bab vi simpulan dan saran
Post on 20-Nov-2021
6 Views
Preview:
TRANSCRIPT
455
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
Penelitian ini berupaya untuk menemukan relevansi hermeneutik dalam
aktivitas penalaran hukum khususnya penalaran hukum yang dilakukan oleh
pengemban profesi Notaris terkait dengan kewenangan yang dimilikinya.
Konsep-konsep yang ada pada pemikiran tentang hermeneutik tersebut digunakan
juga untuk menjelaskan fenomena-fenomena atau kecenderungan atau suatu hal
tertentu yang ada pada aktivitas penalaran hukum.
Penelitian ini diawali dengan meneliti kategori dan kekhasan kewenangan
yang dimiliki oleh pengemban profesi Notaris. Berkaitan dengan hal tersebut,
Akta Notaris sebagai wujud dari putusan hukum atau pendapat hukum yang
dibuat oleh pengemban Notaris seyogyanya hanya mengikat para pihak yang
berkepentingan di dalam Akta Notaris tersebut, tetapi yang menarik untuk diteliti
adalah dampak publik dari Akta Notaris tersebut, termasuk meneliti tanggung
jawab hukum dan non-hukum dari Notariat terhadap Akta Notaris tersebut terkait
kewenangannya dan perlindungan yang diberikan oleh hukum bagi Notariat.
Selanjutnya telah diteliti juga mengenai asas hukum yang ada di dalam atau di
belakang Pasal 15 UUJN No. 2/2014 yang mengatur mengenai kewenangan
Notariat.
Penelitian diteruskan dengan meneliti bagaimana proses berpikir dari
penalar hukum yang dalam penelitian ini subyek penalaranya adalah pengemban
456
profesi Notaris, termasuk bagaimana melakukan pengkualifikasian dan pengujian
informasi dan fakta, bagaimana membangun suatu pendapat hukum, dan
bagaimana suatu pendapat hukum dapat digugurkan. Penelitian ini juga telah
menemukan posisi penalaran hukum terhadap hermeneutik dan relevansi
hermeneutik dalam penalaran hukum yang dilakukan oleh Notaris. Penelitian ini
juga telah menemukan mengapa hasil pendapat hukum atau argumentasi yuridik
final dari suatu aktivitas penalaran hukum dapat berbeda antara satu penalar
dengan penalar yang lainnya, yang dalam hal ini difokuskan penalar hukumnya
adalah Notaris selaku subyek penafsir. Pembahasan terakhir dari penelitian ini
adalah mengenai kewenangan Notariat dalam perspektif ‘paradigma ilmu hukum
Indonesia’.
Dengan mengacu pada pernyataan masalah yang telah diteliti, kiranya dapat
disimpulkan beberapa hasil penelitian. Berdasarkan penelitian terhadap
pernyataan masalah pertama yang berkaitan dengan kewenangan Notariat
ditemukan beberapa hal.
Kategori kewenangan yang melekat pada pengemban profesi Notaris adalah
‘delegasi’. Simpulan ini diambil karena terjadi pelimpahan kewenangan dari
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang sebelumnya telah mendapatkan
kewenangan secara atribusi serta terjadi pengalihan tanggung jawab dan tanggung
gugat kepada pengemban profesi Notaris. Pada beberapa peraturan perundang-
undangan pada intinya memang menyebutkan bahwa suatu perbuatan hukum
tertentu harus dibuktikan dengan Akta Notaris, tetapi pengaturan tersebut bukan
merupakan pemberian kewenangan kepada Notaris, melainkan perintah bahwa
suatu perbuatan hukum tertentu harus dilakukan dihadapan Notaris dan dibuktikan
457
dengan Akta Notaris. Kekhasan dari kewenangan yang dimiliki Notaris yang
ditemukan adalah: kewenangannya bersifat delegatif, kewenangannya mandiri,
kewenangannya terbatas pada bidang hukum perdata, kewenangannya dibatasi
oleh suatu wilayah jabatan tertentu, kewenangannya termasuk dalam ranah non-
litigasi dan bukan kewenangan yang dimiliki penegak hukum, kewenangannya
menciptakan hukum dalam wujud Akta Notaris, serta kewenangannya harus
dijalankan dengan kewajiban untuk tidak berpihak. Sekalipun Akta Notaris
sebagai wujud dari putusan hukum atau pendapat hukum yang dibuat oleh
pengemban profesi Notaris hanya mengikat para pihak yang berkepentingan di
dalam Akta Notaris tersebut, tetapi sebagai alat bukti baik dalam ranah hukum
pidana maupun dalam ranah hukum perdata, membawa konsekuensi bahwa
ternyata Akta Notaris juga memiliki dampak publik.
Penelitian ini juga membuktikan bahwa pengemban profesi Notaris dapat
diminta pertanggungjawaban baik secara hukum maupun non-hukum.
Pertanggungjawaban secara hukum dapat dimintakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai jabatan Notaris, yaitu UUJN No.
30/2004 juncto UUJN No. 2/2014, maupun berdasarkan peraturan perundang-
undangan di luar peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai jabatan
Notaris baik yang terkodifikasi maupun tidak terkodifikasi, yaitu: Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (‘KUHP’), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (‘KUH
Perdata’), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (‘UU No. 31/1999’) juncto Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (‘UU No. 20/2001’), dan
458
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang (‘UU PP TPPU’) juncto Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 2015 Tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (‘PP No. 43/2015’).
Pertanggungjawaban secara non-hukum dapat dimintakan kepada pengemban
profesi Notaris berdasarkan kaidah moral yang khusus diberlakukan bagi
pengemban profesi Notaris yang telah dituangkan dalam Kode Etik Ikatan Notaris
Indonesia.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terbukti bahwa hukum
memberikan perlindungan kepada pengemban profesi Notaris berdasarkan: Pasal
50 KUHP (Tidak dipidana karena melaksanakan undang-undang), Kewajiban
Ingkar yang diatur dalam: Pasal 4 ayat (2) UUJN No. 30/2004 (Sumpah Jabatan
Notaris), Pasal 16 ayat (1) huruf f. UUJN No. 2/2014 (Rahasia Jabatan), Pasal 54
ayat (1) UUJN No. 2/2014 (Memperlihatkan dan memberikan Akta Notaris),
Pasal 44 (1) huruf g, huruf h, dan huruf i juncto Pasal 44 (2) UU 43/2009
(pencipta arsip dapat menutup akses dan wajib menjaga kerahasiaan arsip), dan
Pasal 322 (1) KUHP (tindak pidana karena membuka rahasia yg wajib disimpan
karena jabatannya). Penelitian ini juga menemukan bahwa terhadap ‘kewajiban
ingkar’ tersebut diberikan suatu pengecualian atau dapat dikesampingkan,
diantaranya adalah berdasarkan: UU No. 21/1997 (wajib lapor BPHTB), UU No.
28/2007 (kewajiban rahasia Pajak dikesampingkan), dan UU PP TPPU juncto PP
43/2015 (Notaris sebagai pelapor).
Penelitian ini juga telah menemukan ‘asas hukum’ yang ada di dalam atau
di belakang Pasal 15 UUJN No. 2/2014 yang mengatur mengenai kewenangan
459
Notaris, yaitu: ‘Asas Delegatif Konstantir Non-Distorsif’. ‘Delegatif’ karena
kewenangan yang dimiliki pengemban profesi Notaris merupakan pelimpahan
kewenangan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang sebelumnya telah
mendapatkan kewenangan secara atribusi serta terjadi pengalihan tanggung jawab
dan tanggung gugat kepada pengemban profesi Notaris. ‘Konstantir’ karena
pengemban profesi Notaris akan menggunakan kewenangannya bila diminta oleh
klien yang berhadapan dengannya dan menuliskan apa yang merupakan
keinginan, kepentingan, dan kebutuhan klien tersebut setelah melalui proses
penalaran hukum serta prosedur dan teknik pembuatan Akta Notaris. ‘Non-
Distorsif’ karena untuk mewujud-nyatakan Akta Notaris atau putusan hukum
dalam wujud lain sesuai dengan kewenangnnya, pengemban profesi Notaris harus
waspada terhadap adanya penyimpangan atau kekacauan atau gangguan, baik
dalam aktivitas penalaran hukum, penggunaan kewenangannya, maupun prosedur
standar pembuatan Akta Notaris.
Berdasarkan penelitian terhadap pernyataan masalah kedua yang berkaitan
dengan relevansi hermeneutik dalam penalaran hukum terkait kewenangan
Notariat di Indonesia ditemukan beberapa hal. Penggunaan kewenangan yang
dilimpahkan kepada pengemban profesi Notaris dilaksanakan oleh Notaris dengan
melakukan aktivitas penalaran hukum. Penalaran hukum adalah penalaran yang
diterapkan pada bidang hukum. Penalaran merupakan suatu kegiatan
merumuskan pendapat yang benar sebagai suatu hasil dari proses berpikir yang
dilakukan oleh Notaris untuk merangkai fakta-fakta atau evidensi menuju pada
suatu kesimpulan yang dapat diterima oleh akal sehat (rasional). Hasil dari
penalaran adalah argumentasi yang merupakan salah satu bentuk dari retorika
460
yang berusaha untuk mempengaruhi setiap sikap atau pendapat orang lain,
sehingga timbul kepercayaan atau bertindak sesuai dengan yang diinginkan
pengemban profesi Notaris. Hasil dari penalaran hukum adalah argumentasi
yuridik. Argumentasi yuridik merupakan pendirian hukum yang bermuatan
penentuan secara umum atau secara konkret tentang status, hak, dan kewajiban
subyek hukum, serta tentang status obyek hukum yang disebut dengan putusan
hukum. Wujud-nyata putusan hukum dari pengemban profesi Notaris adalah
Akta Notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (7) UUJN No. 2/2014 dan
wujud lain sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) UUJN No. 2/2014.
Putusan hukum itu sendiri sesungguhnya adalah pendapat hukum yang
dibangun oleh beberapa argumentasi yuridik yang merupakan hasil dari penalaran
hukum. Beberapa argumentasi yuridik dibangun oleh beberapa proposisi hukum
yang merupakan hasil dari keputusan dan beberapa proposisi hukum dibangun
oleh beberapa konsep hukum yang merupakan hasil dari aprehensi sederhana di
bidang hukum.
Aktivitas penalaran hukum dilakukan dengan menggunakan cara berpikir
yang seringkali disebut sebagai berpikir yuridik, dengan model berpikir
problematik tersistematisasi (gesystematiseerd probleemdenken), yang memiliki
kecenderungan backward thinking yang kemudian dinilai kembali dan
diungkapkan dengan proses berpikir forward thinking. Aktivitas dari penalaran
hukum tidak terlepas dari aktivitas pengkualifikasian fakta dan aktivitas
penemuan sumber hukum yang pada keduanya terjadi lingkaran hermeneutik.
Pada aktivitas pengkualifikasian fakta terdapat pengujian terhadap informasi atau
data dengan alat ujinya adalah: evidensi, konsistensi dan koherensi, dan relevansi
461
yuridik. Aktivitas penalaran hukum juga dipengaruhi oleh ilmu logika disebut
sebagai fallacy (kesesatan berpikir), tetapi dalam hukum ada beberapa fallacy
yang layak atau diperkenankan untuk digunakan dalam situasi yuridikal tertentu.
Hermeneutik menawarkan suatu cara lain untuk melihat bahasa (yang
diperspektif dalam fungsi atau sifat transformatifnya dan bukan sekedar bahasa
representatif atau bahasa deskriptif) yang merupakan cara kita mengalami dan
memahami kenyataan dan cara kenyataan tampil pada kita. Karenanya
hermeneutik juga merupakan kegiatan untuk mengungkap makna mengenai segala
sesuatu yang merupakan jejaring makna atau struktur simbol-simbol, entah
tertuang sebagai tulisan maupun bentuk-bentuk lain dan berada pada tataran
filsafat. Bila diterapkan pada ranah hukum, akan menjadi ‘hermeneutik hukum’.
Area kerja ‘hermeneutik’ tentunya lebih luas dari ‘hermeneutik hukum’.
‘Hermeneutik hukum’ adalah interpretasi hukum dalam kerangka interpretasi
yang lebih luas dan berada pada tataran filsafat hukum. ‘Hermeneutik hukum’
area kerjanya lebih luas dari ‘penafsiran hukum’ yang berada pada tataran praktik
hukum. ‘Penafsiran hukum’ area kerjanya terbatas pada kaidah hukum, termasuk
peraturan perundang-undangan dan pada perjanjian, sedangkan ‘hermeneutik
hukum’ dapat digunakan untuk menafsir struktur simbol-simbol lain dalam bentuk
yang tidak tertulis, bahkan dapat digunakan untuk ‘membongkar pandangan
formalistik terhadap hukum, meskipun tidak secara total’. ‘Penafsiran hukum’
merupakan salah satu metode yang ada pada ‘penemuan sumber hukum’ yang
berada pada tataran dogmatik hukum, selain ‘konstruksi hukum’. ‘Penemuan
sumber hukum’ itu sendiri adalah salah satu aktivitas yang ada pada ‘penalaran
hukum’ yang berada pada tataran teori hukum, selain ‘pengkualifikasian fakta’.
462
‘Penalaran hukum’ menghasilkan ‘argumentasi yuridik’ final atau pendapat
hukum, yang tidak lain adalah juga merupakan jejaring makna. Bahkan semua
aktivitas yang disebutkan adalah juga kegiatan yang pada akhirnya berupaya
untuk menemukan jejaring makna.
Konsep-konsep yang ada pada pemikiran tentang hermeneutik dapat
digunakan untuk memberikan pengertian dan menjelaskan mengapa suatu
fenomena atau hal-hal tertentu atau kecenderungan tertentu dalam aktivitas
penalaran hukum pada penggunaan kewenangan Notariat terjadi. Fenomena
‘backward thinking’ dapat dimengerti dan dijelaskan dengan menggunakan salah
satu konsep dalam pemikiran tentang hermeneutik yang disampaikan oleh Hans-
Georg Gadamer, yaitu konsep ‘Horizontverschmelzung’ (fusi horison atau
peleburan horison), khususnya mengenai ‘proyeksi’ (Entwurf) atau ‘pra-struktur
pemahaman’. Proses backward thinking ini juga dapat menjebak subyek
penalarnya memberikan pendapat hukum yang tendensius dan subyektif.
Fenomena tersebut dapat dimengerti dan dijelaskan dengan menggunakan salah
satu konsep dalam pemikiran tentang hermeneutik yang disampaikan oleh
Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher, yaitu konsep ‘Nach-Erleben’ (mengalami
kembali). ‘Nach-Erleben’ (mengalami kembali) apa yang diinginkan klien ini juga
terkadang dapat menjebak pengemban profesi Notaris pada konsep yang dalam
ilmu logika disebut sebagai ‘kesesatan berpikir’, sehingga berpengaruh hasil
penalaran hukumnya diarahkan untuk suatu pendapat hukum tertentu. Fenomena
atau kondisi tersebut terkadang juga dihasilkan dari apa yang disebut oleh Jürgen
Habermas sebagai ‘komunikasi yang terdistorsi secara sistematis’ dan ‘siasat
tersembunyi’ yang dikemukakannya pada ‘Hermeneutik Kedalaman’. Fenomena
463
dialektis yang saling mencari dan memberi antara fakta dan kaidah hukum dapat
dimengerti dan dijelaskan dengan menggunakan salah satu konsep dalam
pemikiran tentang hermeneutik yang dikemukakan oleh Friedrich Daniel Ernst
Schleiermacher, yaitu konsep ‘lingkaran hermeneutik’.
Aktivitas penalaran hukum yang dilakukan oleh penalar hukum yang
berbeda, termasuk dalam pembahasan ini yang dihasilkan oleh para pengemban
profesi Notaris sebagai subyek penafsir, sangat dimungkinkan untuk
menghasilkan argumentasi yuridik yang berbeda pula; bahkan sekalipun informasi
dan data yang diperolehnya sama, kaidah hukum yang digunakannya sama, dan
penalaran hukum yang dilakukannya sama. Potensi perbedaan ini dapat dipahami
dan dijelaskan dari cara pandang hermeneutik dan proses yang terdapat dalam
penalaran hukum itu sendiri. Potensi perbedaan yang dapat dijelaskan oleh
hermeneutik adalah karena berbedanya orientasi atau fokus, yaitu pada: subyek
penulis dan/atau subyek penafsir dan/atau teks. Potensi perbedaan yang
disebabkan karena penalaran hukum diantaranya bila ada fallacy saat bernalar
hukum, ada distorsi, pengujian terhadap informasi atau data yang tidak tepat dan
benar, penggunaan interpretasi yang berbeda, serta adanya kepentingan-
kepentingan lain.
Konsep ‘proses triadik menafsir’ yang disampaikan oleh Emilio Betti
dikolaborasi dengan konsep keberadaan makna yang terkait dengan teks atau
‘totalitas teks’ yang disampaikan oleh Paul Ricouer didapat padanan sebagai
berikut: ‘subyek penulis’ identik dengan perspektif ‘makna di belakang teks’,
‘teks’ identik dengan perspektif ‘makna di dalam teks’, dan ‘subyek penafsir’
identik dengan perspektif ‘makna di depan teks’. Karena berkaitan dengan
464
‘makna di belakang teks’ yang merupakan makna yang dimaksud oleh ‘subyek
penulis’ yang fokusnya lebih ke makna di masa lalu atau reproduktif makna
aslinya, maka pembahasannya akan sangat relevan bila dijelaskan dengan konsep-
konsep yang ada pada pemikiran tentang hermeneutik yang dikemukakan oleh
Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher dan Wilhelm Dilthey. Friedrich Daniel
Ernst Schleiermacher mengemukakan konsep ‘Nach-Erleben’ (mengalami
kembali) dan konsep ‘Lingkaran hermeneutik Schleiermacher‘, sedangkan
Wilhelm Dilthey menawarkan suatu konsep bahwa menafsir adalah ‘life meets
life’ atau suatu ‘transposisi’ dan ketiga konsep yang disebutnya sebagai:
penghayatan atau pengalaman (Erleben), ungkapan (Ausdruck), dan memahami
(Verstehen). Karena berkaitan juga dengan ‘makna di dalam teks’ yang
merupakan makna yang ada pada ‘teks’ itu sendiri, maka pembahasannya akan
sangat relevan bila dijelaskan dengan pemikiran tentang hermeneutik yang
dikemukakan oleh Jürgen Habermas dan Paul Ricoeur. Jürgen Habermas
mengemukakan konsep ‘Hermeneutik Kedalaman’ yang di dalamnya juga
terdapat konsep ‘komunikasi yang terdistorsi secara sistematis’ berikut dengan
cara yang ditawarkan untuk mengatasinya dan ‘siasat tersembunyi’, sedangkan
Paul Ricoeur mengemukakan konsep ‘hermeneutik reflektif’ yang di dalamnya
terdapat juga konsep ‘apropriasi’, dan jembatan hermeneutik ‘hermeneutical arc’.
Karena berkaitan juga dengan ‘makna di depan teks’ yang merupakan makna
yang ditafsirkan oleh ‘subyek penafsir’ yang fokusnya lebih ke makna yang
dilihat pada masa sekarang atau produksi makna baru, maka pembahasannya akan
sangat relevan bila dijelaskan dengan pemikiran tentang hermeneutik yang
dikemukakan oleh Hans-Georg Gadamer, Emilio Betti, dan Paul Ricouer. Hans-
465
Georg Gadamer mengemukakan konsep ‘Wirkungsgeschichte’ (effective history
atau sejarah yang berdampak atau berpengaruh), konsep ‘Horizontverschmelzung’
(fusi horison atau peleburan horison), dan konsep subtilitas intellegendi, subtilitas
explicandi, dan subtilitas applicandi. Emilio Betti mengemukakan konsep ‘4
(empat) macam penafsiran yang didasarkan pada tahapan-tahapan momen’. Paul
Ricouer mengemukakan konsep ‘hermeneutik reflektif’ yang di dalamnya terdapat
juga konsep ‘jembatan hermeneutik’ (hermeneutical arc), dan konsep ‘apropriasi’.
Pemanfaatan hermeneutik dalam penalaran hukum terkait penggunaan
kewenangan Notariat tidak boleh terlepas dari suatu asas umum sebagai pedoman,
norma kritik (kaidah evaluasi), dan faktor yang memotivasi setiap penalaran
hukum yang dilakukan. Berkaitan dengan hal tersebut, pengemban profesi Notaris
memiliki kesempatan yang sangat besar untuk dapat mewujudkan unsur-unsur
dari cita-hukum Pancasila yang merujuk pada keadilan, kepastian hukum, dan
kehasil-gunaan (doelmatigheid) yang diwujudkan dalam putusan hukum yang
dihasilkannya. Pengemban profesi Notaris juga dapat memanfaatkan kaidah
hukum lain yang tidak hanya bersumber hukum dari peraturan perundang-
undangan tetapi juga didapat dari hukum kebiasaan dan hukum adat yang
termasuk sebagai Hukum Pancasila. Pengemban profesi Notaris dalam
melaksanakan kewenangan dan melakukan akitvitas penalaran hukum seyogyanya
terarah menuju pada suatu tujuan hukum yang sesuai dengan cita-hukum
Pancasila, yaitu: pengayoman atau perlindungan. Pengemban profesi Notaris
sebagai personifikasi dari sebagian kekuasaan negara di bidang hukum perdata
hendaknya mampu menjadi pamong untuk mengarahkan perilaku kliennya serta
menciptakan kondisi yang tertib dan adil melalui pendapat hukum yang
466
dikemukakannya dan senantiasa meningkatkan kualitas keilmuannya, khususnya
ilmu hukum agar senantiasa dapat memberikan bantuan hukum untuk dapat
memberikan solusi hukum yang terbaik bagi klien yang berhadapan dengannya.
B. SARAN
Pengemban profesi Notaris dalam kedudukannya selaku pejabat umum
adalah pengemban hukum praktikal yang mendapatkan delegasi dari Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk melaksanakan sebagian kekuasaan negara
di bidang hukum perdata dengan membuat Akta Notaris dan melakukan
kewenangan lain berdasarkan Pasal 15 UUJN No. 2/2014. Sekalipun dalam
melaksanakan sebagian kekuasaan negara di bidang hukum perdata pengemban
profesi Notaris mendapatkan perlindungan hukum, tetapi karena pada delegasi
terdapat pengalihan tanggung jawab dan tanggung gugat, maka pengemban
profesi Notaris dapat diminta pertanggung jawaban baik secara hukum maupun
secara kaidah moral yang berlaku baginya. Oleh karenanya saran pertama dari
penelitian ini adalah pengemban profesi Notaris harus melaksanakan tugas
jabatannya sesuai dengan kaidah hukum dan kaidah moral yang berlaku baginya,
tidak bekerja melampaui kewenangannya, dan senantiasa bersikap waspada dalam
menjalankan kewenangannya.
Pengemban profesi Notaris harus memiliki kemahiran hukum agar mampu
memberikan pendapat hukum atau putusan hukum yang baik, benar, tepat. Salah
satu kemahiran hukum yang diperlukan oleh pengemban profesi Notaris dalam
menggunakan kewenangannya adalah kemahiran dalam melakukan penalaran
hukum. Kemahiran bernalar hukum ini diperlukan karena hasil dari penalaran
467
hukum itu sendiri adalah argumentasi yuridik final atau putusan hukum atau
pendapat hukum yang salah satunya diwujud-nyatakan dalam bentuk Akta
Notaris. Berkaitan dengan hal tersebut, saran kedua dari penelitian ini adalah
pengemban profesi Notaris harus senantiasa meningkatkan kemahirannya dalam
melakukan penalaran hukum dan memperlengkapi pemahaman terhadap aktivitas
penalaran hukum yang dilakukannya dengan konsep-konsep yang aplikatif-praktis
yang ada pada pemikiran tentang hermeneutik serta melaksanakan penalaran
hukum dengan mengacu pada konsep-konsep yang ada pada paradigma ilmu
hukum Indonesia dalam melaksanakan kewenangannya.
468
469
DAFTAR PUSTAKA
BUKU DAN SEJENISNYA
A.A. Andi Prajitno, Pengetahuan Praktis Tentang Apa Dan Siapa Notaris di
Indonesia?, Cet. I, Surabaya: Putra Media Nusantara, 2010.
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2004.A. Hamid S. Attamimi, “Pancasila Cita Hukum Dalam Kehidupan Hukum Bangsa
Indonesia” dalam Pancasila sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan
Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara, disunting oleh: Oetojo Oesman &
Alfian, BP-7 Pusat, Jakarta, 1992.
Anton Bakker & Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat,
Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Anthon F. Susanto, Penelitian Hukum – Transformatif-Partisipatoris – Fondasi
Penelitian Kolaboratif dan Aplikasi Campuran (Mix Method) dalam
Penelitian Hukum, Malang: Setara Press, 2015.
Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum – Sebuah
penelitian tentang fundasi kefilsafatan dan sifat kelimuan Ilmu Hukum
sebagai landasan pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Cet.
Ketiga, Bandung: Mandar Maju, 2009.
B. Arief Sidharta, Pengantar Logika – Sebuah Langkah Pertama Pengenalan
Medan Telaah, Cet. Ketiga, Bandung: Refika Aditama, 2010.
Bernard Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia – Upaya Pengembangan Ilmu
Hukum Sistematik Yang Responsif Terhadap Perubahan Masyarakat, Cet.
Pertama, Yogyakarta: Genta Publishing, 2013.
Bleicher, Josef, Contemporary Hermeneutics : Hermeneutics as Method,
Philosophy and Critic, Rouledge & Keagen Paul, London-Boston-Henley,
1980.
Bruggink, JJ.H., Rechts-Reflecties, Grondbegrippen uit de rechtstheorie, 1993,
yang dialih bahasakan oleh: B. Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum –
Pengertian-Pengertian Dasar Dalam Teori Hukum, Cet. Ke IV, Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2015.
470
Catalano, John, Francis Lieber: Hermeneutics and Practical Reason, Lanham-
New York-Oxford: University Press of America, 2000.
C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke-
20, Bandung: Alumni, 2006.
Chalmers, A.F., What is thing called Science?, University of Queeensland Press,
St Lucia, Queensland, Edisi Baru September 1982, diterjemahkan oleh
Hasta Mitra, Apa itu yang dinamakan Ilmu?, Hasta Mitra, 1983.
Chandra Kusuma, Penelitian Interdisipliner Tentang Hukum, Jakarta: Epistema
Institute, 2013.
E. Sumaryono, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, Cet. Ke-12, Yogyakarta:
Kanisius, 2016.
Esmi Warassih et. all, Penelitian Hukum Interdisipliner sebuah pengantar menuju
sosio-legal, Cet. I, Yogyakarta: Thafa Media, 2016.
F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis
tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Yogyakarta: Kanisius,
2003.
F. Budi Hardiman, Seni Memahami – Hermeneutik dari Schleiermacher sampai
Derrida, Cet. Ke-4, Yogyakarta: Kanisius, 2015.
Gadamer, Hans-Georg, Truth and Methode, London: Sheed & Ward, 1975.
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta: Erlangga, 1983.
Harris, J.W., Law and Legal Science, Clarendon Press, Oxford, 1979.
Haryo Damardono et. All., Seri Tokoh Hukum Indonesia – Bernard Arief Sidharta
– Peziarah Hukum Indonesia, Jakarta: Epistema Institute – HuMa, 2016.
Herlien Budiono, Dasar Teknik Pembuatan Akta Notaris, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2013.
Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum,
Bandung: Mandar Maju, 1995.
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata usaha
Negara, Buku II, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993.
I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme – Tantangan Bagi Filsafat, Cet. Ke-11,
Yogyakarta: Kanisius, 2016.
Jerzy Stelmach and Bartosz Brozek, Methods of Legal Reasoning, Nederlands
(Springer): Dodrecht, 2006.
Johnny Ibrahim, Teori Dan Metodologi – Penelitian Hukum Normatif, Edisi
Revisi, Cet. Kedua, Malang: Bayumedia Publishing, 2006.
Jujun S. Suryasumantri, Filsafat Ilmu (Sebuah Pengantar Populer), Pustaka Sinar
Harapan, 2010.
K. Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata (RBg/HIR), Jakarta: Ghalia Indonesia,
1981.
Leyh, Gregory, Legal Hermeneutics, University of California, 1992, yang
diterjemahkan oleh M. Khozim, Hermeneutika Hukum – Sejarah, Teori
dan Praktik, Cetakan II: Oktober 2011, Bandung: Nusa Media, 2011.
471
Merryman, John Henry dan Perdomo, Regolio Perez, The Civil Law Tradition an
Indroduction to the Legal Systems of Europe and Latin America,
California: Standart University Press, 2007.
Nicolai, P. et.al., Bestuursrecht, Amsterdam, 1994.
Nyana Wangsa dan Kristian, Hermeneutika Pancasila - Orisinalitas dan Bahasa
Hukum Indonesia, Cetakan Kesatu, Bandung: Refika Aditama, 2015.
M. Ali Boediarto, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum
Acara Perdata Setengah Abad, Jakarta: Swa Justitia, 2005.
Palmer, Richard E., Hermeneutics : Interpretation Theory in Schleiermacher,
Dilthey, Heiddeger, and Gadamer, Evaston: Northwestern University,
1969 (cetakan kedelapan, 1988), hlm. 38; yang telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia; lihat: Richard E. Palmer, Hermeneutika: Teori
Baru Mengenai Interpretasi, penerjemah: Musnur Hery & Damanhuri
Muhamed, Pustaka Pelajar, 2005.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Jakarta: Prenadamedia
Group - Kencana, 2005.
Piaget, Jean, General Problems of Interdisciplinary Research and Common
Mechanism. Main Trends of Research in the social and Human Sciences.
Part one: Social Sciences, the Hague: Mouton/Unesco, 1970.
Posner, Richard A., How Judges Think, London: Harvard University Press, 2008.
Repko, Allen F., Interdisciplinary Research: Process and Theory, London: SAGE
Publications, 2008.
Ricardo Antoncich, Iman dan Keadilan. Ajaran Sosial Gereja dan prakis Sosial
Iman, Yogyakarta: Kanisius, 1991.
Ricoeur, Paul, Hermeneutics & Human Sciences, Editor: John B. Thompson,
Canbrige-NY- Melbourne: Press Syndicate of The University of
Candridge, 1981.
Ricouer, Paul, Teori Interpretasi: Membedah Makna dalam Anatomi Teks (Judul
asli: Theory of Interpretation: Discourse and The Surplus of Meaning;
penerjemah: Mansur Hery), Yogyakarta: IRCiSoD, 2014.
Ridwan H R, Hukum Administrasi Negara, Ed. Revisi, Cet. 8, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2013.
Ronny Hanitijo Soemitro, Masalah-masalah Sosiologi Hukum, Bandung: Sinar
Baru, 1984.
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, Cetakan kedua, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1985.
R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan,
Jakarta: Rajawali, 1982.
R. Subekti, Hukum Acara Perdata, Bandung: Bina Cipta, 1989.
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata –
Comparative Civil Law, Cet. Ke-2, Jakarata: RajaGrafindo Persada, 2015.
472
Schleiermacher, F.D.E., “Foundations: General Theory and Art of
Interpretation”, dalam: Mueller-Vollmer, Kurt (ed.), The Hermeneutics
Reader. Texts of the German Tradition from the Enlightenment to the
Present, New York: Continuum, 2006.
Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Cet. I, Yogyakarta: Genta
Publishing, 2013.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan 2015, Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia (UI-Press), 1986.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif – Suatu
Tinjauan Singkat, Ed. 1, Cet. 17, Jakarta: Rajawali Pers, 2015.
Soetandyo Wignyosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika
Masalahnya (ed. : Ifdhal Kasim et.al.), Jakarta: Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat (ELSAM) & Perkumpulan untuk Pembaharuan
Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi (HuMa), 2002.
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty,
1988.
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Cet. Ke-5,
Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2014.
Tan Thong Kie, Studi Notariat, Serba-serbi Praktek Notaris, Jakarta: Ichtiar baru
van Hoeve, 1994.
van Wijk, H.D., en Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht,
Vuga, s’Gravenhage, 1995.
Zaprulkhan , Filsafat Ilmu: Sebuah Analisis Kontemporer, RajaGrafindo Persada,
2015.
KAMUS, JURNAL, DISERTASI, MAKALAH, TULISAN LEPAS, KORAN,
DAN SEJENISNYA
A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia DalamPenyelenggaraan Pemerinahan Negara, Disertasi Program Studi DoktorIlmu Hukum, Jakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 1990.
B. Arief Sidharta, Penalaran Hukum, karya yang tidak dipublikasikan, terdapatpada Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan.
B. Arief Sidharta, Filsafat Hukum Pancasila, tidak dipublikasikan.B. Arief Sidharta, Pengembanan Hukum dewasa ini di Indonesia, makalah yang
tidak diterbitkan, terdapat pada Fakultas Hukum Universitas KatolikParahyangan 2011.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. Ketujuh,
Edisi Keempat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2014.
473
Rachmani Puspitadewi, Peran Hermeneutika dalam Pengujian Undang-Undangoleh Mahkamah Konstitusi, Disertasi Program Pascasarjana Doktor IlmuHukum, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2016.
R.B. Budi Prastowo, Penalaran Hukum, makalah yang tidak diterbitkan, terdapatpada Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, 2017.
Roeslan Saleh, Pembinaan Cita Hukum dan Penerapan Asas-asas HukumNasional, dalam Majalah Hukum Nasional (Edisi Khusus 50 TahunPembangunan Nasional) No. 1 Tahun 1995, Pusat Dokumentasi HukumBPHN Departemen Kehakiman.
Shidarta, “Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan”,(Disertasi, Universitas Katolik Parahyangan, 2004).
http://kbbi.web.id/notariat, diunduh pada tanggal 4 Maret 2017.http://kbbi.web.id/kewenangan, diunduh pada tanggal 9 Maret 2017.http://kbbi.web.id/teks, diunduh pada tanggal 26 Mei 2017.http://kbbi.web.id/akta, diunduh pada tanggal 26 Mei 2017.http://kbbi.web.id/konstatir, diunduh pada tanggal 9 Juli 2017.http://www.hukumonline.com/index.php/berita/baca/lt573298b2a4142/7-hal-
yang-sering-menyeret-notaris-ke-pusaran-kasus, diunduh pada tanggal 12Oktober 2017.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Pidata
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 Tentang Kearsipan.
Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
474
Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Kedudukan, Tugas, dan
Fungsi Eselon I Kementerian Negara.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pembuat
Akta Tanah.
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 Tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.06/2010 Tentang Pejabat Lelang
Kelas II.
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 702 K/Sip/1973, tanggal 5September 1973.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3199 K/Pdt/1992, tanggal27 Oktober 1994.
top related