caping+cari angin+kolom tempo 6.2.2014-15.2.2014
Post on 04-Jun-2018
245 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
1/64
Douch
Senin, 10 Februari 2014
Apa yang dapat dikatakan tentang seorang algojo?
Sudah kita saksikan Anwar Congo dalam film dokumenter The Act of Killing Joshua
Oppenheimer: preman Medan yang dengan bangga mengaku telah membantai banyak orang
"komunis" di pertengahan 1960-an, tapi di adegan terakhir hampir sepenuhnya diam, hanya
batuknya yang terdengar di rumah bekas tempat pembunuhan itu, hanya tubuh tuanya yang
lelah menuruni tangga.
Ketika film berakhir, tak ada cerita tentang apa yang terjadi dengan Anwar Congo di saat itu,
setelah itu. Akhirnya manusia tak bisa lengkap didokumentasikan, pikir saya. Anwar Congo
tak hanya satu.
Mungkin begitu juga Douch. Nama sebenarnya Kang Kek Iew. Dalam sejarah Kamboja yang
berlumuran darah selama dasawarsa 1970-an, ia pejabat Khmer Merah yang memimpin
Penjara Tuol Sleng, yang juga disebut "S-21". Ia tokoh kebengisan yang tak kalah
mengerikan.
Selama empat tahun Partai Komunis berkuasa di Kamboja, ribuan disekap di tempat yangberarti "bukit pohon beracun" itu.
Douch, direktur "S-21" sejak 1975, adalah sang pencabut nyawa. Ketika Khmer Merah kalah
dan ia ditangkap dan diadili, bukti-bukti ditunjukkan: ada perintah tertulisnya, misalnya,
untuk "menghantam sampai hancur" 17 tahanan (8 pemuda belasan tahun dan 9 anak-anak).
Dalam daftar 20 tahanan perempuan ia menulis instruksi di bawah tiap nama: "bawa untuk
dieksekusi"; "terus diinterogasi"; "untuk eksperimen medis".
Douch juga mengakui: anak buahnya merenggutkan bayi dari ibu mereka dan membenturkan
kepala orok itu ke pohon, sampai mati.
Dari sekitar 17 ribu tahanan, hanya tujuh yang hidup.
Pejabat yang dulu seorang guru matematika ini orang yang teliti tampaknya. Hampir tiap
korban dicatat dan dipotret. Ketika Khmer Merah meninggalkan Phnom Penh, lari dari
pasukan Vietnam yang masuk dan membentuk pemerintahan sosialis baru, Douch tak sempat
membakar dokumentasi itu-dan itu yang menjeratnya.
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
2/64
Mengapakah kekejaman itu harus direkam? Ekspresi sadisme seorang jagal? Atau bagian
desain masa depan yang diperkirakan akan perlu bukti pembantaian itu-masa depan yang
akan membenarkannya?
Douch percaya, itulah yang akan terjadi: masa depan akan membenarkannya. Baginya,
kekejaman tak terelakkan untuk menggerakkan sejarah. Bukankah revolusi Prancis
"memenggal beratus-ratus kepala"? "Tak peduli besarnya korban," kata Douch, "yang penting
adalah keagungan tujuan itu sendiri."
Ia katakan semua itu di suatu malam, di sebuah sudut hutan, di depan orang yang
ditangkapnya dengan tuduhan "mata-mata CIA": Franois Bizot.
Bizot, antropolog muda dari Prancis, sedang mempelajari Buddhisme di pedalaman Kamboja.
Itu tahun 1971: bukan periode yang aman bagi siapa pun. Kelompok komunis lokal, "Khmer
Merah", baru bangkit, dan makin kuat justru karena pengeboman Amerika. Berada di sekitarAngkor Wat yang mereka kuasai, Bizot ditangkap. Ia dirantai di sebuah kamp tahanan kecil
di hutan.
Dua temannya, orang Kamboja, juga ditangkap (dan kemudian dibunuh). Bizot dibiarkan
hidup. Bahkan akhirnya setelah tiga bulan disekap, ia dibebaskan. Sekitar 30 tahun kemudian,
setelah lama diam, ia menulis buku tentang pengalamannya itu, Le Portail-sebuah buku yang
ditulisnya dengan "kepahitan yang tak terhingga".
"Kepahitan" agaknya bukan datang dari Douch. Orang yang ia sebut "penyiksa" ini
membiarkan Bizot mandi di sungai dan berjalan-jalan di sekitar kamp. Bizot bisa berbahasa
Khmer, Douch berbahasa Prancis. Berangsur-angsur, ada semacam kecocokan di antara
mereka berdua.
Di malam menjelang Bizot dibebaskan, Douch membuat pesta: pidato, lagu-lagu, dan
jamuan, dengan 13 ekor ayam dipotong. Dan sampai fajar merekah, si tahanan dan si algojo
duduk bercakap-cakap di depan api unggun yang pelan-pelan padam.
Apa yang bisa dikatakan tentang Douch? Ia lelaki yang amat yakin tentang masa depan dan
pada umur 29 tahun bersiap jadi pembunuh. Tapi Douch juga yang mempertaruhkannyawanya sendiri ketika ia mengusulkan kepada para atasannya yang bertangan besi agar
Bizot dibebaskan.
Ketika kemudian Douch tertangkap dan dibawa ke depan mahkamah, ada pertanyaan:
maukah Bizot bersaksi? Kepada koran Libration ia menjawab "ya, jika pihak penuntut
memintanya, ya, jika pihak pembela memintanya".
Sikap yang mendua, tentu. Sebab baginya, jagal di Kamp "S-21" itu tokoh yang tragis,
"seorang anak yang memberanikan diri hidup di antara serigala". Agar hidup terus, "ia
minum susu mereka, dan belajar melolong seperti mereka". Sejak itu, Teror berkuasa dan"membujuknya untuk memakai wajah moralitas dan ketertiban".
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
3/64
"Moralitas" berarti keyakinan komunis yang murni semurni-murninya, "ketertiban"
membasmi apa saja yang dianggap cacat. Douch hidup dengan ekologi kekerasan sejarah
modern Kamboja: kolonialisme, Perang Dingin, intervensi Amerika dengan
bombardemennya, Perang Vietnam, Revolusi Kebudayaan Cina, kebrutalan penguasa, dan
kesengsaraan di pedalaman.
Dari semua itu lahir niat dengan ideologi untuk mengubah dunia, dengan iman yang mutlak
dan menggelegak. Dunia pun dibelah: ada yang "lama" dan yang "baru", "patriot" dan
"pengkhianat", "proletar" dan "borjuis". Sejarah adalah cerita dua kubu yang saling
menghantam untuk jadi Merah atau Hitam.
Dengan pandangan itu, seorang Douch tak akan tertegun bila sadar bahwa selama
pemerintahan Khmer Rouge sekitar dua juta orang Kamboja dibunuh. Dan kita pun akan
ingat semua kebengisan sejak 1914 dan kata-kata Elias Canetti: "It is a mark of fundamental
human decency to feel ashamed of living in the 20th century."
Agaknya itulah dasar "kepahitan yang tak terhingga" yang mengiringi Bizot menulis.
Goenawan Mohamad
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
4/64
Saksi
Sabtu, 08 Februari 2014
Putu Setia
Polemik soal saksi partai dengan dana negara merangsang saya untuk mewawancarai saksi
partai di kampung. Astaga, orang itu sok nyentrik, hanya mau menjawab pertanyaan saya
secara tertulis. "Nanti saya buat pengakuan bergaya puisi esai," katanya. Saya tertawa. Seharikemudian, saya terima pengakuan berikut ini.
Namaku Pardanem, bukan nama asli. Pekerjaan tukang sortir kopi luak di lereng Batukaru
yang dingin. Kemiskinan menyebabkan aku tak bisa meneruskan sekolah. Syukur aku lancar
berbahasa Melayu dan badan gempal, aku sudah dua kali menjadi saksi partai politik saat
pemilu. Nanti pun dipakai lagi. Pardanem namaku, nama jelek tapi ada artinya. Pemilu harus
menambah rezeki. Aku tak peduli apakah saksi partai dibayar lagi oleh pemerintah. Kusebut
lagi, karena yang membayari aku sudah ada. Pimpinan partai di kecamatan mengupah aku Rp
150 ribu. Ini pemilu 2009, nanti bisa lebih.
Rezeki sampingan tentu ada. Seperti pemilu yang lalu, aku dekati caleg nomor urut satu.
Kukatakan, pemilih tua di kampung repot mencoblos nomor urut. Mereka tak mau ribet,
hanya coblos gambar partai. "Mau beri uang saksi berapa supaya coblosan itu sah dan masuk
ke nomor satu?" kataku. Caleg itu memberiku uang Rp 50 ribu sambil membentak:
"Peraturan memang begitu, kamu kerja yang benar." Dan aku, Pardanem, bukan orang yang
mudah dibentak. Kubentak balik dia: "Kerjaku seharian. Kalau aku ngantuk, saksi lain bisa
bermain." Lalu uang yang kuterima ditambah.
Aku tak peduli hasil pemilu, tak ada pengaruhnya buat kehidupan di kampungku. Jangan
dikira perhitungan suara dilakukan serius seperti di kota. Kami semua bercanda, kami dari
kampung yang sama. Masyarakat yang menyaksikan juga tak ada. Mereka datang ke tempat
pemungutan suara saja sudah syukur, menggemukkan kambing lebih penting dari melihat
hasil pemilu. Maka, diam-diam kudekati lagi caleg nomor urut dua, atau tiga, atau seterusnya,
tergantung yang bisa dibohongi. Ah, para caleg itu kan pembohong juga.
"Memangnya, kalau yang dicoblos gambar partai saja, kamu bisa alihkan ke nomorku?"
Tanya caleg itu. Aku tertawa, ini akting, aku kan pemain drama gong. "Itu sepele. Yang
penting ada sangu," kataku. Caleg itu memberiku uang dan janji kalau terpilih akan memberi
hadiah. Uang kuterima, janji tak pernah kuingat: mana ada caleg memenuhi janjinya?
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
5/64
Namaku Pardanem, artinya berakal banyak. Yang tadi itu kan caleg untuk DPR, belum lagi
DPRD provinsi dan DPRD kabupaten. Yang ini todonganku lebih besar, kan calonnya ada
banyak. Orang di kampungku, kalau mencoblos caleg nomor empat dan seterusnya, mengaku
malas menghitung baris-baris. Aku berjanji akan membantu caleg di nomor urut susah, dari
lima ke atas. Janji gombalku dalam praktek berhasil meraup uang.
Yang masalah, calon Dewan Perwakilan Daerah. Yang dicoblos gambar orangnya. Pemilu ini
di Bali ada 41 calon, bingung orang desa memilih. Mereka itu hantu, balihonya ada di desa,
orangnya tak pernah muncul. Di antaranya, sepuluh lebih orang Bali tinggal di Jakarta. Dia
bisa ditodong juga, asal aku berhasil mencari kontaknya.
Apakah kutak-katik surat suara ini akan ketahuan, kalau kami bermain? Sekali lagi
kuberitahu, petugas di tempat pemungutan suara itu orang-orang kampung yang baik. Mereka
tahu pemilu harus dimanfaatkan untuk mencari uang. Toh para caleg semuanya mencari
rezeki, gombal besar kalau mereka berjuang untuk rakyat. Kalau pemilu mau serius, kamipun bisa. Tapi, wakil rakyat yang terpilih, serius juga dong memikirkan nasib kami. Aku,
Pardanem, jangan dikira orang tolol.
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
6/64
Garis Nasib
Jum'at, 07 Februari 2014
Idrus F. Shahab, idrus@tempo.co.id
Seolah-olah menepati janjinya tahun lalu, banjir kembali menggenangi Ibu Kota. Di
rumahnya, Wak Lihun terduduk di bangku panjang, menyaksikan benda-benda asing itu-
sandal jepit tipis, botol susu bayi, sepasang kaus kaki hitam, dompet laki-laki, serta cakrampadat Lady Gaga dan H Rhoma Irama-berenang di air tak harum itu.
Beberapa jam yang lalu, benda-benda itu mungkin milik seorang janda beranak banyak di
Bogor sana, atau seorang pensiunan pegawai negeri yang tinggal di perumahan bank yang
masih satu kelurahan dengan rumahnya.
Setiap benda mewakili satu keluarga, dan masing-masing keluarga menyimpan potongan
biografi, cerita manusia, yang selalu menarik. Namun Wak Lihun tak peduli. Dengan
matanya yang lelah, kini ia menatap pantulan wajahnya yang kusut pada genangan air cokelat
dan kotor itu.
Seperti ada yang menggiring, perlahan pandangan matanya bergerak ke sebuah sudut di mana
sebuah album foto keluarga tampak timbul-tenggelam di air berlumpur itu. Ia melupakan rasa
letihnya, dan sejurus kemudian album itu pun sudah berada di tangannya. Wak Lihun
terpesona menatap foto dirinya pada 1955: seorang anak berumur 6 tahun yang bangga akan
seragam dokter kecil dengan stetoskop mini di lehernya.
Seumur-umur ia akhirnya tidak pernah menyandang gelar dokter, tapi ia cepat
menyimpulkan: seperti para tetanggaku yang bermimpi jadi tentara, cita-cita cukup menjadihiasan dalam hidup, tak perlu menjadi kenyataan. Wak Lihun menyebutnya garis hidup, tapi
orang lain mengatakan faktor ekonomilah yang menggagalkannya merengkuh cita-cita.
Menahan berat album, tangan Wak Lihun yang keriput itu bergetar keras, tapi ia tak hendak
berhenti. Album foto itu seperti sebuah harapan bahwa satu momen akan diikuti momen lain,
satu babak diikuti babak lain, seperti rangkaian gerbong kereta kehidupan yang tidak berhenti
di satu titik-kecuali jika kematian muncul, membubuhkan tanda titik terakhir.
Album juga menyimpan semacam peringatan bahwa kejadian-kejadian yang tragis,
menyedihkan, dan traumatik itu telah berlalu dan tak akan muncul kembali. Album memang
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
7/64
tak sama dengan film dokumentasi. Sebuah album akan lebih menenangkan ketimbang
mengguncang. Mungkin inilah keajaiban sang waktu.
Sejak 1955, sudah sepuluh pemilihan umum dilalui Wak Lihun, dari pemerintahan Bung
Karno yang senantiasa gegap-gempita, Soeharto yang selalu membenci demokrasi yang"berisik", kemudian berturut-turut Habibie, Gus Dur, Megawati, hingga yang terakhir, Susilo
Bambang Yudhoyono, Wak Lihun menjalani hidupnya yang tak kunjung berubah. Mungkin
perubahan yang dialaminya cuma satu: dulu bapak dan engkong menarik oplet milik seorang
pria keturunan, kini ia menarik mikrolet milik seorang lelaki pribumi.
Wak Lihun punya banyak alasan untuk tak menyumpahi hidup ini. Ia memang tak pernah jadi
dokter, tapi ia cukup bangga pernah bekerja sebagai sopir pribadi seorang dokter umum yang
membuka praktek di dekat rumahnya. Dan ia tidak pernah lupa, untuk sementara waktu bisa
menikmati ongkos pengobatan dan obat gratis dari sang dokter.
Wak Lihun tidak percaya pemilihan umum akan mengubah garis nasibnya. Namun ia jarang
mengatakan kepada orang lain bahwa ia selalu berdoa agar nasib anak-anaknya lebih baik
daripada nasibnya.
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
8/64
Indonesia tanpa Tawa
Kamis, 06 Februari 2014
Bandung Mawardi, Penulis
Hari-hari menjelang 9 April 2014, orang-orang di jagat politik Indonesia mengalami
ketegangan, frustrasi, dan depresi. Situasi politik muram dan serius, menjelaskan ada gejala-
gejala "sakit" dan "sengsara". Berpolitik dipahami mengkonstruksi negara-bangsa dengankesantunan, formalitas, ketertiban, dan kepatuhan. Politik hampir diserupakan dengan ibadah,
menggunakan tata cara ketat dan berdalil "kewajiban".
Bahasa dan aksi politik di Indonesia semakin mengelak dari tawa atau penghiburan. Urusan
itu diserahkan ke artis-artis di pelbagai acara tak bermutu di televisi. Situasi di televisi tak
bakal bisa memberi kontribusi guna mengubah politik di Indonesia agar bergelimang tawa,
tapi beradab dan manusiawi. Politik tetap merupakan salinan dari halaman-halaman
kepustakaan: resmi dan kaku.
Kelik M. Nugroho (Koran Tempo, 6 Januari 2013) menganggap politik memerlukan humor.
Apakah makna humor bagi politik? Humor politik diakui bernilai ketimbang pesan-pesan
politik secara langsung atau vulgar. Berpolitik tanpa tawa bisa membuat Indonesia merana
sepanjang masa. Ingat humor politik, ingat Gus Dur. Dulu, Gus Dur adalah kolumnis,
intelektual, dan ulama dengan selera humor. Omongan tentang politik, ekonomi, pendidikan,
seni, dan agama yang sering mengandung sindiran dan kritik, disampaikan dengan humor.
Gus Dur, saat menjadi presiden, tak melupakan humor politik. Kita pun jadi "terhibur" meski
mengalami dilema dan polemik politik. Gus Dur jadi representasi tandingan dari "politik-
resmi" dan "politik-tertib". Ingat, Gus Dur pernah membuat pengantar untuk penerbitan buku
Mati Ketawa ala Rusia. Peran itu justru berbalik ke Gus Dur. Orang-orang pun membuatsebutan: "mati ketawa ala Gus Dur". Warisan terbesar Gus Dur adalah humor politik? Siapa
menjadi ahli waris?
Sejarah kekuasaan pada masa Orde Baru pernah bernuansa humor oleh omongan dan ulah
Gus Dur. Masa itu berlalu. Sekarang, penguasa sulit merangsang tawa dan penghiburan,
memilih pamer pidato serius, lagu, dan puisi. Para politikus juga sering pamer omongan klise,
berlagak menampilkan diri secara cerdas dan berwibawa. Para pimpinan partai politik sibuk
muncul di iklan-iklan politik, menebar pesan tanpa tawa. Kehidupan berpolitik, sejak
keruntuhan Orde Baru, mengalami "kesengsaraan". Politik tanpa tawa tentu takmencerdaskan.
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
9/64
Ingat Orde Baru, ingat majalah-majalah humor pada masa lalu. Hidup pada masa Orde Baru
dengan penguasa sangar tetap bisa dinikmati dengan tawa sepanjang hari. Sekarang, koran
dan majalah selalu berisi berita-berita panas dan menggugah emosi. Kita jarang menemukan
ada ajakan menghibur diri dalam situasi politik tegang. Tawa hampir hilang.
Tahun 2014 bakal menjadi "tahun politik membosankan" jika tak ada humor. Bahasa dan aksi
politik selalu bernalar picisan, abai penghiburan cerdas. Kita tentu mengerti bahwa partai
politik tak membuat acara pembekalan caleg dengan materi humor. Mereka memilih
membuat paket-paket acara politik, menghadirkan pakar dan konsultan politik. Para capres
juga tak berkehendak menghibur publik. Mereka memilih menampilkan keperlentean,
kewibawaan, dan kegagahan. Kita merasa salah zaman, merindu masa lalu saat humor adalah
ekspresi berpolitik, mengandung kebajikan dan hiburan. Oh Indonesia, negeri serius tanpa
tawa.
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
10/64
Humor Politik
Senin, 06 Januari 2014
Kelik M. Nugroho, @KelikMNugroho
Humor politik menemukan lahan baru untuk berkecambah di media sosial Twitter. Sebuah
koran nasional berkomentar dalam rubrik Pojok, kurang-lebih begini: Mendagri berencana
melantik Hambith Bintih (bupati terpilih) di rumah tahanan di Jakarta. Di media sosial,Mendagri disebut Menteri Dagelan RI. Humor ini dikutip dari media sosial-salah satunya
Twitter.
Memang, Twitter adalah media digital yang canggih, yang memungkinkan orang
mengekspresikan pendapat apa saja, termasuk humor politik, secara bebas dan berefek seluas
jumlah pengikutnya, ditambah pengikut yang mengirim ulang kicauan. Twitter juga media
komunikasi yang bersifat egaliter-siapa saja dengan ragam status sosial bisa saling
berinteraksi. Sifat egaliter inilah yang menjadikan humor politik seperti menemukan
panggungnya.
Contoh humor politik dari orang kebanyakan adalah kicauan orang berakun @yozeroo: Satu
lagi produk asli indonesia farhatabbaslaw :)) #HumorPolitik. Humor ini menyindir tingkah
laku pengacara Farhat Abbas yang sering membuat sensasi. Contoh lain datang dari akun
@candatawacom: Partai SRI gagal lolos verifikasi, Srimulyani dikabarkan frustrasi dan
berniat masuk Srimulat! #humorpolitik. Humor ini mencandai nasib partai yang mendukung
mantan menteri Sri Mulyani.
Kita juga bisa menemukan humor-humor politik yang dilontarkan langsung oleh pejabat
tinggi dan pesohor-fenomena baru berkat Twitter. Contoh kicauan komedian ButetKartaredjasa via akun @masbutet: Yang paling menarik usulan Susilo Gandrik untuk
koruptor, "dihukum gantung 5 tahun lamanya". #mbathang.
Salah satu menteri yang aktif di jagat Twitter adalah Dahlan Iskan. Pola komunikasinya
egaliter dan apa adanya, sehingga sering tampak melucu. Lihat saja kicauan via akun
@iskan_dahlan ini: Asyiiiik, siapa lagi yang mau daftar jadi calo? Cepetan daftar hahaha .
Kicauan ini menanggapi kicauan akun @TrioMacan2000: calo pemeras di BUMN itu antara
lain:.
Humor politik yang saya contohkan tersebut merupakan sebagian dari kicauan yang
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
11/64
berseliweran di linimasa akun Twitter saya sepanjang 2013. Berkat teknologi yang disediakan
Twitter, saya mampu menyimpan kicauan yang berisi humor politik yang mampir di linimasa
melalui menu Favorite-yang kebetulan saya baca di sela-sela kemacetan Jakarta, ketika
nongkrong di kafe-kafe mal, atau ketika malam menjelang tidur. Sayangnya, belum banyak
orang yang berkicau dengan tagar (tanda tematik) #HumorPolitik. Ketika saya mencari dijagad Twitter dengan tagar ini, hanya muncul 50 kicauan.
Humor politik, menurut saya, lebih bernilai daripada pesan-pesan politik yang langsung atau
kadang bahkan disertai makian. Humor politik terasa lebih bergaya, berselera, dan cerdas
dibanding pesan-pesan politik yang vulgar. Apalagi di Twitter tak ada sensor.
Dengan humor, kita dapat memberikan suatu wawasan yang arif sambil tampil menghibur.
Humor dapat pula menyampaikan siratan menyindir atau suatu kritik bernuansa tawa. Humor
juga dapat menjadi sarana persuasi untuk mempermudah masuknya informasi atau pesan
yang ingin disampaikan sebagai sesuatu yang serius dan formal (Dick Gauter via Didiek
Rahmanadji).
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
12/64
Mereka Bukan SyuhadaOleh: Kelik M. Nugroho, wartawan Tempo
Sumber: Koran Tempo, 11 November 2008
Ribuan orang menyambut keranda jenazah Amrozi, terpidana mati yang telah dieksekusi
karena kasus Bom Bali I, di sebuah pekuburan di Lamongan dengan teriakan takbir, atau
uluran tangan yang membopong keranda, atawa ekspresi tubuh yang bergetar. Peristiwa itu
tentulah bisa disaksikan manusia sedunia melalui layar kaca atau video YouTube ruang
mayantara. Mereka yang tak mengerti psikologi umat niscaya geleng-geleng kepala
menyaksikan emosi massa yang tumpah dalam halaman takziah. Bagaimana bisa jenazah
teroris menyihir ribuan orang untuk bertakziah dan menyambutnya bagai seorang tokoh
agama, semacam Kiai Ahmad Sidiq dari Jember, yang memang layak dimuliakan.
Amrozi, Ali Gufron, dan Imam Samudra, trio pelaku Bom Bali I, wajarlah bila berpendapat
bahwa tindakan mereka mengebom Sari Club di wilayah Kuta, Denpasar, yang menewaskan
ratusan orang (termasuk muslim), sebagai tindakan jihad. Wajar jika mereka mengajukanalasan-alasan teologis untuk membenarkan tindakan mereka karena mereka membela diri di
depan dakwaan melakukan tindakan pidana yang membuat mereka akan dieksekusi dengan
tembakan mati. Namun, bagaimana dengan mereka yang tak tersangkut-paut dengan
kepentingan itu, mengapa mereka membenarkan tindakan pembunuhan ratusan orang yang
tak punya sangkut-paut dengan permusuhan dengan apa pun dan dengan siapa pun?
Memang, kerumunan ribuan orang yang melayat penguburan jenazah Amrozi, Ali Gufron,
dan Imam Samudra tentu tidak dalam maqam (koordinat) sentimen keagamaan yang sama.
Seperti kata Profesor Azyumardi Azra, mantan Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta, di
televisi bahwa ribuan orang tersebut tak bisa disamaratakan sebagai pendukung Amrozi dan
kawan-kawan secara ideologis. Di antara mereka mungkin ada yang sekadar memiliki
kedekatan sebagai tetangga, teman, kenalan, atau sekadar tinggal dekat. Atau mungkin
banyak yang terpiuh oleh berita-berita televisi tentang para pelaku Bom Bali I yang
ditayangkan secara massif. Atau mungkin motif lain yang beragam.
Namun, harus diakui bahwa banyak di antara para pentakziah itu yang menyambut jenazah
trio pelaku Bom Bali I layaknya martir suci yang tewas. Bahkan Ustad Abubakar Baasyir,
mantan Amir Majelis Mujahidin Indonesia, sebuah kelompok Islam pendukung penerapan
syariat sebagai ideologi, berani menyatakan bahwa kematian Amrozi dan kawan-kawansebagai mati syahid. Mati syahid adalah prestasi positif bagi pejuang Islam yang wafat di
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
13/64
medan perang. Sementara itu, Ustad Abu, seperti diketahui, pernah dikait-kaitkan sebagai
bagian dari konspirasi terorisme di Indonesia.
Mata sebagian penduduk dunia niscaya menyaksikan peristiwa eksekusi trio pelaku Bom Bali
I sebagai peristiwa penting karena para korban dari berbagai negara, sedangkan masalah
terorisme berlatar radikalisme agama sedang menjadi sorotan dunia pascapenyerangan
gedung kembar Word Trade Center, New York. Mata sebagian penduduk dunia tentu akan
merasa lega setelah hukum positif berupa eksekusi mati terhadap trio pelaku Bom Bali I
dilaksanakan. Terlepas dari keberatan sejumlah aktivis hak asasi manusia atas pelaksanaan
hukuman mati, pesan kepada dunia telah disampaikan: terorisme tak mendapat tempat di
Indonesia.
Adanya histeria pendukung Amrozi secara ideologis adalah sebuah pertanda. Pertama,
sebagian muslim di Indonesia belum bisa membedakan antara sebuah tindakan dikategorikan
pembunuhan dan bukan. Kedua, telah terjadi kerancuan logika dalam beragama karenadomain teologi bertabrakan dengan domain sosial. Ketiga, di kalangan muslim muncul
kecenderungan cara-cara Machevialistis (tujuan menghalalkan cara), padahal dalam ushul
fiqih Islam diajarkan bahwa tujuan tak bisa menghalalkan segala cara.
Kerancuan dalam cara memandang tindakan peledakan Bom Bali I ini tentu menyisakan
ancaman bagi dunia bahwa ternyata sebagian muslim masih menganut nilai-nilai yang
berbahaya bagi pergaulan kemanusiaan. Kalangan ulama mestinya bertanggung jawab
mengajarkan kepada umat Islam bahwa pengeboman di Bali itu merupakan tindakan
terorisme dan tak bisa dikategorikan jihad karena dilakukan di Indonesia yang bukan wilayah
perang.
Majelis Ulama Indonesia pada 2003 memang pernah mengeluarkan fatwa yang
mengharamkan terorisme. Dalam banyak kesempatan Kiai Maruf Amin, Ketua Dewan
Fatwa Majelis Ulama Indonesia menyatakan, karena Indonesia bukan wilayah perang,
terorisme merupakan perbuatan haram. Fatwa itu jelas dan eksplisit. Toh, fatwa MUI ini
tampaknya kalah populer dibanding pernyataan-pernyataan Imam Amrozi, Ali Gufron, dan
Imam Samudra di televisi, seperti terbukti dengan banyaknya pelayat yang menyambut
jenazah mereka dengan takbir. Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah membentuk tim sosialisasi
pemahaman jihad, yang salah satunya melibatkan cendekiawan Komaruddin Hidayat, yangsekarang menjabat Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta. Tim ini lama tidak terdengar
programnya. Apakah masih aktif?
Pemandangan histeria dalam upacara penguburan jenazah Amrozi dkk harus menjadi
pengingat tim ini bahwa tugas mereka belum selesai. Masih diperlukan sosialisasi dan
pendidikan yang panjang untuk mengembalikan cara berpikir sebagian umat yang salah, yang
berjumlah mungkin ribuan orang. Mereka yang berpendapat bahwa pengeboman yang
dilakukan Amrozi dkk sebagai jihad perlu merenungkan komentar Khusnul Khotimah,
korban Bom Bali I yang cacat seumur hidup. Saya juga seorang muslim. Ketiganya (Amrozi
dkk) salah menganggap bahwa perbuatan mereka jihad. Itu pembunuhan, kata Khusnul di
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
14/64
televisi. Mereka yang masih ngotot berkeyakinan bahwa perbuatan Amrozi dkk sebagai jihad
mungkin perlu belajar menjadi korban pengeboman dulu untuk memahami arti jihad. *
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
15/64
Mbah Man
Kamis, 06 Februari 2014
Bagja Hidayat, @hidayatbagdja
Namanya Rahman. Kami memanggilnya Mbah Man. Januari lalu, usianya genap 70 tahun.
Dalam berkas catatan RT, ia mencantumkan pekerjaannya: buruh, dengan huruf kapital.
Waktu kami membangun masjid, ia menggali tanah untuk fondasi. Staminanya mengalahkan
kami semua, anak-anak muda 30 tahunan.
Tubuh Mbah Man kecil dan ramping. Rambut memutih seluruhnya. Giginya tinggal empat.Tapi hanya itu organnya yang kalah oleh usia. Sisanya, Mbah Man tak pernah sakit. Sekali
masuk rumah sakit ketika ia diseruduk mobil yang sopirnya mengantuk.
Di kompleks ini, dialah orang terakhir yang tidur. Jika tak ada musuh adu gaple, ia
nongkrong di pos satpam, lalu keliling mengecek sudut-sudut gelap. Ia baru merem selepas
subuh dan bangun lagi pukul 7. Setelah itu, ia bekerja. Menukang, mencangkul, dan
membetulkan genteng bocor. Jika ada pekerjaan di Jakarta, ia menempuh Bogor-Jakarta
bolak-balik dengan sepeda motor.
Kami curiga ia tidur sedikit itu karena umur. Semakin tua tubuh, kita semakin tak mengantuk.
Kian uzur, tubuh kita tak membutuhkan istirahat lebih. Tapi, kata Mbah Man, ia sudah tidur
sedikit sejak di pesantren di Sumenep. Saat remaja, ia pindah ke kampung ibunya di
Situbondo, lalu kawin dan merantau ke Jakarta di usia 40. Bekerja apa saja, terutama kerja
otot jadi kuli angkut.
Sampai hari ini, ia makan apa saja. Sore makan durian, malamnya tak segan menyantap gulai
kambing, juga rokok dan kopi yang tak henti. Dan ia tak limbung akibat kolesterol
menyumbat pembuluh darah. "Setelah makan yang enak-enak itu, saya makan pepaya, itu
saja penawarnya," katanya tadi malam, sewaktu kami mengobrol di pos satpam.
Tentu saja bukan cuma pepaya yang membuat tubuhnya liat di usia senja. "Kuncinya pikiran
ringan," katanya. Mbah Man selalu gembira. Ia bercanda dengan siapa saja. Setua itu, dia bisa
tiba-tiba bilang, "Terus gue harus bilang wow, gitu?" Dan, ini yang penting, "Saya tak pernah
menilai orang lain."
Dengan menilai, katanya, pikiran akan membuat standar untuk diri sendiri dan orang lain,
lalu timbul iri, kemudian dengki, arkian benci. Sikap begini, kata Mbah Man, membuat
pikiran dan hati tak bebas. Mbah Man karena itulah tak gampang sakit hati. Jika ia dipecatdari pekerjaan karena dinilai tak becus, ia akan menerima dan berpikir bukan rezekinya.
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
16/64
Karena sikap sumeleh seperti itu, Mbah Man banyak teman. Sebab itu pintu rezekinya
terbuka lebar. Enam anaknya ia sekolahkan, sudah mandiri, dan punya pekerjaan tetap. Dan,
saya kira, Mbah Man masih sehat di usia tua itu karena disokong istrinya yang pengertian.
Sejak dinikahinya 50 tahun lalu, Mbah Putri hanya sekali mencarinya, ketika Mbah Man takpulang tiga hari karena keasyikan main gaple. "Jangan-jangan kami awet berumah tangga itu
karena Mbah Putri tak pernah menuntut apa pun dari saya," katanya.
Mata Mbah Man masih menyala ketika saya menguap berkali-kali menjelang pukul 12
malam. Saya pamit karena besok harus kerja. Saya, yang belum 40 tahun, butuh tidur
setidaknya 5-6 jam sehari agar di kantor tak tersiksa menahan kantuk. Saya berdoa semoga
Mbah Man panjang umur dan selalu sehat juga terus bergembira, seperti arti namanya.
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
17/64
Mitos Gilgamesh dan Banjir Jakarta
Jum'at, 07 Februari 2014
Endang Suryadinata, Penggemar Sejarah
Sebagaimana sejarah berulang, demikian pula banjir di Jakarta. Setelah banjir besar pada
2002 dan 2007, Ibu Kota RI kini kebanjiran lagi. Banjir selama Januari dan Februari sudah
membawa dampak multidimensi, dari jalan rusak, terendam, dan macet. Lalu air bersih sulit,
beragam penyakit muncul, dan berbuntut kerugian ekonomi.
Sejarah umat manusia salah satunya memang ditandai dengan banjir atau air yangmenggenangi permukaan tanah. Dari Yunani hingga Cina, ada mitologi banjir. Kita tentu
tahu kisah air bah Nabi Nuh. Sebelum era agama-agama samawi, di Mesopotamia (Irak kuno)
juga ada kisah Gilgamesh, yang juga diperintah membangun bahtera agar selamat dari banjir
besar.
Hebatnya, kisah Gilgamesh dan Nabi Nuh sama-sama disatukan dalam benang merah bahwa
di Kota Ur, yang saat ini dikenal sebagai Tall Al Uhaimer atau Kota Shuruppak di sebelah
selatan Mesopotamia-saat ini bernama Tall Far'ah-menyimpan jejak-jejak nyata bahwa dulu
memang terjadi banjir besar di kota itu, seperti disimpulkan arkeolog Erich Schmidt dari
Universitas Pennsylvania 1922-1930.
Al-Quran dan Injil menyebutkan, gara-gara manusia mulai menyimpang jauh dari Tuhan,
bahkan berani melawan Tuhan, banjir besar didatangkan sebagai hukuman. Ini masih
diyakini. Di media sosial, misalnya, banyak komentar menyebut maraknya korupsi,
kemaksiatan, serta praktek bisnis atau politik yang menghalalkan segala cara menjadi
penyebab banjir Jakarta.
Jika menengok sejarah, sejak awal abad ke-20, sudah ada upaya melawan banjir di Jakarta
(dulu bernama Batavia). Ada nama Prof Dr Herman van Breen, yang tercatat sebagai perintismelawan banjir. Dia menyusun rencana pencegahan banjir, yang dibentuk kantor dinas
pengairan pemerintah kolonial Belanda pada 1918. Itu dilakukan setelah Batavia dilanda
banjir besar yang merenggut banyak nyawa.
Van Breen bersama timnya menyusun konsep yang sistematis untuk menanggulangi banjir di
seluruh wilayah Batavia, yang luasnya 2.500 hektare. Van Breen berhasil menyusun strategi
pencegahan banjir. Dia berhasil mengendalikan aliran air dari hulu sungai dan membatasi
volume air yang masuk kota.
Namun, sebagai ibu kota negeri ini sejak 1945, perluasan kota seperti menjadi keniscayaan.
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
18/64
Bayangkan luas Jakarta sekarang mencapai 65 ribu hektare. Jadi puluhan kali lipat dibanding
luas pada masa Van Breen. Luasnya kota tentu mengundang kompleksitas permasalahan.
Ada penelitian yang menyebutkan, konon, kebiasaan membuang sampah sembarangan di
Jakarta menjadi penyebab banjir. Ada yang menyalahkan hujan, meski menurut BMKG curahhujan dua bulan terakhir justru lebih rendah dibanding tahun lalu. Gubernur Jokowi
menyalahkan kiriman banjir dari Bogor, sebagaimana para Gubernur Jakarta terdahulu.
Sedangkan yang lain, ganti menyalahkan Jokowi.
Nah, daripada saling menyalahkan, mari belajar dari Nabi Nuh atau Van Breen bagaimana
menghadapi air bah secara bijak, dengan mencari solusi yang tepat. Jika rekayasa cuaca atau
hujan tidak efektif, mungkin rencana Jokowi membangun sembilan waduk bisa dicoba. Atau
kita terima banjir ini bukan sebagai bencana, sehingga kita perlu berdamai dengan banjir?
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
19/64
Binatangisme dan Politik Kita
Jum'at, 07 Februari 2014
M. Alfan Alfian, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
Man is by nature a social animal; an individual who is unsocial naturally and not
accidentally is either beneath our notice or more than human. (Aristotle, Politics)
Ketika foto seekor singa mati tergantung di kandangnya di Kebun Binatang Surabaya beredar
di media massa baru-baru ini, saya teringat akan novel George Orwell, Animal Farm. Tetapi,
lebih dari itu, lebih teringat judul terjemahannya oleh Mahbub Djunaidi, Binatangisme
(1983). Judul yang terakhir itu tampak lebih provokatif ketimbang aslinya, walaupun pesan
utama Orwell tak jauh pula dari upayanya mengingatkan kita semua akan ekspresi-ekspresipolitik kebinatangan dan bahaya totalitarianisme.
Tapi tentu semua itu merupakan sindiran belaka bagi politik manusia yang sering kali lebih
kejam. Mahbub Djunaidi banyak mengajak kita membandingkan politik dengan binatang.
Tulisannya yang berjudul "Dinamisasi via Binatang" (Tempo, 26 Maret 1972), barangkali
merupakan kolomnya yang pertama kali menyinggung peran binatang dalam modernisasi, isu
yang populer ketika itu. Namun kolomnya, "Ibarat Hewan Apakah Kita Ini?" (Tempo, 9 Juni
1973), tampak lebih menukik. Dalam tulisan ini, ia mencatat perumpamaan W. Trotter
(1916), bahwa orang Jerman itu bak serigala, sedangkan orang Inggris melantik singa sebagaisimbol nasionalnya. Tapi, G.J. Renier (1931) mencatat orang Inggris lebih garang di negeri
jajahan, bukan kampung halaman.
Soal simbol binatang ini, kata Mahbub lagi, Cina dimisalkan naga, dan bagaimana pula
dengan bangsa kita? Seumpama hewan apakah dia? Dia menulis, dari sudut beranak-pinak,
Indonesia lazim diumpamakan marmut, walau sebenarnya babi lebih gawat dalam hal angka
kelahiran. Dari sudut kepatuhannya yang serampangan, lebih tepat bebek, walau tidak
selamanya perlambang buruk. Kalimat "bebek pulang sore ke kandang sendiri", isyarat
masyarakat makmur adanya.
Lagi pula, kata Mahbub, UUD tak menyinggung nama hewan. Tidak garuda, tidak pula
banteng. Garuda, kata Yamin (almarhum), "sebenarnya lambang pembangun dan
pemelihara". Katanya pula, kitab Morawangsa dari kerajaan Kedah dan kerajaan Merina di
Madagaskar memandang hewan ini sebagai lambang pemelihara. Kalau banteng, secara resmi
bukan perlambang bangsa, seperti singa Inggris atau naga Cina, melainkan lambang
demokrasi "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan".
Kalimat-kalimat Mahbub itu segera kita tangkap bahwa tidaklah politik itu lepas sama sekalidari simbol-simbolnya. Binatang pun tak selalu berkonotasi negatif sebagai simbol politik.
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
20/64
Soal perilaku binatang yang perlu dipelajari tersendiri, Mahbub sebagai kolumnis berlatar
belakang politikus, menulis saran menarik dalam artikelnya, "Buku Petunjuk Pendidikan
Politik Sejak Dini" (Kompas, 18 Maret 1981).
Dalam artikelnya tersebut, pendekar kolom yang telah wafat pada 1995 itu menulis begini:Apabila seorang anak sudah duduk di kelas V sekolah dasar, paling lambat di kelas VI,
ajaklah dia ke kebun binatang. Begitu menginjak pintu gerbang, segera bisikkan di
kupingnya, "Kamu tidak mau dijebloskan ke dalam kandang seperti makhluk-makhluk itu,
kan? Nah, jadilah kamu manusia yang paham politik. Manusia yang tidak berpolitik itu
namanya binatang, dan binatang yang berpolitik itu namanya manusia."
Ya, Mahbub mengajak kita ke rumusan klasik filsuf Yunani, Aristoteles, bahwa manusia itu
sejatinya "binatang sosial". Kalau tidak ada rem atau batasan-batasan aturan main yang ketat,
yang tidak sekadar etika, bisa jadi naluri kebinatangan sosial inilah yang merambah ke ranah
politik kita. Apalagi sistem kepolitikan yang ada demikian longgar bagi praktek-praktek
pragmatisme-transaksional yang menjangkau lapisan-lapisan masyarakat secara luas.
Masih dalam kolom Buku Petunjuk, mungkin petuah Mahbub agar kita barang setengah jam
berdiri di depan kandang monyet-barangkali bisa menjadi inspirasi untuk memilih pemimpin.
Kata dia, "Kamu lihat monyet yang paling besar dan paling beringas itu? Dialah kepala,
pemimpin monyet-monyet lain di kandang itu. Dia menjadi kepala dan menjadi pemimpin itu
bisa disebabkan beberapa faktor. Bisa karena dia paling tua, bisa juga karena paling pintar.
Tetapi yang jelas karena dia paling besar, paling kuat, paling perkasa, paling mampu
membanting monyet-monyet lainnya yang tidak menurut. Alasan takutlah yang membuatnyabisa menjadi pemimpin. Monyet tidak pernah mengenal sistem pemilihan seperti halnya
bangsa manusia. Ini kedunguan warisan."
Dalam pemilu atau pilpres, tentu kita tidak sedang memilih monyet. Tapi tidak ada salahnya
kalau ranah karakter kepolitikan binatang sedemikian, jadi bahan pertimbangan. Calon
pemimpin yang akan kita pilih, pun belum tentu yang "paling perkasa dan paling mampu
membanting lainnya". Mungkin yang paling cerdas, kendatipun definisi cerdas itu luas.
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
21/64
Gerobak
Sabtu, 08 Februari 2014
Irfan Budiman, @IrfanBud
Menyantap kembali ketoprak semestinya menjadi nostalgia yang menyenangkan. Di masa
kecil, saya sangat menikmati duduk di bangku si penjual makanan yang terdiri atas bihun,
tauge, dan ketupat yang digulingkan dalam bumbu kacang ini.
Gerobak ketoprak, tempat si penjual melayani para pembelinya, teramat unik. Ukurannya
besar-mungkin karena tubuh saya masih kecil. Namun, yang sangat menarik adalahbentuknya yang mirip perahu. Ya, layaknya sebuah perahu, di bagian belakang ada dapur,
yakni kompor untuk memanaskan tahu. Bagian depannya berbentuk moncong, seperti kepala
perahu.
Adapun bagian kiri dan kanannya adalah tempat si penjual mengulek bumbu. Di depannya
adalah kami, para pembeli. Di atas papan yang memanjang itu, pembeli duduk berjajar
menikmati makanan yang khas dengan bawang putih itu.
Kini semuanya nyaris hilang. Gerobak perahu yang sangat mempesona itu telah berubah
menjadi sebuah gerobak yang tampil seadanya. Tak ada lagi moncong yang mempesonakan
itu. Warna biru dan merah yang menjadi ciri khas gerobak ini pun hilang. Persis seperti
gerobak kebanyakan penjual makanan lainnya.
Pedagang punya alasan. Selain ongkos pembuatannya lebih murah, mereka bisa lebih mudah
berkeliling. Saat mereka mangkal, gerobak baru ini tidak terlalu banyak makan tempat.
Memang, bukan hanya perkembangan zaman yang membuat semuanya menjadi compact.Me-
reka pun membutuhkan fleksibilitas bergerak sehingga bisa menjangkau para pelanggannya
dengan waktu yang lebih cepat pula. Mereka melakukan banyak modifikasi gerobak.
Sebagian pedagang bakso melakukan modifikasi ekstrem. Mereka membuang roda dan
menaikkan gerobaknya ke atas motor. Mereka berjualan dengan sepeda motornya. Si
penjualnya pun rela duduk di ujung jok dekat setang karena sebagian joknya habis termakan
oleh modifikasi gerobak yang berada di sisi kiri-kanan joknya.
Namun, bapak penjual bakso ini juga punya alasan. Dia ingin berkeliling dan bisa
menjangkau para pelanggannya dengan waktu yang lebih cepat pula. Pedagang lainnya,
seperti penjual siomay ataupun sayur-mayur yang menjadi sahabat kaum ibu, juga menyulapgerobaknya menjadi lebih compact dan bisa dipasangkan di sepeda motornya.
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
22/64
Tapi itu juga belum cukup. Penjual roti pun tidak lagi berteriak brood atau boti, melainkan
menekan tombol untuk membunyikan rekaman potongan jingle produk mereka.
Pedagang es krim, bacang (penganan dari beras yang dibungkus daun), sampai pedagangayam goreng pun melakukan hal yang sama. Musik yang keluar dari speaker layaknya brand
identity produk ini.
Suara musik itu membedakan dengan pukulan kentongan dari penjual mi dokdok, suara
piring dengan sendok dari tukang ketoprak, atau mangkuk yang dipukul dengan sendok oleh
penjual es atau bubur sumsum. Semua produk butuh identitas untuk dirinya.
Usaha mereka memang harus lebih keras lagi. Maklum, pesaingnya tidak lagi dari kalangan
mereka sendiri. Restoran makanan cepat saji atau pedagang makanan berwaralaba
menggempur berbagai tempat. Mereka pun mampu mengantarkan barang dagangannya
hingga ke depan rumah. Hanya dengan menekan nomor-nomor telepon, makanan yang
dipesan bisa segera sampai di rumah pemesan dalam keadaan hangat.
Bisakah dilawan? Gerobak nan compact dan modifikasi sepeda motor adalah cara mereka
berupaya untuk tidak kehilangan pelanggan.
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
23/64
Murry Sang Legenda
Sabtu, 08 Februari 2014
E.H. KARTANEGARA, Wartawan
Satu set drum Ludwig putih seolah berdiri dalam kesendirian di antara ingar-bingar musik
rock di panggung besar Jambore Band IMK, di Istora Senayan, Jakarta, 7 November 1970.
Ribuan penonton, yang saat itu mulai keranjingan hard rock, sama sekali tak menyangka dari
balik drum itu akan muncul kejutan yang gemanya bukan hanya menjangkau masa depan
perkembangan band di Indonesia, melainkan juga melahirkan legenda baru seorang penabuh
drum.
Drummer itu tak lain adalah Kasmuri, yang kemudian dipanggil Murry. Kejutan lebih besar
datang dari Koes Plus. Metamorfosis Koes Bersaudara (KB) itu dengan "berani"
membawakan lagu ciptaan mereka,Derita danManis dan Sayang, yang waktu itu belum
begitu dikenal publik.
Di mata Erwin Gutawa, yang menggarap album dan konser "Salut untuk Koes Plus",
permainan drum Murry sangat modern (Rolling Stone, November 2008). Pukulannya jernih,
bertenaga, bernas, galak, berani, dan memiliki fill-in yang mantap.
Kemunculan Koes Plus dalam Jambore Band itu sebenarnya didasari oleh sikap "rendah
hati." Di panggung musik pop Indonesia, grup musik anak-anak Koeswoyo bukan lagi kelas
jambore. Sejak 1962, mereka mengibarkan bendera KB, yang sudah populer dengan sejumlah
hit sepertiBintang Kecil, Pak Tani, Pulau Bali, Telaga Sunyi, Bis Sekolah, danDara
Manisku.
Mereka merupakan grup musik pertama dalam sejarah musik pop Indonesia yang berformat
band, bukan sekadar pengiring penyanyi sebagaimana banyak kelompok musik lain
sezamannya. KB merupakan band pelopor yang dalam lipatan sejarah politik Orde Lamamenanggung dosa subversif: dituduh apolitis, kontra-revolusi, dan anti-nasionalisme, "hanya"
karena memainkan musik ngak-ngik-ngok, rock and roll.
Mereka (Tonny, Nomo, Yon, dan Yok) dijebloskan ke dalam penjara tanpa proses
pengadilan. Dalam telaah Krishna Sen dan David T. Hill dalam Media, Budaya, dan Politik di
Indonesia (2001), untuk pertama kalinya sebuah band pop menjadi korban kemelut politik.
Ini merupakan sebuah preseden ganjil sekaligus buruk yang hanya terjadi di Indonesia.
Dibebaskan dari penjara pada September 1965, hal ini malah menyulut nyali mereka untukmelakukan perlawanan lewat musik. KB yang semula memainkan musik pop manis berubah
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
24/64
menjadi keras dengan meneriakkanPoor Clowndan To Tell So Called All the Guilties
(1967). Ini merupakan dua lagu keras pertama dalam sejarah musik pop Indonesia (E.H.
Kartanegara, "Lagu Keras, Perlawanan Sebisanya", Koran Tempo, 14 September, 2002).
Lagu-lagu mereka lekas populer di kalangan kaum muda lewat stasiun-stasiun radio amatiryang menjamur di berbagai kota, bersamaan dengan euforia gerakan perlawanan pelajar dan
mahasiswa selepas tumbangnya rezim Orde Lama.
Bintang mereka mencorong terang, tapi sekaligus meredup. Pemain drum Nomo Koeswoyo,
yang kemudian diikuti Yok, berhenti bermain musik. Hidup sebagai pemusik tak jelas masa
depannya. Dia memilih berbisnis.
Bagi Tonny, arsitek utama KB, problem besar bukan kemiskinan, melainkan musikalitas.
Hampir tak mungkin mempertahankan musikalitas KB dengan mengandalkan harmoni duet
vokal Yon dan Yok, yang menjadi trade mark dan kelak melegenda. Duet Yon-Yok tak
ubahnya John-Paul dalam The Beatles yang tak tergantikan oleh siapa pun.
Saat krisis itulah muncul nama Kasmuri, drummer grup musik Patas. "Mas Tonny naksir
banget permainan Murry. Pukulannya keras, karakternya kuat," tutur Yon. Bersama Murry
dan pemain bas baru, Totok AR, mereka menelurkan rekaman album pertama:Dheg Dheg
Plas(1969). Perhatikan diksi judul itu: artikulasi bunyi drum Murry. Itulah esensi, filosofi,
dan makna distingtif kata "plus" di belakang nama "Koes" yang akhirnya menjadi paten Koes
Plus.
Ais Suhana, sahabat Murry sejak 1975 dan sering "mengawal" konser Koes Plus, mengenang
Murry sebagai pemain drum yang tidak pernah rewel soal alat. Drum putih itu simbolisasi,
penghormatan etis Tonny kepada Murry.
Menurut Ais, kelebihan Murry sebagai legenda adalah kepribadiannya. "Dia sangat rendah
hati, ikhlas, loyal, hidupnya sederhana. Saat miskin dia tak malu jualan nasi uduk," tutur dia.
Totalitasnya dalam berkarya melampaui batas seorang profesional. Ribuan penggemar yang
membentuk klub-klub dan komunitas, yang bangga menyebut diri sebagai Koes Plus Mania,
merasakan kehangatan pergaulan Murry yang rajin menyapa dan mengunjungi mereka di
berbagai kota.
Kepribadian itu adalah sisi humanis dan makna altruistik Murry yang memegang kredo "a
man behind the drum". Gitaris Led Zeppelin, Jimmy Page, menyebut keunggulan para
legenda bukan cuma pada kepiawaian dan keunggulan teknis. Mereka memiliki dignity. "You
are on your own." Mereka memainkan musik yang tak bisa dipelajari di sekolah dan harus
dipelajari sendiri dengan totalitas kemampuan diri sendiri pula. Di situlah, kata dia, letak
daya tariknya, sehingga musik itu bermartabat.
Saat Murry meninggal (1 Februari 2014), martabat yang menjadikan Koes Plus distingtif itubermakna: menyejarah. Banyak nilai diwariskan oleh para legenda yang, meminjam istilah
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
25/64
Kuntowijoyo (2006), selayaknya menjadi ilmu, buku, dan riwayat "sejarah kejiwaan." Bukan
cuma selesai begitu ditulis pada selembar halaman obituari.
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
26/64
Ibu Negara
Sabtu, 08 Februari 2014
Gracia Dwinita, Penulis
Baru-baru ini, sebagian pemilik akun media sosial Instagram menggunjingkan aktivitas Ibu
Negara Ani Yudhoyono. Dalam bahasa Inggris, istri presiden disebutfirst ladyatau "nyonya
pertama". Istilah ini sepertinya mengurangi beban moral dibanding istilah "ibu negara" yang
mengandaikan sebagai ibu yang merawat negara. Seakan-akan ini adalah jabatan yang
mensyaratkan kemampuan dan moralitas tertentu. Padahal, jabatan ini hanya ada karena yang
bersangkutan kebetulan adalah istri dari laki-laki yang menjadi presiden.
Kita tidak sungguh-sungguh mengetahui kerja Ibu Negara, kecuali bahwa ia terlihat aktif
dalam kegiatan sosial ini-itu dan terlihat bersanggul dan berkebaya di sebelah presiden.
Perbedaannya, kini kita bisa berkomunikasi langsung dengan Ibu Negara. Pencitraan menjadi
semakin kompleks, karena tiap gerakan Ibu Negara di ruang publik dapat tersiar tanpa filter.
Indonesia yang pernah memiliki presiden perempuan membuat kita bisa membandingkan istri
dan suami presiden. Istri presiden seakan tidak dapat mengembangkan identitas sosial-
politiknya, meskipun memiliki kesempatan. Selama 30 tahun, Ibu Tien Suharto hanya dikenal
sebagai perempuan yang membawa "wahyu" sehingga suaminya dapat berkuasa. Apakah istri
presiden Indonesia lainnya dapat membangun identitas sosial dan politiknya sendiri?
Sementara itu, almarhum Taufik Kiemas sebagai bapak negara tidak perlu aktif dalam
organisasi suami-suami kabinet gotong royong, namun berperan dalam partai dan menjabat
Ketua MPR, ketika istrinya tidak lagi menjadi presiden.
Istri presiden seharusnya memiliki identitasnya atau program sosial-politiknya, terlepas dari
suaminya. Carla Bruni, mantan Ibu Negara Prancis, meneruskan kariernya sebagai penyanyi.
Hillary Clinton adalah contoh Ibu Negara yang mengembangkan program politiknya sendiri.
Ia menjadi senator New York dan Menteri Luar Negeri pada masa kepemimpinan Obama.
Sayangnya, sejarah menuliskan istri-istri diktator ikut menindas. Elena, istri presiden
Rumania Nicolae Ceausescu selama 25 tahun, ditembak bersama suaminya pada Natal 1989
atas kejahatannya terhadap kemanusiaan. Elena membangun identitasnya sebagai penguasa
ilmu dan teknologi di Rumania dengan memalsukan 17 gelar doktor, menjadi pejabat partai,
serta hidup mewah di tengah penderitaan perempuan Rumania. Ia mendapat inspirasi dari
istri diktator lainnya (Elena bertemu Jian Qing, istri Presiden Cina, Mao Zedong, pada 1971).
Jian Qing menyingkirkan saingan politik dan mencari posisi dengan cara-cara suaminya.Pada 1966, Jiang Qin menempati posisi wakil ketua revolusi kebudayaan. Keinginannya
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
27/64
harus selalu terpenuhi (kolam renangnya di Canton harus hangat saat kota terkena badai
salju). Ia dihukum pada 25 Januari 1981 dan bunuh diri.
Tidak ada data yang menunjukkan apakah presiden Indonesia dipertimbangkan berdasarkan
siapa istrinya. Namun perempuan, khususnya istri presiden dan istri pejabat pada umumnyasampai tingkat terbawah, terpaksa menjalani fungsi istri dalam organisasi, terutama dalam
institusi istri militer. Sebagai negara patriarkis yang menganut ibuisme, peran wajib
perempuan sebagai istri dan ibu harus dipertontonkan. Mereka tidak mempunyai pilihan
kecuali yang telah ditetapkan secara sosial. Bagaimana perempuan Indonesia dapat
menemukan identitas dan kesetaraannya melalui panutan seperti ini?
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
28/64
Darurat Jalan RusakSenin, 10 Februari 2014
Tulus Abadi,
Anggota Pengurus Harian YLKI dan Anggota Dewan Transportasi Kota Jakarta.
Akibat banjir bandang yang melanda sebagian besar wilayah Indonesia, kerusakan jalan tak
terelakkan lagi. Memperbaiki jalan rusak, yang jumlahnya massal dan waktunya berbarengan,
memang bukan perkara gampang. Langkah tanggap darurat yang dilakukan oleh Presiden
Yudhoyono untuk memperbaiki jalan rusak, patut dihargai.
Dari sisi pembiayaan, seharusnya Presiden Yudhoyono mendorong mewujudkan sebuah
instrumen kebijakan yang bernama road fundalias dana jalan. Undang-Undang tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan sudah mengusung adanya road fund. Berbasis road funditu,
segala dana kerusakan jalan bisa diambilkan dari dana road fundyang dikelola secara
independen dan tepercaya (trust body). Jika ada jalan rusak, langsung diambilkan dari slot
dana dari kantong road fund tersebut, tanpa harus menunggu berlama-lama dari
APBN/APBD, yang terbukti jumlahnya sangat terbatas dan mekanisme pencairannya pun
berbelit-belit. Inilah salah satu penghambat renovasi jalan rusak menjadi sangat lama dan
tambal-sulam pula. Sementara itu, jika dibiarkan tanpa perbaikan, dampak kerusakan jalan
kian eskalatif.
Setidaknya ada dua sumber dana yang bisa dijadikan sumber road fund, yakni pajak
kendaraan bermotor dan/atau pajak bahan bakar minyak. Ini potensi pendapatan yang sangatbesar. Kita hitung saja, saat ini secara nasional terdapat tidak kurang dari 60 juta kendaraan
bermotor, dengan rata-rata pertumbuhan per tahun mencapai sebesar 10 juta unit untuk
sepeda motor dan 1 juta unit untuk mobil pribadi. Sedangkan penggunaan bahan bakar
minyak bersubsidi saja mencapai 46 juta kiloliter. Di negara-negara Eropa Barat, hal ini
sudah lazim dikenakan, yakni bernamagasoline tax(untuk pajak bahan bakar) dan
congestion pricing/road pricinguntuk pajak kendaraan bermotor. Keduanya dimasukkan ke
satu kotak bernama road fund.
Kebijakan road funddalam jangka panjang akan sangat bermanfaat, tidak hanya untukmerenovasi jalan rusak, tapi juga untuk pembangunan jalan baru. Sehingga jalan sebagai
infrastruktur pembangunan akan mengalami percepatan. Apalagi jika pemerintah secara
perlahan terus mengurangi besaran slot subsidi bahan bakar minyak, kemudian dikonversikan
langsung untuk merenovasi kerusakan dan/atau membangun jalan.
Sisi teknis yang lain-dan ini tidak boleh dilupakan-adalah membangun sistem drainase di
sepanjang jalan, termasuk jalan tol sekalipun. Sebab, kerusakan jalan akibat banjir/hujan
deras juga dipicu oleh jeleknya fungsi sistem drainase. Akibatnya, air hanya menggenang di
sepanjang jalan, tidak teralirkan melalui drainase (termasuk di sekitar Istana). Perbaikan
dan/atau pembangunan jalan, tanpa diiringi dengan pembangunan sistem drainase, hanya
akan mempercepat kerusakan jalan.
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
29/64
Sebagai infrastruktur, jalan adalah alat vital urat nadi perekonomian. Akses jalan yang
memadai adalah prasyarat mutlak untuk mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi.
Politik pembangunan infrastruktur jalan harus bersifat komprehensif dan sinergis, tak hanya
bersifat tambal-sulam dan sektoral. Tidak cukup hanya menggelontorkan sejumlah dana, tapitanpa keberpihakan politik anggaran yang jelas.
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
30/64
Panggung LibrisidaSenin, 10 Februari 2014
Munawir Aziz,
Alumnus Sekolah Pascasarjana UGM
Nalar apa sebenarnya yang mengukuhkan gerakan librisida? Pembantaian buku (librisida)
dalam sejarahnya digerakkan oleh iktikad buruk memandang pengetahuan dan tipikal
vandalisme. Membantai buku, dengan segala macam modelnya: merusak, membakar,
melarang peredaran, hingga membubarkan paksa diskusi buku, merupakan catatan hitam
dalam sejarah peradaban manusia, di mana pun dalam wangsa apa pun. Pembantaian buku
merupakan kabar buruk dalam historiografi pengetahuan umat manusia.
Kabar buruk itu kali ini datang dari Surabaya. Jumat (7 Februari 2014) sore, sekumpulan
orang yang berjubah dan mengatasnamakan kelompok agama menggeruduk gedung
Perpustakaan C2O, yang sedianya menyelenggarakan diskusi buku karya Herry A. Poeze.
Hasil riset Poeze-sejarawan Belanda-yang mendokumentasikan pikiran dan gerak sejarah Tan
Malaka, menjadi topik perbincangan. Buku Tan Malaka: Gerakan Kiri dan Revolusi
Indonesia (edisi 4, penerbit Obor) sedianya menjadi teks pemicu. Tapi diskusi buku ini
terpaksa dibatalkan karena ancaman dari orang-orang yang mengatasnamakan FPI (Front
Pembela Islam).
Gerakan kekerasan untuk menghajar sebuah perhelatan diskusi hasil riset sejatinya adalah
bagian dari pembantaian buku. Dalam perkembangan peradaban di muka bumi ini,pembantaian buku menjadi catatan hitam dalam historiografi pengetahuan. Fernando Baez
(2013) dengan jeli mencatat tragedi-tragedi pembantaian buku dalam sejarah umat manusia.
Baez dengan jeli melacak asal mula perkembangan buku, serta titik historis di mana buku
dibantai dengan kekerasan. Justru-menurut Baez-mereka yang menyebut dirinya kaum
intelektual, berjasa dalam agenda pembantaian buku. Kaum intelektual membantai buku-
buku yang tidak segaris dengan alam pikirannya, dengan ideologinya.
Penghancuran National Library of Bagdad, Irak, terjadi pada detik-detik runtuhnya kekuasaan
Saddam Hussein antara tanggal 9 dan 10 April 2003. Pembantaian buku pada masa Antik diSumeria, 4100-3300 SM, merupakan catatan arkeologis terkait dengan librisida. Catatan
sejarah ini membuka tabir gelap sejarah pembantaian buku, yang telah terjadi ribuan tahun
yang lalu.
Di bagian periode yang lain, vandalisme menjadi motif untuk membakar dan merusak buku
dalam sejarah pengetahuan manusia. Buku karya Marco Kartodikromo, Student Hidjo, juga
dibantai oleh penguasa kolonial, pada paruh pertama abad XX. Buku-buku Pramoedya
Ananta Toer juga terkena nasib yang sama: dibantai oleh penguasa dan rezim militer.
Politik ideologi Orde Baru yang menganggap segala macam hal yang berbau komunis wajib
diberangus menjadi pemicu pembantaian buku oleh rezim Soeharto. Akibatnya, hingga kini,
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
31/64
komunisme merupakan bayang-bayang misterius bagi sebagian warga negeri ini. Tidak
adanya data penyeimbang menjadi penyebab misteri tentang peristiwa September 1965.
Tragedi pembantaian buku sejatinya wajib dihentikan, jika ingin pengetahuan berkembang.
Librisida merupakan catatan hitam di tengah usaha membangun pengetahuan dan peradabannegeri ini. Semoga kasus di Perpustakaan C2O Surabaya menjadi yang terakhir dalam tragedi
librisida di negeri ini. *
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
32/64
Pemimpin dan Bahasa RakyatSenin, 10 Februari 2014
Seno Gumira Ajidarma,
Wartawan
Ketika melihat daftar calon presiden, yang meskipun belum resmi tapi popularitasnya sudah
diteliti, terbentuk suatu klasifikasi dalam kepala saya, yakni (1) pemimpin elitis; (2)
pemimpin merakyat; dan (3) pemimpin nanggung.
Seperti apakah pemimpin elitis itu? Sebagai pribadi sudah jelas elegan: bukan sekadar bahasa
Inggrisnya fasih dan bahasa Indonesianya tidak beraksen, busana formal maupun
nonformalnya tidak pernah "salah", dan pengorbanan dirinya untuk tetap tersenyum kepada
orang yang paling menjengkelkan sangat mengharukan, tapi juga bahwa sikap yang
diambilnya dalam menghadapi persoalan seolah-olah "otomatis demokratis".
Sebagai nilai tambah, bisa disebutkan bahwa keluarganya pun elitis, yang sekali sebut semua
orang sudah tahu, barangkali orang tua atau kakek-neneknya ngomong Belanda, dan wajar
pula bisa memainkan repertoar musik klasik dengan salah satu instrumen. Jika mau
"merakyat", doi mungkin bisa nge-blues. Kenapa tidak? Mungkin memang tidak semua buku
wajib dalam peradaban Barat (Shakespeare? Tolstoy?) telah dibacanya, tapi semua "buku
global" mutakhir, dari Francis Fukuyama, Stephen Hawking, sampai Dan Brown, ada
kemungkinan sudah-karena bisa disambar di bandara.
Dilengkapi pendidikan di luar negeri yang semestinyalah tamat, si doi adalah prototipe
pemimpin ideal. Namun kenapa popularitasnya kemper alias berlari paling belakang dalam
balapan? (Indonesia Indicator, April-Desember 2013). Jawaban ditunda dengan
memperhatikan para pemimpin yang tergolong merakyat.
Biasanya mereka bukan lulusan luar negeri, bahasa Inggris pas banderol, bahasa
Indonesianya mencerminkan bahasa daerah yang dikuasainya, cara berbusana pokoknya ikut
yang banyak, jauh lebih spontan ketimbang elegan, dan lebih mengikuti naluri beserta "nalar
berdasarkan pengalaman" ketimbang mengacu prinsip-prinsip "demokrasi". Pemimpin sepertiini mengandalkan "musyawarah dan mufakat" ketimbang voting, dalam arti mencermati
peranan sistem nilai tradisional dalam berorganisasi, tanpa harus berkonfrontasi dengan
demokrasi itu sendiri.
Pemimpin merakyat tidak cuma satu jenisnya, ibarat gaya tari Jawa, sama-sama kesatria, ada
yang alusan, ada yang gagahan. Dalam wayang orang, wawansabda tokoh-tokoh alusan
menunjukkan tingginya peradaban, tetapi jika dialog macet dan terjadi konflik, klimaks
pertunjukan adalah gaya gagahan yang memperlihatkan pula kaki menendang. Prosedur ini
diikuti dengan setia oleh pemimpin merakyat, dan adegan menendang itu jarang diperlukan.
Jika ada pemimpin gagahan yang suka menendang sebagai pesaing, dalam situasi damai
pemimpin alusan itulah yang lebih menenteramkan.
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
33/64
Sikap "pura-pura elegan" justru selalu terdapat pada para pemimpin "nanggung". Benar
berijazah, tapi intelektualitasnya pas-pasan; inteligensia mungkin tinggi, tapi tanpa
keberanian moral untuk melakukan perubahan. Pemimpin seperti ini memang "nanggung",
tidak elitis dan tidak merakyat. Asalnya memang dari rakyat, tetapi doi punya ekspresi sepertimengingkarinya, selalu berusaha menunjukkan diri sebagai berkelas elite-yang hanya mampu
dicapai (dengan membeli) simbol-simbolnya saja. Betapa pun, dalam kekosongan "pasar
pemimpin", pemimpin nanggung ini bisa mengecoh, dan hanya kemunculan pemimpin
merakyat akan menunjukkan belangnya.
Pemimpin elitis sebetulnya bisa sangat dipercaya integritas moralnya dan nyaris memiliki
semua, kecuali satu hal, yakni bahasa rakyat-itulah kekurangannya yang vital sekaligus fatal
dalam persaingan dengan pemimpin merakyat. Bahasanya bahasa diskusi, kelas sosial yang
tertunjukkan oleh cara berbahasanya terlalu berjarak dari orang kebanyakan, sehingga
gagasan-gagasan barunya yang paling membumi pun tidak dapat ditangkap dengan baik.
Bersaing dengan pemimpin merakyat maupun pemimpin nanggung, pemimpin elitis tidak
akan menang. Kenapa?
Pasar politik sama saja dengan pasar bisnis, para pemimpinnya dipasarkan, terutama melalui
media, dan para konsumen menanggapi trik-trik pemasaran ini seperti menghadapi barang
komoditas sehari-hari: bahwa para konsumen itu membeli berdasarkan politik identitasnya
sendiri, yakni seberapa jauh para pemimpin yang dipasarkan itu dapat mengukuhkan
keberadaan dirinya.
Maka para konsumen hanya akan memilih pemimpin yang bahasanya mewakili bahasa
mereka, seorang pemimpin yang kepadanya mereka bisa melakukan identifikasi diri mereka.
Berlangsung konversi dari "konsumsi saya adalah saya" menjadi "pemimpin saya adalah
saya". Adalah bahasa, bukan dalam pengertian linguistik, melainkan dalam segala penanda
yang meruap daripadanya, terutama cara berpikirnya, yang pertama-tama akan dirujuk oleh
rakyat, yang sedang memilih-milih pemimpin mana yang bisa menjadi representasi dirinya. *
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
34/64
Menghidupkan Ciliwung
Selasa, 11 Februari 2014 | 01:06 WIB
Harry Surjadi,Pendiri Amrta Institute for Water Literacy
Berita banjir menyita halaman surat kabar, majalah, dan waktu siar televisi ataupun radio.
Tidak ada penjelasan sedikit pun "apa itu banjir". Media berasumsi semua pembaca,
pendengar, dan pemirsa sudah tahu pengertian banjir.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai mendefinisikan banjir sebagai
"peristiwa meluapnya air sungai melebihi palung sungai" (Pasal 1 ayat 7). Definisi ini masih
tidak menjelaskan banjir dengan pas.
Danau Sentarum, Kalimantan Barat, saat musim kemarau menjadi dataran kering. Danau
Sentarum bisa dijelajahi dengan sepeda motor sampai bagian tengah danau karena danau
mengering. Ketika musim hujan, seluruh wilayah Danau Sentarum penuh dengan air. Apakah
Danau Sentarum kebanjiran? Tidak. Banjir terjadi ketika air merendam lingkungan buatan
manusia. Jika air merendam wilayah yang tidak ada manusianya atau lingkungan hidup tanpa
manusia, namanya bukan banjir.
Cara mengatasi banjir sederhana: jangan membuat rumah di dataran banjir (floodplain).
Namun prakteknya tidak sesederhana itu karena sungai sebenarnya hidup. Sungai yang hidup
(living river) itu dinamis, menunjang kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Sungai
yang hidup berkelok-kelok, dan kelokan ini bisa berubah. Sungai Ciliwung, yang terpecah
menjadi 13 anak sungai, sudah sekarat. Aliran anak Ciliwung di utara sudah mati. Airnya
hitam, berbau, dan tidak punya oksigen.
Sungai Napa melintasi wilayah California bagian tengah sebelum berakhir di Teluk San
Francisco, Amerika Serikat. Setelah penduduk Kota Napa 22 kali kebanjiran dalam kurun
150 tahun, pemerintah federal menugaskan US Army Corps of Engineers (Corps) untuk
mengatasi banjir di daerah aliran Sungai Napa. Corps mengajukan sungai yang lebih dalamdan lurus melintasi Kota Napa. Tiga kali warga menolak usul Corps, yakni pada 1976, 1977,
dan setelah banjir besar pada 1986.
Warga Napa membentuk Community Coalition for Napa Flood Management yang kemudian
menyepakati rencana mengatasi banjir dengan menerapkan prinsip living river (sungai yang
hidup), yaitu prinsip yang menghargai pentingnya kehidupan ikan dan kehidupan liar lainnya,
keterkaitan antara sungai dan dataran banjir, serta hubungan manusia dengan sungai itu.
Program itu memindahkan lebih dari 70 rumah dan 30 gedung komersial, menyediakan 160
hektare wilayah genangan, 60 hektare lahan basah musiman, dan mengembalikan 243 hektare
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
35/64
dataran banjir yang sebelumnya dilindungi dari air dengan tanggul. Hasilnya: lebih dari 3.000
bangunan terlindungi dari banjir 100 tahunan, biaya asuransi turun drastis, bisnis-bisnis baru
yang berkaitan dengan sungai bermunculan, dan 37 jenis ikan berkembang biak dengan
subur.
Mengatasi banjir Jakarta berarti menghidupkan kembali Ciliwung. Menghidupkan Ciliwung
bukan hanya secara ekologis (ikan dan makhluk air bisa hidup). Menghidupkan Ciliwung
juga berarti mengembalikan nilai sosial, ekonomi, dan politik sungai itu.
Langkah pertama, menentukan seberapa luas dan di mana saja dataran banjir dengan
menggunakan data banjir periodik dan data satelit. Tidak boleh ada bangunan di dataran
banjir. Salah satu daerah dataran banjir yang perlu dinormalkan adalah pesisir utara Jakarta.
Kesalahan penguasa lama adalah memberikan izin alih fungsi dataran banjir di utara menjadi
perumahan mewah, sehingga tersisa suaka margasatwa Muara Angke seluas 25 hektare.
Batalkan rencana reklamasi pantai utara Jakarta dan pembuatan polder. Membangun polder
atau dinding tinggi di sebelah utara Jakarta malah akan menyulitkan air genangan mengalir
ke laut. Dan lupakan ide membuat saluran bawah tanah. Selain biayanya mahal, secara logika
air tidak mungkin mengalir ke tempat yang lebih tinggi tanpa pompa.
Langkah kedua, bangunan di daerah banjir (berdasarkan peta daerah banjir), di sepanjang
sempadan Ciliwung di Jakarta, harus dipindahkan.
Rehabilitasi pinggir sungai berlanjut hingga ke bagian hulu Ciliwung di Bogor, mengikutiPeraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011. Tanggung jawab dan program di wilayah hulu
(Jakarta) berbeda dengan di hilir (Depok dan Bogor hingga Gunung Gede Pangrango).
Lanjutkan pembongkaran bangunan (vila) yang tidak sesuai dengan RTRW-RBWK di
Puncak, Bogor.
Alokasikan juga sebagian wilayah hulu (Depok, Bogor, dan Puncak) untuk danau. Daerah
Sempur di Bogor sangat cocok untuk dijadikan danau yang bisa menampung cukup banyak
air Ciliwung.
Langkah ketiga, mengeluarkan peraturan yang lebih pro-lingkungan dan memasukkan
prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan sebagai roh dari peraturan. Misalnya, ubah ketentuan
iuran sampah. Kalau sebelumnya iuran sampah flat, harus diubah sesuai dengan jumlah
sampah yang dibuang. Anjuran mengolah sampah organik sendiri menjadi relevan dan ada
insentif bagi keluarga yang tidak menghasilkan sampah. Slogan baru: kurangi sampah.
Menghidupkan kembali Sungai Ciliwung bukan pekerjaan setahun-dua tahun. Ini merupakan
pekerjaan jangka panjang yang membutuhkan konsistensi, termasuk konsistensi
kepemimpinan di daerah-daerah yang dilalui Ciliwung. Dan jangan lupa libatkan warga
dengan selalu memberikan informasi. *
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
36/64
Menyoal Dana Optimalisasi
Selasa, 11 Februari 2014 | 01:05 WIB
W. Riawan Tjandra,Pengajar Universitas Atma Jaya
Dana optimalisasi pada 2014 untuk tambahan belanja bagi seluruh kementerian/lembaga
dianggarkan senilai Rp 27 triliun. Angka itu meningkat dibanding pada tahun-tahun
sebelumnya, yang hanya berkisar Rp 11-13 triliun. Dana Rp 27 triliun itu didapat dari
berbagai penghematan belanja. Misalnya, nilai belanja pegawai turun Rp 12,7 triliun dari Rp
276,7 triliun dalam RAPBN 2014 awal menjadi Rp 264 triliun dalam APBN. Begitu juga
dengan belanja barang-sebelumnya mencapai Rp 203,7 triliun-turun Rp 1,8 triliun menjadi
Rp 201,9 triliun. Belanja subsidi turun Rp 2,6 triliun, dari sebelumnya Rp 336,2 triliunmenjadi Rp 333,7 triliun. Hal ini terjadi terutama akibat penurunan nilai subsidi energi
sebanyak Rp 2,6 triliun menjadi Rp 282,1 triliun.
Istilah "dana optimalisasi" muncul dari salah satu ketentuan dalam Peraturan Menteri
Keuangan (Permenkeu) Nomor 32/PMK.02/2013, yang menggunakan istilah hasil
optimalisasi, yaitu hasil lebih atau sisa dana yang diperoleh setelah pelaksanaan dan/atau
penandatanganan kontrak dalam suatu kegiatan yang target sasarannya telah dicapai. Secara
"cerdik", dana optimalisasi disisipkan sebagai klausul dalam Permenkeu tersebut sebagai
tindak lanjut peluang perubahan anggaran yang diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2012
tentang APBN Tahun Anggaran 2013, PP Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja
Pemerintah, dan PP Nomor 90 Tahun 2012 tentang Penyusunan RKA Kementerian/Lembaga.
Dana optimalisasi tersebut, jika dicermati secara mendalam, sejatinya hanya merupakan
kemasan baru dari Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) yang pernah diatur
melalui Permenkeu Nomor 25/PMK.07/2011 dan Permenkeu Nomor 140/PMK.07/2011
tentang Alokasi dan Pedoman Umum Penggunaan Dana Percepatan Pembangunan
Infrastruktur Daerah Tahun Anggaran 2011 (DPPID). DPID dan DPPID tersebut telah
membuka praktek-praktek korupsi politik karena memungkinkan Badan Anggaran DPR
menjadi "pemain" dalam alokasi kedua jenis dana tersebut dan menyeret sejumlah namaanggota Badan Anggaran DPR dalam kasus korupsi. DPR, yang seharusnya menjadi
pengawas, justru menjadi pemain dalam alokasi anggaran tersebut.
Sementara pada masa tersebut dana politik itu diatur dalam peraturan khusus, kini melalui
dana optimalisasi, ketentuan yang membuka peluang terjadinya korupsi politik yang nyaris
identik dengan sebelumnya disisipkan dalam mekanisme peraturan yang mengatur masalah
perubahan anggaran. Peluang perubahan anggaran yang diatur dalam beberapa pasal dalam
Permenkeu Nomor 32/PMK.02/2013 memungkinkan terjadinya praktek-praktek korupsi
politik yang sejenis dengan kasus DPID dan DPPID.
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
37/64
Modus korupsi politik melalui DPID/DPPID pada masa lalu, yang kini berubah wujud
menjadi dana optimalisasi, menyerupai modus dana "gentong babi" (pork barrel) yang di
beberapa negara dimanfaatkan oleh politikus untuk memperluas dan memperkuat basis
dukungan politik mereka dalam pemilihan umum.
Keberadaan dana optimalisasi yang sudah telanjur dilegalkan melalui Permenkeu Nomor
32/PMK.02/2013 diindikasikan tak lepas dari strategi pembiayaan politik dari para politikus
dalam menyongsong hajatan politik pada 2014. Cara-cara ala pork barrel tersebut tak urung
akan melanggengkan siklus korupsi politik di negeri ini, yang akan menyebabkan Trias
Politika di negeri ini menjelma menjadi "Trias Koruptika" dengan "bancakan" dana
optimalisasi sembari berpesta demokrasi. *
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
38/64
Balada Pemasang Baliho
Selasa, 11 Februari 2014 | 01:06 WIB
Putu Setia,@mpujayaprema
Mobil pikap itu datang lagi. Sopirnya bergegas menurunkan setumpuk bahan baliho sebagai
alat peraga calon legislator. Pan Darma, yang sedang membelah bambu, menyambut dengan
sigap. "Ini ada lagi empat baliho caleg, masing-masing dua puluh, terserah mau dipasang di
mana," kata sang sopir.
Tak perlu lagi dialog lain. Sopir itu adalah karyawan perusahaan digital printing yang tumbuh
menjamur. Mesin cetaknya bahkan ada di kota/kecamatan. Biaya cetak pun murah, hanya Rp15 ribu per meter persegi. Spanduk dari kain yang disablon dianggap lebih mahal dan sudah
kedaluwarsa. Pan Darma adalah tukang pasang baliho paling top di kampung itu. Dia punya
kebun bambu.
Ratusan baliho yang telah dipasang Pan Darma memenuhi pinggir-pinggir jalan. Puluhan
pula baliho yang tumbang oleh angin, tapi dia tak peduli. Kontrak kerjanya hanya membuat
bentangan baliho dan memasangnya. Urusan lain-roboh oleh angin atau dirobohkan orang-ia
tak peduli. Pan Darma hanya menjual jasa plus menjual bambunya.
Dia juga sering tak peduli akan wajah caleg pada baliho itu, bahkan tak memedulikan pemilu
itu sendiri. Toh, Pan Darma kerap heran lantaran wajah dan slogan atau apa pun namanya
yang tertulis pada baliho itu hampir seragam. "Mohon doa restu dan dukungannya", lalu ada
wajah manis dengan tangan seperti mengemis. Kalau pun ada kalimat lain, semuanya
gombal. "Berjuang meningkatkan kehidupan petani dan wong cilik." Puih, Pan Darma sering
meludah ketika memasang bentangan bambu pada baliho itu.
Kali ini, tatkala dia membuka sebuah outdoor banner untuk mengetahui besar bentangannya,
dia kaget. Wajah perempuan itu dikenalnya betul. "Ini teman SMA-ku, gobloknya selangit,"
ia mengumpat dalam hati. Tapi memang cewek caleg itu terkenal sebagai pemain dramagong, dan ketika drama tak laku lagi, dia menjadi penari "joged binal", yang hanya bisa
mengangguk-angguk. "Betul dia populer, tapi bisa apa? Saya lebih pantas jadi wakil rakyat,
tapi saya tak punya uang dan tentu saja karena saya orang waras."
Pan Darma sering menonton televisi yang mengumbar caleg artis. Yang ia ingat adalah Angel
Lelga dan Camel Petir, keduanya penyanyi. Pan Darma pun bertanya, kalau mereka betul
menjadi wakil rakyat bersama penari joged goblok ini, seperti apa wajah Tanah Air? Dia tak
bisa membayangkan, bagaimana wakil rakyat seperti itu akan memilih hakim agung,
gubernur bank sentral, duta besar, Ketua KPK, dan seterusnya?
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
39/64
Seperti ada yang menyuruh, Pan Darma membuka bahan baliho dari ikatan yang lain. "Ya
ampun, dia jadi caleg?" Cetakan digital itu sempat dibantingnya. Dia tahu lelaki itu. Penjudi
sabung ayam dan makelar togel. Memang lelaki itu dekat dengan pejabat. Entah ia berkuliah
di mana, tiba-tiba pada balihonya ada gelar S.Sos.
Tiba-tiba ada rasa menyesal pada diri Pan Darma, kenapa dia mau menjadi tukang pasang
baliho kalau yang dipajang itu orang-orang tak layak semua? Ia seperti mengkampanyekan
orang-orang buruk. Pasti masih ada caleg yang baik, tapi mereka enggan memasang baliho,
atau bisa jadi tak punya biaya. Bagaimana masyarakat memilih caleg yang baik kalau mereka
tidak dikenal. Balihonya tak ada, televisi dan koran tak memajang wajah mereka yang tak
kuat beriklan. Tapi Pan Darma tak mau pula disalahkan. "Kalau saya salah, pemilik televisi
lebih salah lagi. Kenapa caleg seperti itu dipamer-pamerkan?" Dia cuma membatin.
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
40/64
Menjaga Warisan Arkeologi
Rabu, 12 Februari 2014
Djulianto Susantio,Arkeolog
Arkeologi dipandang sebagai ilmu yang kering karena sering diidentikkan dengan
penanganan benda-benda budaya masa lampau dari dalam tanah saja. Negara kita yang
sangat luas, dengan masa lampau yang cemerlang, menjadikan ladang penelitian begitu
beragam. Hal itu pula yang menyebabkan arkeologi sebenarnya tidak kering. Yang kering
justru anggaran yang diterima dari pemerintah untuk konservasi.
Di lain pihak, kita menghadapi kendala minimnya apresiasi masyarakat terhadap warisan-
warisan masa lampau. Kemungkinan banyaknya pelecehan terhadap warisan-warisan
arkeologi disebabkan oleh masih sangat terbatasnya tenaga arkeolog yang ada. Bayangkan,
kita memiliki 30-an provinsi, sebaliknya jumlah arkeolog yang ada begitu minim. Ada
berbagai penyebab kelangkaan tenaga arkeolog. Pertama, karena penerimaan tenaga arkeolog
tidak dibuka setiap tahun, meskipun satu per satu arkeolog senior mulai pensiun. Di pihak
lain, para arkeolog muda enggan ditempatkan di daerah terpencil. Masalah penghasilan bisa
saja menyebabkan banyak arkeolog enggan berkiprah di bidangnya.
Begitulah, sejak dulu banyak sekali pencemaran atau pelecehan terhadap warisan-warisan
arkeologi karena kurangnya tenaga pengawas, penyuluh, penjaga, pelestari, dan lain
sebagainya. Persoalannya sekarang adalah bagaimana agar kita bisa memberdayakan
masyarakat.
Di banyak tempat, terlihat pola pikir masyarakat sudah berubah, umumnya menjadi
konsumtif dan ekonomis. Karena pola pikir inilah ketidakpedulian sering terjadi. Meskipun di
suatu tempat ada situs, misalnya, bila mereka ingin menanam, ya, mereka akan tetap
menanam. Kasus seperti ini selalu berulang di perkebunan kentang yang terdapat di situsPercandian Dieng.
Masyarakat di sekitar Trowulan umumnya tahu bahwa bata-bata merah yang tersisa adalah
peninggalan Kerajaan Majapahit. Namun mengapa mereka tetap menggerusinya untuk
dijadikan bahan baku pembuatan semen merah, ya, karena masalah ekonomi dan kebutuhan
perut: konsumtif dan ekonomis.
Bukan hanya rakyat kecil, pengusaha kelas kakap pun sama saja. Situs Rancamaya di daerah
Bogor sudah banyak disorot di media cetak sebagai peninggalan Kerajaan Pajajaran. Apa
yang terjadi kemudian? Di area situs tetap berdiri berbagai perumahan mewah, sehingga
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
41/64
menenggelamkan upaya pemahaman akan masa lampau masyarakat Sunda. Padahal banyak
intelektual terdapat di jajaran perusahaan real estat itu. Mereka seolah-olah tidak tahu, tidak
mau tahu, pura-pura tidak tahu, atau tidak mau peduli, entahlah.
Memberdayakan masyarakat tentu bukanlah hal yang mudah. Padahal, kalau masyarakatsadar betul bahwa di daerahnya terdapat situs, yang untung adalah masyarakat sekitar juga.
Artinya begini, bila situsnya terpelihara, maka bisa mendatangkan wisatawan, sehingga desa
tersebut menjadi terkenal. Banyak wisatawan berarti banyak lapangan pekerjaan.
Berbicara arkeologi tentulah tidak bisa dipisahkan dari kepariwisataan. Memberdayakan
masyarakat juga tidak ubahnya meningkatkan taraf hidup mereka. Menjaga warisan arkeologi
sekaligus meningkatkan kegiatan pariwisata, jelas perlu rumusan-rumusan tertentu.*
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
42/64
Kemerdekaan Pers
Rabu, 12 Februari 2014
Achmad Fauzi,Aktivis Multikulturalisme
Pers Indonesia harus merdeka! Pekik harapan ini mengemuka dalam setiap momen Hari Pers
Nasional, 9 Februari. Dalam perjalanannya, pers acap dipandang secara tidak proporsional.
Benar, doktrin kebebasan pers dijamin di Indonesia, namun pada saat yang sama
keberlangsungan pers selalu disudutkan oleh penguasa.
Setiap Hari Pers, Presiden kerap mengapresiasi kiprah pers nasional yang dianggap mampumenjalankan fungsi pers sebagai bagian dari proses check and balanceterhadap penggunaan
kekuasaan di Indonesia. Namun, ketika pers menjalankan fungsi kontrol, tak jarang penguasa
mengecamnya, sehingga pers (baca: media) kehilangan independensi, kehilangan pembaca,
pendengar, pemirsa, dan iklan.
Pemerintah hanya melanggengkan media yang dianggap mendukung politik pencitraan.
Sementara itu, harapan membangun pilar pers yang merdeka dengan memelihara nalar
kritisnya hanyalah cita-cita utopis. Padahal, peran pers menjadi tumpuan utama dalam
penyelesaian persoalan bangsa. Kemerdekaan pers, menurut Bagir Manan (2010), merupakankebebasan dalam menjalankan tugas jurnalistik yang meliputi kebebasan mendapatkan
berita, mengolah dan menyusun berita, serta menyiarkan berita. Dengan demikian, semua
bentuk pengerdilan otoritas pers, baik pembatasan bersifat preventif maupun represif yang
dilakukan tanpa mengikuti prinsip demokrasi dan negara hukum, adalah pembatasan yang
sewenang-wenang, karena itu dilarang.
Selama ini pers atau media dianggap terlalu "kebablasan" dan kerap mengkritik pemerintah.
Ini menjadi mimpi buruk kebebasan pers di Indonesia dan awal mula robohnya pilar pers
kita. Sebab, media tidak mungkin mengkritik pemerintah tanpa dasar, karena ketika pers
"ngawur" memberitakan kebobrokan suatu rezim tanpa didukung oleh fakta, secara alamiah
pers akan ditinggalkan masyarakat. Pers dijamin tidak akan dipercayai lagi kredibilitasnya.
Pemerintah tidak perlu pusing menanggapi jamaknya kritik dari media. Sebab, pemerintahan
yang baik akan tetap baik di mata masyarakat, kendati media menjelek-jelekkannya.
Cukuplah menjawab kritik itu dengan kerja keras dan karya nyata. Terlalu mahal jika energi
pemerintah terkuras habis hanya karena polemik tentang politik pencitraan, sementara agenda
besar yang direncanakan terbengkalai.
Ketidakharmonisan hubungan pers dengan kekuasaan sejatinya akan menimbulkan beberapaimplikasi. Pertama, pengecaman atas fungsi kontrol pers akan melanggengkan rezim otoriter,
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
43/64
sehingga berpotensi memunculkan kekuasaan yang sewenang-wenang. Kedua, pers sebagai
unsur kekuasaan sosial akan kehilangan napas untuk hidup di alam demokrasi, yang dalam
jangka panjang akan melemahkan tingkat keberdayaan masyarakat. Seperti kita ketahui,
masyarakat banyak mengetahui informasi penting, terutama berkaitan dengan kebijakan
pemerintah, karena peran media. Ketika pers menjalankan perannya dalam memberi kritikyang obyektif dan berimbang kepada penguasa, sesungguhnya pers sedang mewakili suara
masyarakat. Dengan kata lain, pers menjadi instrumen demokrasi untuk menyuarakan
mereka yang tidak mampu lagi bersuara. *
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
44/64
Sistem Penyiaran Belum Optimal
Rabu, 12 Februari 2014
Sabam Leo Batubara,Koordinator Tim Perancang RUU Penyiaran 1999-2000
Sebagai hasil gerakan reformasi, sistem penyelenggaraan penyiaran kita sudah cukup baik.
Regulasinya tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan
Undang-Undang No. 40/1999 tentang Pers. Persoalan pokoknya, terjadi banyak pelanggaran
terhadap sistem oleh sejumlah stasiun televisi, tapi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak
mampu menegakkan sanksi yang adil dan "memaksa" penyelenggara penyiaran untuk
menghormati dan mentaati aturan main penyiaran.
Ketidakmampuan itu ditunjukkan oleh bagaimana KPI menyikapi pelanggaran oleh enam
dari 10 stasiun televisi nasional. Temuan KPI tentang pelanggaran sudah cukup akurat dan
benar, tapi sanksinya tidak efektif melindungi kepentingan masyarakat.
Menjawab pengaduan masyarakat terhadap enam stasiun televisi, KPI mengeluarkan
keputusan berikut ini.
Pertama, KPI memberi sanksi administratif teguran tertulis kepada enam stasiun televisiberikut ini karena dinilai melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program
Siaran (P3&SPS). Siaran iklan "ARB_Golkar versi 49 Tahun Golkar" yang ditayangkan TV
One (24/10/2013) dan ANTV (25/10/2013) dinilai telah memenuhi unsur kampanye yang
dilarang disiarkan di luar masa kampanye resmi.
Program Kuis Kebangsaan yang hadiahnya disediakan oleh WIN_HT (1/12/2013) dinilai
melanggar P3&SPS karena dibiayai oleh Partai Hanura. Program Kuis Indonesia Cerdas di
Global TV (26/11/2013) dinilai melanggar karena dibiayai Partai Hanura. Siaran Iklan
"WIN_HT versi Pakaian Adat" di MNCTV (30/11/2013) dinilai melanggar karena disiarkan
di luar masa kampanye resmi.
Program siaran jurnalistik Headline News pukul 11.00 WIB di Metro TV (11/11/2013) dan
juga banyak ditemukan dalam program berita lain, dinilai telah melanggar larangan
pemanfaatan program siaran untuk kepentingan pribadi dan atau kelompok pemilik lembaga
penyiaran. Beberapa iklan Metro TV dinilai melanggar karena disiarkan (11/11/2013) di luar
masa kampanye resmi. Tapi KPI tidak memberi sanksi, hanya meminta Metro TV tidak lagi
menayangkan iklan-iklan tersebut.
Kedua, KPI menilai keenam stasiun televisi melanggar peraturan bahwa program siarandilarang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi pemilik lembaga penyiaran bersangkutan
-
8/13/2019 Caping+Cari Angin+Kolom Tempo 6.2.2014-15.2.2014
45/64
dan atau kelompoknya. Pelanggaran TV One dan ANTV karena kuantitas dan frekuensi iklan
kampanye. Pelanggaran oleh RCTI, Global TV, MNC TV, dan Metro TV karena
pemberitaan.
Paradoksnya, KPI memberi sanksi administratif teguran tertulis hanya kepada Metro TV dantidak memberi sanksi kepada lima media lain. KPI hanya memintanya mempedomani
P3&SPS.
Bagaimana KPI mampu mengawal media penyiaran dalam upaya mewujudkan well informed
voters dalam Pemilu 2014, jika media penyiaran yang tidak netral dan mengutamakan
kepentingan golongan tertentu tidak diberi sanksi yang
top related