citra jurnalis indonesia. oleh: yenni yuniati. unisba
Post on 16-Jan-2017
245 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Yenni Yuniati
Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal │ 979 979
CITRA JURNALIS INDONESIA
YENNI YUNIATI PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dulu media massa merupakan sebuah dunia yang didominasi
oleh laki-laki. Tidak mengherankan kalau banyak media yang
menjadikan perempuan sebagai objek atau sekedar komoditi bagi
pembaca laki-laki. Bahkan perempuan dicitrakan hanya sebagai
pelengkap pemberitaan. Baru sekitar kurun waktu 50 tahunan ini
perempuan dapat menikmati profesinya sebagai pekerja media
(Jurnal Perempuan, edisi 28: 4). Fenomena meningkatnya jumlah
perempuan di media massa, baik sebagai jurnalis maupun jajaran
redaksi, adalah sesuatu yang mengagumkan dan pantas diberi
dukungan. Selain itu, perempuan pada zaman sekarang banyak yang
berpendidikan tinggi, juga adanya pergeseran nilai di masyarakat
bahwa profesi jurnalis pantas dilakukan perempuan, apalagi dengan
adanya kemajuan teknologi komunikasi yang sangat membantu
perempuan dalam mengerjakan tugas jurnalistiknya.
Hingga saat ini, secara kuantitas, jumlah jurnalis perempuan
di Indonesia masih sangat minim, hingga tahun 2009, jurnalis
perempuan yang menjadi anggota AJI sekitar 234 orang. Padahal,
jumlah jurnalis laki-lakinya sekitar 1339 orang yang tersebar di 26
kota (jumlah jurnalis perempuan hanya sekitar 12%). (Jurnal
Perempuan, edisi 67: 32). Berdasarkan data PWI Jawa Barat, jumlah
perempuan yang bekerja di industri media massa sekitar 53 orang
atau sekitar 15% dari jumlah keseluruhan pekerja media massa.
Perempuan di dunia jurnalistik Indonesia bukanlah hal baru,
misalnyaRohana Kudus sudah malang melintang di zaman
kebangkitan kebangsaan. Masa-masa heroik sekitar 1945 juga di isi
oleh wanita-wanita yang ’subversi’ terhadap ’kodrat’, seperti Gadis
Rasyid, Toety Azis, Herawati Diah, Ani Idrus, dan sebagainya. Masa
pembangunan dihidupi oleh Threes Nio, Toeti Kakiailatu, dan
lainnya. Adapula Yuyu A.N. Krisna, yang memperoleh penghargaan
Yenni Yuniati
980 │ Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal
tertinggi Adinegoro untuk liputannya yang terkenal, ”Remang-
remang Jakarta”.
Pekerjaan di dunia media massa dianggap memiliki resiko
yang cukup tinggi sehingga pekerjaan ini tidak disarankan oleh atau
untuk perempuan. Namun seiring dengan adanya pemahaman
perempuan, pekerjaan ini mulai dilirik. Perlahan namun pasti,
perempuan mulai tertarik untuk terjun di dunia media massa, mulai
dari presenter, camera person, hingga jurnalis.
Auerbach (1996:2) mengungkapkan bahwa dalam dunia
psikologi, kata ’kerja’ berkait dengan perilaku manusia yang
umumnya memiliki tujuan membutuhkan motivasi dan keahlian,
membutuhkan kedisiplinan, kemauan dan waktu yang
berkesinambungan, terstruktur dengan tugas dan waktu, memiliki
dimensi sosial dan kerja sama tim, mencakup beberapa kombinasi
kemampuan fisik dan psikis serta dibayar oleh orang lain (Sastriyani,
2008:644-645). Bekerja adalah sarana untuk membangun
kepribadian dan sisi kemanusiaan seseorang. Selain itu, kerja
merupakan cara alami bagi manusia untuk bisa memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Perempuan yang bekerja di ranah publik merupakan cita-cita
Kartini. Kartini yang mampu wewujudkan mimpi-mimpi kaum
perempuan dan bisa menunjukkan eksistensi diri dalam berbagai
sektor yang selama ini dipegang oleh kaum laki-laki. Salah satu
bidang yang saat ini berkembang pesat adalah industri media massa
yang memberikan peluang besar termasuk untuk para perempuan
sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya. Akan tetapi, dalam
konstruksi sosial yang ada pekerjaan di media massa atau jurnalis
sering dikaitkan dengan dunia laki-laki yang tidak sesuai untuk
perempuan.
Setiap hari pekerjaannya berputar dalam pencarian,
pengolahan, penulisan berita atau opini untuk dimuat di media
massa. Profesi yang ternyata diidamkan perempuan dewasa ini
adalah menjadi Jurnalis.Bahkan di kalangan masyarakatpun profesi
yang banyak ditekuni perempuan ini memberikan citra positif,
Yenni Yuniati
Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal │ 981 981
karena perempuan yang terjun di dunia jurnalistik dianggap cerdas,
mandiri dan pintar.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka rumusan
masalahnya adalah “Bagaimanakah Citra Yang Dibangun Oleh
Jurnalis Perempuan Dalam Menjalankan Profesi Jurnalisnya ?”.
II. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Citra
Kenneth Boulding mengartikan citra sebagai “The image is
built up as a result of all past experience of the possessor of the image
(Boulding, 1956:6) (citra dibentuk sebagai hasil pengalaman masa
lalu). Flanagan (1967) mengartikan citra adalah gambaran mental
dari suatu produk, seseorang, perubahan yang ada dalam pikiran
manusia (Flanagan, 1967:65). Robert (1977) mengartikan citra
sebagai keseluruhan informasi tentang dunia ini yang telah di olah, di
organisasikan dan disimpan individu (Rakhmat, 1989: 223). Jadi
gambaran atau kesan individu akhirnya disimpan dan
diorganisasikan sendiri. Aacker mengatakan bahwa citra sebagai
“The total impression of what a person or group of people think and
know about an object (Aacker dalam Kasali, 1995: 158).
Dalam pernyataan di atas Aacker menyatakan bahwa citra
adalah keseluruhan kesan seseorang atau kelompok dari pikiran dan
pengetahuan masyarakat tentang suatu objek.
Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa citra
adalah kesan atau gambaran seseorang atau kelompok terhadap
suatu objek yang dihasilkan dari pengalaman masa lalu yang telah
diorganisasikan dan disimpan.Citra akan melekat pada seseorang
apabila gambaran orang tersebut secara terus menerus ditampilkan,
karena citra terbentuk dari opini yang berakar pada sikap dan
pandangan publik (Kasali, 1995: 193).
Salah satu tempat untuk menginformasikan citra perempuan
yang berprofesi sebagai jurnalis adalah media massa. Media massa
sebagai penyampai informasi dapat membentuk citra atau juga
mempertahankan citra. Menurut McLuhan media massa adalah
Yenni Yuniati
982 │ Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal
perpanjangan alat indra kita. Media massa memperoleh informasi
tentang benda, orang atau tempat yang tidak kita alami secara
langsung (Rakhmat, 1989: 224).
2.2 Citra Perempuan Yang Berprofesi Sebagai Jurnalis
Motif seringkali diartikan dengan istilah dorongan. Dorongan
atau tenaga tersebut merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk
berbuat. Jadi motif tersebut merupakan suatu driving force yang
menggerakkan manusia untuk bertingkah- laku, dan di dalam
perbuatanya itu mempunyai tujuan tertentu.Setiap tindakan yang
dilakukan oleh manusia selalu di mulai dengan motivasi (niat).
Keadaan sehari-hari menunjukkan bahwa kadang-kadang
orang menghadapi beberapa macam motif yang saling bertentangan
satu dengan yang lain. Misalnya pada suatu waktu seseorang
mempunyai motif untuk belajar, tetapi juga mempunyai motif untuk
menonton film. Dengan keadaan demikian maka akan terjadi
pertentangan atau konflik dalam diri orang tersebut antara motif
yang satu dengan motif yang lain. Jadi, konflik motif akan terjadi bila
adanya beberapa tujuan yang ingin dicapai sekaligus secara
bersamaan.
Motif adalah daya penggerak dalam diri seseorang untuk
melakukan kegiatan tertentu demi mencapai suatu tujuan tertentu.
Menurut Azwar (dalam Khodijah, 2006), disebutkan bahwa Motif
adalah suatu keadaan, kebutuhan, atau dorongan dalam diri
seseorang yang disadari atau tidak disadari yang membawa kepada
terjadinya suatu perilaku. Dari uraian tersebut, bahwasannya motif
merupakan suatu dorongan dan kekuatan yang berasal dari dalam
diri seseorang baik yang disadari maupun tidak disadari untuk
mencapai tujuan tertentu.
Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan atau energi
seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan
antusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang
bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik)
maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik).
Yenni Yuniati
Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal │ 983 983
Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak
menentukan terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik
dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam kehidupan lainnya..
Kajian tentang motivasi telah sejak lama memiliki daya tarik
tersendiri bagi kalangan pendidik, manajer, dan peneliti, terutama
dikaitkan dengan kepentingan upaya pencapaian kinerja (prestasi)
seseorang. Dalam konteks studi psikologi, Abin Syamsuddin Makmun
(2003) mengemukakan bahwa untuk memahami motivasi individu
dapat dilihat dari beberapa indikator, diantaranya: (1) durasi
kegiatan; (2) frekuensi kegiatan; (3) persistensi pada kegiatan; (4)
ketabahan, keuletan dan kemampuan dalam mengahadapi rintangan
dan kesulitan; (5) devosi dan pengorbanan untuk mencapai tujuan;
(6) tingkat aspirasi yang hendak dicapai dengan kegiatan yang
dilakukan; (7) tingkat kualifikasi prestasi atau produk (out put) yang
dicapai dari kegiatan yang dilakukan; (8) arah sikap terhadap
sasaran kegiatan.
Motivasi merupakan satu penggerak dari dalam hati seseorang untuk
melakukan atau mencapai sesuatu tujuan. Motivasi juga bisa
dikatakan sebagai rencana atau keinginan untuk menuju kesuksesan
dan menghindari kegagalan hidup. Dengan kata lain motivasi adalah
sebuah proses untuk tercapainya suatu tujuan. Seseorang yang
mempunyai motivasi berarti ia telah mempunyai kekuatan untuk
memperoleh kesuksesan dalam kehidupan.
Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham Maslow
(1943-1970)pada intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia
mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan, yaitu : (1)
kebutuhan fisiologikal (physiological needs), seperti : rasa lapar, haus,
istirahat dan sex; (2) kebutuhan rasa aman (safety needs), tidak
dalam arti fisik semata, akan tetapi juga mental, psikologikal dan
intelektual; (3) kebutuhan akan kasih sayang (love needs); (4)
kebutuhan akan harga diri (esteem needs), yang pada umumnya
tercermin dalam berbagai simbol-simbol status; dan (5) aktualisasi
diri (self actualization), dalam arti tersedianya kesempatan bagi
seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam
dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata. Kebutuhan-
kebutuhan yang disebut pertama (fisiologis) dan kedua (keamanan)
Yenni Yuniati
984 │ Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal
kadang-kadang diklasifikasikan dengan cara lain, misalnya dengan
menggolongkannya sebagai kebutuhan primer, sedangkan yang
lainnya dikenal pula dengan klasifikasi kebutuhan sekunder.
Terlepas dari cara membuat klasifikasi kebutuhan manusia itu, yang
jelas adalah bahwa sifat, jenis dan intensitas kebutuhan manusia
berbeda satu orang dengan yang lainnya karena manusia merupakan
individu yang unik. Juga jelas bahwa kebutuhan manusia itu tidak
hanya bersifat materi, akan tetapi bersifat pskologikal, mental,
intelektual dan bahkan juga spiritual. Menarik pula untuk dicatat
bahwa dengan makin banyaknya organisasi yang tumbuh dan
berkembang di masyarakat dan makin mendalamnya pemahaman
tentang unsur manusia dalam kehidupan organisasional, teori
“klasik” Maslow semakin dipergunakan, bahkan dikatakan
mengalami “koreksi”. Penyempurnaan atau “koreksi” tersebut
terutama diarahkan pada konsep “hierarki kebutuhan“ yang
dikemukakan oleh Maslow. Istilah “hierarki” dapat diartikan sebagai
tingkatan. Atau secara analogi berarti anak tangga. Logikanya ialah
bahwa menaiki suatu tangga berarti dimulai dengan anak tangga
yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Jika konsep tersebut
diaplikasikan pada pemuasan kebutuhan manusia, berarti seseorang
tidak akan berusaha memuaskan kebutuhan tingkat kedua, dalam hal
ini keamanan sebelum kebutuhan tingkat pertama yaitu sandang,
pangan, dan papan terpenuhi; yang ketiga tidak akan diusahakan
pemuasan sebelum seseorang merasa aman, demikian pula
seterusnya.
Berangkat dari kenyataan bahwa pemahaman tentang
berbagai kebutuhan manusia makin mendalam penyempurnaan dan
“koreksi” dirasakan bukan hanya tepat, akan tetapi juga memang
diperlukan karena pengalaman menunjukkan bahwa usaha
pemuasan berbagai kebutuhan manusia berlangsung secara
simultan. Artinya, sambil memuaskan kebutuhan fisik, seseorang
pada waktu yang bersamaan ingin menikmati rasa aman, merasa
dihargai, memerlukan teman serta ingin berkembang. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa lebih tepat apabila berbagai
kebutuhan manusia digolongkan sebagai rangkaian dan bukan
sebagai hierarki. Dalam hubungan ini, perlu ditekankan bahwa :
Yenni Yuniati
Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal │ 985 985
Kebutuhan yang satu saat sudah terpenuhi sangat mungkin
akan timbul lagi di waktu yang akan datang. Pemuasaan berbagai
kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan fisik, bisa bergeser dari
pendekatan kuantitatif menjadi pendekatan kualitatif dalam
pemuasannya. Berbagai kebutuhan tersebut tidak akan mencapai
“titik jenuh” dalam arti tibanya suatu kondisi dalam mana seseorang
tidak lagi dapat berbuat sesuatu dalam pemenuhan kebutuhan itu.
Kendati pemikiran Maslow tentang teori kebutuhan ini
tampak lebih bersifat teoritis, namun telah memberikan fundasi dan
mengilhami bagi pengembangan teori-teori motivasi yang
berorientasi pada kebutuhan berikutnya yang lebih bersifat aplikatif.
Dorongan apa yang dimiliki oleh mereka sebelum menjadi
jurnalis. Penelitian ini melihat pengalaman manusia terdiri dari
intrepretasi bermakna terhadap kenyataan. Diperoleh informasi
bahwa, banyak diantara key informant memilih lebih dari satu bidang
yang mereka sukai. Namun, mereka mempunyai tugas peliputan yang
sudah ditugaskan kepada mereka, antara lain meliput di lembaga
pemerintahan seperti di balai kota, gedung sate, perguruan tinggi,
kepolisian, dan lain-lain.
Jurnalis atau wartawan adalah kata yang sering diibaratkan
dengan akronim seseorang yang melaporkan peristiwa sehari-hari
melalui media massa. Subjek penelitian ini adalah jurnalis
perempuan di Kota Bandung. Jurnalis atau wartawan adalah
karyawan dalam perusahaan pers yang melakukan pekerjaan
kewartawanan secara kontinyu. Pekerjaan kewartawanan adalah
pekerjaan atau kegiatan usaha yang berhubungan dengan
pengumpulan, pengolahan dan penyiaran dalam bantuk fakta,
pendapat, ulasan-ulasan, gambar untuk perusahaan penerbitan pers.
Penelitian ini mengambil perempuan yang berprofesi sebagai
jurnalis di kota Bandung sebagai subjek penelitian. Di sini,
perempuan dilihat sebagai individu yang mempunyai keunikan
karena rutinitas kerja media umumnya menuntut harus siap
ditugaskan kapan saja, bekerja selama 24 jam penuh, apalagi jika
mendekati deadline. Jurnalis harus siap memenuhi deadline
meskipun harus bekerja sampai larut malam. Karena itulah peneliti
Yenni Yuniati
986 │ Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal
ingin mengetahui motif key informant memilih profesi jurnalis,
bahkan saudara Arba’iah yang biasa dipanggil Aan bercita-cita
menjadi jurnalis, ia mengatakan :
“... Nah, sejak kelas 1 SMA lah, saya udah punya keinginan
untuk menjadi pencari berita tersebut. Saya berkeinginan
untuk menjadi wartawan yang menulis berita-berita di Koran
itu”, karena profesi jurnalis saya anggap mempunyai citra
yang baik.1
Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa motivasi
key informant memilih profesi jurnalis, merupakan sejumlah proses-
proses psikologikal, yang menyebabkan timbulnya, dan terjadinya
persistensi kegiatan- kegiatan sukarela (volunter) yang diarahkan ke
tujuan tertentu, yakni keinginan menjadi jurnalis baik yang bersifat
internal, atau eksternal, yang menyebabkan timbulnya sikap.Apalagi
didorong dengan citra yang dibentuk oleh para jurnalis yang
dianggap sebagai orang yang supel dan mempunyai tingkat
pengetahuan yang luas.
Berikutnya, perkenalan awal penulis dengan Ine terjalin
sewaktu kuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran.
Sejak awal rencana penelitian mengenai jurnalis perempuan, beliau
sangat terbuka dan bersedia membantu memberikan data.
Pertemuan dengan saudara Ine berlangsung beberapa kali baik
secara langsung maupun melalui pesan-pesan singkat (SMS), adapun
wawancara mendalam yang fokus dan content data penelitian
dilakukan pada Jumat, 20 Januari 2012 dan 2 Maret 2012 pukul
12.45 hingga sekitar pukul 15.15 bertempat di ruang dosen Fakultas
Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung, di sela-sela beliau
menunggu jam perkuliahan, karena beliau tercatat sebagai dosen
luar biasa (praktisi) di lingkungan Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Islam Bandung.
“Keren! Itulah persepsi saya pertama kali mendengar profesi
jurnalis saat itu. Padahal orang tua saya menginginkan saya
bekerja sebagai PNS di Pemda atau pemerintahan lainnya.
1Hasil wawancara dengan Arba’iah, pada Jumat, 17 Februari 2012
Yenni Yuniati
Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal │ 987 987
Tetapi karena mengejar image “KEREN” tersebut, saya
melamar menjadi jurnalis di TVRI Jakarta saat itu. Jadi
Jurnalis itu kan keren!”.2
Setiap orang mempunyai motif atau latar belakang yang
berbeda terhadap pilihan hidupnya, termasuk memilih profesi
jurnalis. Citra keren, karena profesi jurnalis menurut key informant,
bisa bertemu dengan tokoh-tokoh politik, artis bahkan dengan
presiden sekalipun. Selain itu profesi Jurnalis merupakan profesi
yang memiliki nilai penting dan strategis dalam pembangunan
sebuah bangsa. Kualitas sebuah bangsa dapat tercermin dari
bagaimana jurnalis menjalankan profesinya. Tuntutan untuk
meningkatkan profesional seorang jurnalis menjadi harga pasti,
karena jika tidak demikian akan menimbulkan konsekuensi-
konsekuensi tertentu.
Sedangkan perkenalan dengan Arie, jurnalis harian umum
Republika Bandung ini, diperkenalkan oleh Aan, dari hasil obrolan
singkat peneliti menyampaikan beberapa kriteria jurnalis
perempuan yang diperlukan untuk menjadi key informant. Awalnya
peneliti meminta nomor telepon genggamnya (hp) informan, peneliti
meminta kepada Aan supaya dijelaskan terlebih dahulu kalau nanti
akan dihubungi oleh peneliti untuk keperluan penelitian, supaya key
informant tidak kaget sewaktu peneliti menghubungi. Akhirnya
saudara Arie lah yang direferensikan oleh Aan. Setelah beberapa kali
peneliti menghubungi informan baik melalui sms maupun telepon,
disepakati kami bertemu sore hari, dikarenakan pada hari itu
informan masih meliput berita di PT Dirgantara Indonesia Bandung.
Kami bertemu di ruang Humas Universitas Islam Bandung di jalan
Tamansari No. 20 Bandung, pukul 16.00 diselang sholat magrib dan
berakhir pukul 18.45. Arie memilih profesi jurnalis, selain hobi
menulis, iapun lebih cocok bekerja di lapangan.
“Menjadi jurnalis merupakan profesi yang sejalan dengan hobi
saya, yaitu gemar menulis. Untuk mengembangkan dan
menyalurkan hobi tersebut, dan saya tertarik oleh beberapa
presenter di televisi swasta yang terlihat smart, setelah lulus
2Hasil wawancara dengan Ine, pada Jumat, 20 Februari 2012
Yenni Yuniati
988 │ Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal
kuliah, saya melamar sebagai jurnalis di Republika.Saya gak
suka kerja di kantoran yang harus stay di kantor selama
berjam-jam gitu, sempat sih saya bekerja di bidang
administrasi selama tiga bulan, tapi emang gak cocok”.3
Profesi yang diidamkan oleh saudara Arie yakni sebagai
jurnalis, termasuk pekerjaan yang menantang dan penuh resiko,
meskipun begitu bukan hanya laki-laki yang menyukai profesi ini
tetapi perempuanpun banyak yang mengidamkan profesi sebagai
penyampai berita tersebut. Dikarenakan citra yang terbangun di
masyarakat bahwa profesi jurnalis dicitrakan sebagai orang yang
mempunyai wawasan luas dan menarik. Setiap hari pekerjaannya
berputar dalam pencarian, pengolahan, penulisan berita atau opini
untuk di muat di media massa.
Citra adalah informasi yang dipersepsi oleh individu
mengenai dunia realitas sehingga membentuk gambaran mental
tentang dunia atau realitas tersebut. Di atas telah disebutkan bahwa
unsur utama citra adalah informasi. Informasi dalam masyarakat
primitif diperoleh melalui pembicaraan, upacara keagamaan, cerita
dan sebagainya. Sedangkan dalam masyarakat modern informasi
diperoleh secara langsung atau melalui media massa, sebagai
perpanjangan alat indera kita (McLuhan dalam Rakhmat, 1999: 224).
Mengenai citra jurnalis perempuan, informasi yang diperoleh
semata-mata berdasarkan pada apa yang didengar dan dilihat di
media massa sehingga membentuk citra bahwa jurnalis perempuan
dipandang orang yang serba tahu, dan pinter. Jadi seorang jurnalis
harus belajar untuk menambah pengetahuannya. Berikut hasil
wawancara dengan salah seorang key informant :
“...Kalau soal itu sih, itu bertambah dengan sendirinya, karena
di setiap media massa itu pasti ada rolling job desk. Misalnya,
awalnya saya di bidang politik yang tadinya gencar
mendalami bidang politik, lalu saya di rolling ke bidang
ekonomi. Kan jauh beda ya job desk nya, jadi saya
menyiasatinya dengan lebih banyak mendalami bidang-
3Hasil wawancara dengan Arie, pada Kamis, 26 Februari 2012
Yenni Yuniati
Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal │ 989 989
bidang tersebut. Saya berusaha mempelajari berbagai macam
berita-berita di bidang tersebut”.4
Begitupun menurut Ine, seorang jurnalis dicitrakan sebagai
orang yang pinter dan cerdas. Berikut petikan wawancaranya:
“... sebagai jurnalis harus banyak mengkaji berbagai masalah
sosial yang terjadi di masyarakat. Saya juga jadi banyak
pengetahuan lah, apalagi kalau wawancara sama pejabat
tinggi ya, jadi banyak tahu. 5
Perempuan sebagai warga negara maupun sebagai sumber
daya manusia mempunyai hak dan kewajiban serta kesempatan yang
sama denga laki-laki dalam pembangunan di segala bidang.
Pemberian peranan perempuan sebagai mitra sejajar laki-laki
ditujukan untuk meningkatkan peran aktif dalam kegiatan
pembangunan, termasuk upaya mewujudkan keluarga sejahtera.
Kedudukan dan status perempuan dalam masyarakat serta
peranannya dalam pembangunan perlu dipelihara dan terus
ditingkatkan. Sebagai warga negara dan mitra laki-laki, perempuan
harus lebih berperan dalam pembangunan bermasyarakat, bernegara
dan berbangsa. Yaumil C. Agoes Achir mengatakan bahwa :
“pengembangan wawasan perempuan indonesia merupakan salah
satu langkah ke arah pemampuan (women empowerment).
Pemampuan (perberdayaan) kaum perempuan tersebut, meliputi
peningkatan kualitas hidup dan pemberdayaan ekonomi,
pemberdayaan sosial dan keterampilan.
Hal senada diutarakan Arie :
“...Selama menjadi jurnalis, saya juga bisa tahu banyak hal
dan ini bisa mengubah pola pikir saya sendiri.Setiap saya
menonton berita di televisi swasta, saya terinspirasi oleh
kepiawaian mereka dalam membawakan berita. Nah,
tantangan terberatnya sih karena kita harus belajar hal baru
itu. Seperti yang tadi saya bilang ya, tadinya saya awam
tentang bidang politik, pas ditempatkan di rubric politik, kita 4Hasil wawancara dengan Arba’iah, pada Jumat, 17 Februari 2012 5Hasil wawancara dengan Ine, pada Jumat, 20 Februari 2012
Yenni Yuniati
990 │ Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal
harus belajar menguasai bidang tersebut. Tapi yang paling
sulit itu ya pas di bidang ekonomi dan hukum. Karena ada
banyak istilah-istilah asing yang harus kita ketahui sebagai
bahan tulisan dan bahan wawancara. Teman-teman yang lain
juga sama. Kita suka ngerasa paling menantang pas
ditempatkan di bidang ekonomi dan hukum ini. Wah, ada
banyak istilah baru dan asing yang harus kita kuasai”.6
Cita-cita Kartini sudah tercapai, profesi jurnalis mempunyai
peran besar, karena profesi ini sangat dekat dengan penyalur
komunikasi paling berpengaruh, yaitu media.
III. KESIMPULAN
1. Pekerjaan kewartawanan adalah pekerjaan atau kegiatan
usaha yang berhubungan dengan pengumpulan, pengolahan
dan penyiaran dalam bantuk fakta, pendapat, ulasan-ulasan,
gambar untuk perusahaan penerbitan pers.
2. Salah satu tempat untuk menginformasikan citra perempuan
yang berprofesi sebagai jurnalis adalah media massa. Media
massa sebagai penyampai informasi dapat membentuk citra
atau juga mempertahankan citra.
3. Citra jurnalis perempuan, informasi yang diperoleh semata-
mata berdasarkan pada apa yang didengar dan dilihat di
media massa sehingga membentuk citra bahwa jurnalis
perempuan dipandang orang yang serba tahu, cerdas dan
keren.
6Hasil wawancara dengan Arie, pada Kamis, 26 Februari 2012
Yenni Yuniati
Menggagas Pencitraan Berbasis Kearifan Lokal │ 991 991
DAFTAR PUSTAKA
Abrar, Ana Nandhy. 1995. Panduan Buat Pers Indonesia. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Aburdene,Patricia & Naisbitt John. 1992. Megatrends for Women.
NewYork: Villard Books
Alwasilah, A. Chaedar. 2003. Pokoknya Kualitatif; Dasar-Dasar
Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta :
PT. Kiblat Buku Utama.
Anwar, Rosihan.1977. Profil Wartawan Indonesia. Jakarta:
Departemen Penerangan Indonesia Republik Indonesia.
Assegaff, H. Dja’far. 1983. Jurnalistik Masa Kini.Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Mulyana, Deddy. 1999. Nuansa-Nuansa Komunikasi ; Meneropong
Politik dan Budaya Komunikasi Masyarakat Kontemporer.
Bandung. PT. Remaja Rosdakarya.
------. 2000. Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar. Bandung: Rosdakarya.
-------. 2003. Metode Penelitian Kualitatif; Paradigma Baru Ilmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial Linnya. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya.
------ dan Solatun. 2007. Metode Penelitian Komunikasi: Contoh-contoh
Sumber Lain :
1. Jurnal Perempuan no 28, Perempuan dan Media.
2. Meutya Hafid. 2007. 168 Jam Dalam Sandera. Jakarta : Hikmah
Memoar.
top related