bab viii resistensi pkl dalam perspektif teori...
Post on 06-Mar-2019
218 Views
Preview:
TRANSCRIPT
371 371
BAB VIII
RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN
Sebagaimana sudah diuraikan pada bagian sebelumnya
bahwa pedagang kaki lima (PKL) melakukan perlawanan atau
resisten terhadap pemerintah kota Semarang bukannya tanpa
sebab. Mereka melakukan perlawanan karena untuk
mempertahankan tempat berdagang dan lapak demi
menyambung hidup dan kehidupannya. Tindakan perlawanan
tersebut tentu saja bukan tindakan individual, tetapi
merupakan tindakan kolektif. Secara individual jelas mereka
tidak akan berani melakukan perlawanan, karena sumber daya
personal yang mereka punyai tidak dapat digunakan sebagai
modal untuk melawan.
Untuk menganalisis bagaimana tindakan PKL berkaitan
dengan perlawanan mereka terhadap pemerintah kota
Semarang, akan dikaji substansi tindakan mereka secara
individual maupun kolektif, dengan mengacu pada konsep agen
dalam perspektif teori struktural dari Anthony Giddens.
Tindakan PKL sebagai agen dalam struktur sosial juga akan
dibahas menurut teori tindakan Weber dan Parsons. Setelah itu
akan dikemukakan titik-titik simpul bahwa perlawanan atau
resistensi PKL terhadap pemerintah kota Semarang merupakan
tindakan rasional bertujuan.
A. Perspektif Teori Struktural Giddens
Analisis terhadap tindakan pedagang kaki lima (PKL) tidak
menyangkut seluruh tindakan mereka, tetapi hanya tindakan
perlawanan mereka terhadap kebijakan yang diambil Pemkot
Semarang, yang telah menertibkan dan menggusur mereka dari
tempat mereka berdagang dan menjalankan segala aktivitas
372
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
ekonomi lainnya. Yang ingin dilihat adalah bagaimana tindakan
PKL sebagai agen dalam kerangka struktur sosial, sebagaimana
teori struktural yang dikembangkan oleh Giddens.
Tindakan PKL bukan merupakan tindakan spontanitas,
tetapi merupakan tindakan yang terjadi dalam suatu struktur
sosial. Struktur sosial dimaksud adalah organisasi atau
paguyuban internal yang dimiliki PKL dan organisasi eksternal
yang menaungi aktivitas mereka, seperti PPKLS, LBH, dan lain-
lain. Dalam perspektif teori struktural Giddens, ditegaskan
pentingnya keseluruhan atau keutuhan sosial atas bagian-
bagian atau aktor individual (Giddens 2009; Giddens 2010;
Giddens 2011).
Tindakan PKL sebagai agen individual dapat dilihat dalam
kerangka struktur sosial dalam perspektif strukturalisme
Giddens. Itulah sebabnya, dapat dipahami bahwa aktivitas-
aktivitas sosial, menurut perspektif teori ini tidak dihadirkan
oleh para aktor sosial, melainkan diciptakan terus-menerus oleh
mereka melalui sarana-sarana pengungkapan diri mereka
sebagai aktor. Melalui aktivitas-aktivitas tersebut, para agen
memproduksi kondisi-kondisi yang memungkinkan keberadaan
aktivitas-aktivitas tersebut.
Dalam pemahaman Giddens, tindakan manusia sebagai
agen, merupakan tindakan disengaja, yang memiliki alasan-
alasan atas aktivitas yang dilakukan dan jika diminta mampu
mengelaborasi secara diskursif alasan-alasan tersebut. Semua
aktor sosial mengetahui tentang kondisi dan akibat dari apa
yang mereka kerjakan dalam kehidupan sehati-hari mereka
(Sztompka 2004).
Tindakan aktor, menurut Giddens, terjadi dalam arus
tindakan yang terus-menerus seperti halnya kesadaran
(cognition). Refleksi atas tindakan manusia ini tertanam dalam
monitoring terus-menerus dari tindakan manusia yang
diharapkan juga diperlihatkan kepada orang lain. Monitoring
BAB VIII
RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN
373
refleksif terhadap tindakan bergantung pada rasionalisasi dan
dipahami sebagai suatu proses daripada keadaan. Hal itu
inheren dalam kompetensi para agen.
Dalam teori strukturasi, tindakan bukan merupakan
gabungan perbuatan-perbuatan. Monitoring refleksif,
rasionalisasi, dan motivasi tindakan merupakan sederet proses
yang melekat. Seperti halnya monitoring refleksif dan motivasi
tindakan, rasionalisasi tindakan merujuk kepada kesengajaan
sebagai proses. Rasionalisasi tindakan adalah upaya yang
dilakukan oleh para aktor yang secara rutin mempertahankan
suatu pemahaman teoretis yang terus menerus tentang aktivitas
mereka (Giddens 2010:8). Rasionalisasi tindakan dalam
keanekaragaman keadaan interaksi merupakan basis utama bagi
orang lain dalam mengevaluasi kompetensi umum para aktor.
Dalam pandangan Giddens (2010), monitoring refleksif atas
tindakan merupakan satu unsur tetap dari tindakan sehari-hari
yang melibatkan tidak hanya perilaku si individu, tetapi juga
perilaku dari individu-individu lain. Para aktor atau agen akan
memonitor terus menerus arus aktivitas mereka dan berharap
orang lain juga melakukan hal sama terhadap aktivitas mereka
sendiri. Para aktor juga secara rutin memonitor aspek-aspek
sosial dan fisik dari konteks di mana mereka bergerak.
Rasionalisasi tindakan para aktor dalam sistem tindakan
tidak dipahami sebagai alasan-alasan bagi suatu tindakan
tertentu, tetapi lebih pada kompetensi bahwa para aktor akan
mampu menjelaskan sebagian besar tindakannya jika diminta.
Visualisasi tentang rasionalisasi tindakan tersebut dapat dilihat
pada gambar berikut.
374
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Gambar 55. Rasionalisasi Tindakan dari Giddens
Dalam gambar di atas, monitoring refleksif dan rasionalisasi
tindakan memiliki perbedaan dilihat dari aspek motivasinya.
Jika alasan-alasan merujuk pada dasar-dasar tindakan, motivasi
mengacu pada keinginan-keinginan yang mendorongnya.
Namun demikian, motif tidak dibatasi langsung oleh
kesinambungan tindakan-tindakan seperti halnya monitoring
refleksif atau rasionalisasinya. Motivasi mengacu pada potensi
tindakan, bukan pada cara tindakan dilakukan terus menerus
oleh agen bersangkutan (Giddens 2010). Motif-motif cenderung
memiliki hubungan langsung dengan tindakan hanya dalam
keadaan-keadaan yang relatif tidak lazim, situasi-situasi yang
terputus dari rutinitas. Kebanyakan perilaku agen sehari-hari
tidak didasarkan pada motivasi langsung.
Umumnya keberlangsungan kehidupan sehari-hari
mengalir dari suatu tindakan yang disengaja. Namun demikian,
ada juga tindakan yang memiliki konsekuensi yang tidak
disengaja. Konsekuensi-konsekuensi tidak disengaja ini bisa
secara sistematis memberikan umpan balik untuk menjadi
konsekuensi-konsekuensi tidak terkenali dari tindakan
selanjutnya. Agensi manusia hanya bisa ditetapkan berdasarkan
maksud-maksud (Giddens 2010). Artinya, bahwa agar sebuah
perilaku dapat dianggap sebagai tindakan, siapa pun yang
melakukan harus memiliki maksud untuk melakukan tindakan
tersebut. Jika tidak, maka perilaku tersebut hanya merupakan
BAB VIII
RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN
375
respon reaktif saja. Hal ini masuk akal, karena terdapat
sejumlah tindakan yang tidak bisa berlangsung kecuali jika si
agen memang berkeinginan untuk melakukan tindakan
tersebut. Misalnya konsep bunuh diri yang diintroduksi
Durkheim. Bunuh diri tidak dapat dikatakan terjadi, kecuali
apabila seseorang bermaksud untuk menimbulkan kematian
bagi dirinya.
Seseorang yang menyeberang jalan secara sembrono,
kemudian tertabrak mobil lalu meninggal, tidak bisa dikatakan
sebagai tindakan bunuh diri, karena kejadian tersebut adalah
kecelakaan meskipun diawali dari kesembronoan si korban. Ini
adalah kejadian kecelakaan atau accident, yakni sebagai sesuatu
yang menimpa orang yang celaka, bukan karena orang itu
sengaja melakukan supaya dirinya ditabrak mobil. Agar suatu
kejadian yang melibatkan manusia dapat dianggap sebagai
contoh agensi, maka perlu ada persyaratan bahwa apa yang
dilakukan oleh seseorang adalah disengaja berdasarkan
deskripsi, kendatipun agen keliru mengenai deskripsi tersebut.
Seseorang bisa melakukan sesuatu secara sengaja, meskipun
sesuatu itu tidak seperti yang diharapkan.
Jika seseorang dengan sengaja menumpahkan kopi karena ia
mengira kopi tersebut adalah teh, maka menumpahkan kopi
tersebut sejatinya merupakan tindakan orang tersebut
meskipun tidak dilakukan secara sengaja. Namun demikian,
menumpahkan sesuatu dapat dikatakan sebagai kekhilafan di
tengah-tengah tindakan seseorang yang hendak melakukan
sesuatu yang berbeda. Freud mengatakan bahwa hampir semua
perilaku khilaf seperti itu, memiliki motivasi tidak sadar
(Giddens 2010).
Tindakan merupakan suatu proses berkesinambungan, yaitu
suatu arus yang di dalamnya kemampuan introspeksi dan
mawas diri yang dimiliki individu sangat penting bagi
pengendalian terhadap tubuh yang biasa dijalankan para aktor
376
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
dalam kehidupan mereka sehari-hari (Giddens 2010). Seseorang
acapkali melakukan banyak hal yang tidak ingin dilakukan,
tetapi hal itu tetap terjadi. Seseorang bisa saja melakukan
perbuatan yang tidak disengaja, meskipun hal itu tidak semata-
mata ia yang melakukannya.
Si A bermaksud iseng meletakkan secara tidak pas secangkir
kopi di atas lepek, sehingga B mengambil cangkir itu bisa
dipastikan akan tumpah. B benar-benar mengambil cangkir
tersebut dan tumpah karenanya. B tentu tidak sengaja
menumpahkan cangkir tadi, karena posisinya memang
dimungkinkan akan tumpah ketika diambil. Siapa yang
menumpahkan? Jelas B yang bertindak menumpahkan cangkir
tersebut, tetapi perbuatan A juga dipandang turut
mengakibatkan tumpahnya cangkir.
Semua tindakan manusia dapat dikelompokkan ke dalam
dua jenis tindakan, yaitu tindakan disengaja dan tindakan yang
tidak disengaja. Tindakan disengaja jelas maknanya, karena
dilakukan untuk maksud-maksud tertentu. Orang membeli
tiket pesawat Garuda untuk pergi ke Jakarta pada hari Senin,
karena ada urusan tertentu, merupakan contoh dari tindakan
disengaja. Apa arti melakukan sesuatu tindakan tidak disengaja?
Giddens (2010) memberikan contoh sederhana mengenai hal
ini. A menghidupkan lampu agar ruangan menjadi terang.
Ternyata di dalam ruangan tersebut ada seorang pencuri dan
ketahuan setelah lampu tersebut dihidupkan. Meskipun
tindakan menghidupkan lampu disengaja oleh A, tetapi
menghidupkan lampu yang memberitahukan keberadaan
seorang pencuri bukanlah tindakan disengaja.
Untuk mengetahui apakah suatu tindakan itu disengaja atau
tidak, Giddens (2010) menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan tindakan disengaja adalah upaya menyifati sebuah
tindakan yang diketahui atau diyakini oleh pelakunya akan
memiliki kualitas atau hasil tertentu dan pengetahuan itu
BAB VIII
RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN
377
dimanfaatkan si pelaku untuk memperoleh kualitas atau hasil
tertentu. Dari pengertian tindakan disengaja ini, maka perilaku
A menghidupkan lampu yang mengakibatkan si pencuri
ketahuan berada di ruangan tersebut, tergolong sebagai
tindakan tidak disengaja. Hal ini karena si pelaku tidak
mengetahui kalau pencuri ada di dalam ruangan. Apakah jika si
pencuri ketahuan lalu ditangkap polisi, merupakan konsekuensi
yang disengaja dari tindakan A?
Menurut konsep Giddens, segala hal yang menimpa si
pencuri setelah A menghidupkan lampu, termasuk
konsekuensi tidak disengaja dari tindakan menghidupkan
lampu karena A tidak mengetahui keberadaan si pencuri.
Semakin jauh rentang waktu konsekuensi-konsekuensi dari
konteks tindakan pertama, maka akan semakin kecil
kemungkinan konsekuensi-konsekuensi itu disengaja.
Anggapan ini dipengaruhi oleh pengetahuan yang dipunyai
aktor dan daya kuasa dia untuk memobilisasinya.
Kadangkala perilaku manusia bersifat irasional, tetapi
aktivitas yang irasional atau yang kelihatannya tahayul, bisa
saja dipandang rasional. Menurut Merton, hal ini terutama
terjadi pada aktivitas atau praktik-praktik yang sudah
berlangsung cukup lama. Jika ditemukan bahwa ada fungsi
laten di balik aktivitas atau praktik tertentu, seperangkat
konsekuensi yang tidak disengaja yang mengiringi atau
mempertahankan keterulangan aktivitas atau praktik tersebut,
dapat dipastikan praktik tersebut tidak irasional (Giddens
2010).
Sebagai contoh, sebuah upacara dapat memiliki fungsi
laten, berupa penguatan identitas kelompok dengan
memberikan kesempatan rutin kepada setiap anggota kelompok
yang tersebar untuk berkumpul dengan melakukan aktivitas
bersama. Aktivitas-aktivitas sosial kelompok mengadakan
upacara bersama ini, selain untuk mempertahankan identitas
378
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
kelompok juga untuk menjaga kelangsungan hidup (survival)
mereka. Dalam konteks individu, relasi yang dibangun antara
anggota kelompok yang satu dengan lainnya, ditengarai ada
dorongan motivasional yang disengaja untuk memenuhi
kebutuhan sosial mereka.
Dalam relasinya dengan orang lain, aktor atau agen dalam
bertindak harus mampu menggunakan secara terus menerus
kekuasaan kausal, termasuk dalam memengaruhi kekuasaan
yang dijalankan oleh orang lain (Giddens 2010). Tindakan agen
tergantung pada kemampuannya untuk memengaruhi keadaan
atau peristiwa yang telah ada sebelumnya. Menurut Giddens
(2010:23), seorang agen tidak lagi mampu berperan demikian
apabila ia kehilangan kemampuan untuk memengaruhi orang
lain. Kekuasaan agen dipahami dalam kaitannya dengan
maksud atau kehendak, yakni sebagai kemampuan untuk
mencapai hasil-hasil yang diinginkan atau dimaksudkan.
Dalam pandangan Parsons, kekuasaan merupakan sebuah
kepemilikan masyarakat atau komunitas sosial.
Kekuasaan berbeda dengan sumber daya, dan sebagaimana
diungkapkan Giddens (2010) bahwa kekuasaan memang bukan
sumber daya. Sumber daya itu sendiri merupakan sarana untuk
menggunakan kekuasaan dalam sistem interaksi sosial. Dalam
sistem sosial, kekuasaan mengandaikan adanya rutinisasi relasi
kemandirian dan ketergantungan di antara para aktor atau
kelompok dalam konteks interaksi sosial. Ketergantungan
dalam keadaan tertentu dapat menawarkan sumber daya yang
memberikan kemampuan kepada pengikut atau anggota
kekompok untuk memengaruhi ketua atau pimpinan
kelompok. Inilah yang oleh Giddens disebut dengan dialektika
kendali dalam sistem sosial.
BAB VIII
RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN
379
B. Perspektif Teori Tindakan Weber
Sebagaimana sudah dipaparkan sebelumnya bahwa respon
yang ditunjukkan PKL dalam menghadapi kebijakan penataan
PKL oleh Pemkot bermacam-macam. Mereka yang ditertibkan
dan digusur ada yang pasrah menerima nasib, bersedia pindah
ke lokasi yang disediakan Pemkot, ada yang bersedia minggir
tetapi setelah itu kembali ke lokasi berdagang (run and back),
dan ada yang resisten tetap bertahan di lokasi di mana mereka
melakukan aktivitas ekonomi sektor informal.
Dari hasil penelitian di tiga lokasi, yaitu di Sampangan,
Basudewo, dan Kokrosono, resistensi PKL yang merupakan
respon terhadap kebijakan Pemkot, terdiri atas dua bentuk
yaitu dengan perlawanan fisik (kekerasan) dan perlawanan
nonkekerasan.
Perlawanan kekerasan (violence resistance) ditunjukkan
dengan adu mulut, mendorong petugas, mempertahankan
bangunan dan lapak yang akan dibongkar, menaiki begu,
menghalangi pengemudi untuk menjalankan begu, dan
menghadang petugas yang akan membongkar bangunan dan
lapak PKL.
Perlawanan nonkekerasan (nonviolence resistance)
diperlihatkan dalam bentuk melakukan demonstrasi damai,
berorasi, lari dan kembali (run and back), membuat pamflet
atau poster, membuat spanduk, dan mendirikan Posko Anti
Penggusuran. Apa yang mereka lakukan merupakan tindakan
kolektif dan terorganisasi. Tindakan PKL bukan merupakan
tindakan spontanitas, tetapi merupakan tindakan yang terjadi
dalam suatu struktur sosial, yaitu di bawah naungan organisasi
atau paguyuban internal atau organisasi yang menaungi
aktivitas mereka.
Weber (dalam Habermas 2009) memperkenalkan makna
sebagai konsep tindakan dasar dan menggunakannya untuk
380
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
membedakan tindakan dari perilaku yang dapat diamati.
Perilaku manusia, yang eksternal maupun internal, aktif
maupun pasif, akan disebut tindakan manakala aktor
melekatkan makna subjektif ke dalam perilaku tersebut. Teori
tindakan Weber yang bersifat subjektif ini berbeda dengan
teori tindakan Habermas yang bercorak komunikatif atau
intersubjektif.
Dalam ruang sosial, konsep tindakan subjektif Weber tidak
dapat diterima oleh Habermas, karena tindakan aktor tidak
dipandang bermakna kalau hanya berdasarkan rasionalitas sang
aktor. Itulah sebabnya, menurut Habermas (2009), model
tindakan bertujuan harus diperluas dengan dua spesifikasi agar
syarat bagi interaksi sosial terpenuhi. Pertama, suatu orientasi
ke arah perilaku subjek lain yang bertindak. Kedua, suatu relasi
refleksif orientasi tindakan resiprokal dari beberapa subjek yang
bertindak. Meskipun demikian, Weber menyadari bahwa suatu
tindakan akan mengandung makna sebagaimana dimaksud oleh
seorang atau beberapa aktor, apabila tindakan tersebut
menjelaskan perilaku orang lain dan orientasinya juga
dipengaruhi oleh perilaku orang lain tersebut. Dalam bahasa
Ricoeur, tindakan dimaknai sebagai pemenuhan-pemenuhan
dan intervensinya dalam peristiwa publik dan pengejawantahan
publik lainnya (Kaplan 2010).
Weber membagi tindakan manusia ke dalam empat aspek,
yaitu tindakan rasional bertujuan, tindakan rasional bernilai,
tindakan afektual, dan tindakan tradisional (den Doel 1988;
Habermas 2009; Abercrombie, et al 2010).
Tindakan rasional bertujuan dicapai melalui harapan-
harapan seperti keadaan objek-objek di dalam dunia eksternal
atau perilaku orang lain. Harapan-harapan ini dijadikan
seseorang sebagai syarat atau sarana untuk mencapai tujuan,
serta dipertimbangkan dan diupayakan secara rasional
berdasarkan keberhasilannya.
BAB VIII
RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN
381
Tindakan rasional bernilai ditempuh melalui kepercayaan
sadar, seperti etis, estetis, religius terhadap nilai intrinsik dan
mutlak dari mode perilaku tertentu sebagaimana adanya dan
terlepas dari apakah berhasil atau tidak.
Tindakan efektual atau emosional, diperoleh melalui
kondisi afeksi atau emosional yang tengah dialami. Perasaan
senang atau benci pada sesuatu dapat memicu tindakan
seseorang.
Tindakan yang berada dalam situasi tradisional berupa
pembiasaan praktik yang telah lama dilakukan.
Wolfgang Schluchter (dalam Habermas 2009) menyarankan
bahwa tipologi tindakan Weber ini dapat direkonstruksi
menurut unsur formal tindakan rasional bertujuan. Bagi
Schluchter, seorang aktor bertindak secara rasional bertujuan
ketika dia memilih tujuan dari suatu cakrawala konsekuensi
nilai yang jelas dan mengorganisasi sarana-sarana yang sesuai
dengan mempertimbangkan konsekuensi alternatif yang
mungkin muncul. Cakupan hal-hal yang dipertimbangkan
aktor dalam bertindak semakin menyempit. Dalam tindakan
rasional bernilai, konsekuensi-konsekuensi yang dipilih dari
makna subjektif lalu diikat dengan kontrol rasional. Dalam
tindakan afektual, konsekuensi yang dijadikan pertimbangan
adalah konsekuensi itu sendiri dan nilai-nilai yang ada. Dalam
tindakan berbasis tradisi, konsekuensi yang dijadikan
pertimbangan adalah tujuan. Versi resmi dari konsep tindakan
Weber dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 15. Tipologi Resmi Tindakan Weberian
Jenis-jenis Tindakan menurut rasionalitas dari tertinggi hingga terendah
Makna Subjektif mencakupi elemen-elemen berikut.
Sarana Tujuan Nilai Konsekuensi
Rasionalitas bertujuan + + + + Rasionalitas bernilai + + + - Afektual + + - - Tradisional + - - -
Sumber: Habermas (2009)
382
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Dalam kajian konsep tindakan dalam versi tidak resmi,
Weber (dalam Habermas 2009) menetapkan tindakan sosial
pada level konseptual, dengan membedakan tindakan sosial
dalam mekanisme koordinasi tindakan individu dan didasarkan
pada kesepakatan normatif. Dalam mekanisme pertama,
stabilitas relasi sosial dicapai melalui perbenturan posisi
kepentingan secara faktual; sedangkan yang kedua, stabilitas
interaksi sosial dicapai melalui pengakuan tambahan atas klaim
validitas normatif. Koordinasi tindakan yang hanya terbentuk
melalui kepentingan yang saling melengkapi dapat secara
normatif ditata ulang dengan menambahi validitas yang
didasarkan pada kesepakatan, seperti keyakinan bahwa perilaku
tertentu diwajibkan oleh hukum atau konvensi (Habermas
2009).
C. Perspektif Teori Tindakan Parsons
Parsons dengan mengutip Weber, menjelaskan bahwa
tindakan seorang aktor merupakan tindakan rasional bertujuan
atau tindakan normatif. Dalam kaitan ini, Parsons (dalam
Habermas 2009) membedakan tindakan voluntaristik dan
konsep normativis tentang tatanan. Dengan mengutip kata-
kata Weber, Parsons mengatakan, “setiap refleksi mendalam
tentang elemen-elemen hakiki dari tindakan bermakna yang
dilakukan manusia, pada dasarnya dilakukan berdasarkan
kategori tujuan dan sarana. Parsons mengambil struktur
teleologis bertujuan yang terkandung dalam seluruh tindakan
sebagai panduan dalam analisisnya tentang konsep tindakan
sosial (Habermas 2009). Dalam model tindakan teleologis, aktor
dipahami sebagai orang yang pada situasi tertentu menetapkan
tujuan tertentu serta memilih dan menetapkan cara yang sesuai
untuk mencapainya.
Tujuan dipahami Parsons sebagai hal-hal pada masa depan
yang ingin diwujudkan oleh sang aktor (Habermas 2009). Hal-
BAB VIII
RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN
383
hal yang mendasari keputusan aktor di antara berbagai pilihan
sarana merupakan aturan dasar; sedangkan yang mendasari
penetapan tujuan merupakan orientasi nilai dan norma.
Keduanya dipadukan Parsons dalam suatu standar normatif.
Dalam hal ini, tindakan dapat dianalisis sebagai orientasi
tindakan yang dilakukan sang aktor dalam sebuah situasi
tindakan.
Kerangka konseptual tindakan Parsons memiliki dua
implikasi.
Pertama, model tindakan tidak hanya mengandaikan aktor
memiliki kapasitas kognitif, tetapi juga menyarankan bahwa
aktor dapat membuat keputusan yang dipandu secara normatif
berkaitan dengan penetapan tujuan dan pemilihan sarana. Teori
tindakan ini menurut Parsons termasuk tindakan voluntaristik.
Kedua, konsep Parsons tentang situasi mengandaikan
bahwa sarana dan syarat yang terkait dengan orientasi tindakan
ditafsirkan dari perspektif agen sendiri. Dalam hal ini, teori
tindakan diletakkan pada konteks subjektivitas.
Hal ini juga diakui oleh Ricoeur, bahwa pribadi-pribadi
merupakan tujuan dalam dirinya sendiri (Kaplan 2010). Dalam
hal tindakan, Ricoeur juga memahami bahwa sebuah diri bukan
fondasi mutlak, melainkan sebuah diri yang mampu, yaitu
mampu berbicara, bertindak, memperhitungkan diri, dan
bertindak secara bertanggung jawab.
Dalam hal orientasi tindakan, Parsons melihat dua aspek
penting.
Pertama, tindakan direpresentasikan sebagai proses
pencapaian tujuan sembari mempertimbangkan standar
normatif. Dalam aspek pencapaian tujuan, diperlukan upaya
atau biaya yang berbuah hasil atau kepuasan.
384
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Kedua, pertimbangan standar normatif berupa tindakan
menjembatani kesenjangan antara wilayah yang sebenarnya
dengan wilayah yang seharusnya, antara fakta dengan nilai,
antara kondisi situasi tertentu dengan orientasi agen. Elemen
normatif dari suatu tindakan menurut Parsons hanya dapat
dicapai melalui serangkaian tindakan, sebab dengan tindakan,
norma dapat direalisasikan sepenuhnya.
Untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana tatanan
sosial muncul, Parsons mengkaji konsep Durkheim. Parsons
menerima pandangan Durkheim bahwa tindakan para aktor
hanya dapat dikoordinasi secara memuaskan berdasarkan
norma-norma yang diakui secara intersubjektif. Parsons
mengembangkan gagasan tentang sistem nilai yang
mengandung imperatif moral, yang pada satu sisi terkandung
dalam norma sosial dan di sisi lainnya terdapat pada motif aktor
yang bertindak. Ketika diterapkan pada regulasi baku perbuatan
dalam sejumlah kondisi yang relatif ajek, maka sistem nilai
seperti itu terkandung dalam serangkaian aturan normatif
(Habermas 2009).
Aturan-aturan tersebut tidak hanya menjadi tujuan dari
perilaku spesifik dan mata rantai dari tujuan-tujuan tersebut,
tetapi juga mengatur secara keseluruhan atau sebagian tindakan
individu. Pada gilirannya, proses tersebut memerlukan kontrol
atas perilaku internal. Individu konkret normal adalah individu
yang memiliki disiplin secara moral. Ini artinya bahwa elemen-
elemen normatif telah terinternalisasi dalam diri individu.
Norma-norma yang semula mengekang individu, menurut
Parsons berubah menjadi kewajiban moral. Subjektivitas
tindakan individu Parsons ini menerapkan konsep moral yang
telah dikembangkan oleh Durkheim.
Sejalan dengan Durkheim, Parsons merasa puas telah
berhasil menemukan karakter dimensi normatif sebagai sikap di
mana aktor yang bertindak dapat mematuhi atau melanggar
BAB VIII
RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN
385
perintah-perintah yang mengikat. Dalam hal ini, aktor
memiliki otonomi moral, yakni kebebasan untuk mematuhi
suatu aturan. Otonomi atau otoritas moral sebagai suatu
tatanan, sebuah istilah yang dipinjam dari Durkheim, dalam
bahasa Weber disebut dengan legitimasi. Tindakan aktor yang
otonom mengacu pada konsensus nilai dan menurut Parsons,
tindakan tersebut pasti berorientasi pada tujuan. Tatanan ini
mensyaratkan adanya tindakan berorientasi nilai-rasional.
Parsons (dalam Habermas 2009) mengakui bahwa tatanan sosial
kadang juga dibentuk melalui kompromi antara kepentingan
individu yang saling bertumpang tindih. Sembari tetap
memiliki kepentingan individunya, aktor menyelaraskan
kepentingannya dalam suatu tindakan terkoordinasi dalam
sebuah tatanan sosial yang absah.
Konsep tindakan Parsons, utamanya tindakan rasional
bertujuan, ditafsirkan dalam kerangka alur utilitarian. Dalam
pandangan Parsons, aktor berhadapan dengan suatu dunia
objektif, berupa hal-hal yang terjalin dan ia memiliki
pengetahuan empiris yang pasti tentang peristiwa dan situasi
tempat ia berada. Empirisme mengasimilasikan subjek yang
bertindak dan subjek yang merepresentasikan dan menilai.
Asumsinya adalah aktor telah mengetahui fakta situasi tempat
ia bertindak, syarat-syarat yang diperlukan dan sarana yang
tersedia untuk merealisasikan tujuan-tujuannya. Parsons
menyebut konsep tindakan ini sebagai tindakan rasional.
Selanjutnya, menurut Parsons, keberhasilan tindakan bertujuan
yang diorientasikan kepada fakta hanya diukur dari apakah
tindakan tersebut mengarah pada tujuan atau tidak (Habermas
2009). Selain aturan dasarnya adalah peningkatan manfaat,
norma lain dalam model tindakan rasional bertujuan adalah
berkaitan dengan efektivitas sarana yang dipilih atau
berhubungan dengan efisiensi intervensi yang dilakukan.
Konsep tindakan rasional bertujuan tidak menyediakan
mekanisme yang digunakan oleh aktor untuk
386
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
mengkoordinasikan tindakan satu dengan lainnya. Parsons
(dalam Habermas 2009) mengintroduksi juga konsep tindakan
strategis, yang ia sebut dengan atomistik. Apabila aktor hanya
berhadapan dengan dunia yang ada, keputusan aktor lain hanya
relevan baginya dari sudut pandang keberhasilannya sendiri.
Hubungan stabil antara para aktor hanya dapat terjadi ketika
kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam relasi sosial saling
melengkapi dan saling menopang.
Mengacu pada pandangan Hobbes, Parsons (dalam
Habermas 2009) meyakini bahwa subjek atau aktor dibekali
kemampuan untuk melakukan tindakan rasional bertujuan.
Pencapaian kepentingan tiap-tiap individu menurut Hobbes
akan terjebak pada perang untuk memperebutkan barang,
karena hasrat dari tiap-tiap individu beranekaragam. Masing-
masing aktor juga memandang bahwa keputusan setiap aktor
lainnya merupakan sarana atau syarat untuk mewujudkan
tujuan mereka sendiri.
Dalam hal ini, setiap orang berusaha untuk memengaruhi
orang lainnya. Dalam interaksi ini muncul apa yang disebut
dengan kekuasaan. Dalil rasionalnya adalah bahwa seluruh
manusia pasti menginginkan kekuasaan atas sesamanya. Konsep
kekuasaan ini menempati posisi sentral dalam analisis tatanan.
Oleh karena masyarakat terperosok ke dalam perjuangan untuk
memperoleh kekuasaan jangka pendek, maka tujuan akhir
berupa keinginan bersama tidak akan pernah ada. Solusi yang
ditawarkan Hobbes adalah adanya kontrak untuk menyerahkan
kekuasaan kepada pihak yang memiliki kekuasaan mutlak
(Habermas 2009).
Parsons menentang pandangan Hobbes tentang solusi
berupa kontrak kekuasaan tersebut. Parsons yakin bahwa
kontrak yang memberikan kepada penguasa tersebut tidak
sejalan dengan konsep rasional bertujuan. Dua alasan berikut
BAB VIII
RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN
387
menjadi pertimbangan Parsons menolak pandangan Hobbes
tentang kontrak kekuasaan.
Pertama, realisasi kontrak biasanya dijalankan dengan
menggunakan paksaan dan penipuan.
Kedua, paksaan dan penipuan tersebut tidak sesuai dengan
hakikat rasional bertujuan yang lebih banyak bersifat persuasif.
Berbeda dengan pandangan Hobbes yang memerlukan
suatu kekuatan tertentu untuk membatasi perilaku alamiah
manusia yang cenderung egois, Locke percaya bahwa setiap
manusia memiliki kesetaraan dan kebebasan serta mereka
memiliki kewajiban resiprokal untuk mengakui setiap orang
dan mereka bersedia mengorbankan kepentingan sesaatnya.
Sikap tunduk pada kekuasaan mutlak harus didasarkan pada
konsensus normatif, bukan pada paksaan. Normalah yang
menjadi pembatas tindakan aktor yang dikendalikan oleh
kepentingan diri. Pembatasan tersebut berlangsung melalui
orientasi terhadap nilai. Orientasi tindakan individu mengarah
pada nilai-nilai yang mengikat. Dengan mengacu pada nilai-
nilai atau kesepakatan normatif, maka tindakan bertujuan yang
berorientasi pada nilai akan berjalan seiring dengan tatanan
yang mengintegrasikan nilai.
Tatanan sosial yang dipahami Parsons merupakan struktur
sosial. Dalam struktur sosial ini, suatu masyarakat dapat
terorganisasi dalam hubungan-hubungan yang dapat
diramalkan melalui pola perilaku yang berulang antarindividu
dan antarkelompok. Sementara itu, sistem sosial sebagai bagian
dari struktur sosial dipahami Parsons sebagai sejumlah aktor
individual yang saling berinteraksi dalam situasi yang sekurang-
kurangnya mempunyai aspek lingkungan atau fisik, aktor-aktor
yang memiliki motivasi, dalam arti mempunyai kecenderungan
untuk mengoptimalkan kepuasan yang berhubungan dengan
situasi yang didefinisikan dan dimediasi dalam simbol bersama
yang terstruktur secara kultural (Martono 2011:50).
388
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Tidak semua sistem sosial dapat berfungsi dengan baik.
Agar sistem sosial dapat bekerja dengan baik dalam kondisi
stabil, maka ada empat fungsi terintegrasi yang harus
dijalankan. Empat fungsi itu adalah adaptation atau adaptasi
(A), goal attainment atau pencapaian tujuan (G), integration
atau integrasi (I), dan latent pattern maintenance atau
pemeliharaan pola-pola laten (L) (Kinloch 2005). Keempat
fungsi tersebut terkenal dengan singkatan AGIL.
Fungsi adaptasi dari sistem dilakukan dengan cara
menyesuaikan diri dengan lingkungan sekaligus menyesuaikan
lingkungan dengan kebutuhannya. Fungsi adaptasi meupakan
fungsi organisme atau sistem organis tingkah laku. Dalam
fungsi pencapaian tujuan, sistem harus dapat mendefinisikan
dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Fungsi ini disebut
juga fungsi kepribadian. Dalam hal integrasi, sistem harus
mampu mengatur dan menjaga hubungan bagian-bagian yang
menjadi komponennya. Sistem juga harus mampu menjalankan
fungsi untuk memelihara pola, termasuk juga dalam
memelihara dan memperbaiki motivasi pola-pola individu dan
kultural. Fungsi yang terakhir dari sistem tersebut adalah
pemeliharaan pola-pola laten.
D. Resistensi PKL sebagai Tindakan Rasional
Pandangan Giddens, Weber, dan Parsons mengenai
tindakan aktor atau subjek individual tidak jauh berbeda.
Mereka meyakini bahwa tindakan aktor dalam suatu aktivitas
tertentu merupakan tindakan rasional atau tindakan rasional
bertujuan. Tindakan aktor tersebut cenderung untuk mengejar
kepentingan mereka masing-masing. Namun tindakan aktor
tidak akan berlangsung jika tidak berada dalam suatu struktur
sosial tertentu, di mana masing-masing aktor berinteraksi satu
dengan lainnya.
BAB VIII
RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN
389
Pedagang kaki lima (PKL) resisten terhadap Pemkot
Semarang merupakan tindakan yang disadari dan memiliki
tujuan, agar mereka tetap diizinkan berdagang di lokasi guna
memenuhi keperluan hidup hidup sehari-hari. PKL seperti
halnya kelas bawah lainnya sesungguhnya tidak memiliki
keberanian melawan pemerintah atau negara, tetapi
sebagaimana dikemukakan Paige, intervensi dari luar
berpotensi menggerakkan kelas bawah dalam suatu bentuk
perlawanan tertentu (Alisjahbana 2006). Dukungan dari
PPKLS, LBH, dan organisasi lainnya, menguatkan nyali PKL
melawan Pemkot. Semua itu mereka lakukan agar mereka
dapat bekerja di tempat yang bagi mereka mudah untuk
memperoleh penghasilan, sehingga mereka dapat menghidupi
keluarganya. Dengan bekerja, kelangsungan hidup mereka
dapat terjaga. Gambaran tentang bagaimana PKL resisten
terhadap pemerintah dan apa tujuan mereka bertindak resisten
dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 56. Tindakan PKL sebagai Tindakan Bertujuan
Tindakan PKL disadari dan bertujuan
Resistensi PKL Kebijakan
Pemerintah yang
tidak akomodatif PKL Bertahan
Hidup (Survive)
Dukungan dari Organisasi atau Lembaga Swadaya
Masyarakat
390
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Di Semarang terdapat dua tempat untuk menampung para
pedagang kaki lima (PKL) yang bersedia dipindah atau
direlokasi, yaitu di Kokrosono dan Pasar Waru, tetapi mengapa
PKL menolak direlokasi atau menolak perubahan terhadap
dirinya. Banyak aspek, faktor, atau alasan mengapa PKL tidak
bersedia dipindah dan mereka melawan ketika digusur. Dari
penelitian yang telah dilakukan, faktor-faktor yang membuat
PKL menolak direlokasi atau melakukan perlawanan ketika
digusur dan dipindah adalah (1) adanya pengalaman buruk
ketika PKL dipindah, (2) PKL sudah menikmati zona aman
(comfort zone) di lokasi di mana mereka berdagang, (3)
komunikasi yang buruk antara pihak pemkot dengan PKL, (4)
PKL tidak terlibat secara fair dalam pengambilan keputusan
yang menyangkut diri mereka, (5) PKL dikendalikan oleh sikap
self interest, (6) PKL khawatir di tempat baru akan kehilangan
sesuatu yang bernilai, seperti pendapatan, (7) PKL takut
mengalami kegagalan di tempat yang baru, (8) PKL merasa
tidak memiliki pilihan lain kecuali berdagang di lokasi tersebut,
(9) PKL merasa terancam pekerjaannya, (10) resiko di tempat
baru lebih besar daripada resiko yang ditanggung ketika masih
berada di lokasi semula.
Respon-respon dari yang ditunjukkan oleh PKL
Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono, semuanya adalah untuk
kepentingan bertahan hidup (survive) atau paling tidak untuk
memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Memang ada di antara
PKL yang diteliti, tidak sekedar bertahan hidup. Di Kokrosono
yang lokasinya tidak layak untuk berdagang, karena tempatnya
berada di pinggir sungai, kumuh, kotor, dan bau ketika hujan,
terdapat dua orang pedagang yang sukses menekuni pekerjaan
sebagai pedagang kaki lima. Demikian pula, di Sampangan, ada
seorang pedagang gado-gado yang cukup sukses secara
ekonomi, meskipun ia mengalami penggusuran di tempat di
mana ia berjualan. Pedagang kaki lima yang sukses juga ditemui
di bundaran Simpang Lima. Namun demikian, sebagian besar
BAB VIII
RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN
391
PKL yang menjalankan aktivitas ekonomi di Sampangan,
Basudewo, Kokrosono, dan di tempat lainnya hidup sebagai
PKL hanya cukup untuk bertahan hidup atau menjaga
kelangsungan hidupnya.
Tindakan PKL melawan Pemerintah kota Semarang dapat
dipahami dalam konteks tindakan individual dan tindakan
kolektif. Dalam hal tindakan individual, konsep aktor atau agen
dari Giddens dapat menjelaskan mengapa PKL bersikap resisten
terhadap kebijakan yang diambil Pemkot. Sebagaimana
dikatakan Giddens bahwa aktor atau agen memiliki kesadaran
(kognitif) terhadap apa yang mereka lakukan, artinya mereka
tahu apa yang akan dan telah dilakukan. Tindakan agen
tersebut memang sengaja dilakukan, di dalamnya ada unsur
kehendak dan kebebasan (Moya 1990). Tindakan tersebut
merupakan tindakan rasional. Tindakan tersebut tentu sengaja
dilakukan, tidak secara kebetulan. Masih adanya beberapa PKL
yang nekat berdagang di Basudewo, di Kokrosono, dan
beberapa tempat lainnya, menunjukkan bahwa para PKL
memang sadar mengenai apa yang dilakukan, dan mereka pun
siap menanggung resiko ketika harus ditertibkan petugas Satpol
PP kota Semarang.
PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono (liar) tidak
patuh dan tidak mau tunduk kepada kebijakan Pemkot
Semarang untuk merelokasi mereka merupakan tindakan
rasional, karena apa yang mereka lakukan telah disadari betul,
sebab jika mereka tidak melakukan perlawanan, mereka tidak
bisa melanjutkan pekerjaan dan mencari nafkah bagi
keluarganya. Tindakan PKL tersebut juga disengaja dilakukan,
karena mereka juga menyadari akan resiko yang akan
ditanggungnya. Para PKL ini bertindak melawan pemerintah,
karena memiliki alasan-alasan tertentu yang bagi mereka
rasional, di antaranya mereka khawatir jika pindah di tempat
baru akan kehilangan atau kekurangan pendapatan. Pak Haji
Mustaqim merupakan salah satu contoh PKL Kokrosono liar
392
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
yang semula sudah pindah ke sentra PKL Kokrosono, tetapi
karena dagangan sepi, pak Haji kembali berjualan di tepi sungai
Banjir Kanal Barat. Agar diizinkan berjualan di tepi sungai
Banjir Kanal Barat tersebut, pak Haji bersedia membayar kalau
diperlukan. Ketika diwawancarai, pak Haji berujar:
“membayar sepuluh juta pun saya mau pak, asalkan
diperbolehkan berjualan di sini (tepi jalan)”. Hal ini juga diakui
pak Mul, “kalau harus membayar…saya siap pak…asal boleh
berdagang di sini”.
Sikap resisten dan tindakan PKL melawan pemerintah, dari
sisi agen merupakan tindakan manusia yang di dalamnya
terlekat makna subjektif (Weber) atau bersifat individual.
Tindakan melawan, dalam arti tetap bertahan di lokasi untuk
berjualan sebagaimana diperlihatkan PKL Kokrosono
merupakan tindakan subjektif. Para PKL menggunakan taktik
run and back, merupakan contoh tindakan subjektif dan ini
rasional bagi mereka.
Tipe tindakan rasional bertujuan Weber juga dapat
menjelaskan mengapa PKL resisten terhadap Pemkot. Para PKL
tetap bertahan di lokasi memang disengaja dengan tujuan agar
Pemkot memperhatikan nasib dan masa depan PKL yang
berjualan di tepi sungai, yakni dengan mendirikan tempat yang
layak bagi mereka untuk berdagang, meski kenyataannya hal
itu tidak sesuai dengan harapan para PKL. Pemkot tetap pada
pendiriannya, yaitu menertibkan, menggusur, dan
memindahkan PKL sebagaimana dialami PKL Basudewo.
Tindakan melawan yang dilakukan PKL juga dapat dipahami
dari aspek tindakan rasional bernilai dari Weber.
Para PKL tetap bertahan di lokasi untuk berjualan sadar
betul bahwa apa yang mereka lakukan memang tidak benar,
tetapi mereka juga mengakui bahwa mereka terpaksa harus
berdagang di tempat tersebut karena selama ini dagangan
mereka ramai dikunjungi pembeli dan jika pindah belum tentu
BAB VIII
RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN
393
dagangannya laku. Kenikmatan pada zona aman (comfort zone)
ketika berada di lokasi lama, membuat PKL bersikukuh
bertahan di lokasi. Dalam hal tindakan kolektif, para PKL
bertahan di lokasi karena tindakan mereka sudah terkoordinasi,
seperti yang terlihat pada tindakan kolektif PKL Sampangan
dan PKL Basudewo.
Adanya kesepakatan bersama (normatif) dari PKL untuk
tetap bertahan di lokasi hingga tuntutan mereka dikabulkan
Pemerintah kota, membuat tindakan individual PKL
bertransformasi menjadi tindakan kolektif. Tindakan kolektif
ini terwujud dalam bentuk menghalangi petugas yang akan
menggusur mereka, memblokade jalan, pawai menuju Kantor
Balaikota, dan berdemonstrasi. Kekuatan kolektif inilah yang
membuat para individu PKL berani melawan dan tidak patuh
terhadap kebijakan relokasi yang ditempuh oleh Pemkot
Semarang.
Tindakan individual PKL juga dapat dipahami dalam
konteks teori tindakan Parsons. Teori tindakan Parsons mirip
dengan teori tindakan Weber, di mana aktor bertindak rasional,
subjektif, dan cenderung mengutamakan kepentingan diri
sendiri (self-interest). Parsons setuju dengan konsep tindakan
rasional bertujuan dari Weber, di mana tindakan memiliki
tujuan-tujuan tertentu dan mengandaikan adanya sarana untuk
mencapai tujuan tersebut. Para PKL bertindak melawan
Pemkot Semarang dengan sikap tetap bertahan di lokasi dan
mempertahankan lapak dan barang-barang dagangan ketika
ditertibkan dan digusur, merupakan tindakan rasional
bertujuan, karena mereka bertahan di lokasi agar dagangannya
laku.
Sarana yang digunakan untuk menguatkan sikap resisten
tersebut adalah dengan bersandar pada organisasi PKL di kota
Semarang, yaitu Paguyuban Pedagang Kaki Lima Kota
Semarang (PPKLS) dan membentuk organisasi intern PKL
394
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
seperti yang dilakukan oleh PKL Basudewo. Selain itu, para
PKL di bawah kepemimpinan pak Achmad menjalin kerjasama
dan berjejaring dengan organisasi lain, seperti Lembaga
Bantuan Hukum, Pattiro, Organisasi Mahasiswa, dan lain-lain.
Organisasi dan jejaring yang dibangun PKL yang terkena
kebijakan relokasi ini digunakan para PKL untuk mewujudkan
tujuannya, agar tetap dapat berjualan di lokasi semula.
PKL Sampangan berhasil mewujudkan tujuannya, yakni
tetap berdagang di lokasi semula, meskipun tempat
berdagangnya sedikit bergeser ke arah selatan. PKL Basudewo
bertahan di lokasi, hingga akhirnya pindah pada awal tahun
2011. PKL Kokrosono (liar) tidak pindah, tetap bertahan untuk
berjualan di tepi sungai Banjir Kanal Barat. Keberhasilan
gerakan rakyat kecil ini sejalan dengan hasil temuan Roever
(2005) yang menunjukkan bahwa rakyat miskin dalam situasi
tertentu berhasil memobilisasi dan mendesakkan tuntutan
mereka. Aktivitas PKL Basudewo yang masih berjalan hingga
akhir Desember 2010 dan kegiatan kuliner PKL Sampangan
yang masih berlangsung hingga kini merupakan contoh dari
keberhasilan tindakan kolektif PKL.
Tindakan para PKL untuk tetap bertahan di lokasi di mana
mereka berjualan sebagai suatu proses untuk mencapai tujuan
memang memerlukan upaya dan biaya yang tidak kecil (bagi
ukuran PKL) seperti yang diperlihatkan oleh PKL Basudewo.
Perjuangan PKL Basudewo selama dua tahun, yaitu tahun 2009
sampai dengan 2010 membutuhkan energi yang luar biasa dari
para PKL, tidak hanya uang, tetapi tenaga, waktu, dan pikiran.
Buah dari kerja keras itu adalah mereka tetap dapat bertahan
berjualan di lokasi, di tengah-tengah ancaman preman dan
tindakan kekerasan dari aparat pemerintah, seperti Satpol PP
dan Kepolisian.
Sebagai aktor yang bertindak individual dalam kaitannya
dengan posisinya sebagai pedagang yang cenderung
BAB VIII
RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN
395
mengutamakan self-interest, tindakan para PKL juga dapat
dikoordinasi berdasarkan norma-norma intersubjektif, yakni
oleh paguyuban internal yang mereka bangun, seperti yang
dimiliki PKL Basudewo. Sebagaimana dikemukakan Durkheim,
bahwa dengan adanya paguyuban, ada imperatif moral dari
sistem nilai bersama yang menegaskan adanya aturan normatif
yang berfungsi mengontrol perilaku anggota PKL sebagai aktor.
Salah satu contoh dari nilai bersama yang disepakati para
PKL adalah ketika PKL Basudewo bersepakat untuk tetap
bertahan di lokasi. Dalam rapat yang diselenggarakan pada hari
Minggu tanggal 23 Mei 2010, para PKL bersepakat untuk turun
ke jalan menemui walikota Semarang pada tanggal 25 Mei
2010, dengan tujuan agar mereka diberi kesempatan untuk
tetap dapat berdagang di Basudewo. Jumlah mereka yang
berangkat turun ke jalan adalah 65 orang PKL, dengan
didampingi beberapa orang dari Lembaga Bantuan Hukum
(LBH) Semarang. Untuk kepentingan aksi ini, PKL bersepakat
membayar iuran sebesar Rp10.000,00 per orang. Para PKL yang
ingin tetap dapat berdagang di Basudewo harus bersedia
bergabung dan bekerja bersama dalam paguyuban yang telah
mereka bentuk. Norma yang disepakati, di antaranya
membayar iuran Rp10.000,00 setiap diadakan rapat, harus hadir
jika diundang rapat, dan tidak berjualan pada saat mengadakan
aksi ke jalan, merupakan norma yang seakan-akan mengekang
hak individual PKL.
Rasa solidaritas terhadap perjuangan paguyuban PKL
Basudewo, menyebabkan banyak anggota PKL yang turut
bergabung dalam tindakan kolektif yang diinisiasi oleh
paguyuban. Mereka merasa kewajiban tersebut tidak
dipaksakan, tetapi merupakan kewajiban moral yang harus
ditanggung bersama. Rapat PKL dalam rangka
memperjuangkan tujuan untuk dapat berdagang di lokasi lama,
telah dilakukan PKL Basudewo tidak kurang dari 20 kali selama
tahun 2010-2011. Dari komitmen dan aktivitas PKL Basudewo
396
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
menunjukkan bahwa anggota PKL sebagai aktor individu dapat
menyelaraskan kepentingannya dalam suatu tatanan sosial
sebagaimana dikehendaki oleh paguyuban PKL Basudewo.
Selaras dengan pandangan Parsons, PKL sebagai aktor
menyadari apa yang mereka lakukan, yaitu bekerjasama untuk
kepentingan bersama, agar PKL tetap diizinkan berdagang di
lokasi yang selama ini mereka tempati.
Tindakan PKL dalam konteks individual juga dapat
dipahami dari pandangan Ricoeur. Sebagaimana diungkapkan
Ricoeur bahwa sebuah diri seorang subjek bukan fondasi
mutlak, melainkan sebuah diri yang mampu, yaitu mampu
berbicara, bertindak, memperhitungkan diri, dan bertindak
secara bertanggung jawab (Kaplan 2010). Pedagang kaki lima
(PKL) dalam pandangan Ricoeur ini juga merupakan aktor yang
mampu berbicara, meskipun kebanyakan pendidikannya tidak
tamat SMA, dan bertindak untuk merealisasikan
kebutuhannya.
Mereka berdagang di tempat terlarang, memang mereka
akui salah, tetapi tidak ada pilihan lain bagi mereka selain
berdagang meskipun harus menempati lokasi yang dilarang
oleh ketentuan Peraturan Daerah. Mereka sudah
memperhitungkan segala sesuatunya, termasuk ketika harus
menerima resiko digusur dari tempat di mana mereka
berjualan. Mereka sejatinya juga bertanggung jawab atas apa
yang mereka lakukan. PKL Sampangan misalnya, selesai
berdagang pasti juga membersihkan kotoran dan sampah yang
timbul akibat dari usaha perdagangan mereka. Demikian pula,
yang dilakukan oleh PKL Basudewo dan Kokrosono. Apabila
mereka diberi otonomi dan kepercayaan untuk mengelola
aktivitasnya, tidak digusur dari tempatnya, atau bahkan
didukung dengan dibuatkan tempat untuk berdagang yang
layak, sudah bisa dipastikan bahwa mereka akan bertanggung
jawab terhadap apa-apa yang telah diberikan oleh pemerintah
kepadanya.
BAB VIII
RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN
397
E. Rangkuman
Kebijakan Pemkot Semarang merelokasi PKL dengan cara-
cara represif, direspon PKL dengan tindakan resisten. Resistensi
merupakan suatu sikap, respon atau reaksi yang dilakukan
individu atau sekelompok individu untuk menolak, menentang,
dan melawan setiap perintah, aturan, dan kebijakan pihak lain
atau pihak yang memegang otoritas. Relokasi atau pemindahan
ke lokasi baru bagi PKL merupakan sebuah ancaman akan
posisi status quo mereka yang selama ini sudah dapat
menikmati aktivitasnya sebagai PKL. Relokasi juga dipandang
oleh PKL sebagai perubahan terhadap posisi dan prospek hidup
mereka, yang belum tentu memberi jaminan dengan
kepindahannya di tempat baru, mereka akan menikmati hidup
lebih baik. Inilah yang menyebabkan para PKL bersikap
resisten ketika ditertibkan, digusur, dan dipindahkan.
Faktor-faktor yang membuat PKL menolak direlokasi atau
melakukan perlawanan ketika digusur dan dipindah adalah (1)
adanya pengalaman buruk ketika PKL dipindah, (2) PKL sudah
menikmati zona aman (comfort zone) di lokasi di mana mereka
berdagang, (3) komunikasi yang buruk antara pihak Pemkot
dengan PKL, (4) PKL tidak terlibat secara fair dalam
pengambilan keputusan yang menyangkut diri mereka, (5) PKL
dikendalikan oleh sikap self interest, (6) PKL khawatir di
tempat baru akan kehilangan sesuatu yang bernilai, seperti
pendapatan, (7) PKL takut mengalami kegagalan di tempat yang
baru, (8) PKL merasa tidak memiliki pilihan lain kecuali
berdagang di lokasi tersebut, (9) PKL merasa terancam
pekerjaannya, (10) resiko di tempat baru lebih besar daripada
resiko yang ditanggung ketika masih berada di lokasi semula.
PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono (liar) tidak
patuh dan tidak mau tunduk kepada kebijakan Pemkot
Semarang untuk merelokasi mereka merupakan tindakan
rasional, sebagaimana pandangan Giddens, karena apa yang
398
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
mereka lakukan telah disadari betul. Jika mereka tidak
melakukan perlawanan, mereka khawatir tidak bisa
melanjutkan pekerjaan dan mencari nafkah bagi keluarganya.
Para PKL ini bertindak melawan pemerintah, karena memiliki
alasan-alasan tertentu yang bagi mereka rasional, misalnya
mereka khawatir jika pindah di tempat baru akan kehilangan
atau kekurangan pendapatan. Para PKL bertindak melawan
Pemkot Semarang dengan sikap tetap bertahan di lokasi dan
mempertahankan lapak dan barang-barang dagangan ketika
ditertibkan dan digusur, merupakan tindakan rasional
bertujuan, sebagaimana diintroduksi Weber dan Parsons,
karena mereka bertahan di lokasi agar dagangannya laku dan
pembelinya tidak lari ke tempat lain.
Sarana yang digunakan untuk menguatkan sikap resisten
tersebut adalah dengan bersandar pada organisasi PKL di kota
Semarang, yaitu Paguyuban Pedagang Kaki Lima kota
Semarang (PPKLS) dan membentuk organisasi intern PKL
seperti yang dilakukan oleh PKL Basudewo. Selain itu, para
PKL di bawah kepemimpinan pak Achmad menjalin kerjasama
dan berjejaring dengan organisasi lain, seperti LBH, Pattiro,
Organisasi Kemahasiswaan, dan lain-lain. Organisasi dan
jejaring yang dibangun PKL digunakan para PKL untuk
mewujudkan tujuannya, agar tetap dapat berjualan di lokasi
yang selama ini mereka gunakan untuk berdagang dan
melakukan aktivitas ekonomi lainnya.
top related