daftar isi · 2017-04-19 · terhadap pencantuman klausula eksonerasi pada nota jasa laundry 3.1...
Post on 09-Mar-2019
226 Views
Preview:
TRANSCRIPT
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN………………………………………..……... i
HALAMAN SAMPUL DALAM……………………………………...……... ii
HALAMAN PRASYARATAN GELAR SARJANA HUKUM……...……... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBINGBING………………………..…... iv
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI……………..…... v
KATA PENGANTAR…………………………...…………………………... vi
SURAT PERNYATAAN KEASLIAAN……………………………………... x
DAFTAR ISI…………………………………...……………………...……... xi
ABSTRAK ……………………………………………………..…………... xiv
ABSTRACT……………………………..…………………...….…………... xv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah………………...…………...………......... 1
1.2 Rumusan Masalah………………......………………………...…... 8
1.3 Ruang Lingkup Masalah…………………………...……………... 9
1.4 Orisinalitas Penelitian…………..……………….………………... 9
1.5 Tujuan Penelitian ………………………………...……………... 11
1.5.1 Tujuan umum ................................................................. ... 11
1.5.2 Tujuan khusus………..…………...…................................. 11
1.6 Manfaat Penelitian………..………………………………….. 11
1.6.1 Manfaat Teoritis………………………………………….. 12
1.6.2 Manfaat praktis………………..………….…………......... 12
1.7 Landasan Teoritis…………..………..……….…………….......... 12
1.8 Metode Penelitian……………..…………………...……….......... 22
1.8.1 Jenis Penelitian………………………………..…….......... 22
1.8.2 Jenis Pendekatan……………..……..…………….…......... 23
1.8.3 Data dan Sumber Data…………………………..…........... 23
1.8.4 Teknik Pengumpulan Data………….....…………….......... 24
1.8.5 Teknik Penentuan Sample Penelitian….…......................... 24
1.8.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Data…….…...……......... 25
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN,
KLAUSULA BAKU DAN KLAUSULA EKSONERASI
2.1 Perlindungan Konsumen………………..……..…………........... 26
2.1.1 Pengertian perlindungan konsumen………..…..……......... 26
2.1.2 Asas dan tujuan perlindungan konsumen….………........... 30
2.1.3 Hak dan kewajiban konsumen………...…………….......... 32
2.2 Klausula Baku dan Klausula Eksonerasi....................................... 38
2.2.1 Pengertian klausula baku dan klausula eksonerasi….…..... 38
2.2.2 Dasar hukum pelarangan klausula eksonerasi……….….... 41
BAB III IMPLEMENTASI PASAL 52 HURUF C UNDANG-UNDANG NO.
8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
TERKAIT PENGAWASAN BPSK KOTA DENPASAR
TERHADAP PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI PADA
NOTA JASA LAUNDRY
3.1 Tugas Dan Kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK).......................................................................................... 45
3.2 Implementasi Pasal 52 Huruf C Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen Terkait Pengawasan BPSK Kota
Denpasar Terhadap Pencantuman Klausula Eksonerasi Pada Nota Jasa
Laundry………………..…………………………...…...…......... 47
BAB IV KENDALA-KENDALA YANG DIALAMI OLEH BPSK KOTA
DENPASAR DALAM MELAKUKAN PENGAWASAN
TERHADAP PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI PADA
NOTA JASA LAUNDRY DI KOTA DENPASAR
4.1 Kendala-Kendala Yang Dialami Oleh BPSK Kota Denpasar Dalam
Melakukan Pengawasan Terhadap Pencantuman Klausula Eksonerasi
Pada Nota Jasa Laundry Di Kota Denpasar...……………........... 56
4.2 Penyelesaian Sengketa Yang Dapat Di Tempuh Konsumen Apabila
Merasa Dirugikan Akibat Pencantuman Klausula
Eksonerasi…………………………………...…………….......... 58
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan.................................................................................... 62
5.2 Saran.............................................................................................. 63
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RESPONDEN
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RINGKASAN SKRIPSI
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Implementasi Pasal 52 Huruf C Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Terkait Pengawasan BPSK
Kota Denpasar Terhadap Pencantuman Klausula Eksonerasi Pada Nota Jasa
Laundry. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana efektifitas
dari Implementasi Pasal 52 Huruf C Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen Terkait Pengawasan BPSK Kota Denpasar Terhadap
Pencantuman Klausula Eksonerasi Pada Nota Jasa Laundry. BPSK adalah Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen. Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyatakan BPSK sebagai badan publik
yang berfungsi untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen di luar
pengadilan. Selain berfungsi sebagai lembaga penyelesaian sengketa konsumen,
berdasarkan Pasal 52 Huruf C Undang-Undang Perlindungan Konsumen
menyatakan bahwa tugas dan wewenang BPSK yaitu melakukan pengawasan
terhadap pencantuman klausula baku.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum emperis. Penelitian hukum empiris salah satunya merupakan penelitian
yang membahas bagaimana hukum beroprasi dalam masyarat. Salah satu faktor
yang mengefektifkan suatu peraturan adalah masyarakat, yaitu berupa kesadaran
masyarakat untuk mematuhi suatu peraturan perundang-undangan.
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah Implementasi
Pasal 52 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen terkait pengawasan BPSK Kota Denpasar terhadap pencantuman
klausula baku yang memuat klausula eksonerasi pada nota jasa laundry belum
dilaksanakan secara penuh oleh BPSK Kota Denpasar. Pengawasan yang
dilaksanakan hanya sebatas pengawasan setelah adanya sengketa, untuk
pengawasan secara langsung di lapangan belum dilaksanakan. Kendala-kendala
yang dialami oleh BPSK Kota Denpasar dalam melakukan pengawasan terhadap
pencantuman klasula eksonerasi pada nota jasa laundry di Kota Denpasar yaitu
dikarenakan BPSK Kota Denpasar kekurangan fasilitas yang memadai sehingga
tidak dapat dilaksanakan secara optimal. Fasilitas tersebut antara lain kurangnya
sumber daya manusia, peralatan yang lengkap, dan anggaran yang cukup. Selain
itu BPSK Kota Denpasar lebih fokus kepada penyelesaian sengketa konsumen
karena BPSK Kota Denpasar terikat waktu penyelesaian sengketa dimana
penyelesaian sengketa konsumen harus selesai selama 21 hari. Disamping itu
terkait dengan pengawasan terhadap klasula eksonerasi juga sudah dilaksanakan
oleh Dinas Perindrustrian Dan Perdagangan Kota Denpasar oleh sebab itu BPSK
Kota Denpasar lebih fokus kepada penyelesaian sengketa konsumen.
Kata Kunci : Pengawasan, Klausula Eksonerasi, Laundry, BPSK.
ABSTRACT
The research titled Implementation of Article 52 Letter C of Law Number 8
Year 1999 on Consumer Protection Related Supervision BPSK Denpasar Against
Inclusion Memorandum On the exoneration clause Laundry Services. The purpose
of this study is to find out how the effectiveness of implementation of article 52
letter c of Law Number 8 Year 1999 on Consumer Protection related supervision
d BPSK Denpasar against inclusion memorandum on the exoneration clause
laundry services. BPSK is Consumer Dispute Settlement Board. Based on Law
Number 8 Year 1999 on Consumer Protection BPSK declared as a public body
whose function is to address and resolve consumer disputes out of court. In
addition to functioning as a consumer dispute resolution institutions, based on of
article 52 letter c of Law Number 8 Year 1999 on Consumer Protection states that
the duty and authority to supervise the BPSK namely the inclusion of standard
clauses.
The method used in this study is empirical legal research. Empirical legal
research one of which is the research that discusses how the law in the society.
One of the factors effecting a rule is a society, which is in the form of public
awareness to comply with a legislation.
Conclusion of this research is implementation of article 52 letter c of Law
Number 8 Year 1999 on Consumer Protection related supervision BPSK
Denpasar against inclusion memorandum on the exoneration clause laundry
services yet to be fully implemented by the BPSK Denpasar. Supervision is
carried out only limited supervision after their dispute, to control directly in the
field has not been implemented. Constraints experienced by BPSK Denpasar in
controlling the exoneration klasula inclusion in the memorandum of laundry
services in Denpasar the because BPSK Denpasar shortage of adequate facilities
so can not be implemented optimally. Facilities include a lack of human
resources, Full equipment, and significant funding. In addition BPSK Denpasar
more focused on the settlement of consumer disputes because BPSK Denpasar
time bound settlement of disputes where consumer dispute resolution must be
completed for twenty one days. Besides, it is associated with the monitoring of the
exoneration clause has also been implemented by Department of Industry and
Trade of Denpasar because of BPSK Denpasar more focused on consumer
dispute resolution.
Keywords : Supervision, Clause Exoneration, Laundry, BPSK.
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pada era globalisasi saat ini banyak sekali produk jasa yang diperdagangkan
kepada konsumen. Pengertian jasa menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut Undang-Undang
Perlindungan Konsumen) adalah “setiap pelayanan yang berbentuk pekerjaan atau
prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen”.
Selanjutnya yang diartikan konsumen adalah “setiap orang pemakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
Berbagai macam jenis usaha jasa bermunculan guna memenuhi kebutuhan
masyarakat yang semakin hari semakin sibuk, baik karena suatu pekerjaan
maupun hal-hal lain yang bersangkutan. Salah satu jenis usaha tersebut yaitu
usaha jasa laundry. Laundry dalam bahasa Indonesia memiliki arti penatu yang
artinya tukang cuci sekaligus strika pakaian.1
Pelaku usaha jasa laundry adalah penyedia jasa laundry yang menawarkan
layanan cuci pakaian termasuk di dalamnya jasa cuci, cuci kering, setrika, dan
cuci kering setrika. Pihak-pihak dalam usaha laundry ini adalah pihak pelaku
usaha jasa dan pihak masyarakat sebagai konsumen pemanfaat jasa laundry.
1Suharso dan Ana Retnoningsih, 2011, Kamus Bahasa Indonesia, Widya Karya,
Semarang, h.368.
2
Hubungan hukum yang terjadi di dalam kegiatan usaha laundry adalah
hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen sehingga dapat berlaku Undang-
Undang tentang Perlindungan Konsumen.
Pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen memberikan batasan pengertian sebagai berikut yaitu
“setiap orang, perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum
maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan di wilayah hukum
Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama, melalui bidang
perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.
Keberadaan bisnis usaha jasa laundry merupakan salah satu bentuk kegiatan
bisnis yang dilakukan oleh pelaku usaha. Perkembangan masyarakat yang
bertambah modern dan berpikir praktis beserta mode pakaian yang semakin
berkembang dengan kualitas bahan yang semakin baik tentunya melahirkan jenis
usaha jasa laundry yang juga kian maju, sehingga bisnis usaha laundry
bermunculan di mana-mana baik dari skala kecil hingga skala besar.
Diera modern saat ini, masyarakat memang lebih banyak memilih untuk
menggunakan jasa laundry karena dianggap praktis karena dengan adanya usaha
jasa laundry ini sangat memudahkan masyarakat pengguna jasa laundry untuk
bisa meringankan beban pekerjaan rumah mereka, serta lebih efisien waktu dan
tenaga. Tetapi dengan memilih untuk menggunakan jasa laundry berarti
masyarakat harus menerima klausula baku yang dibuat oleh pelaku usaha jasa
3
laundry pada setiap nota transaksi jasa laundry antara pelaku usaha dengan
konsumen.
Berdasarkan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
menyatakan klausula baku adalah “setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat
yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku
usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat
dan wajib dipenuhi oleh konsumen”. Segala ketentuan yang dibuat oleh pelaku
usaha jasa laundry secara sepihak berlaku dalam setiap transaksi antara konsumen
dengan pelaku usaha. Tujuan penggunaan klausula baku dalam kegiatan bisnis
sebenarnya untuk menghemat waktu dalam setiap kegiatan transaksi jual beli.
Transaksi adalah suatu kegiatan tukar menukar dalam suatu proses. Secara hukum
umum, transaksi adalah bagian dari perjanjian, sedangkan perjanjian merupakan
bagian dari perikatan. Dalam perdagangan transaksi dapat diartikan persetujuan
dari jual beli.2
Dalam praktiknya, klausula baku yang dibuat oleh pelaku usaha menggunakan
syarat dan ketentuan untuk mempercepat proses kesepakatan dalam perjanjian
yang isinya terlebih dahulu telah ditentukan atau dibuat oleh pelaku usaha tanpa
ada negosiasi kepada konsumen sebagai pengguna jasa laundry dan cenderung
bersifat merugikan konsumen atau menempatkan konsumen pada posisi yang
lemah. Biasanya klausula yang ditetapkan oleh pelaku usaha berisi hal-hal yang
2Ibid.h.583.
4
berkenaan dengan kewajiban konsumen saja tanpa mencantumkan hak-hak
konsumen.
Berkaitan dengan klausula baku, masalah yang sering timbul saat ini dalam
masyarakat yaitu hubungan antara pelaku usaha dan konsumen yang berkaitan
dengan perjanjian atau transaksi yang dilakukan. Permasalahan tersebut biasanya
menyangkut hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Dalam hal ini
permasalahan antara pelaku usaha dan konsumen sering ditemukan bahwa
konsumen berada pada posisi yang lemah. Adapun permasalahan tersebut yakni
masih banyaknya pelaku usaha dalam hal ini adalah pelaku usaha jasa laundry
yang banyak ditemukan khususnya di Kota Denpasar yang mencantumkan
klausula baku yang dilarang pada nota jasa laundry, salah satunya yaitu klausula
eksonerasi yang merupakan bagian dari klausula baku yang dilarang berdasarkan
Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Klausula eksonerasi merupakan
klausula yang menyatakan pengalihan tanggung jawab oleh pelaku usaha yang
secara tidak langsung merugikan konsumen.
Klausula eksonerasi adalah klausul yang mengandung membatasi atau bahkan
menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada
pihak produsen/penyalur produk (penjual).3
Pencantuman klausula eksonerasi pada nota jasa laundry tersebut
menunjukan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha, sehingga apabila
konsumen merasa tidak puas dengan layanan jasa laundry tersebut atau merasa
3Sidartha, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, h. 120.
5
dirugikan, maka konsumen tidak mendapatkan ganti rugi dari pemberi jasa
laundry dikarenakan telah tercantumnya klausula eksonerasi yang mengalihkan
tanggung jawab pelaku usaha. Adapun contoh dari klausula eksonerasi yang
terdapat pada nota jasa laundry yaitu : “pengaduan hanya akan kami layani 24
jam setelah barang diterima”, “dalam jangka waktu 2 bulan barang tidak diambil
bukan tanggung jawab kami”, “kerusakan/kelunturan dalam proses pencucian
yang disebabkan sifat bahan bukan tanggung jawab kami”.
Perbuatan tersebut menunjukan itikad tidak baik oleh pelaku usaha, padahal
dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dinyatakan bahwa pelaku usaha
wajib beritikad baik kepada konsumen dalam menjalankan usahanya serta
memberikan informasi yang benar kepada konsumen terkait dengan produk
barang atau jasa yang diperdagangkannya tetapi kenyataannya masih banyak yang
mengabaikan ketentuan aturan tersebut.
Mengenai pencantuman klausula baku, dalam Pasal 18 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen telah diatur tentang ketentuan-ketentuan pelarangan
pencantuman klausula baku yang merugikan, salah satunya adalah klausula
eksonerasi, namun masih ada pelaku usaha yang mencantumkan klausula
eksonerasi yang menunjukan pengalihan tanggung jawab oleh pelaku usaha
terhadap pelayanan yang kurang baik oleh pelaku usaha. Perbuatan tersebut jelas
merugikan konsumen. Disisi lain, banyak masyarakat sebagai konsumen kurang
paham mengenai hak-haknya sebagai konsumen, akibatkanya masyarakat sebagai
konsumen menjadi korban pelaku usaha yang terkadang tidak mau bertanggung
jawab atas kelalaiannya.
6
Dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen
menyatakan bahwa Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan
penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak
konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan
pelaku usaha. Adapun cara yang dilakukan pemerintah guna menjamin
terselenggaranya Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu dengan cara
melakukan kegiatan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaran
perlindungan konsumen termasuk pengawasan terhadap pencantuman klausula
baku oleh pelaku usaha. Terkait dengan pengawasan terhadap pencantuman
klausula baku, dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 52 huruf C
menyatakan bahwa pengawasan terhadap pencantuman klausula baku dilakukan
oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (Selanjutnya disebut BPSK).
BPSK merupakan badan yang dibentuk oleh Pemerintah di Daerah Tingkat II
untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Berdasarkan Pasal 53
Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa pelaksanaan tugas
dan wewenang BPSK Daerah Tingkat II diatur dalam surat keputusan menteri.
Adapun keputusan menteri yang mengatur mengenai pelaksanaan kerja BPSK
yaitu Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 350 Tahun 2001
tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (selanjutnya disebut KEPMENPERINDAG No. 350/2001).
Salah satu kewenangan BPSK sebagaimana tercantum dalam Pasal 52 huruf c
Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah melakukan pengawasan
terhadap pencantuman klausula baku. Ketentuan ini diperjelas oleh aturan
7
pelaksanaannya yaitu dalam Pasal 3 hurf c KEPMENPERINDAG No. 350/2001
menyatakan bahwa BPSK memiliki tugas dan wewenang dalam melakukan
pengawasan terhadap klausula baku, serta pada Pasal 9 KEPMENPERINDAG
No. 350/2001) menyebutkan bahwa :
(1) pengawasan terhadap pencantuman klausula baku, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 huruf c, dilakukan oleh BPSK dengan atau tanpa pengaduan
dari konsumen.
(2) hasil pengawasan pencantuman klausula baku sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) yang membuktikan adanya pelanggaran terhadap larangan
pencantuman klausula baku di dalam Undang-undang Perlindungan
konsumen, diberitahukan secara tertulis kepada pelaku usaha sebagai
peringatan.
(3) peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan tiga
kali berturut-turut dengan tenggang waktu untuk masing-masing
peringatan satu bulan.
(4) bilamana pelaku usaha tidak mengindahkan peringatan tertulis
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), maka BPSK melaporkan kepada
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang ruang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang perlindungan konsumen untuk dilakukan
penyidikan dan proses penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan yang
berlaku.
Aturan KEPMENPERINDAG No. 350/2001 tersebut jelas menyebutkan
bahwa BPSK dapat melakukan pengawasan terhadap klausula baku dengan atau
tanpa pengaduan dari konsumen. Artinya BPSK dapat secara aktif melakukan
pengawasan terhadap pencantuman klausula baku. Tetapi fakta yang terjadi
bahwa masih banyaknya pelaku usaha jasa laundry yang mencantumkan klausula
baku yang dilarang khususnya di Kota Denpasar.
8
Berdasarkan hal yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk
mempelajari, memahami, dan meneliti secara lebih mendalam mengenai
bagaimana Implementasi Pasal 52 Huruf C Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen Terkait Pengawasan BPSK Kota Denpasar
Terhadap Pencantuman Klausula Eksonerasi Pada Nota Jasa Laundry”.
Selanjutnya berdasarkan latar belakang di atas disusunlah dalam suatu
penulisan hukum yang berjudul “Implementasi Pasal 52 Huruf C Undang-
Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Terkait
Pengawasan BPSK Kota Denpasar Terhadap Pencantuman Klausula
Eksonerasi Pada Nota Jasa Laundry”.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, dapat dibuat rumusan masalah sebagai
berikut :
1. bagaimana implementasi Pasal 52 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen terkait pengawasan BPSK kota
Denpasar terhadap pencantuman klausula eksonerasi pada nota jasa
laundry ?
2. kendala-kendala bagaimana yang dialami oleh BPSK kota Denpasar dalam
melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula eksonerasi pada
nota jasa laundry di Kota Denpasar ?
9
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Dalam penulisan skripsi ini ditentukan mengenai materi yang akan dibahas.
Hal ini bertujan untuk menghindari agar materi atau isi dari pembahasan tidak
menyimpang dari pokok permasalahan. Permasalahan diteliti dan dibatasi sesuai
dengan rumusan masalah yang akan dibahas yaitu mengenai implementasi Pasal
52 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
terkait pengawasan BPSK Kota Denpasar terhadap pencantuman klausula
eksonerasi pada nota jasa laundry serta kendala-kendala apa yang dialami oleh
BPSK dalam melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula eksonerasi
pada nota jasa laundry di kota Denpasar.
1.4 Orisinalitas Penelitian
Bahwa penulisan yang berjudul “Implementasi Pasal 52 Huruf C Undang-
Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Terkait Pengawasan
BPSK Kota Denpasar Terhadap Pencantuman Klausula Eksonerasi Pada Nota
Jasa Laundry” belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Namun terkait dengan penelitian yang sejenis terdapat penelitian yang sudah
pernah ditulis tetapi dalam hal pembahasan yang berbeda, yaitu sebagai berikut :
NO.
JUDUL
RUMUSAN MASALAH
1. “Pengawasan Dinas
Perindrustrian Dan Perdagangan
1) Bagaimana pelaksanaan
pengawasan peredaran makanan
10
Kabupaten Gianyar Terhadap
Peredaran Makanan Dalam
Kemasan Kaitannya Dengan
Perlindungan Konsumen”.
Oleh : Putu Dewi Pramitha
Program Ekstensi Fakultas
Hukum Universitas Udayana
Tahun 2007
dalam kemasan di masyarakat
yang dilakukan Dinas
Perindrustrian Dan Perdagangan
Kabupaten Gianyar dalam
kaitannya dengan perlindungan
Konsumen ?
2) Kewenangan apa saja yang
dimiliki Dinas Perindrustrian
Dan Perdagangan Kabupaten
Gianyar dalam mengawasi
peredaran makanan kemasan di
masyarakat ?
2. “Akibat Hukum Atas Klausula
Eksonerasi Yang Merugikan
Konsumen Pada Nota Belanja”.
Oleh : Putu Prasintia Dewi
Fakultas Hukum Universitas
Udayana Tahun 2015
1) Bagaimana kedudukan
Konsumen dalam hal adanya
klausula eksonerasi pada nota
belanja ?
2) Apa akibat hukumnya terhadap
klausula eksonerasi yang
merugikan pada nota belanja ?
11
1.5 Tujuan Penelitian
1.5.1 Tujuan umum
1.5.1.1 Untuk mengetahui implementasi Pasal 52 huruf c Undang Undang
No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen terkait
pengawasan BPSK Kota Denpasar terhadap pencantuman klausula
eksonerasi pada nota jasa laundry.
1.5.1.2 Untuk mengetahui kendala-kendala apa yang dialami oleh BPSK
Kota Denpasar dalam melakukan pengawasan terhadap
pencantuman klausula eksonerasi pada nota jasa laundry di Kota
Denpasar.
1.5.2 Tujuan khusus
1.5.2.1 Untuk memahami bagaimana implementasi Pasal 52 huruf c
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen terkait pengawasan BPSK Kota Denpasar terhadap
pencantuman klausula eksonerasi pada nota jasa laundry.
1.5.2.2 Untuk memahami kendala-kendala apa yang dialami oleh BPSK
Kota Denpasar dalam melakukan pengawasan terhadap
pencantuman klausula eksonerasi pada nota jasa laundry di Kota
Denpasar.
1.6 Manfaat Penelitian
Dalam suatu penelitian terdapat sebuah manfaat penelitian yang dapat
diambil. Manfaat penelitian meliputi manfaat teoritis dan manfaat praktis.
12
1.6.1 Manfaat teoritis
Secara teoritis hasil dari pembahasan terhadap masalah-masalah yang telah
dirumuskan dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang
positif dan berguna serta dapat dijadikan sebagai bahan refrensi pelengkap dalam
pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum perlindungan konsumen.
1.6.2 Manfaat praktis
Secara praktis hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
panduan untuk mengetahui bagaimana implementasi Pasal 52 huruf c Undang
Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen terkait pengawasan
BPSK Kota Denpasar terhadap pencantuman klausula eksonerasi pada nota jasa
laundry.
1.7 Landasan Teoritis
Indonesia merupakan sebuah Negara hukum, dimana hal ini tertuang dalam
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pengertian negara hukum adalah sebuah negara yang dalam menjalankan
pemerintahannya berdasarkan pada hukum. Negara Hukum menurut Abdul Aziz
Hakim adalah, negara berlandaskan atas hukum dan keadilan bagi warganya,
artinya adalah segala kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan Negara
atau penguasa, semata-mata berdasarkan hukum atau dengan kata lain diatur oleh
hukum sehingga dapat mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup warganya.4
4Abdul Aziz Hakim, 2011, Negara Hukum dan Demokrasi Di Indonesia, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, h. 8
13
Maka berdasarkan prinsip tersebut dapat dikatakan bahwa wewenang pemerintah
dalam menjalankan tugasnya bersumber dari peraturan perundang-undangan.
Kata wewenang dapat disamakan dengan kata kewenangan, yang diartikan
sebagai hak dan kekuasaan untuk bertindak, kekuasaan membuat keputusan,
memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang/badan lain.5 Secara
teorotik kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut
diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Indroharto,
mengemukakan bahwa wewenang yang diperoleh secara atribusi, yaitu pemberian
wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan. Jadi disini dilahirkan suatu wewenang pemerintah yang
baru.6
Teori atribusi erat kaitannya dengan kewenangan yang dimiliki pemerintah
dalam upaya perlindungan konsumen beradasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen (Undang-Undang Perlindungan
Konsumen). Dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen
menyatakan “bahwa Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan
penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak
konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan
pelaku usaha”.
5Kamal Hidjaz, 2010, Efektivitas Penyelenggaraan Kewenangan Dalam Sistem
Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Pustaka Refleksi, Makasar, h.35. 6Ridwan HR, 2011, Hukum Administrasi Negara, Cet. Ke-7, Rajawali Pers, Jakarta,
h.101.
14
Adapun cara yang dilakukan pemerintah guna menjamin terselenggaranya
Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu dengan cara melakukan kegiatan
pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaran perlindungan konsumen.
Terkait dengan pengawasan terhadap pencantuman klausula eksonerasi yang
merupakan bagian dari klausula baku dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen Pasal 52 huruf C menyatakan bahwa pengawasan terhadap
pencantuman klausula baku dilakukan oleh Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK).
BPSK sebagai badan publik yang berfungsi untuk menangani dan
menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan. BPSK Kota Denpasar
dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 23 tahun 2006.7 Keberadaannya
merupakan salah satu amanat dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Tujuan pembentukkan BPSK adalah untuk melindungi konsumen maupun pelaku
usaha dengan menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi .
Berdasarkan Pasal 52 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan
bahwa tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen meliputi:
a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan
cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi.
b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen.
c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku.
d. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan
dalam Undang-undang ini.
e. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen
tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.
f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen.
7Sejarah, http://bpsk.denpasarkota.go.id/. diakses tanggal 5 september 2016.
15
g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen.
h. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang
dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini.
i. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi
ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h,
yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa
konsumen.
j. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti
lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan.
k. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak
konsumen.
l. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.
m. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar
ketentuan Undang-undang ini.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Perlindungan konsumen
menyatakan “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi kepada konsumen”. Rumusan pengertian
perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal tersebut, cukup memadai.
Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-
wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan
perlindungan konsumen, begitu pula sebaliknya menjamin kepastian hukum bagi
konsumen. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-undang Perlindungan
Konsumen Menyatakan bahwa “konsumen adalah setiap orang pemakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan”.
Az. Nasution mendefinisikan perlindungan konsumen adalah bagian dari
hukum yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan
16
juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen.8 Adapun hukum
konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang
mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain yang
berkaitan dengan barang atau jasa konsumen dalam pergaulan hidup.9 Asas-asas
dan prinsip-prinsip yang dianut di dalam hukum perlindungan konsumen
dirumuskan pada Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang
berbunyi “Perlindungan konsumen berasaskan Manfaat, Keadilan, Keseimbangan,
Keamanan dan Keselamatan Konsumen, serta Kepastian Hukum”.
Berdasarkan asas-asas tersebut maka terbentuklah tujuan daripada
perlindungan konsumen, adapun tujuan dari perlindungan konsumen dirumuskan
dalam Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang berbunyi,
Perlindungan konsumen bertujuan :
a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri.
b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi.
e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam
berusaha.
f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan
dan keselamatan konsumen.
8Az.nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen, Diadit Media, Jakarta, h.22. 9Ibid.
17
Dari tujuan tersebut jelas bahwa tujuan dari adanya perlindungan konsumen
yakni untuk menegakkan dan melindungi hak-hak konsumen dari tindakan
kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Secara universal diakui
adanya hak-hak konsumen yang harus dilindungi dan di hormati, yaitu :
1. hak atas keamanan dan keselamatan.
2. hak atas informasi.
3. hak untuk memilih.
4. hak untuk didengar.
5. hak atas lingkungan hidup.10
Di Indonesia Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah mengatur hak-
hak yang patut diperoleh oleh konsumen. Hal ini diatur dalam Pasal 4 Undang-
Undang Perlindungan Konsumen, yaitu :
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa.
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan
yang dijanjikan.
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa.
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan.
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya.
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
10Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2009, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika,
Jakarta, h.89.
18
Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga mengatur tentang kewajiban
bagi para pelaku usaha. Hal ini dimaksudkan agar para pelaku usaha dapat
menjalankan usahanya dengan benar sehingga dapat tercapainya kesejahteraan
baik bagi konsumen maupun pelaku usaha serta menghindari perbuatan yang tidak
beritikad baik dari pelaku usaha dalam menjalankan usahahnya. Kewajiban para
pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen,
yang berbunyi sebagai berikut, kewajiban pelaku usaha adalah :
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan.
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku.
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba
barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas
barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan.
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian
Dalam kegiatan bisnis terdapat hubungan yang saling membutuhkan antara
pelaku usaha dengan konsumen. Kepentingan pelaku usaha adalah memperoleh
laba dari transaksi dengan konsumen, sedangkan kepentingan konsumen adalah
memperoleh pemenuhan kebutuhannya terhadap produk tertentu.11 Dalam
kegiatan bisnis, terdapat praktik perjanjian yang mencantumkan klausula baku
11Sanusi Bintang, Dahlan, 2000, Pokok-pokok Hukum Ekonomi dan Bisnis, Citra Aditya
Bakti, Bandung, h.107.
19
yang menempatkan posisi tidak seimbang antara pelaku usaha dan konsumen,
pada akhirnya akan melahirkan perjanjian yang melemahkan posisi konsumen.
Menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Perlindungan konsumen
menyatakan, “Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat
yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku
usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat
dan wajib dipenuhi konsumen”. Tujuan penggunaan klausula baku tersebut
sebenarnya untuk menghemat waktu dalam setiap kegiatan jual beli, karena tidak
efisien apabila setiap terjadi transaksi antara pihak penjual dan pembeli, mereka
membicarakan mengenai isi kontrak jual beli. Karena itu dalam suatu kontrak
standar dicantumkan klausul-klausul yang umumnya digunakan dalam kontrak
jual beli.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak melarang pelaku usaha untuk
membuat klausula baku atas setiap dokumen dan perjanjian transaksi usaha
perdagangan barang atau jasa, selama dan sepanjang klausula baku tersebut tidak
mencantumkan ketentuan sebagaimana dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-
Undang Perlindungan Konsumen merumuskan :
(1) pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan
untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula
baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila :
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
barang yang dibeli konsumen.
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh
konsumen.
20
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik
secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala
tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran.
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen.
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli
jasa.
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan
baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat
sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa
yang dibelinya.
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha
untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Ketentuan pelarangan pencantuman klausula baku yang sebagaimana diatur
dalam Pasal 18 ayat (1) tersebut bertujuan untuk menyeimbangkan kedudukan
antara konsumen dan pelaku usaha. Selain itu dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-
Undang Perlindungan Konusumen juga menyatakan bahwa “Pelaku usaha
dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat
atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti”. Jika pengusaha tetap mencantumkan klausula baku yang dilarang
tersebut, maka klausula itu batal demi hukum. Artinya, klausula itu dianggap tidak
pernah ada. Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen
setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.
Untuk mewujudkan perlindungan konsumen, terutama dalam hal pencantuman
klausula baku yang dimana konsumen sering merasa dirugikan dengan adanya
klausuala baku yang berisikan perjanjian atau ketentuan yang dibuat secara
sepihak oleh pelaku usaha, maka dilakukanlah suatu pengawasan dalam
pencantuman klausula baku tersebut. Pengawasan ini tentunya dilakuan lembaga
21
yang memiliki kewenangan akan pelaksanaan pengawasan terhadap klausula baku
tersebut. Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Lembaga
tersebut adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau lebih sering disebut
dengan singkatan BPSK. Berdasarkan Pasal 52 huruf c Undang-Undang
Perlindungan Konsumen BPSK memiliki tugas dan wewenang dalam melakukan
pengawasan terhadap pencantuman klausula baku. Selain menyelesaikan sengketa
konsumen BPSK juga ditugaskan untuk mengawasi pencantuman klausula baku.
Salah satu kewenangan BPSK sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 52
huruf c Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah melakukan pengawasan
terhadap pencantuman klausula baku. Ketentuan ini diperjelas oleh aturan
pelaksananya yaitu dalam Pasal 3 huruf c Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Nomor 350 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (KEPMENPERINDAG No. 350/2001)
yang menyebutkan bahwa BPSK berwenang dalam pengawasan terhadap
pencantuman klausula baku dan pada Pasal 9 ayat (1) KEPMENPERINDAG No.
350/2001 juga menyatakan bahwa “Pengawasan terhadap pencantuman klausula
baku, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, dilakukan oleh BPSK dengan
atau tanpa pengaduan dari konsumen”.
Dari ketentuan KEPMENPERINDAG No. 350/2001 tersebut sudah jelas
menyebutkan bahwa BPSK dapat melakukan pengawasan terhadap klausula baku
dengan atau tanpa pengaduan dari konsumen. Artinya BPSK dapat secara aktif
melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku. Tetapi dalam
prakteknya BPSK lebih berperan pasif karena BPSK memiliki juga kewenangan
22
sebagai lembaga penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, sehingga
BPSK menunggu laporan dari konsumen yang merasa dirugikan.
1.8 Metode Penelitian
1.8.1 Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
emperis. Penelitian hukum empiris salah satunya merupakan penelitian yang
membahas bagaimana hukum beroprasi dalam masyarat. Salah satu faktor yang
mengefektifkan suatu peraturan adalah masyarakat, yaitu berupa kesadaran
masyarakat untuk mematuhi suatu peraturan perundang-undangan.12
Adapun ciri dari penelitian hukum empiris yaitu suatu penelitian yang
beranjak dari adanya kesenjangan-kesenjangan das solen (teori) dengan das sein
(praktek atau kenyataan), kesenjangan dalam keadaan teoritis dengan fakta
hukum. Penelitian hukum empiris mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagi
prilaku nyata, yang dialami setiap orang dalam hubungan hidup bermasyarakat,
sehingga penelitian hukum empiris disebut juga penelitian hukum sosiologis.
Penelitian hukum sosiologis memandang hukum sebagai fenomena sosial yang
berbeda dengan penelitian hukum normative yang memandang hukum sebagai
norma-norma positif di dalam sistem perundang undangan hukum nasional.13
12H. Zainuddin Ali, 2011, Metode Penelotian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.37. 13Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h. 167.
23
1.8.2 Jenis pendekatan
Jenis pendekatan dalam penelitian ini menggunakan Pendekatan Perundang-
undangan (The Statute Approach) dan Pendekatan Fakta (The Fact Approach).
Pendekatan Perundang-undangan digunakan untuk mengkaji beberapa aturan
hukum yang ada, untuk mengetahui bagaimana aspek hukum kewenangan BPSK
dalam melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku. Pendekatan
Fakta yaitu pendekatan dengan pengkajian yang dilakukan oleh penulis terkait
peristiwa hukum yang diangkat serta ditunjang oleh fakta lapangan guna
mendapatkan hasil yang sempurna.
1.8.3 Data dan sumber data
1.8.3.1 Data primer yaitu data yang langsung didapat dari sumber pertama
yaitu prilaku masyarakat melalui penelitian di lapangan dan
penelitian dilakukan di Badan Penyelesaian Sengketa (BPSK) Kota
Denpasar yang bertugas melakukan pengawasan terhadap
pencantuman klausula baku serta menangani dan menyelesaikan
sengketa antara konsumen dan pelaku usaha khususnya di Kota
Denpasar.
1.8.3.2 Data sekunder yaitu data yang bersumber dari penelitian
kepustakaan yang diperoleh melalui peraturan perundang-undangan
maupun pendapat-pendapat para sarjana hukum dan tulisan-tulisan
ilmiah yang ada kaitanya dengan masalah yang di bahas.
24
1.8.4 Teknik pengumpulan data
1.8.4.1 Teknik studi dokumen yaitu pendataan yang dilakukan dengan
mengumpulkan bahan-bahan pustaka seperti dokumen-dokumen
hukum dan peraturan perundangan-undangan yang ada kaitannya
dengan masalah yang di bahas.
1.8.4.2 Teknik wawancara (interview) yaitu pendataan yang dilakukan
dengan mengadakan komonikasi langsung kepada informan, guna
mencari jawaban terkait dengan permasalahan yang dibahas.
1.8.5 Teknik penentuan sampel penelitian
Penentuan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik non probability
sampling. Dalam teknik ini tidak ada ketentuan pasti mengenai beberapa sampel
yang harus diambil agar dapat dianggap mewakili populasinnya. Teknik non
probability sampling digunakan dalam hal :
1. data tentang populasi sangat langka atau tidak diketahui secara pasti
jumlah populasinya.
2. penelitian bersifat studi eksploratif atau deskriptif.
3. tidak dimaksudkan untuk membuat generalisasi tentang populasinya.
Adapun bentuk dari non probability sampling yang digunakan dalam
penelitian ini adalah purposive sampling dan snowball sampling. Pada purposive
sampling penarikan sampel dilakukan berdasarkan tujuan tertentu yaitu sampel
dipilih atau ditentukan sendiri oleh si peneliti, yang mana penunjukan atau
25
pemilihan sampel didasarkan pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi
kriteria dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama dari
populasinya.
Selanjutnya pada snowball sampling penarikan sampel dilakukan
berdasarkan penunjukan atau rekomendasi dari sampel sebelumnya. Sampel
pertama yang diteliti ditentukan sendiri oleh si peneliti yaitu dengan mencari key
informan (informan kunci) ataupun responden kunci yang dianggap mengetahui
tentang penelitian yang dilakukan oleh si peneliti.
Penelitian dilakukan pada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
Kota Denpasar, sehingga yang menjadi responden kunci dalam hal ini adalah
pihak BPSK Kota Denpasar, selaku pihak yang melakukan pengawasan terhadap
pencantuman klausula baku dan penyelenggaraan perlindungan konsumen di Kota
Denpasar.
1.8.6 Teknik pengelolahan dan analisis data
Setelah data dikumpulkan, lalu diolah dan dianalisa secara kualitatif
kemudian data yang diperoleh tersebut dalam pembahasannya disajikan secara
deskriptif analitis yaitu disajikan secara konkrit sesuai dengan hasil yang
diperoleh dilapangan maupun penulusuran kepustakaan.
top related