biarkan jilbabku bersemi indah
Post on 03-Jul-2015
150 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Biarkan Jilbabku Bersemi Indah
Oleh :
Alwi Alatas
Prolog
Suasana gelap yang dingin masih bertengger di singasana alam, menanti suksesi pagi
yang kian mendekati kejadian. Ayam-ayam jantan terdengar bersahutan di kejauhan,
melantunkan syahdu seruan adzan kedua. Suasana begitu hening di taman kecil tempat
remaja puteri itu duduk, sementara tidak ada orang lain terlihat di sekitar. Udara subuh
menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan ruh baru pada makhluk-makhluk pagi
yang terampil mengiringi sunnah kehidupan. Tak terkecuali remaja puteri tadi, kendati
keberadaannya di tempat itu untuk sesuatu yang sangat tidak biasa.
Sesekali ia berdiri, berjalan mondar-mandir perlahan. Jilbabnya yang cukup lebar
bergerak-gerak ringan dipermainkan angin pagi. ‘Tidak ada orang lain di tempat itu’,
sehingga tidak ada yang bisa memperhatikan wajahnya yang menyiratkan beban berat.
Ditatapnya langit yang masih sudi menampakkan beberapa perhiasan cahayanya. Ia
membayangkan sebuah tangga ke langit yang bisa menjauhkannya dari dunia dengan
segala problematikanya, atau sepasang sayap yang bisa membawanya terbang tinggi ke
angkasa, tapi …. Ia pun beristighfar karena angan-angan itu. Sesungguhnya setelah
kesulitan itu ada kemudahan dan sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan ….
Sebuah mobil berhenti di luar taman. Seorang remaja putera dan puteri yang
kelihatannya kakak beradik keluar dari mobil sedan tua berwarna gelap itu. Sementara
yang laki-laki menunggu di samping mobil, yang perempuan berjalan memasuki taman.
Begitu bertemu, kedua remaja berjilbab itu saling berpelukan dan menangis. Mereka
saling berdekapan erat seolah takut kehilangan satu sama lain. Kemudian mereka saling
menatap dengan ekspresi wajah penuh tekad.
“Kamu sudah mantap dengan keputusan ini?” remaja yang dari mobil bertanya pada
kawan di hadapannya itu. Yang ditanya hanya mengangguk sambil menahan sisa-sisa air
mata yang masih mengalir.
“Ayah kamu …?”
Suasana hening sejenak.
“Ayah saya cuma Islam. Saya tidak punya ayah yang lebih baik lagi dari itu.”
Keduanya kembali terdiam. Kemudian mereka berjalan menuju sedan tua yang telah
siap menanti. Satu persatu mereka masuk. Sebelum naik ke mobil, remaja puteri yang
tadi menunggu di taman menatap ke arah taman selama beberapa saat, seolah
mengucapkan selamat tinggal … entah pada siapa.
Tak lama kemudian, sedan tua berwarna gelap sudah menderu menjauhi tempat itu.
Begitu mobil menghilang dari pandangan, seorang remaja tanggung keluar dari belakang
kegelapan taman. Remaja lelaki dengan anting-anting di telinganya itu segera berjalan
meninggalkan taman. Tempat itu kembali sunyi, hanya dihiasi aktivitas makhluk-
makhluk pagi yang berlomba-lomba menanti singsingan fajar sambil menghirup sisa-sisa
nafas subuh.
Bab I
Deruman bus pariwisata memecah kesunyian malam. Sekarang sudah pukul delapan
malam, terlambat satu jam dari jadwal. Lima armada bus carteran dari Jakarta itu
akhirnya tiba juga di Cisarua. Bus paling depan, bertuliskan “Rombongan Pesantren
Kilat”, melambatkan jalannya dan berhenti. Empat bus dibelakangnya melakukan hal
yang sama.
“Hore … sampai,” Aisyah, siswi kelas satu, berseru sambil menjitak kepala Eko,
teman sekelasnya yang juga mengikuti acara Sanlat.
“Aduh,” Eko menjerit kaget. “Awas ya Ca, gue bales lo nanti!”
Aisyah memang biasa dipanggil Ica. Ia adalah salah satu siswi paling lincah di
sekolahnya. Kakak-kakak kelasnya yang aktif di Rohani Islam (Rohis) suka geleng-
geleng kepala dan beristighfar kalau mendengar tingkah laku anak yang satu ini.
Sebetulnya sih, anak perempuan di sekolah yang lincah dan suka usil ada beberapa orang,
tetapi cuma Aisyah yang berjilbab. Ya … Aisyah sudah mengenakan jilbab sejak di SMP.
Bagaimana tidak. Kakak-kakak perempuannya semua berjilbab dan aktif di pengajian-
pengajian SMU dan kampus. Ibunya saja pakai jilbab sejak empat tahun yang lalu. Ia
juga nggak mau kalah dong.
Walaupun berjilbab, Aisyah tidak bisa menghilangkan ciri khasnya yang suka usil
dan semaunya. Teman-teman dekatnya yang tidak berjilbab saja tidak ada yang seberani
dia. Karena keusilannya ia dijuluki “Jilus”, Jilbab Usil atau “Jilman”, Jilbab Siluman.
Semua orang di sekolah kenal Aisyah. Mulai dari Kepala Sekolah hingga tukang
siomay dan tukang bakmi di depan sekolah. Mulai dari guru fisika yang killer hingga
tukang sapu sekolah yang pemalu. Ia hanya membutuhkan waktu seminggu untuk
menjadi terkenal di sekolah. Saat itu acara penutupan masa orientasi siswa baru. Seluruh
siswa-siswi sedang berkumpul di lapangan sekolah untuk mengikuti upacara penutupan.
Ketika Kepala Sekolah baru mengucapkan sepatah-dua patah kata, separuh siswa-siswi
kelas satu yang sedang berbaris tiba-tiba lari berhamburan sambil menutupi hidung
mereka. Ternyata ada bau ‘kentut’ yang luar biasa busuk menguasai lapangan upacara
untuk beberapa saat. Beberapa guru yang berdiri di dekat tempat itu bahkan tidak tahan
juga dan terpaksa menyingkir ke pinggir lapangan.
Setelah diselidiki, ternyata itu adalah ulah Aisyah yang melempar sebuah tabung kecil
berisi cairan kimia yang langsung berubah menjadi gas berbau busuk begitu pecah
dilempar ke tanah. Entah dari mana Aisyah mendapatkan tabung yang dinamainya ‘bom
kentut super dahsyat’ itu. Tapi yang pasti, hal itu dilakukannya karena kesal dengan
tugas-tugas orientasi siswa yang aneh-aneh. Masak ia disuruh membawa telor mata sapi
yang putihnya ada di tengah, tempe yang bentuknya bunder kayak bola sepak atau ikan
yang siripnya gede sebelah. Lalu gara-gara tidak membawa tugas-tugas itu ia kena
hukuman harus merayu pohon mangga di belakang sekolah. Aisyah kesal sekali karena
itu semua. Kalau disuruh ngirim surat cinta ke salah satu kakak senior sih nggak apa-
apa, pikirnya, soalnya ada yang cakep juga satu dua orang.
Sekolah marah besar dengan perbuatan Aisyah. Ia dipanggil ke ruang guru dan
hampir mendapat hukuman berat. Tetapi Aisyah membela dirinya. Ia memprotes sekolah
karena diam saja dengan kebijakan panitia orientasi yang aneh-aneh. Kalau panitia
orientasi boleh nyuruh-nyuruh adik kelasnya merayu pohon mangga di belakang sekolah
yang sama sekali tidak ganteng itu, lalu kenapa ia tidak boleh melempar bom kentutnya
pada acara penutupan orientasi. Gaya bicara Aisyah yang nyerocos terus dan lucu itu
membuat guru BP dan wakil kepala sekolah yang menangani kasusnya terpaksa senyum-
senyum. Mereka bisa menerima protes Aisyah, tapi kesalahan tetap kesalahan. Aisyah
tetap harus menjalani hukuman dari sekolah.
Peristiwa itu justru membuat Aisyah populer. Bukan hanya teman-teman
seangkatannya yang geleng-geleng kepala atas aksinya, kakak-kakak kelasnya juga salut
dengan keberaniannya. Selama beberapa pekan ia sempat mendapat julukan “Ratu
Kentut”. Coba bayangkan … seorang remaja puteri berjilbab dengan gelar “Ratu Kentut”,
ironis sekali bukan. Kakak-kakak kelasnya yang aktif di Rohis sempat jengkel dan
menegur Aisyah bahwa itu semua tidak sesuai dengan jilbab yang dikenakannya, tapi
Aisyah hanya cengar-cengir.
Kendati sikapnya yang cuek, Aisyah dan beberapa temannya ikut aktif dalam acara-
acara pengajian yang diadakan anak-anak Rohis. Celetukan-celetukannya selalu
meramaikan suasana dan ia selalu memimpin teman-teman perempuan seangkatannya.
Pada pertengahan tahun ajaran, Rohis mengadakan acara pesantren kilat ke Puncak.
Aisyah tentu tidak ketinggalan. Kini bus yang berjumlah lima buah itu sudah sampai di
jalan masuk ke villa yang hendak dituju. Semua anak bersiap-siap untuk turun dari bus.
Aisyah menarik tangan Nia yang duduk di sampingnya untuk lekas-lekas turun dari bus.
“Kamu ini kenapa sih? Kayak di bus ada bom saja,” Nia mengikuti Aisyah dengan
tergopoh-gopoh.
“Eh … lu tau nggak. Gue tadi nempelin pantatnya si Bimbim gendut ke jok tempat
duduk pakai ini,” kata Aisyah sambil menunjukkan tabung kecil SuperGlue yang tinggal
setengah isi.
“Hah, lu gila ya,” mata Nia terbelalak mendengar itu.
“Sst … jangan keras-keras ngomongnya. Udah yuk kita buru-buru ikuti rombongan
yang paling depan,” kata Aisyah sambil menunjuk ke arah Bang Firman yang menjadi
penanggung jawab acara Sanlat.
“Kok dia bisa nggak tahu Ca?”
“Lu tahu kan, dia itu kalau tidur sudah kayak kebo. Diapain juga nggak berasa, mati
rasa.”
“Lu nggak takut ketahuan?”
“Biarin aja, si Bimbim juga suka jail sama gue.”
Sementara itu di dalam bus sebuah suara menyayat hati terdengar, “Bret.” Jantung
Bimbim seperti naik ke kerongkongannya sesaat ia menyadari ada musibah yang baru
terjadi di bagian celananya. Untuk beberapa detik ia bisa merasakan suhu dingin AC
menggerayangi bagian bawah pinggulnya dan tangannya pun segera melakukan
investigasi.
“Icaaaaaaaaa …… (maaf kata-kata berikutnya disensor).”
Panitia yang mendengar jeritan itu langsung turun tangan membantu. Seluruh peserta
yang masih ada di bus langsung dievakuasi ke luar. Bus untuk sementara tertutup bagi
umum sampai operasi penyelamatan selesai.
“Gunting,” Bang Rudi yang memimpin operasi penyelamatan meminta pada salah
seorang panitia. Ia geleng-geleng kepala melihat besarnya lubang di celana Bimbim.
Cuma bisa diminimalisir supaya tidak lebih parah lagi. Untung anak ini pakai celana
pendek di bagian dalamnya.
Sementara operasi pemotongan celana yang menempel ke jok bus dilakukan, Bimbim
ngedumel dalam hati. Ica brengsek, celana baru diambil kemarin dari tukang jahit sudah
rusak, matanya sedikit mengeluarkan air mata. Kakak-kakak panitia yang melihat mimik
Bimbim yang lucu kalau sedang marah itu malah tersenyum dalam hati. Astaghfirullah,
gumam mereka, seharusnya kita tidak boleh gembira di atas penderitaan orang lain …
tapi … mukanya yang bundar itu lucu banget sih. Akhirnya operasi gunting celana
selesai. Bimbim untuk sementara pakai sarung untuk menutupi celananya yang bolong
sebelum menggantinya di villa nanti.
Adapun Aisyah dan Nia sudah agak jauh di depan, mengikuti Bang Firman menuju
villa tempat acara. Langit di situ masih terbilang bersih, tidak seperti di Jakarta. Bintang-
bintang terlihat berkelap-kelip menghiasi langit ciptaan Allah Yang Maha Agung. Bulan
purnama seolah tersenyum di atas kepala mereka. Sungguh malam yang indah.
“Subhanallah,” Bang Firman memecah kesunyian dengan bertasbih. “Kita harus
pandai-pandai memuji Allah atas segala karunia-Nya. Coba lihat bulan purnama itu.
Besok kita akan mengadakan acara tafakkur alam di lapangan terbuka, di bawah
pancaran sinar purnama dan kerlipan bintang-bintang, bagus sekali bukan?”
“Iya, apalagi kalau ada Bang Firman,” Aisyah nyeletuk agak genit.
“Apa?” Bang Firman menengok ke arah Aisyah.
“Ah, nggak apa-apa kok,” Aisyah lalu cengengesan berdua dengan Nia.
…
Malam itu tidak ada acara khusus yang diselenggarakan panitia. Hanya ada briefing
buat peserta, penentuan kamar-kamar peserta dan satu hal tambahan … peringatan keras
buat yang suka usil dan tidak taat dengan peraturan panitia. Semua peserta tahu kepada
siapa peringatan itu ditujukan, karena mereka sudah mendengar tentang kisah celana
Bimbim yang malang. Bimbim sendiri masih ngambek dan tidak mau mengikuti acara
briefing itu. Sementara Aisyah, pasang wajah innocent sepanjang malam itu. Ia sudah
mendapat teguran panitia, tapi seperti biasa, ia hanya senyum-senyum saja.
Setelah itu, semua peserta masuk ke kamar masing-masing. Lokasi kamar peserta pria
tentu saja dipisah dari lokasi kamar peserta perempuan. Aisyah dan teman-temannya
masih berbincang-bincang untuk beberapa saat. Mereka membicarakan peristiwa seru
yang baru terjadi serta merencanakan aktivitas untuk esok hari. Jam dinding
menunjukkan pukul 22.30. Suara jangkrik dan hewan-hewan malam terdengar bersahutan
dari balik jendela kamar. Satu persatu mata terpejam. Malam semakin larut dan sunyi.
Pepohonan semakin khusyuk berdzikir di luar sana. Untuk beberapa saat, suasana hiruk-
pikuk yang disebabkan kedatangan pelajar-pelajar Jakarta itu menghilang bagai ditelan
bumi. Alam pun tertidur.
Tiba-tiba terjadi kegaduhan. Terdengar suara hiruk pikuk di mana-mana. Aisyah pun
tersentak dari tidurnya. Nia menguncang-guncang tubuh Aisyah.
“Ca … Ca, gawat nih.”
“Ada apa sih?” Aisyah ngucek-ngucek matanya.
“Si Bimbim Ca … Bimbim,” Nia berbicara terputus-putus. Sesekali ia menengok ke
arah pintu kamar. Teman-teman sekamar terlihat berkumpul di sana, kasak-kusuk kayak
tukang gosip.
“Kenapa si Bimbim, dia mau balas dendam ya?” Aisyah agak panik juga melihat
suasana yang tidak biasa itu.
“Bukan … kayaknya dia kesurupan Ca. Suaranya berat kayak orang mabok. Dia
teriak-teriak nyari elu Ca.”
“Hah ….” Aisyah kaget dengan apa yang ia dengar.
Pada saat yang sama suara gaduh terdengar di depan kamar mereka. Anak-anak
perempuan berhamburan ke dalam kamar dengan panik.
“Tutup … tutup pintunya cepat.”
“Aduh, tolong pegangin dong jangan sampai lepas,” anak-anak perempuan itu berseru
kepada panitia yang di luar. Tiba-tiba terdengar hentakan dan suara menggeram. Pintu
kamar sempat terdorong ke dalam. Anak-anak perempuan berteriak-teriak panik. Aisyah
turun dari tempat tidurnya. Rasa takut mulai menghampirinya.
“Ada apa sih?” Aisyah masih tidak percaya dengan informasi yang tadi ia dengar dari
Nia.
“Aduh Ica, elu sih pake jail segala sama si Bimbim. Coba lihat tuh, dia jadi seperti
orang kesetanan gitu. Emangnya lu apain sih si Bimbim?” Beberapa anak perempuan
bertanya pada Aisyah. Dada mereka semua berdegup keras seolah-olah bisa terdengar
dari jarak dua meter. Tiba-tiba pintu kamar berdebam lagi seperti ditendang orang. Di
luar terdengar suara-suara ribut seperti ada perkelahian. Anak-anak perempuan
berhamburan ke jendela dekat pintu untuk melihat apa yang terjadi di luar. Aisyah tidak
ketinggalan. Ia mengintip sebisanya dari kaca jendela yang cukup lebar itu.
Di luar kamar terlihat Bimbim sedang dipegangi dengan susah payah oleh empat
orang kakak kelasnya. Pandangan matanya seperti kosong dan mimik wajahnya agak
menyeramkan buat orang-orang yang melihatnya. Sesekali ia meronta dan menggeram
seperti binatang liar. Beberapa kali terlihat perutnya yang bulat itu maju mundur, ikut
berusaha melepaskan tangan dan kakinya yang dipegangi kuat-kuat.
“Aisyah …, mana yang namanya Aisyah,” Suara Bimbim terdengar berat dan tidak
normal. Tiba-tiba badannya meronta lebih keras. Anak-anak perempuan yang ada di
dalam kamar kembali berteriak-teriak panik.
“Aduh Ca, gimana nih? Kok dia bisa jadi begitu sih?”
“Dia kayaknya memang kemasukan deh. Bimbim itu keluarganya kan masih percaya
mistik. Waktu baru lahir, katanya sih dia dikasih ajian sama kakeknya.”
“Iya tuh, dia pernah cerita kalau dia itu punya semacam pelindung gaib. Kakeknya
yang membekali itu di luar pengetahuan dia. Bisa jadi ia kerasukan jin itu.”
“Atau jangan-jangan itu arwah kakeknya yang marah pada Ica karena sudah
mengganggu cucunya.”
“Kakak-kakak ikhwannya sebetulnya sudah berusaha menangkal jin itu pakai bacaan-
bacaan Al-Qur’an, tapi kok nggak mempan juga ya.”
Aisyah menjadi semakin pucat mendengar semua itu. Ia tidak menyangka,
keisengannya jadi berbuntut panjang seperti ini. Aduh, si Bimbim kenapa pakai manggil-
manggil arwah kakeknya segala sih. Saya harus bagaimana sekarang?
Sementara itu akhwat-akhwat panitia kelas dua dan tiga mulai masuk ke kamar dan
menenangkan para peserta puteri yang sedang dilanda ketakutan. Rupanya tubuh Bimbim
berhasil ditarik agak jauh dari pintu kamar. Tetapi ia tetap dipegangi erat-erat oleh empat
orang panitia ikhwan.
“Mbak … mbak, sebetulnya kenapa sih si Bimbim?” Aisyah memberanikan diri
bertanya pada salah satu kakak panitia.
“Seharusnya kamu yang menjawab pertanyaan itu,” Mbak Sita yang kelas tiga itu
menatap mata Aisyah tajam. Aisyah jadi semakin tidak enak.
“Kelihatannya Bimbim memang kerasukan jin. Tapi kakak-kakak senior belum ada
yang berhasil mengusir jin itu ke luar.” Mbak Sita menjelaskan lebih jauh.
“Wah … jangan-jangan yang masuk itu biangnya jin sehingga sulit diusir.”
Semua komentar-komentar yang ada bukannya menenangkan hati Aisyah, tapi justru
membuatnya makin kalut.
“Mestinya kamu minta maaf saja Ca . Mungkin dengan begitu dia mau berhenti
mengganggu kamu.” Salah satu peserta memberi usulannya.
“Iya Ca, kamu mesti minta maaf Ca,” teman-temannya kelihatannya sepakat dengan
ide yang terakhir ini.
“Wah … jangan begitu. Kalau Aisyah mohon-mohon maaf nanti jinnya malah makin
berani mengganggu,” Mbak Sita berusaha mencegah agar ide itu tidak bergulir lebih jauh.
“Tapi kan, Ica memang sudah berbuat salah sama si Bimbim. Kalau orang salah kan
sudah seharusnya minta maaf.”
“Aduh gimana ya,” Mbak Sita agak bingung memberi penjelasan lebih jauh. “Gini
aja deh, kita serahkan saja dulu sama kakak-kakak ikhwannya. Insya Allah Mbak yakin
akan bisa ditangani.”
Sementara itu beberapa panitia akhwat yang mengintip dari balik pintu kamar
bertanya pada panitia ikhwan yang ada di luar, “Bagaimana?”
“Belum ada hasil.”
Aisyah tiba-tiba memberanikan dirinya. Ia melangkah menuju pintu kamar.
“Ica mau ke mana?” Mbak Sita agak kaget dengan perubahan sikap Aisyah yang
mendadak itu.
“Saya yang membuat masalah Mbak, saya juga seharusnya yang menyelesaikan.”
Aisyah terus melangkah ke luar kamar. Kakak-kakak kelas yang ada tidak berusaha
menghalangi Aisyah.
Aisyah melihat Bimbim yang terduduk tidak jauh dari pintu kamar peserta puteri.
Beberapa ikhwan masih memegangi tangan dan kakinya. Aisyah mendekat takut-takut.
Tiba-tiba tubuh Bimbim seperti hendak menerjang ke depan, tetapi tertahan. Aisyah
sempat terkejut dan mundur beberapa langkah. Tubuh Bimbim kembali tenang, hanya
kepalanya sesekali bergerak-gerak tak beraturan disertai tatapan mata yang kosong.
“Mbah … Mbah, maafin Aisyah ya. Aisyah cuma bercanda kok sama Bimbim,”
Aisyah mulai berbicara, masih dengan perasaan takut.
“Heh … jadi kamu yang namanya Aisyah,” dari mulut Bimbim keluar suara yang
agak menyeramkan dan galak.
“Eh, iya Mbah,” Aisyah memberanikan diri maju selangkah lebih dekat.
Mendadak Bimbim menerjang ke depan dengan cepat. Ikhwan-ikhwan yang sedari
tadi memegangi Bimbim menjadi kaget dan sempat terlepas pegangannya. Tangan
Bimbim mau menyambar ke arah Aisyah, tetapi segera dipegangi lagi. Ikhwan-ikhwan
yang memegangi Bimbim terpaksa bekerja ekstra keras supaya anak kelas satu berbadan
bongsor ini jangan sampai terlepas.
Kejadian yang mengejutkan itu membuat Aisyah shock dan gemetar sekujur tubuhnya.
“Ampun Mbah, ampun. Aisyah janji nggak bakal ngulangin lagi. Aisyah janji bakal baik
sama Bimbim setelah ini. Aisyah nggak bermaksud jahat kok sama Bimbim, tapi yang
Aisyah buat tadi itu memang keterlaluan. Tapi tolong jangan hukum Aisyah ya Mbah.
Aisyah janji nggak nakal lagi Mbah.” Air mata Aisyah mulai mengalir. Semua anak yang
menyaksikan hal itu terdiam. Mereka belum pernah mengalami kejadian seperti ini
sebelumnya.
“Minta ampun kok sama saya, syirik itu namanya. Kalau minta ampun sama Allah
saja, lalu setelah itu minta maaf sama si Bimbim. Ayo minta ampun sama Allah!” suara
Bimbim masih terdengar galak.
“Iya … iya Mbah. Astaghfirullah. Ya Allah ampuni kesalahan hamba ya Allah.
Hamba minta ampun pada-Mu ya Allah. Selama ini hamba punya banyak dosa. Hamba
sudah berbuat jahat pada ….”
“Hi … hi … hi … ha … ha …,” tiba-tiba tubuh Bimbim terguncang-guncang hebat.
Semuanya terdiam melihat hal itu. Aisyah pun tidak meneruskan kata-katanya.
“Aduh, aduh, saya nggak kuat lagi. Hi … hi … hi. Tolong lepas pegangannya. Aduh,
Aisyah nangis. Ha … ha … ha, nggak kuat,” Bimbim melihat Aisyah sebentar yang
masih terbengong-bengong tidak mengerti. “Ampun Mbah, ampun,” Bimbim menirukan
ucapan Aisyah dengan mimik yang lucu, “Ha … ha … ha.”
Sementara itu, ikhwan-ikhwan yang memegangi badan Bimbim mulai melepaskan
pegangan mereka sambil bertatap-tatapan heran. Adapun Bimbim semakin terbahak-
bahak dan mulai berguling-guling di lantai. Aisyah melongo melihat Bimbim seperti itu.
Perlahan-lahan ekspresi wajahnya berubah.
“Bimbim sialan …,” Aisyah baru menyadari bahwa ia dikerjai oleh Bimbim. Hampir-
hampir ia menerjang Bimbim saking marahnya. Untung teman-temannya sigap dan
segera memeganginya. Sementara itu, Bimbim terus tertawa selama lima menit
berikutnya. Ya, hanya ia yang tertawa malam itu. Sementara yang lainnya ada yang
senyum-senyum dan ada pula yang kesal . Tapi Bimbim tidak begitu perduli dengan itu
semua. Ia puas … puas sekali dengan apa yang baru dilakukannya. Kapan lagi bisa
ngerjain Aisyah kayak gitu.
Malam kembali tenang. Namun, tidak ada yang tidur lagi setelah itu, karena waktu
untuk shalat malam telah tiba. Seluruh panitia dan peserta qiyaamul lail bersama-sama.
Sementara itu, Aisyah dan Bimbim disidang oleh panitia untuk beberapa saat. Keduanya
diancam akan dipulangkan kalau masih suka usil dan saling balas mengerjai. Terutama
pada Bimbim, panitia memberi teguran keras karena ulahnya malam itu dianggap sangat
keterlaluan. Tapi Bimbim tetap membela diri, karena setidaknya ia ikut berjasa
membantu panitia membangunkan para peserta untuk qiyaamul lail. Mendengar alasan
itu, beberapa panitia terpaksa menahan senyum. Akhirnya toh keduanya berjanji untuk
“gencatan senjata”. Setelah itu, mereka semua menyusul siswa-siswi yang sedang shalat.
Pepohonan tidak lagi sendirian dalam memanjatkan puji bagi-Nya. Alam mengiringi
ruku dan sujud mereka yang beribadah malam itu dan para malaikat pun mengamini doa
orang-orang yang ikhlas dalam ibadahnya.
…
Keesokan harinya acara berlangsung cukup padat. Semua anak menjalani acara
tersebut dengan gembira, kecuali Aisyah. Ia masih merasa agak jengkel dengan peristiwa
semalam, apalagi kalau ia melihat wajah Bimbim yang nyebelin itu.
Pada malam hari ada acara khusus untuk peserta akhwat. Pengisi acaranya adalah
Ummu Aiman. Para peserta akwat yang kelas satu pada awalnya tidak begitu
memperhatikan, apalagi Mbak Ummu bicaranya agak datar dan perlahan. Beberapa
peserta malah ada yang ngobrol sendiri. Aisyah yang biasanya suka bikin heboh kali ini
diam saja. Ia duduk sendirian di bagian depan. Di sampingnya duduk Nia. Sesekali masih
terlintas difikirannya apa yang baru terjadi semalam. Dosa apa yang gue bikin sampai
bisa seapes itu, benak Aisyah menerawang.
Mbak Ummu diminta oleh panitia untuk bicara tentang perjuangan muslimah. Pada
awalnya, Mbak Ummu bercerita tentang beberapa shahabiyah pada jaman Rasulullah
yang sangat tinggi tingkat pengorbanannya. Sebagian besar kisah-kisah itu sudah pernah
didengar Aisyah. Namun, pembicara kemudian bercerita tentang perjuangan muslimah di
sekolah-sekolah menengah negeri pada tahun 1980-an. Ia bercerita tentang perjuangan
para muslimah dulu dalam memperjuangkan agar jilbab boleh dikenakan disekolah.
“Saya sedih melihat para pelajar muslimah hari ini. Sekarang memang sudah banyak
pelajar muslimah yang mengenakan jilbab, tapi tingkah laku mereka jauh sekali dari
nilai-nilai Islam. Mereka berjilbab, tapi telanjang. Jilbab gaul katanya. Baju mereka ketat
dan transparan. Belahan rok sampai ke paha. Leher mereka terlihat, pusar kadang terbuka,
dan saat menunduk celana dalam mereka ter-ekspose memancing perhatian mata lelaki
jalang,” Mbak Ummu mulai tajam dalam berkata-kata.
Perhatian peserta mulai tertuju pada si pembicara. Kata-kata si pembicara menarik
bukan karena ia seorang orator ulung atau karena ia bicara berapi-api. Kata-kata itu
menarik karena ia keluar apa adanya. Si pembicara berbicara tentang pengalaman-
pengalaman para pendengarnya. Ia berbicara tentang diri mereka, bukan tentang tema-
tema yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan para peserta yang hadir di tempat
itu. Aisyah pun mulai memperhatikan lebih serius. Ia punya firasat kurang enak.
Kayaknya gue bakal kena lagi nih.
“Keberadaan jilbab adalah untuk menutup aurat seorang muslimah. Aurat itu harus
ditutup karena memang ia tidak pantas dipertontonkan oleh seorang manusia yang
memiliki rasa malu serta adab yang tinggi. Allah sendiri yang memberi perintah kepada
setiap wanita, dan juga pria, untuk menutup aurat mereka. Tidakkah kita yakin bahwa
apa-apa yang datang dari Allah pasti benar dan baik adanya? Masih adakah keimanan di
hati kita?”
“Apa artinya jilbab dikenakan kalau bagian-bagian tubuh yang seharusnya ditutup
malah sengaja dibuka? Apa artinya jilbab kalau pakaian kita ketat, transparan dan terbuka
di sana-sini? Apa sebenarnya yang menjadi niat kita dalam mengenakan jilbab, mencari
ridla Allah atau karena mode?” Suara Mbak Ummu meninggi. Semua anak terdiam.
Mereka agak bingung kenapa tiba-tiba pembicara membahas persoalan jilbab. Mengapa
pula pembicara terlihat agak emosional. Namun, para remaja SMU ini mengakui di lubuk
hati mereka bahwa apa yang disampaikan oleh si pembicara benar belaka. Mereka semua
tertegun, tidak ada lagi yang ngobrol atau kasak-kusuk.
“Ada lagi muslimah yang pakai jilbab dan berpakaian cukup sopan, tapi tingkah
lakunya nggak ada bedanya dengan orang-orang jahil. Jalannya lenggak-lenggok seperti
punuk onta. Suara keras bak suara keledai. Kalau tertawa ngakak seolah-olah kematian
tidak akan pernah menjumpainya. Bergaul dengan laki-laki seenaknya seolah tidak ada
batas di antara kedua jenis kelamin. Colak-colek, jalan bergandeng tangan, pacaran
seperti banyak remaja lainnya padahal jelas-jelas tidak ada pacaran dalam Islam.
Terkadang mereka begitu genit, centil, atau tomboy nggak keruan. Apa seperti itu ajaran
Islam? Bukankah tingkah laku semacam itu justru akan menjatuhkan citra Islam sendiri?”
Kali ini Aisyah yang tersentak. Ia merasa semua mata tertuju padanya. Seolah-olah
yang ada dihadapannya adalah hakim yang baru saja menjatuhkan vonis berat pada
dirinya. Aduh, kok jadi begini. Saya kan nggak gitu-gitu banget. Masak bercanda saja
nggak boleh … masak saya disamakan dengan orang-orang jahiliyah, batin Aisyah
meronta. Ia merasa marah, kesal, sakit hati. Tapi kepada siapa ia harus marah? Pada
penceramah? Tapi, di mana salahnya si penceramah?... Ah, … biar gimanapun, dia
nggak boleh nuduh-nuduh seperti itu dong, Aisyah membela dirinya sendiri. Ia merasa
terpojok. Selama ini belum pernah ada yang “menjewer kupingnya” sekeras itu.
Sejenak suasana hening. Rasa tidak suka dan suka, rasa sakit dan kekaguman berbaur
jadi satu. Tentu saja mereka semua merasa digugat lewat kata-kata si pembicara. Namun
pada saat yang sama, kata-kata semacam ini juga yang paling mereka tunggu-tunggu.
Jiwa mereka mendambakan sebuah idealisme yang mampu membakar darah muda
mereka, idealisme yang bisa mengairi parit-parit jiwa mereka yang sebetulnya gersang.
Mereka tercenung, bersiap atas kata-kata berikutnya yang mungkin lebih menyentak lagi.
“Saya minta maaf kalau kata-kata saya terlalu keras. Mudah-mudahan tidak ada yang
sakit hati dengan apa yang saya ucapkan tadi,” Mbak Ummu menurunkan intonasi
suaranya.
“Saya menyampaikan itu semua karena saya sedih dengan fenomena pelajar-pelajar
muslim hari ini, terutama para wanitanya. Saya sedih menyaksikan bagaimana jilbab
telah menjadi sesuatu yang tidak berharga, dilecehkan oleh para pemakainya sendiri.
Kalau saja kalian semua mengetahui bagaimana beratnya perjuangan untuk memakai
jilbab beberapa tahun yang lalu. Dulu, para pelajar muslimah di sekolah-sekolah negeri
sama sekali tidak boleh memakai jilbab….”
Sampai di situ para siswi yang mendengarkan ceramah saling pandang satu sama lain.
Tidak boleh pakai jilbab, kenapa? Masak sih nggak boleh, lalu kenapa sekarang boleh?
Seolah menangkap jalan pikiran siswi-siswi itu, Mbak Ummu melanjutkan keterangannya.
“Iya … nggak boleh. Bukan saja dilarang, mereka bahkan juga dianiaya oleh pihak
sekolah,” Mbak Ummu memperhatikan wajah audience-nya satu-persatu. Semuanya
masih menyimak dengan baik, termasuk Aisyah yang mulai lupa bahwa ia sebelumnya
sempat merasa kesal.
“Ketika itu siswi-siswi berjilbab dipanggil dan ditegur oleh kepala sekolah dengan
alasan bahwa jilbab bertentangan dengan peraturan seragam sekolah yang ada. Mereka
berusaha bertahan karena keyakinan bahwa jilbab adalah sebuah kewajiban agama.
Mereka mempertanyakan jaminan pemerintah bagi setiap warga negaranya untuk
menjalankan keyakinan agama mereka secara bebas sebagaimana terdapat dalam undang-
undang. Namun, sekolah tidak perduli dengan itu semua. Para siswi ini sering disindir
oleh para guru, diusir dari kelas dengan paksa, dilarang masuk sekolah, dan tidak sedikit
juga yang akhirnya dikeluarkan dari sekolah. Dipecat … hanya karena memakai jilbab …
hanya karena selembar kain yang kurang begitu punya arti bagi kebanyakan muslimah
hari ini”
“Bukan cuma sekolah yang memperlakukan mereka seperti itu, orang tua pun tidak
sedikit yang berlaku dzalim pada anak-anak mereka yang mengenakan jilbab …,” Air
mata mulai mengalir perlahan dari sudut mata Mbak Ummu, seolah ia sedang
menceritakan pengalaman pribadinya sendiri. Para siswi yang mendengarkan makin
terhanyut dalam suasana. Mbak Ummu menjelaskan lebih jauh bagaimana para siswi-
siswi muslim dulu banyak yang dibakari jilbabnya oleh orang tua mereka sendiri. Ada
yang dikucilkan oleh keluarganya, diusir dari rumah atau sampai digunduli kepalanya.
Mbak Ummu menceritakan semua kisah-kisah itu dengan begitu menyentuh perasaan.
Siswi-siswi yang ada di tempat itu mulai berkaca-kaca matanya, sebagian ada yang mulai
menangis. Aisyah juga menangis. Ia belum pernah menangis sebelumnya. Ia menangis
bukan cuma karena empati, tapi juga karena merasa malu pada dirinya sendiri.
Agaknya ceramah malam itu merupakan sebuah klimaks buat para peserta siswi. Ada
sesuatu yang baru di kepala mereka, di hati dan di jiwa mereka. Sebuah benih sedang
tersemai dan segera mewujud menjadi tanaman yang baru. Tanaman baru itu pada
gilirannya akan menghasilkan buah-buah yang baik, yaitu amal-amal yang mulia. Semua
akan terwujud asalkan benihnya terus dipupuk dan tanamannya terus disirami dan
dirawat. Seperti itulah peranan da’wah Islam bagi ummat manusia.
Selesai ceramah, Aisyah menghampiri Mbak Ummu.
“Mbak … ada yang ingin saya bicarakan.”
Mbak Ummu pun tersenyum pada Aisyah.
Bab II
“Ting tong,” suara bel menggema di rumah yang cukup besar itu. Seorang ibu muda
bergegas menuju pintu sambil menggendong anaknya yang masih kecil. Pintu dibuka dan
di luar terlihat seorang remaja puteri belasan tahun dengan jilbabnya yang rapi.
“Aisyah rupanya,” Tuan rumah menyambut tamunya dengan senyuman keibuan.
Tamu itu pun tersenyum.
“Iya Mbak Ummu.” Merekapun saling menempelkan pipi tanda ukhuwah di antara
mereka.
“Ayo masuk ke dalam,” Ummu Aiman mempersilahkan tamu yang biasanya suka
bikin gempar itu masuk ke dalam rumah. “Maaf ya masih agak berantakan, soalnya
pembantu yang satu pulang kampung dan si kecil ini agak rewel dari tadi,” Beliau
memberi isyarat ke arah anak berumur sekitar satu tahun yang ada digendongannya.
Anak itu terlihat sudah hampir tertidur.
Aisyah langsung tertarik dan memperhatikan anak itu dari dekat. “Ini yang namanya
Aiman ya Mbak?”
Ummu Aiman tersenyum melihat ekspresi wajah Aisyah yang begitu antusias pada
anak-anak. “Bukan, ini Aisyah, adiknya Aiman yang paling kecil.”
“Oh, anak perempuan ya. Namanya sama dengan saya. Halo adik kecil. Kenalin nih,
Mbak juga namanya sama, Aisyah juga. Tapi Mbak biasa dipanggil Ica, kalau ka …”
“Hwaaaaaa ……,” Tiba-tiba anak itu menangis keras dan membalik badannya ke arah
ibunya. Ummu Aiman langsung mengayun-ayunkan gendongannya untuk menenangkan
si anak.
“Aduh Mbak maaf ya, saya nggak bermaksud …,” Aisyah agak kaget dengan
kejadian itu dan merasa tidak enak. Wajahnya rupanya terlalu dekat pada si kecil tadi.
“Nggak apa-apa kok. Biasa anak-anak kalau sedang ngantuk suka rewel. Aisyah
duduk dulu ya, nanti Mbak pesan minuman sama si Mbok.”
“Jangan repot-repot mbak, keluarin aja semuanya … he … he ….” Aisyah mulai
cengar-cengir.
Ummu Aiman pun masuk ke dalam rumah meninggalkan Aisyah sendirian di ruang
tamu yang tertata dengan rapi itu. Aisyah melihat-lihat seisi ruangan. Tiba-tiba ia teringat
apa yang dikatakan Ummu Aiman di Cisarua pekan lalu tentang ujian berat yang dialami
pelajar-pelajar berjilbab pada tahun ‘80-an. Apakah Mbak Ummu juga mengalami hal itu.
Rasa malu masih berbekas di hati Aisyah mengingat tingkah lakunya yang seringkali
berlawanan dengan pakaian taqwa yang ia kenakan.
“Lho kok berdiri saja. Kenapa nggak duduk?” Ummu Aiman meletakkan jus jeruk
yang dibawanya di atas meja. Si kecil ia titip ke si Mbok untuk ditidurkan. Aisyah pun
duduk. Ummu Aiman masuk sebentar mengambil toples kue dan buah-buahan, setelah itu
ia duduk tidak jauh dari Aisyah.
“Gimana kabarnya, Aisyah?” Ummu Aiman memulai percakapan sambil tersenyum.
“Baik Mbak ….”
“Mbak dengar dari panitia, Aisyah termasuk anak yang selalu ceria. Kalau hati ceria
terus, tubuh juga tentu ikut ceria dan sehat.”
Wajah Aisyah langsung memerah.
“Lho, kenapa diam saja. Mbak sungguh-sungguh loh.”
“Justru itu yang ingin Aisyah bicarakan Mbak. Aisyah ingat ceramah Mbak minggu
lalu. Kalau dipikir-pikir, Aisyah kelihatannya bisa digolongkan ke dalam akhwat gaul
yang Mbak ceritakan itu. Aisyah jadi malu sendiri. Selama ini Aisyah nggak pernah mikir
ke sana loh Mbak. Baru setelah mendengar kata-kata Mbak itu Aisyah jadi tersadar
bahwa tingkah laku Aisyah itu bisa membuat citra jilbab menjadi jelek di masyarakat.”
Ummu Aiman hanya tersenyum mendengar penuturan Aisyah.
“Eh Mbak, Aisyah baru tahu loh bahwa perjuangan jilbab itu dulunya sangat berat.
Aisyah jadi pengen tahu lebih banyak lagi. Selain itu, Aisyah juga mendengar dari kakak-
kakak kelas di Rohis bahwa Mbak Ummu dulu juga termasuk yang pernah mengalami
kasus jilbab. Malah katanya sampai dikeluarin segala dari sekolah.”
Ummu Aiman terdiam.
“Mbak nggak keberatan kan Aisyah nanya-nanya begini?”
Ummu Aiman tersenyum. “Nggak kok Aisyah, nggak apa-apa. Tapi ceritanya
panjang sekali. Benar Aisyah mau mendengarkan?”
Aisyah mengangguk-anggukkan kepalanya dengan penuh semangat.
Ummu Aiman pun memulai ceritanya :
“Nama asli Mbak adalah Wulan. Ayah Mbak aktif dalam dinas militer dan ibu Mbak
aktif di Dharma Wanita. Orang tua Mbak hanya punya dua orang anak, yaitu Mbak dan
kakak Mbak yang bernama Roni. Kendati usia kami berbeda empat tahun, tapi hubungan
kami cukup dekat, seperti layaknya teman. Keluarga kami pada dasarnya merupakan
keluarga yang harmonis, namun sayangnya jauh dari nilai-nilai agama. Ibu dan saya
masih menjaga shalat lima waktu, walau sekedarnya saja, tetapi ayah boleh dibilang
hampir tidak pernah shalat seumur hidupnya. Ayah punya watak yang keras dan ambisius.
Wataknya ini menurun pada Roni, sehingga mereka selalu saja tidak akur.”
“Tidak ada saat-saat yang lebih membahagiakan dibanding ketika Mbak diterima
masuk di sebuah SMA Negeri favorit di bilangan Jakarta Pusat. Kenyataannya,
diterimanya Mbak di sekolah itu memang sebuah anugerah yang luar biasa, karena bukan
saja mutu pelajarannya yang tinggi melainkan juga karena di sekolah itulah Mbak
menemukan hidayah. Ya, hidayah yang sangat mahal harganya, karena Allah tidak
memberikan hidayah itu dengan cuma-cuma. Bersama hidayah itu ada ujian berat yang
harus Mbak hadapi.”
…
“Elu diterima di sini juga Ver?” Wulan agak kaget mendapati teman SMP-nya itu saat
mendaftar ulang di SMA negeri yang baru dimasukinya. Vera juga agak terkejut
sekaligus gembira bertemu dengan Wulan.
“Wah kita jadi sering ketemu lagi dong.” Mereka pun berbincang-bincang lebih jauh
sambil melihat-lihat. Puluhan anak lainnya yang tidak mereka kenal juga sedang sibuk
dengan urusan mereka masing-masing. Ada yang asyik ngobrol dengan teman lamanya.
Ada yang mempersiapkan berkas-berkas administrasi dan ada pula yang clingak-clinguk,
tanpa seorang teman pun untuk diajak bicara.
Hubungan Wulan dan Vera di SMP sebetulnya biasa-biasa saja. Namun, hubungan
yang paling biasa sekalipun bisa menjadi sangat istimewa dalam kondisi-kondisi tertentu
bukan? Itulah yang terjadi pada kedua remaja puteri ini. Banyak peristiwa berat yang
akan mereka hadapi bersama-sama nantinya. Namun saat ini, mereka tidak punya visi
apapun tentang jalan hidup mereka ke depan. Mereka hanya ingin menjalani kehidupan
seperti remaja-remaja puteri umumnya, dengan sedikit perbedaan tentunya. Mereka
termasuk siswi-siswi berprestasi di sekolah sebelumnya dan mereka ingin meneruskan
prestasi itu. Namun sebagai remaja, mereka juga ingin mempunyai banyak teman dan
mengikuti perkembangan mode.
Sekolah dimulai. Seluruh siswa-siswi baru diharuskan mengikuti kegiatan orientasi
alias perploncoan selama sepekan. Ini merupakan saat-saat bahagia buat seluruh anak
kelas dua dan tiga, khususnya panitia OSIS, karena mereka bebas untuk mengerjai anak
kelas satu semau mereka. Sebaliknya buat anak-anak kelas satu, pekan itu adalah “pekan
neraka”.
“Ingat baik-baik!” Ketua panitia orientasi, kak Ade, memulai “pidato”-nya di kelas I-
2, kelasnya Wulan, setelah acara upacara bendera yang dipimpin oleh kepala sekolah.
“Kalian harus mengikuti acara yang ditetapkan panitia dengan baik. Jangan membantah
perintah kakak kelas. Ada dua aturan yang harus kalian camkan baik-baik : Pertama,
senior selalu benar; Kedua, kalau senior salah, lihat aturan pertama.”
“Huuuu …” Siswa-siswi kelas satu memprotes riuh.
“Diam … diam semuanya,” salah seorang panitia bertampang garang berteriak tiba-
tiba. Seluruh kelas terdiam.
“Kalian mau jadi jagoan ya. Ingat baik-baik ya, sepanjang minggu ini kalian tidak
punyak hak sama sekali. Saya ulangi lagi : Kalian tidak punya hak sama sekali! Hak-hak
asasi kalian dicabut. Jadi senior berhak berbuat apa saja atas kalian.”
Siswa-siswi kelas satu hanya bisa mengeluh perlahan dan bisik-bisik di antara mereka
sendiri. Wulan hanya diam saja. Ia belum punya teman satu pun di kelas itu. Ia tidak
sekelas dengan Vera. Sementara itu, panitia mulai memberi instruksi dan tugas buat para
siswa. Wulan mengeluarkan buku tulisnya dan mulai mencatat.
“Jangan khawatir dengan ancaman mereka. Mereka cuma galak di mulut dan senang
main ancam,” teman di sebelah Wulan memulai percakapan dengan suara perlahan.
Wulan menoleh ke arahnya.
“Kenalkan, nama saya Irma,” Siswi yang rambutnya tergerai indah itu menyodorkan
tangannya sambil tersenyum. Kacamata yang bertengger di hidungnya tampak serasi
sekali dengan bentuk wajahnya yang oval. Wulan pun menyodorkan tangannya. Bibirnya
juga menyunggingkan senyum. Senang rasanya punya teman baru.
“Saya Wulan.”
“Hai kamu, yang pakai kaca mata,” tiba-tiba salah seorang panitia yang sedari tadi
memperhatikan ke arah mereka berseru keras. Jantung Wulan langsung berdegup keras.
Irma juga kaget, walaupun tidak setegang Wulan. Seisi kelas memperhatikan ke arah
mereka berdua. Irma mengarahkan telunjuk ke dirinya sendiri untuk memastikan bahwa
dialah yang dimaksud si panitia.
“Iya kamu, siapa lagi? Ngapain kamu ngobrol sendiri? Sudah pintar ya, sampai-
sampai panitia dicuekin. Mentang-mentang cakep.”
“Yang sebelahnya juga tuh. Udah suruh maju aja ke depan,” tiba-tiba panitia yang
lain juga ikut menimpali. Dada Wulan berdegup lebih keras lagi. Ia sama sekali tidak siap
kalau sampai disuruh maju ke depan dan dikerjain di depan seluruh siswa. Irma juga
tampak tegang. Keduanya tidak bergerak sama sekali dari posisi mereka.
Tiba-tiba ketua panitia memberi isyarat pada panitia yang menyuruh Irma maju ke
depan tadi, “Kamu nggak tahu Jim, itu kan adiknya bang Risyad,” bisiknya.
“Oh begitu,” panitia tadi menatap Irma, kali ini dengan pandangan yang berbeda.
“Assalamu’alaikum,” seorang senior masuk ke ruang kelas sambil mengucapkan
salam, yang segera dibalas oleh panitia dan siswa dengan agak kaku. Ia melempar
senyumnya ke seluruh kelas. Sebagai seorang senior, ia kelihatannya jauh lebih simpatik
dibanding yang lainnya. Senior-senior lain kelihatannya juga respek terhadapnya.
“Gimana De,… lancar?” Ia melirik ketua panitia sesaat. Matanya kemudian
memperhatikan anak-anak kelas satu, seolah ada yang sedang dicari-carinya.
“Lancar Nu. Ente mau kasih pesan nggak.”
“Bolehlah sedikit.” Senior itu kemudian memberi pengumuman singkat, “Tolong ya
adik-adik yang muslim jangan lupa mengisi formulir dari Rohis dengan lengkap.
Informasi lebih jauh nanti akan disampaikan panitia.”
“Oh ya, jangan terlalu takut sama panitia, mereka orang juga kok. Wajahnya doang
galak-galak, hatinya sebetulnya baik,” Ia menyambung lagi sambil memperhatikan
panitia yang berdiri di depan kelas. Beberapa panitia tersenyum kecil mendengar itu.
Beberapa lainnya diam saja. Senior itu kemudian permisi ke luar kelas, diiringi salamnya
yang khas, “Assalamu’alaikum.” Wa’alaikum salam.
Kakak yang tadi itu segera menghilang dari pandangan. Anak kelas satu berharap
kalau-kalau ia lebih lama lagi ada di situ. Soalnya, para senior jadi berhenti marah-
marahnya.
“Nah, yang tadi itu namanya Kak Ibnu. Dia itu ketua Rohani Islam di SMA ini.
Prestasi belajarnya juga hebat. Nanti kalian akan tahu lebih banyak lagi tentang ekskul-
ekskul yang ada di sini. Oke, kalau semua penjelasan dan aturan main sudah difahami
dan tidak ada pertanyaan, cukup sampai di sini dulu.” Tidak terlalu lama setelah itu
panitia yang rese-rese itu meninggalkan ruang kelas. Senior yang tadi sempat menunjuk
dan memarahi Irma, datang menghampiri.
“Sori ya tadi. Saya cuma bercanda kok.”
“Nggak apa-apa Kak,” Irma menjawab dengan ramah.
…
Rohani Islam itu apa sih Ir?” Wulan bertanya pada Irma saat melangkah ke luar kelas
pada jam istirahat.
“Oh … Rohis. Rohani Islam itu salah satu ekstra kurikuler yang biasa ada di sekolah-
sekolah. Nanti juga akan ada informasi lebih banyak tentang itu kok. Kakak saya, Risyad
juga aktif di Rohis. Dia sekarang sudah kelas tiga, sudah mulai siap-siap ikut UMPTN.”
“Jadi kamu punya kakak di sini. Pantas kakak-kakak panitia tadi nggak berani
gangguin kamu. Eh … Ir, kakak-kakak Rohis itu kelihatannya berwibawa banget ya. Itu
aja tadi kakak-kakak panitia respek banget sama siapa tuh …, oh iya … Kak Ibnu.”
“Memang begitu Lan, makanya saya pengen banget masuk Rohis. Kamu juga ikut aja
Lan, jadi anggota Rohis.”
“Iya nih, jadi tertarik sama Rohis. Eh … itu si Vera yang saya ceritain tadi. Ke sana
yuk, biar saya kenalin kamu sama dia.” Wulan menunjuk ke arah Vera. Mereka pun
mempercepat langkah mereka.
…
“Begitulah perkenalan awal Mbak dengan Rohis. Mbak bersyukur sekali bisa
bersentuhan dengan teman-teman di Rohis ketika itu. Masa-masa itu merupakan
perkenalan awal Mbak dengan nilai-nilai Islam yang sesungguhnya. Itu merupakan masa-
masa yang sangat indah. Memang banyak rasa sakit di dalamnya, tetapi indah,” Ummu
Aiman bergumam di samping Aisyah. Aisyah memperhatikan setiap kata-kata Ummu
Aiman dengan sungguh-sungguh.
“Sebelum Mbak lanjutkan ceritanya, Aisyah minum dulu ya, takutnya nanti keburu
dingin.”
Aisyah mengangguk dan tersenyum. Mereka pun minum jus jeruk yang telah
dihidangkan. Keduanya merasa bahagia saat itu. Ummu Aiman senang mendapati obyek
da’wah yang begitu bersemangat, begitupun Aisyah senang memperoleh informasi yang
bisa bermanfaat baginya.
Bab III
Bel masuk sekolah berbunyi. Suara siswa-siswi masih ramai terdengar,
memanfaatkan sisa-sisa waktu sebelum guru jam pertama masuk kelas. Tahun ajaran baru
1984/ 1985 baru berjalan dua setengah bulan. Wulan sangat menikmati sekolahnya ini.
Hubungannya dengan teman-teman sangat baik, guru-guru pun menyukainya. Ia memang
tidak termasuk anak yang menonjol apalagi populer, tetapi prestasi belajarnya bagus dan
ia termasuk anak yang rajin. Ia juga tidak segan-segan membantu teman-temannya dalam
pelajaran.
Berbeda dengan Wulan, Irma termasuk anak yang berpengaruh di kelas. Leadership-
nya menonjol dan suaranya selalu didengar oleh teman-teman sekelasnya. Potensinya itu
hampir-hampir membawanya ke posisi ketua kelas, hanya saja ia tidak mau. Akhirnya
yang menjadi ketua kelas I-2 adalah Dodi, sementara Irma sendiri menjadi bendahara.
Kelas Wulan ini punya dua orang maskot. Mereka ditunjuk jadi maskot karena
terkenal lucu dan suka bikin heboh di kelas. Imam dan Wanto, begitu nama mereka,
termasuk anak yang paling banyak mendapat hukuman pada saat orientasi siswa. Mereka
malah hampir berkelahi dengan seorang kakak kelas pada saat itu. Kejadian itu tentu saja
membuat kakak-kakak kelas seluruhnya merasa emosi. Sempat tersebar isu bahwa kedua
anak ini akan “dihabisi” di luar sekolah. Kendati beberapa teman, terutama yang wanita,
membujuk Imam dan Wanto agar mengalah saja dan meminta maaf, tapi kedua anak ini
tidak perduli, karena mereka merasa tidak bersalah.
“Masak gue disuruh sujud di depan si Andre brengsek itu, emangnya dia siapa,”
begitu pembelaan diri Imam.
“Iya, malah waktu gue belain Imam, eh … dia nampar pipi gue, ya gue tampar lagi,”
Wanto menyambung cerita Imam itu.
Teman-teman kelas satu ketika itu sepakat membela Imam dan Wanto, kendati harus
berkelahi di luar sekolah dengan senior-senior mereka. Suasana sekolah jadi tegang sekali,
tapi pihak sekolah sama sekali tidak mengetahui masalah ini. Perkelahian tentu akan
benar-benar terjadi kalau tidak ada intervensi dari sebagian senior untuk menghentikan
konflik ini. Ya, ketika itu anak-anak Rohis turun tangan. Mereka menilai yang salah
bukanlah kedua anak kelas satu tadi dan segera mengajak bicara beberapa senior untuk
mendinginkan suasana. Imam, Wanto dan Andre dipertemukan. Kendati pertemuan itu
sempat memanas, tetapi kedua belah pihak akhirnya sepakat berdamai dan tidak akan
memanjangkan masalah ini lagi. Bagaimanapun juga, Imam dan Wanto merasa perlu
berterima kasih pada Irma, karena batalnya “pertumpahan darah” itu tidak terlepas dari
perannya menginformasikan kejadian tersebut pada kakaknya dan anak-anak Rohis
lainnya.
Anak-anak kelas I-2 sudah duduk rapi di kelas. Tidak lama kemudian Pak Hafidz,
guru Fisika kelas satu dan dua, masuk ke dalam kelas. Ia termasuk guru yang disenangi
anak-anak. Cara mengajarnya enak dan mudah difahami. Ia ternyata tahu cukup banyak
tentang sejarah sains Islam serta ilmuwan-ilmuwan muslim. Badannya tegap dan usianya
masih relatif muda. Pagi ini, ia mengajar tentang Hukum Newton, pelajaran yang sangat
disukai Wulan.
“Pak Hafidz itu cukup dekat dengan anak-anak Rohis loh Lan. Malah anak-anak
Rohis kelas tiga berharap dia bisa diangkat jadi wakil kepala sekolah, sehingga kegiatan-
kegiatan Rohis bisa lebih banyak mendapat dukungan sekolah. Kepala sekolah dan wakil-
wakilnya sekarang ini payah sekali. Agamanya sih Islam, tetapi banyak kegiatan
keislaman justru dihalang-halangi,” Irma bicara perlahan pada Wulan sambil mencatat
pelajaran yang ditulis Pak Hafidz di papan tulis.
“Kalau guru-guru lainnya gimana Ir,” Wulan bertanya perlahan sementara matanya
terus memperhatikan pelajaran yang sedang diberikan.
“Saya paling suka Bu Maria, guru Biologi. Dia itu keibuan sekali dan selalu mau
mendengarkan keluhan anak-anak. Bu Ati, guru Bahasa Inggris, juga enak ngajarnya dan
cukup dekat dengan anak-anak. Eh … ngomong-ngomong kamu sudah selesai bikin PR
bahasa Inggris apa belum Lan. Ada satu nomor yang saya nggak bisa nih.”
“Ida, coba kerjakan soal nomor 3 di papan tulis!” Pak Hafidz tiba-tiba menugasi salah
satu siswi untuk mengerjakan latihan di depan kelas. Ida pun maju ke depan dan mulai
mengerjakan soal yang diminta.
“Pak Hafidz, kita sekali-sekali bikin percobaan dong. Jangan teori melulu,” Imam
tiba-tiba nyeletuk.
“Iya pak, kita coba bikin bom rakitan di lab saja pak,” Wanto ikut nyeletuk yang
segera disambut riuh oleh teman-teman sekelas.
“Tentu saja kita akan praktek di lab. Tapi itu ada waktunya nanti. Sebelum itu, kalian
harus mengerti dulu dasar-dasar ilmunya.”
Tidak lama kemudian bel pergantian pelajaran berbunyi. Pelajaran berikutnya adalah
Sejarah yang sangat membosankan karena gurunya baru tahun ajaran ini mengajar
Sejarah sehingga belum pengalaman sama sekali. Setelah itu, pelajaran Bahasa Inggris
selama dua jam pelajaran. Ibu Ati sangat dekat dengan anak-anak dan suka melucu
sehingga anak-anak tidak merasa bosan dalam belajar.
Hari ini hari Sabtu. Jam pelajaran lebih pendek dari biasanya dan di sore hari ada
ekstra kurikuler. Di sekolah Wulan ini, anak-anak kelas satu dan tiga masuk pagi
sementara anak-anak kelas dua masuk siang. Sejak sebulan yang lalu Wulan dan kawan-
kawan selalu hadir di acara Keputrian, pada hari Jum’at, dan pengajian sabtu sore yang
selalu diisi oleh kakak-kakak kelas III dan II.
Mingu lalu, sepulang sekolah pada hari Sabtu, sambil menunggu acara pengajian,
Wulan ditraktir makan oleh Budi di belakang sekolah. Budi adalah teman sekelas Vera.
Hubungan mereka terbilang dekat, kalau tidak hendak dikatakan pacaran. Hanya saja
Wulan agak menahan diri terhadap keinginan Budi untuk mengikatnya lebih serius.
Wulan menyukai Budi. Itu adalah perasaan yang umum terjadi pada seorang remaja
puteri seperti dia. Namun hatinya ragu, apakah hal ini dibenarkan oleh Islam? Ia masih
ingat bagaimana mereka pertama kali berkenalan.
Siang itu, sepulang sekolah, Wulan pergi ke belakang sekolah bersama Vera untuk
jajan bakso sambil menunggu saat pengajian dimulai. Saat memesan bakso, mereka baru
menyadari bahwa ada dua orang siswa kelas satu yang mengikuti mereka.
“Vera, makan bakso kok nggak ngajak-ngajak sih?” Salah satu siswa itu memulai
percakapan.
“Eh, kamu Bud,” Vera menimpali perkataan teman sekelasnya itu. “Ngapain ke sini?”
“Ya jelas mau beli bakso dong. Bang pesan baksonya dua mangkok!” Ia pun
memesan bakso. Tapi dari gerak-geriknya kelihatan bahwa membeli bakso bukanlah
tujuan utamanya.
“Oh iya Ver, kenalin dong teman kamu. Siapa namanya, Wulan ya?” Ia menyodorkan
tangannya. “Nama saya Budi.” Wulan terdiam sesaat, kemudian menyodorkan tangannya
walau agak ragu.
“Wulan,” katanya perlahan.
“Mau ikut pengajian Rohis ya. Saya juga ikut kok. Kakak-kakak kelasnya baik-baik.”
Setelah itu ia memperkenalkan teman yang bersamanya. Tapi temannya itu tidak banyak
bicara sepanjang pertemuan itu. Mereka berdua rupanya sekelas dengan Vera di kelas I-5.
Setelah pertemuan itu, Budi sering menghubungi Wulan. Wulan sebetulnya tidak
biasa berhubungan dengan anak laki-laki, tapi Budi ini orangnya humoris dan cukup
pandai merayu. Di dalam diri Wulan berkecamuk dua perasaan, antara rasa tertarik
terhadap Budi dan rasa khawatir akan menyakiti perasaan Budi seandainya ia
menolaknya. Ia tidak tahu mana yang lebih dominan mempengaruhi dirinya di antara dua
perasaan ini. Hanya saja yang pasti, hubungan keduanya berlangsung intens, entah lewat
telefon, surat ataupun pertemuan langsung di sekolah. Namun, kalau Budi merasa
semakin optimis dengan kelanjutan hubungan itu, Wulan justru merasakan yang
sebaliknya dan semakin mengurangi interaksinya dengan Budi.
Sejak mengikuti pengajian-pengajian yang diselenggarakan Rohis, Wulan mulai
mengalami perubahan. Perlahan tapi pasti. Ia memang seorang muslimah, tapi saat ini ia
mendapati Islam, agamanya sendiri, seperti benda baru yang belum pernah ia lihat
sebelumnya. Islam seperti sebuah Maha Karya yang indah, suatu konsep yang agung,
yang menyimpan jutaan detil yang pelik dan indah, tapi juga mudah dimengerti.
Islam yang indah itu, selama ini ada di dekatnya, tapi seolah tertutup rapat oleh
kebodohan dan ketidakperduliannya. Kini, selubung kelam itu mulai terbuka sedikit demi
sedikit. Wulan mulai melihat kemilau Islam menyeruak dari balik selubung tadi. Rasa
hausnya pun bertambah, ia semakin ingin tahu lebih jauh tentang Islam. Ia ingin
menyibak lebih banyak lagi tabir yang menghalangi penglihatannya selama ini dan ia
menjadi begitu bersemangat untuk mengamalkan Islam dengan sungguh-sungguh.
Sebenarnya kakak-kakak Rohis yang telah membuka matanya itu bukanlah orang-
orang alim yang menguasai fikih Islam ataupun ilmu agama secara mendalam. Namun,
mereka justru menekankan pembahasan tentang hakekat Islam serta hal-hal prinsipil yang
mendasarinya, sehingga siswa-siswi yang mendengarnya jadi mengerti apa itu Islam yang
sesungguhnya.
Hari Sabtu yang lalu, Bang Risyad memberi pembahasan tentang Ma’rifatullah
‘Mengenal Allah’. Wulan dan teman-teman yang lain jadi menyadari betapa selama ini
mereka tidak tahu apa-apa dan juga tidak mau tahu tentang siapa sesungguhnya Allah
yang telah menciptakan mereka. Betapa angkuhnya mereka selama ini mengabaikan
Allah, padahal Dia tidak pernah mengabaikan makhluk-Nya.
Wulan jadi merasa kerdil. Hatinya merasa miris dengan tingkah lakunya yang tak
bertuhan selama ini. Kalaupun ia shalat, maka itu lebih karena tradisi yang telah
diturunkan oleh ibu dan sebagian familinya. Sementara Allah, tidak pernah ia hadirkan
dalam kehidupannya walau sesaat. Untung ia tidak keburu mati dalam keadaan seperti itu.
Hari Sabtu ini rencananya Bang Lutfi Akbar, mantan ketua Rohis, akan
menyampaikan kuliah tentang Rasulullah s.a.w., Suri Tauladan Ummat. Sebagian besar
siswa-siswi sudah memasuki ruangan kelas yang biasa dipakai untuk kegiatan pengajian.
Kelasnya tidak besar memang, tapi pesertanya juga tidak banyak. Lagi pula, jarang-
jarang bukan acara pengajian diikuti oleh banyak remaja? Kalau kegiatan pesta, mungkin
ceritanya jadi lain.
Di Rohis, Wulan mengenal banyak teman baru. Ada Ani, Dewi, Evi dan lainnya. Di
ikhwannya, begitu biasanya anak laki-laki disebut, ada Firman, Didit, Ridwan, Ali dan
beberapa lainnya. Sementara itu kakak-kakak kelasnya yang akhwat, sebutan untuk
saudara-saudara seiman yang perempuan, juga tidak sedikit yang dikenal Wulan. Yang
paling menonjol di antara mereka adalah Mbak Ida, Mbak Nurul, keduanya kelas III serta
Mbak Titik, Ketua Keputrian periode ini.
Sementara itu Bang Lutfi Akbar memasuki ruang kelas sambil mengucapkan salam
yang segera disambut oleh seluruh siswa-siswi yang ada. Acara dimulai dengan
pembacaan Kalam Ilahi. Setelah itu Bang Lutfi memulai ceramahnya dengan
menyebutkan ayat Al-Qur’an.
“Laqad kaana lakum fi Rasuulillaahi uswatun hasanah … ‘Sesungguhnya pada diri
Rasulullah itu terdapat suri teladan yang baik bagi kalian …’.” Setelah itu ia
menerangkan beberapa keutamaan Rasulullah, kecintaan beliau pada ummatnya serta
kecintaan para Sahabat terhadap beliau. Bang Lutfi juga menerangkan bagaimana
seharusnya seorang muslim bersikap terhadap Rasulullah s.a.w. Namun, kenyataan yang
didapati justru terbalik. Jangankan mengidolakan Rasulullah s.a.w., para remaja sekarang
justru tidak kenal pada Nabi yang luar biasa itu dan malah mengidolakan bintang-bintang
film dan para penyanyi yang kebanyakan kafir terhadap Allah.
Wulan dan teman-temannya merasa tersentil dengan ceramah tersebut. Betapa tidak,
kamarnya penuh dengan poster grup musik The Rolling Stones dan Madonna. Koleksi
kaset-kaset musiknya juga cukup lengkap. Tapi, kata-kata Bang Lutfi benar juga. Apakah
para penyanyi itu memberi contoh yang baik bagi mereka? Jelas tidak. Lalu apakah kalau
sudah mati kelak, para penyanyi itu bisa menolong mereka dari api Neraka? Boro-boro.
Jangankan menolong para penggemarnya, menolong diri mereka sendiri di hadapan Allah
pun mereka tidak bakal sanggup. Sementara Rasulullah s.a.w., beliau tetap ingat pada
ummatnya kendati beliau telah mendapat kenikmatan Surga. Bukankah kata-kata terakhir
beliau sebelum wafat adalah ummati … ummati (umatku … umatku)? Bukankah beliau
bisa memberikan syafaat atau grasi pada umat manusia di akherat nantinya? Ya Allah,
sampaikan salam Wulan untuk Rasulullah s.a.w. Wulan ingin sekali mendapatkan
syafaatnya Rasulullah s.a.w. Jangan lupakan Wulan ya, Wulan berdo’a sendiri pada
Allah.
…
Wulan sedang menatap kaset lagu-lagu Baratnya ketika ibunya memanggil untuk
makan malam. Jam sudah menunjukkan pukul 19.00. Wulan segera turun ke lantai bawah.
Di meja makan sudah duduk Mama dan kakaknya, Roni.
“Tumben, Kak Roni jam segini sudah pulang,” Wulan menyindir kakaknya yang
sering kelayapan itu. Yang disindir malah nyengir. Anting di kuping kiri Roni terlihat
jelas dan membuat Wulan miris. Ia sebetulnya sudah mencoba memberitahu kakaknya itu
bahwa memakai anting tidak boleh bagi laki-laki. Tapi dasar Roni, ia cuma cuek saja
kalau diberitahu.
“Iya nih, lagi jadi anak baik.” Roni menyahut sekenanya.
“Lagaknya, jadi anak baik. Habis ini juga bakal jalan lagi,” Kali ini Mama yang
menyindir. Roni kembali nyengir sambil mencomot tempe bacem yang ada di tengah
meja makan. Masing-masing kemudian menyendok nasi dan sayuran yang ada di meja.
“Papa ke mana Ma?” Wulan bertanya pada Mamanya.
“Biasa …, dia mana punya waktu sih buat kita,” Roni langsung nyerocos.
“Roni!!!” Mama menatap Roni jengkel.
“Emang bener kok Ma. Lagian aneh betul tuh orang, sudah tua masih senang pakai
seragam. Roni aja dulu pengen cepet-cepet buang seragam SMA Roni ke tong sampah.”
“Roni, jangan mulai lagi,” Mama kelihatan marah. Roni pun diam, tapi tetap cuek
sambil meneruskan makan. Hubungan Roni dan Papa belakangan memang makin buruk.
Dua-duanya sama-sama berwatak keras dan kepala batu. Papa orangnya tidak pernah mau
kalah. Kalau ia menginginkan sesuatu, maka hal itu harus segera dilaksanakan oleh
anggota keluarga yang lain. Hanya Roni yang berani menentangnya. Minggu lalu Papa
memukulnya karena Roni membantah kata-katanya. Roni melawannya sehingga terjadi
perkelahian kecil. Tentu saja Roni kalah, tapi kejadian itu membuat mereka semakin
bermusuhan.
Dulu hubungan mereka sebetulnya biasa-biasa saja. Awal pemberontakan Roni terjadi
ketika Papanya memaksakan keinginanannya untuk memasukkan Roni ke sekolah militer
selulus SMA. Ia ingin Roni mengambil karir militer seperti dirinya. Ia tidak perduli anak
sulungnya itu setuju atau tidak.
Masuk militer adalah hal yang paling tidak diinginkan Roni. Paksaan Papanya itu
membuat ia menjadi sangat membenci pilihan untuk berkarir di militer. Ia hampir
berkelahi dengan Papa pada saat itu. Namun, Papa tetap ngotot dan memaksa Roni masuk
sekolah tersebut. Roni memang berangkat, tapi dua bulan kemudian ia kembali pulang ke
rumah setelah tiga kali berusaha melarikan diri dari sekolah tersebut. Ia selalu membuat
masalah. Pihak sekolah akhirnya menyadari bahwa Roni memang tidak mau sekolah di
sana dan mengembalikannya baik-baik pada orang tuanya. Sejak saat itu Roni berubah. Ia
jadi sangat membenci Papa dan jarang pulang ke rumah. Papa toh tetap menyalahkan
Roni atas semua kejadian yang lalu itu.
“Wulan kenapa sih tiap hari Sabtu kok pulang terlambat?” Mama tiba-tiba bertanya.
“Aduh, Mama ini bagaimana sih. Pertanyaannya kok yang itu-itu lagi. Wulan kan
sudah bilang kalau tiap Sabtu Wulan ikut acara pengajian yang diadakan teman-teman
Rohis SMA.”
“Kenapa sih harus ikut acara pengajian segala, buang-buang waktu saja. Kamu kalau
cari teman itu pilih-pilih Lan. Bergaul sama anak-anak pengajian nggak bakal bikin kamu
maju. Cari dong teman-teman yang punya prestasi belajar atau yang bagus kondisi
ekonominya, jadi kamu bisa dapat pengaruh yang positif.”
“Iya Lan. Ngapain lagi, bergaul sama anak-anak pengajian. Ujung-ujungnya paling
pakai jilbab kayak ninja. Lalu ikut lomba MTQ atau malah jadi marbot mesjid,” Roni ikut
menimpali.
Wulan kesal mendengar komentar Mama dan kakaknya itu, tapi ia menahan diri.
Memang mereka sehari-hari sudah jauh dari agama, bagaimana mungkin bisa langsung
memahami pendirian Wulan.
“Mama dan Kak Roni jangan salah, anak-anak Rohis itu prestasinya bagus-bagus.
Banyak di antara mereka yang rangking di kelas. Tahun lalu saja ada dua alumni yang
mendapat beasiswa ke Jerman dari BPPT. Muslim yang baik bukan cuma
memperhatikan urusan akhirat saja, urusan dunia juga penting.”
“Duh ile …, muslim yang baik. Si Wulan ini sudah jadi ustadzah rupanya,” Roni
cengangas-cengenges sendiri.
“…Dan mengenai jilbab, memangnya kenapa dengan jilbab? Itu kan memang ada
dalam Al-Qur’an. Kak Roni jangan suka mencela perempuan yang pakai jilbab, apalagi
sampai bilang kayak ninja segala. Itu kan bikin sakit hati.”
“Lho, memang kayak ninja sih. Mau bilang apa lagi.”
“Sudah … sudah,” Mama melerai mereka.
“Tapi Mama juga kurang setuju dengan jilbab Lan. Kenapa sih harus pakai jilbab
segala. Itu kan pakaian orang-orang Timur Tengah sana. Kita di sini punya ciri khas
sendiri.”
“Nggak begitu Ma. Jilbab itu ajaran Islam, bukan tradisi Timur Tengah. Perintahnya
juga ada dalam Al-Qur’an,” Wulan mencoba meluruskan pendapat Mamanya.
“Tapi itu kan untuk zaman dulu. Sekarang zaman sudah modern, pakaian bervariasi,
mode juga berkembang terus. Masak badan kita harus dibungkus rapet seperti itu. Nggak
bisa. Nggak cocok lagi zamannya.”
“Al-Qur’an diturunkan bukan hanya untuk zaman dulu, tapi sampai hari kiamat. Lagi
pula …,” Wulan belum sempat menyelesaikan kata-katanya.
“Pokoknya Mama tidak setuju, titik! Jilbab itu kuno, ketinggalan zaman. Mama
nggak mau anak Mama pakai jilbab kayak anak-anak pesantren yang bisanya cuma ngaji
saja. Mama ingin anak Mama tampil cantik dan mengikuti perkembangan mode. Jadi
jangan berdebat lagi soal jilbab.”
Wulan cuma bisa diam, padahal ia belum berencana untuk memakai jilbab. Hanya
saja ia merasa perlu untuk membela keyakinannya. Mereka pun melanjutkan makan
hingga selesai. Kemudian melanjutkan aktivitas mereka masing-masing. Wulan percaya
suatu saat nanti pandangan orang tua dan kakaknya akan berubah, walaupun mungkin
butuh waktu agak lama. Tapi sebelum itu terjadi, kondisi seperti apa yang kira-kira akan
dihadapi Wulan? Tak seorang pun tahu.
…
“Wulaaan, ada telefon dari teman kamu nih,” Mama memanggil Wulan yang baru
saja membungkusi kaset-kasetnya di kamar dalam kantong plastik. Wulan bergegas turun
ke bawah.
“Ya halo. Ini siapa?”
“Halo juga. Ini gue Lan,” Suara Budi terdengar di telefon.
“Dari siapa Lan?” Mama yang duduk tidak jauh dari situ bertanya sambil
memperhatikan ingin tahu. Wulan menjauhkan gagang telefon sedikit dari wajahnya.
“Dari Budi Ma.”
“Oh … dari pacar kamu rupanya,” Mama lalu melihat majalah yang sedang
dibacanya sambil senyum-senyum. Pacar…, enak aja, Wulan ngedumel dalam hati. Budi
memang sering menghubungi Wulan lewat telefon, malah pernah datang juga ke
rumahnya beberapa kali, tapi itu kan tidak harus diartikan pacaran. Tapi kalau orang lain
sampai berpikiran begitu nggak salah juga dong Lan? Teman-teman Wulan juga tidak
sedikit yang beranggapan Budi adalah pacarnya Wulan. Wulan memang sedang gamang
dengan masalah ini.
“Lan, kita jalan-jalan yuk. Nggak enak nih malam minggu di rumah aja,” Suara itu
terdengar lagi. Suara yang selalu optimis dan romantis bagi Wulan, bahkan terlalu
optimis.
“Jalan-Jalan? Ke mana?” Wulan tidak pernah malam mingguan dengan lelaki
sebelumnya.
“Kita ke bioskop aja. Ada film bagus. Saya berhasil minjem mobil dari bokap nih.
Nanti saya jemput 20 menit lagi,” Budi menjawab di sebelah sana. Wulan
membayangkan dirinya duduk di mobil berdua-duaan dengan Budi. Nonton film romantis
sambil makan popcorn. Sambil nonton mereka mungkin berpegang-pegangan tangan.
Setelah itu mereka bisa makan di sebuah rumah makan yang agak sepi dan nyaman,
minum segelas jus bersama dengan menggunakan sedotan. Semua cewek-cewek di
sekolah bisa heboh kalau tahu tentang itu semua. Hii, jangan sampee gue kayak begitu,
Wulan bergidik membayangkan semua itu. Dia kan aktif di Rohis, apa kata orang
nantinya. Anak Rohis pacaran. Bisa jadi alamat buruk nantinya.
“Aduh … saya mau di rumah aja deh. Lagi malas jalan-jalan nih,” Wulan mencari-
cari alasan. Mama terlihat sedang memperhatikan Wulan.
“Ayo dong Lan. Kita kan nggak pernah jalan-jalan malam minggu. Sayang waktunya
terbuang percuma kalau cuma bengong di rumah,” Budi berusaha membujuk Wulan.
Sayang waktunya … nggak terbalik tuh. Lagian siapa yang suka bengong kalau malam
minggu di rumah, Wulan bergumam sendiri.
“Nggak ah, jalan sendiri aja deh.”
“Yaah, percuma dong minjem mobil dari bokap …. Kalau gitu, saya main ke sana aja
deh, ke rumah Wulan.”
“Aduh … nggak usah deh, Wulan lagi ada kesibukan nih.”
“Alaaah … sebentar aja Lan. Nggak apa-apa kan,” Budi terus mendesak. Budi kok
jadi makin agresif aja sih, pikir Wulan. Wulan jadi teringat nasehat beberapa kakak
kelasnya yang aktif di Rohis. Mereka bilang bahwa pacaran itu sebenarnya tidak ada
dalam Islam. Wulan juga belakangan mulai mengurangi hubungan dengan Budi. Tapi
agak sulit juga, soalnya Budi sendiri tidak pernah menyerah untuk mendekati Wulan dan
Wulan agak kurang enak kalau menolak Budi secara langsung, takut dia nanti merasa
sakit hati. Wulan jadi menyesal kenapa dulunya dia memberi kesempatan pada Budi. Abis
baru ngerti Islamnya belakangan sih, pikir Wulan. Tapi kayaknya saya harus mulai tegas
sekarang.
“Afwan … eh, maaf deh Bud, saya nggak bisa. Sudah dulu ya,” Wulan langsung
menutup telefon. Perasaannya nggak enak banget harus memutus pembicaraan dengan
cara seperti itu. Ia sebetulnya suka pada Budi, tapi kalau tidak bersikap tegas, Ia takut
hubungannya nanti jadi kebabalasan.
“Kamu kok nolak diajak jalan-jalan sama si Budi Lan?” Mama yang sedari tadi
memperhatikan terus bertanya pada Wulan.
“Mama gimana sih. Anak perempuannya mau diajak pergi malam-malam sama laki-
laki kok malah dikasih. Nanti kalau Wulan diapa-apain gimana?” Wulan agak heran
dengan sikap mamanya.
“Lho, Mama lihat si Budi itu baik kok. Lagi pula kan biasa anak muda sekarang
jalan-jalan dengan pacarnya di malam minggu. Emangnya kamu nggak suka sama dia
Lan?”
“Sudah ah Ma, Wulan mau ke kamar aja, banyak kerjaan,” Wulan pun melangkah
menuju kamar meninggalkan mamanya yang tidak bisa mengerti tingkah laku anaknya
yang berbeda dengan remaja umumnya.
Bab IV
Untuk menjadi muslimah yang baik memang tidak mudah. Dibutuhkan kaikhlasan
yang tinggi dan pengorbanan yang besar. Malam ini Wulan hampir tidak bisa
memejamkan matanya. Hatinya menghadapi dilema dan ia mengalami kesulitan untuk
mengambil sebuah keputusan. Baru sebulan berlalu sejak percakapannya dengan ibu dan
kakaknya mengenai jilbab. Kini ia ingin memakai jilbab. Ia tahu betul resiko yang akan ia
hadapi. Saat ini, Senin malam yang cerah ini, ia akan membuat keputusan penting,
mungkin yang paling penting dalam hidupnya.
Tiga hari yang lalu, Wulan beserta empat orang temannya, Irma, Vera, Ani, dan Dewi
mengikuti acara pengajian khusus yang diselenggarakan kakak-kakak kelasnya di Rohis.
Mereka menginap satu malam di rumah Mbak Nurul. Wulan menerima undangan acara
pengajian tersebut melalui ajakan pribadi dari Mbak Ida, begitu pula keempat teman
lainnya. Wulan sempat ragu untuk mengikuti acara tersebut, apalagi setelah dipesan oleh
Mbak Ida untuk tidak cerita pada guru atau teman-teman yang lain. Namun akhirnya ia
tertarik juga untuk ikut setelah dibujuk oleh Irma. Kegiatan tersebut memang tidak resmi
diadakan oleh Rohis. Namun, Wulan bisa memakluminya, mengingat hubungan Rohis
dan sekolah yang tidak begitu baik. Biar bagaimanapun, Wulan percaya pada kakak-
kakaknya di Rohis. Ia melihat tingginya ketulusan serta semangat pengorbanan mereka
untuk Islam.
Ternyata itu memang bukan pengajian yang biasa. Materi-materi yang diberikan oleh
beberapa alumni itu benar-benar menyentuh perasaan dan menggugah jiwa. Bagaimana
tidak, kecintaan yang baru mulai tumbuh pada Islam dibenturkan dengan persoalan-
persoalan pelik yang dihadapi oleh ummat Islam kontemporer; mata yang baru bangun
tidur sudah harus melihat api melalap bangunan tempat tinggal ummat ini; jiwa yang baru
menggeliat sudah harus tersentak dengan teror yang melanda dari berbagai penjuru.
Wulan tidak pernah menyadari sebelumnya bahwa beragama merupakan sebuah tuntutan
perubahan dan pengabdian total pada Allah dan ajaran Rasul-Nya yang mulia. Ia dan
teman-temannya terbakar oleh api Islam dan lumat bersamanya.
Mereka menyadari sepenuhnya bahwa keislaman mereka selama ini belum kaffah,
belum total. Padahal Rasulullah s.a.w. dan seluruh sahabatnya tidak berislam kecuali
secara kaffah. Mereka mendengarkan penuturan materi dengan seksama dan dorongan
untuk berkomitmen pada Islam semakin menguat dalam diri mereka. Hingga tibalah saat
seorang pengisi materi, Kak Andri, menyinggung masalah jilbab di pertengahan
ceramahnya yang membahas soal akhlaq Islam.
“Apa pendapat kalian mengenai jilbab?” Kak Andri bertanya.
“Katanya sih jilbab itu wajib kak,” Vera mencoba menjawab pertanyaan itu.
“Sekarang coba kalian buka Al-Qur’an, Surat Al-Ahdzab ayat 59.” Dewi kemudian
membuka Al-Qur’an terjemah yang ada di tangannya. Ia lantas membacanya.
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri
orang mu’min, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal. Karena itu mereka tidak
diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
“Jadi, jilbab itu wajib atau ‘katanya’ wajib?” Kak Andri kembali bertanya. Kelima
siswi kelas satu itu terdiam. Selama ini, mereka hanya mengenakan kerudung pada saat
acara-acara pengajian saja.
“Sekarang coba lihat ayat yang lainnya …,”Kak Andri kembali menginstruksikan
untuk membuka ayat Al-Qur’an. Kali ini Surat An-Nuur ayat 31. Para siswi menyimak
terjemahan Al-Qur’an yang dibacakan. Kak Andri memberi penjelasan tentang ayat
tersebut.
“Tapi kak, bagaimana kalau kita memakai jilbab, tapi tingkah laku kita buruk.
Bukankah hal itu malah memperburuk citra Islam,” Ani bertanya.
“Lalu, kapan kita mau berhenti dari perbuatan-perbuatan buruk. Bukankah sebagai
seorang muslim kita harus berusaha membuang semua perbuatan buruk dan
menggantinya dengan akhlaq yang baik? Lagipula, tidakkah dengan mengenakan jilbab,
kita justru akan berfikir seribu kali untuk melakukan perbuatan buruk? Bukankah jilbab
bisa menjadi perisai yang baik bagi kita serta pencegah kita dari perbuatan maksiat? Itu
semua tentu akan terjadi kalau seorang muslimah mengenakan jilbabnya dengan niat
yang lurus.”
“Tapi bagaimana kalau kita merasa tidak siap untuk mengenakannya?” Kini giliran
Vera bertanya.
“Pertanyaannya adalah, bagaimana kalau kamu meninggal sebelum mengenakannya.
Siapkah kamu menerima hukuman Allah berupa azab neraka yang pedih, sementara
neraka dijaga oleh malaikat yang keras dan kasar?” Kak Andri menjawab pertanyaan.
Kelima siswi itu terdiam mendengarkan.
“Ingatlah, setiap helai rambut perempuan muslim akan dimintai
pertanggungjawabannya oleh Allah. Apakah mereka tidak malu memperlihatkan
perhiasan atau aurat mereka pada orang banyak. Banyak muslimah saat ini yang ternyata
telah kehilangan rasa malunya. Ia biarkan tubuhnya terbuka bagi mata jalang lelaki. Ia
biarkan rambutnya dibelai oleh pria yang bukan muhrimnya. Malah ia justru merasa
bangga kalau bisa menggelorakan nafsu syahwat setiap orang yang memandang bagian-
bagian tubuhnya yang telanjang. Inikah yang dinamakan peradaban? Inikah yang disebut
makhluk Allah yang paling mulia? Apakah mereka ini lebih baik dari wanita-wanita
muslimah yang menutup aurat dan menjaga kemaluannya. Silahkan kalian bandingkan
sendiri, mana yang lebih mahal, antara barang obralan yang ada di pasar-pasar kaget
dengan barang yang ada di mall dan pusat perbelanjaan modern. Yang pertama bisa
disentuh dan dicoba semaunya, sementara yang kedua dibungkus rapi dan diletakan
dalam etalase yang bersih. Seperti itu jugalah kedudukan wanita-wanita muslimah di sisi
Allah, rasul-Nya dan orang-orang mu’min,” Kak Andri menerangkan dengan penuh
semangat. Selama pembahasan itu, ia hampir-hampir tidak menatap sama sekali kelima
orang siswi yang sedang mendengarkan ceramahnya. Ia sendiri harus menjaga pandangan
matanya bukan?
“Bagaimana kalau orang tua kita sendiri tidak setuju. Bukankah kita harus taat pada
perintah kedua orang tua kita?” Wulan membuka suaranya. Ia membayangkan seperti apa
jadinya mama dan papanya kalau melihat ia memakai jilbab.
“Laa tho’atan fi ma’shiyatillah, tidak ada ketaatan dalam perbuatan ma’shiyat pada
Allah. Kita memang wajib berbuat baik pada orang tua kita, tapi khusus menyangkut hal-
hal yang dilarang oleh Allah s.w.t., maka kita tidak boleh mentaatinya. Demikianlah
sabda Rasulullah s.a.w.”
Kelima siswi kembali terdiam. Wulan melirik Irma yang sejak tadi belum
mengeluarkan suara. Ia faham bahwa Irma tidak punya keraguan berkenaan dengan
wajibnya jilbab. Keluarganya tentu mendukung sepenuhnya kalau ia ingin mengenakan
jilbab. Tapi bagaimana dengan sekolah? Mereka jelas menentang hal ini.
“Bagaimana Irma, tidak ada pertanyaan?” Kak Andri bertanya perlahan.
“Kak, insya Allah Irma akan pakai jilbab. Irma akan pakai jilbab mulai Senin besok.”
“Subhanallah,” Kak Andri tersenyum gembira. “Apa Irma sudah benar-benar siap.”
“Insya Allah Irma siap Kak. Irma sudah cukup lama menyimpan keinginan untuk
memakai jilbab,” Irma menjawab mantap. Keempat kawannya yang lain tertegun.
Mereka kagum dengan pendirian Irma dan diam-diam juga mempunyai keinginan yang
sama.
Hari Senin kemarin, memang Irma mengenakan jilbab. Anak paling cantik di kelas I-
2 itu menutupi kecantikannya sendiri demi ketaatannya pada Allah. Semua temannya
kaget, tidak terkecuali Wulan yang sebenarnya sudah mendengar rencana itu. Irma
menepati janjinya, pikir Wulan, kapan saya bisa melakukan hal yang sama? Irma sempat
dipanggil oleh guru BP perihal jilbabnya itu. Ia mendapat teguran ringan, tapi belum
mendapat sangsi apa-apa.
Di sekolah-sekolah negeri pada saat itu memang tidak diperbolehkan bagi para siswi
untuk mengenakan jilbab. Sekolah menyandarkan masalah itu pada Surat Keputusan
Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah No 052/C/Kep/D/82, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. SK tersebut mengatur soal seragam sekolah dan karena bentuk pakaian
berupa jilbab atau pakaian muslimah yang menutup seluruh bagian tubuh kecuali wajah
dan pergelangan tangan tidak ada dalam aturan tersebut, maka bentuk pakaian semacam
ini dilarang di sekolah-sekolah negeri. Sejak SK tersebut keluar, tidak sedikit siswi-siswi
yang terpaksa pindah sekolah karena mendapat tekanan dari guru-guru dan kepala
sekolah. Beberapa akhwat senior di sekolah Wulan selama ini terpaksa bongkar pasang
jilbab. Maksudnya, mereka mengenakan jilbab di luar sekolah, tetapi ketika memasuki
halaman sekolah, mereka terpaksa melepasnya.
Kini Irma berani mengenakan jilbab di dalam sekolah. Roknya masih pendek
memang, hanya beberapa senti di bawah lutut. Untuk menutup bagian bawah kakinya, ia
terpaksa mengenakan kaus kaki yang panjang dan tebal. Baru sebatas itulah yang bisa
dilakukannya ketika itu.
Keberanian Irma tentu akan segera menyulut kemarahan sekolah. Tapi haruskah Irma
dan anak-anak Rohis lainnya menyerah, padahal mereka semata-mata hanya menjalankan
keyakinan dalam beragama? Kebijakan sekolah yang satu ini sungguh sulit difahami.
Kini semua anak Rohis seperti menunggu-nunggu terjadinya ledakan yang lebih besar
dari pihak sekolah.
Wulan kembali dari lamunannya. Hatinya merasa mantap kini. Ya, ia akan
mengenakan jilbab yang baru dibelinya sore tadi. Ia pun mengambil wudlu dan shalat dua
rakaat. Ia begitu khusyu’ dalam shalatnya itu, seolah-olah ia sedang menghadapi ujian
yang begitu berat. Ia merasa seperti orang yang sedang mendaki gunung yang sangat
tinggi dan terjal. Selama ini ia hanya berputar-putar di kaki gunung dan bergerak tanpa
arah ke sana ke mari. Kemudian beberapa orang menunjukinya puncak gunung. Mereka
mengajaknya mendaki gunung tersebut untuk mencapai kemuliaan.
Selalu ada dua jalan di dunia, dan prestasi tidak akan pernah diraih oleh orang-orang
yang memilih jalan yang mudah, jalan yang dipilih oleh kebanyakan manusia. Mereka
pun menapaki lereng-lereng yang sempit serta celah-celah gunung yang terjal demi
sebuah keyakinan. Mereka meyakini bahwa inilah jalan yang harus ditempuh setiap
pecinta kebenaran. Mereka meyakini bahwa di puncak sana telah menanti kebaikan-
kebaikan yang sangat banyak. Mereka hanya harus bersabar dan istiqamah dalam
menjalani pilihan mereka itu.
Kini pada saat ia memutuskan untuk mengenakan jilbab, pada saat ia memantapkan
hatinya untuk menutup auratnya sesuai tuntunan Islam, ia merasa telah menggapai sebuah
puncak. Ia berdiri di puncak tadi dan berseru kencang, Isyhadu bi anna muslimiin,
saksikanlah bahwa saya adalah seorang muslim. Saksikanlah bahwa saya akan menjadi
muslimah sejati, mulai hari ini, hingga ajal menjemput. Ia pun menancapkan benderanya
di puncak tersebut. Itu adalah bendera pertama yang ia tancapkan di jalan Islam.
Tapi … pendakian ini masih belum apa-apa. Air mata belum menetes dan darah pun
belum bercucuran. Ia baru mencapai sebuah puncak yang pendek dari gunung yang
menjulang tinggi itu. Ia masih harus melangkah ke atas. Perjalanan berikutnya lebih berat
lagi dan akan menjadi semakin berat. Kini ia harus lebih berhati-hati dalam menjejakkan
kakinya. Duri-duri pepohonan merintangi di kanan-kiri jalan dan hewan-hewan buas
menanti mangsa di depan sana, sementara kekuatannya begitu terbatas. Ia menatap ke
arah puncak gunung yang menjadi tujuannya. Entah apakah saya akan sampai ke sana
atau tidak? Entah apakah jiwa ini cukup kuat untuk menjalani semua ini atau tidak?
Wahai Rabb yang menguasai alam semesta, teguhkanlah kaki hamba dan kuatkanlah
hati ini.
Bab V
Angin berhembus perlahan menyegarkan suasana pagi yang masih mengantuk.
Matahari sudah bersiap-siap menampakkan seluruh tubuhnya. Embun-embun pagi yang
dihimpun sang fajar mulai terurai lagi oleh suhu alam yang meninggi. Hewan-hewan pagi
mulai beraktivitas mendahului bangsa manusia yang kebanyakan masih menggeliat malas
di atas kasur-kasur mereka.
Wulan berjalan lebih cepat dari biasanya. Ia buru-buru keluar dari rumahnya dan
berusaha menjauh dari lingkungan rumah sebelum ada yang melihat penampilan barunya.
Ya … pada selasa pagi yang cerah itu, Wulan tampil sebagai sosok yang baru. Seorang
muslimah yang menutup auratnya dengan jilbab warna putih. Roknya masih pendek, tapi
kakinya ia tutupi dengan kaus kaki yang panjang dan tebal.
Wulan belum memberitahu orang rumahnya tentang komitmennya berjilbab, ia tidak
ingin mengawali hari dengan perang mulut dan konflik. Biarlah waktu yang berbicara.
Mudah-mudahan sekolah dan orang tuanya bisa menerima sikapnya itu. Toh bukan
Wulan yang ingin berpakaian seperti itu, tapi Allah, Dzat yang telah menciptakan Wulan.
Toh Wulan tidak merugikan siapa-siapa dengan pakaian yang seperti itu. Prestasi Wulan
juga tidak akan merosot hanya karena mengenakan jilbab. Wulan justru ingin
membuktikan bahwa jilbab identik dengan kemajuan. Begitu banyak argumentasi
melintas di kepala Wulan sepanjang jalan ke sekolah.
Wulan naik mikrolet yang menuju sekolah. Ia merasa seluruh mata menatap ke
arahnya. Pada masa itu memang hampir tidak ada pelajar sekolah negeri yang
mengenakan jilbab. Wulan merasa agak kaku juga dengan penampilan barunya. Semoga
tidak ada masalah berarti di sekolah nanti.
Sampai di sekolah ia langsung melewati gerbang dan menuju ke kelasnya dengan
cepat. Anak-anak kelas satu yang melihatnya memperhatikan dengan heran. Mereka
terlihat kasak-kusuk setelah itu, entah apa yang dibicarakan. Sampai di kelas, Wulan
langsung duduk di kursinya dan menyibukkan diri dengan buku-buku pelajaran. Ia tidak
berani berspekulasi tentang apa kira-kira reaksi teman-teman sekelas melihat
penampilannya yang baru ini. Kepada beberapa teman ia hanya tersenyum getir. Ia
merasa agak asing pada awalnya. Irma, Vera, Ani dan Dewi yang merupakan teman
dekatnya belum tampak olehnya. Tapi perasaan Wulan sedikit terhibur dengan sikap
beberapa ikhwan di kelas itu yang mulai memperlihatkan dukungan padanya.
“Selamat ya Lan,” Didit dan Ali memberi selamat pada Wulan. Wulan hanya
tersenyum. Beberapa simpatisan Rohis lainnya juga terlihat kagum dengan keberanian
Wulan mengenakan jilbab. Heru, Joko, Arif, Fatmah, Iin, Sari dan beberapa anak lainnya
memperhatikan sembari senyum dari tempat duduk mereka masing-masing.
Tidak lama kemudian, Irma memasuki kelas dengan tergesa-gesa. Matanya langsung
tertuju pada Wulan.
“Alhamdulillah. Kamu pakai jilbab juga Lan,” Irma langsung menghampiri dan
memeluk Wulan. Wulan merasa lebih kuat kini.
“Keluarga kamu ngijinin kamu pakai jilbab Lan,” Irma yang sedikit banyak tahu
tentang keluarga Wulan menatap Wulan. Wulan menggelengkan kepala.
“Mereka belum tahu Ir.”
“Mudah-mudahan mereka bisa memahami,” Irma kembali memeluk Wulan.
Tiba-tiba Dewi dan Ani masuk ke kelas Wulan. Mereka ternyata sudah mengenakan
jilbab.
“Dewi, Ani …. Jadi kalian juga pakai jilbab,” Wulan bertanya setengah terkejut.
Dewi dan Ani mengangguk dengan senyum di bibir mereka.
“Senior-senior kita, Mbak Ida dan Mbak Nurul, juga memakai jilbab mereka hari
ini,” Irma menjelaskan.
“Jadi sudah enam orang yang memakai jilbab di sekolah,” Wulan bertanya dengan
perasaan takjub.
“Besok rencananya Vera dan beberapa kakak kelas dua juga akan pakai jilbab ke
sekolah,” Irma menjelaskan lebih jauh.
“Subhanallah. Jadi makin banyak saja yang pakai jilbab. Mudah-mudahan sekolah
tidak menghalang-halangi kita.” Keempat muslimah itu tersenyum bahagia. Bel jam
pelajaran tiba-tiba berbunyi. Mereka harus mengakhiri kegembiraan mereka untuk
sementara. Dewi dan Ani segera berpamitan untuk kembali ke kelas mereka yang
letaknya di sebelah kelas Wulan dan Irma, yaitu kelas I-1. Semua anak duduk di tempat
mereka masing-masing. Jam pelajaran pertama adalah Bahasa Indonesia yang diajar oleh
Pak Jengki. Nama aslinya sebetulnya Surur. Entah kenapa murid-murid menjulukinya
Jengki.
Pak Surur memasuki kelas dan meletakkan bukunya di meja guru. Matanya tiba-tiba
tertuju pada Irma dan Wulan yang duduknya bersebelahan. Kedua anak ini menarik nafas
dalam-dalam.
“Wah, ada acara pengajian rupanya,” Mata Pak Surur masih menatap ke meja Irma
dan Wulan. Ia melangkah perlahan ke arah meja kedua anak ini. Semua anak
memperhatikan apa yang akan terjadi berikutnya.
“Bu haji habis ikut pengajian ya,” Pak Surur menatap mata Irma. Irma hanya
menunduk, berusaha menunjukkan bahwa semuanya berjalan biasa-biasa saja.
“Bagus sih … tapi sekarang acaranya bukan pengajian lagi. Sekarang pelajaran
Bahasa Indonesia. Jadi tolong dilepas kerudungnya ya, setelah itu kita mulai
pelajarannya,” Pak Surur berkata begitu sambil membalikkan badan, berjalan menuju
meja guru. Ia mengambil buku pelajaran dan bersiap memberikan pelajaran hari itu.
Namun, ia mengurungkan niatnya ketika melihat Irma dan Wulan masih belum juga
mencopot jilbabnya.
“Lho, kok kerudungnya masih dipakai juga. Denger nggak sih apa yang saya bilang
barusan? Kupingnya budeg ya?”
“Maaf pak, tapi kami ingin tetap mengenakan jilbab ini sepanjang pelajaran,” Irma
memberanikan diri untuk menjawab.
“Wah … wah, bu haji kecil rupanya pemberontak kecil juga ya. Kecilnya saja sudah
begini, gimana besarnya.”
Waduh, kami kan cuma mau pakai jilbab, kok malah dibilang pemberontak, Irma dan
Wulan jadi merasa nggak enak.
“Gini aja deh,” Pak Surur melanjutkan perkataannya,” Kalian pilih salah satu, lepas
kerudungnya kemudian kita melanjutkan pelajaran, atau kalian boleh pakai kerudung tapi
keluar dari kelas selama pelajaran saya … atau saya yang keluar.”
Semua anak terdiam, begitu pula Irma dan Wulan. Tidak satu pun dari pilihan-pilihan
itu yang ingin mereka ambil. Suasana hening.
“Gimana, kok diam aja,” Pak Surur kembali bertanya pada kedua siswi yang berjilbab.
Irma melirik Wulan yang tak mampu berkata-kata.
“Kami mau belajar sambil tetap berjilbab pak,” Irma terpaksa menjawab kembali.
“Baik, kalau itu pilihan kalian. Biar Bapak saja yang keluar kalau begitu,” Pak Surur
mengangkat bukunya, bersiap-siap ke luar kelas. Anak-anak kelas I-2 mulai bisik-bisik
satu sama lain. Irma dan Wulan bingung apa yang harus dilakukan. Mereka ingin keluar
kelas saja rasanya agar anak-anak yang lain bisa tetap belajar, tapi entah mengapa mereka
cuma bisa diam saja di tempat duduk mereka.
“Pokoknya selama masih ada yang pakai kerudung di kelas, Bapak tidak akan mau
mengajar. Kalau nilai Bahasa Indonesia kalian nanti jatuh, jangan salahkan Bapak, karena
teman kalian juga yang ngotot pakai kerudung di kelas.” Setelah berkata seperti itu, Pak
Surur segera keluar.
Tidak butuh waktu lama bagi kelas I-2 untuk menjadi gaduh. Sebagian anak
menyalahkan Irma dan Wulan sebagai penyebab masalah, sebagian lagi memberi
pembelaan. Namun, ada juga anak-anak yang tidak perduli. Mereka senang karena
dengan keluarnya Pak Jengki berarti dua jam pelajaran pertama kosong. Mereka bisa
santai.
“Irma sih sama Wulan, pakai kerudung segala. Sekarang kita jadi nggak bisa belajar
deh,” seorang siswi berseru dengan sewot.
“Tapi mereka nggak salah. Memangnya kenapa kalau ada yang mau pakai jilbab, itu
kan kewajiban agama. Lagian apa hubungannya jilbab sama pelajaran, sampai dilarang-
larang segala,” Didit tampil membela.
“Gue nggak mau tahu dengan masalah-masalah agama. Yang jelas kita sekarang
nggak bisa belajar gara-gara mereka pakai kerudung,” siswi yang tadi masih memprotes.
“Iya, apa susahnya sih cuma copot kerudung, nanti kan bisa dipakai lagi. Lagian hobi
amat sih ngebungkus badan, kayak ninja aja,” siswi disebelahnya ikut nyerocos ketus.
“Eh nenek gerondong, jangan bawel ya,” tiba-tiba Imam yang duduk di depan berdiri
sambil menunjuk ke arah kedua siswi di belakang itu.
“Busyet, ngomong kok ketus amat sih, kayak toa rusak aja,” Wanto ikut menimpali
mendukung Imam. Kedua siswi yang sewot tadi diam seribu bahasa.
“Biar gimana juga, Irma dan Wulan nggak bisa disalahin. Mereka kan berpakaian gitu
kan karena keyakinan agamanya, kenapa harus dilarang. Memang si Jengki itu aja yang
suka cari gara-gara,” Imam kembali berkata pada teman-temannya sekelas.
“Pokoknya kita musti bela teman sekelas kita. Kita musti kompak. Jangan mau teman
kita diperlakukan seperti itu padahal dia nggak salah,” kata Imam lagi
“Tapi kan seragam sekolah tidak membolehkan siswi pakai jilbab,” seorang anak
bertanya.
“Peraturan seragam itu kan buatan manusia, sementara jilbab itu perintah Tuhan bagi
setiap perempuan muslim,” kali ini Didit yang memberi penjelasan.
“Tapi kan Pak Surur juga beragama Islam. Kok dia menentang jilbab,” seorang anak
yang lain kembali bertanya.
“Memang iya, tapi Islam KTP … Abangan,” anak yang lain lagi ikut menimpali.
Tiba-tiba Irma berdiri. Semua anak terdiam, memperhatikan ke arahnya.
“Teman-teman, saya minta maaf kalau ini semua harus terjadi. Kami sama sekali
tidak berkeinginan pelajaran menjadi terbengkalai gara-gara kami. Namun untuk
melepaskan jilbab, lebih tidak mungkin lagi bagi kami, karena ini adalah sebuah
kewajiban agama. Mungkin lebih baik kalau kami keluar saja dari kelas, supaya Pak
Surur bisa kembali mengajar di kelas,” Irma menggandeng tangan Wulan, mengajaknya
bersiap-siap keluar kelas.
“Lho, jangan gitu Ir. Kamu nggak salah. Kenapa harus ngalah dan keluar kelas?”
Vincent yang beragama Kristen berusaha menahan mereka.
“Iya Ir, lagian enak kan nggak ada pelajaran,” kata seorang anak yang duduk di
belakang.
“Huuuu ….” Anak-anak yang lain menimpali.
Tiba-tiba kelas diketuk. Pesuruh sekolah masuk ke dalam kelas.
“Dik Irma dan Wulan dipanggil ke ruang kepala sekolah,”.
Semua anak kembali diam. Perasaan Irma dan Wulan tambah tegang. Mereka
kemudian pamit pada teman-temannya. Pasti masalah jilbab lagi, pikir mereka.
“Tabah ya Ir … Lan,” Didit berusaha menenangkan kedua temannya itu, “Kita pasti
bantu deh.” Irma dan Wulan hanya mengangguk kecil, kemudian melangkah ke luar kelas.
Wulan hanya diam sepanjang perjalanan menuju ruang kepala sekolah. Belum sampai
satu jam pakai jilbab sudah seperti ini. Gimana kalau ortu sampai tahu, Wulan melamun
sendiri. Ah ini merupakan ujian dari Allah. Kamu harus tabah Lan.
Mereka berdua akhirnya sampai. Pak Subarjo, kepala sekolah, duduk di belakang
meja. Di sampingnya ada Pak Indra, wakil kepala sekolah urusan kesiswaan, yang duduk
menemani. Akhwat-akhwat lainnya yang memakai jilbab ternyata sudah ada di situ juga.
Ternyata semuanya dipanggil, pikir Wulan, termasuk Mbak Ida dan Mbak Nurul.
“Assalamu’alaikum, selamat pagi Pak,” Irma mengucapkan salam sambil mengetuk
pintu.
“Ya masuk,” Pak Subarjo mengamati keduanya sambil memegangi kacamatanya
yang agak tebal. Hampir bersamaan dengan itu Ibu Latifa, guru BP, masuk juga ke
ruangan.
“Kemarin satu orang, sekarang enam orang, besok berapa orang lagi yang bakal pakai
jilbab? Cepat sekali virus jilbab ini menular,” Pak Subarjo memulai perkataannya, entah
ditujukan pada siapa. Siswi-siswi berjilbab itu hanya diam saja. Siswi kelas satu yang
empat orang menengok pada kakak-kakak kelas mereka, Mbak Ida dan Mbak Nurul.
“Kenapa kalian memakai jilbab di sekolah, padahal kalian tahu hal itu dilarang oleh
peraturan sekolah?” Pak Subarjo menatap keenam siswi berjilbab di hadapannya.
“Kenapa jilbab dilarang oleh sekolah Pak, padahal jilbab itu diwajibkan dalam
agama?” Mbak Ida balik bertanya.
“Eh, malah balik bertanya,” Pak Subarjo terlihat jengkel. Semuanya terdiam. Jantung
Wulan berdegup keras, mungkin teman-temannya juga mengalami hal yang sama.
“Jangan kurang ajar kamu Ida,” Pak Indra menatap Ida dalam-dalam.
“Saya tidak bermaksud kurang ajar Pak. Saya cuma mempertanyakan kenapa jilbab
harus dilarang di sekolah,” Mbak Ida memberanikan diri menjawab, mewakili akhwat-
akhwat yang lain.
“Pokoknya peraturan sekolah sudah jelas. Selama berada di lingkungan sekolah,
kalian tidak boleh pakai jilbab ataupun bentuk seragam lainnya yang berbeda dengan
seragam yang sudah ditetapkan. Mengerti!” Suara Pak Subarjo agak meninggi. Ida
sebetulnya masih ingin menjawab, tapi ia memilih untuk diam.
“Hari ini kalian masih diberi toleransi. Bapak percaya kalian pada dasarnya anak-
anak yang baik dan mau mentaati peraturan. Tapi kalau besok kalian masih mengenakan
jilbab ke sekolah, kami para guru terpaksa bertindak tegas. Camkan ini baik-baik.
Sekarang kalian boleh kembali ke kelas,” Pak Subarjo memberi isyarat pada keenam
akhwat untuk meninggalkan ruangannya. Mereka pun segera kembali ke kelas. Di luar
ruang kepala sekolah, sebelum mereka berpisah, Mbak Ida memberi isyarat. Pulang
sekolah kita berkumpul dulu di mushola. Kelima akhwat yang lain mengangguk. Mereka
pun berpisah.
…
Siang terasa terik sekali. Sinar matahari seolah hendak membakar apa-apa yang ada
di bawahnya. Rapat guru baru saja dimulai. Pak Subarjo langsung ke inti permasalahan.
“Saya minta maaf pada Bapak Ibu guru sekalian karena harus rapat mendadak siang
ini. Ada hal penting yang harus segera kita bahas. Beberapa siswi sekolah ini telah
melakukan pelanggaran peraturan sekolah dalam hal pakaian seragam. Hari Senin
kemarin ada satu siswi yang mengenakan jilbab di sekolah … siapa namanya pak …?”
pak Barjo menoleh ke pak Indra.
“Irma.”
“Ya Irma. Masih kelas satu lagi. Hari itu juga dia ditegur oleh guru BP. Eh, bukannya
lepas jilbab, malah pagi ini, lima orang siswi lainnya juga pakai jilbab, termasuk Ida dan
Nurul, siswi kelas tiga. Saya menduga, siang ini pun bakal ada yang pakai jilbab juga dari
siswi kelas dua.”
Semua guru terdiam memperhatikan perkataan pak Barjo. Dua tahun lalu juga ada
kasus yang sama di sekolah ini, tapi setelah ditegur dan ditekan sekolah, siswi tersebut
mengalah dan mau mencopot jilbabnya selama belajar di sekolah. Isu jilbab saat ini
memang sedang ramai di sekolah-sekolah negeri.
“Kalau hal ini dibiarkan terus, akhirnya makin banyak yang berani melanggar
peraturan. Nama sekolah bisa buruk dan kita akan mendapat teguran dari Kanwil dan
Depdikbud. Kita harus kompak dalam menyikapi pelanggaran ini seandainya mereka
tetap membandel dengan kerudungnya. Itu yang akan kita bahas hari ini, saya mohon
tanggapan guru-guru sekalian.”
“Saya setuju dengan Pak Barjo. Kita harus bersikap tegas terhadap siswi-siswi ini
atau mereka akan semakin kurang ajar,” pak Surur memberi tanggapan, “Mereka berani
sekali menentang guru, padahal jelas-jelas mereka yang salah. Kita ini kan bukan sekolah
agama, masak pakai kerudung di kelas kayak lagi denger pengajian aja.”
“Betul sekali Pak Surur dan saya sangat berterima kasih atas sikap tegas Pak Surur
terhadap para siswi yang memakai kerudung. Siapa saja yang melanggar peraturan
seragam sekolah harus dikeluarkan dari kelas.”
“Lantas kalau mereka tetap ngotot memakai kerudung bagaimana Pak?” seorang guru
lain bertanya.
“Kita akan beri hukuman bertahap. Pertama, kita panggil orang tuanya. Kalau masih
tetap tidak ada perubahan, maka terpaksa kita “rumahkan” sampai siswi bersangkutan
mau turut dengan peraturan sekolah.”
“Tapi Pak, itu sama saja artinya kita mengeluarkan siswi-siswi tadi dari sekolah,” ibu
Maria yang sedari tadi hanya diam memperhatikan, mulai mengkritisi sikap kepala
sekolah.
“Itu bentuk hukuman paling berat yang akan kita terapkan terhadap mereka. Ingat!
Melanggar peraturan sekolah secara terus menerus sama saja artinya dengan merongrong
kewibawaan sekolah. Semua siswa harus tunduk pada peraturan sekolah yang ada. Kalau
mereka tidak setuju dengan peraturan yang ada … maka mereka bisa memilih sekolah
lain yang sesuai dengan keinginan mereka,” pak Barjo memberi penekanan pada kalimat
terakhir.
“Apa itu tidak berlebihan Pak. Saya pikir, mereka sama sekali tidak mengganggu
jalannya pelajaran. Mereka sendiri termasuk siswi-siswi berprestasi. Apa salahnya kalau
mereka ingin mengenakan pakaian sesuai dengan keyakinan mereka,” ibu Maria berusaha
membela. Mungkin kedekatannya dengan anak-anak Rohis yang membuatnya seperti itu,
kendati ia sendiri tidak memakai jilbab.
“Bu Maria,” pak Barjo menatap ibu Maria dalam,-dalam, “Pelanggaran tetap
pelanggaran dan tugas kita adalah meluruskan serta memberi hukuman atas setiap
pelanggaran. Hanya dengan cara ini sekolah bisa menegakkan wibawa serta
mempertahankan prestasi.”
Pak Barjo berhenti berkata-kata. Pandangan matanya menyapu seluruh guru yang ada
di ruang rapat. Guru-guru pun hanya diam memperhatikan.
“Jadi, itulah yang akan kita lakukan terhadap siswi-siswi berjilbab ini. Kalau ada
siswi berjilbab di kelas maka perintahkan ia untuk mencopot jilbabnya atau pergi ke luar
dari kelas. Tidak ada lagi guru yang boleh bersikap lain dari ini. Langkah lebih jauh
untuk menghadapi siswi-siswi ini merupakan tanggung jawab kepala sekolah serta
wakilnya. Sekian saja rapat kita kali ini. Terima kasih.”
…
Wulan dan Irma berjalan menuju mushola kecil yang ada di belakang sekolah. Di
sana sudah berkumpul banyak ikhwan dan akhwat. Mushola yang sudah kecil itu menjadi
semakin sempit karena harus diberi pembatas antara ikhwan dan akhwat. Walau kecil,
siswa-siswi Rohis yang memakmurkannya cukup banyak dan memiliki militansi yang
sangat tinggi.
Setelah pertemuan dibuka dengan ucapan basmalah, Mbak Ida melaporkan peristiwa
yang terjadi pagi itu pada seluruh ikhwan dan akhwat yang hadir. Semuanya
mendengarkan dengan seksama penuturan Mbak Ida. Bang Lutfi, Bang Risyad dan
ikhwan-ikhwan lainnya mendengarkan dari balik kain pembatas. Setelah Mbak Ida
selesai bercerita …
“Lalu bagaimana sikap antunna sekalian, bongkar pasang jilbab lagi mulai besok atau
berjuang terus sampai jilbab dibolehkan?” Bang Lutfi mengingatkan seluruh akhwat itu
tentang pilihan yang pada akhirnya harus mereka buat.
Para akhwat saling bertatap-tatapan. Ini sungguh pilihan yang sulit. Kalau mereka
mengalah, mereka tidak akan menerima sangsi apapun dari sekolah dan bisa belajar
kembali dengan tenang. Namun, kapan jilbab boleh dipakai oleh para siswi di sekolah-
sekolah negeri. Sebaliknya, kalau mereka memilih untuk mempertahankan jilbabnya,
mereka mungkin akan mendapat teror dari sekolah, bahkan bisa dikeluarkan. Lalu,
apakah ada jaminan bahwa perjuangan mereka itu tidak akan sia-sia? Sungguh suatu
pilihan yang sulit. Tidak sedikit hati yang merasa gentar dan ragu menghadapi pilihan
yang pelik itu. Mbak Ida sendiri kelihatannya mantap untuk terus maju, tapi ia seperti
menunggu respons teman-temannya.
“Ikhwannya insya Allah selalu siap membantu sekuat tenaga. Tapi biar
bagaimanapun, yang pakai jilbab tetap antunna sekalian, bukan ikhwan. Jadi kalau
akhwatnya nggak siap, percuma saja,” Bang Risyad ikut berbicara.
“Boleh saya berbicara,” Mbak Nurul tiba-tiba buka suara. Seluruh akhwat
memandang ke arahnya.
“Silahkan,” sambut Bang Lutfi.
“Ikwan dan akhwat sekalian, Kita dulu sama-sama tidak mengenal Islam dengan baik,
sama-sama bodoh dan tidak perduli dengan agama yang haq ini. Kemudian di sini, kita
sama-sama mempelajari Islam dengan sungguh-sungguh sampai kita memperoleh
pemahaman Islam yang jernih, Islam yang putih cemerlang, malamnya bagai siang yang
terang benderang. Kita berjalan menuju Allah hingga hidayah memasuki hati-hati kita
dan kita merasakan keimanan itu sebagai sesuatu yang indah. Kita kini mengenal Allah
yang telah menciptakan kita, mengetahui apa-apa yang disukai-Nya dan apa-apa yang
dibenci-Nya; mengetahui apa-apa yang diperintahkan-Nya dan apa-apa yang dilarang-
Nya. Kita sama-sama telah berkomitmen untuk berjalan di jalan-Nya, menuju kepada-
Nya saja, atas dasar kecintaan yang mendalam. Lantas setelah pemahaman kita akan
perintah dan larangan Allah, akankah kita menutup mata dan pura-pura tidak tahu?
Setelah hidayah bersemi di dalam jiwa, akankah kita mencampakkannya kembali begitu
saja,” Mbak Nurul menuturkan perkataannya satu demi satu. Semua yang hadir tertegun
dan mulai teringat kembali dengan komitmen keislaman yang telah mereka bangun
selama ini. Mbak Nurul memang selalu serius dalam menyampaikan pendapatnya.
“Kita juga sama-sama membaca sirah Rasulullah s.a.w. Kita tahu bahwa Islam tidak
akan tegak seperti sekarang ini melainkan karena pengorbanan dan kesungguhan
generasinya yang pertama. Kita tahu bagaimana pengorbanan para sahabat bagi agama
Allah ini. Mereka bukan hanya mengorbankan waktu, harta, dan tenaga mereka, tapi juga
darah dan nyawa mereka. Bilal harus ditindih dengan batu di siang terik. Khabab
dipanggang punggungnya dengan api. Sumayyah, ibunda Ammar bin Yasir, ditusuk
hingga syahid.
Abu Bakar pernah dipukuli dan diinjak-injak banyak orang sampai hidungnya
hampir-hampir tidak terlihat lagi dan dikira mati. Namun, ketika Abu Bakar ditanya
keadaannya oleh Rasulullah s.a.w., beliau justru menjawab sambil tersenyum,’ Ini
hanyalah pukulan kecil dari kafir Quraiys ya Rasulullah.’ Bukankah Rasulullah sendiri
pernah diminta untuk menghentikan dakwahnya oleh paman yang dicintainya, kemudian
beliau menegaskan tidak akan berhenti berda’wah sampai Allah memenangkan Islam
atau beliau sendiri mati dalam memperjuangkannya?”
Beberapa akhwat mulai menangis. Mbak Nurul sendiri terlihat berkaca-kaca matanya.
Ia menguatkan dirinya untuk melanjutkan lagi kata-katanya.
“Setelah semua ujian yang menimpa para sahabat dan salafus shalih sepanjang
sejarah, apa lagi yang membuat kita ragu untuk berkorban buat kejayaan Islam.
Bukankah pengorbanan kita masih jauh lebih kecil dibanding mereka? Sampai kapan kita
akan bongkar pasang jilbab di sekolah. Mengapa kita harus mengalah terus? Bukankah
kita berdiri di atas kebenaran? Bukankah kita hanya menjalankan kehendak Allah? Saya
sudah tidak tahan lagi membiarkan rambut saya dan bagian tubuh lainnya terbuka di
depan umum. Rasanya … seperti kita ini disuruh telanjang dan ditontoni orang banyak,”
sampai di situ tangis Mbak Nurul pecah tak tertahan lagi, tak terkecuali seluruh akhwat
yang hadir.
“Allahu Akbar …,” seorang ikhwan meneriakkan takbir dengan penuh semangat,
diikuti oleh yang lainnya. Untuk beberapa saat, hanya suara sesenggukan tangis yang
terdengar. Perlahan-lahan suara tangisan mereda. Bang Lutfi memberi kata penutup.
“Kalau begitu, kita semua akan memperjuangkan ini sekuat kemampuan kita. Semoga
Allah menguatkan kita semua dalam berjihad di jalan-Nya. Sekarang kita bisa kembali ke
rumah masing-masing. Setiap kejadian mulai sekarang supaya dilaporkan ke saya sendiri
atau akh Risyad. Mari kita akhiri pertemuan hari ini dengan doa penutup majelis.”
Subhanakallahumma ….
Tidak sampai setengah jam setelah itu, Wulan sudah berjalan mengendap-endap di
samping rumahnya. Ia baru saja pulang dari sekolah. Di sudut rumah yang sepi, ia
mencopot jilbabnya yang berwarna putih itu. Aman, tidak ada yang melihat, gumamnya
dalam hati. Ia pun masuk ke dalam rumah.
…
“Bagaimana sekolahmu hari ini,” Ayah Wulan bertanya tanpa mengarahkan
pandangannya pada anak bungsunya itu. Wulan dan kedua orang tuanya sedang duduk di
meja makan, menikmati makan malam. Roni entah pergi ke mana. Ayah dan Roni tidak
pernah duduk semeja lagi setahun terakhir ini.
“Baik-baik saja Pa,” Wulan menjawab perlahan. Ia juga tidak melihat ke arah
ayahnya.
“Prestasi Wulan sejauh ini bagus Pa. Sudah ada beberapa ulangan dan nilai Wulan
selalu bagus,” Mama ikut memberi komentar.
“Papa dengar Wulan ikut kegiatan pengajian di sekolah,” Papa kembali bertanya,
seolah tidak memperhatikan keterangan mama, “Apa saja yang dipelajari di sana?”
Wulan terdiam sesaat. Kenapa papa tiba-tiba bertanya tentang pengajian sekolah. Ia
belum sempat menjawab ketika ayahnya menyambung perkataannya.
“Kamu hati-hati, jangan sembarangan ikut pengajian. Sekarang sedang marak
pemikiran Islam radikal, Islam politik. Mereka menjadikan agama sebagai kamuflase saja,
tujuan sebenarnya adalah mengganti ideologi negara dengan ideologi Islam. Pria-prianya
biasa memanjangkan jenggot dan para wanitanya mengenakan kerudung panjang, malah
pakai cadar segala. Kamu jangan sampai terlibat dengan gerakan-gerakan seperti itu.”
Gerakan politik? Wulan cuma ikut pengajian biasa kok, diajari mencintai Allah, cinta
Rasul dan cinta orang tua. Kenapa jilbab begitu ditentang sih? Padahal itu kan perintah
Allah di dalam Al-Qur’an. Papa sih nggak pernah baca Al-Qur’an. Wulan hanya diam
saja sembari menatap ibunya. Ibunya pun tidak berkomentar apa-apa. Setelah itu tidak
ada apa-apa lagi. Hanya suara sendok beradu dengan piring serta mulut yang sibuk
mengunyah makanan. Wulan bersyukur ayahnya tidak bertanya-tanya lebih jauh.
Bab VI
Matahari baru menampakkan sebagian sinarnya. Waktu sudah menunjukkan pukul
6.30. Wulan terlihat berjalan buru-buru menjauhi rumahnya. Hatinya berharap tidak ada
tetangga yang melihat ia mengenakan jilbab, khawatir mereka bertanya ke orang tuanya
sehingga rahasianya terbongkar sebelum ia siap meyakinkan mereka.
Ya Allah, alangkah berat tantangan yang hamba hadapi kini. Hamba keluar cepat-
cepat meninggalkan rumah seperti pencuri yang takut ketahuan orang-orang. Hamba
pergi menjauh dari satu tempat menuju tempat lain yang akan menolak dan menteror
hamba. Ya Allah, berilah hamba-Mu ini kekuatan iman yang tak tergoyahkan serta
kesabaran yang tak kenal kata menyerah.
Sebuah mikrolet lewat di depannya. Ia pun segera menaiki kendaraan yang setengah
isi itu. Di hadapannya tampak seorang ibu berjilbab rapi, sementara di sebelahnya, duduk
seorang ibu lain yang ukuran tubuhnya ekstra besar. Keduanya memperhatikan Wulan.
Wulan pura-pura tidak memperhatikan pada awalnya sampai ada suara yang memecah
keheningan.
“Adik belajar di sekolah negeri?” ibu berjilbab tadi bertanya pada Wulan.
“Iya bu,” Wulan kini memperhatikan ibu-ibu dihadapannya itu. Senang juga ia ada
yang menyapanya ramah di kendaraan umum, pakai jilbab lagi.
“Alhamdulillah, anak sekolah negeri sekarang mulai ada yang mengenakan jilbab
rupanya. Anak ibu juga memakai jilbab, tapi sekolahnya di madrasah.”
“Anak saya juga loh bu,” ibu bertubuh besar di sebelahnya ikut memberi komentar.
“Anak-anak sekarang banyak yang tidak mengerti agama, makanya saya suruh anak
saya ikut pengajian mingguan di masjid selain di madrasahnya.”
“Iya betul. Anak saya juga saya suruh ikut pengajian,” ibu gemuk tadi mengangguk-
angguk sendiri antusias. Wulan cuma bisa mendengarkan sambil terbengong-bengong.
“Dia juga rajin membaca Al-Qur’an selepas maghrib. Hampir seluruh juz ama sudah
dihafalnya,” Ibu berjilbab tadi terus bercerita tentang anaknya.
“Oh iya, anak saya juga loh bu,” ibu gemuk di sebelahnya semakin bersemangat.
“Tapi sayang … anak saya sudah meninggal dunia karena kecelakaan,” si ibu
berjilbab merendahkan suaranya dan matanya menerawang. Ibu gemuk di sebelahnya
diam seketika. Dari mulutnya seperti akan keluar sesuatu, tapi langsung masuk lagi ke
kerongkongan. Mimiknya jadi lucu sekali. Wulan yang sedari tadi bingung campur
bengong terpaksa menyembunyikan senyumnya.
Tidak lama kemudian, mikrolet yang ditumpangi Wulan sampai di sekolah. Wulan
berpamitan pada kedua ibu yang duduk di depannya tadi. Si ibu berjilbab menyalami
Wulan.
“Tetap istiqomah ya nak, soalnya jilbab itu kan perintah Allah. Ibu akan selalu
mendoakan.”
Wulan hanya mengangguk perlahan, kemudian turun. Ia sungguh terharu dengan
ucapan ibu tadi. Coba orang tua saya yang berkata-kata seperti ini. Ya Allah, bukalah
hati kedua orang tua hamba agar memahami Islam secara kaffah. Setelah mikrolet tadi
hilang dari pandangan, Wulan pun beranjak memasuki gedung sekolah.
Wulan langsung berjalan menuju kelas. Hari masih agak pagi dan belum terlalu
banyak murid yang datang. Wulan mengulang-ulang pelajaran yang sudah diberikan
sebelumnya. Sesekali terlintas juga di fikirannya tentang kemungkinan-kemungkinan
buruk yang akan terjadi. Apa kira-kira yang akan dilakukan sekolah terhadap kami yang
mengenakan jilbab.
Detik berganti menit. Menit-menit berlalu dan makin banyak murid-murid yang hadir
di sekolah. Wulan tetap asyik dengan pelajaran yang sedang dihadapinya. Ia tidak
memperhatikan sekelilingnya sampai …
“Lan, gue mau bicara sama elu,” tangan Wulan ditarik oleh Budi. Wulan kaget
setengah mati. Budi menarik tangan Wulan cepat-cepat ke luar kelas. Begitu sampai di
luar kelas, Wulan menghentakkan tangannya sehingga pegangan Budi terlepas.
“Kamu ini apa-apaan sih. Kenapa harus narik-narik tangan kayak gitu?” Wulan masih
belum hilang rasa kagetnya.
“Ini … apa ini,” Budi memegang jilbab Wulan. Wulan segera menarik jilbabnya dan
mundur sedikit.
“Kenapa kamu pakai ini?”
“Ini namanya jilbab. Setiap muslimah diwajibkan untuk menutup auratnya.
Perintahnya ada di dalam Al-Qur’an,” Wulan memberi keterangan singkat sambil terus
menjaga jarak dengan Budi agar tidak terlalu dekat. Budi terus memperhatikan jilbab
Wulan, seolah ia hendak menarik dan membuang jilbab itu ke tong sampah.
“Kamu kok malah jadi mundur sih,” Budi berusaha agar terlihat tidak terlalu
emosional.
“Mundur gimana? Memangnya kalau pakai jilbab berarti suatu kemunduran?” Wulan
agak gemas juga dengan sikap Budi yang seperti itu.
“Apa lagi kalau bukan mundur? Yang biasa pakai jilbab itu orang-orang pesantren
yang masih tradisional dan ketinggalan jaman. Sekarang kamu malah ikut-ikutan pakai
pakaian kayak ninja begini.”
Wulan terlihat geram sekali. Jarang-jarang ia merasa marah seperti sekarang ini.
“Eh Bud, memangnya si Irma itu orang yang ketinggalan jaman? Memangnya Mbak
Ida dan Mbak Nurul yang kelas tiga itu kayak manusia primitif gitu? Coba kamu tunjukin
di sekolah ini akhwat-akhwat berjilbab yang payah nilai-nilai pelajarannya atau sempit
wawasannya. Coba tunjukin. Kita ini semua pakai jilbab justru karena mau maju, bukan
mau mundur.”
Budi terdiam sesaat mendengar kata-kata Wulan yang begitu mantap. Wulan sendiri
kaget, kok bisa ya ia berkata-kata seperti itu. Budi terus menatap jilbab Wulan dengan
perasaan kecewa. Sementara itu, beberapa siswa-siswi yang mendengar pertengkaran
kecil itu mulai kasak-kusuk.
“Pokoknya gue nggak ikhlas elo pakai ginian,”
Ya Allah, kok bisa nggak ikhlas dengan apa yang diperintahkan Allah. Lucu banget
nih orang. Lagian apa urusannya dia ngatur-ngatur gue, Wulan semakin gemas dengan
sikap anak di depannya itu.
“Pokoknya gue nggak ridha pacar gue pakai jilbab. Gue lebih suka elo jadi cewek
biasa aja lah kayak anak-anak lainnya.”
Hah… nggak ridha … pacar. Nggak salah denger nih, Wulan jadi makin pusing
kepalanya mendengar itu semua.
“Eh Bud, memangnya sejak kapan kita pacaran. Saya nggak pernah nganggap kamu
sebagai pacar. Lagi pula jilbab ini masalah prinsip dalam Islam. Allah yang
memerintahkan di dalam Al-Qur’an. Jadi, bagaimana bisa kamu melarang semaunya
begitu? Sudah … saya nggak mau berdebat lagi, masih banyak kerjaan lain,” Wulan
berkata seperti itu sambil ngeloyor pergi ke dalam kelas. Budi masih memperhatikan
sejenak. Kemudian ia pun berjalan cepat kembali ke kelasnya, masih dengan perasaan
kecewa.
Wulan langsung duduk di kursinya dan mengambil buku pelajaran yang tadi sedang
dibacanya. Konsentrasinya jadi buyar gara-gara kejadian tadi. Ia baru menyadari bahwa
beberapa temannya melihat pertengkarannya dengan Budi. Entah apa yang mereka
pikirkan. Masa bodo ah, Wulan berusaha fokus dengan buku yang ada di tangannya. Tak
lama kemudian, Irma masuk ruang kelas dan mengambil tempat di sebelah Wulan.
“Kata teman-teman, anti baru marahan sama si Budi gara-gara urusan jilbab?”
Wulan hanya mengangguk kecil.
“Trus, dia mutusin kamu,” Irma bertanya agak hati-hati.
Wulan menarik nafas dalam-dalam. Kamu sih terlalu dekat sama Budi, sampai-
sampai semua orang mengira kamu pacaran sama dia. Bahkan Budi sendiri menganggap
seperti itu. Wulan kemudian menjelaskan duduk persoalannya, termasuk masalah
hubungannya dengan Budi yang tidak pernah ia anggap sebagai pacar. Jadi kalau
sekarang Budi menjauh karena jilbab yang dikenakannya, yaa … itu berarti memang
Allah hendak menjaga kesucian dirinya. Alhamdulillah.
Irma tersenyum mendengar penuturan Wulan. Wulan makin matang dan dewasa
rupanya. Semoga Allah semakin menguatkan iman kami.
Bel masuk berbunyi. Murid-murid duduk di tempatnya masing-masing sambil
mempersiapkan bahan pelajaran pertama hari itu, yaitu bahasa Inggris. Tak lama
kemudian, Ibu Ati masuk ke kelas dengan senyum khasnya. Irma dan Wulan menunggu
apa kira-kira reaksi Ibu Ati atas jilbab yang mereka kenakan. Ibu Ati memang melihat
sekilas ke arah mereka, tapi setelah itu beliau meneruskan pelajaran tanpa menyinggung-
nyinggung masalah jilbab. Alhamdulillah, Ibu Ati memang baik, kedua siswi berjilbab itu
merasa lega dengan sikap gurunya yang berperawakan kecil mungil itu.
Rupanya kedamaian itu tidak berlangsung lama. Sementara murid-murid asyik belajar,
pak Ghazali, salah seorang wakil kepala sekolah, lewat di luar kelas. Kehadirannya
tampak bukan suatu kebetulan. Ia melihat-lihat ke dalam kelas melalui jendela yang kaca
nakonya tak lagi utuh. Tak lama kemudian ia sudah berdiri di pintu kelas dan
mengucapkan selamat pagi pada Ibu Ati. Ibu Ati membalas ucapan pak Ghazali, diikuti
oleh anak-anak kelas satu-dua. Perasaan Wulan dan Irma mulai tidak enak.
“Maaf Bu, sesuai keputusan sekolah, anak-anak yang tidak mengikuti peraturan
sekolah tidak diperkenankan untuk mengikuti pelajaran di kelas.”
Ibu Ati hanya diam saja. Matanya melirik ke arah kedua anak berjilbab. Ia merasa
sungkan untuk menentang kebijakan sekolah, tapi untuk mengeluarkan murid dari kelas
karena masalah jilbab lebih berat lagi untuk ia lakukan. Jadi ia diam saja, menunggu apa
yang akan terjadi selanjutnya.
“Kamu berdua,” Pak Ghazali menunjuk ke arah Wulan dan Irma, “Sekarang juga ikut
Bapak.”
Wulan dan Irma saling bertatapan, mereka tetap duduk di tempatnya. Seluruh kelas
menjadi tegang.
“Kenapa diam saja? Ayo ikut saya sekarang.”
“Maaf Pak, kami tetap ingin belajar di kelas,” Irma berusaha menjawab sesopan
mungkin.
“Kalau memang ingin tetap belajar di kelas, silahkan copot kerudung kalian. Jangan
membangkang peraturan sekolah.”
“Tapi ini perintah Allah Pak. Kami tidak berani menentangnya ….”
“Eh makin berani membantah rupanya. Sok bicara agama segala lagi. Pak Rosyid aja
istrinya nggak pakai jilbab. Dia kan jauh lebih ngerti agama dibanding kalian yang masih
ingusan begini,” Pak Ghazali mulai emosi dan menghampiri tempat duduk kedua akhwat
berjilbab tersebut. Kelas jadi semakin tegang.
“Pokoknya kalian harus ikut Bapak sekarang juga,” pak Gahazali tiba-tiba
menyambar tas Irma yang kebetulan ada di atas meja. Secara refleks, Irma menangkap
tasnya agar tidak sampai dibawa oleh pak Ghazali. Gerak pak Ghazali jadi tertahan.
Sesaat terjadi adegan tarik menarik tas antara murid dan wakil kepala sekolah.
Pak Ghazali terlihat makin emosi dengan kegigihan Irma untuk bertahan di kelas.
Irma sendiri pada dasarnya tidak bermaksud kurang ajar pada gurunya itu. Hanya saja ia
berusaha untuk tetap mendapatkan haknya belajar di kelas.
Tarik-menarik tas berlangsung makin keras. Ibu Ati perlahan-lahan mendekat untuk
melerai keduanya. Merasa dipermalukan, wajah pak Ghazali memerah.
“kamu …,” Pak Ghazali tiba-tiba mengangkat tangan, siap menampar Irma. Irma
kaget bukan kepalang. Tangannya langsung melindungi wajahnya agar tidak kena tampar.
Pegangannya atas tas otomatis terlepas, sehingga tas itu dikuasai sepenuhnya oleh pak
Ghazali.
“Kurang ajar kamu,” Pak Ghazali terlihat begitu marah. Tangannya yang sudah
terangkat diturunkannya lagi. Irma masih menutupi wajahnya dengan kedua tangan, takut
kena tampar. Kepalanya tertunduk ke bawah. Wulan yang duduk di sebelahnya jadi pucat
dan tegang. Jantungnya berdegup keras. Tidak butuh waktu lama bagi Pak Ghazali untuk
ke luar kelas dengan tas Irma di tangannya.
Suasana kelas hening. Irma menjatuhkan kepalanya ke meja dan mulai menangis
tertahan. Ibu Ati menghampiri Irma dan berusaha menenangkannya. Masih dengan
terisak-isak, Irma tiba-tiba berdiri dan lari ke luar kelas. Ia berlari menuju mushola.
Wulan segera menyusul di belakangnya.
Setiba di mushola, Irma masih terisak menangis. Wulan berusaha menenangkannya.
Setelah tangisnya mereda, Irma memutuskan untuk berwudlu dan shalat Dluha.
Sementara itu, Wulan melongok ke luar mushola. Ia melihat Mbak Ida, Mbak Nurul dan
empat orang akhwat kelas tiga lainnya berjalan menuju mushola. Wah, makin banyak
saja yang pakai jilbab. Dan mereka semua dikeluarkan dari kelas.
Di belakang akhwat-akhwat kelas tiga ini tampak juga beberapa akhwat berjilbab
berjalan menuju mushola, si Dewi, Ani, dan … Vera juga sudah pakai jilbab!
Alhamdulillah. Tak lama kemudian mereka semua sudah berkumpul di mushola dan
saling menguatkan satu sama lain. Wulan dan Irma menceritakan apa yang baru saja
terjadi di kelas mereka. Kakak-kakak kelas mereka hanya bisa geleng-geleng kepala
mendengar sikap sekolah yang seperti itu. Ke semua akhwat itu ternyata juga diharuskan
ke luar dari kelas oleh guru mata pelajaran yang sedang mengajar atau oleh wakil kepala
sekolah yang memang ditugasi oleh sekolah untuk “mengusir” siswi-siswi berjilbab dari
kelas. Wah, kalau begini terus repot juga, kita bisa ketinggalan pelajaran nih, pikir
Wulan. Tiba-tiba ….
“Assalamu’alaikum,” terdengar suara bang Lutfi dari balik hijab pembatas mushola.
“Wa alaikum salam,” para akhwat menjawab salam tersebut.
“Harap bersabar ya ukh. Ini ujian dari Allah.”
Para akhwat hanya terdiam, semuanya mengiyakan dalam hati.
“Supaya jangan sampai ketinggalan pelajaran, saya sudah minta pada kakak-kakak
kelas duanya agar datang pagi ini ke mushola untuk mengajari adik-adik kelas satu yang
dikeluarkan dari kelas. Untuk yang kelas tiga, nanti akan diberi foto kopi catatan hari ini
berikut penjelasannya sepulang sekolah.”
Para akhwat tetap diam, tapi bersyukur di dalam hati mereka karena perhatian dari
saudara mereka seiman.
“Halo … halo. Masih nyimak nggak? Kok nggak ada suara sama sekali sih?” Bang
Lutfi bertanya dengan nada bingung.
“Oh … kita dengerin kok. Syukron atas perhatian dan bantuannya,” Mbak Ida
mewakili akhwat-akhwat yang lagi pada tersenyum karena kebingungan Bang Lutfi itu.
Maklum, soalnya ia tidak bisa melihat akhwat-akhwat yang ada di balik hijab sama sekali.
“Ok deh, begitu aja informasinya, saya harus kembali ke kelas dulu. Oh iya, nanti
siang kita kumpul lagi untuk rapat membahas masalah ini.”
Setelah memberi salam, Bang Lutfi beranjak dari tempatnya dan kembali ke kelas.
Suasana hening sejenak. Mereka semua masih merasakan suasana yang ganjil dan tidak
biasa. Bagaimanapun juga sekolah adalah tempat untuk belajar. Kalau sampai dilarang
belajar di kelas seperti ini apa yang harus mereka lakukan? Apalagi mereka sama-sama
menyadari bahwa kejadian semacam ini bukan yang terakhir kali akan mereka terima.
Wulan menatap kaligrafi berwarna kuning dengan latar belakang hitam di bagian atas
dinding mushola, mencoba menghalau keheningan … atau sekedar pelarian dari
ketidaksiapan diri menghadapi ujian yang begitu dini. Beberapa akhwat yang datang
belakangan beranjak ke tempat wudlu untuk berwudlu dan kemudian shalat Dluha.
“Kenapa sih kita sampai diperlakukan seperti ini?” Dewi tiba-tiba bertanya, entah
ditujukan pada siapa. Beberapa akhwat yang sedang duduk di dekatnya, termasuk Mbak
Nurul, memperhatikannya.
“Kita kan tidak berbuat kejahatan atau kenakalan sama sekali … kecuali sekedar
memakai jilbab. Kita kan tidak merugikan sekolah atau orang lain dengan jilbab yang kita
pakai ini?” Dewi menatap Mbak Nurul yang segera memberi anggukan kecil tanda setuju.
“Lalu kenapa mereka harus melarang kita belajar? Kenapa pemerintah harus
mengeluarkan peraturan yang melarang jilbab?”
Mbak Nurul dan yang lainnya terdiam sesaat menyimak pertanyaan itu.
“Wah, pertanyaan kamu ini susah-susah gampang menjawabnya,” Mbak Nurul
menatap ke bawah, seolah berdialog dengan hatinya sendiri, “Yang pasti Allah sendiri
berfirman di dalam Al-Qur’an bahwa Dia pasti akan menguji hamba-hambanya yang
beriman, am hasibtum an tadkhulul jannah wa lamma ya’lamillahul ladziina jaahadu
minkum wa ya’lamas shaabiriin ‘apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga
padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu dan belum nyata
orang-orang yang sabar’. Jadi ini adalah ujian dari Allah apakah kita akan sabar
menerimanya atau tidak ….”
“Kak, kenapa sih Allah mesti menguji kita segala. Allah kan memerintahkan kita
untuk berbuat baik, tapi ketika kita sudah berbuat baik, kita malah diberi kesulitan-
kesulitan. Kalau Allah mau kan bisa saja semua orang baik diberi kemudahan terus dan
setiap orang jahat dipersulit terus,” Vera tiba-tiba bertanya. Astaghfirullah Ver, jangan
suudzon begitu dong sama Allah, Wulan protes dalam hati.
“Kalau Allah mau sebenarnya bisa saja manusia beriman seluruhnya dan tidak ada
satu orang pun yang kafir, tapi Allah memang memberi kebebasan bagi manusia untuk
memilih jalannya sendiri selama di dunia ini. Adapun konsekuensinya akan mereka
tanggung sendiri-sendiri, kenikmatan surga atau adzab neraka yang pedih. Sementara
ujian adalah suatu yang lumrah untuk mencapai sebuah prestasi. Di dunia ini juga berlaku
hal yang sama. Masuk perguruan tinggi negeri yang berkualitas misalnya, adalah sebuah
keinginan yang sangat positif. Tapi untuk bisa masuk PTN yang top kita harus melalui
proses seleksi dulu, tidak bisa masuk begitu saja. Pihak kampus akan menguji kita, lewat
UMPTN misalnya, apakah kita layak untuk menjadi mahasiswa di sana atau tidak. Jadi
fungsi ujian adalah untuk membuktikan layak tidaknya kita menggapai sebuah prestasi
tertentu. Nah, surga yang paling ‘jelek’ sekalipun masih jauh lebih tinggi nilainya
dibanding PTN terbaik manapun ….”
“Assalamu’alaikum,” tiba-tiba sebuah suara terdengar dari balik hijab. Para akhwat
yang sedang berbincang segera menjawab salam dari ikhwan tersebut.
“Tadi kok ada pak Hafidz di depan mushola melongok-longok ke dalam. Eh, begitu
ngeliat saya, beliau langsung pergi tanpa bicara,” ikhwan tadi, yang rupanya Amri, siswa
kelas II, memberi informasi. Akhwat yang mendengar itu saling tatap.
“Jadi hari ini, semua yang pakai jilbab, dikeluarkan dari kelas? Wah, berarti akhwat
kelas II yang berjilbab bakal dikeluarkan juga siang ini.”
Bang Amri memang sudah dipesan dari kemarin oleh bang Lutfi untuk menjaga
kemungkinan seperti sekarang ini, supaya akhwat-akhwat kelas I bisa tetap belajar di
mushola.
Mereka pun segera mulai belajar. Hijab digeser sedikit dan white board diletakkan
ditengah-tengah antara tempat shalat ikhwan dan akhwat. Irma juga ikut belajar, tapi kali
ini terlihat kurang bersemangat. Ia bingung memikirkan tas dan beberapa buku
pelajarannya yang disita oleh pak Ghazali. Untuk mengambilnya langsung ke pak
Ghazali rasa-rasanya ia tidak sanggup, mengingat kejadian yang baru dialaminya. Kalau
dibiarkan begitu saja, bagaimana ia bisa belajar ….
…
Siang itu Wulan pulang bareng dengan Vera. Rapat di mushola tidak bisa dilakukan
sampai selesai karena salah satu guru ‘anti jilbab’ tiba-tiba masuk mushola untuk shalat,
padahal biasanya ia tidak pernah shalat di mushala siswa. Bang Lutfi yang sedang
memimpin rapat masalah jilbab terpaksa kultum (kuliah tujuh menit) mendadak. Tak
lama kemudian mereka pun bubar.
Kendati begitu Wulan toh senyum-senyum sendiri selama di mikrolet, begitu juga
Vera. Gimana nggak mau senyum mengingat apa yang terjadi pada Irma siang itu. Ada
apa sih? Iya, waktu berangkat pulang, teman-teman akhwat kelas I berusaha menghibur
Irma yang tasnya disita. Kendati tidak tahu apa yang mesti dilakukan untuk
mengembalikan tas tersebut, setidaknya mereka berusaha mengurangi kesedihan Irma.
Eh … tiba-tiba, tidak jauh dari gerbang sekolah, Imam dan Wanto, maskot kelas I-2,
terlihat berdiri memperhatikan sambil tersenyum.
“Assalamu ‘alaikum ibu-ibu. Pada mau pulang ya?” Wanto nyeletuk iseng, seolah
tidak ingat ada yang baru kena musibah.
“Aduh kasihan deh yang baru kehilangan tas,” Imam tak ketinggalan ikut nyeletuk
juga. Akhwat-akhwat yang mendengarnya langsung sewot dan melotot pada Imam.
“Kamu kok gitu sih Mam? Temannya lagi dapat musibah malah ngomong kayak
gitu,” Dewi ngomel-ngomel. Yang diomelin tetap senyum tanpa merasa berdosa.
“Aduh, jangan marah-marah begitu dong Bu. Kita kan nungguin dari tadi di sini
untuk ngasih kabar baik sama Irma.”
“Kabar baik apa?” suara Dewi masih terdengar galak. Imam dan Wanto saling
pandang dan tersenyum.
“Kabar baik bahwa tasnya Irma yang ada di pak Ghazali ternyata diambil orang, dan
orangnya adalah … kami berdua,” Wanto tiba-tiba memperlihatkan tas Irma yang sedari
tadi disembunyikan dibelakang badannya. Irma dan teman-temannya melongo melihat tas
itu.
“Kok … tasnya bisa ada di kamu sih?” Vera bertanya kebingungan. Yang lain pun
masih tidak yakin kalau yang dipegang Wanto itu benar-benar tas Irma.
“Iya dong, siapa dulu … Imam dan Wanto,” Kedua anak itu cengangas-cengenges
sambil bergaya.
Rupanya kedua anak badung ini ‘mencuri’ tas Irma langsung di depan hidung pak
Ghazali. Sementara Imam mengalihkan perhatian pak Ghazali dengan menanyakan
beberapa soal pelajaran sambil menyanjung-nyanjung kehebatan beliau, Wanto
mengambil tas Irma yang diletakkan samping meja beliau.
Pada awalnya Irma ragu untuk menerima tas itu, karena takut pak Ghazali bertambah
marah nantinya. Tapi yang lainnya mendesak Irma untuk membawa tas tersebut pulang
dan menyimpannya di rumah. Irma akhirnya menuruti saran teman-temannya sambil tak
lupa berterima kasih pada Imam dan Wanto.
Setelah turun dari mikrolet, Wulan berpisah dengan Vera. Dalam perjalanan ke rumah,
Wulan masih tersenyum sendiri mengingat bagaimana Imam dan Wanto berhasil
mengambil tas Irma dari pak Ghazali. Berani sekali kedua anak itu, Wulan geleng-geleng
kepala. Tak terasa ia sudah sampai di depan rumahnya. Seperti hari sebelumnya, ia
mengendap-endap memasuki gerbang dan menuju samping rumahnya untuk melepaskan
jilbab. Dan tiba-tiba saja …
“Wulan!!!”
Bab VII
Wajah Wulan pucat pasi. Jantungnya berdegup kencang. Waktu seolah berhenti
berputar …. Sayangnya tidak, waktu berlanjut dan Wulan tidak bisa menghindar dari apa
yang paling ditakutinya selama ini. Bagaimana ayah bisa tahu? Saya harus bagaimana
sekarang? Wulan berdiri kaku seperti patung, padahal ia merasa lemas luar biasa seperti
agar-agar.
Di sana, tidak jauh dari tempat Wulan tersentak, Mayor Hendarto, ayah Wulan,
berdiri dengan mata melotot dan wajah memerah. Ia terlihat emosi sekali. Tangan Wulan
segera dicengkeram keras dan ditarik ke dalam rumah. Begitu sampai di ruang tamu, ia
dihempaskan ke sofa. Sofa yang dulu merupakan tempat ia bermain ceria dan merasakan
belaian kasih sayang kedua orang tuanya kini menjadi kursi pesakitan dengan orang tua
yang kini beralih fungsi menjadi hakim dihadapan terdakwa, tapi hakim yang berperan
juga sebagai jaksa sekaligus.
Ayahnya berteriak-teriak keras dan memaki-maki Wulan. Wulan tidak bisa
menangkap lagi apa yang dikatakan ayahnya. Pikirannya menerawang jauh, menyadari
bahwa ujian yang sebenarnya baru saja dimulai. Bukit yang baru dua hari ia capai saat
keputusannya mengenakan busana muslimah terasa berguncang kuat. Bukit itu bergetar
dan melabilkan pijakan kakinya. Kepalanya berputar-putar dan pikirannya menjadi kalut
untuk beberapa saat. Ini datang terlalu cepat … tapi adakah ujian itu yang terlalu cepat,
atau ia yang terlalu lambat untuk siap menghadapinya? Tidak ada yang perlu disalahkan
Wulan, masalah itu kini sudah datang, entah kamu siap atau tidak. Kamu tidak bisa
menghindarinya. Hanya bisa menghadapinya … atau semuanya berakhir di sini.
Wulan melirik mamanya, berharap mama setidaknya menenangkan papa. Mama juga
pasti marah luar biasa padanya, tapi kemarahan papa yang dahsyat membuat mama
memilih diam.
“Heh, kamu nggak dengar kata-kata Papa ya?” Papanya menghardik keras, “Baru
kemarin Papa ingatkan kamu untuk tidak ikut-ikutan gerakan semacam ini, tapi kamu
malah menentang orang tua kamu secara diam-diam rupanya. Ayo buka kerudungnya
sekarang! Serahkan semua kerudung kamu ke Papa, jangan pernah kamu pakai lagi!”
Wulan hanya berani melihat sedikit ke arah ayahnya. Ia mulai berfikir keras.
Bagaimana ini …? Tapi kenapa kamu harus takut seperti ini Wulan? Bukankah yang
kamu lakukan benar? Ayo jangan menunduk saja. Sampaikan pendirianmu pada mereka.
Jangan menyerah. ‘Apakah kamu kira kamu akan masuk surga padahal kamu belum
diuji’. Wulan berusaha lebih tegar menghadapi papanya. Ia mengangkat kepalanya sedikit.
“Nggak dengar omongan Papa ya. Siapa yang nyuruh kamu pakai kerudung ini? Coba
kasih tahu papa. Biar Papa labrak sekalian. Ayo bilang … siapa?”
“Allah Pa, Allah yang nyuruh.”
Wajah papa Wulan langsung memerah mendengar kata-kata Wulan.
“Kurang ajar … kamu mau ngajarin Papa ya. Ayo buka kerudungmu sekarang juga,”
Mayor Hendarto berkata begitu sambil menarik jilbab Wulan keras-keras sampai copot.
Wulan kaget setengah mati atas reaksi ayahnya. Luka yang menoreh perasaannya jauh
lebih menyakitkan ketimbang luka peniti yang menggores dagunya.
Tak cukup merampas jilbabnya, Mayor Hendarto menjambak rambut Wulan dan
menariknya ke kamar di lantai atas. Wulan mulai menangis. Sesampainya di kamar,
Mayor Hendarto memaksa Wulan untuk mengeluarkan semua jilbabnya dari lemari
pakaian. Jilbab yang cuma dua itu terpaksa ia serahkan ke papa. Papa langsung merampas
dan membawanya ke beranda atas untuk secara demonstratif membakar semuanya di
depan Wulan dan juga mama, kemudian melemparkan sisa-sisanya yang masih dilalap
api ke teras bawah. Wulan hanya bisa menangis terisak-isak. Ia langsung kembali ke
kamar, menutup pintu, dan menjatuhkan dirinya ke tempat tidur. Di sela-sela isakannya,
ia masih bisa mendengar pertengkaran kecil di luar kamar, tapi semuanya segera
tenggelam dalam lautan emosi yang bergejolak dalam dada Wulan. Lelah karena
menangis, Wulan akhirnya tertidur.
…
“Jadi hari ini yang memakai jilbab tambah banyak?”
“Betul pak. Saya sudah pusing harus bagaimana lagi terhadap anak-anak ini.”
“Pokoknya Anda harus membuat mereka mau melepaskan jilbab. Tidak boleh ada
yang memakai jilbab di sekolah.”
“Saya sudah berusaha menekan dengan mengeluarkan mereka dari kelas, tapi
kelihatannya mereka ini bandel sekali. Saya heran apa yang bisa membuat mereka seperti
ini. Kenapa tidak kita biarkan saja mereka dengan jilbabnya, toh mereka tidak
mengganggu siapa pun dengan jilbab itu?”
“Jadi pak Barjo mau menentang peraturan pemerintah rupanya?”
“Eh … bukan begitu, tentu saja saya akan terus menghalangi mereka berjilbab. Tapi
masalahnya, bagaimana kalau mereka terus membandel. Apa yang harus dilakukan
sekolah?”
“Kalau terpaksa keluarkan mereka dari sekolah.”
Percakapan terhenti sejenak. Kemudian …
“Barangsiapa yang loyal pada pemerintah maka tentu saja ada hadiahnya. Anda mau
naik pangkat kan?”
Orang yang disapa Barjo itu tersenyum.
“Tentu saja pak.”
“Semua itu tergantung kerja dan loyalitas Anda. Saya tunggu perkembangan
berikutnya. Sekian dulu. Selamat malam.”
“Selamat malam juga pak.”
Percakapan telefon pun usai.
…
“Kelas III enam orang, kelas II tiga orang, kelas I lima orang. Jadi semuanya ada
empat belas orang akhwat,” Rasyid memperhatikan catatan yang dipegangnya, “Semua
nama-namanya ada di sini.”
“Jadi semuanya dikeluarkan dari kelas dan tidak diizinkan belajar?” Andri bertanya.
“Ya, mereka terpaksa belajar dimushola.”
“Kalau nggak salah adik kamu sampai diambil tasnya oleh … pak siapa?” Ibrahim
bertanya pada Risyad.
“Pak Ghazali. Memang payah guru-guru di sekolah ini. Nama-nama mereka sama
sekali tidak menggambarkan perilaku yang sesuai. Orang seperti ibu Maria yang
namanya berbau non-muslim malah menjadi pembela kita.”
“Lalu bagaimana dengan tasnya, masih ditahan oleh pak Ghazali?”
“Tasnya sudah balik, tapi bukan pak Ghazali sendiri yang mengembalikan. Tas itu
diambil diam-diam oleh Imam dan Wanto, teman sekelas Irma.”
“Imam dan Wanto yang dulu sempat mau ribut dengan Andre?”
“Ya. Saya juga heran bagaimana caranya kedua anak itu bisa mengambil tas Irma.”
Ikhwan yang lain jadi tersenyum dan geleng-geleng kepala mendengar hal itu.
Soalnya pak Ghazali termasuk salah satu guru killer di sekolah.
Sore itu memang sedang diadakan pertemuan antara dua orang ikhwan kelas tiga
dengan alumni yang kebetulan jumlahnya juga dua orang. Mereka adalah Lutfi, Risyad,
Andri dan Ibrahim. Permasalahan jilbab yang makin memanas membuat beberapa alumni
terpaksa turun tangan.
“Kita bukan yang pertama mengalami ini. SK Depdikbud soal jilbab sudah banyak
menelan korban siswi-siswi berjilbab di sekolah-sekolah negeri. Tidak sedikit yang
sampai harus dikeluarkan dari sekolah karena jilbab. Ini merupakan ujian dari Allah. Tapi
kita harus bersyukur bahwa, pada saat yang sama, fenomena jilbab di sekolah-sekolah
negeri yang nota bene sekuler semakin marak saja. Ini saatnya kita memperjuangkan
jilbab terus menerus supaya diizinkan untuk dikenakan di sekolah-sekolah negeri,” papar
Ibrahim.
“Bagaimana kondisi orang tua mereka yang berjilbab, mendukung atau justru
menentang?” Ibrahim kembali bertanya.
“Belum jelas betul keadaannya. Kelihatannya sebagian besar sebenarnya mendukung,
tapi mereka khawatir kalau-kalau anaknya sampai harus dikeluarkan dari sekolah gara-
gara jilbab,” jawab Lutfi.
“Menurut informasi dari adik saya, orang tua Wulan, teman sekelasnya, kemungkinan
akan menentang habis-habisan kalau mengetahui anaknya berjilbab. Ayahnya seorang
mayor. Kedua orang tuanya sangat tidak mendukung jilbab. Agaknya sejauh ini mereka
belum tahu kalau Wulan memakai jilbab, entah sampai kapan (mereka rupanya belum
mengetahui apa yang sedang terjadi di rumah Wulan),” Risyad memberi keterangan.
“Tantangan yang mereka hadapi ternyata bukan hanya dari pihak sekolah dan orang
tua, tapi juga beberapa oknum masyarakat,” sambung Lutfi, “Salah seorang akhwat kelas
tiga kemarin diceletuki ‘batman’ oleh dua orang pemuda di sebuah tangga
penyeberangan. Sementara Ida sempat diikuti orang tak dikenal di sebuah jalan sewaktu
pulang sekolah, untung ia bisa cepat menghindar.”
“Mungkin itu cuma perasaannya Ida saja.”
“Saya kira juga begitu, tapi Ida yakin bahwa orang itu mengikutinya.”
“Kalau begitu tolong diingatkan agar sebisa mungkin akhwat-akhwat itu tidak pulang
sendirian atau kalau memang benar-benar diperlukan supaya ada ikhwan yang bisa
mengawal untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan,” putus Ibrahim, “Dan kita
perlu juga mendatangi orang tua saudari-saudari kita yang berjilbab untuk
mengkondisikan mereka supaya mendukung pilihan yang diambil anak-anaknya.”
“Bagaimana upaya kita menghadapi sikap sekolah.”
“Ini agak sulit … siapa saja guru yang mendukung kita selain ibu Maria? Bagaimana
dengan guru-guru agama?” Tanya Ibrahim.
“Guru-guru agama bahkan tidak berani menunjukkan sikap yang jelas. Pembina
Rohis, pak Rosyid, malah sangat kurang simpatik terhadap jilbab,” terang Risyad.
“Nggak heran, dia itu kan sebenarnya guru tata negara yang diangkat sekolah sebagai
guru agama. Pemahaman agamanya nggak jelas,” Andri langsung menimpali.
“Kalau kita mengadukan persoalan ini ke Depdikbud agaknya juga tidak akan
menyelesaikan masalah,” Ibrahim seperti bergumam sendiri.
“Kita demo saja,” Kata Risyad tiba-tiba.
“Wah itu nggak mudah. Banyak resikonya,” tanggap Andri.
“Insya Allah banyak siswa yang bakal ikut kalau kita ngadain demo. Teman-teman
pecinta alam dan beberapa ekskul lainnya saya yakin juga bakal mendukung kita,”
Risyad menjelaskan lebih jauh.
“Tapi kita belum biasa berdemo akh, kalau kondisinya jadi kacau bagaimana?” Lutfi
agak keberatan.
“Agaknya kita kesampingkan saja dulu ide demonstrasi ini. Kalaupun itu kita lakukan,
waktunya tentu bukan sekarang-sekarang ini,” Ibrahim menyampaikan pendapatnya,
“Kalau kita bisa mengakses media massa supaya masalah jilbab ini ter-blow up tentu
besar sekali pengaruhnya. Masalahnya adalah kita tidak punya akses media massa yang
cukup berpengaruh.”
“Bagaimana kalau kita coba menginformasikan persoalan ini melalui suara-suara
pembaca di beberapa koran dan majalah,” usul Andri.
“Itu ide bagus, kita bisa mencobanya. Ada usul-usul lainnya?”
Diskusi terus berjalan di antara keempat hamba Allah itu, anak-anak yang masih
relatif belia dari segi usia, tapi sudah dimatangkan oleh kejelasan nilai-nilai, tujuan hidup,
serta tempaan lingkungan yang tidak ringan. Pada saat teman-teman remaja mereka,
bahkan orang-orang tuanya, menjadi trouble maker, mereka tanpa ragu memposisikan
diri sebagai problem solver. Kedewasaan memang tidak bisa diukur dengan umur badani,
tapi lewat taraf berfikir, kecerdasan bersikap, dan keberanian mengambil tanggung jawab.
Darah muda mereka mungkin cenderung menggopoh-gopohkan keputusan ke arah
tindakan yang kurang arif, tapi itu cuma masalah perjalanan waktu dan akumulasi
pengalaman yang belum memadai. Apapun keadaannya, mereka sudah melangkah jauh,
lebih cepat dan lebih dulu dibanding teman-teman seusianya. Apakah mengherankan
kalau mereka juga akan menjadi pemimpin dan duta-duta peradaban yang lebih baik di
masa depan? Ah … Allah lebih mengetahui masalah ini.
Omong-omong, bagaimana keadaan Wulan setelah peristiwa siang tadi ….
…
Jam menunjukkan pukul 16.30. Roni baru saja pulang ke rumah sehabis kumpul-
kumpul dengan beberapa teman nongkrongnya. Antingnya bergoyang-goyang mengikuti
gaya jalannya yang khas. Sesampainya di rumah ia langsung menuju kamarnya, tapi tak
lama kemudian keluar lagi menuju dapur untuk minta dibuatkan kopi oleh si Mbok.
“Gimana kabarnya Mbok?” Roni cengar-cengir menatap si Mbok yang baginya
sudah seperti ibu sendiri.
“Aduh Den Roni kemana saja jarang pulang. Apa nggak kasihan dengan adiknya.”
“Ah, si Mbok. Memangnya si Wulan kenapa? Dia kan sudah besar Mbok, sudah bisa
ngurus diri sendiri. Lagi pula sudah pinter agama juga Mbok.”
“Aduh Den. Nak Wulan tadi siang kelihatannya terpukul sekali dan menangis saja di
kamarnya … dia nggak mau makan.”
“Emangnya kenapa dia Mbok?” Roni masih bersikap tak begitu acuh. Ia sibuk
mencari-cari bungkus kopi kesukaannya.
“Dia diomelin habis-habisan sama Bapak, karena ketahuan pakai jilbab.”
“Lho, Wulan pakai jilbab, sejak kapan Mbok?”
“Tentang itu Mbok nggak tahu Den, tapi Mbok kasihan sekali sama dia,” mbok Tinah
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Memang dia diapain sama Papa Mbok?” Roni mulai menunjukkan perhatian.
“Ya … jilbabnya dibuka paksa Den, kemudian dijambak rambutnya sampai ke
kamar.”
“Terus,” Roni terlihat makin penasaran.
“Semua jilbabnya diambil dan dibakar Den.”
“Papa melakukan itu semua Mbok?” ia makin penasaran dan terlihat emosi. Ia
langsung melangkah ke luar dapur dan menuju kamar adiknya. Wulan sedang duduk
sendirian di tempat tidurnya ketika Roni masuk.
“Kamu diapakan sama Papa,” Roni langsung mendekati adiknya. Melihat wajah
berang kakaknya Wulan justru jadi khawatir untuk bercerita.
“Jadi benar kata si Mbok, kamu dijambak Papa dan jilbab-jilbab kamu dibakar?”
Wulan hanya mengangguk perlahan. Ia mencoba menerka apa kira-kira reaksi
abangnya itu.
“Papa memang brengsek,” Roni langsung berbalik ke luar kamar. Wulan agak
terkejut dengan kata-kata abangnya itu. Dia mau cari Papa … kak Roni mau cari Papa.
Gawat kalau mereka sampai berkelahi. Wulan langsung turun dari tempat tidurnya dan
berusaha mengejar kakaknya. Tapi sudah terlambat bagi Wulan untuk mencegah
kakaknya itu. Di bawah mulai terdengar suara ribut-ribut.
“Papa apakan si Wulan?” Roni bertanya galak pada Mayor Hendarto, seolah yang di
hadapannya itu bukan orang tuanya.
“Memangnya apa urusan kamu?” Mayor Hendarto menghardik tak kalah sewot.
“Benar Papa menjambak rambut Wulan dan membakar jilbab-jilbabnya?”
“Sejak kapan preman kayak kamu perduli masalah jilbab? Kamu jangan sok ikut
campur. Lebih baik masuk kamar dan urus gitar-gitar kamu saja!”
“Wah jadi benar rupanya. Mayor Hendarto yang hebat ternyata cuma berani dengan
anak perempuannya sendiri yang lemah tak berdaya. Mayor Hendarto yang luar biasa ini
ternyata tidak mampu membina keluarganya sendiri di luar jalan kekerasan … bisanya
cuma main pukul. Dia kira rumah tangganya ini barak militer rupanya.”
“Kamu … jangan kurang ajar kamu.” wajah ayahnya memerah.
“Lho, apa perduli Papa kalau salah satu anak Papa jadi kurang ajar. Papa sendiri kan
jauh lebih kurang ajar dan nggak tahu diri.”
“Bangsat,” serta merta Mayor Hendarto menampar Roni dengan keras. Roni terpental
sedikit ke samping, tapi langsung menghadapkan wajah ke ayahnya lagi. Tidak ada
tanda-tanda keterkejutan diwajahnya.
“Asal Papa tahu aja, tamparan Papa nggak ada rasanya, kayak perempuan ….”
Sebelum sempat ia menyelesaikan kata-katanya, kepalan tangan ayahnya sudah mengarah
ke wajahnya. Roni tak sempat menghindar, ia terpelanting ke belakang dan jatuh. Hanya
hitungan detik tubuhnya menyentuh lantai, seolah ada energi besar yang mendorongnya,
ia segera melompat berdiri dan menerjang ke arah ayahnya. Dengan hidung yang mulai
berdarah, Roni mendorong sekuat tenaga ayah yang dibencinya itu. Pergulatan seru
segera terjadi. Wulan panik melihat kejadian itu.
“Kak Roni … jangan berkelahi dengan Papa!” jeritnya. Mama … Mama di mana?
Wulan segera berlari ke arah dapur mencari si Mbok yang ternyata juga sedang tergopoh-
gopoh menuju ruang depan karena mendengar suara gaduh.
“Aduh, Den Roni kenapa berantem sama tuan neng?” Si Mbok yang sudah tua itu
terlihat panik.
“Mama ke mana Mbok? Cepat, kita mesti kasih tahu Mama.”
“Nyonya sedang pergi Neng. Acara ibu-ibu PKK,” si Mbok menjawab sambil
memegangi dadanya lemas.
Sementara itu Mayor Hendarto kembali berhasil mendorong Roni sampai jatuh. Roni
segera bangkit lagi. Anak itu betul-betul tipikal ayahnya, kuat, keras, dan tak mau kalah.
Ia sudah bersiap-siap lagi akan menerjang ayahnya kalau bukan pistol di tangan ayahnya
yang menahannya untuk melangkah maju.
“Anak sialan … coba kalau berani,” Mayor Hendarto menodongkan pistolnya ke arah
Roni. Wajahnya sudah begitu merah karena marah yang luar biasa. Roni malah
tersenyum. Di titik itu ia merasa menang.
“Beraninya cuma pakai pistol. Asal Papa tahu ya, kalau Papa berani ganggu Wulan
sedikit saja …,” Roni memberi isyarat dengan kepalan tangannya dan langsung berjalan
pergi ke luar rumah. Mayor Hendarto memasukkan kembali senjatanya, setelah itu
langsung menuju garasi, menaiki mobil dan pergi juga. Tinggal Wulan dan si Mbok yang
masih shock atas kejadian barusan.
Beberapa menit kemudian, Wulan kembali ke kamarnya. Kalau saja mereka
memahami dan mengamalkan Islam, tentu tidak perlu ada kejadian-kejadian seperti ini.
Wulan membaringkan diri ke tempat tidur. Apa yang harus saya lakukan sekarang? Apa
lagi yang akan terjadi setelah ini? Wulan menyadari bahwa ini adalah sebuah permulaan,
bukan penutup dari rangkaian ujian yang masih akan menimpanya. Waktu terasa begitu
lama berputar. Akhirnya ia pun mengisi waktunya dengan membaca Al-Qur’an. Alaa
bidzikrillaahi tathma’innul quluub.
Dunia Wulan berikutnya lebih banyak dibatasi oleh ruang kecil tempat ia biasa tidur,
setidaknya itulah tempat paling aman bagi Wulan dalam menghadapi tekanan orang
tuanya. Ingin sebenarnya ia pergi ke luar rumah menemui teman-temannya dan
mengeluarkan seluruh keluh kesahnya, tapi tanpa jilbab ia tidak bisa ke mana-mana.
Kalau ayahnya bersikap sangat keras terhadapnya, ibunya ini bersikap lebih lembut, tapi
tetap dengan tujuan yang sama … membujuknya lepas jilbab. Adapun kakaknya, ia sama
sekali tidak mengerti rahasia dibalik perilakunya itu. Ia tidak mendukung jilbab, tetapi
membelanya habis-habisan di depan papa. Kenapa ia begitu benci pada papa, sampai-
sampai berani berkelahi dengan beliau. Wulan tidak tahu apakah ia harus senang dengan
pembelaan kakaknya ini atau harus membencinya. Bukankah Islam mengajarkan setiap
pemeluknya untuk menghormati orang tua? Wulan hanya bisa mengadukan semua ini
pada Allah.
Keesokan harinya Wulan memutuskan untuk tidak berangkat ke sekolah. Ia tidak
berani pergi tanpa menutup auratnya. Ibunya berusaha membujuk dan menekannya agar
pergi ke sekolah, tapi Wulan bertahan dengan sikapnya. Ketika hal itu dilaporkan pada
ayahnya Wulan bisa mendengar suara gusar ayahnya agar membiarkan keinginannya itu.
Wulan lantas mengisi waktunya dengan membolak-balik buku pelajaran. Untung pekan
ini tidak ada ulangan, pikirnya.
Sementara itu di sekolah, Irma mencari-cari Wulan yang ternyata tidak didapatinya.
Ada apa dengan Wulan, sakitkah … atau ketahuan oleh orang tuanya? Irma khawatir
dengan kemungkinan yang kedua ini. Ia sendiri alhamdulillah tidak mendapat masalah di
rumah. Tapi hari ini, ia terpaksa menghadapi tekanan di kelas sendirian.
Seperti hari-hari sebelumnya, siswi-siswi yang mengenakan jilbab kembali
dikeluarkan dari kelas. Mereka dipanggil ke ruang kepala sekolah dan ternyata di sana
sudah hadir pula guru agama Islam, pak Rosyid. Kendati beliau adalah pembina Rohis,
tapi anak-anak Rohis kurang menyukainya karena sikap dan pandangan-pandangannya
mereka nilai sering tidak sejalan dengan Islam. Orangnya gemuk, dengan gaya sok yang
kelihatannya sudah menjadi pembawaan beliau sejak lama. Kalau berbicara terlalu dekat
dengan beliau maka akan tercium bau tidak sedap dari mulutnya. Para siswi yang
dipanggil sudah bisa menduga apa yang akan terjadi kemudian.
“Silahkan duduk!” Kepala sekolah mempersilahkan murid-murid dihadapannya untuk
duduk. Mereka semua duduk tanpa bersuara.
“Ini yang yang kesekian harinya kalian melakukan pelanggaran dalam hal seragam
sekolah. Bapak sudah menegaskan sejak awal bahwa kalian harus mengikuti peraturan
yang ada jika mau tetap belajar di sini, tapi kalian selalu membandel dengan dalih bahwa
jilbab yang kalian kenakan merupakan kewajiban agama yang tidak bisa dikompromikan
dengan peraturan seragam sekolah. Bapak sudah diskusikan masalah ini dengan guru
agama kalian. Menurut beliau, jilbab tidak wajib, bukan begitu Pak Rosyid,” Pak Kepala
Sekolah menoleh ke arah pak Rosyid. Para siswi berjilbab menarik nafas dalam-dalam.
“Jadi begini anak-anak sekalian …,” Pak Rosyid mulai membuka mulut, yang dari
sana segera tercium aroma ‘semerbak mewangi’, “Mengenakan jilbab memang baik, tapi
kita harus memperhatikan budaya dan cara hidup tempat kita tinggal. Negeri kita yang
tropis ini jelas berbeda kondisinya dengan negeri Arab yang iklimnya menuntut orang
untuk menutup hampir semua anggota badannya. Kita tidak boleh menyamakan
kewajiban-kewajiban agama seperti shalat dengan kebudayaan Arab berupa jilbab ini.
Kita hidup di sebuah negara hukum yang punya aturan-aturan main yang harus diikuti.”
“Maaf pak,” Mbak Ida berusaha menanggapi, “Setahu saya jilbab itu bukan semata
kebudayaan Arab, melainkan perintah Allah yang terdapat di dalam Al-Qur’an.
Sementara peraturan sekolah adalah buatan manusia yang setiap saat bisa saja diganti.
Mengapa perintah Allah yang tetap harus dikalahkan oleh perintah manusia yang
berubah-ubah? Lagi pula, bukankah UUD ’45 sendiri menjamin kebebasan setiap warga
negara dalam menjalankan kewajiban agamanya?”
“Lho, siapa bilang mengenakan jilbab itu wajib? Apa kalian merasa lebih tahu isi Al-
Qur’an dibanding Bapak yang guru agama ini? Jauh sebelum kalian lahir Bapak ini sudah
khatam Al-Qur’an puluhan kali. Kalian jangan sok suci dengan jilbab kalian itu. Istri
Bapak saja tidak pakai jilbab. Istri menteri agama sekalipun setahu Bapak tidak pakai
jilbab.”
Para siswi berjilbab saling berpandangan satu sama lain. Kok begitu cara berfikir si
Bapak ini.
“Maaf pak,” Mbak Ida kembali menyela, “Yang hendak kami ikuti itu adalah istri-
istri Rasulullah SAW dan para shahabiyah, bukan istri menteri agama.”
“Ya, tetap saja, walaupun begitu …,” pak Rosyid kembali bicara ke sana kemari.
Siswi-siswi berjilbab, termasuk Mbak Ida, tidak tertarik untuk menanggapi lagi. Mereka
hanya berharap agar dialog satu arah yang tidak menguntungkan mereka ini bisa segera
berakhir.
Siangnya, beberapa ikhwan kelas III dan II menemui Pak Yahya, guru agama Islam
sekolah selain Pak Rosyid. Sementara itu, siswi-siswi berjilbab juga menemui Ibu Maria,
guru Biologi yang selama ini sering membela pendirian mereka.
Pembicaraan dengan Pak Yahya terpaksa harus membuat anak-anak Rohis kecewa.
Kendati menyadari wajibnya jilbab, guru yang satu ini memilih berdamai dengan
peraturan sekolah.
“Bapak tidak bisa banyak membantu kalian, karena kita berhadapan dengan peraturan
resmi pemerintah. Selama peraturan itu ada, maka selama itu pula kita tidak bisa
melakukan hal yang bertentangan dengannya. Kalau menurut Bapak, sebaiknya teman-
teman wanita kalian itu mengalah dulu sekarang ini. Mengalah untuk menang, kata
pribahasa,” Pak Yahya menjelaskan pandangannya. Sementara itu ia berusaha
menyibukkan diri dengan hal-hal yang tidak begitu perlu.
“Lantas sampai kapan kita harus mengalah. Nanti di Perguruan Tinggi saudari-
saudari kita tetap dilarang berjilbab, di tempat kerja pun tetap seperti itu. Kalau kita diam
saja maka selamanya jilbab akan dilarang. Bukankah ini sangat tragis, di negeri yang
mayoritas penduduknya muslim, jilbab tidak boleh dikenakan.” Lutfi menimpali dengan
nada kesal.
“Bagaimanapun juga, Bapak tidak bisa membantu kalian,” Pak Yahya menyampaikan
putusan akhirnya. Anak-anak Rohis terpaksa meninggalkannya dengan memendam
kekecewaan. Bahkan guru-guru agama pun begitu apatisnya terhadap perjuangan Islam.
Adapun sikap ibu Maria justru sebaliknya, beliau sangat terharu dengan kegigihan
siswi-siswi berjilbab dan siap membantu mereka. Aneh, guru yang tidak memakai jilbab
justru bersedia tampil membela kepentingan siswi-siswi berjilbab. Semoga Allah
membalas amal perbuatan Ibu.
…
“Heh anak jelek,” seorang anak lelaki melongok ke kamar Wulan. Wulan
menurunkan buku pelajaran yang sedang dipegangnya. Matanya segera menatap paras
badung kakaknya yang di hidungnya masih ada bekas luka.
“Kak Roni!” Wulan langsung lompat dari tempat tidurnya. Yang diseru hanya
cengar-cengir sambil masuk ke dalam kamar, tangannya bersembunyi dibelakang badan.
“Kak Roni, kenapa kemarin berkelahi dengan Papa,” Wulan langsung memprotes
kakaknya itu.
“Lho, kamu ini dibela kok malah protes,” Roni memprotes balik Wulan.
“Bukan begitu, kita ini harusnya kan berbakti pada orang tua, tidak boleh menyakiti
perasaan mereka, apalagi sampai bertengkar secara fisik.”
“Lha, bukannya kamu sendiri tidak berbakti pada orang tua dengan pakai jilbab.”
Wulan langsung terdiam mendengar kata-kata kakaknya itu. Kakak nggak ngerti sih,
ini kan perintah Allah yang tidak boleh dilanggar walaupun atas perintah orang tua.
“Sudahlah, nggak usah diskusi masalah berbakti pada orang tua. Kalau saja kamu
tahu brengseknya si Mayor Hendarto itu ….”
Nafas Wulan tercekat mendengar perkataan kakaknya itu. Papa … brengsek …. Kak
Roni kok benci betul pada papa sih.
“Yang penting sekarang kamu nggak usah takut lagi pakai jilbab ke sekolah. Nih, gue
beliin dua jilbab di toko kemarin,” Roni menunjukkan kedua jilbab berwarna putih yang
dari tadi disembunyikannya dibalik badan, “Kalau ada yang ganggu kamu lagi, bilang
aja.” Wajah kakaknya itu terlihat tanpa ekspresi.
Wulan hanya melongo melihat jilbab di tangan kakaknya itu.
“Jadi mau diterima nggak?” Roni mendesak adiknya supaya segera mengambil jilbab
itu dari tangannya, seolah ia sedang mengenggam benda “haram” yang akan membuatnya
malu kalau dilihat orang banyak. Wulan tidak bisa berkata-kata lagi. Ia langsung
memeluk kakaknya erat-erat sebagai tanda terima kasih.
“Wah, apa-apaan nih,” Roni segera melepaskan pelukan adiknya itu. “Sudah … sudah,
gue punya banyak urusan lain.” Ia pun melangkah keluar kamar. Sampai di pintu ia
menoleh ke arah Wulan.
“Jangan kamu pikir saya mendukung jilbab ya. Buat saya kamu jadi terbelakang
kalau pakai kerudung,” Roni membalikkan badan dan meninggalkan kamar. “Dasar bego,
kayak ninja aja.”
Wulan cuma tersenyum mendengar kata-kata kakaknya itu. Begitulah Roni, sulit
difahami, tapi sebetulnya dia sayang banget pada adiknya.
Bab VIII
Hari ini hari Sabtu. Dua hari berlalu dan Wulan sudah kembali masuk seperti biasa.
Tadinya orang tuanya merasa heran dengan keputusan Wulan ini, tapi setelah merasa
yakin bahwa Wulan “tidak memakai jilbab” ke sekolah, mereka tentu senang. Agar tidak
ketahuan memakai jilbab, Wulan terpaksa baru mengenakan jilbabnya pada jarak yang
aman dari rumah. Sementara, supaya jangan sampai ada orang yang melihatnya tanpa
jilbab di jalan dekat rumah, ia memutuskan untuk berangkat lebih pagi ke sekolah. Ia
menyadari bahwa cepat atau lambat orang tuanya bakal tahu. Tapi ia lebih suka
mengambil resiko ketahuan daripada harus bersikap pasif dengan berdiam diri setiap hari
di rumah.
Wulan baru saja turun dari mikrolet yang ditumpanginya. Ia melihat Dewi, yang juga
baru turun dari kendaraan umum, sedang memegangi pipinya dengan wajah setengah
bingung.
“Kenapa kamu Wi? Kita masuk yuk,” Wulan menggandeng tangan Dewi
mengajaknya masuk gerbang sekolah. Dewi masih terdiam, matanya memperhatikan ke
arah mikrolet yang sudah sejak tadi meninggalkannya.
“Kamu ini kenapa sih? Lagi sakit gigi ya?” Wulan berusaha mengajak Dewi bercanda.
Dewi menengok ke arah Wulan, wajahnya masih mengekspresikan perasaan bingung.
“Tadi saya ditampar orang Lan.”
“Ditampar … sama siapa Wi?” Wulan kaget.
“Saya nggak kenal dengan orang itu. Yang pasti, waktu di pertigaan sana itu (Dewi
menunjuk ke arah pertigaan yang ia maksud) seorang anak muda turun dari mikrolet.
Saya kebetulan duduk dekat pintu. Anak muda itu tiba-tiba saja menampar pipi saya
keras-keras sambil melompat turun.”
“Keterlaluan sekali. Memangnya kenapa ia melakukan itu? Karena kamu pakai jilbab
mungkin?” Wulan terlihat geram.
“Bisa jadi. Seingat saya, pemuda itu pakai kalung salib.”
Wulan hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar kejadian itu.
“Tapi ceritanya belum selesai Lan.”
“Belum selesai?” Wulan bertanya penasaran.
“Iya. Setelah itu sopir mikroletnya turun juga dari kendaraan dan mengejar pemuda
itu.”
“Sopirnya mengejar pemuda tadi … subhanallah. Nggak salah denger nih … terus …
dapat?”
“Dapat dan langsung ditampar berulang kali. Anak muda itu sampai pucat mukanya
dan berkali-kali minta maaf, saya jadi nggak tega melihatnya.”
Keduanya terus mendiskusikan peristiwa itu sambil berjalan memasuki gerbang
sekolah. Dunia memang unik dan penuh kejutan. Itu tentu salah satu bentuk pertolongan
Allah bagi orang-orang yang beriman. Sayang … betapa kita sering tidak sabar dengan
datangnya pertolongan ini.
Pelajaran pertama dimulai. Pak Hafidz, pelajaran Fisika. Wulan dan Irma, seperti
biasa, seharusnya tidak diperbolehkan berada di kelas untuk mengikuti pelajaran karena
jilbab yang mereka kenakan. Tapi mereka memutuskan untuk membandel, selama belum
disuruh keluar mereka akan tetap berada di kelas. Anak-anak Rohis senang dengan pak
Hafidz. Walaupun guru fisika yang satu ini tidak pernah mendukung jilbab secara
langsung, tapi ia tidak pernah mengeluarkan mereka dari kelas. Baginya yang pantas
dikeluarkan cuma anak-anak yang memang tidak mau belajar.
Wulan sedang asyik mencatat pelajaran yang diberikan di papan tulis ketika Irma
tiba-tiba menyikutnya agak keras.
“Lihat tuh siapa di luar,” Irma memberi isyarat. Wulan melihat ke tempat yang
diisyaratkan Irma.
“Wah gawat, kita mesti siap-siap ke luar nih.” Keduanya lantas segera memasukkan
sebagian buku ke dalam tas.
Pak Hafidz masih memberikan catatan di papan tulis sambil memberi keterangan
lisan. Tiba-tiba pak Ghazali memasuki kelas I-2 dan langsung menunjuk ke arah Irma dan
Wulan dengan wajah garang.
“Kalian berdua, keluar sekarang juga!” Pak Hafidz berseru keras. Semua anak
terkejut dengan kehadiran pak Ghazali tersebut, tidak terkecuali Pak Hafidz.
“Ayo cepat!” Pak Ghazali memasang muka perang sambil bertolak pinggang. Wulan
dan Irma sudah memasukkan semua buku ke tas dan siap-siap beranjak dari tempat
duduknya.
“Apa-apaan ini pak!” Tiba-tiba Pak Hafidz membentak Pak Ghazali dengan keras.
Pak Ghazali tersentak dengan kemarahan rekannya itu.
“Ini Pak … Bapak mengerti kan kalau anak-anak bermasalah ini harus
dikeluarkan ….”
“Menurut saya masalahnya bukan pada anak-anak ini tapi pada Bapak. Apa Bapak
tidak pernah belajar sopan santun … ini kelas saya. Bapak masuk tanpa minta ijin,
berteriak-teriak, terus tolak pinggang, apa itu sopan santun?”
“Tapi Pak….”
“Pak Ghazali, apa Bapak anggap kelas ini tidak ada penanggung jawabnya. Saya
Bapak anggap apa?”
Wajah Pak Ghazali berubah pucat pasi. Seluruh siswa di kelas juga kaget dengan
ketegasan sikap Pak Hafidz. Wulan dan Irma hanya bisa melongo. Wah, jadi keluar apa
nggak nih? Pak Ghazali langsung membalikkan badan dan keluar dari kelas I-2. Begitu
Pak Ghazali menghilang dari pandangan anak-anak langsung bersorak mengelu-elukan
Pak Hafidz. Mereka kagum dengan sikap guru yang satu ini, apalagi mereka juga agak
sebal dengan Pak Ghazali yang agak arogan sikapnya. Di tengah sorak-sorai tersebut …
“Diam semua … tidak ada yang berisik,” Pak Hafidz menghardik keras. Semua anak
terdiam. Nah lho, ada apa lagi nih … jangan-jangan Pak Hafidz lagi eror sehingga
marah-marah terus. Wulan dan Irma juga tersentak kaget, bukan cuma karena teriakan
Pak Hafidz, tapi juga karena guru yang satu ini sekarang melihat tajam ke arah mereka
berdua. Tiba-tiba Pak Hafidz mengedipkan matanya dan tersenyum sedikit.
“Kita lanjutkan pelajaran,” Ia berkata begitu sambil membalikkan badan ke papan
tulis dan mulai melanjutkan pelajaran,” jangan ada yang ribut ya.”
Anak-anak seketika itu juga merasa lega. Pak Hafidz … bikin kaget aja. Mereka jadi
senyum-senyum sendiri. Irma dan Wulan merasa lega sekali. Selamet … nggak jadi
keluar. Makasih ya Pak, gumam mereka dalam hati.
…
Sabtu sudah beranjak malam. Wulan telah berada di rumah sejak siang tadi. Ia
memutuskan untuk tidak menghadiri dulu pengajian Sabtu sore di sekolahnya, khawatir
orang tuanya kalap lagi bila mengetahui ia tetap melakukan aktivitas keislaman. Buku
Islam karya Abul A’la Al-Maududi yang sedang dibacanya cukup menjadi obat penawar
kesepiannya.
Wulan berharap orang tuanya mengendurkan tekanan terhadap dirinya sehingga tidak
perlu ada pertengkaran lagi di rumah. Lagi pula, siapa sih anak yang mau bertengkar
dengan orang tuanya sendiri … kecuali Roni mungkin, gumam Wulan.
Entah kenapa ibu terlihat sangat ramah pada Wulan dua hari belakangan ini. Kalau
ayah menggunakan cara kekerasan dalam menyikapi keinginan Wulan berjilbab, ibu
justru memilih cara yang berbeda, kendati untuk tujuan yang sama, membuat Wulan
meninggalkan jilbab. Ibu lembut sekali dalam memperlakukan Wulan sampai-sampai
Wulan jadi merasa tidak enak kalau harus menentang keinginan ibunya terus menerus.
Tapi … maaf ya ibu, Wulan tidak bisa mengabaikan perintah Allah. Ya Allah
sadarkanlah ibu Wulan supaya memahami wajibnya jilbab bagi seorang muslimah.
Malam Minggu ini sehabis makan malam ibu tiba-tiba menemui Wulan di kamarnya.
“Lan, Ibu punya baju baru buat kamu, bagus deh. Coba ini kamu lihat,” Ibunya
memperlihatkan sepotong gaun hitam yang sangat anggun. Wulan menatap gaun itu
dengan pandangan sebal yang tidak begitu diperlihatkannya.
“Ma, Mama kan tahu Wulan nggak mungkin memakai baju you can see kayak gitu.”
“Aduh Lan, baju bagus begini kamu nggak mau. Ini harganya mahal loh ….”
“Pokoknya Wulan nggak mau Ma. Wulan nggak bakalan pernah pakai baju kayak
gitu. Mama gimana sih, masak anak perempuannya disuruh buka-buka aurat di depan
umum, Wulan kan sudah gede Ma.”
“Ini kan supaya kamu terlihat cantik Lan. Kamu pasti sangat cantik dengan
menggunakan gaun ini.”
“Nggak Ma, pokoknya Wulan nggak mau,” Wulan mengangkat kembali bukunya
untuk meneruskan bacaannya.
“Kamu jangan gitu dong Lan. Ok, gini aja deh, kalau kamu memang ngak mau nanti
Mama kasih ke Lucy aja, sepupu kamu. Tapi Mama kepengen kamu coba pakai sekaliii
saja,” Mamanya berusaha membujuk Wulan. Wulan hanya diam saja.
“Ayo dong jangan nolak lagi, lagi pula ukuran pakaian kamu kan sama dengan Lucy.
Mama kepengen lihat kamu sekali saja pakai gaun ini sebelum gaunnya dikasih ke Lucy,”
Mama berkata begitu sambil menarik tangan Wulan. Wulan belum bergeming dari
tempatnya, namun tatapan Mama yang lembut membuat Wulan jadi tidak enak untuk
menolak. Akhirnya ia mengalah.
“Tapi hanya di kamar ini aja ya. Dan Wulan cuma mau lima menit saja.”
“Iya … iya. Ayo dicoba, kamu pasti cantik sekali memakai gaun ini.”
Setelah pintu kamar ditutup, Wulan pun mengganti pakaiannya dengan gaun
berwarna hitam tadi. Sambil memasangkan gaunnya itu ia menoleh khawatir ke sudut-
sudut kamar, seolah takut ada orang yang akan mengintipnya.
“Nah, sekarang coba lihat di cermin, kamu kelihatan cantik sekali.”
Wulan kesal dengan pujian Mamanya itu. Tapi ia menuruti saja kata-kata Mamanya.
Mama kok nggak ngerti-ngerti juga kalau seorang muslimah tidak boleh memakai
pakaian seperti ini. Tapi … ya sudah lah, toh cuma sebentar saja dan nggak ada yang
lihat. Ia menatap dirinya di depan cermin, mengenakan gaun lengan buntung dengan
panjang tidak mencapai lutut dan belahan panjang di kanan kirinya. Wajahnya langsung
berubah merah padam karena malu begitu melihat penampilannya di cermin, padahal di
tempat itu hanya ada Mama dan dirinya sendiri. Pakaian ini membuat saya terlihat
seperti pelacur.
“Sudah Ma, Wulan mau mau ganti lagi …,” Wulan bergerak untuk mengambil
pakaian sebelumnya, tapi Mama segera menahannya.
“Nanti dulu dong Wulan sayang, tadi kan janjinya lima menit. Sekarang coba kamu
pakai anting-anting Mama ini, pasti terlihat tambah cantik,” Mama Wulan menyodorkan
sepasang anting-anting emas.
“Pokoknya Wulan nggak mau pakai gaun ini lagi nantinya. Mama sudah janji Wulan
cuma memakainya sekali ini saja,” Wulan menerima kedua anting-anting itu dengan berat
hati. Mamanya hanya tersenyum sambil terus mengagumi penampilan Wulan yang baru.
Wulan masih sibuk mengenakan anting-anting ketika Mamanya berjalan ke arah pintu.
“Mama mau ke mana?” Tanyanya sementara tanggannya terus sibuk memasangkan
anting ke lubang telinga.
“Ada yang mau Mama ambil sebentar. Teruskan pasang anting-antingnya,” Mamanya
membuka pintu dan keluar kamar. Hanya beberapa detik saja Mamanya sudah masuk ke
kamar lagi dan membuka pintu kamar lebar-lebar. Sebelum Wulan sempat memprotes ….
“Ayo Nak Budi, masuk saja jangan malu-malu. Coba lihat, Wulan sudah cantik
sekali ….”
Budi … jadi Mama …. Sebelum Wulan benar-benar sadar apa yang sedang terjadi,
Budi tiba-tiba saja muncul di depan kamarnya. Wulan langsung menjerit histeris,
menyambar bantal, menjatuhkan diri ke lantai dan menutupi kepala sekenanya dengan
bantal tadi.
“Lan, ini pacar kamu datang kok kamu malah ngumpet begitu,” Mama berusaha
menarik Wulan agar berdiri, tapi Wulan bertahan kuat-kuat meringkuk di lantai dan
memegangi bantal kuat-kuat menutupi rambutnya. Ia mulai menangis terisak-isak,
tangisan yang disertai perasaan takut, marah, kecewa, dan benci bercampur jadi satu.
“Ini Budi Lan. Jangan histeris begitu, kamu kelihatan cantik kok pakai gaun itu,”
Budi berusaha membujuk Wulan. Sementara itu Mamanya masih berusaha membujuk
Wulan supaya menerima Budi.
“Mama jahat!!!” jerit Wulan dengan suara sekeras-kerasnya,” Mama tadi sudah
janji ….”
“Sudahlah Wulan, saya bisa ngerti kok perasaan kamu, tapi …,” Budi menyentuh
tangan Wulan “berusaha menenangkannya”. Wulan menepis tangan itu dan bangkit
berdiri dengan penuh kemarahan.
“Jadi apa mau kamu sekarang? Mau lihat saya telanjang?” jerit Wulan sambil
mendorong Budi dengan keras hingga terpental ke belakang, “Puas ya bisa melihat aurat
perempuan? Lalu setelah ini kamu mau apa lagi … dasar laki-laki brengsek!” Wulan
melemparkan keras-keras bantal yang ada di tangannya ke wajah Budi. Budi terkejut luar
biasa dengan reaksi Wulan yang seperti itu. Mimik wise guy yang sudah dipersiapkannya
dari rumah berubah seketika jadi kikuk. Mama berusaha menenangkan Wulan dengan
memeganginya. Beliau juga tidak menyangka kalau Wulan akan marah sehebat itu.
Wajahnya mulai menampakkan penyesalan.
“Mama pengkhianat! Kenapa Mama tega “menjual” anak perempuan Mama sendiri?
Mama mau Wulan jadi pelacur?”
“Mama …,” Mama Wulan kehabisan kata-kata.
Tiba-tiba Roni muncul di pintu kamar, ia pulang ke rumah sebentar untuk mengambil
gitarnya ketika mendengar jeritan keras Wulan. Mama terkejut bukan kepalang melihat
anak sulungnya yang tempramental itu sudah ada di depan kamar.
“Apa-apaan nih,” darah Roni menggelegak melihat adiknya menangis ketakutan
seperti itu. Ia langsung menatap Budi yang nafasnya tiba-tiba tercekat di kerongkongan.
“Kamu mau ganggu adik saya ya?” Suara Roni terdengar meninggi. Anting-anting di
telinganya terlihat seperti sebuah tiket ke rumah sakit buat Budi.
“Eh … eh … saya …,” Budi berjalan mundur-mundur dan membentur lemari besar di
kamar itu.
“Plakk… plakk …,” dua buah tamparan keras mendarat di pipinya. Tangan kiri Roni
mencengkeram kerah baju Budi, sementara tangan kanannya mengayunkan bogem
mentah persis di depan wajah pucat remaja yang biasanya sangat humoris itu.
Roni menggiring Budi keluar, beberapa kali bogemnya mendarat keras di wajah
klimis di hadapannya itu. Kini Ibunya yang menjadi histeris.
“Sudah Ron … jangan kamu pukuli lagi. Budi itu anak baik. Dia nggak bermaksud
jelek sama Wulan,” Mama Wulan mengikuti anaknya itu keluar kamar. Wulan yang
masih shock segera menutup dan mengunci pintu. Ia tidak tahu apakah ia harus merasa
senang dengan kedatangan kakaknya itu atau harus sedih karena lagi-lagi terjadi
perkelahian brutal yang bermula dari dirinya.
Di luar masih terdengar suara ribut-ribut. Tiba-tiba terdengar suara berdebam yang
beruntun seperti ada yang jatuh di tangga. Jangan-jangan …. Wulan tidak tertarik untuk
mengetahui apa yang tengah terjadi di bawah sana, hatinya terlalu sakit dengan apa yang
baru saja terjadi. Ia segera mengganti pakaian. Gaun hitam yang diberikan Mama tadi
langsung ia sobek-sobek. Setelah itu Wulan menjatuhkan dirinya ke tempat tidur dan
kembali menangis. Ya Allah mengapa hal ini harus terjadi? Mama kok tega berbuat
seperti ini. Astaghfirullahal adzim … Astaghfirullah …, Wulan banyak-banyak
beristighfar pada Allah. Apalagi yang akan terjadi setelah ini? … Rabbana walaa
tuhammilna maa laa thooqotalana bihi, wa’fu’anna, waghfirlana ….
…
Mayor Hendarto baru saja pulang dari urusan dinas hari Minggu sore berikutnya. Ia
segera mengetahui apa yang terjadi malam sebelumnya dan tidak menunggu lebih lama
untuk melabrak Wulan. Roni sedang tidak ada di rumah pada saat itu, sementara ibu
Wulan berusaha menenangkan suaminya agar suasana tidak menjadi lebih runyam lagi.
Tapi itu semua tidak bisa menahan kemarahan sang ayah.
Wulan tidak hanya kena maki ayahnya tapi juga mendapat perlakuan kasar secara
fisik. Segala sumpah serapah yang menyakitkan keluar dari mulut pria berbadan tegap itu,
sementara tangannya yang kekar juga tidak kalah ringan menampar dan memukul
putrinya yang lemah tak berdaya itu. Wulan hanya bisa menangis dan berusaha menahan
pukulan ayahnya sebisanya. Rupanya Mayor Hendarto tidak bisa bersabar lagi dalam
menangani masalah anaknya ini.
“Puas kamu!!! Kamu lihat berapa keributan yang terjadi di rumah gara-gara kamu.
Papa sudah bilang jangan suka ikut aliran Islam sesat, Islam politik, atau apapun yang
semacam itu, tapi kamu lebih suka menentang Papa dan Mama kamu rupanya.”
Wulan hanya bisa meringkuk dengan tegang di pojokan kamarnya, bersiap-siap
kalau-kalau ayahnya memukul lagi. Kendati merasa tegang dan takut, hatinya masih
bisa memprotes ucapan-ucapan ayahnya. Keributan ini gara-gara saya? Bukankah
sebelum ini ayah sendiri sudah sering ribut dengan Kak Roni ataupun Mama? Lagian
dari mana Papa tahu aliran Islam yang sesat dan yang tidak, sementara Papa sendiri
tidak pernah shalat sama sekali.
Sementara tangis Wulan mulai mereda, Mama Wulan justru menangis dan memohon
pada suaminya untuk tidak bertindak lebih jauh pada anaknya itu.
“Sudah Pa … sudah, jangan kamu pukuli puteri kamu sendiri.”
“Kamu juga!! Untuk ngurus kencan si Wulan saja nggak becus. Harusnya memang
saya sendiri yang menangani semuanya.”
Wulan terkesiap mendengar kata-kata ayahnya itu. Jadi, rencana kencan dengan Budi
semalam itu juga ide Papa. Termasuk juga gaun hitam yang diberikan Mama …?
“Mulai sekarang jangan lagi kamu bermimpi bakal ditolong oleh kakak bangsatmu itu.
Kalau dia berani macam-macam mulai sekarang …,” Mayor Hendarto mengeluarkan
pistol yang ada di pinggangnya, “Saya tidak akan segan-segan menggunakan ini.”
Wulan yakin ayahnya bakal berpikir ribuan kali untuk menembak anaknya sendiri,
tapi ia ngeri juga kalau-kalau ayahnya menjadi kalap dan kehilangan kontrol.
Di tengah perasaan tegang dan takutnya, Wulan berusaha menunjukkan sikap tegar.
Ia tidak ingin menunjukkan pada Papanya bahwa ia sudah menyerah kalah. Ia memang
tidak berusaha membantah perkataan ayahnya, tapi ia juga sudah tidak menangis lagi kini.
Rasa sakit bekas tamparan di pipinya serta pecahan bibirnya yang sedikit mengeluarkan
darah sudah tidak begitu dirasakannya. Begitu Mayor Hendarto dan Mamanya
meninggalkan kamar, Wulan langsung lunglai tak berdaya bagai tanaman yang layu.
Sementara itu, dari luar sana masih terdengar perdebatan tak seimbang antara kedua
orang tuanya. Rabbighfirli wa liwaalidayya … Rabbighfirli wa liwaalidayya …
warhamhuma kamaa robbayaani shaghiira.
Bab IX
Matahari pagi bersiap-siap naik meninggi untuk melakukan tugas-tugas hariannya,
menabur semangat baru pada jiwa-jiwa yang menanti-nanti kebajikan hari yang baru.
Namun, ada juga yang pagi itu memulai hari tanpa gairah yang menyala-nyala. Ya … kita
tidak terlalu heran bila hal ini berlaku pada Wulan. Ia berjalan gontai menuju sekolahnya.
Udara yang sejuk serta beberapa helai daun yang berguguran di sekitarnya tidak menarik
perhatiannya. Angin semilir yang mengalir di sela jari jemarinya hanya menambah
suasana melankolis di hatinya.
Wulan berdiri tertegun ketika sampai di depan sekolahnya yang sama sekali tidak
anggun itu. Budi … Pak Ghazali … Pak Jengki …, semua wajah-wajah yang
menyusahkan dirinya itu muncul satu persatu dalam benaknya. Bangunan di depannya itu
tidak lagi tampak seperti sebuah lembaga pendidikan tempat anak-anak belajar dan
berdiskusi, berkumpul dan bersosialisasi. Ia lebih terlihat seperti sebuah lembaga teror
atau penjara yang mencekam.
Wulan menoleh ke jalan raya. Ingin rasanya ia pergi ke tempat lain dan membolos
dari sekolah, sebagaimana ia juga ingin pergi jauh-jauh dari rumah tempat tinggalnya.
Apa lagi yang tersisa dari sebuah lembaga pendidikan kalau tidak memberi keleluasaan
bagi murid untuk belajar.
“Wulan, kamu kenapa?”
Lamunan Wulan buyar seketika. Ia menoleh ke arah suara yang menyapanya … Ibu
Latifa, guru BP. Ibu Latifa memperhatikan wajah Wulan baik-baik.
“Bibir kamu kenapa Wulan …?”
“Eh … nggak apa-apa kok … Wulan permisi masuk dulu ya bu, takut nanti
terlambat,” Wulan langsung bergegas memasuki gerbang sekolah. Ibu Latifa hanya
menatap siswinya yang terlihat agak gugup itu. Terlambat …? Sekarang masih pukul
setengah tujuh pagi.
…
Seperti biasa, tiap Senin pagi ada upacara bendera. Kali ini yang bertindak sebagai
pemimpin upacara adalah Bapak Subarjo sendiri selaku kepala sekolah. Naas bagi para
siswi berjilbab, karena pada upacara kali ini merekalah yang menjadi tema pidatonya.
Semua mata seolah tertuju ke arah mereka. Berkali-kali Pak Barjo menjelek-jelekkan
mereka secara terbuka. Mereka dianggap sebagai “siswi-siswi yang tidak mau taat
dengan peraturan sekolah”, “angkuh”, “arogan”, “merasa lebih pintar dari guru-gurunya,
termasuk guru-guru agama”, “mengganggu suasana belajar di sekolah”. Pak Barjo
mengatakan bahwa pada akhirnya mereka harus memilih, menuruti peraturan yang
berlaku di sekolah itu atau … keluar dari sekolah.
Para siswa saling berbisik satu sama lain menanggapi pembicaraan Pak Barjo. Wulan
hanya diam, sibuk dengan gejolak perasaannya sendiri. Irma hanya bisa menatap
sahabatnya itu dengan perasaan sedih. Ia sudah tahu kalau Wulan mendapat masalah
besar di rumah. Tega sekali mereka. Tapi orang tuanya tidak tahu kalau ia masih
memakai jilbab?
Seusai upacara, kepala sekolah memanggil seluruh siswi berjilbab. Mereka semua
mendapat surat. Mereka saling berpandangan satu sama lain … orang tua mereka
dipanggil ke sekolah besok pagi.
Keluar dari ruang kepala sekolah, mereka menuju ke kelas masing-masing. Ini hari
terakhir mereka diijinkan belajar di kelas. Mulai besok, mereka bahkan tidak diijinkan
memasuki gerbang sekolah selama masih memakai jilbab.
Wulan dan Irma berjalan bersama ke kelas I-2. Sepanjang jalan Irma memegangi
tangan Wulan.
“Apa yang akan kamu lakukan?”
“Tidak tahu. Rasa-rasanya saya ingin kabur saja dari rumah.”
Irma hanya diam memperhatikan. Ia memegang tangan sahabatnya itu makin erat,
berusaha ikut merasakan kegundahan hatinya.
“Kamu bisa bantu saya Ir?”
“Bantu apa?”
“Kabur dari rumah!”
“Kamus serius Lan?” Irma terkejut dengan kata-kata Wulan itu.
“Saya nggak bisa lebih lama lagi di rumah Ir. Saya … tidak punya pilihan lagi.”
Keduanya lantas terdiam, memikirkan percakapan yang barusan.
Ketika keduanya memasuki kelas, semua siswa memperhatikan mereka, umumnya
dengan perasaan simpati. Irma dan Wulan langsung duduk di tempat mereka dan bersiap-
siap untuk mengikuti pelajaran. Wulan hanya menatap buku pelajaran matematika yang
baru saja ia keluarkan dari tas. Ia sama sekali tidak bergairah untuk belajar pada hari ini,
padahal matematika adalah salah satu pelajaran kesukaannya.
“Ayah kamu memang kacau ya,” Tiba-tiba Imam yang saat itu duduk di belakang
wulan berbisik perlahan, ”Kamu sabar aja Lan.”
Wulan merasa bingung dengan kata-kata Imam itu.
“Kamu tahu dari mana tentang ayah saya?” Wulan bertanya heran.
“Dari kakak kamu ….”
“Roni …. Kamu kenal Roni?”
Imam hanya mengangguk perlahan.
…
Siang itu Wulan bergegas pulang ke rumah. Pikirannya dipenuhi pertanyaan-
pertanyaan yang ia tidak sabar untuk memperoleh jawaban segera dari kakaknya. Imam
dan Wanto belakangan rupanya suka nongkrong bareng dengan Roni. Mereka jadi tahu
banyak tentang keadaan rumah Wulan … bahkan sampai ke hal-hal yang Wulan sendiri
belum tahu.
Sampai di rumah ia langsung masuk ke dalam dan mencari-cari kakaknya. Ia bahkan
lupa melepaskan jilbabnya, untung Papa dan Mamanya sedang tidak di rumah. Wulan
mendapati kakaknya sedang asyik bermain gitar di kamarnya. Roni terkejut dengan
kedatangan Wulan yang mendadak. Ia memperhatikan Wulan baik-baik.
“Jadi Papa memukuli kamu lagi semalam?”
Wulan mengangguk perlahan, “Tapi kakak jangan berkelahi lagi dengan Papa.”
“Papa kamu itu banci, beraninya cuma main pistol,” Roni berkata kesal. Ia
mengalihkan perhatiannya pada senar-senar gitar yang sedang dimainkannya.
“Kak Roni, apa benar Papa …,” Wulan tidak sanggup meneruskan kata-katanya.
“Kenapa Papa?” Roni menatap adiknya heran.
“Tadi Wulan dengar semua ceritanya dari Imam dan Wanto.”
“Jadi kamu sudah tahu masalah Papa sekarang.”
“Apa benar Papa memberi perlindungan pada beberapa klub malam ilegal …?”
“Dan beberapa bandar narkoba,” Sambung Roni.
“ … Papa juga suka mengunjungi perempuan-perempuan malam di klub-klub itu?”
Nafas Wulan mulai tersenggal-senggal.
“Jadi kamu ngerti sekarang kenapa saya begitu benci pada Papa. Mama sebetulnya
tahu semua itu, tapi dia takut pada Papa dan takut kalau pernikahannya berantakan.”
Tangis Wulan pecah seketika itu juga, sebuah tangis yang tertahan, tangis kebencian,
tangis kekecewaan. Roni meletakkan gitarnya, bangun dari tempat tidur dan memeluk
adiknya.
“Kenapa Papa tega melakukan itu semua?” Wulan menumpahkan tangisan pada
kakaknya. Roni hanya menghela nafas dalam-dalam sambil berusaha menenangkan
Wulan. Wulan kemudian menatap kakaknya.
“Saya ingin pergi meninggalkan rumah,” Wulan menghentikan tangisannya. Roni
kaget mendengar perkataan adiknya itu.
“Kamu tidak sunguh-sungguh kan?”
Beberapa menit berikutnya Wulan berusaha keras untuk meyakinkan Roni hingga
akhirnya ia mengalah dan menyetujui keinginan Wulan.
“Jadi kapan kamu akan pergi?”
“Besok, pagi-pagi sekali sebelum subuh.”
…
Ummu Aiman mengusap air matanya. Sulit membendung air mata setelah mengikuti
kisah yang mengharukan seperti itu, tidak pula Aisyah.
Hanya sepenggal lagi kisah yang tersisa. Ummu Aiman, atau Wulan, akhirnya
memang pergi dari rumah dengan dibantu Irma dan kakaknya, Risyad. Tidak tanggung-
tanggung, ia pergi ke Bandung, ke rumah salah seorang saudara jauh yang bersedia
menampungnya dan merahasiakan keberadaannya untuk sementara. Semua kejadian itu
membuat Wulan terpaksa mengulang pelajaran di tahun ajaran berikutnya, dengan kata
lain tinggal kelas. Ia, sebagaimana teman-teman lainnya yang mengenakan jilbab,
terpaksa pindah ke sekolah swasta. Masih butuh separuh dekade lagi bagi perjuangan
jilbab di sekolah-sekolah negeri untuk membuahkan hasilnya.
Hubungan ayah dan ibunya makin memburuk dan berujung pada perceraian. Wulan
akhirnya tinggal bersama ibunya lagi … dan tentu saja dengan Roni juga. Ibunya yang
semula memusuhi jilbab belakangan justru mengenakannya dengan rapi. Roni, kendati
masih suka keluyuran dan semaunya, alhamdulillah mulai mau shalat lima waktu. Sampai
ke tahap ini, Wulan telah menunaikan sebagian pendakiannya menuju puncak kemuliaan
Islam.
Memang ada saat-saat menanam dan ada saat-saat menuai. Ummu Aiman alias Wulan
belum berhenti menanam, kendati peristiwa jilbab sudah lama berlalu, dan ia juga belum
akan berhenti menuai, karena masa panen akbar bukanlah di dunia yang fana ini.
Bagaimana dengan Anda?
top related