caplan cardiac anestesi 1002-1015 (1)
Post on 28-Nov-2015
114 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
COUNTERPULSASI POMPA BALON INTRA-AORTIK
Intra-aortik Baloon Pump (IABP) merupakan suatu alat yang didesain untuk
menambah perfusi miokard dengan meningkatkan aliran darah koroner selama
diastolik dan unloading ventrikel kiri selama sistolik. Ini dilakukan dengan
pemindahan massa dari volume darah (biasanya 30 sampai 50 mL) dengan
mengembangkan dan mengempiskan balon yang diposisikan pada segmen proksimal
dari aorta descenden. Gas yang digunakan untuk tujuan ini adalah karbon dioksida
(karena solubilitasnya dalam darah yang besar) atau helium (karena inertial properties
dan koefisien difusi yang cepat). Pengembangan dan pengempisan disinkronkan
dengan siklus jantung dengan elektronik dari console balon yang menghasilkan
counterpulsasi. Hasil dari penggunaan IABP yang efektif seringkali cukup dramatik.
Perbaikan pada cardiac output, fraksi ejeksi, aliran darah koroner, dan MAP sering
terlihat, sebaik penurunan pada tekanan sistolik aorta dan ventrikuler, tekanan end-
diastolik ventrikuler kiri, tekanan desakan kapiler pulmonal, LAP, HR, frekuensi
kontraksi ventrikuler prematur, dan supresi aritmia atrial.
Indikasi dan Kontraindikasi
Sejak pengenalannya, indikasi untuk IABP telah berkembang (Tabel 32-10).
Penggunaan IABP paling sering adalah untuk terapi syok kardiogenik. Ini dapat
terjadi setelah CPB atau setelah operasi jantung pada pasien-pasien dengan syok
preoperatif, dengan postinfark akut defek septum ventrikel atau regurgitasi mitral,
mereka yang memerlukan stabilisasi sebelum operasi, atau pasien-pasien yang
mengalami dekompensasi secara hemodinamik selama kateterisasi jantung. Pasien-
pasien dengan iskemik miokardial refrakter untuk vasodilatasi koroner dan penurunan
afterload distabilisasi dengan IABP sebelum kateterisasi jantung, dan beberapa pasien
dengan CAD berat akan secara profilaksis memiliki IABP yang diinsersikan sebelum
menjalani operasi CABG [114-118].
Kontraindikasi untuk penggunaan IABP relatif sedikit (lihat Tabel 32-10).
Adanya regurgitasi aorta (AR) berat atau diseksi aorta didaftar sebagai kontraindikasi
1
absolut untuk IABP, meskipun laporan keberhasilan dari penggunaannya pada
pasien-pasien dengan insufisiensi aorta atau trauma akut pada aorta descenden telah
ditunjukkan. Kontraindikasi relatif lainnya didaftar; penggunaan IABP pada hal
tersebut adalah pada kebijaksanaan dokter. Karena perubahan hemodinamik
disebabkan oleh IABP yang secara teori cenderung untuk memperburuk obstruksi
jalur aliran keluar dinamik oleh pergeralan anterior sistolik (systolic anterior
motion/SAM) dari katub mitral, seharusnya digunakan dengan perhatian, jika pada
keseluruhan, pada pasien-pasien tersebut.
TABEL 32-10 Counterpulsasi Pompa Balon Intra-aortik
Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi Kontraindikasi
1. Syok kardiogenik
a. Infark miokard
b. Miokarditis
c. Kardiomiopati
2. Kegagalan untuk terpisah dari CPB
3. Stabilisasi pasien preoperatif
a. Defek septum ventrikel
b. Regurgitasi mitral
c. Kegagalan untuk lepas dari CPB
4. Stabiliasai pasien bedah nonkardiak
5. Bantuan prosedural selama angiografi
koroner
6. Jembatan untuk transplantasi
1. Insufisiensi valvuler aortik
2. Penyakit aorta
a. Diseksi aorta
b. Aneurisme aorta
3. Penyakit vaskuler perifer berat
4. Penyakit sistemik nonkardiak berat
5. Trauma berat
6. Pasien-pasien dengan perintah “jangan
diresusitasi”
7. SAM mitral dengan obstruksi jalur
aliran keluar dinamik
Teknik Insersi
Pada perkembangan IABP awal, insersi adalah dengan akses bedah pada pembuluh
darah femoral. Pada akhir tahun 1970, perbaikan pada desain IABP memungkinkan
2
perkambangan teknik insersi perkutan. Saat ini teknik ini paling sering digunakan,
insersi IABP perkutan dilakukan dengan cepat dengan kit yang tersedia secara
komersial.
Ateria femoralis dengan pulsa yang lebih tinggi terlihat dengan palpasi yang
hati-hati. Panjang balon untuk diinsersikan diperkirakan dengan meletakkan ujung
balon pada dada pasien pada sudut Louis dan secara tepat menandai titik distal yang
sesuai dengan arteria femoralis. Perhatian harus diberikan saat melepas balon dari
bungkus untuk mengikuti prosedur pabrik dengan tepat sehingga tidak menyebabkan
perforasi balon sebelum insersi. Balon yang tersedia terbungkus dan membutuhkan
hanya dengan tepat dikempiskan sebalum pelepasan dari bungkus. Arteria femoralis
dimasuki dengan jarum yang disediakan, guidewire J-tippes dimasukkan setingkat
arkus aorta, dan jarum dicabut. Lokasi penusukan arteri diperbesar dengan
penempatan berturut-turut dilator 8Fr dan kemudian dilator 10.5-atau 12-Fr dan
kombinasi sarung (Gambar 32-3). Pada balon ukuran dewasa (30 sampai 50 mL),
hanya dilator yang perlu dilepas, meninggalkan sarung dan guidewire dalam arteri.
Balon disusupkan di atas guidewire ke dalam aorta sentral dan ke dalam posisi yang
benar yang diperkirakan sebelumnya pada segmen proksimal aorta descenden. Sarung
secara halus ditarik kembali untuk dihubungkan dengan manset tahan-bocor pada
pusat balon, idealnya sehingga seluruh sarung keluar dari lumen arteri untuk
meminimalkan risiko untuk komplikasi sistemik pada ekstremitas distal. Sebagai
alternatif, sarung mungkin melepaskan batang balon lebih seperti peel away
pacemaker lead introducer, dengan cara demikian melepaskan sarung secara
keseluruhan dari lokasi insersi. Setidaknya satu pabrik menawarkan balon “tanpa
sarung” untuk insersi.
Gambar 32-3 Diagram insersi pompa balon intra-aortik (IABO). A. Kanulasi dan
insersi balon melalui arteri femoralis. Perhatikan balon yang dibungkus dengan ketat
sebagimana melewati sarung. Guidewire tidak tampak pada gambar ini. B,
Pemposisian balon yang benar pada aorta descenden proksimal. Guidewire J-tipped
3
terlihat keluar dari lumen sentral balon (A, Kebaikan dari Datascope Corporation; B,
Kebaikan dari Kontron, Inc.)
Jika fluoroskopi tersedia selama prosedur, penempatan yang benar diverifikasi
sebelum memfiksasi balon dengan aman pada kulit. Posisi juga dapat dicek dengan
radiografi atau ekokardiografi setelah insersi. Jika kateter arteri radial kiri indwelling
berfungsi pada saat insersi, perkiraan posisi yang beralasan dapat dibuat dengan
melihat perubahan yang dimediasi balon dari gelombang pulsa arterial (Gambar 32-
4). Setelah pemposisian dan pengaturan waktu balon yang tepat, conterpulsasi 1:1
dapat dimulai. Seluruh balon eksternal yang dipasang sebaiknya ditutup pada
bungkus yang steril.
Pencabutan IABP yang dimasukkan perkutan mugkin dengan teknik terbuka
(pencabutan bedah) atau tertutup. Jika teknik tertutup dipilih, arteri sebaiknya
dibiarkan untuk mengeluarkan darah untuk bebrapa detik sementara tekanan
dipelihara pada arteri distal setelah pencabutan balon untuk membilas adanya klot
yang terakumulasi dari lumen sentral. Manuver ini membantu mencegah embolisasi
klot distal. Tekanan kemudian diaplikasikan untuk 20 sampai 30 menit pada lokasi
penusukan untuk hemostasis. Jika pencabutan bedah dipilih, kateter embolektomi
dapat dilewatkan antegrade dan retrograde sebelum penutupan jahitan dari arteri.
Terdapat rute alternatif dari insersi IABP. Balon dapat ditempatkan secara
bedah melalui arteria femoralis. Ini sekarang dilakukan tanpa menggunakan saluran
vaskuler akhir-ke-sisi, meskipun penempatan ini masih memerlukan prosedur bedah
kedua untuk pencabutan. Pada pasien-pasien yang memiliki penyakit vaskuler perifer
ekstrim atau pada pasien-pasien pediatri yang memiliki vaskularisasi perifer terlalu
kecil, aorta ascenden atau arkus aorta dapat dimasuki untuk insersi balon. Pendekatan
tersebut mengharuskan sternotomi median untuk insersi dan biasanya memerlukan
reeksplorasi untuk pencabutan. Rute lain untuk akses meliputi aorta abdominal dan
arteria subclavia, aksillaris, dan iliaca. Pendekatan iliaca mungkin terutama berguna
untuk kasus pediatri.
4
Pemilihan Waktu dan Pencabutan
Sejumlah pabrik sistem IABP yang berbeda secara komersial tersedia. Desain console
dasar meliputi elektrokardiografi dan monitoring dan pencetak gelombang tekanan
darah arterial, monitoring volume balon, tombol-tombol seleksi pemicu, alat
penyesuaian waktu inflasi/pengembangan dan deflasi/pengempisan, sumber tenaga
baterai, dan gas reservoir. Beberapa dari sistem tersebut telah menjadi cukup canggih,
dengan sirkuit mikroprosesor computer yang maju yang memungkinkan pemicuan
berdasarkan pada sinyal pacemaker atau deteksi dari dan kompensasi untuk ritme
yang menyimpang seperti atrial fibrilasi. Model portabel tersedia untuk transportasi
pasien di darat, helicopter, atau ambulan udara.
Untuk efek IABP yang optimal, inflasi dan deflasi perlu untuk disesuaikan
waktunya dengan siklus jantung. Meskipun sejumlah variabel, yang meliputi
pemposisian balon dalam aorta, volume balon (Gambar 32-5), dan ritme jantung
pasien, dapat mempengaruhi performa IABP, prinsip-prinsip dasar mengenai fungsi
balon harus diikuti. Inflasi balon sebaiknya diatur waktu untuk bertepatan dengan
penutupan katub aorta, atau insufisiensi aorta dan strain LV akan terjadi. Sama
halnya, inflasi lambat akan berakibat pada pengurangan tekanan perfusi untuk arteri
koroner. Deflasi dini akan menyebabkan kehilangan reduksi afterload yang tidak
sesuai, dan deflasi lambat akan meningkatkan kerja LV dengan menyebabkan
peningkatan afterloas, jika hanya sementara. Diagram kesalahan dan pengaturan
waktu yang benar ditunjukkan pada Gambar 32-4 dan 32-6.
Saat performa jantung pasien meningkat, bantuan IABP harus dicabut pada
dengan bertahap dibanding dengan tiba-tiba. Aplikasi yang bijaksana dan pengaturan
dosis vasodilator dan pengobatan inotropik dapat membantu prosedur ini.
Penambahan balon dapat dikurangi pada tahap dari counterpulsasi 1:1 sampai 1:2
kemudian 1:4, dengan interval yang tepat pada tiap tahap untuk memperkirakan
stabilitas hemodinamik dan neurologi, cardiac output, dan perubahan saturasi oksigen
vena campuran. Setelah pengamatan yang tepat pada counterpulsasi 1:4 atau 1:8,
bantuan balon dapat dengan aman dihentikan, dan alat dapat dicabut dengan satu dari
5
metode yang dibahas. Jika pencabutan perkutan dipilih, interval yang tepat untuk
reversal antikoagulan (jika digunakan) sebelum pencabutan balon sebaiknya
diijinkan.
Komplikasi
Beberapa komplikasi telah dihubungkan dengan penggunaan IABP (Tabel 32-11).
Komplikasi yang paling sering terlihat adalah lesi vaskuler, malfungsi balon, dan
infeksi [114-118]. Tatalaksana untuk masalah respektif tersebut adalah terus-terang.
Flap, diseksi, perforasi, kejadian emboli, dan pseudoaneurisma seharusnya ditangani
secara langsung dengan intervensi dan perbaikan operatif. Steal syndrome atau
iskemia, jika tidak berat, dapat ditangani dengan harapan, namun jika terdapat
compromise ekstremitas yang berat, balon sebaiknya dipindahkan ke tempat lainya.
Cara alternatif dari terapi adalah graft crossover femoral-ke-femoral yang
ditempatkan secara bedah untuk membantu meringankan ekstremitas yang terkena.
Masalah-masalah terkait dengan balon adalah pengaturan secara langsung
dengan pencabutan atau penggantian atau, jika diperlukan, resposisi. Embolisasi
udara, meskipun jarang, telah dengan sukses diterapi dengan oksigen hiperbarik.
Infeksi biasanya memerlukan pencabutan atau penggantian balon pada lokasi
pengganti. Cakupan antibiotik yang tepat sebaiknya diberikan dan disesuaikan saat
hasil kultur tersedia. Material prostetik sebaiknya dilepas jika ada, dan debridement
lokasi insersi dilakukan saat diperlukan. Septikemia dapat terjadi dan memiliki efek
yang merusak jika tidak ditangai secara agresif.
Karena perbaikan multipel pada tatalaksana medis dan anestesi, pemeliharaan
miokardial (lihat Bab 28 dan 29), dan teknik bedah, sebagian besar pasien dapat
dengan aman dilepas dari CPB setelah operasi berhasil. Akan tetapi, kegalan jantung
perioperatif dan LCOS masih terjadi pada pasien-pasien risiko tinggi yang
memerlukan dukungan farmakologik komplek untuk menghentikan CPB. Pasien-
pasien lainnya dapat memerlukan terapi aritmia dengan obat-obatan atau pacemaker.
Pasien-pasien dengan disfungsi ventrikuler paling berat akan memerlukan bantuan
6
mekanik (misal, IABP, alat bantu ventrikuler kiri, alat bantu RV) dan mungkin
jantung buatan (misal, AbioCor; Abiomed, Danvers, MA) atau transplantasi jantung
(lihat Bab 23 dan 27).
Gambar 32-4 Gelombang arterial terlihat selama bantuan pompa balon intra-aortik
(IABP). Dua gelombang pertama tanpa bantuan, dan terakhir dengan bantuan.
Perhatikan penurunan tekanan end-sistolik dan end-diastolik dan penambahan
tekanan diastolik disebabkan oleh penambahan IABP dan titik (yang benar) dimana
inflasi balon terjadi. Terdapat gelombang yang terbentuk dengan pemposisian yang
benar dan pengaturan waktu balon. (Kebaikan dari Datascope Corporation.)
Gambar 32-6 Perubahan pada tracing gelombang arterial disebabkan oleh kesalahan
pada pengaturan waktu pompa balon intraaorta (IABP). A. Balon terlalu lambat
mengalami deflasi/pengempisan. C, Balon mengalami inflasi terlalu awal. D, Balon
juga terlambat mengalami inflasi. VEDP, left ventricular enddiastolic pressure;
LVEDV, left ventricular end-diastolic volume; PCWP, pulmonary capillary wedge
pressure. (Kebaikan dari Datascope Corporation.)
Tabel 32-11 Komplikasi Counterpulsasi Pompa Balon Intra-aortik
Vaskuler Bermacam-macam Balon
Lesi arteri (perforasi, diseksi) Hemolisis Perforasi (preinsersi
Perforasi aortik Trombositopenia Robek (selama insersi)
Diseksi aorta Infeksi Pemposisian yang tidak
benar
Trombosis arteri femoralis Klaudikasio (postpencabutan) Embolisasi udara
Embolisasi perifer Perdarahan Pencabutan yang kurang
hati-hati
Kanulasi vena femoralis Paraplegia
Pseudoaneurisma pembuluh
darah femoral
Jebakan (entrapment)
Iskemia ekstremitas bawah Nekrosis medulla spinalis
Sindroma kompartmen Oklusi arteri mammaria
7
interna
Iskemia viseral Perburukan obstruksi jalur
aliran keluar dinamik
PEMBUATAN KEPUTUSAN DENGAN EKOKARDIOGRAFI
TRANSESOFAGEAL SAAT MENGHENTIKAN BYPASS
KARDIOPULMONER
Studi Kasus I
Evaluasi Udara yang Terjebak Intrakardiak
Udara memasuki jantung pada beberapa prosedur dimana ruangan atau aorta
ascenden terbuka saat CPB. Manuver untuk mengevakuasi adanya udara pada LA
atau LV perlu dilakukan pada kasus-kasus tersebut dalam persiapan untuk
menghentikan CPB untuk menghindari konsekuensi emboli udara sistemik yang
merugikan. Juga, udara pada sisi kanan jantung dapat lewat melalui hubungan
intrakardiak seperti foramen ovale paten dan berakibat pada embolisasi udara
sistemik jika tidak dengan baik dievakuasi. TEE dapat berguna dalam
mengidentifikasi dan melokalisasi udara dalam jantung dan membantu dalam de-
airing sebelum pelepasan CPB.
Pengumpulan Data
Waktu untuk mulai melihat dengan TEE untuk udara intrakatdiak pada CPB biasanya
setelah gelembung udara mikroskopik sangat ekogenik dan dapat terlihat dengan TEE
sebagai bintik-binti putih kecil dalam darah dan mungkin tidak menjadi perhatian
besar (lihat Video Udara 1, yang merupakan bagian dari materi online). Ini paling
penting untuk mengidentifikasi akumulasi makroskopik dari udara dalam jantung kiri.
Pengapungannya pada titik tertinggi dalam ruangan dan tampak pada gambaran TEE
sebagai garis perpendikuler yang mobile pada arah gravitasi yang disebabkan oleh
air-fluid level saat ia bergerak dengan gerakan jantung (lihat Video Udara 2, tersedia
online). Dengan pasien dalam posisi supine/telentang, udara pada LA mengapung ke
aspek superior dari septum atrial, seringkali berbatasan dengan pintu masuk vena
8
pulmonalis atas kanan (lihat Video Udara 3, tersedia online). Di dalam LV, akumulasi
makroskopik dari udara yang mengapung melawan septum apikal (lihat Video Udara
4, tersedia online). Udara juga dapat terjebak dalam appendage atrial kanan dan
menyebabkan air-fluid level terlihat dengan TEE pada dasarnya. Udara biasanya
dapat diidentifikasi dengan TEE pada sudut multiplana derajat nol dengan scanning
pandangan empat ruangan midesofageal proksimal dan distal pada esofagus melalui
selurus tingkat raungan jantung kiri tiga dimensi. Pandangan aksis-panjang
midesofageal pada sekitar 130-derajat sudut multibidang juga mungkin dapat
digunakan untuk memeriksa septum apikal untuk air-fluid level.
Pembahasan
Meskipun hubungan dengan jumlah udara intrakardiak yang terlihat dengan TEE dan
outcome neurologis belum terbukti, satu dari perhatian besar dengan emboli udara
sistemik setelah CPB adalah potensial untuk lesi serebral. Ini beralasan untuk
memulai dengan asumsi bahwa pompa udara yang lebih sedikit ke dalam sirkulasi
sistemik selama dan setelah CPB adalah lebih baik. Konsekuensi udara intrakardiak
yang merugikan lainnya yang diketahui dengan baik dan seringkali terlihat adalah
embolisasi arteri koroner yang mendorong pada iskemia miokardial. Karena pada
pasien supine arteri koroner meninggalkan titik yang tinggi dari pangkal aorta,
embolisasi udara koroner paling sering dimanifestasikan oleh elevasi segmen-ST
inferior dramatik dan disfungsi jantung-kanan akut. Graft vena saphena secara khas
dianastomosekan pada aspek anterior aorta ascenden dan rentan terhadap emboli
udara. Jika ini terjadi saat masih dalam CPB atau setelah dekanulasi, ini merupakan
persoalan sederhana untuk kembali pada pompa dan menunggu beberapa menit
sampai udara bersih dari sirkulasi koroner, normalisasi segmen ST, dan perbaikan
fungsi ventrikuler sebelum mencoba untuk pelepasan dari CPB lagi. Akan tetapi, jika
embolisasi koroner terjadi setelah dekanulasi, hemodinamik dapat secara cepat
memburuk menjadi cardiac arrest. Emboli udara yang lebih kecil dapat dipindahkan
melalui pembuluh darah koroner dengan peningkatan BP secara akut dengan
vasopressor saat mendilatasikan arteri koroner dengan NGT. Mungkin scenario
9
kasus-terburuk adalah ketika gelembung udara makroskopik pada jantung kiri
terkocok menggerakkan pasien dari meja operasi pada akhir kasus; gagal jantung
kanan akut dan kolaps sirkulasi dapat terjadi kemudian, atau dapat terjadi saat pasien
ditransportasikan pada unit perawatan intensif.
Manuver deairing dapat meliputi menggoncangkan jantung yang terbuka pada
CPB parsial untuk melepaskan adanya kantong udara, mengelevasikan dan
mengaspirasi udara LV secara langsung dari apeks, mengaplikasikan tekanan positif
pada paru ke tekanan udara keluar dai vena pulmonal, dan tipping meja dari sisi ke
sisi untuk membantu passage gelembung melalui jantung ke aorta ascenden dimana
mereka kemudian dilepaskan melalui lubang. Udara tambahan dapat terlihat pada
jantung kiri saat penghentian dari CPB sebagai peningkatan aliran melalui vena
pulmonalis flushes it keluar dari paru ke atrium kiri. Passage udara dari LA ke LV
mungkin dapat difasilitasi dengan posisi kepala dan sisi-kanan-turun, sebaik dari LV
ke aorta ascenden dengan kepala dan sisi kanan naik. Ini menjadi tidak
memungkinkan untuk mengevakuasi tiap bekas udara dari jantung kiri sebelum
menghentikan CPB, khususnya gelembung kecil yang terjebak pada trabekula LV,
sehingga ini menjadi persoalan dari pertimbangan dan pengalaman untuk diketahui
saat ini adalah cukup. Namun persistensi air-fluid level makroskopik pada jantung
kiri yang terlihat dengan TEE memberi kesan bahwa lebih banyak deairing mungkin
diperlukan sebelum penutupan lubang pada aorta ascenden dan penghentian dari
CPB.
Studi Kasus 2
Regurgitasi Aorta pada Framing Bypass Kardiopulmoner
AR memiliki signifikasi khusus untuk pasien-pasien pada CPB. Perhatian primer
adalah potensial untuk distensi LV segera setelah kontraksi efektif dari jantung
berhenti. Tidak terdeteksi, ini dapat merusak miokardium, yang menyebabkan
gangguan fungsi ventrikuler saat mencoba untuk menghentikan CPB. TEE berguna
10
untuk mendeteksi keberadaan AR sebelum dan saat CPB, dan untuk mengidentifikasi
distensi LV saat itu terjadi.
Pengumpulan Data
Sebelum CPB, AV diperiksa menggunakan pandangan TEE AV midesofageal aksis-
pendek dan aksis-panjang dengan pencitraan 2-D dan Doppler aliran-warna untuk
mendeteksi abnormalitas struktur katub dan keberadaan serta beratnya AR.
Pandangan TEE aksis panjang transgastrik dan aksispanjang transgastrik dalam
digunakan untuk ditunjukkan dengan profil kecepatan Doppler gelombang-kontinyu
dari adanya AR yang terlihat, dan waktu paruh tekanan AR diukur untuk memberikan
indeks kasar dari beratnya (lihat Bab 12 dan 13). Doppler gelombang pulsa digunakan
untuk mendeteksi aliran berkebalikan pan-diastolik pada aorta thorakal descenden
distal, yang agak sedikit tidak sensitive namun merupakan tanda spesifik dari AR
berat. Pandangan TEE yang sama digunakan untuk mengecek AR saat CPB, yang
dapat terjadi dengan AV normal yang disimpangkan oleh manipulasi jantung atau
clamping parsial dari aorta. Pandangan midesofageal dan transgastrik dari LV
digunakan untuk memonitor ukurannya sebelum dan setelah pencabutan aortik cross-
clamp saat CPB. Keberadaan pulsatilitas arterial pada CPB mungkin menjadi suatu
indikasi dari AR. Distensi LV dapat menyebabkan peningkatan tekanan untuk
kembali melintasi katub mitral, melalui vena pulmonalis dan paru ke arteri pulmonal,
yang menyebabkan peningkatan tekanan yang dapat dideteksi dengan kateter arteri
pulmonal. Pada CPB, vent return jantung kiri yang berlebihan dapat menjadi suatu
indikasi AR saat aorta tidak di cross-clamp.
Pembahasan
Ahli anestesi dan ahli bedah keduanya perlu untuk waspada saat pasien memiliki AR
pada CPB untuk menghindari distensi ventrilek kiri yang berbahaya. Dengan AR,
secepat ventrikel yang tidak mampu memelihara pengosongan dirinya dengan
kontraksi yang efektif, ini menjadi penuh secara progresif. Tidak dapat dicegah, ini
mendorong pada ekualisasi tekanan antara LV dan aorta, dimana CPB secara khas
berada pada level sistemik. Tekanan yang tinggi ini dapat menganggu perfusi
11
miokardial dan meregangkan myofibril, yang berakibat pada kontraktilitas buruk
selanjutnya. Saat ventrikel distensi, katub mitral menjadi inkompeten dan
peningkatan tekanan dapat kembali ke dalam pembuluh darah pulmonal, yang
menyebabkan lesi pada tingkat kapiler-kapiler pulmonal. Rangkaian berbahaya dari
kejadian ini dapat terjadi termasuk jika AR remeh sebelum CPB karena, dengan
waktu yang cukup, ini akan menetap sampai tekanan aortik dan ventrikuler sama
(lihat Video AR 1, tersedia online). AV normal tanpa AR ebelum CPB dapat rendered
inkompeten jika disimpangkan oleh manipulasi bedah pada jantung atau clamping
aorta parsial, yang mendorong pada distensi ventrikuler dalam beberapa menit. Saat
AR hadir pada CPB, LV harus mengejeksikan volume regurgitan atau ia akan
mengalami distensi. Ejeksi ini memberikan suatu petunjuk untuk keberadaan AR
dengan menyebabkan pulsatilitas arterial persisten meskipun drainase vena pada
pompa adekuat (Gambar 32-7).
Terdapat tiga pendekatan untuk mencegah distensi ventrikuler kiri pada CPB
dari AR: memelihara kontraksi efektif jantung, venting, dan cross clamping aorta.
Fibrilasi ventrikuler dapat ditangani dengan defibrilasi, bradikardi dengan obat-obat
kronotropik positif, atau pacing artificial. Ahli bedah mungkin mampu untuk
memelihara ventrikel dari distensi sampai pengukuran yang lebih definitive dapat
dilakukan dengan penekanan halus, darah yang diejeksikan melalui AV. Distensi
ventrikuler kiri pada CPB dari AR mungkin dapat dicegah dan ditangani dengan
menempatkan kanula vent ke dalam jantung, secara khas ke dalam atrium kiri atau
ventrikel kiri melalui vena pulmonalis atas atau ke dalam arteri pulmonalis utama,
yang memungkinkan volume regurgitan untuk dihilangkan dari jantung dan
dikembalikan pada sirkuit bypass. Pada situasi darurat, appendage atrial kiri dapat
dibuka secara cepat untuk dekompresi jantung kiri dan kemudian diperbaiki
kemudian. Venting melalui atrium tidak efektif sampai katub mitral menjadi
inkompeten, yang memungkinkan darah untuk melintas dari ventrikel menuju vent.
Dengan AR berat, vent return dapat menjadi besar seperti untuk aliran compromise
untuk mengistirahatkan tubuh dan dapat tidak menyediakan resolusi lengkap dari
12
situasi darurat. Cross clamping aorta mengatasi masalah distensi dari AR dengan
mengisolasi AV dari aliran pompa sistemik. Waktu yang penting untuk monitor AR
dan distensi adalah segera setelah pencabutan cross clamp, sebelum kontraksi jantung
yang efektif dimulai. Kewaspadaan masalah distensi dari AR khususnya penting pada
pasien-pasien yang memiliki prosedur invasif minimal atau reoperatif dimana ahli
bedah mungkin tidak melengkapi akses ke jantung untuk mempalpasi untuk
mendeteksi distensi, defibrilasi, pacing, venting, atau cross clamping. Pada kasus-
kasus tersebut, TEE mungkin hanya cara untuk mendeteksi distensi ventrikuler dari
AR sebelum kerusakan terjadi.
Gambar 32-7 Sebuah screen shot dari monitor pada pasien dengan regurgitasi aorta
(AR) pada bypass kardiopulmoner (CPB) sebelum aortic cross clamping. Jantung
masih berdenyut, dan arterial trace pulsatil, yang member kesan adanya AR. Baik
arteri pulmonal dan vena sentral traces nonpulsatil, yang mengindikasikan bahwa
semua darah vena dialirkan ke sirkuit CPB dan bahwa sumber untuk pengisian
persisten dari ventrikel kiri adalah AR. Ekokardiografi transesofageal mungkin dapat
digunakan untuk mengkonfirmasi adanya AR dan untuk monitor ukuran ventrikel
untuk distensi. Pulsatilitas dari arterial trace tersebut akan meningkatkan kecurigaan
AR sebelum dan setelah aortic cross clamping saat CPB.
Studi Kasus 3
Pergerakan Anterior Sistolik Mitral setelah Framing Bypass Kardiopulmoner
Pergerakan anterior sistolik (Systolic anterior motion/SAM) dari katub mitral
merupakan fisiologi abnormal yang memiliki dua konsekuensi merugikan: obstruksi
jalur aliran keluar ventrikuler kiri (left ventricular outflow tract/LVOT) dinamik dan
regurgitasi mitral. Ini paling sering berhubungan dengan kardiomiopati obstruktif
hipertrofik namun juga meningkat pada individual yang rentan pada kondisi
hiperdinamik, hipovolemik, sebagaimana sering terjadi saat penghentian dari CPB.
Meskipun SAM dapat menjadi sulit untuk dibedakan dari disfungsi ventrikuler yang
menggunakan monitoring hemodinamik konvensional, ini mudah untuk diagnosis
13
dengan TEE. Perbedaan adalah penting karena tatalaksana secara diametrik
berkebalikan.
Pengumpulan Data
SAM mitral sebaiknya dicurigai saat menemukan ketidakstabilan hemodinamik yang
tidak diperkirakan saat penghentian dari CPB, khususnya pada situasi yang diketahui
berkaitan dengan fisiologi ini: kardiomiopati obstruktif hipertrofik, perbaikan katub
mitral untuk penyakit miksomatosus, dan penggantian AV untuk stenosis aorta.
Pandangan TEE standar dari katub mitral digunakan untuk mendeteksi karakteristik,
gerakan abnormal dan leaflet mitral selama sistolik (lihat Video SAM 1, tersedia
online). Doppler aliran-warna akan menunjukkan kecepatan-tinggi, aliran turbulen
pada LVOT dari tingkat leaflet mitral anterior abnormal melalui AV dan regurgitasi
mitral (lihat Video SAM 2, tersedia online). Doppler gelombang-kontinyu diarahkan
melalui LVOT dari TEE aksis-panjang transgastrik atau TEE aksis panjang
transgastrik dalam untuk menampakkan bentuk-pisau belati, profil kecepatan sistolik
puncak-lambat yang disebabkan oleh SAM (Gambar 32-8). Beratnya obstruksi LVOT
dinamik diperhitungkan dari kecepatan puncak Doppler gelombang-kontinyu dengan
persamaan Bernoulli (gradient LVOT puncak dalam mmHg = 4V2, dimana V =
kecepatan puncak dalam m/detik) dan dipertimbangkan berat jika lebih dari 50
mmHg. Doppler gelombang-pulsa digunakan untuk melokalisasi tingkat obstruksi
aliran dengan menggerakkan volume sampel dari tingkat midventrikuler ke dalam
LVOT ke arah AV sampai kecepatan obstruksi yang tinggi terdeteksi. SAM mitral
menyebabkan peningkatan dari tekanan pengisian jantung kiri dan penurunan cardiac
output yang dapat dideteksi dengan kateter arteri pulmonal, namun penemuan
tersebut juga konsisten dengan disfungsi ventrikuler. Karena obstruksi jalur aliran
keluar adalah dinamik, tekanan darah arterial dapat secara ekstrim labil, terutama
tergantung pada status volume dari jantung kiri (lihat Video SAM 3 sampai dengan 6
pada website).
Gambar 32-8 Spektral Doppler gelombang-kontinyu menunjukkan profil kecepatan
jalur aliran keluar ventrikuler kiri (left ventricular outflow tract/LVOT) dari pasien
14
dengan SAM mitral yang dibuat dengan mengarahlan kursor Doppler melalui LVOT
dan katub aorta dari pandangan ekokardiografi transesofageal aksis panjang
transgastrik dalam. Profil memiliki puncak lambat bentuk “pisau belati” yang khas
dari obstruksi jalur aliran keluar dinamik. Masing-masing titik pada skala vertikal
merepresentasikan 1m/detik, yang mengindikasikan gradient jalur aliran keluar
seketika puncak pada hampir 100 mmHg.
Pembahasan
Meskipun secara klasik dikaitkan dengan kardiomiopati obstruktif hipertrofik, SAM
mitral telah dilaporkan pada sejumlah situasi lain yang melibatkan pasien-pasien yang
menjalani operasi jantung. SAM setelah perbaikan katub mitral untuk degenerasi
miksomatosa terkait dengan jaringan leaflet residual yang terlalu sering berlebihan
dan merupakan kompliask dari operasi ini yang dikenali dengan baik. Ini juga
dilaporkan setelah penggantian AV untuk stenosis aorta dimana relief dari afterload
yang sangat tinggi membuka fisiologis saat mencoba untuk lepas dari CPR [119].
Tampak terdapat sejumlah kecil dari pasien-pasien operasi jantung yang rentan untuk
terjadinya SAM saat mereka hipovolemik dan hiperdinamik, meskipun mereka
tampak memiliki ventrikel dan katub mitral normal, khususnya saat pelepasan CPB
[120].
Perubahan hemodinamik yang menurunkan volume end-sistolik dari ventrikel
kiri meningkatkan SAM mitral dan efek merugikannya. Ini meliputi hipovolemia,
peningkatan kontraktilitas miokardial, dan penurunan afterload. Pengukuran yang
memperbesar ventrikel kiri akan menurunkan SAM dan melibatkan pemberian
volume, penurunan kontaktilitas miokardial (obat-obat β-antagonist, misal esmolol),
dan meningkatkan afterload (obat-obat α-agonis, misal phenylephrine). Pacing
atrioventrikuler juga telah digunakan secara efektif pada pasien-pasien dengan
kardiomiopati obstruktif dan secara teori dapat digunakan untuk menangani SAM
pada kondisi klinis lainnya, seperti operasi jantung, dimana pacing artificial dengan
mudah tidak dapat dihindari. Sebagian besar pasien yang mengalami SAM mitral saat
15
mencoba untuk menghentikan CPB dapat secara sukses diatur jika diagnosis yang
benar dibuat dan intervensi yang tepat diberikan (dengan memberikan volume
mungkin paling penting dan maneuver yang berguna; lihat Video SAM 3 sampai 6
pada website) dan tatalaksana yang tidak tepat dihindari (milrinone dan
counterpulsasi IABP khususnya berbahaya). Meskipun SAM mitral setelah perbaikan
katub mitral tidak menyebabkan obstruksi LVOT berat dan memberikan respon
terhadap terapi konservatif pada sebagian besar pasien [121], jika berat dan persisten
meskipun optimisasi hemodinamik, pertimbangan harus diberikan untuk revisi
perbaikan atau penggantian katub.
Penting untuk menyadari bahwa gambaran hemodinamik disebabkan oleh
SAM mitral, (yakni, tekanan arteri pulmonal yang tinggi, dan cardiac output yang
rendah), dapat dibingungkan dengan gangguan kontraktilitas miokardial, yang
menyebabkan klinisi mulai menurunkan afterload atau terapi inotropik, keduanya
akan memperburuk SAM dan konsekuensi hemodinamiknya. Ini dapat mendorong
pada kecenderungan untuk menurun dimana hemodinamik pasien memburuk dan
efek yang merugikan,selanjutnya meningkat dari terapi yang tidak tepat.
Kemungkinan SAM mitral pada pasien dengan gangguan kontraktilitas miokardial
yang nyata diperkirakan dengan data hemodinamik, khususnya jika tidak terduga atau
tidak berespon secara tepat terhadap terapi, harus dipertimbangkan. SAM mitral
dengan mudah didiagnosis dengan ekokardiografi, yang dapat juga digunakan untuk
memonitor respon terhadap terapi.
16
BAB 33
Pemulihan dan Outcome Jantung PostoperatifDaniel Bainbridge, MD, FRCPC | Davy C.H. Cheng, MD, MSC, FRCPC, FCAHS
POIN-POIN KUNCI
1. Anestesi jantung memiliki pergeseran fundamental dari teknik narkotik dosis
tinggi sampai pendekatan yang lebih seimbang dengan menggunakan narcosis
dosis sedang, muscle relaxan aksi yang lebih pendek, dan anestesi volatil.
2. Paradigma baru ini juga mendorong pada ketertarikan yang diperbarui pada
manajemen nyeri perioperatif yang melibatkan teknik multimodal yang
memfasilitasi ekstubasi tracheal cepat seperti blok regional, morfin intratekal, dan
obat-obat anti-inflamasi nonsteroid tambahan.
3. Ini memiliki kecenderungan pergeseran dari model klasik pemulihan pasien pada
cara unit perawatan intensif tradisional, dengan protokol penghentian dan
observasi intensif, untuk manajemen lebih dalam pemeliharaan dengan praktik
ruang pemulihan dari ekstubasi dini dan keluar dari Rumah sakit lebih cepat, yang
telah menggeser perawatan pasien jantung untuk unit pemulihan bedah
postjantung yang lebih terspesialisasi.
4. Anestesi jantung jalur-cepat tampak menjadi aman dibandingkan dengan
anesthesia narkotik dosis tinggi konvensional, namun jika komplikasi terjadi yang
akan mencegah ekstubasi tracheal dini, kemudian strategi tatalaksana harus
dimodifikasi sesuai dengan itu.
5. Tujuan dari model pemulihan operasi postjantung adalah unit postoperatif yang
memungkinkan tingkat monitoring yang bervariasi dan pewaratan berdasar pada
kebutuhan pasien.
6. Tatalaksana awal pada perawatan posoperatif adalah pasien bedah jantung jalur-
cepat terdiri dai menjamin pemindahan yang efisien dari staf ruang operasi ke staf
17
area pemulihan jantung, sementara pada waktu yang sama memelihara tanda vital
pasien agar stabil.
7. Adalah penting untuk mengetahui faktor-faktor risiko terkait dengan operasi
jantung dan untuk meninau pilihan terapi untuk pasien-pasien dengan referensi
spesifik untuk outcome, semua ditempatkan dalam konteks biaya dan
pemanfaatan sumber, khususnya seperti obat yang terus meningkat melibatkan
realita ekonomi.
Anestesi jantung sendiri memiliki pergeseran fundamental dari teknik narkotik
dosis-tinggi, muscle relaksan aksi-yang lebih pendek, dan anestesi volatil. Ini
terutama telah dijalankan dengan realisasi bahwa narkotik dosis-tinggi memperlambat
ekstubasi dan pemulihan setelah operasi. Paradigma baru ini juga mendorong pada
ketertarikan yang diperbarui pada manejeman nyeri perioperatif yang melibatkan
teknik multimodal yang memfasilitasi ekstubasi tracheal cepat seperti blok regional,
morfin intratekal (ITM), dan obat-obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) tambahan.
Selain itu, untuk perubahan pada praktik anestesi, jenis pasien yang hadir untuk
operasi jantung berubah. Pasien-pasien saat ini lebih tua dan memiliki komorbiditas
terkait yang lebih banyak (stroke, infark miokard, gagal ginjal). Pilihan terapi untuk
penyakit arteri koroner telah meluas, memiliki rentang dari terapi medis hanya pada
intervensi perkutan dan bedah. Akan tetapi, pilihan operasi juga telah meluas dan
meliputi coronary artery bypass graft surgery (CABG) konvensional, off-pump
coronary artery bypass surgery (OPCAB), bypass arteri koroner langsung invasif
minimal, dan teknik bypass arteri koroner yang dibantu robot. Perubahan juga telah
mengambil tempat pada pemulihan pasien-pasien jantung. Meskipun prosedur-
prosedur operasi jantung seringkali dikaitkan dengan mortalitas yang tinggi dan lama
tinggal di unit perawatan intensif (ICU) lebih panjang, penggunaan narkotik dosis
sedang telah diijinkan untuk penghentian ventilator cepat dan keluar dari ICU dalam
24 jam. Ini memilik kecenderungan bergeser dari model pemulihan pasien klasik
18
pada cara ICU tradisional, dengan protokol penghentian dan observasi intensif, untuk
tatalaksana lebih pada pemeliharaan dengan praktik ruang pemulihan dari ekstubasi
dini dan keluar yang cepat. Ini pada gilirannya, telah menggeser perawatan pasien-
pasien jantung untuk unit pemulihan post operasi jantung yang lebih terspesialisasi.
Terakhir, outcome klinis yang sulit telah menggerakkan perubahan pada
manajemen pasien jantung yang sedang berlangsung dan meningkatkan fokus
penelitian. Tatalaksana intraoperatif saat ini ada dalam rangkaian assessment
preoperatif dan perawatan postoperatif. Outcome pasien dalam setting Rumah Sakit
hanya merupakan satu aspek kecil dari keberhasilan. Mortalitas jangka panjgn,
morbiditas, dan indikator kualitas hidup menjadi goldstandard dalam menentukan
keuntungan atau bahaya untuk intervensi.
Bab ini meninjau fast-track cardiac anesthesia (FTCA) dan dampak pada
pemulihan jantung. Perawatan perioperatif awal dari kasus bedah jantung rutin, yang
meliputi teknik manajemen nyeri postoperatif seperti blockade regional dan ITM,
dibahas, diikuti oleh masalah manajemen spesifik dari masalah-masalah yang umum
terjadi pada ICU jantung. Terakhir, outcome jantung yang penting ditinjau, yang
difokuskan pada pilihan terapi yang berbeda yang ada untuk pasien-pasien dengan
penyakit arteri koroner dan mendiskusikan bukti yang ada untuk implementasinya.
PERAWATAN OPERASI JANTUNG JALUR-CEPAT
Teknik Anestesi
Sedikit percobaan telah membandingkan agen inhalasi untuk FTCA. Sebuah
percobaan tunggal yang membandingkan sevofluran dan isofluran pada pasien yang
menjalani operasi katub tidak mampu untuk menunjukkan pengurangan pada waktu
ekstubasi tracheal [1]. Beberapa penelitian telah memeriksa keefektifan propofol vs
agen inhalasi, yag menunjukkan penurunan pada pelepasan enzim miokardial
(kreatinin kinase-MB, troponin I) dan pemeliharaan fungsi miokardial pada
pasienpasien yang menerima agen inhalasi [2-5]. Meskipun poin akhir ini diwakilkan
untuk kerusakan miokardial dan tidak menunjukkan perbaikan outcome per se,
19
kreatinin kinase-MB yang lepas post-CABG mungkin berkaitan dengan outcome
yang buruk [6] (Kotak 33-1).
KOTAK 33-1 Keuntungan dari Anestesi Jantung Jalur-Cepat
Penurunan durasi intubasi
Penurunan lama tinggal di Unit Perawatan Intensif (ICU)
Penurunan biaya
Pilihan muscle relaxan pada FTCA penting untuk menurunkan insidensi kelemahan
otot pada area pemulihan jantung (Cardiac Recovery Area/CRA), yang dapat
memperlambat ekstubasi trakheal [7]. Beberapa penelitian randomisasi telah
membandingkan rocuronium (0.5 sampai 1 mg/kg) vs pancuronium (0.1 mg/kg) dan
menemukan perbedaan signifikan pada paralisis residual di ICU [8-11]. Dua
penelitian menemukan keterlambatan yang signifikan secara statistic pada waktu
ekstubasi pada kelompok pancuronium [9.10]. Tidak ada dari percobaan yang
menggunakan agen reversal, sehingga penggunaan pancuronium dapat diterima
sepanjang neostigmin atau edrophonium diberikan pada pasien-pasien dengan
kelemahan neuromuskuler residual.
Beberapa penelitian telah menguji penggunaan agen narkotik aksi yang lebih
pendek selama FTCA. Dalam percobaan ini, fentanil, remifentanil, dan sufentani
semuanya ditemukan menjadi mujarab untuk ekstubasi trakheal dini [12-14]. Obat-
obat anestesi dan dosis yang diusulkan didaftar pada Tabel 33-1.
TABEL 33-1 Dosis yang diusulkan untuk Anestesi Jantung Jalur-Cepat
Permulaan
Narkotik
Fentanyl, 5–10 μg/kgBB
Sufentanil, 1–3 μg/kgBB
Remifentanil infusions of 0.5–1.0 μg/kgBB/menit
Muscle relaxant
20
Rocuronium, 0.5–1 mg/kgBB
Vecuronium, 1–1.5 mg/kgBB
Hipnotik
Midazolam, 0.05–0.1 mg/kgBB
Propofol, 0.5–1.5 mg/kgBB
Pemeliharaan
Narkotik
Fentanyl, 1–5 μg/kgBB
Sufentanil, 1–1.5 μg/kgBB
Remifentanil infus 0.5–1.0 μg/kgBB/menit
Hipnotik
Inhalasi 0.5–1 MAC
Propofol, 50–100 μg/kgBB/min
Pindah ke CRA
Narkotik
Morfin, 0.1–0.2 mg/kgBB
Hipnotik
Propofol, 25–75 μg/kgBB/menit
CRA, cardiac recovery area; MAC, minimum alveolar concentration.
Dari Mollhoff T, Herregods L, Moerman A, et al: Perbandingan efikasi dan
keamanan remifentanil dan fentanyl pada operasi bypass arteri koroner “jalur-cepat”:
Sebuah penelitian double-blind randomisasi. Br J Anaesth 87:718, 2001; Engoren M,
Luther G, Fenn-Buderer N: Perbandingan fentanyl, sufentanil, dan remifentanil untuk
anestesi jantung jalur-cepat. Anesth Analg 93:859, 2001; and Cheng DC, Newman
MF, Duke P, et al: Efikasi dan pemanfaatan sumber remifentanil dan fentanyl pada
operasi graft bypass arteri koroner jalur cepat: Sebuah penelitian prospektif
randomisasi, double-blind terkontrol, multi-senter. Anesth Analg 92:1094, 2001.
21
Bukti yang Mendukung Pemulihan Jantung Jalur-Cepat
Beberapa percobaan randomisasi dan satu percobaan randomisasi meta-analisis telah
mengajukan pertanyaan mengenai keamanan FTCA [15-21]. Tidak ada percobaan
yang mampu untuk menunjukkan perbedaan pada outcome antara kelompok jalur-
cepat dan kelompok anestesi konvensional (Gambar 33-1). Metaanalisis dari
percobaan randomisasi menunjukkan penurunan pada durasi intubasi dalam 8 jam
(Gambar 33-2) dan lama tinggal di ICU Rumah Sakit tidak secara statistik berbeda.
Satu perhatian dengan FTCA adalah potensi untuk peningkatan pada insidensi
kejadian yang merugikan, khususnya kesadaran. Kesadaran pada pasien-pasien yang
menjalani FTCA secara sistematis diteliti pada percobaan tunggal, sebuah penelitian
observasional prospektif pada 617 pasien FTCA. Angka insidensi yang dilaporkan
dari kesadaran intraoperatif eksplisit adalah 0.3% (2/608) [22]. Ini dapat
dibandingkan dengan insidensi yang dilaporkan selama operasi jantung konvensional
[23]. Ini memberi kesan bahwa FTCA tidak meningkatkan insidensi kesadaran
dibanding dengan operasi jantung konvensional.
Gambar 33-1 Forrest plot dari mortalitas yang mengindikasikann tidak adanya
perbedaan saat anestesi jantung jalur-cepat (fast-track cardiac anesthesia/FTCA)
dibandingkan dengan anesthesia narkotik dosis tinggi konvensional. TCA, traditional
cardiac anesthesia.
FTCA terlihat aman dibandingkan dengan anesthesia narkotik dosis tinggi. Ini
mengurangi durasi ventilasi dan ICU LOS dengan sangat, tanpa meningkatkan
insiensi kesadaran atau kejadian merugikan lainnya [20,21]. Ini tampak efektif dalam
menurunkan biaya dan pemanfaatan sumber [24]. Layaknya sesuatu, ini menjadi
standar perawatan pada banyak pusat jantung. Praktik biasa pada banyak institusi
adalah untuk menangani semua pasien sebagai kandidat jalur-cepat dengan tujuan
yang memungkinkan ekstubasi trakheal lebih awal untuk tiap pasien. Akan tetapi, jika
komplikasi terjadi yang akan mencegah ekstubasi trakheal lebih awal, kemudian
strategi tatalaksana dimodifikasi sesuai dengan itu. Ini telah menunjukkan bahwa
faktor-faktor risiko untuk penundaan ekstubasi trakheal (>10 jam) meningkat dengan
22
usia, jenis kelamin, penggunaan pompa balon intra-aortik (intra-aortic balloon
pump/IABP) postoperatif, inotropik, perdarahan, dan aritmia atrial. Faktor-faktor
risiko untuk pemanjangan ICU LOS (>48 jam) adalah mereka dari penundaan
ekstubasi trakheal ditambahn MI preoperatif dan insufisiensi ginjal postoperatif [25].
Perawatan sebaiknya diberikan untuk menghindari perdarahan luas (antifibrinolisis)
dan untuk mengatasi aritmia baik secara profilaksis atau pada kejadian (β-blockers,
amiodaron).
Gambar 33-2 Forres plot yang menunjukkan perbedaan rata-rata berat pada waktu
ekstubasi. CI, confidence interval; FTCA, fast-track cardiac anesthesia;TCA,
traditional cardiac anesthesia.
Model Pemulihan Post Operasi Jantung
Kegagalam banyak percobaan FTCA randomisasi untuk menunjukkan penurunan
pada pemanfaatan sumber cenderung berakar dari model ICU transisional yang
digunakan oleh pusat-pusat tersebut selama periode penelitian. Termasuk saat
percobaan dikombinasikan pada meta-analisis, ICU LOS berkurang hanya dalam 5
jam meskipun pasien-pasien yang diekstubasi rata-rata 8 jam lebih awal [21]. Secara
khas, pasien-pasien yang diekstubasi dalam 24 jam pertama dari masuk ICU
dipindahkan ke bangsal pada hari 1 postoperatif pada pagi hari atau awal siang. Ini
memungkinkan following daytime kasus jantung untuk memiliki tempat tidur ICU
yang tersedia namun mencegah pasien dipindahkan selama waktu malam hari. Dua
model telah diusulkan untuk diuraikan dengan masalah ini: model parallel dan model
terintegrasi (Gambar 33-3). Pada model parallel, pasien diakui secara langsung ke
CRA, simana mereka dimonitor dengan perawat 1:1 sampai ekstubasi trakea. Setelah
ini, tingkat perawatan dikurangi untuk mencerminkan pengurangan kebutuhan
perawatan dengan rasio 1:2 atau 1:3. Beberapa pasien yang membutuhkan ventilasi
sepanjang malam dipindahkan ke ICU untuk lanjutan perawatan. Kekurangan primer
dengan model parallel adalah pemisahan fisik dari CRA dan ICU, yang mendorong
pada dua unit terpisah, dan dengan demikian, tidak mengeliminasi kebutuhan untuk
23
pemindahan pasien. Model terintegrasi mengatasi keterbatasan karena semua pasien
diakui untuk area fisik yang sama, namun tatalaksana postoperatif seperti rasio
perawat-terhadap-pasien bervariasi berdasarkan pada kebutuhan pasien [26-28].
Karena perawatan dihitung untuk 45% sampai 50% dari biaya ICU, yang
menurunkan kebutuhan perawatan dimana mungkin menciptakan penyimpanan
terbesar. Penyimpanan biaya lainnya dari penurunan pengukuran gas darah arterial
(ABG), penggunaan obat-obat sedative, dan pemeliharaan ventilator kecil. Tujuan
dari unit postoperatif yang memungkinkan tingkat monitoring bervaraisi dan
perawatan berdasar pada kebutuhan pasien [28]. Selanjutnya, FTCA telah
ditunjukkan untuk praktik efektif-biaya yang mengurangi pemanfaatan sumber
setelah pasien keluar dari indeks opname di Rumah Sakit sampai dengan 1 tahun
follow-up [29].
MANAJEMEN AWAL DARI PASIEN-PASIEN ANESTESI JANTUNG
JALUR-CEPAT: 24 JAM PERTAMA
Pada saat kedatangan di CRA, tatalaksana awal dari pasien-pasien jantung terdiri dari
menjamin pemindahan perawatan yang efisien dari staf ruang operasi ke staf CRA,
sementara pada saat yang sama memelihara tanda vital pasien tetap stabil. Ahli
anestesi sebaiknya menyampaikan parameter-paramaeter klinis yang penting pada tim
CRA. Untuk menyelesaikan ini, beberapa pusat telah merencanakan handoff sheet
pada bantuan dalam pemindahan perawatan. Kerja laboratorium awal seharusnya
dikirimkan (Tabel 33-2). Elektrokardiogram seharusnya diminta, namun radiograf
thorak diperlukan hanya pada kondisi tertentu (Tabel 33-3). Suhu pasien sebaiknya
direkam, dan jika rendah, pengukuran penghangatan kembali yang aktif harus dimulai
dengan tujuan menghangatkan kembali pasien pada 36.5°C. Menggigil dapat
ditangani dengan meperidin dosis rendah (12.5 dampai 25 mg intravena). Akan tetapi,
hipertermia umum dalam 24 jam pertama setelah operasi jantung dan dapat
dihubungkan dengan peningkatan pada disfungsi neurokognitif, mungkin hasil dari
24
bypass kardiopulmoner yang mengalami eksaserbasi-menginduksi lesi neurologis
[30,31] (Kotak 33-2).
TABEL 33-2 Pemeriksaan Laboratorium Awal yang Diusulkan
pada Kasus Rutin dengan Pemeriksaan
Laboratorium Tembahan untuk Diminta yang
Diindikasikan
Rutin
CBC
Elektrolit
BUN/kreatinin
aPTT/INR
ABG
Sebagaimana diindikasikan
Fibrinogen
LFT (AST/ALT)
Kalsium
Magnesium
Enzim-enzim jantung(CK-MB, CK, troponin I)
ABG, arterial blood gas; ALT, alanine aminotransferase; aPTT, activated partial thromboplastin time;
AST, aspartate aminotransferase; BUN, blood urea nitrogen; CBC, complete blood count; CK, creatine
kinase; CK-MB, creatine kinase myocardium band; INR, international normalized ratio; LFT, liver
function test.
TABEL 33-
3
Indikasi yang diusulkan untuk Permintaan Radiografi Thorak
Respirasi
Rasio PaO2/FiO2 > 200
Tekanan puncak > 30 cmH2O
Udara masuk yang asimetris
Sirkulasi
25
Ketidakpastian posisi kateter arteri pulmonalis (jejak yang buruk, tidak mampu
untuk mendesak)
Hipotensi resisten terhadap terapi
Perdarahan besar
Gastrointestinal
Selang makanan nasogastrik/orogastrik
KOTAK 33-2 Tatalaksana Awal pada Pasien-pasien
Anestesi Jantung Jalur Cepat
Normotermia
Hemoglobin > 7 g/dL
PaCO2 35 sampai 45 mmHg
SaO2 > 95%
Tekanan darah rata-rata > 50 sampai 70 mmHg
Kalium 3.5 sampai 5.0 mEq/L
Gula darah < 10.0 mmol/L (<200 mg/dL)
Manajemen Ventilasi: Pengakuan untuk Ekstubasi Trakheal
Kebutuhan ventilator harus diatur dengan tujuan untuk ekstubasi trakheal lebih awal
pada pasien-pasien (Tabel 33-4). ABG pada awalnya digambarkan dalam ½ jam
setelah admisi dan kemudian diulang saat dibutuhkan. Pasien-pasien harus sadar dan
kooperatif, secara hemodinamik stabil, dan tidak memiliki perdarahan aktif dengan
koagulopati. Kekuatan respirasi sebaiknya diperkirakan dengan genggaman tangan
atau mengangkat kepla untuk memastikan hilangnya blockade muskuler. Suhu pasien
seharusnya lebih dari 36° C, terutama normotermik. Saat kondisi tersebut ditemukan
dan hasil ABG berada dalam rentang referensi, ekstubasi trakheal dapat dilakukan.
ABG sebaiknya didapatkan sekitar 30 menit setelah ekstubasi trakheal untuk
memastikan ventilasi adekuat dengan pemeliharaan PaO2 dan PaCO2.
26
Ketidakmampuan untuk mengekstubasi pasien sebagai akibat dari kegagalan
respirasi, ketidakstabilan hemodinamik, atau sejumlah besar drainase mediastinal
akan memerlukan strategi penghentian ventilator yang lebih komplek (lihat Bab 35).
Beberapa pasoen dapat datang setelah ekstubasi di OR. Perhatian yang hati-hati
sebaiknya diberikan untuk pasien-pasien tersebut karena mereka dapat mengalami
kegagalan respirasi yang terjadi setelahnya. Rata-rata respirasi pasien harus dimonitor
tiap 5 menit selama beberapa jam pertama. ABG harus didapatkan pada admisi dan
30 menit kemudian untuk memastikan pasien tidak menahan karbondioksida. Jika
respirasi pasien menjadi compromised, ventilator bantuan harus diberikan.
Pengukuran sederhana seperti pengingat untuk menghirup mungkin efektif pada
pasien yang dianestesi/diberikan narkotik. Nalokson dosis rendah (0.04 mg intravena)
dapat juga berguna. Percobaan dari tekanan jalan nafas positif atau tekanan jalan
nafas positif bilevel dapat memberikan bantuan yang cukup untuk memungkinkan
ventilasi adekuat. Reintubasi sebaiknya dihindari karena dapat memperlambat
pemulihan, akan tetapi, mungkin diperlukan jika penilaian yang disebutkan lebih
awal gagal, yang berakibat pda hipoksemia, hiperkarbia, dan penurunan tingkat
kesadaran.
TABEL 33-4 Tujuan Manajemen Ventilasi selama Percobaan Inisial
Penghentian Ventilator dari Ekstubasi
Parameter-parameter ventilasi awal
A/C pada 10-12 denyut/menit
TV 8-10 mL/kgBB
PEEP 5 cmH2O
Pemeliharaan ABG
pH 7.35-7.45
PaCO2 35-45
PaO2 > 90
Saturasi > 95%
27
Kriteria Ekstubasi
ABG seperti di atas
Sadar dan waspada
Stabil secara hemodinamik
Tidak ada perdarahan aktif (<400 mL/2 hari)
Suhu > 360C
Kembalinya kekuatan otot (>5 detik, mengangkat kepala/genggaman tangan kuat)
ABG, arterial blood gas; A/C, assist-controlled ventilation; PEEP, positive end-
expiratory pressure; TV, tidal volume.
Pengaturan Kadar Hemoglobin
Anemia sering terjadi selama dan setelah operasi jantung sebagai akibat dari
perubahan delusional dan perdarahan. Meskipun ambang transfusi hemoglobin adalah
10 g% adalah yang sering, peningkatan bukti mengusulkan bahwa ambang 7g%
adalah aman [32]. Akan tetapi, pada periode post-CPB, pasien-pasien dengan
revaskularisasi yang tidak lengkap atau dengan pembuluh darah target yang buruk
dapat memerlukan ambang transfusi yang lebih tinggi [32]. Sebagai akibatnya,
transfusi darah seharusnya dibedakan untuk tiap pasien namun pasti digunakan untuk
memelihara kadar hemoglobin minimal pada 7g%.
Tatalaksana Perdarahan
Drainase selang thorak seharunya dicek tiap 15 menit setelah admisi ICU untuk
memperkirakan status koagulasi pasien. Meskipun hilangnya darah sering dibagi
menjadi dua tipe, operasi atau medis, menentukan penyebab perdarahan seringkali
sulit. Saat perdarahan melebihi 400 mL/jam selama jam pertama, 200 mL/jam untuk
tiap 2 jam pertama, atau 100 mL/jam melebihi 4 jam pertama, pengembalian ke OR
untuk reeksplorasi thorak sebaiknya dipertimbangkan. Akan tetapi, situasi klinis
harus dibedakan untuk tiap pasien, dan dalam menghadapi koagulopati yang
28
diketahui, kehilangan darah yang lebih liberal sebelum reeksplorasi thorak mungkin
dapat diterima. Terdapat sejumlah penyebab medis untuk perdarahan setelah operasi
jantung. Disfungsi platelet setelah operasi jantung sering terjadi. Sirkuit CPB sendiri
mendorong pada aktivasi kontak dan degranulasi platelet, yang berakibat pada
disfungsinya. Heparinisasi residual adalah umum post operasi jantung dan sering
terjadi saat darah pompa yang diheparinisasi ditransfusikan setelah CPB atau
protamin yang tidak cukup diberikan. Fibrinolisis juga sering terjadi setelah CPB,
secara predominan disebabkan oleh host dari inflamasi yang teraktivasi dan jalur
koagulasi. Faktor-faktor koagulasi dapat turun dari aktivasi pada permukaan udara-air
arau dari dilusi dengan larutan pompa-priming CPB. Hipotermia juga dapat
memperburuk kaskade koagulasi dan mendorong pada perdarahan lebih lanjut. Tes
koagulasi konvensional berguna untuk mengidentifiaksi abnormalitas koagulasi yang
berkontribusi pasa perdarahan. Tes laboratorium yang umum meliputi activated
partial thromboplastin time (aPTT), international normalized ratio (INR), hitung
trombosit, kadar fibrinogen, dan d-dimer. Sayangnya, sebagian besar pengukuran
konvensional membutuhkan 20 sampai 40 menit sebelum hasil tersedia. Ini
mendorong pada perkembangan metode baru untuk membantu memandu terapi. Tes-
tes poin perawatan di tempat tidur adalah memberikan hasil yang lebih cepat, relevan
secara klinis dibandingkan dengan uji laboratorium. Penggunaan tes poin perawatan
seperti tromboelastografi telah terbukti menurunkan kebutuhan transfusi tanpa
meningkatkan kehilangan darah dan seringkali digunakan, khususnya kasus kesulitan
jantung yang mengikuti [33,34] (lihat Bab 17 dan 28 sampai 31).
Terapi medis awal dari kehilangan darah yang terlalu banyak terdiri dari 50
sampai 100 mg protamin intravena untuk mamastikan hilangnya heparin secara
lengkap. Ini mungkin perlu untuk diulang jika darah pompa CPB yang diheparinisasi
telah diberikan setelah protamin hilang. Meskipun reinfusi darah selang thorak umum
untuk untuk menghindari paparan terhadap packed red blood cell donor, ini tidak lag
digunakan secara rutin dalam praktik karena darah ini dikerahui mengandung
29
koagulasi yang diaktivasi dan mediator-mediator inflamasi yang dapat mempengaruhi
peningkatan risiko untuk infeksi [35].
Fresh-frozen plasma biasanya diberikan pada kondisi peningkatan INR (>1.5).
Kadar trombosit kurang dari 100.000/mm3 dapat memerlukan transfusi trombosit,
namun perhatian harus diberikan saat mempertimbangkan cara ini. Transfusi
trombosit membawa risiko terbesar untuk komplikasi terkait transfusi dari beberapa
komponen darah, secara khas sepsis dari kontaminasi bakteri. Trombosit sebaiknya
digunakan hanya saat jumlah trombosit rendah atau pasien diketahui memiliki
disfungsi trombosit, sekunder terhadap penggunaan asam asetilsalisilat, inhibitor
glikoprotein IIb/IIIa, atau clopidogrel [36]. Pengukuran fisik tertentu sebaiknya
dilakukan, yang meliputi penghangatan pasien hipotermik. Keuntungan dari tekanan
ekspirasi akhir positis pada perdarahan postoperatif adalah samar dan kemungkinan
memiliki keuntungan kecil dalam menghadapi perdarahan operasi atau pada pasien-
pasien yang mengalami koagulopati [37,38]. Penggunaan antifibrinolitik setelah
operasi jantung adalah kemungkinan dari keuntungan kecil karena beberapa
percobaan randomisasi tidak mampu untuk menunjukkan efikasi antifibrinolitik yang
digunakan setelah operasi [39,40] (Kotak 33-3).
Faktor VIIa barubaru ini menjadi tersedia dan mulai dikenalkan untuk terapi
hemofili yang ada dengan perdarahan. Ini dikenalkan pada operasi jantung sebagai
terapi pertolongan pada pasien-pasien dengan perdarahan yang tidak terkontrol,
biasanya pada keberadaan akibat koagulasi normal dan tidak adanya bukti operasi
dari perdarahan [41]. Meskipun seringkali digunakan pada OR sebelum
mengembalikan ke ICU, ini masih sering diberikan pada ruangan ICU. Dosis inisial
berada pada rentang 75 sampai 100 μg/kgBB, namun perhatian lebih dari komplikasi
trombotik telah mendorong pada penurunan dosis yang memiliki rentang turun
sekecil 17 μg/kgBB [41,43].
KOTAK 33-3 Manajemen Pasien dengan Perdarahan
Tinjau waktu koagulasi teraktivasi, waktu protrombin, rasio normalisasi
30
internasional, hitung trombosit
Protamin jika terkait dengan heparin yang berlebih (reinfusi dari darah
pompa)
Tangani penyebab medis: trombosit, fresh-frozen plasma,
cryoprecipitate jika sekunder terhadap penurunan fibrinogen
Faktor VIIa harus dipertimbangkan jika perdarahan berlanjut mesipun
profil koagulasi normal
Tangani penyebab operatif: re-eksplorasi
Manajemen Elektrolit
Hipokalemia adalah sering setelah operasi jantung, khususnya jika diuretik diberikan
intraoperatif. Hipokalemia berkontribusi terhadap peningkatan automatisitas dan
dapat mendorong pada aritmia ventrikuler, takilardia ventrikuler, atau fibrilasi
ventrikuler. Terapi terdiri dari infuse kalium (20 mEq kalium dalam 50 mL D5W
yang diinfuskan dalam 1 jam) sampai kalium melampaui 3.5 mEq/mL. Pada pasien-
pasien dengan kontraksi ventrikuler premature yang sering disebabkan oleh
peningkatan automatisitas, 5.0 mEq/mL kalium mungkin diperlukan. Hipomagnesia
berkontribusi pada pre-eksitasi ventrikuler dan dapat berkontribusi pada atrial fibrilasi
(AF). Ini sering pada pasien-pasien malnutrisi dan pasien yang sakit, kejadian yang
sering pada kondisi operasi jantung. Tatalaksana terdiri dari bolus intermiten dari
magnesium-1 sampai 2 gram dalam 15 menit. Hipokalemia juga sering selama
operasi jantung dan dapat menurunkan kontraktilitas jantung. Bolus kalsium klorida
atau kalsium glukonat intermiten (1 gram) mungkin diperlukan (Tabel 33-5).
TABEL 33-5 Abnormalitas Elektrolit Umum dan Kemungkinan Pilihan Terapi
Hipokalemia
SSx: kelemahan otot, depresi segmen ST, gelombang “u”, pendataran gelombang-T,
pre-eksitasi venrikuler
Rx: KCl IV 10-20 mEq/jam melalui kateter sentral
31
Hiperkalemia (K+ > 5.2 mmol/L)
SSx: kelemahan otot, gelombang T puncak, hilangnya gelombang P, pemanjangan
PR/ORS
Rx: CaCl2 1 gram, insulin/glukosa, HCO3-, diuretic, hiperventilasi, dialisis
Hipokalemia (Ca2+ terionisasi < 1.1 mmol/L)
SSx: hipotensi, gagal jantung, pemanjangan interval QT
Rx: CaCl2 atau Ca glukonat
Hiperkalsemia (Ca2+ terionisasi > 1.3 mmol/L)
SSx: perubahan status mental, koma, ileus
Rx: dialisis, diuretic, mitramisin, kalsitonin
Hipermagnesemia (Mg2+ < 0.7 mmol/L)
SSx: kelemahan, tidak ada reflek
Rx: hentikan infuse Mg, dieresis
Hipomagnesemia (Mg2+ < 0.5 mmol/L)
SSx: aritmia, pemanjangan interval PR dan QT
Rx: Infusi Mg 1 sampai 2 gram
IV, intravenous; Rx, treatment; SSx, signs and symptoms.
Manajemen Glukosa
Diabetes merupakan komorbiditas yang sering (lebih dari 30%) dan merupakan faktor
risiko yang diketahui untuk outcome yang merugikan pada pasien-pasien yang ada
untuk operasi jantung [44-46]. Hiperglikemia sendiri sering selama CPB. Faktor-
faktor risiko untuk hiperglikemia meliputi diabetes, pemberian steroid sebelum CPB,
pemberian volume larutan yang mengandung glukosa, dan penggunaan infuse
epinefrin [47]. Kontrol glukosa perioperatif yang buruk berhubungan dengan
peningkatan pada mortalitas dan morbiditas, yang meliputi peningkatan risiko untuk
infeksi dan pemanjangan durasi ventilasi [48-52]. Pada penelitian luas prospektif,
randomisasi, terkontrol dari kontrol glukosa darah yang sulit (kadar glukosa darah 4.1
sampai 6.5 mmol/L) selama perawatan ICU postoperatif, penurunan pada mortalitas
32
ditunjukkan oleh penulis dibandingkan dengan kontrol glukosa yang lebih bebas
(kadar glukosa darah 12 mmol/L) [52]. Penelitian ini mendaftarkan pasien-pasien
diabetik dan hiperglikemik nondiabetik yang menjalani operasi kardiothoraksik dan
menunjukkan bahwa menajemen glukosa yang ketat berguna pada CRA. Akan tetapi,
penelitian multisenter baru-baru ini lainnya, sebaik metaanalisis dari kontrol glukosa
yang ketat di ICU, mendukung peningkatan pada bahaya, kemungkinan terkait
dengan peningkatan pada hipoglikemia episodic [53,54]. Oleh karena itu, harus hati-
hati untuk menerima kadar glukosa darah yang lebih bebas (<10.0 mmol/L) untuk
mengurangi episode hipoglikemik.
Kontrol Nyeri
Kontrol nyeri setelah operasi jantung telah menjadi perhatian seperti dosis narkotik
telah dikurangi untuk memfasilitasi protokol jalur-cepat. Morfin intravena masih
merupakan jalur utama terapi untuk pasien-pasien post operasi jantung. Pendekatan
paling umum dari permintaan-pasien, morfin intravena yang diberikan perawat, dan
terapi ini masih popular karena 1:1 sampai 1:2 perawatan secara khas diberikan
selama pemulihan jantung. Akan tetapi, dengan perubahan untuk cakupan perawat
yang lebih fleksibel dan, oleh karena itu, rasio perawat-terhadap-pasien yang lebih
tinggi, morfin analgesia pasien-terkontrol menjadi sangat popular. Beberapa
penelitian telah menguji penggunaan morfin analgesia pasien-terkontrol pada pasien
setelah operasi jantung [55-61]. Pencarian meta-analisis pada morfin analgesia
pasien-terkontrol untuk nyeri postoperatif menunjukkan keuntungan tambahan kecil.
Akan tetapi, pasien-pasien muda, mereka yang menggunakan narkotik sebelum
operasi atau yang dipindahkan pada bangsal regular dalam 24 jam, dapat berguna dari
analgesia pasien-terkontrol untuk manajemen nyeri [62] (Tabel 33-6; lihat Bab 38).
33
Teknik Anestesi Regional
Morfin Intratekal
ITM telah diteliti pada penelitian randomisasi sebagai adjuvant untuk kontrol nyeri
pada pasien-pasien bedah jantung, dengan dosis yang berkisar dari 500 μg sampai 4
mg [63-72]. Sebuah meta-analisis dari 17 penelitian randomisasi terkontrol,
membandingkan ITM dengan terapi standar. Tidak terdapat perbedaan pada
mortalitas, MI, atau waktu ekstubasi. Terdapat penurunan paling sederhana pada
penggunaan morfin dan skor nyeri, sedangkan insidensi pruritus meningkat.
Analgesia Epidural Thorakal
Analgesia epidural thorakal telah meningkatkan beberapa popularitas sebagai metode
dari kontrol nyeri intraoperatif dan postoperatif yang diberikan pada operasi jantung
(lihat Tabel 33-6). Bukti terbaik untuk keuntungan datang dari metaanalisis dari
15penelitian randomisasi terkontrol [73]. Analgesia epidural thorakal tidak secara
signifikan mempengaruhi indseidensi mortalitas atau MI. Ini secara signifikan
menurunkan aritmia, komplikasi pulmonal, dan waktu untuk ekstubasi trakheal.
Semua penelitian randomisasi dilakukan pada pasien-pasien CABG. Tidak terdapat
laporan komplikasi sebagai akibat dari insersi epidural, hematoma epidural secara
rinci; akan tetapi, semua percobaan tidak secara adekuat memiliki kekuatan untuk
mendeteksi komplikasi. Usaha telah dibuat untuk memperhitungkan risiko untuk
hematoma epidural yang menggunakan rangkaian dipublikasikan yang tersedia,
dengan estimasi risiko maksimum yang memiliki rentang dari 1:1000 sampai 1:3500
tergantung pada keterbatasan kepercayaan yang dipilih (99% vs 95%) [74]. Sebuah
tinjauan retrospektif luas melaporkan tidak adanya hematoma epidural pada 727
pasien yang menjalani operasi jantung dengan CPB yang menerima analgesia
epidural thorakal pada hari operasi (pada saat masuk ke dalam OR) [75].
34
TABEL 33-6 Pilihan Manajemen Nyeri setelah Operasi Jantung
Analgesia Pasien-Terkontrol
Mungkin merupakan keuntungan padastepdown unit
Pengurangan konsumsi morfin 24-jam ditunjukkan pada 2 dari 7 percobaan
randomisasi
Morfin Intratekal
Dosis yang diteliti: 500µg sampai 4 mg
Mungkin merupakan keuntungan dalam menurunkan skor nyeri VAS
*Potensial untuk depresi respirasi
Pengaturan dosis yang ideal tidak dipastikan; rentang, 250-400 µg
Epidural Thoraksik
Dosis yang umum dari literatur
Ropivacaine 1% dengan μg/mL fentanil pada 3-5 mL/hari
Bupivakain 0.5% dengan 25 μg/mL morfin pada 3-10 mL/hari
Bupivakain 0.5% sampai 0.755 pada 2-5 mL/hari
Penurunan skor nyeri
Durasi intubasi yang lebih pendek
*Risiko untuk hematoma epidural sulit untuk dikuantifikasi
Obat-obat anti inflamasi nonsteroid
Dosis umum untuk literature
Indometasin 50-100 mg PR BID
Diclofenak 50-75 mg PO/PR tiap 8 jam
Ketorolak 10-30 mg IM/IV tiap 8 jam
Penurunan penmanfaatan narkotik
Banyak penelitian obat yang berbeda; kesulitan untuk menentukan keunggulan dari
agen yang diberikan
*Dapat meningkatkan kejadian merugikan yang serius (satu percobaan yang menggunakan inhibitor
siklooksigenase 2- spesifik)
BID, twice daily; IM, intramuscular; IV, intravenous; PO, orally; PR, rectally; VAS, visual analogue scale.
35
Setidaknya 1 jam yang berlalu antara insersi kateter epidural dan pemberian
heparin. Terdapat 9 insersi kateter yang gagal dan 4 analgesia blok yang gagal dengan
11 perdarahan pada penelitian ini [75]. Sayangnya, populasi dari pasien-pasien bedah
jantung meningkat pada pengobatan trombosit, seperti clopidogrel atau prasugrel,
yang meningkatkan risiko untuk hematoma epidural [76]. Risiko untuk hematoma
epidural dan keterlambatan potensial untuk operasi dari perdarahan telah membatasi
adopsi luas dari analgesia epidural thoraksik untuk operasi jantung, khususnya di
Amerika Serikat (lihat Bab 38).
Obat-obat Anti-inflamasi Nonsteroid
Penggunaan NSAID memiliki popularitas yang meningkat pada pendekatan
multimodal, yang memungkinkan penurunan baik pada tingkat nyeri dan efek
samping markotik (lihat Tabel 33-6). NSADID konvensional, yang memblok secara
non selektif isoenzim cyclooxygenase-2 (COX-2), mengurangi inflamsi, demam, dan
nyari, dan juga memblok isoenzim COX-1 yang berakibat pada efek samping
toksisitas gastrointestinal dan disfungsi trombosit [77]. Sejumlah penelitian
randomisasi telah menguji manfaat dari penggunaan NSAID untuk kontrol nyeri
postoperatif [61,78-88]. Sebagai tambahan, meta-analisis mencari pada manfaat
NSAID pada kondisi operasi jantung dan thorakal menunjukkan penurunan pada
konsumsi narkotik pada pasien yang diberikan NSAID [89]. Seebagian besar pasien
lebih muda dari 70 tahun dan tidak memiliki disfungsi ginjal yang ada bersamaan.
NSAID yang digunakan pada meta-analisis ini inhibitor COX nonselektif. Beberapa
penelitian telah mengusulkan peningkatan kejadian yang merugikan, khususnya pada
pasien-pasien dengan penyakit arteri koroner, yang menerima NSAID selektif COX-2
baik pada kondisi jantung perioperatif dan pada pasien rawat jalan. Untuk alasan ini,
NSAID selektif COX-2 tidak lagi digunakan pada sebagian besar senter jantung [90].
Oleh karena itu, meskipun NSAID memiliki efek samping teoretik, manfaat dalam
menurunkan konsumsi narkotik dan perbaikan skor nyeri skala analog visual
ditunjukkan dengan baik; beberapa pusat berlanjut untuk menggunakan NSAID
36
nonselektif sebagai analgesia adjuvant pada operasi jantung [91]. Akan tetapi,
NSAID sebaiknya dihindari pada pasien-pasien dengan insufisiensi ginjal, riwayat
gastritis, atau penyakit ulkus peptic. Terapi ranitidine adjuvant harus dipertimbangkan
untuk mencegah iritasi gaster.
37
top related