chapter ii.pdf penjelasan tentang hiv dan pemeriksaannya
Post on 25-Nov-2015
38 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
-
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. HIV
2.1.1. Epidemiologi
Epidemi HIV/AIDS merupakan krisis global dan tantangan yang berat
bagi pembangunan dan kemajuan sosial (ILO, 2005). Pada tahun 2008, diseluruh
dunia, diperkirakan 33 juta orang hidup dengan HIV. Setiap harinya terdapat
7.400 infeksi baru HIV 96% dari jumlah tersebut berada di negara dengan
pendapatan menengah ke bawah. Daerah subsahara di Afrika merupakan daerah
dengan prevalens HIV terbesar, mencakup 67% dari jumlah keseluruhan orang
yang hidup dengan HIV. Daerah Asia Tenggara, termasuk di dalamnya Asia
Selatan, merupakan daerah nomor dua terbanyak kasus HIV dengan jumlah
penderita 3,6 juta orang, 37% dari jumlah tersebut merupakan wanita. Indonesia
merupakan satu dari lima negara dengan jumlah penderita HIV yang besar selain
Thailand, Myanmar, Nepal, dan India (HTA, 2010).
2.1.2. Definisi
Menurut family health internasional, Human Immunodeficiency Virus
(HIV) berarti virus yang dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Virus ini
adalah retrovirus, yang berarti virus yang menggunakan sel tubuhnya sendiri
untuk memproduksi kembali dirinya. Infeksi virus ini menurunkan sistem
kekebalan tubuh yang menimbulkan gejala penyakit infeksi oportunistik atau
kanker tertentu dan bersifat sindroma yang disebut AIDS (Duarsa, 2005).
Pada umumnya AIDS disebabkan HIV-1 dan beberapa kasus di Afrika
tengah disebabkan HIV-2 yang merupakan homolog HIV-1. Keduanya merupakan
virus lenti yang menginfeksi sel CD4+
T yang memiliki reseptor dengan afinitas
Universitas Sumatera Utara
-
6
tinggi untuk HIV, makrofag, dan jenis sel lain (Baratawidjaja and Rengganis,
2009). HIV-1 dan HIV-2 adalah satu-satunya Lentivirus yang menginfeksi
manusia (Fauci and Lane, 2008).
Struktur virus HIV-1 terdiri atas 2 untaian RNA identik yang merupakan
genom virus yang berhubungan dengan p17 dan p24 berupa inti polipeptida.
Semua komponen tersebut diselubungi envelop membran fosfolipid yang berasal
dari sel pejamu. Protein gp120 dan gp41 yang disandi virus ditemukan dalam
envelop. Retrovirus HIV terdiri dari lapisan envelop luar glikoprotein yang
mengelilingi suatu lapisan ganda lipid. Kelompok antigen internal menjadi protein
inti dan penunjang (Baratawidjaja and Rengganis, 2009).
2.1.3. Cara Penularan
HIV dapat menular melalui cairan tubuh seperti darah, semen atau air
mani, cairan vagina, Air Susu Ibu (ASI) dan cairan lain yang mengandung darah
(family health internasional). Penularan HIV dapat terjadi melalui berbagai cara,
yaitu : kontak seksual, kontak dengan darah atau secret yang infeksius, ibu ke
anak selama masa kehamilan, persalinan dan pemberian ASI (Zein, 2006).
Dilihat dari cara penularan, proporsi penularan HIV melalui hubungan
seksual (baik heteroseksual maupun homoseksual) sangat mendominasi yaitu
mencapai 60%. Sedangkan penularan melalui jarum suntik sebesar 30%, dan
sebagian lainnya tertular melalui ibu dan anak (kehamilan), transfusi darah serta
melalui pajanan saat bekerja (HTA, 2010).
Perilaku yang mempunyai resiko tinggi dan sering kali ada hubungannya
dengan infeksi HIV antara lain hubungan seksual, baik heteroseksual maupun
homoseksual (Anastasya, 2010), penetrasi seks yang tidak aman dengan seseorang
yang telah terinfeksi. penularan melalui hubungan heteroseksual adalah yang
paling dominan dari semua cara penularan (Zein, 2006).
Universitas Sumatera Utara
-
7
Infeksi HIV dapat menular melalui Transfusi darah atau produk darah
yang terkontaminasi HIV (Mariam, 2010). Lima sampai sepuluh persen dari
infeksi HIV di dunia ditularkan melalui transfusi dari darah dan produk darah
terkontaminasi HIV (HTA, 2009). Tetapi, Kejadian ini semakin berkurang karena
sekarang sudah dilakukan tes antibodi-HIV pada seorang donor (Siahaan, 2011).
Penularan HIV melalui jarum suntik dan alat tusuk lainnya seperti alat
tindik yang terkontaminasi, biasanya terjadi akibat Penyalahgunaan obat-obat
terlarang dengan menggunakan pemakaian jarum suntik yang terkontaminasi
secara bergantian. Paramedis dapat terinfeksi HIV oleh goresan jarum suntik atau
alat kesehatan lain yang ditusukkan atau tertusuk ke dalam tubuh yang
terkontaminasi dengan virus HIV (Zein, 2006).
Menurut Jawetz (2001) dalam Mariam (2010), Penularan dari ibu ke bayi
bisa terinfeksi di dalam rahim, selama proses persalinan, atau melalui Air Susu
Ibu (ASI). Sekitar 30% dari infeksi terjadi di dalam rahim dan 70% saat kelahiran.
Data menunjukkan bahwa sepertiga sampai separuh infeksi HIV perinatal di
Afrika disebabkan oleh ASI. Penularan selama menyusui biasanya terjadi pada 6
bulan pertama setelah kelahiran.
2.1.4. Gejala Klinis
Gejala klinis infeksi HIV ini tergantung periodenya. Pada fase akut 50-
70% menderitas sindroma akut HIV yang berupa :
Universitas Sumatera Utara
-
8
Tabel 2.1. Gejala Klinis Sindroma Akut HIV (Fauci and Lane, 2008)
General Neurologic Dermatologic
Fever Meningitis Erythematous
maculopapular rash Pharyngitis Encephalitis
Lymphadenopathy Peripheral neuropathy Mucocutaneous
ulceration Headache/Retroorbital
pain
Myelopathy
Arthralgias/myalgias
Lethargy/malaise
Anorexia/weight loss
Nausea/vomiting/diarrhea
Pada fase laten yang biasanya dapat berlangsung hingga kurang lebih 10
tahun, pasien dengan HIV RNA yang tinggi dalam plasma, cenderung lebih cepat
berkembang menjadi fase simptomatik daripada pasien dengan HIV RNA yang
rendah dalam plasma. Pada fase ini, rata-rata CD4+ sel T menurun sekitar 50/L
per tahun, dan ketika CD4+ sel T mencapai atau kurang dari 200/L, maka pasien
akan sangat mudah terinfeksi oleh infeksi oportunistik dan penyakit neoplasma
(Fauci and Lane, 2008).
2.1.5. Diagnosa
Untuk menentukan seseorang mengidap HIV adalah dengan cara
pemeriksaan laboratorium darah. Ada beberapa cara pemeriksaan laboratorium,
antara lain ELISA, dipstick HIV Entebe, radioimunopresipitat, HIV recombinant
neutralization assay, deteksi antigen HIV, Westren Blot, dan lain lain. Tetapi
yang menjadi standart pemeriksaan adalah cara ELISA (enzyme linked
immunoabsorbent) yang dikonfirmasi dengan Western Blot (Zein, 2006).
Universitas Sumatera Utara
-
9
ELISA
Pemeriksaan ELISA (enzyme-linked immunoabsorbent assay) digunakan
untuk mendeteksi antibody anti HIV. Alat ini mempunyai sensitivitas 93%
sampai 98% dan spesifisitas 98% sampai 99% (Anastasya, 2010). Bila secara
ELISA, seseorang dinyatakan positif HIV, maka dilakukan pemeriksaan ulang dan
bila ternyata tetap positif berarti orang tersebut kemungkinan besar mengidap
HIV. Untuk memastikannya, maka harus dilakukan pemeriksaan Western Blot,
dan bila hasilnya positif tegaklah diagnosa HIV (Zein, 2006).
Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tes terhadap antibodi HIV
ini yaitu adanya masa jendela (window period). Masa jendela adalah waktu sejak
tubuh terinfeksi HIV sampai mulai timbulnya antibodi yang dapat dideteksi
dengan pemeriksaan. Antibodi mulai terbentuk pada 4 8 minggu setelah infeksi.
Jadi pada periode ini hasil tes HIV pada seseorang yang sebenarnya telah
terinfeksi HIV dapat memberikan hasil yang negatif. Untuk itu jika kecurigaan
akan adanya risiko terinfeksi cukup tinggi, perlu dilakukan pemeriksaan ulangan
tiga bulan kemudian (HTA, 2010).
WESTERN BLOT
Western Blot digunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA sebagai
hasil yang benar benar positif (Mariam, 2010). tetapi yang menjadi masalah,
cara pemeriksaan Western Blot jarang ada di Indonesia (Zein, 2006).
2.1.6. Penatalaksanaan
Belum ada vaksin untuk mencegah HIV/AIDS, dan pengobatannya juga
belum ada. Pencegahan sangat tergantung pada kampanye kesadaran masyarakat
dan perubahan perilaku individu dalam lingkungan yang mendukung, yang
memerlukan waktu dan kesabaran (ILO, 2005). Dari segi pengobatan, Tidak ada
Universitas Sumatera Utara
-
10
obat yang dapat sepenuhnya menyembuhkan HIV/AIDS. Perkembangan penyakit
dapat diperlambat namun tidak dapat dihentikan sepenuhnya. Kombinasi yang
tepat antara berbagai obat-obatan Antiretroviral (ARV) dapat memperlambat
kerusakan yang diakibatkan oleh HIV pada sistem kekebalan tubuh dan menunda
awal terjadinya AIDS (KPA, 2011).
Pengobatan HIV adalah dengan pemberian obat antiretroviral. Terapi
dengan kombinasi obat obatan antiretroviral, disebut sebagai highly active
antiretroviral therapy (HAART) yang tersedia sejak tahun 1996 dapat menekan
replikasi virus sampai dibawah batas deteksi dalam plasma, penurunan viral loads
dalam kelenjar getah bening, yang memberikan kesempatan untuk memulihkan
respon imun terhadap patogen oportunistik, dan memperpanjang umur pasien.
Tetapi HAART gagal menyembuhkan infeksi HIV-1. Virus tipe ini bertahan
dalam sel yang bersifat laten dan hidupnya panjang, termasuk sel T memori
CD4+. Ketika HAART dihentikan atau gagal terapi, maka produksi virus akan
kembali meningkat. Kombinasi tiga obat juga efektif pada bayi atau anak yang
terinfeksi HIV. Tetapi terapi satu obat tidak disarankan, karena dapat terjadi
resisten (Brooks, Butel, and Morse, 2004).
Depkes (2006) dalam Mariam (2010), Antiretroviral (ARV) adalah obat
yang menghambat replikasi HIV. Penggunaan obat ARV dengan kombinasi yang
baik dan benar, serta mengkonsumsinya juga dengan benar dan dipantau secara
berkala terhadap efek samping adherence (keteraturan makan obat), maka
diharapkan terjadi penekanan replikasi virus HIV dalam darah, sehingga
kekebalan tubuh akan kembali meningkat ketahap normal, dan infeksi
oportunistik dapat dicegah atau disembuhkan (Zein,2006).
Sampai sekarang, telah dilakukan banyak penelitian untuk mencari terapi
yang definitif untuk mengobati HIV. Ada empat kategori obat yang tersedia saat
ini yaitu : obat yang menginhibisi enzim reverse transcriptase virus, obat yang
menginhibisi enzim protease virus, obat yang menginhibisi enzim integrase
Universitas Sumatera Utara
-
11
virus, dan obat yang mengganggu pemasukan virus.Obat yang menginhibisi
enzim reverse transcriptase virus yaitu
Nucleoside analogues
Zidovudine, didanosine, zalcitabine, stavudine, lamivudine, abacavir, dan
emtricitabine.
Nucleotide analogues
Tenofavir.
Obat lainnya adalah nevirapine, delavirdine, dan efavirenz.
Obat diatas adalah obat lini pertama untuk infeksi HIV, tetapi harus diingat bahwa
terapi dengan kombinasi, jangan dengan monoterapi karena resiko resisten obat
sangat tinggi (Fauci and Lane, 2008). Pengembangan vaksin untuk mencegah
penyebaran AIDS merupakan penelitian yang diprioritaskan para ahli imunologi.
Dewasa ini vaksinasi terhadap AIDS masih belum dapat dikembangkan
(Baratawidjaja and Rengganis, 2009).
Indikasi memulai terapi Antiretroviral (ART)
Menurut pedoman nasional (2007) Keputusan untuk memulai ART pada
ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) dewasa dan remaja didasarkan pada
pemeriksaan klinis dan imunologis. Namun pada keadaan tertentu maka penelitian
klinis saja dapat memandu keputusan memulai ART. Infeksi oportunistik dan
penyakit lainnya yang perlu pengobatan diredakan sebelum pemberian ART.
Saat yang paling tepat untuk memulai ART adalah sebelum pasien jatuh
sakit atau munculnya IO yang pertama. Perkembangan penyakit akan lebih cepat
apabila ART dimulai pada saat CD4 < 200/mm3 dibandingkan bila terapi dimulai
pada CD4 di atas jumlah tersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4 maka ART
sebaiknya dimulai sebelum CD4 kurang dari 200/mm3. Waktu yang paling
optimum untuk memulai ART pada tingkat CD4 antara 200 350/mm3 masih
belum diketahui, dan pasien dengan jumlah CD4 tersebut perlu pemantauan
Universitas Sumatera Utara
-
12
teratur secara klinis maupun imunologis. Terapi Antiretroviral dianjurkan pada
pasien dengan TB paru atau infeksi bakterial berat dan CD4 < 350/mm3. Juga
pada ibu hamil stadium klinis manapun dengan CD4 < 350 / mm3. ( pedoman
nasional, 2007)
2.1.7. VCT
VCT (Voluntary Conselling and testing) adalah proses konseling pra
testing, konseling post testing, dan testing HIV secara sukarela yang bersifat
confidential dan secara lebih dini membantu orang mengetahui status HIV
yang penting untuk pencegahan dan perawatannya (Anastasya, 2010). Menurut
haruddin dkk (2007) VCT juga merupakan salah satu model untuk memberikan
informasi secara menyeluruh dan dukungan untuk merubah perilaku berisiko serta
mencegah penularan HIV/AIDS. Kegiatan konseling yang menyediakan
dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan
HIV, mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggungjawab, pengobatan
ARV dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS
(depkes, 2006).
Tujuan VCT (depkes RI, 2009)
a) Mendorong orang sehat, tanpa keluhan / asimtomatik untuk mengetahui
tentang HIV, sehingga mereka dapat mengurangi kemungkinan tertular HIV
b) Merupakan sebuah strategi kesehatan masyarakat yang efektif, karena mereka
dapat mengetahui status HIV mereka, sehingga tidak melalukan hal-hal yang
dapat ikut menyebarkan virus HIV bila mereka masih berisiko sebagai
penyebar HIV
Universitas Sumatera Utara
-
13
c) Mendorong seseorang yang sudah ODHA ( Orang Dengan HIV/AIDS) untuk
mengubah pendirian yang sangat merugikan seperti: ODHA merupakan
penyakit keturunan atau penyakit kutukan, atau HIV/AIDS merupakan vonis
kematian
d) Memberi informasi tentang HIV/AIDS, tes, pencegahan dan pengobatan
ODHA
e) Mengenali perilaku atau kegiatan yang menjadi sarana yang memudahkan
penularan HIV
f) Memberikan dukungan moril untuk mengubah prilaku ke arah yang lebih
sehat dan aman dari infeksi HIV
Tujuan dari VCT ini merupakan suatu langkah awal yang penting menuju
program pelayanan HIV/AIDS lainnya yaitu pencegahan penularan HIV dari ibu
ke anak, pencegahan dan manajemen klinis penyakit penyakit yang
berhubungan dengan HIV, pengendalian penyakit TBC (tuberculosis) serta
dukungan psikologis dan hukum (Anastasya, 2010).
Prinsip pelayanan VCT (depkes RI, 2009)
Adapun prinsip pelayanan dalam VCT antara lain :
a) Persetujuan klien ( informed concern)
Konseling dan tes HIV hanya dilakukan atas dasar sukarela dan bersifat
pribadi. Pemeriksaan HIV hanya dilaksanakan atas dasar kerelaan klien,
tanpa paksaan, dan tanpa tekanan.
b) Kerahasiaan
Semua informasi yang tertulis tentang hasil konseling dan tes HIV klien akan
dijaga kerahasiannya, semua keputusan ada pada klien.
Universitas Sumatera Utara
-
14
c) Tidak diskriminasi
klien tidak akan mendapat perlakuan yang diskriminasi dalam yayasan
konseling dan tes HIV, karena petugas yang ditunjuk telah melalui
serangkaian pelatihan dan sangat terbatas.
d) Jaminan mutu
Mutu pelayanan tidak perlu diragukan, karena tes HIV yang dilakukan sesuai
dengan pedoman yang diberikan WHO dan Departemen Kesehatan RI.
Tahapan VCT
1) Konseling pra test
konseling pra tes HIV membantu klien menyiapkan diri untuk melakukan
pemeriksaan darah atau tes HIV. Dalam konseling ini petugas konseling /
konselor akan membantu untuk memahami :
Proses konseling dan tes HIV sukarela
Manfaat tes HIV
Pengetahuan tentang HIV/AIDS
Meluruskan pemahaman yang salah tentang AIDS dan mitosnya
Faktor resiko penularan HIV
Menyiapkan anda untuk pemeriksaan darah
Makna hasil tes HIV positif atau negative
Mengembangkan rencana perubahan perilaku, dan dampak pribadi,
keluarga, sosial terhadap hasil HIV/AIDS serta dukungan moral yang
diberikan (depkes RI, 2009).
Universitas Sumatera Utara
-
15
2) Tes HIV ( pemeriksaan dan pengambilan darah )
Prinsip tes HIV adalah sukarela dan terjaga kerahasiannya. Tes dimaksud
untuk menegakkan diagnosis. Ada serangkaian tes yang berbeda beda karena
perbedaan prinsip metode yang digunakan. Tes yang digunakan adalah tes
serologi untuk mendeteksi antibody HIV dalam serum atau plasma (Anastasya,
2010).
Setelah menandatangani lembar persetujuan dan tetap mengambil
keputusan tes, maka contoh darah akan diambil untuk keperluan tes HIV di
laboratorium.
3) Konseling pasca tes HIV
Konseling pasca testing membantu klien memahami dan
menyesuaikan diri dengan hasil tes. Konselor mempersiapkan klien untuk
menerima hasil tes, memberikan hasil tes, dan menyediakan informasi
selanjutnya. Konselor mengajak klien mendiskusikan strategi untuk
menurunkan penularan HIV (Anastasya, 2010).
2.2. HIV pada Kehamilan
2.2.1. Definisi Kehamilan
Kehamilan didefinisikan sebagai fertilisasi atau penyatuan dari
spermatozoa dan ovum dan dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi. Bila
dihitung dari saat fertilisasi hingga lahirnya bayi, kehamilan normal akan
berlangsung dalam waktu 40 minggu atau 9 bulan menurut kalender internasional
(Sarwono, 2009).
Kehamilan adalah suatu keadaan dimana janin dikandung di dalam tubuh
wanita, yang sebelumnya diawali dengan proses pembuahan dan kemudian akan
Universitas Sumatera Utara
-
16
diakhiri dengan proses persalinan. Kehamilan merupakan suatu keadaan
fisiologis, akan tetapi pentingnya diagnosis kehamilan tidak dapat diabaikan
(Cunningham, 2005)
2.2.2. Cara Penularan HIV pada kehamilan
Banyak penelitian membuktikan bahwa penularan HIV terjadi pada masa
intrauterine dan masa intrapartum (Setiawan, 2009). Distribusi penularan dari ibu
ke bayi diperkirakan sebagian terjadi beberapa hari sebelum persalinan, dan pada
saat plasenta mulai terpisah dari dinding uterus pada waktu melahirkan. Penularan
diperkirakan terjadi karena bayi terpapar oleh darah dan sekresi saluran genital
ibu. Namun, kebanyakan penularan terjadi saat persalinan (waktu bayinya lahir).
Selain itu, bayi yang disusui oleh ibu terinfeksi HIV dapat juga tertular HIV
(Green, 2009).
Suatu penelitian memberikan proporsi kemungkinan penularan HIV dari
ibu ke anaknya saat dalam kandungan sebesar 23 30%, ketika proses persalinan
50 65% dan saat menyusui 12 20%. Di negara industri, transmisi HIV dari ibu
ke fetus sebesar 15 25% sementara di negara berkembang sebesar 25 35%.
Tingginya angka transmisi ini berkaitan dengan tingginya kadar virus dalam
plasma ibu. Hasil suatu penelitian di Amerika Serikat menunjukkan dengan kadar
virus dalam plasma sebesar 100.000 kopi/mL. Namun belum pernah ditentukan nilai ambang
terendah dimana tidak terjadi infeksi (HTA, 2010)
Universitas Sumatera Utara
-
17
2.2.3. Penatalaksanaan
Untuk mengurangi resiko penularan dari ibu ke bayi maka penanganan
pencegahan infeksi bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV sebaiknya dimulai
sejak saat bayi di dalam kandungan.
Ibu yang sudah diketahui terinfeksi HIV sebelum hamil, perlu dilakukan
pemeriksaan untuk mengetahui jumlah virus di dalam plasma, jumlah sel T CD4+,
dan genotype virus. Juga perlu diketahui, apakah ibu tersebut sudah mendapat anti
retrovirus ( ARV ) atau belum. Data tersebut kemudian dapat digunakan sebagai
bahan informasi kepada ibu tentang resiko penularan terhadap pasangan seks,
bayi, serta cara pencegahannya (Setiawan, 2009).
Pengobatan dan profilaksis Antiretrovirus pada ibu terinfeksi HIV
Untuk mencegah penularan vertikal dari ibu ke bayi, maka ibu hamil
terinfeksi HIV harus mendapat pengobatan atau profilaksis antiretrovirus (ARV).
Tujuan pemberian ARV pada ibu hamil, disamping untuk mengobati ibu, juga
untuk mengurangi risiko penularan perinatal kepada janin atau neonatus(Setiawan,
2009).
Pemberian antiretrovirus untuk ibu hamil terinfeksi HIV sama dengan ibu
yang tidak hamil (Green,2009). Yang harus diketahui dari ibu hamil terinfeksi
HIV adalah status penyakit HIV (beratnya penyakit AIDS ditentukan berdasarkan
hitung sel T CD4+, perkembangan infeksi ditentukan berdasarkan jumlah muatan
virus, antigen p24 atau RNA/DNA HIV di dalam plasma), riwayat pengobatan
antiretrovirus saat ini dan sebelumnya, usia kehamilan, dan perawatan penunjang
yang diperlukan seperti perawatan psikiater, nutrisi, aktivitas aseksual harus
memakai kondom, dan lain lain (Setiawan, 2009).
Dosis antiretrovirus yang harus diberikan dapat dilihat pada tabel 2.2
Untuk ibu yang tidak mendapat pengobatan ARV dan yang mempunyai jumlah
muatan virus sangat rendah < 1000 salinan/mL, beberapa ahli hanya memberikan
Universitas Sumatera Utara
-
18
ZDV sebagai profilaksis dan pemberian ini distop sesudah melahirkan sementara
pemberian pada neonates diteruskan.
Tabel 2.2 Protocol Pemberian Zidovudine (ZDV) Pada Ibu Hamil Dan
Neonatus Untuk Mencegah Penularan Vertical.
Jenis obat Dosis Saat pemberian Cara pemberian
Untuk ibu
Zidovudine
(retrovir)
10 mg 5
kali/hari
2 mg/kg
1 mg/kg/jam
Masa gestasi 14
minggu sampai
menjelang melahirkan
Dilanjutkan pada saat
melahirkan selama 1
jam.
Dilanjutkan sampai
lahir
Per oral
Intravena
Intravena
Universitas Sumatera Utara
-
19
Jenis obat Dosis Saat pemberian Cara pemberian
Untuk neonatus
Zidovudine
(retrovir) masa
gestasi > 35
minggu
Zidovudine
(retrovir) masa
gestasi 30 35
minggu
Zidovudine
(retrovir) masa
gestasi < 30
minggu
2 mg/kg/dosis, 4
kali/hari
2 mg/kg/dosis, 2
kali/hari (2minggu
pertama)
selanjutnya 2
mg/kg/dosis, 3
kali/hari
2 mg/kg/dosis, 2
kali/hari (4
minggu pertama)
selanjutnya 2
mg/kg/dosis, 3
kali/hari
Dimulai pada usia
8 jam sampai 6
minggu
Dimulai pada usia
8 jam sampai 6
minggu
Dimulai pada usia
8 jam sampai 6
minggu
Per oral
Per oral
Per oral
Universitas Sumatera Utara
top related