bab iii hasil penelitian dan analisis - …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8375/3/t1... ·...
Post on 11-Feb-2018
218 Views
Preview:
TRANSCRIPT
36
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
Dalam bagian ini akan dikemukan tentang hasil penelitian tentang hasil penelitian
yang penulis peroleh disertai dengan analisis guna menjawab rumusan masalah yagn
telah dibuat. Hasil penilitan ini dan anaslisis tersebut disusun mengacu pada konsep-
konsep yang telah dituangkan pada BAB II. Data Bab III ini diperoleh dari beberapa
sumber-sumber dari hasil wawancara dengan pasangan yang melakukan kawin lari
dan dianalisis berdasarkan keilmuan hukum yang didapat dari hukum adat yang
berlaku di daerah setempat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta
artikel-artikel atau buku-buku yang menunjang penulisan skripsi ini,
A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum Daerah Penelitian
a. Keadaan Geografis Lokasi Penelitian
Secara umum, sesuai dengan hasil penelitian penulis, keadaan geografis
lokasi penelitian (Desa Buru Kaghu), terdiri dari daerah pegunungan
rendah yaitu ketinggiannya berada antara 0-200 meter diatas permukaan
laut. Meskipun desa ini terdiri dari bukit-bukit, tapi diantara bukit-bukit
tersebut terdapat lembah-lembah datar yang dapat dijadikanpersawahan.
Seperti halnya dengan daerah-daearah lain didaerah Sumba Barat Daya,
khususnya di Wewewa Selatan, daerah ini juga berada pada daerah iklim
tropis dan dipengaruhi oleh dua musim yang saling bergantian. Kedua
musim itu adalah musim penghujan dan musim kemarau. Pada bulan april
sampai september bertiup angin timur yang bersifat kering. Angin kering
37
dikarenakan angin bertiup dari daratan Australia yang luas dan kering dan
baru sedikit yang melalui lautsehingga upa air yang dibawanya tidak
banyak. Pada bulan oktober sampai dengan bulan maret bertiup angin
barat yang sifatnya basah. Angin basah ini dikarenakan angin ini berasal
dari daratan Asia dan sudah banyak melalui laut sehingga uap air yang
banyak sehingga turun hujan yang banyak pula.
b. Asal Usul Suku Wewewa
Dalam penulisan skripsi ini penulis akan memperkenalkan lebih awal
tentang sejarah singkat tentang asal usul terbentuknya adat suku wewewa,
karena penulis merasa hal ini sangat penting untuk suatu tinjauan dan
analisis baik asal usul maupun sosial budaya.
Sejarah asal usul Suku Wewewa tidak terlepas dari sejarah asal usul
orang Sumba. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Kepala Adat
yang sekaligus Kepala Desa Buru Kaghu, Herman Ndapatondo,
mengatakan bahwa arti kata Wewewa itu sendiri adalah “mencari – cari”.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa orang yang masuk ke pulau Sumba ini,
yang sekarang sudah menjadi orang Sumba, berasal dari Malaka
(semenanjung Malaysia sekarang), dan India. Mereka masuk ke pulau
Sumba melalaui Tanjung Sasar. Ia mengatakan bahwa berdasarkan cerita
yang sudah diturunkan secara turun temurun bahwa dulu di Tanjung Sasar
ada jembatan batu yang menghubungkan Sumba dengan Flores, dan
Sumbawa1. Cerita turun temurun ini diperkuat oleh Umbu Pura Woha
(2008 : 24) yang mengatakan bahwa pada waktu itu daratan pulau Sumba
1 Wawancara dengan kepala desa buru kaghu, Herman Ndapatondo tanggal 25 mei 2013
38
masih bergandengan dengan daratan pulau Flores dan Sumbawa. Melalui
jembatan inilah mereka masuk ke pulau Sumba.2
Suku Wewewa yang sekarang ini merupakan bagian integral dari
gelombang migrasi ini yang masuk ke pulau Sumba. Dalam gelombang
migrasi ini masing-masing kelompok tersebar untuk mencari tempat
menetap. Salah satu dari gelombang migrasi ini dalam mencari tempat
untuk menetap menemukan tempat untuk menetap di wilayah Wewewa
sekarang ini. Itulah sebabnya mereka menamakan dirinya sebagai suku
Wewewa.
Dari segi bahasa, desa Buru Kaghu termasuk dalam kelompok bahasa
suku Wewewa. Namun dari segi adat istiadat desa Buru Kaghu dalam
kesehariannya memiliki perbedaan, tetapi secara umum sama.3
c. Keadaan Sosial Budaya
Keadaan sosial budaya yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah
tentang kepercayaan dan pendidikan.
1. Kepercayaan
Kepercayaan terhadap roh-roh nenek moyang (Marapu).
Kehidupan beragama di desa Buru Kaghu dapat dikatakan cukup
rukun antar warga desa. Hal ini dapat terjadi karena adanya saling
toleransi terutama di dalam menjalankan kewajiban agama dan
kepercayaannya masing-masing.
Adapun mengenai keadaan penduduk menurut agama dan aliran
kepercayaan yang dianut dapat dilihat pada tabel berikut:
2 Umbu Pura Woha, 2008. Sejarah, Musyawarah & Adat Istiadat Sumba Timur, Cipta Sarana Jaya, hal.24
3 Wawancara dengan kepala desa Buru Kaghu, Herman Ndapatondo tanggal 25 mei 2013.
39
Tabel 1
Keadaan Penduduk Menurut Agama dan Aliran Kepercayaan di
Desa Buru Kaghu (tahun 2010)
No Agama / Aliran kepercayaan Jumlah Prosentase %
1 Kristen Protestan 9.975 50,93
2 Kristen Katholik 2.202 14,79
3 Islam 20 11,73
4 Hindu - -
5 Budha - -
6 Aliran Kepercayaan (Marapu) 5.835 22,49
Jumlah 18.032 100
Sumber data : Wawancara Kepala Desa Buru Kaghu
Dari sajian data diatas, maka dapat diketahui bahwa
penganut/pemeluk agama yang dominan adalah Kristen Protestan,
selanjutnya Katholik, dan Islam. Sedangkan Aliran kepercayaan
(Marapu) adalah memiliki jumlah penganut nomor dua setelah
agama Kristen Protestan. Dengan masih cukup banyaknya
penganut aliran kepercayaan Marapu di desa Buru Kaghu maka
sudah dapat dipastikan bahwa adat istiadat dan kebiasaan adat
yang telah turun terumurun ada akan tetap dilakukan oleh
masyarakat di desa Buru Kaghu, seperti kebiasaan kawin lari
40
(pakondona) yang merupakan bagian dari adat di desa Buru
Kaghu.
2. Pendidikan
Pendidikan pada kenyataannya merupakan suatu kebutuhan
masyarakat pada saat sekarang. Dikatakan demikian oleh karena
denganpengembangan pendidikan yang lebih baik maka orang
akan memahami, mengetahui, menemukan, dan menyelesaikan
permasalahan hidupnya. Dengan pendidikan juga merupakan salah
satu syarat bagi upaya mencerdaskan kehidupan masyarakat
sejalan dengan apa yang diharapkan bagi pelaksanaan
pembangunan nasional.
Untuk lebih jelasnya mengenai keaaan saran dan prasarana
pendidikan yang tersedia di desa Buru Kaghu dapat dilihat pada
tabel berikut ini:
Tabel 2
Keadaan Penduduk menurut Pendidikan di Desa Buru Kaghu
(tahun 2010)
No Jenis Sekolah Jumlah Jumlah Murid Jumlah Guru
1 TK - - -
2 SD 2 103 12
3 SMP 1 281 7
4 SMA - - -
41
Jumlah 3 180 19
Sumber data: Wawancara Kepala Desa Buru Kaghu4
Dengan melihat data diatas masalah prasarana dan pemerataan
pembangunan juga dirasakan di desa Buru Kaghu ini, khususnya
dalam bidang pendidikan. Dimana hanya terdapat dua Sekolah
Dasar di desa Buru Kaghu dan satu Sekolah Menengah Pertama,
sedangkan untuk SMA/SMK belum ada sehingga banyak warga
desa yang hanya merasakan bangku pendidikan Sekolah Dasar dan
Sekolah Menengah Petama saja, kalaupun ada warga desa yang
ingin melanjutkan sekolah ke SMA/SMK maka mereka harus pergi
ke kota kecamatan. Dengan masih banyaknya anak-anak di desa
Buru Kaghu yang tidak bisa merasakan bangku sekolah, khususnya
Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas secara
tidak langsung berdampak pada kebiasaan melakukan kawin lari
(pakondona). Apabila warga masyarakat memiliki tingkat
pendidikan yang layak maka dengan sendirinya warga masyarakat
akan memiliki tingkat kehidupan yang lebih layak sehingga faktor
ekonomi yang menjadi salah satu penyebab kawin lari
(pakondona) bisa dihindari.
d. Hukum Perkawinan Adat di desa Buru Kaghu
Tujuan Perkawinan
4 Wawancara dengan kepala desa Buru Kaghu, Herman Ndapatondo tanggal 25 mei 2013.
42
Tujuan perkawinan menurut hukum adat yang bersifat
kekerabatan adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan
garis kebapakan atau keibuan atau keibuan/kebapakan, untuk
kebahagiaanrumah tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh bilai-
nilai adat budaya dan kedamaian, dan untuk mempertahankan
kewarisan.
Sedangkan menurut pasal 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974
yang menjadi tujuan dari suatu perkawinan adalah untuk membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.5
Bentuk Perkawinan Adat yang biasa dikenal di desa Buru Kaghu
Ada 3 jenis bentuk perkawinan adat yang biasa dikenal oleh
masyarakat adat di desa Buru Kaghu adalah sebagai berikut:
1. Kawin Paksa : Perjodohan sejak kecil sebagai salah satu bentuk perkawinan
paksa dilakukan atas kesepakatan kedua rumpun keluarga, terutama kedua
orang tua dari masing-masing pihak. Prosedur itu dilakukan ketika anak-anak
itu sudah cukup umur untuk melakukan perkawinan.
2. Kawin Bawa Lari : hal ini terjadi mana kala seorang pria mengajukan
lamaran ternyata ternyata ditolak/tidak diterima oleh pihak keluarga wanita
dengan berbagai alasan, salah satu alasan karena adanya perbedaan status
sosial di antara kedua keluarga, maka untuk mencapai keinginannya sang pria
membawa lari atau menculik wanita tersebut. Konsekuensi dari perkawinan
tersebut adalah pihak pria harus berani mempertanggungjawabkan
perbuatannya itu berdasarkan prosedur dan tata cara adat yang berlaku yakni
ditandai dengan pembayaran sejumlah belis atau mas kawin berupa kerbau,
kuda, sapi, kepingan emas (mamuli) dan lainnya, pembayarannya diatur
5 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 pasal 1.
43
berdasarkan tahapan-tahapan tertentu. Seturut dengan itu, oleh Teer Haar
dikatakan bahwa Kawin paksa adalah suatu bentuk perkawinan, dimana si
wanita bertentangan dengan kehendaknya dipaksa kawin dan dibawa lari oleh
si pria yang memaksakan kehendaknya.
3. “Kawin Lari” (Pakondona) : Berbeda dengan Kawin Bawa Lari yang
sudah dijelaskan sebelumnya, Kawin Lari mempunyai arti melakukan pelarian
secara bersama-sama tanpa ada unsur paksaan dari pihak pria6.
Adapun proses terjadinya Kawin Lari (Pakondona) sebagai berikut:
Karena hubungan kedua pihak (pria dan wanita) tidak mendapat
restu dari kedua orang tua mereka dan biasanya tidak direstui oleh
orang tua dari pihak wanita dikarenakan adanya perbedaan status sosial
diantara keduannya, mereka bersepakat untuk meninggalkan kedua
orang tua mereka dan tinggal pada salah satu kerabat mereka (keluarga
si pria atau wanita). Pada saat mereka melarikan diri si pria akan
meninggalkan barang sebagai petunjuk bahwa mereka telah melarikan
diri dalam bentuk sebilah parang atau seekor kuda, tergantung pada
kemampuan si pria. Sistem ini mirip dengan yang terjadi de daerah
Lampung yaitu mereka meninggalkan surat atau suatu barang, kadang-
kadang sejumlah uang di rumah si wanita, pelarian ini merupakan awal
dari perkawinan mereka7.
Konsekuensi logis dari bentuk atau cara memperoleh jodoh
dengan cara kawin lari (pakondona) diatas adalah pihak keluarga laki-
laki harus berani mempertanggungjawabkan perbuatannya yakni
dengan ditandai pembayaran sejumlah belis (kerbau, kuda, sapi,
kepingan emas atau mamuli) dan lainnya dan pembayaranya diatur
berdasarkan tahapan-tahapan tertentu.
6 Wawancara dengan kepala desa buru kaghu, Herman Ndapatondo tanggal 25 mei 2013
7 Soerojo Wignjodipoero, 1990. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, CV Haji Masagung, Jakarta. Hal. 126.
44
Menurut Kepala Desa Buru Kaghu Herman Ndapatondo8,
apabila seorang pria yang sudah melakukan kawin lari (pakondona)
harus berani untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Sedangkan menurut tokoh adat Kornelis Tanggu Solo kawin lari masih
terjadi sampai sekarang karena pada masyarakat adat di desa Buru
Kaghu tidak ada aturan adat yang melarang untuk melakukan kawin
lari (pakondona), dan dari segi agama juga tidak ada masalah karena
yang paling penting adalah si pemuda mempertanggungjawabkan
perbuatannya dan gereja akan ikut memperbaiki rumah tangga
pasangan kawin lari (pakondona) secara rohani9.
Mas kawin Dalam Perkawinan
Mas kawin adalah barang-barang yang diserahkan oleh pihak
pengambil isteri (laki-laki) kepada pihak perempuan yang dapat berupa
hewan, emas (mamuli), parang dan lain-lain, tergantung dari hasil
persetujuan ke dua belah pihak yang diwakilkan oleh juru bicara kedua
belah pihak.10
Sedangkan menurut Imam Sudiyat dalam Hukum Adat
Sketsa Asas mas kawin merupakan hal yang wajib dipenuhi oleh
keluarga pihak laki-laki dalam proses pelaksanaan perkawinan adat.
Mas kawin ini biasanya akan jatuh ke tangan kelompok kerabat, orang
tua wanita atau calon isteri itu sendiri11
.
2. Status Wanita Dalam masyarakat Adat di desa Buru Kaghu
Pengertian status dapat disamakan dengan posisi atau kedudukan.
Secara harfiah kata kedudukan (status) merupakan kata benda abstrak dari kata
8 Wawancara dengan kepala desa buru kaghu, Herman Ndapatondo tanggal 25 mei 2013.
9 Wawancara dengan tokoh adat, Kornelis Tanggu Solo tanggal 23 mei 2013.
10 Wawancara dengan tokoh adat, Kornelis Tanggu Solo tanggal 23 mei 2013.
11 Iman Sudiyat, SH, 1978. Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta. Hal.126.
45
kerja “duduk”. Jadi status atau kedudukan menunjuk pada posisi hierarki atau
tempat didalam tingkatan kedudukan vertical.
Status wanita, berarti adanya tingkatan kedudukan antara pria dan
wanita dalam masyarakat. Rupanya perbedaan tingkat masyarakat adat suku
Wewewa di desa Buru Kaghu disebabkan oleh alasan biologis: fisik kuat atau
lemah, tetapi sebagian juga melihat dari segi perbedaan sosial dan budaya
lingkungan. Perbedaan sosial dan budaya ini menunjuk pada siapa yang
mengurus anak, mencari nafkah hidup, dan siapa yang menjadi pemimpin
dalam suatu keluarga.12
Masyarakat adat di desa Buru Kaghu memandang wanita sebagai
mahluk ciptaan Tuhan yang mempunyai peran penting dalam keluarga dan
juga masyarakat. Artinya ada perbedaan status tetapi perbedaan itu terletak
pada alasan biologis. Dari persepsi ini maka wanita mendapat tempat tersendiri
yaitu dihormati dan dihargai.
Penghormatan itu nyata dalam kehidupan masyarakat di desa Buru
Kaghu dimana seorang wanita dalam masyarakat dianggap sebagai mas kawin
keluarga. Ada semboyan bahwa mas kawin adalah harga seorang wanita.
Penghargaan yang tinggi terhadap wanita dapat dilihat dengan banyaknya mas
kawin (belis) yang di berikan oleh pihak laki-laki sebagai penghormatan
kepada pihak wanita dan keluargaanya. Bagi masyarakat di desa Buru Kaghu
peran wanita juga dalam urusan rumah tangga jauh lebih besar disbanding
laki-laki. Pada masyarakat adat yang mengenal kebudayaan bercocok tanam
(sawah) peran wanita justru lebih besar dari peran laki-laki.13
12
Wawancara dengan tokoh adat, Kornelis Tanggu Solo tanggal 23 mei 2013. 13
Wawancara dengan tokoh adat, Kornelis Tanggu Solo tanggal 23 mei 2013.
46
3. Perkawinan Lari (Pakondona) di Daerah Penelitian
a. Identitas Responden
TABEL 1
Kawin Lari Oleh 10 Pasangan Responden
No
Nama Pasangan Kawin
Lari
Umur Pasangan Saat
Kawin Lari (pakondona)
Tahun
Terjadinya
Kawin Lari
Status Sosial
Laki-Laki Perempuan
1 A.R. Mone & Koni Wali 33 29 1956 Orang tua Koni
Wali adalah
sebagai raja kecil
& orang tua R.
Mone Cuma
masyarakat biasa.
2 Bora Ndoboka & Ina Wini 39 40 1961 Orang tua Ina
Wini memiliki
jabatan adat di
suku waijewa
sementara orang
tua Bora Ndoboka
cuma masyarakat
biasa.
3 Marthen Ndapa Ngara & 21 26 1975 Kedua keluarga
47
Maryam Malo berasal dari
masyarakat biasa.
4 Mere Nono & Rahel Koni
Wali
23 19 1982 Kedua keluarga
berasal dari
masyarakat biasa.
5 Herman Ndoko & Meriana
Linda
23 20 2001 Status sosial
keluarga dari
Merina Linda
dilingkungan
Adat lebih tinggi
dari keluarga
Herman Ndoko.
6 Yusuf Mbulu & Margareta
Malo
33 30 1940 Keluarga
Margareta Malo
memiliki
kedudukan yang
penting di
masyarakat adat
Weijewa,
sedangkan
keluarga Yusuf
Malo Cuma
masyarakat biasa.
48
7 Oktavianus Ngongo & Ester
Ndama Nuna
19 21 1997 Kedua keluarga
dari kalangan
masyarakat biasa.
8 Mete Nono & Wini Ndoe 26 25 1945 Kedua keluarga
juga dari
kalangan
masyarakat biasa.
9 Origanes Bulu & Bali Ngara 20 20 2008 Kedua keluarga
berasal dari
kalangan
masyarakat biasa.
10 Herman U. Doko & Dama
Eti
48 23 2010 Sama-sama
berasal dari
kalangan
masyarakat biasa.
Sumber data Primer yang diolah
Penjelasan untuk tabel diatas:
a. Raja kecil adalah orang yang mengepalai dan memerintah wilayah
desa Buru Kaghu dan beberapa desa disekitarnya sebelum adanya
pemekaran desa. Setelah pemekaran desa keturunan dari raja kecil
ini tetap memiliki status sosial yang tinggi dan dihormati dalam
masyarakat adat sekalipun mereka sudah tidak punya kekuasaan.
b. Selain raja kecil keluarga yang memiliki kedudukan penting dan
status sosial yang tinggi dalam masyarakat adat adalah tokoh adat.
49
c. Masyarakat biasa adalah mereka yang diluar dari keluarga raja
kecil dan tokoh adat.
Dari penjelasan diatas dapat di mengerti bahwa:
Responden yang memiliki status sosial tinggi seperti raja kecil dan tokoh
adat dalam masyarakat adat di desa Buru Kaghu ada 4 responden, yaitu:
Koni Wali, Ina Wini, Meriana Linda, dan Margareta Malo. Sedangkan
sisanya berasal dari kalangan masyarakat biasa.
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Kawin Lari di Desa
Buru Kaghu dan Cara Penyelesaiannya
Perkawinan merupakan sifat kodrati manusia yang telah diberikan oleh
Tuhan sejak manusia itu diciptakan. Pernyataan ini secara hukum telah diakui
pula oleh manusia dalam hal ini masyarakat Indonesia dalam peraturan dan
undang-undang. Peraturan dan undang-undang tersebut dimaksudkan untuk
mengatur pelaksaanaan perkawinanan itu. Meskipun perkawinaan itu merupakan
sifat kodrati manusia, namun pada setiap negara, suku bangsa, dan kelompok
masyarakat, memiliki aturan dan undang-undang pelaksanaan perkawinan yang
berbeda-beda baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam kaitannya
dengan penelitian tulisan ini, penulis akan menjelaskan alasan-alasan terjadinya
kawin lari di Desa Buru Kaghu.
Alasan yang umum seperti status sosial, keyakinan apalagi jika perbedaan
itu didukung oleh kekayaan yang melimpah. Demikian pula halnya dengan di
Desa Buru Kaghu Kecamatan Wewewa Selatan, Kabupaten Sumba Barat Daya
Nusa Tenggara Timur.
Tabel 2
50
Faktor-Faktor yang menyebabkan terjadinya Kawin Lari (pakondona)
No Nama Pasangan Kawin
Lari (pakondona)
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
kawin lari (pakondona) di desa Buru Kaghu
1 A. R. Mone & Koni Wali 1. Orang tua dan keluarga perempuan tidak
setuju, karena laki-laki berstatus duda
sehingga mempunyai tanggung jawab
keluarga yang besar.
2. Status orang tua perempuan adalah sebagai
raja kecil, dan juga keluarga perempuan
telah menjodohkan anak perempuan
mereka dengan laki-laki lain14
.
2 Bora Ndoboka & Ina
Wini
1. Orang tua si gadis tidak setuju dengan
hubungan mereka karena adanya perbedaan
status sosial dimana keluarga si gadis
memiliki jabatan adat di suku Waijewa
sementara keluarga laki-laki dari kalangan
masayarakat biasa.
2. Si gadis telah dijodohkan dengan seorang
pemuda lain dan bahkan sudah dilamar.15
3 Marthen Ndapa Ngara &
Maryam Malo
1. Perempuan sudah dijodohkan dengan orang
lain
2. Kalaupun disetujui perkawinan adat akan
memakan waktu lama, sedangkan kawin
14
Wawancara dengan Koni Wali tanggal 23 mei 2013 15
Wawancara dengan Bora Ndoboka tanggal 3 juni 2013
51
lari proses penyelesainnya cepat.16
4 Mere Nono & Rahel
Kono Mali
1. Keluarga si perempuan tidak setuju
dengan pilihan anak perempuanya,
2. Orang tua si perempuan telah
menjodohkan dengan pemuda lain
sementara si perempuan tidak
mencintai laki-laki pilihan orang
tuanya.17
5 Herman Ndoko &
Meriana Linda
1. Orang tua perempuan tidak merestui karena
perbedaan keyakinan
2. Status Sosial dilingkungan Adat kelurga si
perempuan lebih tinggi dari pada keluarg si
laki-laki.18
6 Yusuf Mbulu Malo &
Margareta Malo
1. Perbedaan status sosial dimana keluarga
pihak si gadis mempunyai kedudukan
penting di masyarakat adat Waijewa
sehingga orang tua si gadis tidak setuju
dengan hubungan mereka berdua.
2. Orang tua si gadis langsung menjodohkan
dengan pemuda lain yaitu Lellu Matuku.
Kuatir si gadis akan dikawinkan Yusuf
sepakat dengan si gadis untuk melakukan
kawin lari.19
16
Wawancara dengan Marthen Ndapa Ngara tanggal 25 mei 2013 17
Wawancara dengan Mere Nono tanggal 5 juni 2013. 18
Wawancara dengan Herman Ndoko tanggal 21 mei 2013. 19
Wawancara dengan Margareta Malo tanggal 6 juni 2013.
52
7 Oktavianus Ngongo &
Ester Ndama Nuna
1. Orang tua si perempuan tidak merestui
hubungan dengan Oktavianus dan karena
ada pemuda lain yang lebih dahulu
menyatakan keinginan untuk
mengambilnya menjadi istri. Ini artinya
belum ada urusan adatnya dan pemuda
tersebut belum masuk minta pada orang tua
gadis.
2. Agar proses perkawinan mereka lebih
cepat20
8 Mete Nono & Wini Ndoe
Dikarenakan takut si gadis dikawinikan dengan
pemuda lain. Hal ini disebabkan berita si gadis
terebut dijodohkan dengan pemuda lain. Takut hal
ini benar-benar terjadi, maka keduanya sepakat
untuk kawin lari.21
9 Origanes Bulu & Bali
Ngara
Orang tua perempuan beralasan mereka baru
berusia 21 tahun sehingga terlalu muda untuk
melakukan perkawinan. Namun itu hanya alasan
saja karena sebenarnya dari awal orang tua si gadis
tidak menyukai Origenes, dan itu yang
menyebabkan Origenes memilih kawin lari hasil
kesepakatanya dengan gadis pasangannya.22
20
Wawancara dengan Oktavianus Ngongo tanggal 4 juni 2013. 21
Wawancara dengan Mete Nono tanggal 27 mei 2013. 22
Wawancara dengan Origenes Bulu tanggal 27 mei 2013.
53
10 Herman U. Doko &
Dama Eti
Orang tua si gadis tidak setuju dengan pilihan si
gadis dan tidak akan mau mengawinkan si gadis
dengan herman karena perbedaan usia yang hampir
25 tahun diantara keduanya.23
Sumber Data Primer yang diolah
Dari tabel diatas dapat diketahui faktor-faktor dan alasan apa saja yang
menyebabkan terjadinya kawin lari (pakondona) di desa buru kaghu, yakni :
1. Faktor Status Sosial: adanya perbedaan status sosial (4 pasangan
responden) yaitu: R. Mone dan Koni Wali, Bora Ndoboka dan Ina
Wini, Herman Ndoko dan Meriana Linda, Yusuf Mbulu dan Margareta
Malo.
2. Faktor Perjodohan: karena si gadis sudah dijodohkan (5 pasangan
responden) yaitu: Bora Ndoboka dan Ina Wini, Marthen Ndapa dan
Maryam Malo, Mere Nono dan Rahel Kono Wali, Yusuf Mbulu Malo
dan Margareta Malo, Mete Nono dan Wini Ndoe.
3. Faktor Ekonomi: agar penyelesaian adat lebih cepat dan tidak
membutuhkan biaya besar (2 pasangan responden) yaitu: Marthen
Ndapa Ngara dan Maryam Malo, Oktavianus Ngongo dan Ester Ndama
Nuna.
4. Faktor Usia: karena perbedaan usia antara kedua mempelai (1 pasangan
responden) yaitu: Herman U. Doko dan Dama Eti.
23
Wawancara dengan Dama Eti tanggal 1 Juni 2013.
54
c. Tahapan Penyelesaian
Pada kasus kawin lari (pakondona) di desa Buru Kaghu hukum adat telah
menyediakan tahapan-tahapan adat yang harus dilalui oleh tiap pasangan
kawin lari (pakondona) untuk bisa kembali diterima dalam komunitas
masyarakat adat. Tahapan-tahapan adat itu sendiri terdiri dari 5 tahapan
yaitu:
Perbedaan antara pasangan kawin lari (pakondona) yang satu dengan yang
lain dalam menjalankan tahapan-tahapan tersebut terletak pada jumlah
hewan yang dibawa pada saat Tange Welli Ya (tutup malu) dan jumlah
hewan atau emas (mamuli) yang diberikan pada saat Tau Welli/Ya Welli
55
(pembayaran belis). Berikut adalah tahapan-tahapan yang dilalui oleh para
responden kawin lari (pakondona) dalam bentuk tabel:
Tabel 3
Tahapan-tahapan penyelesaian kawin lari (pakondona)
No
Nama
Pasangan
Kawin Lari
(pakondona)
Tahapan 1
Namata
(pencarian)
Tahapan 2
Tange Weli
Na (tutup
malu)
Tahapan 3
Tikar Adat
Tahapan 4
Tau
Welli/Ya
Welli
(pembayaran
Belis)
Tahapan 5
Palu
Bengga
1 A. R. Mone
& Koni Wali
Tahapan
dimana
pihak
keluarga si
gadis
mencari
anak gadis
yang telah
pergi atau
melakukan
kawin lari
(pakondona)
5 ekor kuda Tahapan
dimana pihak
keluarga si
gadis & pihak
keluarga laki-
laki bertemu
untuk
membicarakan
&
menentukan
jumlah
belis/mas
kawin, bisa
diwakilkan
oleh keluarga,
pemuka adat
& juru bicara
yang masing-
masing
ditunjuk oleh
tiap keluarga.
15 ekor
kerbau &
emas
(mamuli)
Tahapan
dimana
sudah
selesai/lunas
pembayaran
belis dari
pihak
keluarga
laki-laki ke
keluarga
pihak
perempuan.
2 Bora
Ndoboka &
Ina Wini
3 ekor kuda 20 ekor
kerbau & 5
ekor kuda
3 Marthen
Ndapa
Ngara &
Maryam
Malo
Emas
(mamuli) &
1 ekor kuda
10 ekor
kerbau & 10
ekor kuda
4 Mere Nono
& Rahel
Kono Mali
5 ekor
kerbau
10 ekor
kerbau
5 Herman
Ndoko &
Meriana
3 ekor kuda 25 ekor
kerbau &
emas
56
Linda
Tahapan
dimana
Tahapan
dimana
pihak
keluarga si
gadis
mencari
anak gadis
yang telah
pergi atau
melakukan
kawin lari
(pakondona)
Tahapan
dimana pihak
keluarga si
gadis & pihak
keluarga laki-
laki bertemu
untuk
membicarakan
&
menentukan
jumlah
belis/mas
kawin, bisa
diwakilkan
oleh keluarga,
pemuka adat
& juru bicara
yang masing-
masing
ditunjuk oleh
tiap keluarga.
(mamuli)
Tahapan
dimana
sudah
selesai/lunas
pembayaran
belis dari
pihak
keluarga
laki-laki ke
keluarga
pihak
perempuan.
6 Yusuf
Mbulu Malo
& Margareta
Malo
Emas
(mamuli)
30 ekor
kerbau
7 Oktavianus
Ngongo &
Ester Ndama
Nuna
Emas
(mamuli)
10 ekor
kerbau & 5
ekor kuda
8 Mete Nono
& Wini
Ndoe
3 ekor kuda Emas
(mamuli) &
10 ekor
kerbau
9 Origanes
Bulu & Bali
Ngara
5 ekor kuda 10 ekor
kerbau & 5
ekor kuda
10 Herman U
Doko &
Dama Eti
5 ekor
kerbau
10 ekor
kerbau &
emas
(mamuli)
Sumber Data Primer yang diolah
Penjelasan untuk tabel diatas:
57
1. Tahapan Namata (pencarian) adalah tahapan dimana keluarga si gadis
mencari anak gadis yang telah pergi atau melakukan kawin lari
(pakondona)
2. Tahapan Tange Weli Na (tutup malu) adalah tahapan dimana keluarga
laki-laki akan datang memberitahukan keluarga si gadis perihal anak
gadis mereka yang berada di salah satu kerabat keluarga laki-laki
dengan membawa beberapa ekor hewan dan emas (mamuli) sebagai
tanda tutup malu.
3. Tahapan Tikar adat adalah tahapan dimana pihak keluarga si gadis dan
pihak keluarga laki-laki akan bertemu untuk membicarakan dan
menentukan jumlah belis atau mas kawin, biasanya diwakilkan oleh
seorang juru bicara yang ditunjuk oleh masing-masing tiap keluarga.
4. Tahapan Tau Welli/Ya Welli adalah tahapan dimana pihak keluarga
laki-laki akan datang untuk menyerahkan belis atau mas kawin yang
telah disepakati bersama dalam tahapan tikar adat.
5. Tahapan Palu Bengga adalah tahapan dimana telah selesai atau telah
lunas pembayaran belis dari pihak keluarga laki-laki ke keluarga pihak
perempuan.
6. Emas (Mamuli) adalah sebuah aksesoris atau perhiasan khas adat
perempuan sumba yang digantung pada telinga dan terbuat dari emas.
Satu mamuli biasanya seharga satu ekor kerbau.24
7. Hewan yang diberikan dalam tahap Tange Welli Na dan tahap Tau
Welli/Ya Welli berupa kerbau atau kuda memiliki alasan sendiri,
karena bagi masyarakat sumba pada umumnya dan masyarakat adat di
24
Wawancara dengan tokoh adat, Kornelis Tanggu Solo tanggal 23 mei 2013.
58
desa Buru Kaghu pada khususnya kerbau dan kuda memiliki nilai lebih
dalam kebudayaan, karena sejak dahulu kerbau dan kudan sudah
menjadi salah satu mas kawin atau belis dan juga sering menjadi
korban persembahan dalam upacara-upacara adat.25
8. Peranan kepala adat dan tokoh adat dalam tahapan penyelesaian kawin
lari (pakondona) adalah mengawasi jalannya tahapan penyelesaian adat
tapi juga bisa dimintai nasihat dan solusi untuk masalah kawin lari
(pakondona), juga bisa menjadi juru bicara salah satu pihak tentunya
apabila diminta oleh salah satu pihak keluarga secara adat. 26
B. Analisis
1. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kawin Lari
Dari beberapa kasus yang sudah penulis paparkan diatas dapat dilihat
bahwa kasus kawin lari diselesaikan oleh peraturan adat dengan ketentuan-
ketentuan adat yang berlaku atau dalam hal ini sangat jelas bahwa adat yang
mengambil alih penyelesaian kasus kawin lari tersebut. Setelah penulis
melakukan penelitian dapat diketahui bahwa dalam peraturan masyarakat adat di
desa Buru Kaghu tidak dianjurkan untuk melakukan kawin lari akan tetapi hukum
adat di desa Buru Kaghu juga tidak melarang, dapat dilihat hukum adat di desa
25
Wawancara dengan tokoh adat, Kornelis Tanggu Solo tanggal 23 mei 2013. 26
Wawancara dengankepala desa Buru Kaghu, Herman Ndapatondo tanggal 25 mei 2013.
59
Buru Kaghu sudah mengatur bagaimana tahapan-tahapan proses penyelesaian
kasus kawin lari apabila terjadi sehingga walaupun kawin lari menimbulkan
masalah tetapi dapat diterima oleh masyarakat setelah melalui tahapan adat
(sanksi adat)27
.
Fenomena kawin lari cukup menarik bila ditarik pada ruang dimensi dan
pergulatan tradisi di dalamnya. Sebagai entitas local indegenious yang
berkearifan tradisional, secara ideal muatan masif yang harus ada penunjang
idealitas sebuah adat adalah insigh dari nilai adat istiadat itu sendiri. Kaitannya
dengan budaya kawin lari, sebagian masyarakat penganut system perkawinan ini
meyakini dengan menjelaskan bahwa pada umumnya secara cultural dapat
dianggap sebagai cara yang disetujui laki-laki untuk membuktikan kelaki-lakian
mereka sebagai respon terhadap dominasi politik dan ekonomi oleh kekuatan-
kekuatan eksternal. Argument seperti ini lebih pada pilihan katarsis bagi
masyarakat suku Waijewa karena kungkungan imperilisasi, infiltrasi dan aneksasi
dari kekuatan eksternal.
Budaya kawin lari merupakan salah satu dari entitas kultur tradisional bagi
suku bangsa Waijewa dari hasil asimilasi dan dialektika kebudayaan. Penjelasan
yang mungkin diberikan dan penunjang popularitas tradisi ini adalah berkaitan
dengan kenyataan bahwa raja-raja di Sumba pasca aneksasi dan orang-orang lain
yang sangat berkuasa sering mengambil perempuan-perempuan Sumba sebagai
gundik. Dengan melihat fenomena waktu itu, antisipasi keluarga-keluarga
Waijewa sering mendorong anak wanitanya untuk lari bersama (melarikan)
dengan laki-laki Waijewa yang dicintainya. Secara psikologis gerak antisipatif
masyarakat Waijewa waktu itu tidak jauh dari upaya mempertahankan relasi
27
Wawancara kepala desa Herman Ndapa Tondo tanggal 25 mei 2013.
60
endogamis ketimbang menjadi alat pemuas kekuasaan bagi perempuan Waijewa
waktu itu.
Pemangku adat atau masyarakat Waijewa umumnya menyatakan bahwa
praktik budaya kawin lari merupakan hasil budaya yang terjadi turun temurun di
masyarakat Sumba. Pada masyarakat Waijewa, pada prosesi melarikan gadis
secara otomatis menjadikan mereka keluarga baru pada pasangan kawin lari
tersebut.
Popularitas kawin lari dengan pelarian-pelarian terkesan menjadi sebentuk
simflikasi pilihan dalam sikap yang menggunakan legalitas adat sebagai
instrument pencapaian keingina. Karena pilihan yang lain seperti perkawinan
dengan meminang terkadang cukup memberatkan dan membutuhkan modal dan
kesiapan psikologis yang harus ditanggung oleh calon mempelai pria.
Kemungkinan lamaran ditolak dan ntidak disetujui oleh pihak perempuan,
perbedaan status social, syarat-syarat persetujuan dan lainnya yang harus
dipenuhi oleh pelamar tidak kalah sering terasa memberatkan pihak laki-laki,
maka lari bersama menjadi pilihan tepat bagi satu pasangan.
Fenomena kawin lari diasumsikan sebagai puncak etis wujud kearifan lokal
bagi masyarakat suku Waijewa secara ekskusif. Muatan immanen dari sisi ini
adalah keterlibatan keyakinan akan kebenarannya. Namun di samping kesan-
kesan positif di dalamnya tidak jarang praktek perkawinan lari ini menyisakan
persoalan-persoalan yang mengancam keutuhan keluarga baik secara sosiologis
maupun psikologis. Salah satu persoalan yang muncul adalah konflik yang terjadi
pada rumah tangga yang pada ahkirnya memunculkan tindakan kekerasan dan
perlakuan yang tidak adil terhadap perempuan di dalam rumah tangga.
61
Jika dalam kasus kawin lari terjadi kekerasan terhadap perempuan, maka
hukum adat tidak dapat mengjangkau persoalan tersebut karena memang hukum
adat tidak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kekerasan dalam rumah
tangga yang dialami oleh perempuan, misalnya yang berkaitan dengan
penyelesaian kasus kekerasan atau sampai pada tahapan pemberian sanksi-sanksi
adat. Artinya bahwa ketika ada kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan
maka tidak akan pernah ada penyelesaian yang dilakukan melalui hukum adat dan
biasanya kasus-kasus seperti ini cenderung dibiarkan oleh keluarga pihak
perempuan sehingga tidak ada tindak lanjut.
2. Tahapan-Tahapan Penyelesaian Adat Kawin Lari di Desa Buru Kaghu
Masyarakat suku Waijewa di Desa Buru Kaghu mengenal kawin lari
sebagai tradisi yang mengawali perkawinan, bukannya melamar seorang gadis
melalui orang tuanya. Kawin lari melibatkan pertemuan antara si pria dengan si
gadis untuk bersepakat melakukan pelarian dengan kemauan bersama dan tanpa
adanya paksaan menuju suatu tempat persembunyian. Pelarian ini dianggap sudah
berhasil bila mempelai wanita dan pria telah sampai dan menyembunyikan diri di
suatu tempat rahasia (penyebuan), biasanya di rumah salah seorang kerabat
patrilateral calon mempelai pria.
62
Menyadari bahwa anak gadis mereka tidak pulang hingga larut malam
(menurut sebagian adat sekitar dari jam 22-esok harinya), orang tua gadis tersebut
mengirim keluarga untuk mencari dan melaporkan kasus tersebut pada kepala
desa dan kepala adat , mereka yang akan mengumumkan kasus ini lebih lanjut ke
seluruh penjuru desa, kepala desa juga meminta penduduk untuk memberi tahu
dirinya atau orang tua si gadis jika mereka mengetahui di mana si gadis
bersembunyi, ini adalah tahap pencarian (Namata). Hari berikutnya keluarga
yang mewakili mempelai pria mengirim pesan atau untuk memberitahukan
pelarian itu kepada kepala desa dan atau kepala adat, mereka yang akan
meneruskan informasi itu ke orang tua si gadis. Keluarga disertai oleh kerabat
laki-laki mempelai pria, bersama-sama mendatangi orang tua mempelai wanita
dan memberitahukan mereka bahwa anaknya telah melakukan pelarian dan
barada di tempat yang aman, keluarga dari pihak pria datang dengan membawa
beberapa ekor hewan (biasanya kerbau dan atau kuda), mamuli (emas) yang akan
diserahakan ke keluarga wanita sebagai tanda tutup malu (Tange Weli Na).
Setelah keluarga perempuan menerima tanda tutup malu (Tange Weli Na) maka
akan dilanjutkan dengan tahapan tikar adat, tahapan ini adalah tahapan dimana
kedua belah pihak keluarga akan duduk bersama dalam sebuah pertemuan untuk
membicarakan tentang penentuan jumlah belis (mas kawin). Setelah kedua pihak
keluarga mendapat kesepahaman tentang penentuan jumlah belis (mas kawin)
dalam tahapan tikar adat maka selanjutnya berturut-turut tahapan yang harus
dilalui oleh pihak keluarga laki-laki adalah Tau Welli/Ya Welli dan Palu Bengga,
seperti yang telah dijelaskan penulis pada halaman 55-57.
Sesuai dengan hasil penelitian melalui pembagian angket kepada responden
dan wawancara kepada narasumber penulis akan menganalisis perkawinan adat
63
suku Waijewa di dedesa Buru Kaghu Kabupaten Sumba Barat Daya. Analisis ini
didasarkan pada rumusan masalah yaitu mengapa masyarakat adat suku Waijewa
masih mempertahankan budaya hukum perkawinan adat.
Dalam sistem hukum di Indonesia dapat dianalisis bahwa budaya hukum
yang terjadi suku Waijewa Kabupaten Sumba Barat dapat dianalisis berdasarkan
3 komponen menurut Lawrence M Freidman yakni :
a. Komponen Struktur : berdasarkan Struktural Kelembagaan Adat
didalam suku waijewa ada dewan adat yakni Kepala Adat, Kepala
Suku, dan Pesuruh Adat yang tersturktur sebagai lembaga yang
menentukan layak tidak seorang itu melangsungkan perkawinanan
atau bagaimana cara-cara pasangan itu dapat layak melangsungkan
perkawinan dengan syarat-sayarat tertentu.
b. Komponen Substansi : Aturan-aturan adat atau keputusan-
keputusan dewan adat suku waijewa yang berlaku mengikat bagi
masyarakat adat dan apabila tidak melakukanya maka akan
mendapatkan ancaman keluar dari anggota masyarakat adat yang
berlaku turun temurun. Dalam hal masalah perkawinan adat dewan
adat banyak menentukan suatu perkawinan itu dapat berlangsung
atau tidak mengingat kemungkianan strata atau status sosial
dimasyarakat suku waijewa sehingga perlu adanya pennetuan nilai
belis atau mas kawin untuk menyetarakan strata atau status sosial
yang berbeda khususnya status dari pihak keluarga laki-laki.
c. Komponen Hukum yang bersifat kultural :
Internal Legal Culture : Dalam Suku Waijewa kita bisa melihat
adanya budaya hukum yang berupa putusan-putusan yang terlahir
64
dari internal dalam dewan adat suku waijewa, sedangkan Eksternal
Legal Culture adalah budaya hukum yang terlahir dari luar wilayah
wewenang hukum adat yakni kawin lari walaupun dalam
perkembanganya dewan adat ikut ambil bagian dalam proses
penyelesaian kawin lari dan mengembalikan pasangan kedalam
lingkungan masyarakat adat kembali dengan cara syarat-sayarat
yang nantinya akan ditentukan.
Menurut Lawrence M Freidman komponen ketiga akan menentukan apakah
pengadilan umum akan didaya gunakan atau tidak? Karena nilai-nilai dalam
masyarakat itulah yang dapat dipakai untuk menjelaskan mengapa orang
menggunakan, atau tidak menggunakan, atau menyalahgunakan, proses hukum
serta sistem hukum. Semua komponen yang ada terdapat dalam struktur budaya
hukum nasional juga terdapat pada hukum pada masyarakat adat suku waijewa.
No Komponen Budaya Hukum Nasional Budaya Hukum Masyarakat Suku
Waijewa
1 Komponen Struktur Ada Lembaga Pembentuk
Undang-Undang seperti
Badan Legislatif dan
Eksekutif dan ada lembaga
penegak hukum atau yang
melaksanakan Undang-
Undang yakni Kepolisian,
dan badan yudikatif
Dewan Adat yakni : Kepala Adat,
Kepala Suku dan Pesuruh Adat
65
2 Komponen Subtansi Sumber-sumber hukumnya
adalah : KUHP,
KUHPerdata, Undang-
Undang, dan Yurisprudensi
Aturan-Aturan adat yang sifat pada
umumnya tidak tertulis, namun
mengikat masyarakat suku waijewa
3 Komponen Kultural Internal legal culture :
adalah putusan-putusan
berasal dari lembaga-
lembaga dalam budaya
hukum nasional, dan
eksternal legal culture :
berasal dari luar lembaga-
lembaga tersebut.
Internal Legal Culture : berkaitan
dengan putusan-putusan dewan adat
yang seharusnya dilaksanakan,
sedangkan ekternal legal culture adalah
hal –hal yang lain yang mempengaruhi
dan menjadi pembeda dan dewan adat
harus ikut memutuskan. Contohnya
kawin lari.
Di dalam 3 komponen budaya hukum, dalam hal komponen substansi yang
berkaitan dengan perlindungan hak-hak perempuan di dalam proses penyelesaian
kawin lari, perlindungan terhadap hak-hak perempuan terjadi pada tahapan yang
disebut Namata (tutup malu). Pada tahapan ini pihak laki-laki membawa harta
diluar Tau Welli/Ya welli (Pembayaran Belis) sebagai bentuk
pertanggungjawaban moral dan itikad baik dari pihak laki-laki. Setelah pihak
laki-laki menyelesaikan tahapan-tahapan adat sebagai bentuk
pertanggungjawaban terhapat hak-hak perempuan maka selanjutnya pihak
keluarga perempuan harus patuh pada hukum adat yang berlaku yakni menerima
tahapan adat. Dalam kasus-kasus seperti ini, biasanya pihak keluarga perempuan
menerima serta patuh terhadap tahapan tahapan adat akan tetapi belum tentu
66
pihak keluarga perempuan rela untuk menerima laki-laki yang menjadi pilihan
anak perempuan mereka.
Semua komponen diatas saling berkaitan satu sama lain yang disebut
dengan sistem hukum. Masing-masing komponen ingin mengembangkan nilai-
nilai yang ada dilingkungan yang sarat dengan faktor-faktor non-hukum lainya.
Miasalnya ketika penegakan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan
tujuan-tujuan hukum menjadi kenyataan, maka proses itu selalu melibatkan para
pembuat dan pelaksana hukum, serta juga masyarakatnya. Jadi jika hukum
dipahami sebagai suatu sistem , maka seluruh tata aturan yang berbeda
didalamnya tidak boleh saling bertentangan.
Ini bisa dilihat apabila kawin lari yang terjadi di suku waijewa maka banyak
aturan-aturan adat yang harus diselesaikan untuk mengembalikan pasangan kawin
lari tersebut kembali kedalam masyarakat adat apabila tidak menyelesaikanya
maka mereka akan dianggap sebagai orang buangan. Namun pasangan kawin lari
dari suku waijewa juga menghindar karena banyak aturan-aturan adat yang cukup
memberatkan dan memakan waktu lama didalam suku waijewa dan mereka lebih
memilih untuk menikah secara sipil dan agama mereka masing-masing. Menjadi
persoalan apabila kawin lari ini melibatkan pasangan yang belum cakap hukum
atau salah satunya belum cakap hukum khususnya pada seorang gadis. Maka
dewasa ini atau apabila terjadi dalam waktu sekarang maka akan bertentangan
dengan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Apabila
pasangan kawin lari tersebut tidak secepatnya melakukan perkawinan maka
mereka akan bertentnangan dengan pasal perzinahan dalam KUHP.
Nilai-nilai yang telah mapan dalam masyarakat adat suku waijewa pada
dasarnya terbentuk melalui pola perilaku dan sikap dari masyarakat suku
67
Waijewa. Misalnya ketika nilai-nilai adat dianggap menjadi sesuatu yang penting
bagi kehidupan mereka maka segala sesuatu yang berhubungan dengan
kehidupan mereka pasti tidak terlepas dari nilai-nilai adat itu sendiri.
Adat dalam suku waijewa dilakukan dan dipatuhi oleh masyarakatnya
karena telah memberikan rasa aman dan sejahtera bagi mereka dalam
kehidupannya. Hal ini tidak lepas dari namanya “kekuasaan supranatural”,
masyarakat adat percaya bahwa didalam adat istiadat yang dipatuhi olehnya ada
kekuasaan yang besar dan mampu memberikan kebahagian bagi mereka.
Dalam kultur hukum terbagi atas Internal Legal Culture dan Eksternal
Legal Culture. Yang termasuk dalam Internal Legal Culture dalam adat adalah
(Kepala Adat), (Kepala Suku), dan (Pesuruh Adat). Karena mereka inilah yang
bertanggung jawab dalam suatu rangkaian upacara adat yang dilakukan. Baik itu
upacara adat yang akan dilakukan. Baik itu upcara perkawinan, pembayaran mas
kawin ataupun penyelesaian masalah-masalah perkawinan adat dalam hal ini
yang berkaitan dengan kawin lari.
Kawin lari adalah perkawinan dengan cara melarikan gadis yang akan
dikawininya dengan persetujuan sang gadis itu menghindari dari tata cara adat
yang dianggap rumit dan memakan biaya terlalu mahal. Fenomena kawin lari ini
sering terjadi karna terpaksa untuk menghindari persyaratan adat dalam
melakukan perkawinan.
Berdasarkan definisi kawin lari penulis mencoba menyimpulkan bahwa
kawin lari merupakan perkawinan dengan cara melarikan gadis yang akan
dikawini dengan persetujuan si gadis untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang
dianggap menghambat perkawinan, seperti tata cara atau persyaratan adat yang
68
memakan waktu dan biaya banyak. Menurut Hadikusuma (1977), latar belakang
terjadinya kawin lari yaitu disebabkan oleh faktor-faktor yaitu :
1. Syarat-syarat pembayaran, pembiayaan, dan upacara perkawinan yang
diminta pihak gadis tidak dipenui pihak bujang
2. Gadis belum diizinkan orang tua nya untuk bersuami, sehingga si
gadis memutuskan untuk bertindak sendiri
3. Orang tua atau keluarga si gadis untuk menolak lamaran pihak bujang
4. Si bujang dan si gadis telah melakukan hal yang bertentangan dengan
hukum adat dan hukum agama.
5. Perekonomian si bujang tidak berkecukupan
6. Posisi gadis yang ingin berumah tangga tapi memiliki kakak yang
belum menikah
7. Kedudukan si bujang dalam tingkatan atau derajat atau strata adat
tidak seimbang dengan kedudukan si gadis
8. Gadis masih sangat muda untuk menikah.
top related