bab tiga 3. rakut si telu sebagai pembentuk identitas...
Post on 03-Apr-2019
214 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Bab Tiga
3. Rakut Si Telu Sebagai Pembentuk Identitas Sosial Bagi Masyarakat Karo di GBKP
Yogyakarta
3.1 Sejarah Singkat & Keadaan Umum GBKP Runggun Yogyakarta.
Sejarah singkat tentang berdirinya GBKP Yogyakarta tidak bisa terlepas dari suatu
perkara tanah yang pernah terjadi di Yogyakarta yang melibatkan Lurah Sariharjo Yogyakarta.
Beliau bernama Noto Sugio.Selama mengikuti persidangan perkara tanah tersebut diketahui
bahwa Jaksa atau Hakim yang melaksanakan sidang perkara tersebut ialah orang bersuku
Simalungun. Setelah persidangan selesai dan pembacaan keputusan telah dibacakan, dinyatakan
bahwa Noto Sugio menang atas perkara tersebut. Kemudian sebagai ucapan terima kasih kepada
Jaksa dan Hakim yang telah membantu perkara tersebut diberikanlah tanah kepada Jaksa atau
Hakim tersebut.1
Pemberian tanah ini diketahui oleh salah satu Jaksa bernama Tuan Silangit, dan tuan
Silangit juga menginginkan agar tanah yang diberikan Lurah tersebut dibagi dua kepada mereka.
Dan pada akhirnya tanah itu dibagi menjadi dua. Setelah pembagian tanah itu selesai, kemudian
ada inisiatif dari beberapa masyarakat Karo dan Simalungun untuk mendirikan Gereja GBKP
dan GKPS. Dan pada akhirnya Gereja GBKP dan GKPS dibangun bersebelahan sesuai dengan
pembagian tanah.
Selama proses pembangunan Gereja beberapa orang Karo yang memiliki keuangan yang
memadai seperti Masri Singarimbun, Sutradara, Dr Lukas , Tuan Silangit dan Tuan Pandia
1 Wawancara dengan Bp. Soni Surbakti dilakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 19 Agustus 2017,
pukul 15.00-15.45 Wib
melakukan penggalangan dana secara pribadi sesuai dengan kesanggupan mereka. Dana yang
dikumpulkan secara pribadi ini digunakan untuk menggali tanah dan membangun fondasi Gereja.
Kemudian berjalannya waktu, dilakukan penggalangan dana secara global yang melibatkan
masyarakat Karo Yogyakarta secara luas. Da sampai melakukan penggalangan dana ke Jakarta
untuk menemui orang Karo yang memiliki keuangan secara baik sehingga dapat memberi
bantuan dana.2
Selama proses penggalangan dana, dana juga diperoleh dari pemuda-pemudi yang ingin
berkuliah di Yogyakarta, melalui orang tua mereka yang memberikan dana kepada pihak gereja
sebagai ungkapan terima kasih sudah menerima keberadaan anak mereka. Menurut Deta
Singarimbun keberadaan orang Karo Di Yogyakarta di mulai dari tahun 1954. Sejak tahun itu
sudah mulai banyak masyarakat Karo mulai berdatangan ke Yogyakarta dan turut membantu
pembelian tanah serta pembangunan Gereja. Sehingga berdirinya Gereja GBKP Yogyakarta
tidak terlepas dari pergerakan pemuda-pemuda Karo yang berkuliah di Yogyakarta.3
Pada tanggal 1 Desember 1985 diresmikan untuk pertama kalinya oleh KGPH
Mangkubumi. Kemudian direnovasi dan diresmikan kembali pada hari sabtu tanggal 1 Desember
2012 oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Hamengku Buwono X. Dengan
diresmikannya Gereja ini oleh pihak Kesultanan Keraton Yogyakarta. Gereja memiliki kekuatan
berbadan hukum untuk berdirinya Gereja dan melaksanakan Kegiatan-kegiatan Gereja.4
2 Wawancara dengan Bp. Soni Surbakti dilakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 19 Agustus 2017,
pukul 15.00-15.45 Wib. 3 Wawancara dengan Deta Lebe Singarimbun yang dilakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 20
Agustus 2017, pukul 12-25.13.00 Wib 4 Wawancara dengan Deta Lebe Singarimbun yang dilakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 20
Agustus 2017, pukul 12-25.13.00 Wib.
Jemaat GBKP Yogyakarta sekarang meliputi pemuda-pemudi yang berasal dari pemuda-
pemudi dari Tanah Karo tidak hanya itu mereka juga berasal dari Jakarta, dari Kalimantan,
Medan dan ada juga berasal dari suku Jawa Yogyakarta. Dan sekarang sudah 56 Kepala
Keluarga yang bergereja di GBKP Yogyakarta dan sekitar 250 jemaat yang bergereja di GBKP
Yogyakarta. Secara umum mereka memiliki profesi sebagai Pegawai Negeri Sipil, Wiraswasta,
pensiunan dari kedinasan sipil Yogyakarta dan mahasiswa yang berkuliah di Yogyakrta. Secara
ekonomi kehidupan jemaat GBKP Yogyakarta cukup mapan. Itu terlihat dari Ibadah Minggu,
parkiran mobil dan sepeda motor yang berjejer memenuhi halaman depan gereja GBKP
Yogyakarta. Dan dapat dilihat dari kelengkapan alat musik Gereja yang modern seperti drum,
gitar listrik, keyboard., serta keadaan bangunan yang masih terawat dengan baik.5
Kemudian di dalam Pelayanan Kategorial GBKP Runggun Yogyakarta terdiri
Perpulungen Jabu-Jabu ( Ibadah keluarga) yang terbagi menjadi 3 sektor yaitu Korinti yang
dilaksanakan tiap hari senin pukul 19.00-21.00 Wib, kemudian tiap hari selasa sektor Filipi pada
pukul yang sama dan tiap hari Rabu Sektor Galatia pada pukul yang sama. Kemudian ada
pelayanan Kaum Bapa (mamre) dan Kaum Ibu (moria) yang dilaksanakan setiap hari minggu
selesai Ibadah Minggu dimulai pada pukul 10.00-12.00 Wib. Kemudian Ibadah Pemuda yang
dibagi menjadi tiga sektor yang dilaksanakan pada tiap hari sabtu sesuai dengan kebutuhan
sektor masing-masing. Dan kemudian ada ibadah minggu yang dilaksanakan pada pukul 08.00-
10.00. Wib. 6
5 Wawancara dengan Ibu Iriana Br Tarigan di lakukan di Aula GBKP Runggun GBKP Yogyakarta pada tanggal 22
Agustus 2017. Pada pukul 19.20-19.30 & 20.30-21.00. Wib. 6 Wawancara dengan Deta Lebe Singarimbun yang dilakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 20
Agustus 2017, pukul 12-25.13.00 Wib & Wawancara dengan Jekonia Tarigan, Pt. Em. Madison Ginting & Ibu Rosdiana B.Sc di lakukan di Aula GBKP Runggun GBKP Yogyakarta pada tanggal 22 Agustus 2017. Pada pukul 19.20-19.30 & 20.30-21.00. Wib.
Kemudian di Gereja GBKP Yogyakarta jemaat juga tidak hanya berasal dari suku Karo
saja melainkan juga sudah terjadi perkawinan campuran antara suku Karo dan suku Jawa dan
lainnya. Pada umumnya mereka juga ikut berpartisipasi di dalam ibadah Gereja dan ibadah
rumah tangga. Itu penulis lihat ketika di dalam ibadah rumah tangga ada beberapa orangtua yang
berasal dari suku Jawa yang mengikuti ibadah rumah tangga tersebut. dan menurut penuturan
beberapa informan bahwa jemaat yang mengalami perkawinan campuran pada umumnya aktif di
dalam kegiatan gereja dan tidak merasa asing ketika berkumpul dan bersama-sama dengan orang
Karo. Karena memiliki kesamaan karakter yang mudah bergaul dan bisa menghormati satu
dengan lainnya.7
3.2. Konsep Diri Tentang Orang Karo.
Orang Karo pada dasarnya sangat beragam baik secara sifat, karakter dan interaksi yang
mereka bangun di dalam suatu komunitas budaya dan masyarakat lainnya. Berbagai pendapat
tentang siapa orang Karo dan bagaimana ciri-ciri mereka tidak terlepas pada pengalaman diri
Orang Karo dan kontek Kekaroannya. Ada yang beranggapan bahwa orang Karo adalah suatu
kelompok budaya yang ada di Sumatera Utara bagian timur.
Dan yang tinggal di dataran tinggi Sumatera Utara, dan yang berada di Kabupaten Karo.
Tetapi ada pandangan lain bahwa masyarakat yang bersuku Karo yang berada diluar Tanah
Karo juga disebut sebagai orang Karo dengan alasan bahwa mereka masih menyandang
7 Wawancara dengan Bp Ramli Ginting & Ibu Setia Ukur Br Pinem Di lakukan di Aula Gereja GBKP Runggun
Yogyakarta Pada Tanggal 21 Agustus 2017. Pukul, 19.05-19.25. WIB.
Merga/Beru8 dari suku Karo. Kemudian mengidentifikasikan siapa orang Karo bisa dicermati
dengan kenyataan bahwa siapapun yang tinggal di daerah Tanah Karo layak disebut sebagai
orang Karo karena mereka bersentuhan langsung dengan praktek budaya dan situasi sosial
kekaroan yang muncul di daerah Tanah Karo. 9. Orang Karo ditandai dengan Merga/beru yang
mereka miliki dan yang mereka dapati dari keturunan orang tua mereka dan orang tersebut yang
layak disebut sebagai orang Karo. Mereka juga harus mengenal tutur (budaya
kekerabatan/perkenalan dalam suku Karo) dan mengenal merga Silima10
(lima dasar marga
orang Karo)11
. Berdasarkan data diatas dapat diambil simpulan sederhana bahwa informan
memandang siapa orang Karo berdasarkan dari lokasi mereka tinggal kemudian melihat
masyarakat yang mendiami tanah Karo layak dikatakan sebagai orang Karo dan di tambah lagi
dengan masyarakat Karo yang tinggal diluar Tanah Karo dapat dikatakan sebagai orang Karo
selama merga/beru dan pemahaman mereka tentang konsep dasar suku Karo seperti tutur tidak
pudar berarti mereka masih layak dikatakan orang Karo.
Orang Karo sebenarnya berasal dari kata Haro yang artinya suku pendatang di daerah
Tanah Karo. menurut informan orang Karo yang mendiami tanah Karo ialah suku pendatang
sebab sebelum mereka mendiami daerah Karo sudah ada masyarakat lainnya yang mendiami,
tetapi untuk mendapatkan pengakuan secara khusus, maka daerah yang mereka diami tersebut
8 Merga berasal dari kata “Meherga” yang artinya mahal. Kata merga ini dipakai untuk laki-laki. Di karenakan
dalam masyarakat Karo laki-laki menjadi ahli waris dan penerus keturunan maka dari itu kata merga dilabelkan kepada laki-laki. Sedangkan Beru berasal dari kata “Mberu” yang artinya cantik. Dan akhirnya dilabelkan untuk perempuan yang bersuku Karo. Sehingga di dalam suku Karo ketika ingin menanyakan nama keluarga mereka disesuaikan dengan jenis kelamin mereka laki-laki atau perempuan. 9 Wawancara dengan Diaken Alvia Ezra Natalia Br Tarigan S.Psi, Pt. Bp. Arbi Bangun & Drs. Sinar Sebayang Di
lakukan di Aula Gereja GBKP Runggun Yogyakarta Pada Tanggal 18,19&21 Agustus 2017, pukul 18.33-19.01. WIB, 16.15-16.42.WIB & 17.53-18.10. WIB. 10
Merga Silima adalah lima dasar di dalam suku Karo yang terdiri dari Karo-Karo, Ginting. Perangin-Angin, Sembiring dan Tarigan. Kelima merga ini memiliki sub merga. Tetapi lima merga ini merupakan rumpun merga yang dijadikan sebagai merga dasar dalam masyarakat Karo. 11
Wawancara dengan Drs. Sinar Sebayang Di lakukan di Aula Gereja GBKP Runggun Yogyakarta Pada Tanggal 21 Agustus 2017. Pukul, 17.53-18.10. WIB.
diberi nama Tanh Karo. Kemudian di tambahkan lagi bahwa orang Karo memiliki aksen bahasa
yang lebih memakai kata “e” dan logat bahasanya mendayu-dayu seperti logat melayu sehingga
orang Karo dalam pengucapan, intonasinya lebih lembut didengar.12
Varian lainnya tentang siapa orang Karo bisa kita lihat di dalam praktek kehidupannya.
Kebiasan orang Karo adalah menjunjung tinggi persaudaraan oleh karena itu orang Karo adalah
orang yang menjunjung tinggi budaya dan tidak meninggalkan budayanya meski sudah pergi
merantau. Kemudian ciri orang karo selanjutnya tidak meninggalkan merga/berunya dan tidak
meninggalkan kekaroannya yaitu kekeluargaan. Orang Karo awal menjunjung tinggi
persaudaraan, orang Karo tidak individualis. Sehingga orang karo sangat menjunjung tinggi
budaya menolong sesama. Dan orang Karo pasti menemukan Keluarganya dimana pun mereka
berada karena mereka sudah diwarisi dengan kemampuan mengambil hati orang Karo yang di
tempat lain13
. Sehingga ketika orang Karo bertemu dengan sesamanya pasti mereka akan
langsung mencari tali persaudaraan melalui tutur (perkenalan), menanyakan merga/beru, asal
kampung dan siapa nama orangtua. Barangkali dengan cara begitu tali persaudaraan dapat
ditemukan.
Selanjutnya identifikasi orang Karo ditinjau dari perspektif budaya artinya berbicara
tentang identitas personal yang melekat di dalam diri seseorang. Orang Karo bukan hanya
dipandang sebagai orang yang memiliki merga suku Karo melainkan orang Karo ialah orang
yang tetap menjalankan adat-istiadat Suku Karo Adat istiadat itu tercermin dari peradatan yang
terjadi di dalam suku Karo yang dikenal sebagai runggu (musyawarah), mengenal rakut si telu.
12
Wawancara dengan Bp. Soni Surbakti dilakukan di Aula Gereja GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 19 Agustus 2017, pukul 15.00-15.45. WiB. 13
Wawancara dengan Bp. Bedul Tarigan dan Ibu Idawati Br. Purba S.H. dilakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 20 Agustus 2017. Pukul 11.10-11.40 & 18.15-18.25.Wib.
Kemudian orang tidak memiliki merga bersuku Karo, tetapi mereka menjalankan dan
melestarikan budaya Karo bisa juga dikatakan sebagai Orang Karo. 14
Dengan kata lain Orang Karo lebih tepatnya ialah yang mengimplementasikan budaya Karo.
Ciri-ciri orang Karo lainnya ditandai juga dengan orang yang memiliki sangkep Nggeluh
(struktur persaudaraan dalam kekerabatan Suku Karo yang dilihat dari garis keturunan Ayah dan
Ibu). Sangkep nggeluh itu terdiri dari kalimbubu (Saudara laki-laki dari pihak ibu),
senina/sembuyak ( saudara satu merga dan saudara kandung & anak beru ( orang yang memiliki
beru yang merganya sama denga pihak laki-laki.15
Di pertegas lagi bahwa Orang Karo ialah yang menghormati kalimbubu, menyayangi
senina/sembuyak dan membantu anak berunya dan pada hakekatnya itulah fungsi sosial orang
Karo, selalu berelasi dengan tiga hal yang mendasar dalam kekerabatan suku Karo. Sehingga
mereka layak disebut sebagai orang Karo16
. Berdasarkan temuan di atas, bahwa orang Karo
secara umum dapat diketahui dengan cara mereka memiliki merga/beru yang berasal dari lima
merga dasar atau yang disebut sebagai merga silima. Selain itu bisa dicermati melalui praktek
budayanya yang masih menjalankan runggu (musyawarah), mengenal sangkep nggeluhnya.
Temuan sederhana ini akan mengawali tentang peran nyata rakut si telu bagi masyakat Karo
yang merantau.
3.3. Karakteristik dan Sifat Orang Karo Berdasarkan Temuan.
14
Wawancara dengan Ibu Setia Ukur Br Pinem Di lakukan di Aula Gereja GBKP Runggun Yogyakarta Pada Tanggal 21 Agustus 2017. Pukul, 19.05-19.25. WIB. 15
Wawancara dengan Cinta Muli Br Ginting yang dilakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 21 Agustus 2017. Pukul 19.00-19.15.00 Wib 16
Wawancara dengan Deta Lebe Singarimbun yang dilakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 20 Agustus 2017, pukul 12-25.13.00 Wib.
Karakteristik dan sifat Orang Karo berarti suatu karakter dan gaya hidup seseorang yang
secara alamiah yang melekat dalam dirinya sehingga nilai-nilai tersebut menjadi acuan dalam
dirinya untuk berinteraksi dan menjalankan struktur-struktur kehidupan yang seseorang miliki.
Kemudian ketika menjelaskan karakteristik dan sifat orang Karo terlebih dahulu kita harus
mencantumkan bahwa ciri utama orang Karo ialah fasih berbahasa Karo, dengan fasih berbahasa
Karo mereka layak disebut sebagai orang Karo. Tidak terbatas hanya kepada orang yang
memiliki merga/beru suku Karo saja. Siapa saja yang memiliki kemampuan berbahasa Karo
dapat dikategorikan sebagai orang Karo.
Kemudian ciri orang Karo yang lebih spesifik ialah memahami budaya Karo
terkhususnya rakut si telu (kalimbubu, senina/sembuyak dan anak beru). Dengan memiliki dan
memahami rakut sitelu, orang tersebut dikatakan sebagai orang Karo. sebab dasar orang Karo
menunjukkan kekaroannya ialah mengimplementasikan dan memiliki rakut sitelu. Disitulah letak
identitas awal orang Karo.17
Pada bagian berikutnya akan dijelaskan secara jelas tentang rakut si
telu serta peranannya.
Kemudian dari sisi tindakannya dalam hidup karakteristik orang Karo, kuat dalam
bekerja, tekun dalam melakukan sesuatu dan tidak mudah menyerah. Hal ini yang menyebabkan
orang Karo yang diaspora pada umumnya memiliki kekuatan sosial yang sangat kuat didalam
bertahan disuatu wilayah dikarenakan sifat tekun bekerja dan tidak pantang menyerah menjadi
suatu simbol hidup mereka.18
Simbol-simbol semacam ini biasanya masih sering dijumpai di
kehidupan orang Karo dimana pun mereka berada. Karena ini yang selalu diajarkan dan di tekuni
17
Wawancara dengan Drs. Sinar Sebayang di lakukan di Aula Gereja GBKP Runggun Yogyakarta pada Tanggal 21 Agustus 2017. Pukul, 17.53-18.10. Wib. 18
Wawancara dengan Yanti Br. Pencawan di lakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 21 Agustus 2017. Pada Pukul, 19.38-19.50 Wib.
mereka sehingga orang Karo biasa pergi merantau karena memiliki modal semacam itu.
Selanjutnya orang Karo biasanya gampang curiga, lebih sensitive dan orang Karo mudah
bersosialisasi dan sangat bergantung kepada orang lain termasuk kepada rakut si telu.19
Masyarakat Karo pada umumnya bergantung kepada orang lain dan terkhususnya kepada
kelompok rakut si telu dikarenakan setiap acara peradatan suku Karo rakut si telu yang dimiliki
oleh tiap-tiap orang Karo harus hadir dan bertanggung jawab menyelesaikan tugas peradatan ini.
Sehingga ini yang membuat orang Karo selalu membutuhkan kehadiran orang lain di dalam
kehidupannya dan peradatan yang mereka lakukan. Misalnya di dalam kehidupan sosialnya,
ketika ada masalah dan membutuhkan pertolongan orang Karo sudah tahu kemana mereka akan
meminta pertolongan yaitu kepada sangkep nggeluhnya20
(rakut si telu).
Secara kemasyarakatannya orang Karo terkhusus orang sudah merantau memiliki ciri-
ciri sebagai orang yang demokratis. Demokratis disni tidak lagi terfokus kepada orang Karo saja
melainkan sudah membuka diri terhadap kehadiran orang lain. Sehingga jiwa tolong menolong
dan rasa persatuan sudah dinyatakan kepada masyarakat lainnya. Sehingga orang Karo yang
diaspora sudah mulai terbuka dan berkomunitas lebih banyak denga lainnya. Kemudian orang
Karo sering labelkan sebagai orang yang anceng, cian, cikurak ( iri, suka menceritakan orang
lain, dan suka mencari keributan). Dalam orang Karo diaspora hal ini sudah mulai luntur,karena
sudah berbicara tentang bagaimana menolong sesama di daerah rantau. Lebih memperhatikan
sesamasebagai orang Karo yang diaspora dan masyarakat disekitarnya.21
19
Wawancara dengan Hendri Perangin-Angin di lakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 21 Agustus 2017. Pada Pukul, 20.00-20.20. Wib. 20
Struktur kekerabatan yang diambil dari garis keturunan Ayah dan Ibu. 21
Wawancara dengan Drs. Bp. Wahyuni Ginting Manik dilakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 21 Agustus 2017, pada pukul 20.10-20.40 Wib.
Tambahannya orang Karo ditandai dengan memiliki identitas merga Karo. tetapi dengan
perjumpaan orang lain ciri-ciri orang Karo yang memiliki merga tidak menjadi jaminan sebagai
orang Karo. Tetapi siapa pun yang menghayati dan menghormati nilai-nilai budaya Karo mereka
layak disebut sebagai orang Karo. Kemudian ciri-ciri orang Karo biasanya mandiri, rajin tetapi
memiliki sifat pendendam dan mudah menjudge orang lain kemudian secara positifnya sangat
menghormati orang lain, sopan, ramah, halus dan orang Karo ketika bertemu dengan orang karo
yang baru bertemu langsung bisa dijadikan sebagai keluarga dikarenakan orang Karo mudah
bersosialiasi dan mudah mengambil hati orang lain.22
Selain orang Karo ialah orang yang memiliki merga suku Karo tidak menutup
kemungkinan juga orang yang diangkat dan memiliki merga Karo dapat dikatakan sebagai orang
Karo. Terkhususnya di GBKP Yogyakarta ini yang bersuku Jawa misalnya. ketika sudah
ditabalkan merga Karo dan menjalankan budaya Karo bisa dikatakan sebagai Orang Karo dan
memiliki peran dan tugasnya dalam peradatan suku Karo. Hal ini berkaitan dengan kelompok
Sosial di dalam rakut si telu.23
3.4. Sistem Kekerabatan Orang Karo
Sistem kekerabatan orang Karo sering dikenal dengan sebutan Rakut Si Telu artinya
Rakut= ikat Si= yang dan Telu= tiga artinya ikatan yang24
Berarti ada tiga ikatan yang mendasar
dan kemudian mengikat masyarakat Karo menajdi suatu ikatan yang satu, saling berhubungan
dalam suatu ikatan budaya. Rakut si telu di identikkan dengan sangkep nggeluh. Sangkep
22
Wawancara dengan Jekonia Tarigan, Pt. Em. Madison Ginting & Ibu Rosdiana B.Sc di lakukan di Aula GBKP Runggun GBKP Yogyakarta pada tanggal 22 Agustus 2017. Pada pukul 19.20-19.30 & 20.30-21.00. Wib. 23
Wawancara dengan Ibu Iriana Br Tarigan di Aula GBKP Yogyakarta, pada pukul 18.00-18.15. Wib. Pada tanggal 21 Agustus 2017. 24
Pertampilan S. Brahmana, Daliken Si Telu dan Solusi Masalah Sosial Pada Masyarakat Karo ( Medan: Fakultas Sastra Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Sumatera Utara),6.
nggeluh ialah suatu sistem kekeluargaan pada masyarakat Karo yang pada umumnya dibagi
menjadi 3 bagian besar yaitu kalimbubu, senina/sembuyak dan anak beru.
Kemudian di tambah lagi dengan keberadaan sukut. Sukut ialah pribadi/keluarga tertentu
yang dikelilingi oleh rakut si telu.25
Ini menandakan bahwa rakut si telu adalah suatu kelompok
sosial yang bertugas untuk melaksanakan adat Karo yang tercermin dari tugas mereka dari
kalimbubu, senina/sembuyak dan anak beru sedangkan sangkep nggeluh adalah sistem
kekeluargaan yang mengikat individu Karo dan yang dimiliki orang Karo sebagai saudara
terdekat mereka yang diambil dari keturunan Ayah dan Ibu.
Sangkep Nggeluh di dalam masyarakat Karo tercermin dari cara orang Karo menarik
keturunan baik dari Ayah dan Ibu. Hal inilah yang melekat dalam individu Karo. Dalam hal ini
penulis akan mencontohkan sangkep nggeluh yang penulis miliki dari ayah dan ibu.
1. Merga/Beru. Nama keluarga untuk seseorang yang berasal dari Ayahnya. Kalau untuk anak
perempuan disebut beru. Dan untuk anak laki-laki merga tersebut akan diturunkan turun
temurun. Penulis punya merga Karo-Karo (salah satu merga dasar suku Karo) dan sub merga
yang dimiliki penulis ialah Barus. Sehingga merga yang dimiliki penulis ialah barus mengikuti
sub merganya. Tetapi untuk penulisan cukup dengan barus saja. Tetapi untuk pengucapan nama
karo-karo tetap digunakan.
2. Bere-Bere. Nama keluarga yang diwarisi seseorang dari beru ibunya. Beru ibu penulis adalah
Ginting Suka, jadi bere-bere penulis ialah Ginting Suka.
25
Darwan Prints, Adat Karo, ( Medan: Penerbit Kongres Kebudayaan Karo,1996), 35.
3. Binuang. Nama keluarga yang diwarisi seseorang dari bere-bere ayah atau ibu dari ayah.
Bere-bere ayah penulis ialah Ginting Munthe. Dapatkan diartikan ini adalah nenek dari penulis
(dari ayah)
4. Kempu (perkempun). Nama keluarga yang diwarisi dari bere-bere ibu. Dapat diartikan sebagai
nenek dari penulis melalui keturunan ibu. Nenek dari ibu penulis mempunyai beru Sitepu. Jadi
penulis merupakan kempu dari Sitepu.
5. Kampah. Nama keluarga yang diwarisi seseorang dari bere-bere kakek ayah penulis. Ibu dari
kakek penulis memiliki beru ginting munthe. Sehingga penulis memiliki kampah ginting munthe.
6. Soler. Nama keluarga yang diwarisi seseorang dari beru dari neneknya ibu. Beru dari
neneknya ibu penulis ialah beru Sembiring Gurukinayan.26
Inilah 6 kekerabatan yang dimiliki
oleh tiap individu Karo, hal ini harus diketahui oleh orang Karo sebagai bentuk kekerabatan yang
mereka miliki. Dengan ke enam hal ini, inilah saudara terdekat orang Karo atau pada hal ini
dikaitkan dengan penulis. Dan siapapun orang Karo yang memiliki merga/beru di atas
merupakan saudara dekat meskipun tidak kandung.
Rakut si telu memiliki fungsi sebagai berikut.Pertama, mengikat masyarakat suku Karo
menjadi satu, mengikat dan mempersatukan setiap individu-individu masyarakat Karo dalam
setiap kegiatan adat istiadat dan didalam kehidupan sehari-harinya.27
Artinya orang Karo sudah
diikat oleh budaya dan tidak bisa dilepaskan oleh apapun. Hal yang mengikat itu biasanya
berasal dari merga dan kelompok sosial yang individu Karo miliki.
26
Brahmana, Daliken Si Telu, 36-37. 27
Brahmana, Daliken Si Telu, 6.
Pengikatan itu dilakukan agar orang Karo tetap melihat sesamanya sebagai saudara dalam
kehidupan sosial dan tidak hanya sebatas praktik-praktik budaya saja. Sebab kelihaatan aneh jika
kekuatan budaya begitu mengikat individu Karo tetapi kehidupan sosialnya dengan orang lain
sangat minim dengan nilai kemanusiaan dan persaudaraan. Sehingga ikatan ini mencirikan orang
Karo yang beridentitas sosial. Kemudian yang kedua, Terikat kepada kepada kekerabatan tiap-
tiap individunya secara terbuka.28
Polarisasi kekerabatan suku Karo sangat spiral dalam arti tidak terputus. Mungkin hari ini
bisa menjadi yang memiliki acara, kemudian hari bisa menjadi kalimbubu, senina/sembuyak &
anak beru di dalam struktur kekerabatannya. Sehingga varian peran semacam ini membutuhkan
keterbukaan dari tiap individu Karo guna menyadari bahwa dirinya membutuhkan orang lain dan
memiliki rasa rendah hati terhadap peran sosial didalam sistem kekerabatan orang Karo. Ketiga,
mengikat dalam hubungan sosial sehingga ada rasa gotong royong didalam kehidupannya
sehingga memunculkan rasa empati didalam dirinya dan mengutamakan mufakat dan
menghormati pendapat orang lain.29
hal ini terlihat dalam tradisi orang Karo yang disebut runggu
(musyawarah).
Dimana musyawarah ini tempat berkumpulnya tiga kelompok sosial yang ada didalam
sistem kekerabatan orang Karo. penjelasan tentang runggu akan dibahas dalam bagian
selanjutnya. Rakut si telu adalah ikatan fungsi sosial dalam masyarakat Karo yang
mengelompokkan tiap individu Karo ke dalam peran, fungsi dan status didalam sistem
kekerabatan orang Karo. Dimana pengelompokkan ini berfungsi dalam peradatan suku Karo dan
didalam praktik kehidupannya bersama orang lain.
28
Brahmana, Daliken Si Telu, 6. 29
Pertampilan S.Brahmana. Daliken Si Telu…6.
Kemudian rakut si telu terbagi atas 3 bagian yaitu:
1. Kalimbubu
Kelompok sosial pertama ialah kalimbubu. Kalimbubu adalah kelompok pemberi dara
bagi keluarga. Dalam hal ini kalau diilihat dalam keadaan penulis, yang termasuk dalam
kalimbubu penulis ialah saudara laki-laki dari ibu penulis (paman). Kalimbubu juga memiliki
sebutan sebagai dibata ni idah (Tuhan yang kelihatan). Konsep kalimbubu sebagai Tuhan
kelihatan disebabkan oleh tugas dan tanggung jawab mereka yang diidentikan sebagai penasehat
dalam peradatan suku Karo, dengan kata lain pada kelompok kalimbubu memiliki tugas
mengawal keseluruhan acara yang ada dalam peradatan suku Karo. Selain itu kelompok
kalimbubu ini memiliki makna tambahan sebagai kelompok yang begitu mempengaruhi struktur
sosial yang ada didalam masyarakat Karo. Pengaruh itu ditandai dengan kalimbubu menjadi
tumpuan dan wadah bagi masyarakat Karo ketika ingin melakukan peradatan, mempersiapkan
sampai menyelenggarakan peradatan tersebut.
Sehingga kalimbubu sangat disegani didalam sistem kekerabatan suku Karo dikarenakan
memiliki peran yang sangat penting didalam peradatan karena dia adalah pemberi dara bagi
keluarga. Kalimbubu bisa diartikan sebagai paman dari ibu individu Karo. Biasanya kalimbubu
memiliki kewajiban untuk memberikan saran-saran kepada orang Karo disekitarnya dan dapat
pula memaksakan kehendaknya sesuai dengan keinginannya. Sehingga kalimbubu menjadi
prioritas utama dalam pelaksanaan adat di Suku Karo. Itu sebabnya menyegani kalimbubu berarti
menghormati peradatan yang sedang berlangsung. 30
30
Wawancara dengan Dyaman Ginting Manik dilaksanakan di Aula GBKP Yogyakarta pada tanggal 21 Agustus 2017, pukul 17.30-17.45 Wib.
Dalam kehidupan sosial masyarakat Karo, kalimbubu dijadikan untuk tetap bertanya
pendapat, saran dan nasihat ketika terjadi suatu permasalahan dalam keluarga. Biasanya
kalimnbubu akan memberikan saran, nasihat atapun solusi yang tepat untuk suatu permasalahan
yang terjadi. Dan menjadi kebiasaan dalam suku Karo untuk mengikuti saran ataupun solusi dari
kalimbubu. Karena dianggap saran dan solusi yang diberikan oleh pihak kalimbubu dapat
menyelesaikan permasalahan keluarga tersebut.
Kalimbubu juga dibagi menjadi beberapa bagian yaitu:
Kalimbubu berdasarkan tutur (berdasarkan tradisi sehari-hari).Kalimbubu bena-bena.
Kelompok keluarga pemberi dara kepada keluarga tertentu yang dianggap sebagai
keluarga pemberi anak dara dari keluarga itu. Atau dengan kata lain kelompok ini sebagai
pemberi dara sekurang-kurangnya tiga generasi. Kemudian kalimbubu Simajek lulang
yang golongannya mendirikan kampung. Biasanya kelompok ini diberikan secara turun
temurun dalam suatu kampung.31
Kalimbubu iperdemui adalah orangtua/saudara dari isteri orang/keluarga tertentu.
Kalimbubu ini sering disebut sebagai kalimbubu sierkimbang. Artinya kalimbubu
berfungsi membawa pakaian adat bagi menantunya dan ini dijalankan pada pesta ada
tertentu.
Kalimbubu Simada Dareh (bere-bere)
Orang tua (bapa) atau turang (saudara) ibu. Dalam praktek kalimbubu ini dibagi menjadi
lima bagian sesuai dengan keadaan tertentu. 1.kalimbubu singalo ulu emas. Bila bere-
bere (keponakan)nya yang laki-laki kawin, maka ia disebut kalimbubu singalo ulu
emas.2. Kalimbubu Singalo bere-bere. Bere-berenya yang perempuan kawin, maka ia
disebut sebagai kalimbubu singalo bere-bere.3. Kalimbubu Singalo Maneh-Maneh.
Apabila anak beru meninggal dunia dalam usia lanjut. Kalimbubu ini berhak untuk
menerima utang adat.4. Kalimbubu singalo morah-morah. Anak beru dareh meninggal
dunia, umur belum lanjut, anak belum berkeluarga semua, maka ia menerima utang adat
berupa morah-morah. Terakhir ialah kalimbubu singalo sapo iluh. anak beru darah yang
meninggal dalam usia muda, belum berkeluarga maka utang adatnya bernama sapu
iluh.32
Kalimbubu Bapa (Binuang)
31
Kalvinsius Jawak, “Teologi Agama-Agama GBKP”. (Doktor diss., Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga,2014, 147. 32
Prints, Adat Karo, 44-45.
Kalimbubu dari ayah, kalau dalam tutur ia menjadi binuang, memiliki sub kalimbubunya
sesuai dengan fungsinya. 1. Kalimbubu Simajek Diliken. Anak berunya ( yang
binuangnya adalah dia yang memasuki rumah baru maka, dia disebut kalimbubu simajek
diliken. 2. Kalimbubu Singalo Perninin. anak beru menteri (anak perempuan dari bere-
berenya laki-laki) kawin. Maka ia menerima utang adat dari neneknya. 3. Kalimbubu
Singalo ciken-ciken. Anak beru menteri (laki-laki yakni anak dari bere-berenya yang
perempuan meninggal dunia, maka ia menerima utang adat dari kalimbubu ciken-ciken.
Kalimbubu Nini (Kampah)
Kalimbubu dari kakek (ayah dari ayah). Kalimbubu ini sering disebut sebagai kalimbubu
bena-bena.
Kalimbubu tua. Kalimbubu ini dibagi menjadi tiga bagian:
Kalimbubu Tua Jabu. 1 Kalimbubu yang secara terus-menerus memberi anak daranya
dari empung, kakek sampai ke ayah. 2. Kalimbubu Tua Kesain. Kelompok dari merga
tertentu yang diangkat menjadi kalimbubu ketika mendirikan kesain33
tertentu34
Kalimbubu berperantara ke sukut. Dibagi menjadi beberapa bagian. 1. Puang Kalimbubu
(kalimbubu dari ibu kita) kalau dilihat dari struktur kekerabatan penulis ini, puang
kalimbubu penulis adalah ia yang bermerga sitepu. Kemudian, puang kalimbubu yang
menerima perkempun dan ciken-ciken, seperti puang ni puang(soler) Dan yang terakhir
kalimbubu Sepemeren. Sipemeren dari kakak laki-laki ibu kita.35
2. Senina/Sembuyak
Kelompok sosial kedua yaitu Sembuyak/Senina. Secara harafiah sembuyak berasal dari
kata „se‟ berarti satu dan „mbuyak’ berarti perut/rahim, jadi sembuyak artinya merga/klen asal
usulnya berasal dari satu perut/rahim.36
Artinya saudara kandung yang berasal dari ibu yang
sama. Ini biasanya berasal dari satu garis keturunan yang sama (merga yang sama). Kemudian
peranan sembuyak adalah bertanggung jawab kepada setiap upacara, adat sembuyak-
sembuyaknya, baik kedalam maupun keluar. Hal ini menandakan bahwa sembuyak dijadikan
sebagai kekuatan keluarga untuk membantu satu keluarga yang sedang bermasalah ataupun ingin
melakukan peradatan baik perkawinan dan kematian dan bisa untuk peradatan lainnya. Karena
33
Tempat dilakukannya upacara adat Karo pada zaman dahulu. 34
Prints, Adat Karo, 46-47. 35
Prints, Adat Karo, 48-49. 36
Jawak, “Teologi Agama-Agama GBKP,” 149.
sembuyak merupakan saudara kandung, mereka wajib membantu segala keperluan saudara
kandungnya.
Biasanya ini terjadi ketika suatu keluarga yang mengalami permasalahan baik secara
ekonomi, sosial, maupun masalah lainnya. Saudara kandung dari Ayah, ibu dan anak-anak
mereka wajib untuk memberikan bantuan sesuai dengan apa yang diperlukan. Hal ini harus
dilakukan sebagai tanda bahwa mereka bersaudara kandung. Peranan mereka sangat penting
dalam keberlangsungan kehidupan suatu keluarga.37
Bantuan itu biasanya bersifat mendamaikan
jika terjadi perselisihan antar keluarga, selain itu bantuannya berupa memberikan bantuan moril (
keuangan) jika memang permasalahan soal keuangan. Keberadaan Kelompok ini semakin
mempertegas bahwa sembuyak menjadi penghibur, pendamai dan penyayang karena tugas
mereka sangat berkaitan dengan kesadaran nurani untuk menolong saudara kandungnya.
Kemudian senina berasal dari „se‟ berarti satu dan „nina‟ berarti kata atau pendapat, jadi
senina adalah orang-orang yang bersaudara yang satu kata dan satu pendapat.38
Senina ini bukan
berarti berasal dari saudara kandung, bisa saja itu berasal dari merga/submerga yang sama.
Sehingga diangkat menjadi senina dalam satu keluarga. Sehingga senina banyak diambil dari
merga yang sama. Demi mempertahankan struktur sosial didalam kekerabatan dan keluarga.
Sehingga biasanya persaudaraan terlihat juga dalam senina ini karena sudah dianggap seperti
sembuyak yang sama berasal dari perut ibu yang sama. Kemudian ditambahkan lagi bahwa ada
senina sikaku ranan. Kelompok ini adalah orang-orang yang mempunyai merga yang sama
37
Wawancara dengan Yanti Br Pencawan dilaksanakan di Aula GBKP Yogyakarta. Pada tanggal 20 Agustus 2017, pukul 18.00-18.15 Wib. 38
Jawak, “Teologi Agama-Agama GBKP”, 149.
tetapi sub merga yang berbeda. Dalam musyawarah (runggu) kelompok ini menjadi juru
bicara.39
Kemudian ditambah lagi dengan Sipemeren. Orang-orang yang bersaudara, karena ibu
mereka bersaudara atau beru ibu mereka sama. Selain itu ada siparibanen. Kelompok orang-
orang yang bersaudara karena isteri mereka bersaudara (sembuyak) atau beru istri mereka sama.
Ada juga jenis senina sepengalon. Persaudaraan yang timbul karena perempuan kita kawin
kepada pria yang sudah mengambil istri dari merga tersebut. Dan yang terakhir adalah
Sendalanen. Persaudaraan, yang timbul karena menjadi menantu laki-laki dari paman dari ibu
kita. Atau menikah dengan sepupu kandung.40
Selain itu ada kelompok senina. Tugas senina adalah memimpin permbicaraan dalam
musyawarah, bila dikondisikan dengan situasi sebuah organisasi adalah sebagai ketua dewan.
Fungsinya adalah sebagai sekaku/sekat dalam pembicaraan adat, agar tidak terjadi
kesalahpahaman ketika akan memusyawarahkan pekerjaan yang akan didelegasikan kepada anak
beru.41
Dengan begitu senina memiliki fungsi juga sebagai media patner antara yang memiliki
pesta dengan kerabat keluarga yang datang. Oleh sebab itu, ketika ada hal-hal yang ingin
disampaikan dalam suatu musyawarah, para pemilik pesta sudah terlebih dahulu mendiskusikan
hal-hal apa saja yang nantinya mau disampaikan dan didiskusikan.
Kelompok sosial ini semakin memperjelas bahwa orang Karo tidak hanya memiliki rasa
hormat dengan kalimbubu saja melainkan harus memiliki rasa peduli dengan senina, sebab
mereka jadi penyambung lidah si pemilik pesta. Sehingga kondisi seperti ini, sering membuat
orang Karo memiliki senina yang banyak karena itu membuat mereka memiliki teman cerita
39
Prints, Adat Karo, 39. 40
Prints, Adat Karo, 39-40. 41
Jawak, “Teologi Agama-Agama GBKP”, 151.
dalam kehidupan mereka sebagai orang Karo meski senina itu bukan berasal dari saudara
kandungnya tetapi bisa saja diambil dari merga yang sama ataupun bebere ( beru ibu) yang sama
dengan orang Karo yang pemilik pesta adat tersebut.42
Selain itu Kelompok senina dalam konteks bermasyarakat sangat dekat dengan
seninanya. Meski tidak satu merga, kedekatan mereka sudah dibangun berdasarkan keinginan
dan kebutuhan mereka bahwa suatu saat mereka saling membutuhkan dalam hal peradatan dan
berdasarkan kebutuhan lainnya. Pola kekerabatan semacam ini memberikan peluang bagi
masyarakat Karo untuk selalu bisa memiliki saudara yang banyak. Selain secara budaya sudah
ditentukan siapa saja yang bisa dijadikan sebagai senina mereka.
Tetapi secara konteks bermasyarakat, senina bisa mereka angkat dalam pengertian
kerabat dekat yang memiliki hubungan dekat keluarga. Meski dalam peradatan Karo yang
mereka tidak bisa memberikan bantuan secara peradatan, tetapi secara kehidupan lainnya diluar
budaya, mereka bisa dijadikan sebagai kerabat. Kerabat dalam pekerjaan, kerabat dalam
bergereja. Ini menandakan fungsi senina tak terbatas budaya melainkan sudah mulai memiliki
peranannya memperlengkapi hubungan keluarga masyarakat Karo dalam hal penyelesaian
masalah keluarga maupun sebagai teman sharing.
3. Anak Beru
Kelompok sosial ketiga adalah anak beru. Anak beru ialah para pengambil anak dara atau
penerima anak gadis dari klen tertentu untuk diperistri.43
Atau biasanya anak beru ialah yang
satu merga dengan Ayah si pemilik pesta yang perempuan. Tugas anak beru ini sangat penting
42
Wawancara dengan Setia Br Pinem dilaksanakan di Aula GBKP Yogyakarta pada tanggal 20 Agustus 2017, pukul 19.00.-19.15. Wib. 43
Prints, Adat Karo, 47.
dikarenakan tugas mereka sebagai orang dibalik layar dalam konteks bermasyarakat Karo,
memiliki tanggungjawab untuk menyelesaikan acara adat dari kalimbubunya. Oleh sebab itu
ketika acara adat berlangsung anak beru wajib hadir sebagai penanggungjawab acara dalam
suatu peradatan suku Karo.
Anak beru dibagi menurut dua bagian yaitu:
1. anak beru berdasarkan tutur, terbagi atas:
Anak beru tua. Pihak penerima anak wanita dalam tingkatan nenek moyang yang secara
bertingkat terus menerus selama tiga generasi. Tugas anak beru ini ialah kordinator
dalam acara adat yang diadakan oleh pihak kalimbubunya. Kemudian anak beru taneh.
Penerima wanita pertama, ketika sebuah kampung selesai didirikan
2. Anak beru berdasarkan kekerabatan.
Anak beru jabu. Orang yang langsung boleh menyimpan barang simpanan
kalimbubunya. Dipercaya dan diberi kekuasaan untuk menjaganya. Karena dia
merupakan anak kandung saudara perempuan Ayah. Kemudian anak beru langkip.
Penerima wanita yang menciptakan jalinan keluarga yang pertama karena di atas
generasinya belum pernah mengambil anak wanita dari kalimbubunya. Atau dengan kata
lain dia langsung mengawini anak wanita dari keluarga tertentu. Kemudian ada anak beru
menteri. Anak beru dari anak beru. Fungsinya untuk menjaga penyimpanan-penyimpanan
adat, baik dalam bermusyawarah maupun ketika adat sedang berlangsung. Dan yang
terakhir adalah anak beru singukuri. Anak beru dari anak beru menteri, fungsinya
memberi saran, petunjuk di dalam landasan adat dan sekaligus memberi dukungan tenaga
yang diperlukan.44
Secara umum anak beru memiliki tugas yaitu:
1.Mengatur jalannya pembicaraan runggu (musyawarah) adat. Anak beru biasanya
bertugas dalam mencatat apa saja yang dibicarakan dalam musyawarah. Pembicaraan ini
dipersiapkan oleh anak beru. Hal ini mereka lakukan agar persiapan-persiapan pesta bisa
berjalan dengan baik. Dan tidak terjadi lagi kekurangan dalam peradatan.
44
Jawak, “Teologi Agama-Agama GBKP”, 152-153.
2.Menyiapkan hidangan pada pesta.Tugas ini mereka lakukan dengan cara
mempersiapkan menu makananan, minuman yang sudah disepakati dalam musyawarah. Dimulai
dengan membeli bahan makanan, kemudian memasaknya. Bahan makanan biasanya keperluan
dapur, beras, dan bahan makanan dan minuman lainnya. Ini yang harus dilakukan oleh anak
beru
3.Menyiapkan peralatan dalam pesta. Biasanya mereka bertugas untuk menyiapkan
peralatan masak, seperti kuali, sendok, lokasi memasak dan lain sebagainya yang berhubungan
dengan peralatan memasak. Kemudian mereka bertugas untuk menyewa jambur (tempat
pelaksanan pesta peradatan).
4.Menanggulangi sementara biaya semua pesta. Secara ekonomis, mereka bertanggung
jawab untuk menyelesaikan biaya pesta yang masih kurang. Sehingga kelompok anak beru
memang sudah mempersiapkan dana jika memang si pemilik pesta kekurangan dana. Kemudian
ketika pesta sudah selesai, nantinya keluarga akan mengumpulkan anak berunya untuk
membicarakan kekurangan biaya dan mendiskusikan untuk hal pelunasan.
5.Mengawasi harta semua kalimbubu wajib menjaga dan mengetahui harta benda
kalimbubunya. Dalam konteks orang Karo mula-mula, masyarakat Karo dulunya tinggal dalam
rumah adat orang Karo atau sekarang dikenal dengan istilah rumah siwaluh jabu (rumah delapan
keluarga). Ketika anak beru melihat harta, atau benda milik keluarga tersebut tercecer didalam
rumah tersebut, mereka berkewajiban untuk menjaga ataupun menyimpannya terlebih dahulu.
Tetapi dalam konteks orang Karo zaman sekarang hal itu tidak dilakukan lagi, karena orang Karo
pada umumnya sudah memiliki rumah sendiri.
6.Menjadwalkan pertemuan keluarga. Anak beru berkewajiban mengatur pertemuan
keluarga dengan kerabat keluarga lainnya. Biasanya pertemuan keluarga yang diatur ialah
pertemuan persiapan peradatan Perkawinan, makan bersama keluarga besar kalimbubu. Kalau
secara mendadak, misalnya mengadakan pertemuan untuk peradatan kematian.
7. Memberikan kabar atau menyampaikan undangan kepada para kerabat yang lain bila
ada pesta adat kalimbubunya. Mereka menyampaikan undangan kepada kerabat keluarga yang
bersangkutan. Undangan ini tidak boleh tidak sampai kepada kerabat keluarga dan benar-benar
diterima oleh kerabat bersangkutan. Jika ada yang tertinggal, biasa kerabat yang tidak dapat
undangan tetap hadir dan akan memberi tahu bahwa undangan tidak sampai ketika peradatan
berlangsung ataupun ketika peradatan sudah selesai dilaksanakan dalam rangka mengingatkan,
sebagai bahan evaluasi kepada kalimbubu.
8. Menjadi juru damai bagi kalimbubunya.45
Ketika terjadi perselisihan antara kalimbubu
dengan kerabat keluarga lainnya. Anak beru berkewajiban sebagai juru damai. Dengan cara
melakukan musyawarah untuk mempertemukan kalimbubu dengan kerabat yang berselisihan. Di
sini anak beru diharapkan netral dan tidak memihak kemanapun. Fungsi mereka sebagai juru
damai bukan sebagai pembela atas kalimbubunya.
Oleh sebab itu kalimbubu berkewajiban untuk menyayangi anak berunya. Istilah Karo
menyebutnya name-nami ( menyayangi ). Karena kelompok sosial anak beru ini memiliki fungsi
yang penting. Tanpa anak beru suatu pesta dari kalimbubu tidak bisa berjalan. Tidak ada yang
bisa menggantikan posisi anak beru ini. Biasanya Orang Karo memiliki rasa empati dan
menyayangi anak beru karena posisi mereka banyak memberikan aksi sosial yang sangat besar
45
Jawak,” Teologi Agama-Agama GBKP”, 154.
dibandingkan dengan yang lainnya secara tindakannya. Dengan melihat ketiga kelompok sosial
ini, dapat ditemukan suatu jalinan atau jaringan komunikasi yang sangat diatur dalam sendi-
sendi kehidupan orang Karo. Terlihat dalam hal peradatan, kebutuhan sosial orang Karo (
ekonomi dan lain sebagainya).
3.5. Pemahaman Jemaat GBKP Runggun Yogyakarta Tentang Rakut Si Telu
Jemaat di GBKP Yogyakarta pada umumnya ialah orang Karo yang hijrah dari Tanah
Karo dan Medan. Tujuannya awalnya untuk kuliah di Yogyakarta. Kehidupan yang jauh dari
keluarga menuntut mereka untuk bisa bersosialisasi dengan orang lain. Bahkan jika bisa
bersosialisasi dengan orang Karo meski tidak memiliki hubungan bersaudara seperti di kampung
mereka. sehingga untuk mempersatukan kehidupan mereka antar orang Karo satu dengan lainnya
mereka mencari dan menentukan dan mengangkat siapa yang menjadi sangkep nggeluhnya.46
Oleh sebab itu sangkep nggeluh yang mereka miliki tidak berasal dari saudara kandungnya
melainkan mereka mencari kedekatan pertalian saudara mereka dari struktur merga, bebere, serta
asal kampung mereka.
Hal ini berdasarkan kesepakatan dan kekerabatan yang mereka miliki dan untuk
mengetahui dan mengangkat kalimbubu, senina dan anak beru bagi tiap-tiap orang Karo yang
berdiaspora biasanya tahapan awalnya berkenalan dan mencari hubungan kekerabatan mereka
kemudian sampai pada tahap pertemuan di tiap-tiap peradatan yang dilakukan di Yogyakarta
Rakut si telu sering diidentikkan dengan sangkep nggeluh ( persaudaraan berdasarkan
struktur kekerabatan). Mengetahui orang Karo bersaudara dengan sesamanya, biasanya orang
Karo harus berkenalan terlebih dahulu sehingga mereka bisa menentukan bagaimana posisi
46
Wawancara dengan Diaken Alvia Ezra Natalia Br Tarigan di lakukan di Aula Gereja GBKP Runggun Yogyakarta Pada Tanggal 18 Agustus 2017, pukul 18.33-19.01. WIB.
mereka didalam hubungan kekerabatan suku Karo. Setelah melakukan perkenalan, mereka
bercerita tentang siapa sanak saudara yang ada di kampung ataupun berasal dari kampung mana.
Biasanya kalau memiliki merga yang sama, tingkat kesulitannya tidak terlalu sulit karena
disebabkan nenek moyangnya pasti terjalin antara kampung satu dengan lainnya (contohnya
barus dengan barus yang memiliki satu merga yang sama di dalam Karo-Karo. Kemudian kalau
yang berbeda merga biasanya ditanyakan ibunya beru apa dan berasal darimana. Jika belum
ditemukan di tali persaudaraan sampai kepada tahap kakek dan nenek siapa dan berasal dari
kampung mana. Jika tidak ditemukan lagi maka diangkatlah sangkep nggeluh secara simbolik.
Sehingga tetap memiliki struktur persaudaraan secara budaya dan adat. Di dalam proses ini
jemaat GBKP Yogyakarta menempatkan peran dan posisi mereka dalam struktur rakut si telu.47
Dengan konteks kemasyarakatan diatas. Jemaat GBKP Runggun Yogyakarta pada
umunya memahami struktur rakut si telu. Struktur ini berupa tiga keatas, dua ketengah dan tiga
kebawah. 3 keatas itu ialah kalimbubu ( beru ibu), puang kalimbubu ( beru nenek dari ibu),
puang ni puang ( beru dari nenek ibu). Kemudian kedua ketengah ialah senina dan sembuyak.
Senina ialah marga yang memiliki rumpun merga yang sama. Sedangkan sembuyak ialah
saudara kandung yang satu perut dengan ibu kita. Dan tiga kebawah ialah anak beru.48
Tiga
konsep dasar ini dimiliki oleh oleh jemaat GBKP Runggun Yogyakarta dan masyarakat Karo
pada umumnya. Dengan mengetahui struktur ini orang Karo menemukan suatu ikatan budaya
dan ikatan sosial secara kemasyarakatan di dalam menjalankan kehidupannya. Umumnya di
Yogyakarta orang Karo sudah memiliki ketiga hal diatas.
47
Wawancara dengan Iriana Br Tarigan, Bp. Bebas Tarigan, Bp.soni Surbakti dilakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 19,21&23 Agustus 2017. Pada pukul, 20.30-20.50, 20.40-21.00 & 15.00-15.45.Wib. 48
Wawancara dengan Bp. Bedul Tarigan, Bp soni Surbakti dilakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 19 & 20 Agustus 2017. Pada pukul 11.10-11.40 & 15.00-15.45. Wib.
Rakut si telu ialah hal yang mendasar dalam budaya Karo dan dijadikan sebagai
pengikat yang kuat di dalam kekerabatan suku Karo.Biasanya orang Karo yang merantau
langsung mencari sangkep nggeluhnya karena itu merupakan tiga komponen dasar budaya harus
dimiliki oleh orang Karo ketika mereka merantau.49
Karena ini merupakan suatu hal yang harus
dilakukan orang Karo di Yogyakarta maka dari itu mereka mulai membangun komunikasi yang
dengan sangkep nggeluhnya. Komunikasi itu dibangun ketika mereka berada dalam suatu
peradatan seperti perkawinan, kematian dan masuk rumah baru dan arisn-arisan Karo yang
mereka ikuti bersama. Selain itu pemahaman rakut si telu di Karo diaspora mulai mengarah
rakut si telu sebagai fungsi sosial.
Fungsi sosial orang Karo yang harus dilakukan ialaah mereka harus siap dimanapun
peran dan posisi mereka dalam suatu struktur kekerabatan. Rakut si telu perannya akan selalu
berganti. Orang Karo tidak akan selalu menempati posisi kalimbubu akan ada kalanya mereka
akan menduduki posisi senina/sembyak atau anak beru. Sesuai dengan bagaimana hubungan
persaudaran yang dimiliki antara tiap-tiap orang Karo.50
Ketika kita bertutur atau berkenalan
biasanya kita sudah tau dimana status budaya/peradatan kita untuk orang lain yang baru kita
kenal karena kita terlebih dahulu menyampaikan merga dan bebere-bere kita yang melekat di
dalam diri kita sebagai konsep dasar ciri orang Karo yang mengetahui asal usul merga ayah dan
ibu.51
Peran rakut sitelu sudah mendarah daging dalam diri orang Karo. Kemudian pada
dasarnya orang Karo mengetahui rakut si telu secara umum saja dikarenakan hidup di tanah
49
Wawancara dengan Bp. Bedul Tarigan, dilakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 20 Agustus 2017. Pada pukul 11.10-11.40 Wib. 50
Wawancara dengan Deta Lebe Singarimbun yang dilakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 20 Agustus 2017, pukul 12-25.13.00 Wib. 51
Wawancara dengan Drs. Sinar Sebayang di lakukan di Aula Gereja GBKP Runggun Yogyakarta pada Tanggal 21 Agustus 2017. Pukul, 17.53-18.10. Wib.
rantau dan kehidupan bersama dengan orang Karo yang merantau menyebabkan mereka mampu
mempertahankan adat-istiadat yang ada dalam suku Karo. Karena orang Karo Diaspora
mengetahui benar bagaimana hidup merantau begitu memberikan resiko yang besar dan mereka
membutuhkan suatu ikatan/perkumpulan.komunitas yang sama-sama berasal dari satu suku yang
sama. Maka dari itu mereka mencari sangkep nggeluhnya. Itulah cara yang dilakukan orang Karo
diaspora Yogyakarta terkhusus bagi jemaat GBKP Runggun Yogyakarta agar pelaksanaan rakut
sitelu bisa berjalan dan tetap diwarisi di Yogyakarta.52
Pertemuan rakut si telu di Yogyakarta tidak hanya dilakukan dalam suatu peradatan suku
Karo saja. Melainkan itu terjadi di dalam suatu arisan53
merga orang Karo. arisan orang karo
terdiri dari arisan per merga, arisan asal kampung dan arisan secara keseluruhan masyarakat
Karo yang ada di Yogyakarta.54
Secara umum penerapan rakut si telu dapat dilihat dan
ditemukan dalam suatu peradatan di suku Karo. Narasi komunikasi ketiga hal tersebut sangat
terlihat di peradatan baik di peradatan perkawinan, pernikahan dan masuk rumah baru.
Tetapi di Yogyakarta pertemuan rakut si telu ini dapat juga dilihat dari arisan-arisan
yang dilakukan. Arisan ini dilaksanakan dalam rangka tetap membangun komunikasi yang ada
antar orang karo yang ada di Yogyakarta. Misalnya apa yang menjadi kendala didalam
perkumpulan tersebut, kemudian tentang keluarga yang jarang kelihatan atau yang memiliki
permasalahan yang mana kala arisan tersebut bisa memberikan solusi dan bantuan yang dapat
memberikan keringanan atas masalah tersebut.
52
Wawancara dengan Hendri Perangin-Angin di lakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 21 Agustus 2017. Pada Pukul, 20.00-20.20. Wib. 53
Arisan merga ada perkumpulan masyarakat Karo berdasarkan merga, asal kampung dan kekerabatan 54
Wawancara dengan Bp. Aloyna Sembiring dilakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 19 Agustus 2017, pukul 12.40-13.15 Wib.
Di dalam peradatan suku Karo yang ada di Yogyakarta. Peradatan biasanya dilakukan
suatu aula atau yang biasanya disebut sebagai jambur ( balai pertemuan). Karena keterbatasan
pemahaman tentang budaya Karo. Balai pertemuan yang melaksanakan adat Karo sudah
dipersiapkan tempat-tempat yang sudah diberi nama/jabatan dalam peradatan untuk
mempermudah orang Karo yang datang untuk bisa langsung mengetahui dimana mereka bisa
duduk dan mengetahui jabatan apa yang mereka lakukan selama suatu peradatan suku Karo ini
lakukan. 55
Hal ini dilakukan karena tidak semua orang Karo disini yang mengetahui secara persis
proses peradatan yang akan dilakukan dikarenakan mereka memang telah lama meninggalkan
tanah Karo, sebab lain karena mereka lahir dan besar di Yogyakarta. Dan untuk sebagai wahana
pembelajaran, balai pertemuan diberikan tanda atau nama jabatan yang dituliskan agar orang
Karo bisa tau dimana posisi jabatan mereka. Tetapi biasanya secara umum mereka mengetahui
dengan benar. Tetapi proses pelaksanaan peradatan dibutuhkan tetua Karo yang membantu
menjelaskan. Dan itu berasal dari orang Karo yang bergereja di GBKP Yogyakarta. Sehingga
orang Karo di GBKP Yogyakarta menjadi poros untuk membantu pelaksanaan peradatan di
Yogyakarta
Kemudian kebermanfaatan rakut si telu di rasakan oleh orang Karo di Yogyakarta karena
pelaksanaan adat suku Karo tidak diperlukan lagi suatu kepanitiaan dalam melaksanakan suatu
peradatan dikarenakan sudah ada rakut si telu. Biasanya orang Karo pasti sudah tahu posisi
dirinya di dalam suatu pelaksanaan peradatan suku Karo. misalnya anak beru sudah tau, hal-hal
apa saja yang harus dipersiapkan selama peradatan berlangsung dan senina/sembuyak dalam
55
Wawancara dengan Bp. Soni Surbakti dilakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 19 Agustus 2017, pukul 15.00-15.45 Wib.
keluarga tersebut sudah tau arahan-arahan yang seperti apa saja yg harus mereka berikan kepada
anak beru dalam pelaksanaan adat Karo tersebut. Dan kemudian Kalimbubu sudah mengetahui
saran-saran apa saja yang diberikan kepada anak beru dan senina. Dan dengan adanya rakut si
telu pekerjaan budaya dalam suku Karo lebih mudah karena sudah terorganisir. 56
Selama Ada GBKP di Yogyakarta, rakut si telu diusahakan selalu dilaksanakan. Dan
orang Karo di GBKP Yogyakarta sebagai promotor pelaksanaan budaya di Yogyakarta. Ada
beberapa orang Karo yang sudah menikah dengan suku lain disini tetapi tidak mempergunakan
budaya Karo lagi dan seolah-olah tidak mengenal orang Karo lagi. Dimensi semacam ini masih
ada di Yogyakarta. Untuk peradatan perkawinan dan peradatan orang meninggal rakut si telu
berjalan disini, meski bukan sangkep nggeluh kandung tetapi mereka tetap menjalankan tugas
mereka sebagai pemangku jabatan yang harus menyelesaikan suatu peradatan dengan baik dan
tepat. Caranya mencari kesamaan merga, kesamaan bebere-bere untuk senina dan mencari
kalimbubu terdekat dalam suatu keluarga.
Rakut si telu tidak membatasi kehidupan orang Karo, melainkan rakut si telu bisa kita
jalankan untuk suku lain. Misalnya suku jawa. Ketika laki-laki Karo menikah dengan perempuan
jawa, paman perempuan jawa yang berasal dari ibunya tersebut sudah dilabelkan sebagai
kalimbubu pihak laki-laki dan kita harus menghormatinya. Dengan kata lain rakut si telu
memberi ruang bagi suku lain untuk mendapatkan jabatan struktural budaya di dalam suku Karo
itu sendiri. Kalimbubu bagi pemahaman orang Karo disini masih menganggap mereka sebagai
Tuhan yang kelihatan, berarti menjadi orang yang paling bijaksana di dalam kehidupan orang
Karo. sehingga peran kalimbubu di suku Karo sangatlah penting. Tidak menutup kemungkinan
56
Wawancara dengan Pt. Bp. Arbi Bangun dilakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 19 Agustus 2017, pukul 16.15-16.50 Wib.
orang yang sudah diberi merga suku Karo bisa lebih memahami dan mengenal merga dan
budaya Karo. hal ini disebabkan mereka sering mengikuti dan menjalankan fungsi-fungsi sosial
rakut si telu.57
Relasi dengan Sangkep Nggeluh disini cukup baik. Karena mereka merupakan tulang
punggung pelaksana adat. Berbeda dengan halnya kalau di Tanah Karo yang masih memiliki
saudara-saudara kandung dan terdekat yang mau membantu. Karena di Yogyakarta sangat
terbatas. Oleh sebab itu penerapan nyata rakut si telu cukup nyata kelihatan di dalam peradatan
di Yogyakarta. Karena memiliki kesamaan nasib yaitu sama-sama merantau sehingga harus
berupaya semaksimal mungkin menjadi rakut si telu yang bisa menyelesaikan suatu peradatan.
Ketika ada suku lain yang sudah diberi merga suku Karo. biasanya orang Karo akan
menjelaskan ketiga hal ini apa saja tugasnya, serta kewajiban apa saja yang harus mereka penuhi
sehingga mereka memahami bagaimana mereka bersikap dengan kalimbubu, senina, dan anak
beru yang mereka miliki.58
Rakut si Telu pada umumnya membebaskan. Karena rakut si telu
memberikan strata sosial bagi kita untuk tiap-tiap keluarga orang Karo yang ada di Yogyakarta.
sebab ketika menjadi suku Karo kita sudah pasti memiliki ketiga peran budaya ini dan itu
melekat dalam diri kita. Kemudian rakut si telu menjadi fondasi awal di dalam bergereja. Sangat
terlihat rakut si telu dilaksanakan didalam kehidupan berkomunitas suku Karo di Yogyakarta.
Misalnya masih ada runggu atau musyawarah yang sering dilakukan dalam melaksanakan
kegiatan-kegiatan di Gereja.
57
Wawancara dengan Bp. Soni Surbakti dilakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 19 Agustus 2017, pukul 15.00-15.45 Wib. 58
Wawancara dengan Bp. Bedul Tarigan, dilakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 20 Agustus 2017. Pada pukul 11.10-11.40 Wib.
Sebab masyarakat Karo juga dalam budayanya juga melaksanakan runggu. Di dalamnya
terdapat ketiga jabatan tersebut yang dimana mereka membahas hal-hal apa saja yang harus
dilakukan untuk melaksanakan suatu kegiatan gereja. Hanya saja budaya Karo disini dikemas
dengan wajah baru saja tidak terlalu kaku dan dilaksanakan sesuai dengan kesanggupan orang
Karo khususnya di GBKP Yogyakarta. Tetapi berbicara tentang peradatan, tidak hanya orang
Karo GBKP saja melainkan pelaksanaan adat itu sama-sama dilakukan dengan orang Karo
Kristen lainnya, orang Karo khatolik dan Orang Karo muslim. Tidak menutup kemungkinan
sangkep nggeluh mereka berasal dari orang Karo yang bergereja di GBKP Yogyakarta.59
Rakut si telu sebenarnya mengatur tatanan bermasyarakat suku Karo yang ada di
Yogyakarta. Sehingga kita memiliki memiliki status sosial dan identitas budaya yang sah
didalam bermasyarakat sehingga dengan adanya rakut si telu masyarakat Karo disini lebih
mengetahui pola bermasyarakat yang baik itu seperti apa. Sehingga orang Karo disini mudah
diterima dengan suku lain di Yogyakarta karena sudah terbiasa hidup dengan menghormati,
menyayangi dan menolong sesama, dan itu didapatkan selama rakut si telu hidupi sebagai
kekuatan sosial bagi orang Karo disini. 60
Rakut si telu disini memberikan kebebasan yang terbatas. Karena ketiga hal ini berputar
terus menerus sesuai dengan siapa yang melaksanakan peradatan dan kita memiliki jabatan
budaya apa di dalam suatu peradatan karo yang sedang dilaksanakan. Sehingga tidak selamanya
orang Karo berada dalam posisi kalimbubu bisa saja mereka akan berada di posisi anak beru dan
senina. Karena sangkep Nggeluh yang ada di masyarakat Karo di GBKP Yogyakarta bukanlah
dari se darah dengan kita, maka siapa saja yang sudah diangkat menjadi kalimbubu, senina, dan
59
Wawancara dengan Deta Lebe Singarimbun yang dilakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 20 Agustus 2017, pukul 12-25.13.00 Wib. 60
Ibid, wawancara dengan Drs, Sinar Sebayang
anak beru sudah dianggap menjadi saudara kandung sehingga ketika orang karo disini
mengalami kesusahan dan membutuhkan pertolongan mereka sudah tau kemana mereka harus
menyampaikan persoalan mereka. Karena sudah pengangkatan secara legal formal rakut si telu
di Masyarakat Karo terkhususnya di GBKP Yogyakarta. 61
Penerapan rakut si telu sudah berjalan di masyarakat Karo Yogyakarta sedemikian baik,
karena sudah mulai ada diskusi-diskusi budaya, arisan per merga. Dan di dalam arisan per merga
lah rakut si telu ini kelihatan karena kita duduk bersama dengan senina kita, anak beru kita
bahkan juga bisa dengan kalimbubu kita. Semua sudah menjadi satu di dalam arisan per merga.
Karena setiap merga yang kita punya pasti sudah ada ketiga hal tersebut. Sehingga kalau di
Yogyakarta tidak hanya dalam peradatan saja melainkan di arisan merga Karo sudah di terapkan.
Di Perantauan budaya Karo sudah mulai tidak kaku lagi, lebih sudah dipermudah dikarenakan
keterbatasan orang Karo dalam melaksanakan peradatan. Karena keterbatasan saudara kandung
oleh sebab itu pengangkatan sangkep nggeluh yang ada saja dilakukan tidak secara penuh seperti
di kampung lakukan.
3.6. Penerapan Rakut Si Telu di dalam Jemaat GBKP Runggun Yogyakarta.
Pada umumnya masyarakat Karo yang tergabung di dalam Jemaat GBKP Yogyakarta
masih menerapkan sangkep nggeluhnya di dalam kehidupannya sehari-hari. Sangkep nggeluh itu
terlihat dari penerapan rakut si telu di dalam aktivitas jemaat GBKP Yogyakarta. Penerapan itu
terlihat dari setiap peradatan perkawinan, kematian, runggu (musyawarah), arisan komunitas
Karo dan perpulungen jabu-jabu (ibadah keluarga). Unsur-unsur di atas membuat rakut si telu
tetap menjadi hidup dan berkembang, sehingga persaudaraan dan kesatuan jemaat GBKP
61
Wawancara dengan Bp Ramli Ginting & Ibu Setia Ukur Br Pinem Di lakukan di Aula Gereja GBKP Runggun Yogyakarta Pada Tanggal 21 Agustus 2017. Pukul, 19.05-19.25. WIB.
Yogyakarta tetap masih terlihat. Penerapan rakut si telu tersebut tidak hanya berlaku pada di
jemaat GBKP Yogyakarta saja melainkan masyarakat Karo yang beragama Islam dan Katolik.
Penerapan pertama terlihat dari adat perkawinan dan kematian yang dilakukan di
Yogyakarta menurut penuturan Tuan Soni Surbakti (beliau merupakan salah satu jemaat di
GBKP Yogyakarta), beliau menuturkan bahwa adat perkawinan dan kematian suku Karo di
Yogyakarta terkhususnya bagi jemaat GBKP masih dijalankan. Ada yang memilih peradatan
dilakukan di Yogyakarta dan ada yang memilih untuk dilaksanakan di kampung halamannya
masing-masing.62
Kemudian beliau menambahkan tentang bagaimana keadaan umum tentang
peradatan perkawinan dan kematian yang terjadi di Yogyakarta.
Beliau menuturkan bahwa peradatan perkawinan dan kematian suku Karo pada biasanya
dilakukan di jambur (balai desa), tetapi kalau di Yogyakarta dilaksanakan di Aula pertemuan
ataupun ruang tertutup yang cukup besar. Beliau menjelaskan bahwa di dalam peradatan suku
Karo, ketika sudah berada di Aula atau ruang pertemuan posisi pihak perempuan berada di
sebelah kanan pintu masuk, makna dari sebelah kanan ialah orang yang dihormati (pihak
perempuan) dan kemudian yang disebelah kiri pintu masuk ialah pihak laki-laki yang artinya
pihak laki-laki yang menghormati pihak perempuan. Sehingga keadaan peradatan tersebut
terbagi menjadi dua bagian.
Di dalam dua bagian tersebut, tempat duduk masyarakat Karo pun diatur, posisi pihak
perempuan urutannya ialah pojok kanan dimulai dari teman meriah (tetangga rumah/jiran, teman
kantor, teman organsisasi atau yang berkaitan dengan teman dekat yang diluar dari rakut si telu).
Kemudian disusul kalimbubu (paman), senina/sembuyak (satu merga yang satu
62
Wawancara dengan Bp. Soni Surbakti dilakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 19 Agustus 2017, pukul 15.00-15.45 Wib.
darah/kandung/garis keturunan dan yang satu merga meski tak sedarah) dan yang paling terakhir
adalah anak beru (saudara perempuan yang satu merga dengan ayah). Anak beru mendapat
posisi paling terakhir atau dekat dapur dikarenakan mereka yang akan melayani atau
menghidangi acara makan bersama. Oleh sebab itu mereka memiliki posisi di paling belakang.
Begitu juga sebaliknya dengan pihak laki-laki, urutanya juga sama dengan pihak perempuan.63
Hal ini menandakan bahwa di dalam kehidupan masyarakat Karo diusahakan dalam hal
apapun diatur dengan tujuan supaya ada keteraturan dan terlihat rapi. Dan hal ini menunjukkan
bahwa setiap peradatan suku Karo yang dilakukan sangat mahal harganya sehingga dibutuhkan
sesuatu yang sempurna. Kemudian Tuan Bedul Tarigan menambahkan bahwa fungsi kalimbubu,
senina/sembuyak dan anak beru terihat ketika acara peradatan perkawinan dan kematian dimulai.
Mereka akan melakukan dialog terbuka yang dipimpin oleh anak beru tua (juru bicara ini berasal
dari anak beru tua pemilik pesta adat tersebut).
Jika yang melakukan peradatan ialah penulis berarti yang menjadi juru bicara/pemimpin
peradatan yang ialah yang berasal dari keluarga penulis. Kemudian Juru bicara/pemimpin
peradatan akan mengarahkan sangkep nggeluh dari pihak laki-laki dan perempuan untuk
berdialog, biasanya dialog yang diceritakan ialah mahar (uang yang akan diterima oleh pihak
perempuan) dari pihak laki-laki ini dalam konteks perkawinan jika dalam konteks kematian ini
dinamakan utang adat (uang yang akan diterima oleh kalimbubu, senina/sembuyak dan anak
beru) dari keluarga yang sedang mengalami dukacita. Biasanya uang yang dibicarakan dalam
konteks kematian, nominalnya akan lebih rendah dibandingkan dari mahar di perkawinan.64
63
Wawancara dengan Bp. Soni Surbakti dilakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 19 Agustus 2017, pukul 15.00-15.45 Wib. 64
Wawancara dengan Bp. Bedul Tarigan, dilakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 20 Agustus 2017. Pada pukul 11.10-11.40 Wib.
Selain itu sebelum dialog dilakukan, biasanya diberikan kampil (keranjang kecil yang
berisikan sirih, tembakau, buah pinang, rokok, dan korek api. Kampil ini diberikan dari pihak
laki-laki ke pihak perempuan yang diterima oleh kalimbubu dari pihak perempuan. Makna
diberikan kampil ini ialah untuk perempuan diberikan sirih, tembakau dan buah pinang karena
perempuan Karo pada umumnya suka makan sirih dan rokok untuk pihak laki-laki. Ini menjadi
simbol penghormatan bahwa kebutuhan sangkep nggeluh yang hadir merupakan suatu hal yang
harus dipenuhi. Tidak hanya kalimbubu aja yang mendapatkannya senina/sembuyak dan anak
beru mendapatkan bagian yang sama. 65
Selain mahar/utang adat yang ditentukan, dialog itu juga membahas tentang urutan
tentang kelompok yang terlebih dahulu yang akan menyampaikan kata-kata sukacita/dukacita
kepada pihak yang melaksanakan pesta, kemudian membahas pada pukul berapa untuk makan
siang dan pada pukul berapa peradatan akan selesai dilaksanakan. Hal semacam ini masih
dilakukan di Yogyakarta meski tak seakurat yang ada di kampung halaman dikarenakan
keterbatasan saudara dekat/kandung. Tetapi biasanya ketiga rumpun kalimbubu,
senina/sembuyak dan anak beru pasti ada untuk mewakili sangkep nggeluh yang melaksanakan
pesta adat.
Selain itu, penerapan rakut si telu juga dilaksanakan jemaat GBKP Yogyakarta di dalam
pelaksanaan runggu (musyawarah). Runggu adalah suatu musyawarah yang dilaksanakan oleh
masyarakat Karo. musyawarah ini melibatkan rakut si telu dan pihak yang akan melaksanakan
pesta peradatan. Di dalam runggu biasanya yang berbicara adalah saudara yang satu merga
(anak beru) dari pihak keluarga yang mau melaksanakan adat Karo. Runggu dikatakan sah atau
65
Wawancara dengan Drs. Bp. Wahyuni Ginting Manik dilakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 21 Agustus 2017, pada pukul 20.10-20.40 Wib.
bisa dilakukan ketika sangkep nggeluh atau rakut si telu dari yang ingin menyelenggarkan hadir.
Jika ada yang belum hadir runggu tidak bisa dilaksanakn. Kemudian biasanya runggu
membahas tentang persiapan-persiapan yang harus dilaksanakan selama pelaksanaan pesta
peradatan seperti tanggal pelaksanaan, lokasi, sarana dan prasarana peradatan, undangan,
mahar/utang adat.
Dan kemudian hal-hal apa saja yang harus dipersiapkan dan dilakukan untuk peradatan.
Segala sesuatunya dibicarakan dalam runggu tersebut66
. Tujuan dari runggu ini ialah untuk
menyatukan persepsi, menentukan suatu keputusan dan apa yang menjadi keputusan dalam
runggu tidak bisa dilanggar sebab jika dilanggar akan mendapatkan penilaian buruk dari
keluarga yang telah sepakat dalam runggu. Oleh sebab itu runggu merupakan dapat dikatakan
pembentuk identitas karena berbagai lapisan masyarakat Karo berkumpul dan bersama-sam
mempersiapkan peradatan yang ingin melaksanakan adat meski bukan saudara kandung mereka.
Sehingga ini membangun suatu model komunikasi yang sangat interaktif dan terbuka dengan
pendapat orang lain.67
.
Kemudian rakut si telu juga berperan di dalam Arisan (perkumpulan masyarakat Karo)
orang Karo yang ada di Yogyakarta dan diikuti oleh jemaat GBKP Runggun Yogyakarta. Arisan
ini terdiri dari arisan merga, arisan berdasarkan kampung halaman, arisan merga silima sinuan
buluh. Arisan ini dibentuk bertujuan untuk agar masyarakat Karo di Yogyakarta terkhusus
jemaat GBKP Yogyakarta tetap bisa berinteraksi dengan masyarakat Karo diluar Gereja.
Misalnya masyarakat Karo Islam, Katolik dan arisan ini juga untuk menjaga kerukunan
66
Wawancara dengan Drs. Bp. Wahyuni Ginting Manik dilakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 21 Agustus 2017, pada pukul 20.10-20.40 Wib. 67
Wawancara dengan Bp. Aloyna Sembiring dilakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 19 Agustus 2017, pukul 12.40-13.15 Wib.
masyarakat Karo agar tetap bersatu. Arisan ini tidak hanya bertemu dan berkumpul saja.
Melainkan ada pembahasan yang dibicarakan. Misalnya tentang perkembangan arisan yang
sudah dibentuk dan dilaksanakan. Kemudian mendiskusikan tentang orang Karo yang dinilai
mengalami kemunduran dalam partisipasi untuk kegiatan atau arisan yang dilakukan.
Kemudian pengurus arisan mengusulkan untuk membicarakannya dengan sangkep
nggeluh yang bersangkutan untuk melakukan pendekatan. Alasan-alasan apa yang menyebabkan
kemunduran partisipasi dalam perkumpulan orang Karo. Disinilah rakut si telu menunjukkan
kualitas struktur budaya yang ada. Mereka berhak menegur dan mencari tau apa yang sedang
terjadi dalam suatu keluarga yang tidak aktif.68
Contoh Arisan di dalam kehidupan penulis.
Penulis pada dasarnya akan mengikuti arisan merga karo-karo karena barus masuk ke dalam
rumpun merga karo-karo dan penulis juga akan mengikuti arisan merga ginting karena
kalimbubu penulis ialah merga ginting.
Ketika di rumah penulis dilaksanakan arisan, maka dengan sendirinya anak beru penulis
yang perempuan satu merga dengan penulis akan langsung menyiapkan makanan atau minuman
untuk hidangan arisan. Dan langsung melayani tamu yang hadir. Ini kasus penerapan kerja anak
beru di arisan. Kemudian jika di kemudian hari penulis tidak aktif dalam arisan maka kalimbubu
penulis yang merga ginting berhak untuk menegur serta mencari tahu apa yang penyebab
terjadinya permasalahannya di damping dengan senina dan anak beru penulis. Untuk
membicarakan ketidaktifan penulis. Keadaan umum arisan karo semacam ini menandakan bahwa
rakut si telu bekerja di dalam segala hal kehidupan masyarakat Karo. Masyarakat Karo tidak bisa
68
Wawancara dengan Bp Ramli Ginting & Ibu Setia Ukur Br Pinem Di lakukan di Aula Gereja GBKP Runggun Yogyakarta Pada Tanggal 21 Agustus 2017. Pukul, 19.05-19.25. WIB.
hidup tanpa sangkep nggeluhnya (saudara terdekatnya yang tergabung dalam rakut si telu) dan
berarti masyarakat Karo membutuhkan orang lain dalam menjalankan kehidupannya.
Kemudian di jemaat GBKP Yogyakarta penerapan sangkep nggeluh juga dilaksanakan
dalam perpulungen jabu-jabu (ibadah keluarga). Ketika tempat ibadah keluarga bermerga
ginting, maka setiap perempuan yang bermerga ginting (anak beru) dengan kesadarannya untuk
mempersiapkan segala makanan dan minuman yang akan dihidangkan oleh tuan rumah. Pada
umumnya tidak perlu diberitahu kepada mereka, anak beru akan sudah tahu apa yang menjadi
perkerjaanya. Tidak hanya itu ketika ibadah keluarga sedang dimulai dan akan masuk ke dalam
sesi diskusi firman Tuhan, biasanya yang akan memulai diskusi itu tuan rumah atau yang orang
dituakan.
Bisa saja kalimbubu tuan rumah. Misalnya tuan rumah bere-bere tarigan jadi yang akan
mulai percakapan yang bermerga tarigan meski pola semacam ini tidak dipaksakan. Tetapi ada
saja dinamika yang terjadi seperti itu69
. Hal ini menandakan bahwa di dalam persekutuan gereja,
budaya Karo tentang menghormati dan menjalankan sangkep nggeluh merupakan suatu
kebutuhan sehingga di segi kehidupan manapun sangkep nggeluh harus dihidupi sebagai upaya
mempertahankan kekeluargaan dan persaudaraan di kalangan jemaat GBKP Yogyakarta tetap
terjaga dan dapat selalu dilestarikan.
3.7. Merga Silima
Merga silima artinya lima merga dasar dalam masyarakat Karo. Lima merga itu ialah
Karo-Karo, Ginting, Perangin-Angin, Sembiring dan Tarigan. Lima merga ini ialah merga besar
yang ada di Suku Karo. Belum termasuk submergannya. Merga Silima ini juga yang membuat
69
Wawancara dengan Ibu Setia Ukur Br Pinem Di lakukan di Aula Gereja GBKP Runggun Yogyakarta Pada Tanggal 22 Agustus 2017. Pukul, 19.05-19.25. WIB.
hubungan kekerabatan orang Karo sangat erat dan dekat. Tanpa merga silima orang karo tidak
akan saling mengenal satu dengan lainnya karena dengan adanya merga silima mereka bisa
saling mengenal satu keluarganya dan saudaranya.70
Merga Silima ini juga merupakan kumpulan
dari merga-merga yang ada di suku Karo. Lima merga ini hubungan satu dengan lainnya meski
memiliki merga yang berbeda tetapi merga ini akan menjadi perekat suku Karo dimana pun
mereka berada.
Sebab merga yang dimiliki oleh individu Karo adalah tanda bahwa mereka adalah
individu yang memiliki identitas kekaroan yang sah karena memiliki merga yang ada di Suku
Karo. Oleh sebab itu hanya dengan menyebutkan merga saja ketika berkenalan dengan orang
yang merupakan suku Karo kita sudah dianggap sudah saudara kandung sendiri karena memiliki
merga yang berasal dari Suku Karo. Dengan mengenal lima merga ini masyarakat Karo akan
mengetahui siapa kalimbubu, senina/sembuyak dan anak beru. Sebab sangkep nggeluh mereka
berasal dari lima merga tersebut. Sehingga sudah menjadi keharusan masyarakat Karo untuk
mngenal dan memahami Kelima merga tersebut beserta submerganya.
3.8. Merga dalam Struktur Sosial Masyarakat Karo
Merga sangat penting dalam suatu hubungan bermasyarakat di Suku Karo. Pada
umumnya Merga menjadi dasar bagi individu Karo untuk melakukan interaksinya bersama
dengan masyarakat Karo lainnya. Dengan adanya merga, masyarakat Karo akan mengetahui
struktur sosial (pengakuan terhadap orang Karo berdasarkan kekuatan merga) sehingga
menentukan struktur jabatan adat yang dimiliki tiap individu-individu Karo. Dalam praktik
kehidupannya dalam masyarakat. Merga menjadi penentu orang Karo bersikap bagi yang lain
70
Wawancara dengan Bp. Soni Surbakti dilakukan di Aula GBKP Runggun Yogyakarta pada tanggal 19 Agustus 2017, pukul 15.00-15.45 Wib.
dan menjadikan orang Karo sebagai suatu masyarakat yang memiliki identitas budaya yang
bercirikan memiliki merga.
Contoh penulis, penulis merga barus dan bere-bere ginting. Ketika bertemu dengan
masyarakat Karo yang bermerga ginting, penulis akan bersikap menghormati, menjaga sopan
santun sebab merupakan kalimbubu penulis. Kemudian ketika bertemu satu merga dengan
penulis yakni karo-karo yang laki-laki. Penulis harus bersikap ramah, memiliki jiwa tolong
menolong sebab mereka termasuk ke dalam senina/sembuyak yang nantinya penulis
melaksanakan pesta adat mereka lah yang akan mendampingi penulis, jadi teman diskusi dan
yang berhubungan dengan konsep acara. Sedangkan yang satu merga penulis tetapi perempuan
yaitu anak beru penulis. Sehingga penulis harus menyayangi mereka. Sebab mereka lah yang
nantinya yang akan mempersiapkan segala sarana dan prasarana adat yang ingin dilaksanakan
penulis. Inilah pentingnya masyarakat Karo memahami merga. Adapun merga-merga di Suku
Karo sebagai berikut:
1. Merga Ginting.
Merga Ginting terdiri dari beberapa submerga seperti: Ginting Pase, Ginting Munthe,
Ginting Manik, Ginting Sinusinga, Ginting Seragih, Ginting Sini Suka yang kemudian
melahirkan beberapa sub merga yaitu Ginting Babo, Ginting Sugihen, Ginting Guru Patih,
Ginting Suka ( Ini juga ada di Gayo dan di Alas), Ginting Beras, Ginting Bukit ( terdapat juga di
Gayo/Alas), Kemudian ada Ginting Garamata, Ginting Ajar Tambun dan Ginting Jadi Bata.
Inilah kesembilan merga Ginting yang dilahirkan Ginting Sini Suka. Kemudian terdapat Ginting
Jawak, Ginting Tumangger dan Ginting Capah.
2. Merga Karo-Karo
Merga Karo-Karo terbagi atas beberapa Sub Merga yaitu:
a. Karo-Karo Purba. Dia memiliki dua istri. Seorang pueri umang dan seorang ular. Dari
isteri umang lahirlah merga-merga: Purba, Ketaren dan Sinukaban.
b. Sementara dari isteri ular lahirlah anak-anak yakni merga-merga: Karo-Karo Sekali,
Karo-Karo Sinuraya/Sinuhaji dan Merga Jong/Kemit.
c. Karo-Karo Sinulingga. Kemudian merga ini pecah menjadi beberapa bagian seperti:
Kaban, Kacaribu dan Surbakti.
d. Merga Karo-Karo Kaban, Merga Karo-Karo Sitepu, Karo-Karo Barus, Karo-Karo
Manik.71
3. Merga Prangin-Angin.
Merga Prangin-prangin juga terbagi atas beberapa sub merga, yakni:
a. Pranginangin Sukatendel yang terbagi menjadi 3 merga yaitu: Prangin-prangin Kuta
Buloh, Pranginangin Jombor Beringen, Pranginangin Jenabun.
b. Prangin-angin Kacinambun
71
Prints, Adat Karo, 16-22.
c. Pranginangin Bangun yang terbagi menjadi beberapa bagian yakni: Pranginangin
Keliat, Pranginangin Beliter, Pranginangin Mano, Pranginangin Pinem, Pranginangin
Laksa, Prangin-angin Penggarun, Pranginangin Uwir, Pranginangin Sinurat,
Prangin-angin Pincawan, Prangin-angin Singarimbun, Pranginangin Limbeng dan
Pranginangin Pasi.
4. Merga Sembiring
Merga Sembiring secara umum membagi diri atas dua kelompok, yaitu Sembiring siman
biang ras sembiring sila man biang. Sembiring siman biang ( memakan anjing ) terdiri
dari:
a. Sembiring Kembaren, Sembiring Keloko, Sembiring Sinulaki, Sembiring Sinupayung.
Kemudian Sembiring sila man biang ( tidak memakan anjing ).
b. Sembiring Brahmana, Sembiring Guru Kinayan, Sembiring Colia, Sembiring Muham,
Sembiring Pandia, Sembiring Keling, Sembiring Depari, Sembiring Bunuaji, Sembiring
Meliala, Sembiring Pelawi, Sembiring Sinukapor, Sembiring Tekang. Khusus merga
Tekang tidak bisa menikah dengan merga Karo-Karo Sinulingga. Sebab mereka memiliki
kesepakatan yaitu, anak merga Tekang diangkat menjadi anak Karo-Karo sinulingga
pada zaman dahulu dan sampai sekarang masih dipercayai di dalam masyarakat Karo.72
5. Merga Tarigan.
Memiliki Cabang-cabang seperti: Tarigan tua, Tarigan Bondong, Tarigan Jampang,
Tarigan Gersang, Tarigan, Cingkes, Tarigan Gana-gana, Tarigan Tambak, Tarigan Peken,
72
Prints, Adat Karo, 22-31.
Tarigan Purba, Tarigan Sibero, Tarigan Silangit, Tarigan Kerendam, Tarigan Tegur, Tarigan
Tambun dan Tarigan Sahing. 73
Berdasarkan keputusan Kongres Kebudayaan Karo, 3 Desember 1995 di Sibayak
International Hotel Berastagi merekemondasikan, agar pemakaian merga berdasarkan “ merga
silima” yaitu: Ginting, Karo-Karo, Peranginangin, Sembiring dan Tarigan.74
Hal ini diusulkan
agar sub merga dipakai di belakang merga, sehingga tidak terjadi kekacauan dan
kesalahpahaman mengenai pemakaian merga dan submerga tersebut. Sehingga kekuatan merga
dan identitas merga dapat dilihat secara jelas dan struktural.
Merga silima ialah kelima merga terbesar yang ada di Suku Karo. Biasanya hal ini yang
menjadi perekat sosial masyarakat Karo. karena pada umumnya Masyarakat Karo memiliki
paguyuban dalam tiap daerahnya antara kelima merga tersebut sehingga memunculkan suatu
harmoni sosial antar merga satu dengan lainnya. Meski pada umumnya juga, per merga bahkan
dengan sub merganya juga memiliki perkumpulannya sendiri.
Merga dalam struktur sosial masyarakat Karo dijadikan sebagai sabuk sosial antara
merga dan submerganya. Artinya bahwa Merga dan sub merga menjadi perekat antara merga
dengan merga lainnya dikarenakan adanya suatu ikatan budaya baik secara kesamaan merga
melainkan tugas, jabatan dan peran di dalam pelaksanaan peradatan suku Karo. Sebab
kedudukan antar merga dan antar sub merga memiliki kedudukan sosial dan kedudukan berbeda
pula.
Kedudukan Sosial terlihat ketika tiap merga silima membentuk tiap merganya suatu
kelompok atau paguyuban. Pembuatan paguyuban tersebut dengan tujuan untuk mempertegas
73
Prints, Adat Karo, 32-34. 74
Prints, Adat Karo, 34.
bahwa merga memiliki posisi yang cukup kuat dan sangat menentukan dalam bermasyarakat.
Tentu sistem sosial yang terjadi di dalam merga silima ini akan membentuk suatu relasi dengan
rakut si telu. Sehingga merga menentukan posisi kita secara budaya kepada sesama orang Karo.
artiannya bahwa relasi kita dengan orang karo yang terwujud dalam kalimbubu, senina/sembuyak
dan anak beru dapat diketahui dari merga silima tersebut.
Di dalam masyarakat Karo dalam sistem perkawinan menganut dua sistem yang
berdasarkan merga-merga di Suku Karo.
a. Sistem perkawinan merga Ginting, Karo-Karo dan Tarigan. Pada merga-merga
tersebut berlaku sistem perkawinan exogami murni, dimana mereka yang berasal dari sub-sub
merga ginting, karo-karo, dan tarigan dilarang kawin dalam merga sendiri, tetapi mereka
diharuskan kawin dengan orang dari luar merganya. Misalnya antara Ginting dengan Karo-Karo
atau Tarigan dengan lain-lainnya. 75
b. Sistem perkawinan Pranginangin dan Sembiring. Sistem perkawinan yang berlaku
pada dua merga ini adalah eleutherogami terbatas. Adapun letak keterbatasannya ialah seseorang
dari merga terentu peranginangin dan sembiring diperbolehkan kawin dengan orang tertentu dari
merga yang sama asal sub merga. Misalnya, di dalam merga pranginangin antara bangun
dengan sebayang, atau antara kuta buloh dengan sebayang. Demikian juga dengan merga
sembiring antara meliala dengan brahmana, antara pelawi dengan depari, dan sebagainya.
Larangan perkawinan dengan orang dari luar merga tidak dikenal. Kecuali antara sebayang
dengan sitepu atau antara sinulingga dengan tekang yang disebut sejanji atau berdasarkan dengan
perjanjian. Karena pada tempo dulu mereka telah mengadakan perjanjian tidak saling berkawin.
75
Prints, Adat Karo, 64.
Dengan adanya eleuthogerami terbatas ini menunjukkan, bahwa: merga bukan sebagai hubungan
geneakologis dan asal usul merga tidak sama. 76
Dengan adanya sistem perkawinan semacam itu masyarakat Karo hidup lebih berbudaya
dan menghormati apa yang menjadi keputusan yangs udah dilakukan oleh nenek moyang. Pada
umumnya masyarakat Karo masih menghormati sistem perkawinan diatas. Sehingga di dalam
perkawinan orang Karo masyarakat Karo tidak sembarangan dalam memilih teman hidup. Selalu
ada intervensi sistem perkawinan diatas. Dan pengaruh keluarga yang mengharuskan menikah
dengan yang sama berunya dengan ibu kita. Sehingga perkawinan lebih dihargai. Secara praktik
kehidupannya merga-merga diatas bersinergi antara satu dengan lainnya. Misalnya merga Karo-
Karo Surbakti dengan Karo-Karo Barus (senina/saudara) pasti memiliki kedekatan yang sangat
dekat secara budaya karena berasal dari satu merga yang sama.
Kemudian antar sub merga juga memiliki kedekatan yang sangat begitu sistemik dan
harmonis. Meski tidak satu ibu ataupun sedarah ketika memiliki merga atau sub merga pastilah
orang Karo menganggap mereka saudara dekat. Di tambah lagi dengan ketika orang Karo
bertemu dengan merga yang sama dengan ibunya atau yang disebut sebagai kalimbubu. Rasa
hormat dan menghargai sangat ditunjukkan. Misalnya Si A memiliki merga Tarigan dan ibunya
beru Sembiring Meliala. Setiap yang memiliki merga Sembiring Meliala sudah menjadi
kalimbubu. Sebab kalimbubu memiliki kekuatan sosial dan budaya yang kuat sebagai Tuhan
yang kelihatan dalam perspektif masyarakat Karo pada umumnya.
Kemudian sama halnya ketika orang Karo yang bermerga surbakti bertemu dengan
perempuan yang memiliki beru Surbakti. Pastilah mereka sangat memiliki kedekatan yang
76
Prints, Adat Karo, 64-65.
sangat menonjol. Karena mereka dianggap turang (satu merga antara laki-laki dan perempuan)
dan perempuan tersebut akan menjadi anak beru (perempuan yang satu merga denga laki-laki
Karo). Dimana fungsi anak beru tersebut sebagai kelompok yang membantu segala pelaksanaan
adat pada keluarga tertentu.Terminologi-terminologi budaya semacam ini membentuk hubungan
sosial pada masyarakat Karo menjadi sangat harmonis dan berdamai. Sebab merga-merga yang
mereka miliki menyatukan mereka dalam suatu keadaan sosial masyarakat yang begitu beragam.
Sehingga sudah menjadi dasar bagi masyarakat Karo untuk menjadikan merga mereka sebagai
standar awal dalam mengawali interaksi sosial untuk masyarakat Karo.
top related