efektivitas pengolahan lumpur instalasi pengolahan air
Post on 16-Oct-2021
11 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
Efektivitas Pengolahan Lumpur Instalasi Pengolahan Air (IPA) Dengan Solid Separation Chamber (SSC) (Studi Kasus : IPA Cisauk, PDAM Tirta
Kerta Raharja, Kabupaten Tangerang)
Delly Astria Darwin1, Setyo S. Moersidik2
Teknik Lingkungan, Departemen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia,
Depok 16424, Indonesia
E-mail : dellyastria@gmail.com
Abstrak
Solid Seperation Chamber (SSC) merupakan unit pengolahan lumpur yang merupakan modifikasi dari Sludge Drying Bed (SDB). SSC dapat digunakan sebagai alternatif untuk mengolah lumpur IPA dengan cara filtrasi melalui sand filter dan lapisan geotekstil, serta pengeringan dengan sinar matahari yang dilengkapi polycarbonate sebagai penutup. Studi ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas unit SSC dalam memisahkan kandungan air dan padatan lumpur, menurunkan kandungan pencemar, dan mengeringkan lumpur. Studi dilakukan menggunakan unit SSC skala laboratorium, dengan loading lumpur secara tunggal dan kontinu, dengan volume lumpur 70 liter/loading. Kandungan padatan dan kondisi iklim diukur secara berkala. Penurunan konsentrasi COD, TSS, dan kekeruhan juga diamati. Pada loading tunggal (single loading) dan loading seri (continuous loading) diperoleh lumpur dengan ketebalan 0.5 cm dan 21 cm. Unit SSC dapat mereduksi volume lumpur hingga 95.43%. Setelah pengeringan selama 15 hari, diperoleh lumpur dengan kandungan padatan 97.71% (lumpur dengan tebal 0.5 cm) dan 51.33% (lumpur dengan tebal 21 cm). Unit SSC dapat mereduksi kandungan COD hingga 98.05%, kekeruhan 99.65%, dan TSS 99.82%.
Effectiveness of Treating Water Works Sludge With Solid Separation Chamber (SSC) (Case Study : Cisauk WTP, PDAM Tirta Kerta Raharja, Kabupaten Tangerang)
Abstract
Solid Separation Chamber (SSC) is a sludge processing unit, which is a modification from Sludge Drying Bed (SDB). SSC can be used as an alternative to treat water works sludge by filtration process through sand filter and a layer of geotextile, and solar drying with polycarbonate as the cover. The purpose of this study is to determine the effectiveness of SSC unit in seperating water and solid content of sludge, reducing pollutant content, and drying sludge. This study was done using a laboratory scale SSC unit, with a single and continuous sludge loading, with a volume of 70 liter sludge/loading. Solid content and climate conditions was measured constantly. Reduction of COD, TSS, and turbidity content was also monitored. In the single loading and continous loading, sludge that was obtained has 0.5 cm and 21 cm of thickness. SSC unit can reduce sludge volume up to 95.43%. And after 15 days of drying, sludge solid content increases to 97.71% (0.5 cm thick sludge) 51.33% (21 cm thick sludge). SSC unit can reduce the content of COD up to 98.05%, turbidity up to 99.65%, and TSS up to 99.82%. Keywords : Separation Chamber, Sludge Dewatering, Sludge Drying, Solid, Waterworks Sludge
Pendahuluan Dalam proses pengolahan air baku menjadi air bersih/air minum, dihasilkan residu berupa
endapan flok yang terbentuk dari proses penghilangan dan transformasi secara fisik dan kimia
pada partikel, pantogen, dan komponen organik air baku. Endapan flok tersebut merupakan
Efektivitas Pengolahan ..., Delly Astria Darwin, FT UI, 2016
2
limbah residu dari proses pengolahan air bersih/air minum dan dibuang sebagai “lumpur”
yang terdiri dari padatan dengan sejumlah air. Masalah mengenai apa yang harus dilakukan
pada lumpur yang dihasilkan dari proses pengolahan air (lumpur IPA) telah menarik banyak
perhatian dalam beberapa dekade ini (Neubauer, 1968; Verrelli, Dixon, & Scales, 2009).
Lumpur hasil pengolahan air bersih memiliki ciri khas adanya kandungan bahan kimia dari
pemakaian senyawa kimia koagulan yang merupakan bahan berbahaya, beracun, dan dapat
menyebabkan pencemaran (Lewis, 1990; Fitri, 2013). Sebagian besar Instalasi Pengolahan Air (IPA) di Indonesia tidak memiliki sistem pengolahan
lumpur, sehingga lumpur yang dihasilkan hanya ditampung atau langsung dibuang menuju
badan air. Pembuangan lumpur yang tidak diolah langsung menuju badan air dapat
mengakibatkan pencemaran serta penurunan kualitas air terhadap badan air. Hal ini
bertentangan dengan UU No 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, dimana dikatakan bahwa
harus dilakukan perlindungan terhadap sumber-sumber air dari pengotor air yang dapat
merugikan. Oleh karena itu, setiap IPA membutuhkan suatu sistem pengolahan lumpur untuk
mengolah lumpur yang dihasilkannya agar dapat dibuang tanpa menyebabkan pencemaran. Solid Seperation Chamber (SSC) merupakan salah satu unit pengolahan yang digunakan pada
Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) Keputih, Surabaya. SSC digunakan untuk
melakukan pemisahan padatan lumpur dan air dengan memanfaatkan proses fisik, serta
pengeringan dengan penyinaran menggunakan sinar matahari sebagai desinfeksi dan angin
untuk mengurangi kelembapan. Dalam evaluasi IPLT Keputih, unit SSC efektif dalam
menurunkan kandungan TSS sebesar 44.41% dan COD sebesar 20% pada lumpur tinja (Dian
& Herumurti, 2016). Dengan asumsi bahwa unit SSC juga dapat digunakan dalam pengolahan lumpur IPA,
diperlukan suatu penelitian mengenai efektifitas unit SSC sebagai alternatif dalam mengolah
lumpur IPA. Maka dari itu, tujuan dari penelitian ini adalah: 1) mengetahui jumlah timbulan
lumpur IPA; 2) mengetahui karakteristik lumpur IPA; dan 3) mengkaji efektivitas pengolahan
lumpur IPA dengan SSC. Efektivitas unit SSC yang dimaksud adalah kemampuannya dalam
memisahkan kandungan air dan padatan pada lumpur, dalam menurunkan kandungan
pencemar, serta dalam proses pengeringan lumpur.
Efektivitas Pengolahan ..., Delly Astria Darwin, FT UI, 2016
3
Tinjauan Teoritis Lumpur Instalasi Pengolahan Air (IPA) atau Waterworks Sludge adalah endapan flok berupa
padatan dengan sejumlah air yang dihasilkan dari proses penghilangan kandungan partikel
pencemar pada air baku melalui penambahan bahan kimia (koagulan) pada proses pengolahan
air bersih. Lumpur Pengolahan Air terdiri dari padatan tersuspensi (SS) dan padatan terlarut
(DS), serta senyawa organik dan anorganik yang berasal dari pencemaran pada air baku.
Lumpur juga mengandung bahan-bahan kimia dan koagulan aid yang digunakan pada
koagulasi, mengingat bahan kimia tersebut membantu pembentukan padatan partikel
pencemar. Sumber utama residu instalasi pengolahan air adalah proses koagulasi (alum dan
besi), proses softening, dan proses filter backwashing (Qasim, 2000). Umumnya, pengolahan residu lumpur IPA terdiri dari proses pengentalan (thickening),
penyesuaian kondisi (conditioning), pengeringan (dewatering), pemulihan bahan kimia
(chemical recovery), dan pembuangan (disposal) (Qasim, 2000). Tujuan dari pengolahan
lumpur adalah untuk mereduksi volume dengan memisahkan kandungan air dari padatan
lumpur, sehingga memudahkan proses pemanfaatan kembali atau pembuangan padatan dan
air tersebut. Terdapat beberapa unit operasi dan proses dapat digunakan sebagai alternatif
dalam pengolahan lumpur. Solid Separation Chamber (SSC) adalah salah satu unit yang telah digunakan dalam
pengolahan lumpur tinja di IPLT Keputih, Surabaya. Prinsipnya, SSC merupakan sebuah
kolam pemisah antara kandungan air dan padatan pada lumpur. Pemisahan dilakukan melalui
proses perembesan kandungan air melalui lapisan media SSC dan tertahannya padatan diatas
media SSC. Unit SSC merupakan modifikasi dan kombinasi dari drying bed (bak
pengeringan) yang merupakan salah satu unit dewatering. Kombinasi drying bed yang
dimaksud adalah gabungan dari sand drying bed dan solar drying bed. Pengolahan lumpur yang terjadi pada unit SSC adalah pemisahan kandungan air dan padatan
melalui filtrasi, serta pengeringan dengan memanfaatkan sinar matahari. Unit SSC terdiri dari
pipa drainase, kerikil, dan pasir. Pipa drainase berfungsi mengalirkan filtrat menuju unit
pengolahan atau penampungan selanjutnya. Kerikil dan pasir merupakan media filter yang
digunakan untuk memisahkan air dari padatan lumpur. Unit SSC juga dilengkapi penutup
untuk menghalangi masuknya hujan ke dalam unit SSC yang akan mempengaruhi proses
pengeringan. Mekanisme proses pengolahan dimulai dari penghamparan secara merata
Efektivitas Pengolahan ..., Delly Astria Darwin, FT UI, 2016
4
lumpur ke dalam unit SSC. Padatan dan air kemudian akan mengalami pemisahan, akibat sifat
fisik air limbah dimana padatan akan mengendap dibagian bawah sedangkan air akan
menggenang pada bagian atas, dan dengan proses filtrasi dimana air terpisah dari lumpur
melalui perembesan media pasir dan kerikil. Melalui proses filtrasi ini, kotoran berupa zat
organik dan anorganik akan tertahan sehingga air yang tersaring memiliki kualitas yang lebih
baik. Padatan yang tertahan diatas media akan mengalami pengeringan melalui evaporasi
dengan sinar matahari. Pengeringan dengan menggunakan sinar matahari dapat berfungsi
sebagai desinfeksi. Selain itu, angin juga dimanfaatkan untuk mengurangi kelembapan
padatan dan mempercepat proses pengeringan. Metode Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen pengolahan lumpur
menggunakan unit Sluge Separation Chamber (SSC) skala kecil atau skala laboratorium
(Gambar 1). Sampel lumpur yang digunakan adalah lumpur yang berasal dari IPA Cisauk,
PDAM Tirta Kerta Raharja, Kabupaten Tangerang, dengan kapasitas pengolahan 50
liter/detik. Penelitian dilakukan di Bintaro, Tangerang Selatan.
Gambar 1. Unit SSC Skala Laboratorium
Unit SSC skala laboratorium yang digunakan terbuat dari kaca dengan ketebalan 5 mm. Unit
SSC berbentuk persegi panjang dengan ukuran alas 40 cm x 80 cm, dan total ketinggian 150
cm. Pada bagian bawah SSC dipasang pipa PVC berdiameter 114 yang dilubangi
permukaannya sebagai saluran pembawa filtrat. Pipa PVC dilapisi dengan membran
geotekstil non woven untuk mencegah masuknya lumpur atau media filter ke dalam pipa.
Diatas pipa PVC adalah lapisan kerikil dengan ketebalan 30 cm sebagai lapisan penyangga,
Efektivitas Pengolahan ..., Delly Astria Darwin, FT UI, 2016
5
dan lapisan pasir dengan ketebalan 30 cm sebagai media penyaring air. Diatas lapisan pasir,
diletakan membran geotekstil non woven GT-150 yang berfungsi mencegah terbawanya
padatan lumpur yang ada pada aliran air yang akan mengalir sehingga tidak terjadi
percampuran antara lumpur dan pasir yang akan menyebabkan pemampatan (clogging).
Geotekstil non woven ini diaplikasikan di seluruh permukaan SSC agar padatan lumpur tidak
dapat lolos tanpa melalui geotekstil. Lumpur yang diolah dihamparkan diatas lapisan
geotekstil. Pada penelitian ini, unit SSC skala laboratorium yang digunakan mampu
menampung lumpu hingga ketebalan 20 cm. Pada bagian atas unit SSC dipasang penutup
berupa lapisan polycarbonate berwarna transparan dengan ketebalan 6 – 10 mm yang
disangga dengan tiang 55 cm diatas lapisan lumpur. Polycarbonate berfungsi menahan
masuknya air ke dalam unit SSC dan memancarkan panas matahari ke dalam unit SSC. Penelitian dilakukan dengan variasi kapasitas loading, yaitu kapasitas loading tunggal (single
loading) dan kapasitas loading seri (continuous loading). Pada single loading, proses
penuangan lumpur hanya dilakukan satu kali. Pada variasi ini, effluen pada waktu 15 menit,
30 menit, 1 jam, 3 jam, dan 6 jam setelah loading dilakukan diperiksa kualitasnya. Pada
continuous loading, proses penuangan lumpur dilakukan secara kontinu, satu kali setiap hari,
hingga unit SSC mencapai kapasitas maksimum yang telah ditentukan, yaitu hingga ketebalan
lumpur mencapai 20 cm. Pada variasi ini, effluen pada setiap kali loading diperiksa
kualitasnya. Volume lumpur yang dituangkan untuk setiap kali loading dilakukan pada
penelitian ini adalah 70 liter. Pada setiap variasi kapasitas loading, lumpur yang tertahan
didiamkan selama 15 hari masa pengeringan, untuk diamati proses pengeringannya. Selama
masa pengeringan lumpur, dilakukan pengukuran lapangan terhadap suhu dalam unit SSC,
intensitas matahari yang masuk ke dalam unit SSC, dan intensitas matahari di luar unit SSC.
Data suhu udara dan jumlah hujan di lokasi penelitian diperoleh dari stasiun BMKG. Efektivitas unit SSC dalam mengeringkan lumpur diperoleh melalui pemeriksaan kandungan
Total Solid atau kandungan air setiap harinya selama masa pengeringan lumpur. Pemeriksaan
kandungan Total Solid lumpur dilakukan dengan memanaskan lumpur pada suhu 103oC –
105oC. Sedangkan efektivitas unit SSC dalam menurunkan kandungan pencemar unit SSC
diperoleh dengan mengukur konsentrasi COD, TSS, dan kekeruhan pada lumpur influen dan
effluen yang dihasilkan. Pemeriksaan kualitas influen dan effluen dilakukan di laboratorium
dengan metode refluks tertutup untuk COD, metode gravitimetri untuk TSS, dan neflometri
untuk kekeruhan. Perhitungan efisiensi removal dilakukan dengan menggunakan persamaan
sebagai berikut :
Efektivitas Pengolahan ..., Delly Astria Darwin, FT UI, 2016
6
% !"#$%&' = !1− !2!1 × 100%
dengan: X1 = konsentrasi influen
X2 = konsentrasi effluen Hasil dan Pembahasan Jumlah Timbulan Lumpur IPA Berdasarkan data sekunder, rata-rata produksi lumpur IPA Cisauk adalah 109.1 m3/hari atau
1.3 liter/detik. Produksi lumpur memiliki persentase 2.5% dari produksi air. Umumnya,
persentase residu lumpur biasanya berjumlah 1% - 3% dari jumlah air yang diolah (Casey,
2006). Rata-rata massa timbulan lumpur IPA berdasarkan perhitungan adalah sebesar 0.175
kg/m3 atau 757.89 kg/hari.
Karakteristik Lumpur IPA Kualitas pada setiap lumpur yang dihasilkan IPA sangat bervariasi. Perbedaan kualitas
lumpur ini terjadi karena kualitas air baku, jenis koagulan, dan jumlah koagulan yang
digunakan pada proses pengolahan air berbeda-beda setiap saatnya. Tabel 1 merupakan tabel
konsentrasi COD, TSS, dan kekeruhan pada lumpur IPA. Konsentrasi COD, TSS, dan
kekeruhan rata-rata lumpur IPA adalah 1170 mg/l, 13025 mg/l, dan 9771 NTU.
Tabel 1. Kosentrasi COD, TSS, dan Kekeruhan Lumpur IPA
No Sampel COD (mg/L) Kekeruhan (NTU) TSS (mg/L) 1 3-Feb-16 3764 28000 28295 2 17-Feb-16 243 1209 2292 3 13-Mar-16 825 2200 7954 4 1-Apr-16 639 3863 7654 5 4-Apr-16 648 4637 6758 6 7-Apr-16 770 6003 10529 7 10-Apr-16 2058 21933 30365 8 13-Apr-16 171 1413 2450 9 16-Apr-16 1156 8827 13800
10 19-Apr-16 1430 11067 20150 Rata-Rata 1170 9771 13025 Maksimal 3764 28000 30365 Minimal 171 1413 2292
Efektivitas Pengolahan ..., Delly Astria Darwin, FT UI, 2016
7
Efektivitas Pengeringan Lumpur Gambar 2 merupakan grafik perubahan nilai total solid content lumpur pada 15 hari masa
pengeringan pada Single Loading. Karena hanya dilakukan satu kali loading atau satu kali
penuangan lumpur ke dalam unit SSC, maka endapan lumpur yang tertahan di atas geotekstil
hanya memiliki ketebalan sebesar + 0.5 cm. Gambar 3 merupakan grafik perubahan
kandungan total solid lumpur selama 15 hari masa pengeringan. Total solid lumpur terlihat
semakin meningkat semakin lama waktu pengeringannya. Kandungan total solid lumpur
awal, sebelum dilakukan proses penyaringan dan pengeringan (T = 0) adalah sebesar 0.86%.
Total solid content lumpur naik secara signifikan hingga 24.68% setelah penyaringan.
Kenaikan kandungan total solid ini disebabkan karena sebagian besar kandungan air lumpur
telah hilang akibat proses pemisahan padatan dan cairan melalui penyaringan dengan
geotekstil dan media pasir. Kenaikan total solid content lumpur terus terjadi hingga hari ke
15, dengan kandungan total solid sebesar 97.71%.
Gambar 2. Total Solid Content Lumpur Selama Masa Pengeringan Pada Single Loading
Karena pelaksanaan penuangan lumpur pada variasi kapasitas loading kontinu (continuous
loading) dilakukan secara terus menerus, terjadi pertambahan lapisan lumpur setiap kali
penuangan dilakukan. Pada penelitian ini kapasitas maksimum unit SSC yang ditetapkan
adalah hingga ketebalan lumpur mencapai 20 cm. Loading lumpur dapat terus dilakukan
hingga loading dengan kapasitas 21 hari, dimana lumpur yang tertahan mencapai ketebalan
21 cm. Maka pada masa pengeringan continuous loading, lumpur yang didiamkan untuk
diamati proses pengeringannya memiliki ketebalan sebesar 21 cm.
Efektivitas Pengolahan ..., Delly Astria Darwin, FT UI, 2016
8
Gambar 3. Total Solid Content Lumpur Selama Masa Pengeringan Pada Continuous Loading
Gambar 3 merupakan grafik perubahan nilai total solid content lumpur pada 15 hari masa
pengeringan pada Continuous Loading. Kandungan total solid lumpur semakin meningkat
semakin lama waktu pengeringannya. Total solid content lumpur sebesar 0.86% meningkat
menjadi 22.5% setelah sebagian besar kandungan air hilang melalui proses penyaringan.
Peningkatan kandungan total solid secara signifikan hanya terjadi hingga hari ke 1 masa
pengeringan, dari 22.5% menjadi 33.84%. Pada hari ke 2 hingga hari ke 15 masa
pengeringan, perubahan kandungan total solid lumpur terlihat lebih kecil, hanya berkisar 0.13
– 4.38%. Hingga hari ke 15 masa pengeringan, kandungan total solid pada lumpur mencapai
51.33%. Kandungan total solid lumpur yang dapat dicapai pada single loading dan continuous loading
selama 15 hari masa pengeringan sangat berbeda. Pada single loading, kandungan total solid
yang dapat dicapai sebesar 97.71% sedangkan pada continuous loading hanya mencapai
51.33%. Hal ini terjadi karena ketebalan lumpur yang dikeringkan pada continuous loading ,
sebesar 21 cm, lebih besar dibandingkan ketebalan lumpur pada single loading, yang hanya
mencapai 0.5 cm. Besarnya kandungan total solid yang dapat dicapai berbanding terbalik
dengan ketebalan lumpur yang dikeringkan. Semakin tebal lumpur yang dikeringkan, semakin
kecil kandungan total solid yang dapat dicapai. Perbandingan grafik kandungan total solid
lumpur yang dapat dicapai pada single loading (kapasitas 1 hari loading) dan continuous
loading (kapasitas 21 hari loading) dapat dilihat pada Gambar 4.
Efektivitas Pengolahan ..., Delly Astria Darwin, FT UI, 2016
9
Gambar 4. Perbandingan Total Solid Content Lumpur Selama Masa Pengeringan Pada Single Loading dan
Continuous Loading
Kondisi Iklim Selama masa pengeringan, dilakukan pengukuran suhu di dalam unit SSC, serta intensitas
matahari di dalam dan di luar unit SSC. Data suhu udara dan jumlah hujan di lokasi penelitian
diperoleh dari stasiun BMKG cabang Pondok Betung. Gambar 5 menggambarkan hubungan antara jumlah hujan (rainfall), suhu dalam (indoor
temperature) dan luar (outside temperature) unit ssc, serta radiasi matahari yang masuk ke
dalam (indoor solar radiation) dan di luar unit SSC (outdoor solar radiation) per hari
terhadap total solid content lumpur pada masa pengeringan penelitian single loading (Gambar
5A) dan continuous loading (Gambar 5B). Suhu di dalam unit SSC lebih besar dibandingkan
suhu udara di luar SSC. Hal ini terjadi akibat polycarbonate yang dijadikan atap penutup
memberikan efek rumah kaca pada ruang lumpur di dalam unit SSC. Panas yang masuk
melalui polycarbonate terperangkap di dalam sehingga dapat membantu proses pengeringan
lumpur lebih cepat. Suhu di dalam unit lebih besar 3.2 oC - 4.3oC dibandingkan suhu udara
luar. Jumlah hujan rata-rata yang terjadi selama masa pengeringan adalah sebesar 3.37
mm/hari (single loading) dan 2.29 mm/hari (continuous loading). Jumlah terjadinya hujan
tidak mengakibatkan penurunan terhadap total solid content lumpur. Hal ini disebabkan
karena hujan yang terjadi tidak dapat masuk ke dalam unit SSC akibat digunakannya
polycarbonate sebagai atap penutup sehingga hujan tidak mengganggu proses pengeringan.
Besar radiasi matahari di luar unit SSC lebih besar dibandingkan dengan radiasi matahari
yang masuk ke dalam unit SSC. Hal ini disebabkan karena adanya atap polycarbonate yang
hanya dapat mentransmisikan cahaya matahari hingga 80%.
Efektivitas Pengolahan ..., Delly Astria Darwin, FT UI, 2016
10
Gambar 5. Pengukuran Suhu, Intensitas Matahari, dan Jumlah Hujan, Selama Masa Pengeringan Lumpur Pada
Single Loading (A) dan Continuous Loading (B)
Gambar 6. Hubungan Kumulatif Solar Radiation Terhadap Total Solid Content Lumpur pada (A) Single Loading dan
(B) Continuous Loading
Ditemukan hubungan yang kuat antara kumulatif radiasi matahari terhadap perubahan
kandungan total solid lumpur, dengan r (koefisien korelasi) > 0.9. Kandungan total solid
lumpur akan semakin naik semakin bertambahnya radiasi matahari yang diterima. Dibutuhkan
Efektivitas Pengolahan ..., Delly Astria Darwin, FT UI, 2016
11
setidaknya 1500 W/m2 radiasi matahari yang masuk ke dalam unit SSC untuk meningkatkan
kandungan total solid lumpur dengan ketebalan 0.5 cm dari 0.86% menjadi 97.71% (Gambar
6A). Selain itu, dibutuhkan 1800 W/m2 radiasi matahari yang masuk ke dalam unit SSC,
untuk meningkatkan total solid content lumpur dengan ketebalan 21 cm dari 0.86% menjadi
51.33% (Gambar 6B).
Removal Kekeruhan Salah satu pemanfaatan kembali filtrat yang dapat dilakukan adalah digunakannya kembali
sebagai air baku Kekeruhan merupakan salah satu parameter kunci yang diamati pada air
minum karena mempengaruhi nilai estetika dari air yang dihasilkan.
Gambar 7. Nilai & Removal Kekeruhan pada Single Loading (A) dan Continuous Loading (B)
Gambar 7A merupakan grafik nilai dan persentase removal kekeruhan pada Single Loading.
Pada awal waktu kontak, yaitu 15 menit, terlihat nilai kekeruhan yang paling tinggi, sebesar
87 NTU. Kekeruhan yang masih cukup tinggi ini mengindikasikan bahwa proses penyaringan
belum berjalan dengan sempurna. Hal ini terjadi akibat lapisan geotekstil belum mengalami
kejenuhan sehingga kemampuannya dalam menghambat padatan masih kurang baik. Namun
pada waktu kontak 30 menit, nilai kekeruhan mengalami penurununan ke nilai yang paling
kecil sebesar 7 NTU. Pada waktu ini, geotekstil sudah cukup jenuh dan dapat menghambat
lebih banyak padatan sehingga proses penyaringan pada unit SSC telah berjalan lebih baik.
Efektivitas Pengolahan ..., Delly Astria Darwin, FT UI, 2016
12
Rentang nilai kekeruhan effluen yang dihasilkan adalah 7 NTU – 87 NTU, dengan rata-rata
sebesar 26.6 NTU. Rentang persentase removal kekeruhan adalah 96.05 – 99.68%.
Gambar 7B merupakan grafik nilai dan persentase removal kekeruhan pada Continuous
Loading. Kapasitas loading mempengaruhi nilai kekeruhan effluen yang dihasilkan. Nilai
kekeruhan effluen pada kapasitas loading 1 hari hingga 18 hari cukup kecil dengan perbedaan
yang tidak terlalu besar, berkisar antara 4.17 NTU hingga 22 NTU. Perubahan nilai kekeruhan
yang signifikan terjadi pada kapasitas loading 19 hari – 21 hari yang mencapai 99.83 NTU,
hingga 190 NTU. Kenaikan yang cukup besar ini menunjukan bahwa kapasitas loading unit
SSC telah mencapai kemampuan penyaringannya yang maksimum. Lapisan geotekstil dan
media penyaring telah mencapai titik kejenuhan yang paling tinggi sehingga tidak mampu
lagi menghasilkan filtrat yang baik. Rentang persentase removal kekeruhan pada continuous
loading ini adalah 98.28 – 99.65%. Removal TSS TSS merupakan salah satu parameter penting karena ciri dari lumpur IPA adalah banyaknya
kandungan padatan (total solid). Konsentrasi TSS pada effluen merupakan salah satu tolak
ukur efektivitas unit SSC dalam memisahkan kandungan padatan dan air pada lumpur IPA. Gambar 8A merupakan grafik konsentrasi dan removal TSS pada Single Loading. Pada awal
waktu kontak yaitu 15 menit, effluen yang dihasilkan masih memiliki nilai TSS yang cukup
besar yaitu 130 mg/l. Kandungan TSS yang masih tinggi ini terjadi karena proses penyaringan
yang belum terjadi secara sempurna akibat geotekstil yang belum jenuh sehingga kurang baik
dalam menghambat padatan pada lumpur. Pada waktu kontak selanjutnya nilai TSS menurun
hingga konsentrasi yang paling kecil sebesar 2 mg/l pada waktu kontak 30 menit. Hal ini
terjadi karena lapisan geotekstil telah jenuh dan dapat menghambat padatan lebih banyak
sehingga kemampuan penyaringann menjadi lebih baik. Rentang nilai TSS effluen yang
dihasilkan adalah 2 mg/L – 130 mg/L, dengan rata-rata sebesar 36.4 mg/L. Semakin kecil
nilai TSS effluen, semakin besar persentase removalnya. Rentang persentase removal TSS
adalah 98.37 – 99.97%.
Efektivitas Pengolahan ..., Delly Astria Darwin, FT UI, 2016
13
Gambar 8. Konsentrasi & Removal TSS pada (A) Single Loading dan (B) Continuous Loading
Gambar 8B merupakan grafik konsentrasi dan removal TSS pada Continuous Loading.
Kapasitas loading mempengaruhi konsentrasi TSS effluen yang dihasilkan. Konsentrasi TSS
effluen yang dihasilkan pada kapasitas loading 1 hari hingga 18 hari cukup kecil dan
memiliki perbedaan yang tidak terlalu besar, dengan rentang antara 1 mg/L – 27 mg/L.
Namun terjadi kenaikan konsentrasi TSS yang sangat signifikan pada kapasitas loading 19
hari – 21 hari yang mencapai 96 mg/L - 178 mg/L. Kenaikan konsentrasi TSS yang cukup
signifikan ini menunjukan bahwa lapisan geotekstil dan media penyaring unit SSC telah
mencapai titik jenuh yang paling tinggi sehingga tidak mampu lagi menghasilkan filtrat yang
baik. Rentang persentase removal TSS pada continuous loading adalah 99.12 – 99.99%. Removal COD Gambar 9A merupakan grafik konsentrasi dan persentase removal COD pada Single Loading.
Pada awal waktu kontak yaitu 15 menit, juga dihasilkan effluen dengan nilai COD yang
paling besar yaitu 36 mg/l. Nilai COD juga mengalami penurunan hingga konsentrasi yang
paling kecil mencapai 1 mg/l pada waktu kontak 30 menit. Rentang nilai COD effluen yang
dihasilkan adalah 1 mg/L – 36 mg/L, dengan rata-rata sebesar 12.4 mg/L. Rentang persentase
removal COD adalah 95.64 – 99.88%.
Efektivitas Pengolahan ..., Delly Astria Darwin, FT UI, 2016
14
Gambar 9. Kosentrasi & Removal COD pada Single Loading (A) dan Continuous Loading (B)
Gambar 9B merupaka grafik konsentrasi dan persentase removal COD pada Continuous
Loading. Kenaikan dan penurunan konsentrasi COD kapasitas loading 1 hari – 21 hari
memiliki perbedaan yang tidak terlalu signifikan. Konsentrasi COD pada hari ke 1 hingga
hari ke 18 berkisar antara 4 hingga 21 mg/l. Kenaikan konsentrasi COD effluen yang paling
besar terjadi pada hari ke 19, hari ke 20 dan hari ke 21, yaitu 34 mg/L, 38 mg/L, dan 31
mg/L. Kenaikan nilai COD paling besar ini terjadi pada waktu yang sama dengan kenaikan
nilai kekeruhan dan TSS yang paling besar, seperti yang telah dibahas sebelumnya. Hal ini
disebabkan akibat lapisan geotekstil dan media penyaring yang sudah mengalami kejenuhan
sehingga tidak dapat menghasilkan effluen yang lebih baik. Rentang persentase removal COD
pada continuous loading adalah 94.15 – 99.56%.
Kesimpulan Efektivitas Solid Separation Chamber (SSC) dalam pengolahan lumpur IPA adalah sebagai
berikut :
1. Rata-rata produksi lumpur IPA adalah 109.1 m3/hari dengan massa 0.175 kg/m3 atau
758.12 kg/hari.
2. Lumpur IPA memiliki rata-rata kandungan COD sebesar 1170 mg/L, TSS sebesar 13025
mg/L, dan kekeruhan sebesar 9771 NTU.
Efektivitas Pengolahan ..., Delly Astria Darwin, FT UI, 2016
15
3. Efektivitas unit SSC dalam pengolahan lumpur IPA adalah sebagai berikut :
a. SSC dapat meningkatkan solid content lumpur dengan ketebalan 0.5 cm dari 0.86%
menjadi 43.30 - 97.71% dalam waktu 1 - 15 hari pengeringan.
b. SSC juga dapat meningkatkan solid content lumpur dengan ketebalan 21 cm dari
0.86% menjadi 33.84 - 51.33% dalam waktu 1 - 15 hari pengeringan.
c. Efisiensi removal COD pada unit SSC sebesar 94.15 – 99.88%, dengan rata-rata
98.05%.
d. Efisiensi removal TSS pada unit SSC sebesar 98.37 - 99.99 %, dengan rata-rata
99.65%.
e. Efisiensi removal kekeruhan pada unit SSC sebesar 94.15- 99.68 %, dengan rata-rata
99.82%. Saran 1. Perlu dilakukan studi mengenai pengaruh suhu, penyinaran matahari, hujan, dan angin
pada pengolahan lumpur dengan unit SSC terhadap kandungan mikrobiologis lumpur.
2. Perlu dilakukan studi efektivitas pengolahan lumpur IPA dengan unit SSC dengan
pembebanan yang bervariasi, untuk mengetahui pengaruh pembebanan terhadap efisiensi
pengeringan dan removal pencemar.
3. Perlu dilakukan studi efektivitas pengolahan lumpur IPA dengan unit SSC dengan
kapasitas maksimum yang berbeda, untuk mengetahui pengaruh kapasitas unit terhadap
efisiensi pengeringan dan removal pencemar.
4. Dapat dilakukan studi mengenai pengaruh jenis geotekstil yang digunakan unit SSC
terhadap efisiensi removal pencemar dan efisiensi pengeringan.
5. Dapat dilakukan studi efektivitas unit SSC dalam pengolahan lumpur selain lumpur IPA
dan lumpur tinja. Daftar Referensi AWWA Research Foundation. (1969). Disposal od Wastes from Water Treatment Plant –
Part 1, Section 1, Report on What Is Known. Journal AWWA 61:10:541 (Oct). Casey, T. J. (2006). Unit Treatment Processes in Water and Wastewater Engineering.
Aquavarra Research Limited, Dublin. Cornwell, David A., dan McTigue, Nancy E. (2009). Water Treatment Residuals
Management for Small System. Water Research Foundation.
Efektivitas Pengolahan ..., Delly Astria Darwin, FT UI, 2016
16
Crittenden, John C., Hand, David W., Howe, Kerry J., Tchobanoglous, George., dan Trussell,
R. Rhodes. (2012). Principles of Water Treatment. John Wiley & Sons, Inc., Hoboken,
New Jersey. Dian, Gaby., dan Herumurti, Welly. (2016). Evaluasi Kinerja Instalasi Pengolahan Lumpur
Tinja (IPLT) Keputih, Surabaya. Jurnal Teknik ITS Vol 5, No. 1, ISSN: 2337-3539
(2301-9271 Print). Fitri, Hariana. (2013). Dampak Pembuangan Lumpur Perusahaan Daerah Air Minum Kota
Pontianak Terhadap Kualitas Air Sungai Kapuas. Jurnal S1 Teknik Lingkungan
Universitas Tanjungpura, Vol 1, No 1. Oktober 15 2015. Lewis, T.E. (1990). Environmental Chemistry and Toxicity of Aluminium. Lewis Publishers
Inc, Michigan. Neubauer, W.K. (1968). Waste Alum Sludge Treatment. Journal (AWWA) 60 (&), 819-826. Qasim, S.R., Montley, E. M. Dan Zhu, G. (2000). Water Works Engineering: Planning,
Design, and Operation. Prentice Hall PTR, New Jersey. Salihoglu, Nezih Kamil., Pinarli, Vedat, dan Salihoglu, Guray. (2007). Solar Drying in Sludge
Management in Turkey. Renewable Energy 32 (2007) 1661 – 1675. Verrelli, David I., David R. Dixon, dan Peter J. Scales. (2009). Assessing Dewatering
Peformance of Drinking Water Treatment Sludges. Water Research 44 (2010) 1542-
1552.
Efektivitas Pengolahan ..., Delly Astria Darwin, FT UI, 2016
top related