coblos gambar atau foto
Post on 26-Dec-2015
7 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
COBLOS TANDA GAMBAR PARTAI ATAU COBLOS FOTO/ NAMA CALEG Keluar dari bilik suara pada pagi hari itu, seketika muncul pertanyaan yang sangat mengganggu
fikiran dan perasaan bahkan sampai saat tulisan ini dibuat.
1. Secara logika, kalau seseorang mencoblos ‘TANDA GAMBAR PARTAI’ maka 100% dapat
dipastikan bahwa orang tersebut ‘tidak mau memilih’ salah seorangpun dari CALEG yang foto
atau namanya tercantum di dalam surat suara tersebut. Atau dengan kata lain, hak suara
orang tersebut ‘tidak boleh diberikan’ kepada CALEG yang foto atau namanya tercantum di
dalam surat suara tersebut. Atau dengan perkataan lain lagi, orang tersebut telah
mempercayakan kepada partai politik untuk memilihkan ‘CALEG LAIN’ untuknya, selain dari
CALEG-CALEG yang foto/ namanya ada di dalam surat suara. Apakah partai politik dapat
menjaminnya? Atau apakah memang demikian prosedur yang berlaku di seluruh partai politik
peserta pemilu? Jadi apabila hak suara tersebut masih juga diberikan kepada CALEG yang
foto/namanya tercantum di dalam surat suara, maka jelas hal ini telah ‘melanggar hak dan
kebebasan memilih’ yang telah dijamin oleh undang-undang, dan orang tersebut dapat
‘menuntut partai politik telah melakukan kekurangan terhadap hak suaranya.’
2. Kalau seseorang mencoblos ‘FOTO/NAMA CALEG’, maka 100% sudah jelas bahwa orang
tersebut menginginkan CALEG yang dicoblosnya mewakili suaranya di dewan perwakilan
rakyat. Namun apabila ternyata suara yang dikumpulkan oleh CALEG pilihannya tersebut
ternyata tidak mencukupi persyaratan, maka seharusnya suara tersebut ‘tidak boleh
diberikan’ ke CALEG lain atau ke orang lain, atau dengan perkataan lain ‘tidak ada siapapun
yang berhak atas suara tersebut’, selain dari pada CALEG yang dipilih. Atau dengan perkataan
lain lagi adalah ‘haram hukumnya’ apabila ‘hak suara’ tersebut diambil/diberikan kepada
CALEG lainnya. Namun apabila hak suara tersebut masih juga diberikan kepada CALEG lain
yang ‘tidak dicoblosnya’, maka jelas hal ini telah ‘melanggar hak dan kebebasan memilih’ yang
telah dijamin oleh undang-undang, dan orang tersebut dapat ‘menuntut partai politik telah
melakukan kekurangan terhadap hak suaranya.’ Secara logika, dan dengan menjunjung tinggi
‘kejujuran’ dan ‘keadilan’ maka seharusnya hak suara tersebut adalah ‘batal demi hukum!’.
3. Bagaimana pula halnya apabila seseorang ‘ingin mencoblos salah seorang anggota partai
yang dipercayainya’ untuk mewakili suaranya di dewan perwakilan rakyat, namun FOTO atau
NAMA-nya ternyata ‘tidak tercantum’ di dalam surat suara? Jelas hal ini telah ‘melanggar hak
pemilih’ untuk bebas menentukan pilihannya! Dengan perkataan lain, maka orang yang akan
memberikan hak suaranya tersebut telah ‘digiring oleh peraturan’ untuk masuk ke dalam
kategori ‘GOLPUT’ karena memang tidak ada pilihan yang mau dicoblosnya. Jadi secara logika
‘peraturanlah’ yang sebenarnya telah mendorong dan mensahkan adanya GOLPUT.
Jadi sebenarnya, apabila kita berfikir secara logika dan dengan menjunjung tinggi kebenaran dan
kejujuran, maka peraturan dan tata cara ‘mencoblos’ pada masa ‘ORDE BARU’ ternyata adalah yang
paling ‘sesuai’ dan ‘dapat diterima oleh logika, kejujuran, dan keadilan’. Bagi rakyat, CUKUP
MENCOBLOS TANDA GAMBAR PARTAI POLITIK yang dipercayainya, dan seterusnya biarlah partai
politik secara bertanggungjawab menentukan CALEG-nya untuk duduk di dewan perwakilan rakyat
mewakili konstituennya. Disinilah partai politik harus benar-benar ‘bertanding’ melalui wakil-
waklinya di DPR, dan disini pulalah para CALEG harus benar-benar punya kecerdasan dan niat yang
bersih dan tulus. Di sini pulalah rakyat, wakilnya dan partai politik bersama-sama belajar demi
kemajuan dan kemuliaan bangsa dan tanah air Indonesia.
Dengan demikian mudah2an tidak ada lagi CALEG yang stress dan mengalami gangguan kejiwaan
sehabis kalah dalam pemilu, seperti apa yang telah terjadi pada pemilu-pemilu di era reformasi
selama ini. Kalau dipandang dari sudut psikologi, maka ternyata yang terjadi selama ini adalah
banyak para CALEG yang mencalonkan diri sebenarnya ‘tidak layak’ secara psikologi untuk duduk
menjadi wakil rakyat di DPR.
Dan sekarang “SIAPAKAH YANG DAPAT MENJAMIN BAHWA PARA CALEG YANG TELAH BERHASIL
DLAM PEMILU INI DAN AKAN MENJADI ANGGOTA DPR YANG MEWAKILI RAKYAT NANTINYA
ADALAH PARA WAKIL YANG BENAR-BENAR SEHAT SECARA PSIKIS?” karena selama ini kita telah
sering menonton ‘kegilaan-kegilaan’ yang terjadi di dalam gedung DPR, dan ‘korupsi’ sebenarnya
adalah manifestasi dari suatu ‘kondisi psikis yang sakit’, jadi kalau kita kembalikan kata ‘korupsi’ ke
akar katanya ‘corrupt’ yang berarti ‘rusak/sakit’, maka bukan hanya mencuri uang rakyat saja yang
dapat disebut korupsi, akan tetapi tindakan teriak-teriak, memaki-maki, marah-marah sampai
melempar asbak di ruang rapat, atau bahkan menerobos ‘lampu merah’ di perempatan jalan juga
adalah manifestasi dari kondisi jiwa/mental/psikis yang rusak/sakit, atau yang juga disebut
“korupsi.”
Marilah kita kembali ke logika berfikir yang sehat, jujur dan juga adil.
Wallahu’alam.
top related