d4 teknik sipil politeknik negeri bandung
Post on 23-Nov-2021
8 Views
Preview:
TRANSCRIPT
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-2
Sementara itu, ada hal yang lain yang harus di perhatikan kembali.
Sebagai upaya dari pencegahan kebakaran ialah mengetahui asal sumber
panas itu terjadi. Karena sumber panas mampu menimbulkan kebakaran,
berikut merupakan asal sumber panas yang perlu di diketahui seperti:
1. Sinar matahari, dapat menyebabkan kebakaran hutan.
2. Listrik, karena konsleting.
3. Panas yang berasal dari energi mekanik, karena gesekan benda-
benda sehingga dapat terjadi loncatan bunga api.
4. Panas yang berasal dari reaksi kimia, di gudang-gudang bahan
kimia.
Selain itu, sumber-sumber panas di atas mampu berpindah dengan
beberapa cara. Sehingga ada hal yang perlu diketahui menganai cara-cara
sumber panas berpindah diantaranya:
1. Radiasi yaitu perpindahan panas yang memancar ke segala arah
2. Konduksi yaitu perpindahan panas melalui benda perambatan panas
3. Konveksi yaitu perpindahan panas yang menyebabkan perbedaan
tekanan udara
4. Loncatan bunga api yaitu suatu reaksi antara energi panas dengan
udara (O2)
Bila telah terjadi kebakakaran ada beberapa upaya pemadaman yang
dapat dilakukan terhadap kebakaran. Upaya tersebut dilakukan agar sebuah
kebakaran mampu di atasi dengan cepat. Berikut upaya-upaya pemadaman
kebakaran diantaranya:
1. Penguraian yaitu memisahkan atau menjauhkan benda-benda
yang dapat terbakar.
2. Pendinginan yaitu penyemprotan air pada benda-benda yang
terbakar.
3. Isolasi atau sistem lokalisasi yaitu dengan cara menyemprotkan
bahan kimia CO2.
4. Blasting effect system yaitu dengan cara memberikan tekanan
yang tinggi misalkan dengan jalan meledakan bahan peledak
(contoh : elide fire ball).
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-3
Berdasarkan Undang-undang No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung yang mengatur tentang peryaratan administrasi dan teknis bangunan
gedung dan lingkungan. Pada pasal 16 dibahas mengenai Persyaratan
keandalan bangunan gedung sebagaimana yang meliputi persyaratan
keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan. Persyaratan
keselamatan bangunan gedung sebagaimana dimaksud meliputi persyaratan
kemampuan bangunan gedung untuk mendukung beban muatan, serta
kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan menanggulangi bahaya
kebakaran dan bahaya petir.
Segala upaya yang menyangkut ketentuan dan persyaratan teknis yang
diperlukan dalam mengatur dan mengendalikan penyelenggaraan
pembangunan bangunan gedung. Termasuk dalam rangka proses perizinan,
pelaksanaan, pemanfaatan/pemeliharaan bangunan gedung terhadap bahaya
kebakaran. Dalam upaya pencegahan/proteksi bahaya kebakaran, perlu di
lakukan segala usaha sehingga tidak akan terjadi penyalaan api yang tidak
dikehendaki dan tidak terkendali.
Menurut Anizar (2009:24-26), Kebakaran disebabkan oleh sumber-
sumber yang membuat adanya nyala api (terbakar), yaitu:
1. Instalasi dan peralatan listrik Hal ini karena perlengkapan listrik yang
digunakan tidak sesuai dengan prosedur yang benar dan standar yang
telah ditetapkan oleh LMK (Lembaga Masalah Kelistrikan) PLN,
rendahnya kualitas peralatan listrik dan kabel yang digunakan, serta
instalasi yang asal-asalan dan tidak sesuai peraturan.
2. Merokok
Secara tidak langsung perokok pun berpotensi mendatangkan potensi
kebakaran sebab bagi yang merokok selalu membawa korek sebagai
sumber api.
3. Bahan yang terlewat panas yang terjadi pada benda-benda yang saat
dipanaskan tidak terpantau dengan baik.
4. Nyala dari alat pembakar Seperti pada alat pemanas listrik (oven dan
pembakar portable)
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-4
2.1.1 Jenis-Jenis Bahaya Kebakaran
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.26/PRT/M/2008 tentang
persyaratan teknis sistem proteksi kebakaran pada bangunan gedung dan
lingkungan. Bahaya kebakaran dapat diklasifikasikan menjadi beberapa
kelompok, yaitu:
1. Bahaya kebakaran ringan
Bangunan yang mempunyai nilai kemudahan terbakar rendah dan
apabila terjadi kebakaran melepaskan panas rendah, dan kecepatan
menjalar api lambat.
2. Bahaya kebakaran sedang
Bahaya kebakaran pada tingkat sedang ini dikelompokan kembali
menjadi 3 kelompok, yaitu:
1. Bahaya Kebakaran Sedang Kelompok I
Bangunan yang mempunyai nilai kemudahan terbakar rendah,
penimbunan bahan yang mudah terbakar sedang dengan tinggi
tidak lebih dari 2,5 m dan apabila terjadi kebakaran melepaskan
panas sedang, kecepatan penjalaran sedang. Contoh: bangunan
yang fungsinya bukan bangunan industri, dan memiliki ruangan
terbesar tidak melebihi 125m².
2. Bahaya Kebakaran Sedang Kelompok II
Bangunan yang mempunyai nilai kemudahan terbakar sedang,
penimbunan bahan yang mudah terbakar dengan tinggi tidak lebih
dari 4,00 m dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas
sedang, kecepatan penjalaran sedang. Contoh: bangunan
komersial dan industri yang berisi bahan yang dapat terbakar.
3. Bahaya Kebakaran Sedang Kelompok III
Bangunan yang mempunyai nilai kemudahan terbakar tinggi dan
apabila terjadi kebakaran, melepaskan panas yang tinggi, sehingga
menjalarnya api cepat.
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-5
3. Bahaya kebakaran berat
Bangunan yang mempunyai nilai kemudahan terbakar tinggi dan
apabila terjadi kebakaran, melepaskan panas yang tinggi, sehingga
menjalarnya api cepat. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah
bangunan komersil dan bangunan industri yang berisi bahan-bahan
yang mudah terbakar, seperti karet rusak, cat, spirtus dan bahan bakar
lainnya.
Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2002 tentang �Bangunan
Gedung� pasal 16 dan pasal 17 yang mengatur tentang persyaratan
administratif dan teknis bangunan gedung di Indonesia. Pencegahan bahaya
kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungan adalah segala upaya yang
menyangkut ketentuan dan persyaratan teknis yang diperlukan dalam
mengatur dan mengendalikan penyelenggaraan pembangunan bangunan
gedung. Termasuk dalam rangka proses perizinan, pelaksanaan dan
pemanfaatan/pemeliharaan bangunan gedung, serta pemeriksaan kelayakan
dan keandalan bangunan gedung terhadap bahaya kebakaran. Adapun pasal
16 dan 17 tersebut mebahas tentang hal-hal sebagai berikut:
Pasal 16 pada bagian keempat, paragraf 1 membahas Persyaratan Keandalan
Bangunan Gedung secara umum yakni.
(1) Persyaratan keandalan bangunan gedung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (3), meliputi persyaratan keselamatan,
kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan.
(2) Persyaratan keandalan bangunan gedung sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ditetapkan berdasarkan fungsi bangunan gedung.
Pasal 17 mebahas tentang Persyaratan Keselamatan, yakni.
(1) Persyaratan keselamatan bangunan gedung sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (1) meliputi persyaratan kemampuan
bangunan gedung untuk mendukung beban muatan, serta
kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan
menanggulangi bahaya kebakaran dan bahaya petir.
(2) Persyaratan kemampuan bangunan gedung untuk mendukung
beban muatannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-6
merupakan kemampuan struktur bangunan gedung yang stabil dan
kukuh dalam mendukung beban muatan.
(3) Persyaratan kemampuan bangunan gedung dalam mencegah dan
menanggulangi bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) merupakan kemampuan bangunan gedung untuk
melakukan pengamanan terhadap bahaya kebakaran melalui
sistem proteksi pasif dan/atau proteksi aktif.
(4) Persyaratan kemampuan bangunan gedung dalam mencegah
bahaya petir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan
kemampuan bangunan gedung untuk melakukan pengamanan
terhadap bahaya petir melalui sistem penangkal petir.
Kepmen PU No. 11/KPTS/2000 Tentang Ketentuan Teknis
Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan, angka
klasifikasi resiko bahaya kebakaran dapat dikategorikan kedalam
angka 3 sampai 7 yaitu:
1. Angka Klasifikasi Resiko Bahaya Kebakaran 3.
Angka klasifikasi ini harus mempertimbangkan resiko bahaya
kebakaran yang paling rawan, dimana jumlah dari isi bahan
mudah terbakarnya sangat tinggi. Kebakaran dalam tingkat
klasifikasi ini dapat diperkirakan berkembang sangat cepat dan
mempunyai nilai pelepasan panas yang tinggi. Bangunan
yang berdekatan dengan bangunan yang mempunyai angka
klasifikasi resiko bahaya kebakaran 3, harus dianggap sebagai
bagian dari klasifikasi tersebut jika jaraknya 15 m atau
kurang.
2. Angka Klasifikasi Resiko Bahaya Kebakaran 4.
Angka klasifikasi ini harus dipertimbangkan sebagai resiko
bahaya kebakaran tinggi, dimana kuantitas dan kandungan
bahan mudah terbakarnya tinggi. Kebakaran dalam tingkat
klasifikasi ini dapat diperkirakan berkembang cepat dan
mempunyai nilai pelepasan panas yang tinggi. Bangunan yang
berdekatan dengan bangunan yang mempunyai angka
Klasifikasi Resiko Bahaya Kebakaran 4, harus dianggap
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-7
sebagai bagian dari klasifikasi tersebut jika jaraknya 15 m
atau kurang.
3. Angka Klasifikasi Resiko Bahaya Kebakaran 5.
Angka klasifikasi ini harus dipertimbangkan sebagai
hunian bahaya sedang, dimana kuantitas dan kandungan
bahan mudah terbakarnya sedang dan tinggi tumpukan
bahan mudah terbakarnya tidak melebihi dari 3,7 m.
Kebakaran dalam tingkat klasifikasi ini dapat
diperkirakan berkembang sedang dan mempunyai nilai
pelepasan panas yang sedang.
4. Angka Klasifikasi Resiko Bahaya Kebakaran 6.
Angka klasifikasi ini harus dipertimbangkan sebagai
resiko bahaya rendah, dimana kuantitas dan kandungan
bahan mudah terbakarnya sedang dan tinggi tumpukan
bahan mudah terbakarnya tidak lebih dari 2,5 m.
Kebakaran dalam tingkat klasifikasi ini dapat
diperkirakan berkembang sedang dan mempunyai nilai
pelepasan panas sedang.
5. Angka Klasifikasi Resiko Bahaya Kebakaran 7.
Angka dalam klasifikasi ini harus dipertimbangkan
sebagai resiko bahaya rendah, dimana kuantitas dan
kandungan bahan mudah terbakarnya rendah.
Kebakaran dalam tingkat klasifikasi ini dapat
diperkirakan berkembang rendah dan mempunyai nilai
pelepasan panas relatif rendah.
Adapun peraturan tentang Ketentuan Teknis Manajemen
Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan mengacu pada Kepmeneg PU
No.11/KPTS/2000 yang berisikan tentang penanggulangan pada setiap
bangunan gedung berdasarkan klasifikasi bahaya dari peruntukan bangunan,
menurut objek yang diambil dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel
II.1.
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-8
Tabel II.1 Bangunan Dengan Angka Klasifikasi Resiko Bahaya Kebakaran
Sumber: Kepmeneg PU No.11/KPTS/2000
Angka dalam klasifikasi ini harus dipertimbangkan sebagai resiko
bahaya rendah dikarenakan bahan penyusun material resiko bahaya 7
merupakan bangunan berbahan dasar beton dan material lainnya yang tidak
memungkinkan untuk menjalarkan api secara cepat dengan kata lain, bahan
material ini memiliki kemampuan, kuantitas dan daya bakar yang rendah
atau tidak mudah terbakar. Kebakaran dalam tingkat klasifikasi ini dapat
diperkirakan berkembang rendah dan mempunyai nilai pelepasan panas
relatif rendah.
Berdasarkan SNI 03-3985-2000 tentang tata cara perencanaan dan
pemasangan sistem deteksi dan alarm kebakaran untuk pencegahan bahaya
kebakaran adalah suatu fenomena yang terjadi ketika suatu bahan mencapai
temperatur kritis dan bereaksi secara kimia dengan oksigen (sebagai contoh)
yang menghasilkan panas, nyala api, cahaya, asap, uap air, karbon
monoksida, karbon dioksida, atau produk dan efek lainnya. Kebakaran juga
dapat diartikan sebagai suatu peristiwa berkobarnya api yang tidak
dikehendaki dan berpotensi membawa kerugian baik material, korban jiwa
dan sebagainya. Kebakaran merupakan ancaman yang sangat berbahaya
bagi sebuah gedung sehingga diperlukan upaya pencegahan dan
penanggulangan pada bahaya kebakaran.
Menurut SNI 03-3989-2000 tentang tata cara perencanaan dan
pemasangan sistem deteksi dan alarm kebakaran untuk pencegahan bahaya,
terdapat beberapa bangunan yang termasuk ke dalam hunian bahaya
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-9
kebakaran ringan. Adapun bangunan tersebut diantaranya:
- ibadat - perkantoran - klub - perumahan - pendidikan - restoran ( ruang makan ).
- perhotelan - lembaga - rumah sakit - perpustakaan - penjara. - museum.
2.2 Bangunan
Menurut Undang Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung, dijelaskan bahwa setiap bangunan gedung memiliki fungsinya
yang berbeda-beda. Hal ini dirumuskan dalam Bab III Pasal 5 yang
mengidentifikasikan fungsi bangunan gedung seperti pada Tabel II.2
Tabel II.2 Fungsi Bangunan Gedung
FUNGSI BANGUNAN GEDUNG
MELIPUTI :
Fungsi Hunian Bangunan untuk rumah tinggal tunggal, rumah tinggal deret, rumah susun, dan rumah tinggal sementara
Fungsi Keagamaan Masjid, gereja, pura, wihara, dan kelenteng
Fungsi Usaha
Bangunan gedung untuk perkantoran, perdagangan, perindustrian, perhotelan, wisata dan rekreasi, terminal, dan penyimpanan
Fungsi Sosial dan Budaya Bangunan gedung untuk pendidikan, kebudayaan, pelayanan kesehatan, laboratorium, dan pelayanan umum
Fungsi Khusus
Bangunan gedung untuk reaktor nuklir, instalasi pertahanan dan keamanan, dan bangunan sejenis yang diputuskan oleh menteri
Sumber: UU No. 28 Tahun 2002
Suatu bangunan gedung dapat memiliki lebih dari satu fungsi atau
kombinasi fungsi dalam bangunan gedung, misalnya kombinasi fungsi
hunian dan fungsi usaha, seperti bangunan gedung rumah-toko (ruko),
rumah-kantor (rukan), apartemen-mal, dan hotel-mal, atau kombinasi
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-10
fungsi-fungsi usaha, seperti bangunan gedung kantor, toko, dan hotel atau
mal.
Agar pemenuhan persyaratan teknis setiap fungsi bangunan gedung
lebih efektif dan efisien, fungsi bangunan gedung tersebut diklasifikasikan
berdasarkan tingkat kompleksitas, tingkat permanensi, tingkat resiko
kebakaran, zonasi gempa, lokasi, ketinggian, dan kepemilikan.
Pengklasifikasian bangunan gedung ini diatur dalam Pasal 5 Peraturan
Pemerintah No 36 Tahun 2005 tentang Bangunan Gedung seperti yang
terlampir pada Tabel II.3 berikut:
Tabel II.3 Klasifikasi Bangunan Gedung
KLASIFIKASI BANGUNAN GEDUNG
Tingkat Kompleksitas
Sederhana karakter, kompleksitas dan teknologi sederhana
Tidak Sederhana karakter, kompleksitas dan teknologi tidak sederhana
Khusus penggunaan dan persyaratan khusus
Tingkat Permanensi Permanen umur layanan di atas 20 tahun Semi Permanen umur layanan 5 s/d 10 tahun Darurat / Sementara umur layanan s/d 5 tahun
Tingkat Resiko Kebakaran
Resiko kebakaran tinggi mudah terbakarnya tinggi Resiko kebakaran sedang mudah terbakarnya sedang Resiko kebakaran rendah mudah terbakarnya rendah
Zonasi Gempa
Zona 1 daerah sangat aktif Zona 2 daerah aktif Zona 3 daerah lipatan dengan retakan Zona 4 daerah lipatan tanpa retakan Zona 5 daerah gempa kecil Zona 6 daerah stabil
Lokasi Lokasi Padat di pusat kota Lokasi Sedang di daerah pemukiman Lokasi Renggang di daerah pinggiran kota
Ketinggian Bertingkat Tinggi lebih dari 8 lantai Bertingkat Sedang 5 s/d 8 lantai Bertingkat Rendah s/d 4 lantai
Kepemilikan Milik Negara Milik Badan Usaha Milik Perorangan
Sumber: PP No. 36 Tahun 2005
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-11
Fungsi dan Klasifikasi bangunan gedung harus sesuai
dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Kabupaten/Kota, Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Perkotaan
(RDTRKP), dan/atau Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL).
Fungsi dan Klasifikasi bangunan gedung diusulkan oleh pemilik bangunan
dalam pengajuan permohonan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB).
Hotel merupakan suatu bentuk akomodasi yang dikelola secara
komersil, disediakan bagi setiap orang untuk memperoleh pelayanan
menginap, makan, minum dan juga mengadakan acara atau event-event
tertentu demi keuntungan bersama antara perusahaan dengan konsumen.
Hotel diharapkan menciptakan stimulus yang baik, dimana stimulus ini
berkaitan erat dengan upaya proses mendesain suatu jasa yang dapat
dipercaya, sehingga mampu mendorong komitmen dan loyalitas pelanggan,
hal ini telah diyakini oleh Morgant dan Hunt pada tahun 2004 (Primalita,
2009:72).
Dalam SNI 03-1735-���� ������� �Tata Cara Perencanaan Akses
Bangunan Dan Akses Lingkungan Untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran
�� � !�"#$"�" %& $"#', kelas bangunan adalah pembagian bangunan
sesuai dengan jenis peruntukan atau penggunaan bangunan. Berdasarkan
SNI 03-1736-2000 tentang sistem proteksi kebakaran pasif, ada 3 tipe
konstruksi tahan api, yaitu:
Tipe A:
Konstruksi yang unsur struktur pembentuknya tahan api dan mampu
menahan secara struktural terhadap beban bangunan. Pada konstruksi
ini terdapat komponen pemisah pembentuk kompartemen untuk
mencegah penjalaran api ke dan dari ruangan bersebelahan dan dinding
yang mampu mencegah penjalaran panas pada dinding bangunan yang
bersebelahan.
Tipe B:
Konstruksi yang elemen struktur pembentuk kompartemen penahan api
mampu mencegah penjalaran kebakaran ke ruang-ruang bersebelahan di
dalam bangunan dan dinding luar mampu mencegah penjalaran
kebakaran dari luar bangunan.
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-12
Tipe C:
Konstruksi yang komponen struktur bangunannya adalah dari bahan
yang dapat terbakar serta tidak dimaksudkan untuk mampu menahan
secara struktural terhadap kebakaran.
Berdasarkan SNI 03-1735-���� ������� �Tata Cara Perencanaan Akses
Bangunan Dan Akses Lingkungan Untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran
Pad� �� !" � #$%" !&, kelas bangunan adalah pembagian bangunan
sesuai dengan jenis peruntukan atau penggunaan bangunan sebagai berikut:
1. Kelas 1: Bangunan Hunian Biasa adalah satu atau lebih bangunan yang
merupakan:
o Kelas 1a: bangunan hunian tunggal yang berupa satu rumah
tunggal atau satu atau lebih bangunan hunian gandeng, yang
masing-masing bangunannya dipisahkan dengan suatu dinding
tahan api, termasuk rumah deret, rumah taman, unit town house,
villa, atau
o Kelas 1b: rumah asrama/kost, rumah tamu, hotel, atau sejenis-nya
dengan luas total lantai kurang dari 300 m² dan tidak ditinggali
lebih dari 12 orang secara tetap, dan tidak terletak di atas atau di
bawah bangunan hunian lain atau bangunan kelas lain selain
tempat garasi pribadi.
2. Kelas 2: Bangunan hunian yang terdiri atas 2 atau lebih unit hunian yang
masing-masing merupakan tempat tinggal terpisah.
3. Kelas 3: Bangunan hunian di luar bangunan kelas 1 atau 2, yang umum
digunakan sebagai tempat tinggal lama atau sementara oleh sejumlah
orang yang tidak berhubungan, termasuk:
a. Rumah asrama, rumah tamu, losmen; atau
b. Bagian untuk tempat tinggal dari suatu hotel atau motel; atau apartment.
c. Bagian untuk tempat tinggal dari suatu sekolah; atau
d. Panti untuk orang berumur, cacat, atau anak-anak; atau
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-13
e. Bagian untuk tempat tinggal dari suatu bangunan perawatan kesehatan yang menampung karyawan-karyawannya.
4. Kelas 4: Bangunan Hunian Campuran Adalah tempat tinggal yang
berada di dalam suatu bangunan kelas 5; 6; 7; 8; atau 9 dan merupakan
tempat tinggal yang ada dalam bangunan tersebut.
5. Kelas 5: Bangunan kantor Adalah bangunan gedung yang dipergunakan
untuk tujuan-tujuan usaha profesional, pengurusan administrasi, atau
usaha komersial, di luar bangunan kelas 6; 7; 8; atau 9.
6. Kelas 6: Bangunan Perdagangan Adalah bangunan toko atau bangunan
lain yang dipergunakan untuk tempat penjualan barang-barang secara
eceran atau pelayanan kebutuhan langsung kepada masyarakat,
termasuk:
a. Ruang makan, kafe, restoran; atau
b. Ruang makan malam, bar, took atau kios sebagai bagian dari suatu
hotel atau motel atau
c. Tempat potong rambut/salon, tempat cuci umum atau
d. Pasar, ruang penjualan, ruang pamer, atau bengkel.
7. Kelas 7: Bangunan Penyimpanan/Gudang Adalah bangunan gedung yang
dipergunakan penyimpanan, termasuk:
a. Tempat parkir umum; atau
b. Gudang, atau tempat pamer barang-barang produksi untuk dijual
atau cuci gudang.
8. Kelas 8: Bangunan Laboratorium/Industri/Pabrik Adalah bangunan
gedung laboratorium dan bangunan yang dipergunakan untuk tempat
pemrosesan suatu produksi, perakitan, perubahan, perbaikan,
pengepakan, finishing, atau pembersihan barang-barang produksi dalam
rangka perdagangan atau penjualan.
9. Kelas 9: Bangunan Umum Adalah bangunan gedung yang dipergunakan
untuk melayani kebutuhan masyarakat umum, yaitu:
a. Kelas 9a: bangunan perawatan kesehatan, termasuk bagian-bagian
dari bangunan tersebut yang berupa laboratorium.
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-14
b. Kelas 9b: bangunan pertemuan, termasuk bengkel kerja,
laboratorium atau sejenisnya di sekolah dasar atau sekolah
lanjutan, hall, bangunan peribadatan, bangunan budaya atau
sejenis, tetapi tidak termasuk setiap bagian dari bangunan yang
merupakan kelas lain.
10. Kelas 10: Adalah bangunan atau struktur yang bukan hunian.
a. Kelas 10a: bangunan bukan hunian yang merupakan garasi
pribadi, carport, atau sejenisnya.
b. Kelas 10b: struktur yang berupa pagar, tonggak, antena, dinding
penyangga atau dinding yang berdiri bebas, kolam renang, atau
sejenisnya.
Jumlah lantai dan tipe konstruksi yang dipersyaratkan pada bangunan
dapat dilihat pada Tabel II.4. Bangunan-bangunan yang tidak
diklasifikasikan khusus Bangunan atau bagian dari bangunan yang tidak
termasuk dalam klasifikasi bangunan 1 s.d. 10 tersebut, dalam Pedoman
Teknis ini dimaksudkan dengan klasifikasi yang mendekati sesuai
peruntukannya. Bagian bangunan yang penggunaannya insidentil dan
sepanjang tidak mengakibatkan gangguan pada bagian bangunan lainnya,
dianggap memiliki klasifikasi yang sama dengan bangunan utamanya.
Bangunan dengan klasifikasi jamak adalah bila beberapa bagian dari
bangunan harus diklasifikasikan secara terpisah, dan:
1) Bila bagian bangunan yang memiliki fungsi berbeda tidak melebihi 10 %
dari luas lantai dari suatu tingkat bangunan, dan bukan laboratorium,
klasifikasinya disamakan dengan klasifikasi bangunan utamanya;
2) Kelas-kelas 1a, 1b, 9a, 9b, 10a dan 10b adalah klasifikasi yang terpisah;
3) Ruang-ruang pengolah, ruang mesin, ruang mesin lif, ruang boiler atau
sejenisnya diklasifikasikan sama dengan bagian bangunan di mana ruang
tersebut terletak.
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-16
b. Komponen Arsitektur.
Komponen arsitektural adalah komponen suatu bangunan yang
mendukung dari segi fungsi penggunaan, kenyamanan, dan estetika
bangunan. Berdasarkan diktat PU Tentang Tata Cara Evaluasi untuk
Pemeliharaan Komponen Rumah Susun menyebutkan bahwa
arsitekktur adalah mutu hasil perencanaan dan pengerjaan dari suatu
bangunan yang meliputi aspek-aspek:
- Estetika bangunan dan penyelesaian (finishing);
- Bentuk dan dimensi serta kesesuaian organisasi ruang, sirkulasi
dalam bangunan, hubungan natar ruang, kondisi eksterior dan
interior gedung yang dapat menjamin fungsi gedung, kenyamanan
dan kesehatan gedung sesuai dengan rencana yang diinginkan.
c. Komponen Mekanikal Elektrikal.
Maksud dan fungsi utama dari suatu gedung menjadi landasan dasar
dalam menentukan penentuan sistem ME dalam suatu bangunan/
gedung. Gedung rumah sakit misalnya akan mempunyai sistem yang
khusus yang digunakan di gedung tersebut yang tidak digunakan di
gedung lain, demikian juga dengan gedung pemerintahan, bandara atau
mall dan jenis gedung lainnya. Oleh sebab itu, pemeliharaan dan
perawatan pada komponen ME sangat penting dilakukan untuk
menunjang fungsi bangunannya.
d. Komponen Plumbing.
Plambing adalah teknologi perpipaan (instalasi pipa), dan peralatan
untuk menyediakan air bersih ketempat yang dituju, dengan baik
berdasarkan kuantitas, kualitas dan kontinyuitas harus memenuhi
persyaratan, serta untuk menyalurkan/membuang air bekas (kotoran)
dari tempat-tempat tertentu dengan media penyaluran (saluran/pipa)
dengan aman, tanpa mencemari tempat lainnya (John M. Chols dan
Hasan Shadely dalam modul Plumbing). Sistem plumbing merupakan
bagian komponen bangunan yang mudah terjadi kerusakan jika
komponen-komponennya tidak dijaga atau dirawat dengan baik.
Lingkup pemeliharaan untuk komponen plumbing pada suatu bangunan
yaitu memelihara dan melakukan pemeriksaan berkala sistem distribusi
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-17
air yang meliputi penyediaan air bersih, sistem instalasi air kotor,
sistem hidran, sprinkler dan septik tank serta unit pengolah limbah.
Pada saat terjadi kebakaran, material dari komponen tersebut sangat
besar pengaruhnya terhadap resiko penjalaran api yang dapat membuat api
semakin besar. Berdasarkan kemudahan terbakarnya, material dibagi
kedalam beberpa kelompok ketahanan struktur dan konstruksi,
pengelompokkan dalam tingkat kemudahan material tersebut terbakar (
combustibility ) seperti Tabel II.5.
Tabel II.5. Pengelompokan Material Terhadap Sifat Kemudahan Terbakarnya
No Tingkat kemudahan Terbakar Sifat Material
1 Non Combustible Tidak Mudah Menyala, Berpijar atau
hangus karena api atau temperatur tinggi.
2 Low Combustible
Mudah menyala atau berpijar segera
setelah api atau temperatur tinggi
bereaksi, tetapi tidak lagi menyala atau
berpijar setelah sumber api atau panas
dimatikan.
3 Combustible
Cepat menyala dan terbakar setelah
bersinggungan dengan api atau temperatur
tinggi.
Sumber: Jurnal Sri Umiati, Ketahanan Material Baja Sebagai Struktur Bangunan Terhadap Kebakaran
Bahan material yang sering digunakan dalam pembangunan bangunan
hunian ataupun perkantoran termasuk kedalam tiga kategori tersebut.
Menurut Sri Umiati (2008) dalam jurnalnya menyebutkan bahwa material
tersebut diantaranya:
1. Baja.
Baja dikatagorikan sebagai bahan yang non combustible yaitu tidak
mudah menyala atau terbakar bila bersentuhan dengan api. Tetapi
termasuk bahan penghantar panas yang baik sehingga sewaktu terjadi
kebakaran cepat menyebarkan panas. Suhu kritis baja tanpa dibebani
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-18
sekitar 13330 F atau 7230 C Yaitu temperatur awal terjadi perubahn
dari bentuk padat ke larutan padat.
2. Alumunium.
Aluminium mempunyai kekuatan tarik kira kira 100 N/ mm² rendah
dibanding baja konstruksi, sehingga untuk kontruksi bangunan yang
harus memikul beban berat tidak digunakan. Aluminium merupakan
logam yang ringan dengan massa jenis rendah sekitar 2,7 103 kg/m3 ,
aluminium tahan korosi. Suhu kritis 30000 C, lebih rendah dari baja
Ketahanan terhadap api tidak banyak menunjang. Dijilat api selama 20
menit aluminium sudah rusak Aluminiumpun merupakan penghantar
kalor yang baik, sehingga dalam keadaan panas mendorong
meyebarkan kalor.
3. Beton.
Beton adalah campuran dari pada: semen , agregat kasar dan halus, air
dengan komposisi tertentu. Beton banyak dipakai sebagai bahan
struktur pemikul beban karena sifat kekuatan tekannya yang tinggi.
Namun beton tidak kuat menahan tarik sehingga untuk konstruksi
diperkuat dengan tulangan baja. Dalam suhu tinggi beton akan
kehilangan banyak kekuatannya dan bila sudah mendingin kembali
sisa kekuatannya lebih rendah. Sehingga beton yang telah mengalami
kebakaran perlu mendapatkan penambahan kekuatan. Beton tidak
termasuk bahan menghantar panas. Suhu kritis beton sekitar 40000 C.
Kekuatan beton ditentukan oleh kekuatan tulangannya.
4. Kayu.
Kayu sebagai bahan organik yang mudah terbakar, tetapi dengan
pengecatan kekuatannya sedikit meningkat tidak mudah langsung
terjilat api. Namun bila sudah terbakar kayu berubah jadi arang.
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-19
2.2.2 Pemilihan Material Sistem Proteksi Kebakaran Pasif
Berdasar pada KEMENPU 02/KTPS/1985 yang dimaksud dengan
Bahan Bangunan dalam ketentuan ini adalah semua macam bahan yang
dipakai pada atau untuk konstruksi bangunan gedung, baik sebagai bahan
lapis penutup bagian dalam bangunan, maupun sebagai bahan komponen
struktur bangunan.
Maka dari itu, setiap bangunan harus dilengkapi dengan sarana
evakuasi yang dapat digunakan oleh penghuni bangunan, sehingga memiliki
waktu yang cukup untuk menyelamatkan diri dengan aman tanpa terhambat
hal-hal yang diakibatkan oleh keadaan darurat, salah satunya berupa sistem
proteksi pasif (SPP).
Sistem Proteksi Pasif (SPP) adalah sistem perlindungan bangunan
terhadap kebakaran melalui pertimbangan sifat termal bahan bangunan,
serta persyaratan ketahanan api struktur bangunan. Termasuk pula dalam
sistem pasif ini hal-hal yang menyangkut pengaturan tapak bangunan (site
plan), persyaratan akses ke bangunan, perancangan arsitektur dan penataan
ruang bangunan dan sistem pengendalian asap. Namun pada beberapa
ketentuan, persyaratan mengenai akses ke bangunan dan sistem
pengendalian asap diatur tersendiri.
Selanjutnya dalam bahasan ini Sistem Proteksi Pasif ditekankan pada
pertimbangan sifat bahan terhadap api (material fire properties), persyaratan
sruktur tahan api,
Kompartemenisasi dan perlindungan bukaan sebagai unsur pembentuk
pembatas api (fire barrier), serta sistem pembatas asap untuk pencegahan
aliran asap masuk ruangan hunian (smoke barrier). Mengacu pada
KEPMENEG PU No 10/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Pengamanan
Terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan,
maka Sistem Proteksi Pasif ditekankan kepada aspek bahan bangunan dan
konstruksi yang meliputi persyaratan diantaranya ketahanan api dan
stabilitas, kompartemenisasi dan pemisahan, dan perlindungan pada bukaan
dalam Kepmen ini, pengaturan mengenai tapak bangunan termasuk akses
pemadam kebakaran ke lingkungan.
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-20
Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum (Kepmen
��� ������ �� !�"# $��� %&'%(') *Standar Pencegahan Kebakaran Pada
+,-./-,- 0,- 12-.3/-.,-4, sistem proteksi kebakaran pasif adalah sistem
perlindungan bangunan terhadap kebakaran melalui sifat termal bahan
bangunan, penerapan sistem kompartemen dalam bangunan, serta
persyaratan ketahanan api dalam struktur bangunan.
Sistem proteksi pasif dalam bangunan mempunyai tujuan untuk
melindungi bangunan dari keruntuhan serentak, memberi waktu untuk
menyelamatkan diri, menjamin keberlangsungan fungsi gedung dan
melindungi keselamatan petugas pemadam kebakaran. Sistem proteksi pasif
ditekankan pada aspek bahan bangunan, konstruksi bangunan dan bentuk
penataan ruang serta bukaan. Ada tiga hal yang berkaitan dengan ketahanan
bahan bangunan terhadap api yang harus dipenuhi sebagai bahan konstruksi
yaitu:
a. Ketahanan memikul beban (kelayakan struktur) yaitu kemampuan
untuk memelihara stabilitas dan kelayakan kapasitas beban sesuai
dengan standar yang dibutuhkan.
b. Ketahanan terhadap penjalaran api (integritas) yaitu kemampuan
untuk menahan penjalaran api dan udara panas sebagaimana
ditentukan oleh standar.
c. Ketahanan terhadap penjalaran panas yaitu kemampuan untuk
memelihara temperatur pada permukaan yang tidak terkena panas
5(')67') 8(�9 %7'):7 :&;(:(�(' <(8( %&�<&�(%7� 89 ;(=(> �?��@A
sesuai dengan standar uji ketahanan api.
Bahan bangunan dapat terdiri dari satu jenis bahan, atau merupakan
gabungan dari beberapa jenis bahan pembentuknya. Bahan-bahan yang lepas
dan mudah dipindahkan, seperti misalnya karpet, tirai, perabot rumah tangga
dan sebagainya yang merupakan isi bangunan, tidak termasuk dalam
pengertian ini. Bahan bangunan dibagi dalam 5 (lima) tingkat mutu, yaitu:
- Tingkat I
Bahan mutu Tingkat I (non-combustible) adalah bahan yang memenuhi
persyaratan pengujian sifat bakar (non-combustibility test) serta
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-21
memenuhi pula pengujian sifat penjalaran api pada permukaan (surface
test).
-Tingkat II
Bahan mutu Tingkat II (semi non-combustible) adalah bahan yang
sekurang-kurangnya memenuhi persyaratan pada pengujian penjalaran
api permukaan untuk tingkat bahan, sukar terbakar, serta memenuhi
pengujian permukaan tambahan.
- Tingkat III
Bahan mutu Tingkat III (fire-retardant) adalah bahan yang sekurang-
kurangnya memenuhi persyaratan pada pengujian penjalaran api
permukaan, untuk tingkat bahan yang bersifat menghambat api.
- Tingkat IV
Bahan mutu Tingkat IV (semi fire retardant) adalah bahan yang
sekurang-kurangnya memenuhi syarat pada pengujian penjalaran api
permukaan untuk tingkat agak menghambat api.
- Tingkat V
Bahan mutu Tingkat V (combustible) adalah bahan yang tidak
memenuhi, baik persyaratan uji sifat bakar maupun persyaratan sifat
penjalaran api permukaan. (3) Bahan bangunan yang dimaksudkan
dalam pasal 5, ayat (1), seperti pada Tabel II.6
Bahan lapis penutup adalah bahan bangunan yang dipakai sebagai
lapisan penutup bagian dalam bangunan (interior finishing materials).
Bahan komponen struktur bangunan adalah bahan bangunan yang
dipakai sebagai bahan pembentuk komponen struktur bangunan, seperti
kolom, balok, dinding, lantai, atap dan sebagainya. Tingkat mutu
bangunan, seperti pada Tabel II.6
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-22
Tabel II.6 Tingkat Mutu Bahan Bangunan Terhadap Api.
Tingkat I Tingkat II Tingkat III Tingkat IV Tingkat V
- Beton - Bata - Batako - Asbes - Alumunium - Kaca - Besi - Baja - Adukan
semen - Ubin
Keramik - Ubin
Semen - Ubin
Marmer - Lembaran
Seng - Panel
Kalium Silikat
- Rock Wool - Genteng
Keramik - Wired
Glass - Lembaran
baja lapis seng.
- Papan wool kayu semen (exceisior boar)
- Papan semen pulp
- Serat kaca semen
- Plasterboard - Pelat baja
lapis pvc
- Kayu lapis yang dilindungi
- Papan yang mengandung lebih dari 5290 glass fiber
- Papan artikel yang dilindungi.
- Papan wool kayu
- Papan polyester bertulang
- Polyvinil dengan tulangan
- Setiap bambu
- Sirap kayu bukan lilin atau kayu jati
- Rumbia - Anyaman
bambu - Bahan atap
aspal berlapiskan mineral
- Kayu kamper
- Kayu meranti
- Kayu terentang
- Kayu lapis 14mm 17mm
- Soft board - Hard board - Papan
partikel
Sumber : KEMENPU 02/KTPS/1985
Adapun persyaratan bahan lapis penutup yang tertuang dalam pasal
6 diantaranya:
(1) Bahan bangunan yang cepat terbakar dan/atau yang mudah
menjalarkan api melalui permukaannya, tanpa perlindungan khusus,
tidak boleh dipakai pada tempat-tempat penyelamatan kebakaran,
maupun di bagian lainnya dalam bangunan di mana terdapat sumber api.
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-23
(2) Sesuai dengan Klasifikasi Bangunan yang ditentukan dalam
Bab II Pasal 3, bahan lapis penutup harus memenuhi syarat minimum
yang disebutkan dalam Tabel II.7.
Tabel II.7 Tabel Mutu Bahan Lapis Penutup
Kelas Bangunan (Ketahanan
terhadap api)
Bahan Lapis Penutup Untuk
Ruang Efektif, kamar, dsb.
Ruang sirkulasi, koridor, dsb.
Tangga kebakaran, pintu kebakaran,
dsb. Kelas A (3jam) Bahan Mutu Tingkat 1
Kelas B (2jam) Bahan Mutu Tingkat II
Bahan Mutu Tingkat II
Bahan Mutu Tingkat I
Kelas C (1/2Jam) Bahan Mutu Tingkat II
Bahan Mutu Tingkat III
Bahan Mutu Tingkat II
Kelas D Diatur Sendiri Sumber : KEMENPU 02/KTPS/1985
Adapun Pasal 7 menerangkan tentang Persyaratan Bahan Untuk
Komponen Struktur Bangunan yakni:
(1) Berdasarkan klasifikasi bangunan yang disebutkan dalam Bab II, pasal
3, bahan bangunan yang dipakai untuk komponen struktur bangunan harus
memenuhi syarat minimum seperti pada Tabel II.7.
(3) Pengujian dan penilaian mutu bahan serta petunjuk teknis
pemakaiannya, baik untuk bahan lapis penutup maupun untuk komponen
struktur bangunan, harus mengikuti ketentuan yang dikeluarkan oleh
instansi yang berwenang.
Tabel II.8 Persyaratan Bahan Untuk Komponen Bangunan
Kelas Bangunan (Ketahanan
terhadap api)
Kolom dan Balok
Atap Dinding Luar dan
Bukaan Pada Dinding Luar
Lantai dan Tangga
Kelas A (3jam) Mutu
Tingkat I Mutu
Tingkat I Mutu Tingkat I
Mutu Tingkat I
Kelas B (2jam) Mutu
Tingkat I Mutu
Tingkat I Mutu Tingkat I
Mutu Tingkat II
Kelas C (1/2Jam)
Mutu Tingkat II
Mutu Tingkat II
Mutu Tingkat II Mutu
Tingkat II Kelas D Diatur Sendiri
Sumber : KEMENPU 02/KTPS/1985
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-24
2.2.3 Keandalan Bangunan
Menurut UU No 28 tahun 2002 keandalan bangunan adaah keadaan
bangunan yang memenuhi persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan
kemudahan bangunan gedung sesuai dengan kebutuhan fungsi yang ditetapkan.
Bentuk penilaiaan keandalan suatu komponen bangunan yaitu
menggunakan proses interpretasi yang mengacu pada PD-T-11-2005-C tentang
Pemeriksaan Keselamatan Kebakaran Bangunan Gedung. Nilai tersebut dapat
������ �� ����� ���� �� ����! "���# $ %��� & '%() *#�#+ & '*( �� ,#-� � & ',(
(Evaluasi nilai B adalah 100, C adalah 80 dan K adalah 60).
a. > 80 . 100 (Baik) yaitu sesuai persyaratan.
b. 60 . 80 (Cukup) yaitu terpasang tetapi ada sebagian kecil yang tidak
sesuai persyaratan.
c. < 60 (Kurang) yaitu tidak sesuai sama sekali.
Untuk rumus penilaian keandalan dapat dilakukan dengan cara seperti
dibawah ini :
Nilai Keandalan = /01234 567893:;< 39:032=567893:;< >? :8739 @A@038
/01234 567893:;< 39:032B CDDE
2.2.4 Tingkat Ketahanan Api Bangunan
Pada SNI 03 . 1736 . 2000 disebutkan bahwa bahaya yang diakibatkan oleh
adanya ancaman potensial dan derajat terkena pancaran api sejak dari awal terjadi
kebakaran hingga penjalaran api, asap dan gas yang ditimbulkan. Maka dari itu
sebuah bangunan harus lah memiliki Tingkat ketahanan Api (TKA) yang sangat
baik. Pemilihan material sangat penting dalam mencegah penjalaran api yang
sangat cepat dari satu ruangan ke ruangan lain. Setiap material penyusun
bangunan haruslah memiliki kriteria TKA yang sangat baik, kriteria tersebut
diantaranya:
1. Integritas. dikaitkan dengan TKA adalah kemampuan untuk menahan
penjalaran api dan udara panas sebagaimana ditentukan pada standar
2. Isolasi. yang dikaitkan dengan TKA adalah kemampuan untuk memelihara
temperatur pada permukaan yang tidak terkena panas langsung dari tungku
kebakaran pada temperatur di bawah 1400 C sesuai standar uji ketahanan
api.
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-25
3. Kelayakan struktur. yang dikaitkan dengan TKA adalah kemampuan untuk
memelihara stabilitas dan kelayakan kapasitas beban sesuai dengan
atandar yang dibutuhkan.
2.2.4.1 Persyaratan dinding dan kolom.
1. Dinding luar, dinding biasa, dan bahan lantai serta rangka lantai untuk
sumuran lif ( lift pit ) harus dari bahan tidak dapat terbakar.
2. Tiap dinding dalam yang disyaratkan mempunyai TKA harus diteruskan
ke :
a. permukaan bagian bawah dari lantai di atasnya.
b. permukaan bagian bawah dari atap serta harus memenuhi Tabel II.9.
c. langit-langit yang tepat berada di bawah atap, memiliki ketahanan
terhadap penyebaran kebakaran ke ruang antara langit-langit dan atap
tidak kurang dari 60 menit ( 60/60/60 ).
d. bila menurut butir atap tidak disyaratkan memenuhi Tabel II.9, maka
permukaan bawah penutup atap yang terbuat dari bahan sukar terbakar
terkecuali penopang atap berdimensi 75 mm x 50 mm atau kurang,
tidak boleh digantikan dengan bahan kayu atau bahan mudah terbakar
lainnya.
3. Dinding pemikul beban seperti dinding dalam dan dinding pemisah tahan
api termasuk dinding-dinding yang merupakan bagian dari saf pemikul
beban harus dari bahan beton atau pasangan bata.
4. Bila suatu struktur yang tidak memikul beban yang berfungsi sebagai:
a. dinding dalam yang disyaratkan tahan api.
b. saf untuk lif, ventilasi, pembuangan sampah atau semacamnya yang
tidak digunakan untuk pembuangan atau pelepasan produk pembakaran.
maka harus dari konstruksi yang tidak mudah terbakar (non
combustible).
5. Tingkat ketahanan api sebagaimana tercantum pada Tabel II.9. untuk
kolom luar, berlaku pula untuk bagian dari kolom dalam yang
permukaannya.
6. Persyaratan kolom dan dinding internal. Bangunan dengan ketinggian
efektif tidak lebih dari 25 m dan atapnya tidak memenuhi Tabel II.9,
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-26
tetapi mengikuti persyaratan, maka pada lantai tepat di bawah atap, kolom-
kolom internal di luar serta dinding internal pemikul beban selain dinding-
dinding api boleh mempunyai:
(a). bangunan kelas 2 atau 3; TKA 60/60/60.
(b). bangunan kelas 5, 6, 7, 8 atau 9.
(1). bila jumlah lantai bangunan melebihi 3 lantai; TKA 60/60/60.
(2). bila jumlah lantai kurang dari 3 lantai; tidak perlu TKA.
Tabel II.9. Konstruksi Tipe A : TKA Elemen Bangunan.
Sumber: SNI 03 � 1736 � 2000 mengenai Tingkat Ketahanan Api
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-27
Tabel II.10. Konstruksi Tipe A : TKA Elemen Bangunan (Lanjutan)
Sumber: SNI 03 � 1736 � 2000 mengenai Tingkat Ketahanan Api
2.2.4.2 Persyaratan Lantai
Konstruksi lantai tidak perlu mengikuti Tabel II.10, apabila:
1. terletak langsung di atas tanah.
2. di bangunan kelas 2, 3, 5 atau 9 yang ruang di bawahnya bukanlah suatu
lapis bangunan, tidak digunakan untuk menampung kendaraan bermotor,
bukan suatu tempat penyimpanan atau gudang ataupun ruang kerja dan
tidak digunakan untuk tujuan khusus lainnya.
3. lantai panggung dari kayu di bangunan kelas 9 b yang terletak di atas
lantai yang mempunyai TKA dan ruang di bawah panggung tersebut tidak
digunakan untuk kamar ganti pakaian, tempat penyimpanan atau
semacamnya.
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-28
4. lantai yang terletak didalam unit hunian tunggal di bangunan kelas 2, 3
atau bagian bangunan kelas 4.
5. lantai dengan akses terbuka (untuk menampung layanan kelistrikan dan
peralatan elektronik) yang terletak di atas lantai yang memiliki TKA.
6. persyaratan berkaitan dengan pembebanan lantai bangunan kelas 5 dan 9
b. Pada lantai bangunan kelas 5 dan 9 b yang dirancang untuk beban hidup
tidak melebihi 3 kPa, maka:
a. lantai di atasnya (termasuk balok lantai) dibolehkan memiliki TKA
90/90/90.
b. atap, bila terletak langsung di atas lantai tersebut (termasuk balok
atap) dibolehkan memiliki TKA 90/60/30.
2.2.4.3 Persyaratan atap
1. Penempatan atap di atas plat beton penutup tidak perlu memenuhi syarat.
mengenai konstruksi tahan api, apabila:
a. penutup dan bagian-bagian konstruksi yang terletak diantara penutup
tersebut dengan plat beton seluruhnya dari bahan tidak mudah terbakar.
b. plat atap beton memenuhi Tabel II.10.
2. Suatu konstruksi atap tidak perlu memenuhi tabel 5.4.1. bila penutup atap
terbuat dari bahan tidak mudah terbakar dan bila pada bangunan tersebut:
a. terpasang seluruhnya sistem springkler sesuai standar yang berlaku.
b. terdiri atas 3 (tiga) lantai atau kurang.
c. adalah bangunan kelas 2 atau 3.
d. memiliki ketinggian efektif tidak lebih dari 25 m dan langit-langit
yang langsung berada di bawah atap mempunyai ketahanan terhadap
penyebaran awal kebakaran ke ruang atap tidak kurang dari 60
menit.
3. Lubang cahaya atap. Apabila atap disyaratkan memenuhi TKA ataupun
penutup atap disyaratkan dari bahan tidak mudah terbakar, maka lubang
cahaya atap atau semacamnya yang dipasang di atas harus:
(a). mempunyai luas total tidak lebih dari 20% dari luas permukaan atap.
(b). berada tidak kurang dari 3 m terhadap:
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-29
1. batas persil bangunan, dan tidak berlaku untuk batas dengan jalan
atau ruang publik.
2. tiap bagian bangunan yang menonjol di atas atap, kecuali:
a. bila bagian bangunan tersebut memenuhi TKA yang
disyaratkan untuk suatu dinding tahan api.
b. bila terdapat bukaan pada dinding tersebut, maka harus
berjarak vertikal 6 m di atas lubang cahaya atap, atau
semacamnya. harus dilindungi terhadap api.
3. setiap lubang cahaya atap atau semacamnya yang terletak pada
hunian tunggal yang bersebelahan, apabila dinding bersamanya
disyaratkan memenuhi TKA.
4. setiap lubang cahaya atap atau semacamnya pada bagian bangunan
berdekatan yang dipisahkan oleh dinding tahan api.
(c). Apabila suatu langit-langit yang memiliki ketahanan terhadap
penjalaran api awal, maka lubang cahaya atap harus dipasang
sedemikian rupa agar bisa mempertahankan tingkat proteksi yang
diberikan oleh langit-langit ke ruang atap.
2.2.5 Jalan Lingkungan
Berdasarkan Keputusan Mentri Pekerjaan Umum No.26 Tahun 2008.
Untuk melakukan proteksi terhadap meluasnya kebakaran dan
memudahkan operasi pemadaman, maka di dalam lingkungan bangunan
gedung harus tersedia jalan lingkungan dengan perkerasan agar dapat
dilalui oleh kendaraan pemadam kebakaran, dan juga sebagai sarana
penyelamatan. Menurut Keputusan Mentri Pekerjaan Umum No.26 Tahun
2008 Sarana penyelamatan adalah sarana yang dipersiapkan untuk
dipergunakan oleh penghuni maupun petugas pemadam kebakaran dalam
upaya penyelamatan jiwa manusia maupun harta benda bila terjadi
kebakaran pada suatu bangunan gedung dan lingkungan.
Lingkungan tersebut di atas harus direncanakan sedemikian rupa
sehingga tersedia sumber air berupa hidran halaman, sumur kebakaran
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-30
atau reservoir air dan sebagainya yang memudahkan instansi pemadam
kebakaran untuk menggunakannya, sehingga setiap rumah dan bangunan
gedung dapat dijangkau oleh pancaran air unit pemadam kebakaran dari
jalan di lingkungannya. Setiap lingkungan bangunan gedung harus
dilengkapi dengan sarana komunikasi umum yang dapat dipakai setiap
saat untuk memudahkan penyampaian informasi kebakaran. Akses
kendaraan pemadam kebakaran harus disediakan dan dipelihara sesuai
persyaratan teknis ini. Adapun persyaratan akses jalan lingkungan untuk
pemadam kebakarannya adalah sebagai berikut:
1. Jalan akses pemadam kebakaran yang telah disetujui harus
disediakan pada setiap fasilitas, bangunan gedung, atau bagian
bangunan gedung setelah selesai dibangun atau direlokasi.
2. Jalan akses pemadam kebakaran meliputi jalan kendaraan, jalan
untuk pemadam kebakaran, jalan ke tempat parkir, atau kombinasi
jalan-jalan tersebut.
3. Apabila jalan akses pemadam kebakaran tidak dapat dibangun
karena alasan lokasi, topografi, jalur air, ukuran-ukuran yang tidak
dapat dinegosiasi, atau kondisi-kondisi semacam itu, maka pihak
yang berwenang bisa mensyaratkan adanya fitur proteksi kebakaran
tambahan.
4. Jalur akses pemadam kebakaran lebih dari satu bisa disediakan
apabila ditentukan oleh OBS (Otoritas berwenang setempat) dengan
pertimbangan bahwa jalan akses tunggal kurang bisa diandalkan
karena kemacetan lalu lintas, kondisi ketinggian, kondisi iklim, dan
faktor-faktor lainnya yang bisa menghalangi akses tersebut.
Pada setiap akses jalan pemadam kebakaran dibutuhkan perkerasan
jalan yang memadai. Di setiap bagian dari bangunan gedung hunian di
mana ketinggian lantai hunian tertinggi diukur dari rata-rata tanah tidak
melebihi 10 meter, maka tidak dipersyaratkan adanya lapis perkerasan,
kecuali diperlukan area operasional dengan lebar 4 meter sepanjang sisi
bangunan gedung tempat bukaan akses diletakkan, asalkan ruangan
operasional tersebut dapat dicapai pada jarak 45 meter dari jalur masuk
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-31
mobil pemadam kebakaran. Dalam tiap bagian dari bangunan gedung
(selain bangunan gedung rumah tinggal satu atau dua keluarga),
perkerasan harus ditempatkan sedemikian rupa agar dapat langsung
mencapai bukaan akses pemadam kebakaran pada bangunan gedung.
Perkerasan tersebut harus dapat mengakomodasi jalan masuk dan
manuver mobil pemadam, snorkel, mobil pompa dan mobil tangga dan
platform hidrolik serta mempunyai spesifikasi sebagai berikut:
1. Lebar minimum lapis perkerasan 6 meter dan panjang minimum 15
meter. Bagian-bagian lain dari jalur masuk yang digunakan untuk
lewat mobil pemadam kebakaran lebarnya tidak boleh kurang dari 4
meter.
2. Lapis perkerasan harus ditempatkan sedemikian agar tepi terdekat
tidak boleh kurang dari 2 meter atau lebih dari 10 meter dari pusat
posisi akses pemadam kebakaran diukur secara horizontal.
3. Lapis perkerasan harus dibuat dari metal, paving blok, atau lapisan
yang diperkuat agar dapat menyangga beban peralatan pemadam
kebakaran. Persyaratan perkerasan untuk melayani bangunan gedung
yang ketinggian lantai huniannya melebihi 24 meter harus
dikonstruksi untuk menahan beban statis mobil pemadam kebakaran
seberat 44 ton dengan beban plat kaki (jack).
4. Lapis perkerasan harus dibuat sedatar mungkin dengan kemiringan
tidak boleh lebih dari 1 : 8,3.
5. Lapis perkerasan dan jalur akses tidak boleh melebihi 46 m dan bila
melebihi 46 harus diberi fasilitas belokan.
2.2.6 Jarak Antar Bangunan
Pada Keputusan Mentri Pekerjaan Umum No.26 Tahun 2008
dituliskan bahwa untuk melakukan proteksi terhadap meluasnya
kebakaran, harus diusulkan pula perencanaan tapak. Perencanaan tapak
adalah perencanaan yang mengatur tapak (site) bangunan, meliputi tata
letak dan orientasi bangunan, jarak antar bangunan, penempatan hidran
halaman, penyediaan ruang-ruang terbuka dan sebagainya dalam rangka
mencegah dan meminimasi bahaya kebakaran.
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-32
Tabel II.11 Jarak antar bangunan gedung
Sumber : KepMen PU No.26 Tahun 2008
Jarak minimum antar bangunan gedung tersebut tidak dimaksudkan
untuk menentukan garis sempadan bangunan gedung. Garis sempadan
bangunan gedung tetap mengikuti ketentuan rencana tata ruang wilayah
yang berlaku di kabupaten/kota atau Provinsi DKI Jakarta.
2.2.7 Kompartemenisasi
Setiap bangunan gedung harus dilindungi dengan sistem proteksi
pasif yang tujuannya adalah untuk meminimasi risiko penyebaran
kebakaran antara bangunan bangunan yang bersebelahan melalui
pemisahan antar bangunan, mencegah keruntuhan bangunan yang tidak
pada waktunya saat terjadi kebakaran, lewat sistem konstruksi yang stabil
dan tahan lama (durable), dan mencegah penyebaran api di antara bagian-
bagian dalam bangunan melalui kompartemenisasi. Menurut SNI 03-1736-
2000, kompartemenisasi ialah usaha untuk mencegah penjalaran
kebakaran dengan cara membatasi api dengan dinding, lantai kolom,
balok, balok yang tahan terhadap api untuk waktu yang sesuai dengan
kelas bangunan. Pada sistem proteksi pasif unsur-unsur utama yang harus
diperhatikan adalah ketahanan api dan stabilitas struktur,
kompartemenisasi dan pemisahan serta perlindungan pada bukaan,
disamping pemenuhan persyaratan kinerja.
Ukuran dari setiap kompartemen kebakaran atau atrium bangunan
klas 5, 6 ,7 ,8 atau 9 harus tidak melebihi luasan atau volume maksimum.
Ukuran kompartemen pada bangunan dapat melebihi ketentuan, bila:
1) Luasan bangunan tidak melebihi 18.000 m² dan volumenya tidak
melebihi 108.000 ��, dengan ketentuan: 1. Bangunan klas 7 atau 8
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-33
yang memiliki lantai bangunan tidak lebih dari 2 lantai dan terdapat
ruang terbuka yang lebarnya tidak kurang dari 18 m; dan 2.
Bangunan klas 5 sampai dengan 9 yang dilindungi seluruhnya
dengan sistem sprinkler otomatis, dan dikelilingi jalan masuk
kendaraan.
2) Bangunan melebihi 18.000 m² luasnya atau 108.000 ��
volumenya, dilindungi dengan sistem sprinkler, dikelilingi jalan
masuk kendaraan sesuai dengan ketentuan dalam peraturan ini dan
apabila: 1. Ketinggian langit-langit kompartemen tidak lebih dari
12 m, dilengkapi dengan sistem pembuangan asap atau ventilasi
asap dan panas sesuai pedoman teknis dan standar teknis yang
berlaku; 2. Ketinggian langit-langit lebih dari 12 m, dilengkapi
dengan sistem pembuangan asap sesuai ketentuan yang berlaku.
3) Bila terdapat lebih dari satu bangunan pada satu kapling:
a. Setiap bangunan harus memenuhi ketentuan huruf a atau
huruf b;
b. Bila jarak antar bangunan satu lainnya kurang dari 6 m,
maka seluruhnya akan dianggap sebagai satu bangunan dan
secara bersama harus memenuhi ketentuan huruf a atau
huruf b.
2.2.8 Jalan Keluar
Jarak dari dalam bangunan ke luar yang relative pendek dan tidak
membutuhkan waktu yang lama untuk penghuni keluar ruangan ke jalan
utama. Untuk akses keluar bagi penghuni gedung yaitu melalui pintu-pintu
darurat yang langsung menuju dekat pintu utama. Kondisi jalan keluar
adalah sebagai berikut:
1. Eksit memiliki kondisi terpisah dan terlindungi, ditandai dengan
konstruksi beton dan pasangan bata yang tertutup dari lantai teratas
sampai dengan pintu keluar bangunan dan dilengkapi dengan pintu
tahan api.
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-34
2. Jumlah sarana jalan keluar pada bangunan dihitung dengan beban
penghuni (pengelola, pengunjung, penghuni, pekerja dan semua yang
terlibat) pada bangunan.
3. Pintu standar kebakaran dipasang pada semua bagian jalan keluar
pada setiap lantai dan diberi tanda warna merah untuk memudahkan
penandaan sesuai dengan standar untuk jalur evakuasi.
4. Ketinggian jalan keluar/pintu darurat adalah 2,1 m dan di pasang pada
setiap jalan keluar di tiap-tiap lantai.
5. Jarak pintu darurat/eksit satu dengan yang lain adalah kurang dari
45m.
6. Penanda jalan keluar terpasang diatas pintu darurat dan terlihat jelas.
2.2.9 Kontruksi Jalan Keluar
Rata-rata bentuk konstruksi jalan keluar pada setiap gedung berupa
koridor-koridor panjang yang biasa di lalui oleh penghuni sebagai jalur cepat
atau jalur evakuasi khusus. Koridor tersebut terbuat dari beton betulang atau
bahan-bahan lain yang mampu bertahan terhadap api dalam waktu beberapa
jam. Sehingga dapat memberikan waktu evakuasi bagi penghuni bangunan
saat terjadi kebakaran.
Berdasarkan standar lebar bersih suatu koridor untuk bangunan ini adalah
sebesar ± 2 meter. Selain itu di jelaskan juga bahwa koridor dan jalur keluar
harus di lengkapi dengan tanda/arah yang menunjukkan lokasi pintu keluar,
seperti tanda panah EXIT/KELUAR dan harus diletakkan pada setiap lokasi
dimana pintu keluar terdekat tidak terlihat.
2.3 Sistem Proteksi Pasif
Berdasarkan KepMen PU No 10/KPTS/2000, sistem proteksi pasif
adalah sistem perlindungan terhadap kebakaran yang dilaksanakan dengan
melakukan pengaturan terhadap komponen bangunan gedung dari aspek
arsitektur dan struktur sedemikian rupa sehingga dapat melindungi penghuni
dan benda dari kerusakan fisik saat terjadi kebakaran.
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-35
2.3.1 Tangga Darurat
Bangunan gedung harus disediakan sarana vertikal selain lift,
seperti tangga darurat. Dalam Bab 1 butir 69 Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum Nomor: 26/PRT/M/2008, tangga kebakaran adalah tangga yang
direncanakan khusus untuk penyelamatan bila terjadi kebakaran.
Dalam perencanaan tangga darurat/tangga kebakaran ada beberapa
kriteria yang disyaratkan untuk digunakan dalam perancangan menurut
Juwana (2005:139) dan dalam Bab 3 butir 3.8.1.1 Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor: 26/PRT/M/2008 bahwa semua tangga darurat,
terutama pada bangunan tinggi harus aman dan terlindung dari api dan gas
panas yang beracun. Sedangkan pada SNI 03-1746-2000 butir 5.2 kriteria
tangga darurat, antara lain:
1) Konstruksi.
Semua tangga yang digunakan sebagai sarana jalan ke luar sesuai
persyaratan, harus dari konstruksi tetap yang permanen.
Setiap tangga, panggung (platform) dan bordes tangga dalam
bangunan yang dipersyaratkan dalam standar ini untuk konstruksi
kelas A atau kelas B harus dari bahan yang tidak mudah terbakar.
2) Bordes tangga.
Tangga dan bordes antar tangga harus sama lebar dengan tanpa
pengurangan lebar sepanjang arah lintasan jalan ke luar. Dalam
bangunan baru, setiap bordes tangga harus mempunyai dimensi
yang diukur dalam arah lintasan sama dengan lebar tangga.
Pengecualian: Bordes tangga harus diijinkan untuk tidak lebih dari
120 cm (4 ft) dalam arah lintasan, asalkan tangga mempunyai jalan
lurus.
3) Permukaan anak tangga dan bordes tangga.
Anak tangga dan bordes tangga harus padat, tahanan gelincir
tangganya seragam, dan bebas dari tonjolan atau bibir yang dapat
menyebabkan pengguna tangga jatuh. Jika tidak tegak (vertikal),
ketinggian anak tangga harus diijinkan dengan kemiringan di
bawah anak tangga pada sudut tidak lebih dari 30 derajat dari
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-36
vertikal, bagaimanapun, tonjolan yang diijinkan dari pingulan
harus tidak lebih dari 4 cm (1½ inci).
4) Kemiringan anak tangga harus tidak lebih dari 2 cm per m (¼ inci
per ft ) (kemiringan 1 : 48).
5) Ketinggian anak tangga harus diukur sebagai jarak vertikal antar
pingulan anak tangga.
6) Kedalaman anak tangga harus diukur horisontal antara bidang
vertikal dari tonjolan terdepan dari anak tangga yang bersebelahan
dan pada sudut yang betul terhadap ujung terdepan anak tangga,
tetapi tidak termasuk permukaan anak tangga yang dimiringkan
atau dibulatkan terhadap kemiringan lebih dari 20 derajat
(kemiringan 1 : 2,75).
7) Pada pinggiran anak tangga, pemiringan atau pembulatan harus
tidak lebih dari 1,3 cm (½ inci) dalam dimensi horizontal.
8) Harus tidak ada variasi lebih dari 1 cm (3/16 inci) di dalam
kedalaman anak tangga yang bersebelahan atau di dalam
ketinggian dari tinggi anak tangga yang bersebelahan, dan toleransi
antara tinggi terbesar dan terkecil atau antara anak tangga terbesar
dan terkecil harus tidak lebih dari 1 cm (3/8 inci) dalam sederetan
anak tangga. Pengecualian: Apabila anak tangga terbawah yang
berhubungan dengan kemiringan jalan umum, jalur pejalan kaki,
jalur lalu lintas, mempunyai tingkat ditentukan dan melayani suatu
bordes, perbedaan ketinggian anak tangga terbawah tidak boleh
lebih dari 7,6 cm (3 inci) dalam setiap 91 cm (3 ft) lebar jalur
tangga harus diijinkan.
9) Pagar pengaman dan rel pegangan tangan.
10) Sarana jalan ke luar yang lebih dari 75 cm (30 inci) di atas lantai
atau di bawah tanah harus dilengkapi dengan pagar pengaman
untuk mencegah jatuh dari sisi yang terbuka.
11) Tangga dan ram harus mempunyai rel pegangan tangan pada kedua
sisinya. Di dalam penambahan, rel pegangan tangan harus
disediakan di dalam jarak 75 cm (30 inci) dari semua bagian lebar
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-37
jalan ke luar yang dipersyaratkan oleh tangga. Lebar jalan ke luar
yang dipersyaratkan harus sepanjang jalur dasar dari lintasan.
Pengecualian 1:
Pada tangga yang sudah ada, pegangan tangga harus disediakan di dalam
jarak 110 cm (44 inci) dari semua bagian lebar jalan ke luar yang
disyaratkan oleh tangga.
Pengecualian 2:
Jika bagian dari batu penahan pinggiran trotoir memisahkan sisi pejalan
kaki dari jalan kendaraan, sebuah langkah tunggal atau sebuah ram tidak
harus disyaratkan untuk mempunyai rel pegangan tangan.
Pengecualian 3:
12) Tangga yang sudah ada, ram yang sudah ada, tangga di dalam unit
rumah tinggal dan di dalam wismar tamu, dan ram di dalam unit
rumah tinggal dan di dalam wisma tamu, harus mempunyai sebuah
rel pegangan tangan tidak kurang pada satu sisi.
13) Pagar pengaman dan rel pegangan tangan yang disyaratkan harus
menerus sepanjang tangga. Pada belokan tangga, rel pegangan
tangan bagian dalam harus menerus antara deretan tangga pada
bordes tangga. Pengecualian: Pada tangga yang sudah ada, rel
pegangan tangan harus tidak dipersyaratkan menerus antara
deretan tangga pada bordes.
14) Rancangan dari pagar pelindung dan rel pegangan tangan dan
perangkat keras untuk memasangkan rel pegangan tangan ke pagar
pelindung, balustrade atau dinding-dinding harus sedemikian
sehingga tidak ada tonjolan yang mungkin menyangkut pakaian.
15) Bukaan pagar pelindung harus dirancang untuk mencegah pakaian
yang menyangkut menjadi terjepit pada bukaan seperti itu.
16) Rel pegangan tangan pada tangga harus paling sedikit 86 cm (34
inci) dan tidak lebih dari 96 cm (38 inci) di atas permukaan anak
tangga, diukur vertikal dari atas rel sampai ke ujung anak tangga.
Pengecualian 1: Ketinggian dari rel pegangan tangan yang
diperlukan yang membentuk bagian dari pagar pelindung harus
diijinkan tidak lebih dari 107 cm (42 inci) diukur vertikal ke bagian
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-38
atas rel dari ujung anak tangga. Pengecualian 2: Rel pegangan
tangan yang sudah ada harus paling sedikit 76 cm (30 inci) dan
tidak lebih dari 96 cm (38 inci) di atas permukaan atas anak
tangga, diukur vertikal ke bagian atas rel dari ujung anak
tangga.Pengecualian 3: Rel pegangan tangan tambahan yang lebih
rendah atau lebih tinggi dari pada rel pegangan tangan utama harus
diijinkan.
17) Rel pegangan tangan yang baru harus menyediakan suatu jarak
bebas paling sedikit 3,8 cm (1½ inci) antara rel pegangan tangan
dan dinding pada mana rel itu dipasangkan.
18) Rel pegangan tangan yang baru harus memiliki luas penampang
lingkaran dengan diameter luar paling sedikit 3,2 cm (1¼ inci) dan
tidak lebih dari 5 cm (2 inci). Rel pegangan tangan yang baru harus
dengan mudah dipegang terus menerus sepanjang seluruh
panjangnya. Pengecualian 1: Setiap bentuk lain dengan satu
dimensi keliling paling sedikit 10 cm (4 inci) tetapi tidak lebih dari
16 cm (6¼ inci), dan dengan dimensi penampang terbesar tidak
lebih dari 5,7 cm (2¼ inci) harus diijinkan, asalkan ujungnya
dibulatkan sampai satu jarak radius minimum 0,3 cm (1/8 inci).
Pengecualian 2: Pengikat rel pegangan tangan atau balustrade
dipasang ke bagian bawah permukaan dari rel pegangan tangan,
yang mana tonjolan horisontalnya tidak melewati sisi sisi dari rel
pegangan tangan dalam jarak 2,5 cm (1 inci) dari bagian bawah rel
pegangan tangan dan yang memiliki ujung dengan radius minimum
0,3 cm (1/8 inci), harus tidak dipertimbangkan sebagai penghalang
pada pegangan tangan.
19) Ujung rel pegangan tangan yang baru harus dikembalikan ke
dinding atau lantai atau berhenti pada tempat terbaru.
20) Rel pegangan tangan yang baru yang tidak menerus diantara
sederetan anak tangga harus melebar horisontal, pada ketinggian
yang diperlukan, paling sedikit 30 cm (12 inci) tidak melebihi tiang
tegak teratas dan menerus miring pada kedalaman satu anak tangga
di atas tiang tegak paling bawah. Pengecualian: Apabila disetujui
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-39
oleh instansi yang berwenang karena keterbatasan tempat dan di
dalam unit hunian, kepanjangan horisontal di atas anak tangga
teratas tidak diperlukan asalkan rel pegangan tangan memanjang
pada ketinggian yang diperlukan sampai pada satu titik langsung di
atas tiang tegak teratas.
21) Ketinggian pagar pengaman yang dipersyaratkan harus diukur
vertikal ke bagian atas pagar pengaman dari permukaan yang dekat
dimaksud.
22) Pagar pengaman paling sedikit harus 100 cm (42 inci) tingginya.
Pengecualian 1: Pagar pengaman yang sudah ada yang di dalam
unit hunian harus sedikitnya 90 cm (36 inci) tingginya.
Pengecualian 2: Seperti yang ada pada bangunan kumpulan.
Pengecualian 3: Pagar pengaman yang sudah ada pada tangga yang
sudah ada harus paling sedikit tingginya 80 cm (30 inci).
23) Pagar pengaman terbuka harus mempunyai rel atau pola ornamen
sehingga bola berdiameter 10 cm (4 inci) harus tidak bisa lolos
melalui bukaan sampai ketinggian 80 cm (34 inci). Pengecualian 1:
Bukaan segitiga yang dibentuk oleh tiang tegak, anak tangga, dan
elemen bawah rel pagar pengaman pada sisi terbuka dari sebuah
tangga harus ukurannya sedemikian rupa sehingga sebuah bola
dengan diameter 15 cm (6 inci) harus tidak dapat lolos melalui
bukaan segitiga itu. Pengecualian 2: Dalam rumah tahanan, dalam
hunian industri, dan di dalam gudang, jarak bebas antara rel
terdekat diukur tegak lurus pada rel harus tidak lebih dari 50 cm
(21 inci). Pengecualian 3: Pagar pengaman yang sudah ada yang
disetujui.
Ruangan tertutup dan proteksi dari tangga
24) Semua tangga di dalam, yang melayani sebuah eksit atau
komponen eksit harus tertutup (harus aman dan terlindung dari api
dan gas panas yang beracun).
25) Semua tangga lain di dalam harus diproteksi sesuai dengan bukaan
vertikalnya. Pengecualian: Dalam bangunan gedung yang sudah
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-40
ada, apabila sebuah ruangan eksit dua lantai menghubungkan lantai
eksit pelepasan dengan lantai berdekatan, eksit tersebut harus
dipersyaratkan untuk ditutup pada lantai eksit pelepasan dan paling
sedikit 50% dari jumlah dan kapasitas eksit pada lantai eksit
pelepasan harus tersendiri ditutupnya.
26) Apabila dinding yang bukan tahan terhadap api atau bukan tidak
terproteksi menutup bagian luar jalur tangga dan dinding serta
bukaan itu di ekspos pada bagian lain dari bangunan pada satu
sudut tidak lebih dari 180 derajat, dinding penutup bangunan dalam
jarak 3 m (10 ft) horisontal dari dinding yang bukan tahan api atau
bukan yang terproteksi harus dikonstruksikan seperti
dipersyaratkan untuk ruang jalur tangga tertutup termasuk proteksi
untuk bukaannya. Konstruksi harus menjulur vertikal dari dasar ke
suatu titik 3 m (10 ft) di atas bordes tangga di puncak paling tinggi
atau pada garis atap, yang mana yang lebih rendah.
Untuk perencanaan tangga darurat/tangga kebakaran, perlu
mempertimbangkan jumlah orang (N) yang dapat terakomodasi,
lebar tangga darurat, dan jumlah lantai. Perhitungan ini dilakukan
sesuai dengan persamaan berikut:
P = 200w + [50(w � 0,3)] (n � 1)������������ ���
Dimana:
P = jumlah orang yang direkomendasi
w = lebar tangga dalam meter
n = jumlah lantai bangunan
Pada tangga darurat harus diadakan penandaan jalur tangga. Dalam
perencanaan penandaan tangga darurat/kebakaran ada beberapa
kriteria yang disyaratkan berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum Nomor: 26/PRT/M/2008 Bab 3 butir 3.8.4, antara lain:
27) Menunjukkan tingkat lantai,
28) Menunjukkan akhir teratas dan terbawah dari ruang tangga
terlindung,
29) Menunjukkan tingkat lantai dari, dan ke arah eksit pelepasan,
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-41
30) Diletakkan di dalam ruang terlindung di tempat mendekati 1,5 m di
atas bordes lantai dalam suatu posisi yang mudah terlihat bila pintu
dalam posisi terbuka atau tertutup,
31) Dicat atau dituliskan pada dinding atau pada penandaan terpisah
yang terpasang kuat pada dinding,
32) Huruf identifikasi jalur tangga harus ditempatkan pada bagian atas
dari penandaan dengan tinggi minimum huruf 2,5 cm dan harus
�������� ��������� ������� ��!����! ��!�"#$%��
33) Angka level lantai harus ditempatkan di tengah-tengah penandaan
dengan tinggi angka minimum 12,5 cm.
Berdasarkan SNI 03-1746-&''' ������� (��� )�!� *�!��)�����
dan pemasangan sarana jalan keluar untuk penyelamatan terhadap
+���,� ��+���!�� *�%� +������� ��%���- ��!%�*�� ���������-
ketentuan pemasangan jalur keluar atau jalan penyelamatan
(emergency exit) berupa tangga kebakaran (fire scape) yang harus
memperhatikan syarat-syarat di bawah ini:
(a) Tangga terbuat dari konstruksi beton atau baja dengan yang
mempunyai ketahanan kebakaran selama 2 jam;
(b) Tangga dipisahkan dari ruangan-ruangan lain dengan dinding
beton yang tebalnya minimum 15 cm atau tebal tembok 30 cm
yang mempunyai ketahanan kebakaran selama 2 jam;
(c) Bahan-bahan finishing, seperti lantai dari bahan yang tidak
mudah terbakar dan tidak licin.
(d) Lebar tangga minimum 120 cm (untuk lalu lintas 2 orang);
(e) Harus dapat dilewati minimal oleh 2 orang bersama-sama atau
lebar bersih tangga minimal 120 cm;
(f) Untuk anak tangga, lebar minimum injakan tangga 27,9 cm,
tinggi minimum 10,5 cm, tinggi maksimum 17,8 cm dan
.��/�� &012 3 4' )�;
Keterangan : R = lebar injakan tangga
G = Tinggi injakan tangga
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-42
(g) Harus mudah dilihat dan dicapai (dilengkapi dengan petunjuk
arah). Jarak maksimum dari sentral kegiatan 30 m atau antar
tangga 60 m;
(h) Supaya asap kebakaran tidak masuk kedalam ruangan tangga,
diperlukan Exhaust fan dan Pressure fan.
2.3.2 Pintu Darurat
Berdasarkan SNI 03-1746-���� ������� ����� �� � !� �������� "��
pemasangan sarana jalan keluar untuk penyelamatan terhadap bahaya
#�$�#� �� !�"� $���%��� ��"%��& �� "�!�� '���"� (������) !�(�'�����
pintu darurat, yaitu:
a. Bukaan pintu harus sedikitnya memiliki lebar bersih 90 cm,
b. Pintu harus tahan api sekurang-kurangnya 2 jam,
c. Pintu harus dilengkapi minimal 3 engsel,
d. *)��% ")+���#�!) !� )������ �,-./0 12-3/-456 �/�/*
3178-.5&,
e. Pintu harus dicat berwarna merah.
Pintu darurat adalah pintu yang langsung menuju tangga kebakaran dan
hanya dipergunakan apabila terjadi kebakaran.
a. Pintu harus tahan terhadap api sekurang-kurangnya dua jam.
b. Pintu harus dilengkapi minimal 3 engsel.
c. Pintu juga harus dilengkapi dengan alat penutup otomatis (door
closer).
d. Bila pintu dioperasikan dengan tenaga listrik maka harus dapat
dibuka secara manual bila terjadi kerusakan, dapat membuka
langsung kearah jalan umum dan harus dapat membuka otomatis
bila terjadi kegagalan pada daya listrik atu saat aktivasi alarm
kebakaran.
e. Pintu dilengkapi dengan tuas atau tungkai pembuka pintu yang
berada diluar ruang tangga (kecuali tangga yang berada dilantai
dasar, berada didalam ruang tangga) dan sebaiknya menggunakan
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-43
tuas yang memudahkan, terutama dalam keadaan panik (panic
bar).
f. ����� ������� !� ���� � � �� !�"��� � � #$%&''% (%)*)%$
+ $*$*� ,-./%0123
g. Pintu dapat dilengkapi dengan kaca tahan api.
h. Ambang pintu harus tidak mengenai anak tangga atau ramp
minimal selebar daun pintu.
i. Pintu paling atas membuka kearah luar (atap bangunan) dan semua
pintu lainnya membuka kearah ruangan tangga kecuali pintu paling
bawah membuka keluar dan langsung berhubungan ruang luar.
2.3.3 Jalur Evakuasi
Berdasarkan SNI 03-1736-2000 menjelaskan tentang persyaratan teknis
pemasangan dan syarat elemen struktur maupun arsitektur dalam
penanganan bahaya kebakaran secara proteksi pasif. Jalur-jalur evakuasi
adalah salah satu sistem proteksi pasif yang harus dirancang dengan baik
sehingga dapat memudahkan proses penyelamatan pada penghuni gedung,
karena penyelamatan jiwa adalah hal yang harus diutamakan. Selain jalur
evakuasi, tangga darurat, peta evakuasi dan assembly meeting point juga
termasuk sistem proteksi kebakaran pasif yang harus diperhatikan.
Berikut adalah persyaratan perencanaan akses jalur evakuasi serta pintu
darurat yang harus diterapkan:
1. Jalur Evakuasi bersifat permanen, menyatu dengan bangunan
gedung.
2. Jalur Evakuasi harus memiliki akses langsung ke jalan atau ruang
terbuka yang aman.
3. Jalur Evakuasi di lengkapi Penanda yang jelas dan mudah terlihat.
4. Penanda/Safety Sign dapat menyala di kegelapan (glow in the
dark).
5. Jalur Evakuasi di lengkapi penerangan yang cukup.
6. Jalur Evakuasi bebas dari benda yang mudah terbakar atau benda
yang dapat membahayakan.
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-44
7. Jalur Evakuasi bersih dari orang atau barang yang dapat
menghalangi gerak.
8. Jalur Evakuasi tidak melewati ruang yang dapat dikunci.
9. Jalur Evakuasi memiliki lebar minimal 71,1 cm dan tinggi langit-
langit minimal 230 cm.
10. Pintu Darurat dapat di buka ke luar, searah Jalur Evakuasi menuju
Titik Kumpul.
11. Pintu Darurat bisa di buka dengan mudah, bahkan dalam keadaan
panik.
12. Pintu Darurat di lengkapi dengan penutup pintu otomatis.
13. Pintu Darurat dicat dengan warna yang mencolok dan berbeda
dengan bagian bangunan lainnya.
2.3.4 Marka Jalan dan Titik Kumpul
Selain membahas SNI 03-1746-2000 menjelasakan terkait persyaratan
penempatan pintu darurat dan juga bagaimana penyusunan akses ke pintu
darurat sehingga akses yang diterapkan mudak dicapai oleh penghuni
bangunan. Dalam upaya meraih pintu darurat, diperlukan adanya marka
jalan sebagai petunjuk jalan saat terjadinya kebakaran. Pemberian petunjuk
arah keluar bertujuan untuk memberikan petunjuk atau rambu yang cukup
jelas untuk menuju jalan keluar (exit) dan alur pencapaian menuju exit.
Dalam menunjang proses evakuasi, tanda-tanda yang cocok atau cara lain
untuk dapat mengenali, sampai pada tingkat yang diperlukan harus
memenuhi syarat, yakni sebagai berikut:
a. Penunjuk arah keluar harus dipasang pada sepanjang koridor
bangunan .
b. Penunjuk arah keluar harus terpasang pada ruang koridor, di atas
pintu tangga kebakaran dan tempat lain yang direncanakan untuk
evakuasi.
c. Pada setiap ruangan yang digunakan lebih dari 10 orang, harus
dipasang denah evakuasi pada tempat yang mudah dilihat.
d. Penunjuk arah keluar harus menggunakan 2 sumber daya listrik
berbeda.
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-45
e. Penunjuk arah keluar harus mempunyai kuat penerangan minimal 50
lux dan berwarna hijau dengan warna tulisan adalah putih (tinggi
huruf 10 cm dan tebal huruf 1 cm).
f. Penempatan penunjuk arah keluar harus mudah terlihat jelas dan
terang dari jarak 20 m.
g. Jarak antara penunjuk arah keluar minimal 15 m & maksimal 20 m
dan, tinggi penunjuk arah keluar 2 m dari lantai.
Perencanaan marka jalan dan titik kumpul juga diatur dalam Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2016. Perencanaan
titik kumpul merupakan salah satu bagian dari manajemen tanggap darurat
gedung. Manajemen tanggap darurat gedung pada perinsipnya dilakukan
sama untuk kebakaran, gempa, huru-hara, banjir, dan ancaman bom.
Manajemen tanggap darurat gedung bertujuan untuk meminimalkan dampak
terjadinya kejadian yang dapat menimbulkan kerugian fisik, material, jiwa,
bagi karyawan dan pengunjung perkantoran. Tindakan Awal Dalam
Rencana Tanggap Darurat:
a. Merencanakan suatu titik kumpul (Assembly Point) yang merupakan
suatu Denah Evakuasi yang menunjukkan kemana pekerja
berkumpul bila terjadi kondisi darurat dan diperintahkan untuk
evakuasi.
b. Mengadakan simulasi kebakaran dan bencana yang melibatkan dinas
kebakaran setempat dan kalau perlu dengan mengikutsertakan dinas
atau instansi terkait lainnya.
c. Menyiapkan sirene-sirene dan alarm tanda bahaya.
d. Menyiapkan rambu-rambu arah ke tempat titik kumpul, lokasi
tabung pemadam kebakaran dan lain-lain.
e. Menyiapkan prosedur tanggap darurat.
Pada perarutan ini pula dijelaskan bagaimana kondisi lokasi dari
bangunan yang sedang terjadi bencana ke titik kumpul. Adapun
persyaratannya diantaranya yaitu:
a. Rute evakuasi harus bebas dari barang-barang yang dapat
mengganggu kelancaran evakuasi dan mudah dicapai.
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-46
b. Koridor, terowongan, tangga harus merupakan daerah aman
sementara dari bahaya api, asap dan gas. Dalam penempatan pintu
keluar darurat harus diatur sedemikian rupa sehingga dimana saja
penghuni dapat, menjangkau pintu keluar (exit).
c. Koridor dan jalan keluar harus tidak licin, bebas hambatan dan
mempunyai lebar untuk koridor minimum 1,2 m dan untuk jalan
keluar 2 m.
d. Rute evakuasi harus diberi penerangan yang cukup dan tidak
tergantung dari sumber utama.
e. Arah menuju pintu keluar(exit) harus dipasang petunjuk yang jelas.
f. Pintu keluar darurat (emergency exit) harus diberi tanda tulisan.
2.4 Pengujian Komponen Bangunan
Bangunan biasanya dihuni oleh banyak manusia, baik dalam melakukan
pekerjaan, menghadiri sebuah acara, kegiatan keagamaan, sekolah, rumah
sakit, dll. Maka dari itu suatu bangunan diperlukan pengujian secara berkala
untuk mengetahui apakah bangunan tersebut masih layak huni, ataukah
diperlukan perbaikan secara besar-besaran. Adapun cara mengidentifikasi
bangunan tersebut dapat dilakukan dengan dua cara yakni pengujian dengan
merusak struktur bangunan (Destructuve Test) dan pengujian tanpa merusak
struktur bangunan (Non-Destructive Test).
2.4.1 Non-Destructive Test (NDT)
Kekuatan beton merupakan salah satu sifat yang paling utama disamping
sifat-sifat lainnya, Kekuatan suatu beton sangat dipengaruhi oleh faktor-
faktor berikut:
a) Faktor Air Semen
Yaitu jumlah air yang ada dalam beton dibanding dengan jumlah
semen. Makin tinggi nilai air semen dalam beton maka makin
rendah kekuatan betonnya, dan hal tersebut berlaku sebaliknya.
b) Umur atau Waktu Perkerasan
Rendahnya kekuatan suatu beton sangatlah dipengaruhi oleh umur
beton tersebut. Makin muda umur suatu beton, maka makin rendah
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-47
pula kekuatannya dibandingkan dengan beton yang sudah cukup
umur. Hal ini dikarenakan pada umur muda sifat perekat pada
semen belum selesai terhidarasi. Bila semen telah terhidrasi semua
maka kekuatan akan menjadi maksimum. Secara umum, semen
akan terhidrasi sempurna dalam waktu 4 minggu (28 hari) pada
suhu normal (± 20°C), tergantung suhu dan kelembaban kondisi
dibuatnya beton tersebut.
Kekuatan suatu struktur bangunan ditentukan oleh salah satunya adalah kuat
tekan beton. Didalam mengevaluasi kekuatan beton, compression test
menjadi standar untuk mengetahui kualitas suatu struktur secara keseluruhan
(Setjo R., 2012).
Berdasarkan Peraturan Menteri PU Nomor 25/RT/M2007, keandalan
bangunan gedung adalah kondisi keselamatan, kesehatan kenyamanan, dan
kemudahan yang memenuhi persyaratan keandalan bangunan gedung. Untuk
mengetahui keandalan bangunan tersebut, maka dilakukan investigasi dengan
pengujian kekuatan struktur, untuk menilai kuat tekan beton berdsasarkan
metode pengujian Non-Destructive Test (NDT). Non-Destructive Test (NDT)
adalah suatu metoda pengujian suatu struktur beton ataupun material lain
tanpa merusak. Ada beberapa metoda pengujian Non-Destructive Test (NDT)
antara lain: Hammer test, UPV (Ultrasonic Pulse Velocity Test), Profometer.
Adapun pada tugas akhir ini lebih ditekankan pada Hammer test dan
Profometer.
2.4.1.1 Hammer test
Salah satu cara yang umum dilakukan untuk mengetahui sisa
kekuatan tekan beron yang tidak merusak adalah dengan menggunakan
alat palu beton. Alat penguji ini dikenal dengan nama Hammer Test.
Hammer test merupakan suatu alat utuk memeriksa mutu beton tanpa
merusak beton. Dengan menggunakan metode ini akan diperoleh cukup
banyak data dalam waktu yang relatif singkat dengan biaya yang
murah. Metode pengujian ini dilakukan dengan memberikan tumbukan
pada permukaan beton. Jarak pantulan yang timbul dari massa tersebut
pada saat terjadi tumbukan dengan permukaan beton benda uji dapat
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-48
memberikan indikasi kekerasan juga setelah dikalibrasi, dapat
memberikan pengujian ini adalah jenis "Hammer".
Alat ini sangat berguna untuk mengetahui keseragaman material
beton pada struktur, maka dari itu Hammer test sangat peka terhadap
variasi yang ada pada permukaan beton, dan diperlukan pengambilan
beberapa kali pengukuran disekitar setiap lokasi pengukuran, yang
hasilnya kemudian dirata-ratakan. Prinsip kerja Hammer test adalah
dengan pantulan massa di ujung alat pada permukaan beton yang rata.
Pada sisi luar alat terdapat bagian yang akan menunjukkan nilai
pantulan/rebound tersebut. Pengujian biasanya dapat dilakukan pada
struktur kolom dan balok serta slab sebagai penyangga konstruksi.
Adapun standar acuan yang digunakan pada pelaksanaan
pengujian ini adalah:
a. ASTM C 805 (North American Standard)
b. EN12504-2 (European Standard)
c. JGJ/T 23-2001 (Chinese Standard)
d. BS 1881, part 202 (British Standard)
e. DIN 1048 Part 2 (German Standard)
Berdasarkan SNI 03-4430-1997, Hammer test bertujuan untuk
��������������� �� �� �!�" "���� #�"$� ��%� &!�"! � ���� &"�!�"!�
untuk keperluan pengendalian mutu beton di lapangan bagi
perencanaan dan atau pengawasa pelaksanaan pekerjaan. Secara umum
alat ini bisa digunakan untuk Memeriksa keseragaman kualitas beton
pada struktur serta untuk mendapatkan perkiraan Kuat Tekan Beton
'()*). Meskipun secara umum alat ini bisa digunakan untuk memeriksa
keseragaman kwalitas beton pada struktur, serta mendapatkan perkiraan
kuat tekan beton secara mudah dan singkat, hammer test juga memiliki
keuntungan dan kekurangan, diantaranya:
a. Kelebihan metode hammer test:
1. Pengukuran bisa dilakukan dengan cepat sehingga tidak
memerlukan biaya yang banyak dalam pelaksanaannya.
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-49
2. Praktis serta mudah digunakan karena tidak merusak struktur
yang akan diuji sehingga dapat dilakukan oleh mahasiswa
yang msih belajar.
b. Kekurangan metode hammer test:
1. Hasil pengujian sangat dipengaruhi oleh kerataan permukaan,
kelembaban beton, sifat sifat dan jenis agregat kasar, derajad
karbonisasi dan umur beton. Oleh karena itu perlu diingat
bahwa beton yang akan diuji haruslah dari jenis dan kondisi
yang sama.
2. Sulit mengkalibrasi hasil pengujian. Tingkat keandalannya
rendah.
3. Hanya memberikan imformasi mengenai karakteristik beton
pada permukaan
Pada saat akan melakukan pengujian hammer test, bidang yang
akan diuji harus lah memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1. Permukaan beton yang akan diuji harus merupakan permukaan yang
padat, halus, dan tidak dilapisi oleh plesteran atau bahan pelapis
lainnya;
2. Bidang uji yang dipilih harus kering dan halus, bebas dari
tonjolantonjolan atau lubang-lubang;
3. Lokasi-lokasi bidang uji harus ditentukan sesuai dengan dimensi
elemen struktur dan jumlah nilai uji yang diperlukan untuk perhitungan
perkiraan kekuatan beton.
Menurut PBI 1971, konstruksi atau beton yang diuji
menggunakan alat Hammer Test dikatakan memenuhi syarat bila hasil
perhitungan mencapai 80% dari rencana kuat beton karakteristik. Dapat
juga dibandingkan dengan membandingkan kuat beton karakteristik
dengan kuat beton karakteristik rencana yang didapat dari hasil
pengujian dengan cara Core Drill. Adapun sistim kerja alat Hammer
Test adalah sebagai berikut:
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-50
a. Suatu masa baja yang diberikan muatan energi kinetik melalui
sistim tekanan dengan cara menekan sebuah torak (plunger) secara
perlahan-lahan /sedikit demi sedikit pada permukaan beton.
b. Setelah mencapai batas tertentu, masa baja tersebut dilepas atau
dipukulkan pada permukaan beton, sehingga torak sebagai
pemukul tertekan pada permukaan beton.
Akibat pemukulan tersebut maka baja tersebut akan memantul
kembali, besarnya pantulan inilah yang menjadi suatu ukuran dari
kekerasan permukaan beton yang sedang diuji yang ditunjukkan oleh
sebuah jarum penunjuk yang dapat bergerak pada sebuah skala linier.
Arah pemukulan dengan Hammer Test bisa bermacam-macam, dengan
perjanjian tanda: searah jarum jam positif.
Arah pemukulan:
1. �=45o
2. � = - 45o
3. � = 90o
4. � = - 90o
5. � = 0o
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-51
Pengujian dengan Hammer Test memiliki beberapa persyaratan:
a. Umur beton yang akan diuji minimal 14 hari;
b. Permukaan beton harus rata;
c. Beton yang akan diuji harus dalam keadaan kering udara, artinya
tidak boleh lembab atau basah;
d. Jarak antar titik pemukulan minimal 2,5 cm;
e. Untuk beton yang sudah diplester atau permukaannnya dilapisi
sesuatu, harus dikupas telebih dahulu atau dibuang telebih dahulu.
Kemudian pemukaan diasah rata;
f. Apabila permukaan beton yang akan diuji adalah beton lama atau
tua yang mana permukaannya sudah mengalami pelapukan, maka
permukaannya harus dikupas terlebih dahulu ± 12 mm. Serpihan-
serpihan kerak harus dibersihkan, lalu permukaannya diasah rata.
Sebelum digunakan, alat Hammer Test harus dikalibrasi terlebih
dahulu. Dimana fungsi dari kalibrasi tersebut adalah untuk mencari
nilai angka koreksi dari suatu alat agar alat tersebut menjadi standard.
Adapun langkah kerja Hammer Test adalah sebagai berikut:
1. Persiapan bahan dan alat
2. Lakukan kalibrasi terlebih dahulu pada alat Hammer Test dengan
cara :
a. Masukan alat, lalu pukulkan torak (plunger) kedalam kalibrasi.
b. Catat besar pukulan atau rebound (r).
c. Lakukan minimal 10 kali.
d. Setelah pemukulan selesai dan didapat nilai rebound dari
masing-masing pukulan, hitung nilai kalibrasinya.
N = Jumlah Pukulan
r = Besar Pukulan (rebound)
R = Angka Rebound Rata-rata
AK = Angka Kalibrasi
R = N
rN
�1 AK =
R
80�������������
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-53
dengan n=jumlah benda uji
11. Hitung 80% � bk�
12. Dalam setiap pengujian hendaknya diusahakan:
a. Mendapatkan titik sebanyak mungkin;
b. Benda uji harus berumur tidak kurang dari 14 hari dan
sebaiknya diuji pada umur >28 hari.
Setelah didapatkan hasil perhitungan dari Hammer Test sesuai atau
tidaknya kuat tekan dari mutu beton bangunan dapat dilihat pada Tabel
II. 12. Mengenai beban hidup pada masing-masing bangunan hunian.
Tabel II.12 Beban Hidup Pada Gedung
No Hunian atau Penggunaan Beban Merata
1 Rumah tinggal semua ruang kecuali tangga dan balkon 200 kg/m²
2 Tangga dan jalan keluar 500 kg/m²
3 Sistem lantai akses Ruang kantor Ruang komputer
250 kg/m² 500 kg/m²
4 Sekolah Ruang kelas Koridor diatas lantai pertama Koridor lantai pertama
200 kg/m² 400 kg/m² 500 kg/m²
5 Rumah sakit Ruang operasi Ruang pasien
300 kg/m² 200 kg/m²
6 Perpustakaan Ruang baca
300 kg/m²
Ruang penyimpanan 800 kg/m²
7 Pabrik Ringan Berat
650 kg/m²
1300 kg/m²
8 Gedung Perkantoran Lobi dan koridor lantai pertama Kantor Koridor diatas lantai pertama
500 kg/m² 250 kg/m² 400 kg/m²
12 Tempat rekreasi Kolam renang Ruang dansa Stadium dan tribun
400 kg/m² 500 kg/m² 300 kg/m²
Sumber : Standart Nasional Indonesia 1727-2013
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-54
2.4.1.2 Covermeter test
Covermeter test adalah metode pengujian untuk menentukan posisi
tulangan, tebal selimut beton dan diameter tulangan pada struktur
existing dengan Profometer. Pengujian ini bertujuan antara lain untuk
mendeteksi tulangan dalam elemen beton, dan juga ketebalan selimut
beton (concrete cover).
Peralatan Profometer yang digunakan terdiri dari:
1) 1 buah probe 1 untuk menentukan letak tulangan.
2) 1 buah probe 2 untuk menentukan tebal selimut beton.
3) 1 buah probe 3 untuk menentukan dimensi tulangan
4) Pesawat pembaca indikasi letak tulangan, tebal selimut dan dimensi
tulangan.
Sedangkan metoda pengukuran menggunakan Profometer meliputi:
1) Pergunakan probe 1 untuk mengetahui letak dari tulangan dan
setelah diketahui letak tulangan, maka diberi tanda dengan
pensil/kapur.
2) Kemudian dicari letak tulangan berikutnya yang bersebelahan /
sejajar sampai terdapat beberapa titik yang ada, seterusnya lakukan
pengukuran jarak pada titik �titik tersebut.
3) Dari letak tulangan tersebut di ukur juga ketebalan selimut beton
dengan menggunakan probe 2.
4) Untuk mengetahui dimensi tulangan, letakan probe 3 pada lokasi
yang sudah di tandai terdapatnya tulangan.
Untuk mendeteksi tulangan, unit sensor ditempelkan pada permukaan
beton lalu digeser perlahan sambil diamati bacaan di display. Arah
gerakan adalah tegak lurus pada sumbu tulangan yang akan dideteksi.
Khusus pada alat tipe Profometer ini, akan terdengar nada sinyal bila
sensor mendeteksi keberadaan tulangan, yang selanjutnya posisi/titik ini
ditandai. Posisi scanning bisa vertikal maupun horizontal.
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-55
Berikutya dilakukan scan serupa dari arah berlawanan, sehingga
didapatkan posisi/titik berikutnya. Jarak antara dua titik ini yang
merupakan perkiraan dari diameter tulangannya. Jika scanning dilakukan
dari tepi elemen, maka jarak dari tepi ke titik pertama terdengar sinyal
adalah tebal selimut betonnya. Dari hasil beberapa scanning ini bisa
dibuat gambaran perkiraan posisi tulangan dan diameternya. Selain
untuk mencocokkan dengan data-data gambar/laporan, pengujian ini juga
berfungsi sebagai pendahuluan sebelum pengambilan beton inti (core
case/drill) agar pemotongan nantinya tidak mengenai tulangan. Seperti
pada peralatan lainnya, tentu alat ini juga akan membutuhkan kalibrasi.
Kalibrasi yang paling baik tentu saja bila ada pembanding langsung di
lapangan, misal sampel inti beton, sehingga bisa diketahui diameter yang
ada dan tebal selimut. Disamping pengujian yang mudah dan tidak
merusak struktur bangunan, pengujian ini memiliki beberapa kelemahan
diantaranya:
a. Deteksi hanya bisa dilakukan sebatas tulangan terluar saja, sehingga
bila terdapat beberapa lapis tulangan, maka lapis tulangan yang
dalam tidak bisa terdeteksi dengan baik, termasuk dalam hal ini
adalah pengaruh overlap/sambungan lewatan dan bundel tulangan,
b. Jarak antar tulangan yang terlalu rapat, sehingga bisa mempengaruhi
akurasi pembacaan/perkiraan diameter tulangan,
c. Pengaruh dari kandungan besi dalam agregat yang berlebih, atau
penggunaan jenis semen yang khusus.
Adapun langkah kerja dari pengujian tersebut adalah sebagai berikut:
a. Cara pelaksanaan menscanan dilakukan dengan cara langusng pada plat
lantai yang sudah ada dan beton bertulang yang sebelumnya dibuat
setelah direncanakan. Untuk penscanan baton hasil pembuatan beton
bertulang dilakukan tiga kali penscanan untuk memastikan alat benar-
benar bekerja maksimal.
b. Untuk langkah kerja langsung menscan dan alat akan menyimpan
dengan sendirinya didalam alat, sebelum dipindahkan ke PC. Di PC
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-57
G
Gambar II.4 Plat Lantai yang di Scan
Sumber: Laporan Lab Uji Bahan
2.4.1.3 Liquid Penetrant Test
Metode NDT yang sangat sederhana diantara metoda lainnya yakni metode
Liquid Penetrant Test. Metode ini digunakan untuk menemukan cacat di
permukaan terbuka dari komponen solid, baik logam maupun non logam,
seperti keramik dan plastik fiber. Dengan memberikan cairan berwarna
terang pada permukaan yang aan diinspeksi, kita akan menemukan cacat
pada material dan akan terlihat lebih jelas. Cairan yang disemprotkan pada
pengujian Liquid Penetrant Test ini memiliki daya penetrasi yang baik dan
viskousitas yang rendah, hal tersebut dimaksudkan agar cairan dapat masuk
pada permukaan material yang cacat. Kemudian, cairan penetrant yang
tersisa di permukaan material disingkirkan dengan cara dilap atau
dibersihkan. Dengan demikian cacat akan nampak jelas pada perbedaan
warna penetrant dengan latar belakang cukup kontras. Seusai inspeksi,
penetrant yang tertinggal dibersihkan dengan penerapan developer.
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-58
2.4.1.4 Visual Inspection
Metoda ini hanya melihat kerusakan yang pertama kali diambil dalam NDT.
Metode ini bertujuan menemukan cacat atau retak permukaan dan korosi.
Dalam hal ini tentu saja adalah retak yang dapat terlihat oleh mata telanjang
atau dengan bantuan lensa pembesar ataupun boroskop.
2.4.1.5 PUNDIT
PUNDIT merupakan singkatan dari Portable Ultrasonic Non-Destructive
Digital Indicating Tester yakni salah satu pengujian NDT yang bertujuan
untuk mengetahui keretakan dan kedalaman suatu kerusakan beton,
homoginitas pada beton, kerusakan permukaan beton akibat kebakaran atau
pengaruh kimiawi, perubahan-perubahan sifat pada masa ke masa,
kwalitas/mutu beton, honeycombing/void atau kerusakan lain pada beton,
serta modulus Elastisitas Beton. Dalam pelaksanaan pengujian ini terdiri
dari 3 aplikasi pengukuran yaitu:transducer diletakkan dalam satu bidang datar.
Metoda Indirect ini lebih lambat kurang lebih 28% daripada metoda Direct, maka
pada saat perhitungan dalam pengolahan data diperlukan faktor koreksi = 0.72 jika
pengujian akan dilakukan dengan metoda Indirect.
a. Semidirect Transmission dimana receiver transducer dan transmitter
transducer diletakkan pada posisi axial, satu bidang tegak lurus dan
satu bidang mendatar. Metoda Semi-Direct ini lebih lambat dari pada
yang lainnua, rasio lambatnya kurang lebih 15% dari pada metoda
Direct, maka pada saat perhitungan dalam pengolahan data
diperlukan factor koreksi = 0.85 apabila penelitian akan dilakukan
dengan metoda Semi-Direct.
2.4.2 Destructive Test
Destructive Test merupakan salah satu pengujian yang dilakukan terhadap
suatu spesimen sampai material tersebut mengalami kerusakan. Hal ini
dilakukan untuk mengetahui performa pada material tersebut, salah satunya
bila material tersebut diberi beban dari luar dengan besar gaya yang berbeda-
beda. Pengujian ini umumnya jauh lebih mudah untuk dilaksanakan, selain itu
memberikan informasi yang lebih baik dari pada Non Destructive Test.
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-59
2.4.2.1 Core Drill
Pengujian core adalah metode yang secara langsung mendeterminasi
kekuatan beton yang sebenarnya pada suatu struktur. Umumnya core
diperoleh untuk mengevaluasi dan menilai apakah kekuatan suatu struktur
beton sesuai dengan mutu yang direncanakan, karena sampel core itu sendiri
diambil secara langsung dari struktur yang diamati (ACI 214.4R-03). Standar
atau prosedur dalam menggunakan metode pengujian ini dapat dilihat pada
ASTM C 42. Biasanya sample yang diambil dari bangunan yang diinspeksi
akan dilakukan pengujian seperti berikut:
a. Uji Tarik
Pengujian tarik merupakan salah satu pengujia yang bertujuan untuk
mengetahui tingkat elastistas sebuah material. Pengujian ini juga
digunakan untuk mengukur ketahanan suatu material terhadap gaya
statis yang diberikan secara lambat dengan cara memberikan beban
tarik pada spesimen material secara berkelanjutan hingga spesimen
material tersebut terputus. Data yang diperoleh berupa pertambahan
panjang serta besarnya beban yang diberikan secara terus menerus.
b. Uji Tekan
Pengujian kuat tekan dari sampel tersebut diatas biasanya lebih
������� ������ ����� ��� !"�#$� %�#�& '()% *+-3403-1994). Alat uji
yang digunakan adalah mesin tekan dengan kapasitas dari 2000 kN
sampai dengan 3000 kN. Kekuatan tekan material adalah gaya per
satuan luas yang dapat menahan kompresi dan ketika batas kuat
tekan tercapai, maka bahan akan terdeformasi atau mengalami
perubahan bentuk. Pada uji tekan umumnya kekuatan tekan lebih
tinggi dari kekuatan tarik. Peralatan yang digunakan untuk
percobaan ini hampir sama dengan yang digunakan dalam uji tarik
yang lebih sering dilakukan pengukuran. Namun, bukan menerapkan
beban tarik, melainkan beban tekan. Spesimen (bahan uji) biasanya
berbentuk silinder atau balok. Pada tes ini, material diberikan beban
tekan hingga mengalami deformasi atau patah dengan maksud untuk
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-60
mempelajari sifat mekanik dari suatu material saat diberikan tekanan
yang relative kecil. Biasanya dilakukan pada material yang
diaplikasikan pada struktur yang mengalami beban tekan.
c. Uji Puntir
Uji puntir merupakan salah satu pengujian material yang bertujuan
untuk mengetahui sifat-sifat seperti batas luluh geser dari suatu
material, modulus elastisitas geser, n (jumlah benda uji) dan K
(kalibrasi). Ada dua jenis patahan pada uji puntir, yaitu patah ulet
atau patahan yang terjadi karena tegangan geser dan menghasilkan
patahan bersudut 900, dan patah getas atau patahan terjadi karena
tegangan normal dan bentuk patahannya bersudut 450. Peralatan uji
puntir terdiri atas kepala puntir yang dilengkapi cekam untuk
mencengkram benda uji dan untuk memberikan momen puntir pada
benda uji serta kepala bobot yakni dengan cara mencengkram salah
satu ujung benda uji dan mengukur besarnya momen ulir atau torsi.
Deformasi yang terjadi dari benda uji yang bersangkutan diukur
dengan peralatan pengukur ulir yang dinamakan troptometer.
Penentuan dilakukan dengan menggunakan perpindahan sudut suatu
titik didekat salah satu ujung benda uji dibandingkan terhadap suatu
titik pada elemen memanjang yang sama pada arah yang
berlawanan.
2.4.2.2 Compression Test
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui nilai kekuatan beton dengan
melakukan pengujian kuat tekan terhadap benda uji diantaranya silinder
(�=15 cm, h=30 cm) ataupun kubus (15x15x15 cm) pada umur 28 hari yang
dibebani dengan gaya tekan sampai mencapai beban maksimum. Beban
maksimum didapat dari pengujian dengan menggunakan alat compression
testing machine. Standar yang digunakan ialah ASTM C-39 untuk benda uji
silinder dan BS-1881 Part 115; Part 16 untuk benda uji kubus.
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-61
2.5 Rencana Anggaran Biaya
Rencana Anggaran Biaya adalah suatu bangunan atau proyek adalah
perhitungan banyaknya biaya yang diperlukan untuk bahan dan upah, serta
biaya-biaya lain yang berhubungan dengan pelaksanaan bangunan atau
proyek. Rencana anggaran biaya merupakan perhitungan banyaknya biaya
yang diperlukan untuk bahan dan upah, serta biaya-biaya lain yang
berhubungan dengan pelaksanaan proyek pembangunan. Rencana anggaran
biaya biasanya dihitung sebagai berikut:
RAB = � ( Volume x Harga Satuan Pekerjaan )
Anggaran biaya pada bangunan yang sama akan berbeda-beda di
masing-masing daerah, hal ini disebabkan perbedaan harga satuan bahan dan
upah tenaga kerja. Ada dua faktor yang berpengaruh terhadap penyusunan
anggaran biaya suatu bangunan yaitu faktor teknis dan non teknis. Faktor
teknis antara lain berupa ketentuan-ketentuan dan persyaratan yang harus
dipenuhi dalam pelaksanaan pembangunan serta gambar-gambar kontruksi
bangunan. Sedangkan faktor non teknis berupa harga-harga bahan bangunan
dan upah tenaga kerja. Dalam melakukan anggaran biaya dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu anggaran biaya kasar (taksiran) dan anggaran biaya
teliti. Dalam menyusun Anggaran Biaya dapat dilakukan dengan 2 cara
berikut:
1. Angka Biaya Kasar.
Sebagai Pedoman dalam menyusun anggaran biaya kasar digunakan harga
satuan tiap meter persegi (m²) luas lantai. Anggaran kasar dipakai sebagai
pedoman terhadap anggaran biaya yang dihitung secara teliti. Meskipun
dinamakan anggaran biaya kasar, namun harga satuan tiap m² luas lantai tidak
terlalu jauh berbeda dengan harga yang dihitung secara teliti.
2 . Angka Biaya Teliti.
Yang dimaksud anggaran biaya teliti adalah Anggaran Biaya Bangunan atau
proyek yang dihitung dengan teliti dan cermat sesuai dengan ketentuan dan
syarat-syarat penyusunan anggaran biaya. Pada anggaran biaya kasar
sebagaimana diuraikan terdahulu, harga satuan dihitung berdasarkan harga
taksiran setiap luas lantai m². Taksiran tersebut haruslah berdasarkan harga
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-62
yang wajar dan tidak terlalu jauh berbeda dengan harga yang dihitung secara
teliti.
Sedangkan penyusunan anggaran biaya yang dihitung secara teliti, didasarkan
atau didukung oleh:
a. Besteks.
Gunanya untuk menentukan spesifikasi bahan dan syarat-syarat teknis.
b. Gambar Bestek.
Gunanya untuk menetukan/menghitung besarnya masing-masing volume
pekerjaan.
c. Harga Satuan Pekerjaan.
Didapat dari harga satuan bahan dan harga satuan upah berdasarkan
perhitungan Analisa Harga Satuan (AHS).
Rencana anggaran biaya juga memiliki beberapa jenis, diantaranya:
1. Rencana Anggaran Biaya Kasar (Taksiran) untuk Pemilik.
Rencana Anggaran Biaya dibutuhkan oleh pemilik untuk memutuskan akan
melaksanakan ide/gagasan untuk membangunan proyek atau tidak (biasanya
masih di bantu dengan Studi Kelayakan Proyek). Rencana Anggaran Biaya
kasar ini juga di pakai sebagai pedoman terhadap anggaran biaya yang
dihitung secara teliti. Rencana Anggaran Biaya ini dibuat masih kasar/global
sekali dan biasanya dihitung berdasarkan harga satuan tiap meter persegi luas
lantai atau dengan cara yang lain.
2. Rencana Anggaran Biaya Pendahuluan.
Oleh Konsultan Perencana Perhitungan anggaran Biaya ini dilakukan setelah
gambar rencana (desain) selesai dibuat oleh konsultan Perencana.
Perhitungan anggaran biaya ini lebih teliti dan cermat sesuai ketentuan dan
syarat-syarat penyusunan anggaran biaya. Penyusunan anggaran biaya ini di
dasarkan pada:
a. Gambar Bestek.
Gunanya untuk menentukan/menghitung besarnya volume masing-
masing pekerjaan.
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-63
b. Bestek atau Rencana Kerja dan Syarat-Syarat (RKS).
Gunanya untuk menetukan spesifikasi bahan dan syarat-syarat teknis.
c. Harga Satuan Pekerjaan.
Dihitung dari harga satuan bahan dan harga satuan upah berdasarkan
perhitungan Analisa Harga Satuan (AHS).
2.5.1 Dasar Perhitungan
Perhitungan RAB pada prinsipnya diperoleh sebagai jumlah
seluruh basil kali volume tiap jenis pekerjaan yang ada dengan harga
satuan masing-masing. Volume pekerjaan dapat diperoleh dan
membaca dan menghitung atas gambar desain (lebih dikenal sebagai
gambar bestek). Telah disinggung di muka bahwa unsur biaya konstruksi
mencakup harga-harga bahan, upah tenaga, dan peralatan yang
digunakan Semua unsur biaya ditentukan harga satuan tiap jenis
pekerjaan, dan untuk ini dapat digunakan analisis BOW yang sudah
dikenal sejak masa penjajahan Belanda (ketetapan Direktur BOW
tanggal 28 Februari 1921 Nomor 5372 A). Secara umum prosedur
perhitungan RAB disusun atas dasar lima unsur harga berikut:
a. Bahan-bahan atau material bangunan:
Dihitung kuantitas (volume, ukuran, berat, tipe, dsb) masing-masing jenis
bahan yang digunakan. Juga harga tiap jenis bahan itu sampai di
lokasi pekerjaan (termasuk ongkos angkutan), bahkan kadang-kadang
mencakup biaya pemeriksaan kualitas dan pengadaan gudang/tempat
penyimpanan.
b. Upah tenaga kerja.
Dihitung jam kerja yang dibutuhkan dan jumlah biaya/upah. Biasanya
digunakan berdasar harian atau per hari sebagai unit waktu, serta
volume pekerjaan yang dapat diselesaikan dalam unit waktu tersebut.
Sebagai unit waktu dapat pula atas dasar tiap jam. Perlu diketahui
bahwa kemampuan tiap tenaga kerja tidak sama tergantung
ketrampilan dan pengalaman, demikian juga besar upahnya.
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-64
c. Pera latan .
Dihitung banyak dan jenis tiap peralatan yang diperlukan serta
harga/biayanya (beli atau sewa). Biaya peralatan termasuk ongkos
angkut/mobilisasi, upah operator mesin, biaya bahan bakar dan
sebagainya. Kemampuan peralatan per satuan waktu perlu diketahui.
d. Overhead.
Biasa dikategorikan sebagai biaya tak terduga atau biaya tak langsung,
dan dibagi menjadi dua golongan, yakni pertama yang bersifat umum,
serta kedua yang berkaitan dengan pekerjaan di lapangan. Overhead
umum misalnya sewa kantor, peralatan kantor, listrik, telepon,
perjalanan, asuransi/jamsostek, termasuk gaji/upah karyawan kantor
yang terlibat kegiatan proyek. Sedangkan overhead lapangan merupakan
biaya yang tak dapat dibebankan pada harga bahan-bahan, upah
pekerja dan peralatan, seperti telepon di proyek, pengamanan, biaya
perizinan, dan sebagainya. Biaya overhead keseluruhan ditetapkan
berdasar pengalaman, biasanya sekitar 12 sampai 30% dari jumlah
harga bahan, upah dan peralatan.
e. Keuntungan dan pajak.
Besar keuntungan tergantung pada besar-kecilnya proyek dan besarnya
risiko serta tingkat kesulitan pekerjaan. Biasanya keuntungan berkisar
antara 8 sampai 15% dari biaya konstruksi (bouwsom). Sedangkan pajak
besarnya tergantung pada peraturan pemerintah yang berlaku, biasanya
antara 10 sampai 18%.
2.5.2 Porsentase Bobot Pekerjaan
Prosentase bobot pekerjaan merupakan besarnya nilai prosentase tiap
item-item pekerjaan, berdasarkan perbandingan antara anggaran biaya
pekerjaan dengan harga bangunan. Secara skematis dapat digambarkan
sebagai berikut:
Persentase Bobot Pekerjaan (PBP)
= Volume x Harga satuan x 100 % Harga Bangunan
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-65
2.5.3 Harga Satuan Pekerjaan
Harga satuan pekerja merupakan jumlah dari harga satuan bahan, upah
pekerja dan harga alatyang di butuhkan untuk menyelesaikan tiap satuan
pekerjaan berdasarka perhitungan analisis.
Harga satuan pekerjaan didapat dari hasil penjumlahan antara harga
satuan bahan dengan harga satuan upah tenaga kerja. Perhitungan harga
satuan pekerja dapat diperoleh dengan Rumus berikut.
HSP = HSB + HSU
Dimana:
HSP = Harga Satuan Pekerjaan
HSB = Harga Satuan Bahan
HSU = Harga Satuan Upah
Besarnya harga satuan pekerjaan tergantung dari besarnya harga satuan
bahan dan harga satuan upah, dimana pada harga satuan bahan
tergantung pada ketelitian dalam perhitungan kebutuhan bahan untuk
setiap jenis pekerjaan, sedangkan pada penentuan harga satuan upah
tergantung pada tingkat produktifitas dari pekerja dalam menyelesaikan
pekerjaan terrsebut.
2.5.4 Harga Satuan Bahan dan Upah
Harga satuan bahan adalah harga yang harus dibayar untuk membeli
persatuan jenis bahan bangunan.
Harga satuan bahan/upah diperoleh dari hasil perkalian antara koefisien
bahan atau upah tenaga kerja dengan harga bahan tiap satuan. Harga
satuan bahan dan upah dapat diperoleh dengan Rumus sebagai berikut:
HSB = KB x HB
HSU = KU x HU
Dimana :
KB = jumlah bahan yanga dibutuhkan tiap satuan pekerjaan
HB = harga bahan tiap satuan
KU = jumlah orang/hari untuk menyelesaikan tiap satuan pekerjaan
HU = upah tenaga kerja tiap hari
Adapun beberapa jenis pekerjaan yang diperhitungkan secara lumpsum
(LS). Lumpsum yaitu taksiran biaya yang tidak memiliki analisa, namun
dihitung berdasarkan perkiraan umum. Dari perhitungan satuan
pekerjaan ini nantinya dijadikan dasar dalam perhitungan kebutuhan
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-66
bahan dan tenga kerja tiap-tiap pekerjaan, durasi tiap-tiap pekerjaan, dan
rencana anggaran biaya.
2.5.5 Kebutuhan Bahan dan Tenaga Kerja
Kebutuhan bahan dan material yang dibutuhkan untuk melaksanakan
tiap-tiap pekerjaan sesuai dengan jadwal yang ada dan juga kebutuhan
akan tenga kerja yang akan mengerjakannya. Dalam perhitungan durasi
pekerjaan terdapat produktifitas pekerja untuk menyelesaikan suatu
volume pekerjaan, dari produktifitas tersebut direncanakan jumlah
tenaga kerja yang dibutuhkan, jadi diketahui kebutuhan akan tenaga
kerja. Sedangkan untuk menentuakn kebutuhan akan bahan didapat dari
hasil perkalian antara koefisien bahan yang terdapat dalam harga satuan
pekerjaan dengan volume suatu pekerjaan yang bersangkutan.
Perhitungan kebutuhan bahan dapat diperoleh dengan Rumus berikut:
Kebutuhan bahan = KB x V
Dimana:
KB = Jumlah bahan yang diperluakan tiap satuan pekerjaan
V = Volume pekerjaan
Dengan penetuan akan bahan dan tenaga kerja tiap-tiap pekerjaan
diharapkan pada pelaksanaan proyek nantinya bahan dan tenaga kerja
yang dibutuhkan telah siap dilokasi proyek sesuai jadwal yang
ditentukan.
2.5.6 Analisa Harga Satuan
Analisa harga satuan pekerjaan adalah suatu cara perhitungan
harga satuan pekerjaan konstruksi yang dijabarkan dalam perkalian
kebutuhan bahan bangunan, upah kerja, dan peralatan dengan harga
bahan bangunan, standart pengupahan pekerja dan harga sewa/beli
peralatan untuk menyelesaikan per satuan pekerjaan konstruksi.
Analisa harga satuan pekerjaan ini dipengaruhi oleh angka
koefisien yang menunjukkan nilai satuan bahan/material, nilai satuan
alat, dan nilai satuan upah tenaga kerja ataupun satuan pekerjaan yang
dapat digunakan sebagai acuan/panduan untuk merencanakan atau
mengendalikan biaya suatu pekerjaan.
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-67
Untuk harga bahan material didapat dipasaran, yang kemudian
dikumpulkan didalam suatu daftar yang dinamakan harga satuan
bahan/material, sedangkan upah tenaga kerja didapatkan di lokasi
setempat yang kemudian dikumpulkan dan didata dalam suatu daftar
yang dinamakan daftar harga satuan upah tenaga kerja. Harga satuan
yang didalam perhitungannya haruslah disesuaikan dengan kondisi
lapangan, kondisi alat/efisiensi, metode pelaksanaan dan jarak angkut.
Adapun perhitungna bahan, upah dan alat berdaasar AHS adalah sebagai
berikut:
Upah : harga satuan upah x koefisien (analisa upah).
Bahan : harga satuan bahan x koefisien (analisa bahan).
Alat : harga satuan alat x koefisien (analisa alat).
Besarnya harga satuan pekerjaan tergantung dari besarnya harga
satuan bahan, harga satuan upah dan harga satuan alat dimana harga
satuan bahan tergantung pada ketelitian dalam perhitungan kebutuhan
bahan untuk setiap jenis pekerjaan. Penentuan harga satuan upah
tergantung pada tingkat produktivitas dari pekerja dalam menyelesaikan
pekerjaan. Harga satuan alat baik sewa ataupun investasi tergantung dari
kondisi lapangan, kondisi alat/efisiensi, metode pelaksanaan, jarak
angkut dan pemeliharaan jenis alat itu sendiri.
Analisa Bahan dan Upah
Yang dimaksud dengan analisa bahan suatu pekerjaan, ialah yang
menghitung banyaknya/volume masing-masing bahan, serta
besarnya biaya yang dibutuhkan. Sedangkan yang dimaksud dengan
analisa upah suatu pekerjaan ialah, menghitung banyaknya tenaga
yang diperlukan, serta besarnya biaya yang dibutuhkan untuk
pekerjaan tersebut. (H.bachtiar,1993)
Produktivitas
Secara umum produktivitas diartikan sebagai suatu perbandingan
antara hasil keluaran dan masukan atau output : input (Umar, 1998).
D4 TEKNIK SIPIL POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
���� ������ ������� �� �� �������� �������II-68
Pengertian output meliputi volume dan kualitas, sedangkan input
meliputi bahan dan energi, tenaga kerja dan peralatan modal. Jadi
dapat juga dikatakan bahwa produktivitas merupakan upaya untuk
mewujudkan hasil-hasil tertentu yang diinginkan dengan
mengerahkan sejumlah sumber daya (Umar, 1998).
top related