beberapa aliran hukum dan kritiknya dalam filsafat
Post on 12-May-2017
252 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BEBERAPA ALIRAN HUKUM DAN KRITIKNYA DALAM FILSAFAT HUKUM
BAB IV
APAKAH HUKUM ITU?
4.1 Pendefinisian Hukum
Satu masalah yang belum mencapai kata putus di antara para ahli hukum ialah tentang
pendefinisian hukum. Hingga saat ini pendapat tentang perlunya suatu definisi hukum masih
dipertentangkan orang. Sebagian menyatakan bahwa suatu definisi tentang hukum diperlukan,
terutama bagi mereka yang baru mempelajari hukum, setidak-tidaknya merupakan suatu
pegangan pendahuluan untuk mempelajari hukum lebih lanjut. Dengan mengetahui apa yang
dimaksudkan dengan hukum itu melalui perumusan tadi, maka ia memperoleh pengertian tentang
apa yang akan dipelajarinya. Adanya definisi akan membantu ‘mereka yang baru mempelajari
hukum menunjukkan jalan (open the way), ke arah mana ia harus berjalan. Karena bertindak
sebagai pembuka jalan inilah, definisi hukum itu dianggap oleh sebagian para ahli hukum
sebagai amat berharga dan perlu. Terlebih-lebih lagi apabila definisi itu adalah hasil dari pikiran
dan penyelidikan sendiri (Apeldoorn, 1976:13)
Di lain pihak, kita masih ingat apa yang dikatakan oleh Immanuel Kant 150 tahun yang lalu. Dia
berkata, “Nock suchen die Juristen eine Definition zu ihrem Begriffe von Recht. ” Pernyataan ini
yang jika diterjemahkan berbunyi, tidak seorang ahli hukum pun yang mampu membuat definisi
tentang hukum, dibuat oleh tokoh filsafat tersebut tentunya didasarkan atas hasil pemikiran yang
mendalam. Hukum itu banyak seginya, sangat luas ruang lingkupnya, jadi tidak mungkinlah
untuk dirumuskan dalam suatu definsi yang hanya terdiri dari beberapa kalimat saja. Cohalah
perhatikan kutipan-kutipan di bawah ini yang diambil dari Lord Lloyd of Hampstead (1972′:39),
sebagai berikut:
“Omnis definitio in jure civili periculosa est.” (lavolenus. D. 50.17.202)
“Obviously, ‘law’ Can never be defined. With equal obviousness, however, it should be said that
the adherents of the legal institution must never give up the struggle to define law, because it is
an essential part of the ideal that is rational and capable of definition… Hence the verbal
expenditure necessary in the upkeep of the ideal of ‘law’ is colossal and never ending. The legal
scientist is compelied by the climate of opinion in which he finds himself to prove that an
1
essentially irrational world is constantly approaching rationality…” (Thurman Arnold, The
Symbols of Government, 1935:36-37).
Menurut Lord Lloyd of Hampstead, tidak berhasilnya definisi-definisi hukum yang banyak
dibuat oleh para ahli hukum hingga saat ini untuk dapat diterima secara universal, disebabkan
oleh tidak atau kurang dipahaminya hakikat serta apa yang menjadi ruang lingkup definisi itu.
Oleh karena itu dia menyarankan agar sebelum mendefinisikan sesuatu, pahami terlebih dahulu
apa yang dimaksudkan dengan ‘definisi’ itu.
Apeldoorn pun berpendapat bahwa definisi itu seringkali bersifat menyamaratakan.
Dikemukakan sebuah contoh definisi tentang gunung. Gunung ialah kenaikan.muka bumi, agak
curam, dan pada segala penjuru lebih tinggi daripada sekitarnya.. Definisi seperti itu
menyamakan Gunung Semeru dengan Gunung Tidar. Menurut Apeldoorn, definisi yang
menyamaratakan dapat mengajarkan calon ahli hukum apa yang disebut hukum. Namun,
kesukaran yang dialami oleh mereka yang ingin mengetahui hukum terletak pada bahwa, tidak
seperti gunung yang dapat dilihat, hukum tidak dapat dilihat.
Karena sukarnya merumuskan hukum, selain Apeldoorn di atas yang dalam tulisannya tidak
menampilkan suatu definisi, terdapat pula para penulis terkenal lainnya yang tidak menyertakan
dalam karya-karyanya suatu definisi tentang hukum. Sebagai contoh, misalnya, dapat disebutkan
Gustav Radbruch (1952), Walter Burckhard (1948), Lemaire (1955), dan banyak penulis
pengantar hukum lainnya.
Kami berpendapat bahwa suatu perumusan tentang hukum yang dapat mencakup segala segi dari
hukum yang luas itu memang tidak mungkin dibuat. Sebab, suatu definisi tentunya memerlukan
berbagai persyaratan seperti jumlah kata yang digunakan yang sedapat mungkin tidak terlalu
banyak, mudah dipahami: pokoknya pendek, singkat, dan jelas. Hukum yang banyak seginya
tidak mungkin dapat dituangkan hanya ke dalam beberapa kalimat saja.
Oleh karena itu, jika ada yang mencoba merumuskan hukum, sudah dapat dipastikan definisi
tersebut tidak sempurna. Namun, bagi mereka yang baru mempelajari hukum, suatu pengertian
tentang hukum sebagai pegangan awal sangat diperlukan. Pengertian serupa itu hanya dapat
diberikan melalui suatu perumusan. Karenanya suatu definisi, menurut hemat kami, sangat
diperlukan bagi golongan ini agar mereka tidak kebingungan dengan apa yang dinamakan
2
hukum, justru pada permulaan mereka mempelajari hukum itu. Dengan pengertian yang ada
padanya yang didapatnya melalui definisi tadi, setidak-tidaknya lalu dia dapat membedakan
norms-norms mana yang mengatur kehidupan masyarakat itu yang tergolong hukum, dan mana
yang bukan hukum.
Kami tidak menyangkal atas banyak pendapat bahwa suatu definisi hukum itu tidak lengkap dan
sempurna, tetapi nampaknya, khusus bagi mereka yang baru belajar hukum, suatu pengertian
awal tentang hukum sangat diperlukan. Tidak demikian bagi mereka yang berada dalam tingkat
lanjutan. Bagi golongan ini, mereka sendiri yang akan mengartikan apa yang dimaksud dengan
hukum itu, tanpa perlu kepada mereka disodorkan berbagai-bagai definisi tentang hukum. Bagi
mereka yang baru belajar hukum adalah bermanfaat kiranya jika disodorkan definisi, disusul
dengan suatu uraian secukupnya.
4.2 Kaidah Hukum dan Kaidah Sosial Lainnya
Di dalam suatu masyarakat yang oleh Mac Iver (The Web of Government, 1954) digambarkan
sebagai Barang laba-laba (web), terdapat berbagai kaidah yang mengatur hubungan antar
individu yang bertujuan untuk tercapainya kedamaian, ketertiban, dan kesejahteraan. Seperti
diketahui, terdapat berbagai ragam kepentingan yang melekat kepada masing-masing individu
tersebut yang bersifat sejajar (Hama), berlainan, atau berlawanan dalam usahanya memenuhi
apa yang disebut sebagai kebutuhan pokok maupun kebutuhan sekundernya. Dan agar dalam
memenuhi kebutuhan tersebut tidak terjadi ekses-ekses dalam masyarakat akibat adanya
benturan-benturan, terutama antara kepentingan-kepentingan yang saling berlawanan,’
diperlukan adanya kaidah-kaidah tersebut di atas agar segala sesuatunya berjalan tertib
dan .teratur.
Dalam hubungan pergaulan antar manusia, manusia itu memperoleh pengalaman-pengalaman
dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Pengalaman-pengalaman ini
rnenciptakan nilai-nilai, baik yang bersifat positif maupun negatif, yang lalu menjadi suatu
patokan bagi mereka tentang apa yang baik yang harus diikuti, dan apa yang dianggap buruk
yang harus dihindari. Pola-pola berpikir manusia mempengaruhi sikapnya, yang merupakan
3
kecenderungan-kecenderungan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terhadap
manusia, benda, maupun keadaankeadaan. Sikap-sikap manusia kemudian membentuk kaidah-
kaidah karena manusia cenderung untuk hidup teratur dan pantas. Kehidupan yang teratur dan
sepantasnya menurut manusia adalah berbeda-beda; oleh karena itu diperlukan patokan-patokan
yang berupa kaidah-kaidah. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa kaidah merupakan
patokanpatokan atau pedoman-pedoman perihal tingkah laku atau pen kelakuan yang diharapkan
(Soerjono Soekanto, 1980:67).
Kaidah-kaidah ataupun tatanan-tatanan yang mengatur pergaulan hidup manusia itu bermacam-
macam. Mochtar Kusumaatmadja 0 980) menyebutkan tiga macam, yaitu. kaidah Hukum,
Kesusilaan, dan Kesopanan. Satjipto Rahardjo (1982:15) mengemukakan tiga macam pula, tetapi
agak berlainan, yaitu kaidah Kebiasaan, Hukum, dan Kesusilaan, sedangkan Soerjono Soekanto
(1980:67, 68) menyebutkan kaidah-kaidah Kepercayaan, Kesusilaan, Kesopan.an, dan Hukum
sebagai kaidah-kaidah yang mengatur pergaulan hidup manusia.
Menurut Satjipto Rahardjo (dengan mengutip pendapat Radbruch 1961), terdapatnya sifat yang
berlainan pada kaidah-kaidah atau tatanan-tatanan itu disebabkan oleh adanya norma-norma
yang tidak sama yang mendukung masing-masing tatanan. Perbedaannya dapat dilihat pada
tegangan antara ideal dan kenyataan (1982:14).
Dengan menggunakan tegangan ini, dan berpegang pada uraian Satjipto Rahardjo, dijelaskan
lebih lanjut makna dari masing-masing kaidah atau tatanan tersebut di atas sebagai berikut:
Kaidah kebiasaan terdiri dari norma-norma yang hubungannya dengan kenyataan dekat sekali.
Kaidah ini merupakan kaidah yang diangkat dari dunia kenyataan, yaitu apa yang biasa
dilakukan oleh orang-orang. Untuk diterima menjadi suatu kaidah, diperlukan suatu ujian
keteraturan, keajegan, dan kesadaran masyarakat untuk menerimanya. Karena sifatnya
sedemikian, maka tegangan antara ideal dan kenyataan dalam kaidah kebiasaan ini merupakan
yang terbesar jika dibandingkan dengan kedua kaidah sosial lainnya. Sebabnya, unsur ideal
dalam kaidah ini sangat kecil atau sedikit sekali. Oleh karena norma kebiasaan itu sekadar
mengangkat perbuatan-perbuatan yang memang lazim dilakukan sehari-hari menjadi norma,
maka dipandang dari kedua tatanan lainnya, yang menghormati dunia norma sebagai hasil
4
karya manusia untuk membimbing masyarakat menuju kepada keadaan dan tingkah laku
manusia sesuai dengan ide-ide tertentu, tatanan kebiasaan dinilai banyak mengandung norma
yang tidak sesuai dengan hukum atau kesusilaan. (Satjipto Rahardjo, 1982:15, 16; Radbruch,
1961:13).
Kaidah hukum: Pada kaidah ini terlihat adanya suatu pergeseran, yaitu terjadinya suatu proses
penjauhan dan pelepasan diri dari tatanan yang berpegang pada kenyataan sehari-hari (tatanan
kebiasaan) walau berjalannya proses ini belum berlaku secara seksama.. Ciri yang menonjol dari
hukum mulai tampak pada penciptaan norma-norma hukum yang “murni”, yaitu yang dibuat
secara sengaja oleh suatu badan perlengkapan dalam masyarakat yang khusus ditugasi untuk
menjalankan penciptaan atau pembuatan hukum itu. Pada proses pembuatan ini kita mulai
melihat bahwa tatanan ini didukung oleh norma-norma yang secara sengaja dan sadar dibuat
untuk menegakkan suatu jenis ketertiban tertentu dalam .masyarakat (Satjipto Rahardjo,
1982:16). Norma-norma hukum ini, menurut Radbruch (1961:13), termasuk ke dalam golongan
norma-norma yang lahir dari kehendak manusia karena yang menentukan jenis-ketertiban itu
adalah masyarakat sendiri yang dalam hal ini diwakili oleh anggota-anggotanya yang berhimpun
dalam satu atau lain badan yang tugasnya menentukan norma-norma apa yang akan diciptakan.
Berbeda dengan kaidah kebiasaan dan kesusilaan, kaidah hukum memiliki kemandirian dalam
berhadapan dengan ideal dan kenyataan, yaitu memiliki posisi yang mampu mengambil jarak
antara ideal dan kenyataan. Ragaan-ragaan di bawah ini, yang dikutip dari Satjipto Rahardjo
(1982:17 dan 19), akan menjelaskan lebih lanjut tentang posisi yang dimiliki oleh kaidah hukum
tersebut di atas, sebagai berikut:
Dari ragaan yang pertama nampak bahwa hukum terikat, baik kepada dunia ideal maupun kepada
dunia kenyataan. Untuk memenuhi tuntutan yang sifatnya filosofis, maka unsur ideal harus
diperhitungkan; sedangkan untuk memenuhi days’ berlakunya (sosiologis), maka juga unsur
dunia kenyataan harus diperhitungkan pula. Pada ragaan kedua, dilukiskan kemandirian dari
hukum: sebagai pengambil keputusan, maka kehendak manusia itu bisa menerima dan
5
mengambil kebiasaan sebagai norma hukum atau menolaknya, inilah suatu posisi yang mampu
mengambil jarak antara ideal dan dunia kenyataan.
Kaidah kesusilaan merupakan suatu kaidah yang. dalam hubungannya dengan dunia ideal dan
kenyataan berada dalam posisi sebaliknya daripada kaidah kebiasaan. Apabila kaidah kebiasaan
sepenuhnya berpegang kepada kenyataan tingkah laku sehari-hari, maka kaidah kesusilaan
berpegang sepenuhnya kepada dunia ideal yang sifatnya abstrak, yang perlu diwujudkan dalam
masyarakat. Idelah yang merupakan tolok ukur tatanan ini untuk menilai tingkah laku anggota-
anggota masyarakat. Dengan demikian, maka perbuatan yang bisa diterima oleh tatanan tersebut
hanyalah yang sesuai dengan idealnya tentang manusia. (Satjipto Rahardjo, 1982:18).
Selanjutnya, secara singkat kami kemukakan perbedaan antara kaidah hukum dengan kaidah
kebiasaan serta kaidah kesusilaan atas dasar uraian tersebut di atas:
Berbeda dengan kaidah kebiasaan, maka kaidah hukum sudah mulai melepaskan diri dari
keterikatannya yang besar kepada dunia kenyataan.
Berbeda dengan kaidah hukum, maka dalam hal otoritas yang memutuskan apa yang akan
diterima sebagai norma, pada kaidah kesusilaan unsur kehendak manusia sama sekali tidak ikut
menentukan. Kaidah kesusilaan bukanlah sesuatu yang diciptakan oleh kehendak manusia,
melainkan adanya harus diterima begitu saja. Juga bagi kaidah kesusilaan tidak ada unsur-unsur
yang harus diramu seperti halnya kaidah
hukum; ia tidak perlu mempertimbangkan dunia kenyataan. Tuntutannya yang mutlak ialah Insan
Kamil, manusia sempurna. (Satjipto Rahardjo, 1982:19).
Seringkali para ahli hukum menganggap bahwa perbedaan yang pokok antara kaidah hukum di
satu pihak dengan kaidah-kaidah sosial lainnya dan kaidah agama terletak pada bahwa kaidah
hukum itu dapat dipaksakan berlakunya karena didukung oleh suatu kekuasaan (negara).
Semakin besar terdapatnya perbedaan antara kaidah hukum dengan peri kelakuan yang nyata,
makin besar pula kekuasaan yang diperlukan untuk memaksakan berlakunya kaidah tersebut.
Demikianlah, agar ketertiban tetap terpelihara, diperlukan adanya suatu mekanisme
pengendalian sosial. Salah satu tipe pengendalian sosial ini ialah kaidah hukum tadi. Namun,
timbul pertanyaan, apakah faktor atau unsur kekuasaan ini merupakan satu ciri atau kebutuhan
6
yang utama bagi dapat berlakunya kaidah hukum itu? Oleh Soerjono Soekanto (1980:68)
dikemukakan bahwa persoalan ini, yang sesungguhnya merupakan masalah membedakan hukum
dari kaidah-kaidah sosial lainnya, merupakan suatu masalah yang telah lama membingungkan
para a hli antropologi dan sosiologi, walau terdapat suatu kesepakatan di antara mereka, bahwa
semua masyarakat memang diakui memiliki seperangkat kaidah yang dinamakan hukum (kecuali
seperti N.S. Timasheff, William F. Ogburn, dan Mayer F. Nimkoff, serta beberapa pengarang
lainnya yang hingga kini masih beranggapan bahwa hukum itu hanya ada pada masyarakat yang
sudah maju).
Pertanyaan tersebut di atas dijawab oleh Soerjono Soekanto dengan mengemukakan pendapat-
pendapat beberapa ahli antropologi dan sosiologi, sebagai berikut:
Bronislaw Malinowski (Crime and Custom in Savage Society, 1926)., berdasarkan hasil
penelitiannya di Pulau Trobiand, Melanesia, sampai pada suatu kesimpulan bahwa intisari
hukum terjalin dalam prinsip resiprositas. Hukum dipandangnya sebagai suatu kewajiban dari
seseorang dan merupakan suatu. hak bagi yang lain. Hukum ini dipertahankan bukan semata-
mata oleh motif yang bersifat psikologis, melainkan oleh mekanisme pengendalian sosial atas
dasar kemandirian yang timbal-balik, sebagaimana ternyata dalam jalinan prinsip resiprositas.
Hukum tumbuh sebagai akibat dari konfigurasi kewajiban-kewajiban yang memudahkan para
penduduk untuk memenuhi kewajibannya tanpa harus mengalami penderitaan di masa
mendatang.
Dari hasil penelitiannya itu Malinowski telah berhasil mengetengahkan bahwa unsur paksaan,
dengan menggunakan mekanisme pengendalian sosial yang luas, bukanlah merupakan hal yang
pokok untuk dapat diberlakukannya suatu hukum. Kesimpulan ini dibuatnya tidak terlepas dari
teori yang digunakannya, yaitu fungsionalisrne yang struktural, yang melihat masyarakat sebagai
sesuatu yang harmonis, tanpa terdapatnya kegoncangan-kegoncangan maupun gejolak-gejolak
lainnya.Malinowski melihat bahwa dalam suasana seperti ini, hukum dapat berperan dalam
mengendalikan ketertiban dalam masyarakat.
7
Terhadap pendapat di atas timbul kritik-kritik dari ‘berbagai kalangan. Malinowski menanggapi
kritik ini, bahwa diakuinya memang terdapat beberapa kaidah yang untuk penerapannya
diperlukan kekuasaan yang terpusat. Kaidah-kaidah inilah yang dinamakan kaidah hukum.
Dengan pendapatnya ini, Malinowski membedakan antara kaidah hukum di satu pihak dengan
kebiasaan di pihak lain. Menurut Soerjono Soekanto (1980:70), pembedaan yang dikemukakan
oleh Malinowski tersebut kemungkinan besar berpengaruh terhadap pendapat-pendapat para
sarjana kemudian yang mempertentangkan kedua kaidah tersebut di atas. Biasanya, perbedaan
itu dilakukan dari sudut sanksinya dan penerapannya. Sumber sanksi dan pelaksanaannya pada
kebiasaan adalah para individu atau kelompok, sedangkan hukum didukung oleh suatu
kekuasaan yang terpusat pada badan-badan tertentu dalam masyarakat.
Pendapat yang mengemukakan pelaksanaan hukum oleh suatu kekuasaan yang terpusat juga
dikemukakan oleh Max Weber, H.L.A. Hart, L. Popisil, dan lain-lain.
Agak berbeda dengan yang lain, Max Weber, walau mengakui bahwa ciri hukum itu terletak
pada penerapannya yang dilakukan oleh suatu kekuasaan yang terpusat, tidak semua hukum
memiliki ciri tersebut. Pandangan ini bertolak dari anggapan bahwa hukum itu bukanlah suatu
perintah, seperti yang dikemukakan oleh John Austin, melainkan merupakan suatu ketertiban.
Max Weber lebih mengutamakan pengertian wewenang (authority) sebagai intisari hukum.
Pendapat L. Pospisil tentang hal yang berkaitan dengan dasar-dasar hukum tertuang dalam
perumusan di bawah ini:
1. Hukum berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial. Untuk membedakan hukum dengan
kaidah-kaidah lainnya, dikenal adanya empat ciri hukum atau attributes of law.
2. Ciri yang utama disebutnya sebagai attribute of authority, yaitu hukum merupakan
keputusan-keputusan penguasa yang tujuannya untuk mengatasi segala ketegangan dan
kegoncangan yang terjadi di dalam masyarakat.
3. Ciri atau tanda yang kedua disebut attribute of intention of universal application, yaitu
bahwa keputusan-keputusan mempunyai days jangkau yang panjang untuk masa yang akan
datang.
8
4. Atribut yang ketiga disebut attribute of obligation, yaitu bahwa keputusan-keputusan
penguasa tersebut haruslah berisikan kewajiban-kewajiban pihak pertama terhadap pihak kedua
dan sebaliknya. Apabila tidak berisikan hal tersebut, keputusan tersebut bukan merupakan
keputusan hukum.
5. Ciri yang keempat ialah attribute of sanction. Atribut ini menentukan bahwa keputusan-
keputusan penguasa harus didukung oleh ‘sanksi, baik yang berupa sanksi jasmani maupun
rohani. (Koentjaraningrat, 1958:321; Soerjono Soekanto, 1980:73-74).
E.A. Hoebel (1961) menelaah arti hukum dengan melihat fungsi yang harus dipenuhi oleh
hukum. Dia mengemukakan bahwa hukum mempunyai fungsi yang penting, yaitu menjaga
keutuhan masyarakat. Adapun fungsi-fungsi hukum itu ialah:
a. Menetapkan hubungan mana yang boleh dilakukan oleh anggota-anggota masyarakat, dan
hubungan mana yang tidak boleh dilakukan.
b. Menentukan alokasi wewenang, dan menentukan secara seksama badan-badan mana yang
berwenang melakukan paksaan, dengan sekaligus menentukan sanksi-sanksi mana yang
dianggap tepat dan efektif.
c. Disposisi masalah-masalah sengketa.
d. Menyesuaikan pola-pola hubungan- dengan perubahan dalam masyarakat.
Pendapat penting lainnya yang perlu dikemukakan adalah dari H.L.A. Hart (The Concept of
Law, 1961) dan Paul Bohannan (1965). Kedua ahli di bidangnya masing-masing ini boleh
dikatakan memiliki pendapat yang sejalan (Soerjono Soekanto, 1980:72).
Hart beranggapan bahwa hukum itu didukung oleh kekuasaan yang terpusat di samping
mengandung kewajiban-kewajiban tertentu yang melekat secara intrinsik. Inti dari suatu sistem
hukum terletak pada adanya kesatuan antara apa yang disebutnya sebagai primary dan secondary
rules (aturan utama dan aturan yang sekunder). Dalam masyarakat yang masih- sederhana, orang
dapat hidup hanya dengan aturan-aturan utama yang berisikan ketentuan-ketentuan informal
tentang kewajiban-kewajiban yang tujuannya untuk memenuhi pergaulan hidup masyarakat.
9
Akan tetapi, pada suatu masyarakat yang kompleks, kekuatan aturan utama itu semakin pudar;
oleh sebab itu diperlukan aturan sekunder yang terdiri dari:
a. Rules of recognition, berupa ketentuan-ketentuan yang menjelaskan apa yang
dimaksudkan dengan primary rules, di mana perlu menyusun aturan utama secara hierarkis
sesuai dengan urutan kepentingannya, yakni:
b. Rules of change, yaitu aturan yang mengesahkan adanya aturan utama yang baru; dan
c. Rules of adjudication, yakni aturan yang. memberikan hak-hak kepada orang perseorangan
untuk menentukan apakah pada peri stiwa-per istiwa tertentu suatu aturan utama dilanggar
(Soerjono Soekanto, 1980:71-72).
Paul Bohannan mengemukakan suatu konsep yang dikenal sebagai reinstitutionalization of
norms (pelembagaan kembali kaidah-kaidah). Menurut pendapatnya, masyarakat memiliki baik
lembaga hukum maupun lembaga yang nonhukum. Yang dimaksud dengan lembaga hukum
ialah ketentuan-ketentuan yang digunakan masyarakat untuk menyelesaikan segala
persengketaan yang timbul, di samping untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan dari
ketentuan yang terhimpun di dalam pelbagai lembaga kemasyarakatan. Hukum ini terdiri dari
ketentuan maupun kebiasaan yang telah mengalami proses pelembagaan kembali; artinya,
kebiasaan-kebiasaan dari lembaga-lembaga kemasyarakatan tertentu diubah sedemikian rupa
sehingga dapat digunakan oleh lembaga kemasyarakatan lainnya, yang memegang khusus
dibentuk untuk maksud tersebut.
Menurut Paul Bohannan terdapat dua ukuran untuk membedakan lembaga hukum dengan
lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya.
Pertama – lembaga hukum terdiri dari ketentuan-ketentuan tentang cara-cara menyelesaikan
perselisihan-perselisihan dalam masyarakat.
Kedua – lembaga hukum mencakup dua jenis ketentuan, yaitu penetapan kembali aturan-aturan
lembaga nonhukum dan aturan yang mengatur aktivitas lembaga-lembaga hukum itu sendiri.
Kami mengutip beberapa pendapat ahli sains social dengan maksud agar memperoleh gambaran
luas tentang hubungan antara kaidah hukum yang dengan kaidah-kaidah sosial lainnya. Dari
pendapat-pendapat yang terurai cukup jelas bahwa memang sukar untuk membedakan secara
10
tegas kaidah hukum tadi dengan kaidah sosial lainnya. Bahkan kesepakatan dari para ahli di atas,
bahwa ciri utama hukum itu ialah adanya dukungan dari kekuasaan yang terpusat (negara), masih
dapat menimbulkan kesalahpahaman, sebab nanti akan ada yang berpendapat bahwa masyarakat
yang tidak memiliki kekuasaan semacam itu lamas tidak memiliki hukum.
Dari pendapat terakhir ini tidaklah benar. Dari hasil-hasil kajian para ahli antropologi sendiri
telah terbukti bahwa dalam masyarakat sederhana pun hukum itu ada, Ibi ius ibi societal, di
mana ada masyarakat, di situ ada hukum. Barangkali dapat dikatakan bahwa apa yang
dinamakan hukum itu memiliki ciri ciri khusus yang berbeda dengan kaidah-kaidah sosial yang
lain dan kaidah agama. Ciri-ciri itu ialah:
a. Hukum bertujuan untuk menciptakan keseimbangan di antara kepentingan-kepentingan
yang terdapat dalam masyarakat;
b. Mengatur perbuatan manusia secara lahiriah;
c. Dijalankan oleh badan badan yang diakui oleh masyarakat sebagai badan pelaksana
hukum. Dalam masyarakat sederhana badan serupa ini dapat kepala adat, dewan para sesepuh
atau lainnya. (Soerjono Soekanto, 1980:75).
4.3 Berbagai Teori tentang Hukum
Sepanjang sejarah hukum, dimulai dari zaman Yunani/ Romawi hingga hari ini, kita dihadapkan
kepada adanya berbagai teori tentang hukum yang lahir ada setiap babak dari perjalanan sejarah
hukum termaksud. Sudah menjadi suatu pendapat yang diterima umum bahwa suatu teori hukum
tidaklah dapat dilepaskan dari lingkungan zamannya:
“Ia sering harus kita lihat sebagai suatu jawaban yang diberikan terhadap permasalahan hukum
atau menggugat suatu pikiran hukum yang dominan pada suatu saat. Oleh karena itu, sekalipun
ia berkeinginan untuk mengutarakan suatu pikiran secara universal, tetapi alangkah baiknya
apabila kita senantiasa waspada, bahwa teori itu mempunyai latar belakang pemikiran yang
sedemikian itu.
Sehubungan dengan keadaan yang demikian itu sudah seharusnya kita tidak melepaskan teori-
teori itu dari kategorisasi waktu pemunculannya, nya, seperti teori-teori yang lahir pada abad
11
kesembilan belas atau abad kedua puluh. Kita sebaiknya memahaminya dengan latar belakang
yang demikian itu, oleh karena teori-teori yang lahir pada abad kesembilan belas, misalnya,
menggarap persoalan-persoalan yang ada pada masa itu dan yang bukan merupakan karakteristik
‘persoalan untuk abad kedua puluh.” (Satjipto Rahardjo, 1982-225).
Beberapa contoh dapat dikemukakan, sebagai berikut:
Pada zaman Romawi, misalnya, para pemikir hukum lebih dipusatkan perhatiannya kepada
situasi pada waktu itu, ketika Romawi ingin melaksanakan pemerintahannya di seluruh wilayah
jajahannya secara efektif. Sumbangan yang harus dimainkan oleh para pemikir tersebut di atas
ialah bagaimana dapat menciptakan suatu ketentuan yang dapat diberlakukan untuk semua
wilayah Romawi yang sangat luas. Karenanya, jika dibandingkan dengan para rekannya di masa
Yunani, para pemikir hukum Romawi lebih terpusatkan perhatiannya pada usaha menjawab
permasalahan hukum yang timbul pada waktu itu secara praktis.
Contoh lainnya terlihat pada Zaman Pertengahan. Pada waktu itu kekuasaan Gereja sedemikian
besar dan luas sehingga ikut campur dalam masalah kehidupan duniawi secara menyeluruh.
Demikian besar kekuasaan mereka hingga dapat melampaui kekuasaan raja-raja. Akibat yang
nyata ialah, banyak teori hukum yang lahir pada kurun waktu ini bernafaskan keagamaan,
mengaitkan inti pemikiran hukumnya dengan ajaran-ajaran Gereja. Buah pikiran yang datang
dari Thomas Aquino, misalnya, merupakan suatu contoh tidak terlepasnya alam pikiran filsuf
terkenal ini dari situasi lingkungan tempat dia hidup.
Satu contoh lagi ialah situasi yang terjadi pada abad ke-19. Ciri yang menonjol pada abad ini
ialah perkembangan di dunia ekonomi yang menggalakkan (optimisme), dibarengi dengan
kedudukan negara yang semakin kuat dan kukuh dalam hal mengontrol dan mengarahkan
masyarakat ke arah yang dikehendakinya. Pada masa ini lahir aliran positivisme (analitis maupun
murni) yang menekankan pentingnya kedudukan negara sebagai pembentuk hukum, buah pikiran
John-Austin maupun Hans Kelsen dinilai banyak pengaruhnya pada dunia ilmu maupun teori
hukum, baik pada masa .tersebut maupun sesudahnya.
12
Namun, hendaknya pula diperhatikan bahwa selain buah pikiran yang selaras dengan situasi
yang mendukungnya, terdapat pula buah-buah pikiran lain yang justru merupakan penentangan
terhadap situasi itu, dan berusaha untuk mengubahnya.
Masih pada abad ke-19 selain tampil John Austin dengan positivisme dan analitisnya, lahir
pula ajaran sejarah yang didasarkan atas paham romantisme yang dipelopori Carl von Savigny
dan Puchta. Ajaran ini merupakan penentangan terhadap teori positivisme analitis, dan berusaha
meyakinkan dunia ilmu hukum bahwa leas Recht wird nicht gemacht, es ist and wird mit dem
Volke, katanya. Buah pikiran Savigny, walaupun tidak sepenuhnya berhasil melumpuhkan
pikiran positivisme hukum; pengaruhnya sangat luas dan dasar-dasar pikirannya banyak menjadi
landasan hukum positif beberapa negara (Indonesia, misalnya, yang pada zaman “Hindia
Belanda” memberlakukan hukum adat bagi golongan Indonesia Asli). Selain itu, ajaran Savigny
ini dijadikan dasar pula untuk ajaran-ajaran yang beraliran sosiologis yang kemudian muncul dan
merupakan teori hukum yang dominan pada abad ke-20. Pemahaman sejarah hukum,
nampaknya, tidak dapat kita kesampingkan dalam mencoba menghayati suatu teori hukum.
Kita mengenal berbagai klasifikasi teori hukum yang dibuat oleh para penulis hukum. Northrop,
misalnya. Mengklasifikasikan ajaran atau aliran hukum ke dalam positivisme hukum, pragmatic
legal realism, neo-Kantian dan Kelsenian ethical jurisprudence, functional anthropological dan
sociological jurisprudence, dan hukum alam (Lili Rasyidi, 1982:22). Friedmann (170) membagi
aliran tersebut atas aliran hukum alam, aliran yang didasarkan pada filsafat masalah keadilan,
aliran yang didasarkan pada pengaruh perkembangan masyarakat terhadap hukum, aliran
positivisme dan positivisme hukum, dan aliran yang didasarkan atas kegunaan dan- kepentingan.
Soerjono Soekanto (1980:37-47) menyebutkan: mazhab formalitas, mazhab sejarah dan
kebudayaan, aliran utilitarianisme, aliran sociological jurisprudence, dan aliran realisme hukum.
Satjipto Rahardjo (1982:226-272) mengetengahkan teori-teori Yunani dan Romawi, hukum
alam, positivisme dan utilitarianisme, teori hukum murni, pendekatan-pendekatan sejarah dan
antropologis, dan pendekatan-pendekatan sosiologis. Selain itu ada pula yang
mengklasifikasikan aliran-aliran tersebut hanya ke dalam yang paling berpengaruh saja, yaitu
aliran hukum alam, aliran hukum positif, mazhab sejarah, sociological jurisprudence, dan
pragmatic legal realism (Lili Rasjidi, 1985:27).
13
4.3.1 Aliran Hukum Alam
Yang dimaksudkan dengan hukum alam menurut ajaran ini ialah hukum yang berlaku universal
dan abadi. Menilik sumbernya, hukum alam ini ada yang bersumber dari Tuhan Irasional) dan
yang bersumber dari akal (rasio) manusia. Pemikiran hukum alam yang berasal dari Tuhan
dikembangkan misalnya dan terutama oleh para pemikir skolastik pada Abad Pertengahan
seperti Thomas Aquino, Gratianus (Decretum), John Salisbury, Dante, Piere Dubois,
Marsilius Padua, Johannes Haus, dan lain-lain. Sedangkan para pendasar dari ajaran hukum
alam yang bersumber dari akal manusia ialah, misalnya, Hugo de Groot atau Grotius,.
Christian Thomasius, Immanuel Kant, Fichte, Hegel, dan Rudolf Stammler.
Menurut Friedmann (1970:95), sejarah tentang hukum alam merupakan sejarah umat manusia
dalam usahanya untuk menemukan apa yang dinamakan keadilan yang mutlak (absolute justice)
selain- kegagalan-kegagalan yang dialaminya. Peranan hukum alam ini sepanjang sejarahnya
terlihat dalam berbagai fungsi; seperti:
Hukum alam digunakan untuk mengubah hukum perdata Romawi yang lama menjadi suatu
sistem hukum umum yang berlaku di seluruh dunia.
- Digunakan sebagai senjata oleh kedua belah pihak, yaitu Gereja dan para kaisar pada Abad
Pertengahan dalam saling berebut kekuasaan.
- Dipergunakan sebagai dasar hukum internasional dan dasar kebebasan perseorangan terhadap
pemerintahan yang bersifat absolut.
Dipergunakan oleh para hakim di Amerika Serikat dalam menafsirkan konstitusi mereka.
Dengan asas-asas hukum alam, para hakim rnenentang usaha-usaha negara-negara bagian yang
dengan menggunakan perundangan hendak mernbatasi kebebasan perseorangan dalam soal-soal
yang berkaitan dengan ekonomi.
Dipergunakan untuk mempertahankan pemerintahan yang berkuasa, atau sebaliknya untuk
mengobarkan pemberontakan terhadap kekuasaan yang ada.
14
- Juga dipergunakan dalam waktu yang berbeda-beda untuk mempertahankan segala bentuk
ideologi.
- Sebagai dasar ketertiban internasional, hukum alam terus-menerus memberikan ilham kepada
kaum stoa, ilmu dan filsafat hukum Romawi, pendeta-pendeta dan Gerejagereja pada Abad
Pertengahan dan lain-lain.
Dengan melalui teori-teori Locke dan Paine, hukum alam memberikan dasar kepada filsafat
perseorangan dalam konstitusi Amerika Serikat dan undang-undang dasar . negara-negara
modern lainnya. (Lili Rasjidi, 1985:24-30).
Terdapat pembedaan lain di samping yang terurai di muka, yaitu hukum alam sebagai metode
dan hukum alam sebagai substansi (Satjipto Rahardjo, 1982:232; Dias, 1976:654):
“Hukum Alam sebagai metode adalah yang tertua yang dapat dikenal( sejak zaman yang kuno
sekali sampai kepada permulaan abad pertengahan. la memusatkan dirinya pada usaha untuk
menemukan metode yang bisa dipakai untuk menciptakan peraturan-peraturan yang mampu
untuk menghadap( keadaan yang berlain-lainan. Dengan demikian ia tidak mengandung norma-
norma sendiri, melainkan ‘hanya’ memberitahu tentang bagaimana membuat peraturan yang
baik.”
Hukum alam sebagai substansi (isi) berisikan norma-norma. Peraturan-peraturan dapat
diciptakan dari asas-asas yang mutlak yang lazim dikenal sebagai peraturan hak-hak asasi
manusia. Ciri hukum alam seperti ini merupakan ciri dari abad ke-17 dan ke-18, untuk kemudian
pada abad berikutnya digantikan oleh ajaran positivisme hukum.
Positivisme hukum sendiri ternyata kemudian tidak mampu untuk mengikuti rasa keadilan yang
tumbuh di dalam masyarakat karena hukum yang sifatnya tertulis tidak dapat diubah-ubah setiap
saat. Rasa keadilan yang tercermin pada suatu kitab undang-undang, misalnya, mungkin hanya
selaras dengan rasa keadilan dalam masyarakat pada waktu dikitabkannya undang-undang itu.
Masyarakat yang terus berubah membawa serta perubahan pada keadilan yang hidup di dalam
masyarakat itu. Karena dirasakan ketentuan yang ada tidak atau kurang lagi mencerminkan rasa
keadilan yang dikehendaki, maka orang berusaha mencari keadilan lain, dan ini berarti orang
15
berpegang kembali kepada ajaran hukum alam. Seringkali orang menyebutkan terjadinya
‘kebangkitan doktrin hukum alam. (Satjipto Rahardjo, 1982:233; Dias, 1976:654-655).
4.3.2 Aliran Positivisme Hukum
Apabila aliran sebelumnya menganggap penting hubungan antara hukum dan moral, maka aliran
hukum positif justru menganggap bahwa kedua hal tersebut merupakan dua hal yang harus
dipisahkan (Soerjono Soekanto, 1980:37-38). Di dalam aliran ini dikenal adanya dua subaliran
yang terkenal, yaitu:
- Aliran hukum positif yang analitis, pendasarnya adalah John Austin.
- Aliran hukum positif yang murni, dipelopori oleh Hans Kelsen.
Aliran hukum positif yang analitis mengartikan hukum itu sebagai a command of the Lawgiver
(perintah dari pem- bentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah dari mereka yang
memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Hukum dianggap sebagai suatu
sistem yang logis, tetap, dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum secara tegas
dipisahkan dari moral, jadi dari hal yang berkaitan dengan keadilan, dan tidak didasarkan atas
pertimbangan atau penilaian baik-buruk.
Selanjutnya John Austin membagi hukum itu atas:
a. Hukum ciptaan Tuhan, dan
b. Hukum yang dibuat oleh manusia, yang terdiri dari:
- hukum dalam arti yang sebenarnya, yaitu yang disebut juga sebagai hukum positif,
dirinci:
- hukum yang dibuat . oleh pengusaha, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, dan
lain-lain;
- hukum yang disusun atau dibuat oleh rakyat secara individual, yang dipergunakan untuk
melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Contohnya, hak wali terhadap orang yang
berada di bawah perwalian, hak kurator terhadap badan/ orang dalam curatele,
- hukum dalam arti yang tidak sebenarnya, yaitu hukum yang tidak memenuhi persyaratan
sebagai hukum. Jenis hukum ini tidak dibuat atau ditetapkan oleh penguasa/badan berdaulat yang
16
berwenang. Contohnya, ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh perkumpulan-perkumpulan atau
badan-badan tertentu dalam bidang keolahragaan, mahasiswa, dan sebagainya. (Lili Rasjidi,
1985:41; Soerjono Soekanto, 1980:38-39).
Terdapat empat unsur penting menurut Austin untuk dinamakan sebagai hukum, yaitu:
1) perintah,
2) sanksi,
3) kewajiban, dan
4) kedaulatan.
Ketentuan-ketentuan yang tidak mengandung keempat unsur tersebut bukanlah merupakan
hukum positif, melainkan hanyalah sebagai moral positif. Keempat unsur itu kaitannya satu
dengan yang lain dapat dijelaskan sebagai berikut: Unsur perintah ini berarti bahwa satu pihak
menghendaki agar orang lain melakukan kehendaknya, pihak yang diperintah akan mengalami
penderitaan jika perintah itu tidak dijalankan atau ditaati. Perintah itu, merupakan pembedaan
kewajiban terhadap yang diperintah, dan yang terakhir ini hanya dapat terlaksana jika yang
memerintah itu adalah pihak yang berdaulat. Dan yang memiliki kedaulatan itu dapat berupa
seseorang atau sekelompok orang(a souvereign person, or a souvereign body of persons).
Dalam kaftan ajaran analitis ini, beberapa hal hendaknya menjadi perhatian, yaitu:
Ajarannya tidak berkaitan dengan penelitian baik-buruk, sebab penilaian ini berada di luar
bidang hukum;
- Apa yang dimaksud dengan kaidah moral, secara yuridis tidak penting bagi hukum walau
diakui ada pengaruhnya terhadap masyarakat;
Pandangannya bertentangan, baik dengan ajaran hukum alam maupun dengan mazhab sejarah;
- Hakikat hukum semata-mata adalah perintah – semua hukum positif merupakan perintah
dari penguasa/yang berdaulat;
Masalah kedaulatan tak perlu dipersoalkan, sebab berada dalam ruang lingkup dunia
politik/sosiologi – hendaknya dianggap sebagai sesuatu yang telah ada dalam kenyataan;
- Ajaran Austin dan aliran hukum positif pada umumnya kurang/tidak memberikan tempat
bagi hukum yang hidup dalam masyarakat (Lili Rasjidi, 1985:42).
17
Beberapa penulis hukum menganggap bahwa sesungguhnya bukanlah John Austin yang harus
dijuluki ‘bapak ilmu hukum Inggris’, melainkan yang berhak menyandang gelar tersebut
adalahJeremy Bentham (Satjipto Rahardjo, 1982:239; Dias, 1976:457), sebabnya:
“Bentham adalah pejuang yang gigih untuk hukum yang dikodifikasikan dan untuk merombak
hukum Inggris yang baginya merupakan sesuatu yang kacau. Tetapi Bentham lebih sering
dimasukkan ke dalam Aliran Utilitarianisme, bersama-sama dengan John Stuart Mill (1806-
1873) dan Rudolf von Jhering (1818-1889).”
Buah pikiran John Austin yang tertuang dalam kedua bukunya yang terkenal, yaitu The Province
of Jurisprudence Determined dan Lectures on Jurisprudence, kemudian pada abad ke-20 ini
dikembangkan lebih lanjut oleh seorang tokoh ilmu hukum terkenal, yakni H.L.A. Hart. Dalam
uraiannya tentang ciri-ciri positivisme pada ilmu hukum dewasa ini dia mengatakan:
Hukum merupakan perintah dari manusia (command of human being).
- Tidak ada hubungan mutlak/penting antara hukum di satu pihak dengan moral di lain
pihak, atau antara hukum yang berlaku dengan hukum yang seharusnya.
- Analisis terhadap konsepsi hukum dinilai penting untuk dilakukan dan harus dibedakan
dari studi yang historis maupun sosiologis, dan harus dibedakan pula dari penilaian yang bersifat
kritis.
- Pengertian bahwa sistem hukum merupakan sistem yang logis, tetap, dan bersifat
tertutup, dan di dalamnya keputusan-keputusan hukum yang tepat/benar biasanya dapat
diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum .yang telah ditentukan
sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan social, politik, dan ukuran-ukuran moral.
Bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak dapat dibuat atau dipertahankan sebagai
pernyataan kenyataan yang harus dibuktikan dengan argumentasi rasional, pembuktian, atau
percobaan (pengujian). (Lili Rasjidi, 1985:39-40; Friedmann, 1970:287; Satjipto Rahardjo,’
1982:237-238; Dias, 1976:451).
18
Selain ajaran hukum murninya, sesunngguhnya terdapat satu lagi teori yang perlu dikemukakan
dari Hans Kelsen (The General Theory of Law and State), yaitu Stufenbau des Recht yang
berasal dari muridnya, Adolf Merkl.
Latar belakang ajaran hukum murni ini sesungguhnya merupakan suatu pemberontakan yang
ditujukan terhadap ilmu hukum yang ideologic, yaitu yang hanya mengembangkan hukum itu
sebagai alat. pemerintahan dalam negara-negara totaliter (Satjipto Rahardjo, 1982:242; Allen,
1958:48).
Dasar-dasar pokok teori hukum murni Hans Kelsen, menurut Friedmann, adalah sebagai
berikut:
1. Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu, adalah untuk mengurangi kekalutan
dan meningkatkan kesatuan (unity).
2. Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang
hukum yang ada, bukan tentang hukum yang seharusnya ada.
3. Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam.
4. Sebagai. suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan persoalan
efektivitas norma-norma hukum.
5. Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari isi yang
berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik.
6. Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah seperti antara
hukum yang mungkin dan hukum yang ada. (Satjipto Rahardjo, 1982:243).
Dari dasar-dasar yang terinci tersebut di atas cukup jelas pendirian Hans Kelsen tentang hukum
dan ilmu hukum. Dikatakan murni adalah karena hukum itu harus dibersihkan dari anasir-anasir
yang tidak yuridis, yaitu anasir etis, sosiologis, politis, dan sejarah. Hukum itu adalah
sebagaimana adanya, yaitu terdapat dalam berbagai peraturan yang ada. Karenanya, yang
dipersoalkan bukanlah ‘bagaimana hukum itu seharusnya’, melainkan ‘apa hukumnya.
19
Dari dasar di atas dikatakan pula bahwa ilmu hukum adalah normatif. Ini berarti bahwa
menurut pendapat Hans Kelsen, hukum itu berada dalam dunia Sollen, dan bukan dalam
dunia Sein. Sifatnya adalah hipotetis, lahir karena kemauan dan akal manusia.
Ajaran Stufenbau des Recht berpendapat bahwa sistem hukum itu merupakan suatu hierarki
dari hukum. Pada hierarki itu, suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan yang
lebih tinggi. Dan ketentuan yang tertinggi ini ialah Grundnorm atau norma dasar yang bersifat
hipotetis, Ketentuan yang lebih rendah merupakan kongkretisasi dari ketentuan yang lebih
tinggi.
4.3.3 Aliran Utilitarianisme
Telah dikemukakan bahwa tokoh terkemuka dari aliran ini ialah Jeremy Bentham (1748-1832)
di samping juga John Stuart Mill (1806-1873) dan Rudolf von Jhering (1818-1889).
Jeremy Bentham menerapkan salah satu prinsip dari aliran utilitarianisme ke dalam lingkungan
hukum, yaitu: manusia akan bertindak untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya
dan mengurangi penderitaan. Ukuran baik-buruknya suatu perbuatan manusia tergantung kepada
apakah perbuatan itu mendatangkan kebahagiaan atau tidak (Soerjono Soekanto, 1980:43).
Pemidanaan, menurut Bentham, harus bersifat spesifik untuk tiap kejahatan, dan berapa kerasnya
pidana itu tidak boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan Untuk mencegah dilakukannya
penyeranganpenyerangan tertentu. Pemidanaan hanya bisa diterima apabila ia memberikan
harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih besar (Satjipto Rahardjo, 1982:239). Ajaran
seperti ini didasarkan atas hedonistic utilitarianism (M.P. Golding 1978:75).
Bentham selanjutnya berpendapat bahwa pembentuk undang-undang hendaknya dapat
melahirkan undang-undang yang dapat mencerminkan keadilan bagi semua individu. Dengan
berpegang pada prinsip tersebut di atas, perundangan itu hendaknya dapat memberikan
kebahagiaan yang terbesar bagi sebagian besar masyarakat (the greases happiness for the
greatest number).
20
John Stuart Mill memiliki pendapat yang sejalan dengan Jeremy Bentham. Kesamaan pendapat
itu terletak bahwa suatu perbuatan itu hendaknya bertujuan untuk mencapai sebanyak mungkin
kebahagiaan. Menurut John Stuart Mill, sumber dari kesadaran keadilan itu bukan terletak pada
kegunaan, melainkan pada rangsangan untuk mempertahankan diri dan perasaan simpati:
“Menurut Mill, keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak dan membalas
kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri maupun oleh siapa saja yang mendapatkan simpati
dari kita. Perasaan keadilan akan memberontak terhadap kerusakan, penderitaan, tidak hanya atas
dasar kepentingan individual, melainkan lebih luas dari itu, sampai kepada orang-orang lain yang
kita samakan dengan diri kita sendiri. Hakikat keadilan, dengan demikian, mencakup semua
persyaratan moral yang sangat hakiki bagi kesejahteraan umat manusia.” (Satjipto Rahardjo,
1982:241; Bodenheimer, 1974:86).
Berbeda dengan Bentham, Rudolf ‘von Jhering dikenal sebagai pengasas teori yang disebut
‘social utilitarianism’ (Bentham: individual utilitarianism). Teorinya merupakan penggabungan
antara pikiran Bentham dan John Stuart Mill dengan positivisme hukum John Austin.
“Pusat perhatian filsafat hukum Jhering adalah konsep tentang ‘tujuan’, seperti dikatakannya
dalam salah satu bukunya, ide dasar dari buku ini adalah pemikiran, bahwa tujuan adalah
pencipta dari seluruh hukum; tidak ada suatu peraturan hukum yang tidak memiliki asal-
usulnya pada tujuan ini, yaitu pada motif yang praktis.” (Satjipto Rahardjo, 1982:240;
Bodenheimer, 1974:87).
Jhering menolak anggapan aliran sejarah yang berpendapat bahwa hukum itu adalah hasil
kekuatan-kekuatan historis murni yang tidak direncanakan dan tidak disadari. Justru hukum itu
dibuat oleh negara atau dasar kesadaran sepenuhnya untuk mencapai tujuan tertentu.
4.3.4 Mazhab Sejarah
“Ada dua pengaruh terhadap lahirnya mazhab ini, yakni pengaruh Montesqueu dalam bukunya
L’esprit de Lois yang telah terlebih dahulu mengemukakan tentang adanya hubungan antara jiwa
suatu bangsa dengan hukumnya, dan pengaruh paham nasionalisme yang mulai timbul pada
21
away abad ke-119. Lahirnya mazhab ini juga merupakan suatu reaksi yang langsung terhadap
suatu pendapat yang diketengahkan oleh Thibaut dalam pamfletnya yang berbunyi Uber Die
Notwendigkeit Eines Allgemeinen Burgelichen Rechts Fur Deutschland” – keperluan akan
adanya kodifikasi hukum perdata bagi Jerman. Ahli hukum perdata Jerman ini menghendaki agar
di Jerman diperlakukan kodifikasi perdata dengan dasar hukum Prancis (Code Napoleon).
Seperti diketahui, setelah Prancis meninggalkan Jerman timbul-masalah, hukum apa yang
hendak diberlakukan di negara ini. Juga merupakan suatu reaksi tidak langsung terhadap aliran
hukum alam dan aliran hukum positif.” (Lili Rasjidi, 1982:40-41).
Dengan sebuah karangannya yang terkenal yang berjudul Von Beruf unserer Zeit fur
Gesetzgebung und Rechtswissenschaft (Tentang Tugas pada Zaman Kita bagi Pem-bentuk
Undang-undang dan ilmu Hukum), yang merupakan reaksi atas tulisan Thibaut di atas.
Dimulailah era baru dalam perkembangan pemikiran hukum, khususnya di Jerman, yang
sanggup menghentikan gerakan kodifikasi di negara tersebut untuk lebih-kurang satu abad
lamanya. Kami kutip kata pembukaannya di bawah ini:
“Pada waktu-waktu yang lampau, sebagaimana dapat diketahui dari sejarah kuno, hukum telah
dapat ditemukan dalam bentuk yang pasti, bersifat khas untuk masing-masing rakyat, seperti adat
mereka; bahasa mereka, dan struktur masyarakatnya. Tidak, fenomen ini tidak mempunyai
eksistensi sendiri yang terpisah, semua itu adalah semata-mata bidang-bidang khusus dan
kecenderungan-kecenderungan dari suatu rakyat, yang pada hakikatnya tak dapat dipisahkan, dan
hanya menurut pandangan kitalah tampak masing-masing terpisah yang satu dari yang lain. Yang
mengikat semua itu ke dalam satu kesatuan adalah keyakinan yang sama pula rakyat, kesadaran
yang sama dalam hati tentang – adanya keharusan, sehingga semua itu menyampingkan adanya
kesan seolah-olah kita berhadapan dengan sesuatu yang tiba-tiba dan kebetulan.” (Satjipto
Rahardjo, 1.982:248; Allen, 1958:16).
Pada bagian lain dari karangannya -itu von Savigny menegaskan inti ajarannya bahwa das Recht
wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem Volke – hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh dan
berkembang bersama masyarakat. Pandangannya bertitiktolak bahwa di dunia ini terdapat
banyak bangsa, dan tiap-tiap bangsa tadi memiliki suatu Volksgeist – jiwa rakyat. Jiwa ini
berbeda, baik menurut waktu maupun tempat. Pencerminannya nampak pada kebudayaannya
22
masing-masing yang berbeda-beda. Hukum bersumber dari jiwa rakyat ini; oleh karena itu
hukum itu akan berbeda pada setiap waktu dan tempat. Tidaklah masuk akal kalau terdapat
hukum yang sifatnya universal dan abadi. Selanjutnya von Savigny mengatakan bahwa apa yang
menjadi isi dari hukum itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa. Hukum
berkembang dari suatu masyarakat sederhana yang tercermin pada setiap tingkah laku individu-
individu kepada masyarakat yang kompleks, di mana kesadaran hukum rakyat nampak pada
ucapan-ucapan para ahli hukumnya.
Sebagaimana secara sepintas telah disinggung di muka buah pikiran von Savigny yang kemudian
dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya yang terkenal, G. Puchta, banyak diikuti para ahli
hukum jauh di luar batas-batas negara Jerman. Pengaruh pemikirannya sangat terasa di Indonesia
melalui para ahli hukum Belanda. Demikian besar pengaruhnya sehingga melahirkan suatu
cabang ilmu hukum baru yang kita kenal sebagai hukum adat, dengan dipelopori oleh van
Vollenhoven, Ter Haar, serta tokoh-tokoh hukum adat lainnya. Bagi para ahli sosiologi pun
tidak dapat dikesampingkan saran von Savigny, betapa pentingnya penelitian tentang hubungan
antara hukum dengan struktur masyarakat beserta sistem nilainya, Pendapat ini nampaknya
menjadi pegangan banyak ahli sosiologi yang melihat bahwa sistem hukum sesungguhnya tidak
terlepas dari sistem sosial yang lebih luas, dan antara sistem hukum tadi dengan aspek-aspek
sistem sosial lainnya terdapat hubungan timbal-balik dan saling mempengaruhi. (Soerjono
Soekanto, 1980:42).
Dalam kaftan dengan ajaran sejarah ini, seorang tokoh lainnya perlu dikemukakan mengingat
sumbangannya yang besar terhadap perkembangan ilmu hukum. Tokoh ini ialah Sir Henry
Maine (1822-1888) dengan bukunya yang terkenal, Ancient Society, Hasil penelitiannya yang
bersifat antropologis, mengetengahkan teorinya bahwa hukum berkembang dari bentuk status ke
kontrak, sejalan dengan perkembangan masyarakatnya dari yang sederhana ke masyarakat yang
kompleks dan modern. Pada masyarakat yang modern, demikian menurut pendapat Maine,
hubungan hukum antara para anggota masyarakat dilakukan atas dasar sistem hak dan kewajiban
yang tertuang dalam bentuk suatu kontrak yang dibuat secara sadar dan sukarela oleh pihak-
pihak yang berkenaan. Sedangkan hukum sendiri, pada masyarakat ini, berkembang melalui tiga
cara, yaitu fiksi, equity, dan perundangan. Pendapat terakhir inilah yang oleh beberapa penulis
23
hukum digunakan untuk membedakan Maine dengan Savigny. Agaknya Maine tidak -
mengesampingkan peranan perundangan dan kodifikasi dalam pengembangan hukum pada
masyarakat yang telah maju.
Walaupun teori hukum dari von Savigny dan pengikut-pengikutnya cukup luas pengaruhnya,
tetap terdapat kelemahannya. Yang terpenting adalah tidak diberinya tempat bagi ketentuan yang
sifatnya tertulis (perundang-undangan). Bagaimanapun, dalam masyarakat modern, ketentuan
yang bentuknya tertulis diperlukan demi adanya kepastian hukum, dan terutama sekali untuk
menghindarkan tindakan sewenang-wenang dari kekuasaan yang bersifat absolut. Kelemahan
lainnya terletak pada konsepsinya tentang kesadaran hukum yang sifatnya sangat abstrak. Juga
mengenai jiwa rakyat, konsepsinya tidak memuaskan banyak pihak. Von Savigny menyebutkan
bahwa hukum yang baik adalah yang bersumber dari jiwa rakyat ini, tetapi dalam sebuah
tulisannya yang lain, yang membahas tentang hukum Romawi, dia mengatakan bahwa hukum
Romawi merupakan hukum terbaik.
4.3.5 Aliran Sociological Jurisprudence
Aliran sociological jurisprudence dapat dikatakan sebagai salah satu aliran dari berbagai-bagai
pendekatan. Aliran ini tumbuh dan berkembang di Amerika, dan dipelopori oleh Roscoe
Pounddengan karya-karyanya yang terkenal seperti Scope and Purpose of Sociological
Jurisprudence (1912), Outline of Lectures on Jurisprudence (1903), The Spirit of Common Law
(1921), An Introduction to the Philosophy of Law (1922), The Task of Law (1944),
Interpretations of Legal History (1923), dan lain-lain. Tokoh-tokoh lainnya antara lain Benjamin
Cardozo dan Kantorowics.
Tidak dapat disangkal bahwa ajaran sociological jurisprudence ini tergolong aliran-aliran
sosiologis di bidang hukum yang di Benua Eropa dipelopori oleh seorang ahli hukum bangsa
Austria bernama Eugen Ehrlich (1826-1922), yang mula pertama menulis tentang hukum
dipandang dari sudut sosiologi dengan judul Grundlegung der Soziologie des Rechts
(diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Walter L. Moll: Fundamental Principles of the
Sociology of Law, pada tahun 1936).
24
Dalam mencoba menelaah antara sosiologi hukum Eropa dan sociological jurisprudence di
Amerika Serikat, dalam kata pengantar untuk buku Gurvitch, Roscoe Pound antara lain menulis
bahwa terdapat sedikit perbedaan. cara pendekatan antara keduanya. Sosiologi hukum itu
merupakan cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh timbal-balik antara hukum dan
masyarakat dengan titik tolak pendekatannya dari masyarakat ke hukum, sedangkan sociological
jurisprudence merupakan suatu teori hukum yang mempelajari pengaruh hukum terhadap
masyarakat, dan sebagainya, dengan pendekatan dari hukum ke masyarakat.
Seperti diketahui, ajaran pokok dari Eugen Ehrlich yang sangat berpengaruh itu bertolak dari
anggapan bahwa terdapat perbedaan antara hukum positif di satu pihak dengan hukum yang
hidup dalam masyarakat (living law) di lain pihak. Selanjutnya Ehrlich berpendapat bahwa
hukum positif akan memiliki days berlaku yang efektif apabila berisikan, atau selaras dengan,
hukum yang hidup dalam masyarakat tadi. Dan di samping itu, pusat perkembangan hukum pada
waktu sekarang, dan juga pada waktu yang lain, tidak terletak pada perundang-undangan, tidak
pada ilmu hukum, ataupun pada keputusan hakim, tetapi pada masyarakat itu sendiri.
Dengan berpegang pada ajaran tersebut, Roscoe Pound berpendapat bahwa hukum harus
dilihat sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan sosial. Selain itu, dianjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses (law
in action), yang dibedakannya dengan hukum yang tertulis (law in books). (Soerjono
Soekanto, 1980:45).
4.3.6 Aliran Realisme Hukum
Beberapa tokoh terkenal disebut-sebut sebagai pendasar aliran ini. Tokoh-tokoh termaksud ialah:
John Chipman Gray, Oliver Wendell Holmes, Karl Llewellyn, Jerome Frank, William James,
dan lain-lain. Beberapa penulis memasukkan pula Roscoe Pound ke aliran ini selain sebagai
pendasar aliran sociological jurisprudence. Hal ini barangkali berkaitan dengan anggapannya
yang tidak mengesampingkan faktor akal dalam pembentukan hukum sebagaimana yang
25
dikemukakan oleh aliran positivisme hukum dan teori lainnya yang terkenal, bahwa hukum itu
merupakan alat untuk membangun masyarakat (law is a tool of social engineering).
Pendapatnya yang pertama di atas ada baiknya dikemukakan lebih lengkap. Menurut Roscoe
Pound, kedua konsepsi masing-masing aliran, yaitu aliran positivisme hukum dan aliran sejarah,
ada kebenarannya. Hanya hukum yang sanggup menghadapi ujian akal dapat hidup terus. Yang
menjadi unsur-unsur kekal dalam hukum itu hanyalah pertanyaan-pertanyaan akal yang berdiri di
atas pengalaman dan diuji oleh pengalaman. Pengalaman dikembangkan oleh akal, dan akal diuji
oleh pengalaman. Tak ada sesuatu yang dapat bertahan sendiri di dalam sistem hukum. Hukum
adalah pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal, yang diumumkan dengan wibawa
oleh badan-badan yang membuat undang-undang atau mengesahkan undang-undang dalam
masyarakat yang berorganisasi politik dan dibantu oleh kekuasaan masyarakat itu (Tugas
Hukum, 1965:87).
Oleh Llewellyn (Friedmann, 1970:292) dikemukakan ciri-ciri aliran ini, yaitu:
a. Realisme bukanlah suatu aliran/mazhab. Realisme adalah suatu gerakan dalam cara
berpikir dan cara bekerja tentang hukum.
b. Realisme adalah suatu konsepsi mengenai hukum yang berubah-ubah dan sebagai alat
untuk mencapai tujuan sosial; maka tiap bagiannya harus diselidiki mengenai tujuan maupun
hasilnya. Hal ini berarti bahwa keadaan sosial lebih cepat mengalami perubahan daripada
hukum.
c. Realisme mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara antara Sollen dan Sein untuk
keperluan suatu penyelidikan. Agar penyelidikan itu . mempunyai tujuan, maka hendaknya’
diperhatikan adanya nilai-nilai, dan observasi terhadap nilai-nilai itu haruslah seumum mungkin
dan tidak boleh dipengaruhi oleh kehendak pengamat maupun tujuan-tujuan kesusilaan.
d. Realisme tidak mendasarkan pada konsep-konsep hukum tradisional karena realisme
bermaksud melukiskan apa yang dilakukan sebenarnya oleh pengadilan-pengadilan dan orang-
orangnya. Untuk itu dirumuskan definisi-definisi dalam peraturan-peraturan : yang merupakan
ramalan umum tentang apa yang akan dikerjakan oleh pengadilan. Sesuai dengan keyakinan ini,
maka realisme rnenciptakan penggolongan-penggolongan perkara dan .keadaan-keadaan hukum
26
yang lebih kecil jumlahnya daripada jumlah penggolongan-penggolongan yang ada pada masa
lampau.
e. Gerakan realisme menekankan bahwa pada perkembangan setiap bagian hukum haruslah
diperhatikan dengan seksama akibatnya. (Lili Rasjidi, 1985:49-50).
Melalui buah pikiran John Chipman Gray dan Oliver Wendell Holmes yang merupakan
eksponen-eksponen gerakan realisme ini, barangkali akan lebih jelas dasar pemikiran hukum
yang bagaimana yang menjadi inti ajarannya. Kedua tokoh ini, walaupun juga penganut paham
positivisme hukum, tidak menempatkan undang-undang sebagai sumber utama hukum. Mereka
menempatkan hakim sebagai titik pusat perhatian dan penyelidikan hukum. Selain unsur logika
yang memegang faktor penting dalam pembentukan perundang-undangan, juga unsur
kepribadian, prasangka, dan unsur-unsur lain di luar logika berpengaruh sangat benar. Gray
membuktikan teorinya itu dengan mengemukakan Contoh dari sejarah hukum di Inggris dan
Amerika Serikat yang menunjukkan besarnya pengaruh faktor-faktor politik, ekonomi, kualitas
individual hakim, terhadap penyelesaian hal-hal penting bagi jutaan orang selama ratusan tahun.
Slogan terkenal dari John Chipman Gray ialah: All the law is judge-made law (sumber hukum
utama adalah putusan-putusan hakim).
Selain di Amerika Serikat, di Skandanavia pun berkembang aliran yang semacam yang
dipelopori oleh Axel Hegerstrom, Olivercrona, Lunstedt, dan Ross. Ciri-ciri gerakan ini ialah
menolak berlakunya suatu hukum alam, merupakan filsafat yang mengkritik metafisika umum.
(Baca lebih lanjut karya L. Bender O.P., “Apakah Hukum itu?”, W. Friedmann, “Social
Engineering’ (Roscoe Pound dan pengganti-pengganti), dan F.S.G. Northrop, “Contemporary
Legal Theories, “ pada Bab IX buku Pengantar Fisafat Hukum karangan Prof Lili Rasjidi.)
4.3.7. Aliran Studi Hukum Kritis (Critical Legal Studies)
Di Amerika sekitar tahun 70-an berkembang sebuah aliran yang disebut “Critical Legal Studies”.
Critical legal studies merupakan arus pemikiran hukum yang mencoba keluar dari hegemoni atau
pikiran-pikiran yang dominan dari para ahli hukum Amerika yang pada saat itu tengah dilanda.
kemapanan. Aliran. ini mencoba rnenentang paradigma liberal yang melekat kuat dalam studi-
27
studi hukum/ jurisprudence di Amerika melalui metodenya yang dikenal dengan metode
dekontrsuksi.(Dekonstruksi dalam hukum merupakan strategi pembalikan untuk membantu
mencoba melihat makna istilah yang tersembunyi, yang kadangkala istilah tersebut telah
cenderung diistimewakan melalui sejarah, meski dekonstruksi itu sendiri berada pada
hubungan istilah/wacana tersebut. Balkan memberikan penjelasan bahwa ada tiga hal menarik
dalam teknik dekonstruksi hukum. Pertama; teknik ini memberikan metodologi/cara untuk
melakukan kritlk mendalam tentang doktrin-doktrin hukum. Kedua; dekonstruksi dapat
menjelaskan bagaimana argumentasi•argumentasi hukum, berbeda dengan ideologi. Ketiga;
Menawarkan cara interpretasi baru terhadap teks hukum. Lihat J.M. Balkin, Reconstructive
Practice and Legal Theory, Yale Law Journal 96 (4), 1987, him. 744.)
Apa yang dimaksud dengan paradigma hukum liberal? Ronald Drowkin, menyatakan bahwa
“law is based on ‘objective’ decisions principles, while politics depends on ‘subjective’ decisions
of policy” .2? 2) Inilah yang disebut sebagai jantung teori hukum liberal, dan inilah yang
persisnya ditolak oleh Critical Legal Studies. (Lihat dalam Ronald Drowkin, A Matter of
Principles,HarvardUniversity Press, Cambridge, 1985. Lihat pula dalam lfdhal Kasim, Kata
Pengantar untuk bukunya Roberto M. Unger “Gerakan Studi Hukum Kritis, Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat,Jakarta, 1999, him. xvi-xvii.)
Aliran ini memberikan argumentasi-nya bahwa tidak mungkin proses-proses hukum (entah
dalam proses pembentukan Undang-undang atau proses penafsirannya) berlangsung dalam
konteks bebas dan atau netral dari pengaruh-pengaruh moral, agama, dan pluralisme politik.
Dengan kata lain menurut aliran ini tidak mungkin mengisolasi hukum dari konteks di mana
hukum tersebut eksis. menurut Critical Legal Studies teori-teori yang dikembangkan oleh aliran
hukum liberal (termasuk di dalamnya realisme hukum) merupakan bentuk penghindaran
terhadap adanya latar belakang politik dan ideologic di balik putusan-putusan hakim dan
Undang-Undang. Oleh karena itu menurut lfdhal Kasim Gerakan Studi Hukum Kritis
mengkonsepsikan hukum sebagai “negotiable, subjective and policy – depends as Politics.
Ada beberapa model pemikiran yang dominan dalam arus pemikiran ini, paling tidak ada tiga
yaitu,
28
Pertama; pemikiran yang diwakili oleh Roberto M. Unger, yang mencoba mengintegrasikan dua
paradigma yang saling bersaing, yakni antara paradigma konflik dan paradigma konsensus. (lihat
Orientasi politic dari arus pemikiran ini cenderung pada liberalisme radikal. Karya karya Roberto
M. Unger antara lain Knowledge and Politics yang terbit pada tahun 1975, kemudian karya-
karya lain menyusul, seperti Law in Modem Society; Toward a Criticism of Social Theory
(1976). The Critical Legal Studies Movement (1986), Politics; A Work in Constructive Social
Theory (1987), dan False Necessity (1987).
Kedua; adalah arus pemikiran yang diwaliki oleh David Kairys yang mewarisi tradisi pemikiran
Marxis atau tepatnya mewarisi kritlk Marxis terhadap hukum liberal yang hanya dianggap
melayani sistem kapitalisme. (lihat Menurut lfdhal Kasim Arus pemikiran ini mempunyai
kecenderungan pada sosialisme humanistik sebagai komitment politisnya. Salah satu karya
David Kairys yang terpenting adalah Politics of Law, Pantheon Book New York. Lihat lfdhal
Kasim, Mempertimbangkan ‘Critical Legal Studies’ dalam Kajian Hukum di Indonesia Wacana,
Jumal Ilmu Social Transformatif, Edisi 6 Tahun II 2000, Insist Press, Jogyakarta, 2000, him 21 -
dst.)
Ketiga; arus pemikiran yang diawali oleh Duncan Kennedy, yang menggunakan metode ekletis
yang membaurkan sekaligus perspektif strukturalis fenomenologis dan neo Marxis. (Arus
pemikiran ini diwakili antara lain oleh Kennedy yang juga mempunyai orientasi politic dan
sosialisme humanistic. Karyanya antara lain: Formal and substance in Private Law
Adjudication, Harvard Law Review, 89, 1979.)
Argumen lebih lanjut dari posisi teoretis kalangan Critical Legal Studies, dapat dilihat dari
argumen yang dikemukakan eksponen terdepan aliran ini, yaitu Roberto M. Unger sebagai
berikut:
“First, procedure is inseparable from outcome: every methode makes certain legislative choices
more likely than others … Second, each lawmaking system itself embodies certain values: it
incorporate a view of how power ought to be distribute in the society and how conflicts should
be resolved”7) (Lihat dalam Roberto M. Unger Law anc, Modern Society, Free Press New York,
1975, him 180).
29
Dengan mengacu kepada proses-proses empiric pembuatan kebijakan hukum, Unger
menunjukkan betapa tidak realistiknya teori pemisahan hukum dan politik. Analisis, hukum
yang hanya memusatkan pengkajian pada segi-segi doktrinal dan asas-asas hukum semata
dengan demikian mengisolasi hukum dari konteksnya. Sebab hukum bukanlah sesuatu yang’
terjadi secara alamiah, melainkan direkonstruksi secara sosial. Analisis mengenai bagaimana
hukum itu direkonstruksi dan bagaimana rekonstruksi itu sebetulnya diperlukan untuk
mengabsahkan sesuatu tatanan sosial tertentu. Hal ini dapat dilihat pada analisis Duncan
Kennedy terhadap karya ahli hukum abad 18, William Blackstone yang sangat berpengaruh pada
proses pembentukan hukum di Amerika.8) Lihat Duncan Kennedy “The Structure of
Blackstone’s Commentaries”, 1979, 28 Buffalo Law Review.
Dalam kaitannya dengan penjelasan di atas, Kennedy dengan sangat pedas mengecam metode
pengajaran hukum yang berintikan pada pemisahan hukum dan politik tersebut sebagaimana
dijelaskan oleh Kennedy.
“Theachers teach nonsense when they persuade students that legal reasoning is distinct, as
method for reaching correct results, from ethical or political discourse in general … There is
never a “correct legal solution” that is other than the correct ethical or political solution to that
legal problem. (lihat Duncan Kennedy, Legal Education as Training for Hierarchy’. Dalam
Kairys, Politics of law, A Progressive Critique, New York. Pantheon Books, 1982, him. 47.)
Kritlk terhadap teori pemisahan hukum dan politik, yang dipaparkan di atas, hanya
merepresentasikan salah satu aspek dari kritlk yang dikembangkan oleh gerakan Critical Legal
Studies yang sangat kompleks.
4.3.8. Aliran Feminisme (Feminisme Jurisprudence)
Feminisme hukum atau lebih dikenal dengan . istilah Feminisme Jurisprudence adalah arus
pemikiran lain yang berkembang dalam tradisi hukum di Amerika. Aliran ini dipandang sebagai
aliran awalnya berada pada payung Critical Legal Studies, namun kemudian aliran ini muncul
30
dan berkembang justru sebagai respon kritis terhadap aliran Critical Legal Studies. (lihat Dalam
P. Goldfarb, From the Words of Others; Minority and Feminist Response to Critical Legal
Studies, New England, Law Review 26; 683-710, 1992; (Lihat K Barlett dan R. Kennedy,
Feminist Legal Theory, Reading in Law and Gender, Oxford Westview Press, 1991; juga lihat
terbitan khusus dua volume New England Review, vol 26 no. 3 dan 4, 1992.)
Feminis dalam hukum mencoba secara fundamental menentang beberapa asumsi penting dalam
teori hukum konvensional dan juga beberapa kebijaksanaan konvensional dalam penelitian
hukum kritis. Goldfarb menunjukkan “banyak pemikiran kaum feminis telah memperlihatkan
patriarchy sebagai suatu ideologi yang lebih mengancam terhadap kehidupan mereka daripada
ideologi hukum, dan telah mengarahkan upayanya untuk mengurangi ideologi patriarchy bahkan
melalui penggunaan ideologi hukum. Kaum feminis sangat dipengaruhi pula feminisme dalam
filsafat, psikoanalisis, semiotik, sejarah, atropologi, postmodernisme, kritlk sastra dan teori
politik. (Lihat Menkel-Meadow, Feminist Legal Theory, Critical Legal Study and Legal.
Education or The Fem-Crits Go toLawSchool, Jurnal of Legal Education, 38:61, 1988.)
Tetapi lebih jauh dan mendasar gerakan ini lebih melihat dan mengambil dari pengalaman-
pengalaman yang dialami kaum wanita selama ini.
Ahli-ahli hukum feminis dengan sangat kritis mencoba melihat bahwa. hukum pada dasarnya
memiliki sejumlah keterbatasan untuk merealisasikan nilai-nilai sosial, bahwa hukum -(baik
pembentukan aturan, maupun substansinya) sangat bersifat phallocentris (yaitu lebih memihak
kepentingan laki-laki), sehingga hukum berjalan untuk kepentingan status quo. Feminisme dalam
hukum juga menolak bagaimana posisi wanita senantiasa dimarjinalkan dalam perjanjian,
pekerjaan dan berbagai kehidupan sosial, kaum feminis melihat bahwa sekalipun para wanita
telah berusaha untuk memperbaiki masa depannya namun tetap saja hukum selalu dibayang-
bayangi oleh ideologi-ideologi-yang lebih maskulin.
Feminisme menolak kritlk aliran Critical Legal Studies tentang hak-hak sebagai. ideologi
represif, yang menyatakan bahwa’ “hal ini sangat berlebihan, karena ketertarikan pada ideologi
hukum mewakili satu-satunya strategi yang secara efektif memilih respon terhadap kebutuhan
31
masyarakat yang subordinat”. Crenshow menyatakan: “oleh karena itu, aspek program kritis
yang paling bermasalah, adalah bahwa kesadaran hak-hak “trashing” dapat mempunyai akibat-
akibat yang tidak diinginkan dari . ketidakberdayaan ditekan secara radikal sementara
meninggalkan supremasi kulit putih yang pada dasarnya tidak dapat disentuh ; (lihat Dragon
Milovanovic, A Primary in the Sociology of Law, dalam Otje Selman & Anthon F. Susanto,
Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung,
2004)
Dengan kata lain pengakuan upaya dialektika ini mengharuskan suatu pendekatan yang lebih
komprehensif untuk memahami pengalaman konkrit wanita dan juga teori dalam hukum yang
lebih komprehensif perlu diintegrasikan. Feminisme telah membuat banyak perbedaan dalam
hukum, banyak penjelasan penting mengenai fungsi hukum yang represif dan ideologi telah dan
terus-menerus dilakukan perombakan. Feminisme Hukum tidak hanya melakukan pencarian
secara komprehensif untuk mengungkap institusi hukum yang represif dan struktur ideologi yang
melegitimasikannya, tetapi juga mencoba menawarkan pendekatan yang cukup kritis dalam
agenda rekonstruksinya.
4.3.9. Aliran Semiotika (Semiotika Jurisprudence)
Tahun 1980-an di Amerika berkembang suatu tradisi lain dalam. hukum yang dikenal dengan
semiotika hukum. (Semiotic Jurisprudence) Semiotika (Semiologi) merupakan istilah yang
berasal dari kata Yunani, ‘semeion’ tanda”, karena itu semiotika sering disebut sebagai ‘study of
signs’ (suatu pengkaiian tanda-tanda), yang oleh Kris Budiman dan Scholes dijelaskan sebagai
studi atas kodekode, yaitu’sistem apapun yang memungkinkan seseorang memandang entitas-
entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna. Lihat Kris Budiman,
Semiotika Visual, Yayasan Seni Cemeti, Yogyakarta, 2003, hlm. 3. Robert Scholes, Semiotics
and Interpretation, New Haven London; Yale University Press, 1982, him, & Menurut Pierce,
semiotika tidak lain merupakan Sebuah nama lain dari logika, yakni doktrin formal tentang
tanda-tanda (the formal doctrine of signs) sedangkan Saussure menyebutkan sebagai-ilmu umum
tentang tanda, suatu ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat (a science
that studies the life of Wwithin society).
32
Sebuah istilah baru yang saat ini masih terus menentukan obyek kajiannya. Semiotika hukum ini
dapat dikatakan sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran semiotika yang dikembangkan
oleh Charles Sander Pierce, Jacques Lacan dan lain-lain. Semiotika Jurisprudence tidak lain
mencoba memadukan analisis-analisis semiotika dan analisis hukum, meskipun pada akhirnya
ada juga pemikiran yang cukup ekstrim dengan mencoba mengembangkan paradigma secara
mandiri. Semiotika hukum ini paling tidak sangat dipengaruhi oleh dua pemikiran besar di dalam
semiotika yaitu: Tradisi Eropa yang lebih memperhatikan pada: Analisis struktural dan semantik,
dan analisis Non-referensial dan tradisi Amerika lebih berakar dalam; pragmatisme, dan teori arti
referensial. Tentang hal ini untuk lebih jelasnya lihat Anthon F. Susanto, Semiotika Hukum, Dari
Dekonstruksi Teks Menuju Progresifitas Makna, Refika Aditama, Bandung, 2005. potensi untuk
perkembangan wacana pengganti, pada bagian ini akan disajikan sejumlah perspektif yang telah
berkembang dalam kajian semiotik.
Dragan Milovanovic mengidentifikasikan semiotik sebagai penelitian tentang kode-kode
linguistik, kodifikasi mengenai sense data premodial, konstitusi subyektivitas dan konsepsi
tentang reafita dalam wacana dan pengaruh-pengaruh konstitutif tentang sistem koordinat
linguistik tertentu. Suatu perspektif semiotik yang menerangkan fungsi-fungsi hukum yang
bersifat fasilitatif, represif dan juga ideologic. Analisis semiotik dapat diintrogasikan dalam
sejumlah perspektif guna mengkonstruksi suatu pendekatan yang lebih holistik. Sejumlah posisi
yang dimasukkan dalam bagian-bagian berikut juga menyatakan potensi untuk perkembangan
wacana pengganti, pada bagian ini akan disajikan sejumlah perspektif yang telah berkembang
dalam kajian semiotik.
Misalnya saja pandangan Semiotika Marxist yang lebih menekankan pada fungsionafis
struktural. Di mana Superstruktur (misalnya praktek-praktek juridico-ideologi dan politik)
dipandang sebagai kekuatan yang sangat menentukan dalam konstitusi subyektivitas, subyek
hukum, prinsip legitimasi dan dalam penetapan wacana dominan (sistem koordinat linguistik)
termasuk wacana hukum. Sekali distabilkan, suatu wacana menawarkan medium di mana subyek
harus menempatkan diri sendiri untuk mengkonstruksi teks dan narasi. Beberapa suara akan
didengar dan yang lain tidak.
33
34
top related