case report - spondilitis tb 2014
Post on 29-Jan-2016
76 Views
Preview:
TRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
Spondilitis TB
DOKTER PEMBIMBING
dr. Nurhayati, Sp.P
DISUSUN OLEH
Komang Ida Widiayu Radiari Nugraha
030.10.152
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
PERIODE DESEMBER 2014 – FEBRUARI 2015
LEMBAR PENGESAHAN
Case Report yang berjudul Spondilitis Tuberkulosa / Pott’s Disease
telah diterima dan disetujui pada tanggal 19 desember 2014
sebagai salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
periode 1 Desember 2014 – 16 Februari 2015 di Rumah Sakit Umum Daerah Karawang
Karawang, 19 Desember 2014
dr. Nurhayati, Sp.P
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Case
Report dengan judul “Spondilitis Tuberkulosa / Pott’s Disease”. Case report ini
diajukan dalam rangka melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah Rumah
Sakit Umum Daerah Karawang periode 1 Desember 2014 – 16 Februari 2015 dan juga
bertujuan untuk menambah wawasan bagi penulis serta pembaca mengenai Sponditilis
Tuberkulosa. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
atas bantuan dan kerja sama yang telah diberikan selama penyusunan case report ini,
kepada dr. Nurhayati, Sp.P, selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Dalam Rumah Sakit Umum Darerah Karawang.
Penulis menyadari case report ini masih jauh dari sempurna, sehingga penulis
mengharapkan saran dan kritik yang dapat membangun dari semua pihak agar case
report ini dapat menjadi lebih baik dan berguna bagi semua pihak yang membacanya.
Penulis memohon maaf sebesar-besarnya apabila masih banyak kesalahan maupun
kekurangan dalam case report ini.
Karawang, Desember 2014
Penulis
3
BAB I
PENDAHULUAN
Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal dengan Pott’s disease adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang mengenai
tulang belakang. Spondilitis TB telah ditemukan pada mumi dari Spanyol dan Peru
pada tahun 1779.1 Infeksi Mycobakcterium tuberculosis pada tulang belakang
terbanyak disebarkan melalui infeksi dari diskus. Mekanisme infeksi terutama oleh
penyebaran melalui hematogen.1 Secara epidemiologi tuberkulosis merupakan penyakit
infeksi pembunuh nomor satu di dunia, 95% kasus berada di negara berkembang.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2000 memperkirakan 2 juta penduduk
terserang dan 3 juta penduduk di seluruh dunia meninggal oleh karena TB.2,3 Insiden
spondilitis TB masih sulit ditetapkan, sekitar 10% dari kasus TB ekstrapulmonar
merupakan spondilitis TB dan 1,8% dari total kasus TB.2
Indonesia menempati peringkat ketiga setelah India dan China sebagai negara
dengan populasi penderita TB terbanyak.4 Setidaknya hingga 20 persen penderita TB
paru akan mengalami penyebaran TB ekstraparu.5 TB ekstraparu dapat berupa TB otak,
gastrointestinal, ginjal, genital, kulit, getah bening, osteoartikular, dan endometrial.
Sebelas persen dari TB ekstraparu adalah TB osteoartikular, dan kurang lebih setengah
penderita TB osteoartikular mengalami infeksi TB tulang belakang.6
Infeksi spinal oleh tuberkulosis, atau yang biasa disebut sebagai spondilitis
tuberkulosis (TB), sangat berpotensi menyebabkan morbiditas serius, termasuk defi sit
neurologis dan deformitas tulang belakang yang permanen, oleh karena itu diagnosis
dini sangatlah penting. Diagnosis dini spondilitis TB sulit ditegakkan dan sering
disalahartikan sebagai neoplasma spinal atau spondilitis piogenik lainnya.1 Diagnosis
biasanya baru dapat ditegakkan pada stadium lanjut, saat sudah terjadi deformitas
tulang belakang yang berat dan defisit neurologis yang bermakna seperti paraplegia.2,3
Tata laksana spondilitis TB secara umum adalah kemoterapi dengan Obat Anti
Tuberkulosis (OAT), imobilisasi, dan intervensi bedah ortopedi/ saraf.
TINJAUAN PUSTAKA
4
BAB II
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : Tn. Soleh
Usia : 29 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status Pernikahan : Menikah
Alamat : Dusun Trimulya II RT/RW D4/002 Kelurahan Pulomulya
Agama : Islam
Nomor Rekam Medis : 551684
ANAMNESIS
Diperoleh dengan cara autoanamnesis (kepada pasien sendiri)
Keluhan Utama : Pasien datang dengan keluhan batuk berdahak sejak 2 minggu
SMRS.
Keluhan Tambahan : -
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien laki-laki usia 29 tahun datang ke UGD RSUD Krawang pada tanggal 22
Desember 2014 dengan keluhan batuk sejak 2 minggu. Batuk berdahak berwarna putih,
pasien juga mengeluhkan lemas, keringat malam, meriang terutama di malam hari, dan
penurunan nafsu makan. Tidak ada mual dan muntah, BAK dan BAB lancar. Pasien
juga mengeluhkan terdapat benjolan pada pinggang. Benjolan telah dirasakan sejak 1
tahun yang lalu. Benjolan terasa nyeri, panas, dan merah. Pasien merasakan lemas pada
tungkai, dan berjalan harus menggunakan bantuan. Pasien menyangkal keluar cairan
dari benjolan.
Riwayat Penyakit Dahulu
5
Pasien 1 tahun yang lalu keluhan benjolan di pinggang. Benjolan terasa nyeri, panas,
dan merah. Pasien sebelumnya mengalami batuk, batuk berdahak awalnya putih lama
kelamaan berubah menjadi kuning, pasien juga mengeluh lemas, keringat malam,
meriang terutama di malam hari, dan penurunan nafsu makan. Tidak ada mual dan
muntah, ada batuk bercampur darah, BAK dan BAB lancar. Sekitar dua bulan setelah
pasien mengalami batuk-batuk, muncul benjolan di pinggang sebelah kanan. Pasien
menyangkal adanya riwayat trauma, tidak ada terjatuh, terpukul ataupun terluka di
bagian benjolan sebelumnya. Awal benjolan dirasakan pasien kecil, dan tidak terasa
nyeri namun lama kelamaan pasien merasakan benjolan bertambah besar terasa ada
ganjalan.
Riwayat alergi, riwayat asma, riwayat hipertensi, riwayat DM, riwayat koleterol tinggi,
riwayat asam urat tinggi, riwayat penyakit jantung, riwayat gangguan ginjal, riwayat
penyakit kuning, hepatitis, tumor disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Di keluarga pasien tidak ada yang mengalami penyakit darah tinggi, DM, penyakit
jantung, keganasan, maupun alergi.
Riwayat Pengobatan
Pasien mengkonsumsi OAT (-).
Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok (+)
Riwayat minum alkohol (-)
PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan tanggal 23 Desember 2014 di Bangsal Cikampek.
I. Keadaan Umum
a. Kesan Sakit : Tampak Sakit Sedang, kooperatif
b. Kesadaran : Compos Mentis
c. Status Gizi : Gizi kurang
d. Tidak ada sesak
6
II. Tanda Vital dan Antropometri
PEMERIKSAAN NILAI NORMAL
HASIL PASIEN
Suhu 36,5o - 37,2o C 36,7oC
Nadi 60-100 x/mnt 80x/mnt, reguler, isi cukup
Tekanan darah 120/80 mmHg 110/80 mmHg
Nafas 14-18 x/mnt 20x/mnt
Berat badan 45kg
Tinggi badan Sekitar 160 cm
BMI 18,5-22,9 underweight (BMI: 17,6)
A. Status Generalis
Kepala : Ukuran normosefali, bentuk bulat oval, tidak tampak deformitas, pada
perabaan tidak ada nyeri, rambut berwarna hitam sedikit beruban,
tipis, tidak kering, tidak mudah dicabut
Wajah : pipi tampak sedikit cekung, tidak tampak sesak, tidak kesakitan, tidak
pucat, tidak sianosis, ekspresi wajah simetris, dan tidak tampak facies
yang menandai suatu penyakit seperti facies hipocrates, tidak tampak
moon face
Mata : Bentuk normal, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
bulat isokor, 3mm, reflek cahaya (+/+), kornea jernih
Telinga : Normotia, kartilago sempurna, secret (-/-)
Hidung : Bentuk normal, deviasi septum (-), sekret (-/-), nafas cuping hidung (-
/-)
Mulut : labioschiziz (-),palatoschiziz (-), bibir sianosis (-), bibir kering (-),
trismus (-)
7
Leher : Trakhea teraba ditengah, KGB serta kelenjar tiroid tidak teraba
membesar
Paru-paru:
Inspeksi : bentuk simetris pada saat statis & dinamis, retraksi (-),
Palpasi : tidak dilakukan
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara dasar nafas vesikuler, rhonki (-/-) wheezing (-/-)
Jantung :
Inspeksi : pulsasi Ictus cordis tampak
Palpasi : pulsasi ictus cordis teraba kuat setinggi ICS V axillaris anterior kiri
Perkusi : Batas jantung tidak dinilai
Auskultasi : S1 S2 normal regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen:
Inspeksi : datar, insersi tali pusat di tengah tanpa tanda peradangan.
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Supel
Perkusi : Timpani
Genitalia/ Anorektal : tidak dinilai
Ekstremitas:
Ekstremitas Superior Inferior
Deformitas -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Akral sianosis -/- -/-
Ikterik -/- -/-
CRT < 2 detik < 2 detik
Tonus baik baik
Kulit
8
tidak ikterik ataupun sianotik
STATUS LOKALIS
Regio Thorakolumbal
Look : Deformitas (+) Kifosis vertebra thorakal
Benjolan (+), Tanda radang (-), Sikatriks (-), Tanda Bekas Luka (-),
Fistel (-)
Feel : Suhu teraba hangat seperti daerah sekitarnya, Nyeri (+)
Move : -
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium tanggal 22 Desember 2014
Hematologi
Leukosit : 9,54 ribu/ µL
Hemoglobin : 7,4 g/Dl
Hematokrit : 21,5%
Trombosit : 215.000 / µL
9
GDS : 107 mg/dL
Ureum : 25,3 mg/dL
Creatinin : 0,63 mg/dL
Foto Rontgen Thorax
Foto diambil pada tangga 22/12/2014
DIAGNOSIS KERJA
Spondilitis TB
PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
o OAT I
- Rifampisin 1 x 450 mg
- INH 1 x 300 mg
- Etambutol 2 x 500 mg
- Pirazinamid 2 x 500 mg
o Ranitidine 2 x 1
o Omz 2x1
o Cefixime 2 x 500
10
o Curcuma 3x1
o ATP Dancos 3x1
o Ambroxol 3x1
o Metyl prednisolon 3x1
Non medikamentosa
o Bed Rest
PROGNOSIS
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Fungtionam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam
FOLLOW UP
1. Hari 1, tanggal 25 juni 2016
S : Terasa nyeri pada punggung. Batuk dengan dahak berwarna kuning kehijauan,
tidak ada nafsu makan. Tidak bisa tertidur karena batuk dan keringat malam. Demam
dirasakan saat malam namun tidak tinggi. Mual muntah disangkal.
O : KU : Tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
TD : 110/80 mmHg Pernafasan : 24x/menit
Nadi : 72x/menit Suhu : 35,7oc
Thorax :
Pulmo : suara vesikuler +/+, ronkhi +/+, whezing -/-, pergerakan dada
simetris
Regio thorakolumbal : terdapat benjolan pada vertebra L1-L2 teraba
panas, tidak terdapat pus
A : Spondilitis Tb
P : Terapi Lanjut
2. Hari 2, tanggal 26 juni 2016
11
S : Terasa nyeri pada punggung. Batuk berkurang hanya dirasakan pada saat
malam hari dahak berwarna kuning kehijauan, tidak ada nafsu makan. Demam
dirasakan saat malam namun tidak tinggi. Kedua kaki lemas. Mual muntah disangkal.
O : KU : Tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
TD : 110/80 mmHg Pernafasan : 24x/menit
Nadi : 72x/menit Suhu : 35,7oc
Thorax :
Pulmo : suara vesikuler +/+, ronkhi +/+, whezing -/-, pergerakan dada simetris
Regio thorakolumbal : terdapat benjolan pada vertebra L1-L2 teraba panas, tidak
terdapat pus
Spondilitis Tb
P : Terapi Lanjut
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
SPONDILITIS TUBERKULOSA (POTT’S DISEASE)Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga spondilitis
tuberkulosis merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat
kronik destruktif oleh Mikobakterium tuberkulosis di tulang belakang.
Tuberkulosis tulang belakang selalu merupakan infeksi sekunder dari
fokus di tempat lain dari tubuh. Percivall Pott (1973) yang pertama
kali menulis tentang penyakit ini dan menyatakan tulang belakang
yang terjadi, sehingga penyakit ini disebut juga sebagai penyakit
pott. Spondilitis tuberkulosis paling sering ditemukan pada vertebra
T8-L3, paling jarang pada vertebra C1-C2. Spondilitis tuberkulosa
biasanya mengenai korpus vertebra, tetapi jarang mengenai arcus
vertebra.
Spondilitis corpus vertebra dibagi menjadi 3 bentuk. Pada
bentuk sentral, destruksi awal terletak di sentral korpus vertebra.
Bentuk ini sering ditemukan pada anak. Bentuk paradiskus terletak di
bagian korpus vertebra yang bersebelahan dengan diskus
intervertebra. Bentuk ini sering ditemukan pada orang dewasa.
Bentuk anterior dengan lokus awal pada korpus vertebra di bagian
anterior, merupakan penjalaran perkontinuitatum dari vertebra di
atasnya. Proses radang spesifik di tulang ini berlangsung seperti
dijelaskan pada tuberkulosis.
Nekrosis dengan perkejuan membentuk nanah yang menjadi abses
dingin. Destruksi tulang mengakibatkan patah tulang kompresi.
Epidemiologi
13
Pada tahun 2005, World Health Organization(WHO) memperkirakan bahwa
jumlah kasus TB baru terbesar terdapat di Asia Tenggara (34 persen insiden TB secara
global) termasuk Indonesia. Jumlah penderita diperkirakan akan terus meningkat seiring
dengan meningkatnya jumlah penderita acquired immunodefi ciency syndrome (AIDS)
oleh infeksi human immunodefi ciency virus(HIV). Satu hingga lima persen penderita
TB, mengalami TB osteoartikular. Separuh dari TB osteoartikular adalah spondilitis
TB.3,11,12,13
Indonesia adalah penyumbang terbesar ketiga setelah India dan China yaitu
dengan penemuan kasus baru 583.000 orang pertahun, kasus TB menular 262.000 orang
dan angka kematian 140.000 orang pertahun.3,5 Kejadian TB ekstrapulmonal sekitar
4000 kasus setiap tahun di Amerika, tempat yang paling sering terkena adalah tulang
belakang yaitu terjadi hampir setengah dari kejadian TB ekstrapulmonal yang mengenai
tulang dan sendi.3, 6 Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25%-30% anak
yang terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5%-10% anak yang terinfeksi, dan
paling banyak terjadi dalam 1 tahun, namun dapat juga 2-3 tahun kemudian.
KLASIFIKASI SPONDILITIS TB
Klasifikasi Pott’s paraplegia disusun untuk mempermudah komunikasi antar
klinisi dan mempermudah deskripsi keparahan gejala klinis pasien spondilitis TB.
Klasifikasi klinikoradiologis untuk memperkirakan durasi perjalan penyakit
berdasarkan temuan klinis dan temuan radiologis pasien.
Klasifikasi menurut Gulhane Askeri Tip Akademisi (GATA) baru-baru ini telah
disusun untuk menentukan terapi yang dianggap paling baik untuk pasien yang
bersangkutan. Sistem klasifikasi ini dibuat berdasarkan kriteria klinis dan radiologis,
antara lain: formasi abses, degenerasi diskus, kolaps vertebra, kifosis, angulasi sagital,
instabilitas vertebra dan gejala neurologis; membagi spondilitis TB menjadi tiga tipe (I,
II, dan III).
Untuk menilai derajat keparahan, memantau perbaikan klinis, dan memprediksi
prognosis pasien spondilitis TB dengan cedera medula spinalis, dapat digunakan klasifi
kasi American Spinal Injury Association (ASIA) impairment scale. Sistem ini adalah
pembaruan dari sistem klasifi kasi Frankel dan telah diterima secara luas. ASIA
impairment scale membagi cedera medula spinalis menjadi 5 tipe (A, cedera medula
spinalis komplit, B – D, cedera medula spinalis inkomplit, E, normal) (tabel 4).
14
Hasil penelitian tentang prognosis pasien dengan cedera medula spinalis
menyatakan bahwa pasien dengan cedera medula spinalis ASIA A, hanya memiliki
paling tinggi lima persen kemungkinan menjadi ASIA D, 20 –50 persen pada ASIA B
untuk menjadi ASIA D dalam 1 tahun, 60 – 75 persen pada ASIA C untuk menjadi
ASIA D dalam 1 tahun.14,15
Tabel 1 Klasifikasi Pott’s paraplegia14
stadium Gambaran klinisI. Tidak terdeteksi/terabaikan
(negligible)Pasien tidak sadar akan gangguan neurologis, klinisi menemukan adanya klonus pada ekstensor plantaris dan pergelangan kaki.
II. Ringan Pasien menyadari adanya gangguan neurologis, tetapi masih mampu berjalan dengan bantuan.
III. Moderate Tidak dapat berpindah tempat (non-ambulatorik) karena kelumpuhan (dalam posisi ekstensi) dan defi sit sensorik di bawah 50 persen.
IV. Berat Stadium III + kelumpuhan dalam posisi fl eksi, defi sit sensorik di atas 50 persen,dan gangguan sfi ngter.
Tabel 2 Klasifikasi klinikoradiologis14
stadium Gambaran klinikokardiologis
Durasi perjalanan penyakit
I. Pre-destruktif Kurvatura lurus, spasme otot perivertebral, hiperemia tampak pada skintigrafi , MRImenunjukkan edema sumsum tulang.
< 3 bulan
II. Destruktif awal Penyempitan ruang diskus, erosi paradiskal. MRI memperlihatkan edema dankerusakan korteks vertebra, CT scan menunjukkan erosi marginal dan kavitasi.
2–4 bulan
III. Kifosis ringan 2–3 vertebra terkena (angulasi 10º–30º)
3–9 bulan
IV. Kifosis moderat >3 vertebra terkena (angulasi 30º–60º)
6–24 bulan
V. Kifosis berat >3 vertebra (angulasi >60º) >2 tahun
15
Tabel 3 Klasifikasi Gulhane Askeri Tip Akademisi (GATA) untuk spondilitis TB.
Tipe lesi penatalaksanaan contohIA Lesi vertebra
dan degenerasidiskus 1 segmen, tanpa kolaps,abses, ataupun defi sit neurologis.
Biopsi perkutan dankemoterapi
IB Adanya cold abscess, degenerasidiskus 1 atau lebih, tanpa kolapsataupun defi sit neurologis.
Drainase abses dandebridemen anterior/ posterior
II Kolaps vertebraCold abscessKifosisDeformitas stabil, dengan/ tanpadefi sit neurologisAngulasi sagital < 20º
1. debridemen dan fusianterior2. dekompresi jika terdapatdefi sit neurologis3. tandur strut kortikal untukfusi
III Kolaps vertebra beratCold abscessKifosis beratDeformitas tidak stabil, dengan/tanpa defi sit neurologisAngulasi sagital ≥ 20º
Penatalaksaan no II+ instrumentasi anterior/posterior
Tabel 4 ASIA Impairment Scale15
stadium Gambaran neurologisA. Complete Tidak ada fungsi motorik atau sensorik yang utuh pada segmen S4-
5B. Incomplete Fungsi sensorik utuh, fungsi motorik tidak utuh di bawah segmen
lesi neurologis dan segmen S4-5C. Incomplete Fungsi motorik masih utuh di bawah segmen lesi neurologis, dan
16
lebih dari separuh otot kunci* di bawahsegmen lesi neurologis setidaknya memiliki kekuatan motorik di bawah 3
D. Incomplete Sama seperti C, namun dengan kekuatan motorik di atas 3E. Normal Fungsi motorik dan sensorik normalSindrom Klinis Sindrom Brown Sequard, Sindrom Kauda Ekuina, Sindrom
Medula anterior, Sindrom Medula Sentral,Sindrom Konus Medularis.
*Otot-otot kunci yang dimaksud antara lain: fleksi siku (C5), ekstensi tangan (C6), ekstensi siku (C7), ekstensi jari tangan (C8), abduksi kelingking (T1), fl eksi tungkai (L2), ekstensi lutut (L3), dorsofl eksi kaki (L4), ekstensi ibu jari kaki (L5), plantar fleksi kaki (S1). pemeriksaan segmen S4 – 5 adalah dengan menilai kontraksi sfinger ani volunter dan dan sensasi perianal.
PATOFISIOLOGI
Patologi spondilitis TB
Spondilitis TB dapat terjadi akibat penyebaran secara hematogen/limfogen
melalui nodus limfatikus para-aorta dari fokus tuberkulosis di luar tulang belakang yang
sebelumnya sudah ada. Pada anak, sumber infeksi biasanya berasal dari fokus primer di
paru, sedangkan pada orang dewasa berasal dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal,
tonsil).16 Dari paru-paru, kuman dapat sampai ke tulang belakang melalui pleksus
venosus paravertebral Batson.13 Basil masuk ke korpus vertebra melalui 2 jalur utama ,
jalur arteri dan jalur vena serta jalur tambahan.
Jalur utama berlangsung secara sistemik, mengalir sepanjang arteri ke perifer masuk
kedalam korpus vertebra; berasal dari arteri segmental interkostal atau arteri segmental
lumbal yang memberikan darah ke separuh dari korpus yang berdekatan, dimana setiap
korpus diberi nutrisi oleh 4 buah arteri nutrisia. Didalam korpus arteri ini berakhir
sebagai end artery, sehingga perluasan infeksi korpus vertebra sering dimulai didaerah
paradiskal.
Jalur kedua adalah melalui pleksus Batson , suatu anyaman vena epidural dan
peridural. Vena dari korpus vertebra mengalir ke pleksus Batson pada daerah
perivertebral. Pleksus ini beranastomose dengan pleksus-pleksus pada dasar otak,
dinding dada, interkostal, lumbal dan pelvis ; sehingga darah dalam pleksus Batson
berasal dari daerah-daerah tersebut diatas. Jika terjadi aliran retrograd akibat perubahan
tekanan pada dinding dada dan abdomen maka basil dapat ikut menyebar dari infeksi
tuberkulosa yang berasal dari organ didaerah aliran vena-vena tersebut.
17
Jalur ketiga adalah penyebaran perkontinuitatum dari abses paravertebral yang telah
terbentuk, dan menyebar sepanjang ligamentum longitudial anterior dan postrior ke
korpus vertebra yang berdekatan.17
Penyakit ini umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari
bagian sentral, bagian depan atau dari daerah epifisial korpus vertebra, bisa juga diaerah
paradiskus. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis
dan perlunakan korpus sehingga tulang menjadi lunak dan gepeng terjadi akibat gaya
gravitasi dan tarikan otot torakolumbal. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks
epifisis, diskus intervertebral dan ke korpus yang berada didekatnya.
Diskus intervertebralis relatif resisten terhadap infeksi tuberkulosis karena
avaskular. Bila diskus terkena infeksi maka diskus akan rusak karena jaringan granulasi
dan kehilangan cairan, celah sendi akan menyempit. Karena transmisi beban gravitasi
pada vertebra torakal lebih terletak pada setengah bagian anterior badan vertebra, maka
lesi kompresi lebih banyak ditemukan pada bagian anterior badan vertebra sehingga
badan vertebra bagian anterior menjadi lebih pipih daripada bagian posterior.13 Resultan
dari hal-hal tersebut mengakibatkan deformitas kifotik. Deformitas kifotik inilah yang
sering disebut sebagai gibbus (gambar 2), kemudian eksudat menyebar ke anterior
dibawah ligamentum longitudinale anterior. Eksudat ini dapat menembus ligamentum
longitudinale anterior dan berekspansi ke berbagai arah disepanjang garis ligamentum
yang lemah.18
18
Gambar 2 Gibbus. Tampak penonjolan bagian posteriortulang belakang ke arah dorsal akibat angulasi kifotik
vertebra.48
Beratnya kifosis tergantung pada jumlah vertebra yang terlibat, banyaknya
ketinggian dari badan vertebra yang hilang, dan segmen tulang belakang yang terlibat.
Vertebra torakal lebih sering mengalami deformitas kifotik.19 Pada vertebra servikal dan
lumbal, transmisi beban lebih terletak pada setengah bagian posterior badan vertebra
sehingga bila segmen ini terinfeksi, maka bentuk lordosis fisiologis dari vertebra
servikal dan lumbal perlahan-lahan akan menghilang dan mulai menjadi kifosis.20
Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fascia paravertebralis dan
menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat
mengalami protusi ke depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses
faringeal. Abses ini dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esophagus
atau kavum pleura.
Kuman membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium :
1. Stadium Implantasi, setelah bakteri berada dalam tulang, maka
bila daya tahan tubuh penderita menurun, bakteri akan
berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8
minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus,
19
yang sering ditemukan pada orang dewasa dan pada anak-anak
umumnya pada daerah sentral vertebra.
2. Stadium destruksi awal, setelah stadium implantasi,
selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra serta
penyempitan yang ringan pada discus. Proses ini berlangsung
selama 3-6 minggu.
3. Stadium destruksi lanjut. Pada stadium ini terjadi destruksi
yang masif, kolaps vertebra dan terbentuk massa kaseosa serta
pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), yang terjadi 2-3
bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat
terbentuk tulang baju terutama di sebelah depan (wedging
anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan
terjadinya kifosis atau gibus.
4. Stadium gangguan neurologis. Gangguan neurologis tidak
berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi terutama
ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini
ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa.
Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil
sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah
ini. bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat
kerusakan paraplegia, yaitu :
Derajat I : kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi
setelah melakukan aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada
tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensorik.
Derajat II : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah
tetapi penderita masih dapat melakukan pekerjaannya.
Derajat III : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah
yang membatasi gerak / aktivitas penderita setelah
hiperestesia/anesthesia
Derajat IV : terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai
gangguan defekasi dan miksi.
Tuberkulosis paraplegia atau Pott’s paraplegia dapat terjadi
secara dini atau lambat tergantung dari penyakitnya. Pada
20
penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena
tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau akibat
kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya
granulasi jaringan.
Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif/sembuh terjadi
oleh karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau
oleh pembentukan jaringan granulasi tuberkulosa. Tuberkulosis
paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi destruksi
tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra.
Derajat I-III disebut sebagai paraparesis dan derajat IV disebut
sebagai paraplegia.
5. Stadium deformitas residual. Stadium ini terjadi kurang lebih 3-
5 tahun setelah timbulnya stadium implantasi. Kifosis atau
gibus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang
massif disebelah depan.
Menurut penelitian di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, lesi vertebra
torakal terlapor pada 71 persen kasus spondilitis TB, diikuti dengan vertebra lumbal,
dan yang terakhir vertebra servikal. Lima hingga tujuh persen penderita mengalami lesi
di dua hingga empat badan vertebra dengan rata-rata 2.51.24 Jika pada orang dewasa
spondilitis TB banyak terjadi pada vertebra torakal bagian bawahdan lumbal bagian
atas, khususnya torakal 12 dan lumbal 1, pada anak-anak spondilitis TB lebih banyak
terjadi pada vertebra torakal bagian atas.25
Cold abscess terbentuk jika infeksi spinal telah menyebar ke otot psoas (disebut
juga abses psoas) atau jaringan ikat sekitar. Cold abscess dibentuk dari akumulasi
produk likuefaksi dan eksudasi reaktif proses infeksi. Abses ini sebagian besar dibentuk
dari leukosit, materi kaseosa, debris tulang, dan tuberkel basil.13 Abses di daerah
lumbar akan mencari daerah dengan tekanan terendah hingga kemudian membentuk
traktus sinus/fi stel di kulit hingga di bawah ligamentum inguinal atau regio gluteal.26
Adakalanya lesi tuberkulosis terdiri dari lebih dari satu fokus infeksi vertebra.
Hal ini disebut sebagai spondilitis TB non-contiguous, atau “skipping lesion”. Peristiwa
ini dianggap merupakan penyebaran dari lesi secara hematogen melalui pleksus venosus
Batson dari satu fokus infeksi vertebra. Insidens spondilitis TB non-contiguous
dijumpai pada 16 persen kasus spondilitis TB.27
21
Defisit neurologis oleh kompresi ekstradural medula spinalis dan radiks terjadi
akibat banyak proses, yaitu: 1) penyempitan kanalis spinalis oleh abses paravertebral, 2)
subluksasio sendi faset patologis, 3) jaringan granulasi, 4) vaskulitis, trombosis arteri/
vena spinalis, 5) kolaps vertebra, 6) abses epidural atau 7) invasi duramater secara
langsung. Selain itu, invasi medula spinalis dapat juga terjadi secara intradural melalui
meningitis dan tuberkulomata sebagai space occupyinglesio.28,29.
Bila dibandingkan antara pasien spondilitis TB dengan defisit neurologis dan
tanpa defisit neurologis, maka defisit biasanya terjadi jika lesi TB pada vertebra torakal.
Defi sit neurologis dan deformitas kifotik lebih jarang ditemukan apabila lesi terdapat
pada vertebra lumbalis.30 Penjelasan yang mungkin mengenai hal ini antara lain: 1)
Arteri Adamkiewicz yang merupakan arteri utama yang mendarahi medula spinalis
segmen torakolumbal paling sering terdapat pada vertebra torakal 10 dari sisi kiri.
Obliterasi arteri ini akibat trombosis akan menyebabkan kerusakan saraf dan paraplegia.
2) Diameter relatif antara medula spinalis dengan foramen vertebralisnya. Intumesensia
lumbalis mulai melebar kira-kira setinggi vertebra torakal 10, sedangkan foramen
vertebrale di daerah tersebut relatif kecil. Pada vertebra lumbalis, foramen
vertebralenya lebih besar dan lebih memberikan ruang gerak bila ada kompresi dari
bagian anterior.
BENTUK TUBERKULOSIS TULANG BELAKANG
Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra, dikenal 3 bentuk spondilitis11:
a. Bentuk paradiskus, merupakan bentuk yang paling sering ditemukan pada orang
dewasa, lebih dari separuh jumlah kasus.
b. Bentuk sentral, infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra.. Dapat
menyebabkan kolaps vertebra dan sering dijumpai pada anak.
c. Bentuk anterior, adalah merupakan perambatan perkontinuitatum dari vertebra
diatasnya atau dibawahnya.
BIOMOLEKULAR TUBERKULOSIS TULANG BELAKANG
Patogenesis dan Patologi Spondilitis Tuberkulosa17,18,32
Karakter infeksi tuberkulosis ialah adanya destruksi tulang (osteolysis) vertebra yang
progresifitasnya berjalan lambat. Destruksi timbul dibagian anterior korpus vertebra
22
disertai osteoporosis regional. Proses perkijuan yang menyebar akan menghamabat
timbulnya pembentukan tulang baru dan pada saat yang bersamaan akan menimbulkan
segmen-segmen yang avaskular membentuk sekuester, terutama pada vertebra daerah
torakal. Secara bertahap jaringan granulasi akan menembus koteks korpus vertebra
yang sudah tipis sehingga menimbulkan abses paravertebra yang meliputi beberapa
korpus vertebra. Selain itu proses infeksi dapat menyebar keatas dan kebawah melalui
ligamentum longitudinale anterior dan ligamentum longitudinale posterior.
Diskus intervertebralis yang avaskular , awalnya relatif resisten terhadap infeksi
tuberkulosis. Tetapi kemudian karena dehidrasi, diskus akan meyempit dan akhirnya
akan timbul kerusakan akibat penjalaran jaringan granulasi. Destruksi progresif pada
bagian anterior menyebabkan korpus bagian anterior kolaps , mengakibatkan kifosis
yang progresif. Melalui mekanisme reaksi hipersensitif lambat, vertebra mengalami
destruksi dengan membentuk nekrosis perkijuan. Nekrosis perkijuan ini mencegah
pembentukan tulang baru dan menyebabkan tulang menjadi avaskular sehingga
terbentuk sekuester tuberkulosa yaitu serpihan tulang yang lepas dan nekrosis. Secara
bertahap jaringan granulasi menembus korteks vertebra membentuk abses paravertebra
yang dapat melewati beberapa segman vertebra, menyebar dibawah ligamentum
longitudinale anterior dan posterior mencari tempat paling rendah dengan tahanan yang
paling lemah.22
MANIFESTASI KLINIK 32,33
Gejala Umum
Penderita memperlihatkan gejala-gejala sakit kronik dan mudah lelah, demam
subfebris terutama pada malam hari, anoreksia, berat badan menurun, berkeringat pada
malam hari, takikardi dan anemia.
Gejala Lokal
Nyeri dan kaku punggung merupakan keluhan yang pertama kali muncul. Nyeri
dapat dirakan terlokalisir disekitar lesi atau berupa nyeri menjalar sesuai saraf yang
terangsang. Spasme otot-otot punggung terjadi sebagai suatu mekanisme pertahanan
menghindari pergerakan pada vertebra. Saat penderita tidur, spasme otot hilang dan
23
memungkinkan terjadinya pergerakan tetapi kemudian timbul nyeri lagi. Gejala ini
dikenal sebagai night cry, umumnya terdapat pada anak. Gejala lokal sesuai dengan
lokasi vertebra yang terkena penyakit.
Apabila sudah ditemukan deformitas berupa kifosis, maka patogenesis TB
umumnya spinal sudah berjalan selama kurang lebih tiga sampai empat bulan. Defisit
neurologis terjadi pada 12 – 50 persen penderita. Defisit yang mungkin antara lain:
paraplegia, paresis, hipestesia, nyeri radikular dan/ atau sindrom kauda equina. Nyeri
radikuler menandakan adanya gangguan pada radiks (radikulopati). Spondilitis TB
servikal jarang terjadi, gejala yang muncul antara lain kaku leher , nyeri vertebra yang
menjalar ke oksipital atau lengan, yang dirasakan lebih hebat bila kepala ditekan kearah
kaudal. namun manifestasinya berbahaya karena dapat menyebabkan disfagia dan
stridor, tortikollis, suara serak akibat gangguan n. laringeus. Jika n. frenikus terganggu,
pernapasan terganggu dan timbul sesak napas (disebut juga Millar asthma). gejala
Kemudian dapat terjadi deformitas, lordosis-normal akan berkurang dan anak
menopang kepalanya dengan lengan, abses retrofaringeal atau servikal, paralisa lengan
diikuti oleh paralisa tungkai. Gejala neurologik dapat terjadi karena, subluksasi antar
vertebra, penekanan medula spinalis atau radiks saraf serta diskus oleh tulang,
terbentuknya abses, reaksi terhadap infeksi lokal, terjadinya vaskulitis tuberkulosa.
Nyeri lokal dan nyeri radikular disertai gangguan motorik, sensorik dan sfingter
distal dari lesi vertebra akan memburuk jika penyakit tidak segera ditangani. Menurut
salah satu sumber, insiden paraplegia pada spondilitis TB (Pott’s paraplegia), sebagai
komplikasi yang paling berbahaya, hanya terjadi pada 4 – 38 persen penderita.9 Pott’s
paraplegia dibagi menjadi dua jenis: paraplegia onset cepat (early-onset) dan
paraplegia onset lambat (late-onset).13
Paraplegia onset cepat terjadi saat akut, biasanya dalam dua tahun pertama.
Paraplegia onset cepat disebabkan oleh kompresi medula spinalis oleh abses atau proses
infeksi. Sedangkan paraplegia onset lambat terjadi saat penyakit sedang tenang, tanpa
adanya tanda-tanda reaktifasi spondilitis, umumnya disebabkan oleh tekanan jaringan
fibrosa/parut atau tonjolan-tonjolan tulang akibat destruksi tulang sebelumnya.13,29
Gejala motorik biasanya yang lebih dahulu muncul karena patologi terjadi dari
anterior, sesuai dengan posisi motoneuron di kornu anterior medula spinalis, kecuali
jika ada keterlibatan bagian posterior medula spinalis, keluhan sensorik bisa lebih
dahulu muncul. Penelitian di Nigeria melaporkan bahwa paraplegia terjadi pada 54
persen pasien yang mengalami gangguan kekuatan motorik. Sedangkan deformitas
24
tulang belakang hanya terjadi pada 21 persen pasien-pasien tersebut. Tingginya angka
paraplegia mungkin disebabkan tingkat sosioekonomi dan pendidikan yang masih
rendah sehingga pasien baru datang ke layanan kesehatan jika penyakit sudah melanjut
dengan gejala yang berat.35
Pada vertebra servikal bawah dan torakal atas, ditemukan gejala lokal, misalnya
kekakuan kifosis angular sampai gibbus, nyeri sepanjang pleksus brakialis. Abses
retrofaringeal, supraklavikular dan mediastinal jarang menyebabkan gangguan saraf
spinal. Bila terjadi penekanan saraf simpatis, akan timbul sindrom Horner dan kaku
leher.
Pada daerah torakal dan lumbal dapat ditemukan kifosis angular sampai gibbus,
nyeri pada daerah tersebut dapat menyebar ke ekstrimitas bawah, khususnya daerah
lateral paha. Juga dapat ditemukan abses iliaka atau abses psoas. Pada daerah
lumbosakral dapat dijumpai gejala lokal misalnya deformitas, nyeri yang
menyebar ke ekstrimitas bawah, abses psoas, dan gangguan gerak
pada sendi panggul.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM22
1. Darah
Secara umum, sama dengan penderita penyakit kronik lainnya,sering ditemukan
anemia hipokrom. Hitung-jumlah lekosit dapat normal atau meningkat sedikit, pada
hitung jenis ditemukan monositosis. Laju endap darah meningkat tetapi tidak dapat
menjadi indikator aktivitas penyakit.
2. Tes Tuberkulin
Dengan cara Mantoux, disuntikkan PPD 5 TU (0.1 ml) intrakutan. Reaksi pada
tubuh dibaca setelah 48-72 jam. Jika indurasi < 5 mm dikatakan tes Mantoux negatif.
Indurasi > 10 mm , tes Mantoux positif; sedangkan indurasi 5 – 9 mm meragukan dan
perlu diulang.
3. Bakteriologi
Untuk pemeriksaan balteriologik dan histopatologik diperlukan pengambilan
bahan melalui biopsi atau operasi. Biopsi dapat dilakukan dengan cara fine needle
aspiration dengan tuntunan CT atau video assisted thoracoscopy. Pemeriksaan terhadap
25
bahan pemeriksaan yang diambil dengan biopsi dapat dilakukan dengan pemeriksaan
mikroskopik biasa, mikroskopik fluoresen atau biakan.
Pada pemeriksaan mikroskopik dapat dilakukan pewarnaan Ziehl Nielsen, Tan
Thiam Hok,Kinyoun-Gabbet atau dengan metoda fluorokrom yang memakai pewarnaan
auramine dan rhodamine. Pemeriksaan ini membutuhkan sedikitnya 5 x 103 kuman per
ml sputum.. Hasil pemeriksaan ini dipengaruhi oleh : jenis spesimen, ketebalan sediaan
apus yang dihasilkan, ketebalan pewarnaan, kemampuan dan keahlian pemeriksa.
Beberapa cara yang dilakukan untuk meningkatkan sensitifitas hasil pemeriksaan
sediaan apus secara mikroskopik, yaitu: cytocentrifugation dari bahan pemeriksaan
sputum, mencairkan sputum dengan sodium hypochloride diikuti dengan sedimentasi
selama satu malam.Jumlah basil tuberkulosis yang didapatkan pada spondilitis
tuberkulosa lebih rendah bila dibandingkan dengan tuberkulosis paru. Juga pada
pewarnaan biasa hanya sanggup mendiagnosa sekitar separuhnya.
4. Kultur
Semua spesimen yang mengandung mikobakteria harus di inokulasi melalui
media kultur, karena : kultur lebih sensitif dari pada pemeriksaan mikroskopis, dapat
mendeteksi hingga 10 bakteri per ml; kultur dapat melihat perkembangan organisme
yang diperlukan untuk identifikasi yang akurat dan dengan pembiakan kuman dapat
dilakukan resistensi tes terhadap obat-obat anti tuberkulosa.
5. Histopatologi
Secara histopatologik, hasil biopsi memberi gambaran granuloma epiteloid yang
khas dan sel datia Langhans, suatu giant cell multinukleotid yang khas.
6. PCR
Prinsip kerja PCR adalah 3 tahapan reaksi yang dilakukan pada suhu yang berbeda.
Yaitu: denaturasi, aneling primer, dan polimerase. Ini adalah suatu proses amplifikasi
DNA yang dilakukan berulangkali. Produk yang dihasilkan bertindak sebagai template
untuk siklus berikutnya sehingga setiap siklus menghasilkan produk secara
eksponensial. Dengan kemampuan ini PCR dapat mendeteksi basil tuberkulosa yang
jumlahnya tidak cukup untuk bisa diperiksa secara mikroskopis atau bakteriologis.
Jumlah kuman 10 – 1000 sudahdapat dideteksi dengan pemeriksaan ini. Target yang
paling sering digunakan pada pemeriksaan ini adalah IS6110. Deteksi dengan
menggunakan IS6110 ini dilakukan dari sputum (pada tuberkulosa paru) dan darah
(pada tuberkulosa diluar paru). Pemeriksaan PCR memberikan sensitifitas 94.7% ,
26
spesifisitas 83.3% dan akurasi 92% terhadap bahan pemeriksaan yang berasal dari
spondilitis tuberkulosa.
7. ICT Tuberkulosis
Tes immunokromatografi untuk mendeteksi mikobakterium tuberkulosa atau
ICT tuberkulosis adalah suatu pemeriksaan serodiagnostik dengan mengembangkan
antigen untuk mendetekdi antibodi yang dihasilkan oleh tubuh penderita. Pemeriksaan
ini menggunakan membran atau strip nitroselulose yang disensitisasi dengan antigen.
Teknik pemeriksaan dengan metode ini cepat dan mudah. Strip dapat dibaca secara
manual atau dibaca oleh densitometer. Antigen yang paling sering digunakan untuk
mendiagnosa tuberkulosis adalah antigen 38 kDa dengan sensitifitas 45% – 85% dan
spesifisitas 98%.22
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Radiologi hingga saat ini merupakan pemeriksaan yang paling menunjang untuk
diagnosis dini spondilitis TB karena memvisualisasi langsung kelainan fisik pada tulang
belakang. Terdapat beberapa pemeriksaan radiologis yang dapat digunakan seperti
sinar-X, Computed Tomography Scan (CTscan), dan Magnetic Resonance Imaging
(MRI).
Pada infeksi TB spinal, klinisi dapat menemukan penyempitan jarak antar
diskus intervertebralis, erosi dan iregularitas dari badan vertebra, sekuestrasi, serta
massa para vertebra. Pada keadaan lanjut, vertebra akan kolaps ke arah anterior
sehingga menyerupai akordion (concertina), sehingga disebut juga concertina collapse
(gambar 3).
1. Sinar-X
Sinar-X merupakan pemeriksaan radiologis awal yang paling sering dilakukan
dan berguna untuk penapisan awal. Proyeksi yang diambil sebaiknya dua jenis,
proyeksi AP dan lateral.
Pada fase awal, akan tampak lesi osteolitik pada bagian anterior badan vertebra
danosteoporosis regional. Penyempitan ruang diskus intervertebralis menandakan
terjadinya kerusakan diskus. Pembengkakan jaringan lunak sekitarnya memberikan
gambaran fusiformis.
Pada fase lanjut, kerusakan bagian anterior semakin memberat dan membentuk
angulasi kifotik (gibbus). Bayangan opak yang memanjang paravertebral dapat terlihat,
yang merupakan cold abscess.27 Namun, sayangnya sinar-X tidak dapat mencitrakan
27
cold abscess dengan baik (gambar 3). Dengan proyeksi lateral, klinisi dapat menilai
angulasi kifotik diukur dengan metode Konstam (gambar 5).3,36,38
Gambar 3 Pencitraan sinar-X proyeksi AP pasien spondilitis TB. Sinar-X memperlihatkan iregularitas dan berkurangnya ketinggian dari badan vertebra T9 (tanda
bintang), serta juga dapat terlihat massa paravertebral yang samar, yang merupakan cold abscess (panah putih).
Gambar 439
28
Gambar 5 Pengukuran angulasi kifotik metode Konstam.Pertama, tarik garis khayal sejajar end-plate superior badan vertebra yang sehat di atas dan di bawah lesi. Kedua garis tersebut diperpanjang ke anterior sehingga bersilangan. Sudut K pada gambar adalah sudut Konstam, sedangkan Sudut A adalah angulasi aktual yang dihitung. Pada contoh gambar ini, angulasi kifotik adalah sebesar 30º.3,38
Gambar 6.
Frekuensi tuberkulosis tulang yang paling tinggi adalah pada tulang belakang, biasanya
di daerah torakal atau lumbal, jarang di daerah servikal. Lesi biasanya pada korpus
vertebra dan proses dapat bermula di 3 tempat, yaitu :
Dekat diskus intervertebra atas atau bawah, disebut tipe marginal.
Pada tipe marginal, lesi destruktif biasanya terdapat di bagian depan korpus
vertebra dan cepat merusak diskus. Proses dapat terjadi pada dua atau vertebrata
yang berdekatan . karena bagian depan korpus vertebra paling banyak
mengalami destruksi disertai adanya kolaps, maka korpus vertebra akan
berbentuk baji dan pada tempat tersebut timbul gibbus.
Di tengah korpus disebut tipe sentral
Pada tipe sentral, abses timbul pada bagian tengah korpus vertebra dan diskus
lambat terkena proses. Bila lesi meluas ke tepi tulang, maka proses selanjutnya
adalah seperti pada tipe marginal.
29
Dibagian anterior disebut tipe anterior atau subperiosteal.
Pada tipe anterior, proses berlangsung dibawah periost dan meluas di bawah
ligamen longitudinal anterior. Kerusakan pada diskus terjadi lambat.(gambar 6) 31
2. CT Scan
CT-scan dapat memperlihatkan dengan jelas sklerosis tulang, destruksi badan
vertebra, abses epidural, fragmentasi tulang, dan penyempitan kanalis spinalis (gambar
7).
CT myelography juga dapat menilai dengan akurat kompresi medula spinalis
apabila tidak tersedia pemeriksaan MRI. Pemeriksaan ini meliputi penyuntikan kontras
melalui punksi lumbal ke dalam rongga subdural, lalu dilanjutkan dengan CT scan.
Selain hal yang disebutkan di atas, CT scan dapat juga berguna untuk memandu
tindakan biopsi perkutan dan menentukan luas kerusakan jaringan tulang.27 Penggunaan
CT scan sebaiknya diikuti dengan pencitraan MRI untuk visualisasi jaringan lunak.
Gambar 7 Pencitraan CT-scan pasien spondilitis TB potongan aksial setingkat T 12. Pada CT-scan dapat terlihat destruksi pedikel kiri vertebra L3 (panah hitam), edema jaringan perivertebra (kepala panah putih), penjepitan medula spinalis (panah kecil putih), dan abses psoas (panah putih besar).
3. MRI
30
MRI merupakan pencitraan terbaik untuk menilai jaringan lunak. Kondisi badan
vertebra, diskus intervertebralis, perubahan sumsum tulang, termasuk abses paraspinal
dapat dinilai dengan baik dengan pemeriksaan ini. Untuk mengevaluasi spondilitis TB,
sebaiknya dilakukan pencitraan MRI aksial, dan sagital yang meliputi seluruh vertebra
untuk mencegah terlewatkannya lesi noncontiguous.13,27 MRI juga dapat digunakan
untuk mengevaluasi perbaikan jaringan. Peningkatan sinyal- T1 pada sumsum tulang
mengindikasikan pergantian jaringan radang granulomatosa oleh jaringan lemak dan
perubahan MRI ini berkorelasi dengan gejala klinis. Bagaimana membedakan
spondilitis TB dari spondilitis lainnya melalui MRI akan dijelaskan pada bagian
diagnosis diferensial setelah ini. 40,41
Gambar 8 Pencitraan MRI potongan sagital pasien spondilitis TB. Pada MRI dapat dilihat destruksi dari badan vertebra L3-L4 yang menyebabkan kifosis berat (gibbus), infiltrasi jaringan lemak (panah putih), penyempitan kanalis spinalis, dan penjepitan medula pinalis. Gambaran ini khas menyerupai akordion yang sedang ditekuk.
4. Pencitraan lainnya
31
Ultrasonografi dapat digunakan untuk mencari massa pada daerah lumbar.
Dengan pemeriksaan ini dapat dievaluasi letakdan volume abses/massa iliopsoas yang
mencurigakan suatu lesi tuberkulosis.13
Bone scan pada awalnya sering digunakan, namun pemeriksaan ini hanya
bernilai positif pada awal perjalanan penyakit. Selain itu, bone scan sangat tidak spesifi
k dan ber-resolusi rendah. Berbagai jenis penyakit seperti degenerasi, infeksi,
keganasan dan trauma dapat memberikan hasil positif yang sama seperti pada
spondilitis TB. Pencitraan dengan 67Gadolinium diketahui berguna untuk mendeteksi
infeksi TB diseminata.3 Penggunaan pencitraan ini masih belum lazim pada spondilitis
TB.
DIAGNOSIS
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Nyeri punggung belakang adalah keluhan yang paling awal, sering tidak spesifik
dan membuat diagnosis yang dini menjadi sulit. Maka dari itu, setiap pasien TB paru
dengan keluhan nyeri punggung harus dicurigai mengidap spondilitis TB sebelum
terbukti sebaliknya. Selain itu, dari anamnesis bisa didapatkan adanya riwayat TB paru,
atau riwayat gejala-gejala klasik (demam lama, diaforesis nokturnal, batuk lama,
penurunan berat badan) jika TB paru belum ditegakkan sebelumnya. Demam lama
merupakan keluhan yang paling sering ditemukan namun cepat menghilang (satu
hingga empat hari) jika diobati secara adekuat.43
Paraparesis adalah gejala yang biasanya menjadi keluhan utama yang membawa pasien
datang mencari pengobatan. Gejala neurologis lainnya yang mungkin: rasa kebas, baal,
gangguan defekasi dan miksi.
Pemeriksaan fisik umum dapat menunjukkan adanya fokus infeksi TB di paru
atau di tempat lain, meskipun pernah dilaporkan banyak spondilitis TB yang tidak
menunjukkan tanda-tanda infeksi TB ekstraspinal.28
Pernapasan cepat dapat diakibatkan oleh hambatan pengembangan volume paru
oleh tulang belakang yang kifosis atau infeksi paru oleh kuman TB. Infiltrat paru akan
terdengar sebagai ronkhi, kavitas akan terdengar sebagai suara amforik atau bronkial
dengan predileksi di apeks paru. Kesegarisan (alignment) tulang belakang harus
diperiksa secara seksama.
Infeksi TB spinal dapat menyebar membentuk abses paravertebra yang dapat teraba,
bahkan terlihat dari luar punggung berupa pembengkakan. Permukaan kulit juga harus
32
diperiksa secara teliti untuk mencari muara sinus/fistel hingga regio gluteal dan di
bawah inguinal (trigonum femorale). Tidak tertutup kemungkinan abses terbentuk di
anterior rongga dada atau abdomen.40
Terjadinya gangguan neurologis menandakan bahwa penyakit telah lanjut,
meski masih dapat ditangani. Pemeriksaan fisik neurologis yang teliti sangat penting
untuk menunjang diagnosis dini spondilitis TB. Pada pemeriksaan neurologis bisa
didapatkan gangguan fungsi motorik, sensorik, dan autonom. Kelumpuhan berupa
kelumpuhan upper motor neuron (UMN), namun pada presentasi awal akan didapatkan
paralisis flaksid, baru setelahnya akan muncul spastisitas dan refleks patologis yang
positif. Kelumpuhan lower motor neuron (LMN) mononeuropati mungkin saja terjadi
jika radiks spinalis anterior ikut terkompresi. Jika kelumpuhan sudah lama, otot akan
atrofi , yang biasanya bilateral. Sensibilitas dapat diperiksa pada tiap dermatom untuk
protopatis (raba, nyeri, suhu), dibandingkan ekstremitas atas dan bawah untuk
proprioseptif (gerak, arah, rasa getar, diskriminasi 2 titik). Evaluasi sekresi keringat
rutin dikerjakan untuk menilai fungsi saraf autonom.
Pada foto rontgen tampat penyempitan sela diskus dan
gambaran abses paravertebral. Reaksi tuberkulin biasanya positif.
Untuk melakukan pemeriksaan bakteriologis, dapat dilakukan pungsi
abses atau dari debris yang didapat melalui pembedahan. Untuk
melengkapi pemeriksaan, dibuatlah standar pemeriksaan TBC tulang
dan sendi, yaitu :
1. Pemeriksaan klinis dan neurologis yang lengkap
2. Foto tulang belakang posisi AP dan lateral
3. Foto polos thorax posisi AP
4. Uji mantoux
5. Biakan sputum dan pus untuk menemukan basil tuberkulosa
DIAGNOSIS BANDING
Hal yang perlu digaris bawahi pada spondilitis TB adalah nyeri punggung nonspesifIk,
deformitas kifotik, kompresi medula spinalis yang sering menjadi alasan penderita
untuk datang berobat. Karena itu, pemikirian kemungkinan diagnosis banding harus
didasarkan pada hal ini. Sangat penting untuk membedakan spondilitis TB dari penyakit
33
lainnya, karena terapi dini yang tepat dan akurat dapat mengurangi angka disabilitas
dan morbiditas pasien.44
Spondilitis piogenik adalah salah satu penyakit dengan presentasi gejala yang serupa
dengan spondilitis TB dan tidak mudah untuk membedakan keduanya tanpa
pemeriksaan penunjang yang adekuat. Spondilitis piogenik umumnya disebabkan oleh
Staphylococcus aureus, Streptococcus, dan Pneumococcus.30 Secara epidemiologi,
spondilitis piogenik lebih sering menyerang usia produktif, sekitar usia 30–50 tahun.
Hingga saat ini, prevalensi spondilitis piogenik dilaporkan meningkat diakibatkan
banyaknya penyalahgunaan antibiotik, tindakan invasif spinal, pembedahan spinal. Di
lain pihak, jumlah kasus baru spondilitis TB semakin berkurang dengan penggunaan
OAT. Spondilitis piogenik memiliki perjalanan yang lebih akut dengan gejala yang
hampir sama dengan spondilitis TB. Vertebra servikal dan lumbal lebih sering terlibat,
dibandingkan dengan spondilitis TB yang lebih sering menyerang vertebra
torakolumbal lebih dari satu vertebra.24 Dari segi hematologis, CRP, laju endap darah
(LED), jumlah leukosit, dan hitung jenis dapat membantu diagnosis. Pada spondilitis
piogenik, peningkatan CRP lebih bermakna dibandingkan peningkatan LED, meskipun
pada beberapa kasus dapat normal.24 Telah dilakukan studi untuk membedakan kedua
penyakit melalui MRI. Jung dkk34 menjabarkan beberapa perbedaan temuan MRI
secara rinci yang mengarahkan pada infeksi TB: 1) sinyal abnormal paraspinal berbatas
tegas. 2) dinding abses tipis dan halus. 3) adanya abses paraspinal dan intraoseus. 4)
penyebaran subligamen lebih dari 2 vertebra. 5) keterlibatan vertebra torakal. 6) lesi
multipel. Bila ada temuan radiologis selain yang disebutkan di atas, tampaknya
diagnosis infeksi piogenik lebih mungkin. Penelitian oleh Harada dkk menambahkan
bahwa adanya sinyal abnormal pada sendi faset merupakan karakteristik infeksi
piogenik.30 Kultur dan pewarnaan Gram spesimen tulang yang diambil melalui biopsi
perkutan/terbuka dapat memastikan diagnosis, namun tindakan ini termasuk tindakan
invasif.28
Tumor metastatik spinal mencakup 85 persen bagian dari semua tumor tulang
belakang yang mengakibatkan kompresi medula spinalis. Insiden tertinggi kasus tumor
metastasik spinal pada usia di atas 50 tahun. Urutan segmen yang sering terlibat yaitu
torakal, lumbar dan servikal. Neoplasma dengan kecenderungan bermetastasis ke
medula spinalis meliputi tumor payudara, prostat, paru, limfoma, sarkoma, dan
mieloma multipel. Metastasis keganasan saluran cerna dan rongga pelvis relatif
34
melibatkan vertebra lumbosakral, sedangkan keganasan paru dan mamae lebih sering
melibatkan vertebra torakal.
Keganasan primer pada pasien anak-anak yang cukup sering menyebabkan kompresi
medula spinalis meliputi neuroblastoma, Sarkoma Ewing, dan hemangioma. Formasi
abses dan adanya fragmen tulang adalah temuan MRI yang dapat membedakan
spondilitis TB dari neoplasma.3 Keluhan yang sering berupa nyeri punggung belakang
yang kronis progresif yang tidak spesifik, hal inilah yang menyebabkan neoplasma
spinal sulit dibedakan dengan spondilitis TB. Adanya riwayat keganasan di tempat lain
dapat membantu penegakkan diagnosis. Defi sit neurologis terjadi tergantung tingkat
lesi, muncul jika tumor sudah menekan epidural dan medula spinalis. Kolaps vertebra
dengan deformitas kifotik atau skoliotik terjadi akibat destruksi badan vertebra/ fraktur
oleh invasi tumor dengan diskus yang bebas dari kerusakan. MRI belum dapat secara
pasti menyingkirkan atau memastikan diagnosis tumor spinal. Semua temuan-temuan
MRI spondilitis TB bisa ditemukan pada tumor spinal.41
Fraktur kompresi badan vertebra berpotensi menyebabkan deformitas kifotik disertai
gangguan neurologis dengan derajat yang bervariasi. Trauma harus dengan kekuatan
yang besar untuk membuat badan vertebra yang bersangkutan retak, kecuali jika
didapatkan osteoporosis, usia tua atau penggunaan steroid jangka panjang. Contoh
klasik trauma yang menyebabkan fraktur kompresi seperti jatuh dari ketinggian dengan
bokong terlebih dahulu. Kecelakaan mobil juga dapat menyebabkan dampak serupa.
Mekanisme fl eksi-kompresi biasanya menyebabkan fraktur kompresi dengan bagian
anterior mengecil (wedge-shaped) dengan derajat kerusakan bagian tengah dan
posterior yang bervariasi. Medula spinalis segmen torakal lebih sering mengalami
cedera karena merupakan segmen yang paling panjang dibandingkan segmen lainnya
dan juga karena kanalis spinalisnya yang lebih sempit dengan vaskularisasi yang
tentatif. Diagnosis ditegakkan dengan temuan klinis dan adanya riwayat trauma yang
bermakna dikombinasikan dengan ada/ tidaknya faktor risiko seperti osteoporosis atau
usia tua.
Spondilitis bruselosis merupakan diagnosis diferensial yang utama pada negara dengan
angka kejadian tinggu. Demam, keringat dingin dan nyeri sendi adalah gejala yang
lebih sering ditemukan pada spondilitis bruselosis, sementara gangguan neurologis dan
deformitas lebih banyak ditemukan pada spondilitis TB. Sakroiliitis dan diskitis lebih
sering didapatkan pada pasien spondilitis bruselosis.
35
PENATALAKSANAAN
penanganan spondilitis TB secara umum dibagi menjadi dua bagian yang
berjalan dapat secara bersamaan, medikamentosa dan pembedahan. Terapi
medikamentosa lebih diutamakan, sedangkan terapi pembedahan melengkapi terapi
medikamentosa dan disesuaikan dengan keadaan individual tiap pasien. Pasien
spondilitis TB pada umumnya bisa diobati secara rawat jalan, kecuali diperlukan
tindakan bedah dan tergantung pada stabilitas keadaan pasien. Tujuan penatalaksanaan
spondilitis TB adalah untuk mengeradikasi kuman TB, mencegah dan mengobati defi
sit neurologis, serta memperbaiki kifosis.28 Parthasarathy dkk melakukan penelitian
pada 235 pasien spondilitis TB tanpa paraplegia dengan tujuan membandingkan
efektivitas kemoterapi OAT dan intervensi bedah. Penelitian tersebut menyimpulkan
bahwa pada fase awal, terapi medikamentosa memberikan hasil yang lebih memuaskan
dibandingkan terapi bedah. Namun, ketika deformitas kifosis telah melanjut, terapi
medikamentosa justru tidak begitu berguna. Terapi OAT selama 9 bulan memberikan
angka remisi yang lebih baik (hingga 99 persen) dibandingkan terapi OAT selama 6
bulan.47
MEDIKAMENTOSA
Regimen 4 macam obat biasanya termasuk INH, rifampisin, dan pirazinamid
dan etambutol. Lama pengobatan masih kontroversial. Meskipun beberapa penelitian
mengatakan memerlukan pengobatan hanya 6-9 bulan, pengobatan rutin yang dilakukan
adalah selama 9 bulan sampai 1 tahun. Lama pengobatan biasanya berdasarkan dari
perbaikan gejala klinis atau stabilitas klinik pasien.48
WHO memeberikan panduan penggunaan OAT berdasarkan berat ringannya penyakit
1. Kategori I adalah tuberkulosis yang berat, termasuk tuberkulosis paru yang
luas, tuberkulosis milier, tuberkulosis disseminata, tuberkulosis disertai diabetes
mellitus dan tuberkulosis ekstrapulmonal termasuk spondilitis tuberkulosa.
2. Kategori II adalah tuberkulosis paru yang kambuh atau gagal dalam
pengobatan.
3. Kategori III adalah tuberkulosis paru tersangka aktif.
Paduan OAT untuk spondilitis tuberkulosa sesuai dengan Kategori I seperti
dalam Tabel 5.
36
INH diberikan sampai 12 bulan. Streptomycin hanya sebagai kombinasi terakhir
atau tambahan pada regimen yang ada. Disamping itu ada OAT tambahan tetapi
kemampuannya lemah misalnya Kanamycin, PAS, Thiazetazone, ethionamide,
dan quinolone.
World Health Organization (WHO) menyarankan kemoterapi diberikan
setidaknya selama 6 bulan.43 British Medical Research Council menyarankan bahwa
spondilitis TB torakolumbal harus diberikan kemoterapi OAT selama 6 – 9 bulan.2
Untuk pasien dengan lesi vertebra multipel, tingkat servikal, dan dengan defi sit
neurologis belum dapat dievaluasi, namun beberapa ahli menyarankan durasi
kemoterapi selama 9–12 bulan.2 The Medical Research Council Committee for
Research for Tuberculosis in the Tropics menyatakan bahwa isoniazid dan rifampisin
harus selalu diberikan selama masa pengobatan.28 Selama dua bulan pertama (fase
inisial), obat-obat tersebut dapat dikombinasikan dengan pirazinamid, etambutol dan
streptomisin sebagai obat lini pertama. Hal ini senada dengan penelitian
37
Karaeminogullari dkk yang mengobati pasien spondilitis TB lumbal dengan rifampisin
dan insoniazid saja selama 9 bulan, dengan hasil yang memuaskan.
Immobilisasi
Pemasangan gips bergantung pada level lesi, pada daerah servikal dapat
dilakukan immobilisasi dengan jaket minerva , pada daerah torakal, torakolumbal dan
lumbal atas immobilisasi dengan body jacket atau gips korset disertai fiksasi pada salah
satu panggul. Immobilisasi pada umumnya berlangsung 6 bulan, dimulai sejak
penderita diizinkan berobat jalan.
Selama pengobatan penderita menjalani kontrol berkala dan dilakukan
pemeriksaan klinis, radiologis dan laboratoris. Bila dalam pengamatan tidak tampak
kemajuan, maka perlu difikirkan kemungkinan resistensi obat, adanya jaringan
kaseonekrotik dan sekuester, nutrisi yang kurang baik, makan obat tidak berdisiplin.
Indikasi dan Kontraindikasi Pembedahan
dilakukan. Indikasi pembedahan antara lain27,30
A. Indikasi absolut
Paraplegi dengan onset yang terjadi selama pengobatan konservatif, paraplegia
memburuk atau menetap setelah dilakukan pengobatan konservatif, kehilangan
kekuatan motorik yang bersifat komplit selama 1 bulan setelah dilakukan
pengobatan konservatif, paraplegia yang disertai spastisitas yang tidak terkontrol
oleh karena suatu keganasan dan imobilisasi tidak mungkin dilakukan atau adanya
risiko terjadi nekrosis akibat tekanan pada kulit, paraplegia yang berat dengan onset
yang cepat, dapat menunjukkan tekanan berat oleh karena kecelakaan mekanis atau
abses dapat juga merupakan hasil dari trombosis vaskular tetapi hal ini tidak dapat
didiagnosis, paraplegia berat lainnya, paraplegia flaksid, paraplegia dalam keadaan
fleksi, kehilangan sensoris yang komplit atau gangguan kekuatan motoris selama
lebih dari 6 bulan.
B. Indikasi relatif
Paraplegia berulang yang sering disertai paralisis sehingga serangan awal sering
tidak disadari, paraplegia pada usia tua, paraplegia yang disertai nyeri yang
diakibatkan oleh adanya spasme atau kompresi akar saraf serta adanya komplikasi
seperti batu atau terjadi infeksi saluran kencing.
38
Prosedur pembedahan yang dilakukan untuk spondilitis TB yang mengalami paraplegi
adalah costrotransversectomi, dekompresi anterolateral dan laminektomi. Prosedur tata
laksana pasien dengan komplikasi neurologi dapat dilihat seperti Gambar 1.
Sementara itu, satu-satunya kontraindikasi pembedahan pada pasien spondilitis TB
adalaha kegagalan jantung dan paru. Pada keadaan ini kegagalan jantung dan paru harus
ditangani terlebih dahulu untuk menyelamatkan jiwa pasien.3
Tabel 6. Algoritma dan tatalaksana Tb
39
Tabel 7. Penatalaksanaan total Tb spine22
40
Tirah baring, Imobilisasi, dan Fisioterapi
Terapi pada penderita spondilitis TB dapat pula berupa tirah baring disertai
dengan pemberian kemoterapi, dengan atau tanpa imobilisasi. Tindakan ini biasanya
dilakukan pada penyakit yang telah lanjut atau bila tidak tersedia keterampilan dan
fasilitas yang cukup untuk melakukan operasi tulang belakang, atau bila terdapat
permasalahan teknik operasi yang dianggap terlalu berbahaya. Jenis imobilisasi yang
dilakukan sama dengan imobilisasi pasca-operasi yang telah dijelaskan sebelumnya.
Imobilisasi dilakukan setidaknya selama enam bulan.16 Tirah baring diikuti dengan
pemakaian gips untuk melindungi tulang belakang pada posisi ekstensi, terutama pada
keadaan akut atau fase aktif. Pemasangan gips ini ditujukan untuk imobilisasi spinal,
mengurangi kompresi medula spinalis dan progresi deformitas lebih lanjut. Istirahat di
tempat tidur dapat berlangsung hingga empat minggu. Alwali dkk melaporkan bahwa
imobilisasi dengan custom-made spinal jacket bersamaan dengan kemoterapi dapat
menjadi alternatif jika tindakan bedah tidak bisa dilakukan.38
Fisioterapi diperlukan sepanjang ditemukan adanya gangguan fungsional.
Dalam hal ini gangguan fungsional dikaitkan dengan cedera medula spinalis yang
menimbulkan kelumpuhan motorik, sensorik, dan autonom. Intervensifi sioterapi yang
diberikan disesuaikan dengan modalitas yang terganggu. Paraplegia yang
mengharuskan pasien untuk terus duduk atau tidur berpotensi menyebabkan ulkus
dekubitus. Maka dari itu, posisi baring harus sering diganti. Selain itu, pemeriksaan
kulit secara menyeluruh harus rutin dilakukan. Pasien dengan gangguan defekasi dan
berkemih dapat dibantu dengan kateterisasi intermiten dan evakuasi feses setiap hari.
Mobilisasi dengan kursi roda (wheelchair) dianjurkan setidaknya 10 hari setelah
dimulai pengobatan. Jika pasien sudah stabil, dapat rencanakan untuk pelatihan
kemandirian, kemampuan sosial dan melakukan aktivitas sehari-hari dan berikutnya
dapat diberikan pelatihan vokasional. Studi prospektif pada pasien spodilitis TB yang
diterapi secara medikamentosa atau bedah, direhabilitasi mulai dari masa pre-operasi
hingga 6 bulan pasca-operasi dekompresi dan fusi spinal, membuktikan bahwa fi
sioterapi mampu meningkatkan kualitas hidup pasien spondilitis TB, terlebih jika
dikombinasi dengan terapi kuratif yang adekuat.
Terapi motorik yang dilakukan antara lain difokuskan pada otot dada, perut,
tungkai bawah, batang tubuh, dan ekstensor sakrospinal. Skor Modified Barthel Index
(MBI) meningkat secara bermakna dimana pada saat permulaan hanya 10,6 persen
41
pasien termasuk dalam kategori mandiri, dan pada akhir studi 70,2 persen pasien
termasuk dalam kategori mandiri.
PROGNOSIS
Prognosis pasien spondilitis TB dipengaruhi oleh: 1) usia, 2) deformitas kifotik, 3) letak
lesi, 4) defisit neurologis, 5) diagnosis dini, 6) kemoterapi, 7) fusi spinal, 8) komorbid,
9) tingkat edukasi dan sosioekonomi. Usia muda dikaitkan dengan prognosis yang lebih
baik.12 Namun, Parthasarathy dkk41 menyimpulkan bahwa pada pasien usia dibawah 15
tahun dan dengan kifosis lebih dari 30o cenderung tidak responsif terhadap pengobatan.
Kifosis berat, selain memperburuk estetika, dapat mengurangi kemampuan bernafas.
Diagnosis dini sebelum terjadi destruksi badan vertebra yang nyata dikombinasi dengan
kemoterapi yang adekuat menjanjikan pemulihan yang sempurna pada semua kasus.
Adanya resistensi terhadap OAT memperburuk prognosis spondilitis TB. Komorbid
lain seperti AIDS berkaitan dengan prognosis yang buruk. Penelitian lain di Nigeria22
mengatakan bahwa tingkat edukasi pasien mempengaruhi motivasi pasien untuk datang
berobat. Pasien dengan tingkat edukasi yang rendah cenderung malas datang berobat
sebelum muncul gejala yang lebih berat seperti paraplegia.
42
DAFTAR PUSTAKA
1. Hidalgo A. Pott disease (tuberculous spondylitis). Didapat dari http:// www.emedicine.com/med/topic1902.htm. Diakses tanggal 9 Maret 2005.
2. Herchline T. Tuberculosis. Didapat dari http://
www.emedicine.com/med/topic2324.htm. Diakses tanggal 9 Maret 2005.
3. Camillo FX. Infections of the Spine. Canale ST, Beaty JH, ed. Campbell’s Operative Orthopaedics. edisi ke-11. 2008. vol. 2, hal. 2237
4. Cormican L, Hammal R, Messenger J, Milburn HJ. Current diffi culties in the diagnosis and management of spinal tuberculosis. Postgrad Med J 2006; 82: 46-51.
5. Sinan T, Al-Khawari H, Ismail M, Bennakhi A, Sheikh M. Spinal tuberculosis: CT and MRI feature. Ann Saudi Med 2004; 24: 437-41.
6. WHO. Global tuberculosis control - epidemiology, strategy, fi nancing. WHO
Report 2005. WHO/HTM/TB/2005.411.
7. Leibert E, Haralambou G. Tuberculosis. In: Rom WN and Garay S, eds. Spinal tuberculosis. Lippincott, Williams and Wilkins; 2004:565-77.
8. Editors : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Jakarta : Interna Publishing, 2009.
9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.Grafi ka. Jakarta. 2006. hal. 5
10. Vitriana. Spondilitis Tuberkulosa. Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
FK-UNPAD/ RSUP dr. Hasan Sadikin , FK-UI/ RSUPN dr. Ciptomangunkusumo.
2002.
11. Leibert E, Haralambou G. Tuberculosis. In: Rom WN and Garay S, eds. Spinal tuberculosis. Lippincott, Williams and Wilkins; 2004:565-77.
12. Ozol D, Koktener A, Uyar ME. Active pulmonary tuberculosis with vertebra and rib involvement: case report. South Med J 2006; 99: 171-3.
13. Agrawal V, Patgaonkar PR, Nagariya SP. Tuberculosis of Spine. Journal of Craniovertebral Junction and Spine 2010, 1: 14.
14. Nataprawira HM, Rahim AH, Dewi MM, Ismail Y. Comparation Between Operative and Conservative Therapy in Spondylitiis Tuberculosis in Hasan Sadikin Hospital Bandung. Maj Kedokt Indon. Vo.60.No.7 (Jul 2010).
15. Young W. Spinal Cord Injury levels and Classifi cation. Page updated: 03/24/2009. Available from: URL:http://wiseyoung.wordpress.com/2008/12/19/spinal-cord-injury-levels-andclassification.
16. Vitriana. Spondilitis Tuberkulosa. Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi FK-UNPAD/ RSUP dr. Hasan Sadikin , FK-UI/ RSUPN dr. Ciptomangunkusumo. 2002.
17. Tuli SM. Tuberculosis of the spine. New Delhi : Amerind, 1975 .p. 564 – 7.18. Salter B. Tuberculous osteomyelitis. In : The Musculoskeletal System. 2nd Ed. New
York : Williams & Wilkins ,1984.p.186 – 9.19. Issack PS, Boachie-Adjei O. Surgical Correction of kyphotic deformity in spinal
tuberculosis. International Orthopedics (SICOT) (2012) 36:353–357. DOI 10.1007/s00264-011-1292-9.
20. Jain AK, Dhammi IK, Jain S, Mishra P. Kyphosis in spinal tuberculosis-Prevention and correction. Indian J Orthop 2010 Apr-Jun; 44(2): 127–136.
43
21. Zuwanda, Janitra R. Diagnosis umum dan penatalaksanaan spondilitis Tb. CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013
22. Moesbar N. Infeksi Tuberkulosa pada Tulang belakang. Suplemen Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39; No. 3 ; September 2006
23. Paramarta IGE, Purniti PS, Subanada IB, Astawa P. Fakultas Kedokteran Udayana Rumah Sakit Sanglah Denpasar.
24. Albar Z. Medical treatment of Spinal Tuberculosis. Cermin Dunia Kedokteran No. 137, 2002 29.Mason RJ, Murray JF, Broaddus VC, Nadel JA. Murray and Nadel’s Textbook of Resporatory Medicine. 4th ed. Pennsylvania: Elsevier Saunders; 2005.
25. Wilson J, MacDonald. Current Orthopedics. Elsevier Science; 2003. hal. 46826. Vitriana. Spondilitis Tuberkulosa. Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
FK-UNPAD/ RSUP dr. Hasan Sadikin , FK-UI/ RSUPN dr. Ciptomangunkusumo. 2002.
27. Polley P, Dunn R. Noncontiguous spinal tuberculosis: incidence and management. Eur Spine J (2009) 18:1096–1101.
28. Infectious and noninfectious infl ammatory disease aff ecting the spine. Dalam: Byrne TN, Benzel EC, Waxman SG. Disease of the Spine and Spinal Cord. Oxford University Press Inc. 2000.c. 9 h.325 – 335.
29. Albar Z. Medical treatment of Spinal Tuberculosis. Cermin Dunia Kedokteran No. 137, 2002 29.
30. Karraeminogullari O, Aydinli U, Ozerdemoglu R, Ozturk C. Tuberculosis of the Lumbar Spine: Outcomes after Combined Treatment of Two-drug Therapy and Surgery. Orthopedics. January 2007. Vol. 30. No.1.
31. Crenshaw AH. Spinal anatomy and surgical approach. In : Campbell’s operative orthopaedics. 8th Ed. Missouri : Mosby Year Book 1992.p.3493 – 514; 3792 – 817.
32. Ramachandran R, Paramasivan CN. What is new in the diagnosis of tuberculosis. Indian Journal of Tuberculosis 2003; 6: 182 – 8.
33. Garfin SR, Vaccaro AR. Spinal Infections. In: Orthopaedic Knowledge. Spine update.American Academy of Orthopaedic Surgeon , 1997.p.261 – 3.
34. Jain AK, Dhammi IK, Jain S, Mishra P. Kyphosis in spinal tuberculosis-Prevention and correction. Indian J Orthop 2010 Apr-Jun; 44(2): 127–136.
35. Njoku CH, Makusidi MA, Ezunu EO. Experiences in Management of Pott’s paraplegia and Paraparesis in Medical Wards of Usmanu Danfodiyo University Teaching Hospital, Sokoto, Nigeria. Annals of African Medicine. Vol. 6, No .1; 2007: 22 – 25
36. Moesbar N. Infeksi tuberkulosis pada tulang belakang. Majalah Kedokteran Nusantara. Sept 2006.Vol.39. No.3
37. El- Fiky AM. Surgical management of tuberculous spondilitis in adults. Review in 20 cases. Pan Arab J Otrh Traum. Vol (2)/ No. (2) – 195 – 201.
38. Alwali ANA. Spinal brace in tuberculosis of the spine. Neurosciences 2003; Vol. 8 (1): 17-22.
39. Buku radiologi40. Jain AK, Sreenivasan R, Saini NS, Kumar S, et al. Magnetic Resonance evaluation
of tubercular lesion in spine. International Orthopedics (SICOT) (2012) 36:261–269.41. Ahn JS, Lee JK. Diagnosis and Treatment of Tuberculous Spondilitis and Pyogenic
Spondilitis in Atypical Cases. Asian Spine Journal.Vol. 1, No. 2, pp 75~79, 2007.42. Papavramidis TS, Papadopoulos VN, Michalopoulos A, Paramythiotis D, Potsi S,
Raptou G. Anterior chest wall tuberculous abscess: a case report. J Med Case Reports. 2007; 1: 152.
44
43. Ahn JS, Lee JK. Diagnosis and Treatment of Tuberculous Spondilitis and Pyogenic Spondilitis in Atypical Cases. Asian Spine Journal.Vol. 1, No. 2, pp 75~79, 2007.
44. Harada Y, T Osamu, Matsunaga N. Magnetic Resonance Imaging Charasteristics of Tuberculous Spondylitis vs. Pyogenic Spondylitis. Clinical Imaging 32 (2008) 303 –309.
45. Jung NY, Jee WH, Ha KY, Park CK, Byun JY. Discrimination of Tuberculous Spondilitis from Pyogenic Spondilitis on MRI. AJR:182, June 2004. h. 1405 – 1410.
46. Kurtaran B, Sarpel T, Tasova Y, Candevir A, et al. Brucellar and tuberculous spondylitis in 87 Adult patients: a Descriptive and Comparative case series. Infectous Diseases in Clinical Practice.May 2008. Vol.16,No.3.
47. Parthasarathy R, et al. A comparison between ambulant treatment and radical surgery - ten-year report. J Bone and Joint Surg 1999; 81B: 464-71.
48. Müller I. Mistakes in the diagnosis and treatment of tuberculous spondylitis. A case study. Scripta Medica (Brno) 2000; 3:157 –60.
45
top related