bab iii perkembangan perkebunan cengkeh rakyat … · 37 dipimpin widjojo nitisastro sejak 1969.3...
Post on 31-Aug-2019
7 Views
Preview:
TRANSCRIPT
36
BAB IIIPERKEMBANGAN PERKEBUNAN CENGKEH RAKYAT
KECAMATAN JATIYOSO TAHUN 1990-2011
A. Perkembangan Perkebunan Cengkeh Rakyat Kecamatan Jatiyoso
Tahun 1990-1998
Penemuan teknologi baru di bidang pertanian melatarbelakangi program
revolusi hijau menyongsong pembangunan di zaman orde baru. Teknologi tersebut
antara lain mencakup pemanfaatan pestisida, penyediaan air melalui pengembangan
sistem irigasi, pemanfaatan pupuk nitrogen sintetis, dan penggunaan varietas unggul
yang dihasilkan melalui pemanfaatan ilmu dan teknologi pemuliaan yang
konvensional. Salah satu kunci keberhasilan revolusi hijau dalam pengembangan
teknologi adalah produksi varietas tanaman yang disebut “benih ajaib” oleh banyak
pihak.1 Salah satu keuntungan adanya revolusi hijau adalah timbulnya rasa percaya
diri petani, penyuluh, para ahli serta para pemimpin masyarakat terhadap kemampuan
mereka meningkatkan produksi secara cepat.2
Soeharto berhasil memulihkan perekonomian, mengubah laju
pertumbuhan yang negatif dan laju inflasi 660 persen melalui program rehabilitasi
beberapa tahun dan diikuti dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun yang
dipersiapkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang
1 Kementrian Pertanian, Satu Dasawarsa Kelembagaan KetahananPangan di Indonesia, (Jakarta: Badan Ketahanan Pangan, 2010), hlm. 9-10
2 Ibid., hlm. 11
37
dipimpin Widjojo Nitisastro sejak 1969.3 Rencana Pembangunan Lima Tahun
ditujukan pada perbaikan prasarana yang dapat merangsang peningkatan produksi
pertanian. Upaya meningkatkan produksi pertanian di kalangan petani dikenal dalam
dengan Panca-usaha tani, meliputi: 1)Penggunaan bibit unggul tanaman,
2)Penggunaan pupuk, 3)Perbaikan dalam cara bercocok tanam, 4)Pengenalan cara
perlindungan tanaman yang sesuai, dan 5)Pemanfaatan sarana irigasi yang optimal.4
1. Luas Areal Perkebunan Cengkeh Rakyat Kecamatan Jatiyoso
Negara yang sebagian besar potensinya berasal dari sektor pertanian,
harus mempunyai kebijakan yang menjaga keterkaitan antara sektor pertanian
dengan industri. Semakin banyak hasil produksi pertanian yang diolah oleh
industri, semakin tinggi tingkat perkembangan negara tersebut.5 Sejak cengkeh
mendapatkan tempat baru sebagai bahan utama pembuat rokok kretek, banyak
petani yang mulai mengembangkan pertanian cengkeh. Hingga awal tahun 1990-
an areal perkebunan cengkeh baik perkebunan besar maupun perkebunan rakyat
mulai meluas. Latar belakang utama perkembangan luas areal perkebunan
cengkeh adalah harga jual bunga cengkeh yang tinggi.
3 Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia1965-1998, (Jakarta: Kompas, 2014), hlm. 122
4 Bechtold, karl-Heinz, Politik dan Kebijaksanaan PembangunanPertanian, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988), hlm. 72
5 Gunawan Sumodiningrat, Membangun Perekonomian Rakyat,(Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1998), hlm. 94
38
Sejak tahun 1990 pemerintah mulai membuat kebijakan yang
mempengaruhi harga cengkeh salah satunya adalah adanya BPPC. Terhitung
sejak adanya BPPC harga jual komoditi cengkeh anjlok cukup drastis. Salah satu
imbasnya adalah penyusutan luas lahan perkebunan cengkeh di dalam negeri.
Produksi cengkeh dalam negeri yang besar tetapi tidak dapat tersalurkan dengan
baik lah yang mengakibatkan menurunnya harga cengkeh di pasaran. Dalam hal
ini BPPC lah yang bertugas sesuai perannya meyangga dan memasarkan cengkeh
di Indonesia.6 Sementara itu, untuk mengatasi produksi cengkeh yang berlebih
pemerintah mengeluarkan kebijakan diversifikasi dan konversi tanaman cengkeh
melalui Keppres No. 20 Tahun 1992 dengan mengurangi luas areal penanaman
cengkeh.7 Konversi tanaman cengkeh adalah pengurangan tanaman cengkeh
melalui usaha penggantian dengan tanaman dan atau usaha tani lain, dalam
rangka penyelarasan pasokan dan kebutuhan cengkeh.8 Turunnya harga cengkeh
ditambah adanya kebijakan diversifikasi dan konversi tanaman cengkeh
melatarbelakangi menyusutnya luas arel perkebunan cengkeh di Indonesia.
6 Tata Niaga Cengkeh (Keppres No. 20 Tahun 1992) oleh Redaksi,(Jakarta: Sinar Grafika, 1992), hlm. 9
7 Tati Herlina Situmeang, “Analisis Produksi, Konsumsi, dan HargaCengkeh Indonesia”, Skripsi, (Bogor: Prodi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya,IPB, 2008), hlm. 72
8 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik IndonesiaNomor : 144/MPP/Kep/5/1996, Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia,Departemen Perindustrian dan Perdagangan,
39
Luas areal perkebunan cengkeh rakyat di Kabupaten Karanganyar
pada periode tahun 1990-1998 cenderung mengalami penyempitan lahan. Pada
tahun 1989 luas areal perkebunan cengkeh rakyat mencapai angka 7.251,87
hektar, sedangkan pada tahun 1998 luas perkebunan cengkeh di Kabupaten
Karanganyar tinggal 2.388,59 hektar. Penyempitan lahan yang terjadi sangat
drastis, lahan perkebunan cengkeh rakyat yang tersisa pada tahun 1998 kurang
dari setengah luas areal pada tahun 1989.
Tabel. 7
Luas Areal Perkebunan Cengkeh Rakyat Kabupaten Karanganyar
Tahun 1990-1998
Tahun Luas Areal (ha)
1990 7.256,67
1991 7.254,37
1992 5.715,65
1993 4.010,05
1994 3.120,20
1995 2.526,55
1996 2.472,17
1997 2.472,17
1998 2.388,59
Sumber: Kabupaten Karanganyar dalam Angka Tahun 1990-1998
Data yang terdapat pada Tabel. 7 menunjukkan luas perkebunan
cengkeh rakyat Kabupaten Karanganyar pada tahun 1990-1998 terus mengalami
penyusutan. Penyusutan yang mencolok terjadi pada tahun 1992, luas areal yang
semula pada tahun 1991 seluas 7.254,37 hektar, menyusut menjadi 5.715,65
40
hektar. Hal ini berkaitan dengan adanya kebijakan pemerintah mengenai
diversifikasi dan konversi tanaman cengkeh pada tahun 1992 untuk mengganti
tanaman cengkeh dengan tanaman lain. Faktor lainnya adalah penurunan harga
jual cengkeh yang anjlok sehingga berkurangnya minat petani untuk
membudidayakan tanaman cengkeh lagi.
Kecamatan Jatiyoso merupakan salah satu kecamatan di Karanganyar
dengan perkebunan cengkeh rakyat terluas bersama dengan Kecamatan
Ngargoyoso. Pada periode tahun 1990-an luas perkebunan cengkeh di Jatiyoso
mengalami penyusutan yang cukup drastis. Semenjak adanya fluktuasi cengkeh
dan harga cengkeh turun drastis pada masa BPPC, petani cengkeh di Jatiyoso
menelantarkan kebun cengkeh mereka. Petani cengkeh Jatiyoso beralih menanam
tanaman palawija seperti singkong dan jagung, dan menjadikan tanaman cengkeh
sebagai usaha sampingan.9 Salah satu alasan yang menyebabkan para pekebun
menempatkan tanaman perkebunan sebagai usaha diversifikasi atau sampingan
ialah faktor risiko, berkaitan dengan harga komoditi perkebunan yang
berfluktuasi, seiring dengan fluktuasi harga di pasaran internasional. Sehubungan
dengan itu petani merasa tidak aman apabila mereka hanya menanam tanaman
9 Wawancara dengan Wagiman tanggal 26 April 2016
41
perkebunan. Para pekebun membutuhkan kepastian untuk kelangsungan
subsistensi atau tercukupinya kebutuhan pangan keluarga.10
Tabel. 8
Luas Areal Perkebunan Cengkeh Rakyat Kabupaten Karanganyar
Tahun 1997 dan 1998
KecamatanLuas Areal (ha)
1997 1998Jatipuro 48,98 48,98Jatiyoso 505,20 493,35
Jumapolo 146,30 146,30Jumantono 45,00 45,00
Matesih 180,80 180,80Tawangmangu 173,36 173,36
Ngargoyoso 594,18 570,80Karangpandan 286,35 286,35Karanganyar 8,50 8,50Mojogedang 80,00 52,15
Kerjo 102,75 82,25Jenawi 300,75 300,75
Sumber: Kabupaten Karanganyar dalam Angka Tahun 1997-1998
Tabel. 8 merupakan data luas areal perkebunan cengkeh rakyat di
daerah produksi cengkeh di Kabupaten Karanganyar pada tahun 1997 dan 1998.
Secara keseluruhan luas areal perkebunan cengkeh rakyat di Kabupaten
Karanganyar mengalami penyusutan. Daerah produksi cengkeh yang mengalami
penyusutan lahan antara lain Jatiyoso sebanyak 11,85 hektar, Ngargoyoso
sebanyak 23,38 hektar, Mojogedang sebanyak 27,85 hektar dan Kerjo sebanyak
10 Mubyarto, dkk., Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan: Kajian SosialEkonomi, (Yogyakarta: Aditya Media, 1992), hlm. 71
42
20,5 hektar. Sedangkan daerah produksi cengkeh lain selain empat daerah
tersebut tidak mengalami penyusutan.
2. Produksi Cengkeh Kecamatan Jatiyoso
Segala bentuk kebijakan pemerintah dalam membangun sektor
pertanian ditujukan agar dapat mencapai kesejahteraan petani. Pengembangan
agroindustri dan agrobisnis, diarahkan pada yang langsung menyentuh kegiatan
sosial ekonomi penduduk pedesaan.11 Kebijakan tata niaga cengkeh tahun 1990
yang berbeda dari sistem sebelumnya berpengaruh terhadap tingkat produktivitas
petani. Sebelum BPPC dibentuk pada tahun 1990, petani cengkeh bebas menjual
hasil panen miliknya. Begitu juga dengan Pabrik Rokok Kretek, mereka boleh
langsung membeli cengkeh baik dari KUD maupun kepada petani cengkeh.
Setelah BPPC dibentuk, petani cengkeh hanya diperbolehkan menjual
cengkehnya kepada KUD yang telah ditunjuk pemerintah dengan harga yang
telah ditentukan. Begitu juga Pabrik Rokok Kretek hanya diperbolehkan membeli
cengkeh kepada BPPC.12
Produksi cengkeh Kecamatan Jatiyoso terus mengalami peningkatan
hingga tahun 1991. Sejak tahun 1980-an tanaman cengkeh memang tengah
menjadi primadona di kalangan petani Jatiyoso. Para petani gencar melakukan
11 Gunawan Sumodiningrat, Membangun Perekonomian Rakyat,(Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1998), hlm. 41
12 Tata Niaga Cengkeh (Keppres No. 20 Tahun 1992) oleh Redaksi,(Jakarta: Sinar Grafika, 1992), hlm. 9
43
penanaman cengkeh di kebun dan pekarangan rumah mereka untuk mendapatkan
hasil panen yang lebih banyak. Terhitung mulai tahun 1981 produksi cengkeh di
Kecamatan Jatiyoso memperoleh angka tertinggi di Kabupaten Karanganyar
sebesar 32.675 kg dengan jumlah pohon sebanyak 374.796 pohon. Para petani
cengkeh di Jatiyoso biasa mendatangkan bibit cengkeh dari daerah Purwokerto
untuk menanam cengkeh di kebun mereka.13 Kecamatan Jatiyoso merupakan
pemasok cengkeh utama di Kabupaten Karanganyar, apabila produksi cengkeh
Kecamatan Jatiyoso mengalami peningkatan, secara otomatis produksi cengkeh
Kabupaten Karanganyar mengalami peningkatan dan sebaliknya.
Tabel. 9
Produksi Cengkeh Perkebunan Cengkeh Rakyat Kabupaten Karanganyar
Tahun 1990-1998
Tahun Produksi (kg) Produksi Rata-Rata (kg/ha)1990 759.687 1501991 2.029.995 418
1992 1.224.380 411
1993 975.295 287
1994 931.586 298
1995 358.577 142
1996 368.893 146
1997 374.152 -
1998 413.600 -
Sumber: Kecamatan Jatiyoso dalam Angka Tahun 1990-1998
Tabel. 9 menjelaskan produksi cengkeh Kabupaten Karanganyar dari
tahun 1990 hingga tahun 1998. Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui
13 Wawancara dengan Wagiman tanggal 26 April 2016
44
produksi cengkeh perkebunan rakyat di Kabupaten Karanganyar mengalami
perkembangan hingga tahun 1991, sekaligus mencapai produksi tertinggi
sebanyak 2.029.995 ton dengan produksi rata-rata sebesar 418 kg. Produksi
cengkeh kemudian mulai menurun pada tahun 1992 hingga tahun-tahun
berikutnya dengan penurunan yang cukup signifikan. Penurunan produksi
cengkeh terbesar terjadi pada tahun 1992, dimana produksi cengkeh menurun
sebanyak 805.615 kg.
Meskipun pada tahun 1992 produksi cengkeh menurun dengan cukup
drastis, akan tetapi produksi rata-rata masih cukup besar yaitu 411 kg per hektar.
Hal ini menandakan bahwa penurunan produksi cengkeh pada tahun 1992 terjadi
karena adanya pengurangan jumlah pohon cengkeh di Kabupaten Karanganyar.
Pada tahun 1992 memang banyak terjadi pengurangan pohon cengkeh di
Perkebunan Rakyat di Indonesia. Hal ini terjadi karena adanya fluktuasi cengkeh
di pasaran terutama di gudang pabrik-pabrik rokok dan gudang BPPC sebagai
pembeli cengkeh dalam negeri. Pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan
untuk melakukan program diversifikasi dan konversi tanaman cengkeh melalui
Keppres No. 20 Tahun 1992. Konversi tanaman cengkeh adalah pengurangan
tanaman cengkeh melalui usaha penggantian dengan tanaman dan atau usaha tani
lain, dalam rangka penyelarasan pasokan dan kebutuhan cengkeh.14 Murahnya
14 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik IndonesiaNomor : 144/MPP/Kep/5/1996, Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia,Departemen Perindustrian dan Perdagangan,
45
harga jual cengkeh oleh pemerintah melalui KUD juga melatarbelakangi petani
cengkeh menelantarkan tanaman cengkeh dan menggantinya dengan tanaman lain
seperti palawija.
Produksi cengkeh Kecamatan Jatiyoso juga mengalami penurunan
yang signifikan. Penurunan ini terjadi karena sebagian besar petani cengkeh
Jatiyoso mengganti tanaman cengkeh mereka dengan tanaman palawija seperti
jagung dan singkong.15 Selain itu, tanaman cengkeh juga dibudidayakan secara
intercopping dengan berbagai tanaman pangan, sehingga logis jika rata-rata
produktivitasnya menjadi rendah. Tanaman cengkeh yang dibudidayakan sebagai
tanaman sela, disamping pemeliharaannya tidak bisa dilakukan dengan baik,
tampaknya juga terjadi persaingan dalam penyerapan hara antara tanaman
cengkeh dengan tanaman selanya.16 Penanaman cengkeh dengan sistem
tumpangsari atau sistem tanaman sela dengan tanaman palawija juga
mengakibatkan kerusakan pengakaran cengkeh, erosi, ditambah kehilangan pupuk
lewat permukaan tanah (run off).17
15 Wawancara dengan wagiman tanggal 26 April 2016
16 Mubyarto, dkk., Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan: Kajian SosialEkonomi, (Yogyakarta: Aditya Media, 1992), hlm. 96
17 Toyib Hadiwijaya, Cengkeh: Data dan Petunjuk ke Arah Swasembada,(Jakarta: PT. Gunung Agung, 1986), hm. 54
46
Produksi pertanian sangat peka terhadap penurunan harga nyata. Harga
rendah dan rasio harga yang berbias cenderung menurunkan rangsangan investasi,
mengganggu usaha-usaha penelitian terhadap komoditi berharga rendah dan
selanjutnya akan mengurangi perubahan fungsi produksi yang diharapkan.18
Harga jual cengkeh yang sangat rendah, mengakibatkan petani sudah tidak
berharap lagi untuk memanen bunga cengkeh. Bahkan orang pun tidak ada yang
mau bila disuruh memanen bunga cengkeh mereka secara cuma-cuma.19 Harga
inilah yang mencerminkan sampai barang tertentu mengalami kelebihan
permintaan (over demand) atau kelebihan penawaran (over supply). Kelebihan
atau kekurangan dalam sistem mekanisme pasar merupakan sinyal untuk
mengurangi atau menambah produksi. Penurunan produksi cengkeh Kecamatan
Jatiyoso pun tidak dapat terelakkan. Pada tahun 1998, Kecamatan Jatiyoso hanya
mampu menyumbang cengkeh sebanyak 63.430 kg dari total keseluruhan daerah
produksi cengkeh di Kabupaten Karanganyar sebanyak 413.600 kg.
18 Bechtold, karl-Heinz, Politik dan Kebijaksanaan PembangunanPertanian, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988), hlm. 40
19 Ibid.,
47
Tabel. 10
Produksi Cengkeh Perkebunan Cengkeh Rakyat Kabupaten Karanganyar
Tahun 1997 dan 1998
Kecamatan Produksi (kg)1997 1998
Jatipuro 2.450 8.990Jatiyoso 91.356 63.430
Jumapolo 8.425 6.070Jumantono 2.100 6.120
Matesih 13.570 39.630Tawangmangu 36.480 37.240
Ngargoyoso 71.450 94.420Karangpandan 56.240 69.530Karanganyar 1.548 1.320Mojogedang 2.958 5.750
Kerjo 3.975 24.950Jenawi 83.600 56.150
Sumber: Kabupaten Karanganyar dalam Angka Tahun 1997-1998
Berdasarkan Tabel. 10 dapat diketahui bahwa produksi cengkeh di
Kecamatan Jatiyoso pada tahun 1998 mengalami penurunan. Tabel tersebut
merupakan daftar kecamatan penghasil cengkeh dari 17 kecamatan di Kabupaten
Karanganyar. Kecamatan yang tidak memproduksi cengkeh yaitu Tasikmadu,
Jaten, Colomadu, Gondangrejo, dan Kebakkramat. Penurunan produksi cengkeh
Kecamatan Jatiyoso pada tahun 1998 cukup besar, sebanyak 27.926 kg dari tahun
sebelumnya yaitu 91.356 kg. Pada tahun 1998, daerah produksi cengkeh tertinggi
di Kabupaten Karanganyar adalah Kecamatan Ngargoyoso dengan produksi
sebanyak 94.420 kg. Sedangkan produksi terendah adalah Kecamatan
Karanganyar sendiri sebanyak 1.320 kg.
48
3. Latar Belakang Berdirinya Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh
(BPPC)
Produksi cengkeh di Indonesia dalam kurun tahun 1980-an hingga
awal tahun 1990-an terus mengalami peningkatan. Hal ini menjadi masalah
khusus bagi pemerintah untuk menangani tata niaga cengkeh yang kian rumit dan
mendesak petani kecil. Sebelum adanya BPPC, pelaksanaan tata niaga cengkeh
dalam negeri langsung dipegang oleh Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok
Indonesia (GAPPRI). GAPPRI yang mempunyai dana besar dan merupakan
konsumen utama cengkeh melahirkan situasi yang monopolistik. Mereka
berhadapan dengan ribuan petani cengkeh, kalau diserahkan pada mekanisme
pasar, biasanya yang terkena petani kecil, yang lebih lemah. Itulah yang terjadi,
ketika harga cengkeh turun drastis.20
Mekanisme penjualan cengkeh dalam negeri, sebelumnya telah diatur
melalui Keppres Nomor 8 Tahun 1980. Berdasarkan Keppres itu, cengkeh dari
petani dikumpulkan oleh Koperasi Unit Desa (KUD), yang sudah terseleksi
Dirjen Koperasi, untuk kemudian dilelang. Pembelinya bisa di Pusat KUD, untuk
kemudian ditampung oleh PT. Kerta Niaga, sebuah badan usaha milik negara,
atau pedagang antar-pulau, yang lazim disingkat jadi PAP, yang akan menjual
komoditi itu ke pengusaha rokok kretek. Seharusnya, PT Kerta Niaga berfungsi
menyangga harga, agar tetap sesuai dengan patokan minimal, yakni Rp 6.500 per
20 Isma Sawitri, “Cengkeh, Dulu dan Sekarang”, Majalah Tempo, 12Januari 1991, Koleksi Perpustakaan Pusat UNS, hlm. 82
49
kg. Sementara dana yang diperoleh dari pemerintah hanya Rp 65 milyar setahun.
Dana tersebut tidak cukup untuk menghadang produksi cengkeh yang rata-rata 52
ribu ton setahun. Akibatnya, bagian yang tak tertampung itu dibeli oleh PAP
dengan harga dibawah patokan (tidak lebih dari Rp 4.500 per kg). Harga serendah
itu, bagi petani, lebih baik daripada harus menimbun hasil buminya di gudang.
Untuk melindungi para petani pula, diaturlah bahwa pedagang harus membeli via
lelang. Mereka yang membeli cengkeh dari petani untuk diserahkan langsung ke
pabrik rokok, akan dikenakan penalti sebesar Rp 350/kg. Tetapi kenyataannya,
PAP tidak lebih hanya kepanjangan tangan dari pengusaha pabrik rokok.
Pembelian melalui lelang itu pun merupakan hasil kerja sama antara PAP dengan
KUD. Dalam kerja sama itu, cengkeh milik PAP yang sudah dibeli langsung dari
petani dengan harga jauh di bawah patokan, dititipkan ke lelang untuk kemudian
dibeli sendiri (demi menghindari penalti). 21
Situasi tersebut membuat pemerintah bersama dengan Arifin Siregar,
menteri perdagangan pada saat itu untuk memecahkan permasalahan yang tengah
terjadi. Ketika proses pembangunan ekonomi berlangsung, kondisi ekonomi,
tujuan dan hambatan politik menyesuaikan diri, sedangkan tekanan sosial-
ekonomi maupun politik timbul untuk mengganti sistem kebijaksanaan yang
sudah usang dengan yang baru.22 Pemerintah berpendapat, perlu ada suatu badan
21 Ibid., hlm. 80
22 Bechtold, karl-Heinz, Politik dan Kebijaksanaan PembangunanPertanian, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988), hlm. 38
50
yang pertama-tama membeli cengkeh dari KUD dan jika perlu menjadi
penyangga dan menjual kepada para konsumen. Semestinya badan tersebut terdiri
dari unsur yang terlibat dalam perdagangan cengkeh, antara lain; unsur
konsumen, petani cengkeh dan pengusaha. Pemerintah sudah tentu berperan
sebagai penengah. Pemerintah menganggap dengan sistem pasar bebas, akan
merugikan para petani cengkeh, dan pemerintah berupaya untuk mencari
keseimbangan dari semua pihak, bukan hanya dari satu pihak.23
Pada tahun 1990, melalui Keputusan Menteri Perdagangan Republik
Indonesia No. 306/KP/XII/1990 pemerintah mulai bertindak jauh dalam
mengelola tata niaga cengkeh dalam negeri. Salah satu isinya adalah membentuk
BPPC untuk berperan aktif dalam mengelola tata niaga cengkeh dalam negeri.
Berdasarkan tata niaga yang baru tersebut, produksi cengkeh dari Sabang sampai
Merauke praktis menuju ke tangan BPPC semua. Termasuk cengkeh dari kebun
milik pabrik rokok kretek sendiri tidak dikecualikan, harus dijual ke BPPC dulu
(bisa melalui KUD) baru dibeli (kembali) oleh pabrik rokok. Bahkan untuk
menghindari penyelewengan, aparat pemerintah turun tangan, tiap perpindahan
cengkeh (antar pulau maupun antar daerah) harus menggunakan semacam surat
jalan dari kantor wilayah Departemen Perdagangan setempat.24
23 Isma Sawitri, “Cengkeh, Dulu dan Sekarang”, Majalah Tempo, 12Januari 1991, Koleksi Perpustakaan Pusat UNS, hlm. 82
24 Ibid., hlm. 81
51
4. Peran BPPC dalam Mengelola Cengkeh di Indonesia
Perkembangan perkebunan cengkeh rakyat di Indonesia akhir periode
orde baru dipengaruhi oleh peran pemerintah Indonesia dalam menangani
masalah hasil produksi cengkeh dalam negeri. Pelaksanaan pembangunan
nasional yang dijabarkan dalam pembangunan sektoral, regional, dan khusus, baik
secara langsung maupun tidak langsung, dirancang untuk memecahkan tiga
masalah utama pembangunan: pengangguran, ketimpangan distribusi pendapatan
dan kemiskinan.25 Sejak tahun 1969 telah muncul inisiatif dari pemerintah untuk
memberi perhatian khusus kepada komoditi perkebunan tersebut karena mulai
diminati pasar dan bernilai jual tinggi. Permintaan cengkeh dari dalam negeri
yang sebagian besar adalah produsen rokok kretek kian tahun semakin tinggi dan
mengharuskan pemerintah untuk mengimpor cengkeh. Pemerintah Indonesia
menjadikan masalah tata niaga cengkeh sebagai masalah yang cukup serius,
hingga diperlukan berbagai cara untuk menanganinya antara lain ialah bekerja
sama dengan pihak swasta, hingga pembentukan badan khusus untuk menangani
masalah cengkeh.26 Pada bulan November 1970, pemerintah telah menunjuk
beberapa perusahaan swasta antara lain; P.T. MEGA, C.V. WIDJAJA sebagai
Handling Agent untuk cengkeh ex Luar Negeri yang bertugas sebagai pelaksana
25 Gunawan Sumodiningrat, Membangun Perekonomian Rakyat,(Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1998), hlm. 43
26 Keputusan menteri Perdagangan No. 167/Kp/VII/70 Tentang TataNiaga Cengkeh, Koleksi Arsip Nasional Indonesia, Departemen Perindustrian danPerdagangan Tahun 1963-1997 No. 905
52
pemasukan dan Floating Stock Holder untuk cengkeh ex-Luar Negeri. Kemudian
pada bulan Desember 1970 C.V. WIDJAJA digantikan oleh P.T. MERTJU
BUANA dengan tugas yang sama.27 Upaya dalam hal pembentukan badan khusus
yaitu melalui Keputusan Menteri Perdagangan No. 193/Kp/VIII/69 tanggal 11
Agustus 1969 pemerintah telah membentuk Badan Pengadaan Cengkeh yang
bertugas mengatur tata niaga cengkeh dalam negeri. Namun, rupanya badan
tersebut belum mampu menjalankan tugasnya dengan baik karena permasalahan
yang muncul, sehingga pemerintah membentuk Badan Cengkeh Nasional (BCN)
pada tahun 1990 dengan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC)
sebagai pelaksana tata niaga cengkeh dalam negeri.
BPPC merupakan lembaga yang dibentuk atas dasar usaha bersama,
dengan anggota terdiri dari unsur koperasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN),
dan swasta. Awalnya GAPPRI tidak menyetujui dengan adanya sistem tata niaga
cengkeh yang baru, namun setelah melalui berbagai persuasi GAPRRI mau tidak
mau mengikuti aturan baru yang dibuat oleh pemerintah karena mereka adalah
konsumen cengkeh utama di Indonesia. Berbagai intrik muncul antara pemerintah
dengan swasta khususnya GAPPRI, mengiringi pembentukan BPPC. GAPPRI
menganggap bahwa pembentukan BPPC adalah bentuk sikap menyerah
pemerintah dalam menangani masalah tata niaga cengkeh di dalam negeri.
Sementara pemerintah menganggap bahwa tata niaga cengkeh yang sebelumnya
27 Ibid.,
53
diterapkan menciptakan situasi monopolistik yang memberatkan para petani
cengkeh.28
a. Badan Cengkeh Nasional (BCN)
Peran dan tugas BPPC tidak terlepas dari adanya peran BCN. Pada
tanggal 28 Desember 1990, Menteri Perdagangan Arifin M. Siregar
menandatangani Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No.
307/KP/XII/1990, dengan substansi pembentukan Badan Cengkeh Nasional.
BCN adalah badan yang melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan
tata niaga cengkeh serta menyampaikan saran-saran kebijaksanaan kepada
pemerintah melalui Menteri Perdagangan tentang hal-hal yang berkaitan
dengan masalah cengkeh. BCN bertanggung jawab kepada Menteri
Perdagangan.29
1) Keanggotaan
Susunan keanggotaan BCN adalah sebagai berikut :
a) Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Departemen
Perdagangan, sebagai Ketua merangkap anggota.
b) Direktur Jenderal Bina Usaha Koperasi, Departemen Koperasi, sebagai
Wakil Ketua merangkap sebagai anggota.
28 Bambang Aji, dkk., “Pertarungan yang Sangat Mahal”, Majalah Tempo,14 Desember 1991, Koleksi Perpustakaan Pusat UNS, hlm. 28
29 Tata Niaga Cengkeh (Keppres No. 20 Tahun 1992) oleh Redaksi,(Jakarta: Sinar Grafika, 1992), hlm. 40
54
c) Direktur Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian, sebagai
anggota.
d) Direktur Jenderal Aneka Industri, Departemen Perindustrian, sebagai
anggota.
e) Direktur Perkreditan Bank Indonesia, sebagai anggota.
f) Sekertaris Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri,
Departemen Perdagangan, sebagai anggota.
g) Direktur Pembiayaan Pangan, Departemen Keuangan, sebagai
anggota.
h) Ketua Umum BPPC, sebagai anggota.
i) Ketua GAPPRI, sebagai anggota.
j) Direktur Pengadaan dan Penyaluran Hasil Pertanian dan Kehutanan,
Departemen Perdagangan, sebagai Sekretaris merangkap anggota.
k) Direktur Bina Usaha Pertanian dan Perkebunan, Departemen Koperasi,
sebagai Wakil Sekretaris merangkap anggota.
2) Fungsi
Badan Cengkeh Nasional berfungsi melakukan pembinaan, dan
pengawasan pelaksanaan Tata Niaga Cengkeh serta membantu pemerintah
melalui Menteri Perdagangan dalam perumusan kebijaksanaan tentang
55
hal-hal yang berkaitan dengan masalah percengkehan.30 Dalam
melaksanakan fungsinya Badan Cengkeh Nasional memperhatikan saran-
saran dari pihak-pihak terkait antara lain para ahli dari Lembaga
Pergutuan Tinggi atau lembaga lainnya.
3) Tugas
Dalam menjalankan fungsinya, Badan Cengkeh Nasional
mempunyai tugas sebagai berikut :
a) Membina dan mengkoordinasikan pihak-pihak yang terkait dalam Tata
Niaga Cengkeh.
b) Melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan kebijaksanaan Tata
Niaga Cengkeh.
c) Memberikan saran-saran kepada Menteri Perdagangan mengenai :
− Harga Dasar Pembelian Cengkeh dari Petani oleh KUD.
− Harga Penyerahan Cengkeh dari BPPC kepada Pabrik Rokok
Kretek atau pemakai lainnya.
− Upaya-upaya meningkatkan taraf hidup petani cengkeh melalui
peningkatan efisiensi produksi serta pengolahannya, dan
penyelarasan pengadaan cengkeh dengan kebutuhan konsumsi
komoditi tersebut.
30 Ibid.,
56
d) Menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatannya dan pelaksanaan
Tata Niaga Cengkeh Hasil Produksi Dalam Negeri minimal 3 (tiga)
bulan sekali kepada Menteri Perdagangan.31
b. Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC)
Pembentukan BPPC merupakan bentuk campur tangan pemerintah
dalam menangani masalah cengkeh di Indonesia. Pada tahun 1980-an cengkeh
menjadi komoditas primadona bagi petani di Indonesia, karena harga jualnya
yang tinggi dan mempunyai prospek yang bagus kedepannya. Hal tersebut
menjadi salah satu faktor mengapa pemerintah merasa perlu ikut andil untuk
tujuan-tujuan tertentu. Pada akhir kepemimpinan Orde Baru suasana
pemerintahan di Indonesia memang bisa dikatakan tidak sehat, kesenjangan
sosial dan praktik kapitalisme sangat dirasakan masyarakat. Kebijakan-
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah cenderung dipaksakan, dan sudah
dipersepsikan untuk kepentingan golongan tertentu. Golongan-golongan
tertentu juga mendominasi pemerintahan ataupun perekonomian Indonesia,
sehingga bisa dikatakan bahwa praktik-praktik kolusi berjalan subur pada
periode tersebut.32 Wewenang BPPC dalam menangani komoditi emas
31 Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No.307/KP/XII/1990 Tentang Pembentukan Badan Cengkeh Nasional (BCN), KoleksiArsip Nasional Republik Indonesia, Departemen Perindustrian dan Perdagangan Th1963-1997 No. 1245
32 Jusuf Wanandi, Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia1965-1998, (Jakarta: Kompas, 2014), hlm. 152
57
pertanian atau cengkeh, presiden Soeharto mempercayakan sepenuhnya
kepada putranya Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto sebagai ketua.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, BPPC adalah
lembaga/badan yang dibentuk atas dasar usaha bersama yang anggotanya
terdiri dari unsur koperasi, BUMN dan Swasta, ditunjuk oleh pemerintah
sebagai pelaksana tata niaga cengkeh untuk melakukan kegiatan pembelian,
penyanggaan, penjualan cengkeh dan stabilisasi harga cengkeh di tingkat
petani.33 Peran dan tugas BPPC telah dijelaskan dalam Keputusan Menteri
Perdagangan Republik Indonesia No. 306/KP/XII/1990 berkaitan dengan
pelaksanaan tata niaga cengkeh hasil produksi dalam negeri. Peraturan tata
niaga cengkeh yang dikeluarkan tahun 1990 tersebut menetapkan BPPC
sebagai pelaksana penuh tata niaga cengkeh di Indonesia. Peraturan tersebut
menggantikan peraturan yang lama yaitu Keputusan Menteri Perdagangan dan
Koperasi Nomor 28/KP/I/1980 tentang pelaksanaan tata niaga cengkeh
produksi dalam negeri.
BPPC mengoptimalkan peran KUD dalam melaksanakan
tugasnya, terutama untuk berinteraksi dengan petani cengkeh. KUD yang
dimaksud adalah Koperasi Unit Desa di daerah produksi cengkeh yang
33 Rini Kustiani, dkk., “Cengkeh Tak Lagi berbunga”, Majalah Tempo, 19Oktober 2008, Koleksi Perpustakaan Pusat UNS,82
58
setelah diseleksi oleh Tim Teknis Daerah Tingkat II34, ditetapkan oleh Kantor
Departemen Koperasi untuk melakukan pembelian cengkeh langsung dari
petani. Pembelian cengkeh dari petani hanya dilakukan oleh KUD yang sudah
dapat melaksanakan fungsinya, dan dilaksanakan di 14 daerah produksi utama
cengkeh, yaitu; D.I. Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu,
Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Bali,
Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Maluku. Sementara
pembelian cengkeh dari petani bagi daerah-daerah lain di luar daerah tersebut
hanya dilakukan oleh BPPC.35
1) Kegiatan
BPPC ditunjuk sebagai pelaksana tata niaga cengkeh untuk
melakukan kegiatan :
a) Pembelian seluruh hasil produksi cengkeh dari petani melalui KUD.
b) Penjualan cengkeh pada Pabrik Rokok Kretek (PRK) atau pemakai
lainnya.
c) Penyanggaan dan stabilisasi harga cengkeh ditingkat petani.
BPPC dalam melakukan kegiatannya dapat menunjuk Pusat
Koperasi Unit Desa (PUSKUD), Pedagang Antar Pulau Cengkeh (PAP-
C), Pedagang Antar Daerah Cengkeh (PAD-C), Pedagang Cengkeh Lokal
34 Tim Teknis Daerah (TTD) adalah aparat yang melakukan fungsi dantugas Badan Cengkeh Nasional di daerah.
35 Tata Niaga Cengkeh (Keppres No. 20 Tahun 1992) oleh Redaksi,(Jakarta: Sinar Grafika, 1992), hlm. 40
59
(PCL) sebagai pelaksana BPPC di propinsi yang bersangkutan. BPPC
wajib mendaftarkan pelaksana yang telah ditunjuk kepada Kantor Wilayah
Departemen Perdagangan atau Kantor Departemen Perdagangan sesuai
dengan wilayah kegiatan BPPC. 36
BPPC sangat ketat dalam mengawasi segala bentuk peredaran
cengkeh, baik antar daerah hingga antar pulau. Hal ini terbukti dengan
adanya peraturan-peraturan khusus, antara lain; Kegiatan perdagangan
antar pulau maupun perdagangan antar daerah untuk komoditi cengkeh
hanya dapat dilakukan oleh BPPC; Pengangkutan antar pulau untuk
komoditi cengkeh harus disertai dengan SIPAP-C; Pengangkutan antar
daerah untuk komoditi cengkeh harus disertai dengan SKA-C. SIPAP-C
dan atau SKA-C diterbitkan oleh Kantor Wilayah Departemen
Perdagangan atau Kantor Departemen Perdagangan di daerah produksi
cengkeh dan berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia; SIPAP-C dan atau
SKA-C merupakan Surat Keterangan Jalan yang digunakan sebagai bukti
bahwa BPPC telah membayar SRC dan kewajiban lainnya.37
2) Penetapan Harga Cengkeh
36 Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No.306/KP/XII/1990 Tentang Pelaksanaan Tata Niaga Cengkeh Hasil Produksi DalamNegeri, Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia, Departemen Perdagangan danPerindustrian Th 1963-1997 No. 244
37 Ibid.,
60
Pembelian cengkeh dari petani langsung dilakukan oleh KUD
dengan harga dasar yang ditetapkan oleh pemerintah melalui Menteri
Perdagangan dan wajib dibayar secara tunai. Selain itu, harga pembelian
cengkeh oleh BPPC serta harga penyerahan kepada PRK atau pemakai
lainnya juga ditetapkan oleh Menteri Perdagangan. Penetapan harga
pembelian cengkeh dari petani oleh KUD didasarkan pada standar mutu
cengkeh yang diperdagangkan.38 Sedangkan pengujian mutu dan berat
untuk cengkeh yang diperdagangkan dilakukan oleh surveyor yang
ditunjuk oleh Menteri Perdagangan. Harga pembelian cengkeh dari KUD
oleh BPPC adalah harga dasar ditambah dana penyertaan KUD dalam
BPPC dan imbal jasa KUD. Dana penyertaan KUD dalam BPPC diatur
dan dikelola oleh BPPC. Sementara untuk melakukan pembelian cengkeh
dari petani, KUD dapat menggunakan dana yang bersumber dari modal
sendiri, kredit perbankan atau dari BPPC.39
38 Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor :23/KP/I/1991 Tentang Penetapan Harga Dasar Cengkeh, Harga Pembelian CengkehDari Petani, Harga Pembelian Cengkeh Dari KUD Dan Harga Penyerahan BPPC,Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia, Derpartemen Perindustrian danPerdagangan No. 1246
39 Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No.306/KP/XII/1990 Tentang Pelaksanaan Tata Niaga Cengkeh Hasil Produksi DalamNegeri, Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia, Departemen Perdagangan danPerindustrian Th 1963-1997 No. 244
61
5. Peran BPPC dalam mengelola cengkeh di Kecamatan Jatiyoso
BPPC menjalankan tugas dan perannya sesuai dengan apa yang diatur
dalam Keputusan Menteri Perdagangan RI No. 306/KP/XII/1990 dan berlaku
untuk seluruh wilayah Indonesia. Kecamatan Jatiyoso secara administratif
termasuk ke dalam daerah pemerintahan Kabupaten Karanganyar, Propinsi Jawa
Tengah. Menurut tata niaga cengkeh yang berlaku, Kecamatan Jatiyoso termasuk
ke dalam 14 daerah produksi utama cengkeh di Indonesia, karena Kecamatan
Jatiyoso termasuk ke dalam daerah administratif Propinsi Jawa Tengah. Menurut
peraturan yang berlaku pula, pembelian cengkeh dari petani hanya dilakukan oleh
KUD yang telah ditunjuk langsung oleh BPPC. Untuk wilayah Jatiyoso, KUD
yang ditunjuk untuk melakukan pembelian langsung dari petani adalah KUD
Margomulyo yang terletak di Desa Margorejo, Kecamatan Jatiyoso.
Gambar. 3Kantor KUD Margomulyo Jatiyoso Tahun 1990Sumber : Koleksi KUD Margomulyo, Jatiyoso
62
Koperasi menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 1967, tentang
pokok-pokok koperasi adalah “Organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial,
beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi yang merupakan tata
susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”.
Tujuan utama dari koperasi adalah meningkatkan taraf hidup anggota.40
Keberadaan koperasi diharapkan dapat menjadi soko guru atau tulang punggung
pereonomian Indonesia. Menurut Sri-Edi Swasono koperasi secara utuh mengisi
baik tuntutan konstitusioal dan secara strategis mengisi tuntutan pembangunan.41
KUD Margomulyo berdiri pada tanggal 1 Desember 1976 dengan
memperoleh pengesahan dari pemerintah dengan Badan Hukum Nomor:
9002/BH/VI Tanggal 21 Januari 1977. KUD bercikal bakal dari Badan Usaha
Unit Desa (BUUD) sejak tahun 1974, dan kemudian sejalan dengan
kebijaksanaan pemerintah, BUUD dirubah menjadi Koperasi Unit Desa (KUD). 42
Seperti halnya koperasi di daerah produksi cengkeh lainnya, KUD Margomulyo
berperan untuk melakukan pembelian cengkeh langsung dari petani. Peraturan
yang ditetapkan pemerintah mengharuskan petani cengkeh di Jatiyoso menjual
40 Ninik Widianti dan Y.W Sunindia, Koperasi dan PerekonomianIndonesia, (Jakarta: Rineka Cipta,1998), hlm.10
41 Sri-Edi Swasono, Koperasi di dalam Orde ekonomi Indonesia, (Jakarta :UI Press, 1985), hlm. 157
42 KUD Margomulyo, Profil KUD Margomulyo, (Karanganyar: KUDMargomulyo, 2006), hlm. 2
63
hasil panen cengkehnya hanya kepada KUD Margomulyo. Cengkeh yang
dihimpun dari hasil pembelian dari petani oleh KUD Margomulyo, kemudian
hanya boleh dijual kepada BPPC.
Pengurus KUD Margomulyo menyetorkan hasil pembelian
cengkehnya ke daerah Palur, Karanganyar, disana terdapat gudang penyimpanan
cengkeh milik BPPC yang mengumpulkan hasil cengkeh di wilayah Kabupaten
Karanganyar. Selanjutnya, perwakilan BPPC Propinsi Jawa Tengah dari
Semarang yang akan mengambil dan mendistribusikannya melalui lelang dengan
pabrik-pabrik rokok kretek. Menurut peraturan yang berlaku, perpindahan
cengkeh dari daerah ke daerah lain harus di sertai Surat Keterangan Asal Cengkeh
(SKA-C) sebagai surat keterangan jalan. Untuk mengurus SKA-C di wilayah
Kabupaten Karanganyar, KUD Margomulyo bersama KUD lainnya dapat
mengurusnya di Kantor Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi
(DISPERINDAGKOP) Kabupaten Karanganyar.43
B. Perkembangan Perkebunan Cengkeh Rakyat Kecamatan Jatiyoso
Tahun 1999-2011
Kerusuhan dan krisis ekonomi yang terjadi di tahun 1998 mengantarkan
lengsernya Soeharto dari kursi Kepresidenan. Perekonomian Indonesia yang sempat
membaik kembali terpuruk bersama dengan pergantian pemerintahan yang baru.
Pasca pemerintahan orde baru sistem ekonomi yang diterapkan di Indonesia adalah
43 Wawancara dengan Wagiman tanggal 26 April 2016
64
sistem ekonomi kerakyatan. Ekonomi kerakyatan adalah suatu sistem ekonomi yang
memihak kepada kepentingan ekonomi sebagian besar rakyat secara adil, manusiawi,
dan demokratis. Kepentingan ekonomi sebagian besar rakyat itu terdapat dalam
kehidupan petani, nelayan, buruh, pedagang kecil (sektor informal), para penganggur,
dan kaum papa.44 Perekonomian Indonesia yang merosot, sepanjang tahun 2000
tumbuh 3-4 % di era kepemimpinan Gus Dur.45
1. Luas Areal Perkebunan Cengkeh Rakyat Kecamatan Jatiyoso
Pasca pengelolaan cengkeh oleh BPPC, luas areal perkebunan cengkeh
rakyat di Kabupaten Karanganyar susut signifikan.46 Seperti yang telah
dijelaskan, periode tahun 1990-an adalah periode kelam bagi perkebunan cengkeh
di Indonesia. Pembabatan pohon cengkeh produktif oleh para petani berdampak
berkurangnya areal perkebunan cengkeh di wilayah Karanganyar, termasuk
Jatiyoso. Pembabatan ratusan pohon cengkeh produktif juga terbukti
menghilangkan produksi cengkeh di beberapa daerah penghasil cengkeh di
kabupaten Karanganyar. Daerah andalan penghasil cengkeh tersisa Kecamatan
Jatiyoso dan Kecamatan Ngargoyoso, dari 12 daerah yang semula merupakan
daerah produksi cengkeh di Kabupaten Karaganyar. Sementara produksi rata-rata
terbanyak secara umum masih terdapat di Kecamatan Jatiyoso.
44 Ishak Rafick, Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia: Jalan BaruMembangun Indonesia, (Jakarta: Ufuk Press, 2009), hlm. 247
45 Ibid.,hlm. 356
46 Kurniawan, “Lahan Cengkeh di Jatiyoso Susut Signifikan”,Solopos.com, Senin 03 September 2012
65
Tabel. 11
Luas Areal Perkebunan Cengkeh Rakyat Kecamatan Jatiyoso
Tahun 1999-2011
Tahun Luas Areal (ha)
1999 475,35
2000 475,35
2001 485,60
2002 405,47
2003 405,47
2004 475,885
2005 440,735
2006 466,89
2007 416,99
2008 307,15
2009 307,15
2010 405,25
2011 405,25
Sumber: Arsip Laporan Tahunan Dinas Perkebunan Karanganyar
Data luas areal perkebunan cengkeh rakyat Kecamatan Jatiyoso yang
terdapat pada Tabel. 11 menunjukkan luas areal perkebunan cengkeh rakyat di
Kecamatan Jatiyoso relatif stabil. Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat
Jatiyoso masih merawat kebun cengkeh mereka. Sementara di Kecamatan lain
luas areal perkebunan cengkeh semakin susut, tanaman cengkeh di Jatiyoso masih
aktif dibudidayakan. Pada periode ini, petani banyak yang mengganti tanaman
cengkeh yang sudah tidak produktif dengan tanaman baru. Bibit-bibit cengkeh
66
juga mudah didapat di pasar dengan harga yang sangat terjangkau yaitu < Rp
5.000. Berbeda dengan periode tahun 1970-an, yang sebagian besar bibit
didatangkan dari daerah Purwokerto. Pada periode ini pemerintah daerah juga
lebih intensif membina para petani cengkeh di Jatiyoso dengan menyediakan bibit
unggul, mengingat daerah Jatiyoso adalah wilayah potensial penghasil cengkeh di
Kabupaten Karanganyar. Namun, pada tahun 2011 pohon cengkeh yang
dibudidayakan banyak yang mati atau hidup namun tidak menghasilkan, karena
terjangkit virus BPKC.47
2. Produksi Cengkeh Kecamatan Jatiyoso
Pembangunan pertanian di masa reformasi ternyata masih menjumpai
permasalahan yang muncul. Meski diakui keberhasilannya, tapi pembangunan
pertanian masih menyimpan masalah. Keadaan ini terutama diakibatkan oleh
kebijakan nasional yang terlalu berorientasi pada pencapaian produksi tinggi, dan
lebih mengutamakan pada pengembangan industri padat modal. Akibatnya, sektor
pertanian pedesaan realitif dikesampingkan.48 Salah satu bentuk dukungan
pemerintah dalam pengembangan komoditas perkebunan dengan adanya bantuan
47 Wawancara dengan Sunarto tanggal 6 Juni 2016
48 Gunawan Sumodiningrat, Membangun Perekonomian Rakyat,(Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1998), hlm. 80
67
kredit melalui program revitalisasi perkebunan. Program tersebut memiliki
peranan penting dalam meningkatkan produksi dan produktivitas perkebunan.49
Selepas BPPC dibubarkan pada tahun 1998, harga cengkeh mulai
merangkak naik. Harga cengkeh bahkan dapat naik sampai dengan Rp 100.000
per kilogram dalam kurun waktu 3-4 tahun. Kenaikan harga tersebut membuat
para petani cengkeh di Jatiyoso mulai merawat kembali tanaman cengkeh mereka.
Hal ini dikarenakan peningkatan produktivitas tenaga kerja pertanian harus
didukung sepenuhnya dengan peningkatan nilai tukar komoditi pertanian.50 Akan
tetapi, penebangan dan pembakaran masal pohon cengkeh di Jatiyoso pada
periode tahun 1990-an masih berdampak pada produktivitas cengkeh di
Kecamatan Jatiyoso. Pembakaran di atas lahan produktif sangat merugikan
lingkungan yang berdampak pada tingkat kesuburan tanah.51 Upaya yang
dilakukan petani dalam mengembangkan potensi cengkeh tidak dapat
memulihkan produksi cengkeh secara langsung.
49 Suwarto, dkk., Top 15 Tanaman Perkebunan, (Jakarta: PenebarSwadaya, 2014), hlm. 15
50 Gunawan Sumodiningrat, Membangun Perekonomian Rakyat,(Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1998), hlm. 41
51 Suwarto, dkk.,op.cit., hlm. 20
68
Tabel. 12
Produksi Cengkeh Perkebunan Cengkeh Rakyat Kecamatan Jatiyoso
Tahun 1999-2011
Tahun Produksi (kg) Produksi Rata-Rata(kg/ha)
1999 4.644 11,6
2000 34.427 72,4
2001 90.072 225
2002 69.304 197,83
2003 95.000 272
2004 48.902 139
2005 52.070 139
2006 50.600 144
2007 52.050 149
2008 7.000 24,67
2009 53.300 188
2010 69.700 241
2011 21.780 75
Sumber: Arsip Laporan Tahunan Dinas Perkebunan Karanganyar
Data yang terdapat pada Tabel. 12 menunjukkan produksi cengkeh
Kecamatan Jatiyoso mulai mengalami dinamika, yaitu mengalami peningkatan
pada awal tahun 2000-an, kemudian mulai mengalami penurunan pada tahun
2011. Pada awal tahun 2000 harga cengkeh kembali naik sesuai dengan harga
pasar bebas, petani cengkeh mulai merawat kembali tanaman cengkeh mereka
sehingga produksinya semakin naik. Petani cengkeh juga mulai mengembangkan
bibit pohon cengkeh sendiri dengan cara penyemaian biji cengkeh yang tua
dengan metode tampak.
69
Segala bentuk usaha pertanian sangat bergantung dengan alam.52
Kondisi cuaca yang tidak stabil dapat mempengaruhi produksi cengkeh. Pada
tahun 2008, produksi cengkeh di Kecamatan Jatiyoso menurun cukup drastis,
yaitu hanya 7.000 kg dengan produksi rata-rata 24,67 kg/ha. Penurunan tersebut
sangat signifikan, karena produksi cengkeh turun sebanyak 45.050 kg dari tahun
sebelumnya. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya adalah
kondisi cuaca yang ekstrim. Kemarau yang berkepanjangan dapat menurunkan
produktivitas tanaman cengkeh. Faktor lain adalah karena adanya pengurangan
lahan cengkeh yang cukup besar. Pada tahun 2008 terjadi pengurangan pohon
cengkeh di Kecamatan Jatiyoso yang cukup besar yaitu 109,84 ha.53
Pendirian tempat-tempat penyulingan (destilasi) minyak daun cengkeh
diberbagai tempat di Jatiyoso juga berpengaruh terhadap pembungaan tanaman
cengkeh. Daun cengkeh yang disuling seharusnya hanya daun-daun cengkeh yang
gugur saja. Pada bulan-bulan tertentu, antara lain pada saat daun (pucuk) mulai
membentuk bakal bunga sampai menjelang pemetikan bunga, pembentukan daun
muda sangat terbatas dan karenanya daun yang gugur pun sangat terbatas.
Sementara perusahaan-perusahaan destilasi minyak dari daun sukar dihentikan
52 Kaslan A. Tohir, Seuntai Pengetahuan tentang Usaha Tani Indonesia,(Jakarta: PT. BINA AKSARA, 1983), hlm. 88
53 Kabupaten Dalam Angka Tahun 2008, Badan Pusat StatistikKaranganyar
70
terlalu lama. Akibatnya, sering terjadi pengaruh yang sangat buruk bagi
pembungaan karena adanya perompesan daun.54
Pada tahun 2011 tanaman cengkeh di wilayah Karanganyar mulai
terjangkit virus Bakteri Pembuluh Kayu Cengkeh (BPKC) yang mengakibatkan
penurunan produksi cengkeh yang cukup drastis.55 Virus BPKC menyebar sangat
cepat sehingga ribuan pohon cengkeh di wilayah Karanganyar banyak yang mati.
Virus tersebut juga menyerang tanaman cengkeh di Kecamatan Jatiyoso dan
mengakibatkan penurunan produksi cengkeh. Produksi cengkeh di tahun 2011
menurun hingga angka 21.780 kg dengan produksi rata-rata sebesar 75 kg/ha.
Pasca terjangkit virus BPKC produksi cengkeh di Kecamatan Jatiyoso sangat
memprihatinkan. Daerah sentra cengkeh di Kabupaten Karanganyar yang mampu
bertahan dari BPPC tersebut hanya mampu menghasilkan 69,70 kg.
3. Sistem Pengelolaan Hasil Panen Cengkeh
BPPC resmi dibubarkan pada tahun 1998 melalui Keppres RI No.21
Tahun 1998 tentang perdagangan cengkeh. BPPC dibubarkan karena terjerat
kasus dugaan korupsi yang menetapkan Hutomo Mandala Putra (Tommy
Soeharto) sebagai tersangka.56 BPPC terbukti tidak dapat berfungsi sebagaimana
54 Toyib Hadiwijaya, Cengkeh: Data dan Petunjuk ke Arah Swasembada,(Jakarta: PT. Gunung Agung, 1986), hlm. 128
55 Wawancara dengan Sunarto tanggal 6 Juni 2016
56 Rini Kustiani, dkk., “Cengkeh Tak lagi Berbunga”, Majalah Tempo, 19Oktober 2008, Koleksi Perpustakaan Pusat UNS, hlm. 82
71
yang diharapkan yaitu menyangga harga cengkeh dalam negeri, hingga akhirnya
hutang menumbangkan BPPC. GAPPRI sebagai konsumen utama cengkeh,
membeli cengkeh dari BPPC dengan jumlah yang sedikit, sehingga BPPC
terpaksa melakukan pinjaman uang dari Kredit Likuidasi Bank Indonesia (KLBI)
hingga miliaran rupiah.57 Hal tersebut mengakibatkan terjadinya penumpukan
hutang piutang dalam BPPC sampai dengan pembubarannya. Bahkan, simpanan
wajib bagi petani cengkeh yang dihimpun melalui KUD di tiap-tiap daerah yang
sempat diterapkan oleh BPPC di masa tugasnya tidak dapat dikembalikan kepada
para petani cengkeh. Akhirnya, kasus tersebut berhenti pada tahun 2008 dengan
alasan BPPC telah membayarkan hutangnya kepada sejumlah bank yang dulu
telah mengucurkan kredit.58
Setelah BPPC dibubarkan mekanisme penjualan cengkeh di Indonesia
kembali seperti semula sebelum BPPC dibentuk pada tahun 1990, yaitu sistem
liberal atau sistem pasar bebas. Petani cengkeh kembali dihadapkan dengan para
konsumen/perusahaan-perusahaan rokok, para tengkulak dan para penadah tanpa
ada perantara yang menjembatani seperti halnya BPPC. Harga yang berlaku juga
didasarkan oleh harga pasar yang tinggi rendahnya tidak dapat ditetapkan begitu
saja melainkan disesuikan dengan permintaan pasar. Begitu juga dengan para
petani cengkeh di Jatiyoso, yang bebas menjual bunga cengkeh mereka sesuai
57 Bambang Aji, dkk., “Pertarungan yang Sangat Mahal”, Majalah Tempo,14 Desember 1991, Koleksi Perpustakaan Pusat UNS, hlm. 24
58 Rini Kustiani, dkk.,op.cit., hlm. 83
72
dengan minat petani. Terdapat beberapa pilihan bagi petani yang hendak menjual
hasil panen cengkehnya, antara lain dapat melalui KUD Margomulyo yang masih
melakukan pembelian cengkeh, ataupun pengepul di Pasar Jatiyoso.59
Setelah BPPC dibubarkan pada tahun 1998, KUD Margomulyo masih
melakukan pembelian cengkeh dari petani, meskipun petani sudah tidak
diwajibkan menjual cengkehnya kepada KUD. Cengkeh hasil pembelian yang
dilakukan oleh KUD sudah tidak dijual kepada BPPC, melainkan kepada
konsumen cengkeh secara langsung yaitu perusahaan-perusahaan yang
menggunakan cengkeh seperti pabrik rokok. KUD masih dapat memasarkan
cengkeh dari wilayah Jatiyoso dengan baik. Apabila cengkeh sudah terhimpun,
banyak penadah yang bersedia membeli. Hal ini tidak lain karena adanya relasi
yang terjalin kuat dengan pengusaha-pengusaha di berbagai daerah antara lain
Solo, Ponorogo dan Purwokerto.60
BPPC yang dibubarkan karena adanya dugaan korupsi di tubuh BPPC
sendiri juga berpengaruh kepada kondisi ekonomi di KUD Margomulyo. Semasa
berjalannya, BPPC banyak melakukan pinjaman uang untuk melakukan
pengelolaan cengkeh di Indonesia. Selain hutang kepada KLBI, BPPC juga
bertanggung jawab atas dana KUD yang digunakan untuk membayar biaya
diversifikasi dan konversi tanaman cengkeh karena kondisi keuangan BPPC yang
59 Wawancara dengan Darmin tanggal 7 Mei 2016
60 Wawancara dengan Wagiman tanggal 26 April 2016
73
tidak stabil. Dana KUD Margomulyo sendiri sampai BPPC dibubarkan, lebih dari
200 juta masih belum dikembalikan oleh INKUD.61
4. Serangan Penyakit Bakteri Pembuluh Kayu dan Cabang (BPKC)
Penggunaan pupuk dan pestisida kimia merupakan bagian dari
revolusi hijau guna meningkatkan hasil produksi pertanian yang maksimal.
Penggunaan pupuk dan pestisida kimia tersebut terbukti dapat meningkatkkan
hasil pertanian, akan tetapi dalam jangka panjang mempunyai dampak negatif
yang mengancam kehidupan dunia pertanian. Dampak negatif penggunaan pupuk
dan pestisida kimia ialah menurunnya kesuburan tanah. Ketergantungan
pemakaian pupuk yang semakin meningkat dan pestisida tidak manjur lagi serta
bahan kimia sintetik yang digunakan dalam pertanian telah merusak struktur,
kimia, dan biologi tanah. Penggunan bahan kimia yang berkepanjangan
berdampak kepada musnahnya berbagai organisme penyubur tanah, kesuburan
tanah merosot/tandus, tanah mengandung residu (endapan pestisida), hasil
pertanian mengandung residu pestisida, keseimbangan ekosistem rusak dan
terjadi peledakan serangan dan jumlah hama.62
Penyakit Bakteri Pembuluh Kayu Cengkeh (BPKC) merupakan salah
satu penyakit yang paling berbahaya pada tanaman cengkeh dan perlu diwaspadai,
karena dapat menyebabkan kematian tanaman. Penyakit BPKC pertama kali
61 Wawancara dengan Wagiman tanggal 26 April 2016
62 Kementrian Pertanian, Satu Dasawarsa Kelembagaan KetahananPangan di Indonesia, (Jakarta: Badan Ketahanan Pangan, 2010), hlm. 15
74
ditemukan pada tahun 1975 di Sumatra Barat, kemudian menyebar ke daerah
pertanaman cengkeh di Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan
Kalimantan Selatan. Tingkat serangan penyakit ini bervariasi tergantung pada
ketinggian tempat, musim, jenis/varietas cengkeh yang ditanam di lingkungan
tempat tumbuh.63
Penyakit BPKC disebabkan oleh bakteri Pseudomonas syzygii yang
hidupnya sangat spesifik dalam pembuluh kayu tanaman cengkeh (akar, batang,
cabang dan ranting). Penyebaran penyakit ini sangat cepat, dan cakupan
serangannya sangat luas. Di wilayah Karanganyar, penyakit BPKC mulai
terindikasi pada tahun 2011.64 Keberadaan penyakit ini mengakibatan banyak
pohon cengkeh yang mati di sejumlah daerah penghasil cengkeh di Kabupaten
Karanganyar, termasuk Kecamatan Jatiyoso pada tahun 2011.
a. Gejala Serangan
1) Gejala Luar
Pohon cengkeh yang teridentifikasi terjangkit penyakit ini
dapat diketahui dari kondisi luar tanamannya yaitu, terjadinya mati ranting
di bagian pucuk tajuk tanaman, dimulai dengan gejala kelayuan daun
kemudian daun mengering dan gugur. Gugurnya daun dapat beberapa
minggu atau bulan. Seringkali tanaman mendadak layu, sehingga daun
63 Direktorat Jenderal Perkebunan, Buku Operasional Pengendalian HamaTerpadu Penyakit Bakteri Pembuluh Kayu Cengkeh, (Jakarta: Departemen Pertanian,1992)
64 Wawancara dengan Sunarto tanggal 6 Juni 2016
75
kering tetap tergantung untuk beberapa waktu. Kematian tanaman di
lapang dapat terjadi dalam waktu singkat (3-12 bulan) atau lambat (3-6
tahun) sejak tanaman terinfeksi. Kadang-kadang selama masa tersebut
dapat terbentuk daun muda dan kuncup bunga pada bagian tanaman yang
belum terinfeksi.65
2) Gejala Dalam Bagian Tanaman Sakit
Tanaman cengkeh yang telah terjangkit penyakit ini juga dapat
dideteksi dari bagian dalam tanaman. Pada bagian batang/cabang/ranting
dan atau bagian akar tanaman yang terinfeksi bakteri yang daunnya telah
gugur, apabila dijepit dengan tang keluar cairan kental berwarna putih
susu sampai kecoklat-coklatan dan berbau khas yang merupakan eksudat
bakteri P. syzygii. Penyakit BPKC juga dapat dideteksi dari batang,
apabila bagian kayu dari batang/cabang/ranting tanaman yang terserang
dipotong, akan terlihat garis-garis vertikal yang berwarna abu-abu
kecoklatan yang menandakan bagian kayunya sudah mati.66
b. Penularan Penyakit
Penularan penyakit BPKC dapat melalui beberapa faktor, antara
lain; 1) Bakteri penyebab penyakit dapat ditularkan melalui bibit tanaman
terserang, melalui pelukaan akar dan bagian tanaman karena penggunaan alat-
alat pertanian yang telah terinfeksi. 2) Perantaraan serangga vektor Hindola
65 Direktorat Jenderal Perkebunan, loc.cit.,
66 Ibid.,
76
sp. yang berukuran kecil seperti wereng (serangga dewasa berukuran ± 4mm).
Terdapat dua jenis Hindola yaitu H. striata dan H. fulva. Adanya serangga
Hindola sp. pada tanaman cengkeh terserang BPKC merupakan sumber
penularan alami yang utama, sedangkan tanaman cengkeh terserang tersebut
merupakan sumber inokulum bagi tanaman sehat disekitarnya.
c. Pengendalian
Tindakan pengendalian penyakit BPKC yang lebih baik adalah
berupa pencegahan bagi daerah penanaman baru yang belum terdapat
penyakit BPKC yaitu dengan menggunakan benih sehat (berasal dari tanaman
sehat pada areal bebas BPKC). Pengendalian penyakit BPKC dilaksanakan
dengan menerapkan sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dimulai
dengan pegamatan awal, meliputi luas awal, presentase dan tingkat serangan.
Pengendalian terpadu dilaksankan secara serentak dan masal melalui;
1) Kultur Teknis
a) Pemeliharaan tanaman, pemeliharaan kebun dan pemupukan tanaman
cengkeh yang masih sehat/belum ada gejala BPKC dilaksanakan untuk
meningkatkan daya tahan cengkeh terhadap serangan hama dan
penyakit.
b) Sanitasi kebun, mengumpulkan dan memusnahkan sisa-sisa tanaman
serta melakukan pengendalian gulma.
c) Pemupukan, menggunakan pupuk sesuai rekomendasi untuk
meningkatkan daya tahan tanaman cengkeh.
77
2) Mekanis/Eradikasi
Eradikasi tanaman yang terserang dengan cara ditebang dan
dimusnahkan, untuk mengurangi sumber inokulum. Penebangan tersebut
juga disertai dengan tanaman baru yang sehat dan bebas dari penyakit
BPKC. Akan tetapi, disarankan untuk mengganti dengan tanaman lain
yang sesuai dan menguntungkan.
3) Kimiawi
Tindakan kimiawi dilakukan bila ditemukan serangga Hindola
sp. di kebun cengkeh maka perlu dikendalikan dengan penyemprotan
insektisida berbahan aktif Karbofuran, sebanyak 3 kali berturut-turut
dengan selang waktu 1,5 bulan sekali dengan dosis 150 g/pohon.
Pengendalian penyakit BPKC dengan intensitas ringan (tajuk telah mati <
10%) melalui infus batang dengan antibiotika oxytetrasikin HCI (OTC)
dengan dosis 6 gram/liter, interval 3-4 bulan sekali yang diaplikasikan
pada tanaman yang terserang dan tiga baris tanaman di sekitarnya.67
67 Ibid.,
top related