bab iii strategi penerjemahan - abstrak.uns.ac.id · penyusutan dan perluasan, penambahan,...
Post on 10-Sep-2019
116 Views
Preview:
TRANSCRIPT
79
BAB III
STRATEGI PENERJEMAHAN TAMYI><Z (DISTINCTIVE)
Penerjemahan merupakan aktivitas pengalihbahasaan teks dari Bahasa
Sumber (BSu) menuju Bahasa Sasaran (BSa) dengan berusaha mencari padanan
yang paling tepat, maka diperlukan strategi untuk mencapai tujuan tersebut.
Berdasarkan pengamatan peneliti terhadap objek material penelitian yaitu buku
At-Tibyān fi> Ādābi Chamalatil-Qur’a>n (TACQ) dan terjemahannya yang berjudul
At-Tibyān Adab Penghafal Al-Qur`an, peneliti menemukan 39 data tamyi>z beserta
terjemahannya. Pada bab ini akan dijelaskan mengenai strategi penerjemahan
yang digunakan oleh penerjemah dalam menerjemahkan tamyi>z tersebut.
Adapun dalam menerjemahkan tamyi>z ini, penerjemah menerapkan
strategi struktural dan strategi semantis sebanyak 70 kali. Penerapan strategi ini
tersebar di seluruh data dan banyak mengalami pengulangan dalam penerapannya.
Ditemukan pula penerapan strategi yang berbeda pada data yang memiliki
kemiripan pesan.
Secara garis besar strategi penerjemahan yang diterapakan oleh
penerjemah dalam menerjemahkan tamyi>z ini dibagi menjadi dua, yaitu strategi
struktural dan strategi semantis. Penerjemah menerapkan strategi struktural
sebanyak 25 kali dengan prosentase 35,71% sedangkan penerapan strategi
semantis sebanyak 45 kali dengan prosentase 64,29%. Dengan demikian,
penerapan strategi semantis memiliki porsi yang lebih banyak dibandingkan
dengan strategi struktural. Berdasarkan fakta ini pula dapat disimpulkan bahwa
80
penerjemah lebih mengutamakan aspek semantis atau makna dibandingkan aspek
struktural dalam penerjemahannya dengan maksud agar pesan bisa tersampaikan
dengan baik kepada masyarakat BSa. Prosentase dari penerapan kedua strategi
tersebut dapat dilihat pada diagram 3.1. di bawah ini.
Diagram 3.1. Strategi Penerjemahan Tamyi>z
Strategi penerjemahan menurut Suryawinata (2003) terbagi menjadi dua
macam strategi, yakni strategi struktural dan strategi semantis. Adapun strategi
struktural terdiri dari tiga macam, yakni strategi penambahan, strategi
pengurangan, dan strategi transposisi. Sedangkan strategi semantis terdiri dari
sembilan strategi, yakni strategi pungutan, strategi padanan budaya, strategi
deskriptif dan analisis komponensial, strategi sinonim, strategi terjemahan resmi,
strategi penyusutan dan perluasan, strategi penambahan, strategi penghapusan,
dan strategi modulasi.
Strategi
Struktural
35,71%
Strategi
Semantis
64,29%
Strategi Penerjemahan
81
Berikut tabel 3.1. mengenai strategi-strategi penerjemahan yang
diterapkan penerjemah dalam menerjemahkan tamyi>z.
No Jenis Strategi Penerjemahan Jumlah
Item(*)
Prosentase
(%)
A. Strategi Struktural
1. Penambahan 0 0
2. Pengurangan 0 0
3. Transposisi 25 35,71
Total penerapan Strategi Struktural 25 35,71
B. Strategi Semantis
1. Pungutan 9 12,86
2. Padanan Budaya 0 0
3.1. Padanan Deskriptif 1 1,43
3.2. Analisis Komponensial 4 5,71
4. Sinonim 19 27,14
5. Terjemahan Resmi 0 0
6.1. Penyusutan 0 0
6.2. Perluasan 1 1,43
7. Penambahan 8 11,43
8. Penghapusan 2 2,86
9. Modulasi 1 1,43
Total penerapan Strategi Semantis 45 64,29
Total 70 100
(*) Data yang sering muncul
Tabel 3.1. Strategi Penerjemahan Tamyi>z
Pada tabel 3.1. di atas, strategi penerjemahan struktural yang paling
banyak diterapkan oleh penerjemah adalah strategi struktural-transposisi, yaitu 25
data (35,71%). Strategi ini banyak diterapkan karena struktur dalam BSu harus
disesuaikan dengan struktur dalam BSa, sehingga diperlukan pengubahan agar
menjadi berterima dalam BSa.
82
Adapun strategi penerjemahan semantis yang paling banyak diterapkan
oleh penerjemah adalah strategi semantis-sinonim, yaitu 19 data (27,14%).
Penerapan strategi ini menjadi dominan karena penerjemah perlu mencari padanan
kata yang sesuai untuk menerjemahkan kata yang befungsi sebagai tamyi>z dalam
BSu ke dalam BSa tanpa mengganggu alur kalimat dalam BSa. Kemudian
penerjemah tidak menerapkan strategi terjemahan resmi, padanan budaya dan
penyusutan dikarenakan tidak adanya istilah khusus/istilah budaya atau singkatan
dalam BSu yang harus diterjemahkan ke dalam BSa menurut kaidah baku dalam
BSa.
Sebagaimana yang telah disebutkan pada Bab I berdasarkan pengamatan
peneliti, 14 prosedur penerjemahan Newmark (1988) memiliki kesamaan fungsi
dengan 10 strategi penerjemahan Suryawinata (2003). Penjelasan data yang
menerapkan strategi-strategi penerjemahan tersebut adalah sebagai berikut.
A. Strategi Penerjemahan Struktural
Strategi penerjemahan jenis pertama adalah strategi penerjemahan
struktural. Suryawinata (2003: 67) menjelaskan mengenai strategi penerjemahan
struktural sebagai strategi yang diterapkan penerjemah berkaitan dengan struktur
kalimat. Strategi ini bersifat wajib dilakukan karena kalau tidak, hasil
terjemahannya akan tidak berterima secara struktural di dalam BSa. Struktural
yang dimaksud adalah struktur gramatikal BSa yang berlaku pada masyarakatnya.
Penerapan strategi ini adalah dengan cara menyesuaikan bentuk tamyi>z dalam
BSu dengan bentuk terjemahannya dalam BSa maupun penyesuaian posisi tamyi>z
terhadap struktur gramatikal dalam BSa (bahasa Indonesia).
83
Berdasarkan data yang ada, penerapan strategi struktural memiliki
prosentase 35,71% atau diterapkan sebanyak 25 kali dengan dengan menerapkan
strategi transposisi saja. Adapun penjelasan mengenai strategi transposisi terdapat
dalam penjelasan berikut ini.
1. Strategi Transposisi
Strategi penerjemahan ini digunakan untuk menerjemahkan klausa
atau kalimat dan bersifat kondisional (Suryawinata, 2003: 68). Dengan strategi
ini penerjemah mengubah struktur asli BSu di dalam klausa dan kalimat BSa
untuk mencapai efek yang sepadan. Pengubahan ini bisa pengubahan bentuk
jamak ke bentuk tunggal, posisi kata sifat, sampai pengubahan struktur
kalimat secara keseluruhan dan keperluan stilistika. Adapun penerapan
strategi transposisi ini terdapat pada 25 data tamyi>z. Contoh penerapannya
dapat dilihat pada data berikut.
a. Transposisi Bentuk Jamak Menjadi Tunggal
Penerapan strategi ini terdapat pada data 1 berikut.
(1) BSu :
ل يكتب من الغافلي آيت بعشر من قام
Man qa>ma bi‘asyri a>ya>tin lam yuktab minal-gha>fili>na (An-
Nawawi, 2014: 107).
BSa : Barang siapa yang shalat malam dengan membaca sepuluh ayat
maka ia tidak dicatat sebagai orang lalai (Hauro’, 2014: 61).
Pada data 1 di atas, penerjemah menerapkan strategi transposi pada
kata “آيت” a>ya>tun ‘ayat’. Kata “آيت” a>ya>tun ‘ayat’ merupakan tamyi>z
untuk menjelaskan kata “ رعش ” ‘asyru ‘sepuluh’. Gabungan antara kata
asyru ‘sepuluh’ membentuk frasa‘ ”عشر“ a>ya>tun ‘ayat’ dan kata ”آيت“
84
numeralia dengan terjemahan “sepuluh ayat”. Penerjemah menerjemahkan
bentuk jamak “آيت” a>ya>tun ‘ayat-ayat’ dengan bentuk tunggalnya yaitu
a>yatun ‘ayat’. Peneliti berpendapat bahwa pilihan penerjemah ini ”أية“
adalah tepat karena dalam bahasa Indonesia pembentukan frasa numeralia
kata bilangan tidak perlu dirangkai dengan nomina dalam bentuk jamak
(Alwi, 2003: 275). Terjemahan akan menjadi tidak berterima dalam BSa
jika frasa “ آيت عشر ” ‘asyru a>ya>tin diterjemahkan dengan tetap
mempertahankan bentuk jamaknya sehingga menjadi “sepuluh ayat-ayat”.
Penerapan strategi transposisi dengan cara mengubah bentuk jamak
menjadi bentuk tunggal terdapat pada 9 tamyi>z, yaitu pada nomina-nomina
berikut: kata “ليال” laya>lun jamak dari kata “ليل” lailun diterjemahkan
dengan “hari” , kata “ تختما ” khatama>tun jamak dari kata “ختمة”
khatmatun diterjemahkan dengan “kali”, kata “ يتآ ” a>ya>tun jamak dari
kata “أية” a>yatun diterjemahkan dengan “ayat”, kata “ وجهأ ” aujuhun jamak
dari kata “وجه” wajhun diterjemahkan dengan “pendapat”, kata “مواضع”
mawa>dhi‘u jamak dari kata “موضع” maudhi‘un diterjemahkan dengan
“tempat”, kata “مرات” marra>tun jamak dari kata “مرة” marratun
diterjemahkan dengan “kali”, kata “سكتات” sakata>tun jamak dari kata
raka‘a>tun ”ركعات“ saktatun diterjemahkan dengan “tempat”, kata ”سكتة“
jamak dari kata “ركعة” rak‘atun diterjemahkan dengan “rakaat”, kata
nuskhatun diterjemahkan dengan ”نسخة“ nusakhun jamak dari kata ”نسخ“
mushaf, kata “مصاحف” masha>chifu jamak dari kata “مصحف” mushchafun
diterjemahkan dengan “mushaf”.
85
Pengubahan bentuk jamak menjadi tunggal pada tamyi>z tersebut
merupakan keharusan agar sesuai dengan susunan gramatikal BSa. Semua
tamyi>z di atas tersusun dalam frasa numeralia dan merupakan jenis tamyi>z
asma>ul a‘da>d. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa semua tamyi>z
asma>ul a‘da>d dengan bentuk jamak diterjemahkan dengan strategi
transposisi.
b. Transposisi Struktur BSu terhadap Struktur BSa
Penerapan strategi ini terdapat pada data 2 berikut.
(2) BSu :
لة ( قضاة مصر )وروى أبو عمر الكندي ف كتابه ف ختمات ع ب ر أ أنه كان يتم ف اللي
Wa rawa> Abu> Umar al-Kindiy fi> kita>bihi fi> (qudha>ti mishra) annahu ka>na yakhtimu fil-lailati arba‘a khatama>tin (An-Nawawi,
2014: 100).
BSa :
Adapun Abu> Umar al-Kindiy menyebutkan dalam kitabnya
Qudha>tu Mishra bahwa ia mengkhatamkan al-Qur’an sebanyak empat kali dalam satu malam (Hauro’, 2014: 53).
Pada data 2 di atas, penerjemah menerapkan strategi transposisi
pada klausa “ لة أربع ختمات annahu ka>na yakhtimu fil-lailati ”أنه كان يتم ف اللي
arba‘a khatama>tin dengan “bahwa ia mengkhatamkan al-Qur’an sebanyak
empat kali dalam satu malam”. Pada data di atas terlihat bahwa kata
khatama>tun “kali” merupakan tamyi>z untuk menjelaskan kata ”ختمات“
arba‘u “empat”. Gabungan dari kedua kata tersebut membentuk ”أربع“
frasa numeralia. Pada BSu, frasa “ لة fil-lailati terletak sebelum frasa ”ف اللي
numeralia “ أربع ختمات” arba‘u khatama>tin. Namun dalam terjemahannya
justru kedua frasa ini dibalik posisinya. Penerjemah meletakkan frasa
“empat kali” sebelum frasa “dalam satu malam”. Menurut peneliti,
86
pengubahan posisi ini cukup tepat karena “ أربع ختمات” arba‘u khatama>tin
adalah maf‘u>l muthlaq (keterangan cara) sedangkan “ لة fi’l-lailati ”ف اللي
adalah jar majru>r (frasa preposisi) yang menunjukkan keterangan waktu,
sehingga meletakkan keterangan cara terlebih dahulu sebelum keterangan
akan lebih mempermudah pemahaman pembaca BSa dalam konteks
kalimat ini. Menurut peneliti, pengubahan posisi ini juga disebabkan oleh
penambahan objek dalam BSa yaitu kata “al-Qur’an” sehingga frasa
numeralia “empat kali” berfungsi sebagai keterangan cara dalam aktivitas
mengkhatamkan al-Qur’an.
B. Strategi Penerjemahan Semantis
Strategi semantis adalah strategi penerjemahan yang dilakukan dengan
pertimbangan makna. Strategi ini ada yang diterapkan pada tataran kata, frase
maupun klausa atau kalimat. Suryawinta (2003: 70-76) membagi strategi
penerjemahan semantis menjadi sembilan strategi, yaitu pungutan, padanan
budaya, padanan deskriptif dan analisis komponensial, sinonim, terjemahan resmi,
penyusutan dan perluasan, penambahan, penghapusan, dan modulasi.
Adapun pada data tamyi>z yang dimiliki, penerapan strategi penerjemahan
semantis memiliki prosentase sebanyak 64,29% atau diterapkan sebanyak 45 kali.
Penerjemah menerapkan strategi semantis sebanyak 7 strategi, yaitu (1) strategi
pungutan atau prosedur naturalization (naturalisasi) dan transference
(transferensi) sebanyak 9 data (12,86%), (2) strategi padanan deskriptif
(descriptive equivalent) dan analisis komponensial (componential analysis)
sebanyak 5 data (7,18%), (3) strategi sinonim atau prosedur synonym (sinonim)
dan functional equivalent (padanan fungsi) sebanyak 19 data (27,14%), (4)
87
strategi perluasan atau prosedur expansion sebanyak 1 data (1,43%), (5) strategi
penambahan atau prosedur notes, addition, and glosses (catatan, penambahan, dan
pengurangan) dan paraprhrase (parafrase) sebanyak 8 data (11,43%), (6) strategi
penghapusan atau prosedur notes, addition, and glosses (catatan, penambahan,
dan pengurangan) dan compensation (kompensasi) sebanyak 2 data (2,86%), dan
(7) strategi modulasi atau prosedur modulation (modulasi) sebanyak 1 data
(1,43%). Adapun penjelasan mengenai 7 strategi tersebut dapat dilihat pada
penjelasan di bawah ini.
1. Strategi Pungutan
Pungutan adalah strategi penerjemahan dengan cara membawa kata
BSu ke dalam BSa. Penerjemah sekadar memungut kata dalam BSu tanpa
mengubahnya sehingga strategi ini disebut pungutan. Strategi ini dilakukan
sebagai bentuk penghargaan terhadap kosakata dalam BSu atau dikarenakan
belum ada padanan dalam BSa. Strategi ini adalah usaha menstranfer pesan
BSu dengan mengadopsi kata BSu untuk diubah menjadi bentuk kata yang
padan pada BSa (Newmark, 1988: 82; Suryawinata, 2003: 70). Penerapan
strategi ini terdapat pada data 3 berikut.
(3) BSu :
اح ل ص و ا ب س ن و ة ر ه ش ل ق أ و ان س ه ن م ر غ ص أ ان ك ن إ و وي نبغي أن ي ت واضع لمعلمه وي تأدب معه ك ل ذ ر ي غ و
Wa yanbaghi> an yatawa>dha‘a limu‘allimihi wa yata’addaba ma‘ahu wa in ka>na ashgharu minhu sinnan wa aqallu syuhratan wa nasaban wa shala>chan wa ghaira dza>lika (An-Nawawi, 2014: 88).
BSa :
Hendaknya ia rendah hati dan juga bersikap sopan terhadap
gurunya, walaupun sang guru lebih muda umurnya, tidak setenar
dirinya, tidak semulia nasab dan keshalihannya, serta lainnya
(Hauro’, 2014: 40).
88
Pada data 3 di atas, terdapat empat kata yang berfungsi sebagai tamyi>z
yaitu “ سن”sinnun, “ ةر ه ش ” syuhratun, “ بس ن ” nasabun, dan “ حصل ” shala>chun.
Keempat kata tersebut tersusun dalam klausa “ وإن كان أصغر منه سن ا وأقل شهرة و نسب ا
wa in ka>na ashgharu minhu sinnan wa aqallu syuhratan wa ”و ص ل ح ا و غ ي ر ذ ل ك
nasaban wa shala>chan wa ghaira dza>lika ‘walaupun sang guru lebih muda
umurnya, tidak setenar dirinya, tidak semulia nasab dan keshalihannya, serta
lainnya’. Penerjemah menerapkan strategi pungutan pada dua kata yang
berfungsi sebagai tamyi>z yaitu kata “ حل ص ” shala>chun ‘keshalihannya” dan
kata “ بس ن ” nasabun ‘nasab’. Pertama, kata “ حل ص ” shala>chun memiliki arti
“kebaikan atau kesalehan” (Munawwir, 1997: 788) sedangkan dalam KBBI
kata “saleh” artinya “taat dan sungguh-sungguh menjalankan agamanya”
(Suharso, 2005: 442). Penerjemah menerapkan strategi pungutan untuk
menerjemahkan kata tersebut dengan cara naturalisasi karena huruf “ص” pada
kata “ حصل ” shala>chun ditulis dengan “sha” pada kata “keshalihannya”. Kedua,
penerjemah menerapkan strategi pungutan pada kata “ بس ن ” nasabun. Kata
tersebut diterjemahkan dengan “nasab” yang berarti “keturunan” (Suharso,
2005: 333). Penerapan strategi pungutan pada kedua kata tersebut merupakan
pungutan secara alamiah dalam BSa karena kedua kata tersebut sudah familiar
di masyarakat BSa (bahasa Indonesia).
Strategi pungutan pada data data tamyi>z diterapkan penerjemah pada 9
kata yang berfungsi sebagai tamyi>z, antara lain: صلح shala>chun
(keshalihannya), بس ن nasabun (nasab), آيت a>ya>tun (ayat), آية a>yatun (ayat), سورة
su>ratun (surat), سجدة sajdatun (sajdah), مصاحف mashachifu (mushaf), ركعات
raka‘a>tun (rakaat), ملك malakun (malaikat).
89
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penerjemah
menerapkan strategi pungutan pada tamyi>z berfungsi untuk menghasilkan
terjemahan yang natural dalam BSa dengan tetap mempertahankan makna yang
terkandung dalam BSu.
2. Strategi Padanan Deskriptif dan Analisis Komponensial
Strategi padanan deskriptif adalah cara penerjemahan dengan berusaha
mendeskripsikan makna atau fungsi dari kata BSu. Strategi ini dilakukan
karena kata dalam BSu tersebut sangat terkait dengan budaya khas BSu dan
penggunaan padanan budaya dirasa tidak bisa mencapai derajat ketepatan yang
dikehendaki sehingga diperlukan tambahan deskripsi (Suryawinata, 2003: 73).
Penerapan strategi ini terdapat dalam 1 data tamyi>z. Penjelasan mengenai
strategi padanan deskriptif terdapat pada data 4 berikut.
(4) BSu :
ضم الميم وكسرها وف تحها: ات غ ل وف المصحف ثلث Wa fil-mushchafi tsala>tsu lugha>tin: dhammul-mi>mi wa kasruha> wa fatchuha> ”( An-Nawawi, 2014: 211).
BSa :
Untuk mushaf ada tiga cara pelafalannya: mushaf, mishaf, dan
mashaf (Hauro’, 2014: 193).
Pada data 4 di atas, penerjemah menerapkan strategi padanan deskriptif
dalam menjelaskan kata “ غاتل ” lugha>tun yang berkedudukan sebagai tamyi>z
diterjemahkan menjadi “cara pelafalannya”. Penerjemah melakukan deskripsi
singkat pada kata “لغات” lugha>tun untuk memberikan pemahaman kepada
pembaca mengenai makna kata tersebut dalam konteks kalimat yang ada. Kata
“ غاتل ” lugha>tun merupakan bentuk jamak dari kata “لغة” lughatun yang
artinya “bahasa” (Munawwir, 1997: 1276). Namun penerjemah
mengungkapkan terjemahan kata tersebut dari akar katanya, yaitu “لغا” lagha>
90
yang artinya “berbicara” (Munawwir, 1997: 1275). Kemudian penerjemah
mendeskripsikan kata “berbicara” tersebut dengan “cara pelafalannya” dengan
pertimbangan adanya macam-macam istilah untuk menyebut kata mushaf
setelahnya. Apabila kata “ غاتل ” lugha>tun diterjemahkan dengan bahasa, maka
rangkaian terjemahnnya menjadi “Untuk mushaf ada tiga bahasa: mushaf,
mishaf, dan mashaf”. Dari sini, pembaca akan memahami bahwa kata“mushaf,
mishaf, dan mashaf” adalah 3 kata dalam bahasa yang berbeda padahal maksud
dari BSu adalah tentang cara pengucapannya saja. Dari uraian tersebut, dapat
disimpulkan bahwa penerapan strategi padanan deskripsi dalam konteks
kalimat ini adalah tepat.
Adapun Strategi analisis komponensial adalah menerjemahkan sebuah
kata dalam BSu dengan cara menganalisis atau merinci komponen makna yang
terkandung dalam kata BSu. Strategi analisis komponensial ini digunakan
untuk menerjemahkan kata-kata umum bukan yang berkaitan dengan budaya
(Suryawinata, 2003: 73). Dalam data penelitian, peneliti menemukan 4 data
tamyi>z yang menerapkan strategi analisis komponensial dalam
penerjemahannya. Penjelasan mengenai penerapan strategi analisis
komponensial ini dapat dilihat pada data 5 berikut.
(5) BSu :
نة إل ق ي نته أذن ااهلل أشد إل الرجل السن الصوت بالقرآن من صاحب القي Alla>hu asyaddu adzanan ila’r-rajulil-chasani’sh-shauti bil-qur’a>ni min sha>chibil-qainati ila> qainatihi ( An-Nawawi, 2014: 140).
BSa :
Allah sangat senang mendengarkan seseorang yang membaca al-
Qur’an dengan suara merdu daripada seseorang yang
mendengarkan biduanitanya menyanyi (Hauro’, 2014: 105).
91
Pada data 5 di atas, penerjemah menerapkan strategi analisis
komponensial pada 2 bagian. Bagian pertama adalah pada tamyi>z yang
terangkai dalam sebuah frasa “ أذن ا أشد ” asyaddu adzanan diterjemahkan
menjadi “sangat senang mendengarkan”. Penerjemah merinci komponen
makna yang terkandung di dalam ism tafdhi>l yaitu kata “ شد أ ” asyaddu dengan
terjemahan “sangat senang”. Secara literal kata “ أشد” asyaddu memiliki arti
“lebih kuat/lebih keras” (Munawwir, 1997: 702). Namun apabila dilihat
korelasi makna kata tersebut dengan kalimat setelahnya yaitu “ إل الرجل السن
ila’r-rajulil-chasani’sh-shauti bil-qur’a>ni ‘seseorang yang ”الصوت بالقرآن
membaca al-Qur’an dengan suara merdu’ maka komponen makna yang
terkandung dalam kata “ أشد” asyaddu yang dirangkai dengan kata “ ذن اأ ”
adzanan adalah “sangat senang mendengarkan”.
Bagian kedua dari penerapan strategi analisis komponensial ini terletak
pada ungkapan “ نته نة إل ق ي sha>chibil-qainati ila> qainatihi yang ”صاحب القي
diterjemahkan menjadi “seseorang yang mendengarkan biduanitanya
menyanyi”. Kata “ نةالق ي ” al-qainatu memiliki arti “penyanyi
perempuan/biduanita” (Munawwir, 1997: 1180) maka komponen makna yang
terkandung pada seorang penyanyi adalah aktivitas menyanyi. Sehingga kata
“ ل إ ” dalam konteks kalimat ini mengandung komponen makna
“mendengarkan” sebagai sebuah aktivitas pemilik biduanita tersebut.
Kemudian penerjemah memperhatikan seluruh komponen makna yang ada
dalam ungkapan tersebut sehingga terjemahan dalam BSa adalah “seseorang
yang mendengarkan biduanitanya menyanyi”.
92
Penerapan strategi analisis komponensial pada data penelitian terdapat
pada tamyi>z yang didahului dengan ism tafdhi>l sebagaimana terdapat pada
frasa berikut: “ أقل شهرة” aqallu syuhratan ‘tidak setenar dirinya’, “أشد تأثي ر ا”
asyaddu ta’tsi>ran ‘lebih memengaruhi’, “ أذن ا أشد ” asyaddu adzanan ‘sangat
senang mendengarkan’, “أشد ت فل ت ا” asyaddu tafallutan ‘lebih cepat lepas’.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penerjemah
menerapkan strategi analisis komponensial tidak hanya pada sebuah kata
melainkan juga pada rangkain kata dengan memperhatikan konteks kalimat
secara keseluruhan sehingga bisa dianalisis komponen makna yang tepat untuk
menerjemahkan suatu kata tertentu dalam BSu menuju padanan yang tepat
dalam BSa.
3. Strategi Sinonim (Synonym)
Strategi sinonim adalah strategi yang diterapkan penerjemah untuk
mendekatkan padanan BSa kepada BSu dalam sebuah konteks tanpa
menggunakan analisis komponensial kerena dengan adanya analisis
komponensial dirasa dapat mengganggu alur kalimat BSa (Newmark, 1988: 84;
Suryawinata, 2003: 73).
Newmark (1988: 83) menyebut strategi ini dengan strategi fungsional,
maksudnyanya adalah menerjemahkan kata BSu dengan padanan yang
fungsional/ sesuai kegunaannya –yakni diterjemahkan dengan pendekatan kata
yang memiliki makna dan fungsi yang sama dengan kata BSu. Adapun dari
data penelitian, peneliti menemukan penerapan strategi sinonim ini pada 19
data. Penjelasan dari penerapan strategi ini dapat dilihat pada data 6 berikut.
93
(6) BSu :
وعن , ليال وعن ب عضهم ف كل عشر ة د اح و ة م ت خ ن ي ر ه ش ل ف ك ن و م ت ا ي و ان ك م ه ن أ . ليال وعن الكثرين ف كل سبع , ال ي ل ب عضهم ف كل ثان
Annahum man ka>nu> yakhtimu>na fi> kulli syahraini khatmatan wa>chidatan, wa ‘an ba‘dhihim fi> kulli ‘asyri laya>lin, wa ‘an ba‘dhihim fi> kulli tsama>ni laya>lin wa ‘anil-aktsari>na fi> kulli sab‘i laya>lin ( An-Nawawi, 2014: 99).
BSa :
Mereka dahulu mengkhatamkan al-Qur’an setiap dua bulan sekali,
ada yang sepuluh hari sekali, delapan hari sekali, mayoritas tujuh
hari sekali (Hauro’, 2014: 53)
Pada data 6 di atas, penerjemah menerapkan strategi sinonim pada tiga
tamyi>z, yaitu kata “ لليا ” laya>lun yang disebutkan tiga kali diterjemahkan
dengan “hari”. Ketiga tamyi>z tersebut membentuk frasa numeralia dengan
mumayyaz-nya, antara lain: frasa “ عشر ليال” ‘asyru laya>lin ‘sepuluh hari’, frasa
“ ال ي ل ثان ” tsama>nu laya>lin ‘delapan hari’, dan frasa “ سبع ليال” sab‘u laya>lin
‘tujuh hari’. Kata “ لليا ” laya>lun merupakan bentuk jamak dari kata “ليل” lailun
yang artinya “malam” (Munawwir, 1997: 1302). Penerjemah menyepadankan
kata “malam” dengan ‘hari” karena “malam” merupakan bagian dari “hari”
sehingga menyepadankan kata “malam” dengan “hari” merupakan pilihan yang
cukup tepat untuk disajikan dalam terjemahan BSa.
Berdasarkan temuan dalam data penelitian, penerapan strategi sinonim
ini terdapat pada 9 tamyi>z, antara lain: kata “أخذ” akhdzun artinya
“pengambilan” diterjemahkan dengan “hafalan”, kata “ اتم خت ” khatama>tun
artinya “khatam” diterjemahkan dengan “kali”, kata “ ضعموا ” mawa>dhi‘u
artinya “lokasi” diterjemahkan dengan “tempat”, kata “سكتات” sakata>tun
artinya “diam” diterjemahkan dengan “tempat”, kata “سجدة” sajdatun artinya
94
“sajdah” diterjemahkan dengan “ayat”, kata “أوجه” aujuhun artinya “wajah-
wajah” diterjemahkan dengan “pendapat, pandangan, pengucapan”, kata “ نسخ”
nusakhun artinya “naskah-naskah” diterjemahkan dengan “mushaf”, kata “ق ول”
qaulun artinya “perkataan” diterjemahkan dengan “pendapat”, dan kata “ليال”
laya>lun berarti “malam-malam” diterjemahkan dengan “hari”.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penerjemah berhasil
menemukan sinonim dalam BSa untuk menerjemahkan kosakata tertentu
sehingga pesan teks dalam BSu dapat tersampaikan dengan baik ke dalam BSa
dan dengan dihadirkannya sinonim suatu kata dalam BSa ternyata tidak
mengurangi substansi makna yang ada dalam BSu.
4. Strategi Perluasan
Newmark (1988: 90) dan Suryawinata (2003: 74) menjelaskan bahwa
di dalam menerjemahkan, penerjemah dapat menerapkan strategi perluasan
(expansion) terhadap kata BSu. Strategi perluasan (expansion) adalah strategi
yang diterapkan dengan cara memperluas kata BSu di dalam BSa. Pada data
penelitian ditemukan 1 data tamyi>z dengan strategi perluasan. Penjelasan
mengenai penerapan strategi perluasan terdapat pada data 7 berikut.
(7) BSu:
(ص)زاد ة د ج س خس عشرة : والثانية
Wa’ts-tsa>niyatu: khamsa ‘asyrata sajdatan za>da (sha>d) (An-Nawawi, 2014: 167).
BSa :
Kedua: berjumlah lima belas dengan tambahan ayat sajdah dalam
surat Sha>d> (Hauro’, 2014: 139).
Pada contoh data 7 di atas, penerjemah melakukan strategi perluasan
pada tamyi>z, yaitu kata “ جدةس ” sajdatun diterjemahkan menjadi “ayat sajdah”.
95
Penambahan kata “ayat” merupakan pilihan bagi penerjemah sebagai upaya
untuk memperluas terjemahan dan bentuk penegasan bahwa kata “sajdah”
merupakan ayat tertentu dalam al-Qur’an yang terdapat perintah untuk
bersujud. Perluasan pada kata “sajdah” ini juga berfungsi sebagai pembeda
terhadap kata “sajadah” yang berarti tikar untuk sembahyang”.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penerjemah menerapkan
strategi perluasan sesuai dengan kondisi yang diperlukan. Keduanya bertujuan
untuk menghadirkan kejelasan makna dan memudahkan pemahaman pembaca
BSa.
5. Strategi Penambahan
Strategi penambahan di sini berbeda dengan strategi penambahan pada
strategi struktural. Penambahan di sini dilakukan untuk memperjelas makna.
Penerjemah menambahkan informasi pada terjemahannya karena dirasa
informasi tersebut dibutuhkan oleh pembaca. Prosedur ini biasanya digunakan
untuk membantu menerjemahkan kata-kata yang berhubungan dengan budaya,
teknis, atau bahasa yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut (Newmark,
1988: 91; Suryawinata, 2003: 74). Penerapan strategi penambahan ini terdapat
pada 8 data penelitian. Adapun penjelasan mengenai strategi penambahan ini
dapat dilihat pada data 8 berikut.
(8) BSu:
إن وأن وإن وإن و : ات غ ل وف واحدها أربع , ساعاته : آناء الليل
a>na>’al-laili: sa>‘a>tuhu, wa fi> wa>chidiha> arba‘u lugha>tin: ina> wa ana> wa inyun wa inwun (An-Nawawi, 2014: 222).
BSa :
A>na>al-lail: waktu-waktu malam, bentuk tunggalnya ada empat
variasi bahasa yaitu ina>, ana>, inyun, dan inwun (Hauro’, 2014: 203).
96
Pada data 8 di atas, penerjemah menerapkan strategi semantis-
penambahan pada BSa untuk menambah kejelasan kata yang berfungsi sebagai
tamyi>z. Kata “لغات” lugha>tun merupakan tamyi>z bagi kata “ أربع” arba‘u. Kata
lughatun yang ”لغة“ lugha>tun merupakan bentuk jamak dari kata ”لغات“
artinya “bahasa” (Munawwir, 1997: 1276). Penerjemah manambahkan kata
“variasi” untuk memperjelas makna kata tersebut karena maksud dari frasa “ ع أرب
arba‘u lugha>tin di sini bukanlah perbedaan bahasa tetapi variasi nama ”لغات
dalam bahasa yang sama. Kata “ تلغا ” lugha>tun diterjemahkan menjadi
“variasi bahasa”.
Pada data penelitian, penerjemah menerapkan strategi penambahan
pada 7 data tamyi>z, yaitu kata kata “صلح” shala>chun ‘keshalihannya’, kata
“ نس ” sinnun ‘umurnya’, frasa “ آيت بعشر ” bi‘asyri a>ya>tin ‘dengan membaca
sepuluh ayat’, kata “ وتص ” shautun ‘suaranya’, kata “لغات” lugha>tun ‘cara
pelafalannya’, kata “ اتلغ ” lugha>tun ‘variasi bahasa’, kata “أوجه” aujuhun
‘variasi pengucapan’.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penerjemah menerapkan
strategi semantis-penambahan ini dengan melihat pesan yang ingin
disampaikan oleh BSu kemudian menambahkan kata-kata yang diperlukan
dalam BSa untuk memperjelas makna dalam BSa. Penambahan ini bersifat
alamiah dan tergantung pada kebutuhan BSa untuk menghadirkan tambahan-
tambahan tesebut.
97
6. Strategi Penghapusan (Omission atau Deletion)
Penghapusan di sini maksudnya adalah penerjemah tidak
menerjemahkan sebagian teks atau kata dalam BSu ke dalam BSa dengan
pertimbangan bahwa kata dalam BSu tersebut tidak terlalu penting bagi
keseluruhan teks BSa atau dampaknya akan menimbulkan kebingungan bagi
pembaca apabila diterjemahkan. Hal ini juga berdasarkan pertimbangan bahwa
kata tersebut juga sulit untuk diterjemahkan dan tidak terlalu menimbulkan
perbedaan makna yang signifikan (Suryawinata, 2003: 75). Strategi
penghapusan ini diterapkan pada 2 data. Adapun penjelasan dari strategi ini
terdapat pada data 9 berikut.
(9) BSu:
أيض ا ة د ج س هي أربع عشرة : وقال أبو حني فة
Wa qa>la abu> chani>fata: hiya arba‘a ‘asyrata sajdatan aidhan (An-Nawawi, 2014: 167).
BSa :
Abu Hanifah juga berpendapat ada empat belas (Hauro’, 2014:
139).
Pada data 9 di atas, penerjemah melakukan penghapusan kata “سجدة”
sajdatun yang berfungsi sebagai tamyi>z bagi kata “ أربع عشرة” arba‘a ‘asyrata
‘empat belas’. Menurut peneliti, penghapusan ini bukan suatu kesalahan yang
fatal karena kalimat ini masih memiliki keterkaitan dengan kalimat setelahnya
yang masih membahas tema yang sama, yaitu kalimat “ زاد سجدة خس عشرة : والثانية
(ص) ” Wa’ts-tsa>niyatu: khamsa ‘asyrata sajdatan za>da (sha>d) (An-Nawawi,
2014: 167) yang diterjemahkan dengan “Kedua: berjumlah lima belas dengan
tambahan ayat sajdah dalam surat Sha>d> ” (Hauro’, 2014: 139). Pada kalimat
ini, kata “ جدةس ” sajdatun diterjemhakan dengan “sajdah” sehingga pembaca
98
masih bisa menghubungkan keterkaitan maksud dari kata “empat belas ayat”
tersebut adalah ayat sajdah.
Adapun penerapan strategi penghapusan juga terlihat pada data 10
berikut.
(10) BSu:
(سبحان رب العلى) ات ر م يسبح با يسبح به من سجود الصلة ف ي قول ثلث
Yusabbichu bima> yusabbichu bihi min suju>di’sh-shala>ti fayaqu>lu tsala>tsa marra>tin (subcha>na rabbiyal-‘a’la>) (An-Nawawi, 2014: 180).
BSa :
Hendaknya ia membaca tasbih yang dibaca pada sujud shalat, yaitu
membaca ‘subcha>na rabbiyal-‘a’la>)’ (artinya: Mahasuci Rabb yang
Mahatinggi) (Hauro’, 2014: 150).
Pada data 10 di atas, penerjemah melakukan penghapusan pada tamyi>z
dan mumayyaz-nya. Kata “مرات” marra>tun sebagai tamyi>z dan kata “ثلث”
tsala>tsu sebagai mumayyaz-nya. Kedua kata tersebut membentuk frasa
numeralia “ مرات ثلث ” tsala>tsu marra>tin yang berarti “tiga kali”. Dalam BSa,
penerjemah menghapus frasa ini sehingga pesan dalam kalimat tersebut tidak
tersampaikan secara utuh. Menurut peneliti, penerapan strategi penghapusan
pada data ini kurang tepat karena ada pesan penting dalam BSu yang belum
tersampaikan dalam BSa.
Dari urainan di atas, dapat disimpulkan bahwa strategi penghapusan
yang diterapkan oleh penerjemah kadang kala merupakan hal yang tidak terlalu
berpengaruh dalam terjemahan seperti pada data 9 di atas. Namun, kadang kala
penerapan strategi ini merupakan pilihan yang kurang tepat seperti yang
terlihat pada data 10 di atas sehingga makna dalam BSu tidak tersampaikan
secara utuh.
99
7. Strategi Modulasi
Modulasi adalah strategi untuk menerjemahkan frase, klausa atau
kalimat dengan cara mengubah sudut pandang, fokus, atau kategori kognitif
dalam kaitannya dengan BSu (Suryawinata, 2003: 75; Newmark, 1988: 88; Al-
Farisi, 2011: 68). Perubahan ini bersifat leksikal ataupun gramatikal. Variasi
perubahan sudut pandang tersebut bisa berupa abstrak menjadi konkret, sebab
menjadi akibat, aktif menjadi pasif, ruang menjadi waktu dan semacamnya.
Sementara itu Machali (2009: 98) menjelaskan bahwa modulasi ada
kalanya berupa pergeseran struktur seperti pada prosedur transposisi yang
menyangkut pergeseran makna karena terjadi perubahan perspektif, sudut
pandang atau sisi maknawi lainnya. Pada data ditemukan sebanyak 1 data yang
menggunakan strategi ini. Penerapan strategi ini dapat dilihat pada data 11
berikut.
Adapun penerapan strategi modulasi bebas terlihat pada data 11 berikut.
(11) BSu :
مام ف ف حال القيام سكتات الصلة الهرية أن يسكت أربع يستحب لل
Yustachabbu lil’ima>mi fi’sh-shala>til-jahriyyati an yaskuta arba‘a sakata>tin fi> cha>lil-qiya>mi (An-Nawawi, 2014: 162).
BSa :
Empat tempat imam diam sejenak (Hauro’, 2014: 133).
Pada data 11 di atas, penerjemah melakukan strategi modulasi bebas
yaitu menerjemahkan BSu ke dalam BSa dengan mengambil substansi BSu
kemudian diungkapkan dengan bebas/tidak berdasarkan pada struktur BSu.
Penerjemah melakukan menerjemahkan kalimat lengkap dalam BSu menjadi
100
frasa dalam BSa. Menurut peneliti, penerapan strategi modulasi pada data 11
ini kurang tepat karena banyak pesan BSu yang tidak tersampaikan dalam BSa.
Pada data di atas, kata “سكتات” sakata>tun ‘tempat’ merupakan tamyi>z
untuk kata “أربع” arba‘u ‘empat’. Gabungan dua kata ini membentuk frasa
numeralia, yaitu “ أربع سكتات” arba‘u sakata>tin ‘empat tempat’. Dalam kalimat
BSu di atas, frasa “ أربع سكتات” arba‘u sakata>tin ‘empat tempat’ berkedudukan
sebagai maf‘u>l muthlaq/ keterangan. Penerjemah menjadikan frasa ini sebagai
terjemahan inti yang diperluas dengan klausa “imam diam sejenak”. Dari
penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa penerjemah melakukan perubahan
perspektif bahwa fasa tersebut lebih penting untuk disampaikan dalam BSa
dibandingkan dengan pesan yang lain. Terlihat pula penerjemah melakukan
beberapa penghapusan pada BSu.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penerapan strategi
modulasi harus didasari dengan penyampaian pesan secara utuh pada teks BSa,
karena inilah prioritas utama dalam penerjemahan. Adapun mengenai
pengubahan cara menyajikan terjemahan tersebut didasarkan pada mudahnya
pembaca BSa dalam memahami pesan tersebut.
top related