case kejang demam cici
Post on 13-Apr-2016
223 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
CASE REPORT
KEJANG DEMAM
Disusun oleh:
Sri Handayani
1102011264
Pembimbing :
dr. H. Budi Risjadi, Sp. A
KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RSUD SOREANG
FEBRUARI 2016
1
ILUSTRASI KASUS
Identitas Pasien
Nama : An. F
Umur : 9 bulan 28 hari
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
No. Medrek : 543928
Alamat : Cibayondah RT 04/RW 05 Pamekaran Kec. Soreang Kab. Bandung
Tanggal Pemeriksaan : 22 Februari 2016
Identitas Ibu
Nama : Ny. N
Usia : 33 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SLTP
Identitas Ayah
Nama : Tn. O
Usia : 35 tahun
Pekerjaan : Karyawan Honorer
Pendidikan : SLTP
2
Dilakukan secara aloanamnesis kepada ibu pasien pada tanggal 22 Februari 2016 di Ruang
Melati RSUD Soreang.
Keluhan Utama : Kejang
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD Soreang pada tanggal 21 Februari 2016 pukul 21.58
WIB dengan keluhan kejang 1 kali pukul 21.30 WIB di rumah selama ± 5 menit. Orang tua
pasien mengatakan bahwa saat di rumah pasien sempat demam. Pada saat kejang kedua
tangan dan kaki kelojotan serta mata membelalak ke atas. Orang tua pasien juga mengatakan
bahwa pasien batuk. Dan juga orang tua pasien mengatakan bahwa pasien mencret 1 kali tadi
pagi. Keluhan mual dan muntah disangkal oleh orang tua pasien. Keluhan buang air kecil
(BAK) disangkal oleh keluarga pasien. Orang tua pasien mengaku anaknya tidak punya
riwayat kejang sebelumnya. Pada keluarga pasien, orang tua pasien mengaku kakak dari
pasien pernah mengalami keluhan yang sama yaitu kejang saat umur 2,5 tahun.
Riwayat penyakit dahulu dan keluarga :
Pasien belum pernah mengalami kejang sebelumnya. Seluruh tubuh kaku, setelah kejang
pasien menangis. Obat kejang tidak diberikan. Kakak dari pasien pernah mengalami keluhan
yang sama yaitu kejang saat umur 2,5 tahun. Riwayat trauma kepala disangkal.
Riwayat kehamilan :
Selama kehamilan ibu pasien rutin memeriksakan kehamilan ke puskesmas. Ibu pasien juga
mengkonsumsi makanan cukup nutrisi serta vitamin. Riwayat mengkonsumsi alkohol, obat-
obatan, merokok, jamu-jamuan disangkal. Tidak ada riwayat demam selama kehamilan.
Riwayat Kelahiran :
Pasien lahir dari ibu G2P1A0, cukup bulan, secara spontan kepala, ditolong oleh bidan
dengan berat badan lahir 2800 gram, panjang badan 51 cm, lahir langsung menangis.
Riwayat Imunisasi
Ibu pasien mengatakan rutin imunisasi hanya sisa imunisasi campak yang belum.
3
Anamnesa Makanan
Pasien masih diberikan ASI sejak lahir sampai sekarang serta makan bubur.
Riwayat Tumbuh Kembang
Menurut ibu pasien perkembangan anak sama dengan anak-anak seusianya.
Tanggal 22 Februari 2016
Tanda – Tanda Vital :
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis
Heart Rate : 120 x/menit
Suhu : 36,70 C
Respirasi : 44x/menit
Status Gizi : Baik
Umur : 9 bulan
BB : 8,7 kg
PB : 70 cm
BB = 8,7 kg = 1 SD
U 9 bulan
P B = 70 cm = Median
U 9 bulan
BB = 8,7 kg = 1 SD
PB 70 cm
Status Generalis :
Kepala : UUB tidak cekung
Mata
Konjungtiva : Anemis (-/-)
Sclera : Tidak ikterik
Pupil : Bulat, isokhor Ɵ 3 mm/ 3 mm, Reflek cahaya : +/+
Telinga : Sekret -/-
4
Hidung : PCH (-)
Mulut : POC (-)
Leher : KGB tidak teraba membesar, retraksi suprasternal (-)
Thoraks
Paru : Inspeksià gerakan dada simetris kiri dan kanan, retraksi I
Palpasi à fremitus kanan = kiri
Perkusi à sonor seluruh lapangan paru
Auskultasià bronkhovesikuler, ronki-/-, wheezing -/-, slem -/-
Jantung : Inspeksià ictus cordis tidak terlihat
Palpasi à ictus cordis teraba di ICS IV linea MCS
Perkusi à Batas jantung kanan : ICS V LSD
Batas jantung kiri : ICS V I jari medial LMCS
Auskultasià bunyi jantung murni reguler, bising jantung (-), gallop
(-), murmur (-)
Abdomen : Inspeksià datar
Palpasi à supel, organomegali (-)
Perkusi à tympani
Auskultasià bising usus (+)
Ekstremitas : CRT < 3 detik, akral hangat.
Status Neurologis
Tanda Rangsang Meningeal : kaku kuduk (-), burdzinski I (-),
burdzinski II (-), kernique (-),
laseque (-)
Saraf Otak : pupil bulat, isokor, 3mm, RC +/+
Motorik : kesan parese (-)
Sensorik : rangsang nyeri (+)
Vegetatif : BAB (+), BAK (+)
Refleks Patologis : babinski -/-, openheim -/-, chaddock -/-, gordon -/-, gonda
-/-, schaffer -/-
Refleks Fisiologis : refleks biseps +/+, triseps +/+, patella +/+, achilles +/+
5
Hematologi
Darah Rutin (21 Februari 2016)
Hemoglobin : 11,2 g/dl
Hematokrit : 35 %
Leukosit : 18.500/mm3
Trombosit : 301.000/mm3
Diagnosa Kerja
Kejang Demam Sederhana
Diagnosa Banding
Kejang demam kompleks
Gangguan elektrolit
Usulan Pemeriksaan
Darah Rutin, CT Scan, EEG, cek elektrolit
Tatalaksana
O2 1 L/menit
IVFD N4 10 gtt/menit
Diazepam 3 mg (IV), bolus pelan bila kejang
Paracetamol syr 3 x ¾ cth
Ambroxol drop 3 x 0,5 cc
Edukasi
Mempunyai botol susu lebih 5
Sering membersihkan botol susu
Botol susu harus memakai tutup
Ibu harus mencuci tangan sebelum memberi bayi makan
Menjaga rumah dan lingkungan sekitar
6
Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
7
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal diatas 38,5o C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium . Kejang demam ini
terjadi pada 2% - 4 % anak berumur 6 bulan – 5 tahun. Anak yang pernah mengalami kejang
tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam.
Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang
tanpa demam. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam kemudian kejang demam
kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur
kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak berumur kurang dari 6
bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, kemungkinan lain harus
dipertimbangkan misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam.
Definisi ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti meningitis,
ensefalitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai prognosis berbeda dengan
kejang demam karena keadaan yang mendasarinya mengenai sistem susunan saraf pusat.
Epidemiologi
Kejadian kejang demam diperkirakan 2 % - 4 % di Amerika Serikat, Amerika Selatan
dan Eropa Barat. Di Asia dilaporkan lebih tinggi. Kira – kira 20 % kasus merupakan kejang
demam kompleks. Umumnya kejang demam timbul pada tahun kedua kehidupan (17 – 23
bulan) kejang demam sedikit lebih sering pada laki – laki.
Etiologi
Hingga kini belum diketahui dengan pasti. Demam sering disebabkan infeksi saluran
pernapasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih.
Faktor Resiko
Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam. Ada riwayat
kejang demam keluarga yang kuat pada saudara kandung dan orang tua, menunjukkan
kecenderungan genetik. Selain itu terdapat faktor perkembangan terlambat, problem pada
masa neonatus, anak dalam perawatan khusus, dan kadar natrium rendah, cepatnya anak
8
mendapat kejang setelah demam timbul, temperatur yang rendah saat kejang, riwayat
keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsi.
Faktor resiko terjadinya epilepsi di kemudian hari yaitu adanya gangguan
neurodevelopmental, kejang demam kompleks, riwayat epilepsi dalam keluarga, lamanya
demam saat awitan, lebih dari satu kali kejang demam kompleks.
Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak, diperlukan suatu
energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting
adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi, dimana oksigen disediakan dengan
perantaraan fungsi paru – paru dan diteruskan ke otak melalui kardiovaskuler. Jadi sumber
energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel
dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid
dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui
dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan
elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi
dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya.
Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel maka terdapat perbedaan
potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan
potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na – K – ATPase yang terdapat
pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya :
a. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
b. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik
dari sekitarnya.
c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10% - 15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20 %. Pada seorang anak berumur
3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa
yang hanya 15 %. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan
keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion
kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan
listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel
9
maupun membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan
terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari
tinggi rendahnya ambang kejang. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang
telah terjadi pada suhu 38o C, sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi,
kejang baru terjadi pada suhu 40oC atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan
bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah,
sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita
kejang. Penelitian binatang menunjukkan bahwa vasopresin arginin dapat merupakan
mediator penting pada patogenesis kejang akibat hipertermia.
Kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya
apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang
akibatnya terjadi hipoksemia, hiperkapnea, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme
anaerobik, hipertensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin
meningkat disebabkan meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan
metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian diatas adalah faktor penyebab hingga
terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting
adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan
permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak.
Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang
yang berlangsung lama dapat menjadi “matang” di kemudian hari, sehingga terjadi serangan
epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan
kelainan anatomis di otak sehingga terjadi epilepsi.
Klasifikasi
1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan umumnya
akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan
fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana
merupakan 80 % diantara seluruh kejang demam. Suhu yang tinggi merupakan
keharusan pada kejang demam sederhana, kejang timbul bukan oleh infeksi sendiri,
akan tetapi oleh kenaikan suhu yang tinggi akibat infeksi di tempat lain, misalnya
pada radang telinga tengah yang akut, dan sebagainya. Bila dalam riwayat
10
penderita pada umur – umur sebelumnya terdapat periode - periode dimana anak
menderita suhu yangsangat tinggi akan tetapi tidak mengalami kejang; maka pada
kejang yang terjadi kemudian harus berhati – hati, mungkin kejang yang ini ada
penyebabnya. Pada kejang demam yang sederhana kejang biasanya timbul ketika
suhu sedang meningkat dengan mendadak, sehingga seringkali orang tua tidak
mengetahui sebelumnya bahwa anak menderita demam. Agaknya kenaikan suhu yang
tiba – tiba merupakan faktor yang penting untuk menimbulkan kejang. Kejang pada
kejang demam sederhana selalu berbentuk umum, biasanya bersifat tonik –
klonik seperti kejang grand mal; kadang – kadang hanya kaku umum atau mata
mendelik seketika. Kejang dapat juga berulang, tapi sebentar saja, dan masih dalam
waktu 16 jam meningkatnya suhu, umumnya pada kenaikan suhu yang mendadak,
dalam hal ini juga kejang demamsederhana masih mungkin.
2. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)
Kejang dengan salah satu ciri berikut
Kejang lama lebih dari 15 menit.
Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial.
Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang
berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang
lama terjadi pada 8 % kejangn demam. Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi,
atau kejang umum yang didahului kejang parsial. Kejang berulang adalah kejang 2
kali atau lebih dalam 1 hari, diantara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang
terjadi pada 16 % diantara anak yang mengalami kejang demam.
Manifestasi Klinik
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan
kenaikan suhu badan yang tinggi dengan cepat yang tidak disebabkan oleh infeksi susunan
saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akut, bronkitis, furunkulosis. Serangan kejang
biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat
bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti
sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi
11
setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa adanya
kelainan saraf.
Livingston (1954, 1963) membuat kriteria dan membagi kejang demam atas 2 golongan,
yaitu:
1. Kejang demam sederhana (simple febrile convulsion)
2. Epilepsi yang diprovokasi oleh demam (epilepsy triggered off by fever).
Modifikasi kriteria Livingston:
1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun.
2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit.
3. Kejang bersifat umum.
4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal.
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak
menunjukkan kelainan.
7. Frekuensi bangkitan kejang di dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.
Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh kriteria
modifikasi Livingston di atas digolongkan pada epilepsi yang diprovokasi oleh demam.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,
tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau
12
keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan
laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah.
2. Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis bakterialis
adalah 0,6 % - 6,7 %.Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau
menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh
karena itu, pungsi lumbal dianjurkan pada :
Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan.
Bayi antara 12 – 18 bulan dianjurkan.
Bayi lebih dari 18 bulan tidak rutin. Bila yakin bukan meningitis secara klinis
tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.
3. Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya
kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang
demam. Oleh karenanya,tidak direkomendasikan. Pemeriksaan EEG masih dapat
dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas. Misalnya kejang demam
kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun atau kejang demam fokal.
4. Pencitraan
Foto X – ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT –
scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin
dan hanya atas indikasi seperti :
Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
Paresis nervus VI
Papiledema
Diagnosis Banding
Kelainan di dalam otak biasanya karena infeksi, misalnya :
1. Meningitis
2. Ensefalitis
13
3. Abses otak
Oleh sebab itu, menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang,
harus dipikirkan apakah penyebab dari kejang itu di dalam atau di luar susunan saraf pusat
(otak) . Pungsi lumbal terindikasi bila ada kecurigaan klinis meningitis. Adanya sumber
infeksi seperti otitis media tidak menyingkirkan meningitis dan jika pasien telah mendapat
antibiotik maka perlu pertimbangan pungsi lumbal.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Saat Kejang
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang
sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk
menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam
intravena adalah 0,3 – 0,5 mg/kgBB perlahan – lahan dengan kecepatan 1 – 2 mg/menit atau
dalam waktu 3 – 5 menit,dengan dosis maksimal 20 mg. Obat yang praktis dan dapat
diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah
0,5 – 0,75 mg/kgBB atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari
10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg
untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak diatas usia 3 tahun. Bila
setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi dengan cara dan
dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam
rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Dirumah sakit dapat diberikan
diazepam intravena dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kgBB. Bila kejang tetap belum berhenti
diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10 – 20mg/kgBB/kali dengan
kecepatan 1 mg/kgBB/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis
selanjutnya adalah 4 – 8 mg/kgBB/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal .Bila dengan
fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat intensif. Bila kejang
telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam, apakah
kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor resikonya.
Pemberian Obat Pada Saat Demam
1. Antipiretik
14
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko
terjadinya kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik
tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10 – 15
mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5 –
10 mg/kgBB/kali, 3 – 4 kali sehari. Meskipun jarang, asam asetilsalisilat dapat
menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga
penggunaan asam asetilsalisilat tidak dianjurkan.
2. Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kgBB setiap 8 jam pada saat demam
menurunkan resiko berulangnya kejang pada 30 % - 60 % kasus, begitu pula dengan
diazepam rektal dosis 0,5mg/kgBB setiap 8 jam pada suhu > 38,5 o C. Dosis tersebut
cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25
% - 39 % kasus. Fenobarbital, karbamazepin dan fenitoin pada saat demam tidak
berguna untuk mencegah kejang demam.
3. Pemberian Obat Rumat
Indikasi pemberian obat rumat
Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri
sebagai berikut (salahsatu) :
Kejang lama > 15 menit.
Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya hemiparesis, paresis todd, cerebral palsy, retardasi mental,
hidrosefalus.
Kejang fokal.
Pengobatan rumat dipertimbangkan bila :
Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.
Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan.
Kejang demam > 4 kali per tahun.
Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam > 15 menit merupakan
indikasi pengobatan rumat. Kelainan neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan
15
perkembangan ringan bukan merupakan indikasi pengobatan rumat. Kejang fokal atau
fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus organik.
Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan
resiko berulangnya kejang. Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya
dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat hanya
diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek. Pemakaian fenobarbital setiap
hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40 % - 50 % kasus.
Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus,terutama yang berumur
kurang dari 2 tahun asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam
valproat 15 – 40 mg/kgBB/hari dalam 2 – 3 dosis, dan fenobarbital 3 – 4mg/kgBB/hari dalam
1 – 2 dosis.
Edukasi Pada Orang Tua
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang
sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus
dikurangi dengan cara yang diantaranya :
a. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik.
b. Memberitahukan cara penanganan kejang.
c. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
d. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat adanya
efek samping obat.
Beberapa Hal Yang Harus Dikerjakan Bila Kembali Kejang
a. Tetap tenang dan tidak panik.
b. Kendorkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.
c. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan
atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan
memasukkan sesuatu ke dalam mulut.
d. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang
e. Tetap bersama pasien selama kejang.
f. Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti
16
g. Bawa ke dokter atau ke rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih.
Vaksinasi
Sejauh ini tidak ada kontra indikasi untuk melakukan vaksinasi terhadap anak yang
mengalami kejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi sangat jarang. Angka
kejadian pasca vaksinasi DPT adalah 6 – 9 kasus per 100.000 anak yang divaksinasi,
sedangkan setelah vaksinasi MMR 25 – 34 per 100.000 anak. Dianjurkan untuk memberikan
diazepam oral atau rektal bila anak demam, terutama setelah vaksinasi DPT atau MMR.
Beberapa dokter anak merekomendasikan parasetamol pada saat vaksinasi hingga 3 hari
kemudian.
Prognosis
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik dan tidak menyebabkan
kematian.
a. Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah
dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien
yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan
neurologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus
dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal. Kejang yang lebih
dari 15 menit, bahkan ada yang mengatakan lebih dari 10 menit, diduga biasanya
telah menimbulkan kelainan saraf yang menetap. Apabila tidak diterapi dengan baik,
kejang demam dapat berkembang menjadi :
Kejang demam berulang dengan frekuensi berkisar antara 25 % - 50 %.
Umumnya terjadi pada 6 bulan pertama.
Epilepsi
Resiko untuk mendapatkan epilepsi rendah.
Kelainan motorik
Gangguan mental dan belajar
b. Kemungkinan mengalami kematian
Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan.
17
c. Kemungkinan Berulangnya Kejang Demam
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko
berulangnya kejang demam adalah :
a. Riwayat kejang demam dalam keluarga
b. Usia kurang dari 12 bulan
c. Temperatur yang rendah saat kejang
d. Cepatnya kejang setelah demam
Bila seluruh faktor diatas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam
adalah 80 %, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya
kejang demam hanya 10 % - 15 %. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling
besar pada tahun pertama.
Faktor resiko menjadi epilepsi adalah :
a. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam
pertama.
b. Kejang demam kompleks.
c. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
Masing – masing faktor resiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi
sampai 4 % - 6 %, kombinasi dari faktor resiko tersebut meningkatkan kemungkinan
epilepsi menjadi 10 % - 49 %. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah
dengan pemberian obat rumat pada kejang demam.
DAFTAR PUSTAKA
18
1. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK Unhas. Standar Pelayanan Medik. Bagian
Ilmu Kesehatan Anak FK Unhas Makassar.
2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FKUI Jakarta. 1985
3. Haslam Robert H. A. Sistem Saraf, dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Vol. 3, Edisi
15. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2000;
4. Hendarto S. K. Kejang Demam. Subbagian Saraf Anak, Bagian Ilmu Kesehatan
Anak,Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM, Jakarta. Cermin Dunia
Kedokteran No. 27.1982
5. Pusponegoro Hardiono D, Widodo Dwi Putro, Ismael Sofyan. Konsensus
Penatalaksanaan Kejang Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter
Anak Indonesia, Jakarta. 2006.
6. Saharso Darto. Kejang Demam, dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag./SMF
Ilmu Kesehatan Anak RSU dr. Soetomo, Surabaya. 2006
19
top related