direktorat jenderal pengembangan daerah tertentu renstra … · 2 kata pengantar rencana setrategis...
Post on 06-Mar-2019
230 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
REVIU RENCANA STRATEGIS
DIREKTORAT JENDERAL PENGEMBANGAN DAERAH TERTENTU
RENSTRA DITJEN PDTU 2015-2019
Direktorat Jenderal Pengembangan Daerah Tertentu Jakarta, April 2017
2
KATA PENGANTAR
Rencana Setrategis Direktorat Jenderal Pengembangan Daerah Tertentu (Ditjen
PDTu) Tahun 2015 - 2019 sudah diimplementasikan 2 (dua) tahun. Pada kurun waktu 2
tahun ini, Tahun 2015-2016 ini terdapat perkembangan dan perubahan kebijakan nasional
dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (KDPDTT) dimana
perubahan mempengaruhi terhadap target capaian lokus dan fokus yang telah ditetapkan.
Oleh karena itu, untuk menjawab terhadap perubahan kebijakan tersebut maka
diperlukan juga penyesuaian Renstra PDTu 2015-2019 yang telah dibuat. Perubahan ini
khususnya terkait dengan adanya perubahan penurunan alokasi anggaran yang cukup
signifikan, perubahan fokus dan lokus yang menjadi prioritas Kementerian DPDTT sehingga
perlu dilakukan penyesuaian untuk target fokus dan lokus Ditjen PDTu tahun selanjutnya,
Diharapkan dengan dilakukannya reviu atas Renstra Direktorat Jenderal
Pengembangan Daerah Tertentu ini, dapat mengakomodasi perubahan kebijakan dan
memudahkan unit kerja di lingkungan Ditjen PDTu dalam mengimplementasikan
kegiatannya.
Semoga reviu Renstra Ditjen PDTu ini dapat dijadikan acuan bersama semua unit kerja
di lingkngan Ditjen PDTu dalam upaya mencapai tujuan dan target minimal 50 daerah
tertinggal terentaskan di daerah tertentu.
Jakarta, April 2017
Direktur Jenderal Pengembangan Daerah Tertentu
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi,
TTD
3
(Drs. JOHOZUA M. YOLTUWU, M.Si, M.A)
4
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
I.1. Kondisi Umum
A. Peran dan Kewenangan DItjen PDTu
B. Struktur Organisasi dan Tata Kerja Ditjen PDTu:
C. Hasil Capaian Kinerja Ditjen PDTu;
D. Isu-isu Strategis Berdasarkan Tupoksi dan Kewenangan Ditjen PDTu
I.2. Potensi dan Permasalahan
BAB II. PERUMUSAN VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN STRATEGIS
II.1. Perumusan Visi
II.2. Perumusan Misi
II.3. Perumusan Tujuan
II.4. Perumusan Sasaran Strategis
BAB III. ARAH KEBIJAKAN, STRATEGI, KERANGKA REGULASI DAN KERANGKA
KELEMBAGAAN
III.1. Arah Kebijakan dan Strategi Nasional (Sesuai Amanat Renstra Kementerian
Desa, PDT dan Transmigrasi Periode 2015-2019)
III.2. Arah Kebijakan dan Strategi Ditjen PDTu
III.3. Kerangka Regulasi
III.4. Kerangka Kelembagaan
BAB IV. TARGET KINERJA DAN KERANGKA PENDANAAN
IV.1. Target Kinerja
IV.2. Kerangka Pendanaan
BAB V. PENUTUP
LAMPIRAN :
Lampiran 1: Matriks Kinerja dan Pendanaan Ditjen PDTu
Lampiran 2: Matriks Kerangka Regulasi
5
BAB I PENDAHULUAN
I.1. KONDISI UMUM
Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional, bahwa setiap kementerian/lembaga diwajibkan menyusun rencana
strategis (Renstra) untuk periode 5 tahun. Sesuai amanat tersebut Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi yang sebelumnya adalah Kementerian
Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) diwajibkan menyusun Renstra berdasarkan tugas
pokok dan fungsinya. Renstra Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggaldan
Transmigrasi ini disusun berdasarkan RPJM Nasional Periode 2015-2019.
Dalam pelaksanaannya, Renstra Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggaldan Transmigrasi periode 2015-2019 tersebut memerlukan penjabaran ke dalam
Renstra unit organisasi eselon (UKE I). Untuk itu, Direktorat Jenderal Pengembangan Daerah
Tertentu yang sebelumnya merupakan Kedeputian KPDT diwajibkan juga untuk menyusun
Renstra sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu kepada Renstra Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi periode 2015-2019.
Direktur Jenderal Pengembangan Daerah Tertentu (atau disingkat menjadi Ditjen
PDTu) merupakan salah satu unsur pelaksana Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi yang memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan salah
satu program kementerian di bidang pembangunan daerah tertinggal (daerah tertentu)
khususnya daerah perbatasan dan pulau kecil terluar.
Untuk itu, unit organisasi ini menjadi sangat strategis keberadaannya dalam
menghasilkan kebijakan di bidang pengembangan daerah perbatasan dan daerah pulau kecil
dan terluar, serta penanganan daerah rawan pangan, daerah rawan bencana dan daerah
pasca konflik, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan sehingga dapat
memberikan pelayanan secara luas kepada masyarakat, dan dapat berperan dalam
mewujudkan pembangunan nasional.
6
Untuk menjabarkan arah dan kebijakan tersebut diatas dan dalam rangka
mendukung pencapaian program-program prioritas Menteri Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi, Ditjen PDTu sesuai kewenangan, tugas pokok dan fungsinya
menyusun Rencana Strategis (Renstra) yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan
serta program dan kegiatan Ditjen PDTu untuk periode 2015-2019. Penyusunan Renstra
Ditjen PDTu ini berpedoman pada Renstra Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi Periode 2015-2019. Proses penyusunan Renstra Ditjen PDTu
periode 2015-2019 dilakukan sesuai dengan amanat peraturan perundang-undangan yang
berlaku mulai dari hasil evaluasi pencapaian kinerja periode 2010-2014 serta menghimpun
masukan-masukan stakeholders yang menjadi mitra Ditjen PDTu.
Renstra Ditjen PDTu periode 2015-2019 diharapkan dapat meningkatkan kinerja
yang lebih baik pada masa yang akan datang dibandingkan dengan pencapaian kinerja
periode sebelumnya sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.
Adapun kondisi umum Ditjen PDTu saat ini dapat dijelaskan mulai dari peran, tupoksi
dan pencapaian kinerja sebagai berikut:
A. Peran Ditjen PDTu berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan;
Direktorat Jenderal Pengembangan Daerah Tertentu merupakan salah satu unsur
pelaksana Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi yang
memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan salah satu program kementerian di
bidang pembangunan daerah tertinggal (daerah tertentu) khususnya daerah perbatasan dan
pulau kecil terluar.
Sebagai unsur pelaksana Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi maka Direktorat Jenderal Pengembangan Daerah Tertentu mempunyai tugas
menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengembangan daerah
perbatasan dan daerah pulau kecil dan terluar, serta penanganan daerah rawan pangan,
daerah rawan bencana, dan daerah pasca konflik, sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Jenderal Pengembangan Daerah Tertentu
menyelenggarakan fungsi : 1) Perumusan kebijakan di bidang pengembangan daerah
7
perbatasan, daerah pulau kecil dan terluar, serta penanganan daerah rawan pangan, daerah
rawan bencana, dan daerah pasca konflik yang mencakup wilayah I (Sumatera), Wilayah II
(Jawa, Bali dan Nusa Tenggara), Wilayah III (Kalimantan), Wilayah IV (Sulawesi dan Maluku),
dan Wilayah V (Papua); 2) Pelaksanaan kebijakan di bidang pengembangan daerah
perbatasan, daerah pulau kecil dan terluar, serta penanganan daerah rawan pangan, daerah
rawan bencana dan daerah pasca konflik; 3) Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di
bidang pengembangan daerah perbatasan, daerah pulau kecil dan terluar, serta
penanganan daerah rawan pangan, daerah rawan bencana dan daerah pasca konflik;
4) Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang pengembangan daerah perbatasan, daerah
pulau kecil dan terluar, serta penanganan daerah rawan pangan, daerah rawan bencana dan
daerah pasca konflik; 5) Pelaksanaan administrasi Ditjen PDTu; dan 6) Pelaksanaan fungsi
lain yang diberikan oleh Menteri.
Tugas dan fungsi tersebut melekat pada Ditjen PDTu sebagai unit organisasi dibawah
Menteri Desa, PDT dan Transmigrasi dan merupakan unit organisasi yang sangat strategis
dan dapat menjalankan tugasnya secara lebih professional dan proaktif. Dengan kondisi
wilayah Indonesia yang sangat luas, Ditjen PDTu dituntut menghasilkan Program Kerja yang
sesuai dengan kebutuhan dan kekhasnya geografis Indonesia.
B. Struktur Organisasi dan Sumber Daya Manusia
Organisasi dan tata kerja Ditjen PDTu disusun berdasarkan Peraturan Menteri Desa,
PDT dan Transmigrasi Nomor 6 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Desa, PDT dan Transmigrasi.
Untuk melaksanakan tugas dan fungsi tersebut, Direktur Jenderal Pengembangan
Daerah Tertentu secara struktural didukung oleh Sekretaris Jenderal dan 5 (lima)
Direktur. Adapun struktur organisasi dibawah Ditjen PDTu sebagaimana diagram 1.1 di
bawah ini.
Sebagaimana struktur organsisas Ditjen PDTu pada gambar diatas, dapat dibagi
menjadi 5 Unsur pembantu Pimpinan yang terdiri dari 5 (empat) Direktorat, meliputi
Direktorat Daerah Rawan Pangan, Direktrorat Daerah Perbatasan, Direktorat Daerah Rawan
Bencana, Direktorat Daerah Pasca Konflik dan Direktorat Daerah Pulau Kecil Terluar,.
8
Masing-Masing Direktorat membawahi pejabat eselon III dan IV. Secara keseluruhan unit
oeganisasi eselon II di bawah Ditjen PDTu adalah sebanyak enam (6) Unit.
Gambar 1.1
Struktur Organisasi DItjen PDTu
Sumber: Permendesa Nomor 6 Tahun SOTK 2015 tentang SOTK Kemendesa
Jumlah sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki Ditjen PDTu untuk melaksanakan
tugas dan fungsi menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang
pengembangan daerah perbatasan, daerah pulau kecil dan terluar, serta penanganan
daerah rawan pangan, daerah rawan bencana dan daerah pasca konflik sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan pada tahun 2015 adalah sejumlah 103, yang tersebar di
masing-masing unit organisasi eselon II. Adapun jumlah pegawai Ditjen PDTu berdasarkan
tingkat Pendidikan dan kepangkatan dapat dijelaskan pada Tabel di bawah ini:
Tabel 1.1
Profil Pegawai Ditjen PDTu Berdasarkan Pendidikan dan Kepangkatan Tahun 2014
No Nama Unit Organisasi
Gol/Kepangkatan Pendidikan
KET IV III II/I S3 S2 S1 S0
1. Ditjen PDtu 1 - - 1 - - -
2. Setditjen 5 15 - 2 5 13 -
3. Direktrorat Daerah Perbatasan
8 10 - - 6 11 1
4. Direktorat Daerah Pulaui Kecil Terluar
7 11 - - 8 8 2
5. Direktorat Daerah Rawan Pangan
4 10 - - 6 6 3
6. Direktorat Daerah Rawan Bencana
6 11 1 - 7 10 -
7. Direktorat Daerah Pasca Konflik
6 9 - - 3 11 1
Total 37 66 1 3 35 53 7
Sumber: Sekretarit Direktorat Jenderal PDTu, Januari 2018
9
Dari Tabel 1 di atas dapat diketahui bahwa 3 % pegawai Ditjen PDTu memiliki
pendidikan S3, 35 % memiliki pendidikan S2, berpendidikan S1 sebesar 50 % serta 10 %
yang memiliki pendidikan SLTA ke bawah. Sedangkan Kepangkatan/Golongan bahwa 37%
pegawai Ditjen PDTu memiliki pangkat/Gol IV, 66% memiliki pangkat/Gol III dan pangkat/gol
II kebawah sebesar 1%.
Gambar 1.2
Grafik Profil Pegawai DItjen PDTu
Berdasarkan Tingkat Kepangkatan/Gold an Pendidikan Tahun 2014
Sesuai dengan profil kepegawaian Ditjen PDTu tersebut di atas harus mampu
mencapai tujuan organisasi sesuai dengan peran dan kewenangannya. Namun dengan
perubahan lingkungan strategis yang semakin dinamis akan menjadi tantangan bagi Ditjen
PDTu untuk dapat melakukan peningkatan kompetensi SDM dan memprediksi kebutuhan
SDM dalam rangka mengantisipasi perubahan lingkungan strategis tersebut.
C. Hasil Capaian Kinerja PDTu Periode 2015-2016
Sesuai dengan peran dan kewenangannya, pada periode Renstra Periode 2015-2016,
Ditjen PDTu telah melaksaankan salah satu program kementerian di bidang pembangunan
daerah tertinggal (daerah tertentu) khususnya daerah perbatasan dan pulau kecil terluar.
Dalam melaksanakan tugasnya telah melaksanakan capaian kinerja sesuai dengan tugas dan
fungsinya dalam 1) Perumusan kebijakan di bidang pengembangan daerah perbatasan,
daerah pulau kecil dan terluar, serta penanganan daerah rawan pangan daerah, rawan
10
bencana, dan daerah pasca konflik yang mencakup wilayah I (Sumatera), Wilayah II (Jawa,
Bali dan Nusa Tenggara), Wilayah III (Kalimantan), Wilayah IV (Sulawesi dan Maluku), dan
Wilayah V (Papua); 2) Pelaksanaan kebijakan di bidang pengembangan daerah perbatasan,
daerah pulau kecil dan terluar, serta penanganan daerah rawan pangan daerah, rawan
bencana, dan daerah pasca konflik; 3) Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang
pengembangan daerah perbatasan, daerah pulau kecil dan terluar, serta penanganan
daerah rawan pangan daerah, rawan bencana, dan daerah pasca konflik.
Adapun capaian keberhasilan pelaksanaan tugas dan kewenangan Ditjen PDTu
tersebut dapat dilihat sesuai dengan pencapaian indikator kinerja utama sesuai sasaran
strategis dibawah ini.
Tabel 1.2
Capaian Kinerja Ditjen PDTu Periode 2015-2016
No Indikator Target Awal Target Realisasi
2010 2011 2012 2013 2014 2010 2011 2012 2013 2014
PELAKSANAAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL
A PENGEMBANGAN
Prosentase pengembangan daerah perbatasan, daerah pulau kecil dan terluar
- 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100%
B PENANGANAN
Prosentase penanganan daerah rawan bencana, daerah pasca konflik, dan daerah rawan pangan
- 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100%
Berdasarkan capaian kinerja utama Ditjen PDTu pada tabel tersebut di atas, dapat
dilihat bahwa kinerja Ditjen PDTu telah menunjukkan hasil yang baik sesuai dengan tugas
dan kewenangannya. Namun demikian, untuk periode yang akan datang kinerja Ditjen PDTu
masih terus perlu dipertahankan dan terus ditingkatkan agar hasil yang diharapkan untuk
memenuhi kebutuhan pembangunan daerah tertentu khususnya daerah perbatasan dan
11
pulau kecil terluar dapat lebih baik lagi dan dapat mewujudkan peningkatan kesejahteraan
dan kemakmuran masyarakat.
Disamping itu, untuk menghadapi dinamika perubahan lingkungan strategis yang
semakin kompleks diperlukan penyesuaian kembali terhadap sistem dan kebijakan yang
dapat mengantisipasi perubahan lingkungan strategis tersebut sehingga sehingga Ditjen
PDTu dapat tetap menghasilkan program pembangunan daerah tertinggal (daerah tertentu)
khususnya daerah perbatasan dan pulau kecil terluar yang sesuai dengan kebutuhan
lingkungan strategis.
D. Isu-isu Strategis Sesuai Dengan Tupoksi dan Kewenangan Ditjen PDTu
Selama periode 2010-2014, pelaksanaan peran dan fungsi Ditjen PDTu tersebut sesuai
dengan capaian kinerja di atas telah diupayakan secara optimal pencapaian kinerjanya
sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Namun demikian, upaya tersebut masih perlu
ditingkatkan sesuai dengan harapan masyarakat dalam hal terjaminnya peningkatan kualitas
program pengembangan daerah tertentu khususnya daerah perbatasan dan pulau kecil
terluar. Untuk itu, dalam rangka peningkatan peran dan kewenangan Ditjen PDTu yang lebih
baik diperlukan perbaikan dan penyempurnaan dalam melaksanaakan tugas dan
kewenangannya sesuai dengan permasalahan yang dihadapi. Adapun permasalahan yang
dihadapi sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Ditjen PDTu antara lain (1) Belum
optimalnya perumusan kebijakan di bidang pengembangan daerah perbatasan, daerah
pulau kecil dan terluar, serta penanganan daerah rawan bencana, daerah pasca konflik, dan
daerah rawan pangan, 2) Belum efektifnya Pelaksanaan kebijakan di bidang pengembangan
daerah perbatasan, daerah pulau kecil dan terluar, serta penanganan daerah rawan
bencana, daerah pasca konflik, dan daerah rawan pangan (3) Masih terbatasnya Pemberian
bimbingan teknis dan supervisi di bidang pengembangan daerah perbatasan, daerah pulau
kecil dan terluar, serta penanganan daerah rawan bencana, daerah pasca konflik, dan
daerah rawan pangan.
Dari permasalahan-permasalahan tersebut diatas terdapat beberapa penyebab
permasalahan yang sangat strategis dan sangat penting bagi peran Ditjen PDTu dalam
melakukan pembenahan di masa mendatang sehingga diharapkan pencapaian kinerja
berikutnya akan lebih optimal. Di bawah ini diagram yang menunjukkan isu-isu strategis atas
permasalahan sesuai dengan tupoksi dan kewenangan Ditjen PDTu adalah sebagai berikut:
12
Gambar 1.3
Diagram Permasalahan dan Isu Strategis, Kondisi Saat Ini dan Dampaknya
Berdasarkan kondisi obyektif yang dipaparkan di atas, kapasitas Ditjen PDTu sebagai
lembaga yang melaksakankan salah satu program kementerian di bidang pengembangan
daerah tertentu khususnya daerah perbatasan dan pulau kecil terluar masih perlu terus
dilakukan penguatan kapasitas kelembagaan agar pencapaian kinerja dimasa akan datang
dapat terus ditingkatkan sehingga hasil pengembangan daerah tertentu khususnya daerah
perbatasan dan pulau kecil akan semakin lebih baik lagi dan dapat memberikan kontribusi
bagi tujuan dan sasaran organisasi Kementerian Desa, PDTu dan Transmigrasi.
Untuk itu, ada 3 (tiga) isu-isu strategis yang menjadi pokok permasalahan dalam
peran dan kewenangan Ditjen PDTu yang harus terus diperkuat dalam peningkatan kinerja
di masa yang akan datang adalah sebagai berikut :
1. Belum Optimalnya perumusan kebijakan pengembangan daerah perbatasan, daerah
pulau kecil dan terluar. Hal ini dikarenakan adanya antara lain belum terintegrasi dan
optimalnya kebijakan yang afirmatif bagi percepatan pengembangan daerah tertentu,
masih adanya regulasi yang tidak memihak/disharmonis, dan masih lemahnya
koordinasi antar pelaku pembangunan;
BELUM OPTIMALNYA PERAN DITJEN PDTU DALAM MELAKSANAKAN PEMBANGUNAN
DAERAH TERTENTU
Belum optimalnya perumusan kebijakan di bidang
pengembangan daerah perbatasan, daerah pulau kecil dan terluar,
serta penanganan daerah rawan bencana, daerah pasca konflik, dan
daerah rawan pangan
Belum efektifnya Pelaksanaan kebijakan di bidang pengembangan
daerah perbatasan, daerah pulau kecil dan terluar, serta penanganan
daerah rawan bencana, daerah pasca konflik, dan daerah rawan pangan
Masih terbatasnya Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di
bidang pengembangan daerah perbatasan, daerah pulau kecil dan terluar, serta penanganan daerah
rawan bencana, daerah pasca
konflik, dan daerah rawan pangan;
PERAN DITJEN PDTu
PENGUATAN KEBIJAKAN DAN PELAKSANAAN KEBIJKAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTENTU
PEMBERIAN BIMBINGAN TEKNIS DAN SUPERVISI
13
2. Belum Efektifnya pelaksanaan kebijakan dalam pengembangan daerah perbatasan,
daerah pulau kecil dan terluar antara lain karena :
1) Masih terbatasnya ketersediaan pelayanan dasar minimum terutama sarana dan
prasarana permukiman, pendidikan, dan kesehatan, energi, dan air bersih;
3) Keterbatasan ketersediaan sarana dan prasarana wilayah untuk membuka
keterisolasian wilayah dan mendorong konektifitas/ keterkaitan antarwilayah;
4) Rendahnya aksesibilitas daerah tertinggal terhadap pusat-pusat pertumbuhan
wilayah, terjadinya kesenjangan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi,
termasuk di dalamnya daerah perbatasan negara dan daerah pulau kecil terluar;
5) Belum optimalnya pengembangan perekonomian wilayah berbasis potensi
sumber daya lokal akibat masih rendahnya produktivitas masyarakat,
ketersediaan modal rendah, serta akses dan pengembangan pasar yang masih
terbatas;
6) Belum optimalnya pembangunan antar sektor dengan pendekatan kebutuhan
wilayah akibat masih lemahnya koordinasi antar pelaku percepatan
pengembangan daerah tertentu;
7) Masih adanya degradasi sumberdaya alam dan lingkungan serta terjadinya
bencana alam akibat eksplolitasi sumber daya alam yang berlebih, kemiskinan,
pengangguran, rawan pangan, terjadinya kerentanan sosial dan konflik sosial-
ekonomi serta rendahnya keberdayaan masyarakat perdesaan.
3. Masih terbatasnya pemberian bimbingan teknis, supervisi, dan evaluasi terhadap
pengembangan daerah perbatasan, daerah pulau kecil dan terluar.
Untuk memperkuat peran dan kewenangan tersebut secara efektif, Ditjen PDTu perlu
terus melakukan perbaikan, dan pengembangan secara kelembagaan serta penguatan
regulasi khususnya Standar, Kriteria, Pedoman, dan Prosedur, yang menyangkut peran dan
tugas pokok dan fungsinya. Di samping itu, kondisi lingkungan strategis dengan dinamika
perubahan yang sangat cepat, menuntut Ditjen PDTu dapat melakukan evaluasi dan mampu
beradaptasi dalam pelaksanaan peran-perannya secara tepat dan sesuai dengan kebutuhan
zaman. Dengan etos tersebut, Ditjen PDTu diharapkan mampu menjadi katalisator dalam
proses pencapaian tujuan dan sasaran Organisasi Kementerian Desa, PDTu dan
Transmigrasi.
14
I.2. PERMASALAHAN DAN POTENSI
Sejalan dengan dinamika lingkungan strategis, baik global maupun nasional,
Permasalahan dan potensi yang dihadapi Ditjen PDTu terus semakin kompleks. Adapun
permasalahan dan potensi terhadap perubahan lingkungan strategis baik secara dalam
aspek internal maupun eksternal yang dihadapi Ditjen PDTu adalah sebagai berikut :
Perkembangan aspek kehidupan nasional juga merupakan perkembangan isu-isu
nasional yang akan terus menerus mewarnai, mempengaruhi dan memberikan dampak
terhadap lingkungan strategis saat ini meliputi kondisi geografis, demografi dan sumber
daya alam, posisi silang Indonesia yang strategis membawa peluang bagi perkembangan
perekonomian nasional. Secara umum, kinerja pembangunan bidang ekonomi yang
ditunjukkan oleh tingkat pertumbuhan ekonomi cenderung membaik, sedangkan tingkat
kemiskinan dan pengangguran cenderung menurun. Namun, penurunan ini melambat
diikuti dengan kenaikan indek kesenjangan pendapatan antar kelompok masyarakat (Gini
Ratio). Gini Ratio pada tahun 2011 sebesar 0,41 , artinya bahwa setiap 1% penduduk
menguasai hingga 41% total kekayaan di Indonesia. Disparitas antar-provinsi masih terjadi
dengan tingkat kemiskinan provinsi di KTI yang lebih tinggi. Hal ini terjadi antara lain
disebabkan kurang efektifnya pelaksanaan program pengurangan kemiskinan dan sulitnya
upaya menjangkau penduduk miskin karena keadaan geografis dan kondisi lainnya .
15
GAMBAR 1.4
GRAFIK PERTUMBUHAN EKONOMI DAN KESENJANGAN
Sumber: Komite Ekonomi Nasional, 2012
Kesenjangan yang menjadi salah satu isu utama pembangunan wilayah nasional saat
ini tercermin antara lain dari kontribusi PDRB terhadap PDB. Selama 30 tahun (1983-2013),
kontribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) KBI sangat dominan dan tidak pernah
berkurang dari 80 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, terlihat pada
Gambar dan Tabel di bawah ini.
GAMBAR 1.5
PERAN WILAYAH/PULAU DALAM PEMBENTUKAN PDB NASIONAL 1983-2013 (PERSEN)
16
Pulau 1983 1988 1993 1998 2003 2008 2013
Jawa dan Sumatera 82,5 82,3 81,4 80 82,4 80,8 81,8
Kalimantan dan Sulawesi 12,9 13 13,3 14,5 12,9 14,7 13,5
Bali dan Nusa Tenggara 2,8 3 3,3 2,9 2,8 2,5 2,5
Maluku dan Papua 1,8 1,7 2 2,5 1,8 2 2,2
Jumlah 100 100 100 100 100 100 100
Berdasarkan Gambar dan Tabel di atas, terlihat bahwa peran wilayah Jawa dan
Sumatera dalam pembentukan PDB Nasional masih dominan, berkisar 80 % – 82 %.
Pergeseran peran wilayah dalam pembentukan PDB Nasional masih relatif kecil atau bahkan
tidak ada perubahan (stagnant).Sehubungan dengan hal tersebut, arah kebijakan utama
pembangunan wilayah nasional difokuskan untuk mempercepat pengurangan kesenjangan
pembangunan antarwilayah. Oleh karena itu, diperlukan arah pengembangan wilayah yang
dapat mendorong transformasi dan akselerasi pembangunan wilayah kawasan timur
Indonesia (KTI) sebagai daerah pinggiran Indonesia, yaitu Sulawesi, Kalimantan, Maluku,
Nusa Tenggara, dan Papua, dengan tetap menjaga momentum pertumbuhan di Wilayah
Jawa-Bali dan Sumatera.
Kesenjangan ini pada akhirnya menimbulkan permasalahan yang dalam konteks
makro sangat merugikan proses pembangunan yang ingin dicapai. Ketidakseimbangan
pembangunan antarwilayahseringkali terjadi akibat terpusatnya distribusi dan alokasi
pemanfaatan sumberdaya yang berlebihan pada wilayah tertentu yang menjadi pusat-pusat
pertumbuhan, sehingga menyebabkan semakin lemahnya kawasan hinterland. Hal ini akan
dapat menciptakan inefisiensi dan tidak optimalnya sistem ekonomi bahkan berpotensi
mengakibatkan terjadinyakonflik sosial. Selanjutnya kemiskinan di wilayah
pinggiran/perdesaan akhirnya mendorong terjadinya migrasi penduduk ke perkotaan,
sehingga kotadan pusat-pusat pertumbuhan menjadi melemah, dan inefisiendalam
memberikan pelayanan terhadap masyarakat serta timbulnya masalah sosial, ekonomi, dan
lingkungan yang semakin kompleks dan sulit diatasi (hubungan desa-kota yang saling
memperlemah).
17
Ketimpangan pembangunan antarwilayah telah menghasilkan suatukonsekuensi
berupa pemusatan hasil pembangunan pada sebagian wilayah yang dapat berimplikasi pada
terbentuknya daerah yang relatif tertinggal jika dibandingkan dengan daerah lain. Pada sisi
lain, dari wilayah maju muncul pula apa yang disebut sebagai wilayah tertinggal. RPJMN
2015-2019 menyatakan terdapat 122 kabupaten tertinggal, dimana persebaran daerah
tertinggal terkonsentrasi di KTI (dari 122 kabupaten tertinggal, 103 kabupaten tertinggal
atau 84,42% terdapat di KTI).
Sejauh ini berbagai upaya pemerintah untuk mengurangi ketimpangan
pembangunan antarwilayah baik secara langsung maupun tidak langsung, baik yang
berbentuk kerangka regulasi maupun kerangka anggaran telah dilakukan. Beberapa
kebijakan untuk mengurangi ketimpangan pembangunan antarwilayah, antara lain melalui
pelaksanaan transmigrasi, pengembangan pusat pertumbuhan (growth poles) secara
tersebar, dan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan.
Diberlakukannya UndangUndang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa diharapkan dapat
menjadi salah satu solusi terhadap permasalahan kesenjangan antar kota-desa. Tujuan dari
lahirnya Undang-undang ini antara lain adalah untuk memajukan perekonomian masyarakat
di pedesaan, mengatasi kesenjangan pembangunan kota-desa, memperkuat peran
penduduk desa dalam pembangunan serta meningkatkan pelayanan publik bagi warga
masyarakat desa.Untuk mencapai hal tersebut, beberapa hak dan wewenang diberikan
kepada desa termasuk pendanaannya yang dialokasikan khusus dari APBN untuk desa,
disamping sumber pendapatan lainnya.
Untuk mengawal implementasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa,
langkah kebijakan Pemerintah sangat tepat dan strategis dengan membentuk Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (KDPDTT) di dalam Kabinet Kerja.
Kebijakan ini sejalan dengan Sembilan Agenda Prioritas atau NAWACITA yang dicanangkan
oleh Presiden/Wakil Presiden Joko Widodo dan M. Jusuf Kalla untuk pemerintahan lima
tahun ke depan, yaitu Cita ke-3: “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat
daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Pembangunan desa dan kawasan perdesaan secara komprehensif merupakan faktor
penting bagi pembangunan daerah, pengentasan kemiskinan, dan pengurangan
18
kesenjangan antarwilayah. Perkembangan jumlah desa di Indonesia meningkat pesat,
dengan trend pertumbuhan yang semakin meningkat. Pada tahun 2005 jumlah desa sebesar
61.409 desa, kemudian menjadi 67.211 desa di 2008, dan pada tahun 2014 meningkat
menjadi 74.045 desa1 tersebar di seluruh penjuru nusantara dengan laju pertumbuhan rata-
rata sebesar 2,29 persen atau 1.409 desa per tahun. Namun demikian, semakin
meningkatnya jumlah desa belum diikuti dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat di
perdesaan. Berdasarkan data BPS, pada bulan Maret tahun 2014 terdapat 28,28 juta jiwa
atau 11,25 persen penduduk miskin di Indonesia, dimana 17,77 juta atau 14,17 persen
diantaranya merupakan penduduk miskin yang berada di perdesaan.
Kondisi sosial ekonomi masyarakat di perdesaan umumnya masih tertinggal dari
masyarakat di perkotaan. Masyarakat desa yang bekerja di sektor pertanian yaitu sekitar 57
persen pada tahun 2012, dengan tingkat upah bulanan relatif rendah yaitu sebesar
Rp628.364, dibandingkan masyarakat di perkotaan sebesar Rp 754.779. Tingginya alih
fungsi lahan, rendahnya tingkat produktivitas pertanian, minimnya penerapan inovasi dan
teknologi pertanian, serta perubahan iklim yang tidak menentu turut memperparah kondisi
kehidupan sosial ekonomi masyarakat perdesaan. Kondisi ini selanjutnya memicu
meningkatnya peralihan lapangan pekerjaan di perdesaan menjadi ke arah non pertanian
dan mendorong terjadinya migrasi penduduk ke perkotaan untuk mendapatkan
penghidupan yang lebih layak.
Berdasarkan data Ditjen PUM Kementerian Dalam Negeri, pada tahun 2014 terdapat
514 kabupaten/kota dengan jumlah desa sebanyak 74.095 desa. Berdasarkan analisis
KDPDTT, dari jumlah desa tersebut terdapat 39.091 (52,79%)desa yang berstatus tertinggal
dan 17.268 (23,32%) yang berstatus sangat tertinggal. Jumlah desa tertinggal berdasarkan
wilayah disajikan pada Tabel berikut.
19
TABEL 1.3 JUMLAH DESA TERTINGGAL BERDASARKAN WILAYAH PULAU BESAR
No Wilayah Pulau Jumlah Desa1)
Jumlah Desa
Tertinggal2) %
Jumlah Desa
Sangat Tertinggal2)
%
1 Sumatera 22.056 12.482 56,59% 8.241 37,36%
2 Jawa 22.458 15.087 67,18% 806 3,59%
3 Kalimantan 6.382 3.063 47,99% 1.702 26,67%
4 Sulawesi 8.233 4.398 53,42% 1.213 14,73%
5 Nusa Tenggara & Bali 3.599 2.277 63,27% 424 11,78%
6 Maluku 1.958 782 39,94% 833 42,54%
7 Papua 5.204 1.002 19,25% 4.049 77,81%
Total Kabupaten/Kota (514 Kab/Kota)
74.045 39.091 52,79% 17.268 23,32%
Sumber: 1) Dirjen PUM Kemendagri. Desember 2014
2) Data PODES, 2011 (diolah), Kemendes, PDT, Trans, 2014
Metode yang dipakai dalam penetapan desa tertinggal ini adalah dengan metode
analisis kuantitatif, yaitu dengan memberikan nilai/scoring pada setiap indikator yang
digunakansesuai dengan tingkat kebutuhan dasar yang seharusnya dimiliki oleh suatu desa
dengan membagi menjadi beberapa kriteria utama dan memberikan nilai/scoring pada
setiap kriteria dan sub kriteria. Teknik penyusunan penetapan desa tertinggal ini dilakukan
dengan pemetaan kewilayahan yang terbagi menjadi 2 (dua) wilayah, yaitu Desa Tertinggal
di KBI dan Desa Tertinggal di KTI yang selanjutnya dijabarkan dalam pembagian wilayah
kepulauan. Adapun Kriteria Utama yang digunakan adalah sebagai berikut
1. Jumlah penduduk;
2. Sumber penghasilan utama penduduk;
3. Persentase (%) rumah tangga pengguna listrik;
4. Bahan bakar untuk memasak;
5. Tempat buang air besar;
6. Fasilitas pendidikan;
7. Fasilitas kesehatan;
8. Rata-rata jarak mencapai fasilitas kesehatan;
9. Kemudahan mencapai fasilitas kesehatan;
20
10. Ketersediaan tenaga kesehatan;
11. Jenis air bersih yang digunakan;
12. Jenis permukaan jalan desa;
13. Sarana komunikasi; dan
14. Keberadaan pasar.
Adanya disparitas kualitas sumber daya manusia antarwilayah, perbedaan
kemampuan perekonomian antardaerah, serta belum meratanya ketersediaan infrastruktur
antarwilayah mendukung fakta kesenjangan antarwilayah. Kondisi rendahnya pencapaian
pembangunan tersebut diidentifikasi sebagai daerah tertinggal yang merupakan dampak
dari rendahnya indeks kemajuan pembangunan ekonomi, sumberdaya manusia, dan
penurunan angka kemiskinan.
Menurut PP Nomor 78 Tahun 2014, Daerah Tertinggal didefinisikan sebagai daerah
kabupaten yang wilayah serta masyarakatnya kurang berkembang dibandingkan dengan
daerah lain dalam skala nasional. PadaBab II tentang Kriteria dan Penetapan Daerah
Tertinggal, Bagian Kesatu tentang Kriteria Daerah Tertinggal, Pasal 4 Ayat (2), bahwa “Selain
berdasarkan 6 (enam) kriteria suatu daerah ditetapkan sebagai daerah tertinggal, maka
dapat dipertimbambangkan karakteristik daerah tertentu”. Selanjutnya dalam penjelasan PP
No. 78 Tahun 2014 tersebut, bahwa yang dimaksud dengan “Daerah Tertentu” adalah
daerah yang memiliki karakteristik tertentu, seperti daerah rawan pangan, rawan bencana,
perbatasan, terdepan, terluar, dan pasca konflik sesusi dengan ketentuan perundang-
undangan.
Pembangunan daerah tertinggal adalah suatu proses, upaya, dan tindakan secara
terencana untuk meningkatkan kualitas masyarakat dan wilayah yang merupakan bagian
integral dari pembangunan nasional. Sebagai bentuk afirmasi kebijakan pembangunan di
daerah pinggiran termasuk di dalamnya daerah tertinggal perlu dilakukan langkah-langkah
percepatan. Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (Tertentu) mengandung arti
keberpihakan dan penajamaan terhadap pembangunan daerah tertinggal di bidang
perencanaan, pendanaan dan pembiayaan, serta penyelenggaraan pembangunan daerah
tertinggal.
Penetapan daerah tertinggal berdasarkan enam kriteria utama yaitu ekonomi, sumber
daya manusia, infrastruktur, kapasitas keuangan daerah, aksesibilitas, dan karakteristik
21
daerah. Hal inilah yang mendasari diperlukannya upaya pembangunan daerah tertinggal
yang terencana dan sistematis agar kesenjangan antara daerah tertinggal dan non tertinggal
dapat semakin dikurangi. Pada akhir periode RPJMN 2015-2019, Direktorat Jenderal
Pembangunan Daerah Tertentu (Ditjen PDTu) dapat mendorong pencapaian target
terentaskan sekitar 80 kabupaten tertinggal sebagai upaya membangun Indonesia dari
pinggiran melalui pemerataan pembangunan antarwilayah.Peta Persebaran dan
Perkembangan Daerah Tertinggal disajikan pada Gambar 1 berikut.
GAMBAR 1.6
PETA PERSEBARAN DAN PERKEMBANGAN DAERAH TERTINGGAL
Pada RPJMN 2015-2019 ditetapkan 122 kabupaten tertinggal yang harus ditangani.
Penetapan ini merupakan hasil perhitungan bahwa pada periode RPJMN 2010-2014
ditangani sebanyak 183 kabupaten tertinggal, melalui upaya percepatan dapat terentaskan
sebanyak 70 kabupaten tertinggal, namun pada tahun 2013 terdapat 9 Daerah Otonom Baru
(DOB) hasilpemekaran yang masuk dalam daftar daerah tertinggal, sehingga secara
keseluruhan menjadi 122 kabupaten tertinggal.Dari gambar di atas dapat dilihat persebaran
daerah tertinggal di KTI lebih banyak dibandingkan KBI. Dari jumlah keseluruhan daerah
80 kab
122 – 80 kab
42 kab
22
tertinggal, yaitu 122 kabupaten, di KTI terdapat 103 kabupaten kategori tertinggal atau
84,42 persen atau 49,76 persen dari jumlah keseluruhan kabupaten di Indonesia.
Jika dilihat per provinsi, maka Provinsi Papua dan Nusa Tenggara Timur memiliki
kabupaten tertinggal terbanyak. Di Provinsi Papua terdapat 26 kabupaten tertinggal atau
sebesar 89,66 persen dari 29 kabupaten, sedangkan Provinsi Nusa Tenggara Timur sebanyak
18 kabupaten tertinggal atau sebesar 81,82persen dari dari 22 kabupaten wilayahnya
berstatus daerah tertinggal. Persebaran lokasi daerah tertinggal menurut provinsi dan
wilayah secara lebih rinci dapat dilihat pada tabel berikut.
TABEL 1.4 PENYEBARAN DAERAH TERTINGGAL MENURUT PROVINSI
DAN WILAYAH PULAU/ KAWASAN TAHUN 2015-2019
WILAYAH PROVINSI JUMLAH KABUPATEN/
KOTA
DAERAH TERTINGGAL
Jumlah %
SUMATERA
Aceh 23 1 4.35
Sumut 33 4 12.12
Sumbar 19 3 15.79
Sumsel 17 2 11.76
Bengkulu 10 1 10.00
Lampung 15 2 13.33
JAWA Jatim 38 4 10.53
Banten 8 2 25.00
KBI JUMLAH 163 19 11.66
NUSTRA NTB 10 8 80.00
NTT 22 18 81.82
KALIMANTAN
Kalbar 14 8 57.14
Kalteng 14 1 7.14
Kalsel 13 1 7.69
Kaltim 10 2 20.00
SULAWESI
Sulsel 24 1 4.17
Sulteng 11 9 81.82
Sultra 14 3 21.43
Gorontalo 6 3 50.00
Sulbar 6 2 33.33
MALUKU
Maluku 11 8 72.73
Maluku
Utara 10 6 60.00
PAPUA Papua Barat 13 7 53.85
23
WILAYAH PROVINSI JUMLAH KABUPATEN/
KOTA
DAERAH TERTINGGAL
Jumlah %
Papua 29 26 89.66
KTI JUMLAH 207 103 49.76
NASIONAL JUMLAH 370 122 32.97
Apabila dikelompokkan berdasarkan wilayah Pulau Besar dan Kawasan dapat
digambarkan sebagai berikut:
TABEL 1.5
PENYEBARAN DAERAH TERTINGGAL BERDASARKAN WILAYAH PULAU/ KAWASANTAHUN 2015-2019
No Wilayah Jumlah
Kab % DOB
A KBI 19 15,57% 2
1. Sumatera 13 10,66% 2
2. Jawa & Bali 6 4,92% -
B KTI 103 84,43% 7
1. Kalimantan 12 9,84% 1
2. Sulawesi 18 14,75% 4
3. Nusa Tenggara 26 21,31% 1
4. Maluku 14 11,48% 1
5. Papua 33 27,05% -
Jumlah 122 100% 9
Kinerja pembangunan daerah tertinggal erat kaitannya dengan kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM) sebagai subjek pembangunan. Kualitas SDM diukur melalui pencapaian
Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Akhir tahun 2012 pencapaian IPM di daerah tertinggal
sebesar 68,04, jauh di bawah rata-rata nasional yakni 73,29. Rendahnya IPM di daerah
tertinggal terkait dengan rendahnya aksesibilitas terhadap sarana pendidikan, kesehatan,
dan sumber-sumber ekonomi, selanjutnya kondisi ini berdampak pada rendahnya
produktivitas masyarakat daerah tertinggal. Secara lebih detail kondisi daerah tertinggal jika
dibandingkan dengan angka nasional disajikan dalam bentuk tabel di bawah ini.
24
TABEL 1.6 KONDISI UMUM DAERAH TERTINGGAL
NO KETERANGAN
RATA-RATA
DAERAH
TERTINGGAL
RATA-RATA
NASIONAL
1. PDRB Harga Konstan (Rp.Juta) 1.769.117 4.652.442
2. Pertumbuhan Ekonomi (%) 6,93 6,3
3. Pendapatan Per Kapita (Rp Ribu) 5.550 10.671
4. Pengangguran (%) 5,41 7,24
5. Penduduk Miskin (%) 19,36 11,66
6. Jalan Tidak Mantap (%) 55,41 48,78
7. Desa dengan Jalan Tidak Beraspal (%) 47,12 33,99
8. Keluarga Pengguna Listrik PLN (%) 63,9 72,4
9. Keluarga Pengguna Listrik Non PLN (%) 21 17,7
10. Elektrifikasi (%) 76,9 83,18
11. Desa Pengguna Air Bersih Untuk
Minum/Memasak (%)
55,58 66,55
12. Desa Tidak Terjangkau Sinyal Seluler(%) 47,97 32,11
13. Desa Tidak Terjangkau siaran TVRI (%) 78,18 48,63
14. Rata-Rata Jarak SD (Km) 13,5 8,73
15. Rata-Rata Jarak SMP (Km) 13,43 7,97
16. Rata Rata Jarak Puskesmas (Km) 14,22 8,91
17. Rata Rata Jarak Puskesmas Pembantu (Km) 12,96 7,6
18. Rata Rata Ketersediaan Dokter / Kecamatan 8,77 11,2
19. Rata Rata Ketersediaan Bidan / Desa 1,06 1,12
20. Rata Rata Ketersediaan Paramedis / Kecamatan 39,58 37,46
21. Rata-Rata Jarak Praktek Dokter (Km) 34,00 18,51
22. Rata-Rata Jarak Praktek Bidan (Km) 34,36 16,69
23. Jumlah Aparatur Daerah Berdasarkan
Pendidikan:
A. SMA 92,28 89,85
B. D1/D2/D3 2,48 3,03
C. D4/S1 5,02 6,70
D. S2/S3 0,22 0,42
24. Rata-Rata Jarak ke Kantor Kecamatan (Km) 12,61 10,32
25. Rata-Rata Jarak ke Kantor Kabupaten (Km) 53,97 48,25
26. Rata-Rata Jarak Menuju Pasar (Km) 25,02 14,83
27. Rata-Rata Jarak Lembaga Keuangan (Bank
Umum) (Km)
45,02 24,92
28. Angka Melek Huruf (%) 88,21 93,25
29. Rata-Rata Lama Sekolah (Tahun) 7,31 7,9
25
NO KETERANGAN
RATA-RATA
DAERAH
TERTINGGAL
RATA-RATA
NASIONAL
30. Angka Harapan Hidup (Tahun) 67,05 69,87
31. IPM 68,04 73,29 Sumber: BPS 2012, Data PU 2010, Podes 2011, Diolah
Sebagaimana dinamika perubahan lingkungan strategis yang telah dijelaskan diatas
baik secara aspek internal maupun eksternal, maka Ditjen PDTu harus melakukan upaya-
upaya kearah yang lebih baik lagi agar pengaruh lingkungan strategis tersebut dapat
menjadi suatu peluang bukan ancaman yang dapat mempengaruhi Peran Kementerian
Desa, PDTu dan Transmigrasi secara umum dan peran Ditjen PDTu secara khusus sebagai
unit yang bertanggungjawab dalam melaksanakan program pembangunan daerah tertentu.
Atas dasar pengaruh lingkungan strategis tersebut, menjadi dasar identifikasi atas
kekuatan, kelemahan, peluang dan hambatan terhadap pecapaian tujuan organisasi sesuai
peran dan kewenangan PDTu melalui analisa SWOT sehingga diharapkan Ditjen PDTu dapat
menentukan arah strategi dan kebijakan Ditjen PDTu kedepan agar dapat terwujud tujuan
dan sasaran organisasi Ditjen PDTu dalam Renstra Periode 2015-2019. Adapun identifikasi
kekuatan, kelemahan, peluang dan hambatan terhadap pecapaian tujuan organisasi sesuai
peran dan kewenangan PDTu tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kesenjangan pembangunan antarwilayah di Indonesia masih merupakan tantangan
yang harus diselesaikan dalam pembangunan kedepan terutama kawasan daerah
tertentu. Kesenjangan pembangunan antarwilayah dalam jangka panjang bisa
memberikan dampak pada kehidupan sosial masyarakat. Kesenjangan antarwilayah
tersebut berkaitan dengan ketersediaan infrastruktur yang tidak memadai. Upaya-
upaya pembangunan yang lebih berpihak kepada kawasan daerah tertentu menjadi
suatu keharusan untuk menangani tantangan ketimpangan dan kesenjangan
pembangunan.
2. Masih adanya ketidakmerataan pembangunan dan keadilan hasil-hasil pembangunan.
Ketimpangan pembangunan dan hasil-hasil pembangunan menggambarkan masih
besarnya kemiskinan dan kerentanan. Hal ini dicerminkan oleh angka kemiskinan yang
turun melambat dan angka penyerapan tenaga kerja yang belum dapat mengurangi
26
pekerja rentan secara berarti. Tiga kelompok rumah tangga yang diperkirakan berada
pada 40 persen penduduk berpendapatan terbawah adalah:
3. Angkatan kerja yang bekerja tidak penuh, terdiri dari yang bekerja paruh waktu,
termasuk dalamnya adalah rumah tangga nelayan, rumah tangga petani berlahan
sempit, rumah tangga sektor informal perkotaan, dan rumah tangga buruh perkotaan;
4. Usaha Mikro Kecil (UMK), termasuk rumah tangga yang bekerja sebagai pekerja
keluarga; dan
5. Penduduk miskin yang tidak memiliki aset maupun pekerjaan.
6. Terbatasnya ketersediaan sarana dan prasarana publik dasar di daerah tertinggal.
Permasalahan keterbatasan ketersediaaan sarana dan prasarana publik dasar menjadi
permsalahan yang pokok dan krusial di daerah tertinggal hingga saat ini. Penyediaan
sarana dan prasarana publik dasar merupakan kewajiban dan tanggung jawab
pemerintah, meskipun pihak swasta dan masyarakat pun memiliki peranan. Masih
terbatasnya sarana dan prasarana publik dasar akan menghambat upaya percepatan
pembangunan daerah tertinggal di daerah tertentu dan peningkatan kesejahteraannya.
7. Masih rendahnya kualitas sumber daya manusia dan tingkat kesejahteraan. Kondisi ini
ditandai masih rendahnya beberapa indikator terkait dengan pembangunan sumber
daya manusia (SDM) dan kesejahteraan sosial, yaitu Indeks Pembangunan Manusia
(IPM), Indeks Pembangunan Gender (IPG), Indeks Pemberdayaan Gender (IDG). Sumber
daya manusia merupakan modal utama dalam pembangunan nasional. Oleh karena itu,
kualitas SDM harus terus ditingkatkan sehingga mampu memberikan daya saing yang
tinggi. Upaya tersebut dapat dilakukan pengendalian penduduk, peningkatan taraf
pendidikan, dan peningkatan derajat kesehatan dan gizi masyarakat.
8. Rendahnya produktivitas masyarakat di daerah tertinggal. Masih rendahnya IPM dan
masih tingginya angka kemiskinan dan pengangguran serta aktivitas ekonomi yang
masih rendah di daerah tertinggal mengakibatkan masih rendahnya produktivitas
masyarakat di daerah tertinggal. Untuk meningkatkan produktivitas masyarakat di
daerah tertinggal dapat dilakukan melalui pemberdayaan, baik pemberdayaan dari
aspek ekonomi, sosial, dan kelembagaan.
27
9. Lemahnya sendi-sendi perekonomian bangsa terlihat dari belum terselesaikannya
persoalan kemiskinan, kesenjangan sosial, kesenjangan antarwilayah, kerusakan
lingkungan hidup akibat eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, dan
ketergantungan dalam hal pangan, energi, keuangan, dan teknologi. Negara tidak
mampu memanfaatkan kandungan kekayaan alam yang besar, baik yang mewujud
maupun bersifat non-fisik bagi kesejahteraan rakyatnya. Harapan akan penguatan
sendi-sendi ekonomi bangsa menjadi semakin jauh ketika negara tidak mampu
memberi jaminan kesehatan dan kualitas hidup yang layak bagi warganya, gagal dalam
memperkecil ketimpangan dan ketidakmerataan pendapatan nasional, dan penyediaan
pangan yang mengandalkan impor.
10. Adanya regulasi yang tidak memihak/disharmonis terhadap percepatan pembangunan
daerah tertinggal dan daerah tertentu. Masih adanya regulasi yang tidak/belum
memihak terhadap percepatan pembangunan daerah tertinggal dan daerah tertentu
yang menimbulkan disharmoni antar kebijakan, inefisiensi, dan kontra produktif,
sehingga upaya akselerasi atau percepatan pembangunan daerah tertinggal dan daerah
tertentu menjadi terhambat. Oleh karena itu, perlu adanya revisi terhadap beberapa
regulasi yang tidak sejalan dengan upaya percepatan pembangunan daerah tertinggal
termasuk didalamnya daerah tertentu.
11. Belum optimalnya kebijakan yang afirmatif bagi percepatan pembangunan daerah
tertinggal (tertentu). Pembangunan daerah tertentu harus dilaksanakan secara lebih
terfokus, integral, dan komprehensif serta adanya keperpihakan (afirmasi) baik dari
aspek kebijakan, perencanaan, dan penganggaran. Belum optimalnya kebijakan
afirmatif terhadap percepatan pembangunan daerah tertinggal menjadi kendala
tersendiri dalam memobilisasi berbagai sumberdaya pembangunan untuk diarahkan ke
daerah tertentu.
12. Masih lemahnya koordinasi antar pelaku pembangunan untuk percepatan
pembangunan daerah tertinggal di daerah tertentu, mengakibatkan pengelolaan
pembangunan dan sumberdaya pembangunan menjadi tidak optimal, tidak fokus, dan
cenderung inefisiensi. Ego sektoral dan ego kedaerahan di era otonomi dan
desentralisasi masih mewarnai pembangunan di Indonesia.
28
13. Belum optimalnya pengelolaan potensi sumberdaya lokal dalam pengembangan
perekonomian di daerah tertinggal. Daerah tertinggal sesungguhnya memiliki potensi
sumberdaya wilayah yang besar. Namum demikian, potensi sumberdaya yang besar
tersebut belum dapat dikelola secara optimal bagi pengembangan perekonomian
wilayah atau daerah. Kebijakan pembangunan yang belum memihak terhadap
pengembangan ekonomi wilayah berbasis potensi sumberdaya lokal, ketersediaan
infrastruktur wilayah yang terbatas dan belum memadai, serta ketersediaan kualitas
SDM yang masih rendah turut berkontribusi menghambat upaya pengelolaan
sumberdaya lokal di daerah tertinggal secara optimal.
14. Kurangnya aksesibilitas daerah tertinggal terhadap pusat-pusat pertumbuhan wilayah.
Daerah tertinggal yang notabene sebagian besar adalah daerah hinterland dari pusat-
pusat pertumbuhan merupakan daerah dengan tingkat aksesibiltas rendah, karena
keterbatasan infrastruktur wilayah, terutama infrastruktur transportasi, komunikasi,
dan enegi. Perkembangan daerah tertinggal rendah dan lambat karena masih lemahnya
konektivitas antarwilayah, terutama antar daerah tertinggal dan pusat pertumbuhan
wilayah.
15. Belum adanya insentif terhadap sektor swasta dan pelaku usaha untuk berinvestasi di
daerah tertentu. Pembangunan daerah tertentu kedepan harus terus didorong melalui
kebijakan fiskal maupun non fiskal. Pemberian insentif terhadap sektor swasta dan
pelaku usaha merupakan kebijakan non fiskal untuk memdorong peningkatan investasi
di daerah tertinggal. Hal ini karena daerah tertinggal, aspek ekonomi, geografis, dan
ketersediaan infrastruktur untuk menunjang kegiatan ekonomi wilayah masih terbatas
atau banyak mengalami kendala.
16. Bonus demografi merupakan peluang, karena dengan meningkatnya jumlah dan
proporsi penduduk usia produktif memberikan peluang untuk pertumbuhan ekonomi.
Namun hal ini tidak otomatis akan terjadi, perlu adanya kebijakan yang tepat untuk
mempersiapkan SDM yang berkualitas, sehat dan terdidik, tenaga kerja yang terampil
dan produktif, mampu menjaga penurunan Angka Kelahiran Total (TFR/Total Fertility
Rate), stabilitas ekonomi yang mampu menyediakan lapangan kerja, fleksibilitas pasar
tenaga kerja, keterbukaan perdagangan dan saving, serta menjaga . Jika tidak, maka
akan terjadi dampak yang buruk, seperti tingginya penganguran, konflik sosial, dan
29
tekanan pada pangan dan lingkungan dan dan peningkatan jumlah penduduk miskin
terutama di daerah pinggiran Indonesia. Oleh karena itu, bonus demografi Indonesia
yang secara nasional telah terjadi dan akan mencapai puncaknya pada satu hingga tiga
dekade mendatang harus dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah. KDPDTT akan berperan
serta untuk menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas melalui pendidikan,
pelatihan serta penyediaan lapangan kerja/peluang berusaha di berbagai wilayah desa,
daerah-daerah tertinggal dan kawasan transmigrasi terkait dengan investasi yang
berbasis pengelolaan sumber daya alam.
Rangkuman analisa pengaruh lingkungan strategis diatas dapat dilihat dalam Tabel
berikut:
TABEL 1.7 RANGKUMAN ANALISIS SWOT
Hasil Pembahasan (SWOT)
Strengths 2. Sarana dan Prasarana yang memadai
3. Adanya Komitmen Pimpinan
4. Memiliki Kewenangan dan tupoksi yang jelas
Weaknesses 1. Masih terbatas nya jumlah dan Kualitas SDM rendah
2. Belum Optimalnya perubahan paradigma (mindset dan
cultureset)
3. Masih terbatasnya dukungan IT
4. Adanya tumpang tindih kewenangan (antar unitk kerja ke
Ditjen Lainnya seperti Ditjen Desa dengan Ditjen PDTu dll)
5. Belum optimalnya pelaksanaan SOP tugas dan kewenangan
6. Belum ditetapkan Jabatan Fungsional
Opportunities 1. Koordinasi antar lembaga yang semakin kuat
2. Adanya insentif terhadap sektor swasta dan pelaku usaha
3. Tersedianya potensi sumberdaya lokal
4. bonus demografi Indonesia
5. Undang-Undang tentang Desa
Threats 1. Kurangnya aksesibilitas daerah tertinggal
30
Hasil Pembahasan (SWOT)
2. Adanya Tumpang Tindih Kewenangan(Kemensos, BNPB dll)
3. Masih lemahnya koordinasi antar pelaku pembangunan
4. Adanya regulasi yang tidak memihak/disharmonis
5 Jumlah Penduduk yang semakin besar
Berdasarkan hasil Analisa SWOT tersebut diatas, maka Ditjen PDTu perlu
memperkuat penguatan organisasi agar faktor-faktor lingkungan strategis yang
mempengaruhi baik dari internal maupun eskternal tidak akan menghambat pencapaian
tujuan dan sasaran organisasi DItjen PDTu periode 2015-2019. Dilihat dari keseimbangan
pengaruh lingkungan internal antara kekuatan dan kelemahan serta pengaruh lingkungan
eskternal antara peluang dan ancaman. Posisi organisasi Ditjen PDTu harus melakukan
pengembangan dan perluasan organisasi agar dapat mewujudkan visi, misi dan tujuan
organisasi Ditjen PDTu periode 2015-2019. Untuk itu, Ditjen PDTu harus memiliki bisnis
proses yang jelas dan terarah. Dibawah ini adalah bisnis proses Ditjen PDTu untuk periode
2015-2019.
GAMBAR 1.7 BISNIS PROSES PDTU
Untuk itu, sesuai dengan bisnis proses pada gambar diatas, dalam melaksanakan
peran dan kewenangan yang optimal sesuai dengan peran dan kewengan Ditjen PDTu
sebagai lembaga yang bertanggungjawab dalam meningkatkan kualitas pembangunan
daerah tertentu maka diusulkan penguatan Peran dan Kewenangan Ditjen PDTu untuk
periode 2015-2019 sebagaimana Tabel dibawah ini:
31
TABEL 1.8 PENGUATAN PERAN DITJEN PDTU TAHUN 2015-2019
Penguatan
Kebijakan dan Pelaksanaan
Kebijakan Pengembangan Daerah
Tertentu.
1. Penyusunan Standar, Kriteria, Pedoman, dan
Prosedur,
2. Penyusunan Peta Pengembangan Daerah
tertentu
3. pelaksanaa pengembangan daerah
perbatasan, da erah pulau kecil dan terluar,
serta
4. penanganan daerah rawan bencana, daerah
pasca konflik, dan daerah rawan pangan
Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan
Pembinaan dan Bimbingan Teknis,
Supervisi, dan Evaluasi.
1. Pemberian pembinaan dan bimbingan teknis,
supervisi, dan evaluasi bagi Daerah Tertentu.
2. Peningkatan kerjasama dengan instansi
terkait dalam bidang pengembangan daerah
tertentu
3. Penyusunan Program Monitoring dan Evaluasi
4. Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan
32
BAB II
VISI, MISI, DAN TUJUAN
DIREKTORAT JENDERAL PENGEMBANGAN DAERAH
TERTENTU
2.1 Visi Pembangunan Nasional 2015-2019
Rencana Strategis Tahun 2015-2019 Kementerian Desa, PDTu dan Transmigrasi
disusun berdasarkan amanat yang telah digariskan dalam visi dan misi pembangunan
nasional 2015-2019. Adapun Visi pembangunan nasional sebagaimana yang tertuang dalam
RPJMN 2015-2019 adalah berikut:
Sejalan dengan visi tersebut, maka pengertian kata berdaulat, mandiri,
berkepribadian, dan gotong royong dapat dijelaskan sebagai berikut:
Berdaulat : Mempunyai kekuasaan tertinggi atas pemerintahan suatu negara.
Mandiri : Suatu kondisi dalam keadaan dapat berdiri sendiri dan berusaha tidak
bergantung dengan lainnya dalam konteks pemerintahan maupun
kenegaraan.
Berkepribadian : Keseluruhan cara pandang pemerintahan/negara dalam rangka bereaksi
dan berinterakasi dengan pemerintahan/negara lainnya.
Gotong Royong : Suatu sikap ataupun prinsip ataupun kegiatan yang dilakukan oleh
anggota masyarakat secara kerjasama dan tolong menolong dalam
menyelesaikan masalah dengan suka rela dan tanpa adanya imbalan
dalam lingkup suatu pemerintahan.
“Mewujudkan Indonesia Yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong”.
33
2.2 Misi Pembangunan Nasional 2015-2019
Untuk mewujudkan visi pembangunan nasional di atas, telah ditetapkan 7 (tujuh) misi
pembangunan nasional, sebagai berikut:
TABEL 2.1
MISI PEMBANGUNAN NASIONAL TAHUN 2015-2019
No. MISI
1 Mewujudkan keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah,
menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumber daya maritim, dan
mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan.
2 Mewujudkan masyarakat maju, berkeseimbangan, dan demokratis berlandaskan
negara hukum.
3 Mewujudkan politik luar negeri bebas aktif dan memperkuat jati diri sebagai negara
maritim.
4 Mewujdukan kualitas hidup bangsa Indoensia yang tinggi, maju, dan sejahtera.
5 Mewujudkan bangsa yang berdaya saing.
6 Mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju, kuat, dan
berbasiskan kepentingan nasional.
7 Mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dan berkebudayaan.
Visi dan misi Presiden tersebut sekaligus sebagai visi dan misi Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, sebagaimana dinyatakan oleh Presiden
pada rapat perdana Kabinet Kerja, tanggal 27 Oktober 2014, bahwa “Tugas kita semua dan
utama adalah menjalankan visi dan misi Presiden. Tidak ada lagi yang namanya visi dan
misi menteri.Karena yang ada hanya program operasional menteri.Sekali lagi yang ada
program operasional menteri”. Dengan adanya satu visi dan misi Presiden, diharapkan akan
terjadi sinergi lintas Kementerian/Lembaga dalam melaksanakan program-program
pembangunan dan sekaligus akan mengurangi ego sektoral yang selama ini disinyalir
sebagai penghambat pembangunan.
Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo dan Jusuf Kalla telah
mempersiapkan program-program aksi untuk mengatasi beberapa masalah mendesak yang
34
menyangkut hajat hidup rakyat sekaligus untuk membangun fondasi bagi implementasi
kebijakan hingga tahun 2019. Beberapa program strategis juga telah disiapkan untuk
menjalankan tujuh misi dan sembilan agenda strategis prioritas (Nawa Cita) untuk masa
pemerintahan lima tahun ke depan.
Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno dalam Pidato Trisakti tahun 1963
menegaskan, Indonesia harus: (1) Berdaulat secara politik; (2) Berdikari secara ekonomi;
dan (3) Berkepribadian secara sosial budaya. Konsep Tri Sakti Bung Karno inilah yang
digunakan Presiden dan Wakil Presiden dalam menjalankan amanahnya dalam 5 tahun ke
depan.
2.3 Tujuan Pembangunan Nasional
Pembangunan nasional dilaksanakan secara bertahap dan terencana dalam tahapan
jangka panjang, jangka menengah, maupun tahunan. Sesuai dengan arahan RPJPN 2005-
2025, visi pembangunan nasional tahun 2005 – 2025 adalah: Indonesia yang maju dan
mandiri, adil dan demokratis, serta aman dan bersatu dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Sedangkan dalam pembangunan Tahap III,RPJMN 2015-2019 ditujukan untuk lebih
memantapkan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan
pencapaian daya saing kompetitif perekonomian berlandaskan keunggulan sumber daya
alam dan sumber daya manusia berkualitas serta kemampuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang terus meningkat.
2.4 Sasaran Strategis Pembangunan Nasional
Setelah ditetapkannya Visi dan Misi Presiden, selanjutnya ditetapkan Sasaran Strategis
Pembangunan Nasional yang merupakan terjemahan dari Visi dan Misi Presiden yaitu
Sembilan Agenda Strategis Prioritas dalam pemerintahan lima tahun ke depan atau yang
disebut dengan NAWACITA. Nawacita menunjukkan prioritas dalam jalan perubahan
menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi, dan
berkepribadian dalam kebudayaan.
Kesembilan Agenda Strategis Prioritas atau yang disebut Nawacita adalah sebagai
berikut:
1) Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan
rasa aman kepada seluruh warga negara.
35
2) Membuat Pemerintah selalu hadir dengan membangun tata kelola pemerintahan yang
bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya.
3) Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa
dalam kerangka negara kesatuan.
4) Memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan
hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.
5) Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.
6) Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar Internasional sehingga
bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya.
7) Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis
ekonomi domestik.
8) Melakukan revolusi karakter bangsa.
9) Memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.
Berdasarkan sasaran nawacita tersebut diatas untuk menuju Indonesia yang
berdaulat secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam
kebudayaan maka NAWACITA tersebut difokuskan pada tujuh isu strategis nasional yang
memerlukan koordinasi dan sinergi antar Kementerian/Lembaga/Daerah. Ketujuh isu
strategis nasional tersebut adalah:
1) Kedaulatan pangan
2) Kedaulatan energi
3) Kemaritiman
4) Industri/Kawasan Industri
5) Pariwisata
6) Revolusi mental
7) Kawasan Perbatasan dan daerah tertinggal
Sesuai dengan kewenangan dan peran Kementerian Desa, PDTu dan Transmigrasi
maka salah satu sasaran strategis pembangunan nasional yang menjadi tanggungjawab
adalah “Membangun Indonesia dari Pinggiran dengan Memperkuat Daerah-Daerah dan
Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan”, sebagaimana disebutkan pada Prioritas Nawacita
ke-3. Membangun dari pinggiran harus dipahami dalam perspektif yang utuh, yakni sebagai
36
afirmasi untuk mendorong kegiatan ekonomi yang selami ini kurang diprioritaskan
pemerintah. Kegiatan ekonomi dalam wujud wilayah (perdesaan/perbatasan/daerah
tertinggal), sektor (pertanian), pelaku (usaha mikro dan kecil), atau karakter aktivitas
ekonomi (tradisional).
Visi Misi Presiden dan Wakil Presiden Jokowi-JK tersebut mencanangkan
pembangunan Indonesia dengan memperkuat dan memberdayakan desa. Pembangunan
dari pinggiran harus diperlakukan sebagai model pembangunan yang mencoba membangun
keterkaitan (linkage), keselarasan (harmony) dan kemitraan (partnership). Jika model ini
yang dijalankan, maka kemajuan wilayah perdesaan, pertanian, usaha mikro dan kecil, dan
tradisional sekaligus akan mendorong daerah perkotaan, industri/jasa, usaha menengah dan
besar, serta aktivitas ekonomi modern.
Untuk mencapai sasaran tersebut dapat dilakukan dengan upaya sebagai berikut :
1) Peletakan dasar-dasar kebijakan desentralisasi asimetris yaitu dengan melaksanakan
kebijakan keberpihakan (affirmative policy) kepada daerah-daerah yang saat ini masih
tertinggal, terutama
a. kawasan perbatasan dan pulau-pulau terluar;
b. daerah tertinggal dan terpencil;
c. desa tertinggal;
d. daerah-daerah yang kapasitas pemerintahannya belum cukup memadai dalam
memberikan pelayanan publik.
2) Pemerataan pembangunan antar wilayah terutama Kawasan Timur Indonesia
a. Pengembangan Kawasan Strategis
b. Pembangunan Perkotaan
c. Peningkatan Keterkaitan Kota-Desa
d. Tata Ruang
3) Pengurangan ketimpangan antar kelompok ekonomi masyarakat
a. Menciptakan pertumbuhan inklusif
b. Memberikan perhatian khusus kepada usaha mikro dan kecil
c. Memperluas ekonomi perdesaan dan mengembangkan sektor pertanian
37
2.5 Tujuan Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi
Untuk mencapai sasaran strategis pembangunan nasional tersebut maka Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi mempunyai Tujuan organisasi yang
akan dicapai dalam periode lima tahun ke depan adalah sebagai berikut:
1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta
penanggulangan kemiskinan melalui pembangunan dan pemberdayaan masyarakat
desa;
2) mempercepat pembangunan desa-desa mandiri serta membangun keterkaitan
ekonomi lokal antara desa dan kota melalui pembangunan kawasan perdesaan;
3) meningkatkan percepatan pembangunan di daerah tertinggal untuk mengurangi
kesenjangan pembangunan antara daerah tertinggal dengan daerah maju;
4) meningkatkan ketersediaan sarana-prasarana dasar dan aksesibilitas di wilayah
perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar (TUJUAN DITJEN PDTu);
5) meningkatkan derajat ketahanan masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi
bencana, rawan pangan, dan konflik sosial(TUJUAN DITJEN PDTu);
6) menyiapkan dan meningkatkan pembangunan serta pengembangan satuan
permukiman dan desa di kawasan transmigrasi utamanya pada kawasan perbatasan,
daerah tertinggal, kawasan perdesaan;
7) meningkatkan pembangunan dan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru di
kawasan transmigrasi utamanya pada kawasan perbatasan, daerah tertinggal,
kawasan perdesaan yang terkonektifitas dengan pusat kegiatan ekonomi wilayah;
8) percepatan pembangunan dan pengembangan kawasan perkotaan baru yang
terintegrasi dalam suatu kesatuan pengembangan ekonomi wilayah untuk
mewujudkan keterkaitan desa dan kota.
2.6 Sasaran Strategis Pengembangan Daerah Tertentu
Sasaran pengembangan daerah tertentu, meliputi :
1. Meningkatnya kualitas kebijakan pembangunan daerah tertentu;
2. Terentaskannya dari ketertinggalan minimal 50 daerah tertinggal di daerah tertentu,
3. Meningkatnya pengembangan daerah perbatasan dan daerah pulau kecil dan terluar
1) Meningkatnya konektifitas, sarana prasarana dasar, dan kesejahteraan
masyarakat di 187 kecamatan Lokasi Prioritas (Lokpri) yang tersebar di 41
38
kabupaten yang memiliki perbatasan Negara, dengan fokus pada 10 dari 26 Pusat
Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) yang diprioritaskan selama tahun 2015-2019;
2) Meningkatnya konektifitas, sarana prasarana dasar, dan kesejahteraan
masyarakat di 29 kabupaten yang memiliki pulau kecil dan pulau terluar;
4. Meningkatnya Penanganan daerah rawan pangan, daerah rawan bencana, dan daerah
pascakonflik.
1) Meningkatnya ketahanan pangan di 57 kabupaten daerah rawan pangan;
2) Meningkatnya 58 kabupaten rawan bencana menjadi tangguh bencana;
3) Meningkatkan ketangguhan 16 kabupaten daerah rawan dan pasca konflik.
2.7 Fokus Prioritas
Fokus Prioritas Direktorat Pengembangan Daerah Tertentu (PDTu) tahun 2015-2019
adalah:
1) Pengembangan daerah perbatasan dan daerah pulau kecil dan terluar.
2) Penanganan daerah rawan pangan, daerah rawan bencana, dan daerah pascakonflik.
TABEL 2.2
TUJUAN, SASARAN STRATEGIS, DAN INDIKATOR KINERJA
Tujuan Sasaran Strategis Indikator Kinerja
Mengentaskan
ketertinggalan daerah
tertinggal di daerah
tertentu
Terentaskannya
Daerah Tertinggal
di Daerah Tertentu
Jumlah daerah tertinggal yang
memiliki karakteristik kewilayahan
dan kondisi situasional tertentu
yang terentaskan minimal di 50
daerah tertinggal di daerah
tertentu
Meningkatkan
ketersediaan sarana-
prasarana dasar,
aksesibilitas dan ekonomi
di wilayah perbatasan dan
pulau-pulau kecil terluar
(TUJUAN KE 4 DARI
TUJUAN KEMENDES,
PDTU DAN
TRANSMIGRASI)
Meningkatnya
pengembangan
daerah perbatasan
dan daerah pulau
kecil dan terluar
Prosentase kualitas sarana-
prasarana dasar dan aksesibilitas
yang dihasilkan
Jumlah Kecamatan sebagai Lokasi
Prioritas (Lokpri) yang tersebar di
41 kabupaten
Jumlah Kabupaten yang
terkonektifitas, sarana prasarana
dasar yang memiliki pulau kecil dan
39
pulau terluar
Meningkatkan derajat
ketahanan masyarakat
dan pemerintah dalam
menghadapi bencana,
rawan pangan, dan konflik
social (TUJUAN KE 5 DARI
TUJUAN KEMENDES,
PDTU DAN
TRANSMIGRASI)
Meningkatnya
Penanganan daerah
rawan pangan,
daerah rawan
bencana, dan
daerah pascakonflik
Prosentase ketersediaan sapras
pendukung dalam penanganan
bencana, rawan pangan, dan
konflik sosial .
Jumlah kabupaten daerah rawan
pangan yang ditangani
Jumlah Kabupaten rawan bencana
menjadi tangguh bencana
Jumlah Kabupaten bebas daerah
rawan dan pasca konflik
2.8 Lokus Prioritas
Lokus Prioritas Direktorat Pengembangan Daerah Tertentu (PDTu) tahun 2015-2019
adalah 57 kabupaten rawan pangan, 187 lokasi prioritas di 41 kabupaten perbatasan, 29
kabupaten yang memiliki pulau terpencil dan terluar, 58 kabupaten rawan bencana, dan
pascakonflik, dengan perhatian di daerah tertinggal dan di kawasan timur Indonesia.
40
BAB III
ARAH KEBIJAKAN, STRATEGI, KERANGKA REGULASI
DAN KERANGKA KELEMBAGAAN
3.1 Arah Kebijakan dan Strategi Nasional
3.1.1 Dasar-dasar Arah Kebijakan dan Strategi Pembangunan Nasional
Dasar-dasar Strategi Pembangunan Nasional adalah sebagai berikut:
1) Membangun tanpa meningkatkan ketimpangan wilayah;
2) Memanfaatkan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
3) Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa
dalam kerangka negara kesatuan;
4) Ekonomi harus berorientasi dan berbasiskan pada sector dan jenis usaha yang
memasukkan nilai tambah sebesar-besarnya dengan SDM berkualitas, inovasi,
kreatifitas dan penerapan teknologi yang tepat;
5) Pembangunan nasional sebagian besar adalah hasil agregasi dari pembangunan
daerah yang berkualitas.
3.1.2 Delapan Strategi Pembangunan Nasional Mewujudkan Nawacita
Dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional dan mewujudkan Sembilan
Agenda Prioritas Nasional (NAWACITA), terdapat delapan Strategi Pembangunan Nasional
untuk mewujudkan NAWACITA yaitu:
1) Penguatan tata kelola desa yang baik, melalui: (1) penyusunan peraturan pelaksanaan
UU Desa; (2) menyusun peraturan pelaksanaan perundang-undangan terkait dengan
UU Ketransmigrasian, dan PP Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal; (3)
peningkatan kapasitas pemerintah dan masyarakat desa;
41
2) Mempercepat pemenuhan standar pelayanan minimum untuk pelayanan dasar di
perdesaan, daerah tertinggal dan kawasan transmigrasi;
3) Penguatan pendanaan pembangunan yang bersumber dari APBN, APBD, Dunia Usaha,
dan Masyarakat;
4) Mendorong investasi yang meningkatkan produktivitas rakyat;
5) Memanfaatkan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
6) Memberikan pelayanan kepada masyarakat di bidang keamanan, adminitrasi
kependudukan, pertanahan, akta-akta, dan sebagainya;
7) Peningkatan koneksitas melalui penyediaan infrastruktur transportasi dan
perhubungan di perdesaan, daerah tertinggal dan kawasan transmigrasi;
8) Peningkatan dan Penguatan koordinasi lembaga pusat dan daerah dan antar daerah.
3.2 Arah Kebijakan dan Strategi Pengembangan Daerah Tertentu
Berdasarkan arah kebijakan dan Strategi Pembangunan Nasional maka Ditjen PDTu
sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya menetapkan arah kebijakan Pengembangan
Pembangunan Daerah Tertentu difokuskan pada:
1) Penanganan daerah rawan pangan melalui peningkatan produksi, kemudahan
ditribusi dan diversifikasi terutama pada komoditas pangan pokok yang dibutuhkan
masyarakat;
2) Peningkatan aksesibilitas, pelayanan dasar, dan kesejahteraan masyarakat dengan
pengembangan desa beranda Nusantara di wilayah perbatasan;
3) Peningkatan aksesibilitas, pelayanan dasar, dan kesejahteraan masyarakat dengan
pengembangan pulau kecil berdaya di Kabupaten yang memiliki pulau kecil dan
terluar;
4) Penanganan daerah rawan bencana dengan pengurangan risiko bencana dan
pengembangan desa tangguh bencana; dan
5) Penanganan daerah pasca konflik dengan rehabilitasi sosial dan ekonomi.
42
Sedangkan Strategi pembangunan daerah tertentu, difokuskan pada :
1) Meningkatkan sarana dan prasaran produksi dan distribusi pangan;
2) Meningkatkan kualitas input produksi pangan seperti benih, bibit, pupuk dan
pendukungnya;
3) Menambah penyediaan lumbung/tempat penyimpanan pangan di perdesaan;
4) Pengembangan budidaya komoditas pangan alternatif dalam mendukung
diversifikasi pangan;
5) Meningkatkan aksesibilitas yang menghubungkan daerah pulau kecil dan terluar
dengan pusat pertumbuhan melalui pembangunan sarana dan prasarana
transportasi, seperti: peningkatan akses jalan, jembatan, pelabuhan, serta pelayanan
penerbangan perintis dan pelayaran perintis;
6) Meningkatkan kualitas SDM, ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), dan kapasitas
tata kelola kelembagaan pemerintahan daerah perbatasan dan pulau kecil, terluar
dan terpencil, meliputi aspek peningkatan kapasitas aparatur pemerintahan daerah,
kelembagaan, dan keuangan daerah melalui pengembangan pusat informasi;
7) Mempercepat pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk pelayanan dasar
publik di daerah perbatasan, pulau kecil dan terluar, terutama di bidang pendidikan,
kesehatan, transportasi, air bersih, energi/listrik, telekomunikasi, perumahan dan
permukiman;
8) Meningkatkan kapasitas pemerintah dan masyarakat di lokasi prioritas dengan
pengembangan desa beranda nusantara di wilayah perbatasan;
9) Memberikan insentif khusus kepada tenaga kesehatan, pendidikan,, dan penyuluh
pertanian serta pendamping desa di daerah perbatasan dan daerah pulau kecil dan
terluar;
10) Meningkatkan kapasitas pemerintah dan masyarakat di daerah yang memiliki pulau-
pulau kecil, terluar dengan pengembangan pulau kecil berdaya;
11) Melakukan penguatan regulasi terhadap daerah tertentu dan pemberian insentif
kepada pihak swasta dalam pengembangan iklim usaha di daerah tertinggal salah
43
satunya melalui harmonisasi peraturan perizinan antara pemerintah dan pemerintah
daerah;
12) Meningkatkan ketersediaan dan kualitas sarana dalam pengurangan risiko bencana;
13) Meningkatkan kapasitas pemerintah dan masyarakat mengurangi risiko bencana
dengan pengembangan desa tangguh bencana;
14) Meningkatkan kapasitas pemerintah dan masyarakat dalam pencegahan,
rekonsiliasi, dan rehabilitasi konflik;
15) Meningkatkan koordinasi dan peran serta lintas sektor dalam upaya mendukung
pembangunan daerah tertentu melalui pengembangan kawasan perdesaan dan
transmigrasi sebagai program pembangunan lintas sektor.
3.3 Program dan Kegiatan
Untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, Ditjen PDTu pada periode 2015-2019
menetapkan program pembangunan, yaitu program utama (teknis) dan program pendukung
(generik), sebagai berikut:
a. Program teknis: Program Pembangunan Daerah Tertentu.
Program ini dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas utama Ditjen PDTu dalam
menghasilkan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengembangan
daerah perbatasan, daerah pulau kecil dan terluar, serta penanganan daerah rawan
bencana, daerah pasca konflik, dan daerah rawan pangan.
Selanjutnya, program-program tersebut dijabarkan dalam kegiatan-kegiatan prioritas
Ditjen PDTu sebagai berikut:
a. Kegiatan-kegiatan utama untuk melaksanakan Pembangunan Daerah Tertentu..
1) Perumusan kebijakan di bidang pengembangan daerah perbatasan, daerah pulau
kecil dan terluar, serta penanganan daerah rawan bencana, daerah pasca konflik, dan
daerah rawan pangan yang mencakup wilayah I (Sumatera), Wilayah II (Jawa, Bali dan
Nusa Tenggara), Wilayah III (Kalimantan), Wilayah IV (Sulawesi dan Maluku), dan
Wilayah V (Papua);
44
2) Pelaksanaan kebijakan di bidang pengembangan daerah perbatasan, daerah pulau
kecil dan terluar, serta penanganan daerah rawan bencana, daerah pasca konflik, dan
daerah rawan pangan;
3) Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang pengembangan daerah
perbatasan, daerah pulau kecil dan terluar, serta penanganan daerah rawan bencana,
daerah pasca konflik, dan daerah rawan pangan;
Sesuai dengan sasaran strategis Ditjen PDTu, maka perlu dijabarkan dalam sasaran
program dan kegiatan sesuai penanggungjawab unit organisasi eselon II dengan
mengunakan sebagaiman pada Tabel dibawah ini:
TABEL 3.1
PROGRAM, SASARAN PROGRAM, KEGIATAN DAN PENANGGUNGJAWAB
PROGRAM SASARAN
PROGRAM KEGIATAN
PENANGGUNGJAWAB
Program Pembangunan Daerah Tertinggal
Tersedianya sarana dan prasarana yang memadai
a. Penyediaan bibit, benih, pupuk, pakan dan pestisida;
b. Pembangunan/peningkatan irigasi, jalan usaha tani, lumbung/gudang, kandang dan jalan penghubung;
c. Pembangunan/peningkatan sarana prasarana produksi hasil budidaya pertanian, peternakan dan perikanan;
d. Pengadaan sarana distribusi hasil pangan (pengadaan angkutan distribusi darat/laut);
e. Pembangunan rumah produksi.
Direktorat Penanganan Daerah Rawan Pangan
Terbangunnya akses layanan
a. Pengadaan PLTS 5 dan 10 Kwp; b. Pembangunan fasilitas air bersih; c. Pembangunan jembatan; d. Pembangunan jalan; e. Pembangunan embung; f. Pengembangan potensi sumber daya; g. Pembangunan media informasi televisi
(MIT); h. Pengadaan alat peraga untuk
pendidikan; i. Pembangunan pondok singgah.
Direktorat Pengembangan Daerah Perbatasan
45
Tersedianya fasilitas penangan pasca konflik
a. Pembangunan bronjong/ pelindung tebing sungai/ laut;
b. Pengembangan desa tangguh bencana;
c. Pembangunan sarana dan prasarana air bersih;
d. Pengadaan alat telekomunikasi (HT) pasca bencana alam.
Direktorat Penanganan Daerah Rawan Bencana
a. Fasilitasi pemulihan sosial dengan promosi perdamaian melalui media;
b. Fasilitasi pemulihan ekonomi penanganan daerah pasca konflik;
c. Fasilitasi rekonstruksi daerah pasca konflik;
d. Fasilitasi pembangunan pondok singgah di rute-rute jalan bagi pejalan kaki.
Direktorat Penanganan Daerah Pasca Konflik
a. Pembangunan tambatan perahu; b. Pengadaan kapal 20 penumpang ( 5
GT); c. Pengadaan kapal 50 penumpang; d. Pengadaan kapal barang dan
penumpang; e. Pembangunan dermaga; f. Jaringan komunikasi dan informasi
desa; g. Peningkatan pembelajaran berbasis
alat peraga SD, SMP dan SMA; h. Peningkatan infrastruktur sarana
computer pendidikan untuk SD, SMP, SMA dan SMK;
i. Pengembangan potensi sumber daya di daerah pesisir;
j. Pengadaan keramba jaring apung (KJA);
k. Pembangunan (pengadaan) fasilitasi air bersih;
l. Pembangunan tambatan perahu; m. Pengadaan budidaya rumput laut.
Direktorat Pengembangan Daerah Pulau Kecil dan Terluar
3.4 Kerangka Regulasi
Kerangka regulasi dimaksudkan untuk memberi arahan dan landasan (regulasi) dalam
melaksanakan kegiatan penyelenggaraan Negara dan pembangunan, dengan muatan
indikasi atau arahan kebijakan mengenai rancangan peraturan perundang-undangan yang
diusulkan dalam waktu tertentu (RPJMN ataupun RKP).
46
Mempertimbangkan efisiensi anggaran yang terbatas serta berbagai dampak lain
yang sangat signifikan bagi masyarakat dan penyelenggaraan pembangunan, maka proses
penanganan kerangka regulasi sejak proses perencanaan juga dimaksudkan untuk
meningkatkan kualitas peraturan perundang-undangan nasional yang tertib sehingga
memungkinkan setiap tindakan dapat memberikan manfaat yang lebih optimal. Inti dari
kerangka regulasi adalah upaya mewujudkan tertib peraturan perundang-undangan sejak
tahapan yang sangat awal, yaitu tahapan perencanaan dan penganggaran.
Oleh karena itu, beberapa produk regulasi yang perlu dipersiapkan oleh Ditjen PDTu
ke depannya antara lain:
1) Kepmen Penetapan Kelompok Kerja Pengembangan Daerah Tertentu;
2) Permen Penetapan indikator dan kriteria daerah tertentu;
3) Perpres Penetapan daerah tertentu dalam skala nasional;
4) Permen Penetapan Strategi Nasional (STRANAS) Pengembangan Daerah Tertentu
Tahun 2015-2019;
5) Permen Penetapan Rencana Aksi Nasional (RAN) Pengembangan Daerah Tertentu
Tahun 2015-2019;
6) PerDitjen Pedum tentang bantuan Pembangunan Daerah Tertentu
7) Pedoman Juklak/Juknis berkaitan dengan Penanganan Daerah Rawan Pangan,
Pengembangan Daerah Perbatasan, Penanganan Daerah Rawan Bencana,
Penanganan Daerah Pasca Konflik, dan Penanganan Daerah Pasca Konflik
3.5 Kerangka Kelembagaan
Salah satu upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance)
adalah dengan melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem
penyelenggaraan pemerintahan melalui pelaksanaan reformasi birokrasi. Reformasi
birokrasi adalah langkah strategis untuk membangun aparatur Negara agar lebih berdaya
guna dan berhasil guna dalam mengemban tugas pemerintahan dan pembangunan
nasional.
Di bidang kelembagaan, strategi yang dilakukan dalam mendukung pelaksanaan
reformasi birokrasi yang bertujuan mewujudkan kelembagaan pemerintah yang
proporsional, efektif dan efisien sesuai dengan arah kebijakan dibidang pendayagunaan
aparatur Negara.
47
Kebijakan penataan kelembagaan diharapkan merupakan suatu langkah awal dari
proses reformasi birokrasi dalam rangka mendukung terwujudnya good govemance. Selain
itu, langkah kebijakan penataan tersebut didasarkan pada visi, misi, sasaran, strategi,
agenda kebijakan, program, dan kinerja kegiatan yang terencana, dan diarahkan pada
terbangunnya sosok birokrasi yang rightsizing, efisien, efektif, akuntabel, serta terjalin
dengan jelas satu sama lain sebagai satu kesatuan birokrasi nasional.
Di samping itu, upaya penataan kelembagaan tersebut dilakukan agar tercipta good
public governance dengan melakukan pembenahan dan penataan ulang terhadap tugas,
fungsi, dan struktur organisasi dengan berdasarkan kepentingan bangsa dan negara serta
melalui pertimbangan yang matang bukan didasarkan pada politik kepentingan jangka
pendek.
Oleh karena itu, beberapa produk kelembagaan yang perlu dipersiapkan oleh Ditjen
PDTu ke depannya antara lain:
1) Penguatan kapasitas kelembagaan yang terdiri dari penataan organisasi, Manajemen
SDM dan Ketatalaksanaan dengan perbaikan bisnis proses agar proses sinergi
kelembagaan baik internal Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi maupun dengan
Kementerian/Lembaga terkait melalui dengan proses bisnis sebagai berikut:
1. Daerah tertentu dikelompokkan berdasarkan geografis yaitu daerah perbatasan
dan pulau kecil terluar dan kelompok didasarkan atas kondisi yang diakibatkan
oleh kejadian tertentu yang menimbulkan kerawanan yang masuk dalam aspek
pangan, bencana alam dan konflik sosial. Pengembangan daerah tertentu
merupakan upaya keberpihakan dan penajaman terutama dalam perumusan
kebijakan, pelaksanaan kebijakan, bimbingan teknis dan monitoring evaluasinya.
2. Bussines Process (NOMOR NOL) pengembangan daerah tertentu diawaii dengan
berdasarkan proses kebijakan kelembagaan (Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun
2015 tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi) dan regulasi (Peraturan Menteri Nomor 6 Tahun 2015 tentang
Susunan Organisasi Tatalaksana Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi) .
3. Pengembangan daerah tertentu berdasarkan geografis lebih focus untuk
PENGEMBANGAN dibagi menjadi Direktorat Daerah Perbatasan dan Direktorat
48
Daerah Pulau Kecil Terluar, sedangkan berdasarkan kejadian tertentu lebih fokus
untuk PENANGANAN dibagi menjadi Direktorat Daerah Rawan Pangan, Direktorat
Daerah Rawan Bencana dan Direktorat Daerah Pasca Konflik.
4. Dalam menyusun Inkuiri Locus dan Focus Prioritas Pengembangan Daerah
Tertentu (NOMOR SATU), maka masing-masing direktorat akan berkoordinasi
dengan mitra kerja utamanya untuk mendapatkan data dan informasi yang
dibutuhkannya. Direktorat Direktorat Daerah Perbatasan dan Direktorat Daerah
Pulau Kecil Terluar akan berkoordinasi (mendapatkan masukan) dari Badan
Nasional Penanggulangan Perbatasan, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan,
sedangkan Direktorat Daerah Rawan Pangan, Direktorat Daerah Rawan Bencana
dan Direktorat Daerah Pasca Konflik akan berkoordinasi (mendapatkan masukan)
dari Kementerian Pertanian/Badan Ketahanan Pangan, Badan Nasional
Penanggulangan Bencana, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Sosial.
Disamping itu, masing-masing direktorat juga meminta masukan dari pemerintah
daerah dan masyarakat.
Oleh karena itu, kualitas hasil Inkuiri locus dan focus prioritas pengembangan
daerah tertentu sangat ditentukan atas kualitas koordinasi dan sinkronissi dengan
mitra kerja utama dari masing-masing direktorat.
5. Dalam upaya mendukung dan merealisasikan rumusan kebijakan dari penyusunan
inkuiri locus dan focus prioritas tersebut, maka Direktorat Jenderal
Pengembangan Daerah Tertentu menyusun program unggulan yang akan dicapai
pada masing-masing Direktorat, antara lain:
1) Pengembangan Kawasan Beranda Indonesia (PKBI), dalam mewujudkan
“save villages” di perbatasan Indonesia yang mengembangkan kemandirian
desa-desa di perbatasan yang maju, sejahtera, dan tercukupi sarana dan
prasarana dasarnya, sehingga menjadi kawasan sabuk pengaman bagi wilayah
NKRI.
2) Pengembangan Pulau Kecil Berdaya (P2KB), dalam mengembangkan dan
memberdayakan pulau kecil dan terluar yang memiliki daya ungkit bagi
pulau-pulau disekitarnya, berbasis pada pemanfaatan sumberdaya lokal
untuk kesejahteraan masyarakat pulau kecil dan terluar secara berkelanjutan.
49
3) Penanganan Daerah Tangguh Bencana (PKTB), dalam meningkatkan
kapasitas pemerintah daerah menghadapi bencana, khususnya dalam
pengurangan risiko bencana secara mandiri dan berkekelanjutan.
4) Penanganan Daerah Tangguh Pangan (PDTP), dalam meningkatkan
kapasitas Pemerintah Daerah dan masyarakat sebagai kawasan tangguh
menghadapi kerawanan pangan melalui kemandirian pengelolaan sumber
daya lokal berdaya saing;
5) Penganganan Daerah Tangguh Konflik (PDTK), dalam meningkatkan
kapasitas Pemerintah Daerah sebagai daerah yang tangguh dalam
penanganan paska konflik, melalui pengurangan risiko konflik dan
pembangunan perdamaian yang berkelanjutan.
Melaksanakan kerjasama dengan kementerian/lembaga dan perguruan tinggi maupun
instansi terkait lain antara lain dengan :
A. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Agraria dan
Tata Ruang/BPN mengenai
1. Percepatan penyelesaian perubahan peruntukkan hutan untuk kawasan
transmigrasi, permukiman, fasilitas umum, fasilitas sosial dan lajan garapan
masyarakat yang ada dalam kawasan hutan
2. Pencadangan kawasan hutan untuk ketahanan pangan dan/atau tanaman
pangan
3. Alokasi perkebunan untuk masyarakat yang berasal dari pelepasan kawasan
hutan
4. Sinkronisasi dan harmonisasi rencana tat ruang
5. Redistrinusi dan percepatan sertifikasi tanah
6. Percepatan penangan sengketa dan konflik pertanahan
7. Penelitian dan pengembangan secara terpadu
B. Badan Informasi Geospasial mengenai :
1. Penyelenggaraan informasi geospasial temtamg potensi sumber daya alam
dan lingkungan hidup sesuai dengan kebutuhan penyususnan tata ruang
pengembangan desa, daerah tertinggal dan transmigrasi
2. Pembangunan infrastruktur simpul jaringan informasi geospasial
50
3. Berbagi-pakai data dan informasi geospasial
4. Peningkatan kapasitas SDM terkait informasi geospasial dan pembangunan
desa, daerah tertinggal dan transmigrasi
5. Pelaksanaan sosialisasi, bimbingan dan pelayanan informasi untuk
mempercepat pembangunan desa, daerah tertinggal dan transmigrasi
Kegiatan lain yang dipandang perlu dan disetujui oleh PARA PIHAK
C. Badan Pengkajiaan dan Penerapan Teknologi mengenai :
1. Pengkajian Aplikasi kebijakan teknologi yang meliputi inovasi, difusi, daya
saing dan audit tehnologi berbasis sumberdaya yang di miliki daerah,
kelembagaan kawasan transmigrasi
2. Penerapan teknologi yang meliputi teknologi agroindustri dan bioteknologi,
informasi, energi dan material, serta rancang bangun dan rekayasa
51
BAB IV
TARGET KINERJA DAN KERANGKA PENDANAAN
IV.1. Target Kinerja
Sebagaimana sasaran strategis Ditjen PDTu sesuai dengan tujuan yang telah
ditetapkan maka target sesuai dengan indikator masing-masing sasaran strategis (Program)
adalah sebagai berikut:
TABEL 4.1
SASARAN STRATEGIS (PROGRAM) DAN INDIKATOR KINERJA
Sasaran Strategis
Indikator Kinerja Target
2015 2016 2017 2018 2019
Terentaskannya
Daerah
Tertinggal di
Daerah
Tertentu
Jumlah daerah tertinggal
yang memiliki karakteristik
kewilayahan dan kondisi
situasional tertentu yang
terentaskan minimal di 50
daerah tertinggal di daerah
tertentu
- 7 13 15 15
Meningkatnya pengembangan daerah perbatasan dan daerah pulau kecil dan terluar
Prosentase kualitas sarana-
prasarana dasar dan
aksesibilitas yang dihasilkan
60% 70% 80% 90% 100%
Jumlah Kecamatan sebagai
Lokasi Prioritas (Lokpri) yang
tersebar di 41 kabupaten
50 kec 90 kec 120 kec 165 kec 187 kec
Jumlah Kabupaten yang
terkonektifitas, sarana
prasarana dasar yang
memiliki pulau kecil dan
pulau terluar
29 kab 29 kab 29 kab 29 kab 29 kab
Meningkatnya Penanganan daerah rawan pangan, daerah rawan bencana, dan daerah pascakonflik.
Prosentase ketersediaan sapras pendukung dalam penanganan bencana, rawan pangan, dan konflik sosial .
60% 70% 80% 90% 100%
Jumlah kabupaten daerah rawan pangan yang ditangani
20 kab 30 kab 40 kab 50 kab 57 kab
Jumlah Kabupaten rawan bencana menjadi tangguh
20 kab 30 kab 40 kab 50 kab 57 kab
52
bencana Jumlah Kabupaten bebas daerah rawan dan pasca konflik
16 kab 16 kab 16 kab 16 kab 16 kab
IV.2. KERANGKA PENDANAAN
Sesuai target kinerja masing-masing indikator kinerja yang telah ditetapkan maka
kerangka pendanaan untuk mendukung pencapaian tujuan dan sasaran strategis (Program)
Ditjen PDTu periode 2015-2019 adalah sebagai berikut:
TABEL 4.2 SASARAN STRATEGIS, INDIKATOR KINERJA DAN PENDANAAN
Sasaran Strategis
Indikator Kinerja
Alokasi (Rp Milyar) PIC
2015 2016 2017 2018 2019
Terentaskannya
Daerah
Tertinggal
di Daerah
Tertentu
Jumlah daerah
tertinggal
yang memiliki
karakteristik
kewilayahan
dan kondisi
situasional
tertentu yang
terentaskan
minimal di 50
daerah
tertinggal di
daerah
tertentu
1.495.665.000 650,217,849 226.224.766 262,792,792 262,792,792 Semua UKE II
Meningkatnya pengembangan daerah perbatasan dan daerah pulau kecil dan terluar
Prosentase kualitas sarana-prasarana dasar dan aksesibilitas yang dihasilkan
20.000.000 36,000,000 27.000.000 35,296,528 35,296,528 Sesditjen
Jumlah Kecamatan sebagai Lokasi Prioritas (Lokpri) yang
570.265.000 601,588,536 76.780.000 98,690,900 98,690,900 Direktorat
PDP
53
tersebar di 41 kabupaten
Jumlah Kabupaten yang terkonektifitas, sarana prasarana dasar yang memiliki pulau kecil dan pulau terluar
695.670.000 508,663,758 48.570.783 58,832,600 58,832,600 Direktorat
PDPKT
Meningkatnya Penanganan daerah rawan pangan, daerah rawan bencana, dan daerah pascakonflik.
Prosentase ketersediaan sapras pendukung dalam penanganan bencana, rawan pangan, dan konflik sosial .
20.500.000 20,098,545 20.669.523
20,000,000 20,000,000 Setditjen
Jumlah kabupaten daerah rawan pangan yang ditangani
63.840.000 46,878,998 31.200.000 34,100,000 34,100,000 Direktorat
PDRP
Jumlah Kabupaten rawan bencana menjadi tangguh bencana
56.990.000 37,538,685 13.259.160 8,706,084 8,706,084 Direktorat
PDRB
Jumlah Kabupaten bebas daerah rawan dan pasca konflik
69.400.000 39,099,918 8.745.300 7,166,680 7,166,680
Direktorat PDPK
54
BAB V
PENUTUP
Renstra Ditjen PDTu periode 2015-2019 adalah panduan pelaksanaan tugas pokok
dan fungsi Ditjen PDTu untuk 5 (lima) tahun ke depan. Keberhasilan pelaksanaan Renstra
Ditjen PDTu periode 2015-2019 sangat ditentukan oleh kesiapan kelembagaan,
ketatalaksanaan, SDM dan sumber pendanaannya serta komitmen semua pimpinan dan staf
Ditjen PDTu. Selain itu, untuk menjamin keberhasilan pelaksanaan Renstra Ditjen PDTu
periode 2015-2019 ini, maka setiap tahun perlu dilakukan evaluasi. Apabila diperlukan,
dapat dilakukan perubahan/revisi muatan Renstra Ditjen PDTu termasuk indikator-indikator
kinerjanya yang dilaksanakan sesuai dengan mekanisme yang berlaku dan tanpa mengubah
tujuan Ditjen PDTu
Renstra Ditjen PDTu periode 2015-2019 harus dijadikan acuan kerja bagi unit-unit
kerja di lingkungan Ditjen PDTu sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing.
Diharapkan semua unit kerja dapat melaksanakannya dengan akuntabel serta senantiasa
berorientasi pada peningkatan kinerja lembaga, unit kerja dan kinerja pegawai.
Evaluasi Renstra Ditjen PDTu ini merupakan bagian yang penting dalam pelaksanaan
perencanaan strategis Ditjen PDTu, sehingga hasil pencapaiannya dapat diukur dan
dipergunakan sebagai acuan dalam penyusunan laporan kinerja tahunan Ditjen PDTu.
Mekanisme evaluasi terhadap proses pelaksanaan perencanaan strategis Ditjen
PDTu dilakukan sesuai Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara
Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan.
Ditjen PDTu melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program dalam Renstra
Ditjen PDTu. Hasil evaluasi tersebut disampaikan ke Menteri PPN/Kepala Bappenas paling
lambat 4 (empat) bulan berakhir. Evaluasi dilakukan dengan maksud untuk dapat
mengetahui dengan pasti apakah pencapaian hasil, kemajuan dan kendala yang dijumpai
dalam pelaksanaan rencana pembangunan dapat dinilai dan dipelajari untuk perbaikan
pelaksanaan rencana pembangunan di masa yang akan datang.
55
Fokus utama evaluasi diarahkan kepada keluaran (outputs), hasil (outcomes), dan
dampak (impacts) dari pelaksanaan rencana pembangunan. Adapun indikator yang
dipergunakan dalam evaluasi ini meliputi indikator masukan, indikator keluaran, dan
indikator hasil/manfaat.
Di dalam pelaksanaannya, kegiatan evaluasi dilakukan pada berbagai tahapan yang
berbeda, yaitu;
1. Evaluasi pada Tahap Perencanaan (ex ante), yaitu evaluasi dilakukan sebelum
ditetapkannya rencana pembangunan dengan tujuan untuk memilih dan menentukan
skala prioritas dari berbagai alternatif dan kemungkinan cara mencapai tujuan yang
telah dirumuskan sebelumnya;
2. Evaluasi pada Tahap Pelaksanaan (on going), yaitu evaluasi dilakukan pada saat
pelaksanaan rencana pembangunan untuk menentukan tingkat kemajuan pelaksanaan
rencana dibandingkan dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya, dan
3. Evaluasi pada Tahap Pasca Pelaksanaan (ex post), yaitu evaluasi yang dilaksanakan
setelah pelaksanaan rencana berakhir, yang diarahkan untuk melihat apakah pencapaian
(keluaran/hasil/dampak) program mampu mengatasi masalah pembangunan yang ingin
dipecahkan. Evaluasi ini digunakan untuk menilai efisiensi (keluaran dan hasil
dibandingkan masukan), efektivitas (hasil dan dampak terhadap sasaran), ataupun
manfaat (dampak terhadap kebutuhan) dari suatu program.
Evaluasi dilakukan terhadap pelaksanaan Renstra Ditjen PDTu untuk menilai efisiensi,
efektivitas, manfaat, dampak, dan keberlanjutan dari suatu program. Dalam hal ini yang
dimaksud dengan evaluasi terhadap keberlanjutan harus dapat menjawab pertanyaan:
1. Apa yang terjadi dengan program/kegiatan setelah aktivitasnya selesai;
2. Bagaimana target group dapat melakukan aktivitas;
3. Bagaimana pengelolaan pekerjaan bila pendanaan program/kegiatan selesai;
4. Apakah program akan dilanjutkan, bagaimana rencana pendanaannya.
Kriteria keberlanjutan meliputi kriteria: teknis, manajerial, sosial, dan finansial.
56
1. Secara teknis, apakah teknologi dan metoda yang dikembangkan dalam pelaksanaan
program telah sesuai. Apakah bahan baku dan peralatan yang diperlukan dapat
diadakan dan dipelihara sendiri oleh penerima manfaat (beneficiaries);
2. Secara manajerial: siapa yang bertanggung jawab untuk mengelola hasil program yang
telah selesai dilaksanakan;
3. Dari sudut pandang sosial: apakah manfaat program akan terus diterima masyarakat
setelah program selesai dilaksanakan;
4. Secara finansial: bagaimana menutup biaya operasi dan pemeliharaan jika pelaksanaan
program dihentikan.
Evaluasi dilakukan berdasarkan sumberdaya yang digunakan serta indikator dan
sasaran kinerja keluaran untuk kegiatan; dan/atau indikator dan sasaran kinerja hasil untuk
program.
Evaluasi dilaksanakan secara sistematis, obyektif, dan transparan. Dalam hal ini yang
dimaksud dengan sistematis adalah proses pelaksanaan evaluasi dilaksanakan sesuai dengan
tata urut sehingga hasil dan rekomendasi dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan yang
dimaksud dengan obyektif adalah hasil evaluasi tidak dipengaruhi oleh kepentingan
pelaksana kegiatan dan/atau program. Dan yang dimaksud dengan transparan adalah
proses perencanaan, pelaksanaan serta pertanggungjawaban hasil evaluasi harus diketahui
oleh pemangku kepentingan (stakeholders).
Ditjen PDTu akan menyediakan informasi pengendalian dan evaluasi pelaksanaan
rencana yang diperlukan oleh pelaku pembangunan mengenai perkembangan pelaksanaan
rencana pembangunan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku.
top related