diare kronik perseisten dr. yossi
Post on 07-Jul-2016
262 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
REFERAT
DIARE PERSISTEN DAN DIARE KRONIK
Disusun oleh :
Cindy Amalia
030.11.060
Pembimbing :
dr. Yosianna Liska, Sp.A
Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Umum Daerah Karawang
16 Mei 2016 – 22 Juli 2016
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
BAB I
1
1
PENDAHULUAN
Diare masih merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas
anak di negara berkembang. Mortalitas tersebut dapat disebabkan oleh dehidrasi atau
akibat lingkaran sebab akibat dari diare-malnutrisi. Bayi dan anak sangat berisiko
karena kebutuhan cairan yang lebih besar, daya tahan tubuh yang kurang, dan rentan
terhadap agen fekal-organ.1
Diare pada anak diperkirakan menyebabkan 5.000.000 kematian tiap tahun di
negara berkembang. Di Amerika Serikat, kasus diare berjumlah 10% dari total kasus
rawat jalan.2 Di Indonesia diperkirakan terdapat sekitar 200-400 kejadian diare di antara
1.000 penduduk tiap tahunnya. Dengan demikian dapat diperkirakan terdapat 60 juta
kejadian diare setiap tahun. Sebagian besar dari penderita ini (60-80%) adalah anak
berusia <5 tahun. Diperkirakan bahwa setiap anak pada kelompok usia ini rata-rata
mengalami lebih dari satu kali kejadian setiap tahunnya, sebagian dari padanya (1-2%)
akan jatuh dalam keadaan dehidrasi dan 50-60% akan meninggal bila tidak segera
mendapatkan pertolongan.1 Berdasarkan profil kesehatan Indonesia 2003, penyakit
diare menempati urutan kelima dari 10 penyakit utama pada pasien rawat jalan di
rumah sakit dan menempati urutan pertama pada pasien rawat inap di rumah sakit.3
Sebagian besar penyakit diare bersifat akut yang biasanya berlangsung selama
3-5 hari, tetapi 5-15% kejadian diare berlangsung selama 14 hari atau lebih dan
menyebabkan 1/3 – 1/2 atau lebih kematian.4 Angka kematian akibat diare kronik di
Indonesia mencapai 23-62%, di luar negeri mencapai 45%, dan WHO melaporkan
sebanyak 35-56%. Kasus diare kronik walaupun lebih jarang dibandingkan diare akut
tetapi penting karena penatalaksanaannya sulit, sering sulit menentukan penyebabnya
dan memerlukan pemeriksaan khusus, merupakan 40-50% dari total hari perawatan
penderita diare, menyebabkan gangguan pertumbuhan dan kehilangan berat badan tiga
kali lebih banyak daripada diare akut, dan mempunyai risiko kematian yang tinggi.5
2
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Definisi diare adalah peningkatan pengeluaran tinja dengan konsistensi lebih
lunak atau lebih cair dari biasanya, dan terjadi paling sedikit 3 kali dalam 24 jam.
Dalam referensi lain disebutkan bahwa definisi diare untuk bayi dan anak-anak adalah
pengeluaran tinja >10 g/kg/24 jam, sedangkan rata-rata pengeluaran tinja normal pada
bayi sebesar 5-10 g/kg/24 jam. Diare umumnya dibagi menjadi diare akut dan diare
yang berkepanjangan (kronis dan/atau persisten). Diare kronis dan diare persisten
seringkali dianggap suatu kondisi yang sama. Ghishan menyebutkan diare kronis
sebagai suatu episode diare lebih dari 2 minggu, sedangkan kondisi serupa yang disertai
berat badan menurun atau sukar naik oleh Walker- Smith et al. didefinisikan sebagai
diare persisten. Di lain pihak, dasar etiologi diare kronis yang berbeda diungkapkan
oleh Bhutta dan oleh The American Gastroenterological Association. Definisi diare
kronis menurut Bhutta adalah episode diare lebih dari dua minggu, sebagian besar
disebabkan diare akut berkepanjangan akibat infeksi, sedangkan definisi menurut The
American Gastroenterological Association adalah episode diare yang berlangsung lebih
dari 4 minggu, oleh etiologi non-infeksi serta memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.6
Bervariasinya definisi ini pada dasarnya disebabkan perbedaan kejadian diare
kronis dan persisten di negara berkembang dan negara maju, dimana infeksi merupakan
latar belakang tertinggi di negara berkembang, sedangkan penyebab non-infeksi lebih
banyak didapatkan di negara maju. Demikian juga porsi serta prioritas penelitian
maupun pembahasan lebih didominasi permasalahan diare non infeksi, antara lain
karena dalam tatalaksananya, diare bentuk ini lebih banyak membutuhkan biaya.6
Diare persisten didefinisikan sebagai berlanjutnya episode diare selama 14 hari
atau lebih yang dimulai dari suatu diare cair akut atau berdarah (disentri). Kejadian ini
sering dihubungkan dengan kehilangan berat badan dan infeksi nonintestinal. Walker-
3
3
Smith mendefinisikan sebagai diare yang dimulai secara akut tetapi bertahan lebih dari 2
minggu setelah onset akut. Diare akut dan diare persisten bukan merupakan 2 (dua) jenis
penyakit yang terpisah, melainkan membentuk sebuah proses berkelanjutan.1 Menurut
WHO, diare persisten adalah episode diare yang diawali dengan diare akut tetapi
berakhir dalam waktu 14 hari atau lebih.7
Lingkungan masyarakat gastrohepatologi anak di Indonesia digunakan
pengertian bahwa ada 2 jenis diare yang berlangsung ≥14 hari, yaitu diare persisten
yang mempunyai dasar etiologi infeksi, serta diare kronis yang mempunyai dasar
etiologi non-infeksi.6
2.2 EPIDEMIOLOGI
Diare persisten/kronis mencakup 3-20% dari seluruh episode diare pada balita.
Insidensi diare persisten di beberapa negara berkembang berkisar antara 7-15% setiap
tahun dan menyebabkan kematian sebesar 36-54% dari keseluruhan kematian akibat
diare. Hal ini menunjukkan bahwa diare persisten dan kronis menjadi suatu masalah
kesehatan yang mempengaruhi tingkat kematian anak di dunia.. Di Indonesia,
prevalensi diare persisten/kronis sebesar 0,1%, dengan angka kejadian tertinggi pada
anak-anak berusia 6-11 bulan.6
Hasil dari penelitian kesehatan dasar (RISKESDAS) dari Departemen
Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2007 menunjukkan prevalensi diare di
Indonesia dari 9 % dan itu adalah penyebab 13 kematian dengan proporsi 3,5%
berdasarkan pola kematian pada semua umur. Data dari satu penelitian di Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo yang Ulasan 207 pasien dengan diare kronis dalam periode
1999-2000 melaporkan bahwa diare disebabkan penyebab infeksi di 100 pasien
(48,3%), penyebab non-infeksi pada 69 pasien (33,3%) dan penyebab dicampur dalam
38 pasien (18,4%). 6
2.3 ETIOLOGI
4
4
Terdapat perbedaan etiologi antara diare persisten dan diare kronis. Diare
persisten disebabkan oleh infeksi dan disertai berbagai faktor resiko, sedangkan diare
kronis disebabkan oleh beberapa keadaan non infeksi, umumnya meliputi intoleransi
protein susu sapi/kedelai (pada anak usia <6 bulan, tinja sering disertai dengan darah);
celiac disease (gluten-sensitive enteropathy), dan cystic fibrosis.6
Tabel 1. Enteropatogen penyebab diare.6
Tabel 2. Etiologi diare kronik 8
Infant Sindrom malabsopsi post gastroenteritis
Intoleransi protein/susu sapi
Defisiensi disakarida sekuder
Fibrosis kistik
Anak-anak Diare kronik non spesifik
5
5
Defisiensi disakarida sekunder
Sindrom malabsopsi post gastroenteritis
Penyakit seliac
Fibrosis kistik
Remaja Irritable bowel syndrome
Inflamatory bowel disease
Giardiasis
Intoleransi laktosa
2.4 PATOGENESIS
Patogenesis diare kronis melibatkan berbagai faktor yang sangat kompleks.
6
6
Pertemuan Commonwealth Association of Pediatric Gastrointestinal and Nutrition
(CAPGAN) menghasilkan suatu konsep patogenesis diare kronis yang menjelaskan
bahwa paparan berbagai faktor predisposisi, baik infeksi maupun non-infeksi akan
menyebabkan rangkaian proses yang pada akhirnya memicu kerusakan mukosa usus
dan mengakibatkan diare kronis. Seringkali diare kronis dan diare persisten tidak dapat
dipisahkan, sehingga beberapa referensi hanya menggunakan salah satu istilah untuk
menerangkan kedua jenis diare tersebut. Meskipun sebenarnya definisi diare persisten
dan diare kronis berbeda, namun, kedua jenis diare tersebut lebih sering dianggap
sebagai diare oleh karena infeksi.6
7
7
Gambar 7.2. menunjukkan perjalanan diare akut menjadi diare persisten.
Dijelaskan bahwa faktor seperti malnutrisi, defisiensi imun, defisiensi mikronutrient,
dan ketidaktepatan terapi diare menjadi faktor risiko terjadinya diare berkepanjangan
(prolonged diarrhea). Pada akhirnya prolonged diarrhea akan menjadi diare persisten
yang memiliki konsekuensi enteropati dan malabsorpsi nutrisi lebih lanjut.6
Dua faktor utama mekanisme diare kronis adalah (1) faktor intralumen dan (2)
faktor mukosal. Faktor intralumen berkaitan dengan proses pencernaan dalam lumen,
termasuk gangguan pankreas, hepar dan brush border membrane. Faktor mukosal
adalah faktor yang mempengaruhi pencernaan dan penyerapan, sehingga berhubungan
dengan segala proses yang mengakibatkan perubahan integritas membran mukosa usus,
ataupun gangguan pada fungsi transport protein. Perubahan integritas membran mukosa
usus dapat disebabkan oleh proses akibat infeksi maupun non-infeksi, seperti alergi
susu sapi dan intoleransi laktosa. Gangguan fungsi transport protein misalnya
disebabkan gangguan penukar ion Natrium-Hidrogen dan Klorida-Bikarbonat.6
8
8
Secara umum patofisiologi diare kronis/persisten digambarkan secara jelas oleh
Ghishan, dengan membagi menjadi lima mekanisme: (1) sekretoris, (2) osmotik, (3)
mutasi protein transport membran apikal, (4) pengurangan luas permukaan anatomi,
dan (5) perubahan motilitas usus.6
1. Sekretoris
Pada diare sekretoris, terjadi peningkatan sekresi Cl- secara aktif dari sel kripta
akibat mediator intraseluler seperti cAMP, cGMP, dan Ca2+. Mediator tersebut juga
mencegah terjadinya perangkaian antara Na+ dan Cl- pada sel vili usus. Hal ini
berakibat cairan tidak dapat terserap dan terjadi pengeluaran cairan secara masif ke
lumen usus. Diare dengan mekanisme ini memiliki tanda khas yaitu volume tinja yang
banyak (>200ml/24jam), konsistensi tinja yang sangat cair, konsenstrasi Na+ dan Cl-
>70mEq, dan tidak berespon terhadap penghentian makanan. Contoh penyebab diare
sekretoris adalah Vibrio cholerae di mana bakteri mengeluarkan toksin yang
mengaktivasi cAMP dengan mekanisme yang telah disebutkan sebelumnya.6
2. Osmotik
Diare dengan mekanisme osmotik bermanifestasi ketika terjadi kegagalan
proses pencernaan dan/atau penyerapan nutrien dalam usus halus sehingga zat tersebut
akan langsung memasuki colon. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan osmotik di
lumen usus sehingga menarik cairan ke dalam lumen usus. Absorpsi usus tidak hanya
tergantung pada faktor keutuhan epitel saja, tetapi juga pada kecukupan waktu yang
diperlukan dalam proses pencernaan dan kontak dengan epitel. Perubahan waktu transit
usus, terutama bila disertai dengan penurunan waktu transit usus yang menyeluruh,
akan menimbulkan gangguan absorbsi nutrien. Contoh klasik dari jenis diare ini adalah
diare akibat intoleransi laktosa. Absennya enzim laktase karena berbagai sebab baik
infeksi maupun non infeksi, yang didapat (sekunder) maupun bawaan (primer),
menyebabkan laktosa terbawa ke usus besar dalam keadaan tidak terserap. Karbohidrat
yang tidak terserap ini kemungkinan akan difermentasi oleh mikroflora sehingga
9
9
terbentuk laktat dan asam laktat. Kondisi ini menimbulkan tanda dan gejala khas yaitu
pH<5, bereaksi positif terhadap substansi reduksi, dan berhenti dengan penghentian
konsumsi makanan yang memicu diare.6
Tabel 3. Perbedaan diare osmotik dan diare sekretorik8
Beda Diare osmotik Diare sekretorik
Volume feses < 200 ml/24 jam > 200 ml/24 jam
Kecepatan respon Stop diare Kontinu diare
Natrium feses < 70 meq/l > 70 meq/l
Tes reduksi Positif Negatif
pH feses < 5 > 6
3. Mutasi protein transport
Mutasi protein CLD (Congenital Chloride Diarrhea) yang mengatur pertukaran
ion Cl- /HCO3- pada sel brush border apical usus ileo-colon, berdampak pada
gangguan absorpsi Cl- dan menyebabkan HCO3- tidak dapat tersekresi. Hal ini
berlanjut pada alkalosis metabolik dan pengasaman isi usus yang kemudian
mengganggu proses absorpsi Na+. Kadar Cl- dan Na+ yang tinggi di dalam usus
memicu terjadinya diare dengan mekanisme osmotik. Pada kelainan ini, anak
mengalami diare cair sejak prenatal dengan konsekuensi polihidramnion, kelahiran
prematur dan gangguan tumbuh kembang. Kadar klorida serum rendah, sedangkan
kadar klorida di tinja tinggi. Kelainan ini telah dilaporkan di berbagai daerah di dunia
seperti Amerika Serikat, Kanada, hampir seluruh negara di Eropa, Timur Tengah,
Jepang dan Vietnam. Selain mutasi pada penukar Cl-/HCO3-, didapat juga mutasi pada
penukar Na+/H+ dan Na+–protein pengangkut asam empedu.6
10
10
4. Pengurangan luas permukaan anatomi usus
Berbagai gangguan pada usus, pada kondisi-kondisi tertentu seperti necrotizing
enterocolitis, volvulus, atresia intestinal, penyakit Crohn dan lain-lain, diperlukan
pembedahan, bahkan pemotongan bagian usus yang kemudian menyebabkan short
bowel syndrome. Diare dengan patogenesis ini ditandai dengan kehilangan cairan dan
elektrolit yang masif, serta malabsorbsi makro dan mikronutrien.6
5. Perubahan pada gerakan usus
Hipomotilitas usus akibat berbagai kondisi seperti malnutrisi, skleroderma,
obstruksi usus dan diabetes mellitus, mengakibatkan pertumbuhan bakteri berlebih di
usus. Pertumbuhan bakteri yang berlebihan menyebabkan dekonjugasi garam empedu
yang berdampak meningkatnya jumlah cAMP intraseluler, seperti pada mekanisme
diare sekretorik. Perubahan gerakan usus pada diabetes mellitus terjadi akibat neuropati
saraf otonom, misalnya saraf adrenergik, yang pada kondisi normal berperan sebagai
antisekretori dan/atau proabsorbtif cairan usus, sehingga gangguan pada fungsi saraf ini
memicu terjadinya diare.6
2.5 MANIFESTASI KLINIS
Anak dengan diare persisten lebih banyak menunjukkan manifestasi diare cair
dibandingkan diare disentriform. Selain itu, malnutrisi merupakan gambaran umum
anak-anak dengan diare persisten. Studi kohort di Amerika menunjukkan bahwa gejala
penurunan nafsu makan, muntah, demam, adanya lendir dalam tinja, dan gejala-gejala
flu, lebih banyak ditemukan pada diare persisten dibandingkan diare akut. Gejala lain
yang mungkin timbul tidak khas, karena sangat terkait dengan penyakit yang
mendasarinya.6
11
11
2.6 DIAGNOSIS
Evaluasi pada pasien dengan diare kronis/persisten meliputi:
1. Anamnesis
Anamnesis harus dapat menggali secara jelas perjalanan penyakit diare, antara
lain berapa lama diare sudah berlangsung dan frekuensi berak. Selain itu anamnesis
juga bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor risiko penyebab diare, antara lain
riwayat pemberian makanan atau susu, ada tidaknya darah dalam tinja anak, riwayat
pemberian obat dan adanya penyakit sistemik.6
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada diare kronis/persisten harus mencakup perhatian khusus
pada penilaian status dehidrasi, status gizi, dan status perkembangan anak.
I. Kemungkinan anak mengalami dehidrasi5
a. Keseimbangan cairan, riwayat input dan output cairan
b. Tanda dehidrasi
Derajat dehidrasi pada diare persisten ditetapkan sesuai dengan acuan tatalaksana diare
akut. Hanya perlu berhati-hati pada diare persisten yang disertai KEP dan penyakit
penyerta, yang dapat mengganggu penilaian indikator derajat dehidrasi
II. Nutrisi5
Status gizi ditetapkan sesuai standar. Kurang mikronutrien seperti vitamin A dan zinc
dapat memperpanjang lama diare, tetapi sering manifestasi klinik klasik kekurangan
mikronutrien ini belum muncul. Memeriksa kadar mikronutrien ini relatif sukar dan
mahal, sehingga dalam praktek, tanpa pemeriksaan terlebih dahulu, semua penderita
dengan diare persisten diberi suplementasi mikronutrien tertentu
Kemampuan makan anak dinilai berdasarkan riwayat makanan sewaktu sehat, selama
sakit, keadaan umum anak, serta melalui pengamatan untuk menentukan cara (enteral
atau parenteral) dan bentuk pemberian makanan (cair, saring, lunak, atau biasa).
12
12
Kemampuan pencernaan anak dinilai berdasarkan riwayat makan sewaktu sehat, dan
selama sakit, dihubungkan dengan manifestasi klinis yang muncul untuk sampai pada
dugaan ada tidaknya intoleransi pada jenis makanan tertentu
III. Penyebab infeksi5
Langkah yang dapat dilakukan adalah:
Mempelajari perjalanan penyakit dengan harapan mengarahkan pada
diagnosis etiologik
Melakukan pemeriksaan mikroskopik feses
Melakukan pemeriksaan darah tepi
Biakan feses
IV. Penyakit penyerta5
Diare persisten sering disertai penyakit penyerta
V. Indikasi rawat inap5
Berumur kurang dari 4 bulan
Mengalami dehidrasi
Menderita KEP sedang dan berat
Menderita infeksi berat
Indikasi berdasarkan penyakit penyerta lain
Penderita diperkirakan tidak akan dapat mengkonsumsi makanan sesuai dengan jenis,
bentuk, dan jumlah yang direkomendasikan
Kasus diare persisten ini walaupun sedikit tetapi penting karena
penatalaksanaannya sulit, sering sulit menentukan penyebabnya dan memerlukan
pemeriksaan yang khusus, merupakan 40-50% dari total hari perawatan penderita diare,
menyebabkan gangguan pertumbuhan dan kehilangan berat badan 3 kali lebih
banyakdaripada diare yang berakhir kurang dari 7 hari, mempunyai risiko kematian
yang tinggi, hampir separuh dari kematian karena diare disebabkan oleh diare
persisten.5
3. Pemeriksaan laboratorium6
a. Pemeriksaan darah.Pemeriksaan darah standar meliputi pemeriksaan hitung darah
13
13
lengkap, elektrolit, ureum darah, tes fungsi hati, vitamin B12, folat, kalsium, feritin,
laju enap darah, dan protein C-reaktif.
b. Pemeriksaan tinja.Pemeriksaan tinja spesifik antara lain meliputi tes enzim pankreas,
seperti tes fecal elastase, untuk kasus yang diduga sebagai insufisiensi pankreas. pH
tinja <5 atau adanya subtansi yang mereduksi pada pemeriksaan tinja, membantu
mengarahkan kemungkinan intoleransi laktosa dengan mekanisme yang telah
dijelaskan sebelumnya. Kultur tinja diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan
infeksi protozoa, seperti giardiasis, dan amebiasis yang banyak dikaitkan dengan
kejadian diare persisten.6
2.7 PENATALAKSANAAN
Mengidentifikasi penyebab spesifik dari diare kronis dengan pendekatan
sistemik merupakan hal yang penting dilakukan karena dapat memberikan terapi yang
paling cocok dan memberikan prognosis yang baik.9 Faktor pemicu yang paling penting
dari diare persisten atau diare kronis adalah penyakit diare akut yang disebabkan oleh
infeksi enterik. Kekurangan gizi yang disebabkan oleh diare yang terkait dengan infeksi
enterik adalah etiologi tersering dari diare persisten di negara-negara berkembang.
Malnutrisi merupakan etiologi penting diare persisten dan berhubungan dengan
destruksi intestinal barier dan villus atrofi.10
Prinsip umum dalam penatalaksanaan diare akut dapat diterapkan pada
Penderita baru dengan diare persisten sebaiknya dirawat inap untuk mencari etiologi
dan menatalaksana dengan baik. Tujuan utama tatalaksana klinik adalah
mempertahankan status hidrasi dan keseimbangan elektrolit, status nutrisi dan
memperbaiki kerusakan mukosa serta pada keadaan tertentu memberi antibiotika yang
tepat.6
1. Penilaian Keadaan
14
14
- Anamnesis mengenai riwayat perjalanan diare, yakni penekanan pada lamanya
perjalanan diare, kemungkinan anak mengalami dehidrasi, frekuensi buang air besar,
adanya darah dalam tinja, diare menjadi lebih buruk setelah diberi makanan tertentu,
infeksi ekstraintestinal saat itu, kesulitan pemberian makanan, kualitas dan kuantitas
pemberian makanan, obat yang ada di rumah yang pernah diberikan, apakah antibiotik
telah diberikan seperti yang dianjurkan, apakah anak dapat tumbuh nomal.
- Pemeriksaan fisik, antara lain :
(a) Identifikasi adanya dehidrasi, pada diare persisten ditetapkan sesuai dengan acuan
tatalaksana diare akut, hanya perlu hati-hati pada diare persisten yang disertai KEP dan
penyakit penyerta, yang dapat mengganggu penilaian indikator derajat dehidrasi.
(b) Identifikasi adanya komplikasi, antara lain hipovolemia, asidosis, gagal ginjal, kejang,
panas, muntah, malabsorpsi maltosa/glukosa, hiponatremi, hipernatremi, ileus
paralitikus, pernafasan dalam, dan mengantuk.
(c) Identifikasi derajat berat malnutrisi, yakni anak yang kelihatan tidak gembira dan pasif
merupakan hal yang umum didapatkan pada malnutrisisedang sampai berat. Banyak
anak dengan malnutrisi karena malabsorpsi pada diare persisten menunjukkan adanya
kelambatan dalam perkembangannya. Pemeriksaan yang cermat dari tinggi badan, berat
badan dan lingkar kepala, perbandingan berat badan terhadap tinggi badan, dan menilai
kurva pertumbuhan anak merupakan hal yang mendasar dari pemeriksaan fisik.
2. Pertolongan Awal dan Stabilisasi
Penderita dengan diare persisten membutuhkan penggantian kehilangan cairan yang
masih berlangsung dan koreksi ketidakseimbangan elektrolit.
a. Mempertahankan status hidrasi
Volume cairan disesuaikan dengan derajat dehidrasi:
(a) Tanpa dehidrasi : cairan rumah tangga dan ASI diberikan semaunya, oralit diberikan
sesuai usia setiap kali buang air besar atau muntah dengan dosis:
- Usia kurang dari 1 tahun : 50-100 cc
- Usia 1-5 tahun : 100-200 cc
- Usia lebih dari 5 tahun : semaunya (200-300 ml)
(b) Dehidrasi tidak berat (ringan-sedang); rehidrasi dengan oralit 75 cc/kgBb dalam 3 jam
15
15
pertama dilanjutkan pemberian kehilangan cairan yang sedang berlangsung sesuai umur
seperti di atas setiap kali buang air besar.
Tabel 8. Komposisi Oralit WHO
Kandungan Oralit WHO (lama)(g/l) Oralit WHO (baru )(g/l)
NaCl 3,5 2,6
Glukosa 20,0 13,5 glukosa anhydrous
KCl 1,5 1,5
Trisodium sitrat
dehidrat
2,9 atau berupa 2,5 Natrium
Bicarbonat 2,9
Total osmolaritas 311 mOsm/l 245 mOsm/l
(c) Dehidrasi berat; rehidrasi parenteral dengan cairan ringer laktat atau ringer asetat
100 cc/kgBb. Cara pemberian:
- Usia kurang dari 1 tahun : 30 cc/kgBb dalam 1 jam pertama, dilanjutkan 70 cc/kgBb
dalam 5 jam berikutnya.
- Usia lebih dari 1 tahun : 30 cc/kgBb dalam ½ jam pertama, dilanjutkan 70 cc/kgBb
dalam 2 ½ jam berikutnya.
Minum diberikan jika pasien telah ingin minum 5 cc/kgBb selama proses rehidrasi.
Tabel 9. Komposisi Ion dan Larutan Infus Intravena
LARUTAN Na+ K+ Ca 2+ Cl- Laktat/Asetat
Ringer Laktat 130 4 3 109 28
Larutan 1/2 Darrow 61 18 0 52 27
Larutan Nacl 0,9 % 154 0 0 154 0
Larutan Glukosa dan Dekstrosa 0 0 0 0 0
b. Koreksi ketidakseimbangan elektrolit
Ketidakseimbangan elektrolit dapat terjadi secara akut antara lain berupa
hipokalemia dan asidosis berat membutuhkan penanganan khusus.
- Hipernatremia (Na > 155 mEq/L), koreksi penurunan Na dilakukan secara bertahap
16
16
dengan pemberian cairan dekstrosa 5% + ½ salin. Penurunan kadar Na tidak boleh
lebih dari 10 mEq perhari karena bisa menyebabkan edem otak.
- Hiponatremi (< 130 mEq/L), koreksi kadar Na dilakukan bersamaan dengan koreksi
cairan rehidrasi yaitu memakai ringer laktat atau normal salin, atau dengan memakai
rumus:
Kadar Na koreksi : (mEq/L) = 125 ± kadar Na serum x 0,6 x berat x BB; diberikan
dalam 24 jam
- Hiperkalemia (K > 5 mEq/L), koreksi dilakukan dengan pemberian kalsium glukonas
10% 0,5-1 ml/kgBb iv perlahan-lahan dalam 5-10 menit sambil memantau denyut
jantung.
- Hipokalemia (K < 3,5 mEq/L), koreksi dilakukan menurut kadar K.
Jika kadar K 2,5 - 3,5 mEq/L, berikan 75 mEq/kgBb per oral per hari dibagi 3 dosis.
Jika kadar K < 2,5 mEq/L; berikan secara drip intarvena dengan dosis :
3,5 ± kadar K terukur x Bb (kg) x 0,4 + 2 mEq/kgBb/24 jam dalam 4 jam pertama
3. Manajemen Nutrisi6
i. Diet elemental
Komponen-komponen yang terkandung dalam diet elemental terdiri atas asam amino
kristalin atau protein hidrolisat, mono- atau disakarisa, dan kombinasi trigliserida rantai
panjang atau sedang. Kelemahan diet elemental ini adalah harganya mahal. Selain itu,
rasanya yang tidak enak membuat diet ini sulit diterima oleh anak-anak sehingga
membutuhkan pemasangan pipa nasogastric untuk mendapatkan hasil maksimal. Oleh
karena itu, diet elemental mayoritas hanya digunakan di negara maju.
ii. Diet berbahan dasar susu
Diet berbahan dasar susu yang utama adalah ASI. ASI memiliki keunggulan dalam
mengatasi dan mencegah diare persisten, antara lain mengandung nutrisi dalam jumlah
yang mencukupi, kadar laktosa yang tinggi (7 gram laktosa/100 gram ASI, pada susu
non-ASI sebanyak 4,8 gram laktosa/100 gram) namun mudah diserap oleh system
pencernaan bayi, serta membantu pertahanan tubuh dalam mencegah infeksi. Proses
17
17
pencernaan ASI di lambung berlangsung lebih cepat disbanding susu non-ASI,
sehingga lambung cepat kembali ke kondisi pH rendah, dengan demikian dapat
mencegah invasi bakteri ke dalam saluran pencernaan. ASI juga membantu
mempercepat pemulihan jaringan usus pasca infeksi karena mengandung epidermial
growth factors.
iii. Diet berbahan dasar daging ayam
Keunggulan makanan berbahan dasar ayam antar lain bebas laktosa, hipoosmolar, dan
lebih murah. Sejumlah studi menunjukan bahwa pemberian diet berbahan dasar ungags
pada diet persisten memberikan hasil perbaikan yang signifikan. Tesis S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat Minat Gizi Masyarakat FK UGM dengan single blind,
randomized-controlled trial menunjukan durasi diare yang lebih pendek secara
bermakna pada anak dengan diare yang mendapat bubur ayam dibanding yang
mendapat bubur tempe. Namun demikian, mengingat harga bubur refeeding ayam
empat kali lebih tinggi daripada bubur refeeding tempe, penggunaan bubur tempe dapat
menjadi pilihan tatalaksana diare pada situasi keterbatasan kondisi ekonomi.
4. Pemberian mikronutrien
Defisiensi zinc, vitamin A, dan besi pada diare persisten/kronis diakibatkan asupan
nutrisi yang tidak adekuat dan pembuangan mikronutrien melalui defekasi.
Suplementasi multivitamin dan mineral harus diberikan minimal dua RDA
(Recommended Daily Allowances) selama dua minggu. Satu RDA untuk anak umur 1
tahun meliputi asam folat 50 mikrogram, zinc 10 mg, vitamin A 400 mikrogram, zat
besi 10 mg, tembaga 1 mg, dan magnesium 80 mg. WHO (2006) merekomendasikan
suplementasi zinc untuk anak berusia ≤ 6 bulan sebesar 10 mg (1/2 tablet) dan untuk
anak berusia > 6 bulan sebesar 20 mg (1 tablet), dengan masa pemberian 10-14 hari.
Meta-analisis yang dilakukan The zinc Investigator Collaboration Group menunjukan
bahwa pemberian zinc menurunkan probabilitas pemanjangan diare akut sebesar 24%
dan mencegah kegagalan terapi diare persisten sebesar 42%.
18
18
Suplementasi Zinc
WHO dan UNICEF merekomendasikan pemberian suplemen zinc sebesar 10 mg
(pada bayi di bawah 6 bulan) hingga 20 mg per hari selama 10 hari-14 karena mampu
mengurangi angka kejadian selama 2-3 bulan setelah pemberian suplemen.
Suplementasi zinc dihubungkan dengan efek klinis yang penting dalam
mengurangi resiko terjadinya diare berkelanjutan (23%), frekuensi terjadinya episode
diare persisten (39%) serta dapat mengurangi jumlah feses yang encer (±21-39%).
Efek pengurangannya tersebut memungkinkan penurunan resiko terjadinya dehidrasi
dan kebutuhan terhadap penggantian cairan dan elektrolit. Pada penelitian kecil
terhadap diare persisten, pemberian suplemen zinc 20 mg, dihubungkan dengan efek
reduksi sebesar 20% terhadap lamanya diare dan frekuensi dari feses.
Kemungkinan mekanisme yang ditimbulkan dari suplementasi zinc pada diare
antara lain meningkatkan penyerapan air dan elektrolit pada intestinal, memicu
regenerasi dan memperbaiki fungsi dari epitel usus, meningkatkan jumlah enzim yang
terdapat di enterosit brush-border, membantu peran imunitas dalam melawan proses
infeksi termasuk imunitas selular dan imunitas humoral.
Vitamin A
Diare dapat menyebabkan kekurangan vitamin A, karena selama diare absorpsi
vitamin A berkurang. Karena itu bila ditemukan tanda-tanda dan gejala klinis
kekurangan vitamin A berupa rabun senja, harus diberi 200.000 i.u vitamin A per oral.
Penelitian membuktikan bahwa konsentrasi retinol dalam serum berkurang pada
keadaan defisiensi zinc. Selain itu juga dapat menyebabkan ketidakmampuan dari
retinol untuk mencapai konsentrasi normal dalam serum. Hal ini terjadi karena
kemungkinan adanya interaksi antara zinc dengan vitamin A. Dibuktikan bahwa
dengan suplementasi zinc yang dikombinasikan dengan retinol vitamin A, maka
konsentrasi retinol dalam serum akan meningkat. Pada anak dengan malnutrisi,
suplementasi zinc dapat meningkatkan konsentrasi retinol binding protein dalam serum.
19
19
Defisiensi zinc dan vitamin A sering ko-eksis pada anak dengan malnutrisi, sehingga
suplementasi zinc dapat menanggulangi kegagalan dari suplementasi vitamin A.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Rahman dkk (2001) menunjukkan bahwa zinc
dan vitamin A jika digunakan bersama-sama menjadi lebih efektif dalam mengurangi
kejadian diare persisten.
Pemberian Probiotik
Probiotik telah dipercaya dalam pengobatan diare. Probiotik merupakan
mikroorganisme yang mempunyai efek menguntungkan terhadap kesehatan manusia
saat berkoloni di usus, dianjurkan sebagai terapi tambahan dalam pengobatan diare.
Beberapa mikroorganisme efektif dalam mengurangi keparahan dan lamanya diare,
antara lain Lactobacillus rhamnous, Lactobacillus plantarum, beberapa strain dari
Bifidobacteria, Enterococcus faecium, dan Saccharomyces boulardii. Probiotik secara
umum dianjurkan tanpa indikasi spesifik. Efikasi sediaan probiotik dalam pengobatan
diare dihubungkan dengan strain dari masing-masing bakteri. Probiotik bisa berbentuk
susu fermentasi, yogurt, keju,mentega, sari buah dan susu formula yang difortifikasi
dengan bakteri asam laktat.
Prebiotik diberi batasan sebagai bahan makanan yang mempunyai efek pada
inang yang menguntungkan dengan secara selektif memacu pertumbuhan dan aktivitas
dari satu spesies atau sejumlah spesies bakteri dalam kolon (flora komensal) yang dapat
menunjang kesehatan.
Penderita diare perlu nutrisi untuk memulihkan kondisi usus. Pemberian
probiotik dapat menjadi alternatif pengelolaan nutrisi pada penderita diare. Dari
berbagai penelitian pemberian probiotik, prebiotik maupun kombinasi keduanya
(sinbiotik) dapat membantu mengurangi gejala, dan mempercepat terjadinya proses
penyembuhan.
5. Terapi Farmakologis
20
20
Terapi antibiotik rutin tidak direkomendasikan karena terbukti tidak efektif.
Antibiotik diberikan hanya jika terdapat tanda-tanda infeksi, baik infeksi intestinal
maupun ekstra-intestinal. Jika dalam tinja didapatkan darah, segera diberikan antibiotik
yang sensitif untuk shigellosis. Metronidazol oral (50 mg/kgBB dalam 3 dosis terbagi)
diberikan pada kondisi adanya trofozoit Entamoeba histolytica dalam sel darah, adanya
trofozoit Giardia lamblia pada tinja, atau jika tidak didapatkan perbaikan klinis pada
pemberian dua antibiotic berbeda yang biasanya efektif untuk Shigella. Jika dicurigai
penyebab adalah infeksi lainnya, antibiotik disesuaikan dengan hasil biakan tinja dan
sensitivitasnya.
21
21
Dampak keberhasilan utama dari pengobatan diare persisten terhadap pertumbuhan
adalah penambahan berat badan, yang harus dipantau secara seksama terutama bila
diare tidak bereaksi terhadap pengobatan. Bila diare masih terus berlangsung, penderita
harus ditimbang sekurang-kurangnya sekali seminggu dan ibunya harus mendapatkan
penerangan mengenai pengobatan berdasarkan hasilnya. Pemantauan pertumbuhan
harus diteruskan setelah diare berhenti sampai pertumbuhan yang baik tercapai.
23
23
Malnutrisi, defisiensi mikronutrien dan defisiensi status imun pasca infeksi atau
trauma menyebabkan terlambatnya perbaikan mukosa usus, sehingga menjadi
kontribusi utama terjadinya diare persisten.6
Kelompok penderita diare persisten terbanyak adalah kelompok usia < 12 bulan.
Hal ini didukung dengan studi Fraser et al (1998) yang mengemukakan bahwa kejadian
diare persisten paling banyak pada anak usia ≤ 3 bulan. Studi yang dilakukan di
Bangladesh menunjukkan bahwa rata-rata usia anak penderita diare persisten adalah
10,7 bulan. Kelompok usia terbanyak penderita diare persisten adalah usia kurang dari
1 tahun.6
Kejadian diare persisten sangat terkait dengan pemberian ASI dan makanan.
Penderita diare persisten rata-rata mendapatkan ASI eksklusif 2,5 bulan lebih singkat
dibandingkan kelompok kontrol. Penundaan pemberian ASI pertama pada awal
25
25
kelahiran juga merupakan salah satu faktor risiko diare peristen. Pemberian makanan
pendamping terlalu dini meningkatkan risiko kontaminasi sehingga insidensi diare
persisten semakin tinggi. Oleh karena itu, pencegahan terhadap kejadian diare persisten
meliputi pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan, pemberian makanan tambahan yang
higienis, dan manajemen yang tepat pada diare akut sehingga kejadian diare tidak
berkepanjangan. Manajemen diare akut yang tepat meliputi pemberian ORS,
manajemen nutrisi dan suplementasi zinc.
Diare Persisten pada Kondisi Khusus
1. Diare persisten pada Infeksi HIV Diare persisten merupakan salah satu menifestasi
klinis yang banyak dijumpai pada penderita HIV. Studi di Zaire menunjukkan bahwa
insidensi diare persisten lima kali lebih tinggi pada anak-anak dengan status HIV
seropositif. Faktor penting yang meningkatkan kerentanan anak-anak dengan HIV
terhadap kejadian diare persisten adalah jumlah episode diare akut sebelumnya. Setiap
episode diare akut pada pasien HIV meningkatkan risiko 1,5 kali untuk terjadinya diare
persisten. Parthasarathy (2006) mengemukakan bahwa skrining yang dilakukan di India
menunjukkan 4,1% anak dengan diare persisten berstatus HIV seropositif.9,33,34
Meskipun patogenesis virus HIV dalam menyebabkan diare pada anak-anak belum
diketahui secara jelas, diduga kejadian diare persisten pada kasus HIV terkait dengan
perubahan status imunitas. Pada infeksi HIV, terjadi penurunan kadar CD4, IgA
sekretorik dan peningkatan CD8 lamina propria. Perubahan keadaan ini memacu
pertumbuhan bakteri.35,36 Berbagai patogen dari kelompok virus, bakteri dan parasit
dapat menyebabkan diare persisten pada HIV. Parasit yang terbanyak dijumpai pada
penderita HIV dengan diare persisten adalah Entamoeba histolytica (17,1%). Insidensi
infeksi oportunistik ini meningkat pada keadaan kadar CD4 yang rendah. Schmidt
(1997) mengemukakan bahwa microsporodia adalah parasit terbanyak penyebab diare
persisten pada HIV. Parasit ini menyebabkan pemendekan dan pengurangan luas
permukaan villi usus, meskipun kondisi ini juga didapatkan pada pasien-pasien HIV
tanpa gejala diare persisten. Selain itu, insidensi defisiensi laktase lebih tinggi pada
26
26
pasien HIV dengan infeksi microsporidiasis. Grohmann et al (1993) menyatakan bahwa
Astrovirus, Picobirnavirus, Calicivirus, dan Adenovirus adalah enterovirus terbanyak
pada HIV dengan diare.
2. Diare persisten pada keganasan. Beberapa tumor dapat menghasilkan hormon yang
secara langsung menstimulus sekresi usus dan menyebabkan diare. Ada pula tumor
yang dapat menyebabkan gangguan pada absorpsi nutrien dan berdampak pada diare.
Pada pancreatic cholera, terbentuk neoplasma sel endokrin pada pankreas yang
menghasilkan suatu neurotransmitter dan memicu terjadinya sekresi berlebihan di usus.
Pada sindrom carcinoid, terbentuk tumor carcinoid yang mensekresi serotonin,
bradikinin, prostaglandin dan substansi P yang kesemuanya menstimulus proses sekresi
di usus. Karsinoma meduller tiroid menghasilkan kalsitonin yang menstimulus sekresi
di usus, menyebabkan sekitar 30% penderita karsinoma tersebut mengalami diare. Pada
sindroma Zollinger-Ellison (gastrinoma), peningkatan produksi asam lambung yang
disebabkan tumor penghasil gastrin dapat mengganggu enzim pencernaan dan
menyebabkan presipitasi asam empedu sehingga menyebabkan malabsorpsi zat nutrien.
Pada diare jenis ini, tinja memiliki pH yang rendah.6
Diare pada keganasan juga berhubungan dengan efek samping kemoterapi. Kemoterapi
menyebabkan peradangan membran mukosa traktus gastrointestinal (mukositis). Agen-
agen kemoterapi yang sering berkaitan dengan diare adalah 5-Fluorouracil dan
Irinotecan. 5-Fluorouracil menginduksi diare melalui peningkatan rasio jumlah kripta
terhadap villi, sehingga meningkatkan sekresi cairan ke lumen usus.
Diare persisten dan kronis menjadi suatu masalah kesehatan yang mempengaruhi
tingkat kematian anak di Indonesia dan dunia. Patogenesis diare kronis melibatkan
berbagai faktor yang sangat kompleks. Hubungan antara diare persisten dengan
malnutrisi bagaikan lingkaran setan yang memerlukan penanganan yang integratif dan
bertahap sehingga terapi yang dibutuhkan tidak hanya terapi medikamentosa akan
tetapi dibutuhkan pula terapi nutrisi yang optimal.6
27
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Soeparto P. Sumbangan dan peran kaum professional dalam mendukung program
penyakit saluran cerna di era otonomi. Kumpulan Makalah Kongres Nasional II Badan
Koordinasi Gastroenterologi Anak Indonesia. 2003. h. 17-27.
2. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics.
Edisi ke-18. Philadelpia: Saunders; 2008. h. 1621-6.
3. Ma’arij NFN. Identifikasi drug related problems (DRPs) dalam pengobatan diare pada
anak di instalasi rawat inap rumah sakit umum daerah wonogiri tahun 2007.
28
28
4. Widaya IW, Gandi. Konsistensi pelaksanaan program serta morbiditas dan mortalitas
diare di era otonomi dan krisis. Kumpulan Makalah Kongres Nasional II Badan
Koordinasi Gastroenterologi Anak Indonesia. 2003. h. 45-54.
5. Suraatmaja S. Gastroenterologi anak. Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD/RS
Sanglah Denpasar: Sagung Seto. 2007.
6. Soenarto, Yati. Diare kronis dan Diare Persisten. Buku Ajar Gastroenterologi-
Hepatologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Cetakan kedua. 2015. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI. Hlm: 121-133.
7. Ghaino A, Marco ED. Persistent diarrhea. in walker, goutet, kleinman,eds. Pediatric
gastrointestinal disease chapter 10, 4th edition BC Decker inc hamilton . 2004.
8. Ghishan FK. Chronic diarrhea. in : Kliegman RM et al,editors. Nelson textbook of
pediatrics. 18th edition. Philadelpia: Saunders, 2007.1621-1626.
9. Wyllie R, Hyams JS, Kay M. Pediatric Gastrointestinal and Liver disease. 4th ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011. pp. 106–118.
10. Malnutrition as an enteric infectious disease with long-term effects on child
development. Guerrant RL, Oriá RB, Moore SR, Oriá MO, Lima AA Nutr Rev. 2008
Sep; 66(9):487-505
29
29
top related