disfungsi mandibula 2-11
Post on 13-Aug-2015
95 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sindrom Disfungsi Mandibula
Dalam ilmu kedokteran, sindrom adalah kumpulan dari gejala-gejala yang
secara kolektif mengindikasikan atau menjadi karakteristik dari suatu penyakit,
penyimpangan psikologis ataupun keadaan yang menyimpang. Istilah sindrom dapat
digunakan hanya untuk menggambarkan berbagai karakter dan gejala, bukan
diagnosa. Namun terkadang, beberapa sindrom dijadikan nama penyakit (The
American Heritage, 2000)
Pada sindrom disfungsi mandibula, pasien mungkin mengeluh mengenai satu
atau beberapa simtom berikut ini : keterbatasan gerak rahang, terganggunya fungsi
sendi (kliking, krepitus, deviasi sewaktu membuka mulut), nyeri otot, nyeri sendi dan
wajah, dan nyeri sewaktu menggerakkan mandibula. Daftar ini dibuat mengikuti
indeks disfungsi mandibula dari Heltimo. Sakit dan nyeri tekan biasanya bersifat
unilateral tetapi bisa berubah dari satu sisi ke sisi yang lain. Pasien mungkin
mengeluh sulit membuka mulut atau makan, dan bisa menyebabkan “terkuncinya”
sendi mandibula. Adakalanya dikeluhkan sakit kepala dan nyeri di leher serta bahu.
Pasien biasanya dapat menunjukkan daerah yang sakit pada wajah dan leher serta
pada kondilusnya sendiri. Gejala umumnya bersifat intermeiten dan sering mereda,
misalnya selama masa liburan. Dengan demikian, terlihat juga bahwa faktor
psikologis ikut terlibat dan ini akan dikembangkan. Hal ini menunjukkan adanya
komponen ketegangan dan sekarang dipercayai secara luas bahwa respons terhadap
stres akan menimbulkan ketegangan otot yang kemudian menimbulkan nyeri
(Thomson, 2007).
Newton (1984) mengatakan bahwa daerah yang paling sering terkena sindrom
ketegangan adalah otot posterior dari leher dan daerah oksipital, otot punggung
bagian bawah, dan beberapa otot bahu. Ia juga menambahkan bahwa isitilah “sindrom
sendi temporomandibula” tidak tepat karena sendi itu sendiri jarang terkena secara
patologis (Thomson, 2007).
Beberapa survei mengenai disfungsi sistem mastikasi sudah dilakukan di
Swedia. Berdasarkan penelitian tersebut, Helkimo (1976) memperkenalkan indeks
disfungsi yang mengklasifikasikan gejala secara numerik sesuai dengan
keparahannya. Survei ini dan kritikan van der Veele dkk. sudah pernah disinggung
dalam telaah literatur. Di antara berbagai kelas disfungsi yang berlainan, perbedaan
tipe-tipe interferensi oklusal yang bervariasi tidak bermakna. Meskipun demikian,
keadaan gigi-geligi yang di periksa umumnya buruk dan rata-rata hanya sedikit gigi
yang tersisa dengan frekuensi pemakaian protesa penuh yang lebih tinggi pada pasien
yang mempunyai gejala daripada pasien yang tidak bergejala. Tidak ada perbedaan
yang bermakna pada derajat disfungsi antara laki-laki dan perempuan atau antara
kelompok umur (Thomson, 2007).
2.1.1 Patologi
Respons patologis terhadap aktivitas yang berlebihan didemonstrasikan oleh
Christensen dan Moesmann (1967) melalui penelitiannya pada manusia dan hewan.
Mereka menyimpulkan bahwa suatu kondisi “fibrositis otot” dapat disebabkan oleh
hiperfungsi otot yang menimbulkan lesi mekanis pada jaringan ikat interfibrilar dan
mengakibatkan terjadinya radang aseptik yang serius. Jadi, di sini diperlihatkan
suatau reaksi patologis pada otot dan merupakan satu-satunya bukti histopatologis
sampai saat ini (Thomson, 2007).
Anggapan bahwa penyebab MDS adalah otot kurang mendapat dukungan dari
penelitian patologis. Kelelahan, spasme, cedera intramuskular, dan kelainan otot
adalah suatu kemungkinan penyebab nyeri dan disfungsi. Seperti disebutkan pada
telaah literatur, telah dilakukan penelitian histopatologi oleh Christensen dan
Moesmann (1967), yang menetapkan diagnosis inflamasi aseptik serosa dari jaringan
ikat otot. Keadaan ini dikenal dengan istilah lebih umum yakni “fibrositis otot dan
dianggap berkaitan dengan hiperfungsi otot. Osteoartritis (Blackwood, 1963)”
didiagnosis dari penelitian postmortem pada pasien-pasien yang mengalami gejala
sendi tetapi kelompok umurnya jauh lebih tua dibandingkan yang biasa ditemukan
pada MDS (Thomson, 2007).
Perubahan viskositas cairan sinovial bisa merupakan respons patologis terhadap
toksin yang beredar dalam tubuh dan merupakan penyebab krepitus. Kelihatannya
tidak mungkin keadaan ini berhubungan dengan disfungsi mandibula, walaupun gerak
kondilus protusi bisa memperberat kndisi ini. Sebaliknya, efusi dari cairan jaringan
ini ke ruang sendi, yang menimbulkan pembengkakan dan nyeri, merupkan cerminan
dari respons terhadap cedera atau disfungsi yang sudah berlangsung lama. Relasi
oklusal barangkali terpengaruh semantara dan istirahat dari fungsi oklusal
diperlakukan untuk mencegah kerusakan (Thomson, 2007).
Berry (1963) mengatakan bahwa semua metode perawatan menimbulkan
perubahan gerak mastikasi dan masing-masing metode ini mempunyai kegunaan.
Franks (1965) menggambarkan suatu pola gerakan yang terganggu akibat perubahan
oklusi yang mengakibatkan perubahan pada ambang eksitabilitas dari neuron yang
mengatur gerak rahang. Ia mengatakan bahwa ambang ini dapat diubah oleh pengaruh
dari sistem saraf pusat (seperti stres emosional), yang mengakibatkan aktivitas
hipertonik. Sebaliknya, Yemm (1969a, b) mengatakan bahwa kontak prematur antara
gigi-gigi yang berantagonis merupakan faktor sekunder dari kelainan otot atau sendi.
Newton (1969) mengatakan bahwa aksi protusi secara refleks dari otot mastikasi bisa
terganggu oleh rangsangan dari pusat yang lebih tinggi, yang bekerja melalui
pembentukan retikular dan merangsang terjadinya kontraksi yang kuat pada otot
elevator. Berry (1969) menduga adanya hubungan antara penyakit-penyakit ringan
yang kronis dengan nyeri sendi dan bahwa kondisi ini berasal dari sumber yang sama,
yang mengindikasikan adanya persepsi sentral dari keadaan stres yang dimediasi oleh
fungsi hipotalamus. Jadi, nyeri yang timbul pada beberapa orang bisa berasal dari
sendi atau gangguan otot tetapi pada orang yang lain bukan berasal dari sumber
tersebut (Thomson, 2007).
Laskin (1969) menduga adanya penyebab psikofisiologis dari kelelahan akibat
kebiasaan mulut yang kronis yang sering dilakukan secara tidak sadar dan guna
mengurangi ketegangan. Karena faktor yang mengawalinya biasanya bersifat
emosional daripada fisik, perawatannya harus diarahkan ke aspek ini. Perbaikan dari
konflik yang melatarbelakangi timbulnya kebiasaan rongga mulut ini mungkin sukar,
walaupun dengan psikoterapi, sehingga dianjurkan untuk melakukan pendekatan
secara tim (Thomson, 2007).
Moulton (1957) seorang psikiater, meneliti 35 pasien dengan nyeri sendi
mandibula. “sekurangnya separuh”, katanya, “menyadari memiliki kehidupan yang
telah mencapai klimaksnya”. Separuh lainnya mengkaitkan nyeri ini dengan “trauma
berlebihan pada daerah gigi”. Jadi, kecemasan dan stres dikaitkan dengna sindrom ini,
dan nyeri psikogenik beserta dengan efek fasial menjadi suatu entitas klinis. Telah
digunakan perangkat alat untuk terapi guna memugar cacat oklusal dan mengontrol
kebiasaan parafungsi (bruksisme). Thomson (1959) memeriksa dan merawat 100
pasien, beberapa diantaranya dirawat dengan perangkat alat dan memperoleh
keberhasilan 70%. Pada saat bersamaan ia juga meneliti 100 pasien dengan distribusi
usia yang sama dan menemukan insidens disfungsi oklusal yang sama tetapi tanpa
gejala nyeri, kecuali pada 18 kasus dengan nyeri yang dirasakan pada salah satu sendi
tetapi hilang dengan sendirinya tanpa dirawat. Penelitian ini diulangi pada tahun 1971
dengan hasil yang sama, tetapi dengan menambahkan kesadaran akan peran stres
emosional dalam riwayat penyakitnya seperti disebutkan oleh para pasien yang
ditelitinya (Thomson, 2007).
Rough dan Solberg (1976) membahas dampak psikologis pada kelainan sendi
mandibula tetapi tidak dapat mengkaitkannya dengan satu kerangka acuan saja.
Mereka menemukan sedikit bukti yang mengindikasikan bahwa komponen psikologis
“berkorelasi dengan satu trait kepribadian tertentu”, dan bahwa komponen ini
memiliki “etiologi multigaktor yang bekerja pada organ target” (Thomson, 2007).
Molin (1937) melakukan penelitian komperhensif terhadap aspek psikologik
dan psikiatrik dari sindrom ini. Lebih lanjut, ia juga mengestimasi toleransi nyeri dan
mengukur daya otot yang digunakan dengan elektromiografi. Kelompok nyeri dan
kelompok kontrol juga diperiksa. Molin menemukan bahwa skor untuk “kerentanan
terhadap kecemasan” dan “ketegangan otot” lebih tinggi pada kelompok nyeri.
Terkait dengan masalah tentang bagaimana meredakan gerakan rahang parafungsi,
diperkenalkan sistem umpan-balik (biofeedback). Sistem ini memungkinkan pasien
melihat (atau mendengar) apa yang terjadi dalam otot mereka dan bagaimana gerak
yang berbahaya dapat dikendalikan. Ketika diterapkan oleh Berry dan Wilmot (1977)
dengna menggunakan Mytron 220, 24 dari 35 pasien merasa tertolong dalam waktu
kurang dari 2 bulan, 7 pasien dalam waktu 3-5 bulan, 2 relaps sudah respons awal
yang baik (mereka mungkin menderita depresi) dan 2 tidak datang. Keberhasilan
yang lebih mutakhir dilaporkan oleh Carlsson dan Gale (1977), Stenn, Mothersill dan
Brooke (1979), Wepman (1980) dan Hijzen, Slangen dan van Houweligen (1986).
Penelitian mengenai kombinasi umpan balik dan antidepresan oeleh Gassel dan
Alderman (1975) juga memberikan kontribusi yang berharga. Bukti lebih lanjut dari
respons patologis dalam otot wajah diberikan oleh Berry dan Yemm (1974) dan
Yemm (1976) yang melaporkan bahwa percobaan mengukur temperatur pada kulit di
atas otot masseter (dengan mengukur emisi sinar inframerah) menunjukkan bahwa
kulit di atas daerah otot yang nyeri lebih panas daripada daerah yang sama di sisi
lainnya. Akan tetapi, Yemm (1976) mengatakan bahwa walaupun nyeri dan rasa tidak
enak dari disfungsi sendi mandibula dapat timbul hanya dari otot rahang, jangan
sampai diabaikan kemungkinan adanya kerusakan sendi akibat cedera atau penyakit
(Thomson, 2007).
Juniper (1987) menambahkan pendapatnya dalam bahasan ini dengan mengutip
Yemm (1969) dan Rugh dan Solberg (1976) yang menunjukkan bahwa reaksi
terhadap stres pada pasien dengan tanda dan gejala disfungsi sendi temporo
mandibula adalah berupa kontraksi otot masseter yang berlebihan. Selanjutnya
dikatakannya bahwa otot pterigoideus medial juga berkontraksi dan membebani
meniskus pada tendon insersinya. Jika hiperaktivitas ini berlangsung terus, akan
terjadi kerusakan yang semakin parah, sering kali dalam episode yang berkaitan
dengan meningkatnya stres psikologis. Ini semua disebutkan pada artikel mengenai
patogenesis disfungsi sendi temporomandibula dan pantas mendapatkan penelitian
lebih lanjut (Thomson, 2007).
Akhirnya, Lundeen, Sturdevant dan George (1987) menyinggung keterkaitan
antara hiperaktivitas otot dengan nyeri otot yang mempunyai korelasi bermakna
dengan deepresi dan gangguan aktivitas. Pemeriksaan pada pasien-pasien ini harus
meliputi pemeriksaan stres, depresi, dan tingkat aktivitas (Thomson, 2007).
2.1.2 Gejala-Gejala Pada Sindrom Disfungsi Mandibula
Salah satu atau beberapa gejala berikut ini bisa membantu dalam menentukan
diagnosis: Nyeri samar pada daerah preaurikular, nyeri selama pengunyahan, nyeri
sewaktu membuka mulut lebar-lebar, nyeri tekan di atas dan di depan kondilus,
keterbatasan membuka mulut, terkuncinya (fiksasi) mandibula, kekakuan mandibula
sewaktu bangun tidur, keletuk sendi pada waktu membuka dan menutup mulut, dan
krepitus atau bunyi gemertak pada rongga sendi. Dapat pula ditemui faktor-faktor
stres emosional dan ketakutan akan timbulnya rasa sakit pada wajah yang menambah
kecemasan. adanya stres sering kali bisa diketahui dengan mengajukan pertanyaan
tertentu, seperti apakah pasien merasa tegang ketika mengemudi, saat terlambat, dan
apakah ketegangan ini membuat pasien menggelutkan gigi. Di samping itu, udara
dingin atau lembap juga bisa dihubungkan dengan nyeri berulang (rekuren), seperti
juga dengan kondisi-kondisi lain yang mengenai sendi dan otot (Thomson, 2007).
Penjelasan mengenai keletuk, locking, nyeri, dan kepekaan yang dialami pada
MDS adalah sebagai berikut:
a. Keletuk dan bunyi-bunyi sendi mandibula yang lain
Fenomena ini dapat digambarkan sebagai suatu interferensi terhadap gerak
translatori kondilus dan meniskus selama gerak menutup dan membuka dari
mandibula. Lingir superior pada kondilus memungkinkan terjadinya interferensi antar
kondilus dan meniskus sewaktu keduanya bergerak. Normalnya, aktivitas otot adalah
sedemikian sehingga meniskus yang fleksibel bergerak mulus antara kondilus dan
eminentia. Jika posisi awal kondilus berubah (misalnya akibat perubahan posisi
interkuspa), arah gerakannya bisa berubah dan zona posterior yang lebih tebal secar
sementara terjebak antara kondilus dan eminentia. Respons neuromuskular biasanya
menghasilkan gerak adaptasi yang dibutuhkan untuk menyempurnakan gerak
membuka mulut. Penyimpangan gerak membuka untuk menghindari keletuk akan
terjadi dan akan muncul sekuen lebih lanjut dari kelutuk dan gerak adaptasi. Tidak
adanya serabut nyeri pada meniskus, membuat keletuk jarang sekali menimbulkan
nyeri, tetapi jika resistensi meningkat (misalnya karena meningkanya viskositas caran
sinovial) gerak yang diperlukan untuk meneruskan gerak membuka bisa
mengakibatkan robeknya serabut otot (pterigoideus lateralis). Akan terjadi adaptasi
lebih lanjut dengan nyeri dan kekakuan sebagai gejala yang menyertainya (Thomson,
2007).
Keletuk umunya terjadi selama gerak membuka mulut tetapi juga bisa terjadi
sesaat sebelum menutup meulut ketika meniskus bergerak ke belakang pada arah
yang sudah berubah (Thomson, 2007).
Fakta bahwa keletuk bisa dihilangkan dengan membuka mandibula dan
menutupnya pada sumbu retrusi atau dengan meletakkan bidang gigit (bite plane)
berkontak dengan insisivus bawah tepat sebelum gerak penutupan, mendukung
penjelasan ini. Jadi, perubahan posisi interkuspa adalah suatu kemungkinan penyebab
keletuk. Penyebab lain adalah gerak membuka mandibula yang berlebihan dan
mendadak yang mengakibatkan pergeseran meniskus atau clenching gigi yang
berkepanjangan sehingga pembukaan berubah akibat otot yang lelah (Thomson,
2007).
Keletuk juga bisa terjadi secara intermiten pada remaja akibat gerak adaptasi
sewaktu pertumbuhan sedang berlangsung. Namun di sinipun, keadaan tersebut bisa
dihindari dengan menutup dan membuka pada sumbu retrusi (Thomson, 2007).
Watt (1980) telah mengadakan penelitian terhadap 191 pasien dengna disfungsi
sendi mandibula, menggunakan rekaman sinkron dari bunyi sendi dan oklusal yang
berasal dari rekaman gnatosonik. Ia menunjukkan bahwa bunyi sendi
temporomandibula bervariasi antara siklus menutup dan membuka serta antara
berbagai kunjungan pasien. Bunyi sendi bisa diidentifikasi dari bunyi oklusal melalui
posisinya pada rekaman oklusal, bunyi yang terjadi 30 menit sebelum bunyi oklusal
utama bisa diinterpretasikan sebagai bunyi sendi. Watt mengklasifikasikan bunyi
tersebut menjadi keletuk dan krepitus, kemudian keduanya dikelompokkan lagi
menjadi lunak dan keras, bergantung pada kualitasnya. Lebih lanjut, ia
mengklasifikasikan bunyi menjadi “sempit”, “menengah”, dan “lebar” yang
mengindikasikan posisi rahang ketika bunyi terjadi. Ia juga menjelaskan bahwa
keletuk lembut adalah gerak mendadak dari ligamen, krepitus lembut (yang timbul
dan hilang) adalah efek permukaan dan tidak selalu berhubungan dengan tanda
anatomis, keletuk keras mungkin mengindikasikan adanya kelainan sendi dan sering
kali disertai dengan krepitus keras yang menunjuadanya cacat spesifik pada
permukaan sendi, krepitus keras (seperti bunyi sepatu menginjak batu-batuan) hampir
selalu tanda diagnostik dari perubahan artritis (Thomson, 2007).
Van wiligen (1979) melakukan analisis mengenai gerak kondilar sagital dari
keletuk sendi mandibula dengan menggunakan pantograf yang dicekatkan pada gigi-
gigi atas dan anterior bawah (permukaan labial) tanpa mengganggu oklusi yang ada
dan penutupan bibir. Kedua busur mempunyai fotoreseptor, dengan busur mandibula
ditempatkan diatas sumbu retrusi dan busur maksila yang statis digunakan sebagai
titik acuan. Dengan menggunakan skaner gerakan, posisi fotoreseptor pada bidang
sagital ditentukan menggunakan alat optik elektronik. Lima pasien disfungsi dengan
keletuk sendi dibandingkan dengan lima subjek tanpa gejala sendi mandibula.
Hasilnya menunjukkan bahwa pada kelompok yang mengalami keletuk terdapat
penyimpangan dari pola gerakan yang terlihat pada kelompok sehat. Diduga
penyebabnya adalah dislokasi dari diskusi (Thomson, 2007).
Fakta bahwa keletuk jarang menimbulkan respon patologis, baik pada jaringan
sendi maupun otot, menjelaskan sifat adaptasi dari jaringan-jaringan tersebut. Jadi
jika keletuk ditemukan sebagai salah satu gejala maka keadaan tersebut tidak bisa
disebut sebagai kelainan (Thomson, 2007).
b. Terkuncinya mandibula (fiksasi mandibula)
Gejala yang mengganggu ini, yang biasanya berlangsung pada posisi membuka
mulut, bisa merupakan suatu kelanjutan dari keletuk. Spasme otot yang mengikuti
keletuk persisten dapat membuat mandibula terkunci pada posisi tempat biasanya
terjadi keletuk., sehingga dapat diasosiasikan dengan posisi interkuspa yang berubah.
Dua sumber terkuncinya mandibula yang lainnya adalah pertama, spasme otot setelah
terjadinya cedera pada mandibula baik karena benturan atau regangan yang
berlebihan dan kedua spasme pada posisi subluksasi yang berhubungan dengan
bentuk eminentia artikulasi selama mas perkembangan yang memungkinkan kondilus
meluncur kedepan didepan eminentia. Dislokasi merupakan perluasan dari kondisi
yang terakhir ini. Kondisi sistem mastikasi yang tidak efektif juga bisa menimbulkan
spasme (trismus) yang kelihatannya protektif, tetapi perlu diteliti kebenarannya. Rasa
terkejut alih-alih dari nyeri merupakan tanda dari fiksasi rahang dan karena itu
menenangkan pasien serta terapi guna mengurangi kejang otot, merupakan cara
perawatan yang diperlukan (Thomson, 2007).
c. Nyeri
Pada MDS ada tiga faktor yang bisa diasosiasikan dengan nyeri, interferensi
tonjol yang mengakibatkan perubahan aktivitas otot mastikasi yang sudah mapan,
aktivitas parafungsi, dan gangguan emosi. Dua yang terakhir ini biasanya saling
berhubungan. Kombinasi dari ketiganya bahkan biasa memberikan penjelasan
(Thomson, 2007).
Perubahan diatas lebih mudah menimbulkan nyeri pada otot mandibula jika otot
sudah pernah terkena cedera. Didalam sendi, serabut-serabut nyeri saling beramifikasi
dengan pembuluh darah di dalam mebran sinovial dan peiosteum didekatnya, tetapi
meniskus tidak dipasok oleh serabut nyeri. Jadi baru jika meniskus tergeser terhadap
membran sendi akan timbul rasa nyeri. Oleh karena itu, nyeri sendi intrakapsular
yang bukan karena infeksi adalah akibat dari cedera yang relatif keras, seperti
misalnya dilokasi atau distraksi meniskus (karena spasme otot) terhadap membran
sendi. Nyeri sendi yang tidak begitu hebat pada sindrom ini kemungkinan adalah
akibat cedera otot yang diikuti dengan pembentukan jaringan parut, yang kelak akan
meregang selama gerakan rahang. Sifat nyeri yang unilateral menunjukan bahwa
pengunyahan yang berlebihan atau parafungsi pada satu sisi saja telah mengakibatkan
cedera dan bahwa gerak unilateral menunjukan bahwa pengunyahan yang berlebihan
atau parafungsi pada satu sisi saja telah mengakibatkan cedera dan bahwa gerak
unilateral yang sama memperhebat cedera tersebut (Thomson, 2007).
Peran interferensi tonjol bervariasi dari pergeseran kecil selama fungsi oklusi
sampai overclosure mandibula pada posisi interkuspa. Interferensi tonjol bisa timbul
akibat kebiasaan parafungsi atau tanggalnya gigi atau retorasi gigi yang tidak tepat,
tetapi aktivitas otot yang tidak relevan kelihatannya merupakan penyebab utama.
Efek perubahan aktivitas otot pada gigi geligi adalah terganggunya rangsangan
proprioseptif kepusat refleks yang bersangkutan. Keadaan ini bisa menimbulkan
gerak adaptasi yang toleran (misal pada anggota gerak) atau koordinasi yang buruk
dan spasme (seperti pada sendi yang nyeri atau kaku). Jika suatu lesi otot sudah
mapan, akan merupakan daerah aktivitas yang telah melemah dan impuls dari pusat-
pusat yang lebih tinggi cenderung diarahkan kesini. Faktor yang menentukan respons
adaptasi atau inkoordinasi adalah derajat aktivitas pada sistem limbus. Kelompok
struktur ini pada otak menentukan intensitas stimuli dari korteks oleh emosi seperti
marah, ketakutan, panik dan agresif. Stimuli ini harus bersiap untuk melakukan
tingkat aktivitas fisik yang memadai dan ini merupakan fungsi dari hipotalamus.
Jaringan sistem limbus dan hipotalamus dianggap saling brhubungan dalam aktivitas-
aktivitas seperti uasha fisik yang ditimbulkan oleh ansietas (Thomson, 2007).
Jadi interferensi tonjol, kebiasaan parafungsi, dan gangguan emosional saling
berhubungan dalam respons patologis yang melibatkan otot-otot sistem mastikasi.
Peran yang dimainkan oleh gangguan emosional pertama klai ditekankan pada dua
penelitian asli yang dilakukan oleh Moulton (1955a, b) mengenai manifestasi oral dan
dental dari ansietas. Penelitian lebih lanjut yang dilakukan oleh Molin (1973b)
melaporkan dua kelompok pasien dengna MDS dan satu kelompok kontrol yang
diperiksa untuk menentukan personal trait dan toleransi terhadap nyeri yang sengaja
dibuat. Ia menyimpulkan bahwa personality trait dan gangguan emosional berperan
penting dalam etiologi (Thomson, 2007).
Nyeri orofacial sebagai manifestasi manifestasi kelainan psikiatrik dilaporkan
oleh Harris dan Davies (1980). Mereka mengatakan bahwa “secara klinis sungguh
salah jika menganggap bahwa nyeri tersebut hanya mengada-ada belaka” dan bahwa
pada banyak kasus, nyeri timbul dari gangguan biokimia di dalam pembuluh darah,
otot, dan saraf, tanpa memiliki hubungan dengan aktivitas otot yang tidak relevan.
Juga, banyak pasien yang mengerotkan gigi-gigi dan sama sekali tidak mengalami
nyeri sendi maupun kelainan psikiatrik. Merupakan tuugas dokter gigi untuk bekerja
sama dengan psikiatris guna mencari metode untuk memeriksa sindrom ini tanpa
perlu merujuk pasien untuk memperoleh perawatan psikiatrik (Thomson, 2007).
Di luar perbedaan pendapat dalam hal penyebab nyeri wajah, kelihatannya ada
ketertkaitan antara stres emosional dengan aktivitas otot yang tidak relevan,
sementara gangguan oklusal berfungsi sebagai stimulus perifer untuk memulai atau
mengendalikan sindrom itu (Thomson, 2007).
d. Nyeri tekan
Nyeri pada palpasi paling umum terjadi di atas atau di depan kondilus dan
keadaan ini menunjukkan adanya keterlibatan daerah insersio otot pterigoideus
lateralis atau masseter. Kondilus itu sendiri bisa mengalami nyeri tekan, yang
menunjukkan kemungkinana adanya sinovitis. Nyeri tekan juga bisa terasa di dalam
mulut, di belakang, dan di lateral daerah tuberositas maksila tempat otot pterigoideus
lateralis dan medialis berorigo (Thomson, 2007).
e. Hubungan dengan penyakit ringan kronis
Seperti sudah pernah disebutkan terdahulu, Berry (1969) menemukan adanya
penyakit-penyakit ringan tertentu pada 100 kasus nyeri disfungsi mandibula. Penyakit
ini meliputi migren, nyeri punggung, leher, dan bahu, penyakit pruritus kulit, hay
fever, dan asma. Enam puluh empat persen dari sampel mengidap dua atau lebih
penyakit ini, Berry menduga bahwa asal kondisi ini adalah persepsi dari stres yang
dimediasi oleh fungsi hipotalamus (Thomson, 2007).
2.2 Pemeriksaan Sindrom Disfungsi mandibula
2.2.1 Anamnesa
Pertanyaan yang diajukan dengan hati-hati akan dapat menjalin hubungan yang
baik dengan pasien, yang selanjutnya akan menaruh rasa percaya terhadap dokter gigi
sehingga ia tidak hanya menceritakan kndisi yang dialaminya dengna akurat tetapi
juga merasakan bahwa kondisinya telah di rawat(Thomson, 2007).
a. Rasa sakit / nyeri
Bila pasien merasakan adanya rasa nyeri, maka yang paling penting untuk
diketahui adalah lokasi, sifat, dan lamanya terjadi rasa nyeri / sakit tersebut.waktu
timbunya rasa sakit juga dicatat, misalnya pagi hari atau setelah makan. Banyak
pasien yang dapat secara tepat menggambarkan sifat dari rasa sakit dan lokasi
anatomis maupun penyebarannya. Jika sakit kepala merupakan keluhan pasien, maka
penting untuk diketahui lokasi, sifat, frekuensi dan lama timbulnya sakit kepala
tersebut. Kegagalan / keberhasilan analgesik, baik yang diresepkan maupun yang
dibeli bebas sangat berarti dalam hal ini, karena merupakan indikator derajat
ketidakenakan yang timbul atau derajat ambang reaksi nyeri dari penderita.
Hilangnya rasa sakit / nyeri dengan pemijatan atau terapi panas / dingin juga
merupakan informasi yang penting (Pedersen, 1996)
b. Bunyi sendi
Jika pasien mengeluh adanya bunyi sendi atau kliking (suara berkeretek), maka
saat timbulnya dan perubahan pada suara sendi tersebut merupakan informasi yang
perlu diketahui. Banyak pasien menggambarkan volume bunyi sendi yang dialaminya
sebagai sesuatu yang memalukan pada saat makan. Jika kliking yang timbul diketahui
sebabnya, misalnya trauma yaitu benturan mandibula, perawatan gigi yang terlalu
lama, menguap terlalu lebar, maka hal tersebut juga dicatat. Keluhan kliking yang
kemudian menghilang secara spontan juga merupakan temuan yang penting
(Pedersen, 1996)
c. Perubahan luas pergerakan
Penyembuhan kliking sering kali diikiuti oleh keluhan terbaru, yaitu nyeri akut
dan berkurangnya luas pergerakan yang nyata, khususnya pada jarak antara insisal,
dimana penemuan ini merupakan petunjuk utama terjadinya keadaan closed-lock.
Close-lock yang timbul hilang dikatakan oleh penderita sebagai tertahannya atau
terkuncinya mandibula. Gambaran subyektif yang sering ditemukan pada
berkurangnya luas pergerakan ini adalah kekakuan rahang bawah. Keluhan yang
timbul biasanya adalah ketidak mampuan menggigit dalam berbagai derajat
pembukaan mulut. Karena spasme otot juga menyebabkan berkurangnya pembukaan
mulut, maka dibutuhkan satu diagnosis banding yang biasanya tidak bisa ditentukan
hanya melalui riwayat penyakit saja (Pedersen, 1996)
d. Perubahan oklusi
Beberapa penderita mengeluhkan perubahan gigitan, dengan menyatakan”gigi
saya tidak terkatup secara tepat atau tidak seperti biasa”. Keluhan ini dapat
merupakan tanda terjadinya perubahan degeneratif tingkat lanjut atau spasme otot
akut (Pedersen, 1996)
e. Informasi keadaan kolateral
Setelah riwayat utama diperiksa secara menyeluruh, selanjutnya dapat
dikumpulkan informasi keadaan kolateral. Kondisi-kondisi lain yang mengenai
kepala dan leher, seperti sinusitis akut atau kronis, sakit pada telinga, atau gangguan
pengelihatan dicatat. Kondisi sistemik seperti DJD, arthritis rheumatoid, arthritis
juvenile dapat berkaitan. Riwayat tentang kondisi obesitas, colitis ulseratif, hipertensi,
nyeri pinggang bagian bawah atau migraine juga dicatat (Pedersen, 1996)
f. Perawatan sebelumnya
Informasi mengenai perawatan sebelumnya seringkali juga membantu. Banyak
pasien dengan gangguan fungsi/penyakit TMJ memiliki riwayat panjang kunjungan
ke berbagai dokter, yang seringkali disertai dengan hasil yang tidak memuaskan.
Kronologi perawatan sebelumnya, baik pemberian obat, mekanisme, maupun secara
bedah juga dicatat. Seringkali pasien dengan seketika menceritrakan riwayat
perawatan gigi yang telah diterimanya, tapi melupakan perawatan yang diterimanya
dari chiropractor, osteopat, dan terapis fisik. Keikutsertaan praktisi-praktisi ini sering
hanya terungkap dengan mengajukan pertanyaan khusus (Pedersen, 1996)
g. Stres
Walaupun stres dikatakan memiliki peranan etiologis yang penting dalam
gangguan fungsi atau penyakit TMJ, cukup sulit untuk memperkirakan secara tepat
stress yang dialami penderita atau reaksi penderita dal;am menghadapinya. Seringkali
pasien menyatakan hubungan sebab-akibat antara pekerjaan baru, perceraian,
kematian, penyakit pada keluarganya atau hal-hal yang ditimbulkan oleh anggota
keluarganya dengan mulai timbulnya keadaan tersebut. Beberapa penderita bahkan
kemungkinan akan mengkaitan kualitas tidurnya yang rendah dengan mulai
timbulnya bruxism atau clenching dengan keadaan stress. Banyak menunjukkan
tingkat sterssnya melalui riwayat pemberian obat, yaitu penggunaan obat penenang
( tranquilizer), sementara yang lainnya secara sengaja ataupun tidak menutupi
kecemasannya. Untuk menentukan dengan tepat keadaan emosional pasien biasanya
dibutuhkan beberapa kunjungan dengan kemungkinan pengiriman/rujukan untuk
evaluasi psikologis, dan terapi control stress selanjutnya (Pedersen, 1996)
Diktum yang paling sering dikutip dari Sir William Osler bisa di terapkan di
sini: “Dengarkan pasien, ia sedang memberikan diagnosa kepada anda”. Pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan harus terbuka (apa yang anda rasa tidak enak?) bukan
tertutup (Apakah sendi anda terasa sakit?). deskripsi yang diberikan oleh pasien
mengenai apa yang terasa tidak enak memberikan tanggung jawab perawatan pada
dokter dan ini cenderung menghilangkan kekhawatiran. Pertanyaan mengenai lokasi,
waktu terjadinya, saat timbulnya, fungsi yang berkaitan dengannya, dan setiap
periode remisi, akan membantu menentkan diagnosis pendahuluan. Selanjutnya pasen
bisa ditenangkan dengan mengatakan bahwa penyebab nyeri (atau keletuk) mungkin
suatau “ketegangan otot” atau “kekakuan otot” atau kelelahan akibat cara penggunaan
rahang. jadi, faktor emosional nyeri ditiadakan dan pemeriksaan bisa dilakukan tanpa
menimbulkan ketakutan pasien (Thomson, 2007)
Berikut adalah contoh daftar pertanyaan untuk mendapatkan informasi
yang diperlukan dari pasien dan merupakan bentuk kuesioner yang dianjurkan
(Thomson, 2007) :
1. Sosial
Nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan, status perkawinan (dan anak), sumber rujukan.
1. Gejala yang sedang dialami atau sifat keluhan
Lebih baik dapatkan gejala dan daerah nyeri yang, diceritakan oleh pasien sendiri,
demikian juga dengan pertanyaan, pertanyaan terbuka lebih baik dari pertanyaan
tertutup.
Pertanyaan-pertanyaan yang bisa membantu:
(a) Ceritakan mengenai masalah dan rasa tidak nyaman yang Anda alami.
(b) Dapatkah Anda menunjukkan daerah asalnya?
(c) Bagaimana nyeri tersebut menurut Anda? (jika pasien menyebut ada nyeri.
Perhatikan kata sifat yang digunakan misalnya "samar", "neuralgia" atau "terbakar".
(d) Nyeri terasa di mana saja?
(e) Apakah ada keluhan sewaktu mengunyah? Menggigit makanan yang keras?
Tertawa? Menguap?
Seberapa lebar Anda bisa membuka mulut? Lakukan pengukuran misalnya
dengan jangka Willis.
(g) Apakah Anda merasakan sesuatu pada rahang sewaktu bangun di pagi hari? Jika ya,
jelaskan (Informasi yang diperlukan mengenai kekakuan).
(h) Apakah Anda mendengar bunyi pada rahang? Jika ya, jelaskan.
3. Riwayat nyeri atau gangguan dan sifat timbuInya
(a) Seberapa lama Anda mengalami hal ini?
(b) Ceritakan bagaimana asal mulanya.
(c) Apakah ini terjadi mendadak atau perlahan-lahan?
Informasi yang diperlukan adalah aktivitas yang tidak biasa dari rahang seperti
membuka mulut untuk waktu yang lama, atau mendadak membuka mulut ke satu sisi,
tanpa menanyakan hal tersebut terang-terangan kepada pasien.
4. Perkembangan nyeri dan/atau bunyi sendi
(a) Apakah mereda atau timbul kembali tanpa penyebab yang jelas?
(b) Apakah itu membuat Anda tidak bisa tidur?
(c) Apakah Anda minum obat? Obat apa itu? Apakah efektif?
(d) Apakah suhu mempengaruhinya? Udara dingin? Udara lembap?
(a) Apakah Anda sudah pemah mendapat perawatan untuk keadaan tersebut?
Perawatan macam apakah itu? Apakah berhasil? Apakah keadaan tersebut membaik
atau memburuk?
5. Emosi sebagai suatu faktor
Nilailah dengan pertanyaan-pertanyaan yang taktis dan terus-terang:
(a) Apakah Anda mudah tersinggung akhir-akhir ini? Diburu waktu? Terlalu banyak
yang perlu Anda lakukan?
(b) Apakah Anda menyadari bahwa nyeri timbul sewaktu perasaan Anda sedang
terganggu?
(c) Apakah Anda mengerotkan atau menekan kuat-kuat gigi-gigi Anda ketika Anda
sedang dikejar waktu atau berkonsentrasi atau ketika Anda sedang sibuk?
(d) Apakah nyeri membuat Anda mengerotkan gigi?
(e) Apakah nyeri hilang sewaktu Anda bebas dari kecemasan? Sewaktu Anda berlibur?
6. Suhu
Apakah suhu memengaruhi nyeri yang Anda alami? Dingin,
Lembap, Panas?
7. Riwayat medis masa lalu
Pertanyaan diarahkan pada pemeriksaan penyebab sistemis:
(a) Apakah Anda mengalami nyeri atau kekakuan pada sendi yang lain?
(b) Apakah Anda mendapat perawatan untuk kondisi sendi yang lain?
(c) Sakit kepala? Pilek? Gangguan sinus?
(d) Apakah Anda sedang menjalani perawatan untuk suatu keadaan yang
Anda alami sekarang atau pernah Anda alami dahulu?
8. Riwayat gigi dan fungsinya dewasa ini
Pertanyaan diarahkan pada mencari cedera yang baru terjadi pada sendi,
penyebab perubahan hubungan gigi, atau keausan gigi:
(a) Tanggal pencabutan gigi terakhir? Apakah ada cedera pada rahang pada saat
itu atau sesudahnya?
(b) Cedera: jatuh, benturan, menguap terlalu lebar, atau tertawa?
(c) Riwayat gigi palsu, jika ada.
(d) Ortodonsi.
(e) Kebiasaan mengerot dan menggerenyot gigi? Apakah Anda sering
menggerenyot gigi-gigi Anda?
Anda suka mengunyah pada satu sisi? Memakan makanan yang keras? Ada
timbunan sisa makanan? (Thomson, 2007)
2.2.2 Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan klinis untuk pasien dengan kemungkinan gangguan
fungsi/penyakit TMJ sebagian besar didasarkan atas pengamatan/pemantauan, palpasi
dan auskultasi (Pedersen, 1996)
a. Palapasi
Palpasi dilakukan perkuatan maupun peroral dan melibatkan jaringan lunak dan
keras. Pada bagian fasial, mandibula dapat dipalpasi pada tepi posterior dan tepi
bawah, dari symphisis hingga prosesus condylaris. Kutub lateral dari prosesus
condylaris paling baik dideteksi melalui subzygomatic/preauricular. Palpasi bilateral
pada saat pergeseran mandibula merupakan data yang paling utama, khususnya bila
terdapat keterbatasan unilaten yang nyata. Aspek lateral posterior dari sendi bisa
dipalapasi pada ujung endaural. Palapasi endaural pada kedua sisi secara bergantian
pada saat pergeseran mandibula seringkali memberikan gambaran yang jelas karena
bentuk palpasi langsung ini tidak menimbulkan tekanan pada otot yang terlibat, maka
nyeri saat disentuh kemungkinan berasal dari intra-artikula misalnya artritides,
trauma, atau kapsulitis (Pedersen, 1996)
Palpasi otot. Kombinasi palpasi bidigital/ bimanual perkuatan atau peroral pada
musculus suprahyideus dan sublingualis bisa dilakukan langsung. Palpasi otot yang
berhubungan dengan sendi juga bisa dilakukan langsung. Palpasi otot yang
berhubungan dengan sendi juga bisa dilakukan dengan mudah, kecuali untuk m.
Pterygoideus lateralis yang sulit dijangkau. M.maseter dan temporalis berada berada
di superfisial dan bisa langsung dipalpasi diwajah. Perlekatan musculus temporali
pada prosesus coronoideus dan tepi anterior musculus masseter juga bisa dievalusi
peroral. Musculus pterygoideus interna dapat diraba melalui rongga mulut dan wajah,
pada aspek inferomadial ramus yang merupakan tempat perlektan otot tersebut
(Pedersen, 1996)
Palpasi servikal. Palpasi musculus sternocleido mastoideus, musculus trapezius,
dan otot-otot lain pada servikal posterior diindikasikan jika diduga terjadi sindrom
MDP atau jika pasien menunjukan penyebaran rasa nyeri pada daerah tersebut. Sekali
lagi, disini digunakan teknik bimanual bilateral. Pada palpasi akan teraba adanya
muscle splinting (otot mengencang) dan kejang otot jika kondisi tersbut telah
menimbulkan rasa sakit dan nyeri pada tekanan otot. Penekanan otot terhadap tulang
dibawahnya digunakan untuk mendeteksi triger point miofasial, triger point ini
dikenali dengan adanya rasa nyeri lokal dan nyeri yanmg menyebar (Pedersen, 1996)
b. Auskultasi
Auskulatasi stetoskop pada sendi memungkinkan penentuan sifat dan waktu
timbulnya bunyi abnormal secara lebih tepat. Penentuan kliking dan besar pembukaan
insisal dipermudah dengan auskultasi kliking yang terjadi pada awal fase membuka
mulut menunjukan dislokasi ductus anteior ringan, sementara kliking yang terjadi
atau timbul lebih lambat berkaitan dengan kelainan dengan kelainan meniscus. Pada
kasus kasus resipokal, terjadinya bunyi “klik” pada saat membuka dan mendekatkan
jarak antara antara kliking seringkali menunjukan suatu pergeseran diskus yang sudah
kronis dan sudah berlangsung lama, yang dapat berkurang dengan sendirinya.
Krepitus sendi yang ditunjukan melalui bunyi kemertak atau mencericit yang lebih
sering timbul pada saat translasi dibandingkan dengan rotasi kemungkinan
merupakan tanda-tanda DJD. Perforasi perlekatan posterior discus juga berkaitan
dengan krepitus sendi. Pergerkan TMJ yang normal akan menimbulkan suara
perlahan, sebagai mana pada sendi yang terkena penyakit ekstratikular. Secara umum,
sendi yang sehat tidak akan menimbulkan suara fungsional (biasanya tidak ada suara
kemertak atau “kliking” ), yang menarik adalah terdapatnya sekelompok penderita
asimtomatik, tetapi menunjukan “kliking’’ pada sendi, yang harus dipertimbangkan
dalam diagnosis banding dari disfungsi TMJ (Pedersen, 1996)
c. Inspeksi/ Pengamatan
Pada saat memeriksa pasien, salah satu atau beberapa tanda berikut ini mungkin
ditemukan oleh dokter gigi atau disebutkan pasien, pergeseran mandibula dari posisi
istirahat ke IP habitual, lebih suka mengunyah dengan satu sisi, kebiasaan clenching
atau mengerot (grinding) dan bekas-bekas gigi pada mukosa pipi, jejas keausan pada
gigi kurangnya dukungan gigi posterior, deviasi mandibula sewaktu pasien membuka
mulut leber-leber ke sisi yang terserang dan kesulitan menutup bibir bersama-sama
pada posisi istirahat (Thomson, 2007).
Tanda-tanda ini sering kali ditemukan pada gigi-geligi dari sejumlah besar
pasien yang diperiksa dan tidak bisa dianggap sebagai penyebab. Meskipun demikian,
bila tanda-tanda ini diperbaiki kondisi tersebut sering kali mereda (Thompson, 2007).
Pemeriksaan khusus hendaknya dilakukan dengna menaati apa yang digariskan
pada lampiran, yang memungkinkan ditegakkannya diagnosis dari salah satu keadaan
berikut ini:
1. Inkompetensi bibir dan posisi istirahat tidak pasti akibat konflik antara
seal bibir dengan posisi gigi yang mengakibatkan kelelahan otot karena
berinsersi pada sendi.
2. Posisi interkuspa yang berubah.
3. Parafungsi kambuhan (rekuren).
4. Mastikasi unilateral.
5. Interferensi tonjol pada sisi kerja dan nonkerja selama mastikasi dan
selama pengerotan parafungsi.
6. Lokasi nyeri.
(Thomson, 2007).
• Oklusi
Pemeriksaan gigi secara menyeluruh dengan memperhatikan khususnya faktor
oklusi, merupakan awal yang tepat. Gangguan oklusi secara umum bisa langsung
diperiksa, yaitu misalnya gigitan silang (crossbite), gigitan dalam (deep overbite),
gigi supraerupsi dan daerah tak bergigi yang tidak direstorasi. Abrasi ekstrem dan aus
karena pemakaian seringkali merupakan tanda khas penderita bruxism atau clenching,
yang bisa langsung dikenali. Protesa yang digunakan diperiksa stabilitas, fungsi dan
abrasi / aus pada oklusal. Perhatikan kemungkinan perbedaan oklusi/ relasi sentrik
dan pergeseran (Pedersen, 1996).
• Pembukaan antar insisal
Luas pergerakan mandibula juga dievaluasi pada tahap selanjutnya. Pembukaan
antar insisal bervariasi lebarnya, tetapi biasanya pada orang yang dewasa sekitar 40
hingga 50 mm. pembukaan antar insisal diukur dengan penggaris millimeter atau
jangka, dengan memperhatikan overbite vertkalnya. Pada keadaan closed lock luas
pergerakan berkurang, dan pembukaan sering terbatas hanya sekitar 25-30 mm.
spasme otot juga menyebabkan keterbatasan pembukaan antar insisal yang nyata,
yang berkisar dari fiksasi total yakni penutupan mandibula dengan paksaan hingga
pengurangan 10-30 persen. Spasme otot juga menyebabkan rasa sakit pada akhir
pergerakan mandibula , yang terutama dirasakan pada insersio temporalis atau daerah
persilangan ptrygomasseter. Faktor pembatas pergerakan mandibula pada kasus
miospasme adalah gerak menahan akibat adanya sakit/tidak enak yang ditimbulkan.
Unutuk itu, lebih baik membuat dua pengukuran antar insisal, satu secara paksa dan
satu tidak. Berkurangnya luas pergerakan mandibula juga terlihat pada kasus
hipertrofi prosesus coronoideus bilateral yang jarang terjadi (Pedersen, 1996).
• Pergerakan lain
Pergeseran lateral juga diukur, biasanya pada titik atau garis tengah, dan
dibandingkan kesimetrisannya (angka yang didapat biasanya 8 hingga 10 mm).
gangguan internal, misalnya dislokasi discus, akan membatasi pergeseran ke sisi yang
berlawanan. Dengan adanya fraktur unilateral pada subcondylaris pergeseran ke sisi
yang berlawanan. Dengan adanya fraktur unilateral pada subcondylaris pergeseran ke
sisi yang berlawanan tidak terjadi atau berkurang. Bila muskulus pterygoideus
lateralis inferior mengalami spasme, usaha menggeser ke samping, ke sisi berlawanan
akan menimbulkan rasa sakit. Pergerakan protrusive diukur saat terjadi celah antara
tepi insisal gigi – gigi anterior. Pergerakan protrusive (yang normalnya 6-10 mm0
mungkin tidak terlalu terbatasi pada kasus spasme otot elevator, bahkan walaupun
jarak antar insisal cukup banyak berkurang (Pedersen, 1996).
• Deviasi
Deviasi mandibula baik pada saat membuka mulut atau protrusi akan terlihat
jelas dan seringkali berhubungan dengan gangguan fungsi pasca trauma atau
gangguan kronis atau akut. Osteoarthritis akan menyebabkan deviasi kearah sisi yang
terkena pada saat membuka mulut. Jika terdapat dislokasi discus ke anterior, maka
gerakan membuka mulut atau digerakan protrusive kadang dapat menyebabkan
deviasi kesisi yang mengalami disfungsi. Bila ada spasme unilateral pada musculus
masseter atau temporalis, maka deviasi akan mengarah ke sisi yang terkena
(Pedersen, 1996).
d. Model studi yang terpasang di artikulator
Cetakan kedua rahang juga dibuat pada kunjungan pertama, bersama dengan
transfer busur-wajah dari sumbu kondilus arbiter. Rekaman prakontak interoklusal
juga harus dibuat jika diperkirakan ada interferensi tonjol, bila tidak ada, model
bawah dapat dipasang disesuaikan dengan atasnya. Jadi, pemeriksaan pendahuluan
relasi oklusal sekarang bisa dilakukan dan bisa diambil keputusan mengenai apakah
akan melakukan penapakan patografik dari gerak border mandibula. Penapakan ini
bermanfaat dalam menentukan reprodusibilitas gerakan dengan membandingkannya
dengna hasil penapakan yang dibuat sesudah perawatan. Otot-otot yang cedera tidak
dapat menghasilkan penapakan border atau yang dapat direproduksi. Model yang
terpasang pada artikulator juga dapat digunakan untuk membuat overlai (Thomson,
2007).
2.2.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiografi
Sudah banyak radiograf sendi temporomandibula yang dibuat untuk mengetahui
sindrom ini dan cukup banyak radiasi yang terabsorbsi dengan hanya sedikit bukti
diagnostik. Penulisan pribadi dihantui rasa bersalah bila mengirim pasien untuk
dibuat radiograf, sama seperti peklinik lain dalam katiannya dengan akibat radiasi
(Thomson, 2007).
Kebanyakan sendi dengan kondisi degeneratif atau terinfeksi dan memiliki
tanda-tanda radiograf sudah didiagnosis dan dirawat sebelum mencapai bagian klinik
gigi. lebih lanjut, satu-satunya proyeksi radiografi yang bisa diandalkan untuk melihat
kondilus adalah tomograf karena tidak ada ruang pada kapsul sendi yang berfungsi
sebagai pembanding dengan proyeksi biasa (Thomson, 2007).
Tomography
Tomography sendi temporomandibular dihasilkan melalui pergerakan yang
sinkron antara tabung X-ray dengan kaset film melalui titik fulkrum imaginer pada
pertengahan gambaran yang diinginkan termasuk juga Linear tomography dan
complex tomography. Beberapa penelitian menyatakan bahwa tomografi merupakan
metode yang baik untuk menggambarkan perubahan tulang dengan arthrosis pada
sendi temporomandibular. Untuk mengevaluasi posisi kondil pada fossa glenoid,
tomografi lebih terpercaya daripada proyeksi biasa dan panoramik. Secara klinis,
posisi kondil tetap merupakan aspek yang penting dalam melakukan bedah orthognati
and orthodontic studies. Kerugian yang paling besar dalam tomografi adalah
kurangnya visualisasi jaringan lunak sendi temporomandibular, juga pada
radiography biasa (Henny, 1998)
Arthrography
Terdapat dua tehnik arthgraphy pada sendi temporomandibular. Pada single-
contrast arthography, media radioopak diinjeksikan ke rongga sendi atas atau bawah
atau keduanya. Pada double-contrast arthography, sedikit udara diinjeksikan ke dalam
rongga sendi setelah injeksi materi kontras.Penelitian menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan antara kedua tehnik. Jika sejumlah kecil bahan kontras medium air
disuntikkan pada ruang superior dan inferior sendi, diskus artikularis dan
perlekatannya akan terlihatbatasnya dan posisinya bisa dilacak sepanjang pergerakan
mendibula (Henny, 1998)
Bagaimanapun, hanya ruang interior yang dibutuhkan untuk menetapkan posisi
normal dan abnormal dari diskus tehadap hubungannya dengan kondil selama
translasi. Bentuk ruang sendi (synovial cavities) akan bervariasi tergantung perubahan
mulut apakah membuka atau menutup dan kondil akan bertranslasi kedepan pada
eminensia. Arthrogram ini merupakan satu-satunya metode yang tersedia untuk
melihat hubungan yang sebenarnya antara diskus dan kondil yang dapat
divisualisasikan, dan ia sangat penting untuk pnegakkan diagnosis pada kelainan
internal yang terjadi (Henny, 1998)
Keakuratan diagnosa posisi diskus 84% sampai 100% dibandingkan dengan the
corresponding cryosectional morphology dan dari penemuan bedah. Performasi dan
adhesi juga dapat ditunjukkan dengan teknik ini. Penelitian-penelitian telah
menunjukkan pentingnya diagnosis dan identifikasi kerusakan sendi
temporomandibular internal. Penelitian yang baru-baru ini dilakukan dengan
menggunakan tehnik arthography, menunjukkan bahwa arthography dapat
meningkatkan keakuratan diagnosa perforasi dan adhesi diskusi Sendi
Temporomandibular dengan MRI (Henny, 1998)
Computed tomography
Pada tahun 1980, computed tomography (CT) mulai diaplikasikan ankilosis
sendi temporomandibular, fraktur kondil, dislokasi dan perubahan osseous. Pada
laporan terdahulu, keakuratan dalam penentuan lokasi diskus tinggi (81%) jika
dibandingkan dengan CT dan penemuan bedah. Beberapa laporan
mempertimbangkan bahwa CT dapat menggantikan proyeksi arthrograpy dalam
diagnosis dislokasi diskus pada kelainan sendi temporomandibular. Bagaimanapun,
keakuratan dari penentuan dislokasi diskus hanya sekitar 40%-67% pada CT dalam
studi material spesimen autopsi. Keakuratan dalam perubahan osseus dari sendi
temporomandibular dalam CT dibandingkan dengan material cadaver sekitar 66%-
87%. Beberapa laporan menunjukkan bahwa bukti arthrosis dalam radiograf dapat
atau tidak dapat dihubungkan dengan gejala klinis nyeri disfungsi. Jadi pasien tanpa
perubahan osseus changes di sendi temporomandibular, bisa saja merasa nyeri, dan
asien tanpa gejala abnormalitas tulang bisa bebas nyeri. CT bukanlah metode yang
baik untuk mendiagnosa kelainan sendi temporomandibular (Henny, 1998)
Magnetic Resonance Imaging
Beberapa penelitian telah membandingkan MRi sendi temporomandibular
dengan arthography dan CT. Hasil MRI juga dibandingkan dengan observasi anatomi
dan histologi. Pada penelitian terhadap spesimen autopsi, keakuratan MRI
mengevaluasi perubahan osseus adalah 60% sampai 100% dan keakuratan
mengevaluasi dislokasi diskus adalah 73% sampai 95. Semua penelitian diatas
menunjukkan bahwa MRI adalah metode terbaik untuk pencitraan jaringan keras dan
jaringan lunak sendi temporomandibular. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
dislokasi diskus yang ditunjukkan MRI ternyata memeliki hubungan dengan cliking,
nyeri, dan gejala disfungsi Sendi Temporomandibular lain. Setiap kali nyeri kliis dan
gejala disfungsi sendi temporomandibular ditemukan tanpa adanya dislokasi diskus
pada MRI maja diduga diagnosis pencintraan tersebut false positive atau false
negative. Walaupun beberapa penelitian menyetujui bahwa nyeri otot adalah salah
satu aspek utama kelainan TMJ, bukti perubahan patologis otot pengunyahan tidak
diperhitungkan dalam diagnosis pencitraan. Beberapa laporan menunjukkan MRI
tidak hanya merupakan metode yang akurat untuk mendeteksi posisi diskus tetapi
juga merupakan teknik potensial untuk mengevaluasi perubahan patologis
pengunyahan pada kelainan Sendi Temporomandibular. Akan tetapi, tidak ada
laporan yang menghubungkan abnormalitas otot penguyahan pada MRI dengan gejala
klinis (Henny, 1998)
2.3 Penegakan Diagnosa
Diagnosis penyakit / gangguan fungsi TMJ tergantung pada pemeriksaan klinis
dan riwayat yang menyeluruh serta ketepatan interpretasi hasil rontgen (Pedersen,
1996)
Keluhan utama yang paling sering dirasakan pada penyakit / gangguan fungsi
sendi temporomandibula adalah rasa nyeri dan rasa tidak enak yang disertai dengan
kliking (clicking) atau keluhan sendi lainnya (Pedersen, 1996)
Diagnosis dari MDS dapat ditegakkan berdasarkan gejala yang disebutkan
pasien dan fungsi yang berubah atau berlebihan. Keadaan ini bisa mengakibatkan
kelelahan atau cedera derajat rendah. Nyeri di atas daerah kondilus atau ramus
menunjukkan daerah-daerah spasme pada otot. Kondisi infeksi dan degeneratif dapat
disingkirkan dengna diagnosis banding, dengan uji laboratorium jika dibutuhkan. Di
samping itu, beberapa bentuk ketegangan emosional biasanya juga dijumpai.
Berdasarkan pada diagnosis ini rencana perawatan bisa terdiri atas :
1. Menjelaskan keadaan tersebut dan menenangkan pasien untuk
menghilangkan kecemasannya.
2. Memberi nasihat mengenai rehabilitasi untuk mendapatkan basis
fisioterapik bagi perawatan lebih lanjut.
3. Pesawat untuk mencegah kebiasaan parafungsi.
4. Penyesuaian oklusal.
5. Pesawat untuk merestorasi gigi-gigi dan/atau OVR yang terganggu.
(Thomson, 2007).
2.3.1 Cara Diagnostik Khusus
Injeksi diagnostik. Rasa sakit yang diduga berasal dari otot-otot yang berhubungan
dengan TMJ dapat dibuktikan melalui penyuntikan bahan anastesi lokal pada otot yang
terkena. Biasanya dipilih bahan anastesi lokal tanpa vasokontriktor, terutama procaine
karena lebih tidak miotoksik daripada lidocaine. Penyuntikan musculus masseter dapat
dilakukan peroral maupun perkutan. Penyuntikan dilakukan kurang lebih pada
pertengahan tepi anterior beberapa kali untuk dapat menganastesi bagian dalam maupun
permukaan. Musculus temporalis dianastesi beberapa kali dengan menyuntikan jarum
tepat di superior arcus zygomaticus. Pterygoideus lateralis, khususnya bagian anterior,
dapat dianastesi baik secara perkutan maupun peroral. Dengan mandibula dalam keadaan
terbuka penuh, jarum diarahkan posterosuperolateral dari titik insersi pada batas superior
pillar fucial anterior. Bila perkutan penyuntikan dilakukan di anterior arcus zygomaticus,
dan jarum jam diarahkan ke inferior. Musculus pterygoideus internus disuntik dari arah
oral dengan memasukkan jarum ke tepi anterior musculus yang ditandai oleh batas tengah
pillar faucial anterior (Pedersen, 1996).
Artroskopi TMJ. Dengan dikembangkannya alat artroskopi mini, pemeriksaan TMJ
secara artroskopik dapat dilakukan. Digunakan artroskopik berdiameter luar 2,4 dan 2,7
mm dan diameter optikal 1,7 dan 2,3 mm. Lensa pembesar bervariasi dari pembesaran 1
x hingga 5 x tergantung pada jarak antara obyek dan tujuan artroskop. Prosedur ini
dilakukan dengan bantuan anestesi lokal (dengan cara infiltrasi dan blok nervus
auriculotemporalis serta sedasi) atau dengan anestesi umum (Pedersen, 1996).
Evaluasi rongga sendi superior. Rongga sendi superior lebih besar dan lebih
mudah untuk diperiksa dengan artroskop daripada rongga inferior. Pertama-tama, rongga
sendi diperlebar dengan bantuan larutan anestesi ataupun larutan sline (1-1,5 ml). Pada
ruang yang akan diperiksa, dimasukkan sebuah kanalu atau stylet tajam melalui insisi
kecil yang dibuat di kulit, dan sementara itu mandibula dipertahankan dalam posisi
terbuka, dengan jarak antar insisal 30 mm. Setelah jalan masuk didapatkan, digunakan
stylet tumpul. Artroskop ditempatkan dalam kanula dan dimasukkan pada rongga sendi.
Mandibula digerakkan dan pemeriksaan dilakukan dengan cara memajukan, menarik, dan
mengubah-ubah angulasi artroskop. Pergerakan ini dilakukan sementara berada dalam
rongga sendi. Dengan irigasi saline isotonik bertekanan melalui kanula, akan diperoleh
pemandangan yang jelas. Hasil pemeriksaan direkam dengan cinecamera atau kamera
video (Pedersen, 1996).
Artroskopi anatomi. Artroskopi untuk gambaran anatomi meliputi membran
sinovial inferior dan superior beserta lipatannya, tonjolan discus, dan permukaan
articular. Evaluasi secara dinamis dapat dilakukan dengan pengamatan selama pergerakan
mandibula. Penelitian artroskopi dari permukaan articular discus untuk menentukan
pergeseran, deformitas, atau perforasi memiliki nilai diagnotik klinis yang paling besar.
Pembedahan artroskopik, yaitu penghilangan perlekatan dan pengukuran untuk
membatasi gerak yang berlebihan, telah dicoba. Irigasi yang dilakukan selama proses
artroskopi bermanfaat untuk menghilangkan kotoran-kotoran sendi rongga sinovial
(Pedersen, 1996).
Analisis akustik. Tersedia alat untuk mengetahui terjadinya bising sendi pada saat
membuka atau munutup dan mengukur intensitas dan karakternya. Masing-masing
kelainan khusus dari TMJ ditandai dengan hubungan yang unik antara suara yang
dihasilkan dengan pergerakan sendinya. Secara umum, sendi yang normal atau yang
terlibat penyakit ekstrakapsuler tidak menunjukkan adanya suara. Jika terjadi kelainan
internal dengan tanda-tanda pergeseran discus dengan perbaikan, akan bisa langsung
terdeteksi dengan adanya kliking yang bersahutan. Yang menarik, “kliking” teramati
pada jarak antar insisal membuka dan menutup yang sama. Jika diidentifikasikan adanya
pergeseran discus tanpa perbaikan, maka pola umum dari bunyi sendi akan hilang, dan
akan didapatkan pola acak pada siklus penutupan atau pembukaan. DJD ditandai dengan
suara yang berlangsung lama, yang terus bertahan selama siklus membuka. Jika
amplitudo bisa diukur, amplitudo cenderung meningkat dengan makin parahnya penyakit
sendi. Analis akustik menawarkan teknik nonivasif alternatif untuk mengetahui kelainan
internal dan penyakit degeneratif tertentu dari TMJ (artrofonometri atau sonografi digital)
(Pedersen, 1996).
2.3.2 Diagnosis banding
Karena kondisi ini tidak bersifat infeksi ataupun degeneratif, perlu ditentukan
diagnosis bandingnya dari kondisi-kondisi berikut ini : artritis reumatoid,
osteoartritis, neuralgia trigeminal, artritis infektif spesifik, sakit kepala dari penyebab
sistemik, infeksi sinus dan telinga, nyeri dengan penyebab gigi, neuralgia migren
fasial, lesi pada sistem saraf pusat, dan nyeri wajah atipikal (Thompson, 2007).
Dari segi diagnosis banding, kondisi nyeri wajah atipikal dan migren ini patut
diperhatikan dan dimengerti oleh dokter gigi yang menangani nyeri wajah dan sendi,
untuk menentukan kapan dan ke mana pasien akan dirujuk. Moore dan Nally (1975)
menyumbangkan suatu analisis terhadap 100 pasien dengan nyeri wajah atipikal dan
mengatakan bahwa pada setiap kasus nyeri umumnya menyebar (difusi) dan tidak
terlokalisir pada daerah tertentu. Kebanyakan pasien “tidak memiliki ingatan yang
baik” dan sering kali mengubah deskripsi mengenai gejala dan daerah nyerinya. Dua
pasien mengalami neuralgia trigeminal paroksimal dengan daerah pemicu pada
wajah, tetapi hanya dua. Hipnotis dan analgesik tidak meredakan nyerinya tetapi
klordiazepoksid dan amitriptilin “sangat efektif pada sebagian besar kasus”
(Thomson, 2007).
Suatu penelitian komperhensif dari migren klasik dan umum telah dilakukan
oleh Ruff, Moss, dan Lombardo (1986). Mereka menggambarkan versi migren klasik
sebagai suatu nyeri kepala vaskular mumi, dan tidak dapat memberikan jawaban atas
penyebab dan proses patologis umum, kecuali menduga bahwa “pola perilaku oral,
nyeri wajah, dan disfungsi sendi temporomandibula mempunnyai kaitan dengan nyeri
kepala”. Ide dasarnya adalah bahwa migren umum lebih merupakan suatu kelainan
otot ketimbang suatu kelainan vaskular (Thomson, 2007).
Etala-Ylitalo, Syrjӓnen dan Halonen (1987) telah berusaha memecahkan
pertanyaan mengenai apakah frekuensi kelainan sendi temporomandibula yang tinggi
pada pasien yang mengalami artritis reumatoid dipermudah oleh maloklusi. Sebuah
penelititan longitudinal dewasa ini sedang dilakukan namun tidak bisa menjawab
pertanyaan “mengapa beberapa individu dengan tanda dan gejala disfungsi mandibula
menjadi cacat sedangkan lainnya tidak”. Untuk ini tersedia daftar acuan yang cukup
panjang (Thomson, 2007).
Akhirnya akan dibicarakan satu acuan lagi yang menyinggung kembali masalah
psikologi. Ini terkait dengan laporan Hughes dkk. (1989) dari hasil penelitian
terhadap 138 pasien yang berkunjung secara tetap ke klinik psikiatri di rumah sakit
gigi. Ditekankan pentingnya pemakaian wawancara psikiatrik yang baku dan
berbentuk klasifikasi multiaksial yang disebut DSM-111. Klasifikasi ini memberikan
kode khusus untuk sindrom nyeri tertentu dan didesain untuk mengkatagorikan
keluhan nyeri berdasarkan daerah, sifat, keparahan, sistem, dan dugaan etiologinya.
Semua pasien diperiksa dan dirawat oleh psikiater dan ahli bedah mulut. Tingkat
kelainan psikiatrik pada pasien-pasien ini di atas 90%. Tingginya tingkat kelainan
psikiatrik yang bisa diobati ini menunjukkan perlunya kerja sama yang baik antara
dokter gigi di klinik-klinik nyeri dengan psikiater (Thomson, 2007).
Barangkali telaah ini terlalu panjang, namun toh masih banyak pertanyaan yang
belum terjawab dan penelitian yang belum terungkapkan. Kami mohonkan maaf bagi
para peneliti yang tak sempat diungkapkan hasil penelititannya. Mungkin sindrom ini
terlalu dibesar-besarkan separti ditunjukkan dalam surat yang dikirim dari California
(Pogrol, 1987) berjudul The Wonders of the Temporomandibular Joint. Di satu pihak
keadaan ini tidak bisa dilebih-lebihkan, namun di lain pihak, pasien-pasien ini tidak
boleh diabaikan (Thomson, 2007).
2.4 Penatalaksanaan
Perawatan dimulai dengan konsultasi dan dilanjutkan dengan pemeriksaan,
analisis oklusal, dan konseling pendahuluan untuk mengontrol gerak rahang yang
membahayakan. Perawatan lebih lanjut bergantung pada kebutuhan selanjutnya, yang
bisa terdiri atas pemakaian pesawat untuk mengontrol parafungsi, mengganti gigi-gigi
yang hilang, mengganti permukaan oklusal yang rusak, dan pada setiap kunjungan,
konseling mengenai cara mengoreksi gerakan dan mencegah kebiasaan yang merusak
(Thomson, 2007).
Penatalaksanaa penyakit/gangguan fungsi sendi temporomandibula (TMJ)
secara mekanis meliputi penggunaan splint, penyesuaian oklusal, restorasi prostetik,
dan perawatan ortodontik. Spint oklusal digolongkan sesuai fungsi yang diharapkan,
yaitu penjauhan, perbaikan oklusi dan reposisi mandibula. Splint untuk menjauhkan
dan memperbaiki oklusi ditujukan untuk menormalkan rangsangan sensoris dan
proprioseptif yang timbul dari adanya gangguan fungsi oklusal, sehingga
mengahambat perangsangan afferent yang mencetuskan “kaku otot” dan
memperparah spasme otot. Sebaliknya alat reposisi mandibula, digunakan terutama
untuk merawat keadaan pergesesaran discus ke anterior. Daya reposisi terjadi dengan
menutupnya mulut, dimana pada saat itu splint akan menyebabkan processus
condylaris ke depan. Translasi processus condylaris ini dimaksudkan untuk
mempermudah pengurangan pergeseran discus ke anterior. Tetapi dengan splint
membutuhkan penanganan profesional yang terus menerus untuk penyesuaian dan
pemenuhan kebutuhan penderita dalam hubungan dengan penggunaan yang benar.
Semua alat interoklusal memiliki kecenderungan membangkitkan tanda-tanda
sensoris dan proprioseptif yang terganggu. Hal ini nantinya dapat mengiritasi dan
memperparah kondisi yang sebenarnya akan dirawat (Pedersen, 1996)
Gangguan oklusi diatasi dengan pengasahan selektif, pembuatan
restorasi/protesa, perawatan ortodontik, dan pencabutan gigi. Sebelum dilakukan
prosedur perawatan yang ireversibel, harus benar-benar dipastikan bahwan oklusi
yang terjadi bukan merupakan akibat dari spasme otot. Tujuan utama perawatan
gangguan oklusi biasanya adalah untuk mendap[at panduan anterior. Pada panduan
anterior, hanya gigi anterior yang berkontak selama pergerakan mandibula protrusive
dan lateral. Tetapi oklusi, dari penyetimbangan hingga pembuatan restorasi/protesa
dan perawatan ortodontik, seringkali membutuhkan pemakaian splint oklusal pada
tahap selanjutnya. Pencabutan mungkin dibutuhkan atau kemungkinan satu-satunya
jalan untuk membebaskan oklusi terkunci (Pedersen, 1996)
2.4.1 Konseling
Jelaskan kepada pasien bahwa nyeri, kesulitan mengunyah, dan bunyi pada
rahang mungkin disebabkan oleh perubahan cara pemakaian otot yang sudah biasa
dilakukan. “anda mengunyah dengan cara tidak benar dan sendi anda menderita
karenanya”. “tidak mengherankan otot-otot anda tersa sakit”. “Ini adalah masalah
yang sama sepaeti kaki terkilir, bahau kaku, atau nyeri pada siku”. Jelaskan bahwa
penyebabnya barang kali adalah menguap yang terlalu lebar, makan makanan yang
terlalu keras, atau membukan mulut yang terlalu lama sewaktu mendapat perawatan
gigi, dan bahwa otot “cedera” atau “lelah”. Penjelasan seperti ini akan menenangkan
pasien, mengurangi kecemasan, dan bisa menyebuhkan kondisi tersebut (Thomson,
2007).
Ajukan pertanyaan kepada pasien dengan penuh simpati mengenai situasi yang
menimbulkan ketegangan (terlambat, mengendara di jalan yang ramai, frustasi
terhadap pekerjaannya, masalah dalam pendidikan atau hubungan) dan jelaskan
bahwa konflik emosional dan ketegangn bisa keluar berupa hiperaktibitas otot.
Menghentakkan kaki ke alantai, berkelahi, adalah salah satu bentuk penyaluran, tetapi
salah satu yang paling umum adalah mengerot dan menggerenyotkan gigi. rangsang
ini timbul pada sistem retikular dari batang otak dan memungkinkan terjadinya
kotraksi otot masseter sementara kontraksi otot digastrikus terhambat. Pasien harus
mendapat koseling mengenai aspek kehidupan sehari-hari, dengan menitikberatkan
pada usaha menolong diri sendiri (Thomson, 2007).
2.4.2 Nasihat Rehabilitasi
Berikan nasihat mengenai gerak berikut ini untuk merehabilitasi otot-otot.
1. “Pada waktu makan, mengunyahlah dengan dagu ke belakang dan
gunakan kedua sisi rahang sekaligus”. Dengan cara ini fungsi bilateral otot akan
terestorasi, khususnya pterigoideus lateralis yang jarang mendapat kesempatan
meregang. “Cobalah untuk tidak mengkontakkna gigi-gigi sewaktu mengunyah
makanan dengan hanya kontak gigi sewaktu anda menelan”.
2. “Jika anda sedang tidak mengunyah makanan, biarkan gigi-gigi tidak
saling bersentuha. Terutama hindari mengerot dan menggerenyotkan yang membuat
otot lelah dan gigi-gigi aus”. Aturan (golden rule) untuk semua masalah fungsional
otot mandibula adalah “bibir saling menyentuh, gigi-gigi saling terpisah, jangan
pernah melanggar aturan ini”. Atau dengan kata lain, gunakan posisi istirahat
sepanjang waktu jika anda tidak menggunakan otot rahang untuk aktivitas yang
relevan. Untuk membantu mencegah aktivitas otot yang tidak relevan dan
mengerotkan gigi, tempatkan sepotong kecil kapas di antara gigi-gigi posterior pada
satu sisi dan “jangan menggigitnya”.
3. Pada saat bangun dan sebelum makan, buka dan tutup mulut dengan dagu
pada posisi di belakang, beberapa kali sehingga gigi-gigi anda saling menyentuh di
belakang posisi kontak yang biasa. “Anjuran yang membantu untuk gerakan ini
dikeluarkan oleh Juniper (1986)” yang menganjurkan agar anda duduk dengan
nyaman dan meletakkan lidah di belakang gigi-gigi insisivus. Ujung lidah kemudian
ditekuk ke belakang ketika menyentuh palatum keras. Ini adalah gerak menutup dan
membuka pada lengkung retrusi dan menyiapkan otot untuk mastikasi dengan gigi-
gigi posterior secara bilateral. Selain itu, juga memberikan regangn pasif yang lembut
untuk otot pterigoideus lateralis. Keadaan ini bisa disebut sebagai gerak kondisional
(conditioning movement) dan bisa disamakan dengan seorang atlit yang melakukan
pemanasan sebelum mengikuti lomba. Otot suprahoideus (di belakang dagu dan di
bawah lidah) harus terasa berkontraksi. Gerak membuka dan menutup pada lengkung
ini juga akan menahan keletuk dan menenangkan pasien bahwa gejala yang
mengganggu ini bisa disembuhkan.
4. Untuk seal bibir yang tidak semburna, “Buat rahang relaks dan biarkan
bibir saling terbuka”. Atau dengan kata lain, lakukan posisi istirahat sesungguhnya
dan lupakan mengenai seal bibir. Tindakan ini akan mengurangi kelelahan dan nyeri
yang disebabkan oleh usaha yang persisten untuk mempertahankan seal. Untuk
mendapatkan seal bibir, perawatan ortodontik mungkin merupakan indikasi, dan
instruksi mengenai memperthankan seal mulut antara bibir bawah dan lidah atau gigi-
gigi atas terbukti merupakan alternatif yang efektif (Thomson, 2007).
Respons pasien terhadap pertanyaan “Bagaimana kabar anda?” harus
diperhatian dan perhatian ini sebaiknya diperlihatkan kepada pasien. Tindakan ini
akan menambah nilai jawaban yang diberikannya dan akan mendorong diberikannya
pertanyaan yang akurat. Jarang sekali gejala yang dialami pasien sudah benar-benar
mereda tetapi perbaikan biasanya sering ditemukan. Pertanyaan mengenai mengerot
dan menggerenyot, kebiasaan mengunyah pada satu sisi, dan kesadaran akan kontak
gigi sewaktu mengunyah akan bisa menunjukkan perlunya (atau tidak perlunya)
pemakaian overlai, penggantian gigi, dan penyesuaian oklusal. Pertanyaan mengenai
ketegangan emosi sering kali diajukan dan konseling lebih lanjut bisa dilaksanakan
sebagai bagian dari perawatan, khususnya jika dianjurkan oleh dokter-pasien
(Thomson, 2007).
2.4.3 Pesawat Overlai
Harus diambil kepututsan pada kunjungna pertama mengenai perlunya membuat
pesawat untuk mengontrol kebiasaan mengerot dari gigi-gigi sewaktu tidur.
Keputusan ini bisa diterntukan berdasarkan pernyataan pasien bahwa sewaktu bangun
rahangnya terasa kaku atau bahwa kebiasaan pasien bahwa sewaktu bangun
rahangnya terasa kaku atau bahwa kebiasaan tersebut sulit dikontrol. Pesawat yang
terbukti paling efektif (menurut pengalaman penulis) adalah yang dibutat menutupi
gigi-gigi insisivus dan kaninus atas dan membentuk kontak pada bidang datar yang
terpoles dengan insisivus dan kaninus bawah. Jadi, gigi-gigi posterior bisa dibuat
tidak saling menyentuh (disklusi). Penghilangan oklusi semua gigi posterior
kelihatannya membantu melenyapkan siklus stimulus periodontium (umpan balik)
dna impuls yang menimbulkan kelelahan, cedera, atau kejang pada otot-otot
mandibula (Thomson, 2007).
Di pihak lain, menutup seluruh lengkung rahang atas atau bawah dengan akrilik
atau bahan lain terbukti membantu, seperti sudah dianjurkan pada telaah literatur, dan
bahkan penutupan palatum (tanpa overlai) juga bisa mengurangi gejala. Namun,
prosedur yang dianjurkan di atas terbukti efektif menurut pengalaman penulis 40
tahun berpraktik klinis (Thomson, 2007).
Pemasangan overlai harus menjamin diperolehnya kontak yang merata dari gigi-
gigi insisivus mendibula pada overlai dan harus mendiskusikan gigi posterior (tidak
berkontak) sambil memastikan bahwa pengepit retensi tidak berkontak. Pasien harus
diajari cara membuka dan memasang overlai dan diberitahu cara membersihkan dan
penyimpanannya (dalam air di dalam wadah tertutup). Overlai harus dibuat dengan
hati-hati untuk mencegah agar tidak terlalu banyak menutupi gigi-gigi insisivus, yang
bisa mengakibatkan kerusakan pada restorasi, atau membuat tipis tepi email dna
mahkota. Pasien juga perlu diberitahu agar memakai pesawat sewaktu tidur dan
sepanjang hari di saat-saat seperti mengemudi, ketika sendirian, dan pada situasi-
situasi yang menimbulkan ketegangan, yang pemakaiannya tidak membuat pasien
malu (Thomson, 2007).
Karena tujuan pemakaian pesawat adalah untuk mencegah berkontaknya semua
gigi, termasuk insisivus, sedikit kemungkinan bahwa pesawat akan menekan insisivus
bawah (Thomson, 2007).
Jika pereawatan overlai terbukti berhasil mengurangi gejala dan disfungsi, perlu
dilakukan analisis lebih lanjut dari fungsi oklusal. Keberhasilan pemakaian pesawat
sudah mengurangi kelelahan dan kekakuan otot serta memungkinkan kesembuhan
setiap cedera otot, sekurang-kurangnya sebagian. Jika interferensi tonjol masih ada,
tunjukkan pada pasien disertai nasihat untuk memriksa setiap ketidaknyamanan yang
mungkin disebabkannya. Pasien bisa dianjurkan untuk membuka pesawat selama satu
malam dan melaporkan apakah gejalanya timbul kembali. Jika tidak, teruskan sampai
dua malam, dan seterusnya. Pasien juga bisa diminta untuk memperlihatkan
kebutuhan akan permukaan kunyah dalam kaitannya dengan penggantian gigi-gigi
yang sudah tanggal atau posisi interkuspa yang berubah. Faktor-faktor berikut ini
sekarang harus dipertimbangkan (Thomson, 2007).
1. Efek gigi yang tanggal, yang sering disebut sebagai “hilangnya dukungan
untuk rahang saya”. Bahkan pengasahan permukaan oklusal dari gigi akrilik pada
protesa sebagian lepasan bisa dilrasakan pasien sebagai tanggalnya gigi. penggantian
gigi harus dipertimbangkan.
2. Kenaikan OVR harus dilihat dengan perhatian yang lebih mendalam. Jika
hilangnya OVR jelas terlihat, akibatnya tanggalnya gigi-gigi yang menyebabkan
perubahan posisi dari gigi yang tertinggal atau akibat geligi tiruan yang dibuat dengan
relasi vertikal yang terlalu pendek, keadaan ini harus direstorasi tetapi praktik
“menaikkan gigitan” secara empiris merupakan kontradikasi.
3. Dikenalinya interferensi tonjol pada gerak menutup lengkung retrusi yang
menyimpang ke satu sisi atau ke sisi lain harus diperbaiki dengan penyesuaian
oklusal.
4. Sebuah rencana harus disusun untuk mengurangi ketegangn emosi yang
tampaknya merupakan penyebab hiperaktivitas otot. Tindakan ini bisa dilakukan
melalui pemberian obat yang terseleksi dengan hati-hati atau dengan merujuk pasien
ke dokter untuk mendapat perawatan lebih lanjut, atau perawatan spesialis.
Dengan demikian, perawatan bergantung pada keputusan yang ditentukan oleh
faktor-faktor yang ada dan kebutuhan simtomatik dari pasien (Thomson, 2007).
2.4.4 Mendorong Dilakukannya Fisioterapi
Tidak ada tindakan perawatan lanjutan, kecuali fisioterapi, yang bisa diberikan
sampai efek pemakaian pesawat overlai diketahui. Untuk ini biasanya dibutuhkan
waktu satu bulan sesudah pemakaian. Selama waktu ini, pasien bisa diminta untuk
mengunyah dengan kedua sisi, dengan dagu ke belakang dan tanpa gigi-gigi saling
beroklusi, untuk mempertahankan postur “bibir menutup, gigi-gigi tidak menyentuh”
sewaktu mandibula dalam keadaan tidak berfungsi dan untuk melakukan gerak
menutup dan membuka retrusi pada waktu bangun dan sebelum makan (Thomson,
2007).
2.4.5 Medikasi
Kurang atau bahakan tidak pengalaman dalam pemberian obat-obatan untuk
MDS, membuat tidaklah bijaksana untuk menulis subyek ini kecuali meneruskan
pengalaman orang lain. Tidak diragukan lagi, obat-obatan terbukti dapat membantu
menghilangkan nyeri dan spasme otot. Pada pemakaian analgesik dan relaksan otot,
dilaporkan timbulnya rekurensi gejala pada hampir semua kasus sesudah obat
dihentikan. Sebaliknya, beberapa obat terbukti merupakan alat bantu perawtan yang
berharga. Dari golongan analgesik, asam mefenamat (Ponstan) dan pentazokin
hidrokhlorid (Fortal) terbukti sangat membantu. Relaksan otot yang digunakan
meliputi mefenesin (Myanesin), orfenadrin sitrat (Norflex), khlormesanon dengan
parasetamol (Lobak), metokarbamol (Robaxin) dan diazepam (Valium), dengan
keberhasilan intermiten. Dengna penekanan pada strs emosional, obat penenang dan
anti depresan tampaknya merupakan indikasi. Pengguanaan flufenazin hidrokhlorid
dan nortriptilin (Motival) dianjurkan (Harris dan Davies, 1980) untuk artromialgia
fasial, selain terapi lainnya. Obat-obat ini bisa memperbaiki mood dan tonus vaskular.
Efek sampingnya minimal tetapi mencakup meningkatnya kecenderungan
mengantuk, yang tentunya kurang disukai oleh pelajar, suatu golongan yang umum
terkena sindrom ini. Baru-baru ini, Reinmann dan Harris (1984) telah berhasil
menunjukkan bahwa dothiepin (Prothiaden) berhasil mengurangi gejala pada
percobaan klinis buta-ganda dibandingkan plasebodan pelindung gigitan lunak.
Dokter yang berpengalaman, yang umunya pendai mengkombinasikan tindakan
menenangkan dan rehabilitasi otot dengan terapi oklusal minimal, akan sangat
terbantu dengan adanya obat-obatan ini dan turunannya yang lebih baik. Telaah
mengenai sedasi dental yang dilakukan Ryder dan Wright (1988) mungkin juga
bermanfaat. Barangkali jika agen-agen ini direferensikan sebagai obat, akan kurang
dicurigai baik ole dokter gigi maupun pasien (Thomson, 2007).
2.4.6 Operasi Sendi
Beberapa keadaan tertentu hanya dapat ditangani secara bedah, sedang keadaan
lainnya dapat ditangani secara konservatif maupun bedah, dan akhirnya ada satu
kelompok, dimana pembedahan dipilih setelah penanganan secara konservatif gagal
mencapai hasil yang dikehendaki. Kasus-kasus yang membutuhkan pembedahan
adalah ankilosis tulang, eksisi neoplasia, hyperplasia processus condylaris,
rekonstruksi processus condylaris, dan penanganan beberapa fraktur sub condylaris
secara pembedahan. Kasus lain dapat ditangani secara nonbedah maupun bedah, yaitu
dislokasi kambuhan dan DJD. Kelompok terakhir merupakan kelompok kasus dimana
kelainan internal TMJ ditunjukkan berupa pergeseran discus ke anterior dengan atau
tanpa perbaikan. Pasien yang mengalami kondisi terakhir ini juga bias ditangani
dengan terapi konservatif. Mengabaikan manfaat penanganan secara konservatif
cenderung menimbulkan sejumlah besar operasi yang tidak berdasar. Sebaliknya,
tetap mempertahankan terapi konservatif yang terus diperpanjang pada keadaan yang
jelas tidak bisa disembuhkan juga tidak dibenarkan (Pedersen, 1996)
Rowe (1972) telah membuat daftar dari berbagai kondisi yang memerlukan
tindakan operasi. Selain masalah patologis yang lebih parah, seperti ankilosis, artritis
yang tidak bisa ditolelrir, dan neoplasma, ia juga memasukkan artrosis (tidak bisa
dirawat dengan metode perawatan konservatif). Ia menggambarkan diasar-dasar dari
sebagian besar masalah yang melibatkan disfungsi sendi mandibula sebagai “suatu
gangguan pada aktivitas otot yang terkoordinir, yang umumnya timbul dari maloklusi
dan sering kali diperhebat oleh faktor psikologi termasuk ketegangan
neuromuskular”. Anatomi terapan dan teknik operasi dijabarkannya dengan akurat.
Prosedur operasi pada sendi sering kali merupakan jalan keluar terakhir untuk pasien
yang benar-benar dalam kebingungan karena kelainan sendi, namun tindakan ini
jangan dilakukan tanpa konsultasi yang cermat dan mendalam antara dokter gigi, ahli
bedah, dan pasien (Thomson, 2007).
2.4.7 Perawatan pasca-terapi
Sesudah fungsi yang baik diperoleh melalui fisioterapi, penyesuaian oklusal,
atau dentistri retoratif dan penghilangan tanda serta gejala disfungsi, pasien diminta
datang kembali dalam waktu empat bulan untuk memastikan bahwa gerakan
mandibula yang tepat tetap dipertahankan dan bahwa gigi-gigi tidak saling
bersentuhan ketika sedang tidak digunakan. Tekanan kembali pada pasien untuk tidak
mengkontakkan gigi-giginya selama mastikasi dan berikan konseling mengenai cara
pencegahan melalui penggunaan gerak kondisioning untuk mandibula (regangan pasif
perlahan) sewaktu bangun tidur dan sebelum makan. Terapi pencergahan yang paling
baik adalah mengunyah dengan kedua sisi mulut sekaligus dan dengan posisi dagu ke
belakang. Pengunyahan unilateral cenderung menyebabkan kontak tonjol yang tidak
diharapkan pada sisi nonkerja dan cenderung otot pterigoideus lateralis di sisi
tersebut. Akhirnya, sikap yang positif terhadap fungsi yang baik diperlukan
(Thomson, 2007).
top related