bab iii hasil penelitian dan pembahasan a. sejarah dan … · 2017. 9. 18. · konflik antara etnis...
Post on 29-Jan-2021
0 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. SEJARAH DAN LETAK GEOGRAFIS KOTA PALANGKARAYA
KALIMANTANG TENGAH
Terbentuknya Provinsi Kalimantan Tengah melalui proses yang cukup panjang
sehingga mencapai puncaknya pada tanggal 23 Mei 1957 dan dikuatkan dengan Undang-
Undang Darurat Nomor 10 tahun 1957, yaitu tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat
I Kalimantan Tengah. Sejak saat itu Provinsi Kalimantan Tengah resmi sebagai daerah
otonom, sekaligus sebagai hari jadi Provinsi Kalimantan Tengah. Sejarah pembentukan
Pemerintahan Kota Palangkaraya merupakan bagian integral dari pembentukan Provinsi
Kalimantan Tengah berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957, lembaran
Negara Nomor 53.
Selanjutnya, Kecamatan Kahayan Tengah yang berkedudukan di Pahandut secara
bertahap mengalami perubahan dengan mendapat tambahan tugas dan fungsinya, antara lain
mempersiapkan Kotapraja Palangkaraya. Kahayan Tengah ini dipimpin oleh Asisten Wedana,
yang pada waktu itu dijabat oleh J. M. Nahan. Peningkatan secara bertahap
Kecamatan Kahayan Tengah tersebut, lebih nyata lagi setelah dilantiknya bapak Tjilik Riwut
sebagai Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah pada tanggal 23 Desember
1959 oleh Menteri Dalam Negeri, dan Kecamatan Kahayan Tengah di Pahandut dipindahkan
ke Bukit Rawi.1 Dan pada tanggal 11 Mei 1960, dibentuk pula Kecamatan Palangka Khusus
Persiapan Kotapraja Palangkaraya, yang dipimpin oleh J.M. Nahan. Selanjutnya sejak tanggal
1 Diktat “Sejarah Kalimantan Palangka dalam angka 2009” , Didi Djauhari 2001
-
20 Juni 1962 Kecamatan Palangka Khusus Persiapan Kotapraja Palangkaraya dipimpin oleh
W.Coenrad dengan sebutan Kepala Pemerintahan Kotapraja Administratif Palangkaraya.
Kota Palangkaraya secara geografis terletak pada 113˚30`- 114˚07` Bujur Timur dan
1˚35`- 2˚24` Lintang Selatan, dengan luas wilayah 2.678,51 Km2 (267.851 Ha) dengan
topografi terdiri dari tanah datar dan berbukit dengan kemiringan kurang dari 40%. Secara
administrasi Kota Palangkaraya berbatasan dengan:
Sebelah Utara : Dengan Kabupaten Gunung Mas
Sebelah Timur : Dengan Kabupaten Pulang Pisau
Sebelah Selatan : Dengan Kabupaten Pulang Pisau
Sebelah Barat : Dengan Kabupaten Katingan
A.I. GAMBARAN WILAYAH DALAM BENTUK PETA
1.1. Gambar Kota Palangkaraya Kalimantan Tengah
-
1.2. Gambar Wilayah Kalimantan Tengah secara Umum
Wilayah Kota Palangka Raya terdiri dari 5 (lima) Kecamatan yaitu Kecamatan
Pahandut, Kecamatan Sabangau, Kecamatan Jekan Raya, Kecamatan Bukit Batu dan
Kecamatan Rakumpit dengan luas masing-masing 117,25 Km2, 583,50 Km2, 352,62 Km2,
572,00 Km2 dan 1.053,14 Km2.
Luas Wilayah Menurut Penggunaannya
Kawasan Hutan : 2.485,75 Km2
Tanah Pertanian : 12,65 Km2
Perkampungan : 45,54 Km2
Perkebunan 22,30 Km2
Sungai dan Danau : 42,86 Km2
Lain-lain : 69,41 Km2
Secara Geologi keadaan formasi geologi yang ada di wilayah Kota Palangka Raya
tersusun atas formasi Aluvium (Qa) (tersusun dari bahan-bahan liat kaolinit dan debu
bersisipan pasir, gambut, kerakal dan bongkahan lepas, merupakan endapan sungai dan rawa)
-
dan formasi Batuan Api (Trv) (tersusun dari batuan breksi gunung api berwarna kelabu
kehijauan dengan komponennya terdiri dari andesit, basalt dan rijang. Selain kedua formasi
tersebut, wilayah Kota Palangka Raya juga termasuk ke dalam formasi Dahor (TQd) (tersusun
atas sebagian besar pasir kuarsa dengan dasar lempung, pada beberapa tempat terdapat sisipan
konglomerat yang komponennya berupa batuan malihan, granit dan lempung).2
Sedangkan kondisi iklim curah hujan tahunan di wilayah Kota Palangkaraya selama 10
tahun terakhir (1997-2006) berkisar dari 1.840—3.117 mm dengan rata-rata sebesar 2.490 mm.
Kelembaban udara berkisar antara 75—89% dengan kelembaban rata-rata tahunan sebesar
83,08%. Temperatur rata-rata adalah 26,880 C, minimum 22,930 C dan maksimum 32,520 C.
B. KONFLIK ANTARA ETNIS MADURA DAN DAYAK TAHUN 2001 DI
PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH
Konflik yang terjadi pada manusia bersumber pada berbagai macam sebab. Begitu
beragamnya sumber konflik yang terjadi antar manusia, sehingga sulit itu untuk dideskripsikan
secara jelas dan terperinci sumber dari sebuah konflik. Hal ini dikarenakan sesuatu yang
seharusnya bisa menjadi sumber konflik, tetapi pada kelompok manusia tertentu ternyata tidak
menjadi sumber konflik, demikian halnya sebaliknya. Kadang sesuatu yang sifatnya sepele bisa
menjadi sumber konflik antara manusia. Konflik di latar belakangi oleh perbedaan ciri-ciri
yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah
menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.
Konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun
yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat
lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Oleh karena kita tidak bisa menetapkan secara tegas bahwa yang menjadi sumber
konflik adalah sesuatu hal tertentu, apalagi hanya didasarkan pada hal-hal yang sifatnya
2 Ibid
-
rasional. Pada umumnya penyebab munculnya konflik kepentingan sebagai berikut: (1)
perbedaan kebutuhan, nilai, dan tujuan, (2) langkanya sumber daya seperti kekuatan, pengaruh,
ruang, waktu, uang, popularitas dan posisi, dan (3) persaingan. Ketika kebutuhan, nilai dan
tujuan saling bertentangan, ketika sejumlah sumber daya menjadi terbatas, dan ketika
persaingan untuk suatu penghargaan serta hak-hak istimewa muncul, konflik kepentingan akan
muncul (Johnson & Johnson, 1991).3
Sebagaimana konflik etnis yang terjadi di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah
adalah salah satu contoh konflik komunal yang pernah terjadi di indonesia. Konflik kekerasan
yang terjadi di provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah ini bisa di katakan sebagai
kerusuhan antar etnis yang tergolong pasif. Kelompok masyarakat yang mengatas namakan
dirinya sebagai suku asli Kalimantan (etnik Dayak dan Melayu) berhadapan dengan kelompok
masyarakat yang di anggap sebagai pendatang dari pulau Madura (etnik Madura). Saling bunuh
tak terhindarkan tatkala antar etnik sudah tidak saling percaya dan menganggap eksitensi suku
yang satu menjadi penghalang eksitensi suku yang lain.
Kerusuhan yang pecah pada akhir februari 2001 di wilayah Kalimantan Tengah. Ribuan
orang Dayak bersenjatakan busur, panah, tombak memburu warga dari etnik Madura. Tindak
pembunuhan dan perusakan nyaris terjadi di semua desa. Kerusuhan semula terjadi sekitar
sepekan di kota Sampit, namun merembet ke Kuala Kapuas, Pangkalan Bun, dan Palangkaraya.
Dampak dari kerusuhan di Sampit ratusan orang terbunuh dan puluhan ribu pendatang (etnis
Madura) dipaksa keluar dari bumi Kalimantan untuk kembali kedaerah asalnya di pulau
Madura.4
Konflik etnik antara suku Dayak dan Madura di Kalimantan Tengah (Kalteng) terjadi
3 Bernard Raho,Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007.
4 Heru Cahyono, “konflik di kalbar dan kalteng: Sebuah Perbandingan”, Masyarakat Indonesia, Jilid
XXX No.2, 2004, page 47-48
-
pada Febuari 2001. Akhir dari konflik ini lebih merupakan pembantaian dan pengungsian
Madura dari Kalimantan Tengah. Hubungan antara etnis Dayak dan Madura dapat dilihat
melalui sikap yang dikeluarkan oleh kedua belah pihak dalam kesehariannya. Sikap dapat
muncul atau merupakan manifestasi dari citra yang melekat pada diri objek. Interaksi antara
Dayak dengan Madura sudah dimulai secara “bayangan” akibat pencitraan tentang orang
Madura yan sudah hadir sebelum mereka berinteraksi secara langsung dengan orang Madura.
Dan bagaimana perkembangan hubungan social antara suku Dayak dengan Madura dapat
dilihat ketika kedua etnis ini sama-sama mengembangkan diri dalam hal perekonomian,
bercocok tanam karet, kelapa, jenis tanaman, persawahan dan lainnya.
Citra baik ini kemudian runtuh ketika ada perselisihan antara tiga orang Madura dengan
orang Dayak yang akhirnya memunculkan citra baru bahwa etnis Madura adalah orang yang
suka memaksakan kehendak di mata orang Dayak, karena perseteruan ini, konflik individual
akhirnya harus dibela secara kelompok karena sikap solidaritas yang kuat di antara mereka.5
Peristiwa tersebut membuat warga Dayak mulai was-was dan takut dan menimbulkan identitas
diri sebagai kelompok yang terancam. Sikap yang muncul pertama adalah diam, yang justru
menimbulkan jarak antara Dayak dengan Madura. Jika citra berada dalam tataran pemahaman
maka sikap termanifestasikan alam tindaan. Sikap yang muncul dari citra yang sudah melekat
pada diri orang Dayak terhadap orang Madura yang dianggap suka terhadap kekerasan
memunculkan sikap menyingkir dan menyebarkan rasa takut dan pada gilirannya karena
tumpukan kekesalan akhirnya menimbulkan kontak verbal dan fisik. Dan sikap menyingkir
diambil oleh orang Dayak untuk menghindari babunuh atau berbunuhan di antara mereka.
Siasat ini merupakan upaya pembebasan rasa takut, terteror dan terancam atas tindakan etnis
Madura yang senang menggunakan carok (istilah bahasa Madura yang artinya ―culik‖) untuk
5 Heru Cahyono, Mardyanto Wahyu Trytmoko, Asvi Warman Adam Konflik Kalbar Dan Kalteng jalan Panjang
Meretas Perdamaian, Penerbit: Pustaka Pelajar, 2008
-
menyelesaikan setiap permasalahan. Sikap menyingkir ini akhirnya menimbulkan kekosongan
interaksi antara orang Madura dengan orang Dayak dan di sisi lain semakin menguatkan ikatan
solidaritas sesama Dayak yang menyingkir karena tindakan orang Madura.
Mereka kemudian mereproduksi ungkapan yang bertujuan mengolok-ngolok orang
Madura. Tanpa sadar ungkapan-ungkapan ini direproduksi dalam hubungan sehari-hari baik
dikalangan orang tua, muda dan anak-anak yang sebenarnya adalah wujud ―institusionalisasi‖
Madura sebagai sumber terror bagi orang Dayak. Sikap kedua yang diambil oleh orang Dayak
atas citra orang Madura yang suka kekerasan adalah kontak verbal dan fisik. Tindakan ini
merupakan tindakan balik secara langsung tehadap keadaan terganggunya etnis Dayak atas
etnis Madura.6 Bericara mengenai hubungan orang Dayak dengan Madura dan Kalimantan
merupakan pembicaraan yang sampai saat ini terus menarik untuk dibahas, karena hubungan
keduanya sering diwarnai dengan konflik. Dalam realitas sejarah sejak tahun 1950-1999 di
Kalimantan Barat telah terjadi 15 (lima belas) kali pertikaian yang melibatkan kedua etnis
tersebut.
Berikut ini penulis akan memaparkan dan menjelaskan kronologis isngkat terjadiinya
konflik antara etnis Madura dan Dayak tahun 2001 di Palangkaraya-Kalimnatan Tengah :
1950 Pertama kalinya perkelahian massal antara pendatang Madura dan etnis Dayak
pecah. Pertikaian ini menelan korban dalam jumlah besar. Tidak jelas diketahui apa
penyebabnya.
1968 Sani, Camat Sungaipinyuh, Kabupaten Pontianak dibunuh oleh petani Madura.
Petani itu kecewa karena Sang Camat menolak melayani urusan pembuatan surat jual
beli tanahnya. Si petani yang tak bisa menerima alasan yang dikemukakan, langsung
6 Ibid 57
-
menikam Sani hingga tewas.7
1976 Kerusuhan besar antara Dayak-Madura pecah untuk kedua kalinya di
Sungaipinyuh. Kerusuhan ini dipicu pembunuhan Cangkeh, petani Dayak, yang
dilakukan beberapa orang Madura yang marah karena pendatang Madura dihardik
Cangkeh hanya karena menyabit rumput di halaman rumahnya.
1977 Bentrokan kedua etnis kembali terjadi. Kali ini di Singkawang, Kabupaten
Sambas. Robert Lonjeng, seorang polisi dari suku Dayak dibantai seorang pemuda
Madura. Si pemuda rupanya gelap mata setelah perang mulut dengan Robert, yang
menegur si pemuda, marah karena adik perempuannya diajak pergi sampai larut malam.
Robert tewas seketika oleh sabetan celurit Madura yang memacari adiknya.
1999 Tak lama setelah pukul duabelas malam pada tanggal 18 Februari sekelompok
orang Dayak menyerang sebuah rumah dan menewaskan lima orang penghuninya yang
orang Madura. Orang Madura kemudian melancarkan serangan terhadap sebuah rumah
Dayak yang berdekatan dimana dipercaya pembunuh Dayak tengah bersembunyi. Akan
tetapi orang Dayak di rumah itu telah ditahan oleh polisi yang selanjutnya menjadikan
mereka terdakwa atas pembunuhan terhadap orang Madura tersebut. Orang Madura
kemudian membakar rumah orang Dayak lainnya, yang ikut tewas bersama anggota
keluarganya dalam kebakaran tersebut.
2000 Pada petang hari Jumat 15 Desember, perkelahian pecah disebuah bar karaoke di
daerah lampu merah dekat Kereng Pangi. Dalam perkelahian tersebut, seorang Dayak
tewas setelah ditikam oleh tiga orang Madura. Sekitar tengah malam, ratusan orang
Dayak tiba untuk mencari ketiga orang Madura yang telah kabur. Orang Dayak yang
kecewa lantas merusak atau membakar setidaknya empat bar karaoke milik orang
Madura dan sembilan rumah. Meski 150 bantuan polisi dikirim ke tempat kejadian dari
7 “Makna di balik teks Dayak sebagai etnis Headhunter” Journal Communication Spectrum, Vol. 1 No. 2
Agustus 2011 - Januari 2012
-
Palangkaraya dan Sampit pada dini hari esoknya, mereka tidak mampu mencegah orang
Dayak menyerang dan membakar rumah, mobil, dan sepeda motor milik pendatang
Madura.
2000, 17 Desember, orang Dayak terus mencari orang Madura dan empat buah bis milik
seorang pengusaha Madura dibakar. Hingga tanggal 18 Desember, ratusan bantuan
polisi telah didatangkan berikut sebuah satuan tentara berukuran kompi dan selanjutnya
pada pekan itu pasar Kereng Pangi dibuka kembali. Menurut seorang pejabat setempat,
tiga orang terbunuh, 28 rumah dibakar dan 10 lagi rusak, dan lebih selusin kendaraan
mobil serta sepeda motor dirusak. Tetapi menurut beberapa sumber lusinan orang
Madura terbunuh.
Menyusul benturan-benturan tersebut, orang Madura melakukan penyerangan lebih
dahulu dan menurut berbagai cerita membunuh antara 16 hingga 24 orang Dayak.
Mengantisipasi serangan balik orang Dayak, orang Madura menjaga jalanan yang
secara efektif dikuasai mereka. Akan tetapi cerita selanjutnya diperdebatkan. Menurut
Buku Merah dan sumber Dayak lainnya, pada 19 Februari spanduk-spanduk dipajang
yang bertuliskan slogan seperti ‗Kota Sampit adalah Sampang kedua‘ (Sampang adalah
sebuah kota di Madura), ‗Selamat Datang di sebuah kota Madura‘, serta ‗Sampit adalah
Serambi Mekah‘.8
Pada saat yang bersamaan pemuda Madura berarak keliling kota diatas sepeda motor
sambil berteriak ‗Dimana jagoan Dayak?‘, ‗Orang Dayak Pengecut‘, dan ‗Dimanakah
Panglima Burung‘ (yang dimaksud adalah seorang panglima magis Dayak yang konon
muncul pada saat krisis).9
9 Kutipan Tulisan „Kronologis Konflik Kerusuhan Antar Etnis di Sampit‟, alinea 13-14, Buku Merah, Jilid 1.
Kronologi peristiwa menurut sudut pandang orang Madura disampaikan dalam Dari Ratap Menuju Harap. Tragedi
Pembantaian Etnis Madura di Sampit (18 Februari 2001), diterbitkan oleh Ikatan Keluarga Madura, Kotawaringin
Timur, Surabaya, 8 Mei 2001.
-
Pembantaian di Sampit merupakan isyarat bagi orang Dayak di daerah sekitar untuk
menyerang orang Madura. Pada hari Minggu tanggal 25, sepekan setelah letusan di
Sampit, orang Dayak dipedalaman membawa konflik ke ibukota propinsi,
Palangkaraya. Orang Dayak mulai membakar rumah-rumah Madura akan tetapi tidak
banyak terjadi pembunuhan karena sebagian besar orang Madura telah melarikan diri.
2001 Konflik antara Dayak dan Madura meletus di Sampit, Kalimantan Tengah. Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia mencatat bahwa korban jatuh mencapai sekitar 400 jiwa.
Menurut data kepolisian, 319 lebih rumah dibakar dan sekitar 197 lainnya dirusak.
Muncul banyak versi yang memicu kasus perseteruan antar-etnis kesepuluh ini. Dari
kisah terbunuhnya ibu hamil sampai balas dendam warga Madura atas kerusuhan di
Kereng pangi, Kabupaten KotawaringinTimur.
Banyak pendapat yang bergulir mengapa konflik di antara etnis Madura dan Dayak ini
sering terjadi di Kalimantan, terutaman di Kalimantan Tengah, diantaranya karena adanya
perbedaan budaya, persaingan yang tidak seimbang, premannisme, dan kriminalitas (tindak
kekerasan), sentralisasi kebijakan pemerintah, struktur dan persaingan social ekonomi yang
tidak wajar dan tidak seimbang, ketidakmampuan dan ketidakberdayaan tokoh-tokoh
masyarakat dan juga penegak hukum.
Namun ada juga yang berpendapat bahwa konflik di Kalimantan ini terjadi karena sikap
frustasi penduduk setempat (Dayak) yang termanifestasikan dalam sikap agresif terhadap
pendatang asal Madura, kebijakan pemerintah tentang komersialisasi hutan di Kalimantan ,
tidak dihormatinya dan tidak berwibawanya Polri di mata masyarakat, pemerintah yang sangat
sentralistik, keadaan darurat yang menimpa masyarakat dan pemerintah Indonesia, etnisitas
maupun pertumbuhan penduduk yang tidak seimbang dengan peningkatan jumlah
-
peningkatkan jumlah lapangan pekerjaan khususnya pertanian.10
Dalam konteks ini etnis Dayak
diasumsikan tidak mendapat keadilan dari system yang ada sehingga melampiaskan terhadap
etnis Madura. Proses sosio-kultural yang terdapat di dalam struktur social etnis Madura dan
Dayak terutama tentang stereotip antar-keduanya juga sedikit banyak mempengaruhi cara
pandang masing-masing etnis yang akhirnya berpengaruh terhadap sikap satu sama lain.
Kekerasan di Kalimantan Tengah terjadi setelah beberapa dasawarsa dimana orang
Dayak, yang merupakan lebih dari setengah jumlah penduduk propinsi tersebut mengalami
dislokasi. Susunan demografi propinsi telah mengalami perubahan, terutama dalam dua
dasawarsa terakhir, disebabkan program transmigrasi yang dilakukan pemerintahan. Orang
Dayak tidak sepenuhnya menjelaskan kekerasan yang terjadi di bulan Februari dan Maret.
Kalaupun pembantaian merupakan reaksi terhadap perubahan demografis yang pesat maupun
perusakan hutan, maka kemarahan orang Dayak tentunya dituju kepada semua masyarakat
pendatang. Akan tetapi kekerasan yang terjadi dipusatkan seluruhnya terhadap orang Madura
dan akhirnya dijadikan suatu kampanye untuk mengusir mereka dari propinsi tersebut. Jumlah
masyarakat Madura tidak hanya lebih sedikit dibanding masyarakat Dayak, tetapi juga
dibanding masyarakat pendatang lainnya seperti orang Jawa dan orang Banjar. Sebagaimana
biasa terjadi dalam konflik etnis, tidak jelas bagaimana kekerasan bermula. Menurut versi
orang Dayak, kemarahan mereka terhadap orang Madura sudah memuncak bertahun-tahun
sampai serangan orang Madura terhadap orang Dayak di Sampit di Februari 18-19 memicu
pembantaian spontan terhadap ratusan orang Madura. Dilain pihak, menurut orang Madura
beberapa kelompok Dayak memprovokasi benturan- benturan kecil sebagai alasan untuk
menjalankan pembantaian yang menysusul kemudian. Akan tetapi hingga saat ini tidak ada
penjelasan yang memuaskan mengenai apa yang menjadi motivasi kelompok Dayak tersebut.11
10
Amri Marzali “Perbedaan Etnis dalam Konflik” (Jakarta: INIS- Indonesian Netherlands Cooperation in Islamic
Studies- Universitas Leider 2003) page 16-25 11
Kekerasan Etnis di Indonesia : Pelajaran dari Kalimantan Laporan ICG (International Crisis Group) Asia N°19,
-
B.1. PENYEBAB KONFLIK ANTARA ETNIS MADURA DAN DAYAK TAHUN 2001
DI PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH
Penduduk Kalimantan Tengah sejumlah 1,8 juta orang kebanyakan terdiri dari orang
pribumi Dayak yang diperkirakan meliputi setengah hingga duapertiga jumlah penduduk.
Orang Dayak merupakan penduduk asli Kalimantan (Borneo) dan tetap merupakan bagian
terbesar dari jumlah penduduk tidak saja di Kalimantan Tengah akan tetapi juga di Kalimantan
Barat dan Kalimantan Timur – meski di Kalimantan Selatan mereka telah menjadi minoritas
kecil. Orang Dayak juga merupakan bagian yang cukup besar dari jumlah penduduk di
Malaysia Timur. Akan tetapi orang Dayak tidak terdiri dari hanya satu masyarakat etnis,
melainkan terdiri dari lebih 200 suku terpisah yang masing-masing memiliki bahasa, adat
istiadat serta budaya sendiri. Meski kebanyakan tinggal didesa terpencil di hutan tropis yang
tersisa dan bercocok tanam secara berpindah ladang, banyak pemuda Dayak yang kini
mengenyam pendidikan modern dan beralih ke bidang pekerjaan diperkotaan. Tidak seperti di
Kalimantan Barat dimana orang Dayak beda dengan bangsa ―Melayu‖ lainnya karena tidak
beragama Islam, sedikitnya separuh bahkan mungkin 70 persen dari orang Dayak di
Kalimantan Tengah adalah Muslim. Kelompok suku yang dominan di Kalimantan Tengah
adalah suku Ngaju yang bahasanya telah menjadi bahasa penghubung yang umum digunakan di
propinsi tersebut.12
Pada dasarnya, secara sederhana penyebab konflik dibagi menjadi dua yaitu, pertama,
kemajemukan horizontal, yang artinya adalah struktur masyarakat yang majemuk secara
kultural, seperti suku bangsa, agama, ras dan majemuk secara sosial dalam arti perbedaan
pekerjaan dan profesi, seperti petani, buruh, pedagang, pengusaha, pegawai negeri, militer,
wartawan, alim ulama, sopir, dan cendikiawan. Kemajemukan horizontal-kultural
27 June 2001 (Diktat)
12 ibid
-
menimbulkan konflik masing- masing unsur kultural tersebut mempunyai karakteristik sendiri
dan masing- masing penghayat budaya tersebut ingin mempertahankan karakteristik budayanya
tersebut. Dalam masyarakat yang strukturnya seperti ini, jika belum ada konsensus nilai yang
menjadi pegangan bersama, konflik yang terjadi dapat menimbulkan perang saudara dan
gerakan separatisme. Jika situasi ini terjadi, maka masyarakat tersebut akan mengalami
disintegrasi.
Kedua, kemajemukan vertikal, yang artinya struktur masyarakat yang terpolarisasi
kekayaan dan kekuasaan. Kemajemukan vertikal dapat menimbulkan konflik sosial karena ada
sekelompok kecil masyarakat yang memiliki kekayaan, pendidikan yang mapan kekuasaan dan
kewenangan yang besar, sementara sebagian besar tidak atau kurang memiliki kekayaan,
pendidikan rendah, dan tidak memiliki kekuasaan dan kewenangan. Polarisasi seperti ini
merupakan benih subur bagi timbulnya konflik sosial. Singkat kata, distribusi sumber-sumber
nilai di dalam masyarakat yang pincang akan menjadi penyebab utama timbulnya konflik.13
Sebagaimana lazim terjadi pada hampir semua kasus kekerasan etnis, pelaku maupun
korban masing-masing memberi penjelasan yang saling bertentangan secara radikal mengenai
sebab-musabab kejadian. Namun demikian ada satu hal yang jelas. Permusuhan antara
masyarakat Dayak dan masyarakat Madura tertanam dalam, dan hubungan antara kedua
masyarakat tersebut menjadi sangat tegang setelah peristiwa pembunuhan di Kereng Pangi.
Secara umum orang Dayak mengatakan bahwa pembantaian merupakan reaksi spontan orang
Dayak terhadap kejadian-kejadian pada 18-20 Februari ketika Sampit ‗dikuasai‘ orang Madura.
Antara 16 dan 24 orang Dayak terbunuh oleh orang Madura ketika mereka membalas serangan
Dayak terhadap orang Madura. Bila memang terjadi, maka tidak kalah provokatif adalah
13
Krinus kum, “Konflik Etnik: Telaah Kritis dan Konstruktif atas Konflik Etnis di Tanah Papua”,Litera Buku, Yogyakarta, page 20-21
-
terpampangnya spanduk, serta teriakan slogan-slogan yang sangat menyinggung perasaan
orang Dayak.
Khawatir terhadap keselamatan nyawa mereka, ribuan orang Dayak melarikan diri dari
kota tersebut serta menyebarkan berita didaerah pedalaman dimana, konon para tetua Dayak
berkonsultasi dengan arwah nenek moyang mereka dan mendapatkan persetujuan untuk
‗berperang‘ melawan orang Madura. Seusai ritual agama dimana arwah para panglima perang
masa lampau diterima oleh mereka, bersenjatakan mandau (sejenis pedang) dan tombak, orang
Dayak ‗tradisional‘ yang amarahnya telah memuncak berangkat untuk merebut Sampit dari
tangan orang Madura. Konon orang Dayak yang turun ke Sampit kerap terlihat berada dalam
keadaan kesurupan. Tidak dibedakan antara pria, wanita, maupun anak-anak dalam
menjalankan tugas khusus mereka untuk membersihkan kota itu dari orang Madura. Di kota-
kota lebih kecil serta desa-desa didaerah itu, orang Madura semakin tidak berdaya terhadap
gelombang serangan Dayak.
Konflik etnik antara suku Dayak dan Madura di Kalimantan Tengah (Kalteng) terjadi
pada Febuari 2001. Akhir dari konflik ini lebih merupakan pembantaian dan pengungsian
Madura dari Kalimantan Tengah. Korban dan kerugian yang tercatat adalah 469 tewas
(utamanya Madura), 1.192 rumah dirusak/terbakar, 6 mobil dirusak, 43 sepeda motor dirusak,
dan 114 becak dihancurkan. Konflik ini juga mengakibatkan gelombang pengungsi ke Madura
dan Jawa Timur sekitar 70.000-80.000. Walaupun peristiwa konflik utamanya berlangsung
sekitar 2 minggu, akibat konflik demikian besar dan hingga sekarang sebagian besar pengungsi
di Madura masih belum mendapatkan tempat tinggal tetap. Sebelum konflik Febuari 2001
sebenarnya telah terjadi konflik Dayak-Madura dalam skala yang kecil. Catatan yang ada
menunjukan terdapat sekitar 12 peristiwa konflik sejak sekitar 1982, yang melibatkan
pembunuhan, penganiayaan dan perkosaan. Namun sebagian besar peristiwa konflik
sebelumnya ini tidak terselesaikan secara tuntassehingga peristiwa-peristiwa ini dapat
dikatakan turut mendorong peristiwa konflik 2001.
-
Konflik 2001 bermula dari pembunuhan seorang putra tokoh ingformal Dayak,
Sendung, di Kereng Pangi pada 16 Desember, 2000. Karena pembunuhan ini warga Dayak
menyerang warga Madura sambil mencari pembunuh Sendung yang belum tertangkap. Sejak
peristiwa ini terjadi eskalasi ketegangan antara Madura dan Dayak, terutama sejak meledaknya
bom di rumah salah seorang warga Madura di Sampit. Warga Dayak beranggapan warga
Madura menyimpan bom untuk bersiap perang. Kemudian peristiwa konflik besar merebak
pada 17 Febuari 2001, ketika sejumlah orang (dicurigai orang Dayak) menyerang rumah
seorang warga Madura 6 warga Madura terbunuh karena mencurigai pembunuh Sendung
bersembunyi di rumah tersebut. Karena sebab ini warga Madura kemudian mencari kelompok
penyerang di Baamang, Sampit, dan kemudian membakar sebuah rumah dan selanjutnya
berkeliling kota mencari warga Dayak yang terlibat. Hingga waktu tersebut warga Madura
mampu ―menguasai‖ Sampit.14
Setelah peristiwa ini kemudian konflik tidak terelakan lagi, terutama setelah para
―warior‖ Dayak dari pedesaan (pedalaman) masuk ke kota Sampit pada 19 Februari. Pada 20
Febuari 2001, Sampit sepenuhnya berada dalam kontrol Dayak dan pembantaian terhadap
Madura mulai berlangsung. Menghindari pengejaran Dayak, warga Madura kemudian
mengungsi ke rumah Bupati, dan kemudian dipindahkan ke kantor Bupati. Dengan inisiatif
pejabat setempat guna menghindari pembantaian lebih banyak lagi, pemindahan pengungsi dari
Sampit ke Surabaya dan Madura kemudian berlangsung hingga mencapai angka sekitar 70.000
– 80.000 orang.
Banyak analisis mengetengahkan bahwa terdapat sejumlah sebab yang mendorong
terjadinya konflik, antara lain proses marginalisasi ekonomi dan politik penduduk asli (Dayak)
oleh pemerintahan Orde Baru yang mengentalkan sentimen lokal. Program transmigrasi,
eksploitasi sumber alam (utamanya hutan), hilangnya peran lembaga adat seperti Demang
14
Hasil wawancara Mardyanto (suku Dayak asli) 8 Januari 2015-Palangkaraya,Kalteng
-
karena UU No. 5/1974, desentralisasi (UU 22/1999) sehingga menghasilkan lokal-sentrisme,
serta konflik elit lokal untuk memperebutkan posisi politik dan birokrasi, tidak dapat disangkal
kesemuanya mendorong situasi ―kerentanan‖ dan tensi bagi konflik. Faktor-faktor ini dapat
dikelompokan sebagai ―necessary condition‖ yang turut mendorong situasi terciptanya konflik.
Namun ada juga beberapa pihak yang menolak jika sebab lansung konflik adalah marginalisasi
ekonomi penduduk asli, terutama jika dikaitkan dengan ketimpangan dengan Madura. Sebab
langsung yang lebih mereka rasakan adalah benturan budaya antara Madura dan Dayak yang
sangat berbeda, manajemen konflik dari aparat yang lemah terutama prevensinya, migrasi
Madura yang sangat besar terutama pada tahun-tahun terakhir, serta peristiwa-peristiwa konflik
sebelumnya yang tidak terselesaikan (law enforcement lemah). Dari hasil ini, dapat dikatakan
bahwa peritiwa konflik etnik di Kalteng merupakan akibat dari sejumlah faktor sebab, baik
yang tidak langsung maupun langsung.
Indikator ekonomi regional di kalteng, seperti HDI dan HPI menunjukan bahwa kondisi
perbaikan ekonomi terjadi secara kontinum antara sebelum hingga setelah konflik. Hasil studi
lapangan melalui survei pendapat subyektif responsen menunjukan bahwa dilihat dari
pendapatan, kondisi ekonomi dan peluang kerja, keadaan setelah konflik lebih baik dari
sebelum konflik.
Keadaan ekonomi terganggu terutama pada sekitar 6 bulan pertama setelah konflik,
yakni suplai barang berkurang serta banyak sector ekonomi yang ditinggalkan oleh warga
Madura, namun hal ini segera dapat diatasi oleh penduduk setempat. Temuan ini menunjukan
dampak ekonomi terhadap wilayah Kalteng terlihat hanya temporer. Namun penyebab tidak
hanya bermula dari masalah ekonomi saja, beberapa narasumber juga mengatakan bahwa ada
perselisihan yang terjadi mengenai hak tanah dan masalah sumber daya alam (SDA).
Pada tahun 1970 an seiring dengan pembukaan hutan dan pembuatan jaringan jalan,
yang disertai dengan ketimpangan distribusi pendapatan dan kerusakan dan perusakan
-
lingkungan secara masif. Penyeragaman kampung menjadi desa bercorak Jawa juga berperan
dalam pengikisan alas bangunan sosial dan ekonomi setempat. Posisi Kepala Adat
(timanggong), misalnya, lebih banyak ditentukan, atau diangkat oleh Pemerintah, sehingga ia
kerap serba salah dalam menengahi silang sengketa tanah adat atau tanah kebun setempat,
termasuk pranata-pranata asli dalam penyelesaian sengketa. Sementara itu, di pedalaman,
kebun-hutan, hutan karet, dan tanah-tanah keramat kelompok Dayak Kanayatn banyak yang
telah beralih fungsi menjadi kawasan pengusahaan hutan (HPH), HTI-Transmigrasi, dan
belakangan ini, menjadi kebun kelapa sawit berskala besar. Kemudian dari sector transportasi,
jasa tenaga kerja, dan pembuatan jalan yang dapat menggantikan keterpurukan pendapatan
rumah tangga pun telah dikuasai oleh migran Madura pasca 1990-an. Sayangnya, penguasaan
sektor-sektor itu banyak yang disertai dengan praktik main kayu, premanisme, dan patronase.
Maraknya premanisme dalam pendominasian sektor ekonomi dan perusakan lingkungan itu
bertemali pula dengan corak penguasaan dan pengurasan sumber daya alam (SDA) secara rakus
yang dibangun oleh rezim Orba. Repotnya, dalam sejumlah kasus, para individu pendukung
praktik premanisme itu berasal dari kelompok Madura yang masuk pada tahun 1990 an.
Perseteruan antara kedua etnis ini semakin memanas , didukung lagi masyarakat yang
semakin teradu oleh karena situasi pada saat ini yang memaksa mereka untuk slaing membela
kelompok etnis mereka masing-masing. Selain alasan yang telah dipaparkan diatas dengan
penyebab mengapa konflik ini terjadi, ada hal yang membuat etnis Dayak semakin memuncak
rasa emosionalnya kepada etnis Madura bahwa kota Kalimantan, khususnya Kalimantan
Tengah akan dijadikan kota ―Sampang‖ kedua. Dan ini membuat masyarakat Dayak begitu
geram dan meresponi isu tersebut dengan menyapu bersih etnis Madura dari tanah
Kalimantan.15
15
Hasil wawancara Yudea (suku Dayak asli) 8 Januari 2015 Palangkaraya, Kalteng
-
B.2. OKNUM MASYARAKAT YANG TERLIBAT KONFLIK ANTARA ETNIS
MADURA DAN DAYAK TAHUN 2001 DI PALANGKARAYA KALIMANTAN
TENGAH
Peristiwa konflik masal dengan kekerasan yang terjadi di Kalbar dan Kalteng serta
melibatkan etnik Madura, Dayak dan Melayu merupakan peristiwa konflik yang telah terjadi
berulang kali sejak pertengahan tahun 1990an hingga awal 2000. Konflik yang dialami oleh
para pengungsi pada dasarnya telah memiliki rantai sejarah yang relatif panjang. Pelluso &
Harwell (2001) serta Davidson & Kammen (2002) memberikan sejumlah catatan penting
tentang latar belakang dari konflik tersebut. Mereka melihat bahwa konflik yang terjadi antara
etnik Madura dengan etnik Dayak (Kalteng) maupun etnik Melayu (Kalbar) pada dasarnya
merupakan konsekuensi dari sejarah panjang dari konflik kekerasan lokal di Kalimantan dan
politik kebudayaan yang melahirkan identitas kekerasan, selain juga adanya perasaan
tersingkirnya etnik Dayak dari keuntungan-keuntungan ekonomi politik yang dihasilkan
melalui pembangunan terhadap sumber-sumber daya lokal. Ini disebabkan oleh kondisi
komunitas lokal yang juga miskin sementara mereka melihat bahwa pengungsi pada dasarnya
berasal dari kelas sosial yang relatif lebih baik dibanding dengan mereka. Dalam hubungan
sosial, awalnya terjadi kesenjangan antara komunitas lokal Madura dan pengungsi yang
disebabkan oleh perbedaan latar belakang budaya yang terbentuk melalui lokasi tempat tinggal
yang berbeda. Kehadiran pengungsi dalam keluarga-keluarga penampung menimbulkan beban
sosial sehingga kerap melahirkan konflik.
Berbicara tentang siapakah oknum yang terlibat dalam konflik antara etnis Madura dan
Dayak ini, dapat dikatakan bahwa masyarakat Dayak yang ada di Palangkaraya dan juga para
pendatang yakni orang Madura adalah oknum utama yang terlibat dalam pertikaian ini.
Pecahnya konflik etnis yang ganas di Kalimantan Tengah pada bulan Februari tahun 2001 hanya
dapat dipahami dengan latarbelakang perasaan dislokasi, dirampas dan disisihkan yang sangat
-
mendalam yang dialami masyarakat Dayak di propinsi itu.
Para sosiolog daerah Palangkaraya juga berpendapat bahwa akar dari timbulnya konflik
yaitu adanya hubungan sosial, ekonomi, dan politik yang akarnya adalah perebutan atas
sumber-sumber kepemilikan, status sosial, dan kekuasaan (power) yang jumlah
ketersediaannya sangat terbatas dengan pembagian yang tidak merata di masyarakat.
Ketidakmerataan pembagian aset-aset sosial di dalam masyarakat tersebut dianggap sebagai
bentuk ketimpangan pembagian ini menimbulkan pihak-pihak tertentu berjuang untuk
mendapatkannya bagi yang problem aset sosialnya relatif sedikit.16 Sementara pihak tertentu
berjuang untuk mendapatkan pembagian aset sosial tersebut berusaha untuk mempertahankan
atau menambahinya disebut sebagai status quo dan pihak yang berusaha mendapatkannya
disebut sebagai status need.
B.3. DAMPAK KONFLIK ANTARA ETNIS MADURA DAN DAYAK TAHUN 2001 DI
PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH
Indikator ekonomi regional di kalteng, seperti HDI dan HPI menunjukan bahwa kondisi
perbaikan ekonomi terjadi secara kontinum antara sebelum hingga setelah konflik. Dampak
konflik etnik di Kalimantan Tengah sangat dirasakan justru bukan di wilayah Kalimantan
Tengah saja dampak yang lebih signifikan justru akan terlihat di Madura (lihat laporan
Madura). Dengan jumlah pengungsi sekitar 70.000 – 80.000 (jumlah pasti tidak tercatat), maka
Kabupaten Bangkalan dan Sampang tempat asal migran Madura di Kalimantan Tengah sangat
terbebani. Sebagian besar pengungsi sudah tidak memiliki rumah lagi di Madura, atau tidak
memiliki kerabat dekat di Madura, dan mereka merupakan kelompok yang paling terpukul oleh
konflik ini. Oleh sebab itu kelompok ini berupaya sebisanya untuk dapat kembali ke
16
Ibid
-
Kalimantan Tengah. Lebih parah lagi, di Madura pun para pengungsi menjadi lahan eksploitasi
oknum dan mereka yang terlibat menangani pengungsi.
Dampak lain yang penting adalah pada relasi sosial di Kalimantan Tengah, yakni
segregasi sosial antara warga Madura dan non-Madura, yang setelah konflik terlihat semakin
lebar. Warga non-Madura (Dayak dan lainnya) cenderung menyalahkan perilaku Madura atas
sebab terjadinya konflik. Oleh sebab itu, kembalinya Madura ke Kalteng dikuatirkan akan
memicu konflik berikutnya, karena perilaku ini sangat melekat dengan kultur Madura. Selain
itu, terhadap dinamika politik lokal kiranya terjadi secara tidak langsung. Setelah konflik
pemekaran beberapa kabupaten dilakukan dan ini agaknya dapat mengadopsi kompetisi dan
kepentingan politik elit lokal sekaligus menurunkan tensi konflik. Kehadiran warga Madura
mungkin saja tidak terkait langsung dengan kompetisi politik lokal, namun dapat menjadi
obyek dan korban dari kompetisi tersebut.
Konflik yang terjadi tahun 1990 an ini sampai berkelanjutan pada tahun 2001 memang
mendatangkan dampak yang sangat serius. Orang Dayak pun menyadari bahwa konflik dan
perlawanan yang mereka lakukan terhadap orang-orang Madura juga berdampak parah pada
etnisnya sendiri yakni orang dayak khususnya yang berada di Palangkaraya Kalimantan
Tengah. Rusaknya beberapa asset-aset yang dimiliki orang dayak juga dirasakan pada saat itu,
alat-alat transprotasi yang dipenuhi ribuan kepala, bahkan tak jarang tempat tinggal pun masih
berbau anyir oleh karen akonflik yang melanda kedua etnis ini. Pemerintah juga mersakan
dampak yang sama, ketika lapisan-lapisan legislatif yang ada juga ada yang anggota
keluarganya menjadi korban bahkan menjadi oknum dari konflik besar tersebut. Lumpuhnya
pemerintahan dan fasilitas masyarakat pada saat itu menjadi bagian dari dampak konflik antara
etnis Madura dan Dayak.
-
C. DAMPAK PASCA KONFLIK ANTARA ETNIS MADURA DAN DAYAK DI
PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH
Setiap masyarakat social dalam hubungannya bersosialisasi antar individu yang lain ,
agama yang lain dan etnis yang lain memang diakui memiliki problemnya masing-masing.
Dalam arti ketika masyarkat itu sendiri tinggal dalam suatu dan satu lingkungan yang sama
namun berbeda etnis, disinilah letak terjadinya problem yang disebabkan oleh perbedaan adat
atau kebiasaan dari tiap budaya (etnis). Tidak semua suku atau budaya mampu langsung
dengan cepat beradaptasi dengna budaya yang lain dalam tempat yang sama, pasti terjadi
pergeseran, dan bilamana pergeseran tersebut ters-menerus dijumpai dalam keseharian, maka
akan terjadi konflik yang sangat hebat diantara keduanya. Saling adu dan saling bunuh-
membunuh menjadi salah satu bagian yang tidak terhelakan lagi di antara kedua etnis ini. Tidak
sedikit korban yang berjatuhan karena konflik ini, banyak bangunan dan tempat ibadah yang
tidak luput dari amukan kedua etnis ini.
Tidak hanya masyarakat saja yang merasakan bagaimana efek dari konflik hebat ini,
segala aspek , lingkungan, bahkan pemerintah setempat pun merasakan efek dari konflik kedua
etnis ini. Pada dasarnya sebuah konflik yang terjadi dalam suatu lingkungan pasti akan
berdampak juga pada individunya, entah pada pelaku konflik atau bukan. Dalam konflik di
Kalimantan Tengah ini anatara etnis Madura dan dayak yang berseteru, dampak melanda ke
berbagai aspek dan bidang. Dampak yang pertama dialami oleh masyarakat yang terlibat dan
menjadi korban konflik adalah dampak pada psikis mereka. Ada perasaan dimana mereka sulit
menerima satu sama lain, perasaan trauma akan kejadian-kejadian yang telah terjadi, mereka
tidak hanya merasakan kekerasan secara fisik saja akan tetapi mereka mengalami kekerasan
-
secara batiniah.
Hubungan persaudaraan antara satu dengan lain rusak oleh karena konflik ini, suku
Dayak asli yang berada di Palangkaraya pun mengakui bahwa banyak orang-orang mereka
yang mengalami keadaan psikis yang kurang baik karena konflik sengit ini. Mengapa sampai
berdampak kepada psikis? Konflik antar dua etnis ini juga menghilangkan sanak keluarga yang
mereka miliki, banyak korban yang merasa terpukul bukan karena mereka kehilangan tempat
tinggal saja karena mereka kehilangan anak, suami, istri dan anggota keluarga lainnya yang
turut menjadi korban dalam konflik di Palangkaraya.17
setelah konflik ini surut sekitar tahun
2002, masyarakat Dayak masih belum semua melakukan aktivitasnya dalam bertani atau
bekerja dagang, dan orang Madura masih ada yang tetap tinggal dan berdagang di Palangkaraya
pada saat itu dan ada juga yang memilih untuk kembali ke kampung asalnya. Setelah konflik
besar-besaran ini terjadi pada tahun 2001, kondisi lingkungan dalam masyarakat Dayak tidak
langsung pulih seketika , karena konflik pada tahun 1990 an sampai 2001 ini cukup
meruntuhkan hal-hal dan fasilitas yang penting baik masyarakat sendiri maupun pemerintahan.
Sehingga tidak jarang kalau pasca konflik ini orang Dayak masih merasa membutuhkan
pemulihan yang cukup panajang walaupun perdamaian pun telah di lakukan dari kedua pihak
yang berkonflik.
C.1. DAMPAK PASCA KONFLIK BAGI AGAMA DAN BUDAYA
Orang Dayak telah lama memendam kekesalan terhadap sikap golongan etnis lain yang
cenderung meremehkan orang Dayak sebagai bangsa yang ‗tidak berbudaya‘ dan ‗tidak beradab‘.
Orang Dayak secara khusus dibuat marah oleh anggapan umum bahwa kebiasaan orang Dayak
bercocok tanam dengan berpindah lahan selama beberapa abad lalu telah menimbulkan
17
Hasil wawancara Zainal Pele (suku Dayak asli) 12 Januari 2015
-
kerusakan pada lingkungan hidup, sementara hasil karya perusahaan penebangan kayu dipandang
sebagai kontribusi bagi pembangunan nasional.
Orang Dayak merasa terhina pula oleh perlakuan terhadap agama Dayak dimasa Orde
Baru. Meski pada saat ini kebanyakan orang Dayak beragama Islam atau Kristen, agama
tradisional dari suku Ngaju yang merupakan golongan dominan Kaharingan masih dihormati,
bahkan orang Dayak sendiri mengatakan bahwa orang Dayak yang Muslim dan Kristen tetap
dipengaruhi kebudayaan yang berhubungan dengan Kaharingan.18
Pada saat berlangsungnya
konflik ada beberapa kelompok yang sempat berasumsi bahwa konflik etnis Madura dan Dayak
ini dipicu oleh karena alasan agama, karena orang Madura banyak memeluk agama Islam
sedangkan orang Dayak memeluk agama Kristen-Kaharingan. Dampak pada agama antar kedua
etnis ini pasca konflik dapat dikatakan tidak cukup rukun, karen sempat tersebar isu pemicu
konflik besar ini adalah agama. Kesimpang siuran isu tersebutlah yang berdampak pada
kesenjangan hubungan dalam agama.
C.2. DAMPAK PASCA KONFLIK BAGI SOSIAL POLITIK DAN EKONOMI
Kelompok-kelompok masyarakat yang mendiami pulau-pulau di Nusantara telah
menjalin hubungan dagang dengan berbagai bangsa di dunia sejak zaman dahulu kala. Dengan
hubungan dagang yang telah berlangsung selama ratusan tahun itu, interseksi di Indonesia juga
telah berlangsung selama ratusan tahun pula. Interseksi tersebut berjalan sedemikian rupa dan
meliputi unsur-unsur bidang agama, kebudayaan, dan juga ekonomi.
Pengalaman masyarakat Dayak selama duapuluh atau tigapuluh tahun terakhir telah
menyediakan banyak alasan bagi keluhan mereka. Orang Dayak memang layak beranggapan
bahwa kepentingan mereka telah diabaikan oleh pemerintah pusat yang memperlakukan
sumber daya Kalimantan Tengah lebih sebagai sumber kekayaan bagi golongan elit di Jakarta
18
Ibid
-
ketimbang peluang untuk memperbaiki kehidupan masyarakat mayoritas di propinsi itu.
Sesungguhnya tidak sulit memahami keberangan orang Dayak yang ditujukan kepada
pemerintah nasional berikut wakil mereka di propinsi, kepentingan usaha besar yang telah
menguasai industri penebangan kayu dan perkebunan. Memang banyak orang Madura yang
berpindah ke kegiatan di kota dan cukup berhasil, akan tetapi orang Madura masih jauh dari
penguasaan ekonomi Kalimantan Tengah. Orang Madura menonjol dalam sektor perdagangan
eceran, pasar lokal, dan angkutan namun bidang-bidang tersebut tidak merupakan kegiatan
puncak perdagangan propinsi. Orang Madura memang sangat menonjol dalam kegiatan
perdagangan di Sampit yang merupakan tempat dimulainya pembantaian, tetapi orang Dayak
sendiri menyangkal bahwa motivasi mereka berdasarkan pertimbangan ekonomi, dan dalam
konflik tersebut memang terjadi kesenjangan social ekonomi.19
Pasca konflik etnis Madura dan
Dayak keadaan social ekonomi dapat dikatakan dalam proses yang rusak secara system, karena
kehadiran pendatang seperti Jawa dan Madura cukup membantu keadaan perekonomian di
Kalimantan Tengah pada saat itu, akan tetapi setelah konflik berakhir ekonomi surut karena
orang Madura mengalami rasa jera mendalam oleh karena masalah tanah yang mereka sewa
sebagai lahan bekerja mereka. Memang harus diakui akan keahlian orang Madura dalam
berdagang, sehing sejak kedatangan Madura ke daerah Kalimantan khususnya Palangkaraya,
kota ini maju pesat dalam hal ekonomi. Namun, sejak konflik kondisi ekonomi terganggu, dan
pemerintah lambat dalam rekontruksi social ekonomi pasca konflik ini.20
Dampak yang begitu kentara dari pasca konflik ini memang terlihat dari segi social
ekonomi. Akan tetap orang Dayak pun berjuang untuk dapat memulihkan kestabilan ekonomi
agar supaya kota tidak lumpuh secara financial. Pasca konflik berakhir masih ditemukan orang
Madura yang tetap melanjutkan aktivitas kerjanya sebagai seorang pedagang yang meminjam
19
Kekerasan Etnis di Indonesia : Pelajaran dari Kalimantan Laporan ICG (International Crisis Group) Asia N°19, 27 June 2001 (Diktat)
20 Hasil wawancara Antonius Aluy (Ketua kelompok) 12 Januari 2015
-
atau mungkin bahkan membeli lahan atau tanah milik orang Dayak.
C.3. HUBUNGAN PASCA KONFLIK ANTARA ETNIS MADURA DAN DAYAK
TAHUN 2001 DI PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH
Suatu konflik yang terjadi karena pebedaan pendapat dimana masing-masing pihak
merasa dirinya benar, tidak ada yang mau mengakui kesalahan, dan apabila perbedaan pendapat
tersebut amat tajam maka dapat menimbulkan rasa kurang enak, ketegangan dan sebagainya.
Salah satu pemicu utama dalam sebuah konflik adalah salah paham. Salah paham merupakan
salah satu hal yang menimbulkan konflik. Misalnya tindakan dari seseorang yang tujuan baik
tetapi diterima sebaliknya oleh individu yang lain. Dalam setiap individu yang hidup dalam
kondisi bersosialisasi tentu ada banyak perbedaan yang didapati,. Karena pada hakikinya Setiap
manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan
yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal
atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam
menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang
berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok
memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang
sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan
dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan
budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh
ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka
untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan
kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi
pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini
jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya
-
sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan
kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, social, dan budaya.21
Sistem Sosial diartikan sebagai suatu keseluruhan dari unsur- unsur sosial yang
berkaitan dan berhubungan satu sama lain serta saling pengaruh-mempengaruhi. Hubungan
saling mempengaruhi dalam ilmu sosiologi diperankan atau dijalankan oleh masyarakat. Peran
tersebut dalam penelitian dijalankan oleh etnik Dayak dan Madura. Secara sederhana konsepsi
konflik terjadi karena masalah kepaduan (integrasi), stabilitas dan keteraturan sosial. 22
Dari penjelasan diatas akan menghubungan kita dengan konflik yang terjadi di
Kalimantan Tengah antara etnis Madura dan Dayak pada tahun 2001 silam. Dan saat ini penulis
akan memaparkan tentang bagaimana hubungan pasca konflik antara etnis Madura dan Dayak
di Palangkaraya-Kalimantan Tengah. Hasil dari wawancara dan penelitian lapangan, saat ini
etnis Madura yang masih tinggal di kota Palangkaraya memang tidak sebanyak pada tahun
1990 an, semenjak konflik berakhir sebagian orang Madura ada yang memilih untuk pulang ke
kampung halaman ada juga yang memilih untuk menetap di Palangkaraya dengan alasan masih
ingin mengadu nasib dan mengembangkan hidup di tempat rantau.
Kondisi kota secara umum dapat dikatakan sudah mulai kondusif pada sekitar tahun
2002, dan sampai saat ini setelah konflik benar-benar usai kedua etnis ini Madura dan dayak
dapat hidup berdampingan, walaupun jumlah populasi orang Madura tidak sebanyak pada
waktu tahun 1990 an. Orang Madura berpopulasi banyak dapat ditemukan di Kalimantan Barat
,Pontianak. Disana orang Madura tergolong banyak yang menetap. Tidak menutup
kemungkinan bahwa konflik yang terjadi besar-besaran ini mampu memberikan perubahan
yang positif dari kedua etnis ini. Khususnya dalam hal ini bagi orang Dayak sendiri, konflik
yang telah menjatuhkan ratusan korban jiwa itu justru memberi dampak yang baik yakni rasa
21
Dean G Pruitt dan Jeffrey Z Rubin, 2004, Teori Konflik Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
22 Soleman B Taneko. Konsepsi Sistem Sosial dan Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta : Fajar Agung, 1986)
-
solidaritas yang tinggi justru dapat tercipta dengan adanya konflik tersebut.
Hubungan pasca konflik antara etnis Madura dan Dayak saat ini dapat dikatakan sangat
baik, melihat dari kondisi kota Palangkaraya saat ini yang nyaman dan tergolong majemuk
dalam artian tidak hanya orang asli Dayak saja yang tinggal disana namun, orang Jawa juga ada
yang berdomisili di Palangkaraya. Bagi orang Madura, seusai konflik berakhir mereka ada yang
memilih untuk menetap di Kalimantan ada juga yang pulang ke daerah asal mereka. Namun,
orang Madura di Palangkaraya saat ini tergolong tidak ada yang menetap, hanya ada di
Pontianak, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Salah satu pengakuan orang Madura yang
merasakan konflik pada tahun 2001 silam itu, bahwa ia dan keluarga memilih untuk pindah dan
menetap di Kalimantan Timur dan mencari pekerjaan di kota tersebut. Bukan karena alasan
trauma konflik yang menjadi penyebab kepindahan orang Madura, akan tetapi mereka ingin
mencari pengalaman berdagang dan pekerjaan di kota lain.23
Konflik antara Madura dan Dayak ini memang banyak meninggalkan hal yang mungkin
buruk dan menyakitkan bagi kedua belah pihak, akan tetapi hubungan kedua suku tersebut saat
ini dapat dikatakan baik. Khususnya bagi masyarakat Dayak sendiri, konflik yang telah terjadi
merupakan pengalaman dan bahkan sejarah yang begitu berharga, yang memberi banyak pesan
bagi orang Dayak sendiri, bahwa dalam hidup bersosialisasi dibutuhkan rasa solidaritas yang
baik kepada sesama masyarakat, yang hidup berdampingan dengan kita. Saat ini orang Madura
yang masih ada di Pulau Kalimantan berusaha untuk bisa menciptakan kenyamanan dalam
bermasyarakat, walaupun di Palangkaraya sendiri orang Madura saat ini tergolong tidak
sebanyak tahun-tahun kemarin.
D. ADANYA KESEPAKATAN DAN NORMA BARU PASCA KONFLIK ANTARA
ETNIS MADURA DAN DAYAK TAHUN 2001 DI PALANGKARAYA
23
Hasil wawancara Paerah (suku Madura asli) 16 Januari 2015
-
KALIMANTAN TENGAH
Usaha demi usaha dilakukan agar supaya etnis Madura dan Dayak dapat kembali hidup
dengan tentram, dalam satu lingkungan social. Suatu perbedaan social memang akan menjadi
bagian dari suatu masyarakat yang plural karena kita tidak mungkin acuh tak acuh dengan
lingkungan sesama kita. Perbedaan akan ditemui akan tetapi bagaimana supaya balance maka
harus ada rasa solidaritas agar supaya meminimalisir gesekan antar budaya, agama, suku yang
ada. Konflik akbar yang terjadi sekitar tahun 1990 an ini sangat menorahkan kepiluan yang
dalam tidak hanya bagi orang Dayak sendiri dikota mereka , akan tetapi orang Madura pun
merasakan hal yang sama, kedua nya sama-sama kehilangan secara holistic.
Pemerintah kota Palangkaraya pun mengingingkan terjadi suatu perdamaian untuk
mengakhiri konflik tersebut, didukung dengan orang Dayak yang ingin agar kota mereka tidak
lagi dihiasi darah dimana-mana, mereka ingin tentram dan keadaan secara keseluruhan dapat
berlangsung baik seperti sedia kala. Keinginan perdamaian ini juga ternyata disambut baik oleh
tokoh-tokoh adat pada saat itu dengan tujuan agar kota Palangkaraya khususnya ,tidak lagi
dianggap sebagai kota konflik. Tingginya keinginan untuk berdamai membuat pemerintah kota
Kalimantan Tengah Palangkaraya semakin terdorong utuk menstabilkan kotanya yang sempat
porak poranda.
Namun menurut sumber yang berhasil diwawancarai Kenyataan yang ada kini di
Kalimantan Tengah adalah tidak lagi ada konflik antara orang Dayak dan orang Madura , kecuali
di Pangkalanbun, tidak lagi tersisa banyak orang Madura di propinsi ini. Tentunya mungkin saja
minoritas etnis lainnya dapat menjadi korban pengganti berikutnya apabila keluhan yang
terpendam lama oleh orang Dayak tidak ditanggapi. Namun kejadian belum lama ini di
Kalimantan Tengah maupun Barat menunjukkan bahwa titik gesek yang utama adalah hubungan
-
Dayak-Madura. Tidak ada indikasi yang kuat mengenai kemungkinan pembersihan terhadap
masyarakat minoritas lainnya.24
Dalam menangani kasus konflik ini tentu timbul norma yang baru dan kesepakatan dalam
masyarakat. Norma lama yang sudah ada dalam masyarakat kemudian diperbaharui dan
dilengkapi kembali dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat. Oleh sebab itu, respons warga
Dayak selanjutnya adalah menetapkan beberapa Perda kependudukan berkaitan dengan
pengembalian pengungsi Madura dan revitalisasi adat Dayak (Demang), baik Perda tingkat
propinsi maupun kabupaten. Beberapa pokok penting dalam Perda ini adalah, hanya warga
Madura yang ―baik‖, telah tinggal cukup lama di Kalimantan Tengah serta memiliki pekerjaan
dan tempat tinggal yang diperbolehkan kembali ke Kalimantan Tengah. Fungsi revitalisasi adat
adalah agar permasalahan (konflik) pada tingkat komunitas (kecamatan) dapat diselesaikan
secara cepat melalui adat lokal, seperti upacara dan denda adat terhadap yang bersalah, selain
penyelesaian secara hukum formal.25
Tidak hanya kesepakatan itu saja yang digelar bagi kedua
etnis, akan tetapi perda mengenai pemakaian tanah juga dibicarakan, agar supaya ada kejelasan
bagi siapa yang memakai tanah tersebut dan siapa juga yang meminjam.
D.1 UPAYA PEMERINTAH DAN MASYARAKAT PASCA KONFLIK
Orang Dayak secara luas percaya bahwa pemerintah dan polisi tidak bertindak tegas
terhadap anggota golongan etnis lain yang melakukan kejahatan terhadap orang Dayak. Bahkan
tampaknya yang memungkinkan terjadinya serangkaian kejadian yang berakhir dengan
pembantaian pada bulan Februari dan Maret 2001 adalah kegagalan pemerintah dan polisi untuk
menangkap orang Madura pelaku pembunuhan terhadap seorang Dayak di Kereng Pangi pada
bulan Desember 2001. Dan penryataan inilah yang sempat tersirat dalam pikiran masyarakat
Dayak pada umumnya setelah konflik berakhir.26
24
Hasil wawancara Juan Fabyan (suku Dayak asli) 12 Januari 2015 25
Diktat ―Etnik Konflik dan Perdamaian di Kalimantan Tengah” ditulis 2002
26 Kekerasan Etnis di Indonesia : Pelajaran dari Kalimantan Laporan ICG (International Crisis Group) Asia N°19,
-
Namun setelah konflik ini berakhir pada awal tahun 2001, pemerintah pun menepis akan
praduga tak bersalah itu, bahwa sesungguhnya tidak ada diskriminasi SARA dalam konflik
tersebut. Pemerintah berupaya agar kedua etnis yang berkonflik dapat saling meredam emosi
dengan baik dan lebih kepada saling menghargai dalam bermasyarakat. Pemerintah juga berusaha
untuk melakukan pembinaan kepada kedua belah etnis tersebut dan mengarahkan kepada etnis
yang bertikai agar supaya dapat berperilaku baik dalam kehidupan bernegara yang berwawasan
kebangsaan. Pemerintah kota Palangkarya juga pasca konflik ini menghimbau untuk para tokoh-
tokoh agama, dan budayawan agar mampu memabntu membimbing agar masyarakat Dayak tetap
bisa menjaga daerah dan mempertahankan budaya yang ada tanpa harus terpemgaruh oleh isu-isu
SARA atau provokasi lainnya yang dapat mengumpan terjadinya gesekan dalam lingkungan
sosial.
D.2 UPAYA PERDAMAIAN YANG DISEPAKATI PASCA KONFLIK ANTARA
ETNIS MADURA DAN DAYAK
Pendekatan yang standar digunakan oleh pemerintah dalam menyelesaikan konflik etnis
adalah mensponsori kesepakatan perdamaian antara pemuka masyarakat yang mewakili pihak-
pihak yang berperang. Pendekatan ini telah banyak dikecam karena hanya melibatkan para elit
yang belum tentu dapat mempengaruhi pelaku konflik di lapangan. Beberapa pihak menyatakan
bahwa pertemuan-pertemuan seperti itu tidak saja tak berguna bahkan menjadi kontraproduktif
karena menimbulkan harapan yang tidak realistis yang kemudian disusul oleh kekecewaan. Di
Kalimantan Tengah maupun Barat kesepakatan perdamaian setelah terjadi benturan setempat tidak
berhasil mencegah pembantaian dan pembersihan etnis yang terjadi kemudian.
Dalam hal pertemuan perdamaian yang diselenggarakan di Jakarta pada bulan Maret,
masih terjadi saling tuduh menuduh dan tidak banyak kemajuan yang dicapai. Dilain pihak
27 June 2001 (Diktat)
-
kesepakatan antar pemimpin paling tidak menciptakan suasana yang kondusif untuk memelihara
perdamaian meski secara tersendiri tidak mampu menyelesaikan permasalahan mendasar yang
menghalang terjadinya rekonsiliasi. Yang penting adalah bahwa kesepakatan perdamaian seperti
itu seharusnya tidak berdiri sendiri melainkan harus diikuti oleh tindakan-tindakan yang kongkrit
agar mendorong adanya saling percaya meski rekonsiliasi penuh belum bisa tercapai. Dalam
menempuh langkah hukum menyusul kejadian kekerasan etnis belum lama berselang, pemerintah
perlu mengimbangi penerapan hukum secara ketat dengan pendekatan yang lebih fleksibel yang
bertujuan memelihara ketertiban sosial untuk saat ini dan mencapai rekonsiliasi dijangka panjang.
Ketaatan penuh terhadap hukum formil dengan mudah dapat menyakiti perasaan orang Dayak
sebagai korban ketidak adilan dalam artian yang lebih luas. Banyak orang Dayak yang tetap
percaya bahwa orang Madura bertanggung jawab atas kerusuhan dan perlu ―diberi pelajaran‖.
Kesalahan terbesar pada sebuah pembantaian tidak dapat diletakkan pada yang menjadi
korban. Namun demikian, masyarakat minoritas di Kalimantan yang ada sejarah konflik dengan
mayoritas etnis atau agama, sebaiknya menyesuaikan perilaku dan sikapnya terhadap mayoritas
tersebut. Namun setelah konflik kedua etnis ini yakni Madura dan Dayak mengupayakan agar
mampu menciptakan suasana yang nyaman. Sejak konflik pertama sampai dengan yang terakhir
upaya memecahkan konflik selalu dilakukan dengan cara membuat perjanjian damai antar etnis
yang bertikai. Begitu konflik pertama terjadi, penyelesaiannya segera dilakukan dengan cara
membuat perjanjian damai. Begitu juga dengan konflik-konflik yang terjadi lagi pada waktu itu,
mereka dianjurkan lagi untuk bisa berdamai dengan membuat perjanjian damai.
Dapat dikatakan juga bahwa upaya perdamaian yang telah dilakukan oleh kedua etnis ini
pasca konflik, dapat memulihkan lagi pembangunan dan pengembangan kota demi kebutuhan
masyarakat. Dari hasil wawancara juga telah diungkapkan bahwa dalam usaha perdamaian
tersebut warga Madura diminta untuk ―meminta maaf‖ atas sebab konflik dan mereka
menerimanya.
-
Upaya perdamaian ini dilakukan bukan dengan alasan salah satu pihak yang berkonflik
ini merasa kalah, akan tetapi besarnya dampak konflik yang dialami kedua suku ini
membuktikan bahwa konflik yang berkepanjangan akan membuahkan hasil yang buruk bagi
kelangsungan hidup di masing-masing kelompok suku mereka. Selain suku Madura yang
diharuskan untuk meminta maaf, ada peran penting dari pihak agama atau tokoh-tokoh agama
yang mendukung perdamaian ini. Agama dalam hal ini sangat berperan penting dalam
melakukan kesepakatan ini, walaupun konflik ini bukan dilatar belakangi agama, akan tetapi
ada banyak fasilitas rumah ibadat yang tidak luput dari dampak konflik sehinnga agama disini
juga harus mampu memerangi konflik dan menjadi penengah dalam perseteruan ini. Dalam hal
ini peran agama sangat berperan , tidak hanya menengahi konflik yang terjadi akan tetapi juga
mengumpulkan atau mempertemukan kedua suku ini agar bisa duduk bersama-sama untuk
menyelesaikan masalah ini. Agama disini sangat berperan aktif juga masuk ke pemerintah
agarmendorong pemerintah untuk sama-sama menemukan titik tengah bagi masyarakat Dayak
dan Madura yang tengah berkonflik.
Beberapa tokoh agama baik yang Muslim maupun Kristiani dan dari agama suku
Kaharingan, mereka semua bersama-sama untuk menggalang perdamaian diantara suku
Madura dan Dayak ini agar supaya perseteruan diantara mereka tidak berkepanjangan. Ada
alasan yang penting mengapa agama dan para tokoh agama disini sangat berperan, itu
dikarenakan bahwa sebuah konflik itu tidak hanya berdampak pada hubungan atau relasi saja,
akan tetapi dampak pada agama adalah dampak yang nomor satu yang akan dialami keduanya.
Kadangkala juga agama dapat dijadikan kambing hitam sebagai sumber mereka berkonflik,
oleh karena itu disini para tokoh dari agama mana pun berkumpul dan berunding agar supaya
kedua etnis ini mampu meredam konflik dengan jalan berdamai. Pentingnya peran agama disini
menjadikan bahwa konflik ini dapat mendorong persatuan antar agama.
top related