bab iv hasil dan pembahasan 4.1 karakterisasi arus ... · 25 bab iv hasil dan pembahasan 4.1...
Post on 14-Mar-2019
218 Views
Preview:
TRANSCRIPT
25
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakterisasi Arus-Tegangan Film Tipis
Pengukuran Arus dan Tegangan film tipis menggunakan alat I-Vmeter pada
kondisi gelap dan disinari lampu bohlam 40 Watt (578 Lux). Pengukuran arus dan
tegangan dilakukan untuk semua kombinasi kontak yang ada pada film tipis. Dari
hasil karakterisasi film tipis yang dilakukan, diperoleh kurva hubungan arus-tegangan
yang mirip dengan karakteristik kurva dioda untuk keseluruhan film tipis dan seluruh
kombinasi kontak pada film tipis. Film tipis yang dibuat merupakan persambungan
antara dua buah semikonduktor. Silikon yang digunakan merupakan semikonduktor
tipe-p, sedangkan lapisan tipis BST, BNST dan BSTT merupakan semikonduktor
tipe-n (K. Krane, 1992). Persambungan semikonduktor tipe-p dan tipe-n dikenal
dengan nama p-n junction (J. A. Blackburn, 2001). Dengan adanya p-n junction,
maka karakteristik dari film tipis yang dibuat sama dengan karakteristik dari dioda
yang merupakan gabungan antara dua elektroda yaitu anoda dan katoda (P.A.
Tippler, 1991).
Karakterisasi yang dilakukan pada film tipis dilakukan dengan bias maju dan
bias mundur. Nilai tegangan yang menyebabkan arusnya naik (tegangan knee)
bervariasi untuk semua film dan juga untuk variasi kombinasi kaki kontak yang ada
pada satu film tipis yang sama. Pada bahan semikonduktor mempunyai keterbatasan
dalam menampung tegangan, sehingga mencapai tegangan breakdown (Cari, A.
Supriyanto, 2004). Dari data tegangan knee yang terdapat pada tabel 1 terlihat bahwa
suhu anneling yang berbeda pada film tipis dengan persentase dan jenis doping yang
sama memberikan nilai tegangan knee yang berbeda pula. Suhu annealing
berpengaruh terhadap pembentukan kristal film tipis, sehingga strukturnya bisa
berbeda. Struktur film tipis tersebut, berpengaruh terhadap sifat kelistrikannya.
Pengaruh doping menyebabkan tegangan knee menjadi turun. Adanya
pengaruh doping menyebabkan semakin banyaknya elektron bebas dan hole pada
kristal (P.A. Tippler, 1991). Dengan banyaknya elektron bebas pada film tipis, maka
menyebabkan film tipis menjadi konduktif.
26
Dari kurva yang diperoleh dari pengukuran pada kondisi gelap dan disinari
lampu bohlam 40 Watt (578 Lux), keduanya menunjukan karakteristik yang sama
yaitu kurva karakteristik dioda, tetapi terjadi pergeseran antara kurva yang diperoleh
pada kondisi disinari dan pada kondisi gelap. Pada kondisi disinari lampu diperoleh
kurva yang lebih cepat mencapai tegangan knee dan memiliki nilai arus yang lebih
besar. Pemberian cahaya pada film tipis menyebabkan film tersebut menjadi lebih
konduktif. Terjadinya sifat konduktif pada film tipis karena adanya energi foton dari
luar yang diserap oleh elektron. Pada kondisi ini, energi foton memiliki
kencenderungan untuk memberikan energi cukup bagi difusi elektron, sehingga
peningkatan difusi ini mengakibatkan terjadinya rekombinasi elektron hole lebih
banyak. Pada pita valensi sebagian elektron yang tidak berekombinasi dapat pindah
(eksitasi) menuju pita konduksi dan kemudian dapat menghasilkan arus listrik serta
dapat mempersempit celah antara pita valensi dan pita konduksi akibat difusi
elektron tersebut, sehingga pada saat disinari lampu menjadi lebih cepat mencapai
tegangan knee dan memiliki nilai arus yang lebih besar. Dengan adanya pergeseran
kurva arus-tegangan film tipis BST, BNST dan BSTT saat diberi cahaya maka film
tipis memiliki respon terhadap cahaya dan bisa disebut sebagai device fotodioda.
Dari kurva pada karakterisasi I-V yang dihasilkan tampak bahwa film tipis BNST
dengan doping 5% dan suhu annealing 8500C memiliki respon yang paling baik
terhadap cahaya dibandingkan film tipis lain, sehingga dapat diaplikasikan untuk
sensor cahaya dalam rangkaian saklar otomatis fotodioda.
Tabel 1 Tegangan Knee Film Tipis
Film Tipis Suhu Annelling (0C)
Tegangan Knee (Volt)
BST 0% 850 2.1 900 1.8 950 0.5
BNST 5% 850 0.4 900 1.5 950 0.3
BNST 2.5% 900 2 BSTT 5% 900 1.5 BSTT 2.5% 900 0.9
27
Kurva I-V 0 % 950oC
-0,00001
-0,000005
0
0,000005
0,00001
0,000015
0,00002
-6 -4 -2 0 2 4 6
Tegangan (V)
Aru
s (A
)TerangGelap
Kurva I-V 0% 850oC
-0,0000014-0,0000012-0,000001
-0,0000008-0,0000006-0,0000004-0,0000002
00,00000020,0000004
-6 -4 -2 0 2 4 6
Tegangan (V)
Aru
s (A
)
TerangGelap
Kurva I-V 0% 900oC
-0,00006
-0,00004
-0,00002
0
0,00002
0,00004
-6 -4 -2 0 2 4 6
Tegangan (V)
Aru
s (A
)
TerangGelap
(a)
(b)
(c)
Gambar 19 (a) Kurva I-V untuk film tipis tanpa doping dengan suhu annealing
9500C. (b) Kurva I-V untuk film tipis tanpa doping dengan suhu annealing 8500C.
(c) Kurva I-V untuk film tipis tanpa doping dengan suhu annealing 9000C.
28
Kurva I-V 5% 850oC
-0,000010
0,000010,000020,000030,000040,000050,000060,00007
-6 -4 -2 0 2 4 6
Tegangan (V)
Arus
(A)
TerangGelap
Kurva I-V 5% 900oC
-0,00000004
-0,00000002
0
0,00000002
0,00000004
0,00000006
-6 -4 -2 0 2 4 6
Tegangan (V)
Arus
(A)
TerangGelap
Kurva I-V 5% 950oC
-0,000002
0
0,000002
0,000004
0,000006
0,000008
0,00001
-6 -4 -2 0 2 4 6
Tegangan (V)
Arus
(A)
TerangGelap
(a)
(b)
(c)
Gambar 20 Kurva I-V untuk film tipis dengan doping Niobium 5% dan suhu
annealing 850 0C. (b) Kurva I-V untuk film tipis dengan doping Niobium 5% dan
suhu annealing 900 0C. (c) Kurva I-V untuk film tipis dengan doping Niobium 5%
dan suhu annealing 950 0C.
29
Kurva I-V BSTT 5% 9000C
-0.0000005-0.0000004-0.0000003-0.0000002-0.0000001
0.00000010.00000020.00000030.00000040.0000005
-16 -14 -12 -10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10 12 14 16
Tegangan (V)
Terang Gelap
Kurva I-V BNST 2,5% 9000C
-0.0002-0.0001
0.00010.00020.00030.00040.00050.00060.0007
-9 -7 -5 -3 -1 1 3 5 7 9 11 13 15
Tegangan (V)
Terang
Gelap
(a)
(c)
Gambar 21 (a) Kurva I-V untuk film tipis dengan doping Tantalum 2,5% dan suhu annealing 9000C. (b) Kurva I-V untuk film tipis dengan doping Tantalum 5% dan
suhu annealing 9000C. (c) Kurva I-V untuk film tipis dengan doping Niobium 2,5% dan suhu annealing 9000C.
Kurva I-V BSTT 2,5% 9000C
-0.00000025-0.0000002
-0.00000015-0.0000001
-0.00000005
0
0.00000005
0.00000010.00000015
0.00000020.000000250.0000003
-8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8
Tegangan (V)
Terang Gelap
Arus (A)
Arus (A)
Arus (A)
(b)
30
4.2 Karakterisasi Sifat Optik Film Tipis
Energi gap adalah suatu celah energi minimal yang harus dimiliki oleh
elektron agar dapat berpindah dari pita valensi ke pita konduksi. Elektron pada pita
valensi ini dapat berpindah ke pita konduksi dengan penambahan energi eksternal
yang dapat berasal dari medan listrik eksternal, energi termal, dan energi energi
foton.
Pengukuran sifat optik film tipis ini menggunakan serat optik dengan metode
refleksi dan suatu program Oceanoptic. Panjang gelombang yang digunakan dalam
penelitian ini adalah panjang gelombang pada rentang panjang gelombang 339 nm
sampai 1022 nm. Rentang panjang gelombang tersebut mencakup cahaya ultraviolet
visibel dan infrared (Douglas et al, 1998).
Dari kurva yang dihasilkan menunjukan bahwa daerah serapan dari film tipis
mulai dari panjang gelombang 400 nm seterusnya atau pada rentang cahaya
ultraviolet visibel sampai infrared. Hal tersebut menjelaskan bahwa film tipis dapat
diaplikasikan juga sebagai sensor suhu. Dari hasil pengukuran diperoleh data persen
absorbansi dan persen reflektansi. Pada gambar 22(a) terlihat bahwa pada suhu
anneling yang sama film tipis dengan jenis dan persentase pendadah yang berbeda
memiliki persen absorbansi yang berbeda pula. Semakin besar persentase pendadah
semakin besar pula nilai persen absorbansi dari film tipis. Sedangkan dari gambar
22(b) diperoleh juga persen reflektansi dengan analisis sebaliknya. Pada penelitian
ini diperoleh bahwa film tipis dengan doping Niobium 5% memliki persentase
absorbsi terbesar dan selanjutnya film tipis dengan doping Tantalum 5%, sedangkan
film tipis tanpa doping memiliki persentase absorbsi paling kecil. Data sebaliknya
dapat dilihat pada persentase refleksi film tipis. Berarti data absorbansi dan
reflektansi saling mendukung, karena absorbsi adalah kebalikan dari reflektansi. Hal
tersebut disebabkan oleh pengaruh persentase doping yang dapat menurunkan energi
bandgap masing-masing film tipis yang diannealing pada 900oC. Apabila atom donor
ditambahkan pada suatu semikonduktor, tingkat energi yang diperkenankan akan
berada sedikit di bawah pita konduksi (Cari, A. Supriyanto, 2004).
Dari Gambar 23(a), 24(a), dan 25(a) terlihat bahwa dengan peningkatan suhu
annelling pada persentase dan jenis doping yang sama mengakibatkan penurunan
nilai persen absorbansi dari film tipis. Data sebaliknya dapat dilihat pada gambar
31
23(a), 24(a), dan 25(a) yang memberikan nilai persen reflektansi. Suhu annealing
berpengaruh terhadap pembentukan kristal film tipis, sehingga strukturnya bisa
berbeda. Struktur film tipis tersebut, berpengaruh terhadap sifat optik dari film tipis.
Dari karakterisasi yang telah dilakukan, suhu annelling 8500C merupakan suhu
annelling yang paling baik.
(a)
(a)
(b) Gambar 22 (a) Kurva absorbansi film tipis pada suhu annellling 9000C. (b) Kurva
reflektansi film tipis pada suhu annellling 9000C.
Kurva Absorbansi Film Tipis pada Suhu Annelling 900C
-0.25
0
0.25
0.5
0.75
1
1.25
1.5
350 450 550 650 750 850 950 1050
Panjang Gelombang (nm)
Abs
orba
nsi (
%) 0%
Nb 2.5%Nb 5%Ta 5%Ta 2.5%
Kurva Reflektansi Film Tipis pada Suhu Annelling 9000C
-40-35-30-25-20-15-10
-505
101520253035404550
350 450 550 650 750 850 950 1050
Panjang Gelombang (nm)
Ref
lekt
ansi
(%) 0%
Nb 2.5%Nb 5%Ta 2.5%Ta 5%
32
(a)
(b)
Gambar 23 (a) Kurva absorbansi BST dengan variasi suhu annellling 8500C, 9000C,
dan 9500C. (b) Kurva reflektansi BST dengan variasi suhu annellling 8500C, 9000C,
dan 9500C.
Kurva Absorbansi BST dengan Variasai Suhu Annelling
-0.5
0
0.5
1
1.5
2
2.5
350 450 550 650 750 850 950 1050
Panjang Gelombang (nm)
Abs
oban
si (%
)0% 850C
0% 900C
0% 950C
Kurva Reflektansi BST dengan Variasi Suhu Annelling
-20
-10
0
10
20
30
40
50
350 450 550 650 750 850 950 1050
Panjang Gelombang (nm)
Ref
lekt
ansi
(%)
0% 850C0% 900C0% 950C
33
(a)
(b)
Gambar 24 (a) Kurva absorbansi BNST 5% dengan variasi suhu annellling 8500C,
9000C, dan 9500C. (b) Kurva reflektansi BNST 5% dengan variasi suhu annellling
8500C, 9000C, dan 9500C.
Kurva Absorbansi BNST dengan Variasi Suhu Anneling
-0.5
0
0.5
1
1.5
2
2.5
350 450 550 650 750 850 950 1050
Panjang Gelombang (nm)
Abs
orba
nsi (
%)
Nb 5% 850CNb 5% 900CNb 5% 950C
Kurva Reflektansi BNST dengan Variasi Suhu Annelling
-20
-10
0
10
20
30
40
50
350 450 550 650 750 850 950 1050
Panjang Gelombang (nm)
Ref
lekt
ansi
(%)
Nb 5% 850CNb 5% 900CNb 5% 950C
34
(a)
(b)
Gambar 25 (a) Kurva absorbansi BTST 5% dengan variasi suhu annellling 8500C,
9000C, dan 9500C. (b) Kurva reflektansi BTST 5% dengan variasi suhu annellling
8500C, 9000C, dan 9500C.
Kurva Absorbansi BSTT dengan Variasai Suhu Annelling
-0.5
0
0.5
1
1.5
2
2.5
350 450 550 650 750 850 950 1050
Panjang Gelombang (nm)
Abs
orba
nsi (
%)
Ta 5% 850CTa 5% 900CTa 5% 950C
Kurva Reflektansi BSTT dengan Variasi Suhu Anneling
-20
-10
0
10
20
30
40
50
350 450 550 650 750 850 950 1050
Panjang Gelombang (nm)
Ref
lekt
ansi
(%)
Ta 5% 850CTa 5% 900CTa 5% 950C
35
4.3 Uji Sensor Pada Rangkaian Elektronik
Pada penelitian ini rangkaian aplikasi Op-Amp yang digunakan adalah
rangkaian pembanding (komparator) dan IC yang digunakan LM358N sebagai
penguat operasional. Di dalam IC LM358N terdapat dua paket op-amp, hambatan
input yang digunakan pada rangkaian ini sebesar 1MΩ dan menggunakan dua buah
potensiometer VR1 100KΩ dan VR2 200KΩ untuk mengatur tingkat kepekaan
cahaya dan sinyal tegangan output (http://www.national.com). Rangkaian elektronika
dari saklar otomatis fotodioda dapat dilihat pada gambar 26.
Prinsip kerja dari rangkaian saklar otomatis fotodioda dalam penelitian ini
adalah memanfaatkan perubahan tegangan akibat dari perubahan intensitas cahaya
yang mengenai sensor. Dengan adanya pertambahan intensitas cahaya yang
mengenai sensor, maka nilai tegangan output sensor bertambah pula. Dengan sumber
cahaya yang berupa lampu bohlam 40 Watt (19630 Lux) orde perubahan tegangan
mencapai 140 mV, sedangkan jika sumber cahaya adalah sinar matahari langsung
diproleh perubahan tegangan mencapai 185 mV. Dari tegangan output yang
dihasilkan tidak mampu untuk menyalakan saklar, sehingga pada rangkaian
digunakan penguat non-inverting (A. P. Malvino, 1990).
Dari hasil karakterisasi yang telah dilakukan film tipis BNST dengan doping
5% dan suhu annealing 8500C memilki respon yang paling baik terhadap intensitas
cahaya yang mengenainya, sehingga diaplikasikan sebagai sensor cahaya dalam
rangkaian. Sensor cahaya saat terhalang oleh suatu bidang atau asap, maka sensor
akan mendeteksi berkas cahaya yang diterima dan akan mempengaruhi tegangan
output dari sensor. Pada rangkaian ini diset untuk sensor kebakaran atau sebagai
saklar otomatis pada lampu jalan dan taman. Sensor cahaya yang berhasil dirancang
dengan berbantuan rangkaian elektronika mempunyai kekurangan dan kelebihan.
Kekurangan dari sensor cahaya ini diantaranya adalah penyolderan pada kontak
sensor kurang bagus dan mudah lepas, pada saat penyolderan tidak boleh terlalu lama
akan menyebabkan panas sehingga sensor dapat menjadi rusak, pada bagian titik
kontak alumunium sensor yang disolder mudah tergores timah dan solder,
penyolderan pada sensor harus menggunakan timah Indum dan pasta perak sehingga
biayanya mahal. Sedangkan kelebihannya sebagai berikut sensor sangat sensitif pada
cahaya, ukurannya lebih kecil dari sensor cahaya BST pada penelitian sebelumnya,
36
biaya produksinya murah, dapat dilakukan di laboratorium dengan suhu ruang yang
berada di Indonesia, kekuatan produk, dapat diaplikasikan pada rangkaian
elektronika sesuaikebutuhan, mampu bersaing dengan sensor LDR dan fotodioda.
4.4 Uji Respon Sensor Terhadap Intensitas Cahaya
Dari uji respon sensor cahaya terhadap intensitas cahaya yang mengenainya
diperoleh bahwa saklar otomatis dari rangkaian dalam penelitian ini dapat mulai
menyalakan lampu dan alarm pada intensitas antara 38 dan 43 Lux sampai 0 Lux.
Pada kurva hubungan antara intensitas cahaya yang mengenai sensor dan tegangan
output yang dihasilkan oleh sensor cahaya terlihat bahwa tegangan output yang
dihasilkan sensor cahaya meningkat seiring dengan peningkatan intensitas cahaya
(lihat gambar 29). Hal tersebut terjadi karena adanya pengaruh energi foton yang
semakin bertambah seiring peningkatan intensitas cahaya. Energi foton tersebut
memiliki kencenderungan untuk memberikan energi cukup bagi difusi elektron,
sehingga dengan peningkatan intensitas cahaya berarti energi foton semakin besar,
maka terjadi peningkatan difusi elektron yang mengakibatkan terjadinya rekombinasi
elektron hole lebih banyak. Sedangkan pada pita valensi sebagian elektron yang tidak
berekombinasi dapat pindah (eksitasi) menuju pita konduksi. Akibatnya timbul hole
di pita valensi dan terjadi peningkatan elektron di pita konduksi, sehingga terjadi
peningkatan tegangan pada persambungan kedua semikonduktor pada film tipis
(sensor cahaya).
Pada kurva terlihat bahwa respon sensor terhadap cahaya meningkat ekstrim
atau peka pada intensitas cahaya 400 sampai 580 Lux dan pada intensitas cahaya
lebih besar dari 600 Lux respon tidak terlalu ekstrim. Hal tersebut menunjukan
bahwa sensor cahaya BNST 5% dengan suhu annelling 8500C mulai mengalami
saturasi. Untuk setiap bahan ataupun material memiliki titik jenuh yang berbeda-beda
dan sifat tersebut merupakan karakteristik dari setiap bahan ataupun material (R. E.
Smallman, 1991).
37
Gambar 26 Rangkaian Saklar Otomatis Fotodioda.
Gambar 27 Sensor cahaya BNST 5% dengan suhu annealling 8500C.
(a) (b)
Gambar 28 (a) Rangkaian saklar otomatis fotodioda dalam keadaan terang (b) Rangkaian saklar otomatis fotodioda dalam keadaan gelap.
Substrat Si tipe p
BST/BSTT/BNST
Aluminium
Indium/pasta perak
38
Kurva Hubungan Intensitas Cahaya dan Tegangan
0123456789
10
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 1100
Intensitas Cahaya (Lux)
Tega
ngan
(mV
)
Gambar 29 Kurva hubungan antara intensitas cahaya yang mengenai sensor dan tegangan output sensor.
top related