bahan skripsi2
Post on 24-Jan-2016
225 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
1. Emesis pada kehamilan dini
Pada kehamilan dini, mual serta muntah sangat sering terjdi dan bahkan memiliki
peranan fisiologis untuk mendorong ibu hamil makan lebih banyak (Huxley, 2000). Pada
kehamilan tanpa mual, risiko terjadinya abortus spontan atau partus prematurus lebih
tinggi (Beischer et al, 1997).
Hal yang harus diperhatikan saat emesis pada kehamilan dini:
a. Harus dipertimbangkan penyebab mual yang spesifik, misalnya pemberian
tablet zat besi, infeksi saluran kemih, dan ansietas.
b. Istirahat dan makan makanan sumber karbohidrat yang sederhana, seperti
biskuit atau sereal.
c. Makan makanan sederhana (tanpa bumbu berlebihan) yang dilakukan sedikit
tetapi sering dapat dianjurkan.
d. Distensi lambung akan berkurang jika konsumsi buah dan cairan tidak
dilakukan bersamaan dengan makan makanan.
e. Hindari gerakan yang mendadak.
2. Penatalaksanaan Farmakologis Emesis
Ada berbagai macam obat yang digunakan sebagai antiemetik, baik dalam masa
persalinan maupun pada hiperemesis gravidarum. Keragaman jenis obat yang digunakan
untuk mengatasi emesis dapat dijelaskan oleh kompleksnya jarak saraf yang
mempengaruhi pusat muntah. Jika muntah terjadi dengan hebat, penggunaan satu preparat
saja tidak selalu efektif sepenuhnya. Neurotransmiter yang terlibat dalam proses
terjadinya muntah yang dapat diubah oleh kerja obat meliputi: dopamin, asetilkolin,
histamine, serotonin, benzodiazepin dan kanabinoid.
Preparat antiemetik yang sering digunakan dalam peristiwa melahirkan, dibagi
menjadi dua kelompok :
a. Antagonis/ penyekat dopamine (D2), seperti metokloparamid dan proklorperazin.
b. Antagonis histamine (H1), seperti siklizin dan prometazin.
Untuk setiap obat, efek sampingnya bergantung pada neurotransmitter yang
terkena. Sebagai contoh, semua antagonis histamin (H1) dapat menyebabkan sedasi dan
semua antagonis dopamin (D2) dapat menimbulkan kelainan gerakan. Beberapa obat
seperti prometazin (Avomine, Phenergan) serta proklorperazin (Stemetil) merupakan
antagonis terhadap reseptor histamine dan sekaligus dopamine. Sementara obat-obat ini
juga mempunyai kerja antiemetic dan efek samping yang dimiliki oleh kedua kelompok
obat diatas.
3. Antagonis Dopamin (D2) (metoklopramid dan proklorperazin)
Antagonis D2 meliputi metoklopramid (maxalon), haloperidol, domperidon dan
fenotiazin seperti klorpromazin dan proklorperazin (stemetil). Dalam hal kerjanya, efek
sampingnya, kewaspadaan dalam pemakaiannya dan kontraindikasinya, proklorperazin
sangat menyerupai klorpromazin (BNF, 2000). Prometazin merupakan fenotiazin, tetapi
khasiatnya yang paling dominan adalah khasiat histamin, karena itu jenis obat ini
dikelompokkan ke dalam golongan obat antihistamin. Metoklopramid merupakan
preparat benzamid tersubstitusi dan bukan fenotiazin. Karena itu metoklopramid bebas
dari efek samping antimuskarinik seperti konstipasi. Sifat antiemetiknya disebabkan oleh
kerjanya pada reseptor dopamine maupun serotonin (Mitchelson, 1992).
Penggunaan preparat antagonis D2
Obat-obat ini diresepkan untuk mengatasi emesis pada berbagai situasi:
a. Untuk mengimbangi efek emetogenik yang dimiliki oleh opioid dan ergotamine.
b. Untuk mengimbangi gejala emesis yang ditimbulkan oleh kehamilan itu sendiri.
c. Sebelum anastesi.
d. Emesis pascabedah.
e. Penyakit meniere, penyakit radiasi, terapi sitotoksik.
Preparat antagonis D2 tidak efektif untuk pengobatan mabuk perjalanan. Karena
itu, preparat ini hanya memberikan sedikit perlindungan bagi ibu hamil yang telah
menggunakan opioid tetapi masih mobilisasi.
Fenotiazin Proklorperazin
Proklorperazin bekerja dalam waktu 10-20 menit setelah disuntikkan
intramuscular, dan kerja antiemetiknya ini berlangsung sselama 12 jam (Joshua & King,
1997). Fenotiazin akan melintasi plasenta dan dapat menimbulkan kelainan gerakan pada
neonatus. Obat-obat ini dieliminsi melalui metabolism dalam hati dan ekskresi oleh
ginjal. Fenotiazin memasuki ASI dalam jumlah yang kecil, dan mengakibatkan gejala
mengantuk pada bayi. Pemberian fenotiazin dalam waktu yang lama pada penelitian
binatang yang hamil atau menyusui dapat mempengaruhi sistem saraf janinnya.
Obat-obat golongan fenotiazin dieliminasi melalui cara yang kompleks dengan
variasi individual yang cukup besar. Sebagai contoh , waktu-paruh fenotiazin bervariasi
dari 2 hingga 30 jam.
Metoklopramid
Kerja metoklopramid berkisar selama beberapa menit sesudah penyuntikan dan
dalam waktu 1 jam setelah pemberian per oral. Obat ini dieliminasi agak cepat dari dalam
tubuh (waktu-paruh 4-8 jam) sehingga memerlukan pemberian yang sering. Karena itu,
metoklopramid bekerja paling efektif jika diberikan lewat infuse yang continue
(Michelson, 1992).
Kerja antagonis D2
Obat-obat yang menyekat kerja dopamine (antagonis D2) akan meredakan gejala
muntah melalui kerjanya dalam dinding usus, pusat muntah dan zona pemicu
kemoreseptor. Dengan menghambat kerja dopamine golongan ini memiliki potensi untuk:
a. Mengurangi emesis dan meningkatkan selera makan
b. Mengubah motilitas gastrointestinal
c. Mendepresi sistem saraf pusat
d. Mengganggu postur dan gerakan tubuh
e. Mengganggu sistem kardiovaskular
f. Memicu syndrome SIADH (Syndrome Of Inappropriate AntiDiuretik
Hormone)
g. Meningkatkan produksi prolaksin
h. Mensupresi gejala skizofrenia dan kelainan skizoafektif
Efek samping preparat antagonis D2 (Terutama metoklopramid dan proklorperazin)
Traktus Gastrointestinal
Disamping memiliki kerja antiemetik yang sentral, obat-obat ini akan
meningkatkan pengosongan lambung. Kerja parokinetik terhadap lambung dan usus
ini akan mengimbangi stasis lambung yang ditimbulkan oleh rasa nyeri, persalinan,
migraine atau opioid. Diare merupakan efek samping metoklopramid yang sudah
diketahui. Jika stimulasi terhadap motilitas traktus gastrointestinal dapat membawa
akibat yang berbahaya, misalnya pada keadaan traktus gastrointestinal mengalami
obstruksi atau trauma, maka pemberian metoklopramid merupaka kontraindikasi
(spencer, 1993). Peristalsis usus yang cepat bukan hanya mengganggu absorpsi
makanan dalam usus tetapi juga mempengaruhi absorpsi obat-obatan. Sebaliknya
dengan metoklorpramid, obat-obat golongan fenotiazin seperti proklorperazin
menyebabkan konstipasi akibat sifat antimuskariniknya. Obat-obat ini tidak
mengganggu absorpsi makanan tetapi meningkatkan resistensi insulin dalam jangka
waktu yang panjang. Obat- obat golongan fenotiazin mungkin merupakan pilihan
yang lebih baik untuk penggunaan jangka pendek pada ibu hamil yang menderita
diabetes.
Depresi sistem saraf pusat
Preparat antagonis dopamine, khususnya fenoteazil (ploklorperazin), biasanya
menyebabkan sedasi, penekanan emosi atau pengumpulan emosi. Resiko timbulnya
serangan kejang akan meningkatkan pada ibu hamil yang menderita epilepsi. Obat-
obat ini juga menekan fungsi batang otak seperti fungsi termoregulasi, rasa haus,
respirasi dan reflek batuk.
Kelainan postur dan gerakan
Efek samping yang serius ini jarang terjadi pada pemberian preparat antagonis
dopamine dengan dosis normal tetapi kemungkinan besar akan ditemukan jika
diberikan dengan dosis yang lebih tinggi dan kepada pasien yang muda. Kelainan
postur dan gerakan (yang meliputi efek samping ekstrapiramidal) menyertai semua
jenis preparat antagonis dopamine.
Efek samping kardiovaskuler
Preparat antagonis D2 berkaitan dengan distripnia jantung, khususnya bila
disuntikan dengan cepat lewat jalur intavena (Spencer, 1993). Distripnia jantung
terutama terjadi pada ibu hamil yang mengalami penipisan kalium, misalnya karena
muntah yang lama atau pemberian bersama kortikosteroid, ritodrin atau preparat
diuretik. Distrimia jantung dapat pula terjadi karena interaksi obat. Metoklopramid
dapat menyebabkan takikardia dan kenaikan tekanan darah yang harus dipantau. Obat
ini juga berpotensi untuk menyerupai kerja aldosteron dengan menimbulkan
kehilangan kalium dan retensi natrium serta air. Karena itu, pemberian metoklopramid
bukan merupakan saran yang baik bagi ibu hamil dengan retensi cairan atau deplesi
kalium (govoni dan hayes, 1990;Spencer, 1993).
Obat-obat golongan fenotiazin (misalnya ploklorperazin) menghambat kerja
vasokonstriktor yang dimiliki noradrenalin (norepinefrin) pada pembuluh darah
tepi.Vasodilatasi yang diakibatkan akan menurunkan tekanan darah sehingga pasien
merasa dingin dan dapat menyebabkan hipotensi ortospatik. Pada pasien yang berusia
muda, ketidakmampuan untuk mengatur pembuluh darah tepi menyebabkan gejala
vertigo atau pening ketika ia berdiri secara tiba-tiba. Hipotensi dapat menurunkan
aliran darah plasenta karena itu, jika fenotiazin akan diberikan kepada ibu yang hamil,
maka diperlukan pemantauan fetal yang ketat, khususnya bila dilakukan penyuntikan
intraspinal preparat analgesik bersama dengan opioid.
SIADH (Syndrome Inappropriate ADH)
SIADH (Glosarium) merupakan efek samping yang jarang terjadi dalam
pemakaian beberapa obat (termasuk obat-obat golongan fenotiazin, opioid dan obat-
obat anastesi). Gambaran kliniknya berupa intoksikasi air.
Efek samping antimuskarinik
Baik obat-obat golongan fenotiazin (termasuk prokloperazin) maupun
golongan antihistamin dapat menimbulkan efek samping antimuskarinik
(antikolinergik). Kedaan ini menyebabkan mulut kering, retensi urin dan konstipasi.
Reaksi hipersensitivitas
Ruam, spasme bronkus, edema periorbital dan methemoglobinemia
(glosarium) pernah dilaporkan pada pemakaian metoklopramid (Spencer, 1993).
Semua obat golongan fenotiazin pernah terlibat dalam kasus hepatitis, agramulositosis
dan difungsi hepar.
4. Interaksi Obat
Berbagai macam obat dapat mengadakan interaksi. Beberapa pemakaian kombinasi
obat memerlukan modifikasi takarannya.
a. Hambatan gerak
Bila dua macam obat golongan antagonis D2 atau lebih diberikan secara
bersama-sama, resiko timbulnya kelainan gerak akan meningkat. Karena itu, ibu
hamil yang mendapatkan obat-obat golongan antipsikotik, litium, metildopa atau
beberapa obat antihistamin non sedasi (astemizol, terfenadin) dapat mengalami efek
samping SSP yang serius jika memperoleh pula metoklopramid atau proklorperazin.
Seorang ibu hamil yang berusia muda mengalami reaksi distonia akut dan obstruksi
pernafasan ketika mendapatkan metoklopramid setelah pemberian proklorperazin
(stockley, 1999).
b. Peningkatan Sedasi
Bila dua buah preparat sedative diberikan secara bersamaan, efeknya akan
menjadi lebih kuat. Preparat antagonis D2 akan meningkatkan depresi SSP pada
semua pemberian preparat sedative yang meliputi alcohol, apioid, barbiturate,
antihistamin, benzodeazepin dan obat-obat anastesi. Kombinasi meperidin (petidin)
dengan fenotiazin (termasuk proklorperazin) meningkatkan resiko terjadinya depresi
pernafasan, sedasi, intoksikasi SSP dan hipotensi (Stockley, 1999).
c. Kehilangan Efek
Efek peredaan stasis lambung oleh preparat antagonis D2 akan dilawan oleh
opioid.
d. Penurunan Ambang Kejang
Efek protektif yang dimiliki oleh obat-obat antikonfulsan dapat berkurang.
Metoklopramid
Mengubah absorpsi dari dalam usus
Metoklopramid meningkatkan absorpsi sebagian obat seperti aspirin,
parasetamol, alcohol, siklosporin serta tetrasiklin, dan menurunkan absorpsi sebagian
obat lainnya seperti digoksin, atovaquon, fosfomisin serta simetidin. Perubahan dalam
absorpsi makanan dapat mempengaruhi respons tubuh terhadap insulin. Takaran
pemberian akan di ubah oleh dokter yang meresepkannya.
Fenotiazin
Menimbulkan risiko hipotensi
Hipotensi lebih cenderung terjadi pada pemakaian obat-obat golongan
antihipertensi, diuretic, opioid, obat-obat anastesi dan antidepresan trisiklik.
Pemberian bersama dengan epinefrin (adrenalin) dapat menimbulkan hipotensi dan
takikardia (Karch, 1992).
Menimbulkan potensi relaksan otot
Keadaan ini dapat mengakibatkan apnea yang berkepanjangan. Karena itu,
penggunaan kombinasi obat ini biasanya dihindari.
Menimbulkan risiko disritmia jantung
Obat-obat yang digunakan pada penyakit jiwa, obat-obat untuk disritmia jantung,
beberapa preparat antihistamin nonsedasi (astemizol, terfenadin), beberapa obat
antimalaria (halofantrin) dan deplesi kalium akan meningkatkan kemungkinan
terjadinya disritmia jantung.
Menimbulkan akumulasi
Simetidin (bukan ranitidin) akan mengurangi eliminasi hepatik obat-obat
golongan fenitiazin dan memperberat efek samping yang ditimbulkannya.
5. Antihistamin
Istilah ini dipakai untuk preparat antagonis reseptor H1. Obat-obat golongan ini
dibagi menjadi :
Golongan antihistamin yang menimbulkan sedasi (misalnya bromfeniramin,sinarizin,
meklozin, trimeprazin, siklizin, prometazin, klorfeniramin). Prometazin hidroklorida
tersedia dengan nama dagang Phenergan Prometazin teoklat dipasarkan dalam
bentuk tablet 25 mg dengan nama dagang Avomine. Obat-obat ini kadang kala
digunakan untuk meredakan gejala emesis pada kehamilan dini, selama persalinan
atau pasca-anestesi.
Golongan antihistamin yang tidak menimbulkan sedasi atau nonsedasi (mis.setirizin,
terfenadin, akrivastin, loratadin). Sedasi yang ditimbulkan tidak begitu menonjol
tetapi tetap penting bagi kerja obat-obat antihistamin nonsedasi (BNF, 2000). Obat-
obat ini digunakan untuk meredakan gejala pada kelainan energy, seperti hayfever
dan urtikaria. Kini obat-obat golongan antihistamin nonsedasi tidak diikut sertakan
dalam buku ini karena pabrik pembuatnya menyarankan untuk menghindari
pemakaiannya pada kehamilan dan laktasi.
Penggunaan antihistamin
Pengobatan antiemetic yang menyertai pemakaian opioid, obat anastesi atau
keadaan mabuk perjalanan.
Peredaan pruritus atau urtikaria yang di sebabkan oleh opioid, misalnya setelah
terapi analgesia intraspinal.
Penanganan emerjensi anafilaksis dan angioedema sesudah pasien mendapatkan
suntikan epinefrin (adrenalin) (BNF, 2000)
Reaksi hipersensitivitas yang meliputi alergi obat, pruritus, urtikaria, sengatan
serangga dan hayfever. Pemberian antihistamin sebelum terjadinya pelepasan
histamin misalnya pada awal musim hayfever, merupakan tindakan pencegahan
yang penting.
Premedikasi dan sedasi, misalnya prometazin, trimeprazin.
Insomnia dengan pemakaian obat yang di beli bebas, misalnya prometazin.
Peredaan batuk dan selesma dengan pemakaian obat yang dibeli bebas, misalnya
tripolidin, difenhidramin (Benylin®).
Cara tubuh menangani antihistamin
Obat-obat antihistamin mulai bekerja dalam waktu 15-60 menit sesudah pemberian
oral , diabsorpsi secara maksimal dalam waktu satu hingga dua jam, dan berlangsung
kerjanya selama tiga hingga enam jam. Obat-obat ini melintasai sawar darah / otak serta
plasenta dan masuk ke ASI. Eliminasiya terjadi lewat hati dan ginjal.
Peran Histamin
Histamin ditemukan dalam sebagian besar jaringan tubuh, khususnya paru-
paru,kulit,otak dan usus. Histamin terlibat dalam fungsi SSP, sekresi asam lambung dan
kontraksi otot polos. Zat ini juga merupakan mediator kimia yang pennting pada reaksi
anafilaksis, alergi dan inflamasi. Beberapa tipe reseptor histamin telah diteliti secara
ekstensif. Obat-obat yang bekerja pada reseptor H1 dan H2 kini banyak
digunakan.Antagonis reseptor H2 (seperti ranitidine dan simetidin)
Kerja histamin lewat reseptor H1
Kontraksi otot polos dalam paru-paru,usus dan uterus
Vasodilatasi
Inflamasi. Penyuntikan histamin intradermal menyebabkan kemerahan, bilur dan flare
pada kulit yang terjadi akibat vasodilatasi mikrovaskulatur dan peningkatan
permeabilitas venula
Gatal-gatal
Pengaturan system saraf pusat; neuron yang mengandung histamin ditemukan dalam
semua bagian pada system saraf pusat yang meliputi korteks serebri dan medula
spinalis
Efek Samping antihistamin
Obat-obat antihistamin yang menimbulkan sedasi akan menimbulkan efek samping
yang berhubungan dengan inhibisi terhadap histamin maupun asetilkolin. Efek samping
yang sama dimiliki pula oleh obat-obat antiemetik golongan fenotiazin, seperti
proklorperazin.
Sistem saraf pusat
Baik stimulasi maupun depresi pada SSP merupakan efek samping yang mungkin
dimiliki oleh preparat antagonis H1. Efek yang biasanya terjadi meliputi
sedasi,somnolensia, penurunan kewaspadaan, waktu reaksi yang melambat, konfusi,
keletihan, depresi, kelemahan atau perasaan berat pada kedua belah tangan dan
gangguan koordinasi, termasuk diplopia. Semua ini membuat pekerjaan
mengemudikan kendaraan menjadi berbahaya.
Keadaan mengantuk akan bertambah berat jika ibu hamil memperoleh pula
preparat sedative lainnya yang meliputi alcohol dan opioid. Silizin tidak
begitu menimbulkan sedasi jika dibandingkan dengan obat-obat lain dalam
kelompok ini (McLaughlin & Thompson, 1995).
Jika seorang ibu yang menyusui menggunakan preparat antuhistamin,bayi
yang disusulnya itu dapat mengalami sedasi,tidak mau menyusu dan berat
badannya tidak akan bertambah secara memadai. Sedasi dapat pula
mengganggu asupan cairan dan nutrient pada orang dewasa.
Meskipun sedasi merupakan respons yang lazim,kadang-kadang pasien menjadi
gelisah,gugup dan mengalami insomnia pada pemberian dengan dosis konvensional
(Babe & Serafin,1996). Konvulsi mungkinsaja terjadi,khususnya pada neonates serta
anak-anak,dan peringatan terhadap kemungkinan ini harus disampaikan pada
penderita epilepsi (BNF,2000;Malseed et al,1995). Manifestasi aksitesi SSP lainnya
meliputi: pusing, sakit kepala, tinnitus, euphoria, tremor dan iritabilitas. Beberapa
preparat antihistamin (mis.prohistamin) memiliki rumus bangun yang berhubungan
dengan fenotiazin dan dapat menyebabkan gangguan postur serta gerakan tubuh.
Sistem Kardiovaskuler
Histamin merupakan vasodilator yang poten.efekini dsapat dibalikkan oleh
preparat antihistamin. Kerja yang dimiliki oleh antihistamin ini dapat menyelamatkan
jiwa pasien yang mengalami reaksi anafilaksis dan angioedema. Namun
demikian,preparat antihistamin dapat bekerja pada reseptor H1 untuk menimbulkan
vasodilatasi sehingga terjadi hipotensi,hipotensi ortostatik,perspirasi dan sakit kepala
(malseed et al,1995).
Gangguan usus dan hati
Beberapa orang akan menaglami kehilangan selera makan,nyeri
abdomen,konstipasi,diare,mual atau muntah ketika menggunakan obat-obat
antihistamin. Luka-luka seperti sariawan pada mulut dan lidah merupakan masalah
yang kadang-kadang terjadi.meminum obat tersebut dengan susu atau bersama
makanan dapat menjadi strategi yang efektif (Lucas,1992). Kadang-kadang,selera
makan meningkat dan penambahan berat badan dapat terjadi (Babe & Seraffin,1996).
Efek samping antimuskarinik
Semua obat yang merupakan antagonis histami memilki sifat antimuskarinik
(antikolinergenik). Meskipun menguatkan kerja antiemetiknya,sifat ini akan
menambah efek samping. Efek samping ini ditimbulkan oleh kerja obat yang
menghambat kerja system saraf parasipatik di seluruh tubuh.
Semua obat antimuskarinik menghambat kelenjar yang mensekresikan mucus
untuk membasahi seluruh dinding epitel tubuh seperti dinding traktus
digestivus,respiratorius serta urogenitalis dan konjungtiva mata. Penghambatan
sekresi kelenjar tersebut membuat jaringan tubuh menjadi kering sehingga timbul
gangguan rasa nyaman dan perasaan haus. Pengeringan traktus respiratorious dapat
mempercepat pembentukan “mucus plug” yang menghambat aliran udara pernapasan
sehingga memudahkan terjadinya infeksi dan memperburuk serangan asma.
Kewaspadaan
Seperti halnya pada semua obat, riwayat hipersensitivitas merupakan kontraindikasi
pemberian antihistamin.
Preparat antihistamin pada ibu berpotensi untuk membahayakan bayi yang menyusu
pada ibunya (Lucas,1992). Pemberian dosis tunggal pada ibu dapat menimbulkan
sedasi pada bayi yang menyusu.Pemberian yang berkali-kali dapat mengakibatkan
letargi,kegagalan menyusu dan berat badan bayi yang tidak bertambah.
Penghentian pemberian antihistamin yang tiba-tiba setelah penggunaan yang teratur
dapat menyebabkan gejala putus obat,seperti kegugupan,ataksia,spasme otot dan
eksitabilitas,khususnya pada neonatus yang terpajan dengan obat-obat ini in utero
lerno (Mckenry & Salerno,1995).
Penggunaan dalam kehamilan harus dilakukan berdasarkan saran Dokter spesialis
ketika manfaat pemberiannya lebih kecil dari pada risiko yang di ketahui.
Efek antiemetik pada janin
Karena para bidan sering diminta sarannya tentang keadaan emesis pada kehamilan
dini,berikut ini merupakan rangkuman bukti-bukti yang sudah terdapat:
Preparat antihistamin di anggap sebagai obat antiemetik yang paling aman dalam
kehamilan dini (Mazzota & Magee,2000), kendati preparat tersebut acapkali tidak
efektif.karena hasil-hasil penelitian masih saling bertentangan dan obat-obat
tersebut sudah banyak di gunakan di masa yang lalu, maka risiko terhadap janin
kemungkinanannya rendah bila pengobatan di lakukan secara terbatas hanya pada
satu atau dua kali pemberian demikian pula,penekanannya sendiri berkaitan dengan
malformasi janin (Hansen et al,2000).
Prometazin teoklat (Avomine) biasanya merupakan obat antiemetik,pilihan
pertama yang di berikan pada saat akan mau tidur (Po & Po,1992). Namun,
pemakaian obat ini berkaitan dengan kelainan kongenital displasia sendi paha.
Skilizin (Valoid) pernah berkitan dengan beberapa kelainan kongenital,kendati
keadaan ini belum terbukti jelas dalam sejumlah penelitian prospektif terkontrol.
Meklozin (Sea-legs) dapat membawa peningkatan risiko palatoskizis atau efek pada
mata yang bersifat kongenital (Howden,1995).
Dimenhidrinat (Dramamine) pernah berkaitan dengan abortus spontan (Rayburn &
Conover,1993).
Obat antihistamin yang menimbulkan sedasi,yaitu bromfeniramin (Dimotane) yang
di konsumsi dalam trimeter pertama kehamilan pernah berkaitan dengan pelbagai
efek kelahiran (Pangle,2000).
Beberapa obat antiemetik dan analgetik yag di jual bebas,yag mengandung kafein
dengan jumlah yang cukup besar sehingga dalam takaran harian melebihi 600 mg
kafein,pernah berkaitan dengan berat badan lahir yang rendah (McKenry &
Salerno,1998).
Jika digunakan dalam trimester terakhir,khususnya dalam dua minggu
terakhir,pemberian preparat antihistamin ini pernah berkaitan dengan peningkatan
insiden fibroplasia retolental pada bayi prematur (Rayburn & Conover,1993;
Pangle,2000).
6. INTERAKSI OBAT
Efek samping obat-abat antihistamin akan bertambah parah dengan pemberian obat
lain yang memiliki kerja serupa .
Pemberian preparat sedatif lainnya,seperti alkohol atau opioid,akan sangat
meningkatankan gejala sedasi
Pemakaian bersama obat lain yang memiliki kerja antimuskarinik,seperti obat-abat
golongan fenotiazin atau antidepresan trisklik,akan menimbulkan keluhan kekeringan
mulut yang signifikan,takikarida dan berbagai efek samping lainnya.
Jika pemberian antihistamin di kombinaskan dengan oabat-obat yang dapat merusak
saraf vesitubulokohlearsis ( auditorius ),seperti furosemid (frusemid),gentamisin atau
salisilat,setiap kerusakan pada saraf ini akan di tutupi sehingga tidak terdeteksi dan
dengan akan meningkatkan risiko kerusakan yang ireversibel.
7. Antiemetik lainnya
Preparat antimuskarinik, antagonis serotonin, piridoksin (vitamin B6), kanabinoid,
benzodiazepine dan kortikosteroid (khususnya deksametason) merupakan obat
antimuntah yang berguna pada beberapa keadaan. Pemberian metilprednisolon oral
pernah dilakukan dengan hasil yang baik pada hiperemesis gravidarum (Safari et al,
1998), kendati pemberian hormone adrenokortikotropik tidak efektif (Jewell & Young,
2000).
Obat-obat antimuskarinik
Obat-obat antimuskarinik, seperti atropine dan hiosin / hyoscine (skolopamin),
umumnya merupakan obat antiemetic pilihan kedua sesudah obat-obat antihistamin.
Hiosin Hidrobromida (Kwells®) merupakan obat penting yang dijual bebas untuk mabuk
kendaraan obat ini bersifat sangat sedatif
Preparat antagonis serotin
Serotin (5-hidroksitriptamin, 5HT) merupakan neurotransmitter yang ditemukan
diseluruh jaringan otak dengan memiliki berbagai macam reseptor dan kerja. Reseptor
yang terlibat dalam peristiwa muntah terutama reseptor 5HT3 tetapi kelas reseptor yang
lain (5HT4) juga terlibat. Reseptor ini dijumpai di dalam pusat muntah, zona pemicu
kemureseptor dan dinding usus yang kalau dirangsang akan menimbulkan muntah atau
emesis, dalam bidang kebidanan, ondandetron paling sering digunakan pada saat sesudah
pembedahan.
Granisetron lebih efektif daripada metoklopramid atau droperidol dalam
mengurangi gejala mual dan muntah yang terjadi setelah anastesi spinal untuk
seksioCaesarea (Fujii et al, 1998). Efek samping yang terdapat pada ondansetron berupa
sakit kepala, flushing, sedasi, mulut kering, gemeteran, hipotensi, retensi urin, gangguan
visual, peningkatan kadar enzim hati, serangan epilepsy.
Piridoksin
Piridoksin telah digunakan sebagai obat antiemetic selama 40 tahun dan mungkin
merupakan preparat yang aman serta efektif untuk pemakaian pada kehamilan dini.
Pemberian piridoksin 30-200 mg per hari dapat mengurangi gejala mual selama lima hari.
Takaran pemberian piridoksin yang dianjurkan 15-100 mg dua kali sehari yang berada
diatas kebutuhan per hari terhadap vitamin tersebut.
Dengan takaran 2 mg/hari, piridoksin akan menyebabkan neuropati perifer (kebas,
parestesia, cara berjalan yang goyah). Ini menunjukan bahwa takaran yang dianjurkan itu
tidak boleh dilampaui.
Kanabinoid
Kanabis digunakan oleh para penderita sklerosis diseminata untuk meredakan rasa
nyeri dan muntah. Nabilon dikembangkan untuk memasukkan efek antiemetic yang
dimiliki oleh kanabis tanpa mengikutsertakan kerja euforianya. Semua preparat
kanabinoid menimbulkan sedasi, mulut kering, kehilangan selera makan, gangguan tidur,
halusinasi, psikosis, vertigo dan disorientasi.Penggunaan nabilon cenderung digantikan
oleh dronabinol yang memiliki insiden efek samping yang lebih rendah. Penggunaan
semua jenis kanabinoid (yang diberikan dengan atau tanpa resep) merupakan
kontaindikasi dalam kehamilan dan laktasi.
top related