buku kampanye foia: apa itu kebebasan memperoleh informasi
Post on 27-Jan-2017
226 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
APA ITU KEBEBASAN MEMPEROLEH INFORMASI?
IGNATIUS HARYANTO
2
APA ITU KEBEBASAN MEMPEROLEH INFORMASI?
Ignatius Haryanto
Cetakan Pertama, September 2005
Penyunting
Gita W. Laksmini Soerjoatmodjo
Disain, Ilustrasi dan Tata Letak
[masukkan nama desainer, ilustrator dan lay-outer]
Penerbit
Koalisi untuk Kebebasan Memperoleh Informasi Publik dan UNESCO
Koalisi untuk Kebebasan Memperoleh Informasi Publik
Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP)
Jl. Penjernihan I no 16 Pejompongan Jakarta 10210 Indonesia
Telpon : (62 - 21) 574 - 6656
Fax : (62 - 21) 570 - 1656
Email : lspp@centrin.net.id
Situs : http://kebebasan-informasi.blogspot.com
3
Information allows people to scrutinize activity
[on the affairs of government, business and special interests]
and is the basis for proper, informed [democratic] debate on that activity
[and help the establishment and maintenance of good governance].
Bettina Peters, Transparency International (2003)
4
DAFTAR ISI
Bab I Dari Beras JPS Hingga IjinTrayek [no hal]
Bab II Negara-negara yang Menerapkan Kebebasan Informasi [no hal]
Bab III Prinsip-prinsip Utama Dalam RUU Kebebasan Memperoleh Informasi [no hal]
Bab IV Harapan dari Daerah [no hal]
Bab V Akibat Praktik Ketertutupan Informasi [no hal]
Bab VI Jalan Panjang untuk Memiliki UU KMI [no hal]
Bibliografi [no hal]
5
BAB I
Dari Beras JPS Hingga IjinTrayek
Sebelum krisis moneter menimpa Indonesia di pertengahan tahun 1997, hidup
Nungki warga kelurahan Maccini Sombala, Ujung Pandang, tergolong
berkecukupan. Sehari-hari ia mengelola ekspor udang lobster ke luar negeri.
Usahanya memang tidak berukuran raksasa, namun kegiatan yang biasa-biasa
saja tersebut memberinya penghasilan yang lumayan.
Namun ketika badai krisis moneter datang, seluruh usahanya bagai terkena
puting beliung. Nungki seorang penduduk biasa, ia bukan konglomerat. Alhasil ia
terpaksa menghentikan usahanya yang tak kuat diterpa krisis.
Karena bangkrut, Nungki beserta keluarga masuk daftar program bantuan
pemerintah, yaitu Jaring Pengaman Sosial (JPS). Program JPS ini adalah salah
satu upaya pemerintah untuk memberikan bantuan kepada warga masyarakat
yang tidak mampu, agar kebutuhan pokok hidup tetap tertopang, dalam bentuk
bantuan pangan. Hal ini berarti Nungki berhak mendapat jatah beras sebanyak
10 kilogram secara rutin per bulan, dengan hanya membayar Rp 10.000, lebih
rendah dibandingkan harga pasaran yaitu Rp. 17.500. Tentu saja keluarga
Nungki menerima hal ini dengan senang hati.
6
Namun lama-kelamaan jatah rutin tersebut menyusut. Dari semula 10 kilogram
untuk setiap keluarga, lurah Maccini Sombala memotong jatah hingga tinggal 2-3
liter per paketnya. Waktu distribusi jatah pun diulur-ulur, dalam 3 bulan hanya
terjadi 2 kali pembagian. Dalam hitungan Nungki, 10 liter per kepala keluarga
telah diambil petugas setiap tiga bulannya. Kalau dikalikan dengan jumlah warga
yang ada, jumlah itu menjadi sangat besar. Karena tidak adanya informasi yang
jelas tentang berapa besar jatah yang seharusnya mereka terima, Nungki dan
sejumlah warga lain kemudian mempersoalkan kasus ini pada Oktober 2000.1
Alhasil keluarga Nungki terpaksa terus mengencangkan ikat pinggang. Mereka
dan masyarakat Maccini Sombala lainnya tidak punya informasi soal jatah beras
JPS. Karena informasi serba simpang siur, beras yang jadi hak mereka raib
ditiup angin. Seandainya mereka tahu persis soal pembagian jatah ini, warga
Maccini Sombala tentu bisa ikut mengawasi distribusi beras JPS agar tidak
dikorupsi.
Lenyapnya beras JPS bukan satu-satunya kisah sedih lantaran hak publik
memperoleh informasi terabaikan. Bantarto, seorang pedagang kecil di wilayah
Jawa Tengah, telah lama menabung untuk membuat sertifikat tanah yang ia
miliki dan tinggali. Bersama 7 orang tetangganya, Bantarto menemui seorang
notaris untuk membantu pembuatan sertifikat tanah mereka. Total luas tanah
1 Contoh ini dikutip dari Hardjono, R & Teggemann, S. (eds) (tanpa tahun), Kaum Miskin Bersuara: 17 Cerita tentang Korupsi, Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintah di Indonesia, Jakarta, hal. 56-57.
7
yang akan disertifikasi adalah 743 m2, masing-masing orang memiliki sekitar
92,8 m2.
Ternyata Bantarto dan para tetangganya masih harus merogoh kocek dalam-
dalam. Selain biaya untuk membuat sertifikat tanah, mereka harus mengeluarkan
biaya bagi kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN), juga ketua RT dan ketua
RW setempat untuk membuat surat pernyataan menyatakan kesediaan mereka
menjual tanah tersebut ke pihak lain. Tidak jelas mengapa ketua RT dan ketua
RW meminta ada surat demikian, tetapi yang jelas bahwa untuk mendapatkan
surat tersebut, mereka harus meminta pengesahan dari tingkat RT, RW, hingga
ke Kelurahan sampai Kecamatan. Semua ongkos tersebut tidak resmi dan tidak
ada dalam aturan. Tetapi apabila uang tidak keluar, maka surat pun ikut tidak
keluar.2
Demi mendapatkan sertifikat tanah, Bantarto dan rekan-rekan tetangganya
terpaksa membayar pengeluaran tak jelas semacam ini. Tidak ada informasi
yang jelas soal biaya pembuatan sertifikat tanah. Alhasil setiap lembaga yang
ada di mata rantai perijinan bisa seenaknya mengutip ongkos tambahan. Karena
takut surat tidak keluar, masyarakat terpaksa tutup mulut dan mengeluarkan
uang. Apabila ada informasi yang jelas tentang biaya pembuatan sertifikat tanah,
Bantarto si pedagang kecil ini bisa mengadukan pejabat publik yang nakal.
Namun karena haknya memperoleh informasi publik diabaikan, maka ia harus
keluar uang lebih. 2 op.cit. hal.37-39.
8
Masih ada cerita tragis lain lantaran hak publik atas informasi terabaikan. Ketika
konflik sosial pecah di berbagai sejak akhir tahun 1990-an hingga awal 2000-an,
ratusan ribu keluarga lari dari tempat tinggal mereka dan jadi pengungsi 3.
Mereka yang terpaksa pindah dari daerah asal berhak mendapatkan bantuan
dana dari pemerintah, khususnya Departemen Sosial. Akan tetapi laporan dari
lapangan menunjukkan bahwa bantuan tersebut tidak sepenuhnya sampai ke
para pengungsi 4. Lagi-lagi tidak ada informasi yang jelas tentang apa yang
menjadi hak pengungsi, bagaimana memperoleh dana bantuan tersebut, siapa
yang bertanggung jawab dan kepada siapa pengungsi bisa mengadu apabila
terjadi penyimpangan. Alhasil muncullah pertanyaan, kemana larinya dana
bantuan tersebut?
Soal informasi publik yang serba kabur juga ada dalam masalah ijin trayek
angkutan umum baru-baru ini. Di Jakarta, sebuah perusahaan taksi mengancam
akan menuntut Pemda DKI, karena ijin prinsip yang telah dikeluarkan dianggap
palsu oleh pemerintah daerah sendiri. Perusahaan tersebut menyatakan bahwa
mereka telah menempuh prosedur memperoleh ijin operasional taksi dengan
benar, sementara itu pihak Pemda DKI, dalam hal ini Wakil Gubernur Fauzi
Bowo mengaku tak pernah mengeluarkan ijin prinsip yang dimaksud. Karena
3 Di Ambon saja pada akhir tahun 2003, jumlah pengungsi masih mencapai ratusan ribu jiwa. Belum lagi di tempat-tempat lain, seperti di Madura, Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, dan pula di Aceh dan Nias paska tsunami. Lihat Kompas, ”Ratusan Ribu Warga Maluku Masih Mengungsi”, 31 Desember 2003, hal.11. 4 “Jatah Hidup Rp. 3.000/hari Belum Diterima Pengungsi”, Kompas, 16 Maret 2005, hal. 8
9
tidak ada informasi publik yang seharusnya dapat diakses pihak pengusaha
taksi, terjadilah kesalahpahaman tersebut.
Sementara itu menurut Kepala Dinas Perhubungan DKI Rustam Effendy, ijin
prinsip dari Gubernur untuk angkutan umum seperti taksi dan mikrolet banyak
dipalsu sejak tahun 2003. Dirinya menyatakan bahwa pemalsuan ijin prinsip juga
terjadi pada lebih dari 2.200 mikrolet. 5 Di saat yang sama, diberitakan bahwa
mantan Ketua DPRD DKI mulai diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Timur
dengan dakwaan menggelapkan uang Rp. 1 miliar milik pengusaha mikrolet.
Mantan Ketua DPRD DKI ini pernah berjanji kepada para pengusaha mikrolet
bahwa dirinya akan bisa mendapatkan ijin prinsip jika melalui dirinya. Untuk itu
diserahkan sejumlah uang untuk pengurusannya, tetapi ijin tak kunjung keluar,
sehingga para pengusaha mikrolet pun mengajukan masalah ini ke pengadilan 6.
Ketua DPRD sendiri tidak berwenang untuk mengeluarkan ijin, karena
yang berwenang adalah Dinas Perhubungan. Apabila ada uang gelap di kantong
ketua DPRD dari pengusaha mikrolet, pasti karena ada relasi di antara mereka,
mungkin berupa penggelapan atau penyalahgunaan. Akan tetapi karena ketua
DPRD tidak pegang akses informasi, boleh dibilang tidak ada soal kebebasan
informasi di sini (misalnya berupa penolakan akses informasi atau pengrusakan
informasi misalnya). Yang jelas ketua DPRD menyalahgunaan wewenang dan
informasi yang ia miliki sebagai pejabat. Dakwaan penggelapan uang sendiri
merupakan kasus pidana biasa.
5 Kompas (2005) 4 Mei, hal.17 6 Kompas (2005) 4 Mei, hal.18
10
Contoh di atas soal kaburnya informasi seputar perijinan trayek angkutan
umum punya dampak pada kepentingan publik di bidang transportasi. Berikut
cerita lain soal kepentingan publik di bidang pendidikan yang terbit di surat
pembaca harian Kompas tanggal 10 Agustus 2005.
BOX ----------------------------------------------------------------------------------------------------
”Sungguh sangat ironis, pemerintah kita mengatakan tentang biaya
pendidikan tahun 2005 ini akan gratis, ternyata itu hanya isapan
jempol belaka. Kami warga Cimanggis, Depok, mengalami jauh dari
gratis.
Kenapa kami bisa mengatakan hal itu tentu ada alasannya. Selama
ini, tahun-tahun sebelumnya, anak umur kurang dari enam tahun
bisa diteirma di SD dekat tempat tinggal kami. Anak kami yang
pertama dan kedua bersekolah di SD tersebut, tetapi begitu anak
ketiga kami yang umurnya enam tahun kurang dua bulan tidak dapat
diterima dengan alasan sekolah hanya membutuhkan dua kelas saja.
Meskipun pada akhirnya diterima juga karena ada kesepakatan
antara pihak orangtua dan panitia, tapi dengan catatan harus
menyumbang dana pembangunan sebesar Rp 1.000.000
Dana pembangunan itu belum termasuk uang formulir pendaftaran,
seragam, dan buku paket yang kalau dijumlahkan sekitar Rp.
11
1.375.000. Sedangkan yang diterima gelombang pertama separuhnya
saja. Bayangkan, untuk memasuki SD saja harus mengeluarkan
biaya sebesar itu. Tentu saja kami cukup keberatan sebab kami
hanya bekerja di perusahaan swasta dan anak kami tidak hanya satu
yang sekolah.
Pada akhirnya anak tidak kami sekolahkan untuk sementara waktu,
menunggu sampai tahun ajaran baru lagi. Oleh karena itu, kami
hanya dapat mengimbau kepada yang berkepentingan dalam
pendidikan dimana saja berada, tolong perhatikan kami yang
berpenghasilan pas-pasan tetapi ingin menyekolahkan anak. Jangan
dipersulit dengan berbagai alasan yang ujung-ujungnya meminta
sejumlah uang.”
Wiwik Ganefwati, Depok
---------------------------------------------------------------------------------------- END OF BOX
Kasus-kasus di atas menunjukkan adanya persoalan muncul karena hak publik
atas informasi diabaikan, mulai dari pembagian jatah beras JPS, biaya mengurus
sertifikat tanah, dana bantuan pengungsi, ijin trayek angkutan umum sampai soal
sekolah gratis. Tampak jelas bahwa intisari keluhan yang tergambar dalam
kasus-kasus tersebut adalah soal informasi publik. Publik tidak mendapatkan
informasi publik yang menjadi hak mereka, sehingga mereka tidak bisa
12
mengawasi tindak tanduk pemerintah, khususnya dalam pelayanan publik.
Akibatnya terjadi penyelewengan jatah beras dan dana bantuan pengungsi,
muncul biaya perijinan yang tidak jelas bahkan pemalsuan serta timbul
kekecewaan lantaran merasa ditipu pemerintah. Tidak adanya jaminan atas hak
publik memperoleh informasi jelas memberikan kerugian di pihak masyarakat.
Kebebasan memperoleh informasi (selanjutnya disebut KMI) adalah hak asasi
manusia yang bersifat fundamental dan universal. Hal ini berarti setiap individu
punya hak, tanpa kecuali, untuk memperoleh informasi. Sebagai konsekuensi
dari hal tersebut, pemerintah memiliki kewajiban membuka informasi. Kebebasan
memperoleh informasi ini mendapat jaminan secara internasional, terutama
dalam pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of
Human Rights) PBB dimana disebut bahwa “Setiap orang berhak untuk
mengeluarkan pendapat dan ekspresinya; hak ini mencakup kebebasan
untuk memiliki pendapat tanpa adanya campur tangan, dan juga hak untuk
mencari, menerima, dan menyebarkan informasi dan ide melalui media
apapun, dan tak boleh dihalangi.
Dalam laporannya kepada Komisi Hak-hak Asasi Manusia PBB, Abid Hussain,
seorang special rapporteur untuk Perserikatan Bangsa-bangsa menyatakan,
“Kebebasan informasi merupakan salah satu hak asasi manusia yang sangat
penting. Sebab kebebasan tidak akan efektif apabila orang tidak memiliki akses
13
terhadap informasi. Akses informasi merupakan dasar bagi kehidupan
demokrasi.” 7
Jelas bahwa kebebasan informasi merupakan bagian dari hak asasi dan Negara
punya kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak tersebut.
Lalu bagaimana hubungan antara kebebasan memperoleh informasi, demokrasi
dan tata pemerintahan yang baik? Hal tersebut akan dipaparkan lebih rinci di
bagian berikut.
Hak atas Informasi, Demokratisasi dan Good Governance
Kebebasan informasi atau jaminan atas akses publik terhadap informasi (public
access to information), sistem negara yang demokratis (democratic state) dan
tata pemerintahan yang baik (good governance) merupakan tiga konsep yang
saling terkait satu dengan lainnya. Kebebasan informasi membuat masyarakat
dapat mengontrol setiap langkah dan kebijakan yang diambil oleh pejabat yang
berpengaruh pada kehidupan mereka. Dalam negara demokrasi,
penyelenggaraan kekuasaan harus setiap saat dapat dipertanggungjawabkan
kembali kepada rakyat. Akuntabilitas membawa ke tata pemerintahan yang baik,
yang bermuara pada jaminan terhadap hak asasi manusia.
Untuk membangun tata pemerintahan yang baik (good governance), pemerintah
terbuka (open government) merupakan salah satu fondasinya. Dalam
7 Koalisi untuk Kebebasan Informasi (2001) Melawan Tirani Informasi, Jakarta: Koalisi untuk Keebasan Informasi, hal. 11
14
pemerintahan yang terbuka, kebebasan informasi adalah sebuah keniscayaan.
Di dalam pemerintahan yang terbuka berlangsung tata pemerintahan yang
transparan, terbuka dan partisipatoris dalam seluruh proses pengelolaan
kenegaraan, termasuk seluruh proses pengelolaan sumber daya publik sejak
dari proses pengambilan keputusan, pelaksanaan serta evaluasinya.
Menurut Mas Achmad Santosa,8 pemerintahan yang terbuka mensyaratkan
adanya jaminan atas lima hal:
1. hak memantau perilaku pejabat publik dalam menjalankan peran publiknya
(right to observe)
2. hak memperoleh informasi (right to information)
3. hak terlibat dan berpartisipasi dalam proses pembentukan kebijakan publik
(right to participate)
4. kebebasan berekspresi, salah satunya diwujudkan melalui kebebasan pers
5. hak mengajukan keberatan terhadap penolakan terhadap hak-hak di atas.
Jelas bahwa hak publik untuk memperoleh informasi merupakan salah satu
prasyarat penting demi mewujudkan pemerintahan terbuka, yang dapat dilihat
sebagai upaya proaktif mencegah timbulnya praktek korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN) dalam pengelolaan sumber daya publik. Praktek-praktek inilah
yang dipercaya sebagai penyebab utama krisis multi dimensi yang melanda
Indonesia sejak pertengahan 1997.
8 Good Governance dan Hukum Lingkungan, Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), 2001.
15
Pengalaman di masa sebelumnya menunjukkan dengan jelas bahwa akibat tidak
adanya mekanisme dan jaminan hukum terhadap akses informasi publik justru
dapat menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Dengan pola pemerintahan yang tertutup, lembaga-lembaga pemerintahan yang
ada cenderung bekerja secara tidak profesional karena tidak ada ruang bagi
publik untuk mengawasi dan mengontrol kinerja mereka. Oleh karena itu,
seharusnya upaya pencegahan KKN melalui perwujudan pemerintahan terbuka
dianggap lebih strategis dibandingkan upaya pemberantasan dengan cara
menghukum (represif).
Kebebasan memperoleh informasi bukan sekedar membawa manfaat dalam
menciptakan pemerintahan yang bersih dan efisien sekaligus dapat mencegah
praktek KKN, namun juga meningkatkan kualitas partisipasi masyarakat dalam
perumusan kebijakan publik serta pengawasan atas pelaksanaannya.
Kebebasan memperoleh informasi punya dampak sangat signifikan pada
demokratisasi dan upaya membangun penyelenggaraan negara yang baik.
Tanpa kebebasan memperoleh informasi, masyarakat akan mengalami krisis kepercayaan terhadap pemerintah
Karena kebebasan memperoleh informasi sangat penting, maka perlu untuk
memiliki mekanisme yang jelas dalam bentuk undang-undang. Adanya undang-
16
undang kebebasan memperoleh informasi sangat penting artinya dalam
beberapa hal:
a. Sebagai indikasi apakah Negara konsisten menjalankan pemerintahan yang
demokratis dan transparan
b. Mengatur pemerintah dalam menjamin hak publik untuk mengakses informasi
dan dokumen yang merupakan kepentingan publik
c. Memberi pedoman bagi pejabat publik dan badan publik yang mengelola dan
menyimpan informasi yang memiliki nuansa kepentingan publik dalam
memberikan pelayanan bagi publik yang meminta informasi publik tersebut.
d. Menjadi pedoman untuk menentukan informasi mana yang dapat dibuka
untuk publik (accessible) dan yang dilarang untuk dibuka kepada publik,
karena sifatnya yang memang harus dirahasiakan (secret dan confidential)
Jelas bahwa perlindungan hukum secara penuh terhadap kebebasan informasi
dalam bentuk undang-undang merupakan hal yang penting dalam melindungi,
menghormati dan memenuhi hak asasi manusia. Adanya undang-undang
kebebasan memperoleh informasi juga merupakan kunci dalam demokrasi,
pembentukan pemerintahan yang transparan dan bebas korupsi dan
pelaksanaan pembangunan yang partisipatif.
Di banyak negara di dunia, hal tersebut sudah dilakukan sejak lama. Undang-
undang kebebasan memperoleh informasi (dikenal dengan Freedom of
Information Act/FOIA) telah disahkan di negara-negara seperti Swedia, Amerika
17
Serikat dan Inggris. Di kawasan Asia sendiri, undang-undang ini disahkan di
Jepang dan negara tetangga Thailand.
Pada bab selanjutnya, diuraikan lebih jauh pengalaman menerapkan undang-
undang tersebut di sejumlah negara lain Diharapkan pengalaman-pengalaman
negara-negara lain tersebut bisa membuka mata tentang pentingnya jaminan
hukum secara penuh dalam bentuk undang-undang atas hak publik memperoleh
informasi. Seperti kata pepatah, belajar dari pengalaman adalah bijak, belajar
dari pengalaman orang lain adalah cerdik.
18
BAB II
Negara-negara yang Menerapkan Kebebasan Memperoleh Informasi
Kebebasan memperoleh informasi pertama kali memperoleh perlindungan
hukum secara penuh sekitar 300 tahun yang lalu. Tepatnya sejak tahun 1776,
Swedia mengesahkan UU KMInya sebagai bagian dari UU Kebebasan Pers
yang menjamin hak para jurnalis untuk bisa mengakses informasi publik. Swedia
sendiri kemudian berkembang sedemikian rupa sehingga sejarahnya ditandai
dengan keterbukaan politik dan politik luar negeri yang netral yang
mendahulukan permasalahan kesejahteraan warganya.
Di Amerika Serikat, salah satu negara adi daya saat ini, memiliki UU Kebebasan
Informasi sejak tahun 1966 yang menegaskan bahwa informasi yang dimiliki dan
dikeloa pemerintah harus dapat diakses oleh publik. Tetangga Indonesia di
lingkaran kawasan Asia Tenggara, Thailand, telah memiliki UU KMI sejak tahun
1997. Di Inggris kesadaran tentang pentingnya akses masyarakat terhadap
informasi ini sudah dirasakan sejak lama, UU KMI mereka sendiri sah di
penghujung abad 20, yaitu pada tahun 1999.
Saat ini Indonesia, bersama sebagian besar negara di kawasan Asia Tenggara
seperti Filipina dan Malaysia, masih berjuang untuk bisa memiliki UU KMI.
Sekalipun demikian kampanye yang mengedepankan hal ini terus berjalan
seiring dengan upaya menegakkan transparansi dan anti korupsi. Mari kita kaji
19
dan pelajari pengalaman dari beberapa negara yang telah memiliki kebebasan
informasi.
Swedia
UU Kebebasan Pers (Freedom of the Press Act) di Swedia ini merupakan satu
dari empat bagian hukum dasar Swedia yang kerap disebut sebagai fundamental
law. Tiga lainnya adalah UU Instrumen Pemerintahan (Instrument of Government
Act), UU Pergantian Raja (Act of Succession), dan UU Kebebasan Berekspresi
(Law on Freedom of Expression).
Dalam UU Instrumen Pemerintahan pasal 2 disebutkan ketentuan yang
menjabarkan kebebasan memperoleh informasi, yaitu ”Freedom of information:
that is, the freedom to procure and receive information and otherwise acquaint
with the utterance of others”. Akses publik terhadap informasi, termasuk akses
terhadap dokumen resmi hanya dapat dibatasi apabila terkait dengan keamanan
raja/ratu, suplai logistik di dalam negeri, keamanan dan keselamatan umum,
integritas individual, privasi, serta pencegahan dan penuntutan suatu kejahatan.
Secara garis besar, jaminan akses publik terhadap dokumen resmi ini mencakup
hal-hal sebagai berikut:
1. hak publik untuk membaca dan mendapatkan dokumen resmi (official
document)
20
2. hak aparatur penyelenggara negara, termasuk aparatur pemerintah daerah
untuk menyampaikan informasi tentang apa yang ia ketahui kepada siapapun
(freedom of expression of civil servant)
3. hak aparatur penyelenggara negara untuk menyampaikan informasi /
dokumen kepada media massa.
4. hak publik dan media massa untuk menghadiri persidangan (access to court
hearings)
5. hak publik dan media massa untuk hadir pada pertemuan-pertemuan resmi
parlemen (Swedish Parliament), Municipal Assembly, dan Country Council.
Amerika Serikat 9
Sebelum adanya UU Kebebasan Informasi di Amerika, terdapat UU Prosedur
Administrasi (Administrative Procedure Act) yang menyerahkan kewenangan
tidak terbatas kepada instansi pemerintah untuk menahan dokumen. Dengan
demikian, peminta informasi harus membuktikan ’kebutuhan untuk mengetahui’
(a need to know). Apabila permohonan sang peminta informasi, tidak ada
saluran pengadilan yang bisa ditempuh.
Sejak tahun 1955 sudah ada upaya untuk mengubah UU ini, yang berhasil pada
tahun 1966 dengan disahkannya UU Kebebasan Informasi. Pada dasarnya, UU
ini bertujuan memberikan perlindungan hukum atas hak warganya atau warga
negara asing untuk mengakses dokumen ke instansi pemerintah. UU ini lahir
9 Basuki, Wishnu (2002) “Kebebasan Informasi di Amerika Serikat” dalam Koalisi untuk Kebebasan Informasi Kebebasan Informasi di Beberapa Negara, (Penerbit?) Jakarta, hal (?)
21
karena perjuangan komunitas pers sejak tahun 1950-an, yang kerap
mengangkat masalah hak untuk mengetahui berdasarkan pada klasul
kebebasan pers pada Amandemen Pertama Undang-undang Dasar Amerika
Serikat.
Dalam UU Kebebasan Informasi, setiap instansi pemerintah federal wajib
memberikan informasi kepada masyarakat, kecuali yang masuk dalam 9 kategori
pengecualian (exemption) dan 3 pengesampingan (exclusion). Instansi yang
wajib memberikan informasi mencakup instansi pemerintah (eksekutif), instansi
militer, perseroan milik pemerintah, perseroan yang dikendalikan pemerintah,
cabang eksekutif lainnya termasuk Kantor Eksekutif Presiden, atau badan
pengatur independen. UU ini tidak mewajibkan presiden, wakil presiden, senator,
anggota DPR, badan peradilan federal, perusahaan swasta, sekolah, pihak yang
mengadakan kontrak dengan pemerintah federal, organisasi swasta, pemerintah
negara bagian atau pemerintah daerah untuk memberikan informasi kepada
masyarakat. Jadi pada dasarnya UU Kebebasan Informasi di Amerika hanya
mencakup lembaga federal (nasional), dan tidak kepada perseorangan pejabat
atau kepentingan swasta.
Dalam UU tersebut, 9 jenis informasi/dokumen yang tidak dapat dibuka adalah:
1. dokumen yang secara khusus ditetapkan sebagai dokumen rahasia oleh
perintah Eksekutif (Executive Order) demi kepentingan keamanan nasional
atau kebijakan luar negeri
22
2. dokumen yang berkaitan dengan aturan dan praktek personalia internal
instansi
3. dokumen yang secara khusus tidak boleh dibuka menurut undang-undang
4. dokumen tentang rahasia dagang dan informasi komersial atau keuangan
yang diperoleh dari perorangan dan bersifat khusus dan terbatas.
5. memorandum atau surat-surat, informasi khusus penasehat hukum-klien,
atau hasil karya penasihat hukum antar-instansi, atau intra-instansi
6. arsip pribadi atau medis dan arsip serupa yang jika dibuka dapat
menimbulkan pelanggaran privasi pribadi
7. dokumen atau informasi penyelidikan yang dihimpun untuk tujuan penegakan
hukum yang jika dibuka dapat (a) mengganggu proses penegakan hukum, (b)
menghilangkan hak seseorang di atas sidang yang wajar atau putusan
pengadilan yang netral, (c) melanggar privasi pribadi, (d) membuka identitas
sumber yang dirahasiakan, (d) membuka identitas sumber yang dirahasiakan,
(e) membuka teknik penyelidikan, (f) mengancam nyawa atau keselamatan
fisik seseorang.
8. dokumen yang berisi atau berkaitan dengan laporan pemeriksaan, operasi
atau kondisi tertentu lembaga-lembaga keuangan, atau
9. informasi dan data geologi dan geofisika, termasuk peta sumur-sumur minyak
atau gas.
Salah satu contoh penggunaan UU ini adalah kasus Pentagon Papers yang
terjadi pada awal 1970-an. Saat itu harian New York Times menurunkan laporan
23
tentang dokumen pemerintah tentang keterlibatan Amerika Serikat dalam perang
Vietnam. Saat itu pemerintah sangat keberatan dengan laporan New York Times
tersebut dan memerintahkan surat kabar tersebut untuk menghentikan
pemberitaan demi kepentingan keamanan nasional. Di pengadilan, hakim
Mahkamah Agung memutuskan bahwa pemberitaan tersebut tidak mengancam
keamanan nasional dan atas nama kebebasan memperoleh informasi, harian
tersebut diperkenankan untuk meneruskan pemberitaan demi publik yang lebih
luas. Ini menunjukkan bahwa acapkali pemerintah negara manapun secara
sepihak menilai bahwa informasi tertentu mengancam keamanan nasional.
Kasus ini penting untuk menunjukkan pentingnya memiliki lembaga independen
yang kompeten dan mandiri dalam menyelesaikan sengketa informasi seperti ini
serta uji kerugian yang mungkin terjadi apabila informasi dibuka dan untuk
menimbang kepentingan publik yang terkait.
Inggris 10
Negara ini dikenal memiliki tradisi demokrasi yang sudah berumur panjang. Akan
tetapi yang lebih dahulu ada justru UU Rahasia Negara, yang menutup akses
publik untuk mengetahui jalannya pemerintahan saat itu dan ditujukan untuk
mencegah tindakan spionase yang terjadi beberapa kali di negara ini. Misalnya
pada tahun 1984, seorang pegawai kementerian luar negeri Inggris dihukum 6
bulan penjara karena dituduh membocorkan informasi tentang rencana
pemerintah menangani aksi massa memprotes pembuatan peluru kendali oleh
10 Murhanjanti, P. dan Awiati, W., “Kebebasan Informasi di Inggris”, dalam Koalisi untuk Kebebasan Informasi (2002) Kebebasan Informasi di Beberapa Negara, Jakarta.
24
pemerintah. Setahun kemudian, pejabat senior, Clive Ponting, dari kantor
Kementerian Pertahanan Inggris juga dihukum karena dituduh membocorkan
rahasia negara. Informasi tersebut tentang seorang menteri dalam kabinet yang
sedang berkuasa kala itu, menurut Ponting, menteri tersebut memberikan
informasi menyesatkan pada parlemen tentang tenggelamnya Kapal Belgrano
dalam perang antara Inggris dan Argentina.
Sekalipun demikian, publik Inggris tetap memiliki pemahaman dan kesadaran
tentang pentingnya kebebasan mengakses informasi juga hak-hak lainnya. Pada
tahun 1984, Inggris mengesahkan UU Perlindungan Data yang menjamin hak
seseorang untuk melihat informasi pribadi yang disimpan pemerintah. Di tahun
yang sama, pemerintah Inggris juga mengundangkan UU Pemerintahan Daerah
yang mengatur hak publik mengakses informasi. Tiga tahun kemudian Inggris
mengundangkan UU tentang Akses Terhadap Data Pribadi. Di saat yang sama,
sejumlah peraturan lain secara spesifik menyebut hak publik untuk memperoleh
informasi yang menjadi haknya.
Sementara itu perjuangan untuk mengesahkan UU Kebebasan Informasi terus
dilakukan, namun acap kali kandas di tingkat parlemen. Dalam masa kampanye,
dua partai politik besar di Inggris, Partai Buruh dan Partai Konservatif, kerap
menjanjikan pengesahan UU KMI tetapi ketika hasil pemilu diumumkan dan
pemerintahan baru berjalan, tak ada yang berubah.
25
Situasi kemudian betul-betul berubah tahun 1998 setelah munculnya laporan
yang disebut sebagai Freedom of Information Proposal yang ditandatangani 240
anggota parlemen Inggris, yang mengundang pemerintah membahas
Rancangan Undang-undang Kebebasan Informasi. Setelah melewati proses
panjang dan berliku, baru pada tahun 2000 Inggris memiliki UU Kebebasan
Informasi.
Thailand 11
Sebagai negara di kawasan Asia Tenggara yang tidak pernah dijajah
pemerintahan kolonial Eropa, Thailand ironisnya tak pernah lepas dari kemelut.
yang ditandai dengan berbagai kudeta oleh kalangan militer. Kerap kali kudeta
tersebut melibatkan penggunaan kekerasan terhadap massa yang terdiri dari
masyarakat sipil. Banyak di antara mereka meninggal atau hilang dalam
peristiwa-peristiwa tersebut. Ini yang kemudian menyisakan banyak pertanyaan
kepada anggota keluarga para korban, yang kemudian menuntut pemerintah
membuka kasus tersebut, terutama latar belakang sikap militer Thailand dalam
penyerbuan, penganiayaan dan pembunuhan sederetan masyarakat sipil.
Seiring dengan proses reformasi politik Thailand, negara ini memiliki UU KMI
sejak tahun 1997. Sayangnya, kultur kerahasiaan masih berlaku di birokrasi
pemerintahan sehingga keluarga korban menerima dokumen yang penuh
coretan hitam karena informasi tersebut dianggap tidak bisa diumumkan ke
11 Sudirman, A. (2002) “Kebebasan Informasi di Thailand” dalam Koalisi untuk Kebebasan Informasi (2002), Kebebasan Informasi di Beberapa Negara, (penerbitan), Jakarta, 2002
26
publik, antara lain siapa yang bertanggung jawab atas penyerangan, satuan
mana yang dikerahkan dan siapa yang tewas saat itu.
Namun ada kisah menarik yang terkait dengan penggunaan UU KMI. Seorang
ibu bernama Sumalee Limpa mendaftarkan Nathanich anaknya ke
Demonstration School of Kasetsart University. Sayangnya si anak dinyatakan
gagal dalam ujian saringan masuk. Penasaran, Sumalee menuntut pihak sekolah
untuk membuka informasi tentang nilai siswa yang diterima. Permintaan tersebut
ditolak oleh sekolah tersebut.
Tidak puas, Sumalee kemudian mengadu pada OIC (Official Information
Commission). Komisi tersebut memutuskan pihak sekolah membuka hasil nilai
ujian. Pada akhirnya nilai anak ibu Sumalee memang tidak cukup untuk diterima
di sekolah tersebut. Akan tetapi, upaya ibu yang juga pengacara ini menjadi
pembicaraan yang ramai di berbagai surat kabar karena ternyata banyak pejabat
yang melakukan berbagai upaya agar anak mereka masuk sekolah tersebut.
Hikmah Pengalaman Negara Lain
Dari sekilas pengalaman di sejumlah negara, jelas bahwa jaminan penuh secara
hukum atas hak atas kebebasan memperoleh informasi dalam bentuk undang-
undang punya nilai penting. UU KMI merupakan perwujudan nilai-nilai demokrasi
dimana pemerintah membuka diri secara transparan pada warga, sehingga
publik dapat mengontrol proses pembuatan keputusan dan dapat berpartisipasi
27
dalam menentukan arah kebijakan pemerintah. UU KMI juga dapat menjadi
pegangan untuk menentukan hal-hal seperti pengecualian informasi dan
penyelesaian sengketa informasi.
Dengan adanya UU KMI, perlindungan hak asasi atas informasi publik menjadi
kokoh. Oleh karena itu, sekelompok organisasi masyarakat sipil yang tergabung
dalam Koalisi untuk Kebebasan Memperoleh Informasi mengajukan draf RUU ini
ke DPR. Dalam draft RUU tersebut, termuat sejumlah prinsip penting tentang
kebebasan memperoleh informasi. Prinsip-prinsip tersebut dijabarkan secara
lebih terperinci dalam bab berikut ini.
28
BAB III
Prinsip-Prinsip Utama RUU Kebebasan Memperoleh Informasi
Secara mendasar, informasi publik mencakup segala informasi yang dihasilkan,
dikelola atau dihimpun dari kegiatan yang didanai oleh dana publik dalam
berbagai bentuknya (hutang, penggunaan sumber daya alam, pajak, dan lain-
lain).12 Sebagai konsekuensinya, informasi publik adalah milik publik.
Hal tersebut sejalan dengan konsep negara demokratis dimana
penyelenggaraan pemerintahan dilakukan berdasarkan atas amanat rakyat.
Negara demokrasi menganut mekanisme dimana kepala eksekutif mengelola
pemerintahan berdasarkan mandat yang diberikan oleh parlemen, dan kepala
eksekutif menjalankan pemerintahan pada amanat rakyat. Oleh karena itu,
segala informasi yang dihasilkan dan mengenai penyelenggaraan pemerintah
tersebut merupakan milik rakyat.
Sebenarnya prinsip-prinsip kebebasan memperoleh informasi telah banyak
dikenal dalam sejumlah legislasi di Indonesia. Dalam UUD 45 perubahan kedua
misalnya, pasal 28f menyebutkan: ”Setiap orang berhak untuk berkomunikasi,
dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan
sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia.” 12 Lihat Draft RUU KMI versi Koalisi Kebebasan Memperoleh Informasi
29
Di luar UUD, ada sejumlah peraturan lain yang memberikan kesempatan pada
masyarakat untuk memperoleh informasi. Salah satunya UU no.24/1992 tentang
Penataan Ruang, dimana pasal 4 menyebutkan: ”Setiap orang berhak untuk
mengetahui rencana tata ruang”. Ketentuan ini dilanjutkan dengan PP
no.69/1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata
Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang, pasal 2 ayat b
menyatakan: ”Dalam kegiatan penataan ruang masyarakat berhak: (b)
mengetahui secara terbuka rencana tata ruang wilayah, rencana tata ruang
kawasan, rencana rinci tata ruang kawasan.” Dalam pasal 3 ayat 2, dinyatakan
bahwa: ”Dalam rangka memenuhi hak masyarakat sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), menyebarluaskan rencana tata ruang yang telah ditetapkan pada
tempat-tempat yang memungkinkan masyarakat mengetahui dengan mudah.”
Perundangan lain, yaitu UU no.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
menyebut hal serupa. Pasal 5 berbunyi: ”Setiap orang mempunyai hak atas
informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan
lingkungan hidup”. Dalam pasal 3UU no.8/1999 tentang Perlindungan Konsumen
dikemukakan bahwa: ”Perlindungan konsumen bertujuan (d) menciptakan sistem
perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi”. Pasal 4
menyebutkan: ”Hak konsumen adalah: hak atas informasi yang benar, jelas, jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.” Selanjutnya pasal 7
30
menyatakan bahwa: ”Kewajiban pelaku usaha adalah: (b) memberikan informasi
yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa
serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.”
Jelas bahwa gagasan tentang pentingnya kebebasan informasi bukan
merupakan hal yang asing di Indonesia. Secara khusus, UU KMI akan memberi
jaminan hukum secara penuh terhadap hak publik memperoleh informasi. Dalam
RUU Kebebasan Memperoleh Informasi yang diajukan oleh Koalisi untuk
Kebebasan Memperoleh Informasi, terdapat 9 (sembilan) prinsip utama yang
dikedepankan dalam yang dipaparkan secara mendalam berikut ini13:
1. UU KMI sebagai Perangkat Koordinasi dan Harmonisasi
Sudah selayaknya apabila informasi tentang kegiatan yang dibiayai oleh dana
publik menjadi milik publik. Namun tidak semua informasi publik yang ada di
tangan badan publik dapat dibuka ke tangan publik. Salah satu alasan
pembatasan kebebasan informasi adalah hak atas privasi. Misalnya, informasi
miliki pribadi atau pihak ketiga yang dikelola oleh lembaga publik seperti yang
menyangkut kesehatan (rekam medis) seseorang atau informasi tentang
rekening bank pribadi.14
Oleh karena luasnya ruang lingkup informasi publik, maka UU KMI diperlukan
untuk merinci batasan dan pagar-pagar yang jelas bagi akses informasi publik.
13 Koalisi untuk Kebebasan Informasi (2001) Melawan Tirani Informasi, hal. 11 14 Lihat Draft RUU KMI versi Koalisi
31
Di sisi lain, UU KMI juga dibutuhkan untuk menjamin perlindungan terhadap
informasi pihak ketiga ataupun informasi pribadi. Selain itu, UU KMI juga
diperlukan untuk memberikan jaminan bagi publik agar dapat memperoleh
informasi publik secara cepat, tepat waktu, murah dan sederhana. Dengan
demikian UU KMI diperlukan menjadi perangkat koordinasi dan harmonisasi.
2. Permintaan Informasi Tidak Perlu Disertai Alasan
Informasi publik adalah milik publik. Sebagai konsekuensinya, anggota
masyarakat tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan alasan terhadap
permintaan informasi. Ini karena informasi yang dikelola lembaga publik tersebut
pada dasarnya menjadi hak publik.
Di negara lain, pemohon informasi tidak mengenal kewajiban untuk
menyebutkan alasan dari permintaan informasi. Misalnya UU KMI di Amerika
atau Australia yang secara umum menolak adanya kewajiban untuk
menyertakan alasan tertentu ketika masyarakat ingin memperoleh informasi dari
lembaga publik. Selain karena informasi tersebut adalah milik publik, penolakan
alasan tersebut adalah guna menghindari adanya penilaian subyektif dari pejabat
publik dalam memberi atau menolak informasi.
3. Akses Sederhana, Murah, Cepat dan Tepat waktu
Secara normatif, hak atas informasi publik banyak diatur dalam berbagai
peraturan perundangan Indonesia. Namun hingga saat ini, masih ada kendala
32
serius bagi masyarakat untuk memperoleh informasi, karena belum ada
mekanisme serta batasan jangka waktu yang jelas dalam memperoleh informasi
publik. Pada prinsipnya, UU KMI bertujuan menjamin hak publik mendapatkan
informasi dan menekankan kewajiban badan publik untuk memenuhi dan
menjamin hak masyarakat atas informasi.
Untuk itu, badan publik wajib membuka akses informasi yang sederhana, murah,
cepat dan tepat waktu. Hal ini penting karena nilai informasi bergantung pada
waktu, informasi yang hendak dicari bisa menjadi sia-siap apabila perlu waktu
yang sangat panjang untuk mencarinya.
4. Informasi Harus Bersifat Utuh, Akurat, Benar dan Dapat Dipercaya
Hak atas kebebasan informasi menjamin hak-hak asasi yang lain. Untuk itu,
informasi publik tersebut haruslah benar, akurat, dan dapat dipercaya (reliable).
Oleh karena itu, perlu dilakukan pendokumentasian yang baik sehingga
informasi tidak rusak atau hilang.
Selain itu harus diatur sanksi pidana bagi mereka yang dengan sengaja
menghancurkan informasi atau membuat informasi yang tidak benar atau
menyesatkan. Kualitas informasi publik itu sendiri merupakan salah satu bentuk
pertanggungjawaban badan publik terhadap amanat publik dan dana publik yang
telah digunakannya.
33
5. Maximum Access and Limited Exemption (MALE)
Pada dasarnya, informasi publik bersifat terbuka dan hanya sebagian kecil yang
bisa dikecualikan. Pengecualian pembukaan informasi tersebut hanya dapat
dilakukan secara ketat dan terbatas. Pengecualian juga hanya bisa dibenarkan
apabila terdapat kepentingan yang sah (legitimate) yang harus dilindungi, dan
kepentingan tersebut lebih besar dibandingkan kepentingan umum. Oleh karena
itu, akses terhadap informasi publik haruslah maksimal sementara pengecualian
diperkenankan sejauh terbatas (limited). Penutupan informasi juga hanya bisa
dilakukan selama batas waktu yang jelas.
Pengecualian atau pengklasifikasian rahasia atas informasi dapat dilakukan
dengan bersandar pada hal-hal sebagai berikut:
• Dilakukan secara ketat dan limitatif
• Tidak bersifat permanen
• Dilakukan apabila pembukaan informasi menimbulkan kerugian
(consequential harm test) yang diatur jelas dalam undang-undang.
• Dapat dibuka kembali kepada publik setelah melalui uji, apaila pembukaan
informasi lebih menguntungkan kepentingan yang lebih besar (balancing
public interest test)
6. Informasi Proaktif
34
Sebagaimana disampaikan sebelumnya, hak atas informasi juga meliputi hak
publik untuk diberi informasi secara proaktif (tanpa diminta), khususnya untuk
informasi-informasi yang meliputi:
a. informasi dasar yang diberikan dalam rangka sosialisasi kebijakan, ruang
lingkup badan publik ataupun untuk memberi gambaran pada masyarakat
informasi apa saja yang dimiliki badan publik serta tata cara mendapatkannya
agar hak publik atas informasi dapat difasilitasi secara efektif;
b. informasi mengenai rencana pembuatan kebijakan untuk memfasilitasi
partisipasi masyarakat;
c. Informasi yang wajib diumumkan tanpa ditunda, yaitu informasi mengenai
ancaman terhadap hajat hidup orang banyak, misalnya informasi tentang
bahaya banjir, gempa, kebocoran reaktor nuklir atau limbah berbahaya, dll
7. Penyelesaian Sengketa Secara Cepat, Murah, Kompeten dan Independen
Secara prinsip sengketa berarti ketidaksepakatan antara dua belah pihak
terhadap masalah apakah suatu informasi boleh dikemukakan kepada publik
atau tidak. Koalisi berpendapat bahwa jika akses informasi ditutup, maka si
pelaku terkena hukum pidana alias masuk penjara.
Mengingat nilai informasi bergantung pada waktu, maka penyelesaian sengketa
informasi haruslah menganut prinsip-prinsip cepat, tepat waktu, murah dan
sederhana. Penyelesaian sengketa juga harus dilakukan secara kompeten dan
independen. Dalam RUU KMI, hal ini dilakukan oleh Komisi Informasi.
35
Dalam konstitusi Kanada, Thailand dan Swedia disebutkan juga peran Komisi
Informasi sebagai lembaga yang mengurusi persengketaan informasi, mengatur
ancaman pidana kepada mereka yang menghambat pelaksanaan tugas dan
penegakan putusan komisi informasi.
8. Ancaman Hukuman bagi Mereka yang Menghambat Akses Informasi
Publik
Secara prinsip, setiap orang yang sengaja menghalangi akses informasi publik
sudah seharusnya menerima ancaman pidana. Ini karena informasi publik
sejatinya adalah milik publik, pelanggaran terhadap hak publik atas informasi
berarti pelanggaran hak asasi. Undang-undang di Amerika dan Kanada juga
mengatur ancaman pidana bagi pejabat publik yang tidak menjalankan tugasnya
dalam menyediakan informasi publik.
Ancaman tersebut diberikan dalam berbagai bentuk, antara lain:
a. mereka yang dengan sengaja menghancurkan informasi
b. mereka yang dengan sengaja membuat informasi yang tidak benar
c. pejabat publik yang tidak melaksanakan kewajibannya untuk
mendokumentasikan dan memberikan informasi.
36
Ketiga ketentuan ini dibuat untuk memastikan kewajiban para pejabat publik agar
terbuka dan memberikan akses kepada publik untuk mendapatkan informasi
yang menjadi hak mereka.
9. Perlindungan Terhadap Informan dan Pejabat Publik yang Beritikad Baik
Oleh karena itu, perlu ada jaminan hukum yang dapat melindungi pejabat publik
dan informan yang membuka informasi demi kepentingan publik. Apabila
jaminan ini tidak ada, maka pejabat publik menjadi enggan untuk membuka
informasi sehingga publik tidak bisa memperoleh informasi yang menjadi haknya.
Polemik seputar Rahasia Negara
Polemik antara rahasia negara dan kebebasan memperoleh informasi terjadi
karena adanya perbedaan pendapat. Sekelompok masyarakat berpandangan
bahwa rahasia negara merupakan hal yang lebih penting sehingga perlu
didahulukan. Sementara kelompok masyarakat yang lain menganggap
kebebasan memperoleh informasi lebih penting artinya dan hal-hal yang bersifat
rahasia cukup diatur dalam klausul pengecualian dalam undang-undang KMI.
Dalam draft RUU Kebebasan Memperoleh Informasi yang diajukan oleh Koalisi,
terdapat pengecualian informasi yang diantaranya menyangkut soal sistem
pertahanan keamanan, persenjataan dan hubungan bilateral dengan Negara
37
lain. Akan tetapi secara prinsip, RUU KMI menegaskan bahwa perlu dilakukan
mekanisme uji yang berdasarkan kepentingan publik. Apabila kepentingan publik
lebih besar dibandingkan kerugian yang terjadi akibat membuka informasi, maka
informasi tersebut harus dibuka. Oleh karena itu, penilaian semacam ini harus
dilakukan secara kompeten oleh lembaga yang independen seperti Komisi
Informasi.
38
BAB IV
Harapan dari Daerah
Di tengah beratnya proses legislasi kebebasan memperoleh informasi di tingkat
nasional, ada kabar gembira datang dari daerah. Sejumlah daerah telah
mengesahkan dan beberapa lainnya tengah mempersiapkan Peraturan Daerah
(perda) yang mengatur masalah transparansi, kebebasan informasi dan
partisipasi publik. Daerah-daerah tersebut adalah kabupaten Solok, kabupaten
Lebak, kabupaten Bandung, kabupaten Kebumen, kabupaten Magelang,
kabupaten Gowa, kabupaten Takalar, kabupaten Bulukumba, kabupaten
Boalemo, kabupaten Bolaang Mongondow dan provinsi Kalimantan Barat 15.
Sebelumnya kota Gorontalo dan kota Kendari sudah mengeluarkan Perda
tentang transparansi dan kebebasan memperoleh informasi.
Dalam reformasi tata pemerintahan di tingkat kabupaten, kota serta provinsi ini,
daerah-daerah tersebut memperbaiki praktek tata pemerintahan yang baik di
bidang transparansi, akuntabilitas, kebebasan informasi dan partisipasi publik
serta melakukan perubahan dalam pengelolaan keuangan serta pengadaan
barang dan jasa. Khusus untuk bidang transparansi dan partisipasi serta
pengelolaan keuangan, daerah-daerah tersebut memberi akses informasi yang
lebih luas kepada masyarakat dan juga melibatkan partisipasi masyarakat pada
15 Wawancara dengan Sulastio, anggota Koalisi KMI, 31 Agustus 2005
39
saat proses pembuatan keputusan. Melalui perdanya, daerah-daerah tersebut
menjamin hak publik atas informasi publik.
Dalam waktu dekat, daerah-daerah tersebut diharapkan dapat mengumumkan
ketersediaan dokumen publik, ringkasan dokumen perencanaan daerah,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Laporan
Pertanggungjawaban (LPJ), prasyarat mendapatkan ijin usaha, pelayanan
publik, serta daftar regulasi yang dikeluarkan di tingkat daerah. Tampaknya
bahwa angin segar dan langkah progresif justru datang dari daerah.
Khusus tentang Solok misalnya, yang menarik adalah pada tahun 2004, Bupati
Solok, Gamawan Fawzi, menerima penghargaan Bung Hatta Anti Corruption
Award, bersama dengan Saldi Isra, Dosen Hukum Tata Negara dari Universitas
Andalas. Dalam penilaian Dewan Juri, Gamawan ditetapkan sebagai penerima
BHACA karena sikap sederhana dan merakyat, berani menolak dengan tegas
kenaikan dana taktis untuk mencegah preseden di DPRD, tidak ada indikasi
korupsi. Sebagai aparat pemerintah, ia berani menindak staf yang korupsi,
konsisten melaksanakan clean governance, memangkas jalur birokrasi melalui
satu pintu dan transparan, menerapkan kesepakatan tidak memberi dan
menerima, aktif berkampanye good governance dan pelayanan publik. 16
16 Lihat Berita “Bupati Solok dan Saldi Isra Penerima Bung Hatta Award”, Kompas 18 September 2004, hal. 8
40
Contoh lain dari praktek tata pemerintahan yang baik di tingkat pemerintah
daerah datang dari kabupaten Jembrana, Bali. Kabupaten ini telah melakukan
sejumlah inovasi untuk memberantas praktek korupsi yang disertai dengan
pemanfaatan APBD semaksimal mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat. 17
Kabupaten ini memiliki jumlah penduduk sekitar 221.616 orang atau sekitar 63
ribu kepala keluarga. Pada tahun 2003, kabupaten ini memiliki dana APBD
sekitar Rp 193, 1 milyar. Sedangkan pendapatan asli daerah sendiri mencapai
Rp 9,2 milyar.
Jembrana kemudian mengelola keuangan yang ada untuk melakukan efisiensi di
sejumlah sektor. Salah satu contoh adalah dari bidang pendidikan. Di Jembrana
banyak lulusan SD tidak bisa melanjutkan ke SMP karena tidak mampu
membayar iuran. Lebih dari separuh bangunan SD baik negeri dan swasta,
dalam kondisi rusak dan kesejahteraan guru sendiri memprihatinkan.
Melalui pengkajian, diketahui bahwa jumlah siswa per kelas rata-rata hanya 21
orang, sementara satu kelas sebenarnya dapat menampung murid hingga 30
orang. Yang dilakukan kemudian adalah penciutan jumlah sekolah dan
penyatuan beberapa sekolah menjadi satu. Penghematan yang diperoleh
17 Semua Bisa Seperti Jembrana: Kisah Sukses sebuah Kabupaten Meningkatkan Kesejahteraan Rakyatnya, Jakarta: Yayasan Tifa, 2005
41
dialokasikan untuk pos lain seperti kesejahteraan guru dan pengembangan
program pendidikan. Semua ini dilakukan secara transparan.
Satu hal yang dilakukan oleh kabupaten Jembrana yang sejalan dengan prinsip
keterbukaan informasi adalah dibentuknya tim standarisasi harga. Demi
menghindari penggelembungan harga dalam proyek pemerintah, tim standarisasi
harga tersebut bertugas mengecek harga kebutuhan pemerintah dan
membandingkannya dengan harga di pasar. Apakah hasil pengecekan tersebut
diumumkan ke publik? Kalau tidak ya bukan kebebasan informasi. Jaminan
akses informasi kuncinya pada informasi yang serta merta, informasi yang dapat
diminta berdasarkan permintaan dan informasi yang dikecualikan.
Berkat langkah-langkah tersebut, Jembrana berhasil mencapai sejumlah
prestasi, diantaranya penanganan keluarga miskin, penurunan angka kematian
bayi dan tingkat drop out siswa sekolah dasar. Dalam melakukan efisiensi dan
transparansi dalam pelaksanaan tata pemerintahan di tingkat daerah, Jembrana
juga membuka akses informasi sehingga potret kondisi terkini menjadi akurat
sehingga langkah-langkah yang diambil pun tak keliru. Dengan informasi yang
terbuka, Jembrana dapat melibatkan masyarakat dalam program-program
pembangunannya.
Langkah-langkah yang dijabarkan di atas membuat kabupaten Jembrana dapat
melakukan hal-hal di bawah ini:
42
• membebaskan SPP (Sumbangan Pembangunan Pendidikan) bagi seluruh
siswa SD, SLTP dan SLTA Negeri
• membebaskan biaya obat dan dokter bagi semua warga
• memberi beasiswa kepada siswa dari sekolah swasta
• membebaskan biaya rumah sakit bagi keluarga miskin
• menyediakan dana talangan untuk menjaga harga hasil panen
• menyediakan dana bergulir untuk usaha bagi kelompok masyarakat.
Potret nyata dari kabupaten Jembrana dan harapan yang muncul dari sejumlah
daerah yang telah mengesahkan Perda Transparansi tersebut merupakan
contoh penerapan tata pemerintahan yang baik, yang menjamin hak publik atas
informasi. Apabila inisiatif seperti ini lebih banyak dikembangkan oleh pemerintah
daerah dalam era otonomi daerah seperti sekarang ini, maka hal tersebut akan
langsung dirasakan masyarakat. Apalagi mengingat bahwa pemain kunci dalam
menjalankan roda pemerintahan kini ada di daerah tingkat II. Pada akhirnya,
yang menerima manfaat dari semua ini adalah pemerintahan daerah itu sendiri
dan masyarakat di wilayah tersebut.
43
BAB V
Akibat Praktik Ketertutupan Informasi
Saat ini banyak sekali kasus dalam masyarakat, dimana informasi tak jelas
dijumpai, peraturan yang tidak mudah diketahui masyarakat, berbagai praktek
penyimpangan informasi yang ada serta penyalahgunaan informasi untuk
kepentingan ekonomi pribadi pejabat atau aparat pemerintah. Bahkan untuk hal
yang rutin dan sepele seperti pengurusan surat identitas atau Kartu Tanda
Penduduk (KTP) atau Surat Ijin Mengemudi (SIM) misalnya, tidak ada informasi
yang jelas soal harga resmi karena yang berlaku justru harga tidak resmi. Jika
kita ngotot minta harga resmi, yang ada entah ditertawakan oleh petugas
setempat, dipersulit prosedur pengurusannya, atau diperlama sehingga
membuat frustasi. Akibat yang harus kita hadapi adalah mau tidak mau
membayar lebih mahal dan membuang banyak waktu. Akibat lain adalah korupsi
tetap bercokol dan sukar diberantas lantaran berkembangnya pungutan liar.
Menurut ketentuannya, di DKI Jakarta, misalnya, Kartu Tanda Penduduk
harusnya dimiliki tanpa harus mengeluarkan uang sepeser pun. Tapi dalam
kenyataannya, adakah penduduk di Jakarta yang memiliki KTP tanpa harus
membayar? Hampir tak ada. Semua penduduk Jakarta setidaknya harus
mengeluarkan uang mulai dari Rp 10.000 hingga ratusan ribu untuk
mendapatkan KTP. Tak heran jika mereka yang punya itikad tak baik, dengan
44
hanya menyediakan uang ratusan ribu rupiah, bisa segera memiliki kartu
identitas yang palsu, dan menggunakannya untuk praktek kriminal tertentu.
Menurut seorang ekonom peraih hadiah Nobel, Amartya Sen, kelaparan lebih
mungkin terjadi di negara-negara dimana akses terhadap informasi terhambat,
karena apabila ada kebebasan informasi maka pemberitaan media bisa
mencegah terjadinya bencana dan memungkinkan pihak yang berwenang untuk
mengambil langkah-langkah penanganan. Dengan kata lain, kontrol media
maupun masyarakat bisa memantau kinerja pemerintah.
Jika kita serius membasmi korupsi, maka UU KMI menjadi salah satu cara efektif
untuk mencegah praktik tersebut. Benar bahwa memang tidak ada jaminan
bahwa dengan UU KMI maka seluruh kasus korupsi akan terbongkar dan tak
ada lagi kasus korupsi di masa mendatang. Akan tetapi dengan UU KMI,
perlahan-lahan budaya ketertutupan akan dikikis dan diganti dengan budaya
yang transparan dan akuntabel. Dengan demikian, proses pembuatan keputusan
dan penyusunan kebijakan menjadi terbuka untuk diawasi oleh masyarakat.
Selain mampu membuat keputusan-keputusan kritis, masyarakat juga dapat
berpartisipasi aktif dengan bekal informasi yang bebas. Selain kebijakan menjadi
lebih dapat dipertanggung jawabkan, ruang partisipasi dalam pembuatan
kebijakan tersebut menjadi terbuka bagi masyarakat.
45
Dengan adanya UU KMI, berbagai layanan publik mulai dari pengurusan Kartu
Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, Paspor, dan lain-lain dilakukan secara
transparan. Selain harga jelas, prosedur juga terbuka dan tanpa diskriminasi.
Apabila kita memiliki UU KMI, bisa jadi Indonesia tidak perlu lagi berada dalam
peringkat terendah di dunia dalam urusan praktik korupsi dalam berbagai survei
dunia seperti PERC. Dalam Laporan terakhir PERC (The Political Economy Risk
Consultancy), sebuah konsultan bisnis dan politik, menyebutkan bahwa
Indonesia adalah negara terkorup di Asia 18.
Dampak UU KMI
Dengan adanya UU KMI, kita mendapatkan jaminan hukum secara penuh atas
hak publik untuk mengetahui apa saja kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah, bagaimana kebijakan tersebut disusun serta siapa yang
bertanggung jawab dan bertanggung gugat. UU KMI menjadi bentuk nyata
kontrol masyarakat terhadap pemerintahan yang berkuasa untuk tak semena-
mena menjalankan kekuasaan. Dengan adanya informasi yang terbuka
masyarakat pun bisa menilai kinerja pemerintahan seperti apa yang ditampilkan
oleh para penguasa.
Mari kita gunakan contoh-contoh pada di awal buku ini untuk melihat bagaimana
kebebasan informasi bisa punya dampak berarti dalam kehidupan individu.
Nungki yang jatah beras JPSnya dipotong, bisa mengetahui kebijakan
pemerintah secara jelas dalam hal ini. Informasi publik seperti kriteria yang 18 “PERC: Indonesia Negara Terkorup di Asia”, Kompas, 9 Maret 2005, hal.15
46
berhak menerima dan berapa jatah per keluarga dapat ia akses. Apabila pada
kenyataannya terjadi penyusutan jatah, berkat informasi yang ia terima Nungki
bisa mempertanyakan bahkan menggugat aparat pemerintah yang bertanggung
jawab atas hal ini.
Apabila Bantarto yang tengah mengurus sertifikat tanah bisa mengakses
informasi publik soal biaya dan prosedur, maka ia dan para tetangganya tidak
perlu merogoh kocek untuk membayar biaya lebih. Apabila ada aparat yang
mencoba-coba menerapkan pungutan liar, Bantarto dan teman-temannya bisa
mengetahui bahwa hal tersebut merupakan bentuk korupsi. Akses atas informasi
publik dapat memberdayakan Bantarto juga yang lainnya untuk menuntut pejabat
publik yang terkait untuk meningkatkan kinerjanya.
Sementara untuk kasus ijin trayek angkutan umum, apabila prosedur dan biaya
jelas, maka tak perlu ada kasus pemalsuan surat ijin trayek. Yang terjadi
sekarang bahkan ironis, saking tertutupnya informasi soal perijinan ini, maka
mereka yang mengurus pun tak tahu ada pemalsuan surat ijin. Dengan adanya
UU KMI, hal-hal konyol seperti ini tidak perlu terjadi.
Lebih jauh lagi, UU KMI bisa mengubah budaya tertutup yang menjadi ciri
birokrasi kita menjadi transparan dan akuntabel. Baik pungutan tidak resmi yang
akhirnya menghasilkan ekonomi biaya tinggi, hingga perilaku diskriminatif
47
terhadap etnis Tionghoa misalnya, bisa diketahui dengan jelas, dipertanyakan,
digugat sampai diubah.
Mari kita baca contoh terakhir yang diambil dari rubrik surat pembaca di harian
Kompas 19.
BOX ------------------------------------------------------------------------------------------------
Fotokopi Dokumen Tender
Beberapa tahun terakhir ini, tender dari setiap instansi
pemerintah/badan usaha milik negara senantiasa diiklankan pada
koran-koran yang terbit di dalam negeri dan hal ini sangat bagus.
Namun, sangat disayangkan, akhir-akhir ini fotokopi dari dokumen
tender tersebut dijual dengan harga yang terlalu mahal, yakni antara
Rp 250.000 – Rp 1.000.000.
Padahal, sebelumnya tidak demikian. Untuk nilai yang ditenderkan di
atas Rp 20 miliar ke atas, misalnya, wajar saja dipungut jutaan rupiah
untuk membeli dokumen tersebut. Tetapi, kalau tender untuk
perusahaan kelas menengah (M) ke bawah, rasanya sangat tidak
pantas dan cukup membebani perusahaan. Apalagi belum tentu
menang dalam tender tersebut.
19 Kompas, 11 Agustus, 2005, hal.7
48
Biaya lainnya yang perlu dikeluarkan untuk tender ini adalah
dokumen pendukung dari bank dan biaya surat-surat keterangan
lainnya yang juga perlu biaya cukup besar. Di saat-saat susah
mencari pekerjaan, cara-cara tender seperti tersebut cukup
menyulitkan perusahaan kelas menengah ke bawah dan tidak
mendukung untuk berkembang/bergairah. Padahal kalau adil untuk
pembebanan biaya fotokopi kepada rekanan seperti apa adanya,
tidak terlalu mahal.
Kepada pemerintah, kami imbau agar membuat peraturan/teguran
kepada semua instansi pemerintah/BUMN untuk tidak menjual
fotokopi dokumen tender terlalu mahal.
Maulana Yusuf, Duri Kencana, Jakarta Barat
END OF BOX --------------------------------------------------------------------------------------
Apabila dilihat melalui kacamata kebebasan informasi, surat pembaca tersebut
sangat menarik. Surat pembaca tersebut menyampaikan bahwa tender instansi
pemerintah dan badan usaha milik negara kini diiklankan di surat kabar. Tender
yang di tahun-tahun sebelumnya banyak dilakukan secara tertutup, kini
diumumkan secara terbuka.
49
Tetapi hal ini tidak berarti soal akses informasi telah terjawab. Dalam proses
tender tersebut, dokumen dijual dengan harga terlalu mahal. Dengan demikian,
ini bertentangan dengan prinsip kebebasan informasi yaitu informasi seharusnya
berbiaya murah. Pengolahan informasi memang perlu biaya, tetapi harga yang
terlalu tinggi akan menghambat pelaksanaan hak publik untuk tahu. Sangat tidak
pantas apabila informasi publik yang menjadi hak asasi manusia tanpa kecuali
dikenakan biaya yang tidak masuk akal.
Surat pembaca tersebut juga menyoroti bahwa apabila biaya fotokopi apa
adanya, informasi tersebut akan terjangkau. Dengan UU KMI, si penulis surat
pembaca dapat mengetahui biaya yang sebenar-benarnya. Apabila terjadi
permainan, si penulis surat pembaca dapat mempertanyakan atau menggugat
harga yang tidak masuk akal tersebut. Lebih jauh lagi, si penulis surat juga bisa
mengajukan keluhan bahkan tuntutan apabila haknya untuk tahu dilanggar.
Oleh karena itu, jelas UU KMI secara efektif dapat memberantas praktik korupsi
yang sudah berurat akar dalam budaya birokrasi di Indonesia. Pejabat publik
akan bekerja dengan efisien juga profesional, karena apapun yang dia putuskan
dan lakukan dapat diawasi oleh publik. Oknum atau pejabat yang nakal harus
bertanggung jawab bahkan siap dituntut apabila masih bermain di bawah meja.
Berkat akses informasi yang terbuka, masyarakat pun mampu membuat pilihan-
pilihan kritis yang menentukan arah demokrasi. Berbekal informasi, setiap orang
dapat mengambil peran aktif untuk berpartisipasi dalam pembangunan.
50
BAB VI
Perjalanan Panjang UU KMI
Perjalanan memiliki UU KMI dimulai sejak akhir tahun 2000, saat sejumlah
lembaga swadaya masyarakat, lembaga negara juga invidu yang peduli tentang
kebebasan informasi di Indonesia membentuk sebuah koalisi bernama Koalisi
Kebebasan Informasi. Hingga kini koalisi terdiri dari hampir 40 lembaga swadaya
masyarakat nasional dan lokal dan didukung oleh beberapa lembaga seperti
Komisi Hukum Nasional/KHN dan Dewan Pers juga oleh sejumlah anggota DPR
berpikiran terbuka. Adapun kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam
koalisi ini mulai dari bidang lingkungan hidup, media, hak asasi manusia,
otonomi daerah, reformasi politik, pengembangan pedesaan, perjuangan anti
diskriminasi, kelompok agama, perlindungan konsumen, dan lain-lain.
Ada banyak kegiatan yang telah dilakukan oleh Koalisi, mulai dari proses
diseminasi informasi ke Pemerintah, DPR, masyarakat dan media tentang UU
KMI ini, mengadakan sejumlah seminar, pertemuan, diskusi publik, mengadakan
studi banding ke sejumlah negara, menyelenggarakan seminar internasional
dengan sejumlah pembicara dari berbagai negara dan lain-lain. Sejumlah
anggota Koalisi aktif menulis opini di sejumlah media massa, merespon sejumlah
permasalahan dilihat dari perspektif kebebasan memperoleh informasi.
51
Koalisi juga mengajukan RUU KMI versi Koalisi ke DPR pada bulan Maret 2002
yang diadopsi sebagai RUU Inisiatif DPR saat itu. DPR kemudian menggodok
ulang RUU tersebut karena sejumlah anggota DPR merasa draf tersebut masih
kurang baik. DPR kemudian melakukan sejumlah pembahasan seperti RDPU
(Rapat Dengar Pendapat Umum) kemudian membentuk Pansus untuk
menyempurnakan RUU tersebut.
Namun sayangnya pembahasan tersebut berjalan sangat lambat. Banyak faktor
yang mempengaruhi. Salah satunya karena sebagaian besar anggota Pansus
adalah anggota Komisi I, maka kerja Pansus terganggu oleh agenda-agenda
Komisi I lainnya. Di penghujung masa jabatan DPR 1999-2004, tepatnya di bulan
Juli 2004, dalam rapat paripurna Pansus melaporkan hasil kerja mereka kepada
pimpinan DPR. Dalam kesempatan tersebut, hasil Pansus yaitu draft RUU KMI
disahkan menjadi draft DPR. Pimpinan DPR menyepakati untuk memerintahkan
sekretariat Komisi I untuk mengirimkan draf tersebut kepada Presiden agar
Presiden segera mengeluarkan Amanat Presiden untuk menunjuk menteri yang
mewakili dirinya dalam rapat-rapat pembahasan selanjutnya dengan DPR.
Namun sayangnya proses tersebut berhenti sampai Pemilu Legislatif dan
Pemilu Presiden dimana terjadi pergantian anggota DPR. Setelah anggota DPR
dan Presiden baru dilantik, Ampres tidak kunjung turun. Sistem legislasi
Indonesia tidak mengenal sistem “warisan” (carry over), sehingga UU KMI yang
tidak selesai dalam periode DPR 1999-2004 tidak otomatis harus dilanjutkan
52
kembali prosesnya oleh DPR berikutnya. Setelah menghadapi kenyataan
tersebut, kerja keras Koalisi harus mulai dari nol lagi. Artinya Koalisi harus
memperkenalkan dan mensosialisasikan RUU versi DPR maupun versi Koalisi
kepada anggota DPR yang baru terpilih 2004-2009. Sebagian besar dari mereka
adalah muka-muka baru.
Akhirnya Koalisi berhasil meyakinkan Komisi I untuk segera memulai proses
pembahasan RUU KMI. Beberapa bulan yang lalu, Komisi I secara resmi
menyampaikan RUU KMI sebagai RUU inisiatif DPR ke muka sidang paripurna
DPR untuk mendapatkan tanggapan dari para fraksi. Dalam kesempatan
berikutnya, seluruh fraksi menerima RUU KMI sebagai RUU inisiatif DPR. Akan
tetapi proses tersebut kembali terhenti oleh reses. Reses berakhir tanggal 16
Agustus 2005 dan hingga hari ini DPR belum melanjutkan kembali proses yang
terhenti tersebut. (ini hasil wawancara dengan Sulastio 31 Agustus 2005)
Di tengah hambatan dan tantangan, terdapat peluang dan harapan datang dari
tingkat daerah. Koalisi ini terus berupaya mempromosikan ide-ide kebebasan
memperoleh informasi, tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga di tingkat
daerah-daerah dan secara sektoral di sejumlah departemen atau kantor-kantor
dinas. Perjalanan panjang ini tidak selesai dengan disahkannya RUU KMI.
Koalisi akan terus berupaya untuk mempromosikan RUU KMI juga mengawasi
kinerja pemerintah bersama masyarakat dalam menghormati dan melindungi hak
publik atas kebebasan informasi ini.
53
BIBLIOGRAFI
Basuki, W. (2002) “Kebebasan Informasi di Amerika Serikat” dalam Koalisi untuk Kebebasan Informasi Kebebasan Informasi di Beberapa Negara, (Penerbit?) Jakarta. Hardjono, R & Teggemann, S. (eds) (tanpa tahun), Kaum Miskin Bersuara: 17 Cerita tentang Korupsi, Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintah di Indonesia, Jakarta. Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) (2001) Good Governance dan Hukum Lingkungan, Jakarta. Koalisi untuk Kebebasan Informasi (2001) Melawan Tirani Informasi, Jakarta. Kompas (2005) 4 Mei, hal.17 Kompas (2005) 4 Mei 2005 , hal.18 Kompas (2005) 11 Agustus, hal.7 Murhanjanti, P. dan Awiati, W., “Kebebasan Informasi di Inggris”, dalam Koalisi untuk Kebebasan Informasi (2002) Kebebasan Informasi di Beberapa Negara, Jakarta. Sudirman, A. (2002) “Kebebasan Informasi di Thailand” dalam Koalisi untuk Kebebasan Informasi (2002), Kebebasan Informasi di Beberapa Negara, (penerbitan), Jakarta. Yayasan Tifa (2005) Semua Bisa Seperti Jembrana: Kisah Sukses sebuah Kabupaten Meningkatkan Kesejahteraan Rakyatnya, Yayasan Tifa, Jakarta.
top related