buku saku om
Post on 11-Jul-2016
70 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Buku Saku Oral Medicine
FKG 2009DESEMBER 2015
DAFTAR ISI
ContentsBAB I
SKIN DISEASE...............................................................................................................................3
BAB II RESPIRATORY DISEASES.....................................................................................30
BAB III PENYAKIT SALURAN PENCERNAAN.................................................................46
BAB IV HEMATOLOGIC DISEASE......................................................................................69
BAB V PENYAKIT GINJAL.................................................................................................99
BAB VI DIABETES MELLITUS..........................................................................................126
BAB VII PENYAKIT ENDOKRIN........................................................................................136
BAB VIII INFECTIOUS DISEASES.........................................................................................141
BAB IX CARDIOVASCULAR DISEASE............................................................................162
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................186
-RINGKASAN OM 2009- 2
BAB I
SKIN DISEASE
ULCERATIVE, VESICULAR, AND BULLOUS LESIONS
1.1 Pemphigus Vulgaris
1.1.1 Definisi dan Etiologi
Pemphigus merupakan penyakit yang berpotensial mengancam hidup karena terjadinya
lepuh dan erosi pada kulit dan membran mukosa. Lesi epitelial merupakan hasil dari autoantibodi
yang beraksi dengan glikoprotein autosomal yang terdapat pada permukaan sel keratinosit.
Reaksi imun melawan glikoprotein ini menyebabkan kehilangan sel, berakhir dalam bentuk bula
intraepitelial. Terdapat 0,5 hingga 3,2 kasus yang dilaporkan setiap tahunnya per 100.000
populasi, dengan insidensi tertinggi terjadi pada dekade kelima dan keenam, meskipun jarang
dilaporkan pada anak-anak dan orang muda.
Varian utama pemphigus adalah pemphigus vulgaris, pemphigus vegetans, pemphigus
foliaceus, pemphigus erythematosus, paraneoplastic pemphigus (PNPP), dan drug-related
pemphigus. Pemphigus vegetans merupakan varian dari pemphigus vulgaris dan pemphigus
erythematosus varian dari pemphigus foliaceus. Kedua bentuk penyakit ini memiliki antibodi
yang langsung melawan target dengan antigen yang berbeda pd permukaan sel, berakhir pada
suatu lesi pada lapisan epitelium yang berbeda. Pada pemphigus foliaceus, kerapuhan terjadi
pada lapisan sel granular superfisial, sedangkan pemphigus vulgaris lesinya dalam diatas lapisan
-RINGKASAN OM 2009- 3
sel basal. Keterlibatan mukosa bukan merupakan ciri dari bentuk penyakit foliaceus dan
erythematous.
Pemphigus Vulgaris adalah bentuk yang paling umum dari pemphigus, terdata lebih dari
80% kasus. Mekanisme yang mendasari penyebab lesi intraepitelial dari PV adalah ikatan
autoantibodi IgG ke desmoglein 3, sebuah transmembran molekul adhesi glikoprotein pada
desmosom. Kehadiran autoantibodi desmoglein 1 merupakan karakteristik pemphigus foliaceus,
tetapi antibodi ini juga dideteksi pada pasien dengan long-standing PV. Petunjuk untuk
hubungan autoantibodi IgG dengan formasi lesi PV ditunjukkan dengan melepuhnya kulit tikus
setelah transfer pasif IgG dari pasien dengan PV. Mekanisme dimana antidesmoglein
menyebabkan hilangnya cell-to-cell adhesion merupakan hal yang kontroversi. Beberapa peneliti
percaya bahwa ikatan antibodi PV akan mengaktifkan protease, namun keterangan yang baru
mendukung teori tersebut yaitu antibodi PV secara langsung menghalangi fungsi adhesi dari
desmoglein.
Gambar 1.1 Acantholysis - Tzank cells (sel epitel yang lebih kecil dan lebih bundar)
Terpisahnya sel-sel disebut acantholisis, terdapat di lapisan bawah dari stratum
spinosum. Observasi elektron mikroskopik menunjukkan perubahan awal epitelial sebagai
kehilangan substansi semen interselular, diikuti dengan pelebaran ruang interselular, destruksi
desmosom, dan terakhir degenerasi selular. Hasil dari progresif acantholisis adalah bulla
suprabasillar klasik, termasuk peningkatan area epitelium yang menjadi lebih besar, hasilnya
adalah kehilangan area yang luas dari kulit dan mukosa.
Pemphigus telah dilaporkan sama dengan penyakit autoimun lainnya, terutama
myasthenia gravis. Pasien dengan thymoma juga memiliki insidensi tinggi untuk terkena
pemphigus. Beberapa kasus pemphigus telah dilaporkan dengan pasien yang memiliki kelainan
autoimun multipel atau adanya neoplasma seperti lymphoma. Frekuensi kematian lebih tinggi
-RINGKASAN OM 2009- 4
pada orang yang berusia lanjut dan pasien yang menggunakan kortikosteroid dosis tinggi yang
dapat meningkatkan infeksi dan septikemi bakteri, khususnya dari Staphylococcus aureus.
1.1.2 Manifestasi Klinis
Luka klasik untuk pemphigus adalah bulla berdinding tipis pada mukosa atau kulit
normal. Bulla cepat pecah namun terus menyebar secara periperal, sehingga meninggalkan area
kulit terbuka yang besar. Tanda khas dari penyakit ini dapat diperoleh dengan memberi tekanan
pada bulla yang utuh. Pada pasien dengan PV, bulla membesar dengan ekstensi pada permukaan
yang tampak normal. Tanda khas lain dari penyakit ini adalah penekanan pada area yang tampak
normal menghasilkan pembentukan luka baru. Fenomena ini, disebut tanda Nikolsky, dihasilkan
dari lapisan atas kulit tertarik menjauh dari lapisan basal. Tanda Nikolsky paling sering dikaitkan
dengan pemphigus namun juga dapat terjadi pada epidermolysis bullosa.
Sebagian pasien dengan pemphigus mengembangkan penyakit fulminasi akut, namun
disebagian besar kasus, penyakit berkembang lebih lambat, biasanya selama berbulan-bulan
untuk berkembang sampai penuh.
Gambar 1.2 Gambar histologi PV. Bulla suprabasilar dengan acantholysis
-RINGKASAN OM 2009- 5
A B
Gambar 1.3 (A) erosi dangkal irregular pada mukosa bukal dan permukaan tengah lidah
disebabkan pemphigus. (B) Bulla pada kulit pasien dengan PV.
1.1.3 Manifestasi Oral
Delapan puluh sampai 90% pasien dengan PV kadang-kadang selama perkembangan
penyakitnya memperlihatkan lesi oral sebagai tanda pertamanya. Lesi oral dapat dimulai dengan
bulla klasik pada daerah yang tak terinflamasi, lebih seringnya dokter melihat ulSer dangkal
irregular karena bullanya sudah pecah. Lapisan tipis epitel mengelupas dengan pola yang
irregular, meninggalkan permukaan yang gundul. Pinggiran dari lesi meluas ke perifer setelah
beberapa minggu hingga memperlihatkan bentuk yang besar di mukosa oral. Umumnya lesi
mulai terbentuk di mukosa bukal, yaitu pada area bekas trauma di sekitar lengkung oklusal.
Palatum dan gingiva adalah tempat yang umum dalam perkembangannya.
Umumnya lesi oral muncul sampai 4 bulan sebelum lesi kulit tampak. Jika perawatan
dimulai selama masa ini, penyakit dapat lebih mudah di kontrol dan kesempatan untuk
kesembuhannya lebih tinggi. Seringnya, diagnosa awal terlewatkan, dan lesi salah terdiagnosa
menjadi infeksi herpes atau kandidiasis. Beberapa pasien PV memiliki kandidiasis yang
bersamaan keberadaannya, hal ini membuat gambaran klinis khas dari lesi pemphigus tertutup.
Ada juga beberapa grup pasien pemphigus yang penyakitnya membekas pada mukosa oral.
Pasien ini sering memiliki hasil negatif pada direct immunofluoresence.
Pemphigus harus dapat dibedakan dari infeksi virus akut, erythema multiform atau
kategori RAS. Lesi pemphigus tidak membulat dan simetris seperti lesi RAS melainkan tidak
beraturan dan terkadang memiliki epitel detached pada perifer. Dalam kasus yang sama, lesi
mungkin berawal dari gingiva dan disebut deskuamatif gingivitis. Deskuamatif gingivitis tidak
-RINGKASAN OM 2009- 6
dapat terdioagnosis sendiri, lesi ini harus dibiopsi untuk mengeluarkan kemungkinan dari PV
seperti pemphigoid bullous, membran mukus pemphigoid, dan erosif lichen planus.
1.1.4 Tes Laboratorium
PV didiagnosis dengan biopsi. Biopsi sebaiknya dilakukan pada vesikel dan bulla yang
utuh kurang dari 24 jam, karena lesi ini jarang pada mukosa oral, contoh dari biopsi sebaiknya
diambil dari pinggir lesi, dimana area dengan cirri acantholysis suprabasilar dapat diobservasi
oleh pathologist. Terkadang beberapa biopsi dibutuhkan sebelum diagnosis yang benar bisa
dibuat. Jika pasien positif pada Nikolsky sign, tekanan dapat ditempatkan pada mukosa tersebut
untuk menghasilkan lesi baru, dapat dilakukan biopsi pada lesi yang baru ini.
Biopsi yang kedua, dipelajari oleh DIF, sebaiknya dilakukan ketika pemphigus
dimasukkan dalam diagnosis banding. Studi ini dilakukan pada spesimen biopsi dari perilesi
mukosa atau kulit yang tampak normal. Pada teknik DIF ini, fluorescein – labeled antihuman
immunoglobulin ditempatkan di atas spesimen biopsi pasien. Pada kasus PV, teknik ini akan
mendeteksi antibodi, biasanya IgG dan komplemen, mengelilingi permukaan keratinosit.
Tes indirect immunofluorescent antibody membantu membedakan pemphigus dari
pemphigoid dan lesi oral kronis lainnya dan membantu dalam peningkatan pengobatan pasien
pemphigus. Pada teknik ini, serum dari pasien dengan penyakit bullous ditempatkan di atas slide
struktur epidermal (biasanya esophagus monyet). Slide selanjutnya dilapisi dengan fluorescein-
tagged antihuman gamma globulin. Pasien dengan pemphigus vulgaris memiliki antibodi
antikeratinosit melawan substansi interseluler yang terlihat dibawah fluorescent microscope.
ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) dapat mendeteksi desmoglein 1 dan 3 pada
sampel serum pasien PV. Tes laboratorium ini memberikan cara baru untuk menghasilkan
diagnosis yang akurat dari PV dan juga berguna untuk memantau perjalanan penyakit.
1.1.5 Pengobatan
Aspek penting dalam pengobatan pasien adalah diagnosis awal, ketika dosis rendah
pengobatan dapat digunakan dalam periode yang singkat untuk mengontrol penyakit. Alur utama
dari pengobatan yatitu dosis tinggi dari kortikosteroid sistemik, biasanya diberikan dalam dosis 1
atau 2 mg/kg/d. Ketika steroid harus diberikan dalam jangka waktu yang lama, obat pembantu
-RINGKASAN OM 2009- 7
seperti azathiopine atau cyclophosphamide diberikan untuk mengurangi komplikasi penggunaan
kortikosteroid jangka lama. Prednison biasanya digunakan di tahap awal agar penyakit terkontrol
kemudian dosis prednison akan diturunkan. Tidak ada satupun perawatan untuk pemphigus yang
terbatas di mulut, tetapi penelitian selama 5 tahun tentang oral pemphigus menunjukkan bahwa
tidak ada manfaat tambahan dari penambahan cyclophosphamide atau cyclosporine pada
prednison dibandingkan dengan jika hanya menggunakan prednisone Hal ini menunjukkan
tingkat komplikasi yang tinggi dalam kelompok obat immunosupresif. Umumnya penelitian pada
pemphigus kulit menunjukkan penurunan tingkat kematian ketika terapi adjuvant diberikan
bersama prednison.
Obat immunosupresif baru, mycophenolate, telah efektif pada pasien yang resisten
terhadap adjuvant. Kebutuhan terhadap steroid sistemik dapat diturunkan pada kasus pemphigus
oral dengan mengkombinasikan steroid topikal dan sistemik, salah satunya dengan memberikan
tablet prednison yang lama larut dalam mulut sebelum ditelan atau dengan menggunakan krim
steroid topikal yang potensial. Terapi lainnya yang cukup menguntungkan yaitu dapsone,
tetracycline, dan plasmapheresis. Plasmapheresis berguna pada pasien yang sukar sembuh
dengan kortikosteroid.
1.2 Erythema Multiforme (EM)
1.2.1 Definisi dan Etiologi
Eritema multiforme merupakan lesi akut, yang muncul secara rekuren, kondisi
mukokutan dari etipatologi belum pasti yang dapat muncul dengan pemberian obat atau infeksi
(Osterne, 2009). Erithema Multiform diklasifikasikan menjadi minor, mayor, steven jonshon
syndrom, toxic epidermal necrolysis. Dimana EM minor merupakan lesi teringan dan TEN lesi
paling parah. (Osterne, 2009).
Penyebabnya EM belum jelas. Diduga adalah suatu reaksi hipersensitivitas (Regezi,
2003). Dan dianggap suatu penyakit imunologi (Laskaris, 2005). Dimana terjadi suatu reaksi
kompleks imun yang ditimbulkan sebagai akibat adanya respon imun pada antigen tertentu
seperti herpes simplex virus atau beberapa jenis obat tertentu (Wray, 2001). Etiologi yang
disebabkan oleh infeksi lebih umum terjadi pada anak-anak dan sering dilibatkan dalam
terjadinya EM. Erythema multiforme minor umumnya dipicu oleh Herpes Simpleks virus (HSV)
-RINGKASAN OM 2009- 8
(tipe 1 dan tipe 2). Dan HSV paling umum terjadi pada dewasa muda. Mengenai obat-obatan,
obat-obatan sulfa (sulfa drugs) adalah pemicu yang paling umum.
Pada 50 % kasus faktor penyebabnya tidak teridentifikasi sedangkan pada sebagian kasus
lagi beberapa agen diidentifikasi sebagai Faktor pemicu penyakit EM, antara lain sebagai
berikut.
Tabel 1.1 Faktor Predisposisi Eritema Multiforme
FAKTOR PREDISPOSISI PADA ERITEMA MULTIFORME
Infeksi(sekitar 90% darijumlah kasus)
Virus Herpes Simplex Virus (HSV-1, HSV-2) Parapoxvirus (orf) Vaccinia (smallpox vaccine) Varicella zoster virus (chickenpox) Adenovirus Eipstein-Barr virus Cytomegalovirus Hepatitis virus Coxsackievirus Parvovirus B19
Infeksi(sekitar 90% darijumlah kasus)
Bakteri
Mycoplasma pneumonia Chlamydophila (formerly Chlamydia)
psittaci (ornithosis) Salmonella Mycobacterium tuberculosis
Infeksi(sekitar 90%
Histoplasma capsulatum Dermatofita
-RINGKASAN OM 2009- 9
Obat-Obatan(<10% kasus)
Primer: Obat-Obat antiinflamasi non-steroid Sulfonamida Antiepileptik Antibiotik
Paparan Poison ivy
Penyakit Sistemik(jarang)
Inflamatory Bowel Disease Lupus Eryhthematosus (Rowell’s Syndrome) Behcet’s Disease
1.2.2 Manifestasi Klinis
Riwayat prodormal biasanya tidak ada atau ringan pada orang dengan erithema multiform
minor. Gejala ringan dapat berupa demam, limpadenopati, malaise, sakit kepa, batuk, radang
tenggorokan biasanya terjadi 1 minggu sebelum timbul eritema. Lesi dapat muncul dengan
bentuk makula merah irreguler, papula, dan vesikel pecah dan membesar membentuk plak pada
kulit. Selain itu krusta dan blister biasanya timbul pada lengan kulit, menghasilakan bulatan
menyerupai “bull’s eye”. (Osterne, 2009)
Pada mulut, eritema multiform dapat hadir dalam bentuk makula, papula, vesikel,atau
bulla yang menyebabkan ketidaknyamanan. Vesikel dan bulla pecah menghasilkan lesi erosif
atau ulseratif dimana lesi erosif ditutupi oleh permukaan fibrinosa berwarna putih kelabu. lesi-
lesi terbatas pada mukosa pipi, mukosa bibir, palatum, lidah atau melibatkan semua area
tersebut. Gusi jarang terlibat. Krusta pendarahan yang gelap berwarna merah- coklat secara khas
menutupi bibir. Pasien dengan penyakit ini mengalami kesulitan dalam hal makan, menelan dan
berbicara (Angela, 2005)
Gambar 2.1 Lesi vesikel pada pasien EM setelah Reccurent herpes labialis
-RINGKASAN OM 2009- 10
Tabel 1.2 Kategori Eritema Multiforme
Kategori GambaranEM minor Lesi target yang khas, keterlibatan membrane mukosa
minimal dan biasanya muncul pada 1 area (paling umum di mulut.)
Lesi oral; erythema ringan sampai berat, erosi dan ulserasi. Kadang-kadang dapat berefek hanya pada mukosa oral. Lesi berupa vesikula yang banyak dan pecah,
meninggalkan daerah erosi yang sakit dan ditutupi pseudomembran putih.
< 10% permukaan tubuh yang terlibat.EM mayor Lesi kutaneus dan setidaknya 2 sisi mukosa (khususnya)
mukosa oral) yang terkena. Terdistribusi secara simetris khususnya lesi target. Timbul
lesi target atau keduanya Lesi oral biasanya menyebar dan parah. 10% area tubuh terlibat Lesi pada mukosa rongga mulut lebih sering terjadi pada
kasus EM tipe mayor. Awalnya adalah daerah kemerahan, berubah dengan cepat menjadi bentuk vesikula dan segera pecah dan meninggalkan daerah erosi kemerahan yang ditutupi pseudomembran putih dan krusta akibat perdarahan.
Steven johnson syndrome (SJS)
Perbedaan utama dari erythema multiforme mayor adalah berdasarkan typology dan lokasi lesi dan adanyagejala sistemik.
< 10% permukaan tubuh yang terlibat. Terutama lesi berupa lesi target datar atipikal danmakula
daripada lesi target klasik. Secara umum menyebar daripada hanya melibatkanarea
akral. Adanya keterlibatan mukosa yang multiple dengan scar pada lesi mukosa.
Disertai gejala konstitusi atau gejala sistemik mirip-flu prodromal (prodromal flu-like systemic symptoms) juga umum.
Overlapping SJS dan NET
Tidak ada target tipikal; muncul target atipikal yangdatar. Sampai dengan 10% – 30% permukaan tubuh terlibat. Disertai gejala konstitusi atau gejala sistemik flu like
syndrome
-RINGKASAN OM 2009- 11
Nekrolisis epidermal toksik(NET)
Pada kasus di mana muncul spot muncul, ditandai oleh epidermal detachment dari > 30% permukaan tubuh dan macula purpuric yang menyebar (widespread purpuricmacules) atau target atipikal yang datar.
Pada kasus di mana tidak ada spot yang muncul,ditandai oleh epidermal detachment > 10% permukaantubuh, large epidermal sheets dan tidak ada macula ataupun lesi target.
1.2.3 Diagnosis
Tidak ada pemeriksaan diagnostik yang spesifik untuk EM (Scully, 2007) sehingga perlu
dilakukan pemeriksaan biopsi untuk melihat histopatologinya. Pemeriksaan mikroskop terlihat
epithelial hyperplasia dan spongiosis (Regezi, 2008) dengan nekrosis satelit sel (individual
eosinophilic necrotic keratinocytes yang dikelilingi oleh limfosit), degenerasi vakuolar pada
daerah membrana basal, (Basal dan parabasal keratinosit yang terapoptosis selalu terlihat.
Terjadi udema papilary yang parah sehingga terbentuklah vesikula pada permukaan epithelium,
meskipun terkadang ada juga yang berada pada intraepithelium. Terdapat infiltrasi limfositik
yang parah pada membrana basal dan perivaskular serta adanya deposit imun nonspesifik yaitu
IgM, C3 dan fibrin pada daerah ini walaupun dalam berbagai pemeriksaan tidak menunjukkan
kekhasan terhadap EM. Gambaran paling banyak adalah adanya ephitelial yang nekrosis (Scully,
2007; Regezi, 2008).
Pemeriksaan darah lengkap, urea, elektrolit, erythrocyte sedimentation rate (ESR) dan
fungsi liver bersamaan dengan serologi HSV dan mikoplasma, kultur mikrobial dari darah,
sputum dan daerah yang erosif perlu dilakukan pada pasien-pasien yang parah (Scully, 2007).
1.2.4 Terapi
Perawatan eritema multiforme bergantung pada keparahan klinis. Bentuk ringan dari
penyakit ini biasanya sembuh dalam 2-6 minggu, menggunakan obat lokal, analgetik topikal atau
anastesi untuk mengontrol sakit dan diet biasanya diberikan pada kondisi ini. Untuk keadaan
yang parah dibutuhkan cairan terapi intravena. Antihistamin oral dan steroid topikal dat juga
dibutuhkan untuk meredakan nyeri. Kortikosteroid sistemik telah digunakan dan sukses pada
beberapa pasien (Osterne, 2009).Pemakaian kortikosteroid secara oral, terutama setelah hari ke2-
4, untuk mengurangi periode erupsi akut dan gejala. Tipe minor pemberian kortikosteroid oral
-RINGKASAN OM 2009- 12
antara 20-40 mg/hari selama 4-6 hari lalu diberikan secara tapering dosis tak lebih dari 2 minggu.
Pada tipe mayor perlu pemberian antara 40-80 mg/hari selama 2-3 minggu. (Laskaris, 2005)
Rekurensi biasanya terjadi 20-25 % pada kasus EM, walaupun penyakit ini sembuh
spontan dalam 10-20 hari, pasien dapat mengalami rekurensi 2-24 kali dalam setahun (angelina,
2005).
Pemberian antiviral efektif untuk menghindari infeksi sekunder (Watter, 2010; Laskaris,
2005). HAEM efektif teratasi dengan asiklovir (200 mg, 5 kali sehari, selama 5 hari). Bila EM
tetap rekuren, pengobatan dapat dilanjutkan dengan pemberian dosis rendah secara berkala
menggunakan asiklovir oral. Asiklovir oral menunjukkan keefektifitasan yang baik dalam
menjaga terjadinya rekuran HAEM, dan protokol pemberian dengan dosis 200-800 mg/ hari
selama 26 minggu. Bila perawatan asiklovir gagal, dapat diberikan valacyclovir 500 mg 2 kali
sehari. Valacyclovir memiliki biovaibiliti yang lebih tinggi dan efektif dalam menekan terjadinya
rekurensi HAEM (Osterne, 2009)
Terapi secara topikal juga bisa diberikan, Instruksi pada pasien untuk diet lunak, pemakaian
anastesi topikal, obat kumur yang berisi antibiotik, dan kortikosteroid topikal untuk mengurangi
ketidaknyamanan pada pa sien (Laskaris, 2005).
1.2.5 Prognosa
Kebanyakan kasus EM bersifat self-limited. Pada EM minor, lesi berkembang lebih 1-2
minggu dan pada akhirnya mereda dalam 2-3 minggu tanpa jaringan parut. Bagaimanapun,
rekurensi EM minor umum terjadi dan kebanyakan diawali oleh infeksi subklinis dari HSV.
EM mayor memiliki angka kematian kurang dari 5% dan berlangsung lebih lama dalam
penyembuhan membutuhkan 3-6 minggu. Rekurensi ditemukan sekitar 20-25 % dari kasus EM.
Meskipun dapat sembuh secara spontan dalam 10-20 hari, beberapa pasien dapat mengalami 2-
24 kali episode dalam setahun
DAFTAR PUSTAKA (Erytema Multiforme)
Osterne RLV, Brito RGM, et al, Sousa FB. 2009. Management of erythema multiforme
associated with recurrent herpes infection : A case Report. J.C.D.A.75.
-RINGKASAN OM 2009- 13
Scully, C. 2008. Oral Mucosal diseases: Erythema multiforme. British hournal of oral and
Maxillofacial Surgery. 46 : 90-95.
Isik, et al.2007. Multidrug-Induced Erythema Multiforme. J Investig Allergol Clin Immunol.
Ankara: Esmon Publicidad; 2007. Available
at:http://www.jiaci.org/issues/vol17issue03/12.pdf
Djuanda, Adhi, et al. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. ed. ke-5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2010.
Angela J. 2005. Eritema multiformis yang dipicu oleh virus herpes simpleks. Journal kedokteran
gigi universitas sumatera utara . Available online at
Fiel A , longman L. tyldesley’s Oral meicine, 5 th Ed. Oxford.2004; p.135-6
Greenberg, M ; Glick, M ; Burket’s Oral Medicine Diagnosis and treatment 10 ed ; BC Decker
Inc; 2003; p: 182-184
Laskaris George. 2005 Treatment of oral Disease : A Concise Textbook, Thieme : p. 66-7
Regezi,J; Sciubba, J;Jordan,R; Oral Pathology; Sunders, St Louis; 2008: p100-104; 34-35
Kumar,V; Abbas,A; Fausto,N; Basic Pathology 8th; Saunders, Philadelphia; 2008; P:435-440
Wray D, Lowe, Dagg, Felix, Scully. Textbook of General And Oral Medicine, Churchill
Livingstone, 2001 ; p.238-9.
1.3 Bullous Pemphigoid
1.3.1 Definisi dan Etiologi
Bullous pemphigoid adalah penyakit respon autoimun dengan karakteristik berupa bula
subepidermal deposit IgG dan C3. Dalam Burket’s BP adalah penyakit autoimun yang
disebabkan oleh pengikatan autoantibodi kepada antigen spesifik yang ditemukan di region
lamina lucia. Sering ditemukan pada usia dewasa di atas 60 tahun dan bersifat idiopatik. Namun,
pada beberapa penelitian menyebutkan bahwa penyakit ini dapat disebabkan oleh obat. Penyakit
ini dapat berlangsung beberapa bulan sampai 5 tahun dan dapat sembuh dengan sendirinya.
Bullous pemphigoid dapat menyebabkan kematian pada orang tua dengan kondisi lemah.
1.3.2 Gambaran Klinis
-RINGKASAN OM 2009- 14
Karakteristik lesi kulit dari bullous pemphigoid adanya blister pada dasar yang
eritematous yang terdapat pada kulit kepala, lengan, kaki, ketiak dan paha. Tanda lain adalah
adanya makula pruritus dan papula. Pasien dengan BP dapat terkena dalam satu periode atau
terjadi rekurensi. BP jarang menyebabkan kematian karena bulla tidak berkembang pada perifer
untuk membentuk benjolan yang besar, walaupun kematian dari sepsis atau penyakit
kardiovaskular telah dilaporkan pada beberapa kelompok pasien usia lanjut.
Gambar 1.4 Lesi bullous pemphigoid pada kulit kepala
1.3.3 Manifestasi Oral
Keterlibatan oral umum terjadi dalam BP. Terjadi pada 30-50% pasien. Lesi oral dari BP
lebih kecil, terbentuk lebih lambat dan lebih tidak menyakitkan dibandingkan pada pemphigus
vulgaris dan perluasan ke labial tidak terjadi. Gingivitis deskuamatif juga dilaporkan pada
manifestasi oral yang umum dari BP dan lesi gingival merupakan satu-satunya tempat
keterlibatan oral. Lesi gingival terdiri dari oedema generalisata, inflamasi, dan deskuamasi
dengan area yang terlokalisasi dari pembentukan vesikel.
Gambar 1.5 Manifestasi oral bullous pemphigoid
-RINGKASAN OM 2009- 15
1.3.4 Diagnosis Banding
Penyakit mayor yang secara klinis muncul nenyerupai BP adalah bentuk erosif dari lichen
planus, pemphigus dan beberapa bullous subepitel lainnya.
1.3.5 Perawatan
Pasien dengan lesi BP yang terlokalisasi dapat dilakukan perawatan dengan steroid
topical potensi tinggi, dimana pasien dengan penyakit parah membutuhkan kortikosteroid atau
kombinasi obat imunosupresif seperti azathioprine, cyclophosphamide atau mycophenolate.
Pasien dengan penyakit level sedang dapat dicegah menggunakan steroid dengan penggunaan
dapsone atau kombinasi tetrasiklin dan nikotiamid.
1.4 Pemphigus Vegetans
1.4.1 Definisi
Pemphigus adalah suatu penyakit dengan kelainan autoimun yang bersifat fatal bagi
kehidupan (Son, et al., 2011). Pemphigus sendiri berasal dari Bahasa Greek yaitu “pemphix”
yang berarti busa atau lepuhan, sehingga kelainan ini berupa busa atau lepuhan kronik yang
terjadi pada kulit atau mukosa. Pemphigus vegetans merupakan varian dari pemphigus vulgaris
yang paling jarang terjadi, kelainan ini hanya terjadi sekitar <1-2% dari semua kasus pemphigus
(Greenberg, et al,. 2008; Son, et al., 2011). Pemphigus vegetans yang merupakan varian dari
pemphigus vulgaris pertama kali dideskripsikan oleh Neumann pada tahun 1876 (Adriano, et al.,
2011).
1.4.2 Etiologi
Etiologi dari penyakit ini adalah autoimun, autoantibodi interseluler menyerang
desmoglein 1 dan 3 yang merupakan molekul adhesive pada desmosome keratinosit (Son, et al.,
2011). Faktor lain yang merupakan faktor predisposisi timbulnya kelainan ini adalah genetik,
imunologik, dan lingkungan (Adriano, et al., 2011).
1.4.3 Gambaran Klinis
-RINGKASAN OM 2009- 16
Gambaran klinis dari penyakit autoimun ini yaitu munculnya bulla yang mudah rupture
atau pustula yang mengalami erosi sehingga membentuk plak papilla hipertrofi yang terutama
menyerang lipatan kulit, kulit kepala, wajah, dan membran mukosa. Keterlibatan kuku jari juga
dapat terjadi (Almeida, et al., 2006). Pustula yang terjadi mudah mengalami rupture yang
kemudian digantikan oleh daerah ex-ulseratif yang berkaitan dengan jaringan vegetasi
membentuk plak verrucous dan mengalami hiperpigmentasi (Adriano, et al., 2011).
Gambar 1.6 Plak vegetasi pada wajah pasien pemphigus vegetans
(Sumber: Adriano, et al. 2011)
Pemphigus vegetans memiliki dua subtype klinis yang khas, yaitu tipe Neumann yang
diperkenalkan pertama kali pada tahun 1866, dan tipe Hallopeau yang pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1889 (Canpolat, et al., 2010). Kedua subtype kemudian berkembang
menjadi plak vegetative yang mengalami hiperpigmentasi dengan pustula atau jaringan granulasi
hipertrofi yang berada pada pinggiran lesi (Son, et al., 2011).
Tipe Neumann lebih sering muncul tetapi berkembang menjadi lesi yang lebih luas yang
tahan terhadap perawatan medis, oleh karena itu apabila tipe ini muncul membutuhkan dosis
kortikosteroid yang lebih tinggi dibandingkan tipe Hallopeau. Tipe Neumann memiliki masa
relaps dan remisi. Tipe Hallopeau dimulai dengan pustula yang berbatas tegas, yang secara
histologis menunjukkan pustula intraepidermal eosinofilik. Tipe ini relative lebih jinak dan
membutuhkan dosis kostrikosteroid sistemik yang lebih rendah, dan biasanya memiliki masa
remisi yang panjang (Canpolat, et al., 2010).
Diagnosis dari pemphigus vegetans didasarkan pada manifestasi klinis dan dikonfirmasi
kembali oleh temuan histologis. Keterlibatan batas vermillion bibir merupakan tanda klinis
-RINGKASAN OM 2009- 17
terdapat keterlibatan oral. Temuan histologis pasien pemphigus vegetans yaitu terdapat
hyperplasia epitel, suprabasal cleft, terdapat sel-sel akantolisis, dan microabscesses yang
mengandung eosinophil dan neutrophil (Almeida, et al., 2006).
Gambar 1.7 Temuan histologis pasien pemphigus vegetans menggambarkan adanya (A)
suprabasal cleft pada mukosa oral, (B) suprabasal cleft dan sel akantolisis (tanda panah)
pada lesi vegetant, dan (C) hyperplasia epitel dengan abses neutrofil
(Sumber: Almeida, et al., 2006)
1.4.4 Diagnosis Banding
Teknik imunofluoresence merupakan teknik yang penting untuk menentukan diagnosis
banding dari kelainan berupa bulla dan kelompok pemphigus memiliki pola interseluler yang
klasik. Diagnosis banding yang paling penting yaitu Pyodermatitis-pyostomatitis vegetans, yang
memiliki manifestasi klinis dan temuan histologis yang sama tetapi memiliki hasil tes
imunofluoresence yang negatif. Kelainan ini memiliki keterlibatan mukosa, oleh karena itu
Steven-Johnson’s Syndrome juga merupakan diagnosis banding pemphigus vegetans (Almeida,
et al., 2006).
-RINGKASAN OM 2009- 18
Gambar 1.8 Pemphigus Vegetans. Immunofluoresence direk: positif deposit IgG
granuler pada interseluler
(Sumber: Adriano, et al. 2011)
1.4.5 Perawatan
Penatalaksanaan pasien pemphigus vegetans biasanya melibatkan agen imunosupresif,
kortikosteroid sistemik merupakan obat pilihan utama. Walaupun demikian, kortikosteroid oral
sendiri tidak dapat menyembuhkan penyakit ini. Pada beberapa penelitian disebutkan bahwa
penggunaan steroid sistemik dengan azathioprine, dapsone, cyclophosphamide, dan cyclosporine
merupakan perawatan yang efektif. Ketika penyakit bersifat persisten, vegetasi verrucous,
kombinasi dari kortikosteroid dan etrenitrate dapat menyembuhkan lesi. Selain itu, hubungan
methotrexate, dicloxacillin, oral steroids, dan suntikan kortikosteroid intralesional secara
periodik merupakan perawatan yang efektif pada penyakit pemphigus vegetans yang menyerang
kulit kepala yang bersifat resisten (Adriano, et al., 2011;Almeida, et al., 2006).
1.5 Sindrom Steven-Johnson (SJS)
Sindrom Stevens-Johnson (SJS) adalah gangguan mucocutaneous yang diinduksi obat
dan terkait dengan morbiditas yang tinggi dan prognosis buruk. SJS dan TEN yang disebabkan
obat, biasanya mulai timbul dua sampai tiga minggu setelah mulai terapi tetapi dapat terjadi lebih
cepat.
1.5.1 Definisi
-RINGKASAN OM 2009- 19
SJS adalah salah satu tampilan klinis dari reaksi obat yang parah pada kulit. Terdapat
klasifikasi terhadap eritema multiforme (EM), SJS, dan epidermal toksik nekrolisis (TEN)
berdasarkan variasi keparahan. EM minor biasanya self-limited dan disebabkan infeksi. Drug-
induced EM, disebut EM-major, dapat berkembang menjadi SJS atau, ketika sangat parah
menjadi TEN. SJS adalah gangguan bulosa, dengan ulserasi, purpura, demam, dan keterlibatan
membran mukosa lebih dari dua lokasi, serta kulit. TEN merupakan kondisi yang lebih parah
dari SJS, dengan peluruhan kulit menyerupai luka bakar tingkat tiga.
1.5.2 Patogenesis
Pasien dengan SJS dan TEN biasanya disebabkan oleh antikonvulsan atau sulfonamid,
gangguan dalam detoksifikasi reaksi metabolisme. Sel CD8 mendominasi dalam lesi
menimbulkan blister, mengakibatkan cell-mediated cytotoxic reaction yang menyerang sel
epidermis. Tumor necrosis factor-a, perforin, granzim B (GRB), dan Fas Ligand (FasL)
meningkat pada tahap awal penyakit, kemudian mendukung mekanisme sitotoksik.
1.5.3 Gambaran Klinis
SJS ditandai dengan makula purpura dan blister terdistribusi secara luas pada tubuh dan
wajah. Lesi timbul satu sampai tiga hari dengan demam dan gejala seperti influenza. Ruam
menyebar dalam hitungan jam dan maksimal empat hari. Pada 90% pasien terjadi erosi kulit
yang sakit atau krusta pada membran mukosa. Erosi mukosa mengakibatkan gangguan
alimentation, fotofobia, dan sakit saatbuang air kecil. Epitel gastrointestinal dapat terlibat,
sehingga terjadi diare. Difus pneumonitis interstitial dan keterlibatan epitel trakeobronkial dapat
terjadi, mengakibatkan gangguan pernapasan. Sekitar 85% pasien memiliki lesi konjungtiva,
mulai dari hiperemia pembentukan pseudomembran. Peningkatan ringan enzim hati dapat terjadi.
Luasnya daerah epidermal yang terlibat membedakan SJS dari TEN. Di SJS, blister
terjadi pada kulit di bawah 10% dari luas permukaan tubuh (BSA). TEN terjadi pada epidermal
yang lebih luas pada lebih dari 30% BSA, mengarah pada Nikolsky’s sign yang positif. Kasus
dengan daerah yang terlibat antara 10% dan 30% dari BSA disebut juga SJS-TEN.
Kehilangan cairan terjadi pada kulit, mengarah kepada prerenal azotemia dan
ketidakseimbangan elektrolit. Lesi kulit dapat dikolonisasi Staphylococcus aureus dan batang
-RINGKASAN OM 2009- 20
gram negatif. Pasien juga mengalami keadaan hypercatabolic dengan resistensi insulin, dan
termoregulasi terganggu. Fungsi kekebalan terganggu, predisposisi pasien untuk sepsis.
Kelainan laboratorium meliputi anemia, limfopenia di 90% dari pasien karena
menipisnya CD4 + T-limfosit, dan neutropenia, indikator prognostik yang buruk. Sekitar 30%
pasien terjadi peningkatan transaminase dan amilase / lipase. Proteinuria ringan juga umum.
Diagnosis banding SJS / TEN adalah dermatitis eksfoliatif, staphylococcal scalded skin
syndrome, acute exanthematous pustulosis, paraneoplastic pemphigus, luka bakar termal, reaksi
fototoksik.
1.5.4 Perawatan
Penanganan yang cepat dari SJS dan TEN dapat menyelamatkan jiwa. Obat yang
diberikan dalam waktu satu bulan dari reaksi harus dicurigai. Perawatan sama dengan yang dari
pasien yang menderita luka bakar termal: kontrol termal lingkungan, penggantian cairan,
mengontrol rasa sakit, dukungan nutrisi, dan pengobatan antibakteri bila diperlukan. Intubasi dan
ventilasi mekanik diperlukan ketika trakea dan bronkus yang terlibat. Antikoagulasi
direkomendasikan, karena tromboemboli dan koagulasi intravaskular (DIC) merupakan
penyebab penting morbiditas dan mortalitas. Manajemen agresif oleh dokter mata diperlukan.
Kortikosteroid, siklosporin, dan imunoglobulin intravena (IVIg) digunakan untuk pengobatan
SJS / TEN.
1.6 Toxic Epidermal Necrolysis (TEN)
1.6.1 Definisi
Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) atau penyakit Lyell adalah penyakit kulit dan
membran mukosa yang sangat parah akibat reaksi hipersensitif terhadap obat tertentu dan
memiliki prognosis yang buruk.
1.6.2 Etiologi
TEN adalah reaksi hipersensitif tubuh terhadap obat yang hampir selalu menjadi pemicu
utama mekanisme penyakit TEN.
-RINGKASAN OM 2009- 21
1.6.3 Gambaran Klinis
TEN biasanya dimulai demam tingkat rendah, malaise, arthralgia, sensasi terbakar pada
konjungtiva, kulit menjadi lunak, dan muncul eritema. Setelah 24 jam, muncul blister dan kulit
mulai mengelupas sehingga seluruh seluruh permukaan tubuh menjadi melepuh. Hasil
pemeriksaan Nicolsky’s sign positif. Manifestasi rongga mulut terdiri eritema difuse, vesicle, dan
erosi pada bibir dan perioral yang sangat nyeri, dimana lesi tersebut juga muncul pada mukosa
bukal, lidah, dan palatum. Kemudian terdapat lesi pada ocular, genital, dan membrane mukosa.
1.6.4 Perawatan
Steroid sistemik dosis tinggi, antibiotik, dan cairan elektrolit
1.7 Behcet Disease [BD {Behcet Syndrome}]
1.7.1 Definisi
Behcet disease (BD) pada awalnya dideskripsikan oleh dermatologis Turki, Hulusi
Behcet sebagai 3 gejala yaitu oral ulcer rekuren, genital ulcer rekuren, dan adanya keterlibatan
kelainan mata. BD saat ini dipahami merupakan kelainan multisistem dengan banyak
kemungkinan manifestasi. Insidensi tertinggi BD dilaporkan di Asia Timur, Timur Tengah, dan
Mediterean Timur terutama Tukri dan Jepang, dimana BD bisa menyebabkan kebutaan pada
laki-laki dewasa, namun kasus ini juga dilaporkan terjadi di seluruh dunia termasuk Eropa dan
Amerika Utara.
1.7.2 Etilologi dan Patogenensis
Penyebab BD belum diketahui, tetapi disregulasi imun, termasuk sirkulasi imun
kompleks, autoimun, sitokinesis, dan heat shock proteins merupakan faktor terbesar di dalam
-RINGKASAN OM 2009- 22
patogenesis BD. Genotipe HLA-B51 paling sering dihubungkan dengan BD, terutama pada
pasien di Asia yang memiliki kelainan yang parah, tetapi genetic alami yang tepat pada etiologic
BD masih belum jelas. Secara teori BD terjadi jika bakteri atau virus memicu reaksi imun pada
individu yg cenderung kea rah genetic.
1.7.3 Manifestasi Klinis
Insidensi tertinggi BD terjadi pada dewasa muda yang berusia antara 25 sampai 40 tahun,
dengan oral mukosa merupakan area paling umum terlibat. Area genital merupakan area kedua
yang paling umum terlibat dan adanya ulserasi pada scrotum dan penis pada laki-laki, dan
ulserasi di labia pada perempuan. Lesi pada mata terdiri dari uveitis, retinal vaskulitis, vascular
occlusion, atropi optik, dan conjungtivitis. Kebutaan merupakan komplikasi yg sering terjadi
pada penyakit ini, dan evaluasi secara periodic oleh ophtalmologis dibutuhkan.
Keterlibatan general terjadi pada lebih dari setengah pasien dengan BD. Lesi pada kulit
yang menyerupai eritema nodosum atau lesi pustular yang besar terjadi juga pada lebih dari 50%
pasien dengan BD. Lesi-lesi ini mungkin ditimbulkan oleh trauma, pada pasien BD biasa terjadi
hiperaktivitas cutaneous terhadap injeksi intercutaneous atau jarum suntik. Arthritis terjadi pada
lebih dari 40% pasien dan paling sering mempengaruhi lutut, engkel, pergelangan tangan dan
siku. Sendi yang terefeksi ini bisa menjadi merah dan bengkak seperti arthritis rheumatoid, tetapi
keterlibatan sendi kecil pada tangan tidak terjadi, dan tidak terjadi disabilitas permanen.
Pada beberapa pasien, kerterlibatan sistem saraf sentral adalah hal yang paling
menyedihkan pada kelainan ini. Termasuk juga sindrom brainstem, keterlibatan saraf cranial,
degenerasi saraf yang menyerupai multiple sclerosis yang bisa dilihat dari MRI pada otak. Tanda
lain pada BD termasuk thrombophlebitis, elserasi intertinal, thrombosis venous, dan kelainan
ginjal, jatung, dan paru-paru. Kedua paru-paru yang terlibat dan jatung dipercayai merupakan
vaskulitis sekunder. Keterlibatan pembuluh darah besar bisa mengancam nyawa karena resiko
arterial occlusion atau aneurysms.
BD pada anak-anak, dimana paling sering terjadi di antara umur 9 dan 10 tahun, memiliki
manifestasi yang sama seperti pada orang dewasa, tetapi ulser oral lebih sering terlihat pada
anak-anak, dan jarang eterjadi uveitis. Lesi oral merupakan gejala pada 95% pasien anak yang
-RINGKASAN OM 2009- 23
mengidap BD. Varisai dari BD, Sindrom MAGIC, telah dideskripsikan. Hal dapat dikarakterisasi
oleh ulcer oral dan genital dengan inflamasi kartilago.
1.7.4 Temuan Oral
Daerah yang paling sering terlibat dengan BD adalah mukosa oral. Ulcer oral rekuren
terlihat pada 90% pasien, lesi-lesi ini tidak dapat dibedakan secara klinis apa histologis dari
RAS. Beberapa pasien mengalami lesi oral rekuren yang ringan, yang lainnya memiliki luka lesi
yang dalam dan besar yang mencirikan RAS mayor. Lesi ini bisa terlihat dimanapun pada
mukosa oral atau pharigeal.
1.7.5 Diagnosis Banding
Karena tanda dan gejala dari BD hampir sama dengan beberapa kelainan yang lain,
secara khusus penyakit jaringan ikat, hal ini menyulitkan untuk mengembangkan kriteria yang
bisa diterima secara universal. Lima jenis diagnosis yang berbeda telah digunakan dalam 20
tahun terakhir. Pada tahun 1990, studi grup internasional meninjau data dari 914 pasien dari 7
negara. Kriteria diagnosis telah dikembangkan termasuk ulcer oral rekuren yang terjadi paling
sedikit 3 kali di dalam satu periode 12 bulan ditambah dengan 4 manifestasi berikut:
1. Ulser genital rekuren
2. Lesi pada mata, termasuk uveitis dan vaskulitis retinal
3. Lesi pada kulit, termasuk nodosum eritema, pseudofolliculitis, lesi papulopustular, atau
nodul acneiform di pasien postadolescent yang tidak menggunakan kortikosteriod
4. Tes pathergy positif, yang dilakukan dengan cara meletakkan jarum 20G 5mm ke dalam
kulit di lengan. Tes ini positif jika terdapat papula atau pustule yang berindurasi
berdiameter 2 mm atau lebih dalam waktu 48 jam.
1.7.6 Temuan Laboratori
BD merupakan diagnosis klinis berdasarkan kriteria yang dijelaskan di atas. Tes
laboratory digunakan untuk memperlihatkan penyakit yang lain, seperti kelainan jaringan ikat
(seperti lupus erythematosus) dan dyscrasias darah.
-RINGKASAN OM 2009- 24
1.7.7 Manajemen
Manajemen pada BD tergantung pada tingkat keparahan dan daerah yang terlibat. Pasien
dengan penglihatan yang terancam yang memiliki keterlibatan mata atau lesi pada sistem saraf
pusat mebutuhkan terapi yang agresif dengan obat, dengan potensi yang lebih tinggi untuk efek
samping yang serius. Azathioprine dan obat imunosupresif dikombinasikan dengan prednisone
menunjukkan adanya pengurangan kelainan ocular begitu juga dengan yang memiliki
keterlibatan oral dan genital. Pentoxifylline, yang memiliki efek samping yang lebih sedikit
dibandingkan dengan obat imunosupresif dan steroid sistemik, juga dilaporkan efektif dalam
mengurangi aktivitas penyakit, khususnya lesi oral dan genital. Dapsone, colchicine, dan
thalidomide juga telah efektif digunakan untuk merawat lesi pada mukosa pada penyakit BD.
Agen yang aktif terhadap sitokin TNF-χ, seperti infliximab dan ethanercept, telah menujukkan
potensi efektif terhadap manifestasi mucocutaneous dan ocular pada BD.
Gambar 1.9 Apthous ulcer (A) dan lesi pada kulit (B) pada pasien dengan Behcets Disease
1.8 Paraneoplastic Pemphigus (PNPP)
1.8.1 Definisi
Pnpp adalah varian parah pemfigus yang berhubungan dengan neoplasma-paling sering
limfoma mendasari non-Hodgkin, leukemia limfositik kronis, atau thymoma. Penyakit
Castleman dan Waldenstrom macroglobulinemia juga terkait dengan kasus pnpp. Kerusakan
pada epitel di pnpp adalah karena kedua reaksi autoimun dengan sel-sel epitel dan sel-dimediasi
sitotoksisitas.
1.8.2 Temuan Klinis
-RINGKASAN OM 2009- 25
Pasien dengan pnpp mengembangkan terik parah dan erosi pada membran mukosa dan
kulit. Timbulnya penyakit ini sering cepat, dan mulut dan lesi konjungtiva keduanya umum dan
sering parah. Lesi ini mungkin menyerupai lesi inflamasi dari reaksi obat, lichen planus, atau
EM, serta lecet terlihat pada pemfigus (Gambar 36). Pada kasus yang berat, lesi dapat meniru
TEN dan sering juga melibatkan epitel pernapasan. Tidak seperti EM atau TEN, lesi dari pnpp
terus berkembang selama beberapa minggu atau bulan. Keterlibatan paru progresif terjadi pada
hingga 40% pasien dengan pnpp.
Gambar 1.10 PNPP pada pasien non-Hodkin’s Limfoma
1.8.3 Manifestasi Oral
Lesi oral adalah manifestasi paling umum dari pnpp, dan penyakit mulut sering luas dan
menyakitkan. Lesi sering meradang dan nekrotik, dengan erosi besar yang meliputi bibir, lidah,
dan palatum lunak (Gambar 37).
Gambar 1.11 Lesi yang parah pada lidah pasien dengan PNPP
1.8.4 Temuan Lab
Histopatologi lesi dari pnpp termasuk perubahan sugestif dari EM, lichen planus,
pemfigoid dan pemfigus. Ada peradangan di persimpangan dermal-epidermal dan keratinosit
-RINGKASAN OM 2009- 26
nekrosis selain akantolisis karakteristik terlihat pada PV. Hasil imunofluoresensi langsung dan
tidak langsung juga berbeda dari yang di PV. DIF menunjukkan deposisi IgG dan melengkapi
sepanjang membran basement serta pada permukaan keratinosit di lokasi antar. IIF menunjukkan
antibodiesthat tidak hanya mengikat epitel tetapi untuk hati, jantung, dan jaringan kandung
kemih juga.
1.8.5 Manajemen
Pasien dengan pnpp sekunder untuk tumor lokal seperti penyakit Castleman
meningkatkan dengan operasi pengangkatan tumor. Pasien dengan pnpp dihasilkan dari limfoma,
bagaimanapun, memiliki prognosis yang buruk dan biasanya meninggal dalam waktu 2 tahun
dari kombinasi penyakit yang mendasari, kegagalan pernapasan, dan keterlibatan mukokutan
luas.
Penggunaan kombinasi prednison dan obat imunosupresif dapat terapi membantu
mengendalikan tingkat keparahan lesi kulit, tetapi mulut, konjungtiva, dan penyakit paru sering
resisten terhadap pengobatan.
1.9 Linear IgA Disease (LAD)
1.9.1 Etiologi dan Patogenesis
LAD adalah penyakit subepitel ditandai dengan deposisi IgA daripada IgG di membran
basal. Manifestasi klinis dapat berupa dermatitis herpetiformis atau pemfigoid. Sebagian besar
penyebabnya belum diketahui, tetapi pada beberapa kasus dilaporkan berhubungan dengan
induksi obat atau penyakit sistemik, termasuk keganasan hematologi, atau penyakit jaringan ikat,
seperti dermatomiositis. Seperti dalam MMP, antigen dikaitkan dengan LAD yang heterogen dan
dapat ditemukan baik dalam lamina lucida atau lamina densa yang merupakan bagian dari
membran basal.
1.9.2 Manifestasi Klinis
Lesi kulit dari LAD mungkin serupa pada pasien dengan dermatitis herpetiformis, yang
ditandai dengan papula pruritus dan blister di daerah trauma seperti lutut dan siku. Pasien lainnya
-RINGKASAN OM 2009- 27
memiliki lesi bulosa mirip dengan yang terlihat pada pasien dengan BP. Mukosa mulut dan
konjungtiva juga sering terlibat.
1.9.3 Temuan Oral
Lesi oral yang umum terlihat pada LAD dapat dilihat pada sampai dengan 70% dari
pasien. Lesi ini secara klinis sulit dibandingkan dengan lesi oral MMP, dengan blister dan erosi
mukosa sering disertai gingivitis deskuamatif, yang secara klinis tidak dapat dibedakan dari lesi
MMP. Serupa dengan MMP, kasus-kasus sebelumnya hanya memperlihatkan gingivitis
deskuamatif. Beberapa peneliti percaya bahwa masih ada bukti yang cukup untuk membedakan
antara LAD dan MMP.
Gambar 1.12 Perawatan splint ringan untuk merawat sekunder gingivitis deskuamatif pada
MMP
1.9.4 Temuan Lab
Pemeriksaan histologi menunjukkan lesi subepitel di membran basal mirip dengan MMP,
tetapi penelitian DIF menunjukkan pengendapan IgA daripada IgG. IIF biasanya negative, tetapi
ketika positif akan menunjukkan antibodi IgA terhadap antigen membran basal.
-RINGKASAN OM 2009- 28
Gambar 1.13. A. Photomicrograph dari MMP memperlihatkan sel basal dan bulla subepitel
yang utuh. B. Gambaran Direct immunoflourence dari membrane mukosa memperlihatkan
deposisi IgG positif pada dasar zona membrane.
1.9.5 Manajemen
Seperti halnya penyakit blister subepitel, klinisi harus mempertimbangkan adanya
kemungkinan reaksi obat yang mendasari atau terjadinya keganasan. Lesi oral LAD dapat
ditangani dengan penggunaan steroid topikal tetapi secara karaktersistik responnya tidak sebaik
pada MMP yang cukup diterapi dengan steroid topikal atau sistemik saja. Dapson sering lebih
efektif apabila steroid topikal tidak cukup. Sulfapyridine atau tetrasiklin, yang dapat
dikombinasikan dengan niacinamide, juga efektif. Pada kasus yang cukup parah mungkin
diperlukan kombinasi kortikosteroid sistemik dan terapi obat imunosupresif.
-RINGKASAN OM 2009- 29
BAB II
RESPIRATORY DISEASES
UPPER-RESPIRATORY INFECTIONS
2.1 Allergic Rhinitis
2.1.1 Definisi dan Etiologi
Allergic rhinitis adalah inflamasi rekuren kronis pada mukosa nasal
Permulaan inflamasi merupakan allergic hypersensitivity (hipersensitivitas tipe I)
terhadap trigger dari lingkungan.
Trigger
Musiman: rumput, pohon, serbuk sari
Menahun: tungau, bulu, binatang, jamur
2.1.2 Patofisiologi
Fase Sensitisasi : Terpapar allergen tertentu dan allergen dikenal oleh system imun
Akhir fase sensitisasi: Produksi spesific Immunoglobulin E (IgE) antibody, IgE berikatan
dengan permukaan sel-sel mast dan basophil darah.
Fase awal (early-phase) reaksi alergi
Re-exposure allergen interaksi permukaan IgE dan allergen IgE cross-linking
*Cross linking IgE memicu degranulasi sel mast dan pelepasan mediator sel mast.
Sel mast Histamin (mediator utama) bersin, pruritus, dan rhinorrhea Cytokine
amplifikasi dan feedback dari respon alergimasuknya sel-sel inflamasi lain (termasuk
eosinofil) late-phase allergic
Eosinofil memproduksi berbagai mediator inflamasi yang menyebabkan inflamasi alergi
kronis dan symptom kongesti nasal.
2.1.3 Temuan Klinis dan Laboratorium
Simptom: bersin, pruritus, clear rhinorrhea, kongesti nasal
Simptom lain: drainase postnasal dengan iritasi tenggorokan, pruritus palatum dan
saluran telinga, serta kelelahan
-RINGKASAN OM 2009- 30
Tanda klinis: lipatan hidung transversal, sering menggosok ujung hidung ke arah atas.
Pemeriksaan langsung: edema, pewarnaan biru pucat pada turbinates, clear rhinorrhea
yang berlebihan, polip nasal, drainase post nasal, cobble stoning orofaring, lengkung
palatum tinggi, protrusi lidah dan overbite.
Pemeriksaan Lab (tidak sensitif dan spesifik):
o Level serum Ig meninggi
o Jumlah eosinofil total meninggi
Pemeriksaan mikroskopis sekresi nasal
o Eosinofil dalam jumlah signifikan
Radio allergosorbent test (RAST): tes berdasarkan level sirkulasi Ig, level Ig spesifik
ditentukan menggunakan sampel serum dan dihitung menggunakan penanda radioaktif.
Digunakan pada pasien ibu hamil, atau kelainan kulit kronis yang parah termasuk
dermatitis atopic.
2.1.4 Klasifikasi
Seasonal (musiman), allergen di luar rumah: pepohonan, rumput,
Perennial (menetap), allergen dari dalam rumah: tungau, kecoa, binatang peliharaan.
2.1.5 Diagnosis
Jelas berdasarkan riwayat dan pemeriksaan klinis
Riwayat sensitivitas alergi, symptom rekuren terhadap paparan spesifik, eksaserbasi
selama waktu-waktu tertentu
Simptom mengalami rekurensi selama 2 tahun atau lebih pada musim tertentu
Seasonal allergic
Simptom memburuk selama pasien berada di rumah, dan membaik saat pasien bekerja
atau berlibur Perennial allergic, dengan trigger indoor
TES Skin Test / prick test
o Purified allergen dalam jumlah kecil disuntikkan ke epidermis dengan pricking
device.
-RINGKASAN OM 2009- 31
o Kontrol positif (histamin) dan negatif (albumin-saline) digunakan untuk
perbandingan.
o Dilihat setelah 15 menit
2.1.6 Manajemen
UMUM : Menghindari allergen, farmakoterapi (obat), dan immunoterapi (injeksi alergi)
Bersin, pruritus, rhinorrhea antihistamin (generasi kedua: loratadine dan fexofenadine)
Nasal kongesti dan obstruksi oral dekongestan (sympathomimetic amines)
Medikasi kombinasi
o CysLT1-receptor antagonis + antihistamin
Symptom yang berhari-hari atau parah dan tidak sembuh dengan antihistamin-
dekongestan. Agen anti-inflamasi topikal (cromolyn sodium dan topikal kortikosteroid
spray), keuntungan topikal kortikosteroid : dosis satu kali sehari, superior efficacy,
sembuh menyeluruh
Immunoterapi pasien yang tidak bias menghindari allergen, respon suboptimal
terhadap farmakoterapi, menghindari penggunaan jangka panjang obat-obatan, wanita
hamil.
2.2 Faringitis dan Tonsilitis
2.2.1 Definisi dan Etiologi
Inflamasi pada tonsil dan faring selalu dihubungkan dengan infeksi, baik virus atau
bakteri. Lebih dari 90% kasus radang tenggorokan berhubungan dengan infeksi virus. Etiologi
paling besar yaitu Epstein-Barr Virus, coxsackievirus A, adonevirus, rhinovirus, dan measles
virus.
Bakteri yang paling banyak menyebabkan tonsilo-faringitis akut adalah infeksi kelompok
A β-hemolitic Streptococcus (GABHS), terutama infeksi dari Streptococcus pyogens. Bakteri
lain yang mungkin dapat menyebabkan infeksi ini yaitu: Corynebacterium diphtheriae, Neisseria
gonorhoeae, Chlamydia, dan Mycoplasma pneumonia.
-RINGKASAN OM 2009- 32
2.2.2 Patofisiologi
Infeksi Streptococcus dapat terjadi melalui kontak langsung dengan sekresi saluran
pernafasan. Transmisi sering terjadi pada area yang mudah berkontak seperti: sekolah dan tempat
penitipan bayi. Masa inkubasi 2 – 5 hari.
2.2.3 Temuan Klinis dan Laboratorium
Pasien dengan infeksi EBV dapat menjadi infeksi mono nucleosis, yaitu penyakit yang
dicirikan dengan adanya exudative tonsillopharingitis, lymphadenopathy, demam, dan pegal.
Pemeriksaan fisik dapat menemukan adanya hepatoplenomegaly. Temuan laboratorium
menunjukkan leukositosis, yang memiliki 20% limfosit tidak beraturan pada darah.
2.2.4 Klasifikasi
Faringitis viral (umumnya oleh rhinovirus): diawali dengan gejala rhinitis dan beberapa
hari kemudian timbul faringitis. Gejala lain demam disertai rinorea dan mual.
Faringitis bakterial: nyeri kepala hebat, muntah, kadang disertai demam dengan suhu
yang tinggi, jarang disertai batuk.
Faringitis fungal: terutama nyeri tenggorok dan nyeri menelan.
Faringitis kronik hiperplastik: mula-mula tenggorok kering, gatal dan akhirnya batuk
yang berdahak.
Faringitisatrofi: umumnya tenggorokan kering dan tebal serta mulut berbau.
Faringitis tuberkulosis: nyeri hebat pada faring dan tidak berespon dengan pengobatan
bakterial non spesifik.
Bila dicurigai faringitis gonorea atau faringitis luetika, ditanyakan riwayat hubungan
seksual
Faringotonsilitis diklasifikasikan berdasarkan etiologi dan gambaran klinis. (sesuai
penjelasan sebelumnya)
2.2.5 Diagnosis
-RINGKASAN OM 2009- 33
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang bila diperlukan.
2.2.6 Manajemen
Penatalaksanaan penyakit dilakukan sesuai dengan penyebabnya. Jika disebabkan oleh
virus, dapat diberikan obat kumur, analgesik, dan antipiretik. Jika disebakan oleh bakteri dapat
diberikan penicillin, cephalosporin, macrolides, clindamycin, atau injeksi intramuskular
benzathine penicillin G.
2.2.7 Prognosis
Baik
2.2.8 Pertimbangan Kesehatan Mulut
Suatu studi menyebutkan bahwa ada hubungan antara infeksi GABHS pada sikat gigi dan
ortho lepasan. Pasien yang memiliki infeksi GABHS harus diinstruksikan untuk selalu
membersihkan sikat gigi dan alat lepasan setiap hari. Selain itu pasien juga diinstruksikan untuk
mengganti sikat gigi setelah masa akut infeksi orofaringeal.
2.3 Sinusitis
2.3.1 Definisi dan Etiologi
Sinusitis adalah suatu peradangan pada lapisan epitel dari sinus paranasal. Peradangan
jaringan ini menyebabkan edema mukosa dan peningkatan sekresi mukosa. Pemicu paling umum
adalah infeksi saluran pernapasan atas akut, meskipun penyebab lain (seperti eksaserbasi alergi
rhinitis, infeksi gigi atau manipulasi, dan trauma langsung) dapat terlibat.
2.3.2 Patofisiologi
Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang dilapisi dengan epitel pernapasan
bertingkat semuolumnar. Epitel tersebut bersilia, yang memfasilitasi pembersihan sekresi
mukosa. Frontal, maksila, dan sinus ethmoid menguras ke daerah yang dikenal sebagai kompleks
ostiomeatal. Ritme gerakan silia dan pembersihan sekresi dapat terganggu oleh beberapa faktor,
-RINGKASAN OM 2009- 34
termasuk infeksi virus pernapasan bagian atas, alergi peradangan, dan paparan tembakau rokok
dan iritasi lainnya.
Selain itu, benda asing (disengaja atau bedah) atau septum nasal sangat menyimpang
dapat menyebabkan obstruksi. Jika penyumbatan ostia sinus atau obstruksi kompleks ostiomeatal
terjadi, stasis sekresi sinus akan memungkinkan penyatuan dalam rongga sinus, yang
memfasilitasi pertumbuhan bakteri.
Organisme yang paling umum ditemukan di sinusitis akut adalah S. pneumoniae, H.
influenzae, dan M. catarrhalis. Disekitar 8 sampai 10% kasus sinusitis akut,
Bacteroidessppdan S. aureus adalah penyebabnya.
Organisme yang biasa terkait dengan sinusitis kronis adalah bakteri anaerob seperti
Bacteroides sp, Fusobacterium sp, Streptococcus, Veillonella, dan Corynebacterium sp.
Sinusitis karena infeksi jamur jarang terjadi.
2.3.3 Temuan Klinis dan Laboratorium
Gejala sinusitis akut termasuk nyeri wajah, nyeri, dan sakit kepala local ke daerah yang
terkena.
Sinusitis mempengaruhi sinus sphenoid atau sinus ethmoid posterior dapat menyebabkan
sakit kepala atau nyeri di daerah oksipital.
Gejala lain yang umum dijelaskan termasuk purulent nasal discharge, demam, malaise,
dan post nasal drainase dengan napas berbau busuk.
Kadang-kadang disertai sakit gigi
Pemeriksaan fisik nyeri sinus dan drainase purulent nasal. Mukosa nasal akan
memperlihatkan edema dan eritem, dan muncul polip nasal
Computed Tomography (CT) pilihan untuk mendokumentasikan sinusitis kronis
dengan penyakit yang mendasari kompleks osteomeatal. CT juga dapat secara akurat
menilai polip, osteitis reaktif, penebalan mukosa, dan sinusitis jamur.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) identifikasi kelainan tulang.
-RINGKASAN OM 2009- 35
2.3.4 Klasifikasi
Sinusitis berdasarkan durasi inflamsi: Akut (4 minggu) Sub Akut (4 – 12 minggu)
Kronis (lebih dari 12 minggu)
2.3.5 Diagnosis
Diagnosis sinusitis akut dibuat atas dasar histori dan pemeriksaan fisik. Evaluasi
radiologis dapat membantu dalam situasi tertentu.
Evaluasi alergi untuk rhinitis alergi dapat membantu.
Faktor predisposisi lain, seperti paparan asap tembakau, immunodefisiensi, dan deviasi
septum, harus dipertimbangkan.
Rhinoskopi dapat membantu untuk visualisasi langsung dari sinus ostia.
2.3.6 Manajemen
Perawatan medis awal terdiri dari antibiotik dan dekongestan topikal atau oral untuk
memfasilitasi drainase sinus.
Antibiotik: amoksisilin cukup efektif, meskipun generasi kedua sefalosporin,
azitromisin, dan amoksisilin klavulanat dapat membantu dalam kasus resisten.
Hidrasi yang memadai, uap inhalasi, dan farmakologis tindakan
Glukokortikosteroid nasal dianggap efektif menambah terapi antibiotic
Antibiotik intravena dan intervensi bedah diindikasikan berdasarkan respon kondisi untuk
manajemen medis.
Kortikosteroid topikal / kortikosteroid oral jangka pendek mengurangi pembengkakan
dan obstruksi osteomeatal kompleks.
2.3.7 Prognosa
Pasien dirawat untuk sinusitis akut biasanya sembuh tanpa gejala sisa.
Anak-anak dengan sinusitis, khususnya ethmoid dan sinusitis maksilaris, beresiko untuk
periorbital atau orbital selulitis.
Sinusitis frontal dapat meluas melalui dinding anterior Tumor.
Sinusitis dapat menyebar secara intrakranial abses atau meningitis
-RINGKASAN OM 2009- 36
Penggunaan obat kronis dapat menyebabkan efek samping atau komplikasi lain, seperti
rhinitis
2.3.8 Pertimbangan Kesehatan Mulut
Pasien dengan infeksi sinus hadir dengan keluhan sakit gigi
Sinusitis biasanya hadir dengan melibatkan lebih dari satu gigi di maksila dengan
kuadran yang sama
Infeksi sinus kronis sering disertai dengan pernafasan mulut mulut kering dan (pada
penderita lama) gingivitis.
Penggunaan dekongestan mungkin dapat berhubungan dengan mulut kering
LOWER-RESPIRATORY INFECTIONS
2.4 Bronkhitis Akut
2.4.1 Definisi dan Etiologi
Bronkhitis akut adalah infeksi repiratori akut yang melibatkan jalan napas besar (trakea
dan bronkus) yang dimanifestasi sebagian besar oleh batuk dengan atau tanpa dahak selama 3
mingggu atau lebih. Bagi individu yang sehat tanpa ada penyakit paru, bronkhitis biasanya
disebabkan oleh infeksi virus. Virus yang sering terlibat adalah influenza B, influenza A,
parainfluenza, dan RSV. Virus yang biasanya terlibat dengan infeksi saluran pernapasan atas
seperti coronavirus, rhinovirus, dan adenovirus juga dapat menyebabkan bronkhitis akut. Bakteri
yang biasanya dihubungkan dengan bronkhitis akut pada individu sehat adalah Mycoplasma
pneumoniae, Chlamidya pneumoniae, Bordella pertussis dan Bordetella parapertussis.
Staphylococcus dan bakteri gram negatif biasanya menyebabkan bronkhitis pada individu-
individu di rumah sakit.
2.4.2 Patofiologi
Patofisiologi bronkhitis akut sama dengan infeksi saluran pernapasan yang lain.
Mengikuti infeksi dari sel mukosa, terjadi perkembanganpenyumbatan mukosa respiratory.
Inflamasi menyebabkan peningkatan aktivitas sekret, yang berakhir pada meningkatkan produksi
-RINGKASAN OM 2009- 37
dahak. Polymorfonuklear leukosit menginflitrasi dinding bronkial dan lumen. Lalu terjadi
deskuamasi epitel siliata dan spasme otot halus bronkial.
2.4.3 Temuan Klinis dan Laboratorium
Bronkhitis viral akut biasanya timbul dengan onset batuk tiba-tiba dengan atau tanpa
pengeluaran dahak dan tanpa tanda pneumonia, pilek, asthma akut, atau akut eksaserbasi
bronkhitis kronis. Tidak nyamannya dada dapat terjadi, diperparah dengan penyakit batuk
menetap. Gejala lain seperti dyspnea dan sulit bernapas kadang timbul. Pemeriksaan klinis dapat
menemukan wheezing. Penampilannya menyerupai akut eksaserbasi asthma. Gejala akan
menghilang dalam 1-2 minggu.
Penampilan bronkhitis bakterial akut mirip dengan bakterial pneumonia. Gejala dapat
timbul demam, dyspnea, batuk dengan dahak bernanah, dan nyeri dada. Bronkitis bakterial dapat
dibedakan dengan penumonia dari tampilan radiografi dada.
2.4.4 Klasifikasi
Bronkhitis akut dapat dideferensiasi menurut etiologinya yaitu viral bronkhitis dan
bakterial bronkhitis.
2.4.5 Diagnosis
Diagnosis bronkhitis akut didasarkan pada riwayat dan pemeriksaan fisik. Jumlah sel
darah dan sputum dianalisa. Radigrafi dada dapat membantu membedakan bakterial bronkhitis
dan pneumonia. Pasien dengan rekuren bronkhitis akut harus dievaluasi untuk kemungkinan
asthma.
Pasien dengan gejala persisten viral brokhitis harus dievaluasi untuk mengetahui etiologi
yang mendasarinya. Kultur dahak dapat dilakukan tapi tidak harus dilakukan secara rutin.
2.4.6 Perawatan
Viral bronkhitis dapat dirawat dengan hanya perawatan suportif karena kebanyakan
individu yang sehat sembuh tanpa pengobatan spesifik. Apabila ada penyempitan jalan nafas
yang signifikan atau hipereaktif, dapat digunakan bronkodilator hirup seperti albuterol.
-RINGKASAN OM 2009- 38
Suppresan batuk seperti codein dapat digunakan bagi pasien yang menglami gangguan tidur
karena batuk.
Perawatan bakterial bronkhitis mencakup amoxicillin, amoxicillin-clavulanate,
macrolides, dan sefalosporin. Bagi individu yang diduga atau didiagnosa infeksi pertusis, diberi
macrolide atau trimethoprim-sulfamethoxazole. Bronkodilator hirup b2-agonist biasanya
digunakan tapi tidak direkomendasikan secara jangka panjang untuk meringankan batuk.
2.4.7 Prognosis
Brokhitis akut membawa prognosis baik pada pasien tanpa riwayat penyakit paru.
Namun, pada pasien dengan penyakit paru kronis dan gangguan pernapasan, bronkhitis dapat
menjadi serius dan memicu perawatan rumah sakit dan gagal napas. Pada individu yang beresiko
tinggi seperti pada individu dengan infeksi HIV atau imunodefisiensi, bronkhitis akut dapat
mengarah pada perkembangan bronchiestasis.
2.4.8 Pertimbangan Kesehatan Mulut
Resistensi antibiotik dapat berkembang dengan cepat dan berlangsung selama 10-14 hari.
Demikian yang mengkonsumsi amoxicillin untuk bronkhitis akut harus diresepkan antibiotik tipe
lain (clyndamicin atau sefalosporin) ketika dibutuhkan antibiotik untuk infeksi odontogenik.
2.5 Pneumonia
2.5.1 Definisi dan Etiologi
Infeksi dan inflamasi yang melibatkan parenkim paru-paru
Penyebabnya karena bakteri dan virus
Terklasifikasi menjadi infeksi noskomial (Staphylococcus aureus dan bakteri Gram
negatif) dan infeksi dapatan komunitas (Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenzae).
Pneumonia yang mengandung Klebsiellaoneumoniae ditemukan pada pasien usia lanjut
dengan riwayat alkoholik.
-RINGKASAN OM 2009- 39
Penumonia juga dapat disebabkan oleh jamur (Candida, Histoplasma, Cryptococcus dan
Aspergillus) oleh protozoa (Pneumocystic carinii, Nocardia, Mycobacterium
tuberculosis).
2.5.2 Patofisiologis
Patofisiologis penumonia bergantung dari organisme penyebab infeksi. Contoh bakteri
penyebab tersering Streptococcus pneumoniae, mekanismenya:
Bakteri masuk alveolar melalui inhalasi
Di alveoli bakteri secara cepat bermultipel dan terbentuk edema
Bakteri menyebabkan respon inflamasi kuat, melibatkan banyak leukosit PMN
Terdapat kebocoran kapiler
Selama proses inflamasi, leukosit PMN digantikan oleh makrofag
Deposisi fibrin terjadi saat infeksi terkontrol
2.5.3 Temuan Klinis dan Laboratorium
Pneumonia karena infeksi dapatan (pneumococcus) biasanya akut, dengan onset gejala yg
cepat.
Gejala prodormal seperti infeksi akut saluran pernafasan atas.
Gejala umum: demam, nyeri dada, dan batuk yang menghasilkan sputum purulen,
malaise, pusing.
Pemeriksaan fisik menunjukan crackles (rales) pada paru-paru yang terkena, suara nafas
yang menurun.
2.5.4 Klasifikasi
Pneumonia diklasifikasi berdasarkan tampilan klinis bakterial atau atipikal.
2.5.5 Diagnosis
Jika pasien dengan penumonia sedang dievaluasi, kemungkinan organisme penyebab
disarankan berdasarkan (1) tampilan klinis dan perjalanan penyakit, (2) derajat
-RINGKASAN OM 2009- 40
imunokompetensi pasien, (3) ada atau tidaknya penyakit paru yang menyertai, (4) tempat
kemungkinan terpapar penyakit (rumah sakit atau komunitas).
Pemeriksaan sputum juga penting untuk menegakan organisme penyebab dan diagnosis.
Pemeriksaan lain: pemeriksaan kultur darah, cairan paru
Pemeriksaan radiografis juga dapat mengevaluasi pasien dengan pneumonia.
2.5.6 Manajemen
Jika pasien dengan suspek pnuemonia, pemberian Penisilin dianggap efektif namun dapat
resisten
Alternatif obat lain yaitu antibiotik cepalosporins dan macrolide.
Penanganan karena bakteri H.influenza yaitu cephalosporins atau ampisilin/klavulanat
alternatif yaitu claritomycin atau antibiotik quinolon
Penanganan karena bakteri Legionella dan Mycolasma yaitu antibiotik Eritromycin
Perawatan tidak spesifik bagi pasien pneumonia yaitu hidrasi untuk membersihkan
sputum, fisioterapi dada, pemberian oksigen jika terdapat hipoksia
Vaksin pneumococcal tersedia dan efektif untuk orang dewasa serta anak-anak diatas 2
tahun dan direkomendasikan untuk orang-orang yang beresiko besar terkena pneumonia
seperti orang dengan asplenia dan individu berumur diatas 65 tahun.
2.5.7 Prognosis
Kematian karena penumonia dapatan rendah.
Resiko kematian tinggi pada pasien tua, pasien dengan penyakit paru yang menyertai,
pasien imunodefisiensi (asplenia), dan pasien dengan kultur darah positif. Kematian
biasanya terjadi 5 hari setelah onset dimulai.
Kematian karena staphylococal pneumonia tinggi dan pasien yang sembuh seringkali
memiliki residu abnormalitas paru-paru.
2.6 Asma
2.6.1 Definisi dan Etiologi
Asma adalah kelainan inflamasi kronis pada jalan pernapasan.
-RINGKASAN OM 2009- 41
Karakteristiknya adalah terdapat keterbatasan aliran udara pada saat proses inflamasi
terjadi dan rekuren.
Etiologinya belum diketahui, tetapi biasanya pasien asma sensitif terhadap alergi.
Kontribusi genetik juga sepertinya mempengaruhi, tetapi belum dapat diidentifikasi
sebagai penyebabnya.
Banyak faktor risiko yang dapat membuat asma berkembang seperti riwayat keluarga
yang terkena asma, atopi, infeksi saluran pernapasan, udara yang terkontaminasi polusi
baik di luar ruangan maupun di dalam ruangan bekerja, allergen, sensitive terhadap
makanan, dan paparan lainnya (seperti asap rokok).
2.6.2 Patofisiologi
Tampak klinis dari asma bergantung pada kronisnya proses inflamasi. Meskipun etiologi
tidak diketahui, gambaran histopatologi dapat memperlihatkan kronisnya proses inflamasi.
Infiltrasi pada saluran pernapasan yang diakibatkan oleh sel inflamasi seperti limfosit aktif dan
eusinofil, denudasi epitel, deposit kolagen pada area membran sub-basement, dan degranulasi sel
mast sering tampak pada asma ringan atau moderat. Pada asma yang berat, tampak klinis lainnya
terlihat, termasuk lumen bronkial yang menempel dengan mukosa, otot halus bronkia yang
hiperplasi dan hiperatropi, serta hiperplasi sel goblet.
Inflamasi pada saluran pernapasan dapat menjadi tanda yang jelas untuk kelainan asma,
termasuk obstruksi saluran napas, hiperresponsif bronkial, dan tahap awal pada proses
penyembuhan jejas (remodeling) pada beberpa pasien. Spasme otot polos bronkial merupakan
reaksi tubuh terhadap reaktifitas saluran napas yang berlebihan. Sel pada saluran napas, termasuk
sel mast, makrofag alveolar, dan eptiel saluran napas, berimigrasi bersama sel inflamasi,
mengeluarkan berbagai macam mediator yang nantinya merangsang otot polos bronkial.
Mediator ini, seperti histamis, leukrotin cyteinyl, dan bradikinin, menaikan permiabilkitas
membaran kapiler dan menyebabkan edema mukosa pada saluran napas.
Atopi adalah faktor risiko terkuat yang dihubungkan dengan perkembangan asma.
Paparan terus menerus dari allergen pada individu yang sensitive dapat memicu alergi inflamasi
kronis pada saluran napas. Meskipun atopi lebih sering terlihat pada asma yang menyerang anak-
anak, atopi juga dapat memegang peranan penting pada asma dewasa.
-RINGKASAN OM 2009- 42
2.6.3 Klasifikasi
Klasifikasi asma berdasarkan tingkat keparahan. pedoman yang ditetapkan oleh National
Asthma Education and Prevention Program (NAEPP) adalah yang paling sering
digunakan di AS.
Pasien asma diklasifikasikan ringan-jarang (mild-intermitten), ringan-terus menerus
(mild-persistent), berat-terus menerus (severe-persistent).
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan hal yang mentrigger kemunculannya.
2.6.4 Diagnosis
Diagnosis riwayat, temuan fisik yang spesifik, dan adanya keterbatasan aliran udara.
Pasien rawat jalan biasa menggunakan spirometri atau determinasi PEFR, atau dengan
penilaian klinis setelah percobaan terapi.
Diagnosis banding (DD) asma termasuk hal-hal yang dapat menyebabkan batuk kronis
dan bunyi berdecit pada napas.
DD Biasanya rhinitis kronis atau sinusitis, CF, GERD, penyempitan jalan napas dan
COPD.
Faktor yang memperkuat diagnosis asma adalah hilang timbulnya simtop dengan periode
asimtom, reversibilitas lengkap atau hampir lengkap dengan bronchidialator, tidak
adanya digital clubbing, dan adanya riwayat atopi
2.6.5 Prognosis
Meskipun asma bukan merupakan kelainan yang dapat diobati, kelainan ini dapat
dikontrol. Program edukasi asma sangatlah penting untuk membuat diagnosis awal dan
kemungkinan intervensi. Dengan diagnosis awal dan rencana perawatan yang komprehensif,
pasien dengan asma dapat memiliki kehidupan yang normal dan kualitas hidup yang baik.
2.6.6 Pemeliharaan Kesehatan Mulut
-RINGKASAN OM 2009- 43
Berikut ini adalah pertimbangan perawatan dental yang direkomendasikan untuk pasien
yang memiliki asma:
1. Menggunakan suplemen fluoride, biasanya R2-agonist.
2. Pasien diinstruksikan berkumur dengan air setelah menggunakan inhaler.
3. Kebersihan mulut harus ditingkatkan untuk menurunkan insidensi gingivitis dan
periodontitis.
4. Obat antifungal dapat dikonsumsi jika diperlukan, terutama pada pasien yang
menggunakan inhaler kortikosteroid.
5. Profilaksis steroid diberikan pada pasien yang menggunakan kortikosteroid jangka
panjang.
6. Gunakan teknik stress-reducing. Sedasi sadar harus diberikan dengan agen yang tidak
menyebabkan konstriksi bronkiolus, seperti hydroxyzine. Barbiturat dan narkotika
sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan spasme bronkiolus dan mengurangi
fungsi respiratori. Nitrous oxide dapat digunakan untuk seluruh pasien tetapi pada pasien
dengan asma berat dapat mengiritasi saluran napas.
7. Hindari bahan dental yang dapat memicu serangan asma. Bahan dental yang tidak
mengandung menthylmethacrylate dapat dipertimbangkan.
8. Jadwalkan perawatan pasien pada pagi menjelang siang atau sore untuk meminimalisir
risiko serangan asma.
9. Mempunyai tabung oksigen dan bronchodilator untuk pasien asma eksaserbasi
10. Tidak ada kontraindikasi unutk penggunaan anastesi local dengan epinefrin, tetapi bahan
pengawet seperti sodium metabisulfite dapat berkonstribusi mengeksaserbasi asma pada
beberapa pasien dan R2-agonist dapat menghasilkan efek sinergis, menaikan tekana
darah dan arrhythmias.
11. Penggunaan rubber dam dengan benar dapat mecegah penurunan kemampuan bernapas.
12. Penempatan tip suction tidak boleh merangsang reflex batuk.
13. Hampir 10% pasien asma dewasa alergi terhadap aspirin dan agen NSAID lainnya.
14. Interaksi obat dengan theophylline biasa terjadi. Antibiotic macrolide dapat menaikan
efek theoplylline. Tetrasiklin mempunyai efek samping lebih banyak ketika diperikan
bersamaan dengan theophylline.
-RINGKASAN OM 2009- 44
15. Ketika serangan asma akut berlangsung, hentikan perawatan dental, singkirkan semua
alat dari intraoral, posisikan pasien hingga merasa nyaman, pastikan jalan napas terbuka,
berikan R2-agonist dan oksigen. Apabila tidak membaik, berikan epinephrine subkutan
(konsentrasi 1:1.000, 0.01 mg/kgBB, maksimum 0,3 mg).
-RINGKASAN OM 2009- 45
BAB III
PENYAKIT SALURAN PENCERNAAN
Sistem percernaan terdiri dari esophagus, lambung, usus halus, dan usus besar. Setiap
komponen memiliki fungsi yang spesifik. Efek dari penyakit saluran pencernaan dapat
bermanifestasi di rongga mulut. Penyakit pada saluran pencernaan terbagi menjadi:
3.1 Saluran Pencernaan Atas
3.1.1 GERD (Gastro-Esophageal Reflux Disease)
Merupakan salah satu penyakit yang sering muncul pada saluran pencernaan atas, dapat
mempengaruhi aktivitas sehari-hari.
Diagnosis banding: Bowel disease, gejalanya mirip dengan GERD.
Insidensi: meningkat, 10% dari populasi dunia mengalaminya setiap hari.
Gejala: ringan sampai berat.
Prevalensi: tidak terdapat perbedaan antara pria dan wanita.
Selama GERD, isi lambung secara perlahan naik ke esophagus. Pasien dapat mengalami
gejala ringan dengan esophagus yang secara klinis normal, atau mengalami gejala berat dengan
abnormalitas permukaan yang dapat dideteksi dengan endoskopi.
Heartburn adalah gejala utama dari GERD, didefinisikan sebagai sensasi terbakar atau
panas yang menyebar dari epigastrium (ulu hati) ke leher. Nyeri dada merupakan gejala lain dari
GERD, berhubungan dengan kelainan esophagus. Nyeri dada ini menyerupai gejala gangguan
jantung dan pembuluh darah akut.
Komplikasi GERD: Barrett’s esophagus dimana epitel skuamosa dinding tenggorokan
digantikan dengan epitel kolumnar yang biasanya terdapat di dinding usus.
Relaksasi spinkter esophagus bawah dengan tujuan mengurangi tekanan di dalam perut
(dari gas dan menelan makanan) disebut mekanisme burp.
Segera tidur setelah makan dapat menyebabkan terjadinya refluks.
Pengobatan GERD ringan – menengah cisapride.
Pengobatan GERD berat operasi antirefluks.
-RINGKASAN OM 2009- 46
Keluhan dalam rongga mulut berupa disgesia (foul taste), sensitif terhadap stimulus
panas/dingin karena terkikisnya email akibat asam lambung, erosi gigi, dan pulpitis. Pemeriksaan
histopatologi morfometri pada mukosa palatum pasien GERD secara mikroskopik
memperlihatkan perbesaran epitel dan peningkatan jumlah fibroblast.
Terapi dental pasien dengan GERD: simetidin.
3.1.2 Hiatal Hernia
Merupakan kondisi yang ditandai dengan penonjolan pada bagian atas lambung yang
menyelinap masuk ke dalam dada melalui diafragma karena robekan atau melemahnya
diafragma. Penderita memiliki hiatus esophagus yang lebih besar dari normal, hal ini dapat
disebabkan oleh faktor genetik.
Insidensi: meningkat sesuai umur, juga ditemukan pada bayi dan anak-anak.
Karena diafragma memisahkan rongga toraks dari abdomen, salah satu gejala hiatal
hernia adalah nyeri dada, yang memiliki pola yang sama dengan nyeri infark miokardia. Hiatal
hernia yang kecil biasanya tidak ada gejala. Di sisi lain, jika area hiatus sangat lemah, fungsi
untuk mencegah refluks terganggu dan menyebabkan naiknya asam lambung ke esophagus.
Ada 2 tipe hiatus hernia:
1) Sliding hiatus hernia
Sliding hiatus hernia adalah tipe yang lebih umum dan gejalanya biasanya bersifat
sementara. Terjadi ketika persimpangan gastroesofageal bergerak lebih tinggi
daripada diafragma sementara bagian atas lambung bergesar kembali dan ke depan
karena kontraksi dan pelebaran otot esophagus (pipa makanan) sewaktu menelan.
2) Hiatus hernia para-esofageal (rolling)
Hiatus hernia para-esofageal terjadi ketika bagian atas lambung bergeser masuk ke
bagian diafragma yang terbuka ke arah dada dan persimpangan gastroesofageal
menjadi terjebak. Ulkus dapat terbentuk pada bagian lambung yang terherniasi, atau
pada kasus yang berat, kondisi ini bahkan dapat menyebabkan terputusnya pasokan
darah, menyebabkan kematian pada jaringan lambung yang terjebak. Untungnya,
hernia para-esofageal yang besar sangat jarang terjadi.
-RINGKASAN OM 2009- 47
Efek samping pengobatan hiatal hernia serostomia (mulut kering). Dapat diatasi
dengan pemberian saliva buatan, obat kumur non alkohol, atau memperbanyak konsumsi cairan.
Kadang dapat ditemukan karies kelas V atau karies pada akar yang diakibatkan oleh mulut
kering.
3.2 Saluran Percernaan Bawah
3.2.1 Gangguan pada Perut
3.2.1.1 Peptic Ulcer Disease
PUD atau ulkus peptikum adalah ulserasi jinak (tidak ganas) pada lapisan epitel perut
(gastric ulcer) atau duodenum/usus 12 jari (duodenal ulcer) yang berhubungan dengan
meningkatnya asam lambung dan pepsin.
Prevalensi Rasio Pria : Wanita 3:1. Kelompok ekonomi rendah, usia diatas 50 tahun
lebih sering. Faktor genetik muncul pada patogenesis ulser ini. Kembar identik mendekati 50%.
Etiologi bakteri Helicobacter pylori, NSAIDs dan faktor lain yg mengikis pertahanan
mukosa dan mekanisme penyembuhan normal. Asam lambung menjadi faktor independen
kerusakan mukosa. Kopi, teh, minuman kola, bir, susu, dan makanan pedas bisa menyebabkan
dispepsia tapi tidak meningkatkan resiko PUD. Konsumsi alkohol konsentrasi tinggi
menyebabkan kerusakan mukosa lambung secara akut dan pendarahan saluran cerna bagian
bawah tapi bukan penyebab ulser.
NSAIDs menyebabkan kerusakan mukosa melalui iritasi langsung terhadap epitel
lambung, dan inhibisi atau penghambatan enzim cyclooxigenase-1 (COX-1) yg akibatnya
menurunkan sintesa prostaglandin.
Gejala klinis Ulkus cenderung sembuh dan kambuh kembali. Gejalanya bervariasi
tergantung dari lokasinya dan usia penderita. Anak-anak dan usia lanjut bisa tidak memiliki
gejala yang umum atau bisa tidak memiliki gejala sama sekali. Hanya separuh dari penderita
yang memiliki gejala khas dari ulkus duodenalis, yaitu nyeri lambung, perih, panas, sakit, rasa
perut kosong dan lapar. Nyeri cenderung dirasakan pada saat perut kosong. Penderita sering
terbangun pada jam 1-2 pagi karena nyeri. Nyeri sering muncul satu kali atau lebih dalam satu
hari, selama satu sampai beberapa minggu dan kemudian bisa menghilang tanpa pengobatan.
Tetapi nyeri biasanya akan kambuh kembali, dalam 2 tahun pertama dan kadang setelah
-RINGKASAN OM 2009- 48
beberapa tahun. Penderita biasanya memiliki pola tertentu dan mereka mengetahui kapan
kekambuhan akan terjadi (biasanya selama mengalami stres).
Gejala ulkus gastrikum seringkali tidak memiliki pola yang sama dengan ulkus
duodenalis. Makan bisa menyebabkan timbulnya nyeri, bukan mengurangi nyeri. Ulkus
gastrikum cenderung menyebabkan pembengkakan jaringan yang menuju ke usus halus,
sehingga bisa menghalangi lewatnya makanan yang berasal dari lambung. Hal ini bisa
menyebabkan perut kembung, mual atau muntah setelah makan.
Komplikasi Penetrasi (ulkus dapat menembus dinding otot dari lambung atau
duodenum dan sampai ke organ lain yang berdekatan, seperti hati atau pancreas). Perforasi
(ulkus di permukaan depan duodenum atau (lebih jarang) di lambung bisa menembus dindingnya
dan membentuk lubang terbuka ke rongga perut). Perdarahan (komplikasi yang paling sering
terjadi. Gejalanya muntah darah segar atau gumpalan coklat kemerahan yang berasal dari
makanan yang sebagian telah dicerna,yang menyerupai endapan kopi, dan tinja berwarna
kehitaman atau tinja berdarah). Penyumbatan (pembengkakan atau jaringan yang meradang di
sekitar ulkus atau jaringan parut karena ulkus sebelumnya, bisa mempersempit lubang di ujung
lambung atau mempersempit duodenum. Penderita akan mengalami muntah berulang, dan
seringkali memuntahkan sejumlah besar makanan yang dimakan beberapa jam sebelumnya).
Terapi:
a. Terapi NonFarmakologi. menetralkan atau mengurangi keasaman lambung. Proses
ini dimulai dengan menghilangkan iritan lambung (misalnya obat anti peradangan
non-steroid, alkohol dan nikotin). Makanan cair tidak mempercepat penyembuhan
maupun mencegah kambuhnya ulkus. Tetapi penderita hendaknya menghindari
makanan yang tampaknya menyebabkan semakin memburuknya nyeri dan perut
kembung.
b. Terapi Farmakologi 1) Antasid. Antasid mengurangi gejala, mempercepat
penyembuhan dan mengurangi jumlah angka kekambuhan dari ulkus. 2) Obat-obat
ulkus. Ulkus biasanya diobati minimal selama 6 minggu dengan obat-obatan yang
mengurangi jumlah asam di dalam lambung dan duodenum. Obat ulkus bisa
menetralkan atau mengurangi asam lambung dan meringankan gejala, biasanya dalam
-RINGKASAN OM 2009- 49
beberapa hari. Contoh : Sucralfat, Antagonis H2, Pompa Proton Inhibitor (PPI),
Antibiotik, Misoprostol.
3.2.2 Gangguan pada Usus
3.2.2.1 Duodenal Ulcer Disease
Duodenal ulcer suatu defek mukosa/submukosa yang berbatas tegas yang dapat
menembus muskularis mukosa sampai lapisan serosa sehingga dapat terjadi perforasi. Secara
klinis, DU didefinisikan sebagai hilangnya epitel superficial atau lapisan lebih dalam dengan
diameter ≥ 5 mm yang dapat diamati secara endoskopis atau radiologis. Gambaran klinik DU
berupa nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada epigastrium (sindrom dyspepsia).
Prevalensi resiko DU semakin meningkat dengan pertambahan usia terutama di atas
45 tahun. Perbandingan laki-laki: perempuan sebesar 2:1.
Penyebab bakteri gram negative H.pylori. faktor lain berupa penggunaan obat anti
inflamasi non-steroid (OAINS), peningkatan asam lambung/pepsin dan faktor-faktor lingkungan
serta kelainan satu atau beberapa faktor pertahanan. Genetika nampaknya berperan dengan
agregasi keluarga yang jelas, tetapi penanda genetik spesifik secara pasti belum bisa ditentukan.
Terapi Jika komplikasi seperti perdarahan, perforasi dibutuhkan perawatan bedah.
Makanan yang menyebabkan tidak nyaman harus dihindari. Obat seperti aspirin NSAIDs, serta
alkohol, tembakau harus dihindari kalau tidak pasien juga diberikan misoprostol. Untuk bakteri
H.pylori bisa diberikan obat bismuth, metronidazole, amoxicillin, tetracycline. Untuk
menghilangkan H.pylori mengikuti 6 kelas obat yaitu sedasi untuk mengurangi stress, antacid,
obat penutup dan proteksi ulser, obat antikolinergik, reseptor antagonis histamine H2
(ranitidine), omeprazole.
-RINGKASAN OM 2009- 50
Tabel 3.1 Faktor predisposisi duodenal ulcer disease
Faktor biologi Faktor perilaku Faktor lingkungan
Faktor pelayanan kesehatan
Usia tua (45-65 tahun) meningkat
usia lebih tua
Penggunaan OAINS secara
kronik dan regular
Sanitasi lingkungan sekitar yang kurang
baik
Minimnya pengetahuan
petugas kesehatan
Laki-laki : wanita sebesar 2:1
Manajemen stres yang kurang baik
Status sosio-ekonomi yang
rendah
Pemberian antibiotik yang
tidak tepat
Riwayat keluarga MerokokKeterlambatan
dalam diagnosis dan terapi
Memiliki penyakit tertentu sindrom
Zollinger Elison, mastositosis
sistemik, penyakit Chron dan
hiperparatiroidisme
Kebersihan perorangan yang
kurang baik
Kurangnya alat diagnostik
radiologis dan endoskopi
Kurangnya kesadaran untuk
berobat dini
Kekeliruan dalam mendiagnosa dan
memberikan terapiKeterlambatan
mencari pertolongan pengobatan
Tidak melakukanpemeriksaan
kesehatan secara teratur
3.2.2.2 Inflammatory Bowel Disease
IBD adalah sekumpulan penyakit peradangan pada usus besar dan usus halus, sebagai
akibat dari reaksi kekebalan tubuh yang menyerang jaringan ususnya sendiri.
Penyebab masih belum diketahui. Kemungkinan penyebabnya adalah faktor keturunan
dan agen-agen infeksi yang memicu aktifasi sistem kekebalan tubuh. Hal ini terjadi ketika faktor
yang tidak diketahui memicu sistem kekebalan tubuh untuk menghasilkan reaksi peradangan
yang tidak terkendali dan menetap pada usus. Hal ini menyebabkan kerusakan dinding usus.
-RINGKASAN OM 2009- 51
Prevalensi pertama dan tinggi prevalensinya antara umur 20-24 tahun, kedua pada
umur 40-44 tahun, ketiga umur 60-64 tahun. Umur 60 tahun insidensi ulserasi berubah menjadi
Crohn’s Diosease. Wanita Eropa resikonya meningkat 30%. Biasanya pada Ras Kaukasoid,
Eropa Tengah, Polandia, Rusia resikonya tinggi.
Ada 2 tipe IBD yang utama: Penyakit Crohn dan Kolitis Ulseratif. Penyakit Crohn adalah
suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada bagian manapun dari saluran
pencernaan yang dimulai dari mulut sampai dengan anus. Kolitis Ulseratif adalah suatu kondisi
medis yang ditandai dengan terbentuknya ulkus-ulkus pada usus besar.
Penyakit muncul dengan gejala diare yang lama (diare kronik) yang disertai dengan
perdarahan buang air besarnya dan rasa sakit perut (mules) yang mengganggu. Hal yang
mendasari untuk terjadinya penyakit ini terdiri dari berbagai macam sebab yakni genetik,
lingkungan dan imunologi. Untuk mendiagnosis diperlukan pemeriksaan kolonoskopi dan
dilakukan biopsi mukosa usus yang meradang.
Pengobatan terdiri dari berbagai macam modalitas yakni, obat untuk pengaturan
imunologi badan, kortikosteroid dan obat anti diare. Lama pengobatan ini cukup memakan waktu
antara 6 - 12 bulan.
3.2.2.3 Ulserasi colitis
Aspek medis
Peradangan pada ulserasi colitis dapat mempengaruhi seluruh atau sebagian dari usus
besar. Secara mikroskopis, mukosanya mungkin tampak seperti granular jika penyakitnya ringan.
Ulserasi colitis tetap menjadi penyakit yang tidak diketahui etiologinya. Terlepas dari
keterlibatan yang kuat dari bakteri, virus, imunologi, dan faktor psikologis, belum ada etiologi
pasti yang ditetapkan.
Ciri khas dari ulserasi colitis adalah pendarahan anus dan diare. Frekuensi buang air besar
dan jumlah darah yg terlihat ini mencerminkan suatu aktivitas penyakit. Biasanya, diare parah,
mungkin 5-8 buang air besar dalam 24 jam. Manifestasi ekstraintestinal mungkin yang paling
menonjol. Eritema nodosum, ditandai dengan nodul bengkak merah yang biasanya terlihat di
paha dan kaki. Perubahan pada mata seperti episkleritis, uveitis, ulkus kornea, dan retinitis dapat
menyebabkan rasa sakit dan fotofobia. Anemia umumnya terkait dengan ulserasi colitis. Itu
-RINGKASAN OM 2009- 52
kemungkinan besar disebabkan oleh kehilangan darah dan anemia hipokromik dari kekurangan
zat besi. Leukositosis terjadi pada penyakit aktif dan biasanya berhubungan dengan intra
abdominal abses. Ketidakseimbangan elektrolit, hipoalbuminemia, dan magnesium serum dan
kalium tingkat rendah dapat terjadi karena diare berat.
Penanganan medis
Diagnosis ulserasi colitis dibuat atas dasar anamnesia yang cermat, pemeriksaan fisik,
radiografi gastrointestinal, dan endoskopi, yang melibatkan visualisasi langsung dari mukosa
usus. Terapi untuk ulserasi colitis bertujuan untuk mengurangi peradangan dan memperbaiki
efek dari penyakit. Sulfasalazine digunakan untuk memulai dan mempertahankan pengurangan
pada ulserasi colitis. Kortikosteroid dan corticotropin (hormon adrenokortikotropik [ACTH])
digunakan pada pasien yang tidak dapat dobati oleh sulfasalazine. Agen imunosupresif yang
digunakan seperti azathioprin, cyclosporin, dan merkaptopurin, menghasilkan hasil yang
bervariasi. Karena risiko penekanan hematologi dan superinfeksi pada pasien yang memakai obat
ini, obat obat ini disediakan untuk pasien yang tidak dapat ditangani oleh terapi medis
tradisional.
Pertimbangan kesehatan mulut
Karena gejala diare parah dan sering sakit perut atau kram, tidak mungkin pasien akan
pergi untuk perawatan gigi rutin dengan ulserasi colitis yang tidak terdiagnosis. Perubahan pada
mukosa oral yang terjadi dalam kasus ulserasi colitis ini tidak spesifik dan jarang, dengan
insidensi kurang dari 8%. Stomatitis aftosa dari berbagai besar dan kecil telah dilaporkan pada
pasien yang terdiagnosa ulserasi colitis. Tidak ada yang unik tentang lesi ini, dan telah dikatakan
bahwa adanya lesi lesi tersebut hanyalah kebetulan. Pada pasien yang rentan untuk
berkembangnya ulser aftosa, kemunculan dari ulser baru di mukosa oral seringkali menjadi
penyebab dari adanya penyakit usus. Pioderma gangrenosum dapat terjadi dalam bentuk ulser
yang dalam yang kadang-kadang ulserasinya melalui pilar tonsil.pyostomatitis vegetans,
peradangan purulen dari mulut, juga dapat terjadi. Lesi-lesi oral ini ditandai dengan vegetasi
jaringan yang dalam atau lesi proliferatif yang mengalami ulserasi dan kemudian bernanah.
Pasien dengan ulserasi colitis juga dapat mengembangkan hairy leukoplakia, lesi lebih umumnya
terkait dengan penyakit human immunodeficiency virus (hiv). Lesi ini mungkin berfungsi
sebagai penanda imunosupresi parah dan mungkin hasil dari penggunaan kortikosteroid atau
-RINGKASAN OM 2009- 53
agen imunosupresif lainnya. Penanganan medis dari ulserasi colitis mungkin memerlukan
perubahan terapi gigi. Sejumlah pertimbangan perawatan kesehatan mulut terkait dengan
penggunaan terapi glukokortikosteroid. Terapi glucocorticosteroid jangka panjang juga dapat
menyebabkan osteoporosis dan fraktur kompresi vertebral; dengan demikian, hati-hati jika
memposisikan pasien di kursi gigi dan motivasi pasien untuk meminum suplemen kalsium dapat
membantu mencegah patah tulang. Penggunaan glukokortikosteroid secara jangka panjang juga
dapat mengakibatkan supresi adrenal. Prosedur operasi atau pembedahan besar dapat memicu
insufisiensi adrenal dari dosis steroid glukokortikoid tidak disesuaikan dengan benar. Ulserasi
colitis dapat dikaitkan dengan perdarahan kronis. Sebelum prosedur perawatan gigi, cek lab
darah yang meliputi hemoglobin, hematokrit, dan jumlah sel darah merah harus dilakukan untuk
menyingkirkan adanya anemia. Pasien yang mengkonsumsi azathioprin mungkin diharapkan
untuk memiliki perubahan jumlah sel darah putih dan merah, dan jumlah sel darah putih total dan
diferensial harus dipastikan sebelum memulai prosedur pembedahan. Tes fungsi hati yang
abnormal harus didiskusikan dengan dokter gigi yang mungkin perlu resep obat analgesik atau
antibiotik yang dimetabolisme di hati. Pasien yang menjalani operasi yang luas usus dapat
menderita malabsorpsi vitamin K, vitamin B12, dan asam folat. Sebelum prosedur bedah selesai,
pasien ini harus dievaluasi untuk kedua anemia makrositik dan mikrositik dan gangguan
perdarahan dari tingkat vitamin K yang cukup (pembentukan bekuan fibrin).
3.2.2.4 Crohn’s Disease
Aspek medis
Crohn’s disease adalah penyakit inflamasi usus kecil atau besar. peradangan melibatkan
semua lapisan usus.bukti epidemiologi terbaru menunjukkan bahwa ada dua bentuk crohn
disease ini: bentuk tidak berlubang yang cenderung kambuh secara perlahan dan bentuk yang
berlubang atau bentuk agresif yang berkembang lebih cepat.dengan keterlibatan baik usus besar
atau usus kecil, pemeriksaan mikroskopis memperlihatkan inflamasi masuk di seluruh lapisan
usus yang terkena, dengan sel-sel plasma dan limfosit mendominasi di lamina propria. Crohn’s
disease memperihatkan banyak kesamaan epidemiologi dengan ulserasi colitis. Crohn’s disease
mempengaruhi segala usia dan kedua jenis kelamin dan paling sering terjadi pada wanita berusia
20 sampai 39 tahun. penyebab dan evolusi crohn’s disease ini tidak diketahui. faktor risiko
-RINGKASAN OM 2009- 54
terkuat tunggal untuk Crohn’s disease adalah, diet berpengaruh kuat, merokok, stres, atau
kebersihan, memiliki relatif dengan penyakit.pembatasan usus yang abnormal ini dapat
mengakibatkan peningkatan penyerapan bahan berbahaya dan / atau meningkatkan reaksi imun
terhadap antigen usus.erosi kecil diatasnya jaringan limfoid mukosa normal akhirnya bergabung
membentuk ulkus aphthous kecil atau ulserasi lebih menyebar dari mukosa. Tampilan klinis
crohn disease tergantung pada sejauh mana peradangan dan di tempat keterlibatan usus.
Tampilan yang terlihat dari anak muda di akhir remaja atau dua puluhan yang telah sakit selama
periode tertentu dan yang penyakit tiba-tiba memburuk.radang usus kecil dapat mengganggu
penyerapan nutrisi penting. Kalsium, zat besi, dan folat yang diserap dalam duodenum, dan
penyerapan mereka menurun karena peradangan dapat menyebabkan kekurangan. Tanda-tanda
dan gejala crohn disease ini sering lebih halus daripada yang terkait dengan ulserasi colitis,
seringkali menunda diagnosis. Metode yang paling diandalkan dan sensitif untuk membedakan
antara ulserasi colitis dan crohn disease adalah kolonoskopi dengan endoskopi diarahkan biopsi
kolon. Fitur berikut membedakan crohn disease ini dari ulserasi colitis: (1) keterlibatan usus
kecil atau bagian atas saluran pencernaan; (2) penyakit segmental usus besar, dengan "skip"
daerah rektum normal; (3) munculnya retakan atau saluran sinus; dan (4) kehadiran terbentuk
dengan baik jenis granuloma sarkoid.
Pertimbangan kesehatan mulut
Lesi oral, baik simtomatik dan asimtomatik, mempengaruhi 6-20% dari pasien crohn
disease ini. Kebanyakan manifestasi oral crohn disease yang terjadi pada pasien dengan penyakit
usus aktif, dan kehadiran mereka sering berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Recurrent ulkus
aphthous adalah manifestasi oral yang paling umum dari Crohn disease. Vegetans pyostomatitis,
mukosa cobblestone, dan patologi saluran kelenjar ludah minor merupakan perubahan
granulomatosa yang merupakan ciri khas dari Crohn disease.pasien penyakit crohn ini
mengembangkan pembengkakan difus bibir dan wajah, hiperplasia inflamasi dari mukosa mulut
dengan pola batu, polypoid mengeras seperti lesi di vestibulum dan ruang retromolar pad, dan
ulserasi linear dalam dengan margin hiperplastik. Banyak obat, termasuk persiapan anti inflamasi
dan sulfa yang biasa digunakan untuk mengelola pasien IBD, telah dilaporkan menyebabkan
reaksi obat dari oral lichenoid. Seringnya, pasien akan mengeluh rasa sakit yang terkait dengan
lesi ulseratif di rongga mulut. Tampaknya ada peningkatan risiko karies gigi yang mungkin
-RINGKASAN OM 2009- 55
terkait dengan perubahan pola makan pada pasien dengan IBD. Efek oral malabsorpsi juga dapat
dilihat. Pucat, cheilitis angular, dan glositis, semua manifestasi oral anemia, dapat terjadi,
terutama pada penyakit yang tidak terdiagnosis atau tidak terkontrol. Malnutrisi sering masalah,
dan memantau kepatuhan pasien dengan suplemen makanan adalah faktor penting.seperti
ulserasi colitis, manajemen medis pasien dengan crohn's disease mungkin memerlukan
modifikasi untuk rutinitas perawatan kesehatan mulut standar asumsi yang mendasari perubahan
manajemen ini adalah bahwa pasien dengan IBD berada pada peningkatan risiko untuk
pengembangan infeksi mulut, termasuk karies gigi. Screening, mendiagnosa, dan mengobati lesi
inflamasi, infeksi, atau granulomatosa yang diperlukan. Terapi steroid topikal harus jangka
pendek dan dipantau karena efek samping atrofi mukosa dan penyerapan sistemik. Tergantung
pada hasil konsultasi dengan dokter pasien, studi laboratorium berikut dapat diindikasikan
sebelum prosedur bedah yang dilakukan: (1) hitung darah lengkap; (2) tingkat hematokrit; (3)
kadar hemoglobin; (4) menghitung trombosit; (5) studi koagulasi (waktu protrombin / inr, dan
waktu tromboplastin parsial); (6) uji fungsi hati; dan (7) kadar glukosa darah. Ohcps bertanggung
jawab untuk pengobatan manifestasi oral IBD, terutama jika lesi simptomatik. Paliatif obat
kumur sodium bikarbonat dapat digunakan. Salep dan krim berguna ketika lesi terlokalisasi dan
aplikasi topikal langsung memungkinkan.pasien IBD tampak pada peningkatan risiko karies gigi
serta infeksi bakteri dan jamur. Ini multifaktorial di etiologi tetapi tampaknya terkait dengan baik
status kekebalan diubah pasien atau diet. Manifestasi oral anemia dapat dicatat pada pasien
dengan ulserasi colitis, terutama di terdiagnosis atau penyakit kurang terkontrol.
3.2.2.5 Antibiotic-induced Diarrhea dan Pseudomembranous Enterocolitis
Aspek medis
Pada pasien yang menerima terapi antibiotik, diare dapat terjadi sebagai akibat dari
perubahan flora usus. Sering, kondisi ini ringan dan reda ketika terapi antibiotik dihentikan.
Pasien yang lemah atau yang memiliki gagal ginjal tampaknya berada pada risiko yang lebih
tinggi tertular penyakit. Studi terbaru menunjukkan peran utama untuk Clostridium difficile
dalam patogenesis antibiotik diproduksi enterocolitis pseudomembran. Difficile terhitung dari 10
sampai 25% dari kasus antibiotik terkait diare dan hampir semua kasus antibiotik terkait
pseudomembran colitis.jenis antibiotik dan rute dari kejadian penyakit pengaruh administrasi.
-RINGKASAN OM 2009- 56
Klindamisin, ampisilin, dan sefalosporin yang paling sering dikaitkan dengan antibiotik terkait
pseudomembran colitis, tetapi hampir antibiotik apapun dapat menghasilkan gangguan ini.
Kolitis pseudomembran diketahui mengikuti administrasi klindamisin, amoksisilin, atau
sefalosporin, yang semuanya sekarang direkomendasikan untuk profilaksis antibiotik dari
endokarditis infektif dan akhir infeksi sendi prostetik. Mungkin, flora kolon normal terhambat
ketika antibiotik diberikan.waktu yang sangat bervariasi, dengan beberapa kasus yang muncul
setelah dosis tunggal dan sekitar sepertiga dari kasus yang terjadi setelah obat dihentikan. Diare
hadir dalam semua kasus dan berhubungan dengan kolitis dan perdarahan pada 20% kasus.
Kolitis pseudomembran adalah penyakit yang mengancam kehidupan, dan individu harus
diperlakukan secara cepat dengan cairan dan penggantian elektrolit.
Pertimbangan kesehatan mulut
Peran utama dokter gigi adalah untuk mengenali tanda-tanda dan gejala antibiotik terkait
diare dan kolitis pseudomembran pada pasien yang baik mengambil antibiotik atau memiliki
sejarah dari rejimen antibiotik. Penghentian rujukan antibiotik dan cepat untuk dokter yang
diperlukan untuk diagnosis definitif.
3.3 Penyakit Sistem Hepatobilier
Hati memiliki peran penting dalam proses ekskresi pigmen heme dan respon imun.
Kerusakan hepatosit dapat mengganggu kemampuan hati untuk mensintesis dan menyimpan
glikogen yang merupakan sumber utama dari glukosa.Anestesi lokal, analgesik, sedatif,
antibiotik, dan antifungal dimetabolisme di hati. Pasien dengan gangguan hati harus
memperhatikan penggunaan obat tersebut.Gangguan hati memiliki beberapa tanda dan gejala.
Jaundice merupakan manifestasi dari penyakit hati. Proses perjalanan penyakit dapat
mengakibatkan gagalnya fungsi hati dan cirrhosis.
3.3.1 Jaundice
Jaundice atau ikterus bukan merupakan suatu penyakit melainkan tanda dari kelebihan
bilirubin pada sirkulasi dan akumulasi bilirubin dalam jaringan. Jaundice merupakan perubahan
warna kuning yang terjadi pada kulit membran mukosa, dan sklera mata.
Pigmentasi ini disebabkan oleh:
-RINGKASAN OM 2009- 57
1. Kelebihan produksi bilirubin dari proses hemolisis sel darah merah (hemolytic jaundice)
2. Obstruksi pada pokok bilier, menghalangi ekskresi bilirubin (obstructive jaundice)
3. Penyakit parenkim hati (hepatocellular jaundice)
3.3.2 Hemolytic Jaundice
Hemolytic jaundice bukan merupaka suatu penyakit. Hemolytic anemia merupakan
penyebab utama dari kelainan ini. Destruksi berlebih eritrosit dapat menyebabkan mild
hyperbilirubinemia. Destruksi berlebihan tersebut diakibatkan oleh sel yang bersifat abnormal
(contoh: sickle cell disease, thalassemia). Obat-obatan dan agen beracun (seperti nitrobenzene,
toluene, dan phenacetin), dan penyakit imun dapat menyebabkan hemolytic jaundice. Penegakan
diagnosis terhadapat penyaktni membutuhkan pemeriksaan secara menyeluruh dan tes
laboratorium.
3.3.3 Obstructive Jaundice (Cholestasis)
Penyakit ini disebabkan oleh penyumbatan cairan empedu yang terjadi sebagian atau
seluruhnya. Kalainan ini dsebabkan oleh obstruksi extrahepatic biliary treedan yang
berhubungan dengan abnormalitas intrahepatic. Cairan empedu yang melaluihati dapat terhalang
sehingga meningkatkan bilirubin pada jaringan. Batu empedu dan keganasan merupakan
penyebab dan hampir semua kasus extrahepatic cholestasis. Tumor pada kepala pankreas
merupakan keganasan yang menjadi penyebab umum penyakit ini. Penyebab dari intrahepatic
cholestasis meliputi neoplasma, obat-obatan dan bahan kimia yang bersifat toksik, hepatitis,
IBD, dan kerusakan metabolisme.
Perawatan rutin gigi pasien dapat dilakukan bila penyakit ini sudah mendapat
penatalaksanaan yang baik. Konsultasi degan dokter pasien sebaiknya dilakukan apabila akan
melakukan pembedahan mulut. Prosedur pembedahan mulut sebaiknya ditunda pada pasien
jaundice apabila memungkinkan. Bahaya utama dari pembedahan pasien dngan obstructive
jaundice adalah perdarahan berlebih yang diakibatkan dari malabsorbsi vitamin K. jika
pembedahn diperlukan, vitamin K harus diberikan secara parenteral dengan dosis 10 mg perhari
selama beberapa hari. Anestesi umumpada pasien dengan severe jaundice dapat menyebabkan
gagal ginjal.
-RINGKASAN OM 2009- 58
3.3.4 Hepatocellular Jaundice
Penyakit ini dapat diakibatkan oleh hepatitis dan cirrhosis.
3.3.4.1 Alcoholic Hepatitis
Aspek Medis
Alcoholic hepatitis merupakan istilah untuk menggambarkan presentasi klinis pasien
alkoholik dengan jaundice.
Bentuk penyakit hepar yang diinduksi racun yang berspektrum luas dari penyakit
subklinis hingga sirosis dan kegagalan hepar.
Konsumsi 40 hingga 60 g ethanol per hari sealam 15 tahun berperan dalam memicu
sirosis.
Cedera hepatosit dari alkohol berkembang karena toksisitas seluler dari asetaldehida yang
merupakan metabolit mayor alkohol.
Lebih berpotensi terjadi pada wanita.
Faktor pendukung: nutrisi, genetik, sitokin, hepatitis B dan C, obat-obatan yang sedang
digunakan
Manifestasi klinis:
o Superimposed dengan sirosis yang biasanya sudah ada
o Pembesaran hepar merupakan indikasi awal
o Pada pasien mungkin terdapat gejala hepatitis akut atau hepatitis kronis
Masalah klinis yang berkaitan dengan alcoholic hepatitis mencerminkan kelainan
metabolisme dan sirkulasi hepar.
Penatalaksanaan Medis
Penegakkan diagnosis dan luasnya kerusakan hepar dilakukan dengan biopsy hepar.
Perbaikan nutrisi pada pasien malnutrisi menjadi juga penting
Alcoholic hepatitis yang tidak disertai sirosis hepar bersifat reversibel
Pertimbangan Kesehatan Rongga Mulut
-RINGKASAN OM 2009- 59
Lesi rongga mulut yang tedapat pada pasien alcoholic hepatitis berhubungan dengan
disfungsi hepatosit.
Kemungkinan terdapat:
o Petekia dan ekimosis pada intra/ekstraoral
o Hemoraghi gingiva
o Defisiensi vitamin
o Anemia
o Pucat
o Angular cheilitis
o Glossitis
Prevalensi penyakit dental beragam, tergantung pemeliharaan kebersihan rongga mulut
dan penurunan laju saliva
Perawatan gigi rutin tidak menjadi kontraindikasi, kecuali terdapat gambaran sirosis yang
signifikan.
Untuk mendapatkan informasi akurat dari dokter yang merawat, dokter gigi harus
terbiasa dan mengerti uji laboratorium yang digunakan untuk mengevaluasi status pasien.
3.3.4.2 Drug-Induced Hepatoxicity
Aspek Medis
Penyakit hepar yang diinduksi obat-obatan dapat mengisyaratkan adanya penyakit hepar
akut atau kronis.
Pasien mungkin datang dengan kegagalan hepar dari hepatotoksin intrinsik seperti
asetaminofen atau karena fungsi hepar abnormal pada hasil uji laboratorium.
Penting bagi dokter gigi mengenali obat-obatan yang menginduksi hepatoksisitas.
Toksisitas biasanya terjadi berminggu-minggu atau berbulan-bulan setelah penggunaan
obat, biasanya bersifat reversible.
Sulfonamide dan fenitoin merupakan contoh obat yang menginduksi hepatoksisitas. Pada
pasien hipersensitif, pemberian kembali obat-obatan tersebut dapat menyebabkan
kematian, walaupun dengan dosis yang sangat kecil.
-RINGKASAN OM 2009- 60
Hepatoksisitas yang diinduksi obat-obatan dapat menyebabkan cedera hepatoselular,
reaksi obat-obatan kolestik, penyimpanan lemak yang abnormal, sirosis, dan cedera
vaskular.
Cedera hepatoselular paling sering dikenali pada cedera yang diinduksi obat-obatan,
dengan toksisitas asetaminofen mungkin terjadi paling sering pada praktik kedokteran
gigi.
Pertimbangan Kesehatan Rongga Mulut
Kebanyakan obat-obatan yang digunakan atau diresepkan oleh dokter gigi bersifat
hepatoksis memiliki alternatif.
Koordinasi terapi medis dan terapi dental sangat penting.
Karena banyak obat menghasillkan idiosinkronisasi toksisitas obat, maka tidak ada cara
untuk memprediksi atau mencegah reaksi tersebut.
Pasien yang menggunakan dosis besar asetaminofen harus dianjurkan untuk tidak
mengonsusmsi alkohol dan mendapat nutrisi yang cukup.
Pasien dengan riwayat hepatotoksis yang diinduksi obat-obatan harus dievaluasi oleh
berbagai uji laboratorium, Karena reaksi obat hepatoselular dapat mengakibatkan
kegagalan hepatosit dan kematian.
Mungkin terdapat berbagai kematian sel yang memengaruhi metabolisme dan
homeostasis yang berpengaruh pada kemampuan pasien untuk menjalani perawatan gigi.
3.3.4.3 Sirosis Hepatis
Tabel 3.2 Sirosis Hepatis
Definisi bukan merupakan suatu proses tunggal dari suatu penyakit, melainkan suatu hasil dari berbagai kondisi yang dapat menyebabkan adanya inflamasi dan kerusakan sel hepar secara kronis, menyebabkan terjadinya akumulasi matriks ekstraseluler atau jaringan parut yang terdiri dari: matriks ekstraseluler, kolagen tipe I dan III (fiblrillar kolagen), proteoglikan sulfat, dan glikoprotein sebagai respon terhadap iritasi akut atau kronik pada hepar.
Etiologi Alkohol dan obesitas (steatohepatitis)
-RINGKASAN OM 2009- 61
Infeksi virus hepatitis (HCV/ HBV) NASH (non-alcoholic steatohepatitis)
Faktor Predisposisi
Racun dan obat-obatan Penyakit pada sistem biliary Penyakit hemokromatosis
Patofisiologis Pada fase awal inflamasi ( injury ) :
Sel endotelial memproduksi fibronektin seluler Mengaktivasi sel stellata Penumpukkan pada matriks ekstraseluler (PDGF,
endothelin -1 (ET-1), thrombin, FGF, dan IGF) dan kontraksi sel hepar yang menyebabkan intrahepatic portal hypertention
Perubahan mikrovaskuler (Remodeling sinusoidal)
Disfungsi endotelial Menghambat pelepasan vasodilator (nitrit oksida
(NO)) dan meningkatkan produksi vasokonstriktor (stimulasi adrenergik, tromboksan A2, dan endotelin)
Meningkatkan tekanan portal pada sirosis dan penentu utama dari kegagalan hepar.
Diagnosa Pemeriksaan Klinis Pemeriksaan Penunjuang:
o ultrasoonografi, CT, atau MRI pada nodul hepar.
o biopsi hepar merupakan metode yang bisa menentukan diagnosis sirosis hepatis.
o Pada pasien dengan tingkat keparahan yang lebih lanjut menggunakan MELD score. MELD diukur dan ditentukan berdasarkan konsentrasi kreatinin dan bilirubin serta rasio normalisasi internasional (INR). Metode ini memprediksi 3 bulan mortalilas
Tanda & Gejala Klinis
malaise, lemah, dispepsi, anoreksia, nausea ascites, sepsis, perdarahan variseal, ensefalopati, non-obstructive jaundice, karena:
o Produksi berlebih dari bilirubin karena
-RINGKASAN OM 2009- 62
adanya hemolisis sel darah merah (hemolyticjaundice).
o Kerusakan dari sistem biliary sehingga mencegah sekresi bilirubin (obstructive jaundice).
o Penyakit parenkim hepar (hepatocellular jaundice)
meningkatnya resiko infeksi, trombositopenia, ensepalopati, hiperglikemia, hipoglikemia, kuagulopati, edema perferal, coma hepar naiknya BMI dan glukosa pada serum
meningkatan resiko terbentuknya jaringan firbosis. Subklasifikasi = stage 1, 2, 3, 4, dan 5.
1. Stage 1 (kompensata tanpa adanya varises esofageal) memiliki perkiraan mortalitas 1% tiap tahunnya.
2. Stage 2 (kompensata dengan varises), 3. stage 3 (dekompensata dengan ascites), dan 4. stage 4 (dekompensata dengan perdarahan GI)
secara berturut-turut memiliki rata-rata mortalitas sekitar 3.4%, 20%, dan 57%.
5. Adanya infeksi dan gagal ginjal yang menyertai sirosis dipertimbangkan sebagai stage 5 dengan angka mortalitas sebanyak 67% setiap tahunnya
Manifestasi oral Berhubungan dengan adanya defisiensi vitamin dan anemia.
Angular keilitis, glositis, Mukosa yang pucat. Pigmentasi yang berwarna kuning dapat dilihat
pada mukosa rongga mulut dan biasanya disertai dengan jaundice pada sklera dan kutaneus.
Disfungsi kelenjar salivarius (dapat dihubungkan dengan adanya sirosis primer pada sistem biliary)
Petechie dan ekhimosis ekstraoral atau intraoral, Perdarahan gusi karena adanya kekurangan faktor-
faktor pembekuan yang dihubungkan dengan alkohol
Treatment untuk mencegah inflamasi lebih lanjut dari sel
-RINGKASAN OM 2009- 63
hepar. Penghentian konsumsi alkohol dan toksin lain
sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan perawatan.
kortikosteroid dan agen immunosupresif lain seperti metotreksat (methotrexate).
Pada kasus yang lebih parah seperti penyakit hepar progresif yang irreversibel perlu dilakukan transplantasi hepar
Obat-obatan: non-selective beta blockers, statin, antibiotik oral, antikoagulan, dan rifaksimin (Rifaximin) merupakan alternatif yang dapat mencegah infeksi spontan bakteri peritonitis, menurunkan kadar endotoksin dan memperbaiki fungsi ginjal.
Komplikasi Hipertensi portal, Oedema dan asites, Varises, Splenomegali, Ensepalopati hepatis, Penyakit metabolik tulang, Perdarahan, Sensitif terhadap obat-obatan, Resistensi insulin dan diabetes melitus tipe 2, Kanker hati, dan Menurunkan sistem imun sehingga pasien dengan
sirosis hepatis rentan terhadap infeksi Pertimbangan Oral
Pasien sirosis hepatis biasanya mengalami penurunan kemampuan detoksifikasi terjadi penumpukkan sisa metabolisme (toksik) dalam darah perlu dilakukan konsultasi pada dokter hematologist dan hepatologist yang merawat sirosis pasien apabila akan dilakukan tindakan dental yang beresiko menimbulkan perdarahan.
Dokter gigi juga setidaknya harus mengetahui pemeriksaan laboratorium pada pasien sirosis.
Mendapatkan perhatian yang lebih banyak pasien dengan sirosis biasanya memiliki kerusakan pada sistem hemostasis yang disebabkan karena ketidakmampuan hepar dalam mensintesis faktor-faktor pembekuan ataupun karena trombositopenia., Kondisi ini dapat diatasi dengan melakukan transfusi dengan fresh frozen plasma dan trombosit.
Semua tindakan dental yang dapat memicu perdarahan memerlukan adanya pemeriksaan
-RINGKASAN OM 2009- 64
laboratorium yang lengkap, terutama jumlah darah lengkap, jumlah trombosit, dan nilai bleeding time.
Pada beberapa kasus diperlukan antibiotik profilaksis, karena disfungsi hepar dapat menyebabkan berkurangnya fungsi sistem imun
Jika pasien memiliki resiko perdarahan yang tinggi, maka perlu diberikan agen hemostasis, antifibrinolisis (seperti asam traneksamat), dan vitamin K. Pada beberapa kasus yang lebih parah diperlukan adanya transfusi fresh frozen plasma dan platelet
Dokter gigi harus menghindari penggunaan obat yang dimetabolisme di hepar
3.4 Gastrointestinal Syndromes
3.4.1 Eating Disorders: Anorexia & Bulimia
Tabel 3.3 Anorexia dan Bulimia
Definisi Anorexia Individu yang secasa terus-menerus membiarkan diri mereka kelaparan dalam kondisi berat badan yang rendah (15% atau <) dari berat badan normal.
Definisi Bulimia nervosa
Individu yang mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang banyak delama episode ”binge” yang tidka terkontrol
Etiologi Trauma emosional (ketidakpuasan terhadap bentuk tubuh)Muntah terus-menerusPenggunaan laxativeDiet agresif
Prevalensi Anorexia
- Pada individu dalam perindustrian, terutama apabila terdapat stigma bahwa badan kurus merupakan bentuk yang idelal
- Dewasa muda (14-18 thn)- 0.5% pada wanita usia dewasa muda- 0.3-0.7% pada wanita dewasa
Prevalensi Bulimia
- Usia belasan akhir- Usia awal 20 tahunan- 1-2% pada wanita usia dewasa muda- 1.7-2.5% wanita dewasa
-RINGKASAN OM 2009- 65
Diagnosa - In bingeing & purging selama 3 minggu- Kurangnya kontrol untuk makan- Menggunakan self-induced vomiting- Menggunakan laxative atau obat diuretik- Selalu terpusat pada bentuk dan berat badan
Klinis - = kelainan psychiatrik dengan adanya komplikasi fisik- Tanda awal dari depresi &schizophrenia - Distorted body image - Relaps = satu bulan atau satu tahun setelah perawata
Komplikasi Kematian, karena kelaparan, bunuh diri, atau ketidakseimbangan cairan elektrolit tubuh
Pertimbangan oral
- Erosi parah pada enamel (pada permukaan lingual gigi RA) karna asam dari muntahan yang terjadi
- Pembesaran kelenjar parotid- Perubahan jaringan lunak mukosa oral
Treatment - Secara fisik: desensitasi gigi dan estetik- Secara psikologis: menunjukkan rasa peduli dan kasih
sayang selama perawatan
3.4.2 Gardner’s Syndrome
Tabel 3.4 Gardner’s Syndrome
Etiologi Diturunkan sebagai autosomal dominant trait
Diagnosa - Pemeriksaan penunjang : dental radiography
Klinis - Poliposis intestine (tada adanya lesi premalignant)- Impaksi gigi supernumereri dalam jumlah yang banyak
Pertimbangan oral
- Pada usia 50 thn jangan melakukan pembedahan- Pada usia muda dapat ditunjang dengan pemeriksaan
dental radiography
3.4.3 Plummer-Vinson Syndrome
Tabel 3.5 Plummer-Vinson Syndrome
Definisi = Disphagia histerikal.
Etiologi Disphagia yang merupakan hasil dari stricture esophageal yang menyebabkan pasien ketakutan dalam choking
Diagnosa - Pemeriksaan oral, pharingeal, esophageal
-RINGKASAN OM 2009- 66
Klinis - Lemon-tilted pallor disertai keringnya kulit- Kuku jari yang berbentuk seperti sendok- Koilonychia- Splenomegali
Manifestasi oral - Atrofik glossitis dengan erithema atau adnya fissure - Keilitis angularis- Penipisan batas (vermilion) bibir- Leukoplakia pada lidah- Atrofi & hiperkeratinisasi membran mukosa- Adanya karsinoma pada 10-30% pasien
Treatment - Saliva artifisial untuk mengurangi rasa sakit saat menelan
3.4.4 Peutz-Jeghers Syndrome
Tabel 3.6 Peutz-Jeghers Syndrome
Definisi Dikarakteristikann dengan adanya polip multiple pada GI tract terutama pada usus kecil
Etiologi Trauma emosional (ketidakpuasan terhadap bentuk tubuh)Muntah terus-menerusPenggunaan laxativeDiet agresif
Prevalensi malignansi
- Pada 10% pasien
Klinis - Pigmentasi (sejak lahir) pada wajah, bibir, dan rongga mulut
Pertimbangan oral
- Tidak ada perawatan atau pertimbangan dental yang spesifik
3.4.5 Cowden’s Syndrome
Tabel 3.7 Cowden’s Syndrome
Definisi Ditandai dengan adanya hamartoma dan neoplasma multiple .
Etiologi Autosomal dominant
Klinis - Facial trichilemmomas
-RINGKASAN OM 2009- 67
- Polip gastrointestinal- Neoplasma payudara dan kelenjar thyroid- Abnormalitas rongga mulut
Komplikasi = marker kutaneus keganasan pada usus
Manifestasi oral - Lesi Pebbly papilloma-like - Fibroma multiple
-RINGKASAN OM 2009- 68
BAB IV
HEMATOLOGIC DISEASE
4.1 Kelainan Sel Darah Merah
4.1.1 Eritrositosis
Merupakan kondisi dengan peningkatan sirkulasi sel darah merah (red blood cell/RBC)
yang menyebabkan terjadinya peningkatan hematokrit. Eritrositosis terdiri dari 1) apparent
erythrocytosis, 2) relative erythrocytosis, 3) absolute erythrocytosis, dan 4) idiopathic
erythrocytosis.
4.1.1.1 Diagnosis
Diagnosis dilakukan dengan melakukan pengukuran massa RBC, melihat peningkatan
hematocrit vena persisten (pria >52%, wanita >48% selama lebih dr 2 bulan). Pada apparent
erythrocytosis, peningkatan hematocrit vena, massa RBC rendah. Pada relative erythrocytosis
hanya terjadi jika disertai dehidrasi signifikan, diuretic, diare, atau terbakar terbakar. Terjadi pula
hemoconcentration, yaitu kondisi dimana massa RBC normal, volume plasma rendah.
Absolute erythrocytosis menunjukkan massa RBC >25%. Absolute erythrocytosis primer
terjadi karena kompartemen erythropoietic berkembang secara independen dari pengaruh
ekstrinsi atau menanggapi secara tidak adekuat, terdiri dari primary familial, congenital
polycythemia due to mutation of the erythropoietin (Epo) receptor gene, myeloproliferative
disorder polycythemia vera (PV). Absolute erythrocytosis sekunder dipengaruhi faktor hormon
(secara predominan oleh Epo) ekstrinsik dan terjadinya peningkatan sekresi Epo meningkat
respon fisiologis hipoksia jaringan, produksi autonomous Epo abnormal, disregulasi sintesis
oxygen-dependent Epo. Absolute erythrocytosis sekunder dapat muncul dari congenital high-
oxygen affinity hemoglobin, hipoksia karena merokok dan penyakit paru-paru kronis, penyakit
jantung kongenital sianotik dengan intracardiac shunts, sindrom hipoventilasi, chronic high
altitude, dan post transplantasi ginjal.
-RINGKASAN OM 2009- 69
Idiopathic erythrocytosis (IE) menunjukkan peningkatan massa RBC dengan penyebab
tidak diketahui. Frekuensi IE terjadi pada 110/100.000 subjek. Hal ini diduga terjadi mekanisme
heterogen dan terjadinya ‘early’ PV dan polycythemia sekunder dan kongenital yang tidak
terdeteksi IE merupakan enyakit stabil dengan resiko thrombotic rendah dan jarang menjadi
leukemia akut atau myelofibrosis. Pengobatan kontroversi untuk kelainan ini adalah phlebotomy
dan pasien dianjurkan untuk menghindari obat myelosuppressive.
4.1.2 Polystemia Vera
Polisitemia vera adalah kelainan myeloproliferative kronis yang memiliki karakteristik
proliferasi utama dari jenis sel eritroid dan kelainan sumsum tulang utama tabf terdapat ketika
perdarahan, trombosis, dan peningkatan masa RBC. Polisitemia vera menunjukkan 2 tingkat
gambaran histopatologis, yaitu polisitemik dan fase polisitemik.
4.1.2.1 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria perkembangan kelompok studi polisitemia
vera. Sebagian besar kriteria meliputi peningkatan masa RBC, saturasi oksigen normal, dan
splenomegali yang jelas.
4.1.2.2 Manifestasi Klinis
Polisitemia vera biasanya asimptomatik. Ketika gejala muncul, dapat disertai dengan
pruritis, vertigo, nyeri gastrointestinal, sakit kepala, parastesi, kelelahan, kelemahan, gangguan
visual, tinnituss, pletora, dan perdarahan pada gusi. Politemia vera juga dicurigai ada pasien
dengan peningkatan hemoglobin atau tingkat HCT, splenomegali, atau trombosis vena porta.
4.1.2.3 Manifestasi Oral
-RINGKASAN OM 2009- 70
Manifestasi oral pada polisitemia vera adalah adanya eritem (tampilan merah-ungu) pada
mukosa, glositis dan erimatous, serta edematous gingiva.
4.1.2.4 Perawatan
Kebanyakan pasien memerlukan perawatan myelosupresif selama penyakit terjadi sampai
myeloproliferasi progresif. Hyroxyurea adalah obat utama yang digunakan pada orang dewasa,
dan α interferon dapat digunakan sebagai alternatif pada pasien anak-anak.
4.1.2.5 Pertimbangan Oral
Kontrol perdarahan setelah bedah dental harus diperhatikan. Perdarahaan pada pasien
dengan polisitemia vera dapat dihubungkan dengan jumlah keping darah yang tinggi, penyakit
von Willebrand, dan terapi obat antiplatelet dengan dosis yang tinggi. Ukuran lain untuk
pertimbangan dalam mempersiapkan pasien dengan polisitemia vera untuk bedah dental yang
rutin meliputi kontrol jumlah darah yang lebih baik melalui plebotommi atau terapi obat dan
penyesuaian antiplatelet yang tepat dan terapi antikoagulan.
4.1.3 Anemia
Anemia terjadi setiap kali ada penurunan jumlah sirkulasi hemoglobin normal. Penurunan
hemoglobin dapat diakibatkan oleh kehilangan darah (seperti dalam anemia kekurangan darah),
dari peningkatan kehancuran sel darah merah (seperti pada anemia hemolitik), dari penurunan
produksi sel darah merah (seperti dalam pernicious and folic acid deficiency anemia), atau dari
kombinasi dari ketiganya. Ketika ada kombinasi penyebab, satu mekanisme biasanya
mendominasi. Gejala umum dari semua anemia adalah pucat pada kulit, konjungtiva palpebra,
dan nail bed, dispnea, dan mudah kelelahan.
4.1.3.1 Anemia Owing to Blood Loss: Iron Deficiency
-RINGKASAN OM 2009- 71
Iron deficiency anemia (blood loss anemia, hypochromic microcytic anemia) disebabkan
oleh kehilangan darah kronis, seperti saat pendarahan menstrual atau menopausal, partruition,
hemorrhoid berdarah, atau lesi malignant berdarah pada saluran pencernaan, pada pasien dengan
masalah yang menyebabkan kesulitan menyerap besi, seperti gastrictomy butotal atau total, atau
kebiasaan memakan clay, atau bagian dari sindrom malabsorpsi. Kekurangan besi dalam
makanan juga dapat menyebabkan ini, tapi diagnosa ini harus sangat diwaspadai.
Tanda utama IDA adalah pallor pada mukosa. Selain itu, sel epithelial oral menjadi
atrophic, dengan berkurangnya keratinisasi. Lidah dapat menjadi halus karena atrophy pada
filiform dan fungiform papillae, dan glossodynia dapat terjadi. Pada kasus lama, struktur atau
jaring esophegal dapat terjadi, menyebabkan dysphagia. Investigasi klinis terbaru menunjukkan
tanda-tanda lingual yang lebih jarang daripada diperkirakan sebelumnya.
Diagnosa ditentukan dari berkurangnya jumlah hemoglobin dalam pemeriksaan darah
rutin; pada peripheral smear, sel bersifat microcytic dan hypochromic.
Pasien dental dengan ciri anemia atau tanda oral yang menunjukkan kondisi ini
disarankan melakukan complete blood count (CBC). Jika ada tingkat hemoglobin rendah, pasien
perlu diarahkan ke dokter untuk pemeriksaan medis lebih mendalam, tes lab, dan penanganan.
Prosedur periodontal atau elective oral surgery sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan
anemia karena kemungkinan adanya pendarahan melus dan menyulitkan penyembuhan luka.
Bila tingkat hemoglobin berkurang di bawah 10g/dL, tensi oksigen rendah mempengaruhi
interaksi rheologis antara komponen seluler darah, terutama platelet dan endothelium, dan
menyulitkan pembekuan. General anasthesia sebaiknya tidak dilakukan kecuali hemoglobin di
atas 10g/dL. Pasien tidak perlu diobati dengan besi kecuali tidak ada penyebab yang ditemukan.
Plummer-Vinson Syndrome dicirikan dengan adanya disfagia dan anemia microcytic
hypochromic. Lidah halus dan sakit, mulut kering, kuku berbentuk sendok, dan angular
stomatitis sering ditemukan. Ada atrophy pada papillae lidah, tapi tidak seberat pernicious
anemia. Ada perubahan atrophic pada oral mucosa, faring, esophagus bagian atas, dan vulva.
Jaringan ini kering, tidak elastis, dan tampak mengkilap. Simptom tambahan adalah listlessness,
pallor, ankle edema, dan dyspnea, semuanya terkait pada anemia. Pasien dengan sindrom ini
-RINGKASAN OM 2009- 72
sebagian besar edentulous, kehilangan gigi saat masih muda. Keluhan mulut yang sakit dan
ketidakmampuan memakai gigi palsu sering terjadi. Pasien dengan Plummer-vinson syndrome
sering mengeluhkan "spasm dalam tenggorokan" atau "makanan menempel pada tenggorokan".
Dysphagia, yang merupakan sifat penting kondisi ini, tampak disebabkan degenerasi otot dalam
eesophagus, dan stenoses atau jaring pada esophageal mucosa.
Diagnosa sindrom ini dapat dilakukan berdasarkan sejarah dan penemuan hematologis.
Lesi esophageal dapat ditunjukkan secara radiologis (barium yang ditelan) atau esophagoscopy.
Adanya achlorhydria dengan tingkat bervariasi biasanya terjadi. Karena banyak simptom ini
mirip dengan masalah kekurangan vitamin B complex dan hypochromic anemia biasa, kondisi
ini perlu ditangani. Terkadang, dyspagia membaik dengan terapi zat besi.
Plummer-Vinson syndrome biasanya serius karena pharyngeal dan intraoral carcinoma
lebih sering terjadi pada pasien ini. Pasien dengan ciri-ciri sindrom ini harus diperiksa secara
rutin dengan interval rendah, dan diperiksa untuk adanya lesi dengan kemunkinan mengganas.
4.1.3.2 Anemia Owing to Hemolysis
Anemia hemolitik terjadi karena berkurangnya jangka hidup eritrosit, baik berketerusan
atau sementara, karena kecacatan intracorpuscular pada eritrosit (sering karena keturunan) atau
karena faktor extracorpuscular. Hasil pemeriksaan laboratium anemia hemolotic biasanya antara
lain menurunnya hemoglobin, meningkatnya reticulosit, dan meningkatnya serum bilirubin.
Pasien dengan anemia hemolitik biasanya tampak pucat. Hal ini dapat dilihat dari naik bed dan
palpebral conjunctiva. Warna pucat juga dapat dilihat pada mukosa oral, terutama palatum lunak,
lidah, dan jaringan sublingual. Anemia hemolitik mengakibatkan jaundice karena
hyperbilirubinemia yang merupakan penyakit sekunder dari destruksi eritrosit. Hal ini dapat
dilihat pada sklera, namun pada kulit, palatum lunak, dan jaringan di dasar mulut juga menjadi
ikhterik karena meningkatnya serum bilirubin.
Keparahan anemia dan perawatannya harus dievaluasi sebelum intervensi dental mayor.
Transfusi darah mungkin diperlukan sebelum perawatan dental pada kasus berat. Obat-obat yang
dapat menyebabkan hemolisis seperti dapsine, sulfasalazine, dan phenacetine, harus dihindari.
-RINGKASAN OM 2009- 73
Analgesik dan antibiotik dapat diberikan dalam dosis terapeutik, asalkan perhatian khusus
diberikan pada rekomendasi produsen.
Hemoglobinopathies merupakan contoh dari penyakit sickle cell disease dan thalassemia,
yang disebabkan oleh defek pada bagian globin dari molekul hemoglobin. Defek ini
mengakibatkan eritrosit mengandung hemoglobin abnormal yang lebih mudah hemolysis.
Pasien dengan anemia sel sabit ditandai keterbelakangan dan sering terjadi kematian
sebelum 40 tahun. Manifestasi klinis adalah hasil dari dasar anemia dan proses hemolitik
(kuning, pucat, dan gagal jantung) atau nekrosis darah stasis dengan vasoklusi. Hal tersebut
ditunjukkan oleh lienalis miokard, borok kaki kronis, Priapisme, trombosis vaskular serebral
( "Stroke"), dan serangan sakit perut dan tulang sakit (nyeri krisis). Selain penyakit kuning dan
pucat pada mukosa oral, pasien sering menunjukkan letusan tertunda dan hypoplasia dari gigi
sekunder untuk mereka keterbelakangan umum. Tidak ada pengobatan untuk penyakit sel sabit
selain pengobatan simtomatik. Antibiotik harus awal yang digunakan dalam pengobatan infeksi,
dan obat-obatan analgesik harus digunakan jika diperlukan, tetapi dengan hati-hati untuk
mencegah iatrogenik kecanduan.
Prosedur dental yang melibatkan jaringan lunak tidak boleh dilakukan pada pasien
dengan penyakit tak terkontrol kecuali sangat diperlukan karena peningkatan risiko komplikasi
sekunder anemia kronis dan menunda penyembuhan luka.
Thalassemia adalah penyakit kelompok bawaan (kelainan yang ditandai oleh kekurangan
sintesis baik rantai globin dalam molekul hemoglobin). Akibatnya, sel-sel darah merah
microcytic dan hypochromic dengan morfologi menyimpang. Thalassemias sering dianggap
antara hypoproliferative anemias, yang hemolitik anemias, dan anemias berkaitan dengan
hemoglobin abnormal. Pertumbuhan dan perkembangan pada anak-anak lambat. Dalam masa
remaja, karakteristik seks sekunder biasanya tertunda. Warna kulit menjadi abu-abu-abu karena
kombinasi dari pucat, kuning, dan hemosiderosis. Pasien juga tampak cardiomegaly,
hepatomegali, dan splenomegaly.
Hemolitik anemia dengan hypochromic microcytic sel darah merah yang berbeda-beda
dalam ukuran dan bentuk adalah ciri khas talasemia mayor. Hemoglobin elektroforesis
-RINGKASAN OM 2009- 74
menunjukkan peningkatan jumlah hemoglobin janin dan variabel jumlah dewasa normal
hemoglobin. Diagnosis talasemia pada fase prenatal ditunjukkan oleh asam deoksiribonukleat
(DNA) pada analisis cairan ketuban sel.
Protusi bimaksiler dan abnormalitas oklusi lainnya biasa terdapat pada kebanyakan
penderita thalassemia. Beberapa contoh abnormalitas wajah dan dental adalah crowding, open
bite, prominent malar bones, dan saddle nose, menyebabkan pneumatisasi sinus maksilaris
terhambat. Dampak terlihat pada perubahan skeletal, bibir atas retraksi sehingga membentuk
wajah menjadi “chipmunk facies”. Perubahan radiografi terlihat di sendi dengan gambaran
umum adanya penipisan tulang alveolar, penebalan tulang kortikal, pembesaran marrow space,
dan trabekula yang kasar, di mana hal ini sama dengan gejala pada pasien dengan sickle cell
disease. Pada tulang parietal, korteks yang tebal melapisi trabekula vertikal kasar dan
pembesaran diploë menghasilkan gambaran “hair on end”. Kelumpuhan saraf cranial pada
thalassemia diakibatkan proses hematopoiesis ektramedula menekan saraf.
Sama halnya dengan pasien anemia kronis, perawatan minimal dapat terjadi setelah
tindakan bedah. Kemungkinan adanya eksaserbasi merupakan gejala hipoksia serebral atau
kardia jika substansi perdarahan terjadi pada pasien yang sudah mengidap anemia. Pembedahan
merupakan tindakan yang cukup berhasil dalam penanganan deformitas wajah.
4.1.3.3 Anemia Owing to Decreased Production of Red Cells
Anemia megaloblastik merupakan kelainan pada perbadaan pola pada sel hemapoietic.
Sel ini memiliki nuclei immature dan sitoplasma yang mature. Secara mikroskopis,
ketidaksinkronan nuklei dan sitoplasma didefinisikan sebagai “megaloblastic.” Kelainan ini
memengaruhi sel sehingga bergerak lebih dinamis. Selain itu, sel epitel, mukosa gastrointestinal,
dan oral mukosa mengalami hal yang sama. Kekurangan vitamin B12 (cobalamine) atau asam
folat adalah penyebab utama megaloblastic anemia.
Glossitis dan glossodynia adalah gejala klasik dari anemia ganas. Lidah terlihat seperti
daging merah dan terinflamasi dengan area eritem kecil di bagian ujung dan margin. Adanya
kehilangan filiform papillae dan pada penyakit yang lebih parah, atrofi papilla menyerang
-RINGKASAN OM 2009- 75
hampir semua permukaan lidah dengan hilangnya fungi normal otot. Lesi macular yang eritem
juga terdapat pada mukosa labial dan bukal. Pasien mungkin mengeluhkan dysphagia dan rasa
kecap yang tidak normal. Ketidaknyamanan yang disebabkan oleh penggunaan gigi tiruan karena
adanya kelemahan jaringan mukosa. Walaupun sensasi terbakar pada mulut didiagnosis pada
anemia ganas namun dapat pula terjadi pada neuropaty dan penyebab oral burning, termasuk
candidiasis, sehingga harus bisa dibedakan.
Biopsi oral mukosa pada penderita anemia ganas terdapat atrofi epitel, pembesaran nuclei
sel basal, penambahan mitosis pada epitel basal, dysplasia epitel, dan infiltrasi nonspesifik
limfosit, sel plasma, dan polymorphonuclear leukocytes di lamina propria. Sesuai dengan
perawatan dengan vitamin B12, lidah mendapatkan penanganan yang lengkap dengan
pembalikan gejala dan penghentian perubahan bentuk.
Perawatan dilakukan di antaranya adalah pemberian secara parenteral cyanocobalamin.
Dosis besar secara peroral bisa diberikan jika injeksi intramuscular menjadi suatu kontaindikasi.
Perawatan ini akan memperbaiki perubahan hematologi namun tidak memperbaiki perubahan
neurologi. Perawatan ini diberikan oleh praktisi kesehatan dan harus dilanjutkan selama
hidupnya.
Folic acid deficiency anemia merupakan anemia yang parah tanpa adanya abnormalitas
neurologik. Defisiensi folat ditemukan pada pasien yang berdiet sayuran, alkoholik dan
pengguna obat-obatan terlarang, orang hamil, anak muda dan seseorang dengan perawatan
kemoterapi untuk kanker. Diagnosanya ditegakkan dengan mendeteksi perubahan hematologi
(sama seperti pada anemia ganas). Terapinya bisa menggunakan tablet asam folat peroral dengan
dosis 1mg, dosis 5 mg bisa diberikan pada pasien dengan malabsorpsi usus. Manifestasi oralnya
berupa angular cheilitis, ulcerative stomatitis dan faringitis.
Aplastik anemia disebabkan karena adanya kegagalan pada sumsum tulang belakang.
Penyebabnya belum diketahui secara pasti, namun hampir dari setengah kasus ini disebabkan
karena bahan kimia seperti pelarut cat, benzol dan klorampenikol. Bisa juga disebabkan karena
tingkat radiasi sinar X yang tinggi.
-RINGKASAN OM 2009- 76
Dua masalah utama yang dihadapi pada pasien dengan anemia aplastik adalah infeksi dan
perdarahan. Perdarahan pada ginggiva bisa diatasi dengan pemberian antifibrinolitik seperti
aminokaproat atau asam traneksamat. Dosis asam traneksamat 20mg/kg BB 4 kali sehari dimulai
24 jam sebelum prosedur oral dan berlanjut 3-4 hari kedepan. Berkumur dengan klorheksidin
0,2% bisa mengurangi jumlah plak serta mikroorganisme di dalam kavitas oral. Injeksi
intramuscular dan anesthesia harus dihindari karena meningkatkan risiko tromositopenia dan
perdarahan, sebagai alternative bisa dilakukan anestesi intraligamentary.
Fanconi’s anemia penyakit anemia turunan yang menyerang anak-anak. Dihubungkan
dengan pigmentasi kecoklatan pada kulit, hipoplasia ginjal dan limpa, ketiadaan atau
pertumbuhan hypoplastik dari jempol, serta retardasi mental dan seksual.
4.2 Kelainan Sel Darah Putih
Kelainan sel darah putih biasanya melibatkan salah satu atau dua komponen utama,
limfosit atau granulosit neutrofilik. Tabel 4 menunjukkan perubahan pada sel darah putih yang
terjadi pada berbagai kelainan.
Tabel 4.1 Kunci Tes Laboratorium Untuk Kelainan Sel Darah Putih
Nama Tes
Nilai
Normal
(SI)
Peningkatan PenurunanTemuan
Oral
White blood cell
(WBC)
4,400-
11,000
Penyakit
hematologis
Pembesaran
gingiva,
-RINGKASAN OM 2009- 77
/µL neoplastik (early
leukemia), drug-
induced
neutropenia,
cyclic
neutropenia,
infeksi virus,
infeksi bakteri
berat, kegagalan
sumsum tulang,
aplasia sumsum
kongenital
ulcer oral,
infeksi oral
akibat
penurunan
imun oleh
penyakit
atau terapi
Differential WBC
Polymorphonuclear
neurophils (Segs)*
41-
78%
Infeksi,
inflamasi,
keadaan toksik,
kerusakan
jaringan, stress,
obat (adrenal
acute
hemorrhage)
Agranulocytosis,
drug-induced
neutropenia,
infeksi virus,
penyakit infeksius,
chemical induced,
hyperspenism,
penyakit kolagen-
vaskular
Band neutrophils* 0-6% Neutrofil
immature;
indikasi
produksi cepat
dari sel
seringkali
terdapat pada
-RINGKASAN OM 2009- 78
infeksi
Lymphocytes 23-
44%
Infeksi virus,
mononucleosis,
limfositosis
infeksius,
hipoadrenalisme,
hipotiroidisme
Imunodefisiensi,
pemaparan
adrenal-
kortikosteroid,
penyakit yang
mengakibatkankan
keterbatasan berat,
defek pada
sirkulasi limfatik
Monocytes 0-7% Infeksi kronis
(tuberculosis),
bacterial
endocarditis,
penyakit
granulomatous
Eosinophils * 0-4% Penyakit parasit,
alergi, penyakit
kulit kronis,
penyakit lain
(sarcoidosis,
Hodgkin’s
disease,
metastase
kanker)
Basophils* 0-2% Tingkat
hipersensitivitas
kronis, tanpa
-RINGKASAN OM 2009- 79
alergen spesifik,
kelainan
myeloproliferatif
*Granulocytes
4.2.1 Quantitative Leukocyte Disorders
4.2.1.1 Granulocytosis
Terdapat tiga tipe granulosit, dibedakan berdasarkan Wright’s stain: neutrofil granulosit,
eosinofil granulosit, dan basofil granulosit. Sel darah putih lain yang bukan termasuk granulosit
(agranulosit) antara lain limfosit dan monosit.
Granulositosis merupakan keadaan abnormal di mana terdapat banyak granulosit dalam
darah. Basofilia, eosinofilia, dan neutrofilia masing-masing menunjukkan tingginya jumlah
basofil, eosinofil, dan neutrofil. Neutrofilia paling umum terjadi, dapat disebabkan infeksi, reaksi
metabolik, keracunan, dan lain-lain.
4.2.1.2 Agranulocytosis (Neutropenia/Granulocytopenia)
Istilah agranulositosis, neutropenia, dan granulositopenia umum digunakan untuk
menunjukkan berkurangnya jumlah leukosit. Tanda klinis agranulositosis antara lain demam,
menggigil, sakit tenggorokan. Neutropenia dapatan lebih sering terjadi dibandingkan neutropenia
kongenital, dapat disebabkan oleh infeksi virus, obat-obatan, kerusakan antibodi atau
myelosupresi.
Pertimbangan Kesehatan Mulut
-RINGKASAN OM 2009- 80
Antibiotik profilaktik direkomendasikan pada pasien dengan keganasan hematologis
dengan ANC <1000 sel/mm3 akibat ekstraksi gigi. Analisis pada pasien dengan leukemia akut
menunjukkan bahwa profilaksis dengan fluoroquinolones (ciprofloxacin atau levofloxacin)
mengurangi infeksi akibat bakteri gram positif dan mengurangi tingkat kematian hingga 33%.
Untuk itu, profilaksis dengan fluoroqiunolones direkomendasikan sebagai prosedur rutin pada
pasien dengan leukemia akut, limfoma, dan tumor organ yang dapat menyebabkan neutropenia.
Tabel 4.2. Klasifikasi Neutropenia Primer dan Sekunder
Dapatan KongenitalSindrom Kompleks
Meliputi Neutropenia
Antibody-mediated
(aminopyrine, obat lain)
Cyclic neutropenia Cartilage-hair hypoplasia
Aplasia sumsum tulang,
dysplasia, penggantian
Familial benign
neutropenia
Chediak-Higashi
syndrome
Drug induced (cytotoxic
chemotherapy,
phenothiazines, obat lain)
Myelokathexis Dyskeratosis kongenital
Hypersplenism Severe chronic
neutropenia
Fanconi’s anemia;
Diamond-Blackfan
anemia
Immune-mediatd
(alloimmune dan
autoimmune)
Kelainan metabolik
(kelainan cadangan
glikogen tipe 1b, aciduria
organik)
Nutrisional (folat,
vitamin B12)
Immunodefisiensi primer
(X-linked hyper-IgM
-RINGKASAN OM 2009- 81
syndrome)
Sepsis dengan kurangnya
sumsum tulang
Reticular dysgenesis
Penurunan sumsum
tulang viral
Shwachman-Diamond
syndrome
4.2.1.3 Cyclic Neutropenia
Cyclic neutropenia merupakan kelainan hematologis, dengan karakteristik demam, ulcer
rongga mulut, dan indeksi berulang yang menyebabkan neutropenia berat. Neutropenia terjadi
dengan periode yang teratur selama 21 hari, berlangsung selama 3 sampai 5 hari, dan disertai
infeksi yang lebih berat dibandingkan neutropenia kronis berat.
Manifestasi Klinis dan Oral
Osilasi periodik jumlah neutrofil berhubungan dengan demam dan ulcer rongga mulut
yang menjadi kunci dari penyakit ini. Tampilannya berubah sesuai usia, di mana anak-anak pada
umunya menunjukkan siklus neutrofil dengan gejala ulserasi mukosa, limfadenopati, dan infeksi.
Pada dewasa lebih jarang terjadi dan gejalanya lebih ringan tanpa siklus yang jelas.
Perawatan
Faktor pertumbuhan hematopoetik seperti G-CSF, membantu menurunkan jumlah dan
keparahan siklus pada pasien neutropenik. Sebagian besar pasien merespon terhdap perawatan
G-CSF selama 1-2 minggu dengan dosis kurang dari 30 µg/kg.
4.2.1.4 Chronic Neutropenia
-RINGKASAN OM 2009- 82
Neutropenia kronis didefinisikan sebagai rendahnya ANC selama lebih dari 6 bulan,
dapat bersifat kongenital, dapatan, maupun idiopatik. Neutropenia menunjukkan rendahnya
jumlah neutrofil yang bersirkulasi dalam darah yang mengakibatkan kerentanan terhadap infeksi
pyogenik.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinisnya meliputi infeksi bakteri yang mengancam jiwa, gingivitis rekuren,
dan bahkan periodontitis berat, seringkali mulai terjadi pada awal masa anak-anak.
Perawatan
Kebanyakan pasien dengan neutropenia kronis berat merespon terhadap terapi G-CSF
pada dosis yang lebih tinggi dibandingkan neutropenia siklik.
Manifestasi oral
Berbagai temuan oral antara lain gingivitis rekuren, periodontitis berat, kehilangan tulang
alveolar, dan ulserasi dapat terlihat pada pasien neutropenik.
4.2.2 Qualitative Leukocyte Disorders
4.2.2.1 Chediak-Higashi Syndrome
Chediak-Higashi syndrome (CHS) merupakan kelainan autosomal resesif
immunodefisiensi yang ditandai dengan oculoalbinisme parsial, mudah memar dan berdarah
sebagai hasil dari defisiensi platelet, neutropenia dan abnormalitas fungsi neutrofil, gangguan
-RINGKASAN OM 2009- 83
aktivitas kemotaksis dan bakterisidal, dan abnormalitas fungsi pembunuh sel alami yang
mengakibatkan infeksi rekuren, terutama pada kulit dan sistem pernapasan.
Manifestasi klinis
Sindrom lengkap meliputi albinisme okulokutaneus dengan fotofobia, tampilan
neurologis, infeksi rekuren, dan enterokolitis.
Manifestasi Oral
Pasien dengan CHS menunjukkan kerusakan periodontal serius dengan inflamasi gingiva
akut dan ulcer. Status radiografik oralnya menunjukkan kehilangan tulang alveolar, hingga
eksfoliasi gigi. Perawatan periodontal pada pasien ini seringkali tidak berhasil.
Perawatan
Terapi CHS seringkali simptomatik, seperti imunisasi dan antibiotik untuk infeksi.
Perdarahan dapat ditanggulangi dengan menghindari konsumsi aspirin dan penggunaan
desmopressin, aminocaproic acid, atau transfusi platelet pada perdarahan serius. Kemoterapi,
kortikosteroid, IVIG, dan splenektomi telah dilakukan untuk manajemen pada fase akselerasi.
Perawatan kuratif kelainan ini adalah HSCT, yang menanggulangi gangguan imun dan fase
akselerasi namun tidak merangsang perkembangan kelainan neurologis yang semakin berat
seiring pertambahan usia.
Pertimbangan Kesehatan Mulut
-RINGKASAN OM 2009- 84
Jika prosedur bedah telah direncanakan, kehilangan darah yang berlebihan harus dapat
diantisipasi akibat adanya defek pada fungsi platelet. Suntikan intramuskular harus dihindari.
Pasien seringkali mengalami fotofobia dan menjadi sensitif terhadap lampu operasi.
4.2.2.2 Lymphocytosis
Limfositosis asimtomatik tidak selalu disebabkan oleh leukemia limfositik kronis atau
penyakit ganas. Limfositosis dapat juga disebabkan oleh infeksi, antara lain infeksi
postsplenectomi, HIV, human T-lymphotropic virus 1, cytomegalovirus, hepatitis, EBV, atau
penyebab lainnya.
4.2.3 Leukemia
Leukemia merupakan keganasan yang mempengaruhi sel darah putih pada sumsum
tulang.
Sel keganasan menggantikan elemen sumsum normal, menyebabkan anemia,
trombositopenia, dan defisiensi leukosit dengan fungsi normal.
Klasifikasi French-American-British (FAB) berdasarkan diferensiasi dan maturasi
sel leukosit predominan pada sumsum tulang dan analisis cytochemical
Klasifikasi leukemia: akut, kronis, dan berdasarkan tipe sel
Etiologi tidak diketahui (pada banyak kasus), tapi ada beberapa faktor yang
meningkatkan resiko terjadinya leukemia, antara lain:
1. Faktor genetik
2. Kelainan genetik, seperti sindrom Down, Klinefelter, Fanconi
3. Radiasi lebih dari 1 Gy
4. Paparan kimia dan obat tertentu, seperti benzene, phenylbutazone, dan antibiotik
chloramphenicol
-RINGKASAN OM 2009- 85
4.2.3.1 Leukemia Akut
Leukimia akut merupakan keganasan pada sel progenitor hematopoietik, sehingga
menyebabkan kegagalan maturasi dan berdiferensiasi.
Manifestasi Klinis
Leukemia akut dapat terjadi pada segala usia, tp pada umumnya ALL terjadi pada anak-
anak, dan AML terjadi pada dewasa.
Tanda dan gejala: perubahan sumsum tulang anemia, trombositopenia, berkurangnya neutrofil
dengan fungsi normal
1. Anemia: pucat, napas pendek, kelelahan
2. Trombositopenia: pendarahan spontan (petechiae, ekimosis, epitaksis, melena,
meningkatnya pendarahan menstural, dan pendarahan gingiva) saat jumlah platelet
menurun <25.000/mm3
Infeksi merupakan komplikasi yg paling sering terjadi menyebabkan morbitas dan
mortalitas.
Kloroma: tumor yang terlokalisasi, mengandung sel leukemik. Permukaan tumor berubah
menjadi hijau saat terkena cahaya adanya myeloperoksidase.
Diagnosis: berdasarkan pemeriksaan lab darah perifer dan sumsum tulang
- Jumlah sel darah putih perifer ↑. Jika normal/ menurun disebut subleukemik atau
aleukemik leukemia
- Ditemukan prekursor granulositik/limfositik, bahkan stem sel pada darah perifer
-RINGKASAN OM 2009- 86
Perawatan
Yang utama memperoleh remisi lengkap (darah perifer normal, sumsum normal, dan
status klinis normal)
Kombinasi kemoterapi : daunorubicin dan cytarabin. Kemoterapi 3 tahap : induksi,
konsolidasi, dan pemeliharaan
Perawatan suportif: transfusi platelet, transfusi sel darah merah, heparin
Transplantasi sumsum tulang
4.2.3.2 Leukimia Kronis
Ditandai dengan ditemukannnya sel yang berdiferensiasi sempurna pada sumsum tulang,
darah perifer, dan jaringan, pasien juga mampu bertahan lama bahkan tanpa terapi.
4.2.3.2.1 Chronic myelogenous leukemia (CML)
Disebut juga Chronic granulocytic leukemia (CGL). Berhubungan dengan paparan radiasi
ion dan zat kimia toksik. Terdiri dari 2 fase: kronik dan blastik
Manifestasi klinis:
1) Umumnya terjadi pd usia 30-50 tahun
2) Terdapat tanda-tanda anemia dan trombositopenia
-RINGKASAN OM 2009- 87
3) Tes lab: ↑ jumlah leukosit sampai beberapa ratus ribu/ mm3, sumsum tulang hiperselular,
adanya kromosom Philadelphia, dan tidak adanya leukosit alkalin fosfatase
Perawatan:
- Kontrol pada fase kronik
Gejala muncul busulfan atau agen alkilasi
Kemoterapi dan radiasi
Transplantasi sumsum tulang
- Fase blastik sulit disembuhkan
4.2.3.2.2 Chronic Lymphocytic Leukemia
Manifestasi klinis
1) Terjadi pada laki-laki >40thn, onset paling umum60 thn
2) Tanda-tanda anemia dan trombositopenia
3) Infiltrasi ke jaringan lain: limfadenopati, splenomegali, hepatomegali, ilfiltrat leukemik
pada kulit dan mukosa. Tanda pada kepala dan leher paling sering: limfadenopati cervical
dan pembesaran tonsil
4) Hipogamaglobulinemia
Perawatan
1) Chlorambucil, fludarabine
2) Hairy cell leukemia cladribine
Pertimbangan Oral dan Dental
o Tanda dan gejala oral umum ditemukan dokter gigi dapat menjadi klinisi yang
pertama menemukan penyakit ini.
o Penanganan terhadap pendarahan gingival
o Ulser oral akibat kemoterapi infeksi HSV rekuren acyclovir
-RINGKASAN OM 2009- 88
Ulser oral non HSV bertujuan untuk mencegah menyebarnya infeksi yang ada,
meminimalkan bakteremia, membentu penyembuhan luka, dan mengurangi nyeri
o Infeksi oral : komplikasi yang berpotensi berakibat fatal
o Infeksi fungal
o Lesi lichenoid, termasuk gingivitis deskuamatif, lesi keratotik, atrofi, dan ulserasi
Transfusi platelet dan kombinasi antibiotik IV perlu diberikan sebelum
perawatan dental.Deformitas kraniofasial dan anomali dental : gangguan
perkembangan mandibula, agenesi gigi, terhentinya perkembangan akar gigi,
mikrodontia, dan displasia enamel.
4.2.4 Lymphoma
4.2.4.1 Hodgkin’s Lymphoma/Disease
Sekitar 95% pasien HL memiliki ciri histologi classic HL yang ditandai dengan adanya
sel ganas Hodgkin’s Reed-Sternberg yang langka di antara sejumlah besar dari sel-sel
reaktif jinak.
Klasifikasi neoplasma limfoid menurut WHO:
1. Classic HL, dibagi menjadi 4 subdivisi:
a. Nodular sclerosing classic HL (70–80% kasus di Amerika Utara)
b. Lymphocyte-rich classic HL (5%)
c. Mixed cellularity HL (10–15%)
d. Lmphocyte-depleted classic HL (langka)
2. Nodular lymphocyte predominant HL
Etiologi HL tidak diketahui, namun baik faktor genetik dan lingkungan, termasuk EBV,
berperan dalam pathogenesis HL.
Manifestasi Klinis
Tabel 4.1. Tahapan klinis HL berdasarkan klasifikasi Ann Arbor
-RINGKASAN OM 2009- 89
Perawatan
Perawatan dapat berupa radiasi saja dan kemoterapi dengan ABVD (Adriamycin
[doxorubicin], bleomycin, vinblastine, dacarbazine) diikuti oleh involved-field radiation
therapy (IFRT) dalam dosis hingga 35 Gy
Tabel 4.2. Rekomendasi penanganan berdasarkan tahapan klinis
-RINGKASAN OM 2009- 90
Manifestasi Oral
Massa ekstranodal pada kepala dan leher
Keterlibatan cincin Waldeyer’s pada tumor HL jarang terjadi, kebanyakan pada tonsil
atau nasofring, dan hanya 6 kasus pada lidah
Pertimbangan Kesehatan Rongga Mulut
Radiasi pada servikal kelenjar ludah submandibular dan sublingual berisiko
mengakibatkan xerostomia sementara atau bahkan permanen
Topikal fluoride, gel, atau pasta gigi berfluoride dapat digunakan untuk pencegahan
karies jika mulut pasien kering
4.2.4.2 Non-Hodgkin’s Lymphoma
Dihubungkan dengan chronic inflammatory diseases seperti Sjögren’s syndrome, celiac
disease, dan rheumatoid arthritis dan immune suppression dari HIV and pengobatan
untuk menangani psien yang menerima transplantasi organ.
-RINGKASAN OM 2009- 91
Infeksi kronis lymphoma dihubungkan dengan infeksi Helicobacter pylori dan mukosa
terkait jaringan limfoid (MALT) limfoma; HTLV-1 dan dewasa T-sel limfoma; EBV dan
limfoma Burkitt; Clamydia psittaci dan limfoma adenexal mata; dan hepatitis C dan
limpa atau sel besar limfoma.
Diagnosis ditentukan dengan pemeriksaan fisik dan riwayat penyakit, laboratorium,
aspirasi dan biopsi sumsum tulang, biopsi nodal, CT scan, positron emission tomography,
dan tingkat dehidrogenase laktat untuk mengukur proliferasi tumor.
Manifestasi Klinis
Lymphadenopathy dan terkadang melibatkan extranodal dari traktus gastrointestinal,
kulit, sumsum tulang, sinus, tiroid atau sistem saraf pusat. Gejala sistemik: demam, panas dingin,
keringat malam, penurunan BB pada pasien dengan aggressive lymphoma.
Perawatan
Pasien dengan follicular lymphomas tahap awal biasanya dirawat dengan terapi radiasi,
sedangkan tahap III dan IV memerlukan perawatan kemoterapi, imunoterapi, atau
radioimunoterapi.
Manifestasi Oral
Pembengkakan atau massa gingival atau jaringan mukosa pertumbuhan tumor yang
cepat pada daerah bekas ekstraksi yang sukar sembuh.
o Gejalanya dapat berupa anesthesia atau paresthesia
o Ulser yang tak kunjung sembuh dengan batasan penyakit yang jelas pada sekeliling
mukosa, lesi gingiva yang tampak jinak, dan lesi mukosa erosive menyerupai penyakit
vesikulobulosa.
-RINGKASAN OM 2009- 92
Gambar 4.1. Non-Hodgkin’s Lymphoma pada lokasi bekas ekstraksi yang tidak kunjung
sembuh 46 dan 47 yang muncul dalam waktu 1 minggu setelah ekstraksi gigi pada seorang pria
31 tahun yang terinfeksi HIV.
Pertimbangan Kesehatan Rongga Mulut
Komplikasi akut dari kemoterapi: mukositis, infeksi virus dan bakteri, dan lesi hemoragik
yang dihubungkan dengan supresi sumsum tulang.
Komplikasi kronis dari kemoterapi: orodental kronis, termasuk diskolorasi enamel dan
malformasi akar.
4.2.4.3 Burkitt’s Lymphoma
Sel lymphoma yang agresif, kecil, tidak membelah biasanya ditandai dengan
pembengkakan rahang.
Klasifikasi menurut WHO:
o Endemik (Afrika)
o Sporadik (Amerika)
o Berhubungan dengan imunodefisiensi
Manifestasi Klinis
Endemik:
-RINGKASAN OM 2009- 93
o 4 sampai 7 tahun
o Rasio pria: wanita = 2:1
o Melibatkan tulang rahang dan tulang wajah lainnya, ginjal, traktus gastrointestinal,
ovarium, payudara, dan lokasi ekstranodal lainnya
Sporadik:
o Abdomen, terutama area ileocecal, efusi pleural malignan atau akumulasi cairan dan
keterlibatan lymph node, rahang, ovarium, ginjal, payudara, omentum, cincin
Waldeyer, dan lokasi lainnya.
Berhubungan dengan imunodefisiensi
o Usia muda
o Biasanya menderita AIDS
o Memiliki angka rata-rata CD4 lebih tinggi, biasanya >200 sel/μL
Perawatan
Kemoterapi adalah perawatan utama, dengan cyclophosphamide, vincristine,
methotrexate, dan kortikosteroid; namun, surgical debulking dan dosis rendah terapi
radiasi merupakan terapi paliatif untuk lokasi tumor lokal.
Manifestasi Oral
Pada anak-anak biasanya berupa pembengkakan pada rahang (52%), abdomen (25%),
kombinasi rahang dan abdomen (14%), dan lokasi lainnya (10%)
Pada orang dewasa, lokasi yang terlibat adalah rahang (4%), abdomen (43%), kombinasi
rahang dan abdomen (25%), dan lokasi lainnya (27%)
Tumor rahang yang bisa menyebabkan kegoyangan gigi dan nyeri, pembengkakan
intraoral pada mandibular dan maksila, dan openbite anterior.
-RINGKASAN OM 2009- 94
Gambaran radiografi panoramik menunjukkan resorpsi tulang alveolar, hilangnya lamina
dura, pembesaran folikel gigi, destruksi korteks di sekeliling gigi, perpindahan gigi dan
kuncup gigi karena pembesaran tumor.
4.2.5 Multiple Myeloma
4.2.5.1 Definisi
Multiple myeloma (MM) adalah neoplasma sel plasma ganas yang relatif jarang
ditemukan. Karakteristik MM adalah adanya produksi protein M yang berlebih akibat proliferasi
plasma sel yang abnormal, sehingga menyebabkan lesi tulang, penyakit ginjal, hiperviskositas
dan hiperkalsemia (Greenberg & Glick, 2011).
4.2.5.2 Etiologi
Tidak diketahui (Laskaris, 2006).
4.2.5.3 Karakteristik
Dapat terjadi pada pria dan wanita berusia lebih dari 50 tahun (Greenberg & Glick,
2011), tetapi pria lebih umum (Laskaris, 2006). Simptom paling sering adalah adanya nyeri
skeletal, yang disebabkan oleh lisis tulang yang secara langsung diakibatkan oleh adanya
akumulasi tumor, atau secara tidak langsung dari faktor aktivasi osteoklas yang disekresikan oleh
sel myeloma ganas (Greenberg & Glick, 2011).
80% kasus MM mengenai tulang. Gambaran radiografi yang umum dari lesi ini adalah
adanya lesi radiolusen yang tampak ”punched-out” (plasmasitoma), tetapi osteoporosis pun dapat
terjadi walaupun tidak tampak adanya lesi punched-out (Greenberg & Glick, 2011).
-RINGKASAN OM 2009- 95
Gambar 4.2. Multiple myeloma pada rahang atas dan bawah (Greenberg & Glick, 2011).
4.2.5.4 Manifestasi Oral
Kira-kira 5-30% pasien dengan MM memiliki lesi pada rahang, dan lesi pada rahang
dapat menjadi lesi awal yang ditemukan pada kasus MM, terutama pada rahang bawah karena
memiliki lebih banyak sumsum tulang. Pasien akan merasakan nyeri, pembengkakan, kaku
rahang, pembentukan epulis, atau mobilitas gigi geligi (Greenberg & Glick, 2011).
Gambar 4.3. Multiple myeloma dengan tampilan massa gingiva yang terulserasi (Regezi, 2008).
Biopsi lidah umumnya dilakukan untuk membantu diagnosis. Secara klinis lidah akan
tampak membesar dan berbintil merah tua. Amiloidosis terjadi pada 6-15% pasien dengan MM,
dan dapat dideteksi dari spesimen jaringan dari lipatan mukobukal atau lidah (Greenberg &
Glick, 2011).
-RINGKASAN OM 2009- 96
Gambar 4.3. Amiloidosis yang menyebabkan lidah makroglosia (Regezi, 2008).
4.2.5.5 Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan pengukuran protein serum M, yang didapat melalui
prosedur elektroforesis protein serum atau imunoelektroforesis, atau dapat dilihat melalui
pengukuran protein Bence Jones, yaitu rantai immunoglobulin monoklonal yang terdeteksi dari
specimen urin 24 jam. Biopsi sumsum tulang dapat dilakukan untuk melihat adanya sel plasma
yang tidak lazim (Greenberg & Glick, 2011).
4.2.5.6 Perawatan
Lesi simptomatik lokal dirawat dengan radioterapi. Obat-obatan kemoterapi untuk MM
adalah agen alkilasi seperti melphalan atau siklosfofamida, yang merupakan pilihan terapi untuk
lesi tulang yang luas dan peningkatan protein M. Jangka waktu rata-rata keberhasilan perawatan
yaitu 2-3 tahun, tapi dengan pengembangan agen kemoterapi terbaru dapat berhasil hingga 6
tahun. Penyebab umum kematian adalah myeloma ginjal, akibat akumulasi protein abnormal di
jaringan ginjal (Greenberg & Glick, 2011).
4.2.5.7 Penanganan Dental
Hemoragi dan infeksi perlu diperhatikan saat melakukan perawatan dental pasien dengan
MM, karena pasien MM memiliki trombositopenia, fungsi platelet abnormal, koagulasi
abnormal, dan atau hiperviskositas (Greenberg & Glick, 2011).
-RINGKASAN OM 2009- 97
-RINGKASAN OM 2009- 98
BAB V
PENYAKIT GINJAL
5.1 Fungsi Ginjal
1. Meregulasi keseimbangan asam dan cairan elektrolit tubuh dengan cara memfilter darah
2. Penyerapan ulang air dan elektrolit secara selektif
3. Eksresi urin
4. Eksresi sisa produk metabolik termasuk urea, kreatinin, asam urik, dan benda asing.
5. Fungsi endokrin dengan sekresi renin, vit D aktif, dan eritropoietin yang berfungsi menjaga
tekanan darah, metabolisme kalsium, dan sintesis eritrosit.
Kelainan pada ginjal diklasifikasikan menjadi :
1. Kelainan konsentrasi pH dan elektrolit
2. Acute Renal Failure (ARF)
3. Chronic Renal Failure (CRF)
4. End-stage renal failure atau Sindrom Uremik
5.2 Struktur dan Fungsi Ginjal
Struktur ginjal
- Organ bean-shaped pada retroperitoneum selevel pinggang
- Berat 160 g, panjang 10-15 cm
- Ginjal mengeksresi urin 1,5-2,5 L setiap hari
-RINGKASAN OM 2009- 99
- Nefron pada ginjal tidak bisa beregenerasi setelah mengalami kerusakan. Ginjal
mengkompensasi kehilangan nefron dengan hipertrofi unit lain.
- Fungsi ginjal normal dapat tetap terjaga sampai 50% nefron mengalami kerusakan.
5.3 Homeostasis Cairan, Elektrolit, dan pH
1. Tanda klinis pertama pada kegagalan fungsi ginjal yaitu menurunnya kemampuan menjaga
konsentrasi dalam urin (isosthenuria)
2. Kegagalan fungsi ginjal awal gangguan konsentrasi sodium dalam urin
3. Kegagalan fungsi ginjal bertambah volume overload hipertensi dan congestive heart
failure
4. Filtrasi glomerulus rusak total sekresi potassium berkurang hiperkalemia
5.4 Prosedur Diagnostik pada Penyakit Ginjal
5.4.1 Kimia Serum
Level sodium, klorida, blood urea nitrogen (BUN), glukosa, kreatinin,
karbondioksida, potassium, fosfat, dan kalsium berguna untuk mengevaluasi derajat
kerusakan ginjal dan progres penyakit.
5.4.2 Urinalisis
-RINGKASAN OM 2009- 100
Pemeriksaan urin pada pasien dengan penyakit ginjal mencakup deteksi protein
atau darah dalam urin, osmolalitas, dan pemeriksaan mikroskopis.Tanda disfungsi ginjal
pada urin adalah hematuria dan proteinaria.Hematuria terjadi karena perdarahan pada
traktur urinarius.
Pengumpulan urin selama 24 jam harus dilakukan untuk mengetahui adanya
proteinuria persisten. Batas normal protein dalam urin adalah 150 mg per hari.
5.4.3 Creatinine Clearance Test
GFR (glomerulus filtrate rate) dapat dihitung secara tidak langsung dengan
endogenous creatinine clearance test.Konsentrasi kreatinin pada plasma yaitu 0,7-1,5
mg/dL. Kreatinin 100% difiltasi oleh glomerulus dan tidak diserap ulang oleh tubulus.
Creatinine clearance test dilakukan dengan pengumpulan urin 24 jam dan sampel
darah pada periode 24 jam yang sama. Pada penyakit gagal ginjal kronis dan beberapa
tipe gagal ginjal akur, nilai GFR lebih rendah dari nilai normal yang berkisar antara 100-
150 mL/min. Semakin bertambah usia juga mengurangi nilai GFR yaitu 1 mL/min per
tahun setelah 30 tahun.
5.4.4 Pyelografi Intravena
Merupakan pemeriksaan radiologis pada ginjal dengan melakukan injeksi media
kontras melalui intravena.
5.4.5 Ultrasonografi ginjal
Prosedur diagnostik menggunakan USG yang diarahkan pada ginjal, dapat
membedakan adanya tumor padat atau cairan – berisi kista.Berguna untuk pasien dengan
gagal ginjal berat, yang tidak indikasi dilakukan IVP. Diindikasikan untuk melihat
ukuran ginjal, melihat adanya hambatan ,evaluasi transplantasi ginjal adanya hematoma,
serta lokalisasi ginjal untuk dilakukan biopsy.
5.4.6 Computed Tomography and Magnetic Resonance Imaging
MRI memberikan informasi yang sama dengan CT ginjal namun tidak
menggunakan radiasi pengion.
-RINGKASAN OM 2009- 101
5.4.7 Biopsi
Biopsi ginjal dilakukan dengan biopsi jarum perkutan yang dibantu dengan
ultrasonografi.5% kasus terjadi perdarahan post prosedur dan hematuria.
5.5 Renal Failure (Gagal Ginjal)
Gagal ginjal Ginjal kehilangan kemampuan untuk mempertahankan komposisi dan
volume normal cairan tubuh.
Klasifikasi gagal ginjal didasarkan pada dua kriteria yaitu onset (akut dan kronis) dan lokasi
(prerenal, renal atau intrinsik, dan postrenal).Chronic renal failure (CRF) berjalan lambat,
irreversible, dan terjadi selama periode tahun.Sedangkan Acute Renal Failure (ARF) berkembang
selama periode hari atau minggu, reversible jika dikelola dengan tepat.
5.5.1 Acute Renal Failure (ARF)
ARF merupakan sindrom klinis yang ditandai dengan penurunan cepat fungsi ginjal
selama periode hari hingga minggu, menuju ke azotemia berat (meningkatnya kadar nitrogen
dalam darah). Penyebab umum ARF : obat, operasi, komplikasi yang berhubungan dengan
kehamilan, dan trauma. ARF berkembang melalu tiga tahap: oliguria (volume urin <400 ml per
hari), diuresis (volume urin >400 ml per hari), dan recovery. Penyebab ARF: kegagalan
prerenal, kegagalan posrenal, dan kegagalan akut intrinsik.
5.5.1.1 Kegagalan prerenal
Definisi: kondisi membahayakan dari fungsi ginjal tanpa cedera fisik permanen pada
ginjal. Kondisi ini sering disebut azotemia prerenal perubahan reversible pada aliran darah,
terjadi > 50% pada kasus. Etiologi: deplesi volume, penyakit kardiovaskular, perubahan
distribusi volume cairan yang berhubungan dengan sepsis.
5.5.1.2 Kegagalan postrenal
Kurang umum terjadi (< 5% dari pasien).Kondisi ini menghambat aliran urin dari ginjal
pada saluran kemih dan yang kemudian menurunkan GFR.Dapat menyebabkan anuria total,
-RINGKASAN OM 2009- 102
obstruksi lengkap atau polyuria.Dengan ultrasonografi, dapat menunjukan terjadinya
hidronefrosis.Banyak terjadi karena obstruksi dari pembesaran prostat (hipertrofi jinak atau
neoplasia ganas) pada pria yang lebih tua, atau kanker serviks.Kondisi ini dapat diobati.
5.5.1.3 Kegagalan akut intrinsik
Tiga penyebab utama dari gagal ginjal akut intrinsik yaitu kelainan glomerulus,
pembuluh darah, dan tubulointerstitial (> 75% kasus)
Glomerulonefritis jarang menjadi penyebab ARF, biasanya subakut atau kronis.Jika
ditemukan terkait dengan sedimen urin aktif. Temuan klinis dan lab : hipertensi, proteinuria,
hematuria. Kelainan glomerulus yang paling sering menjadi penyebab adalah glomerulus
progresif, glomerulonephritis denga endocarditis dan infeksi pada akses vascular. Proses oklusif
vaskuler seperti arteri ginjal atau thrombosis vena juga dapat menyebabkan gagal ginjal akut
intrinsik. Tampilan klinis: nyeri punggung bawah tiba-tiba, oliguria berat, dan hematuria
makrospik.
Penyebab paling umum adalah kelainan tubulointerstitial, termasuk nefritis interstitial
dan acute tubular necrosis (ATN).
5.5.2 Chronic Renal Failure(CRF)
Gagal ginjal kronis didefinisikan dengan: (1) kerusakan ginjal selama > 3 bulan, dengan
kelainan structural atau fungsional pada ginjal dengan atau tanpa penurunan GFR baik oleh
kelainan patologis atau penanda lain, termasuk kelainan pada komposisi darah atau urin, atau
kelainan dalam radiografi; (2) GFR < 600cc/menit/1,73 m2 selama > 3 bulan.
CRF disebabkan oleh banyak penyakit yang menghancurkan massa nefron ginjal.
Kemudian sebagian besar menyebabkan kerusakan bilateral parenkim ginjal. Berdasarkan
statistik di AS, diagnosa paling umum ditemukannya CRF atau ESRD (End-Stage Renal
Disease) adalah pada pasien dengan DM, hipertensi, glomerulonephritis, interstitial nefritis,
pyelonephritis, dan kelainan ginjal polycystic.
5.5.2.1 Clinical Progression
CRF dibagi dalam tahap sesuai dengan tingkat GFR:
-RINGKASAN OM 2009- 103
Tahap 1: Pasien memiliki fungsi ginjal normal (GFR>90cc/menit), tetapi mungkin memiliki
proteinuria atau hematuria.
Tahap 2: GFR 60-90 cc/menit.
Tahap 3 : GFR 30-60 cc/menit. Adanya anemia dan hiperparatiroidisme sekunder
Tahap 4: GFR 15-30 cc/menit. Dialisis.
Tahap5: GFR <15 cc / menit, menurunnya secara signifikan fungsi ginjal, membutuhkan
perawatan dialisis kronis jangka panjang.
5.5.2.2 Etiologi dan Patogenesis
Perkembangan penyakit ginjal, memuncak di CRF, dalam rentang 30 hingga 40
bulan.Penyebab yang paling umum terjadi pada gagal ginjal diimpulkan pada Tabel 5.1. Pada
saat ini, diabetes dan hipertensi tercatat sebanyak 44.4% dan 26.6% dari total keseluruhan kasus
ESRD. Glomerulonefritis adalah urutan ketiga dari penyebab umum ESRD (12.2%
kasus).Nefritis interstitial, pyelonefritis, dan polikistik ginjal tercatat sebanyak 7.2%
kasus.Sisanya 9.6% penyebab umum ESRD merupakan systemic lupus erythematosus (SLE) dan
keadaan yang jarang terjadi seperti uropati obstruktif.
Tabel 5.1 Etiologi dan Stage Akhir Penyakit Ginjal
Usia, ras, jenis kelamin, dan riwayat keluarga telah diidentifikasi sebagai faktor resiko
untuk berkembangnya ESRD. Usia rata-rata pasien yang baru terdiagnosis dengan ESRD adalah
61.1 tahun, dan 53.1% dari pasien ESRD adalah pria. Orang bekulit putih, termasuk Hispanic,
-RINGKASAN OM 2009- 104
tercatat sebanyak 63.5% pasien ESRD; berkulit hitam sebanyak 28.7% pasien, dan keturunan
Asia sekitar 2.9%. Riwayat keluarga merupakan faktor resiko diabetes dan hipertensi, yang
keduanya sama-sama mempengaruhi ginjal dan yang kemudian dapat menimbulkan resiko pada
perkembangan ESRD.Bukti-bukti terbaru menggagas bahwa merokok merupakan faktor resiko
besar untuk ginjal, meningkatnya resiko neuropati dan melipatgandakan nilai perkembangan
sampai tingkat akhir penyakit.
5.5.2.2.1 Glomerulonefritis
Glomerulonefritis mewakili kelompok heterogen penyakit dengan berbagai etiologi
dan patogenesis yang menghasilkan fungsi ginjal yang tak dapat diperbaiki.Hal ini biasanya
terinisiasi oleh serangan streptococcal atau non streptococcal glomerulonefritis akut.
Glomerulonefritis juga dapat memasuki stase kronis sindrom nefritik. Contoh serupanya adalah
glomurulosklerosis segmental, glomerulonefrinitis membranus idiopatik, dan glomerulonefritis
membranoproliferatif.Pada kasus umumnya, pasien menunjukkan tanda-tanda CRF dan
hipertensi atau dengan kemungkinan adanya proteinuria yang berkembang pada nefritis kronik
dalam beberapa tahun.
Glomerulonefritis kronis biasanya berbahaya pada onset (awal). Perkembangan sangan
lambat tapi lama-kelamaan menjadi progresif, dan berakhir gagal ginjal dan uremia dalam waktu
30 tahun.Diketahui sebagai kelainan pada origin imunologis.
5.5.2.2.2 Sindrom Neuropatik
Sindrom neuropatik merupakan manifestasi klinis dari banyak lesi glomerular yang
menyebabkan berlebihnya ekskresi protein pada urin sebanyak lebih dari 3.5g per
hari.Disebabkan oleh banyak penyakit.Diagnosis perbandingannya luas tetapi meliputi anemia
sel sabit (sickle cell), DM, myeloma multiple, SLE, dan glomerulonefritis membranus.
5.5.2.2.3 Pyelonefritis
Pyelonefritis mengarah pada efek-efek infeksi bakterial pada ginjal, paling banyak
disebabkan Escherichia coli.Dapat juga muncul dengan keadaan akut dengan infeksi pyogenik
-RINGKASAN OM 2009- 105
aktif atau keadaan kronis menjadi manifestasi utama yang disebabkan oleh cedera ketika infeksi
mendahului.
Lesi apapun yang menimbulkan obstruksi dari traktus urinari dapat memaparkan
pasien kepada pyelonefritis aktif.Pyelonefritis juga dapat ditemui pada pasien dengan
endokarditis bakterial.
Gambaran klinis pyelonefritis akut sering berkaratketistik meliputi kenaikan tiba-tiba
suhu tubuh (38.9-40.6C), mengigil, sakit pada satu atau kedua area kostovertebral atau yang
mengapit, dan simptom inflamasi kantung kemih.Pasien dengan pyelonefritis aktif kronis
biasanya menderita dari beberapa tahap pyelonefritis akut atau memungkinkan memiliki infeksi
kecil persisten dengan hasil tahap-akhir kegagalan ginjal tahan kedua pada kerusakan dari bekas
luka parenkim ginjal.
5.5.2.2.4 Penyakit Ginjal Polisiklik
Penyakit ginjal polisiklik memerankan keturunan autosomal dominan.Pasien pada
umumnya menunjukkan terdapat hematuria mikroskopik atau berat (besar), nyeri perut atau
panggul, dan rekurensi infeksi taktus urinari. Penyakit ini disebabkan insufisiensi ginjal pada
50% individu pada usia 70 tahun. Secara klinis pasien ini memiliki ginjal yang dapat dipalpasi
besar, dan diagnosis dikofirmasi menggunakan ultrasonografi ginjal, CT, atau IVP.Sebagian
besar pasien mendapatkan hipertensi selama masa menderita penyakit tersebut.
5.5.2.2.5 Nefrosklerosis Hipertensif
Hubungan antara ginjal dan hipertensi telah dikenali, namun penyakit utamanya
biasanya tidak.Hipertensi bisa saja menjasi kelainan utama yang menyebabkan kerusakanginjal,
tetapi CRF yang parah dapat mengarah kepada hipertensi atau mengekal melalui perubahan
ekskresi sodium dan air dan/atau dalam sistem renin-angiotensin. Jantung, otak, mata, dan ginjal
meliputi 4 target organ utama hipertensi. Hipertensi yang lama (long-standing) menyebabkan
fibrosis dan sklerosis dari arteriol dalam organ dan ke seluruh tubuh.Penutupan progesif
arteridan arteriol menimbulkan atrofi tubula dan kerusakan glomerulus.
5.5.2.2.6 Kelainan Jaringan Ikat
-RINGKASAN OM 2009- 106
Penyakit ginjal sangat lazim pada pasien dengan kelainan jaringan ikat, dikenal
dengan penyakit vaskular kolagen.Sekitar dua per tiga pasien SLE dan skleroderma atau
progressive systemic sclerosis (PSS) memiliki bukti klinis keterlibatan ginjal. Tahap-akhir gagal
ginjal terjadi pada 25% pasien SLE.PSS dikarakteristikkan dengan sklerosis progresif kulit dan
ciscera, termasuk ginjal dan vaskularnya.
5.5.2.2.7 Kelainan Metabolik
Kelainan metabolik yang dapat menimbulkan CRF diantaranya DM, amilodosis,
sengal/encok, dan HPTH primer.DM merupakan penyebab paling utama dari CRFdan tercatat
sebanyak setengah dari pasien ESRD baru. Sekitar 50% [asien dengan DM tipe 1
mengembangkan ESRD dalam 15 sampai 25 thaun setelah onset diabetes, dibandingkan dengan
6% pasien dengan DM tipe 2. Glomerulosklerosis merupakan lesi yang paling terkarakteristik
dari neuropati diabetik. Lesi lainnya nefritis tubulointerstitial konis, nekrosis papilari, dan
ischema.
Neuropati diabetik ada dalam 5 tahan; tahap 1 adanya perubahan fungsional, tahap 2
berkembang pada perubahan struktural, tahap 3 neuropati insipien, tahap 4 neuropati diabetik
klinis, tahap 5 gagal ginjal progresif. Tahap-akhir terkarakteristik oleh azotemia menghasilkan
penurunan cepat pada GFR dan menghasilkan ESRD.
5.5.2.2.8 Neuropati Toksik
Ginjal terpapar oleh efek toksik dari zat kimia dan obat-obatan karena rute ekskresi
dari obat-obatan pada umumnya dan karena besarnya perfusi vaskular.
5.5.2.2.9 Manifestasi Penyakit Ginjal Sindrom Uremik
Dua kelompok dari simptom terdapat pada pasien dengan sindrom uremik: simptom
yang berhubungan dengan aturan berubahnya fungsi pengaturan dan ekskretoris (volume cairan,
abnormalitas elekrolit, ketidakseimbangan asam, akumulasi limbah nitrogenus, dan anemia) dan
sekelompok simptom klinis mempengaruhi kardiovaskular, gastrointestinal, hematologi, dan
sistem lainnya.
-RINGKASAN OM 2009- 107
Gangguan Biokimia
Asidosis metabolik merupakan gangguan biokimia yang dialami pasien dengan gagal
ginjal. Saat fungsi ginjal gagal, ekskresi ion hidrogen (H+) dikurangi, dan menjadi asidosis
sistemik dengan hasil plasma pH dan konsentrasi bikarbonat lebih rendah. Ekskresi amonium,
menurun karena massa nefron berkurang, adalah faktor penting kemampuan ginjal untuk
mengeliminasi hidrogen dan bikarbonat. Pasien ini menderita asidosis moderat.Simptomnya
adalah anoreksia, letargi, dan mual. Simptom Kussmaul’s breathing disebabkan asidosis.
Simptom Gastrointestinal
Simptom gastrointestinal , terutama esofagus, perut, duodenum, dan pankreas,
menunjukkan banyak simptom dengan kasus sindrom uremik. Yang paling sering adalah tanda-
tanda awal penyakit yaitu mual (nausea), muntah, dan anoreksia.Inflamasi gastrointestinal seperti
gastritis, duodenitis, dan esofagitis sering pada gagal ginjal dan dapat mempengaruhi seluruh
traktus gastrointestinal.
Tanda-tanda dan Simptom Neurologis
Beberapa tanda-tanda awal dan simptom pada CKD berhubungan dengan sistem
neurologis.Sistem nervus sentral dan periferal terlibat, dengan konsekuensi yang
beragam.Derajat gangguan serebral secara kasar paralel dengan derajat
azotemia.Elektroensefalogram pasien menjadi abnormal, dengan perubahan sepadandengan
ensalopati metabolik.Dengan penyakit yang semakin berkembang, asterixis dan sentakan
mioklonikmenjadi jelas; iritabilitas sistem nervus sentral dan kejang dapat terjadi.
Bersama hiperiritabilitas neurologis, neuropati periferal biasanya muncul sebagai hasil
gangguan mekanisme konduksi daripada kehilangan kuantatif dari fiber nervus.Keluhan pasien
yang utama adalah parastesia atau “burning feet”, yang dapat berkembang kepada otot yang
melemah, atrofi, dan paralisis.Efek-efek predominan ekstrimitas bawah tetapi dapat memberi
efek pada ekstremitas atas juga.Fasial, oral, dan regio perioral jarang terkena efek.Neuropati
uremik parah jarang dijumpai saat ini karena dialisis atau transplantasi biasanya dilakukan
sebelum simptom uremik diperpanjang atau semakin parah.
-RINGKASAN OM 2009- 108
Perawatan gagal ginjal dapat juga menimbulkan perkembangan abnormalitas neurologis
dalam bentuk disequilibrium dialisis, yang dapat ditemui ketika perawatan dialisis pertama atau
kedua dengan karakteristik sakit kepala, mual (nausea), dan iritabilitas yang dapat menimbulkan
kejang, koma, dan kematian.Hal ini jarang karena tindakan pencegahan sudah diambil pada saat
perawatan tahap awal dengan tidak mengurangi toksin uremik dari darah terlalu cepat.
Masalah Hematologis (Hematologic Problems)
Pasien dengan CKD (Chronic Kidney Disease) biasanya memiliki masalah hematologis,
kebanyakan pada umumnya adalah anemia dan meningkatnya pendarahan. Patogenesis dari
anemia tersebut dikarenakan beberapa faktor, yaitu defisiensi nutrisi, abnormalitas metabolisme
zat besi, dan sirkulasi toksin uremik yang menghambat erythropoiesis. Semua faktor ini memiliki
peranan masing-masing. Namun, faktor utama adalah ketidakmampuan ginjal untuk
menghasilkan erythropoietin, yang merangsang sumsum tulang untuk menghasilkan sel darah
merah.Recombinant human erythropoietin (epoetin alfa) menghilangkan perlunya dilakukan
transfusi pada pasien. Dosis 50-150 U/Kg dari berat badan IV tiga kali seminggu menghasilkan
peningkatan hematokrit, yang disertai peningkatan hemoglobin, viskositas darah, dan masa sel
renal.
Pendarahan merupakan masalah penting dalam stadium akhir gagal ginjal, dan berkaitan
dengan bertambahnya aktivitas prostasiklin, bertambahnya kerapuhan kapiler, dan defisiensi
platelet faktor 3. Resiko pendarahan pada pasien dengan gagal ginjal dihasilkan dari kerusakan
platelet karena toksin uremik yang mengurangi daya lekat platelet. Kerusakan platelet ini dapat
diperbaiki dengan dialisis, namun dapat juga dengan cryoprecipitate atau l-deamino-8-d-
argininevasopressin(DDAVP).
Kalsium dan Gangguan Skeletal (Renal Osteodystrophy)
“Renal Osteodystrophy” atau RO mengacu pada perubahan skeletal yang dihasilkan dari
penyakit ginjal kronis dan disebabkan oleh ganguan metabolisme kalsium dan fosfor,
metabolisme vitamin D yang abnormal, dan meningkatnya aktivitas paratiroid. Pada gagal ginjal
stadium awal, absorpsi kalsium berkurang dikarenakan ginjal tidak dapat mengubah vitamin D
ke dalam bentuk aktif. Pada beberapa kasus, RO menjadi bertambah parah ketika hemodialisis,
-RINGKASAN OM 2009- 109
perubahan yang menjadi lebih cepat adalah remodeling tulang, osteomalasia, osteitis fibrosa
cystica, dan osteosklerosis. Sedangkan manifestasi metabolik RO pada rahang adalah
demineralisasi tulang, berkurangnya trabekula, tampilan “ground-glass”, hilangnya lamina dura,
lesi sel besar yang radiolusen, dan kalsifikasi jaringan lunak metastatik. Pasien osteodystrophy
biasa diberikan protein-restricted diets dan phosphate binders untuk menjaga serum fosfor pada
batas normal, suplemen vitamin D, dan medikasi untuk reseptor kalsium.
Manifestasi Kardiovaskular
Hipertensi dan gagal jantung kongestif merupakan manifestasi umum dari sindrom
uremik. Asosiasi dari sirkulasi yang berlebih dan hipertensi menyebabkan gangguan pada
keseimbangan sodium dan air sehingga meningkatkan prevalensi terjadinya gagal jantung
kongestif. Sebagai tambahan, retinopathy dan encephalopathy dapat terjadi karena hipertensi
yang parah.
Gejala Pernapasan
Pernapasan Kussmaul (pernapasan yang sangat dalam merupakan respon terhadap
metabolik asidosis) dapat terlihat disertai uremia. Komplikasi pernapasan lainnya, penumonitis
dan “uremic lung” merupakan hasil dari edema pulmonaris yang terkait dengan retensi cairan
dan sodium dan/atau gagal jantung kongestif.
Perubahan Immunologis
Morbiditas signifikan yang dialami oleh pasien dapat dikaitkan dengan perubahan
pertahanan tubuh mereka. Plasma uremik mengandung faktor nondialyzable yang dapat menekan
respon limfosit yang bermanifestasi pada tingkat selular dan humoral, seperti disfungsi
granulosit, imunitas sel perantara yang tertekan, dan berkurangnya kemampuan untuk
menghasilkan antibodi. Selain itu, lapisan mukokutan yang rusak atau terganggu dapat
menurunkan perlindungan terhadap patogen dari lingkungan. Gangguan tersebut menempatkan
pasien uremik pada kondisi dengan resiko tinggi terhadap infeksi, yang merupakan penyebab
umum dari morbiditas dan mortalitas.
-RINGKASAN OM 2009- 110
5.5.2.3 Manifestasi Oral
Adanya gangguan fungsi ginjal, berkurangnya GFR (Glomerular Filtration Rate),
akumulasi dan retensi dari berbagai senyawa yang dihasilkan dari gagal ginjal, rongga mulut
dapat menunjukkan berbagai perubahan sebagaimana tubuh berkembang dari keadaan azotemik
ke keadaan uremik (Tabel 5.2).
Tabel 5.2 Manifestasi dan Manifestasi Oral Penyakit Ginjal
Pada penelitian terhadap pasien ginjal, sampai 90% ditemukan memiliki gejala oral
uremia. Tanda-tanda yang dapat terlihat diantaranya adalah tercium bau dan pengecapan seperti
bau ammonia, stomatitis, gingivitis, berkurangnya aliran saliva, xerostomia, dan parotitis.
-RINGKASAN OM 2009- 111
Ketika gagal ginjal mulai terbentuk, gejala awal yang dapat ditemukan adalah pegecapan
dan bau mulut yang tidak sedap, khususnya di pagi hari, hal ini dikarenakan konsentrasi urea
yang tinggi pada saliva. Peningkatan secara akut dari tingkat BUN (Blood Urea Nitrogen) dapat
menyebabkan stomatitis uremik yang timbul dalam bentuk erythemopultaceous dengan
karakteristik mukosa yang merah dan dilapisi eksudat tebal dan pseudomembran atau dalam
bentuk ulseratif dengan karakteristik ulserasi frank dengan warna kemerahan dan lapisan
pultaceous. Temuan oral lain yang sering ditemukan adalah xerostomia, kemungkinan
disebabkan oleh kombinasi keterlibatan langsung dari kelenjar saliva, inflamasi kimiawi,
dehidrasi, dan mouth breathing (Kussmaul’s respiration). Pembengkakkan kelenjar saliva juga
biasa ditemukan.
Manifestasi oral lain dari gagal ginjal berhubungan dengan RO (Renal Osteodystrophy)
atau HPTH (hyperparathyroidism) sekunder. Tanda klasik dari RO pada mandibula dan maksila
adalah demineralisasi tulang, hilangnya trabekula, tampilan ground-glass, kehilangan total atau
sebagian dari lamina dura, lesi sel besar atau brown tumor, dan kalsifikasi metastatik (Gambar
5.1).
Gambar 5.1 Tampilan Radiografi Manifestasi Oral penyakit Ginjal
Meskipun tulang mengalami dekalsifikasi, gigi yang sudah terbentuk secara utuh tidak
akan terpengaruh secara langsung, akan tetapi karena adanya dekalsifikasi skeletal, gigi akan
terlihat lebih radioopak. Lesi radiolusen dari HPTH disebut “brown tumor” karena mengandung
area hemorage yang sudah lama dan tampak berwarna coklat pada pemeriksaan klinis.
-RINGKASAN OM 2009- 112
Manifestasi klinis lain dari RO yaitu kegoyangan gigi, maloklusi, dan kalsifikasi jaringan
lunak metastatik. Bertambahnya kegoyangan dan pergeseren gigi dengan adanya poket
periodontal patologis dapat terlihat, hal ini kemudian dapat menyebabkan terjadinya
maloklusi.Kalsifikasi metastatik dapat terjadi terutama ketika tanda multiplikasi kalsium-fosfat
(Ca x P) > 70. Bertambahnya senyawa ion kalsium-fosfat pada cairan ekstraseluler dapat
menyebabkan kalsifikasi metastatik karena pengendapan dari kristal kalsium-fosfat kedalam
jaringan lunak, seperti sklera, ujung mata, jaringan subkutan, otot skeletal dan jantung, dan
pembuluh darah. Hal ini juga dapat terjadi pada mulut dan jaringan lunak sekitar mulut.
Kalsifikasi ini dapat terlihat secara radiografis.
Hipoplasia enamel (pewarnaan keputihan atau kecoklatan) sering terlihat pada pasien
dengan gagal ginjal yang dimulai pada usia muda. Lokasi hipoplasia enamel pada gigi permanen
dapat menunjukkan onset dimulainya gagal ginjal mulai berkembang. Penggunaan kortikostreoid
yang berkepanjangan mungkin berkontribusi terhadap defisiensi ini (Gambar 5.1). Temuan
dental lain yang sering dijumpai adalah penyempitan dan kalsifikasi pulpa. Pada beberapa pasien
yang menjalani dialisis, erosi gigi yang parah sebagai hasil dari nausea dan vomiting setelah
menjalani perawatan dialisis dapat terlihat. Karena platelet berubah seiring terdapatnya gagal
ginjal dan dilakukannya perawatan dialisis, pendarahan gingiva sering kali menjadi keluhan
pasien. Perbaikan tulang yang abnormal setelah ekstraksi gigi, atau biasa disebut dengan istilah
“socket sclerosis” yang secara radiografi memiliki karakteristik kurangnya resorpsi lamina dura
dan dengan tulang sklerotik yang membatasi lamina dura, dapat ditemukan pada pasien dengan
gagal ginjal (Gambar 5.2).
Gambar 5.2 A. Hipoplasia Enamel B. Tulang Sklerotik
5.5.2.4 Penatalaksanaan Medis CRF (Chronic Renal Failure)
-RINGKASAN OM 2009- 113
Perawatan CRF terbagi dalam (1) terapi konservatif yang bertujuan untuk menunda
disfungsi ginjal yang progresif dan (2) terapi penggantian ginjal, dilakukan ketika tindakan
konservatif tidak lagi efektif dalam mempertahankan kelangsungan hidup.
Terapi Konservatif
Tindakan konservatif dilakukan ketika pasien menjadi azotemik. Terapi konservatif awal
diarahkan dengan mengatur diet, cairan, elektrolit, keseimbangan kalsium-fosfat dan menuju
pencegahan serta perawatan dari komplikasi. Modifikasi diet dimulai dengan onset dari gejala
uremik. Regulasi diet protein (20-40 g/hari) dapat memperbaiki asidosis, azotemia, dan nausea.
Pembatasan protein tak hanya mengurangi tingkat BUN, tetapi juga asupan potasium dan fosfat
serta pembentukan ion hidrogen. Selain itu juga, asupan rendah protein mengurangi beban
ekskresi dari ginjal, dengan demikian mengurangi hiperfiltrasi glomerular, tekanan
intraglomerular, dan cedera sekunder dari nefron. Pada pasien dengan insufisiensi ginjal awal,
pencegahan dari hiperfosfatemia dengan membatasi asupan makanan yang mengandung fosfat
dan mengkonsumsi suplemen diet yang mengandung kalsium karbonat (untuk mencegah
absorpsi intestinal) dapat secara potensial meminimalisir sekuel dari osteodistrofi uremik.
Untuk memperbaiki disfungsi ginjal, mengurangi komplikasi uremik, dan
mempersiapkan pasien untuk terapi penggantian ginjal, penyedia perawatan medis harus “take
care of the BEANS” sebagai berikut. Tekanan darah harus dijaga pada kisaran target lebih rendah
dari 130/80 mmHg, tingkat hemoglobin harus berada 10-12 g/dL dengan menggunakan agen
yang menstimulasi erythropoietin, hiperlipidemia dirawat menggunakan “statin” lipid-lowering
medication, menghentikan kebiasaan merokok. Akses untuk dialisis harus dibuat ketika serum
kreatinin mencapai >4.0 mg/dL atau GFR turun ke <20 mL/min. Keadaan ini juga merupakan
waktu yang sesuai untuk merujuk pasien untuk evaluasi transplantasi ginjal. Pemantauan ketat
dari keadaan nutrisi pasien penting untuk menghindari malnutrisi protein, memperbaiki asidosis
metabolik, mencegah dan mengobati hiperfosfatemia, pemberian suplemen vitamin, dan
mengarahkan untuk dimulainya terapi dialisis.
Terapi Penggantian Ginjal
-RINGKASAN OM 2009- 114
Tidak ada pedoman yang jelas untuk menentukan kapan terapi penggantian ginjal harus
dilakukan. Kebanyakan nephrologist mendasari keputusan mereka pada kemampuan individual
pasien untuk bekerja full-time, adanya neuropati perifer, dan adanya tanda-tanda lain dari
kerusakan klinis atau gejala uremik. Kebanyakan nephrologistakan memulai dialisis ketika GFR
<15 cc/min pada pasien diabetes dan <10 cc/min pada pasien non diabetes. Terdapat beberapa
indikasi klinis untuk memulai perawatan dialisis. Diantaranya adalah perikarditis, kelebihan
cairan atau pulmonary edema refractoryto diuretics, hipertensi akibat respon yang buruk dari
medikasi antihipertensif, ensefalopati atau neuropati uremik progresif, pendarahan klinis yang
terkait dengan uremia, dan nausea atau vomiting yang persisten. Terdapat dua teknik utama
dalam dialisis, yaitu hemodialisis dan peritoneal dialisis. Keduanya mengikuti prinsip dasar dari
difusi dari larutan dan air dari plasma ke larutan dialisis sebagai respon terhadap gradient
konsentrasi atau tekanan.
Hemodialisis
Hemodialisis adalah pembuangan nitrogen dan beracun produk metabolisme dari darah
dengan cara sistem hemodialyzer. Pertukaran terjadi antara plasma dan pasien dialisat
(komposisi elektrolit yang meniru cairan ekstraseluler) di membran semipermeabel yang
memungkinkan racun uremik untuk berdifusi keluar dari plasma sementara tetap
mempertahankan element dan protein pembentuk darah (Gambar 15-5). Dialisis tidak
memberikan derajat kesehatan yang sama dari Dalam fungsi dibadingkan ginjal normal, karena
tidak ada Kemampuan resorpsi pada membran dialisis; Oleh karena itu, nutrisi yang berharga
hilang, dan molekul yang berpotensi toksik tetap bertahan. Sistem dialisis biasa terdiri dari
dialyzer sebuah, unit produksi dialisat, roller pepompa darah, pompa infus heparin , dan berbagai
perangkat untuk memantau konduktivitas, temperatur,laju aliran, dan tekanan dialisat dan untuk
mendeteksi kebocoran darah dan tekanan arteri dan vena.
Terapi dialisis dapat diberikan kepada pasien rawat jalan dipusat dialisis, di mana
personil terlatih dalam pemberian terapi secara reguler atau dirumah, dimana anggota keluarga
telah diberi pelatihan cara dialysis untuk membantu pasien dalam melakukan terapi dialysis.
Hasil membuktikan baha pasien yang melakukan terapi dialisis dirumah memiliki psikologis
-RINGKASAN OM 2009- 115
yang lebih baik. Namun sayangnya dialisi dirumah tidak dapat diberikan pada semua pasien
karena lebih sulit dan membutuhkan motivasi yang kuat.
Frekuensi dan durasi perawatan dialisis adalah terkait dengan ukuran tubuh, fungsi ginjal
residual, asupan protein, dan toleransi terhadap pembuangan cairan. Pasien pada umumnya
melakukan hemodialisis tiga kali per minggu, dengan masing-masing sesi berlangsung sekitar 3
sampai 4 jam pada unit dialisis standar dan waktu yang lebih sedikit pada unit dialisis high
effeciency atau high-flux. Selama perawatan dan padawaktu yang bervariasi sesudahnya,
antikoagulan akan diberikan secara regional atau dengan cara sistemik. Akses vaskular pada
hemodialisis dapat dibuat dengan shunt atau sistem kanula eksternal atau oleh fistula
arteriovenosa; itu fistula lebih disukai untuk pengobatan jangka panjang Konstruksi klasik adalah
anastomosis sisi ke sisi antara arteri radial dan vena cephalic di lengan bawah. Pada pasien
dengan nadi yang sangat tipis, secara teknis tidak mungkin untuk membuat fistula arteriovenosa
secara langsung, dan pada beberapa pasien, fistula memiliki gumpalan di kedua lengan,
menyebabkan keharusan untuk membuat bentuk akses vascular lain (terkadang bagian paha
digunakan sebagai tempat yang baru). kemajuan besar dalam pembuatan akses dikenalkan
dengan cara cangkok arterivenous artifisial secara subkutan dimulai dengan Heterografts Gore-
Tex (WL Gore, Flagstaff, Ariz.). Pada saat ini Fistula dibentuk antara arteri dan vena dengan
menggunakan vena saphena, autografts, cangkok polytetrafluoroethylene (PTFE), Dacron, dan
saluran prostetik lainnya.
-RINGKASAN OM 2009- 116
Gambar 5.3 A. Dialysate, B. Dialysis unit, C. Pasien menerima perawatan dialysis, D. Akses
pada pasien
Hemodialysis dilakukan dengan kanul secara langsung dengan menggunakan graft atau
anastomosis vascular. (gambar 5.4). Terdapat peningkatan trend terhadap penggunaan kateter
vena central untuk peraatan hemodilisis.
Walaupun dilakukan dialysis optimal, pasien-pasien tersebut tetap sakit secara kronis
dengan permasalahan hematologis, metabolisme, neurologis, dan kardiovaskular yang dapat
dikatakan permanen. Alterasi pada pertumbuhan dapat terlihat pada pasien muda dengan
penyakit ginjal, terutama jika mereka melakukan hemodialysis secara rutin. Die suplemen dapat
mengalterasi tingkat pertumbuhan dan transplantasi ginjal yang sukses dapat mengembalikan
pertumbuhan secara normal. Faktor utama yang menentukan adalah usia tulang. Pada pasien
diatas 12 tahun sangat diragukan untuk mendapatkan pertumbuhan yang normal.
Gambar 5.4 Tempat akses vascular pada tangan
-RINGKASAN OM 2009- 117
Peritoneal dialysis
Dialisis peritoneal menyumbang hanya 10% dari perawatan dialisis. Selama dialisis
peritoneal, akses ke tubuh dicapai melalui kateter melalui dinding perut ke dalam peritoneum.
Satu sampai dua liter dialisat ditempatkan di peritoneal yang rongga dan diperbolehkan untuk
tetap berada disitu untuk beberapa intervalwaktu yang berbeda. Zat berdifusi melintasi
membrane peritoneal semipermeable menuju dialysate. Dibandingkan dengan membrane untuk
hemodialysis, membrane peritoneal memiliki permeabilitas yang lebih besar terhadap spesies
berat molekul yang tinggi. Kateter Tenckhoff silastic membuat lubang pada peritoneal setiap kali
akan dilakukan dialysis tidak diperlukan. Kateter Tenckhoff merupakan kateter intraperitoneal
permanen yang memiliki dua gelang polister yang masuk kedalam jaringan yang berkembang.
Jika digunakan dengan teknik yang steril, maka dapat digunakan sebagai akses ke peritoneum
yang dapat digunakan secara jangka panjang dan bebas infeksi (Gambar 15-7).
Beberapa regimen dapat digunakan dengan peritoneal dialysis. Salah satu adalah
ambulatory peritoneal dialysis (CAPD), 2 L dari cairan dialysis dimasukkan kedalam kavitas
peritoneum selama 30 menit dan kemudian dikeluarkan. Hal ini dilakukan setiap 8-12 jam, 5-7
hari per minggu. Variasi yang popular adalah Continous cyclic peritoneal dialysis (CCPD),
dimana 2 L dialysate diganti setiap 6-8 jam, selama 7 hari seminggu.
Dua keuntungan dari peritoneal dialysis adalah heparinisasi tidak diperlukan dan tidak
ada resiko adanya emoli udara dan kebocoran darah. Hal ini juga memerikan kebebasan
personal, untuk alas an ini terapi peritoneal dialysis dapat digunakan sebagai terapi utama atau
terapi sementara. Beberapa kelebihan ini dan juga kemudahan dalam dialysis, menjadikan
peritoneal dialysis aman untuk pasien yang memiliki resiko apaila melakukan hemodialysis
( Umur muda, pasien tua, psien dengan resiko penyakit jantung dan cerebral vskular dan pasien
dengan kesulitan akses vaskular). Beberapa masalah yang muncul pada peritoneal dialysis adalah
rasa sakit, perdarahan intra abdominal, owel infraction, drainase yang kurang, dan peritonitis
(kurang lebih 70% dikarenakan bakteri gram positif yang terdapat pada kulit atau saluran
pernapasan pasien dan menginfeksi kavitas peritoneal).
Sekarang ini transplatasi ginjal merupakan perawatan pilihan pada pasien gagal ginja
irversible. Tetapi penggunaan transplatasi terbatas pada ketersediaan organ.
-RINGKASAN OM 2009- 118
A. B.
C.
Gambar 5.5 A. Dialysate untuk chronic ambulatory peritoneal dialysis, B. pasien yang menerima
terapi dialysis C. akses peritoneal
Pendekatan Lain Untuk Solute Removal
Banyak pasien terus memiliki berbagai gangguan dalam fungsi metabolisme meskipun
memiliki dialisis yang optimal, menjaga metabolit uremik (misalnya, urea, kreatinin, dan fosfat)
pada tingkat hampir normal. Observasi ini telah menyebabkan peneliti untuk menyatakan bahwa
racun uremik dari berat molekul antara urea (<500 D a) dan protein plasma (> 50.000 D a),
secara efektif tidak tersaring oleh dialisis, menjelaskan kelainan klinis. Teori ini, disebut
hipotesis molekul tengah, telah menyebabkan pengembangan dua teknik: hemofiltration (HF)
dan terapi penyerapan. Hemofiltration didasarkan p.ada prinsip konveksi dan didasarkan pada
fungsi fisiologis dari glomerulus. Dalam HF, teknik dialisis standar dimodifikasi oleh prediluting
darah yang berurutan dengan larutan elektrolit yang mirip dengan plasma dan kemudian
"ultrafiltering "di bawah tekanan hidrolik tinggi.
-RINGKASAN OM 2009- 119
Teknik ini lebih efisien daripada dialisis dalam menghilangkan zat terlarut dalam kisaran
molekul menengah dan hasil pada pasien yang merasa baik dan memiliki ketidakstabilan
hemodinamik. Teknik adaptif digunakan dengan perawatan dialisis atau untuk pasien dengan
fungsi ginjal residual yang signifikan (GFR dari 5 sampai 10 mL / menit) termasuk penggunaan
bahan penyerap untuk menghilangkan zat terlarut. Serapan ini dapat digunakan melalui tindakan
langsung pada aliran darah (hemoperfusion), melalui regenerasi dialisat (REDY sorbent
hemodialysis), atau tidak langsung, melalui pengenalan ke usus. Sistem Recirculating DialYsis
(REDY 2000, system REDY Sorbent), yang awalnya diproduksi oleh Organon Teknika dan
sekarang oleh Gambro Healthcare, Inc, berbeda dari biasa single-pass dialysis setelah melewati
dialyzer, cairan dialisat dibuat ulang oleh REDY , daripada dibuang, dengan melewati sorbent
cartridge.
Pertimbangan Kesehatan Gigi
Untuk keperluan manajemen gigi, pasien dengan penyakit ginjal dapat dikategorikan ke
dalam dua kelompok: pasien dengan ARF dan pasien dengan kemajuan gagal ginjal kronis atau
gagal ginjal stadium akhir yang sedang menjalani dialisis. Pertimbangan manajemen gigi untuk
pasien dengan penyakit ginjal.
Pasien ARF
ARF ini paling sering diamati pada orang dewasa muda yang sehat setelah cedera pada
tubulus ginjal sebagai akibat dari agen beracun, penyakit necrotizing glomerulus yang parah,
atau komplikasi dari operasi, termasuk perdarahan dan transfusi. Pasien dengan ARF tidak
disarankan untuk perawatan gigi elektif, dan beberapa pasien dengan ARF membutuhkan
lembaga terapi dialisis. Dalam kasus tersebut, perawatan gigi elektif harus ditunda sampai pasien
membuat pemulihan ginjal lengkap. Dialisis peritoneal umumnya tidak menimbulkan
kontraindikasi untuk perawatan gigi, kecuali pada saat infeksi peritoneal akut, ketika perawatan
elektif harus ditunda.
Pasien CRF dan ESRD
-RINGKASAN OM 2009- 120
Banyak pasien dengan penyakit ginjal kronis memiliki kesehatan mulut yang buruk. Hasil
studi menilai kebutuhan gigi pasien hemodialisis menunjukkan bahwa 64% dari pasien-pasien ini
membutuhkan perawatan gigi dan sebagian besar pasien ini tidak menyadari kemungkinan
komplikasi kelalaian gigi saat hemodialysis. Selain lebih umum alasan untuk tidak menerima
perawatan gigi rutin, pasien ini memiliki akses terbatas ke perawatan gigi karena banyak dokter
gigi umum enggan untuk mengobati pasien dengan penyakit sistemik yang berat. Sebagian besar
pusat dialisis merujuk pasien mereka pada dokter umum untuk dilakukan pengobatan, penting
bahwa dokter gigi umum lebih mengenal masalah manajemen masalah terkait dengan pasien
ESRD yang sedang menjalani dialisis.
Perdarahan yang berlebihan dan anemia adalah dua kondisi hematologi utama yang
paling sering mempengaruhi pasien dengan uremia dan gagal ginjal. Perdarahan pada pasien ini
cenderung dikaitkan dengan kombinasi cacat trombosit kualitatif dan kuantitatif, peningkatan
aktivitas prostasiklin, defek koagulasi intrinsik, dan kerapuhan kapiler. Kecenderungan
hemoragik ini dapat diperbesar dengan adanya uremia. Perdarahan di gingiva yang tidak biasa.
Ulserasi dan lesi purpural atau petekie dapat dicatat di seluruh mukosa mulut. Memar setelah
trauma umum terjadi, dan pembentukan hematoma harus diharapkan setelah alveolectomy atau
operasi periodontal. Tindakan hemostatik adaptif harus dipertimbangkan untuk pasien yang
berisiko. DDAVP (1-deamino-8-d-arginine vasopressin), analog sintetis dari vasopressin hormon
antidiuretik, telah terbukti efektif dalam pengelolaan jangka pendek perdarahan pada pasien
dengan gagal ginjal. Efek estrogen terkonjugasi, yang digunakan untuk hemostasis jangka
panjang, biasanya berlangsung sampai 2 minggu, dibandingkan dengan beberapa jam untuk
DDAVP. Asam traneksamat (agen antifibrinolytic) diberikan dalam bentuk obat kumur atau
direndam kasa secara signifikan mengurangi perdarahan operasi dan pasca operasi. Teknik bedah
teliti, penutupan primer, dan hemostatik lokal seperti kolagen microfibrillar dan selulosa
teroksidasi diregenerasi harus digunakan sebagai standar perawatan. Meskipun jarang, efusi
hemoragik ke dalam ruang sendi temporomandibular menyajikan sebagai nyeri dan
pembengkakan telah dilaporkan pada pasien yang menjalani dialisis dan terapi antikoagulan
sistemik.
Waktu perawatan gigi bagi pasien yang sedang menjalani dialisis telah lama menjadi
sumber diskusi dalam literatur. Sejak dialisis akan kembali hidrasi, elektrolit serum, urea
-RINGKASAN OM 2009- 121
nitrogen, dan kreatinin menuju tingkat normal, argumen telah dibuat untuk mengobati pasien
dalam pengaturan gigi pada hari perawatan dialisis. Argumen ini dimentahkan oleh fakta bahwa
pasien sering tidak merasa baik setelah menjalani dialisis dan bahwa mereka mengalami
heparinize. Idealnya, prosedur elektif gigi, serta ekstraksi dan operasi lainnya, harus dilakukan
pada hari-hari nondialysis sedini mungkin dari perawatan dialisis berikutnya. Pada titik ini, darah
bebas dari racun uremik, dan pasien cukup jauh dari dialisis untuk memberikan waktu yang
cukup setelah operasi untuk pembekuan sebelum siklus berikutnya dan eheparinization. Sangat
kecil kemungkinan bahwa pasien akan memiliki cacat pembekuan yang disebabkan disfungsi
platelet-uremia terkait, yang berkembang karena ditahan metabolit urea. Sebuah jumlah
trombosit dan darah lengkap adalah panduan penting bagi praktisi gigi berkaitan dengan
pengelolaan perdarahan kecenderungan dan kondisi anemia. Namun, karena pasien secara fisik
dan emosional kelelahan dan tidak merasa baik setelah perawatan dialisis, prosedur gigi elektif
harus dijadwalkan pada hari nondialysis, ketika pasien lebih mungkin untuk mentolerir
perawatan.
Selain melayani sebagai tempat potensial untuk infeksi, situs AV tidak boleh
membahayakan. Lengan dengan akses vaskular harus diidentifikasi dan dicatat pada grafik
pasien dengan instruksi untuk menghindari baik injeksi obat intramuskular dan IV ke lengan ,
dan situs akses sebaiknya tidak digunakan sebagai tempat penyuntikan. Aliran darah melalui
lengan tidak boleh terhambat dengan meminta pasien untuk mengambil posisi sempit atau
dengan menggunakan lengan untuk mengukur tekanan darah. Ketika situs akses terletak di kaki,
pasien harus menghindari duduk untuk waktu yang lama. Menghalangi vena drainase dengan
kompresi di pangkal paha atau di belakang lutut harus dihindari, terutama karena cenderung
terjadi biasanya ketika pasien dalam posisi duduk. Pasien tersebut harus diijinkan untuk berjalan-
jalan selama beberapa menit setiap jam selama prosedur gigi yang panjang.
Kerentanan terhadap infeksi merupakan masalah serius bagi pasien dengan uremia atau
ESRD yang menjalani hemodialysis. Pasien ini memiliki kerentanan terhadap infeksi bakteri
yang dihasilkan dari imunitas seluler sekunder terhadap efek racun uremik dikombinasikan
dengan kekurangan gizi dari diet protein. Penyakit mulut dan manipulasi gigi membuat bakteri
yang dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan pada pasien dengan gagal
ginjal yang sedang menjalani hemodialisis. Mayoritas infeksi septicemia telah dikaitkan dengan
-RINGKASAN OM 2009- 122
situs akses vaskular, tetapi penyakit mulut seperti penyakit periodontal, infeksi pulpa, dan
ulserasi mulut, bersama dengan perawatan gigi, dapat memberikan mikroorganisme dengan
akses yang mudah masuk ke sistem peredaran darah. Oleh karena itu, setiap upaya harus
dilakukan untuk menghilangkan potensi sumber infeksi. Kebersihan mulut, termasuk perawatan
yang baik di rumah, perawatan kesehatan mulut, dan penggunaan antijamur dan antimikroba,
yang rutin dapat mengurangi risiko infeksi dental.
Infeksi Endokarditis merupakan masalah serius pada pasien hemodialisis. Sepsis dan
bakteri endarteritis terjadi dari infeksi di lokasi masuk jarum oleh organisme. Infeksi
Endokarditis telah dilaporkan pada pasien dengan cangkok akses hemodialisis setelah menerima
perawatan gigi. Insiden infeksi endokarditis pada pasien yang menjalani hemodialisis adalah
2.7%. Pada pasien dengan riwayat infeksi akses vaskular, kejadian meningkat menjadi 9,0%.
Viridans Streptococcus menyumbang hampir sepertiga dari kasus infeksi endokarditis,
sedangkan organisme staphylococcal seperti Staphylococcus epidermidis dan Staphylococcus
aureus berperan untuk sebagian besar kasus. Penyebab endokarditis pada pasien ini masih bisa
diperdebatkan tetapi tampaknya berkaitan dengan kombinasi akses pembuluh darah dan patologi
intrinsik kardiovalvular. Penjahitan AV shunt atau graft sintetis (fistula) meningkatkan risiko
kolonisasi infeksi pada garis jahitan atau perbedaan permukaan antara intima arteri normal dan
prosthetic pseudointima. Daerah tersebut dapat memberikan nidus untuk bakteri intravaskular,
menyebabkan pertahanan dari bakteri (seperti salah satu yang dihasilkan dari manipulasi gigi),
dengan endarteritis berikutnya, embolisasi, dan infeksi. Sebuah periode kerentanan tinggi
terhadap infeksi biasanya terlihat dalam 3 bulan pertama setelah implantasi (risiko tertinggi
dalam 3 minggu pertama), setelah itu terjadi penurunan bertahap pada risiko. Pengurangan risiko
ini mungkin disebabkan oleh "efek isolasi" dari berkembangnya pseudointima dan
endothelialization.
Infeksi endokarditis biasanya mengenai pasien dengan riwayat katup jantung yang
abnormal namun dapat juga terjadi pada pasien hemodialisis tanpa menunjukan adanya
valvulopathy. Hal ini terjadi pada pasien uremia dan hemodialis karena ada hubungannya dengan
perubahan volume cairan yang berpengaruh pada aliran darah yang melewati jantung serta fungsi
jantung.
-RINGKASAN OM 2009- 123
Profilaksis harus diberikan dalam mencegah infeksi endokarditis dengan pemberian
antibiotik, bergantung pada jenis mikroorganisme yang ada. Antibiotik pilihan biasanya (1)
amoxicillin atau clindamycin, (2) antibiotik spektrum luas seperti oral clarithromycin atau IV
vancomycin apabila pasien hipersensitif terhadap penicillin atau clindamycin.
Biasanya pasien terekspos terhadap transfusi darah dalam jumlah yang banyak, maupun
perubahan yang dikarenakan oleh gagal ginjal mempunyai tingkat risiko lebih tinggi dalam
terkena hepatopic viral infection seperti hepatitis B dan C, HIV, serta tuberculosis.
Pasien yang sedang menjalani hemodialisis, biasanya menderita hipertensi, postdialisis
hipotensi, kongestive heart failure, dan pulmonary hipertensi. Dimana hipertensi dalam End
Stage Renal Disease (ESRD) dapat menunju pada atherosclerosis.
Tabel 5.2 Obat yang dibatasi atau dihindari saat merawat Pasien Dialysis.
-RINGKASAN OM 2009- 124
-RINGKASAN OM 2009- 125
BAB VI
DIABETES MELLITUS
Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik baik klinis dan genetik yang ditandai
dengan peningkatan gula darah (hiperglikemia) yang tidak normal dan kegagalan dalam mengatur
metabolisme karbohidrat, protein, dan lipid. gejala utama adalah hiperglikemia kronis yang diakibatkan
karena ketidakmampuan pankreas dalam mensekresi insulin atau resistensi aksi insulin oleh sel-sel tubuh,
atau keduanya. Hiperglikemia yang berkelanjutan dapat mempengaruhi hampir seluruh jaringan tubuh
dan berhubungan dengan komplikasisistem organ tubuh seperti mata, saraf, ginjal, dan pembuluh darah.
6.1 Epidemiologi
Prevalensi DM di dunia di tahun 2000 pada laki-laki dan perempuan sama, usia kurang dari sama
dengan 20 tahun sebesar 0,19%, di atas 20 tahun 8,6% di atas 20 tahun, dan 20,1% pada usia lebih dari 65
tahun. Di Amerika Serikat, 20,8 juta atau 7% penduduk memiliki DM, dimana 6,2 juta penduduk tidak
terdiagnosis. Pada tahun 2005, ditemukan 1,5 juta kasus DM baru dengan usia minimal 20 tahun.
Insidensi DM meningkat seiring bertambahnya usia dan prevalensi obesitas. Menurut data prevalensi
Amerika Serikat, rata-rata 60-70 dalam 1000 pasien menderita DM, dan 50% diantaranya tidak
terdiagnosa secara klinis (Greenberg, 2008).
6.2 Patofisiologi
Berhubungan dengan perubahan metabolisme karbohidrat dan aksi insulin. Setelah makan,
penguraian karbohidrat meningkatkan kadar gula darah. Keadaan hiperglikemi menstimulasi pelepasan
insulin oleh sel beta pankreas karena insulin dibutuhkan untuk dalam pintu masuknya glukosa. Insulin
berikatan pada reseptor spesifik selular dan memfasilitasi masuknya glukosa ke dalam sel, yang
menggunakan glukosa sebagai energi. Hasilnya adalah menurunya kadar glukosa dalam darah dan
akhirnya menyebabkan turunnya sekresi insulin. Jika ada perubahan produksi dan sekresi insulin karena
suatu penyakit, maka glukosa darah pun berubah. Sebaliknya, jika kadar insulin dalam darah berlebihan
akan mengakibatkan hipoglikemia. Setelah makan, kelebihan glukosa disimpan di hati dalam bentuk
glikogen sebagai cadangan. Jika energi dibutuhkan, glikogen akan diubah menjadi glukosa dengan proses
glikogenolisis, sehingga kadar glukosa darah meningkat. Glukosa juga diproduksi hati dari lemak dan
-RINGKASAN OM 2009- 126
protein (asam amino) melalui proses glukoneogenesis. Baik glikogenolisis dan glukoneogenesis dapat
meningkatkan kadar gula darah. Glikemia diatur oleh beberapa hormon seperti glukagon, katekolamin,
Growth Hormone (GH), hormon tiroid, dan glukokortikoid (Greenberg, 2008).
6.3 Klasifikasi
1) Tipe 1 (diabetes pada usia muda, insulin-dependent diabetes)
Karekteristik dari tipe ini adalah kerusakan autoimun idiopatik dari sel beta pankreas. Terdapat dua
subtipe, yaitu:
a. autoimun, akibat disfungsi autoimun dengan kerusakan sel-sel beta
b. idiopatik tanpa bukti autoimun dan tidak diketahui sumbernya.
Karena pada DM tipe ini tidak dihasilkan insulin, maka bergantung pada terapi insulin. Berat badan
penderita biasanya normal atau kurus, sering terkena diabetik ketoasidosis. Hal ini terjadi karena tidak
adanya insulin yang dihasilkan pankreas membuat glukosa menumpuk dalam darah. Untuk mengimbangi
kebutuhan energi sel, lemak mengalami lipolisis melepaskan gliserol dan asam lemak, gliserol diubah
menjadi glukosa, sedangkan asam lemak diubah menjadi keton, mengakibatkan tingginya kadar keton
dalam darah dan menurunnya ion hidrogen (pH). akumulasi keton dalam tubuh menurunkan pH,
kehilangan cairan elektrolit, dehidrasi, dan perubahan sistem buffer bikarbonat. Diabetik ketoasidosis
yang tidak dirawat dapat mengakibatkan koma dan bahkan kematian.
2) Tipe 2 (diabetes pada usia dewasa, non-insulin-dependent diabetes)
Merupakan tipe DM yang paling banyak. Etiologinya bermacam-macam seperti, predileksi genetik,
usia, obesitas, dan kurang aktifitas. Biasanya penderita DM tipe ini memiliki berat badan yang berlebihan,
dan terdiagnosa saat dewasa. Pengaruh genetik pada DM tipe 2 juga sangat besar. Karakteristiknya (1)
resisten insulin periferal, (2) meningkatnya produksi glukosa oleh hati, (3) kerusakan sekret insulin.
Tingginya kadar gula darah juga meningkatkan kadar insulin dalam darah (hiperinsulinemia). Onset
berjalan lambat, berbeda dengan tipe 1, biasanya resisten terhadap diabetik ketoasidosis. DM tipe 2
membutuhkan terapi insulin, namun tidak bergantung sepenuhnya untuk mempertahankan hidup. Pasien
harus menjaga pola hidup dan makan yang baik.
-RINGKASAN OM 2009- 127
3) Diabetes tipe lain
Adanya kelainan genetik, kelainan pankreas, infeksi, luka pada pankreas, dan penyakit endokrin.
Penyakit genetik yang berkaitan dengan DM tipe ini seperti sindrom Turner, sindrom Down, sindrom
Kleinfelter, sindrom Wolfram, ataxia, Huntington’s chorea, Sindrom Prader-Willi, dll.
4) Gestational diabetes
Biasa terjadi pada kehamilan, namun berhenti setelah kelahiran. Seperti halnya DM tipe 2, DM
ini berkaitan dengan resistensi insulin. Sekitar 30-50% wanita yang pernah mengalami DM tipe ini
berkembang menjadi DM tipe 2 dalam kurun waktu 10 tahun.
Tabel 6.1 Klasifikasi Etiologi Diabetes Mellitus oleh American Diabetes Association (1997).
Klasifikasi Karakteristik
Tipe 1 Destruksi sel beta pankreas, defisiensi insulin absolute
Immune mediated
idiopatik
Tipe 2 Resistensi insulin dengan sedikit defisiensi insulin
Tipe Lain Kerusakan fungsi sel beta secara genetic
Kegagalan aksi insulin secara genetik
Penyakit kelenjar eksokrin pankreas
Penyakit kelenjar endokrin
Pengaruh obat-obatan
Infeksi
-RINGKASAN OM 2009- 128
Immune mediated lainnya
Sindrom lainnya yang berkaitan dengan diabetes
Gestational DM Berlangsung selama kehamilan
Tabel 6.2 Tanda dan Gejala Diabetes Mellitus
Gambaran Klinis DM tipe 1 DM tipe 2
Polidipsi ++ +
Poliuria ++ +
Polifagia ++ -
berkurang berat badan ++ +
Malaise ++ +
Nocturnal enuresis ++ -
Irritability ++ +
Mulut kering ++ +
Infeksi kulit kronis ++ +
Ketoasidosis ++ +
periodontitis ++ +
Perubahan penglihatan + ++
Pruritus + ++
Parestesi + ++
Impoten + ++
-RINGKASAN OM 2009- 129
Hipotensi + ++
Initially asymptomatic - ++
6.4 Presentasi klinis
DM tipe 1 onsetnya tiba-tiba, sementara DM tipe 2 terjadi bertahun-tahun dan tanpa gejala. Pasien
yang tidak terdiagnosis DM dapat memiliki beberapa gejala seperti hiperglikemia yang termasuk
polidipsia, polifagia, poliuria, dan manifestasi akut hiperglikemia. Keluhan yang dijumpai pada pasien ini
seperti turunnya berat badan, penyembuhan luka yang lama, penglihatan yang buram, perdarahan gingiva,
rentan terkena infeksi, dan biasanya lemah dan lesu.jika komplikasi terjadi pasien dapat mengeluhkan
melemahnya penglihatan, gejala neurologic seperti pusing, kesemutan, dan lesu, sakit pada dada, gejala
gastrointestinal, gejala gestourinari terutama tidak dapat menahan urin, dan kelemahan seksual.
6.5 Diagnosis dan Monitoring
Tabel 6.3 Kriteria Diagnosis DM*
Normal Glukosa puasa
terganggu
Diabetes
Melitus
Glukosa Puasa**
Glukosa plasma 2 jam setelah makan siang
OGTT*** (tidak direkomendasikan untuk
pemeriksaan klinis rutin)
<110
mg/dL
<140
mg/dL
110-126 mg/dL
140-200 mg/dL
≥ 126
mg/dL
≥ 200
mg/dL
Glukosa
plasma 2
jam ≥ 200
mg/dL
*Kriteria ini perlu dikonfirmasi dengan tes berulang di hari yang berbeda
-RINGKASAN OM 2009- 130
**Puasa = tidak ada asupan kalori selama 8 jam
***OGTT = Oral Glucose Tolerance Test dilakukan menggunakan 75 gr glukosa anhidrat
yang dilarutkan di air
6.6 Komplikasi
Tabel 6.4 Komplikasi Diabetes Melitus Pada Beberapa Organ
Lokasi Gambaran
Mata Retinopati, katarak, kebutaan
Ginjal Nepropati, gagal ginjal
Sistem saraf Sensori : peripheral neuropati, cranial neuropati
mempengaruhi sarafkranial III, IV, VI, VII
Otonom : gastroparesis; disfungsi dan perubahan ritme
jantung; gastrointestinal neuropati, kandung kemih lemah;
dan impoten
Mukosa mulut dan kulit Infeksi tak biasa, penyembuhan luka lambat
Periodontium Gingivitis dan penyakit periodontal
Sistem kardiovaskular Penyakit makrovaskular (percepatan aterosklerosis)
menyebabkan gangguan vascular peripheral, gangguan
arteri coroner, penyakit cerebrovaskular, ulseriskemik, dan
kaki bergangren
6.7 Manajemen
Tujuan perawatan utama DM adalah mencapai tingkat glukosa darah normal sedekat mungkin dan
mencegah komplikasi diabetes. Tujuan lain yaitu pertumbuhan dan perkembangan normal, berat badan
normal, pencegahan gejala / hiperglikemia berkelanjutan, pencegahan ketoasidosis dan non-ketoasidosis
-RINGKASAN OM 2009- 131
diabetes, dan deteksi segera dan perawatan komplikasi diabetis jangka panjang. Diet, olahraga, kontrol
berat badan, dan pengobatan adalah cara mencapai tujuan tersebut.
Pengobatan utama pada DM tipe 1 adalah insulin (pasien DM tipe 1 sangat bergantung pada insulin
untuk selamat). Pasien DM tipe 2 seringnya menggunakan pengobatan oral, walaupun banyak juga yang
menggunakan insulin untuk meningkatkan kontrol glikemik.
Tabel 6.5 Pengobatan untuk Manajemen DM
Jenis Agen Nama generic
Oral agent Sulfonylurea / generasipertama
Sulfonylurea / generasikedua
Meglitinides
Biguanides
Thiazolidinediones
A-glucosidase inhibitor
Chlorpropamide
Tolazamide
Tolbutamide
Acetohexamide
Glyburide
Glipizide
Glimeperide
Repaglinide
Nateglinide
Metformin
Rosiglitazone
Pioglitazone
Acarbose
Miglitol
Injeksi Amylin analogues Pramlintide
-RINGKASAN OM 2009- 132
Glucagon-like peptide-1 analoges
Exanatide
Tabel 6.6 Jenis-jenis Insulin
Tipe Klasifikasi Onset aktif
(jam)
Puncakaktif
(jam)
Durasiaktif
(jam)
Insulin glargine
Insulin determir
Ultralente
Lente
NPH
Regular
Lispro
Inhaled insulin
Lama
Lama
Lama
Sedang
Sedang
Pendek
Cepat
Cepat
2
2
6-10
3-4
2-4
0.5-1.0
0.25
0
Tidakadapuncak
Tidakadapuncak
12-16
4-12
4-10
2-3
0.5-1.5
2-0.4
20->24
6-24
20-30
16-20
14-18
4-12
<5
30-90 menit
NPH = Neutral Protamine Hagedorn
6.8 Manifestasi Oral Diabetes Mellitus
Kondisi mukosa oral pada penderita DM yaitu sensasi terbakar pada mulut, gangguan
penyembuhan luka, peningkatan insidensi infeksi candida (terutama kandidiasis akut pseudomembran
pada lidah, mukosa bukal dan gingiva). Xerostomia dan sialadenitis (biasanya pada kelenjar parotid)
dapat terjadi dan keduanya seringkali dikaitkan dengan kontrol glikemi yang buruk (Greenberg, 2008).
Obat-obatan pada pasien penderita DM seringkali menyebabkan penurunan fungsi salivasi.
Permukaan mukosa yang kering menyebabkan terjadinya ulserasi minor, sensasi terbakar pada mulut, dan
peningkatan pertumbuhan organisme fungal. Tingginya insidensi karies pada penderita DM dikaitkan
-RINGKASAN OM 2009- 133
dengan kondisi xerostomia, peningkatan level glukosa pada cairan sulkus gingiva dan peningkatan
akumulasi plak pada gigi. Penderita DM juga memiliki faktor resiko yang lebih tinggi terhadap gingivitis
dan periodontitis (Greenberg, 2008).
6.9 Penanganan Dental Penderita DM
Penanganan dental penderita DM tergantung pada tingkat glikemi, pola makan, kebersihan mulut
dan kebiasaan mengonsumsi alkohol dan tembakau. Sebagai contoh, penderita DM dengan kebersihan
mulut yang buruk, merokok dan mengonsumsi diet tinggi karbohidrat lebih beresiko mengalami karies
dan periodontitis. Pasien seperti ini akan merespon perawatan lebih lambat dibandingkan penderita DM
yang tidak disertai factor yang telah disebutkan (Greenberg, 2008).
Tingkat glikemi memiliki peran dalam respon terhadap bedah periodontal. Pasien dengan diabetes
tidak terkontrol akan beresiko lebih tinggi mengalami infeksi dentoalveolar, tidak terlalu merespon
perawatan periodontal dan rekurensi penyakit periodontal setelah dilakukan perawatan (Greenberg,
2008).
Indikasi pemberian antibiotik profilaksis apabila level Hba1c sangat tinggi (>11– 12%) dan terdapat
tanda infeksi bakteri intraoral yang rekuren (Greenberg, 2008).
Emergensi yang paling umum dialami penderita DM pada saat perawatan gigi yaitu hipoglikemia.
Tanda dan gejalanya adalah kebingungan, keringat berlebih, tremor, pusing dan takikardia. Hipoglikemia
yang parah dapat menyebabkan kejang dan hilang kesadaran. Karbohidrat yang dapat diserap secara oral
dan cepat dianjurkan untuk penanganan ini terutama apabila dokter gigi tidak terlatih dalam pemberian
glucagon atau dekstros secara intravena, intramuskular atau subkutan (Greenberg, 2008).
-RINGKASAN OM 2009- 134
-RINGKASAN OM 2009- 135
BAB VII
PENYAKIT ENDOKRIN
7.1 Kelainan Pituitari
Kelenjar pituitary ada di sela tursika terbagi menjadi dua secara anatomis,
fungsi, dan perkembangannya menjadi pituitary anterior/adenohypophysis dan posterior
pituitary/neurohypophysis.
Adenohypophysis seksresikan : GH, ACTH, TSH, FSH, LH, dan prolactin.
Neurohypophysis sekresikan : ADH dan oxytocin.
7.1.1 Manifestasi oral
Pasien dengan GH berlebih memiliki manifestasi :
1. Tampilan wajah kasar karna kulit yang tebal
2. Hidung besar
3. Bibir tebal
4. Makrosefali
5. Makrognatia
6. Mandibular prognati
7. Diastem generalisata
8. Anterior open bite dan maloklusi lain
9. Makroglosia
10. Hipertrofi jaringan faring dan laring sleep apneu
11. Taurodontia dan hipersementosis
Pasien dengan defisiensi GH memiliki manifestasi :
1. Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan tengkorak dan tulang wajah
2. Pembentukan gigi dan pertumbuhan tulang alveolar terhambat crowding dan
maloklusi
3. Keterlambatan erupsi gigi sulung dan formasi gigi pengganti
-RINGKASAN OM 2009- 136
7.1.2 Manajemen Dental
Keadaan umum pasien yang harus diperhatikan saat perawatan pada pasien GH
berlebih : hipertensi, kardiomegali, kecenderungan gagal jantung, dan DM tipe-2.
Pasien defisiensi GH sebaiknya menerima perawatan korektif maloklusi dental
dan skeletal.
Hindari pemberian glukokortikosteroid dosis tinggi.
7.2 Kelaianan Adrenal
Kelenjar adrenal dan hormonnya dibagi menjadi korteks yang menyekresikan
kortisol dan aldosterone serta medulla yang menyekresikan epinefrin dan non-epinefrin.
Kortisol tersekresi sebagai respon dari ACTH yang berfungsi menjaga tekanan
darah dan glukogenesis.
Aldosteron dikenal juga dengan hormone steroid berfungsi menjaga tekanan
darah dengan menambahkan jumlah volume intravascular.
Epinefrin atau adrenalin aktif sebagai efek dari aktifnya syaraf simpatis.
7.2.1 Manifestasi Oral
Hyperadrenocortism (cushings’s syndrome) memiliki manifestasi :
1. Moon face
2. Kapiler permukaan rentan --. Mudah hematoma
3. Kulit wajah berjerawat dan memiliki rambut wajah
4. Keterlambatan tumbuh kembang termasuk struktur dentoskeletal
5. Immunosupresi perhatikan penyakit oral yang dapa muncul karena
imunosupresi (candidiasis, herpes labial, herpes zoster, penyakit periodontal, dan
waktu penyembuhan luka yang lama).
Hypoadrenocortism (Addison’s disease) memiliki manifesasi :
1. Freckles dan tahi lalat pada wajah
2. Hiperpigmentasi pada mucocutaneous junction dan bias juga pada margin
gingiva, mukosa bukal, palatum, dan permukaan lingual lidah.
-RINGKASAN OM 2009- 137
7.2.2 Manajemen
Hyperadrenocorism mengobai lesi oral akibat imunosupresi.
Hypoadrenocortism terapi kortikosteroid dengan memperhatikan penyakit
oral yang muncul karena efek imunosupresi
7.3 Kelainan Tiroid
Kelenjar tiroid mennyekresikan 90% thyroxine (T4) dan 10% triiodothyronine
(T3). Manifestasi hypertiroid disebut protean, yaitu :
1. Merasa panas saat lingkungan dingin
2. Lapar dan makan sepanjang waktu tapi berat badan turun,
3. Rambut tipis,
4. Gelisah
5. Tremor
6. Takikardi
Penyebab terjadinya hipertiroid karena autoantibodi stimulasi TSH (Grave’s
disease) dan nodul yang menyekresian hormone tiroid (toxic nodule). Tampilan khas
dari hipertiroid adalah mata proptosis akibat deposisi glikosaminoglikan di otot orbital.
Terdapat edema periorbital dan kelenjar tiroid membesar dan teraba lunak.
Manifestasi hipotiroid berkebalikan dengan hipertiroid, yaitu :
1. Selalu lemah
2. Merasa dingin disaat yang lain merasa nyaman
3. Bertambah berat badan walaupun makan sedikit
4. Konstipasi
5. Bradikardi dengan reflex lambat
6. Penurunan mental dan depresi
7. Hypothermia
Penyebab terjadinya hipotiroid autoimun yang merusak kelenjar (Hashimoto’s
thyroiditis), hilangnya sel di pituitari yang memproduksi TSH, atau adenoma pituitary
yang menyebabkan hilangnya fungsi.
-RINGKASAN OM 2009- 138
7.3.1 Manifestasi Oral
Palpasi kelenjar tiroid pada saat pemeriksaan ekstraoral dilakukan sambil
menginstruksikan pasien menelan, biasanya lobul tiroid kanan lebih besar dari kiri dan
batas kelenjar dalam keadaan rileks sulit diraba. Pasien hipertiroid memiliki respon
nyeri dan kecemasan berlebih dibandingkan pasien normal. Pembesaran kelenjar tiroid
dapat mengangkat lidah dan menyebabkan sulit menelan. Pasien ini juga menjadi renan
terhadap karies dan penyakit periodontal.
Pasien hipotiroid diantaranya facial myxedema, makroglosia, kesehatan
periodontal yg compromised, erupsi gigi lambat, penyembuhan luka lambat, burning
mouth, perubahan pengecapan, dan suara parau. Hashimoto’s thyroiditis juga berkaitan
dengan xerostomia dan gangguan ekskresi saliva.
7.3.1.1 Manajemen Oral
Perawatan gigi pasien kelainan tiroid sebaiknya dibarengi dengan konsultsai
dokter yang menangani kelainan tiroidnya. Pasien hipertiroid kontraindikasi terhadap
pemberian epinfrin, aspirin, dan NSAID. Pasien hipotiroid biasanya memiliki kesehatan
oral yang buruk. Depresi ventilasi dan reflex lambat meningkatkan resiko aspirasi dental
material. Luka pada pasien hipotiroid sulit sembuh dan mungkin mengalami perdarahan
pasca perawatan lebih banyak daripada pasien normal.
7.4 Disfungsi Gonad dan Gonadal
7.4.1 Manifestasi Oral
Kehamilan : melisma bilateral pada wajah, permeabilitas kapiler meningkat
sehingga mudah terjadi gingivitis, gingival hyperplasia, dan pyogenic granuloma.
Menopause : penurunan laju dan komposisi saliva sehingga dapat memudahkan
terjadinya karies, glossodynia, dysgeusia, rasa seperti besi, dan oral candidiasis, gingiva
jadi atrofi, post ekstraksi resoropsi tulang alveolar akan lebih cepat.
7.4.2 Manajemen Dental
Perawatan gigi ibu hamil : hindari pada trisemester awal dan paruh akhir
trisemester ketiga. Perhatikan penggunaan obat-obatan.
Pasien menopause : pemeriksaan carotid atheroma dengan foto panoramic.
-RINGKASAN OM 2009- 139
7.4.3 Kelainan paratiroid
Empat kelenjar paratiroid mengeksresikan PTH yang bertanggung jawab
mengatur ion kalsium pada serum. Hiperparatiroidism menyebabkan hiperkalsemia, dan
dapat disebabkan oleh hiperparaatiroidism primer atau karena malignansi. Pasien
biasanya mengeluhkan nyeri tulang dan arthralgia dan dapat terjadi fraktur patologis.
Pada radiogragi Nampak “brown tumor”pada tulang.
Hipoparatiroid dapat diakibatkan oleh hipokalsemia karena pengangkatan
kelenjar pratiroid untuk mengobati hiperparatiroid, autoimun cell-mediated glandular
destruction, radiasi area leher, metastasis kanker, infeksi, defisiensi magnesium,
kerusakan paratiroid akibat logam berat (tembaga pada Wilson’s disease, besi pada
hemokromatosis). Kelenjar paratiroid bisa benar-benar tidak ada pada DiGeorge
syndrome. Hipokalsemia sendiri dapat terjadi karena defisiensi vit.D,
hiperphosphatemia, malabsorpsi kalsium, dan kegagalan ginjal kronis.
7.4.3.1 Manifestasi Oral
Osteoporosis generalisata dan “brown tumors” terlihat pada radiologi panoramik
pasien hiperparatiroidism.
Hypoparatiroidsim :iritabilitas saraf tepi dan otot, maksila dan mandibular padat
tapi nampak abnormal, oral mukakutaneous muncul pada hypoparatyroidism akibat
autoimun.bila hypoparatiroid terjadi saat perkembangan gigi maka dapat mempengaruhi
formasi dan erupsi gigi.
7.4.3.2 Manajemen Oral
Hiperparatiroidism : hindari fraktur mandibular iatrogenic.
Hipoparatiroid : karena pasien biasanya mengalami gangguan kardiovaskular
maka sebaiknya konsultasikan dengan dokter pasien sebelum tindakan, dental radiograf
periodic dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya perkembangan kista dentigerus
pada gigi impaksi.
-RINGKASAN OM 2009- 140
BAB VIII
INFECTIOUS DISEASES
8.1 INFEKSI BAKTERI
8.1.1 Gonorrhea
Gonorrhae adalah infeksi seksual menular, disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae,
ditularkan oleh aktivitas seksual, dan lesi terjadi di bagian genital, lubang anus, rongga
mulut, khususnya faring, dan kombinasi dari bagian-bagian ini. Faktor risiko utama
gonococcal pharingitis adalah seks orogenital. Penyakit ini disebabkan ikatan N.
gonorrhoeae ke genital atau muscosa oral dan penetrasi berikutnya ke jaringan yang lebih
dalam antara permukaan sel epitel. Penyebaran dapat terjadi oleh kontinuitas langsung, oleh
limfatik, atau hematogen. Secara lokal, ada reaksi inflamasi yang intens dengan produksi
nanah, secara mikroskopik terdapat banyak leukosit polimorfonuklear dengan intraseluler
diplococcic gram negatif. Pada laki-laki, penyakit ini ditandai dengan rasa gatal dan sensasi
terbakar di uretra dengan nyeri sedang sampai berat dan adanya debit kuning. Pada wanita,
uretra adalah situs utama infeksi awal, tapi presentasi kurang akut dibandingkan pada pria,
atau tanpa gejala.
8.1.1.2 Pertimbangan Oral
Mukosa mulut relatif tahan terhadap infeksi oleh N. gonorrhoeae, tapi gonorrheal
stomatitis terdiagnosa dengan meningkatnya meningkatnya aktifitas seksual, terutama pada
hubungan seksual sesama laki-laki. Tampilan klinis gonore oral bervariasi tergantung pada
tingkat keparahan dan distribusi infeksi. Pasien biasanya mengeluhkan sensasi terbakar atau
gatal atau rasa panas kering di mulut, yang dalam 24 hingga 48 jam berubah menjadi nyeri
akut. Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa tidak enak pada mulut, aliran saliva yang
dapat meningkat atau menurun, napas berbau busuk, dan kelenjar getah bening
submandibular biasanya membesar dan sakit, demam mungkin terjadi jika infeksi parah.
Lesi ditemukan pada semua bagian dari mukosa mulut dan biasanya digambarkan
dengan campuran variabel dari tanda-tanda klinis berikut : peradangan, edema, vesikula,
-RINGKASAN OM 2009- 141
ulserasi, dan pseudomembranes. warna putih, kuning, atau abu-abu; mudah dihapus; dan
meninggalkan permukaan berdarah. Pada beberapa pasien, stomatitis dengan rasa sakit
difus di mana semua membran mulut menjadi merah dan edema. Bicara, menelan, dan
gerakan mulut sederhana menjadi sangat menyakitkan. Daerah infeksi primer yang telah
dilaporkan yaitu gingiva, lidah, mukosa bukal, palatum keras dan lunak, dan orofaring.
Amandel dan orofaring menjadi daerah yang paling umum dari infeksi oral.
Tampilan klinisnya bervariasi, dari asimtomatis sampai pasien dengan tonsillitis
akut. Infeksi genital dan mulut yang simultan, atau lesi oral yang terjadi kemudian
membuat sulit dalam klasifikasi kasus. Oropharyngeal gonorrhoea lebih resisten terhadap
antibiotik dibandingkan infeksi genital, dan terapi untuk infeksi genital mengakibatkan
tersisanya organisme di oropharing dan menyebabkan terjadinya rekurensi penyakit
simptomatk beberapa bulan kemudian. Infeksi primer pada mulut dapat menyebabkan
penyebarluasan lesi. Infeksi sekunder pada parotid jarang terjadi tapi dapat terjadi pada
pasien dengan oral gonorrhae.
Gonococcal arthritis merupakan salah satu lanjutan infeksi urogenital yang umum
terjadi. Simptom klis gonococcal arthristis yatu demam dengan inset yang cepat,
polyarthritis, dan inflamasi dan pembengkakan sendi; cairan mengandung
polymorphonuclear leukosit dan diplokokus gram negative dalam jumlah besar. Pada tmj,
manifestasi local termasuk trismus akibat spasme pada otot maseter dan inflamasi dan
edema di sekitar sendi.
8.1.1.3 Diagnosis dan Manajemen
Satu-satunya cara dalam mendiagnosis gonorrheal stomatitis dengan pengecekan
lab. Adanya intracellular diplococcic gram negatif pada olesan lesi yang dicurigai perlu
diinvestigasi lebih lanjut. Spesimen biasanya diinokulasi ke kultur martinlewis medium dan
Gonococci secara mayoritas lebih resisten terhadap obat b-lactam; maka pilihannya ada B-
lactamase stabil, generasi tiga cephalosporin. Dari semua agen yang digunakan untuk
menyembuhkan penyakit gonococcalm hanya cephalosporin (cefexime) atau ciprofloxacin
yang ampuh, namun kerentanan terhadap antibiotic ini pun timbul. Pencegahan gonorrhoea
memerlukan edukasi kesehatan mengenai berhubungan yang sehat
-RINGKASAN OM 2009- 142
8.1.2 Tuberkulosis
8.1.2.1 Epidemiologi
Sepertiga populasi dunia terinfeksi tuberculosis dan merupakan penyakit infeksius
kedua yang paling banyak menyebabkan kematian. WHO memprediksi sekitar 8 juta orang
memiliki tuberculosis aktif dan 2 juta orang meninggal setiap tahunnya. Transmisi potensial
tuberculosis melalui rute respiratori sangat tinggi. Latar beakang etnis menjadi faktor resiko
yang kuat. Orang dengan sindrom aids juga memiliki resiko signifikan memiliki TB aktif
setelah terpapar. Kemiskinan, penggunaan obat-obatan injeksi, pecandu alcohol, dan
tunawisma berkontribusi dalam penyebaran TB. Orang yang tidak menyelesaikan
perawatan TB menyebabkan infeksi terjadi lebih lama dan memungkinan untuk terjadi
resistensi pada pengobatan.
8.1.2.2 Diagnosis
Diagnosis dimulai dengan melakukan tuberculin skin test pada lengan dengan
purified protein derivate (PPDP, antigen mycobacterial. Bila terdapat bilur merah dalam 72
jam, pasien kemungkinan telah terekspos mycobacterium tuberculosis. Tanda dan symptom
dievaluasi untuk melihat penyakit aktif, termasuk batuk produktif, demam, menggigil atau
berkeringat di malam hari. Radiografi dada dilakukan untuk melihat keterlibatan
pulomonari. Tes terakhir, acid-fast bacillus test, dengan mengumpulkan sputum pasien
untuk melihat organ yang terinfeksi.
8.1.2.3 Patogenesis
TB disebabkan oleh acid and alcohol fast bacillus M, tuberculosis. Organisme ini
menyebar dengan transmisi udara dan berkembang pada alveoli pulomonari dan makrophag
dengan respon inflamasi local. Pada kebanyakan kasus, t helper cell mengaktifasi
makrophag melalui sekresi sitokin dan gamma-interferon, dan infeksi disupresi secara
permanen atau tetap laten untuk diaktifkan ulang nulan atau tahun berikutnya. Simptom
yang paling sering pada infeksi aktif yaitu batuk, demam sedang, berkeringat di malam
hari, kelelahan,selera makan berkurang dan berat badan turun. TB dapat menyebar ke
-RINGKASAN OM 2009- 143
bagian tubuh lain melalui limfe dan sistem peredaran darah. TB infeksi darah dan
meningeal merupakan bentuk serius dari TB dan memiliki tigkat kematian yang tinggi.
8.1.2.4 Manajemen Medis
Pada kebanyakan pasien TB dapat disembuhkan, tapi penyelesaian regimen obat
sangat dibutuhkan untuk menghindari aktivasi kembali penyakit tersebut. Terapi biasanya
dilakukan selama 6 sampai 9 bulan dengan berbagai regimen obat. Bila pasien gagal pada
terapi awal, dapat terjadi resistensi terhadap beberapa obat TB.
Terdapat vaksin untuk TB: Bacilli Calmette-Guerin (BCG), yang dibuat dari
Mycobacterium bovis hidup yang dilemahkan. Pada negara diaman TB sering terjadi,
vaksin diberikan pada anak dengan kemanjuaran 60-80%. Tapi vaksin tidak terlalu efektif
pada orang dewasa.
8.1.2.5 Pertimbangan oral
Manifestasi oral dapat terjadi sekitar 3% pasien dengan long-term systemic TB. Lesi
terjadi pada jaringan oral dan limph node. Resiko praktisi dental terkena TB dari pasien
sangan rendah. Tetapi praktisi dental termasuk pada golongan yang beresiko tinggi dalam
list. Pasien dengan TB aktif akan diisolasi dan perawatan dental harus ditunda sampai
pasien sudah tidak lagi infeksius. Pasien tidak lagi dianggap infeksius setelah dua kali
kultur sputum negative berturut-turut atau telah melakukan perawatan TV kurang lebih 2
minggu.
8.1.3 Leprosy
Leprosy merupakan penyakit multisistemik kronis yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae, dimana penampakan klinikopatologisnya ditentukan oleh interaksi
kompleks antara organisme yang menginvasi dan status imunitas individu.
Infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae masih menjadi endemik di
negara-negara tropis. Infeksi lepra/kusta ada beberapa jenis karakteristik menurut lesi yang
timbul, yaitu tuberculoid, lepromatous, dan borderline atau reactional, biasanya lesi
muncul pada kulit dan ekstremitas. Tuberkuloid lepra secara klinis tampak lesi makular
-RINGKASAN OM 2009- 144
pada kulit, yang jika diperiksa secara biopsi akan ditemukan granuloma tuberkuloid
subepidermal yang mengandung sejumlah kecil bakteri basil asam. Pasien dengan
tuberkuloid lepra memiliki reaksi hipersensitivitas yang menurun (disebut reaksi Fernandez
atau Mitsuda) terhadap injeksi intradermal ekstrak organisme (tes lepromin) dan dianggap
tidak infeksius. Pasien dengan lepromatosa lepra tidak menunjukkan penurunan imunitas
terhadap organisme, namun terdapat massa granulomatosa multipel (lepromas) yang
muncul pada wajah, hidung, dan telinga (leonine facies) dan kulit di atas pergelangan
tangan, siku, lutut dan pantat. Jaringan saraf perifer juga terlibat dengan nodul lepromatosa
dan tampaknya patch yang tidak dipengaruhi yang terdapat pada kulit seringkali menjadi
hypoanestesi atau anestesi. Secara histologis, lepromas terdiri dari sel-sel agregat berbuih
penuh lemak (sel lepra) dengan adanya sekelompok bakteri basil asam dan hanya sedikit
respon sel T yang menunjukkan sifat tuberkuloid granuloma. Pasien dengan lepromatosa
lepra yang infeksius (menular) biasanya memiliki penyakit progresif yang memerlukan
perawatan antimikobakterial. Borderline atau reactional lepra menunjukkan tingkat
intermediat antara tipe tuberkuloid dan lepromatosa.
Literatur yang membahas tentang tuberkuloid lepra tidak terlalu banyak.
Lepromatosa nodul pada lidah, palatum, bibir, dan faring seringkali muncul dengan
penampakan kuning kemerahan atau sessile coklat atau nodul mukosa pedunculated, dan
lesi destruktif pada palatum dan tulang nasal dapat memicu pada deformitas. Lesi oral
dilaporkan 20-60% pada pasien dengan Hansen’s disease, mayoritas pasien dengan
penyakit ini menderita lepromatosa nodul.
8.1.4 Syphilis
Sifilis memiliki beberapa keterlibatan yang amat penting untuk tim dokter gigi.
Pertama, sifilis dapat terlihat dalam manifestasi oral, tingkat pertama dan kedua amat
sangat menular. Kedua, penyakit ini dapat ditransmisikan dengan kontak langsung dengan
lesi oral, saliva, dan darah. Ketiga, penyakit yang ditularkan melalui kontak seksual
(misalnya gonorrhea) dapat muncul pada pasien dengan sifilis dan risiko infeksi HIV
menjadi lebih besar. Karena itu, tim dokter gigi memegang peran penting dalam
-RINGKASAN OM 2009- 145
menegakkan diagnosa yang benar dan dini dan dapat memberikan perawatan yang tepat
pada pasien.
Penampakan klinis pada pasien dengan sifilis diantaranya chancre, ulser berbentuk
snail-track, dan formasi gumma. Chancre pada umumnya ulser indurasi asimptomatik
dengan adanya krusta coklat yang biasa terdapat pada bibir, mukosa oral, lidah, palatum,
dan dinding faring posterior. Sifilis sekunder memiliki ciri ulser mukosa yang sangat
infeksius dengan penampakan lesi putih yang dikelilingi dasar yang eritem. Ulser yang
tampak jelas umumnya ada pada sifilis tersier sebagai akibat dari destruksi gumma. Ulser
ini biasanya ada pada palatum dan lidah.
Diagnosa banding harus memasukkan herpetic cold sores, deep-seated fungal
infections, mycobacteria-associated ulcer, malignant ulcer, dan trauma. Diagnosa definitif
dibuat dengan mikroskop dark-field yang membuktikan agen penyebabnya yaitu
Treponema pallidum. Perawatan yang diberikan adalah perawatan antibiotik sistemik yang
tepat.
8.2 INFEKSI JAMUR
Infeksi candida merupakan penyakit jamur yang paling sering terjadi pada rongga
mulut. Candidiasis disebabkan Candida albicans. Manifestasi oral terdapat lesi putih pada
mulut, lidah, atau pipi pasien. Lesi putih ini akan berdarah walaupun hanya terkena
gosokan ringan. Dijelaskan lebih detail pada bab 4 “lesi merah dan lesi putih pada mukosa
rongga mulut”.
8.2.1 Aspergillosis
Aspergillosis:
- infeksi mikotik oportunistik yang paling sering terjadi setelah candidiasis
- frekuensi ke-2, infeksi jamur orofacial yang paling sering terjadi pada pasien yang
menerima kemoterapi kanker
Aspergillosis disebabkan jamur Aspergillus. Patogen yang paling umum Aspergillus
fumigatus. Infeksi pada manusia juga bisa disebabkan oleh Aspergillus flavus, Aspergillus
glaucis, Aspergillus terrus, dan Aspergillus niger. Aspergillus dapat menunjukkan tiga
-RINGKASAN OM 2009- 146
tampilan klinis: (1) saprophytic – infeksi superfisial tanpa invasi; (2) alergi – reaksi
hipersensitivitas; dan (3) invasif – infeksi ke dalam jaringan.
Aspergillosis umumnya melalui inhalasi spora, yang menginfeksi ke kedua saluran
pernapasan atas dan bawah – bronkopulmonalis aspergillosis. Jamur ini umumnya
ditemukan pada daun-daun kering, biji-bijian atau tumbuh-tumbuhan yang membusuk.
Spora yang resisten lepas di udara kemudian dihirup oleh manusia sehingga masuk ke
dalam tubuh kemudian menginfeksinya.
Infeksi dapat menyebar ke otak, tulang, atau jantung. Sinus paranasal, laring, mata,
telinga, dan rongga mulut mungkin terlibat dalam aspergillosis primer. Penularan
aspergillosis dari manusia ke manusia potensinya rendah.
8.2.1.1 Manifestasi Oral
Orofacial Aspergillosis dapat mempengaruhi sinus paranasal, rongga hidung,
mukosa mulut, dan struktur dasar kulit wajah. Terjadi pada individu immunocompromised
terutama setelah ekstraksi gigi atau perawatan endodontik. Pada umumnya lesi berwarna
kuning atau warna hitam, dengan dasar ulserasi nekrotik, biasanya terletak pada palatum
atau posterior lidah.
8.2.1.2 Diagnosis dan Manajemen
Diagnosis pembanding utama adalah dari Mucor dan infeksi mulut Pseudomonas.
Erosi tulang dapat lebih mudah dideteksi oleh nuclear magnetic resonance atau computed
tomography, dan diagnosis dapat dikonfirmasi oleh periodic acid Schiff. Amphotericin B
sistemik merupakan pilihan antimikotik jika infeksi superfisial tidak ada perubahan dalam
waktu 72 jam dari terapi ketoconazole atau clotrimazole.
8.2.2 Blastomycosis
Blastomycosis disebabkan oleh Blastomyces dermatitidis, paling sering ditemukan
di Amerika utara. B.dermatitidis adalah jamur yang tumbuh di tanah, ditemukan dekat
dengan air dan kotoran hewan. Beberapa sumber nenyebutkan penyebaran penyakit adalah
kegiatan outdoor (seperti memancing). Biasanya ditemukan pada pasien
-RINGKASAN OM 2009- 147
imunocompromised dan keadaan umumnya lebih berat. Blastomycosis menginfeksi melalui
inhalasi. B.Dermatitidis adalah jamur yang tumbuh di tanah. Infeksi muncul setelah tanah
mengalami pemanasan dalam beberapa hari.
Sebagian besar kasus blastomycosis merupakan asimtomatik atau menghasilkan
gejala yang ringan, pasien yang mengalami simptom biasanya memiliki keluhan pada
pulmonya. Blastomycosis akut menyerupai pneumonia dengan gejala demam tinggi, nyeri
pada dada, berkeringat pada malam hari, dan batuk yang disertai sputum mukopurilen.
8.2.2.1 Manifestasi oral
Blastomycosis oral jarang dan dapat berbentuk ulserasi single atau multiple, lesi
granulomatosa atau verrucous. Lesi ini mungkin beraturan, eritema atau permukaan utuh
putih, atau muncul sebagai ulcer yang tidak beraturan dengan tingkat rasa nyeri yang
berbeda-beda. Secara klinis, dikarenakan lesi menyerupai karsinoma sel skuamosa, biopsi
dan pemeriksaan histopatologi diperlukan dalam kasus ini.
8.2.2.2 Diagnosis dan manajemen
Diagnosis berdasarkan pemeriksaan biopsi, smear, atau kultur. Amphotericin B,
ketoconazole, miconazole, dan itraconazole semuanya efektif.
8.2.3 Coccidioidomycosis
Kondisi ini sering ditemukan di Amerika Serikat bagian selatan dan barat, Mexico,
Amerika tengah, dan beberapa bagian di Amerika Selatan. Penyakit ini disebabkan oleh
Coccidioides immitis yang ditemukan pada tanah. Penyakit ini muncul dengan cara
ditularkan pada manusia dan hewan melalui inhalasi dari debu yang dikontaminasi oleh
spora organisme penyebab. Penyakit ini biasanya penyakit pulmo akut dan demam, kadang-
kadang disertai eritema nodosum atau eritema multiforme. Penyebaran coccidioidomycosis
terjadi pada wanita hamil, buruh imigran, dan pasien immunocompromised.
-RINGKASAN OM 2009- 148
8.2.3.1 Manifestasi Oral
Lesi oral jarang dan bermanifestasi menjadi lesi verrucous dengan infeksi yang
mendasari pada rahang. Lesi pada rongga mulut dan kulit berkembang menjadi granuloma
dan ulkus yang tidak dapat digambarkan secara jelas pada gejala klinisnya.
8.2.3.2 Diagnosis dan Manajemen
Diagnosis berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan penunjang dari histologi.
Tes kulit coccidioidin dapat membantu. Manajemen dengan amphotericin B sistemik, jika
perlu dilengkapi dengan azole.
8.2.4 Kriptokokosis
Kriptokokosis adalah penyakit jamur kronis yang melibatkan paru-paru, system
saraf pusat, dan, kadang- kadang, kulit dan mulut. Penyebabnya adalah, Cryptococcus
neoformans, adalah kotoran burung.
Penyakit subklinis paru yang dapat berjalan menjadi cepat, yang melibatkan system
saraf pusat, kulit, membrane mukosa, tulang, dan berbagai jaringan lainnya, seperti kulit,
lesi kulit pada wajah, kulit kepala, dan leher.
8.2.4.1 Gambaran Klinis
Seperti papula, pustule Acneiform, abses, ulser, granuloma superfisial, atau pada
saluran sinus. Kriptokokosis tidak mungkin ditularkan dari manusia ke manusia kecuali
pasien lemah di rumah sakit yang dapat memperoleh penyakit nosokomial, melalui jalan
paru.
8.2.4.2 Manifestasi Oral
Lesi oral pada gingiva, palatum lunak dan keras, faring, mukosa mulut, tonsil dan
soket gigi setelah ekstraksi. Lesi telah banyak digambarkan sebagai nodul dari jaringan
granulasi, bengkak, atau ulser. Sebagian besar kasus yang dilaporkan kriptokokosis oral
pada orang yang terinfeksi HIV.
-RINGKASAN OM 2009- 149
8.2.4.3 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakan setelah pemeriksaan mikroskopik. Kultur dan uji serum
atau cairan serebrospinal untuk antigen kapsuler. Amfoterisin B sistemik adalah obat
pilihan dan dapat dilengkapi dengan flusitosin.
8.2.5 Fusariosis
Spesies Fusariosis pernah dianggap tidak berbahaya, saprophytic, jamur hidup di
dalam tanah. Namun, sekarang muncul sebagai pathogen karena tingginya prevalensi
penyakit di masyarakat. Fusariosis adalah penyakit yang tidak mungkin ditularkan dari
manusia ke manusia.
8.2.5.1 Manifestasi Oral
Infeksi Fusariosis pada manusia dapat terlihat local, focally invasif, atau biasanya
hadir sebagai lesi sekunder, berwarna hitam, ulkus nekrotik yang terjadi terutama pada
langit- langit mulut.
Sebagai lesi ini mirip dengan aspergillosis dan mucormycosis, diagnosis definitive
harus dibuat oleh histology dan teknik cultur.
8.2.5.2 Diagnosis dan Manajemen
Manajemen tergantung pada derajat invasi dan status pasien. Infeksi dapat dikelola
oleh ketoconazole atau vorikonazol diberikan untuk waktu yang lama.
8.2.6 Geotrichosis
Geotrichosis candida biasanya saprophytic tapi kadang- kadang menyebabkan
infeksi oportunistik pada manusia. Jamur ini telah diisolasi dari kulit, sputum dan feses dan
dalam saluran pencernaan dari beberapa individu. Infeksi dalam bronkus, paru-paru, mulut,
dan usus. Geotrichosis bronchial adalah bentuk paling umum dikenal dan ditandai oleh
batuk terus- menerus, produksi sputum agar-agar, dan tidak adanya demam. Infeksi
disebarluaskan pada pasien lemah atau mereka yang menerima obat imunosupresif.
Geotrichosis tidak dapat ditularkan dari manusia ke manusia.
-RINGKASAN OM 2009- 150
8.2.6.1 Manifestasi Oral
Lesi oral geotrichosis bias dibedakan secara klinis dari kandidiasis pseudomembran
akut (trush), insidensinya rendah telah dan dilaporkan penyakit ini mungkin karena salah
diagnosa. Laporan lain menunjukkan bahwa penampilan klinis edema gingiva dan
eritematosa dan ulserasi.
8.2.6.2 Diagnosis dan Manajemen
Diagnosis dikonfirmasi oleh pemeriksaan histology dan kultur. Nistatin mungkin
efektif untuk lesi oral lokal, di mana infeksi sistemik merespon dengan baik terhadap terapi
itrakonazol.
8.2.7 Histoplasmosis
Histoplasmosis capsulatum, jamur dimorfik, adalah endemik di lembah-lembah
sungai Mississippi dan Ohio dan ditemukan di Amerika Latin, India, dan Australia.
Organisme yang ditemukan terutama pada burung dan kelelawar. Infeksi terjadi kemudian
ketika microconidia dan hifa yang terhirup ke dalam paru-paru dan berkembang menjadi
ragi atau infeksi yang telah ada diaktifkan kembali. Pasien AIDS sangat beresiko karena
penurunan imunitas seluler. Histoplasmosis tidak mungkin ditularkan dari manusia ke
manusia.
8.2.7.1 Manifestasi Oral
Lesi oral sebagian besar kronis dengan nodular, indurated, atau massa granular dan
ulserasi; kerusakan jaringan keras dan lunak mungkin jarang terjadi. Hingga 40 sampai
50% kasus dengan histoplasmosis terlihat secara sistemik dengan lesi oral. Mukosa oral
yang dapat terkena adalah mukosa, lidah, langit- langit mulut, gingiva, dan daerah
periapikal dari gigi. Keparahan penyakit pada pasien AIDS lebih besar bila jumlah CD4 di
bawah 200 sel/cm2.
-RINGKASAN OM 2009- 151
8.2.7.2 Diagnosis dan Manajemen
Diagnosis dikonfirmasi dengan mikroskop, kultur, dan serologi. Amfoterisin B
adalah pilihan pertama obat, sedangkan flukonazol alternatif. Tingkat kekambuhan
mungkin setinggi 80% untuk pasien tidak ditempatkan pada perawatan yang baik setelah
pengobatan awal dengan amfoterisin B.
8.3 INFEKSI PROTOZOA
8.3.1 Cryptosporidium
Cryptosporidium parvum, telah muncul sebagai etiologi utama diare persisten di
negara-negara berkembang, diare berat sampai mengancam hidup orang dengan kondisi
imunosupresif dan AIDS, dan pada individu yang sebelumnya sehat karena menganggu
kesehatan pasokan air bersih.
8.3.1.1 Karakteristik Mikrobakteri
Telah lama diakui sebagai penyebab penyakit manusia dan kematian di banyak
bagian dunia. Peningkatan dramatis pada jumlah individu dengan sistem pertahanan tubuh
yang rendah.
Ciri-ciri:
1. Influenza-like syndrome awal disertai batuk.
2. Masa inkubasi 2 hingga 10 hari
3. Nyeri pada dada disertai tonjolan
4. Sering ditemui Pneumonia
5. Tingkat keparahan mulai dari batuk ringan hingga pingsan
6. Perawatan: erythromycin dan macrolides lainnya.
Mampu menginfeksi manusia maupun mamalia lainnya. Menular melalui feses
individu terjangkit. Oocyst tahan terhadap prosedur standar chlorination perkotaan, dan ini
yang membedakan crytosporidia dari organisme unisel air lainnya. Karena tahan terhadap
chlorine, membahayakan pasokan air bersih kota.
-RINGKASAN OM 2009- 152
8.3.1.2 Epidemiologi dan Transmisi
Tersebar di banyak tempat seperti pasokan air kota, kolam renang, perumahan,
hingga rumah sakit. Sangat menular dengan rasio 30 dari 100. Sering terinfeksi karena
tertelan air dari kolam renang dan rekreasi air lainnya.
Metode penularan lain dari manusia ke manusia karena feses di tempat-tempat
seperti penitipan anak, rumah sakit, dan panti jompo. Terjadi juga penularan dari hewan
ternak ke manusia hingga perlu diwaspadai para petani dan pemilik hewan peliharaan.
8.3.1.3 Gejala Klinis
Siklus hidup C.parvum pada terjangkit dimulai 2 hingga 10 hari setelah air yang
terkontaminasi tertelan. Manifestasi umum biasanya diare, disertai demam, kram perut, dan
nyeri badan. Dehidrasi berat yang harus diperhatikan oleh dokter, karena diare yang sering
dan bisa berlanjut hingga 2 minggu.
Setelah gejala cryptosporidiosis berkurang atau bahkan hilang, pasien masih bisa
menularkan penyakit hingga berbulan-bulan lamanya. Individu yang terinfeksi dengan
sistem kekebalan yang lemah dapat tetap menular jauh lebih lama.
8.3.1.4 Perawatan dan Kontrol
Sejauh ini, belum ada metode antimikroba yang secara umum ampuh melawan
cryptosporidiosis, dengan demikian, perawatan peningkatan daya tahan tubuh pasien
menjadi pilihan. Karena tebalnya dinding sel C.parvum pada siklus oocyst tahan terhadap
chlorine, langkah mengendalikan penyebaran sel menular diutamakan. Reverse osmosis,
teknik filtrasi yang lebih baik, dan prosedur lain yang lebih efisien masih dalam tahap
penelitian.
8.4 INFEKSI VIRUS
8.4.1 Hepatitis
Hampir 80% infeksi viral hepatitis dikarenakan hepatitius A (HAV), hepatitis B
(HBV), hepatitis C (HCV), hepatitis D (HDV), atau hepatitis E (HEV) (tabel 1). HAV dan
HEV tidak menyebabkan penyakit kronis, berbeda halnya dengan HBV, HCV, dan HDV.
-RINGKASAN OM 2009- 153
Tabel 8.1. Virus Hepatitis
8.4.1.1 Diagnosis
Bentuk akut dan kronis dari viral hepatitis, menyebabkan pasien tidak menunjukan
suatu gejala atau gejalanya begitu ringan yang terlihat seperti demam, mual, rasa tidak
nyaman, sakit di bagian abdomen, kehilangan nafsu makan. Sehingga hepatitis baru
diketahui setelah pemeriksaan darah seperti saat melakukan donor darah. Karakteristik
lainnya diantaranya jaundice (kuning), urtikaria, urin berwarna gelap, feses berwarna
terang, dan pembesaran dari hati, yang merupakan tanda dari kerusakan hati lebih lanjut.
Kondisi lain yang dapat dijadikan diagnosis banding adalah adanya penyalahgunaan
alcohol, hepatitis autoimun, perlemakan pada hati, sirosis biliary primer, hemokromatosis,
Wilson’s disease, dan defisiensi α- antitrypsin.
Pemeriksaan laboratorium untuk meneggakkan diagnosa, memonitor progresifitas
penyakit, dan melihat hasil intervensi perawatan. Tes fungsi dasar hati seperti alanine
aminotransferase, alkalin fosfat, aspartate aminotransferase, albumin, dan protein total.
Selain itu perlu disertai dengan tes spesifik. Untuk HBV ada tes HBsAG, HBS antibody
(anti-HBs), HBeAg, HBV e antibody (anti-HBe), dan HBV antibody core (anti-HBc dan
IgM anti-HBc). Untuk HDV ada antigen HDV (HDAg) dan antibody HDV (anti-HD).
Sedangkan untuk HCV ada antibody HCV (anti-HCV). Untuk lebih jelas dpat dilihat di
tabel 1.
-RINGKASAN OM 2009- 154
Tabel 8.2. Tes untuk Hepatitis B dan C
8.4.1.2 Manajemen Medis
Protokol perawatan untuk viral hepatitis akut hanya perawatan suportif. Yang ingin
di capai pada hasil perawatan adalah bagaimana memperlambat progesifitas, mencegah
kegagalan hati, dan mencegah perkembangan dari HCC. Untuk pasien dengan penyakit
telah parah, dimana perawtaan medis tidak lagi efektif dan kontraindikasi, satu-satunya hal
yang dapat dilakukan adalah transplatasi hati. Obat untuk perawatan HCV diantaranya
pegylated interferon-α dan ribavirin.
Tindakan perventif untuk menghindari penyebaran viral hepatitis, diantaranya
vaksin (untuk HBV); pengukuran tepat dan pemeriksaan sebelum donor darah dan jaringan;
edukasi dan promosi kesehatan mengenai penggunaan obat suntik dengan atau tanpa
kegiatan seksual.
-RINGKASAN OM 2009- 155
8.4.1.3 Pertimbangan Kesehatan Gigi dan Mulut
Status dan anamnesis sangat penting ditegakkan sebelum melakukan perawatan gigi
dan mulut. Namun pada pasien yang tidak menunjukan gejala yang aktif atau tidak sedang
dalam perawatan, dapat saja mendapat perawatan gigi. Tanda klinis dari berkurangnya
fungsi hati adalah jaundice, mudah berdarah, dan adanya petekie, hematom, atau ekimosis.
8.4.2 Herpes Simpleks
8.4.2.1 Herpes Simplex Virus Stomatitis
HSV Stomatitis merupakan infeksi berupa ulcer pada kulit dan mukosa yang
berawal dari vesikel. HSV dapat bersifat primer/sistemik atau sekunder/lokalisata. Kedua
bentuk ini dapat sembuh dengan sendirinya, namun HSV sekunder lebih sering bersifat
rekuren karena virus dapat berada dalam masa dorman pada jaringan ganglion.
8.4.2.2 HSV Primer
HSV primer lebih umum menyerang anak-anak, namun HSV ini juga kerap kali
menyerang orang dewasa yang belum pernah terpapar HSV sebelumnya. Vesikel yang
pecah akan tampak sebagai gejala klinis pada kulit, bibir, dan membrane mukosa mulut.
Gejala ini berkebalikan dengan bentuk rekuren dari HSV dimana lesi mucul pada palatum
dan gingiva. Lesi primer ini ditandai dengan demam arthlagia, malaise, anorexia, sakit
kepala, dan limpadenopati servikal. Pada pasien dengan immunocompromised gejala klinis
akan lebih terlihat. Treatment dapat dilakukan dengan pemberian acyclovir. (6)
-RINGKASAN OM 2009- 156
Tabel 8.3. Herpes Simpleks Primer
Gambar 8.1. Manifestasi klinis HSV Primer pada bibir dan lidah
8.4.2.3 HSV Sekunder
HSV sekunder menunjukan reaktifasi dari virus laten. Pasien biasanya merasakan
gejala prodromal berupa kesemutan, terbakar, atau nyeri di bagian lesi akan muncul.
Beberapa jam kemudian, beberapa vesikel yang rapuh dan berumur pendek muncul. Lesi
ini akan sembuh tanpa pembentukan jaringan parut dalam 1-2 minggu dan sangat jarang
menjadi infeksi sekunder. Jumlah kekambuhan sangat bervariasi dari setahun sekali sampai
sebulan sekali. Lesi sekunder ini biasa muncul pada vermilion bibir dan kulit disekitarnya,
sehingga sering disebut dengan herpes labialis. Pada intraoral lebih banyak muncul pada
-RINGKASAN OM 2009- 157
palatum keras atau gingiva. Pengobatan dapat dilakukan dengan acyclovir dan analogs,
pemberian secara sistemik lebih efektif daripada pemberian secara topical. (6)
Gambar 8.2. Infeksi HSV Sekunder
8.4.2.4 Terapi
Hal yang terpenting dari terapi HSV adalah waktu. Obat akan sangat efektif apabila
diberikan sesegera mungkin, tidak lebih dari 48 jam setelah onset. Acyclovir dan analogs
merupakan obat yang paling efektif untuk pengobatan infeksi mukokutan. Acyclovir
sistemik (tablet 200-400 mg, lima kali sehari) efektif untuk mengontrol herpes genital
primer dan mengurangi tingkat keparahan pada herpes oral primer. Terapi suportif (cairan,
istirahat, kebersihan mulut, alagesik, dan antipiretik) merupakan hal yang dapat membantu
pemulihan. Topikal acyclovir efektif pada herpes simpleks sekunder. Acyclovir 5%
(analog) dalam sediaan salep diaplikasikan lima kali sehari ketika symptom pertama
muncul, dapat mengurangi durasi dari lesi herpes atau bahkan menunda lesi. Sehingga hal
ini dapat mencegah rekurensi.
8.4.3 HIV
8.4.3.1 Epidemiologi
Ada 2 tipe HIV, yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV 1 dibagi menjadi 3 grup : M,N,O.
HIV grup M ditemukan 95% pada infeksi manusia (HIV dapat juga muncul pada hewan
primata selain manusia). HIV-2 jarang terjadi di luar Afrika.
Model penyebaran utama HIV:
1. Hubungan sex sesama pria tanpa pengaman.
2. Hubungan sex heterosexual tanpa pengaman.
-RINGKASAN OM 2009- 158
3. Pemakaian obat suntik.
4. Penggunaan jarum suntik dan transfuse darah yang tidak bersih.
5. Penyebaran ibu-ke-anak selama masa mengandung, melahirkan, atau menyusui.
8.4.3.2 Diagnosis
Diagnosa infeksi HIV didapatkan dari tes lab yang baik. Urutan pemeriksaan lab
antibody-HIV: tes plasma atau serum darah EIA; jika positif, maka dilakukan pemeriksaan
EIA ke-2; jika hasil positif, maka dilakukan tes konfirmasi analisis Western blot.
Pemeriksaan ini sangat sensitive; kemungkinan hasil false-positive hanya tejadi dari range
1:130.000 hingga 1:250.000.
Urutan pemeriksaan lab ini hanya dapat dilakukan beberapa minggu bahkan bulan
karena harus menunggu terbentuknya respon antibody. Maka dari itu dikembang
pemeriksaan lain yang telah disetujui FDA dengan sampel saliva, urin, dan fingerpick.
Orang berisiko tinggi terkena HIV:
1. Pengguna obat suntik
2. Pelaku hubungan homosexual
3. Pelaku aktif hubungan heterosexual dengan multiple partner
8.4.3.3 Patogenesis
Pola patogenesis HIV dibagi dalam 3 fase :
1. Infeksi primer (4-8 minggu pertama setelah paparan. Meskipun banyak yang
mengalami symptom yang minimal, 40-90% yang mengalami symptom infeksi
virus akut : demam, lemah, ruam makulopapular, nyeri kepala, limfadenopati,
faringitis, myalgia, arthralgia, gangguan pencernaan, berkeringat malam hari, dan
ulser pada oral atau genital.
2. Prololonged period clinical latency (rata2 20 tahun)
3. Munculnya manifestasi klinis. Diestimasikan 10% pasien berkembang menjadi
AIDS dalam waktu 2-3 tahun paparan, tapi 10-17% penderita yang terpapar HIV
lainnya tidak berkembang menjadi AIDS setelah 10 tahun paparan.
-RINGKASAN OM 2009- 159
Respon imun yang biasa terjadi pada infeksi HIV :
1. CD4+ limfosit baru menunjukan target baru infeksi HIV.
2. Meningkatnya produksi sitokin proinflamasi (contoh, factor nekrosis tumor, dan
interleukin-6)
8.4.3.4 Manajemen Medik
Target utama manajemen HIV: infeksi oportunistik yang berkaitan dengan
imunosupresi dan HIV itu sendiri. Obat antiretroviral sebetulnya ada 4 kelas : (1) fusion
inhobotor, (2) nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTIs), (3) non-nucleoside
reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs), dan (4) protease inhibitors (PIs). Pengobatan
HIV memerlukan highly active antiretroviral therapy (HAART). Obat ini tidak
menyembuhkan tapi memperlambat pathogenesis dengan cara meningkatkan CD4+ dan
menekan jumlah virus.
Kekurangan dan efek samping HAART:
1. Perdarahan episodic
2. Supresi sumsum tulang
3. Hepatoxicity
4. Nekrosis hepatic
5. Reaksi hipersensitivitas
6. Asidosis laktat
7. Nephrolitiasis
8. Nephrotoxicity
9. Pankreatitis
10. SJS/TEN
11. Tidak direkomendasikan untuk pasien dengan baseline CD4+ rendah.
12. Lesi popular oral
13. Pembesaran kelenjar saliva
14. xerostomia
-RINGKASAN OM 2009- 160
Tidak ada lesi oral spesifik pada pasien HIV, tapi ada lesi oral yang muncul akibat
imunosupresi dari HIV yang dibagi dalam 3 kategori:
1. Sangat berkaitan dengan HIV: pada pasien dewasa candidiasis (eritematus dan
pseudomembran), hairy leukoplakia, Kaposi’s sarcoma, non-Hodgkin’s limfoma,
dan pernyakit periodontal (linier gingival eritema (LGE), NUG, NUP). Pada pasien
anak: candidiasis (eritematus, pseudomembran, angular cheilitis), infeksi herpes
simplex, LGE, pembesaran parotis, RAS (minor, mayor, herpetiform).
2. Jarang berkaitan dengan HIV
3. Dapat terlihat pada HIV
8.4.3.5 Pertimbangan Oral
Hal yang harus diperhatikan bila pasien HIV datang:
1. Cek status imun, cek kelainan yang biasa muncul menyertai HIV, riwayat
pengobatan, dan prognosa pasien. Bila perlu, kontak dokter yang menangani HIV
pasien.
2. Kondisi medis pasien: gangguan hemostasis (terutama bila trombosit rendah
<50.000cell/mm3), rentan terkena infeksi yang dicetuskan perawatan gigi, interaksi
obat, kemampuan pasien dalam menangani stress selama perawatan dental.
3. Tujuan terapi perawatan gigi: mengoptimalkan kebersihan dan fungsi oral, membuat
kunjungan rutin, memonitor dan menangani lesi oral yang berkaitan dengan HIV,
dan menangani efek samping obat terhadap kondisi oral (seperti xerostomia).
4. Medikasi profilaksis tidak diperlukan kecuali bila neutropeni (neutrophil
<500/mm3)
5. Risiko penyebaran HIV pasien-tenaga kesehatan meningkat bila : (1) ada darah
pada instrument sebelum menyebabkan luka, (2) ada luka akiba jarum yang
diinjeksikan ke dalam arteri atau vena pasien, (3) luka dalam yang disebabkan
jarum atau instrument bekas pasien, (4) bila jumlah virus pasien sedang meningkat.
-RINGKASAN OM 2009- 161
BAB IX
CARDIOVASCULAR DISEASE
9.1 Hipertensi
9.1.1 Pendahuluan
Hipertensi didefinisikan sebagai keadaan dimana tekanan darah sistolik > 140 mmHg
atau tekanan darah diastolik > 90 mmHg atau kondisi dimana harus menggunakan obat
antihipertensi. Hipertensi dibagi menjadi 2 tipe yaitu primary dan secondary. 95% etiologi
utama hipertensi tidak diketahui. Terdapat beberapa etiologi sekunder terjadinya hipertensi,
termasuk kelainan ginjal seperti renal parenchymal disease, renovascular disease, renin-
producing tumor, dan primary sodium retention. Kelainan endokrin yang menghasilkan
hipertensi misalnya penyakit tiroid, kelainan adrenal, carcinoid, dan hormon eksogen. Etiologi
lainnya termasuk penyempitan aorta, komplikasi akibat kehamilan, masalah neurologi, stress
akut, penggunaan alkohol, pengguna nikotin, peningkatan volume intravaskular, dan
penggunaan obat seperti cyclosporine atau tacrolimus.
Tabel 9.1 Klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa.Klasifikasi SBP (mmHg) DBP (mmHg)
Normal <120 <90Pre-hipertensi 120-139 80-89Hipertensi tahap 1 140-159 90-99Hipertensi tahap 2 >160 >100
9.1.2 Modifikasi faktor resiko
Harus disadari bahwa hipertensi adalah suatu penyakit kronis dengan skala waktu yang
lama. Namun, perawatan difokuskan pada pencegahan untuk mengurangi komplikasi yang
seringnya menyerang organ lain seperti otak, hati, ginjalm mata, dan arteri periferal.
Komplikasi hipertensi antara lain dapat mengakibatkan cereblas hemorrhage, left ventricular
hypertrophy, CHF, gagal ginjal, diseksi aorta, dan penyakit atherosclerotic pada pembuluh
darah vaskular.
9.1.3 Diagnosis
-RINGKASAN OM 2009- 162
Hipertensi biasanya terjadi dalam jangka waktu lama dan asimptomatik,
mengakibatkan seringkali tidak terdiagnosis. Diagnosis ditegakkan setelah terjadi peningkatan
tekanan darah sebanyak beberapa kali. Disebut hipertensi tahap 1 jika SBP berada pada 140-
159 mmHg atau DBP 90-99 mmHg. Hipertensi tahap 2 jika SBP > 160 mmHg atau DBP > 100
mmHg.
Terdapat tiga tujuan utama dari evaluasi pasien hipertensi antara lain untuk
mengidentifikasi pengobatan yang bisa dlakukan, untuk memperkirakan persistensi pada
target organ, dan untuk memperkirakan resiko menyeluruh pada pasien tersebut. Pada pasien
hipertensi perlu dilakukan evaluasi secara rutin.
9.1.4 Pemeriksaan Fisik
Tujuan utama dari pemeriksaan fisik adalah untuk mencari tanda kerusakan pada
organ dan penyebab dari hipertensi sekunder. Lakukan palpasi pada nadi periferal,dan
auskultasi pada abdomen untuk mendengar udara pada arteri renal yang mengindikasikan
hipertensi renovaskular. Pemeriksaan fisik harus meliputi penilaian funduskopik
9.1.5 Pemeriksaan Laboratorium Tambahan
Prosedur rutin laboratorium termasuk hemoglobin, urinanalisis, pemeriksaan darah
rutin (glukosa, kreatinin, elektrolit), dan kolesterol dan trigliserin. Dapat juga dilakukan
pemeriksaan ECG. Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain:
a) Electrocardiography
b) Ambulatory BP Monitoring
c) Plasma Renin Activity testing
d) Radiologi testing
9.1.6 Penilaian Resiko Kardiovaskular
Insidensi terjadinya CVD meningkat sejala dengan peningkatan tekanan darah. Sebuah
penelitian mencatat bahwa resiko terjadinya masalah kardiovaskular meningkat 1,6 kali pada
pria dan 2,5 kali pada wanita pada peningktan tekanan darah dari tahap optimal (<120/80
mmHg) ke tahap diatas normal (130-139/85-89 mmHg).
9.1.7 Penatalaksanaan
-RINGKASAN OM 2009- 163
Penatalaksanaan hipertensi adalah tergantung pada penggunaan obat. Beberapa
diantaranya diuretik, B-blockers, calsium channel blockers, angiostestin-converting enzyme
inhibitors (ACEIs), angiostensin II receptor blockers, direct vasodilator, dan centrally acting
agents. Setiap obat hipertensi diatas, memiliki efektivitas yang sama dan menunjukkan respon
yang baik pada 40-60% kasus. Pemberian obat dimulai dengan dosis yang kecil lalu
ditingkatkan. Perawatan hipertensi penting karena mengurangi tingkat kematian. Secara acak,
farmakoterapi antihipertensi tampak pada efek utama dalam mencegah kematian karna
stroke.
9.1.8 Pertimbangan pada Perawatan Gigi
Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh petugas kesehatan gigi antara lain (1) efek
samping sistemik dari perawatan utama, (2) interaksi dengan obat selama perawatan dental
(3) menyebabkan perubahan intraoral, seperti sensasi kering pada rongga mulut,
pertumbuhan berlebih pada gusi, atau terjadinya ulserasi. Penggunaan epineprin pada pasien
hipertensi sampai saat ini masih kontroversi. Beberapa sumber menyatakan bahwa
keuntungan epineprin dalam mencapai kedalaman dan anastesia yang lebih panjang
meningkatkan resiko sistemik. Konsentrasi epineprin lebih besar dari 1:100.000 tidak terlalu
penting dan dapat mengakibatkan resiko lebih tinggi.
9.2 Coronary Artery Disease (CAD)
9.2.1 Etiologi
1. Pada kebanyakan kasus Aterosklerosis
Munculnya lapisan lemak pada saat remaja lesi berlanjut menjadi plak pada masa
awal dewasa oklusi trombotik dan jantung koroner pada usia pertengahan.
2. Penyebab penumpukan plak aterosklerotik:
Ketidaknormalan metabolism lipid
Hipertensi sistemik
Diabetes melitus
Merokok
Faktor Resiko
Lipid
Tingginya konsentrasi kolesterol pada serum dapat meningkatkan resiko penyakit
jantung koroner
-RINGKASAN OM 2009- 164
9.2.2 Faktor Resiko
1. Hipertensi
Penderita hipertensi yang disebabkan kerusakan organ dapat memicu penyakit jantung
koroner.
2. Intoleransi glukosa dan diabetes mellitus
Resistensi insulin, hiperinsulinemia, dan intoleransi glukosa dapat meningkatkan resiko
aterosklerosis terutama pada wanita.
Penderita diabetes pada umumnya memiliki faktor-faktor resiko yang mendukung
terjadinya aterosklerosis seperti hipertensi, hipertrigliseridemia, peningkatan rasio
kolesterol-HDL dan peningkatan level plasma fibrinogen.
Penanganan yang agresif terhadap faktor-faktor resiko tersebut dapat mengurangi
resiko penyakit kardiovaskular pada penderita diabetes.
3. Merokok
Mengonsumsi tembakau dapat meningkatkan resiko penyakit jantung koroner dan
infark miokard.
4. Defisiensi estrogen
Insidensi penyakit jantung koroner meningkat pada wanita yang sudah menopause
dikarenakan rendahnya level serum dari estrogen.
5. Faktor gaya hidup dan diet
Faktor-faktor diet seperti tinggi kalori, tinggi lemak, dan tinggi kolesterol dapat
meningkatkan faktor resiko lainnya seperti obesitas, hiperlipidemia, dan diabetes,
dimana faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan penyakit jantung koroner.
Konsumsi sayur-sayuran, buah-buahan, dan serat yang cukup dapat mencegah
terjadinya penyakit jantung koroner.
6. Olah raga
Olah raga yang cukup dapat memberikan beberapa keuntungan seperti meningkatkan
level serum kolesterol HDL, menurunkan tekanan darah, menurunkan berat badan,
dan menurunkan insidensi resistensi insulin.
7. Obesitas
Obesitas biasanya disertai dengan beberapa faktor yang dapat memicu penyakit
jantung koroner seperti hipertensi sistemik, kegagalan metabolisme glukosa, resistensi
insulin, hipertrigliseridemia, penurunan kolesterol HDL, dan peningkatan fibrinogen.
-RINGKASAN OM 2009- 165
8. Vitamin dan homosistein
Kekurangan konsumsi vitamin B dapat menyebabkan level serum dari homosistein
yang mana dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit jantung koroner dan infark
miokard.
9. Plasma fibrinogen
Pengukuran fibrinogen berguna untuk mendeteksi peningkatan resiko thrombosis
pada pasien
10. Antioksidan
Terapi antioksidan dapat mengurangi resiko terjadinya penyakit kardiovaskular.
11. Disfungsi endothelial
Disfungsi endotel merupakan tahap awal terjadinya proses aterosklerosis dan dapat
terjadi akibat dislipidemia, hipertensi, dan diabetes.
9.2.3 Diagnosis
CAD biasanya didiagnosi berdasarkan tampilan klinis. Gejalanya meliputi sesak napas,
rasa tidak nyaman pada rahang, sakit pada lengan kiri, dyspnea, penyakit epigastrik.
Pemeriksaan penunjang: Exercise testing menggunakan electrocardiography (ECG).
9.2.4 Perawatan
Pasien dengan timbunan iskemik yang kecil, toleransi olahraga yang normal. fungsi LV
normal dapat diobati dengan obat-obatan seperti:
Aspirin, β-bloker, ACEI, dan HMG CoA reductase inhibitors mencegah dan mengurangi
insidensi infark miokardial serta kematian.
Nitrates, calcium channel blockers mengurangi gejala iskemia.
Pasien dengan pengurangan fungsi LV dan iskemia yang parah dilakukan tindakan
bedah: coronary artery bypass graft (CABG).
9.2.5 Prognosis
Adanya peningkatan pada terapi farmakologi, PCI dan teknik bedah secara signifikan
telah mengurangi jumlah kematian pada pasien CAD. Modifikasi faktor resiko dapat
meningkatkan prognosis kearah yang lebih baik
9.3 Heart Failure
-RINGKASAN OM 2009- 166
9.3.1 Definisi
Gagal jantung merupakan sindrom klinis yang disebabkan oleh berbagai etiologi. Gagal
jantung mungkin hasil dari fungsi kontraktil yang abnormal (disfungsi sistolik) atau gangguan
relaksasi (disfungsi diastolik). Beberapa penyebab umum disfungsi diastolik adalah hipertensi,
penyakit arteri koroner dengan segmen iskemik atau infark dari miokardium, idiopatik
kardiomiopati dilatasi, atau cardiomyopathy alkoholik.
9.3.2 Etiologi
a) Penyakit arteri koroner (kardiomiopati iskemik)
b) Hipertensi
c) Kardiomiopati
o Kardiomiopati dilatasi idiopatik
o hypertrophic cardiomyopathy
o Alkohol
o Diabetes
o Virus (virus coxsackie, Enterovirus, HIV)
o Gangguan infiltratif (amiloidosis, hemochromatosis, sarkoidosis)
o Racun (agen kemoterapi)
o Gangguan metabolisme (hipotiroidisme)
d) Penyakit jantung katup
e) penyakit perikardial
f) takiaritmia
g) output tinggi (tirotoksikosis, AV fistula, defisiensi tiamin)
9.3.3 Diagnosis
Gejala umum : Dyspnea, ortopnea, dan dispnea paroksismal nokturnal.
Keluhan spesifik : dada tidak nyaman, kelelahan, jantung berdebar, pusing, dan sinkop
yang tidak biasa.
Pasien asimptomatik sering didiagnosis ketika pemeriksaan rutin dan ditemukan
kelainan pada EKG, radiografi dada, atau echocardiograms.
Penurunan relatif tekanan darah sistol (karena berkurangnya curah jantung) dan
peningkatan tekanan darah diastol DPB (karena vasokonstriksi perifer) mengakibatkan
penurunan tekanan nadi. Perkusi jantung dan palpasi mengungkapkan pembesaran jantung
-RINGKASAN OM 2009- 167
dengan pergeseran secara lateral dan difus impuls apikal. Auskultasi dapat mengungkapkan
bunyi desiran tidak normal dari holosistolik apikal regurgitasi mitral dan parasternal lebih
rendah dari regurgitasi trikuspid. Suara jantung ketiga dan keempat dapat didengar,
menandakan bukti disfungsi sistolik dan diastolik. Distensi vena jugularis, edema perifer, dan
hepatomegali menandakan bukti tekanan jantung kanan yang tinggi dan disfungsi ventrikel
kanan. Temuan lain pada pemeriksaan fisik adalah ekstremitas dingin dengan penurunan nadi,
cachexia general, atrofi otot, dan kelemahan karena gagal jantung kronis.
Radiografi dada menunjukkan pembesaran jantung, kongesti paru, dan efusi pleura.
EKG yang tidak normal merupakan satu-satunya indikasi penyakit jantung asimptomatik.
Elektrokardiograpi dapat mengungkapkan repolarisasi berkepanjangan (yaitu, Q-T interval),
dan spesifik ST dan perubahan gelombang T. Kriteria ventrikel kiri hipertrofi dengan kelainan
repolarisasi menunjukkan hipertensi sebagai etiologi. Takiaritmia supraventrikuler dan
ventricular tachycardia juga terkait dengan gagal jantung, seperti pengembangan fibrilasi
ventrikel dengan kematian jantung mendadak.
Ekokardiograpi transtorakik adalah alat diagnostik invasif yang paling berguna untuk
evaluasi pasien dengan gagal jantung dan memberikan informasi tidak hanya pada ukuran
jantung secara keseluruhan dan fungsi, tetapi juga pada struktur katup dan fungsi, gerakan
dinding dan ketebalan, massa ventrikel kiri, dan adanya penyakit perikardial. Turunan Doppler
hemodinamik secara akurat memprediksi tingkat keparahan regurgitasi katup yang terlihat
pada gagal jantung dan memberikan estimasi noninvasif tekanan arteri pulmonalis. Teknik
Doppler juga dapat digunakan untuk mengevaluasi kelainan diastolik ventrikel kiri, yang sering
hadir pada pasien gagal jantung.
Kateterisasi jantung (dengan pengukuran tekanan intrakardiak dan curah jantung),
bersama dengan coronaryangiography, berguna dalam mengevaluasi etiologi gagal jantung.
Penyebab paling umum dari gagal jantung dan kardiomiopati adalah penyakit arteri koroner.
Temuan khas pada kateterisasi pada kasus gagal jantung meliputi peningkatan tekanan
diastolik akhir ventrikel kiri, ganjalan, arteri paru-paru, dan jantung kanan; peningkatan ukuran
ventrikel kiri dengan penurunan fungsi keseluruhan; dan regurgitasi mitral. Kelainan gerakan
dinding regional dapat dilihat baik pada kardiomiopati iskemik maupun kardiomiopati meluas
tapi biasanya kurang menonjol pada pasien yang tidak memiliki penyakit jantung iskemik.
9.3.4 Perawatan
-RINGKASAN OM 2009- 168
Pengobatan gagal jantung harus individual sesuai etiologi dari gagal jantung dan
pasien. Pasien dengan penyakit jantung iskemik dan gagal jantung harus dievaluasi. Pasien
dengan kardiomiopati alkoholik harus menjauhkan diri dari alkohol, karena ini menyebabkan
peningkatan ventrikel kiri. Hipertensi harus diobati secara agresif dengan intervensi
farmakologis dan ukuran diet. Untuk pasien dengan disfungsi sistolik primer,
ACEI adalah andalan terapi obat oral. Agen ini jelas telah terbukti menurunkan angka
kematian dan memperpanjang kelangsungan hidup. Terapi ini juga menunda onset dan
mengurangi gejala gagal jantung pada pasien dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri. Jika ACEI
tidak dapat mentoleransi, reseptor antagonis angiotensin atau kombinasi turunan hydralazine
dan nitrat bisa menggantikan. Digoxin efektif dalam mengurangi angka kesakitan dan rawat
inap tetapi memiliki sedikit efek terhadap mortalitas secara keseluruhan. Spironolactone
meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien gagal jantung kongestif parah. Penggunaan β-
blocker pilihan terapi pada pasien dengan gagal jantung dan disfungsi sistolik ventrikel kiri.
Dosis harus dimulai pada tingkat rendah dan perlahan dititrasi sampai beberapa minggu atau
bulan. Gejala gagal jantung pada awalnya dapat memperburuk, dan dosis obat lain mungkin
perlu disesuaikan pada tahap awal terapi β-blocker.
Antikoagulasi dengan warfarin (Coumadin) pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri
telah terbukti mengurangi morbiditas dan mortalitas dari peristiwa kardioembolik yang
mengembangkan sekunder untuk pembesaran ruang dan stasis darah; Namun, risiko
pendarahan perlu disadari.Terapi antikoagulan lebih memberi manfaat pada pasien dengan
fibrilasi atrium atau atrium berdebar atau untuk pasien dengan irama sinus dengan fraksi
ejeksi ventrikel kiri kurang dari 20%.
Bagi pasien simptomatik, terapi intravena dengan diuretik dan inotropik mungkin perlu
dimulai. Beberapa pasien merespon dengan baik terhadap pengobatan ini, dan terapi oral
dapat kemudian dilanjutkan dengan cepat; pasien lain membutuhkan terapi intravena jangka
panjang. Untuk pasien yang tidak berhasil dihentikan dari pengobatan intravena dan yang
tidak memiliki morbiditas yang signifikan lainnya, jantung transplantasi adalah pilihan terapi
lain.
9.4 Acute Coronary Syndromes (Sindrom Koroner Akut)
9.4.1 Definisi
Definisi: ruptur dari atherosclerotic plak yang secara tiba-tiba terjadi karena
berkurangnya aliran.
-RINGKASAN OM 2009- 169
Formasi trombus intrakorona menyebabkan iskemik myocardia dan inrak
subsequent yang berkelanjutan berkurangnya aliran darah yang parah.
9.4.2 Diagnosis
Histori pasien biasanya mengalami perubahan pola anginal atau memiliki simptom
iskemik yang terus menerus. Lihat hasil EKG patut dicurigai apabila tidak normal. Level dari
serum cardiac enzym: creatine phosphokinasi (CPK) tidak naik secara signifikan
9.4.3 Perawatan
Tabel 9.2 Perawatan Sindrom Koroner Akut
9.4.4 Pencegahan Umum Sebelum Melakukan Dental Prosedur
a) Dokter harus mampu melakukan standar basic life support
b) Lakukan pengecekkan tanda vital sebelum melakukan tindakan
c) Pengecekkan tekanan darah dan denyut serta ritme nadi harus dilakukan
d) Pasien dengan CAD mempunyai resiko tekanan darah tinggi
-RINGKASAN OM 2009- 170
e) Kecemasan juga dapat menambah tekanan darah
f) Pramedikasi anti kecemasan dapat dilakukan dengan pemakaian nitrous oksida
9.4.5 Terapi Antikoagulan dan Perawatan Dental
Pasien dengan CAD biasanya memerlukan penggunaan aspirin. Penambahan
antiplatelet agen seperti clopidogrel atau ticlopidine biasanya digunakan segera
setelah arteri koroner stenting.
Aspirin meningkatkan resiko pendarahan saat ekstraksi gigi.
2 tipe obat antikoagulan:
Antiplatelet
Antithrombine
9.5 Valvular Heart Disease
9.5.1 Mitral Stenosis
Mitral stenosis adalah suatu penyempitan jalan aliran darah ke ventrikel. Penyempitan
katup mitral menyebabkan katup tidak terbuka dengan tepat dan menghambat aliran darah
antara ruang-ruang jantung kiri. Ketika katup mitral menyempit (stenosis), darah tidak dapat
dengan efisien melewati jantung. Kondisi ini menyebabkan seseorang menjadi lemah dan
nafas menjadi pendek serta gejala lainnya.
9.5.1.1 Epidemiologi
Di negara-negara maju, insidens dari mitral stenosis telah menurun karena
berkurangnya kasus demam rematik sedangkan di negara-negara yang belum berkembang
cenderung meningkat. Dua pertiga pasien kelainan ini adalah wanita. Gejala biasanya timbul
antara umur 20 sampai 50 tahun. Gejala dapat pula nampak sejak lahir, tetapi jarang sebagai
defek tunggal. Mitral stenosis kongenital lebih sering sebagai bagian dari deformitas jantung
kompleks.
9.5.1.2 Etiologi
Penyebab tersering dari mitral stenosis adalah demam reumatik. Penyebab yang agak
jarang antara lain: mitral stenosis kongenital, lupus eritematosus sistemik (SLE), artritis
-RINGKASAN OM 2009- 171
reumatoid (RA), atrial myxoma, dan endokarditis bacterial. Selain itu, virus seperti coxsackie
diduga memegang peranan pada timbulnya penyakit katup jantung kronis. Gejala dapat
dimulai dengan suatu episode atrial fibrilasi atau dapat dicetuskan oleh kehamilan dan stress
lainnya terhadap tubuh misalnya infeksi (pada jantung, paru-paru, etc) atau gangguan jantung
yang lain.
9.5.1.3 Patofisiologi
Mitral stenosis murni terdapat pada kurang lebih 40% dari semua penderita penyakit
jantung reumatik. Terdapat periode laten antara 10-20 tahun, atau lebih, setelah suatu
episode penyakit jantung rematik; dengan demikian tidak akan terjadi onset dari gejala mitral
stenosis sebelumnya. Bakteri Streptococcus Beta Hemolitikus Group A dapat menyebabkan
terjadinya demam reumatik. Selain itu, oleh tubuh dianggap antigen yang membuat tubuh
membuat antibodinya. Hanya saja, strukturnya ternyata mirip dengan katup mitral yang
membuat kadangkala antibodi tersebut malah menyerang katup mitral jantung. Hal ini dapat
membuat kerusakan pada katup mitral tersebut.
Pada proses perbaikannya, maka akan terdapat jaringan fibrosis pada katup tersebut
yang lama kelamaan akan membuatnya menjadi kaku. Pada saat terbuka dan tertutup akan
terdengar bunyi yang tidak normal seperti bunyi S1 mengeras, bunyi S2 tunggal, dan opening
snap, juga akan terdengar bising jantung ketika darah mengalir. Apabila kekakuan ini dibiarkan,
maka aliran darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri akan terganggu. Ini membuat tekanan pada
atrium kanan meningkat yang membuat terjadi pembesaran atrium kanan. Keregangan otot-
otot atrium ini akan menyebabkan terjadinya fibrilasi atrium.
Penyempitan dari katup mitral menyebabkan perubahan pada peredaran darah,
terutama di atas katup. Ventrikel kiri yang berada di bawah katup tidak banyak mengalami
perubahan kecuali pada mitral stenosis yang berat, ventrikel kiri dan aorta dapat menjadi kecil.
Mitral stenosis menghalangi aliran darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri selama fase diastolik
ventrikel. Untuk mengisi ventrikel dengan adekuat dan mempertahankan curah jantung,
atrium kiri harus menghasilkan tekanan yang lebih besar untuk mendorong darah melampaui
katup yang menyempit. Karena itu, selisih tekanan atau gradient tekanan antara kedua ruang
tersebut meningkat. Dalam keadaan normal selisih tekanan tersebut minimal.
Luas normal orifisium katup mitral adalah 4-6 cm2. Ketika daerah orifisium ini
berkurang hingga 2 cm2 maka akan terjadi peningkatan tekanan atrium kiri yang dibutuhkan
agar aliran transmitral tetap normal. Mitral stenosis yang parah terjadi ketika pembukaan
-RINGKASAN OM 2009- 172
berkurang hingga 1 cm2. Pada tahap ini dibutuhkan tekanan atrium kiri sebesar 25 mmHg
untuk mempertahankan cardiac output yang normal. Otot atrium kiri mengalami hipertrofi
untuk meningkatkan kekuatan memompa darah. Makin lama peranan kontraksi atrium makin
penting sebagai faktor pembantu pengisian ventrikel. Dilatasi atrium kiri terjadi oleh karena
volume atrium kiri meningkat karena ketidakmampuan atrium untuk mengosongkan diri
secara normal. Peningkatan tekanan dan volume atrium kiri dipantulkan ke belakang ke dalam
pembuluh paru-paru. Tekanan dalam vena pulmonalis dan kapiler meningkat, akibatnya terjadi
kongesti paru-paru, mulai dari kongesti vena yang ringan sampai edema interstitial yang
kadang-kadang disertai transudasi dalam alveoli.
Pada akhirnya, tekanan arteria pulmonalis harus meningkat sebagai akibat dari
resistensi vena pulmonalis yang meninggi. Respon ini memastikan gradient tekanan yang
memadai untuk mendorong darah melalui pembuluh paru-paru. Akan tetapi, hipertensi
pulmonalis meningkatkan resistensi ejeksi ventrikel kanan menuju arteria pulmonalis.
Ventrikel kanan memberi respons terhadap peningkatan beban tekanan ini dengan cara
hipertrofi. Lama kelamaan hipertrofi ini akan dikuti oleh dilatasi ventrikel kanan. Dilatasi
ventrikel kanan ini nampak pada foto jantung pada posisi lateral dan posisi PA. Pembesaran
ventrikel kanan ini lama kelamaan mempengaruhi fungsi katup trikuspid. Katup ini akan
mengalami insufisiensi. Kalau ventrikel kanan mengalami kegagalan, maka darah yang
mengalir ke paru berkurang.
9.5.1.4 Diagnosis
Gambaran klinis penyakit ini adalah sebagai berikut;
a) Riwayat demam reumatik akut, meskipun banyak pasien yang tidak lagi
mengingatnya
b) Riwayat murmur
c) Effort-induced dyspnea, merupakan keluhan yang paling banyak, sering dicetuskan
oleh latihan berat, demam, anemia, timbulnya atrial fibrilasi, atau kehamilan.
d) Lemah setelah berkegiatan
e) Hemoptisis karena ruptur vena bronkial yang tipis dan berdilatasi
f) Nyeri dada karena iskemia ventrikel kanan, menyerupai aterosklerosis koroner atau
emboli koroner
g) Tromboemboli
h) Palpitasi
-RINGKASAN OM 2009- 173
i) paroksismal nokturnal dispnea, ortopnea, atau edema paru yang tegas.
Tanda dari pemeriksaan fisis yang ditemukan tergantung perkembangan penyakit dan
tingkat dekompensasi kordis yang menyertai. Antara lain sebagai berikut:
a) Sianosis perifer dan fasial
b) Distensi vena jugular
c) Distress pernafasan, menandakan adanya edema paru
d) Bunyi S1 yang keras diikuti bunyi S2 dan opening snap, paling baik di linea sternalis
kiri
e) Digital clubbing
f) Embolisasi sistemik
g) Tanda-tanda gagal jantung kanan pada mitral stenosis berat meliputi ascites,
hepatomegali, dan edema perifer
h) Jika terjadi hipertensi pulmonal, dapat ditemukan kuat angkat pada ventrikel kanan,
dan peninggian bunyi P2.
9.5.1.5 Pemeriksaan
Stenosis mitral yang murni dapat dikenal dengan terdengarnya bising middiastolik
yang bersifat kasar, bising menggenderang (rumble), bunyi jantung satu yang mengeras. Jika
terdengar bunyi tambahan opening snap berarti katup masih relatif lemas sehingga waktu
terbuka mendadak saat diastol menimbulkan bunyi yang menyentak. Jarak bunyi jantung
kedua dengan opening snap memberikan gambaran beratnya stenosis. Makin pendek jarak ini
berarti makin berat derajat penyempitannya. Pada fase lanjut ketika sudah terjadi bendungan
interstitial dan alveolar paru akan terdengar ronkhi basah atau wheezing pada fase ekspirasi.
Untuk menunjang diagnosis dari Mitral Stenosis ini, maka dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang seperti foto thoraks dimana akan ditemukan adanya pembesaran
atrium kanan dan juga ditemukan udem paru. Pada pemeriksaan Elektrokardiogram, akan
ditemukan gangguan irama berupa fibrilasi atrium. Pada pemeriksaan Echocardiogram, dapat
ditentukan derajat stenosis katup mitral. Sedangkan pemeriksaan laboratorium hanya untuk
membantu menentukan adanya reaktivasi rheuma.
9.5.1.6 Diagnosis Banding
a) Insufisiensi mitral
-RINGKASAN OM 2009- 174
Bentuk jantung pada insufisiensi mitral ini hampir sama dengan stenosis mitral. Pada
insufisiensi mitral, ventrikel kiri nampak besar; sedang pada stenosis mitral ventrikel
kiri normal atau mengecil.
b) Regurgitasi Aorta
Hipertrofi ventrikel kiri yang jelas, pengurangan bunyi jantung pertama (S1) dan tidak
adanya opening snap pada auskultasi menyokong kearah regurgitasi aorta.
9.5.1.7 Terapi
Tidak ada pengobatan yang dibutuhkan jika gejala-gejala tidak ditemukan atau hanya
ringan saja. Rujukan ke rumah sakit hanya dibutuhkan untuk diagnosis atau penanganan gejala
yang berat. Tak ada obat yang dapat mengoreksi suatu defek katup mitral. Hanya saja obat-
obatan tertentu dapat digunakan untuk mengurangi gejala dengan mempermudah kerja
pemompaan jantung dan mengatur irama jantung, misalnya diuretik untuk mengurangi
akumulasi cairan di paru. Antikoagulan dapat membantu mencegah terbentuknya bekuan
darah pada jantung dengan kerusakan katup. Antibiotik diberikan bila pasien akan menjalani
tindakan bedah, tindakan dentologi, atau tindakan medis tertentu lainnya.
Tindakan bedah dapat dilakukan untuk mengoreksi kelainan ini. Kadang-kadang katup
dapat dibuka teregang dengan suatu prosedur yang disebut dengan balloon valvuloplasty.
Pada balloon valvuloplasty, sebuah balon berujung kateter disusupkan melewati vena dan
akhirnya sampai ke jantung. Ketika berada di dalam katup balon dikembangkan lalu
memisahkan daun katup. Pilihan lainnya adalah bedah jantung untuk memisahkan fusi
kommisura. Jika katup rusak berat dapat dilakukan mitral valve repair atau mitral valve
replacement.
9.5.1.8 Prognosis
Prognosis penyakit ini bervariasi. Gangguan dapat saja ringan, tanpa gejala, atau
menjadi berat. Riwayat yang banyak terjadi pada mitral stenosis adalah:
a) Timbulnya murmur 10 tahun setelah masa demam rematik
b) 10 tahun berikutnya gejala berkembang
c) 10 tahun berikutnya sebelum penderita mengalami sakit serius.
-RINGKASAN OM 2009- 175
9.5.1.9 Komplikasi
Komplikasi dapat berat atau mengancam jiwa. Mitral stenosis biasanya dapat dikontrol
dengan pengobatan dan membaik dengan valvuloplasty atau pembedahan. Tingkat mortalitas
post operatif pada mitral commisurotomy adalah 1-2% dan pada mitral valve replacement
adalah 2-5%.
9.5.2 Regurgitas Mitral
Regurgitasi mitral dapat terjadi pada pasien dengan penyakit jantung rematik, penyakit
jantung iskemik, atau gagal jantung kongestif. Namun, penyebab terseringnya adalah prolaps
katup mitral. Sekitar 2-5% dari populasi mengalami prolaps katup mitral. Sebagian besar
ditemuka pada usia 20 sampai 40 tahun dan lebih sering mengnai perempuan. Pada Prolaps
Katup Mitral (Mitral Valve Prolapse (MVP), selama ventrikel berkontraksi, daun katup
menonjol ke dalam atrium kiri, kadang-kadang memungkinkan terjadinya kebocoran
(regurgitasi) sejumlah kecil darah ke dalam atrium. Penyakit ini ditandai dengan penimbunan
substansi dasar longgar di dalam daun dan korda katup mitral, yang menyebabkan katup
menjadi “floopy” dan inkompeten saat sistol. Prolaps katup mitral jarang menyebabkan
masalah jantung yang serius. Namun, bisa menjadi penyulit sindrom Marfan atau penyakit
jaringan ikat serupa, dan pernah dilaporkan sebagai penyakit dominan autosomal yang
berkaitan dnegan kromosom 16p. Sebagian besar timbul sebagai kasus yang sporadic.
9.5.2.1 Faktor Resiko Pada Prolaps Katup Mitral
• Wanita kurus yang memiliki kelainan dinding dada, skoliosis atau penyakit lainnya
• Penderita kelainan septum atrial yang letaknya tinggi pada dinding jantung (ostium
sekundum)
• Kehamilan (karena menyebabkan meningkatnya volume darah dan beban kerja
jantung)
• Kelelahan
9.5.2.2 Manifestasi Klinis
Sebagian besar penderita tidak memiliki gejala. Beberapa penderita memiliki gejala
sebagai berikut:
• nyeri dada
• palpitasi (jantung berdebar)
-RINGKASAN OM 2009- 176
• sakit kepala migren
• kelelahan
• pusing.
Pada saat penderita berdiri, tekanan darahnya dapat turun di bawah normal. Palpitasi
terjadi akibat kelainan denyut jantung yang sifatnya ringan.
9.5.2.3 Diagnosa
Diagnosis ditegakkan jika terdengar bunyi 'klik' yang khas melalui stetoskop
(midsistolik) yang disebabkan tegangan mendadak daun katup yang berlebihan dan korda
tendinae. Jika terdengar murmur pada saat ventrikel berkontraksi, berarti terjadi regurgitasi
(late sistolic murmur). Ekokardiografi memungkinkan dokter untuk melihat prolaps dan
menentukan beratnya regurgitasi.
9.5.2.4 Komplikasi
Pasien dengan prolaps katup mitral beresiko mengalami endokarditis infektif dan
kematian mendadak akibat aritmia ventrikel. Stroke atau infark dapat terjadi akibat embolisme
trombus yang terbentuk dalam atrium kiri.
9.5.2.5 Pengobatan
Sebagian besar penderita tidak memerlukan pengobatan. Jika jantung berdenyut
terlalu cepat, beta-blocker dapat digunakan untuk memperlambat denyut jantung serta
mengurangi palpitasi dan gejala lainnya. Jika terjadi regurgitasi, setiap kali sebelum menjalani
tindakan pencabutan gigi atau pembedahan, penderita harus mengkonsumsi antibiotik karena
terdapat resiko infeksi katup jantung.
9.5.3 Stenosis Aorta
9.5.3.1 Etiologi
Kalsifikasi senilis, penyakit jantung rematik, aorta bikuspid dan kelainan kongenital
lainnya merupakan etiologi paling sering. Di negara maju, etiologi tersering adalah kalsifikasi-
degeneratif dan seiring dengan prevalensi penyakit jantung koroner yang makin meningkat
faktor risiko kedua kelainan ini sama. Penyakit ini biasanya terdiagnosis pada umur 60-70. Di
negara kurang maju etiologi didominasi oleh penyakit jantung rematik dan biasanya sudah
-RINGKASAN OM 2009- 177
muncul pada umur 40-50 tahun. Sedangkan Aorta Bikuspid biasanya terdiagnosis pada umur
50-60 tahun.
9.5.3.2 Patogenesis
Area katup aorta normal berkisar 2-4cm2. Gradien ventrikel kiri dengan aorta mulai
terlihat bila area katup aorta <1.5cm2. Bila area katup mitral <1cm2, maka stenosis aorta
sudah disebut berat. Kemampuan adaptasi miokard menghadapi stenosis aorta meyebabkan
manifestasi baru muncul bertahun tahun kemudian. Hambatan aliran darah pada stenosis
katup aorta (progressive pressure overload of left ventricle akibat stenosis aorta) akan
merangsang mekanisme RAA (Renin-Angiotensin-Aldosteron) beserta mekanisme lainnya agar
miokard mengalami hipertrofi. Penambahan massa otot ventrikel kiri ini akan meningkatkan
tekanan intra-ventrikel agar dapat melampaui tahanan stenosis aorta tersebut dan
mempertahankan wall stress yang normal.
Namun bila tahanan aorta bertambah maka hipertrofi akan berkembang menjadi
patologik disertai penambahan jaringan kolagen dan menyebabkan kekakuan dinding
ventrikel, penurunan cadangan diastolic, penigkatan kebutuhan miokard dan iskemia miokard.
Pada akhirnya performa ventrikel kiri akan tergangu akibat dari asinkroni gerak dinding
ventrikel dan afterload mismatch. Gradien trans-valvular menurun, tekanan arteri pulmonalis
dan atrium kiri meningkat menyebabkan sesak nafas.
Gejala yang mencolok adalah sinkope, iskemia sub-endokard yang menghasilkan
angina dan berakhir dengan gagal miokard (gagal jantung kongestif). Angina timbul karena
iskemia miokard akibat dari kebutuhan yang meningkat hipertrofi ventrikel kiri, penurunan
suplai oksigen akibat dari penurunan cadangan koroner, penurunan waktu perfusi miokard
akibat dari tahanan katup aorta. Sinkop umumnya timbul saat aktifitas karena ketidak
mampuan jantung memenuhi peningkatan curah jantung saat aktifitas ditambah dengan reaksi
penurunan resistensi perifer.
Gangguan fungsi diastolic maupun sistolik ventrikel kiri dapat terjadi pada stenosis
aorta yang dapat diidentifikasi dari pemeriksaan jasmani,foto torak. Hipertrofi ventrikel akan
menigkatkan kekakuan seluruh dinding jantung. Deposisi kolagen akan menambah kekakuan
miokard dan menyebabkan disfungsi diastolik. Setelah penebalan miokard maksimal maka wall
stress tidak lagi dinormalisasi sehingga terjadi peninggian tekanan diastolic ventrikel kiri
menghasilkan penurunan fraksi ejeksi dan penurunan curah jantung yang disebut sebagai
disfungsi sistolik.
-RINGKASAN OM 2009- 178
9.5.3.3 Diagnosis
Pada tahap asimtomatik, stenosis aorta ditandai oleh murmur sistolik tipe ejeksi
dibasis jantung yang menyebar ke leher, paling keras di daerah aorta dan apeks. Pada awalnya
karena curah jantung masih baik,murmur ini keras dan kasar puncak mid-sistol dan disertai
thrill pada palpasi. Pada perkembangannya dimana curah jantung mulai menurun, murmur ini
menjadi lebih halus dengan puncak diakhir sistol. Pada stenosis aorta kongenital, murmur ini
biasanya didahului oleh Klik sistolik. Perabaan amplitude nadi menurun(pulsus parvus et
tardus). Bunyi jantung kedua melemah atau terdengar hanya satu komponen saja. Bila disertai
regurgitasi aorta akan ditemukan early diastolik murmur.
Foto toraks dapat normal pada tahap awal karena penebalan miokard kearah lumen
(hipertrofi konsentrik) ventrikel kiri. Kalsifikasi aorta dapat terlihat pada flouroskopi. Pada
tahap lanjut akan ditemukan dilatasi post stenotik aorta asendens,dilatasi venrikel kiri,kongesti
paru, pembesaran atrium kiri dan rongga jantung kanan.
Elektrokardiografi menunjukkan pembesaran ventrikel kiri. Pada kasus lanjut akan
ditemukan depresi segmen ST dan inversi gelombang T(LV Strain) di sandapan I,AVL dan
prekordial. Namun beratnya AS tidak bisa disingkirkan walaupun tanpa hipertrofi ventrikel kiri
pada EKG. Ekokardiografi, trans torakal (TTE) atau Trans Esophagela (TEE) sangat membantu
untuk menunjukkan penebalan dan kalsifikasi daun katup aorta. Gerak dan Jenis katup
bicuspid (congenital) atau tricuspid, hipertrofi ventrikel kiri, Fraki ejeksi yang menggambarkan
fungsi sistolik ventrike kiri dapat pula dinilai.
Kecepatan aliran darah di katup aorta(trans-valvular aortic velocity/disingkat V) dapat
diukur dengan Doppler-Ekokardiografi. Treadmil Exercise Test dulu dianggap kontraindikasi
pada stenosis aorta. Sekarang perlu bagi penderita stenosis aorta asimtomatik dengan velocity
transvalvular antara 3-4 m/deti. Dobutamin stress eko dapat pula dipakai untuk memastikan
beratnya penyakit pada stenosis aorta dengan gardien trans-aorta rendah atau fungsi sistolik
yang menurun. Dibeberapa pusat jantung, ekokardiografi sudah dapat mendiagnosis stenosis
aorta dengan sangat akurat dengan ekokardiografi transtorakal atau trans esophageal, tetapi
Angiografi koroner diperlukan bila direncanakan tidakan operasi katup untuk menilai anatomi
dan kemungkinan stensosi koroner. Kateterisasi jantung juga dapat membantu untuk
konfirmasi beratnya stenosis (Gradien katup dan area katup aorta),menilai anatomi
katup,fungsi sistolik ventrikel kiri.
-RINGKASAN OM 2009- 179
Perjalanan Penyakit Stenosis aorta asimtomatik mengalami periode normal yang laten
dan lamanya tergantung etiologi. Rata rata area katup aorta akan menurun 0.1 cm2 pertahun,
peningkatan gradient katup 7 mmHg pertahun jet velocity ber. Pada masa laten ini akan terjadi
fibrosis dan kalsifikasi katup, tambah 0.25m/detik setiap tahun. Periode laten ini lebih pendek
pada stenosis aorta karena Aorta Bikuspid serta reumatik dibandingkan dengan sklerotik aorta.
Gejala yang paling sering muncul adalah Angina (35%), sinkop (15%) dan gagal jantung (50%).
Begitu gejala muncul,rata rata hanya 25% yang bertahan hidup 3 tahun. Penderita dengan
angina hanya 50% bertahan hidup 5 tahun, kecuali dilakukn operasi ganti katup. Penderita
denga sinkope hanya 50% yang bertahan hidup 3 tahun. Penderita dengan gagal jantung hanya
50% yang bertahan hidup 2 tahun. Risiko mati mendadak pada penderita asimtomatik hanya
sekitar 2% sehingga pembedahan harus segera dilakukan pada penderita stenosis aorta
simtomatik. Penderita asimtomatik akan mengalami mati mendadak sebesar 0.5%/tahun.
Penderita yang sudah dioperasi akan mengalami re-operasi sebesar 1% pertahun dengan risiko
kematian operasi sebesar 1%.
Gradasi stenosis asimtomatik dapat diukur dengan Doppler di katup Aorta dan dapat
dipakai sebagai penentu timbulnya gejala. Hanya 3% penderita dengan Trans-valvular velocity
>4m/detik yang bertahan asimtomatik dalam 2 tahun. Sedangkan 85% penderita asimtomatik
dengan kecepatan <3m/detik dapat tetap hidup tanpa keluhan dalam 5 tahun. Beratnya
kalsifikasi katup oarta, peningkatan jet velocity yang progresif serta adanya penyakit jantung
koroner mempercepat timbulnya simtom dan memperburuk prognosis.
9.5.3.4 Terapi
Tidak ada pengobatan medikamentosa untuk Stenosis Aorta asimtomatik,tetapi begitu
timbul gejala seperti sinkop,angina atau gagal jantung segera harus dilakukan operasi katup,
tergantung pada kemampuan dokter bedah jantung. Dapat dilakukan reparasi (repair) atau
replace(mengganti katup dengan katup artificial). Penderita asimtomatik perlu dirujuk untuk
pemeriksaan Doppler-Ekokardiografi. Trans-valvular velocity lebih dari 4m/detik dianjurkan
untuk menjalani operasi seperti penderita simtomatik. Transvalvular-velocity kurang dari
3m/detik tetap diobservasi saja dan dibuat Doppler-ekokardiografi tiap 6 (bagi mereka yang
disertai penyakit jantung koroner atau kalsifikasi sedang dan berat)atau tiap tahun bila tidak
ditemukan hal dimuka.
Treadmill Ecercisercise Test merupakan kontra-indikasi pada stenosis aorta simtomatik
tetapi, bila transvalvular –velocity antaara 3-4m/detik ,maka Teradmil Exercise Test protocol
-RINGKASAN OM 2009- 180
Bruce dengan pengawasan ketat dianjurkan untuk menetukan saat yang tepat untuk operasi.
Bila timbul gejala,tekanan darah turun saat test atau kemampuan yang sangat rendah
(digambarkan dengan waktu exercise yang sangat pendek) saat treadmill test,maka penderita
dianjurkan untuk operasi katup seperti penderita simtomatik.
Karena patogenesis stenosis aorta akibat sklerosis aorta dianggap sama seperti
aterosklerosis, maka semua tindakan untuk pencegahan aterosklerosis harus diberikan untuk
mencegah progresifitas stenosis. Operasi penggatian katup dianjurkan bagi stenosis orta yang
simtomatik (angina,synkop atau penurunan fungsi sistolik jantung). Aktifitas fisik berat harus
dihindarkan pada penderita Stenosis Aorta berat (<0.5cm2/m2 walaupun masih asimtomatik.
Nitrogliserin diberikan bila ada angina. Diuretik dan digitalis diberikan bila ada tanda gagal
jantung. Statin dianjurkan untuk mencegah progresifitas kalsifikasi daun katup aorta. Operasi
dianjurkan bila area katup <1cm2 atau 0.6cm/m2 permukaan tubuh, disfungsi ventrikel kiri
(stress test), dilatasi post stenostik aorta walaupun asimtomatik. Stenosis aorta karena
kalsifikasi biasanya terjadi pada orang tua yang telah pula mengalami penurunan fungsi
ginjal,hati dan paru. Evaluasi dari organ organ ini diperlukan sebelum operasi dianjurkan.
Operasi yang paling sering dilakukan adalah penggatian dengan katup mekanik artificial atau
bioprotese, reparasi (reapir), homogaft atau autograft. Balonisasi atau tindakan pengantian
katup perkutan baru diperuntukkan bagi mereka yang berisiko sangat tinggi untuk operasi
penggantian katup, gagal jantung berat, komorbid yang tidak memungkinkan untuk operasi
jantung.
9.5.3.5 Prognosis
Survival rate 10 tahun penderita pasca operasi ganti katup aorta adalah sekitar 60%
dan rata rata 30% katup artifisial bioprotese mengalami gangguan setelah 10 tahun dan
memerlukan operasi ulang. Katup Metal artificial harus dilindungi dengan antikoagulan untuk
mencegah trombus dan embolisasi. Sebanyak 30% penderita ini akan mengalami komplikasi
perdarahan ringan-berat akibat dari terapi tersebut. Valvuloplasti aorta perkutan dengan balon
dapat dilakukan pada anak atau anak muda dengan stenosis aorta congenital non-kalsifikasi.
Pada orang dewasa dengan kalsifikasi, tindakan ini menimbulkan restenosis yang tinggi.
9.5.4 Regurgitasi Katup Aorta
-RINGKASAN OM 2009- 181
Regugitasi Katup Aorta (Inkompetensia Aorta, Insuffisiensi Aorta), Aortic Regurgitation)
adalah kebocoran pada katup aorta yang terjadi setiap kali ventrikel mengalami relaksasi.
9.5.4.1 Etiologi
Dulu penyebab utama dari regurgitasi katup aorta di Amerika Utara dan Eropa Barat
adalah demam rematik dan sifilis. Sekarang kedua penyakit ini sudah jarang ditemukan karena
antibiotik telah digunakan secara luas. Di wilayah lainnya, kerusakan katup akibat demam
rematik masih sering terjadi. Selain demam rematik, penyebab lainnya yang paling sering
ditemukan adalah:
• Melemahnya katup
• Bahan fibrosa akibat degenerasi miksomatous Degenerasi miksomatous merupakan
kelainan jaringan ikat yang diturunkan, yang memperlemah jaringan katup jantung dan
membuatnya meregang secara tidak normal dan kadang sobek.
• Kelainan bawaan
• Infeksi bakteri (endokarditis bakterialis)
• Ruptur traumatik
• Sindrom Marfan, Mukopolisakaridosis
9.5.4.2 Manifestasi Klinis
Regurgitasi katup aorta yang ringan tidak menimbulkan gejala selain murmur jantung
yang khas (setiap kali ventrikel kiri mengalami relaksasi), yang dapat didengar melalui
stetoskop. Pada regurgitasi yang berat, ventrikel kiri mengalirkan sejumlah besar darah, yang
menyebabkan pembesaran ventrikel dan akhirnya menjadi gagal jantung. Angina dapat muncul
sebelumnya akibat rendahnya tekanan artifisial dan timbulnya hipertrofi ventrikel kiri. Gagal
jantung menyebabkan sesak nafas sewaktu melakukan aktivitas atau sewaktu berbaring
telentang, terutama pada malam hari. Duduk tegak memungkinkan dialirkannya cairan dari
paru-paru bagian atas sehingga pernafasan kembali normal. Penderita juga mungkin
mengalami palpitasi (jantung berdebar) yang disebabkan oleh kontraksi yang kuat dari
ventrikel yang membesar. Bisa terjadi nyeri dada, terutama pada malam hari.
9.5.4.3 Diagnosa
-RINGKASAN OM 2009- 182
Diagnosis regurgitasi katup aorta biasanya ditegakkan bila:
• pada pemeriksaan dengan stetoskop terdengar bunyi murmur jantung yang khas
• pada pemeriksaan fisik ditemukan kelainan yang menunjukkan adanya regurgitasi
katup aorta (misalnya kelainan denyut nadi tertentu)
• pada rontgen dada ditemukan pembesaran jantung, kadang pula ditemukan normal.
• Elektrokardiogram dapat menunjukkan perubahan dari irama jantung dan tanda-tanda
dari pembesaran ventrikel kiri.
• Ekokardiografi dapat memberikan gambaran katup yang rusak dan bisa menunjukkan
beratnya penyakit.
Pengobatan untuk mencegah infeksi pada katup jantung yang rusak, setiap sebelum
menjalani tindakan gigi atau pembedahan, kepada penderita diberikan antibiotik. Tindakan
tersebut juga dilakukan pada regurgitasi katup aorta yang ringan. Jika timbul gejala gagal
jantung, harus dilakukan pembedahan sebelum ventrikel kiri mengalami kerusakan yang
menetap. Sebelum pembedahan dilakukan, gagal jantung diobati dengan digoksin dan
penghambat ACE, atau obat lain yang melebarkan pembuluh darah dan mengurangi kerja
jantung. Biasanya katup akan diganti dengan katup mekanik atau katup yang sebagian dibuat
dari katup babi.
9.5.5 Regurgitasi Trikuspid
Regurgitasi trikuspid adalah kembalinya sebagian darah ke atrium kanan pada saat
diastolik. Keadaan ini dapat terjadi primer yakni akibat kelainan organik katup maupun sekuder
karena hipertensi pulmonal, perubahan fungsi maupun geometri ventrikel berupa dilatasi
ventrikel kanan maupun anulus trikuspid. Penyakit jantung rematik dapat secara langsung
mengenai katup trikuspid dan biasanya disertai dengan stenosis. Pada kelainan ini terjadi
kenaikan tekanan akhir diastolik pada atrium dan ventrikel kanan. Tekanan atrium akan
meningkat mendekati tekanan ventrikel kanan sesuai dengan kenaikan tekanan ventrikel
kanan, yaitu sesuai dengan derajat kenaikan katup trikuspid. Tekanan sistolik arteri pulmonalis
ventrikel kanan dapat dipakai sebagai petunjuk kasar regurgitasi primer atau sekunder. Bila
tekanan kurang dari 40 mmHg dianggap cenderung ke arah primer.
9.5.5.1 Manifestasi Klinis
-RINGKASAN OM 2009- 183
Regurgitasi trikuspid tanpa hipertensi pulmonal biasanya tidak memberikan keluhan
dan dapat ditoleransi dengan baik. Rasio perempuan terhadap pria adalah 2:1, dengan rata-
rata usia 40 tahun. Oleh karena lebih sering bersamaan dnegan stenosis mitral, maka gejala
stenosis mitral biasnaya lebih dominan.
9.5.5.2 Pemeriksaan Fisik
Pada inspeksi selalu terlihat adanya gambaran penurunan berat badan, kakeksia,
sianosis, dan ikterus. Biasanya selalu dijumpai pelebaran vena jugularis. Akan terlihat juga
impuls ventrikel kanan yang mencolok. Pada saat sistolik juga dapat teraba impuls atrium
kanan pada garis sternal kiri bawah. Pada asukultasi dapat terdengar S3 dari ventrikel kanan
yang terdengar lebih keras saat terjadi inspirasi, dan bila disertai hipertensi pulmonal suara P2
akan mengeras. Perlu diingat bahwa derajat bising pada regurgitasi trikuspid akan meningkat
pada inspirasi. Adanya kenaikan aliran melalui katup trikuspid dapat menimbulkan bising
diastolik parasternal kiri.
9.5.5.3 Pemeriksaan Penunjang
Pulsed color doppler echocardiography, merupakan sarana yang mempunyai akurasi,
sensitivitas dan spesivitas yang tinggi dalam menentukan adanya regurgitasi trikuspid.
9.5.5.4 Pengobatan Konservatif
Ditujukan terutama bila terdapat tanda-tanda kegagalan fungsi jantung berupa
istirahat, pemakaian diuretik dan digitalis. Tanpa suatu tanda hipertensi pulmonale biasanya
tidak diperlukan suatu tindakan pembedahan.
9.5.6 Stenosis Trikuspid
Stenosis trikuspid merupakan kelainan katup yang jarang ditemukan, dan paling sering
merupakan penyakit jantung reumatik yang menyertai kelainan katup mitral atau aorta.
Kejadian ini lebih sering terjadi pada perempuan dengan umur 20-60 tahun.
9.5.6.1 Etiologi
Etiologi penyakit ini selalu disebabkan oleh penyakit jantung reumatik. Keadaan lain
yang dapat menjadi etiologi adalah atresia trikuspid, tumor atrium kanan, sindrom karsinoid
dan vegetasi pada daun katup. Perubahan anatomik sering ditemukan sebagaimnaa stenosis
-RINGKASAN OM 2009- 184
mitral berupa fusi dan pemendekan korda tendinea dan fusi pinggiran katup. Sebagai mana
katup mitral, stenosis sering diiringi dnegan regurgitasi. Atrium kanan akan melebar dengan
dinding yang tebal. Pada keadaan normal pressure gradient hanya 1 mmHg. Bila meningkat
sampai 2 mmHg sudah dpaat menunjukana danya stenosis trikuspid.
9.5.6.2 Manifestasi Klinis
Rendahnya curah jantung, mudah lelah, dan adanya kongesti sistemik dan
hepatomegai menimbulkan keluhan tidak enak pada perut. Perut membesar dan bengkak
umum. Beberapa pasien mengeluh denyut pada leher akibat besarnya gelombang a pada vena
jugularis.
9.5.6.3 Pemeriksaan Fisik
Oleh karena sering menyertai kelainan katup lain, stenosis trikuspid ini tidak
terdiagnosis, kecuali memang snegaja dicari. Pada auskultasi dapat terdengar opening snap
pada garis sternal kiri sampai pada xifoideus, terutama presistolik. Bising ini akan menjadi lebih
keras pada inspirasi, dan melemah pada ekspirasi dan manuver valsava karena menurunnya
aliran darah melalui trikuspid.
9.5.6.4 Pemeriksaan Penunjang
Gambaran pembesaran atrium kanan pada EKG berupa gelombang p yang tinggi dan
tajam pada sadapan II, demikian pula pada V1. Pada pemeriksaan foto toraks didapatkan
pembesaran atrium kanan dan vena kava superior tanpa pembesaran arteri pulmonalis. Tidak
didapatkan pembendungan paru. Ekokardigrafi menunjukan penebala daun katup trikuspid
dnegan gambaran dooming dan adanya gradient transvalvular pada pemeriksaan dopler.
9.5.6.5 Pengobatan
Dalam hal ini dibutuhkan diuretik atau retriksi konsumsi garam. Keadaan ini
dibutuhkan untuk memperbaiki fungsi hati yang sangat dibutuhkan apda saat operasi. Selain
itu, pemakaian antibiotik dapat mencegah terjadinya endokarditis infektif. Tindakan operasi
dapat berupa komisurotomi tapi bila disertai regurgitasi dapat dilakukan anulopasti secara
bersamaan.
-RINGKASAN OM 2009- 185
DAFTAR PUSTAKA
Akil, H. A. M. Tukak Duodenum. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI.
Balatandayoudam, A et al. 2012. Dental Consideration For Patient With Hepatic Dysfunction. Jident Issue 1. Vol 1: 1-7.
Crus-Pamplona, M et al. 2011. Dental Consideration in Patient With Liver Disease. J Clin Exp Dent. 3(2): 127-134.
Greenberg, M.S and Michael Glick. 2008. Burket’s Oral Medicine Diagnosis and Treatment. 11th ed. Hamilton: BC Decker Inc.
http://www.persify.com/id/perspectives/medical-conditions-diseases/hiatus-hernia-_-951000103543
McPhee, S.J & William F. Ganong. 2006. Pathophysiologyof Desiase An Introduction to Clinical Medicine. 5th ed. United State: The Mac Graw-Hill Companies.
Olckzak-Kowalczyk, Dorota et al. 2014. Oral Helath and Liver Fucntion in Children and Adolescents With Cirrhosis of The Liver. Przeglad Gastroenterologiczny. 9(1): 25-30.
Pincus, M.R et al. __. Evaluation of Liver Function. Chapter 21.263-276.
Rockey, D.C and Scott, L Fredman. 2006. Hepatis Firbosis and Cirrhosis. Pathophysiology of The Liver. 87-110.
Scully, C. 2010.Medical Problems in Dentistry.6th ed. United States: Churcill Livingstone.
Tsochatzis, E A et al. 2014. Liver Cirrhosis. Seminar: 1-13.
Carabello,BA, Is it time to Operate on Asymptomatic Aortic Stensosis?ACCEL.November 2004,vol 36,no 11,Disc 1
Fuster V, Aortic Valve Sclerosis.The 37th Annual New york Cardiovascular Symposium:Major Topics in Cardiology Today,New York Hilton and Towers,New York,December 10-12,2004:
Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2005.
Otto,CM,Aortic Stenosis:even mild disease is significant.Eur J Card 2004;25:185-187
-RINGKASAN OM 2009- 186
Rosenhek R,Klaar U,Schemper M etal, Mild and moderate aortic stenosis.Eur J Card 2004;25:199-205
Stewart WJ and Carabello BA,Aortic Valve Disease.In:Topol EJ(Editor),Textbook of Cardiovascular Medicine, ed2 , Lippincot Williams and Wilkins,Philadelphia,2002,509-516
Sudoyo WA, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2009.
Vahanian A,Lung B,Dion R and Peper J.Valvular Heart Disease.In Camm JA, Lucher TF,Serruiys PW(Eds) .Textbook of Cardiovascular Medicine.Blackwall Publishing and European Society of Cardiology,2006.p 625-670
Harris, J.P., Weisman,M.H. 2010. Head and neck manifestations of systemic disease.New
York: Informa Healthcare USA, Inc
Son, Y. M., et al. 2011. The Neumann Type of Pemphigus Vegetans Treated with
Combination of Dapsone and Steroid. Ann Dermatol. 23(3): 310-313.
Greenberg, M.S. and Glick, M. 2008. Burket’s Oral Medicine: Diagnosis and Treatment 11th
ed. Ontario : BC Decker Inc.
Adriano, A. R., et al. 2011. Pemphigus vegetans induced by use of enalapril (Case Report).
An Bras Dermatol. 86(6):1197-200.
Almeida, Jr. HL., et al. 2006. Pemphigus Vegetans Associated With Verrucous Lesions -
Expanding A Phenotype. CLINICS. 61(3):279-82.
-RINGKASAN OM 2009- 187
top related