percobaan kejahatan yang dilakukan oleh
orang lain. Permasalahan mengenai perlindungan korban dalam tataran
international pernah dibahas dalam Seventh United Nation Congress on The
Prevention of Crime and The Treatment of Offender di Milan (1985) yang
kemudian dirangkum dalam Declaration of Basic Principles of Justice for
Victims of Crime and Abuse of Power New York, 29 November 1985. Dalam
ketentuan tersebut terdapat prinsip-prinsip dasar perlindungan korban yakni:
1. Access to justice and fair treatment (akses keadilan dan perlakuan yang
adil).
2. Restitution (restitusi).
3. Compensation (kompensasi)
4. Assistance (bantuan)
Rehabilitasi merupakan penjabaran dari prinsip assistance dalam
deklarasi tersebut. Prinsip ini mengatur beberapa hal yakni:
1. Victims should receive the necessary material, medical, psychological
and social assistance through governmental, voluntary, community-
based and indigenous means.
91 Soeharto, 2007, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa dan Korban Tindak Pidana
Terorisme Dalam Sistem Peradilan Pidana, Refika Aditama, Bandung, h. 78.
95
2. Victims should be informed of the availability of health and social
services and other relevant assistance and be readily afforded access to
them.
3. Police, justice, health, social service and other personnel concerned
should receive training to sensitize them to the needs of victims, and
guidelines to ensure proper and prompt aid.
4. In providing services and assistance to victims, attention should be
given to those who have special needs because of the nature of the harm
inflicted or because of factors such as those mentioned in paragraph 3
above.
Terjemahan bebas
1. Para korban harus menerima materi yang diperlukan, bantuan medis,
psikologis dan sosial melalui pemerintah, sukarela, berbasis masyarakat
dan adat berarti.
2. Para korban harus diberitahu tentang ketersediaan bantuan lain yang
relevan kesehatan dan layanan sosial dan dan dengan mudah diberikan
akses kepada mereka.
3. Polisi, keadilan, kesehatan, layanan sosial dan personil lainnya yang
bersangkutan harus menerima pelatihan untuk membuat mereka peka
terhadap kebutuhan para korban, dan pedoman untuk memastikan
bantuan yang tepat dan cepat.
4. Dalam memberikan layanan dan bantuan kepada korban, perhatian
harus diberikan kepada mereka yang memiliki kebutuhan khusus karena
sifat dari kejahatan yang dilakukan atau karena faktor-faktor seperti
yang disebutkan dalam ayat 3 di atas.
Ditinjau dari tanggung jawab korban, Stephen Schafer mengemukakan
beberapa tipologi korban yaitu:
1 Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si
pelaku dan menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu, dari
aspek tanggung jawab sepenuhnya berada di pihak korban.
2 Provocative victims merupakan korban yang disebabkan peranan korban
untuk memicu terjadinya kejahatan, Karena itu, dari aspek tanggung
jawab terletak pada diri korban dan pelaku secara bersama-sama.
3 Participacing victims hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat
mendorong pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil uang di
bank dalam jumlah besar yang tanpa pengawalan, kemudian dibungkus
dengan tas plastik sehingga mendorong orang untuk merampasnya.
Aspek ini pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku.
96
4 Biologically weak victims adalah kejahatan disebabkan adanya keadaan
fisik korban seperti wanita, anak-anak, dan manusia lanjut usia (manula)
merupakan potensial korban kejahatan. Ditinjau dari aspek
pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat atau pemerintah
setempat karena tidak dapat memberi perlindungan kepada korban yang
tidak berdaya.
5 Socially weak victims adalah korban yang tidak diperhatikan oleh
masyarakat bersangkutan seperti gelandangan dengan kedudukan sosial
yang lemah. Untuk itu, pertanggungjawabannya secara penuh terletak
pada penjahat atau masyarakat.
6 Self-victimizing victims adalah korban kejahatan yang dilakukan sendiri
(korban semu) atau kejahatan tanpa korban. Untuk
pertanggungjawabannya sepenuhnya terletak pada korban karena
sekaligus sebagai pelaku kejahatan.
7 Political victims adalah korban karena lawan politiknya. Secara
sosiologis, korban ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kecuali
adanya perubahan konstelasi politik.92
Ezzat Abde Fattah meninjau tipologi korban dari keterlibatan korban
dalam terjadinya kejahatan yaitu:
1 Nonparticipating victims adalah mereka yang menyangkal/ menolak
kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam
menanggulangi kejahatan.
2 Latent or predisposed victims adalah mereka yang memiliki karakter
tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu.
3 Provocative victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau
pemicu kejahatan.
4 Participacing victims adalah mereka yang tidak menyadari atau
memiliki perilaku lain sehingga memudahkan dirinya menjadi korban.
5 False victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya
sendiri.93
Teori perlindungan korban digunakan untuk membangun paradigma
bahwa pecandu dan penyalahguna adalah korban yang harus direhabilitasi.
Teori ini digunakan dalam membahas permasalahan yang kedua yakni
perlindungan pecandu dan korban penyalahguna narkotika di masa
mendatang.
92 Ibid., h. 53-54. 93 Mulyadi, Lilik, 2007, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi,
Djambatan, Jakarta, h. 124.
97
2.4.12 Konsep Pembuktian
Pembuktian adalah suatu proses untuk membuktikan. Membuktikan
menurut Martiman Prodjohamidjojo mengandung maksud dan usaha untuk
menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal
terhadap kebenaran peristiwa tersebut.94 Membuktikan adalah menyakinkan
hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dimaksudkan.95 Dalam perkara
pidana, pihak yang dapat mengajukan alat bukti adalah penuntut umum untuk
membuktikan dakwaannya dan terdakwa atau penasihat hukum untuk
membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah atau meringankan hukuman.
Pembuktian dalam perkara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil.
Masing-masing pihak baik penuntut umum selaku wakil dari negara
maupun terdakwa atau melalui kuasa hukumnya harus memiliki dalil-dalil yang
mampu dibuktikan untuk menerangkan suatu peristiwa yang dimaksud. Di
dalam teori dikenal dua sistem pembuktian sebagaimana yang ditulis oleh
Alfitra yaitu:96
a. Sistem pembuktian positif. Sistem pembuktian positif (positief wetelijk)
adalah sistem pembuktian yang menyandarkan diri pada alat bukti saja,
yakni alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang. Seorang
terdawa bisa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana hanya
didasarkan pada alat bukti yang sah. Alat bukti yang ditetapkan oleh
undang-undang adalah penting. Keyakinan hakim sama sekali
diabaikan.
b. Sistem pembuktian negatif. Sistem pembuktian negative (negatief
wettelijk) sangat mirip dengan sistem pembuktian conviction in raisone.
Hakim di dalam mengambil keputusan tentang salah atau tidaknya
seorang terdakwa terikat oleh alat bukti yang ditentukan oleh undang-
94 Prodjohamidjojo, Martiman, 1984, Komentar Atas KUHAP: Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 11. 95 Sasaid, Nur, 1996, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, h.36. 96 Alfitra, 2012, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana. Perdata dan Korupsi di
Indonesia, Raih Asa Sukses, Depok, h. 28-29.
98
undang dan keyakinan (nurani) hakim sendiri. Jadi, di dalam sistem
negatif ada dua hal yang merupakan syarat untuk membuktikan
kesalahan terdakwa, yakni
1) Wettelijk: adanya alat bukti yang sah yang telah ditetapkan oleh
undang-undang.
2) Negatief: adanya keyakinan (nurani) dari hakim, yakni berdasarkan
bukti-bukti tersebut hakim meyakini kesalahan tedakwa.
Sistem pembuktian menurut Andi Hamzah dapat dibagi menjadi empat
teori yaitu sistem teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif,
berdasarkan keyakinan hakim saja, berdasarkan keyakinan hakim yang
didukung oleh alasan yang logis, dan berdasarkan undang-undang negatif. .97
Ketentuan mengenai alat bukti dalam proses hukum terhadap kejahatan
narkotika diatur dalam Pasal 86 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika. Dalam ayat (1) disebutkan bahwa Penyidik dapat memperoleh alat
bukti selain sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum
Acara Pidana. Menurut Pasal 184 (1) KUHAP alat bukti terdiri dari keterangan
saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Alat bukti
selain yang diatur dalam KUHAP, diatur pula sebagaimana yang diatur Pasal
86 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yakni:
a. Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. Data rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau
didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain
kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak
terbatas pada:
1. Tulisan, suara, dan/atau gambar;
2. Peta, rancangan, foto atau sejenisnya; atau
97 Hamzah, Andi, 2001, Hukum Acara Pidana Indonesia (edisi revisi), cet.1, Sinar
Grafika, Jakarta, h. 245 (selanjutnya disebut Andi Hamzah II).
99
3. Huruf, tanda, angka, simbol, sandi, atau perforasi yang memiliki
makna dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau
memahaminya.
Semua fakta hukum wajib untuk dibuktikan oleh masing-masing pihak
untuk meyakinkan hakim, kecuali fakta notoir yakni pengetahuan yang sudah
diketahui secara umum, misalnya jika hari Minggu, maka perkantoran tutup.
Konsep ini digunakan dalam menganalisis permasalahan pertama untuk
mengidentifikasi kebenaran pelaku sebagai pecandu atau korban penyalahguna
narkotika yang membutuhkan rehabilitasi.
2.4.13. Konsep Hak Asasi Manusia (HAM)
Pengakuan, perlindungan serta pemenuhan terhadap hak-hak asasi
manusia di Negara Indonesia secara konstitusi telah diatur dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 baik hak asasi bidang
sosial, politik, hukum maupun budaya, kemudian secara substansial juga telah
diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang bersifat organik.
Namun demikian awal mula pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak
asasi manusia secara formil oleh negara pada mulanya berkembang di negara-
negara Eropa, salah satu contoh dalam sistem hukum Eropa yang mengatur
menganai perlindungan terhadap hak-hak asasi pelaku kejahatan dapat
dilihat dalam ketentuan European Convention on Human Rights (ECHR),
dimana pada Pasal 6 (3) (e) dari ECHR tersebut menyatakan "Ereyone charge
with a criminal offence [....] "has the rights to free assistance of an interpreter
if he cannot understand or speak the language used court, terjemahan
bebasnya Setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan [......] punya hak
100
mendapatkan bantuan dalam bentuk penerjemah gratis jika orang itu tidak bisa
mengerti atau tidak bisa bahasa yang digunakan di pengadilan.98", (ECHR)
berkembang jauh sebelum lahirnya Decleration of Human Rights, hal ini
menandakan bahwa pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak tersangka
telah diatur dalam konvensi (Convention) di Eropah.
Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia sejak tahun 1948
mulai mendapat perhatian secara internasional yang ditandai dengan
dideklarasikannya Piagam Universal Declaration of Human Rights (UDHR)
atau Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia 1948, yang diikuti dengan
deklarasi hak-hak asasi manusia bidang sipil dan politik (International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) tahun 1966, deklarasi tersebut
mewajibkan tiap-tiap negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk
memberi perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia
dalam keadaan apapun.
Perkembangan konsepsi tentang Hak Asasi Manusia (HAM) juga
mewarnai perkembangan hukum baik dalam tataran internasional dan nasional,
HAM dapat dijadikan sebagai acuan bagi hukum pidana di masing-masing
negara untuk menerapkan konsepsi humanisasi agar sesuai dengan prinsip-
prinsip hukum yang berkaitan dengan perbuatan dan pertanggung jawaban
pidana99
98 Ida Elisabeth Koch, 2009, Human Rights as Indivisible Rights. The Protection
ofSocio-Economic Demands under the European Convention on Human Rights, Martinus
NijhofF Publishers, Leiden.Boston, Page 7 Capter 1. 99 Ali Zaidan M., Op Cit, hal. 123
101
Pengaturan hak-hak asasi manusia bidang hukum dalam konstitusi
negara R.I. dapat di temukan dalam rumusan Pasal 11 UUDNRI Tahun 1945
yang mengatur mengenai persamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan, sedangkan dalam Pasal 28 D ayat (1) menyatakan " Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama dihadapan hukum".
Konsep perlindungan hak asasi manusia khususnya bagi mereka yang
terlibat masalah hukum, adalah setiap orang harus diperlakukan sama dan
sederajat dihadapan hukum, mereka memiliki hak-hak sipil maupun politik.
Upaya pemerintah mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa lain dalam
pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia bagi warga
negara (bidang sipil dan politik) dilakukan dengan turut meratifikasi Kovenan
Internasional Hak Sipil dan Politik tahun 1966 (International Covenant on Civil
and Political Rights (ICCPR)) melalui Undang-undang Nomor 12 tahun 2005
tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil Politik (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119), dalam Penjelasan Umum
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 point 3. Pokok-pokok Isi Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, antara lain menyebutkan:
Pasal 1
Bahwa semua rakyat mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri
dan menyerukan kepada semua negara, termasuk negara-negara yang
bertanggung jawab atas Pemerintahan Wilayah yang tidak
Berpemerintahan sendiri dan Wilayah Perwalian, untuk memajukan
perwujudan hak tersebut. dst.
102
Pasal 6 Sampai dengan Pasal 27 pada pokoknya menetapkan bahwa setiap manusia
mempunyai hak hidup, bahwa hak ini dilindungan oleh hukum, dan bahwa
tidak seorangpun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang ,
tidak seorangpun boleh dikenai siksaan, perlakuan atau penghukuman yang
kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat, tidak seorangpun
boleh diperbudak, bahwa perbudakan dan perdagangan budak dilarang, dan
bahwa tidak seorangpun boleh diperhamba, atau diharuskan melakukan
kerja paksa atau kerja wajib, tidak seorangpun boleh ditangkap atau
ditahan secara sewenang-wenang, tidak seorangpun boleh dipenjarakan
hanya atas dasar ketidak mampuannya memenuhi kewajiban
kontraktualnya.
Orang yang didudukkan sebagai tersangka memiliki hak Previleges
berupa perlindungan dari stigmatisasi praduga bersalah artinya setiap orang
yang disangka telah melakukan suatu tindak pidana tidak boleh divonis atau
dicap atau dilabelisasi bahwa ia/merekalah sebagai pelakunya, karena dalam
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana menerapkan asas " praduga tidak
bersalah ", maka sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan bahwa
benar tersangka tersebut sebagai pelaku tindak pidana dan putusan tersebut
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka tersangka harus tetap
dianggap sebagai orang yang tidak bersalah .
Merupakan kewajiban bagi pemerintah untuk mewujudkan
perlindungan, pemenuhan serta penegakan hak asasi manusia, sebagaimana
dirumuskan dalam ketentuan Pasal 28 J ayat (4) Undang-Undang Dasar Negera
Republik Indonesia dinyatakan "Perlindungan,pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama
pemerintah ".
103
Perwujudan komitmen pemerintah dalam pemenuhan hak-hak asasi
manusia dibidang hukum pidana dapat dilihat dalam KUHAP yang telah
mengatur sejumlah hak-hak tersangka dan pemenuhannya bersifat wajib.
Menurut Sofyan Lubis, dalam sistem peradilan pidana di negara kita, terutama
yang ada di dalam KUHAP, pada praktiknya terjadi sangat banyak pelanggaran
terhadap hak-hak tersangka terutama ditingkat penyidikan, dan setiap
pelanggaran terhadap KUHAP ternyata tidak ada aturan yang dengan jelas
memberikan sanksi bagi mereka yang telah melakukan pelanggaran tersebut35.
sehingga aparat secara leluasa dapat menyalahgunakan kewenangan yang
berakibat terjadinya pelanggaran hak-hak tersangka .
Beberapa konsep HAM yang secara fakta formal yuridis melindungi
setiap individu akan hak-hak kebebasannya secara asasi tentang dalam berbagai
landasan hukum secara universal maupun nasional, bahkan dari landasan
tersebut meningkat menjadi pendapat kalangan para ahli (doktrin).
Adapun beberapa konsep HAM dimaksud diantaranya :
a. Menurut Leach Levin bahwa konsep HAM ada 2 (dua) konsepsi yakni :
1. Natural Reight (Hak Alamiah atau Hak Moral) yakni HAM tidak bisa
dipisahkan dan dicabut. Karena merupakan hak manusia karena ia
seorang manusia, maka kewajiban oleh negara menjaga martabat setiap
manusia
2. Hak menurut hukum, hak –hak individu menurut hukum dibentuk
melalui proses pembentukan oleh negara, maka hukum diciptakan untuk
melindungi hak-hak setiap orang100
100 Nr. Nartono, 1987, Hak-Hak Asasi Manusia Tanya Jawab, Pradnya Paramita,
Jakarta, h. 3
104
b. Piagam Perjanjian Yang Agung (Magna Charta) Tahun 1215
“Bahwa tersurat salah satunya adanya larangan bagi Polisi, Jaksa tidak
boleh menuduh dan menuntut seseorang tanpa saksi yang dapat dipercaya,
serta melarang penahanan penghukuman, dan perampasan benda dengan
sewenang-wenang.101
c. Natural Rights (Hak – Hak Alamiah) dari Konsep John Lock (1632 – 1704)
“Bahwa negara harus menghargai dan menjunjung tinggi hak-hak individu,
kepentingan negara atas dasar alasan apapun tidak bisa menghilangkan hak-
hak individu, bahwa setiap manusia atau individu mempunyai hak-hak
dasar yang tidak bisa diganggu gugat.102
Konsep natural right inilah yang melahirkan hak-hak sipil dan politik,
sebagai pembela dan pelindung hak-hak sipil selaku individu, salah satunya
hak kebebasan setiap orang, tidak dapat dipaksa oleh siapapun termasuk
oleh negara. Maka pula dalam proses peradilan setiap orang hak-hak
individualnya seperti hak untuk diam, hak untuk tidak dibebani pembuktian,
hak untuk tidak dilanggar pembuktian, hak untuk tidak dilanggar hak asasi,
hak untuk tidak dilanggar hak asasi kehormatannya seperti hak tidak
dituduh bersalah sebelum ada putusan oleh hakim yang bersifat tetap
(inkracht) bahwa ialah telah bersalah atas tuduhan terhadap dirinya. Atau
jangan dilanggar hak atas asas praduga tidak bersalah (presumption of
innosence) tersebut.
101 Ibid 102 Ariyanto Ignatius, 2000, Convenant International, Hak Sipil dan Politik, LSPP,
Jakarta, h. 198
105
d. Konsep HAM dari Presiden Amerika Serikat Teodore Roosvelt, dalam
amanat tahunannya tahun 1948 di muka Kongres AS mengemukakan
ajakan membangun satu dunia yang didasarkan atas 4 (empat) kebebasan
dasar manusia yaitu :
1. Kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat di seluruh dunia
2. Kebebasan setiap orang menyembah Tuhan menurut caranya masing-
masing
3. Kebebasan dari ketakutan, yang mengandung arti bebas dari segala
bentuk ancaman kekerasan bagi perorangan maupun bagi suatu bangsa
4. Kebebasan dari kemiskinan yang berarti kewajiban negara untuk
memberi jawasan kepada semua orang untuk hidup dengan sejahtera103
Dalam konsep dari Teodore Roosvelt tersebut menekankan salah satunya
kebebasan setiap individu untuk tidak diancam dengan kekerasan, dalam
artian lebih jauh tanpa ada tekanan pada individu baik fisik maupun psikis,
terutama bila terkait dengan proses hukum dalam peradilan.
e. Konsep HAM Dalam Pengelompokan Generasi HAM
Perkembangan HAM sejak awal muncul pada abad 17 dan 18, pada
awal abad ini dianggap sebagai kemunculan Generasi HAM I, yakni HAM
Sipil dan Politik (Liberte), Generasi HAM II muncul pada abad 19,
merupakan generasi kedua menyangkut kelahiran perjuangan hak-hak sosial
ekonomi dan budaya (Egalite). Dan HAM generasi ke III (ketiga) muncul
perjuangannya diabad 20 (duapuluh), HAM Generasi III merupakan usaha
perjuangan penindasan kelompok berkuasa terhadap kelompok minoritas,
103 Ibid
106
juga perjuangan hak atas perdamaian, pembangunan, hak atas lingkungan
hidup dimasa mendatang dan lain-lain.104
Dalam konsep HAM Generasi II tampak secara jelas akan konsepsi
HAM di bidang sosial dan ekonomi – budaya. Artinya ketika abad 19 penguasa
ditntut oleh individu – individu akan hak-haknya. Kemudian ada kelompok
khusus seperti bangsawan, gereja – gereja dengan hak- hak khusus pula,
barulah kelompok rakyat banyak yang hak-haknya tertindas oleh kedua
kelompok sebelumnya terutama oleh kelompok penguasa yakni raja hak-hak
sosial dan ekonomi – budaya inilah terutama kesejahteraan, individu mulai
diperjuangkan, seperti kesehatan, pendidikan dan lain-lain.
2.5 Doktrin – Doktrin Hukum
2.5.1. Doktrin Tipe Hukum
Doktrin tipe hukum dikemukakan oleh Nonet dan Selznick. Nonet dan
Selznick yang membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam
masyarakat, yaitu hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif),
hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan
melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan hukum sebagai fasilitator
dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif).
Dalam menjamin penciptaan tatanan hukum maka sebuah sistem hukum
nasional yang rasional, transparan, demokratis, otonom dan responsif terhadap
perkembangan aspirasi dan espektasi masyarakat, bukan sebuah sistem hukum
104 Mereriem Budiardjo, 1990, Dasar – Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, h. 37
107
yang bersifat menindas, ortodoks dan reduksionistik. Permasalahannya, dalam
rangka menciptakan sistem hukum yang digambarkan oleh Nonet dan Selznick
itu bukan perkara mudah. Diperlukan kerja sama berbagai pihak (pemerintah,
partai politik dan masyarakat) untuk mewujudkannya. Bila tidak, penciptaan
hukum yang diidealkan itu hanya angan-angan.105
Hukum represif bersumber dari suatu kekuasaan yang represif, yaitu
kekuasaan yang tidak memperhatikan kepentingan-kepentingan orang-orang
yang diperintah atau dengan kata lain kekuasaan dilaksanakan tidak untuk
kepentingan mereka yang diperintah, atau dengan mengingkari legitimasi
mereka.106
Hukum otonom memiliki karakter utama yaitu terbentuknya institusi-
institusi hukum yang terspesialisasi dan relatif otonom yang mengklaim suatu
supremasi yang memenuhi syarat dalam bidang-bidang kompotensi yang
ditentukan.107 Hukum responsif merupakan jawaban atas kritik bahwa hukum
seringkali lepas dari realitas sosial dan cita-cita keadilan. Konsep ini juga
merupakan suatu upaya untuk megintegrasikan kembali teori hukum, filsafat
politik, dan telaah sosial.108
Sifat responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan
kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan tidak oleh pejabat melainkan
oleh rakyat. Syarat untuk mengemukakannya secara otentik memerlukan
105 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2004, Dasar-dasar Politik Hukum,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 72. 106 Philippe Nonet & Philip Selznick, 2008, Hukum Responsif, terjemahan Raisul
Muttaqien, Nusa Media, Bandung, h.33. 107 Ibid, h.59. 108 A. Mukthie Fadjar, 2013, Teori-teori Hukum Kontemporer, Setara, Malang, h. 49.
108
upaya-upaya khusus yang akan memungkinkan hal ini dilakukan. Dengan
demikian diperlukan jalur-jalur untuk berpartisipasi. Sifat responsif
mengandung arti suatu komitmen kepada hukum di dalam perspektif
konsumen. Tetapi di dalam konsep hukum responsif terkandung lebih dari
hanya suatu hasrat bahwa sistem hukum dibuka untuk tuntutan kerakyatan.
Keterbukaan saja akan mudah turun derajatnya menjadi oportunisme.109
Teori tipe hukum yang digunakan adalah teori hukum reponsif yang
digunakan dalam menganalisis permasalahan kedua yakni pengaturan tindakan
rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahguna narkotika di masa
mendatang.
2.5.2 Doktrin Individualisasi
Perkembangan teori pemidanaan semakin didekatkan pada orientasi
mengenai pentingnya perlindungan terhadap pelaku dan korban. Doktrin inilah
yang melarbelakangi doktrin individualisasi. Teori ini banyak dibahas oleh
Barda Nawawi Arief dan Andi Hamzah. Individualisasi pemidanaan dibangun
berdasarkan ide keseimbangan dalam pemidanaan yang mencakup:
a. Keseimbangan monodualistik antara kepentingan umum atau masyarakat
dengan kepentingan individu atau perorangan. Dalam ide keseimbangan
tersebut, kepentingan umum dan kepentingan individu tersebut tercakup
ide perlindungan/ kepentingan korban dan ide individualisasi
pemidanaan.
b. Keseimbangan antara unsur objektif (yaitu perbuatan atau lahiriah)
dengan unsur subjektif (batiniah atau sikap batin), dan ide daat daader
straftrecht.
109 Ibid., h. 55.
109
c. Keseimbangan antara kriteria formil dengan materiil.
d. Keseimbangan antara kepastian hukum dengan kelenturan atau elastisitas
atau fleksibelitas.110
Individualisasi pemidanaan ini menitikberatkan pada unsur
pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) yaitu terkait dengan unsur
kesalahan dalam arti luas dan bagaimana memahami pelaku kejahatan secara
totalitas untuk mengentaskan pelaku kejahatan dari jalan yang sesat. Dengan
demikian hakim perlu memahami secara seksama tentang kondisi individu
terdakwa secara utuh agar pidana yang dijatuhkan sesuai dengan kondisi
pelaku.111 Barda Nawawi Arief memberikan pengertian bahwa individualisme
bukan hanya berarti bahwa pidana yang akan dijatuhkan disesuaikan atau
diorientasikan pada pertimbangan sifat individu pada diri pelaku kejahatan,
melainkan juga memungkinkan adanya perubahan atau modifikasi pidana oleh
hakim agar sesuai dengan perubahan dan perkembangan narapidana.112
Doktrin individualisasi menunjukkan betapa pentingnya peranan individu
pelaku kejahatan dalam penanggulangan kejahatan sehingga harus dipahami
dan diperhatikan melalui kajian medis, psikologis dan kemasyarakatan. Teori
individualisasi pemidanaan merupakan konsekuensi logis dari pemikiran aliran
positif/ modern dalam hukum pidana, yang berpendirian bahwa manusia adalah
makhluk yang bersifat dependen. Jika manusia melakukan tindak pidana maka
pidana yang dijatuhkan perlu disesuaikan dengan kondisi pelaku dan kondisi
110 Ibid. 111 Saleh, Roeslan, 1988, Dari Lembar Kepustakaan Hukum Pidana, Sinar Grafika,
Jakarta, h. 122. (selanjutnya disebut Roeslan Saleh II). 112 Widodo, 2009, Sistem Pemidanaan Dalam Cyber Crime, Laksbang Mediatama,
Yogyakarta, h. 124.
110
lingkungannya.113 Teori ini sangat berorientasi pada upaya perlindungan korban
dan pelaku pada saat ini dan juga upaya perlindungan bagi masyarakat ke
depannya.
Doktrin ini digunakan dalam menganalisis permasalahan kedua dimana di
masa mendatang pecandu dan korban penyalahguna narkotika hanya perlu
dikenakan tindakan rehabilitasi (tidak lagi pidana penjara dan denda).
2.6. Teori – Teori Hukum
2.6.1. Teori Kewenangan
Istilah kewenangan berasal dari terjemahan Bahasa Inggris, yaitu
authority of theory yang, dalam bahasa Jerman nya yaitu theory der autoritat.
Sedangkan teori kewenangan berasal dari dua suku kata, yaitu teori dan
kewenangan, dimana teori dalam hal ini adalah hal-hal yang mengkaji tentang
kewenangan dan dalam pengertian konsep kewenangan. Oleh H.D. Stout
membagi dalam dua unsur yang terkandung dalam konsep kewenangan,
yaitu:
a. Adanya aturan-aturan hukum
b. Sifat hubungan hukum114
Aturan-aturan hukum dapat berbentuk undang-undang, peraturan
pemerintah (pp) maupun aturan yang lebih rendah tingkatnya. Sifat hubungan
hukum merupakan hal yang berkaitan dan mempunyai sangkut paut atau ikatan
113 Ibid., h. 129. 114 Ridwan HR, 2008, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo, Jakarta, h. 110
111
atau pertalian atau berkaitan dengan hukum. Teori tentang Kewenangan oleh
H.D. Stout yang dikutip Ridwan HR menyebutkan “Keseluruhan aturan-aturan
yang berkenaan dengan perolehan dan pecanduan wewenang pemerintahan
oleh subyek hukum publik di dalam hubungan hukum publik”.115
Ateng Syafrudin menyatakan bahwa perbedaan yang mendasar
mengenai konsep pengertian wewenang dan konsep tentang kewenangan
adalah bahwa wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik yang
berkaitan dengan wewenang pemerintahan seperti wewenang membuat
keputusan pemerintah (bestuur), wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas
yang memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan.116 Kewenangan (authority, gezag)
adalah apa yang disebut kepuasan formal, kekuasaan yang berasal dari
kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang. Menurut Ateng Syarifudin,
bahwa unsur-unsur yang terkandung dalam kewenangan meliputi:
a. Kekuasaan formal.
b. Kekuasaan diberikan oleh undang-undang.
Fokus kajian teori kewenangan adalah berkaitan dengan sumber
kewenangan dari pemerintah dalam melakukan perbuatan hukum baik dalam
hubungannya denga hukum publik maupun dalam hubungannya dengan hukum
privat, seperti apa yang dikemukakan oleh Indroharto yang mengatakan bahwa
115 Ibid., h.110. 116 Ateng Syafrudin, 2000, Menuju Penyelanggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih
dan Bertanggung Jawab, Jurnal Proyustisia edisi IV Universitas Parahyangan, Bandung, h.22.
112
ada 3 macam konsep kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-
undangan yang meliputi:
a. Atribusi;
b. Delegasi;
c. Mandat.117.
Kewenangan atribusi adalah pemberian kewenangan oleh pembuat
undang-undang sendiri kepada suatu organ pemerintahan, baik yang sudah ada
maupun yang baru sama sekali, dan di dalam memberikan atribusi wewenang
terdapat legislator yang memiliki kompetensi dan berkedudukan sebagai
original legislator tingkat pusat yaitu MPR sebagai pembentuk konstitusi
(konstituante) dan DPR bersama-sama pemerintah sebagai yang melahirkan
suatu undang-undang, sedangkan di tingkat daerah, yaitu DPRD dan
pemerintah daerah yang melahirkan peraturan daerah (Perda). Sebagai delegatif
legislator yaitu presiden yang berdasarkan ketentuan undang-undang
mengeluarkan peraturan pemerintah (pp) dimana diciptakan wewenang
pemerintahan kepada badan atau jabatan tata usaha negara tertentu.
Kewenangan delegasi adalah penyerahan wewenang yang dimiliki oleh
organ pemerintahan kepada organ lain, dimana dalam delegasi adanya suatu
penyerahan kewenangan dari si pemberi kewenangan kepada si penerima
kewenangan yang selanjutnya si penerima kewenangan atas delegasi tersebut
sepenuhnya menjadi tanggung jawab penerima wewenang tersebut.
Kewenangan berupa mandat tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru
117. Ridwan HR, Op.Cit., h.104.
113
maupun pelimpahan wewenang dari badab atau tata usaha negara yang satu
kepada yang lainnya, sehingga tanggung jawab kewenangan atas dasar mandate
masih tetap pada pemberi mandate dan tidak beralih kepada penerima mandate.
Menurut Philipus M. Hadjon, wewenang dapat diperoleh melalui 2 cara
yaitu atribusi dan delegasi dan kadang-kadang juga mandat.118 Atribusi
merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung
bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil. Atribusi juga merupakan
norma untuk memperoleh wewenang pemerintah, sehingga jelas bahwa
kewenangan didapat melalui atribusi oleh organ pemerintah adalah
kewenangan asli, karena kewenangan diperoleh dari peraturan undang-undang.
Atribusi berarti timbulnya kewenangan baru yang sebelumnya kewenangan itu
tidak dimiliki oleh organ pemerintah yang bersangkutan. Delegasi diartikan
sebagai penyerahan wewenang untuk membuat besluit, dengan kata penyerahan
berarti adanya perpindahan tanggung jawab dari yang memberi delegasi
(delegan) kepada yang menerima delegasi (delegetaris) melalui persyaratan
antara lain yaitu :
a. delegasi harus definitive, artinya delegans tidak dapat lagi
menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu;
b. delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan,
artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu
dalam peraturan perundang-undangan;
118 . Philipus M. Hadjon, 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan
(Bestuurbevoegdheid), Pro Justitia Tahun XVI, h. 90.
114
c. delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki
kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi;
d. kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegasi
berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang
tersebut.
Teori kewenangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kewenangan atribusi yang terkait dengan kewenangan untuk membuat Undang-
undang dalam pengaturan rehabilitasi di masa mendatang. Oleh badan legislatif
serta aplikasinya oleh penegak hukum khususnya hakim.
2.6.2 Teori Kebijakan Hukum Pidana
Teori Kebijakan Hukum Pidana dikemukakan oleh Marc Ancel, A.
Mulder, Barda Nawawi Arief dan Sudarto. Menurut Barda Nawawi Arief,
kebijakan penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika tidak bisa
lepas dari tujuan Negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum berdasarkan Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945.119 Sebagai warga Negara berkewajiban untuk memberikan
perhatian pelayanan pendidikan melalui pengembangan ilmu pengetahuan.
Disisi lain perhatian pemerintah terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat
khususnya yang berdampak dari gangguan dan perbuatan pelaku tindak pidana
narkotika.
119 Arief, Barda Nawawi, 1996, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan
Kejahatan Dengan Pidana Penjara, UNDIP Semarang, h. 6-7, (selanjutnya disebut Arief,
Barda Nawawi I).
115
Barda Nawawi Arief kemudian juga berpendapat bahwa kebijakan
penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika merupakan
kebijakan hukum positif yang pada hakikatnya bukanlah semata-mata
pelaksanaan Undang-undang yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan
sistematik, dogmatik. Di samping pendekatan yuridis normatif, kebijakan
hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa
pendekatan sosiologis, historis, bahkan memerlukan pula pendekatan
komprehensif dari berbagai disiplin ilmu lainnya dan pendekatan integral
dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya.120
Substansi kebijakan pidana merupakan salah satu bidang yang
seyogyanya menjadi pusat perhatian kriminologi, karena kriminologi sebagai
studi yang bertujuan mencari dan menentukan faktor-faktor yang membawa
timbulnya kejahatan-kejahatan dan penjahat. Kajian mengenai kebijakan
hukum pidana (Penal Policy) yang termasuk salah satu bagian dari ilmu hukum
pidana, erat kaitannya dengan pembahasan hukum pidana nasional yang
merupakan salah satu masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia.
Dalam batas – batas yang dimungkinkan perlindungan terhadap hak–
hak asasi warga masyarakat Indonesia, terhadap beberapa prinsip yang
terkandung dalam Undang-undang narkotika adalah :
(a) Bahwa Undang-undang narkotika juga dipergunakan untuk menegaskan
ataupun menegakkan kembali nilai – nilai sosial dasar prilaku hidup
masyarakat dalam negara kesatuan Republik Indonesia yang dijiwai
oleh falsafah Negara Pancasila.
120 Arief, Barda Nawawi, 2005 Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Aditya
Bakti, Bandung, h. 22 (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief II).
116
(b) Bahwa Undang-undang narkotika merupakan satu-satunya produk
hukum yang membentengi bagi pelaku tindak pidana narkotika secara
efektif.
(c) Dalam menggunakan produk hukum lainnya, harus diusahakan dengan
sungguh – sungguh bahwa caranya seminimal mungkin tidak
mengganggu hak dan kewajiban individu tanpa mengurangi
perlindungan terhadap kepentingan masyarakat yang demokrasi dan
modern.121
Berdasarkan pada prinsip- prinsip yang terkandung dalam perinsip
hukum, maka dapat dipahami bahwa apabila masih ada cara lain untuk
mengendalikan sosial, maka pecanduan hukum pidana dapat di tiadakan,
kebijakan ini disebut sebagai kebijakan ‘non-penal.
Salah satu jalur “non penal” untuk mengatasi masalah – masalah sosial
adalah lewat “kebijakan sosial” (sosial policy). Kebijakan sosial pada dasarnya
adalah kebijakan atau upaya – upaya rasional untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat, jadi identik dengan kebijakan atau perencanaan pembangunan
nasional yang meliputi berbagai aspek yang cukup luas dari pembangunan.
Sebaliknya apabila cara pengendalian lain (Social – Control), yaitu dengan cara
menggunakan “Kebijakan Sosial” (Social – Policy) tidak mampu mengatasi
tindak pidana, maka jalan yang dipakai melalui kebijakan “Penal” (Kebijakan
Hukum Pidana)
Dua masalah sentral dalam kebijakan tindak pidana dengan menggunakan
sarana penal (hukum pidana) adalah masalah:
1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan
121 Reksodiputra, Mardjono, 1995, Pembaharuan Hukum Pidana, Pusat Pelayanan dan
Pengendalian Hukum, Lembaga Kriminologi UI, Jakarta, h 23-24.
117
2. Sanksi apa yang sebaiknya di gunakan atau dikenakan kepada si
pelanggar.122
Analisis terhadap 2 (dua) masalah sentral ini tidak dapat di lepaskan dari
konsepsi integral antara kebijakan criminal dengan kebijakan sosial atau
kebijakan pembangunan nasional. Ini berarti pemecahan masalah – masalah di
atas harus pula di arahkan untuk mencapai tujuan – tujuan tertentu dari
kebijakan sosial- politik pula kebijakan dalam menangani 2 (dua) masalah
sentral tersebut di atas, harus pula dilakukan dengan pendekatan yang
berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach).
Bertolak dari pemahaman “kebijakan”, istilah kebijakan dalam tulisan ini
diambil dari istilah “Policy”(Inggris) atau “Politic” (Belanda). Atas dasar dari
kedua istilah asing ini, maka istilah “Kebijakan Hukum Pidana’ dapat pula
disebut dengan istilah”Politik Hukum Pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah
:Politik Hukum Pidana” ini sering di kenal dengan berbagai istilah antara lain
“Penal Policy,”Criminal Law Policy” atau “Strafreehtspolitiek”.
Kebijakan Penanggulangan Kejahatan atau yang biasa di kenal dengan
istilah “Politik Kriminal” yang dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas.
Maksudnya dalam upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan :
a. Penerapan hukum pidana (Criminal law application)
b. Pencegahan tanpa pidana (Prevention without punishment)
122 Ibid, h. 23-24.
118
c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat media masa (influencing views of society on crime and
punishment)123.
Bertolak dari keraguan atas efektivitas sarana penal dari aplikasi Undang
– undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika tersebut, perlu dicermati
efektivitas hukum yang tidak dapat dilepaskan dari tipe-tipe penyelewengan
tersebut merupakan kategori secara teoritis terhadap pelbagai jenis
penyelewengan yang terjadi dalam suatu masyarakat tertentu.
Teori ini digunakan dalam menganalisis permasalahan pertama dan kedua
mengenai kebijakan hukum pidana terhadap tindakan rehabilitasi saat ini, yakni
pengaturan tidakan rehabilitasi saat ini baik dalam undang-undang maupun
dalam peraturan teknis yuridis dan kebijakan hukum pidana dalam konteks
pembaruan hukum mengenai pengaturan tindakan rehabilitasi di masa
mendatang. Berarti menyangkut pembagian teori kebijakan pidana yang
dikonsepsi A. Mulder, MC Ancel dan Sudarto dengan tahapan kebijakan
formulasi oleh legislatif dan kebijakan aplikasi oleh badan yudikatif terkait
penormaan hukum dalam pengaturan rehabilitasi.
2.6.3. Teori Hukum Pembuktian
Proses pembuktian adalah mengenai benar tidaknya terdakwa
melakukan perbuatan yang didakwakan sehingga merupakan bagian yang
terpenting dalam proses hukum acara pidana, dan bertujuan untuk mencari
123 Soekanto, Soerjono, 1988, Efektivitas Hukum dan Peraan Saksi, Remaja, Karyawa,
Bandung, h. 68. (selajutnya disebut dengan Soerjono Soekanto III).
119
kebenaran materiil. Sebagaimana dikatakan oleh Ansorie Sabuan bahwa
pembuktian merupakan masalah yang pelik (Jngewikkeld) dan justru masalah
pembuktian menempati titik sentral dalam Hukum Acara Pidana. Adapun
tujuan dari pembuktian adalah untuk mencari dan mendapatkan kebenaran
materiil, dan bukan mencari kesalahan seseorang.124
Van Bemmelen mengaitkan pencarian dan penemuan kebenaran oleh
Hukum Acara Pidana melalui proses pembuktian dengan maksud sebagai
berikut:
"Rewijsen is derhalie door onderzoek en redenering van de rechter een
redelijke mate van zekerheid te vershaffen " :
a. Omfrent de vraag ofbepaaldefeiten hebben plaats gevonden.
b. Omtr de vraag waarom dit het geval is geweest.
Bewijzen bestaat du suit:
a. Het wijzen op \vaarnembarefeiten.
b. Medewerkingenwengenomenfeiten
c. Logiseh denken
Terjemahan:
Maka pembuktian ialah usaha untuk memperoleh kepastian yang layak
dengan jalan memeriksa dan penalaran dari hakim :
a. Mengenai pertanyaan apakah peristiwa atau perbuatan tertentu sungguh
pernah terjadi,
b. Mengenai pertanyaan mengapa peristiwa ini telah terjadi.
Dari itu pembuktian terdiri dari :
a. Menunjukkan peristiwa-peristiwa yang dapat diterima oleh panca
hidera;
b. Memberikan keterangan tentang peristiwa-peristiwa yangtelah
diterima tersebut.
c. Menggunakan pikiran logis.
Teori pembuktian mengenal adanya 4 (empat) sistem pembuktian
sebagai berikut:
124 Sabuan, Ansorie; Pettanase, Syariffudin; dan Ahmad, Ruben, 1990, Hukum Acara
Pidana, Angkasa, Bandung, h. 185.
120
1. Teori Pembuktian atas keyakinan belaka (conviction in time).
2. Teori Pembuktian atas alasan yang logis (conviction raisonee) atau
Teori Pembuktian Bebas
3. Teori Pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara positif (Positive
Wettelijke Bewijstheorie)
4. Teori Pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara Negatif
(Negatief Wettelijke Bewfistheorie)125
Keempat sistem pembuktian yang ada membantu hakim untuk menilai
alat bukti yang diajukan guna menentukan salah atau tidaknya
terdakwa, penjelasannya sebagai berikut :
1. Teori Pembuktian atas keyakinan belaka (conviction in time)
I Gede Artha menyatakan teori pembuktian atas keyakinan belaka
menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh
penilaian "keyakinan hakim", hakim tidak terikat oleh suatu peraturan
hukum.126 Sumber dari mana hakim menarik dan menyimpulkan
keyakinannya tidak menjadi masalah dalam sistem ini, dimana hakim
menyimpulkan dari alat-alat bukti dan keterangan terdakwa dipersidangan.
Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada terdakwa semata-
mata atas dasar keyakinan belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang
cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana
yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan
125 Sabuan, Ansorie; Pettanase, Syariffudin; dan Ahmad, Ruben, op. cit, h. 186 126 Artha, I Gede, 2012, Kebijakan Formulasi Upaya Hukum terhadap Putusan bebas
bagi Penuntut Umum dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana lindonesia, (Disertasi),
Program Studi Doktor (S3) Ilmu Hukum, Universitas Brawijaya, Malang, h.168.
121
alat-alat bukti yang lengkap selama hakim tidak yakin atas kesalahan
terdakwa.127
Pendapat praktisi hukum R. Subekti, sistem pembuktian conviction
in time, sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian
yang cukup itu dapat dikesampingkan oleh keyakinan hakim. Sebaliknya
walaupun kesalahan terdakwa "tidak terbukti" berdasar alat-alat bukti yang
sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah, semata-mata atas "dasar keyakinan
hakim".128
2. Teori Pembuktian atas alasan yang logis (conviction raisonee) atau Teori
Pembuktian Bebas
Menurut teori ini ditentukan bahwa hakim didalam memakai dan
menyebutkan alasan-alasan untuk mengambil keputusan tidak terikat pada
penyebutan alat-alat bukti yang tercantum dalam undang-undang,
melainkan hakim tersebut secara bebas diperkenankan memakai alat-alat
bukti lain, asalkan semuanya itu berlandaskan alas an-alasan tepat menurut
logika.129
R. Subekti menyatakan "keyakinan hakim" tetap memegang peranan
penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi keyakinan
hakim disini dibatasi, namun didukung dengan alasan-alasan yang jelas.
Hakim wajib menguraikan, dan menjelaskan alasan-alasan apa yang
mendasari keyakinan atas kesalahan terdakwa.
127 Hamzah Andi, 1985, Komentar Undang-Undang RJ Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung, Ind. Hill Co, Jakarta, h. 251-254. 128 Subekti, R, 1978, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 10 129 Artha, I Gede, Op Cit, h. 169
122
"Tegasnya keyakinan hakim dalam teori pembuktian atas alas an yang
logis (conviction raisonee) atau Teori Pembuktian Bebas harus
dilandasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus
reasonable, yakni berdasar alas an yang dapat diterima. Keyakinan
hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar
dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang
tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal."130
3. Teori Pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara positif (Positive
Wettelijke Bewijstheorie)
Teori berdasarkan undang-undang secara positif menyatakan
bahwa :
"Undang-undang menentukan jenis alat bukti yang dapat dipakai oleh
hakim atau sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-
alat bukti yang dapat dipakai olehhakim atau sistem ini berpedoman
pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh
undang-undang. Untuk membuktikan salah atau ttidaknya terdakwa
semata-mata digantungkan kepada alat bukti yang sah. Asal sudah
dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undnag-
undang sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa
mempersoalkan keyakinan hakim.131
Pendapat Andi Hamzah disebut sistem pembuktian berdasarkan
undang-undang secara positif (Positive Wettelijke Bewijstheorie) yakni
pembuktian yang didasarkan melalui alat-alat pembuktian yang disebut
undang-undang. Dikatakan secara positif karena hanya didasarkan kepada
undang-undang melulu. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai
dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan
130 Subekti, R, Op. Cit, h. 11 131 Harahap, M, Yahya, 2003, Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP,
Pemeriksaan Sidang Pengadilan Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika,
Jakarta, h. 278
123
hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga Teori
Pembuktian Formal (Formele Bewijstheorie).132
Pendapat senada dikatakan pula oleh Ansorie Sabuan bahwa sistem
ini melulu menurut ketentuan undang-undang, yang meninggalkan nilai
kepercayaan tentang diri pribadi hakim sebagai sumber keyakinan, hingga
akan menimbulkan bentuk keputusan yang dapat menggoyangkan
kehidupan hukum karena kurangnya dukungan dalam masyarakat sebagai
akibat putusan-putusan yang tidak dapat mencerminkan kehendak
masyarakat yang akan tercermin dalampribadi hakim, oleh karena itu sistem
ini tidak dapat diterapkan di Indonesia.133
4. Teori Pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara Negatif (Negatief
Wettelijke Bewfistheorie)
Teori pembuktian undang-undang secara negatif menentukan bahwa
hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikitnya dua alat bukti
yang telah ditentukan itu ada,ditambah dengan keyakinan hakim yang
didapat dari adanya alat-alat bukti itu.134
Kesalahan seorang terdakwa, menurut sistem pembuktian menurut
undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen :
1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti
yang sah menurut undang-undang.
132 Hamzah, Andi, Op. Cit., h. 251. 133 Sabuan, Ansorie; Pettanase, Syariffiidin; dan Ahmad, Ruben, Op.Cit, h. 187. 134 Sabuan, Ansorie; Pettanase, Syarifrudin; dan Ahmad, Ruben, Op.Cit, h. 188.
124
2. Dan keyakinan hakim yang juga hams didasarkan cara dan dengan alat-
alat bukti yang sah menurut undang-undang.135
Peradilan Pidana Indonesia yang berdasarkan KUHAP menganut
teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif, hal tersebut
terlihat dari rumusan Pasal 183 KUHAP yang merumuskan : "Hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya".
Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa pembuktian harus didasarkan
kepada undang-undang dan merujuk pada alat bukti yang sah tersebut
dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP adalah :
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa
Pasal 6 Ayat (2) UU Rl No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman juga mengatur bahwa "Tiada seorangpun dapat dijatuhi pidana
kecuali apabila di pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut
undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap
135 Yudowidagdo, Hendrastanto, dkk, 1987, Kapitn Selekta Hukum Acara Pidana
Indonesia, PT. Bina Aksara, Jakarta, h. 240.
125
dapal bertanggungjawab telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan
atas dirinya."
D. Simons sebagaimana dikutip Wiryono Projodikoro menyatakan
dalam sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara
negatif (negatief wettelijke bewijstheorie) ini, pemidanaan didasarkan
kepada pembuktian yang berganda (dubble en grondslag) yaitu pada
peraturan perundang-undangan, keyakinan hakim dan menurut undang-
undang, dasar keyakinan hakim itu bersumberkan pada peraturan
perundang-undangan.136
Wiryono Projodikoro menyatakan:
"Untuk Indonesia yang telah menerapkan teori pembuktian berdasarkan
undang-undang secara negatif (negatief wettelijke) melalui KUHAP,
sebaiknya dipertahankan, berdasarkan dua alasan, pertama memang
sudah selayaknya ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa
untuk dapat menjatuhkan hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa
memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.
Kedua, ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam
menyusun keyakinannya, agarada patokan-patokan tertentu yang harus
diturut oleh hakim dalam melaksanakan peradilan."137
Relevansi teori hukum pembuktian menurut undang-undang secara
negatif dalam penelitian ini adalah dalam rangka membuktikan seseorang
sebagai tersangka tindak pidana narkotika. Apakah tersangka tersebut
sebagai pecandu atau pengedar atau bahkan sebagai korban penyalahgunaan
narkotika. Pembuktian sangat diperlukan guna menentukan posisi
136 Wirjono Projodikoro, 1992, Hukum Acara Pidana dl Indonesia, Sumur, Bandung,
h.77 137 Wirjono Projodikoro, Op.Cit., h. 77-78
126
tersangka. Ketika tersangka memang terbukti hanya sebagai pecandu atau
korban penyalahgunaan narkotika, maka sanksi yang tepat diberikan berupa
tindakan yang bentuknya rehabilitasi. Bukan untuk diberi sanksi pidana,
karena ia dianggap orang sakit yang mesti mendapatkan pemulihan
kesehatan untuk terbebas dari ketergantungan dari konsumsi narkotika.
2.6.4 Teori Pemidanaan
Teori pemidanaan adalah teori yang dibahas oleh banyak ahli hukum
pidana di dunia, diantaranya Vos, Nigel Walker, Von Feuer Bach, Muladi,
Andi Hamzah dan sebagainya. Pemidanaan dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia didasarkan pada asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege
poenali sebagaimana yang dikemukakan oleh Paul Johan Anslem von
Feurbach. Asas tersebut juga disebut asas legalitas yang tercantum dalam Pasal
1 ayat (1) KUHP. Suatu ancaman pidana merupakan usaha preventif terjadinya
tindak pidana dan jikalau orang telah mengetahui sebelumnya bahwa ia
diancam pidana karena melakukan tindak pidana, diharapkan akan menekan
hasratnya untuk melakukan perbuatan tersebut.
Menurut Sudarto, sejarah dari hukum pidana pada hakekatnya merupakan
sejarah pidana dan pemidanaan. Pidana termasuk juga tindakan (maatregel,
masznahme), bagaimanapun juga merupakan suatu penderitaan, sesuatu yang
dirasakan tidak enak untuk dikenai. Oleh karena itu, orang tidak tidak pernah
ada henti-hentinya untuk mencari dasar, hakekat dan tujuan pidana dan
127
pemidanaan, untuk memberikan pembenaran dari pidana itu sendiri.138 Apabila
pemidanaan ditinjau dari segi orientasinya, dikenal adanya 2 macam teori
pemidanaan, yaitu :
1. Teori Absolut (pembalasan), yaitu teori yang berorientasi ke belakang
berupa pembalasan yang setimpal atas perbuatan yang dilakukan.
2. Teori Relatif (tujuan), yaitu teori yang berorientasi ke depan berupa
penyembuhan luka, baik luka individual maupun luka sosial.139
Menurut teori absolut dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu
sendiri. Karena kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain,
sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku yang harus diberi penderitaan.
Pembalasan tersebut dipandang sebagai suatu reaksi keras yang bersifat
emosional, karena itu mempunyai sifat yang irasional.140 Pidana adalah reaksi
atas delik, dan berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara pada
pembuat delik itu.141 Dalam teori ini Hegel mengajarkan bahwa “hukum adalah
suatu kenyataan kemerdekaan. Oleh sebab itu, kejahatan merupakan tantangan
terhadap hukum dan hak. Hukuman dipandang dari sisi imbalan sehingga
hukuman merupakan dialectische vergelding (pembalasan dialektis).”142
Pemikiran mengenai pemidanaan sebagai suatu pembalasan, sedikit demi
sedikit terkikis dengan pandangan bahwa penghukuman bukanlah merupakan
tujuan akhir. Dalam kondisi tersebut lahirlah teori maksud dan tujuan atau yang
138 Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h. 31. 139 Muladi dan Arief, Barda Nawawi, 1998, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung, h. 60 140 Sahetapy, J. E., 1998, Kriminologi, Rajawali, Jakarta, h. 11. (selanjutnya disebut
Sahetapy, J. E. I). 141 Saleh, Roeslan, 1978, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, h. 5.
(selanjutnya disebut Saleh, Roeslan I). 142 Marpaung, Leden, 2008, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta,
h. 105.
128
juga diistilahkan dengan teori pemidanaan relatif, teori maksud dan teori
prevensi. Berdasarkan teori ini hukuman dijatuhkan untuk melaksanakan
maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni memperbaiki ketidakpuasan
masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus dipandang
secara ideal. Selain dari itu, tujuan hukuman adalah untuk mencegah (prevensi)
kejahatan.143
Plato dan Aristoteles mengemukakan bahwa “pidana itu dijatuhkan bukan
karena telah berbuat jahat, tetapi agar jangan diperbuat kejahatan, hal ini
merupakan suatu kenyataan bahwa hukum pidana bersifat preventif atau
pencegahan agar tidak melakukan kejahatan atau pelanggaran.144 Dalam
perkembangannya, ada pula yang memandang bahwa pemidanaan bertujuan
ganda yakni pembalasan dan pencegahan. Teori ini dikenal dengan teori
gabungan. Teori gabungan merupakan perpaduan antara vergeldingtheorie dan
doeltheorie. Gabungan dua teori ini mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman
adalah untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan
memperbaiki pribadi si penjahat.145
Teori pemidanaan digunakan dalam menganalisis permasalahan pertama
dan kedua. Permasalahan pertama dimana undang-undang narkotika saat ini
menggunakan teori campuran yang dapat dilihat dari jenis sanksi pidana yakni
pidana penjara, denda, dan tindakan rehabilitasi. Dalam menganalisis
permasalahan kedua, maka digunakan teori pencegahan, dimana tindakan
143 Ibid., h. 106. 144 Hamzah, Andi, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, h. 7,
(selanjutnya disebut Andi Hamzah I). 145 Marpaung, Leden, Op.Cit., h. 107.
129
rehabilitasi bertujuan untuk memperbaiki pecandu dan korban penyalahguna
narkotika.
2.6.5 Teori Kemanfaatan
Teori kemanfaatan lahir dalam mazhab utilitarianisme sebagaimana yang
dipelopori oleh Jeremy Bentham (1748-1832), John Stuart Mill (1806-1873)
dan Rudolf von Jhering (1818-1889). Dengan memegang prinsip manusia akan
melakukan tindakan untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya
dan mengurangi penderitaan, Bentham mencoba menerapkannya di bidang
hukum. Atas dasar ini, baik buruknya suatu perbuatan diukur apakah perbuatan
itu mendatangkan kebahagiaan atau tidak. Demikian pun perundang-undangan,
baik-buruknya ditentukan oleh ukuran tersebut.146 Undang-undang yang baik
menurut teori ini adalah undang-undang yang mampu memberikan kebahagiaan
yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.
Bagi Bentham tujuan perundang-undangan adalah untuk menghasilkan
kebahagiaan bagi masyarakat. Untuk itu perundang-undangan harus berusaha
mencapai empat tujuan yaitu:
a. To provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup).
b. To provide abundance (untuk memberikan makanan yang berlimpah).
c. To provide security (untuk memberikan perlindungan).
d. To attain equality (untuk mecapai kebersamaan).147
146 Rasjidi, Lili, 1985, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Alumni, Bandung, h. 44. 147 Ali, Achmad, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, h. 76-78.
130
Teori Bentham berpengaruh terhadap hukum pembuktian. Pemikiran itu
dapat dijelaskan sebagai berikut:
The effect of Bentham’s anti- nomian thesis was to lay down the gauntlet to
the law of evidence, challenging it to justify its continuing existence. Instead
of the law of evidence being viewed as an all- e mbracing set of rules for
the regulation of proof in legal procedures, it has come to be viewed as a
series of disparate exceptions to the Benthamite principle of free proof.148
Pengaruh tesis antinomi Bentham adalah untuk meletakkan tantangan untuk
hukum pembuktian, menantang untuk membenarkan keberadaannya terus.
Bukan bukti hukum yang dilihat sebagai menggabungkan semua-aturan
untuk pengaturan pembuktian dalam prosedur hukum, telah datang untuk
dilihat sebagai rangkaian pengecualian berbeda dengan prinsip utilitaris
pembuktian bebas.
Ajaran Bentham dikenal sebagai utilitarianisme yang individual, sedang
rekannya Rudolf von Jhering mengembangkan ajaran yang bersifat sosial.
Teori von Jhering merupakan gabungan antara teori Bentham, Stuart Mill dan
positivisme Jhon Austin.149
Stuart Mill memperkenalkan gagasan yang paling penting yakni
perbedaan kualitatif pelbagai macam kesenangan. Menurut Mill, suatu hal yang
penting untuk menilai kesenangan baik atas dasar kualitas dan juga
kuantitasnya. Tidak masuk akal menilainya hanya atas dasar kuantitasnya saja.
Tetapi apabila orang harus mengakui adanya perbedaan kulitatif intrinsik pada
semua kesenangan, maka harus ada suatu patokan untuk itu. Patokan tersebut
tidak terdiri dari kesenangan itu sendiri. Bila dilihat dari cara berfikir Mill, ia
mengacu pada sebuah aturan pada bagaimana manusia itu seharusnya. Patokan
tersebut berada pada kodrat manusia yang berfungsi sebagai patokan untuk
148 Patterson, Dennis (ed), 2010, A Companion to Philosophy of Law and Legal Theory
Second edition, Blackwell Publishing Ltd, Singapura, h. 179. 149 Rasyidi, Lili, Op.Cit., h. 44-45.
131
menentukan perbedaan kualitatif antara kegiatan-kegiatan yang membawa
kesenangan.
Rudolf von Jhering yang mengembangkan teori social utilitarianism
menganggap bahwa hukum merupakan suatu alat bagi masyarakat untuk
mencapai tujuannya. Dia menganggap hukum sebagai sarana untuk
mengendalikan individu-individu, agar tujuannya sesuai dengan tujuan
masyarakat dimana mereka menjadi warganya. Satu-satunya hukum yang
diterima sebagai hukum merupakan tata hukum, sebab hanya hukum inilah
yang dapat dipastikan kenyataannya.150 Bagi Jhering, hukum juga merupakan
suatu alat yang dapat dipergunakan untuk melakukan perubahan-perubahan
sosial. Ajaran-ajaran Jhering banyak mempengaruhi jalan pikiran para sarjana
sosiologi hukum Amerika, antara Roscoe Pound.151 Undang-undang tentang
Narkotika harus memberikan kemanfaatan yang seluas-luasnya bagi
masyarakat melalui pengaturan mengenai rehabilitasi sejak penyidikan hingga
pembinaan di lembaga pemasyarakatan.
Teori kemanfaatan digunakan untuk membahas permasalahan pertama
dan kedua, dimana aturan yang ada dan yang akan dibentuk harus memberikan
manfaat bagi masyarakat khususnya pecandu dan korban penyalahguna
narkotika.
150 Huijber, Theo, 2006, Filsafat Hukum Dalam lintasan Sejarah Cetakan ke-15,
Kanisius, Yogyakarta, h. 128. 151 Soekanto, Soerjono, 2009, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, h. 41. (selajutnya disebut dengan Soerjono Soekanto II).
132
2.6.6. Teori Harmonisasi Hukum
Harmonisasi hukum telah muncul dalam ilmu hukum di Jerman pada
tahun 1992, penggagasnya Rudolf Stammler (1856-1938). Harmonisasi hukum
dikembangkan dalam ilmu hukum yang digunakan untuk menunjukkan bahwa
dalam dunia hukum, kebijakan pemerintah dan hubungan diantara keduanya
terdapat keanekaragaman yang dapat mengakibatkan disharmoni. Rudolf
Stammler mengemukakan suatu konsep fungsi hukum, bahwa tujuan atau
fungsi hukum adalah harmonisasi berbagai maksud, tujuan, dan kepentingan
antara individu dan antara individu dengan masyarakat. Dikatakan oleh
Stammler "a just law aims at harmonizing individual purposes with that of
society".152
Istilah harmonisasi berasal dari bahasa Yunani, asal kata "harmonia"
yang artinya : "Terlibat secara serasi dan sesuai". Secara filsafat dapat diartikan
kerjasama antara berbagai faktor yang sedemikian rupa, sehingga faktor-faktor
tersebut menghasilkan kesatuan yang luhur. Daiar perspektif psikologi diartikan
sebagai keseimbangan dan kesesuaian, segi-segi alam, perasaan, alam pikiran,
dan perbuatan individu,sehingga tidak terjadi hal-hal ketegangan yang
berlebihan.153
Esensi pengertian dan makna harmonisasi hukum tersebut diatas,
dikembangkan oleh para ahli dengan menghubungkan keterkaitannya dengan
fungsi hukum dalam berbagai aspek kepentingan hukum antara mdividu-
individu dengan negara atau pemerintah sehingga menampakkan teori
152 Goesniadhi S, Kusni, 2010, Harmonisasi Sistem Hukum, Mewujudkan Tata
Pemerintahan yang Baik, A3 Nasa Media. Malang, h. 2 153 Sadzily, Hasan, dkk, 1995, Ensiklopedi Indonesia, Ihtiar Baru, Jakarta, h.. 1262
133
harmonisasi hukum. Pendapat para ahli tersebut memberikan konsepsi
pemikirannya tentang harmonisasi hukum, diantaranya:
1. LM. Gandhi, memaknai harmonisasi hukum adalah mencakup
penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah,
keputusan hakim, sistem hukum, dan asas-asas hukum, dengan tujuan
peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan dan
kesebandingan, kegunaan dan kejelasan hukum tanpa mengaburkan dan
mengorbankan pluralisme hukum.154
2. Kusnu Goesniadhie berpendapat bahwa harmonisasi hukum adalah
upaya atau proses yang hendak mengatasi batasan-batasan perbedaan,
hal-hal yang bertentangan dan kejanggalan dalam hukum. Upaya atau
proses untuk merealisasi keselarasan, kesesuaian, keserasian,
kecocokan, keseimbangan diantara norma-norma hukum dalam suatu
kesatuan kerangka sistem hukum nasional.155
3. Wicipto Setiadi menyatakan pengharmonisasian adalah upaya untuk
menyelaraskan, menyesuaikan, memantapkan, dan membulatkan
konsepsi suatu rancangan peraturan perundang-undangan, dengan
peraturan perundang-undangan lain, baik yang lebih tinggi, sederajat
maupun yang lebih rendah dan hal-hal lain selain peraturan perundang-
undangan sehingga tersusun secara sistematis, tidak saling bertentangan
atau tumpang tindih (overlapping)156
4. Juniarso Ridwan menyalakan harmonisasi. .. apakan suatu upaya atau
proses melakukan pembatasan-pembatasan perbciaan yang berkenaan
dengan adanya kejanggalan dan bertentangan dengan hukum-hukum.157
5. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman
memberikan pengertian harmonisasian hukum sebagai kajian ilmiah
untuk menuju proses pengharmonisasian hukum tertulis yang mengacu
baik pada nilai-nilai filosofis, sosiologis, ekonomis maupun
yuridis.pengkajian terhadap rancangan peraturan perundang-undangan
dalam berbagai aspek apakah telah mencerminkan keselarasan dan
kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang lain, hukum
yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat,... dstnya.158
154 Gandhi, LM, 1980, Harmonisasi Hukum menuju Hukum yang Responsif, (Pidato
Pengukuhan Guru Besar Tetap, FH UI, dalam Mohamad Hasan Warga Kusumah, Ensiklopedia
Umum, Kanisius, Yogyakarta, h. 88. 155 Goesniadhie, S., Loc.cit. 156 Setiadi, Wicipto, 2007, Proses Pengharmonisasian sebagai Upaya untuk
Memperbaiki Kualitas Perundang-undangan, Jumal Legislasi Indonesia Vol.4 No.2, Juni,
2007, h.48. 157 Ridwan, Juniarso, 2009, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan
Publik, Nuansa, Bandung, h.219-220 158 Ibid, h. 223
134
Sidharta mengemukakan beberapa kemungkinan yang menyebabkan
terjadinya disharmonisasi dalam sistem hukum dan instrument
penyelesaiannya, yaitu:
1. Terjadinya inkonsistensi secara vertikal dan dari segi format peraturan
yakni peraturan yang hierarkinya lebih tinggi, misahiya antara peraturan
pemerintah dengan undang-undang. Instrumen penyelesaiannya adalah
asas hukum lex superior derogat lege inferior derogate lege inferiori,
yang artinya adalah peraturan yang lebih tinggi tingkatannya akan
mengesampingkan peraturan yang lebih rendah.
2. Terjadi inkonsistensi secara vertikal dari segi waktu, yakni beberapa
peraturan yang secara hierarkis sejajar tetapi yang satu lebih dulu
berlaku daripada yang lain. Instrument penyelesaiannya adalah asas
hukum lex posteriori derogate lege priori, yang artinya adalah
peraturan yang lebih belakangan akan mengesampingkan peraturan
yang sebelumnya.
3. Terjadi inkonsistensi secara horizontal dari segi substansi peraturan,
yakni beberapa peraturan yang secara hierarkis sejajar tetapi substansi
peraturan yang satu lebih umum dibandingkan substansi peraturan
lainnya. Instrument penyelesaiannya adalah asas hukum lex specialist
derogate lege generalis, yang artinya adalah peraturan yang lebih
khusus cakupannya mengesampingkan peraturan yang lebih umum.
4. Terjadi inkonsistensi secara horizontal dari segi substansi dalam satu
peraturan yang sama, misalnya ketentuan Pasal 1 bertentangan dengan
ketentuan Pasal 15 dari satu undang-ur,c .ing yang sama. Instrument
penyelesaian adalah asas hukum lex posterior derogate lege priori,
yang artinya adalah peraturan yang lebih belakangan akan
mengesampingkan peraturan yang sebelumnya.
5. Terjadi inkonsistensi antara sumber formal hukum yang berbeda,
misalnya antara undang-undang dan putusan hakim (instrument
penyelesaiannya adalah asas hukum res judicate pro veritate habetew,
yang artinya putusan hakim harus dianggap benar sekalipun
bertentangan dengan undang-undang sampai ada putusan hakim lain
yang mengoieksinya), antara undang-undang yang bersifat memaksa
dan kebiasaan (instrument penyelesaiannya adalah lex dura sed tamen
scripta, yang artinya undang-undang tidak dapat diganggu gugat Pasal
ISAEfAlgemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie) atau antara
Undang-Undang yang bersifat mengatur dan kebiasaan (instrument
penyelesaiannya adalah asas hukum die normatie ven kraft des faktis
chen, yang artinya perbuatan yang berulang-ulang akan memberi
kekuatan berlaku normatif).159
159 Sidharta, 2005, Inisiatif Harmonisasi Sistem Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir
Indonesia (Menuju Harmonisasi Sistem Hukum sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir
Indonesia), Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
135
Secara umum, dalam instrument penyelesaian disharmonisasi
hukum dikenal pula metode penafsiran hukum yaitu metode interpretasi
dan metode konstruksi. Menurut Burght dan Winkeman, dimasa lalu
memang telah diperjuangkan suatu pedoman yang kaku pada pemilihan
metode-metode interpretasi, namun berlawanan dengan harapan itu
yang akhirnya diperoleh sekadar petunjuk yang kabur. Hal hii karena
sulit memperoleh pemaharnan tentang motif-motif sesungguhnya dari
hakim dalam mengambil keputusan karena yang terlihat hanya
argument yang dikemukakan secara eksplisit dalam kamusnya.
Penemuan hukum (rechtsvinding) pada khususnya merupakan kegiatan
dari hakim dalam melaksanakan undang-undang bila terjadi peristiwa
konkrit. Keterbatasan undang-undang yang tidak dapat mengejar
perkembangan kegiatan manusia membat undang-undang itu sendiri
menjadi kurang lengkap atau tidak jelas. Oleh karenanya terdapat
metode interpretasi/penafsiran dan konstruksi hukum yang berkaitan
dengan instrument penyelesaian disharmonisasi hukum.
Metode interpretasi sejak semula dibagi menjadi empat, yaitu
interpretasi gramatikal, sistematis, historis, dan sosiologis. Di samping
iru dikenal pula interprestasi komparatif dan interpretasi antisipatif.
Dalam melakukan penafsiran hukum terhadap suatu peraturan
perundang-undangan yang dianggap tidak jelas, seorang ahli hukum
tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Kebutuhan akan interpretasi
Pembangunan Nasional, Departemen kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia Kerjasama dengan Mitra Pesisir/Coastal Resources Management Project II,
Jakarta, h. 62-64,
136
sebenarnya sudah dirasakan pada masa berlakunya Hukum Romawi.
Hal ini dapat dilihat pada ungkapan Ulpianus sebagaimana dikutip oleh
Peter Mahmud Marzuki sebagai berikut : "Quamvis sit manifestissimum
Edictum Praetoris, attamen non est negligenda interpretatio ejus" yang
artinya "Betapa pun jelasnya Maklumat/Perintah Praetoris (konsul),
namun tidak mungkin menolak adanya interpretasi karena adanya
kekurangan".160
Seorang ahli hukum diwajibkan untuk mencari maksud dan
kehendak pembuat undang-undang sedemikian rupa sehingga tidak
menyimpang dari apa yang dikehendaki oleh pembuat undang-undang
itu. Dalam usaha mencari dan menentukan kehendak pembuat undang-
undang itulah maka dalam ilmu hukum dikembangkan beberapa metode
atau cara menafsirkan peraturan perundang-undangan yang dapat
digunakan seorang ahli hukum yaitu :
a) Penafsiran Gramatikal (taatkundige interpretatie), yaitu penafsifan
yang dilakukan terhadap peristilahan atau kata-kata, tata kalimat
didalam suatu konteks bahasa yang digunakan pembuat undang-
undang dalam merumuskan peraturan perundang-undangan tertentu.
b) Penafsiran Sejarah (historische interpretatie), yaitu penafsiran yang
dilakukan terhadap isi suatu peraturan perundang-undangan dengan
meninjau latar belakang sejarah dari pembentukan atau terjadinya
peraturan undang-undang yang bersangkutan.
c) Penafsiran Sistematis (systematische interpretatie), yaitu penafsiran
terhadap satu atau lebih peraturan perundang-undangan, dengan cara
menyelidiki suatu sistem tertentu yang terdapat didalam suatu tata
hukum., dalam rangka penemuan asas-asas hukum umum yang
dapat diterapkan dalam suatu masalah hukum tertentu.
d) Penafsiran sosiologis (teleologis), sejalan dengan pandangan LJ.Van
Apeldoorn, maka salah satu tugas utama seorang ahli hukum adalah
160 Marzuki, Peter Mahmud, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, h. 111.
137
menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan hal-hal
konkrit yang ada di dalam masyarakat.
e) Penafsiran otentik, yaitu penafsiran terhadap kata, istilah atau
pengertian didalam peraturan perundang-undangan yang telah
ditetapkan sebelumnya oleh pembuat undang-undang sendiri161.
Disamping metode-metode interpretasi tersebut diatas terdapat
pula metode penafsiran komparatif dan antisipatif.162 Interpretasi
komparatif adalah penafsiran dengan memperbandingkan, dimana
penafsiran terhadap suatu peraturan dapat dilakukan dengan mencari
titik temu pada penyelesaian yang dikemukakan di berbagai negara.
Pada penafsiran antisipatif maka dicari pemecahannya dalam peraturan-
peraturan yang belum mempunyai kekuatan berlaku, yaitu dalam
rancangan undang-undang.
Solusi terhadap norma hukum yang kabur dalam Pasal 103 ayat
(1) huruf a dan b Undang – Undang Nomor 5 Tahun 2009 menyangkut
rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika melalui
putusan atau penetapan hakim dengan kata “dapat” tersebut, menurut
peneliti memakai jenis penafsiran gramatikal sosiologis (teleologis) dan
penafsiran komparasi.
2.6.7. Teori Hak Asasi Manusia (HAM)
Menurut Paul Sieghart bahwa dalam kerangka teori HAM klasik hak-
hak kolektif bukanlah merupakan HAM, lebih lanjut dikatakannya teori klasik
tentang HAM menyebutkan bahwa hanya hak-hak yang dimiliki oleh manusia
161 Ibid, h. 112 – 114 162 Ibid, h. 61
138
idividu yang dapat disebut sebagai hak asasi manusia (HAM). Sedangkan hak-
hak yang dimiliki oleh sebuah kolektivitas atau jenis-jenis tertentu seperti
negara – negara, gereja – gereja, perusahaan-perusahaan, badan-badan
perdagangan dan sebagainya bukanlah hak asasi manusia dalam pengertian
yang sebenarnya.163
Sehubungan dengan esensi inti teori HAM klasik yang memberikan
porsi hak-hak yang diakui sebagai manusia, maka akan terkait esensi teori
HAM klasik dengan perkembangan lahirnya HAM Generasi I (Pertama) yang
lahir pada abad 17 dan 18 didalamnya mengakomodir hak-hak individu
dibidang hak-hak sipil dan politik sebagai HAM. Hak sipil atau individu tiap
orang diakui sebagai HAM yang paling mendasar salah satunya adalah
dijaminnya serta dilindunginya hak kebebasan. Kebebasan termasuk juga dalam
hak individu dihadapan hukum ketika seseorang dihadapkan pada proses
peradilan.
Dalam proses peradilan ketika seseorang dihadapkan pada tahapan
pembuktian wajib hak-hak seseorang dalam status sebagai terdakwa untuk
dihormati hak-hak asasi individunya, seperti hak untuk dianggap belum
bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum
tetap (incracht van geweijsde). Maka asas praduga tak bersalah (presumption of
innosence) tetap dijunjung tinggi dan ditegakkan dalam proses peradilan pidana
demi terwujudnya proses hukum yang berkeadilan (due process of law). Maka
terkait dalam peradilan pidana mesti selektif dan hati-hati melaksanakannya
163 Suharto, Rakhmat Bowo, 2001, Perlindungan Hak Dunia Ketiga Atas Sumber Daya
Alam, Tiara Wacana, Yogyakarta, h. 21
139
untuk menghindari penyerobotan serta pelanggaran terhadap hak asasi manusia
(HAM) selaku individu dihadapan proses hukum.
2.6.8. Teori Sistem Hukum (Legal System Theory)
Teori sistem hukum (Legal System Theory) dari Lawrence M.Friedman
yang pada intinya adalah menyatakan bahwa suatu sistem hukum terdiri dan 3
(tiga) komponen yaitu :
1. Substansi hukum (Legal Substance)
"The substance is composed of substantive rules and rules about how
institutions should behave"164 (substansi tersusun dan peraturan-
peraturan dan ketentuan-ketentuan mengenai bagaimana institusi-istitusi
harus berperilaku/bertindak. Dalam hal ini yang dimaksud sebagai substansi
hukum adalah aturan atau norma hukum.
2. Struktur Hukum (Legal Structure)
"Structure, to be sure, is one basic and obvious element of the legal
system... ... The structure of a system is its skeletal fremework. it is the
elements shape, the institutional body of the system. " (Struktur adalah satu
dasar dan merupakan unsur nyata dari sistem hukum. Struktur dalam sebuah
sistem adalah kerangka permanen, atau unsur tubuh lembaga dalam sistem
hukum). Dalam hal ini yang dimaksud dengan Struktur hukum adalah
institusi penegak hukum sebagai salah satu unsur nyata dalam suatu sistem
164 Laurence M. Friedman, 1975, The Legal System A Social Science Perspektive,
Russell Sage Foundation, New York, p. 14
140
hukum, termasuk juga lembaga yang turut melaksanakan aturan-aturan
hukum.
3. Budaya Hukum (Legal Culture)
"Legal culture refers, then, to those parts of general culture, customs,
opinion, ways of doing and thinking, thai bend social forces toward or
away from the law and in particular ways. "(Budaya hukum merupakan
bagian dan budaya pada umumnya, yang dapat berupa adat istiadat.
pandangan. cara berfikir dan tingkah laku yang dapat membentuk suatu
kekuatan sosial yang bergerak mendekati hukum dengan cara-cara tertentu).
Dalam hal ini yang dimaksud dengan budaya hukum adalah penlaku-
perilaku masyarakat dalam memandang hukum untuk dipatuhi serta ditaati.
Melalui ketiga komponen dalam sistem hukum tersebut dapat
digunakan permasalahan menyangkut rehabilitasi bagi pecandu atau korban
penyalagunaan narkotika sub unsur substansi menyangkut Undang – Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, struktur menyangkut Penegak
Hukum (Kepolisian, Penuntut Umum, Hakim, Lapas) dalam pelaksanaan
rehabilitasi, serta sub unsur budaya hukum menyangkut perilaku, sikap, mental
semua pihak baik penegak hukum dan masyarakat dalam penegakan hukum di
bidang tindak pidana narkotika, khususnya pelaksanaan rehabilitasi bagi
pencandu dan korban penyalahgunaan narkotika.
Kata efektif berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung
arti ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya, manjur atau mujarab,
141
dapat membawa hasil atau berhasil guna, mulai berlaku).165 Efektifitas
pemidanaan diartikan sebagai tingkat tercapamya tujuan yang ingin dicapai
dengan adanya pemidanaan. Suatu pemidanaan dikatakan efektif apabila tujuan
yang ingin dicapai dengan adanya pemidanaan itu tercapai.166 Meneliti
efektifitas hukum pada dasarnya membandingkan antara realitas hukum dengan
ideal hukum. Hukum menentukan peranan apa yang sebaiknya dilakukan oleh
para subjek hukum, dan hukum akan semakin efektif apabila peranan yang
dljalankan oleh para subjek hukum semakin mendekati apa yang telah
dilakukan dalam hukum. Efektifitas dalam konteks dengan hukum diartikan
bahwa hukum itu benar-benar hidup dan berlaku. baik secara yuridis, sosiologis
dan filosofis.167 Orang mengakatakan bahwa kaidah hukum berlaku secara
faktual atau efektif, jika para warga masyarakat, untuk siapa kaidah hukum itu
berlaku, mematuhi kaidah hukum tersebut.168
Efektif atau tidaknya suatu aturan hukum secara umum, juga
tergantung pada optimal dan professional tidaknya aparat penegak
hukum untuk menegakkan berlakunya aturan hukum tersebut: mulai
dan' tahap pembuatannya. sosialisasinya, proses penegakan hukumnya
yang mencakupi tahapan penemuan hukum (penggunaan penalaran
hukum, interprestasi dan konstruksi) dan penerapannya terhadap suatu
kasus kongkret169
165 Niniek Suparni, 1996, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Peradilan dan
Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 59 166 Ibid 167 Ibid 168 J.J.HAL.Bruggink, alih bahasa Arief Sidharta, 1999, Refleksi Tentang Hukum,
Cetakan Kedua, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, h.149 169 Achmad AH, 2012, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Cetakan
Keempat,Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 378
142
Menurut Soerjono Soekanto adalah ada 5 faktor yang mempengaruhi
efektif tidaknya keberlakukan suatu hukum yaitu :
a. Faktor hukumnya sendiri
b. Faktor penegak hukum. yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum
c. Faktor sarana atau fasihtas yang mendukung penegakan hukum.
d. Faktor masyarakat, yaitu lingkungan dimana hukum itu berlaku atau
diterapkan
e. Faktor kebudayaan, yakni hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia di dalam pergaulan hidup.170
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena
merupakan esensi dan penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari pada
efektivitas penegakan hukum.171
Pemakaian teori sistem hukum untuk mengkaji masalah nomor 2 (dua)
terkait kebijakan ke depan dari legislator di dalam upaya rehabilitasi pecandu
atau korban penyalahgunaan narkotika. Karena dalam rehabilitasi tersebut
mesti ada dasar hukum (unsur substansi dalam sistem) yang jelas dalam
Undang – Undang Narkotika sebagai acuan pasti bagi penegak hukum.
Tindakan rehabilitasi yang diberikan melibatkan komponen penegak hukum
terkait sebagai unsur struktur dalam sistem peradilan pidana. Begitu pula unsur
sub sistem berupa budaya hukum dalam hubungan rehabilitasi terhadap
pecandu atau korban bahkan pengedar narkotika akan berimplikasi secara
langsung dan tidak langsung pada pola perilaku, sikap serta kesadaran tidak
langsung pada pola perilaku, sikap serta kesadaran hukum bagi pecandu atau
pengedar narkotika untuk tidak lagi mengkonsumsi atau mengedarkan
170 Soerjono Soekanto, 2012, Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Rajawali Press, Jakarta, h. 8 171 Ibid, h. 9
143
narkotika tersebut, karena jelas – jelas akan merugikan dirinya sendiri dan
korban bagi orang lain atau menyangkut secara lebih luas.
2.7 Pengaturan Tindak Pidana Narkotika Dalam Hukum Positif
2.7.1 Tindak Pidana Narkotika
Hukum pidana adalah hukum publik yang mengatur hubungan antara
negara dengan warga negaranya. Alasan tersebut menjadi dasar kewenangan
bagi negara untuk menghukum warga negaranya dan warga asing yang
mengganggu kepentingan negara. Berdasarkan sumbernya, hukum pidana
dibedakan menjadi hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Hukum
pidana umum adalah semua ketentuan hukum pidana yang terdapat/ bersumber
pada kodifikasi (dalam hal ini KUHP dan KUHAP), sehingga dapat juga
disebut dengan hukum pidana kodifikasi. Hukum pidana khusus adalah hukum
pidana yang bersumber dari peraturan perundang-undangan di luar
kodifikasi.172 Keberadaan hukum pidana khusus didorong dari adanya
pembaruan hukum yang terus-menerus untuk merespon kebutuhan hukum
masyarakat. Salah satu hukum pidana khusus adalah aturan yang mengatur
mengenai tindak pidana narkotika.
Dalam hukum pidana, tindak pidana narkotika merupakan tindak pidana
khusus atau tindak pidana yang diatur di luar KUHP. Tindak pidana narkotika
diatur secara khusus pada Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika. Pengaturan Narkotika dalam Undang-Undang ini meliputi segala
172 Chazawi, Adami, 2002, Pelajaran Hukum Pidana 1; Stelsel Pidana, Tindak Pidana,
Teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada, Jakarta,
h. 12. (Selanjutnya disebut Chazawi, Adami I).
144
bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan Narkotika dan
Prekursor Narkotika. Secara rinci, dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika mengatur secara tegas mengenai pengadaan narkotika,
impor dan ekspor narkotika, peredaran, label dan publikasi, pengobatan dan
rehabilitasi, pembinaan dan pengawasan, pencegahan dan pemberantasan,
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, penghargaan,
dan ketentuan pidana. Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika diatur mengenai beberapa hal baru yakni mengenai Prekursor
Narkotika. Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia
yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika.
Diundangkannya Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika tidak lepas dari perkembangan tindak pidana narkotika itu sendiri.
Dalam ketentuan umum Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika tidak mengatur secara tegas mengenai definisi dari tindak pidana
narkotika. Tindak pidana narkotika sendiri terdiri dari dua frasa yakni tindak
pidana dan narkotika. Moeljatno mengatakan tindak pidana adalah perbuatan
yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melakukan.173
Dalam konteks tindak pidana narkotika maka perbuatan yang dilarang tersebut
adalah perbuatan yang dilarang sebagaimana yang diatur dalam Undang-
undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Suatu tindak pidana adalah perbuatan atau omisi yang dilarang oleh
hukum untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidana berdasarkan prosedur
173 Moelyatno, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum
Pidana, Bina Aksara, Jakarta, h. 11.
145
hukum yang berlaku. Dalam definisi–definisi tersebut, unsur kesalahan telah
dikeluarkan, sehingga tindak pidana pada hakikatnya adalah “perbuatan’ saja.
Perbuatan disini berisi kelakuan dan kejadian yang ditimbulkan oleh kelakukan
atau kelakuan dan akibatnya.174 Narkotika sendiri zat atau obat yang berasal
dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang
dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana
terlampir dalam Undang-Undang ini. Dengan demikian tindak pidana narkotika
adalah perbuatan yang dilarang sehubungan dengan ketentuan narkotika.
Definisi tindak pidana narkotika dalam Undang-undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika tersirat secara implisit pada konsideran undang-
undang tersebut. Dalam konsideran dimaksud disebutkan :
Bahwa mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan,
mengedarkan, dan/atau menggunakan Narkotika tanpa pengendalian dan
pengawasan yang ketat dan seksama serta bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan merupakan tindak pidana Narkotika karena sangat
merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan
manusia, masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional
Indonesia
Merujuk pada konsideran sebagaimana yang diuraikan di atas maka
tindak pidana narkotika adalah perbuatan mengimpor, mengekspor,
memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan, dan/atau menggunakan
Narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama serta
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Kebijakan penal
174 Moelyatno, 1987, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, h. 155.
146
mengenai perbuatan apa yang dikriminalisasikan dapat dilihat pada ketentuan
pidana dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Adapun rumusan delik dalam undang-undang tersebut adalah sebagai berikut:
1. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara,
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan
I dalam bentuk tanaman. (Pasal 111 ayat (1)).
2. Perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman beratnya
melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon. (Pasal 111
ayat (2)).
3. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman.
(Pasal 112 ayat (1)).
4. Perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika
Golongan I bukan tanaman yang beratnya melebihi 5 (lima) gram. (Pasal
112 ayat (2)).
5. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor,
mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I. (Pasal 113 ayat (1)).
6. Perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
Narkotika Golongan I yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1
(satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk
bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram. (Pasal 113 ayat (2)).
7. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,
atau menyerahkan Narkotika Golongan I. (Pasal 114 ayat (1)).
8. Perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara
dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika
Golongan I yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu)
kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan
tanaman beratnya 5 (lima) gram. (Pasal 114 ayat (2)).
9. Perbuatan tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim,
mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I. (Pasal 115 ayat (1)).
10. Perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika
Golongan I dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram
atau melebihi 5 (lima) batang pohon beratnya melebihi 5 (lima) gram.
(Pasal 115 ayat (2)).
11. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika
Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I
untuk digunakan orang lain. (Pasal 116 ayat (1)).
12. Perbuatan pecanduan narkotika terhadap orang lain atau pemberian
Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain mengakibatkan orang
lain mati atau cacat permanen. (Pasal 116 ayat (2)).
147
13. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan II. (Pasal 117 ayat (1)).
14. Perbuatan perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan
Narkotika Golongan II beratnya melebihi 5 (lima) gram. (Pasal 117
ayat (2)).
15. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor,
mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II. (Pasal 118
ayat (1)).
16. Perbuatan perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau
menyalurkan Narkotika Golongan II beratnya melebihi 5 (lima) gram.
(Pasal 118 ayat (2)).
17. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,
atau menyerahkan Narkotika Golongan II. (Pasal 119 ayat (1)).
18. Perbuatan perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,
menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan
Narkotika Golongan II beratnya melebihi 5 (lima) gram. (Pasal 119
ayat (2)).
19. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim,
mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II. (Pasal 120
ayat (1)).
20. Perbuatan perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito
Narkotika Golongan II beratnya melebihi 5 (lima) gram. (Pasal 120
ayat (2)).
21. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika
Golongan II tehadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II
untuk digunakan orang lain. (Pasal 121 ayat (1)).
22. Perbuatan pecanduan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian
Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain mengakibatkan orang
lain mati atau cacat permanen. (Pasal 121 ayat (2)).
23. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan III. (Pasal 122
ayat (1)).
24. Perbuatan perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan
Narkotika Golongan III beratnya melebihi 5 (lima) gram. (Pasal 122
ayat (2)).
25. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor,
mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III. (Pasal 123
ayat (1)).
26. Perbuatan perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau
menyalurkan Narkotika Golongan III beratnya melebihi 5 (lima) gram.
(Pasal 123 ayat (2)).
27. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,
atau menyerahkan Narkotika Golongan III. (Pasal 124 ayat (1)).
148
28. Perbuatan perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,
menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan
Narkotika Golongan III beratnya melebihi 5 (lima) gram. (Pasal 124
ayat (2)).
29. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim,
mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III. (Pasal 125
ayat (1)).
30. Perbuatan perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito
Narkotika Golongan III beratnya melebihi 5 (lima) gram. (Pasal 125
ayat (2)).
31. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika
Golongan III tehadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan III
untuk digunakan orang lain. (Pasal 126 ayat (1)).
32. Perbuatan pecanduan Narkotika tehadap orang lain atau pemberian
Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain mengakibatkan orang
lain mati atau cacat permanen. (Pasal 126 ayat (2)).
33. Perbuatan yang dilakukan oleh setiap penyalahguna berupa Narkotika
Golongan I bagi diri sendiri; Narkotika Golongan II bagi diri sendiri; dan
Narkotika Golongan III bagi diri sendiri (Pasal 127 ayat (1)).
34. Perbuatan yang dilakukan oleh Orang tua atau wali dari pecandu yang
belum cukup umur, yang sengaja tidak melapor. (Pasal 128 ayat (1)).
35. Perbuatan yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan Prekursor Narkotika untuk pembuatan
Narkotika; memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika; menawarkan untuk
dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar, atau menyerahkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan
Narkotika; membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Prekursor
Narkotika untuk pembuatan Narkotika. (Pasal 129)
36. Perbuatan yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu,
memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan,
memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu
muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan
tindak pidana. (Pasal 133 ayat (1)).
37. Perbuatan yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu,
memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan,
memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu
muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk
menggunakan Narkotika. (Pasal 133 ayat (2)).
38. Perbuatan dimana Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur dan dengan
sengaja tidak melaporkan diri. (Pasal 134 ayat (1)).
39. Perbuatan dimana keluarga dari Pecandu Narkotika yang dengan sengaja
tidak melaporkan Pecandu Narkotika. (Pasal 134 ayat (2)).
40. Perbuatan dari pengurus Industri Farmasi yang tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 Undang-undang Nomor
35 Tahun 2009 tentang Narkotika. (Pasal 135).
149
41. Perbuatan yang menempatkan, membayarkan atau membelanjakan,
menitipkan, menukarkan, menyembunyikan atau menyamarkan,
menginvestasikan, menyimpan, menghibahkan, mewariskan, dan/atau
mentransfer uang, harta, dan benda atau aset baik dalam bentuk benda
bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang
berasal dari tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor
Narkotika; menerima penempatan, pembayaran atau pembelanjaan,
penitipan, penukaran, penyembunyian atau penyamaran investasi,
simpanan atau transfer, hibah, waris, harta atau uang, benda atau aset baik
dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak
berwujud yang diketahuinya berasal dari tindak pidana Narkotika dan/atau
tindak pidana Prekursor Narkotika (Pasal 137).
42. Perbuatan yang menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan serta
penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan/atau
tindak pidana Prekursor Narkotika di muka sidang pengadilan (Pasal 138).
43. Perbuatan dari nakhoda atau kapten penerbang yang secara melawan
hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 atau Pasal 28 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika. (Pasal 139).
44. Perbuatan dimana Penyidik pegawai negeri sipil yang secara melawan
hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
88 dan Pasal 89 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
(Pasal 140 ayat (1)).
45. Perbuatan dimana Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
penyidik BNN yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91 ayat (2) dan ayat (3), dan
Pasal 92 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika. (Pasal 140 ayat (2)).
46. Perbuatan Kepala kejaksaan negeri yang secara melawan hukum tidak
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1)
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. (Pasal 141).
47. Perbuatan dimana Petugas laboratorium yang memalsukan hasil pengujian
atau secara melawan hukum tidak melaksanakan kewajiban melaporkan
hasil pengujiannya kepada penyidik atau penuntut umum. (Pasal 142).
48. Perbuatan berupa saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam
pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika di
muka sidang pengadilan. (Pasal 143).
49. Perbuatan dimana pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai
pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah, dan
apotek yang mengedarkan Narkotika Golongan II dan III bukan untuk
kepentingan pelayanan kesehatan; pimpinan lembaga ilmu pengetahuan
yang menanam, membeli, menyimpan, atau menguasai tanaman Narkotika
bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan; pimpinan
Industri Farmasi tertentu yang memproduksi Narkotika Golongan I bukan
untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan; atau pimpinan
150
pedagang besar farmasi yang mengedarkan Narkotika Golongan I yang
bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan atau
mengedarkan Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk kepentingan pengembangan
ilmu pengetahuan. (Pasal 147).
Tindak pidana narkotika dilakukan dalam bentuk peredaran gelap yang
tidak hanya dilakukan di satu negara, melainkan lintas batas negara. Peredaran
gelap dilakukan oleh jaringan terorganisir, oleh sebab itu kejahatan peredaran
gelap narkotika dan prekursor narkotika merupakan kejahatan yang
terorganisir. Kejahatan atau crime menurut Larry J. Siegel adalah
a violation of societal rules of behavior as interpreted and expressed by the
criminal law, which reflects public opinion, traditional values, and the
viewpoint of people currently holding social and political power.
Individuals who violate these rules are subject to sanctions by state
authority, social stigma, and loss of status.175
(Terjemahan bebas)
Pelanggaran aturan sosial perilaku sebagaimana ditafsirkan dan
diungkapkan oleh hukum pidana, yang mencerminkan opini publik, nilai-
nilai tradisional, dan sudut pandang orang saat ini memegang kekuasaan
sosial dan politik. Individu yang melanggar aturan ini akan dikenakan
sanksi oleh otoritas negara, stigma sosial, dan hilangnya status).
Tindak pidana narkotikan dilakukan secara transnasional dengan
didukung oleh jaringan organisasi. Kondisi ini menjadikan tindak pidana ini
sebagai kejahatan terorganisasi. Kejahatan Terorganisasi adalah kejahatan yang
dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur yang terdiri atas 3 (tiga) orang
atau lebih yang telah ada untuk suatu waktu tertentu dan bertindak bersama
dengan tujuan melakukan suatu tindak pidana Narkotika sebagaimana yang
175 Siegel, Larry J., 2011, Fourth Edition Criminology The Core, Wadsworth, Belmont,
h. 17.
151
diatur dalam Pasal 1 angka 20 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
narkotika. Berdasarkan kriminalisasi yang diatur dalam Undang-undang Nomor
35 Tahun 2009 tentang Narkotika, maka diatur beberapa perbuatan yang
tergolong dan dapat memungkinkan terjadinya peredaran gelap narkotika.
Adapun perbuatan-perbuatan tersebut meliputi:
1. Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan Narkotika
2. Memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika
3. Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika
4. Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika.
5. Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika
Menurut Pasal 35 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, ruang lingkup peredaran narkotika meliputi setiap kegiatan atau
serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan Narkotika, baik dalam rangka
perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan, untuk
kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Narkotika untuk kebutuhan dalam negeri diperoleh dari impor,
produksi dalam negeri, dan/atau sumber lain dengan berpedoman pada rencana
kebutuhan tahunan Narkotika. Teknologi diciptakan untuk mempermudah
kehidupan manusia. Teknologi menurut Achmad Baiquni adalah penerapan
sains (ilmu pengetahuan) secara sistematis untuk memengaruhi alam di
sekeliling kita dalam suatu proses produktif ekonomis untuk menghasilkan
sesuatu yang bermanfaat bagi umat manusia.176 Teknologi terhitung antara
176 Baiquni, Achmad, 1983, Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern, Pustaka,
Jakarta, h. 6.
152
sikap dan hasil budaya yang penting. Berdasarkan pengetahuan alam, teknik
bertujuan untuk menfaedahkan sumber-sumber alam agar terjamin kebutuhan
manusia hingga tercapai derajat hidup yang layak.177 Dari segi peruntukannya
maka teknologi menjadi sarana untuk meningkatkan derajat kehidupan
manusia, namun apabila disalahgunakan justru akan menghancurkan manusia.
Dalam kehidupan manusia banyak alasan yang dapat dikemukakan
sebagai penyebab timbulnya suatu perubahan di dalam masyarakat, tetapi
perubahan dalam penerapan hasil-hasil teknologi modern dewasa ini banyak
disebut-sebut sebagai salah satu sebab bagi terjadinya perubahan sosial.178
Perubahan sosial terjadi karena suatu proses yang terjadi di dalam masyarakat
itu sendiri. Dalam setiap proses perubahan senantiasa akan dijumpai faktor-
faktor penyebab terjadinya perubahan, baik yang berasal dari luar masyarakat
itu sendiri maupun yang berasal dari luar masyarakat tersebut.179 Dalam kondisi
tersebut maka pola pikir masyarakat juga akan berubah. Perubahan sosial dapat
dilihat dari pecanduan narkotika sebagai bagian dari gaya hidup. Hal ini dapat
dilihat dari klasifikasi pecandu narkotika yang berasal dari gologan artiss, pilot
dan pengusaha. Kehadiran teknologi akan membuka peluang komunikasi yang
yang lebih luas, sehingga keinginan untuk mendapatkan narkotika akan lebih
mudah.
Kejahatan narkotika dilakukan dengan menggunakan modus operandi
yang modern dan teknologi canggih, termasuk pengamanan hasil-hasil
177 Jalaluddin, 2013, Filsafat Ilmu Pengetahuan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 171. 178 Rahardjo, Satjipto, 2009, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta
Publishing, Yogyakarta, h. 96. 179 Soekanto, Soerjono et.al., 1993, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, Bina
Aksara, Jakarta, hal. 17.
153
kejahatan narkotika. Perkembangan kualitas kejahatan narkotika tersebut sudah
menjadi ancaman yang sangat serius bagi kehidupan umat manusia. Daerah-
daerah tujuan wisata, menjadi target bagi penjualan narkotika oleh jaringan
internasional. Kejahatan ini dikendalikan secara rapi, dilakukan di beberapa
negara dan melibatkan orang-orang yang berbeda kewarganegaraan. Kejahatan
narkotika merupakan kejahatan lintas batas negara.
Peredaran gelap narkotika sebagai kejahatan transnational secara implisit
dapat dilihat pada konsideran United Nations Convention Against Ilicit Traffic
in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances yang menyatakan “Aware that
illicit traffic generates large financial profits and wealth enabling transnational
criminal organizations to penetrate, contaminate and corrupt the structures of
government, legitimate commercial and financial business, and society at all its
levels.” (Sadar bahwa peredaran gelap menghasilkan keuntungan besar
terhadap keuangan dan kekayaan yang memungkinkan organisasi kejahatan
transnasional untuk menembus, mencemari dan merusak struktur pemerintahan,
bisnis komersial dan keuangan yang sah, dan masyarakat disemua
tingkatannya).
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur pula
tindak pidana yang dilakukan dalam hal pecanduan narkotika yakni perbuatan
pecanduan narkotika tanpa hak dan secara melawan hukum baik untuk diri
sendiri maupun untuk orang lain serta perbuatan dimana pecandu narkotika
yang sudah cukup umur dan keluarga pecandu dengan sengaja tidak
melaporkan diri. Kriminalisaasi juga dilakukan terhadap perbuatan yang
154
menghalang-halangi atau mempersulit proses penyelesaian perkara tindak
pidana narkotika baik pada tingkat penyidikan, penuntutan maupun pada
tingkat persidangan. Pemidanaan meliputi saksi yang memberikan keterangan
yang tidak benar dalam proses perkara tindak pidana narkotika dan prekursos
narkotika pada sidang pengadilan.
Subjek hukum yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai pelaku dalam
tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika meliputi subjek hukum yang karena jabatan dan
kewenangannya tidak melaksanakan kewajiban. Adapun subjek hukum tersebut
adalah:
1. Perbuatan dari nakhoda atau kapten penerbang yang secara melawan
hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 atau Pasal 28 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika.
2. Perbuatan dari pengurus Industri Farmasi yang tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 Undang-undang Nomor
35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
3. Perbuatan dimana Penyidik pegawai negeri sipil yang secara melawan
hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
88 dan Pasal 89 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
4. Perbuatan dimana Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
penyidik BNN yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91 ayat (2) dan ayat (3), dan
Pasal 92 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika.
5. Perbuatan Kepala kejaksaan negeri yang secara melawan hukum tidak
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1)
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
6. Perbuatan dimana Petugas laboratorium yang memalsukan hasil pengujian
atau secara melawan hukum tidak melaksanakan kewajiban melaporkan
hasil pengujiannya kepada penyidik atau penuntut umum.
155
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menentukan
kriminalisasi terhadap pejabat rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai
pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah, dan apotek
serta pimpnan farmasi yang mengedarkan narkotika selain untuk kepentingan
pelayanan kesehatan. Subjek hukum pimpinan lembaga ilmu pengetahuan juga
wajib menjamin pecanduan narkotika hanya untuk kepentingan pengembangan
ilmu pengetahuan. Penyimpangan yang dilakukan oleh lembaga ilmu
pengetahuan menyebabkan pertanggungjawaban dari pimpinan lembaga ilmu
pengetahuan dapat dipertanggungjawabkan.
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memberikan
terobosan hukum yang responsif yang terlihat pada interkoneksi undang-
undang ini dengan upaya penanggulangan pencucian uang (money laundering).
Pengaturan ini terlihat pada Pasal 136 dan 137 Undang-undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika yang menjadikan tindak pidana Narkotika
dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika sebagai predicate offence.
Predicate offence adalah delik-delik yang menjadi sumber uang haram (dirty
money) atau hasil kejahatan (criminal proceeds) yang kemudian dicuci.180 Pasal
136 mengatur mengenai perampasan oleh negara terhadap hasil-hasil yang
diperoleh dari tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor
Narkotika.
Dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika dinyatakan bahwa untuk lebih memperkuat kelembagaan,
180 Arief, Barda Nawawi, 2013, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 144. (Selanjutnya disebut Arief, Barda Nawawi III).
156
diatur pula mengenai seluruh harta kekayaan atau harta benda yang merupakan
hasil tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika dan tindak pidana
pencucian uang dari tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dirampas untuk negara dan digunakan untuk kepentingan pelaksanaan
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika dan upaya rehabilitasi medis dan sosial. Perampasan yang
dilakukan oleh negara diharapkan memberikan manfaat dalam proses
rehablitasi terhadap pecandu dan korban penyalahguna narkotika.
Dalam Pasal 101 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika dinyatakan:
(3) Seluruh harta kekayaan atau harta benda yang merupakan hasil tindak
pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika dan tindak pidana pencucian
uang dari tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dirampas untuk negara dan digunakan untuk kepentingan:
a. pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
b. upaya rehabilitasi medis dan sosial.
Perampasan harta dan kekayaan atau aset hasil tindak pidana pencucian
uang berdasarkan putusan pengadilan yang tetap, dirampas untuk negara dan
dapat digunakan untuk biaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan
dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika serta untuk
pembayaran premi bagi anggota masyarakat yang telah berjasa mengungkap
adanya tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika.
Dengan demikian masyarakat dirangsang untuk berpartisipasi aktif dalam
157
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika. Disamping itu harta dan kekayaan atau aset yang
disita negara tersebut dapat pula digunakan untuk membiayai rehabilitasi medis
dan sosial para korban penyalahguna Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 137 sendiri mengatur mengenai ancaman pidana terhadap
perbuatan yang menempatkan, membayarkan atau membelanjakan, menitipkan,
menukarkan, menyembunyikan atau menyamarkan, menginvestasikan,
menyimpan, menghibahkan, mewariskan, dan/atau mentransfer uang, harta, dan
benda atau aset baik dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak,
berwujud atau tidak berwujud yang berasal dari tindak pidana Narkotika
dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika. Ketentuan ini juga memuat
ancaman pidana bagi perbuatan menerima penempatan, pembayaran atau
pembelanjaan, penitipan, penukaran, penyembunyian atau penyamaran
investasi, simpanan atau transfer, hibah, waris, harta atau uang, benda atau aset
baik dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak
berwujud yang diketahuinya berasal dari tindak pidana Narkotika dan/atau
tindak pidana Prekursor Narkotika.
2.7.2 Hukum Acara Tindak Pidana Narkotika
Dalam menentukan hukum acara yang digunakan dalam pemeriksaan
perkara tindak pidana narkotika maka digunakan asas lex specialis derogat legi
generalis, dimana aturan yang bersifat khusus mengesampingkan aturan yang
bersifat umum. Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas lex
specialis derogat legi generalis, yaitu:
158
a. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap
berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus
tersebut;
b. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-
ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang);
c. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan
hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis. Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama
termasuk lingkungan hukum keperdataan.181
Asas lex specialis derogat legi generalis melegitimasi pemberlakuan
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam hukum acara
pidana narkotika dan mengesampingkan ketentuan hukum acara dalam
KUHAP. Menurut Pasal 73 Undang-undang Narkotika, penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap penyalahgunaan
dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dilakukan berdasarkan
peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang
ini. Dalam ketentuan ini terlihat pertalian antara hukum pidana umum dan
hukum pidana khusus. Pertalian ini diatur dalam Pasal 103 KUHP yang
menyatakan “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga
berlaku bagi perbuatan- perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan
lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan
lain.”
Proses perkara pidana kejahatan narkotika dimulai sejak tingkat
penyidikan. Penyidikan dalam KUHAP dibedakan atas penyelidikan dan
penyidikan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk
181 Bagir Manan, 2004, Hukum Positif Indonesia (Suatu Kajian Teoritik), UII Press,
Yogyakarta, h. 56.
159
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana
guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini. Penyidikan adalah serangkaian tindakan
penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Dalam Undang-undang Narkotika diatur mengenai beberapa institusi
yang bertugas sebagai penyidik, yakni penyidik Polri, penyidik BNN dan
penyidik PNS. Ketentuan mengenai penyidik Polri merujuk pada ketentuan
dalam KUHAP. Menurut Pasal 7 ayat (1) Penyidik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak
pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal
diri tersangka;
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
i. mengadakan penghentian penyidikan;
j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Kekhususan dalam penyidikan dalam proses peradilan pidana pada tindak
pidana narkotika dapat dilihat dari kelembagaan BNN sebagai penyidik. Dalam
ketentuan Pasal 75 Undang-undang Narkotika ditentukan bahwa dalam rangka
melakukan penyidikan, penyidik BNN berwenang:
160
a. melakukan penyelidikan atas kebenaran laporan serta keterangan
tentang adanya penyalahgunaan dan
b. peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
c. memeriksa orang atau korporasi yang diduga melakukan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
d. memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi;
e. menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika serta memeriksa
tanda pengenal diri tersangka;
f. memeriksa, menggeledah, dan menyita barang bukti tindak pidana
dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
g. memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan
h. Prekursor Narkotika;
i. menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
j. melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika di seluruh wilayah yuridiksi nasional;
k. melakukan penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika setelah terdapat
bukti awal yang cukup;
l. melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di
bawah pengawasan;
m. memusnahkan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
n. melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam dioksiribonukleat
(DNA), dan/atau tes bagian tubuh
o. lainnya;
p. mengambil sidik jari dan memotret tersangka;
q. melakukan pemindaian terhadap orang, barang, binatang, dan tanaman;
r. membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alat-
alat perhubungan lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
s. melakukan penyegelan terhadap Narkotika dan Prekursor Narkotika
yang disita;
t. melakukan uji laboratorium terhadap sampel dan barang bukti
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
u. meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan tugas penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
v. menghentikan penyidikan apabila tidak cukup bukti adanya dugaan
penyalahgunaan dan peredaran gelap
w. Narkotika dan Prekursor Narkotika.
161
Saat tahap penyidikan, penyidik dapat melakukan beberapa tindakan
menurut hukum yakni penangkapan dan penyadapan. Pelaksanaan kewenangan
penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf g dilakukan paling
lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam terhitung sejak surat penangkapan
diterima penyidik. Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diperpanjang paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam. Penangkapan
yang dilakukan oleh penegak hukum sangat bersinggungan dengan hak asasi
manusia, karena penangkapan berupa pengekangan sementara waktu kebebasan
tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan
penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan
Penyadapan dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup
dan dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak surat penyadapan
diterima penyidik. Penyadapan hanya dilaksanakan atas izin tertulis dari ketua
pengadilan. Penyadapan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu
yang sama. Tata cara penyadapan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Dalam keadaan mendesak dan Penyidik harus
melakukan penyadapan, penyadapan dapat dilakukan tanpa izin tertulis dari
ketua pengadilan negeri lebih dahulu. Dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu
kali dua puluh empat) jam Penyidik wajib meminta izin tertulis kepada ketua
pengadilan negeri mengenai penyadapan. Teknik penyidikan pembelian
terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 75 huruf j dilakukan oleh Penyidik atas perintah tertulis dari
pimpinan.
162
Selain kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 75 Undang-undang
Narkotika, penyidik BNN memiliki kewenangan sebagaimana diatur dalam
Pasal 80 yakni:
a. mengajukan langsung berkas perkara, tersangka, dan barang bukti,
termasuk harta kekayaan yang disita kepada jaksa penuntut umum;
b. memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga keuangan lainnya
untuk memblokir rekening yang diduga dari hasil penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika milik tersangka
atau pihak lain yang terkait;
c. untuk mendapat keterangan dari pihak bank atau lembaga keuangan
lainnya tentang keadaan keuangan tersangka yang sedang diperiksa;
d. untuk mendapat informasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
e. meminta secara langsung kepada instansi yang berwenang untuk
melarang seseorang bepergian ke luar negeri;
f. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka kepada instansi
terkait;
g. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi
perdagangan, dan perjanjian lainnya atau mencabut sementara izin,
lisensi, serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka yang
diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika yang sedang diperiksa; dan
h. meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum
negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan
barang bukti di luar negeri.
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN
berwenang melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan Undang-Undang ini.
Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan Narkotika dan
Prekursor Narkotika, penyidik pegawai negeri sipil tertentu berkoordinasi
dengan penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia
sesuai dengan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana. Ketentuan
163
mengenai Penyidik pegawai negeri sipil diatur dalam Pasal 82 Undang-undang
Narkotika yang menyatakan:
(2) Penyidik pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana berwenang melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana penyalahgunaan Narkotika dan
Prekursor Narkotika.
(3) Penyidik pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) di lingkungan kementerian atau lembaga pemerintah
nonkementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
Narkotika dan Prekursor Narkotika berwenang:
a. memeriksa kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya
dugaan penyalahgunaan Narkotika
b. dan Prekursor Narkotika;
c. memeriksa orang yang diduga melakukan penyalahgunaan
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
d. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum
sehubungan dengan penyalahgunaan
e. Narkotika dan Prekursor Narkotika;
f. memeriksa bahan bukti atau barang bukti perkara penyalahgunaan
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
g. menyita bahan bukti atau barang bukti perkara penyalahgunaan
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
h. memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang adanya dugaan
penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
i. meminta bantuan tenaga ahli untuk tugas penyidikan
penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
j. menangkap orang yang diduga melakukan penyalahgunaan
Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Penyidik dapat melakukan kerja sama untuk mencegah dan memberantas
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika, penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia memberitahukan secara tertulis dimulainya penyidikan kepada
penyidik BNN begitu pula sebaliknya. Penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia atau penyidik BNN yang melakukan penyitaan Narkotika dan
164
Prekursor Narkotika, atau yang diduga Narkotika dan Prekursor Narkotika, atau
yang mengandung Narkotika dan Prekursor Narkotika wajib melakukan
penyegelan dan membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan dilakukan,
yang sekurang-kurangnya memuat nama, jenis, sifat, dan jumlah; keterangan
mengenai tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan penyitaan;
serta keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai Narkotika dan
Prekursor Narkotika; dan tanda tangan dan identitas lengkap penyidik yang
melakukan penyitaan.
Setelah penyidikan dinyatakan selesai maka dilakukan penuntutan.
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana
ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh
hakim di sidang. Penuntutan dilakukan oleh jaksa selaku penuntut umum.
Menurut Pasal 14 KUHAP, penuntut umum mempunyai wewenang:
a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau
penyidik pembantu;
b. mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan
dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4),
dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan
dari penyidik;
c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan dan atau
d. mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
e. membuat surat dakwaan;
f. melimpahkan perkara ke pengadilan;
g. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari
dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik
kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang
telah ditentukan;
h. melakukan penuntutan;
i. menutup perkara demi kepentingan hukum;
165
j. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab
sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;
k. melaksanakan penetapan hakim
Setelah penuntut umum siap dengan dakwaannya, maka persidangan
tindak pidana narkotika digelar. Idealisme penegakan hukum yang dimiliki
aparat penegak hukum yang paling menentukan, karena dengan dukungan
idealisme yang kuat, aparat penegak hukum memahami kedudukan mereka
bukan semata-mata alat kekuasaan, tetapi kelompok “manusia pelayan” atau
agency of service. Kesadaran agency of service yang dapat menggugah mereka
melaksanakan pelayanan hukum yang cepat, tepat dan sederhana.182
Implementasi dari agency of service dilaksanakan dalam proses hukum perkara
kejahatan narkotika. Dalam Pasal 74 Undang-undang Narkotika dinyatakan:
(1) Perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika, termasuk perkara yang didahulukan dari perkara lain untuk
diajukan ke pengadilan guna penyelesaian secepatnya.
(2) Proses pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan tindak pidana
Prekursor Narkotika pada tingkat banding, tingkat kasasi, peninjauan
kembali, dan eksekusi pidana mati, serta proses pemberian grasi,
pelaksanaannya harus dipercepat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Dalam hukum acara tindak pidana narkotika terdapat beberapa
kekhususan yang berlaku lex specialist. Di sidang pengadilan, saksi dan orang
lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor
Narkotika yang sedang dalam pemeriksaan, dilarang menyebutkan nama dan
alamat pelapor atau hal yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya
identitas pelapor. Sebelum sidang dibuka, hakim mengingatkan saksi dan orang
lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor
182 Harahap, M. Yahya, Op.Cit. h. 53.
166
Narkotika untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang. Kekhususan dan
perlindungan dalam tindak pidana narkotika merupakan tuntutan dari
perkembangan hukum acara yang menginginkan fair trial yakni peradilan yang
bebas dan tidak memihak. Tuntutan akan fair trial meliputi:
a. Proses penegakan hukum yang cepat (speedy trial).
b. Penegakan asas “imparsialitas” sesuai dengan prinsip presumption of
innocent dalam melemparkan jauh-jauh sikap dan citra penegakan
hukum yang bercorak prejudicare.
c. Tuntutan yang semakin keras atas penerapan adversarial system sesuai
dengan asa beyond a reasonable doubt.
d. Tuntutan yang semakin luas untuk menjadikan nilai-nilai HAM sebagai
ideologi universal dalam penegakan hukum. 183
Berdasarkan Pasal 100 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika dinyatakan bahwa saksi, pelapor, penyidik, penuntut umum, dan
hakim yang memeriksa perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor
Narkotika beserta keluarganya wajib diberi perlindungan oleh negara dari
ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, baik sebelum,
selama maupun sesudah proses pemeriksaan perkara. Pada tahapan
persidangan, proses pembuktian merupakan bagian yang sangat penting dan
juga bagian yang paling mengancam dan memerlukan perlindungan hukum,
karena pada tahap inilah fakta-fakta hukum akan terungkap.
Pembuktian merupakan proses yang paling penting dalam persidangan.
Masing-masing pihak harus memiliki dalil-dalil yang mampu dibuktikan untuk
menerangkan suatu peristiwa yang dimaksud. Membuktikan adalah
menyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dimaksudkan dalam
183 Harahap, M. Yahya, 2014, Permbahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP;
Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 13.
167
persengketaan.184 Menurut Martiman Prodjohamidjojo mengemukakan
membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran
atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran
peristiwa tersebut.185 Di dalam teori dikenal dua sistem pembuktian yaitu:
a. Sistem pembuktian positif. Sistem pembuktian positif (positief wetelijk)
adalah sistem pembuktian yang menyandarkan diri pada alat bukti saja,
yakni alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang. Seorang
terdawa bisa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana hanya
didasarkan pada alat bukti yang sah. Alat bukti yang ditetapkan oleh
undang-undang adalah penting. Keyakinan hakim sama sekali
diabaikan.
b. Sistem pembuktian negatif. Sistem pembuktian negative (negatief
wettelijk) sangat mirip dengan sistem pembuktian conviction in raisone.
Hakim di dalam mengambil keputusan tentang salah atau tidaknya
seorang terdakwa terikat oleh alat bukti yang ditentukan oleh undang-
undang dan keyakinan (nurani) hakim sendiri. Jadi, di dalam sistem
negatif ada dua hal yang merupakan syarat untuk membuktikan
kesalahan terdakwa, yakni
1) Wettelijk: adanya alat bukti yang sah yang telah ditetapkan oleh
undang-undang.
2) Negatief: adanya keyakinan (nurani) dari hakim, yakni berdasarkan
bukti-bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa. 186
Dalam hukum pidana dikenal sistem pembuktian negatif. Menurut
sistem pembuktian negatif, untuk memutus perkara maka selain diperlukan
minimal dua alat bukti maka diwajibkan adanya keyakinan hakim. Menurut
Pasal 184 (1) KUHAP alat bukti terdiri dari:
a. Keterangan Saksi.
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan Terdakwa
184 Sasaid, Nur, 1996, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, h.36. 185 Prodjohamidjojo, Martiman, 1984, Komentar Atas KUHAP: Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 11. 186 Alfitra, Op.Cit., h. 28-29.
168
Pasal 86 ayat (2) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika memberikan tambahan alat bukti selain yang diatur dalam Pasal 184
(1) KUHAP berupa:
a. Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. Data rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau
didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain
kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk didalamnya
tetapi tidak terbatas pada:
1. Tulisan, suara, dan/atau gambar;
2. Peta, rancangan, foto atau sejenisnya; atau
3. Huruf, tanda, angka, simbol, sandi, atau perforasi yang memiliki
makna dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau
memahaminya.
Narkotika, Prekursor Narkotika, dan alat atau barang yang digunakan di
dalam tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika atau yang menyangkut
Narkotika dan Prekursor Narkotika serta hasilnya dinyatakan dirampas untuk
negara. Dalam hal alat atau barang yang dirampas adalah milik pihak ketiga
yang beritikad baik, pemilik dapat mengajukan keberatan terhadap perampasan
tersebut kepada pengadilan yang bersangkutan dalam jangka waktu 14 (empat
belas) hari setelah pengumuman putusan pengadilan tingkat pertama. Seluruh
harta kekayaan atau harta benda yang merupakan hasil tindak pidana Narkotika
dan Prekursor Narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak pidana
Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dirampas untuk negara dan digunakan
untuk kepentingan pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
169
upaya rehabilitasi medis dan sosial. Kebijakan perampasan aset ini akan sangat
bermanfaat dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas rehabilitasi bagi
pecandu dan korban penyalahguna narkotika.
2.7.3 Jenis Sanksi Dalam Tindak Pidana Narkotika
Proses peradilan pidana tidak dapat dilepaskan dari penegakan hukum
hukum. Dalam proses penegakan hukum (peradilan pidana) yang bertumpu
pada hukum pidana dan acara pidana, negara melalui organ-organnya
mempunyai hak dan kewenangan untuk menjatuhkan pidana (ius puniendi). Di
sini jika terjadi tindak pidana, maka terhadap pelakunya akan ditindak melalui
proses peradilan dengan memberi sanksi pidana.187 Penegakan hukum adalah
implementasi dari dianutnya konsep negara yang berdasarkan atas hukum.
Dalam hal ini, negara memiliki hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi
bagi para pelanggarnya. Negara memiliki hak dan kewenangan untuk
menghukum guna melindungi kepentingan dan fungsi negara dalam menjamin
keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Pemberlakuan suatu aturan hukum
di dalam masyarakat dilakukan secara adil.
Dipidananya seseorang yang tidak bersalah, merupakan kekeliruan
proses hukum. Demikian juga pemeo dalam hukum menyatakan “Under the
law, it is better that ten guilty persons escape, than that one innocent man
suffer”.188 (terjemahan bebas: Berdasarkan undang-undang, lebih baik bahwa
sepuluh orang bersalah melarikan diri, daripada satu orang yang tidak bersalah
187 Waluyo, Bambang, Op.Cit., h. 2. 188 Ali, Achmad, Op.Cit., h. 501.
170
menderita). Hukum adalah aturan yang bersifat memaksa. Unsur memaksa
dalam hukum ditandai dengan adanya sanksi yang dijatuhkan bagi setiap orang
yang melanggar hukum. Rumusan tindak pidana juga berisi ancaman pidana
atau sanksi yang diletakkan pada tindak pidana tersebut. Ancaman pidana ini
ditunjukkan bagi ‘orang’ yang melakukan tindak pidana.189 Hoven dalam Andi
Hamzah, menyatakan yang dapat dipidana ialah pembuat.190 Ancaman pidana
karenanya ditunjukkan kepada orang yang melakukan perbuatan yang dilarang,
mengabaikan perintah yang seharusnya dilakukan, dan karena perbuatannya
menimbulkan akibat terlarang.
Ancaman pidana tidak ditunjukkan terhadap perbuatan terlarang
tersebut, melainkan ditunjukkan terhadap orang yang melakukannya. Hal ini
berdasarkan pada pandangan bahwa hanya oranglah yang dapat memiliki
kesalahan. Kesalahan itu sifat orang, dan bukan sifat dari suatu perbuatan.
“Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” berarti tiada pemindaaan tanpa kesalahan.
Pemindanaan di timpakan terhadap orang, dan bukan terhadap suatu perbuatan.
Perumusan tindak pidana dalam KUHP tidak sepenuhnya demikian.
Adakalanya ancaman pidana ditujukan terhadap’orang’, tetapi dalam rumusan
tindak – tindak pidana yang lain, ancaman pidana justru ditujukan terhadap
‘perbuatannya’.
Sanksi berfungsi untuk memberikan keadilan bagi masyarakat dan
menjaga ketertiban dalam suatu wilayah negara. Keadilan yang dimaksudnya
merupaan keadilan yang holistik, baik keadilan bagi pelaku, bagi korban
189 Saleh, Roeslan, 1983, Beberapa Asas Hukum Pidana Dalam Perspektif, Aksara Baru,
Jakarta, h. 234. (selanjutnya disebut Saleh, Roeslan III). 190 Hamzah, Andi II, Op.Cit, h. 87.
171
maupun bagi keluarga masing-masing. Sanksi juga bertujuan memberikan
kepastian hukum bagi terdakwa dalam perkara hukum yang dihadapinya. Pada
dasarnya ada tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan
suatu pemidanaan, yaitu mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri.
b. Membuat orang menjadi jera melakukan kejahatan-kejahatan.
c. Membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk
melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang
dengan cara-cara lain sudah tidak dapat diperbaiki kembali.191
Dalam hukum pidana, sanksi merupakan hal yang sangat penting, bahkan
sanksi pidana dipandang sebagai sanksi yang paling ampuh ketika sanksi lain
tidak dapat mengembalikan keseimbangan yang terganggu. Sanksi pidana
berupaya membina seseorang untuk bertingkah laku yang baik sesuai dengan
tingkah laku umum. Tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pidana pada
umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan sosial yang mengandung
nilai-nilai tertentu yang perlu dilindungi. Kepentingan-kepentingan sosial
tersebut menurut Bassiouni ialah:
a. Pemeliharaan tertib masyarakat;
b. Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-
bahaya yang tak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain;
c. Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum;
d. Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan
dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan
keadilan individu.192
191 Tolib Setiady, Op.Cit., h. 31. 192 Arief, Barda Nawawi, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana
Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.
33, (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief IV).
172
Pidana harus dijatuhkan sesuai dengan tujuan dalam penanggulangan
kejahatan, oleh sebab itu diperlukan standar dalam penjatuhan pidana. Pidana
membatasi seseorang untuk bertingkah laku dan menghindari pengulangan
terjadinya kejahatan. Herbert L. Packer, menyatakan
Recent philosophical discussion has produced a definition of punishment
that will serve as a starting point for our inquiry. This definition presents
the standard case of punishment as exhibiting five characteristics:
(1) It must involve pain or other consequences normally considered
unpleasant.
(2) It must be for an offense against legal rules.
(3) It must be imposed on an actual or supposed offender for his offense.
(4) It must be intentionally administered by human beings other than the
offender.
(5) It must be imposed and administered by an authority constituted by a
legal system against which the offense is committes.193
Terjemahan bebas
Diskusi filosofis baru-baru ini telah menghasilkan definisi hukuman yang
akan berfungsi sebagai titik awal untuk penyelidikan kami. Definisi ini
menyajikan kasus standar dari hukuman yang menunjukkan lima
karakteristik:
(1) Ini harus melibatkan rasa sakit atau konsekuensi lain yang biasanya
dianggap tidak menyenangkan.
(2) Itu harus untuk pelanggaran terhadap aturan hukum.
(3) Harus dikenakan pada pelaku yang sebenarnya atau seharusnya untuk
pelanggaran itu.
(4) Harus sengaja diberikan oleh manusia selain pelaku.
(5) Ini harus dikenakan dan dikelola oleh otoritas dibentuk oleh sistem
hukum terhadap pelanggaran yang berkomitmen.
Secara teoretis, sanksi pidana bertujuan memberikan penderitaan
istimewa (bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat
perbuatannya. Selain ditujukan kepada pengenaan penderitaan terhadap pelaku,
193 Packer, Herbert L., The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press,
California, h. 21.
173
sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan
pelaku.194 Mengenai sanksi pidana, Muladi menyatakan:
Apapun bentuk sanksi pidana yang akan dijatuhkan, apakah itu merupakan
pidana (straft) yang menderitakan, ataupkah disebut sebagai maatregel,
yang secara hipotesis dianggap tidak menderitakan, tetapi bersifat
mendidik, tapi pasti keduanya akan dirasakan sebagai sesuatu yang tidak
enak. Apalagi kalau pidana tersebut berupa pidana (perampasan)
kemerdekaan (imprisonment). Berkaitan dengan hal inilah, persoalan
keadilan akan dirasakan oleh berbagai pihak yang merasa dirugikan oleh
tindak pidana. Dengan penjatuhan pidana, semua konflik harus selesai,
keseimbangan harus kembali dan mendatangkan rasa damai bahi
masyarakat. Tujuan hukum pidana dengan segala operasionalisasinya pada
hakikatnya adalah protection of public and the promotion of justice for
victim, offender and community. 195
Dalam sistem hukum pidana di Indonesia, jenis-jenis sanksi pidana
diatur dalam Pasal 10 KUHP, seperti tersurat :
Pidana terdiri atas:
a. pidana pokok:
1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3. pidana kurungan;
4. pidana denda;
5. pidana tutupan.
b. pidana tambahan
1. pencabutan hak-hak tertentu;
2. perampasan barang-barang tertentu;
3. pengumuman putusan hakim.
Majelis hakim dapat menjatuhkan pidana pokok saja, atau pidana pokok
beserta pidana tambahan. Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan bersama-
sama dengan pidana pokok. Penjatuhan pidana tambahan bersifat fakultatif,
dimana hakim tidak diharuskan untuk menjatuhkan pidana tambahan. Jenis
194 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung, h. 5. 195 Sunarso, Siswanto, 2011, Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi
Hukum, Rajawali, Jakarta, h. 96.
174
sanksi pokok sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP digunakan dalam
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dalam Undang-
undang Narkotika yang berlaku spesialis ditentukan pidana tambahan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 130 ayat (2) yang menyatakan bahwa
selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat
dijatuhi pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.
Pidana mati merupakan sanksi yang paling berat terhadap pelaku tindak
pidana di Indonesia. Pidana mati dapat dikatakan sebagai salah satu pidana
tertua dari jenis pidana lainnya, seperti pidana ganti kerugian (denda), dan
pidana fisik (cambuk, pemotongan anggota tubuh, pasung dan lain sebagainya).
Sanksi ini hanya dijatuhkan pada kejahatan yang sangat berat seperti narkotika.
Pengaturan pidana mati sebagai salah satu jenis sanksi pidana tidak dapat
dilepaskan dari teori pembalasan. Teori pembalasan menyatakan bahwa
pemidanaan merupakan suatu pembalasan terhadap orang yang melakukan
penyerangan terhadap hak dan kepentingan hukum dari pribadi, masyarakat
atau negara yang telah dilindungi. Teori pembalasan hanya melihat perbuatan
dan pidana yang diberikan harus setimpal dengan perbuatan. Makin besar
kejahatan, maka makin berat pula pidananya, inilah yang dikemukakan oleh
Hegel.196 Sanksi pidana merupakan suatu pembalasan (berupa penderitaan)
196 Sahetapy, J.E., 1982. Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati
Pembunuhan Berencana, Jakarta, Rajawali, h. 202. (selanjutnya disebut Sahetapy, J. E. II).
175
yang dijatuhkan penguasa terhadap seseorang tertentu yang dianggap bertindak
secara salah melanggar aturan perilaku yang pelanggaran terhadapnya
diancamkan dengan pidana.197 Nigel Walker memberikan 3 (tiga) pengertian
mengenai pembalasan (retribution), yaitu:
a) Retaliatory retribution, adalah dengan sengaja membebankan suatu
penderitaan yang pantas diderita seorang penjahat dan yang mampu
menyadari bahwa beban penderitaan itu akibat kejahatan yang
dilakukannya;
b) Distributive retribution, adalah pembatasan terhadap bentuk-bentuk
pidana yang dibebankan dengan sengaja terhadap mereka yang telah
melakukan kejahatan. Mereka ini telah memenuhi persyaratan-
persyaratan lain yang dianggap perlu dalam rangka
mempertanggungjawabkan mereka terhadap bentuk-bentuk pidana;
c) Quantitative retribution, adalah pembatasan terhadap bentuk-bentuk
pidana yang mempunyai tujuan lain dari pembalasan, sehingga bentuk-
bentuk pidana itu tidak melampaui suatu tingkat kekejaman yang
dianggap pantas untuk kejahatan yang telah dilakukan.198
Dalam sistem hukum di Indonesia, pidana mati dapat dijatuhkan
terhadap tindak pidana narkotika sebagaimana yang diatur dalam Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Adapun
perbuatan yang dapat dijatuhkan pidana mati adalah sebagai berikut:
a. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum, memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I
dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau
melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman
beratnya melebihi 5 (lima) gram (Pasal 113 ayat (2)).
197 Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana : Komentar atas Pasal-Pasal dari Kitab UU
Hukum Pidana dan Padanannya dalam Kitab UU Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka
Media Tama, Jakarta, h. 458. 198 Sahetapy, J.E., 1979, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana,
Alumni, Bandung, h.153 (selanjutnya disebut Sahetapy, J. E. III).
176
b. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk
dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,
menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I, yang dalam
bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5
(lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5
(lima) gram (Pasal 114 ayat (2)).
c. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum, dalam hal
pecanduan narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika
Golongan I untuk digunakan orang lain, mengakibatkan orang lain
mati atau cacat permanen (Pasal 116 ayat (2)).
d. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum, dalam hal
perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
Narkotika Golongan II, beratnya melebihi 5 (lima) gram (Pasal 118
ayat (2)).
e. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum, menawarkan untuk
dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual
beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II beratnya
melebihi 5 (lima) gram (Pasal 119 ayat (2)).
f. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum, dalam hal
pecanduan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika
Golongan II untuk digunakan orang lain mengakibatkan orang lain
mati atau cacat permanen (Pasal 121 ayat (2)).
g. Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum, dalam hal
pecanduan Narkotika tehadap orang lain atau pemberian Narkotika
Golongan III untuk digunakan orang lain mengakibatkan orang lain
mati atau cacat permanen (Pasal 126 ayat (2)).
Ancaman pidana mati bagi pelaku kejahatan narkotika berlaku secara
khusus terhadap percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak
pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika dan setiap orang yang menyuruh,
memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan,
memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan
kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup
umur untuk melakukan tindak pidana narkotika. Pembuat undang-undang
membuat ancaman pidana mati bagi pelaku tindak pidana narkotika karena
tindak pidana ini dipandang sebagai kejahatan yang serius. Pidana mati dalam
177
tindak pidana narkotika ini memang menuai protes dari negara-negara lain yang
sudah menghapuskan pidana mati.
Eksekusi pidana mati terhadap warga negara asing yang melakukan
tindak pidana narkotika di Indonesia beberapa waktu lalu menuai kecaman dari
dunia internasional. Pidana mati dipandang sebagai suatu kejahatan terhadap
umat manusia. Sepanjang sejarah umat manusia, hukuman mati memang selalu
mengundang pro-kontra. Hak hidup dinilai bersifat inalienablerights. Bahkan,
dalam kondisi bagaimanapun hak hidup harus tidak bisa dikesampingkan (non
derogable rights). Hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang paling
mendasar. Penghormatan terhadap hak asasi manusia ini merupakan ciri
penting negara hukum. HAM adalah hak hukum (legal right).199 Henkin
menyatakan bahwa “They (baca: HAM) are not merely aspirations or moral
assertions but, increasingly, legal claims under some applicable law.”200
Walaupun untuk hidup merupakan hak asasi manusia, namun hak tersebut
dapat dibatasi.
Penjatuhan pidana mati juga tidak boleh dijatuhkan bagi anak di bawah
umur. Pemberlakuan hukuman mati di Indonesia didasarkan pada
pertimbangan bahwa Kejahatan Narkotika adalah kejahatan serius yang
menyebabkan banyak korban dan kematian. Obat-obatan terlarang tidak hanya
memiliki efek fisik, tetapi mereka memiliki efek sosial. Penyalahgunaan obat-
obatan ini dapat menyebabkan individu untuk mengisolasi diri, yang dapat
199 Legal right menurut G.W. Paton,. 1972, A Textbook of Jurisprudence, Clarendon
Press, Oxford, h. 284 200 Henskin, Louis, 1988, The Right of Man Today, Centre for the Study of Human
Right-Columbia University, New York, h. 25
178
menyebabkan depresi. Penyalahgunaan obat negatif dapat mempengaruhi
hubungan bahwa individu memiliki dengan orang-orang yang mereka cintai,
termasuk orang tua dan anak-anak mereka. Penyalahgunaan obat dapat
menyebabkan individu untuk melewati peristiwa penting, kehilangan
pekerjaan, dan mengendur cukup secara teratur .
Penyalahgunaan obat juga dapat menyebabkan individu untuk menjadi
agresif, sehingga sulit bagi mereka untuk membuat dan menjaga teman-teman.
Seseorang yang kecanduan obat memiliki waktu yang sulit menetapkan tujuan
dan sering kurang percaya diri. Secara teratur menggunakan obat-obatan dan
menyalahgunakan juga dapat menyebabkan kurangnya berikut motivasi dan
dorongan, perasaan marah dan kebencian terhadap orang lain, perubahan
drastis dalam kebiasaan makan dan tidur, keengganan untuk menangani
masalah-masalah pribadi, menyebabkan mereka menjadi lebih buruk,
ketidakstabilan emosi dan keinginan untuk bereksperimen dengan berbagai
obat-obatan.201 Penyalahgunaan narkotika akan membunuh generasi muda
secara perlahan-lahan. Oleh sebab itu Indonesia memberlakukan hukuman mati
sebagai pidana terberat dalam peredaran gelap narkotika.
Pidana penjara menjadi jenis sanksi yang paling dominan diambil oleh
hakim di Indonesia. Pidana penjara digunakan pada ketentuan pidana dalam
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pidana penjara
merupakan suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang
terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut dalam sebuah
201 Project Know Understanding Addiction, The Effects of Drug Abuse, available at
http://www.projectknow.com/research/effects-of-drug-abuse/
179
lembaga pemasyarakatan dengan mewajibkan orang itu menaati semua
peraturan tata tertib yang berlaku dalam lembaga pemasyarakatan yang
dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang melanggar
peraturan tersebut.202
Mengenai pidana penjara ini, Roeslan Saleh menyebutkan bahwa pidana
penjara adalah pidana utama diantara pidana hilang kemerdekaaan dan pidana
penjara ini dapat dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk sementara
waktu.203 Pidana penjara yang dijatuhkan pada Undang-undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika adalah pidana penjara seumur hidup dalam
dalam waktu tertentu. Penjara dipandang sebagai suatu tempat penjeraan bagi
mereka yang pernah melakukan kejahatan. Hukuman penjara ditujukan kepada
penjahat yang menunjukkan watak buruk dan nafsu bejat.204 Perumusan
ancaman pidana penjara yang bersifat imperatif di Indonesia tersebut
merupakan warisan dari pemikiran aliran klasik yang menetapkan pidana
dengan definite sentence.205 Dominasi pidana penjara pada Undang-undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak lepas dari pandangan bahwa
tindak pidana narkotika merupakan kejahatan yang dipandang sebagai perilaku
buruk dari pecandu.
202 Setiady, Tolib, 2010, Pokok-pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung,
h. 92. 203 Ibid. 204 Marpaung, Leden, 2008, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta,
h. 108. 205 Arief, Barda Nawawi, 1994, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan
Dengan Pidana Penjara, Universitas Diponegoro, Semarang, h. 201-202. (Selanjutnya disebut
Arief, Barda Nawawi V).
180
Dalam rumusan ketentuan pidana pada Undang-undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, pidana penjara yang diatur dalam undang-
undang ini adalah pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun serta pidana penjara seumur hidup. Pidana penjara juga
dapat menggantikan pidana denda apabila pelaku tidak dapat membayar denda.
Hal ini ditegaskan pada Pasal 148 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika yang menyatakan “Apabila putusan pidana denda
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini tidak dapat dibayar oleh pelaku
tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika, pelaku dijatuhi
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun sebagai pengganti pidana denda yang
tidak dapat dibayar.”
Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
pidana denda dirumuskan secara komulatif dengan pidana penjara. Pidana
denda mempunyai sifat perdata, mirip dengan pembayaran yang diharuskan
dalam perkara perdata terhadap orang yang melakukan perbuatan yang
merugikan orang lain. Perbedaan pidana denda dengan perkara perdata adalah
pidana denda dibayarkan kepada negara atau masyarakat dan perkara perdata
dibayarkan kepada orang pribadi atau badan hukum. Pidana denda dalam
perkara pidana dapat diganti dengan pidana kurungan jika tidak dibayar.
Jumlah pidana denda tidaklah diperhitungkan sesuai dengan jumlah kerugian
yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan sebagaimana dalam perkara perdata.
181
Pidana denda tetap dijatuhkan walaupun terpidana telah membayar ganti rugi
secara perdata kepada korban.206
2.8 Keterkaitan Antara Narkotika, Penggolongan Narkotika Dengan
Kualifikasi Pecandu dan Korban Narkotika
2.8.1 Penggolongan Narkotika
Narkotika merupakan zat yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan
masyarakat. Zat ini berfungsi sebagai obat atau bahan yang bermanfaat di
bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan bermanfaat dalam
pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 35
Tahun 2009 secara tegas menyatakan “Narkotika hanya dapat digunakan untuk
kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.” Narkotika adalah obat yang dapat menghilangkan (terutama)
rasa nyeri yang berasal dari daerah visceral dan dapat menimbulkan efek stupor
(bengong, masih sadar namun harus digertak) serta adiksi.207
Narkotika harus digunakan dalam dosis yang tepat, sebab narkotika
memiliki efek ketergantungan yang sangat besar. Menurut Soedjono, narkotika
merupakan sejenis zat yang bila digunakan (dimasukkan ke dalam tubuh) akan
membawa pengaruh terhadap si pemakai. Pengaruh tersebut berupa
menenangkan, merangsang dan menimbulkan khayalan (halusinasi).208
206 Anwar, Yesmil dan Adang, 2008, Pembaharuan Hukum Pidana, Grasido, Jakarta, h.
143. (selanjutnya disebut Anwar, Yesmil dan Adang II). 207 Wijaya A.W. 1985, Masalah Kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika,
Armico, Bandung, h. 145. 208 Soedjono D. 1977, Segi Hukum tentang Narkotika di Indonesia, Karya Nusantara,
Bandung, h. 5.
182
Penyalahgunaan narkotika juga berakibat fatal terhadap kesehatan pecandunya.
Oleh sebab itu peredaran narkotika diatur, diawasi dan dibatasi oleh peraturan
perundang-undangan. Mengenai pengawasan ini, Dikdik M. Arief Mansur dan
Elisatris Gultom mengatakan:
Pentingnya peredaran narkotika diawasi secara ketat karena saat ini
pemanfaatannya banyak untuk hal-hal yang negatif. Di samping itu,
melalui perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, penyebaran
narkotika sudah menjangkau hampir ke semua wilayah di Indonesia hingga
ke pelosok-pelosok. Daerah yang sebelumya tidak pernah tersentuh oleh
peredaran narkotika lambat laun berubah menjadi sentra peredaran
narkotika. Begitu pula, anak-anak yang pada mulanya awam terhadap
barang haram ini telah berubah menjadi sosok pecandu yang sukar untuk
dilepaskan ketergantungannya.209
Berdasarkan fungsi narkotika, maka pemerintah menggolongkan
narkotika menjadi golongan I, golongan II dan golongan III sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 yakni sebagai
berikut:
(1). Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke
dalam:
a. Narkotika Golongan I;
b. Narkotika Golongan II; dan
c. Narkotika Golongan III.
(2). Penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
pertama kali ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
(3). Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Narkotika sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Dalam Penjelasan Pasal 6 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009
dijabarkan sebagai berikut:
209 Arief Mansur, Dikdik M. dan Elisatris Gultom, 2008, Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan; Antara Norma dan Realita, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 101.
183
a. “Narkotika Golongan I” adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam
terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan
ketergantungan.
b. “Narkotika Golongan II” adalah Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan
sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi
mengakibatkan ketergantungan.
c. “Narkotika Golongan III” adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan.
Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan
pelayanan kesehatan namun jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat
digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah
mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan. Ruang lingkup Narkotika Golongan I meliputi:
a. reagensia diagnostik adalah Narkotika Golongan I tersebut secara terbatas
dipergunakan untuk mendeteksi suatu zat/bahan/benda yang digunakan oleh
seseorang apakah termasuk jenis Narkotika atau bukan.
b. reagensia laboratorium adalah Narkotika Golongan I tersebut secara
terbatas dipergunakan untuk mendeteksi suatu zat/bahan/benda yang disita
atau ditentukan oleh pihak Penyidik apakah termasuk jenis Narkotika atau
bukan.
Narkotika Golongan II dan Golongan III yang berupa bahan baku, baik
alami maupun sintetis, yang digunakan untuk produksi obat diatur dengan
Peraturan Menteri. Walaupun narkotika Golongan I dan Golongan II dapat
digunakan sebagai bahan baku obat, namun pecanduannya tetap diatur.
Narkotika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah mendapatkan
izin edar dari Menteri. Untuk mendapatkan izin edar dari Menteri, Narkotika
184
dalam bentuk obat jadi harus melalui pendaftaran pada Badan Pengawas Obat
dan Makanan. Jenis-jenis narkotika Golongan I, II dan III diatur dalam
Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika dan perubahannya.
Menurut Pasal 9 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Menteri
menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan
dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk
keperluan ketersediaan Narkotika disusun rencana kebutuhan tahunan
Narkotika. Rencana kebutuhan tahunan Narkotika disusun berdasarkan data
pencatatan dan pelaporan rencana dan realisasi produksi tahunan yang diaudit
secara komprehensif dan menjadi pedoman pengadaan, pengendalian, dan
pengawasan Narkotika secara nasional. Menteri memberi izin khusus untuk
memproduksi Narkotika kepada Industri Farmasi tertentu yang telah memiliki
izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah dilakukan
audit oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan. Badan Pengawas Obat dan
Makanan melakukan pengawasan terhadap bahan baku, proses produksi, dan
hasil akhir dari produksi Narkotika sesuai dengan rencana kebutuhan tahunan
Narkotika.
2.8.2 Kualifikasi Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika
Narkotika sangat bermanfaat untuk kepentingan pendidikan, pelatihan,
penelitian dan pengembangan. Menurut Pasal 139 Undang-undang Nomor 35
Tahun 2009, Lembaga ilmu pengetahuan yang berupa lembaga pendidikan dan
pelatihan serta penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan oleh
185
pemerintah ataupun swasta dapat memperoleh, menanam, menyimpan, dan
menggunakan Narkotika untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi
setelah mendapatkan izin Menteri.Narkotika yang berada dalam penguasaan
Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi
pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan,
dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib disimpan secara khusus. Industri
Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi
pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan,
dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib membuat, menyampaikan, dan
menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran
Narkotika yang berada dalam penguasaannya.
Pecanduan narkotika yang tidak sesuai dengan peruntukannya dapat
menimbulkan efek kecanduan. Pecandu pada dasarnya adalah merupakan
korban penyahgunaan tindak pidana narkotika yang melanggar peraturan dan
mereka semua itu merupakan warga negara Indonesia yang diharapkan dapat
membangun negeri ini dari keterpurukan di segala bidang.210 Pasal 1 angka 13
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mendefinisikan
bahwa Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau
menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada
Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
210 Makarao, Moh. Taufik, Suhasril dan Moh Zakky A.S., 2003, Tindak Pidana
Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 74-75.
186
Pecanduan narkotika yang melebihi dosis akan berdampak pada
pecandunya. Beberapa kelompok obat yang sering disalahgunakan yakni:
a. Kelompok depresent (downer) yaitu jenis obat yang berfungsi menguangi
aktivitas, membuat pecandu menjadi tertidur atau tidak sadarkan diri.
b. Kelompok stimulant (upper) yaitu jenis-jenis zat yang dapat merangsang
fungsi tubuh dan dapat meningkatkan gairah kerja (rasa bersemangat),
secara berlebih-lebihan.
c. Kelompok hallucinogen, merupakan obat/ zat kimia aktif atau obat yang
dapat menimbulkan efek halusinasi, dapat merubah perasaan dan pikiran. 211
Penentuan seorang tersangka dengan kualifikasi sebagai pecandu dan
korban penyalahguna akan menentukan jenis pidana bagi yang bersangkutan
dan kebijakan rehabilitasi baginya. Pecandu dan korban penyalahguna
mendapatkan hukuman yang lebih ringan dari pengedar dan pengimpor
sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Pecandu dan korban
penyalahguna juga dapat menjalani rehabilitasi sesuai dengan putusan
pengadilan. Secara teoritis, dalam teori pencegahan/ rehabilitasi dinyatakan
bahwa hukuman bertujuan untuk memperbaiki terpidana. Dengan demikian
kebijakan rehabilitasi sangat tepat dilakukan bagi pecandu dan korban
penyalahguna agar lepas dari ketergantungan narkotika.
Sasaran rehabilitasi bukan hanya mencakup pecandu narkotika,
melainkan pula korban penyalahgunaan Narkotika. Korban adalah mereka yang
menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang
mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan
kepentingan dan hak asasi yang menderita.212 Korban penyalahguna narkotika
211 BNN, 2007, Mengenal Penyalahgunaan Narkoba, Badan Narkotika Nasional
Republik Indonesia, Jakarta, h. 9. 212 Bambang Waluyo, Op.Cit., h. 9.
187
menurut Penjelasan Pasal 54 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan Narkotika karena
dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan
Narkotika. Kondisi ini dapat terjadi dimana korban tidak mengetahui bahwa ia
sedang mengkonsumsi narkotika, bisa jadi korban mengetahui hanya
mengkonsumsi vitamin saja.
Dilihat dari lingkup korban, pengertian korban tidak hanya sebatas pada
korban individu saja. Abdussalam menguraikan beberapa lingkup korban yakni:
a. Korban perseorangan adalah setiap orang sebagai individu mendapat
penderitaan baik jiwa, fisik, materiil, maupun non materiil.
b. Korban institusi adalah setiap institusi mengalami penderitaan kerugian
dalam menjalankan fungsinya yang menimbulkan kerugian
berkepanjangan akibat dari kebijakan pemerintah, kebijakan swasta
maupun bencana alam.
c. Korban lingkungan hidup adalah setiap lingkungan alam yang
didalamnya berisikan kehidupan tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia
dan masyarakat serta semua jasad hidup yang tumbuh berkembang dan
kelestariannya sangat tergantung pada lingkungan alam tersebut yang
telah mengalami gundul, longsong, banjir dan kebakaran yang
ditimbulkan oleh kebijakan pemerintahyang salah dan perbuatan
manusia baik individu maupun masyarakat yang tidak bertanggung
jawab.
d. Korban masyarakat, bangsa dan negara adalah masyarakat yang
diperlakukan diskriminatif, tidak adil, tumpang tindih pembagian hasil
pembangunan serta hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial dan
hak budaya tidak lebih baik setiap tahun.213
Penyalahgunaan narkotika menimbulkan korban yang meluas.
Penderitaan tidak hanya bagi pecandu atau penyalahguna saja, melainkan lebih
dari itu. Keluarga pecandu dan penyalahguna akan kehilangan hak ekonomi,
karena pecandu dan penyalahguna tidak lagi produktif bekerja apabila sudah
213 Abdussalam, 2010, Viktimologi, PTIK, Jakarta, h. 6-7.
188
pada tahap ketergantungan. Uang yang digunakan untuk membeli narkotika
juga sangat banyak, bahkan dalam kasus-kasus penyalahgunaan narkotika,
pecandu dan penyalahguna justru menjual barang-barang yang ada di rumah
atau mencuri barang berharga milik anggota keluarga untuk dijual dan dibelika
narkotika. Efek ketergantungan bagi pecandu dan korban penyalahguna
narkotika dengan sendirinya menghancurkan generasi muda dan artinya juga
menghancurkan masa depan bangsa, oleh sebab itu perang terhadap
penyalahgunaan narkotika ini terus dilakukan oleh semua negara.
top related