epilepsi - dr. ayub, sps
Post on 02-Aug-2015
57 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Bab I
Pendahuluan
Epilepsi dapat terjadi pada siapa saja di seluruh dunia tanpa batasan ras dan sosial-
ekonomi. Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang. Dari banyak
studi menunjukkan bahwa rata-rata prevalensi epilepsi aktif 8,2 per 1000 penduduk,
sedangkan angka insidensi epilepsi mencapai 50 per 100.000 penduduk. Bila jumlah
penduduk Indonesia berkisar 220 juta, maka diperkirakan jumlah pasien epilepsi yang masih
mengalami bangkitan atau membutuhkan pengobatan sekitar 1.8 juta. Berkaitan dengan
umur, grafik prevalensi epilepsi menunjukkan pola bimodal. Prevalensi epilepsi pada bayi
dan anak-anak cukup tinggi, menurun pada dewasa muda dan pertengahan, kemudian
meningkat lagi pada kelompok usia lanjut.
Bab II1
Tinjauan pustaka
I. DEFINISI
Epilepsi merupakan suatu keadaan yang ditandai oleh pelepasan aktivitas listrik
neuron abnormal yang berlebihan dan berulang yang diperantari oleh berbagai faktor
dalam susunan saraf pusat. 1
Epilepsi menggambarkan suatu keadaan dimana seseorang mengalami serangan
kejang (bangkitan) yang berulang dalam suatu proses kronik. 2
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yag ditandai oleh bangkitan (seizure)
berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermitten yang
disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara
paroksismal, didasari oleh berbagai faktor etiologi. 3
Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) adalah manifestasi klinik dari bangkitan serupa
(stereotipik), berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa perubahan
kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak, ukan
disebabkan oleh suatu penyakit otak (unprovoked). 3
Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik epilepsi yang terjadi
secara bersama-sama yang berhubungan dengan etiologi, umur, awitan (onset), jenis
bangkitan, faktor pencetus, dan kronisitas. 3
Pada epilepsi didapatkan gangguan fungsi pada sekelompok sel-sel saraf (neuron) di
otak. Tiap sel mempunyai aktivitas listrik. Pada gangguan fungsi sel yang mengakibatkan
serangan epilepsi didapatkan aktivitas listrik yang berlebihan. Huglin Jackson pada tahun
1870, mengemukakan bahwa serangan epilepsi berada dari aktivitas listrik yang
berlebihan pada sekelompok sel-sel neuron di otak. Pendapatnya ini merupakan konsep
mutakhir dari epilepsi sampai saaat ini. 4
II. ETIOLOGI 3
1. Idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai predisposisi genetik.
2. Kriptogenik : dianggap simtomatik, tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk
disini adalah sindrom West, sindrom Lennox – Gastaut dan epilepsi mioklonik.
Gambaran klinik sesuai dengan ensefalopati difus.
2
3. Simtomatik : disebabkan oleh kelainan/ lesi pada susunan saraf pusat, misalnya
trauma kepala, infeksi susunan saraf pusat, kelainan kongenital, lesi desak ruang,
gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol dan obat), metabolik, kelainan
neurodegeneratif.
III. KLASIFIKASI 1, 3
Klasifikasi International League Against Epilepsi (ILAE) 1981 untuk jenis bangkitan
epilepsi :
A. Bangkitan parsial
a. Bangkitan parsial sederhana
i. Motorik
ii. Sensorik
iii. Otonom
iv. Psikis
b. Bangkitan parsial kompleks
i. Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan kesadaran
ii. Bangkitan parsial yang disertai gangguan kesadaran saat awal bangkitan
c. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
B. Bangkitan Umum
a. Absence (lena)
b. Mioklonik
c. Klonik
d. Tonik klonik
e. Tonik (static) / Atonik
C. Tak tergolongkan.
IV. DIAGNOSIS
Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu : 3
Pertama, memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksismal menunjukkan
bangkitan epilepsi atau bukan epilepsi.
Kedua, apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka tentukanlah bengkitan yang
ada temasuk jenis bangkitan apa.
3
Ketiga, pastikan sindrom epilepsi apa yang ditunjukkan oleh bangkitan tadi, atau
epilepsi apa yang diderita oleh pasien, dan tentukan etiologinya.
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinik dalam
bentuk bangkitan epilepsi berulang (minimum 2 kali) yang ditunjang oleh gambaran
epileptiform pada EEG. Secara lengkap urutan pemeriksaan untuk menuju ke
diagnosis adalah sebagai berikut : 3
1. Anamnesis (auto dan allo-anamnesis)
- Pola/ bentuk bangkitan
- Lama bangkitan
- Gejala sebelum, selama dan pasca bangkitan
- Frekuensi bangkitan
- Faktor pencetus
- Ada/ tidak adanya penyakit lain yang diderita sekarang
- Usia pada saat terjadinya bangkitan pertama
- Riwayat pada saat dalam kandungan, persalinan/ kelahiran dan perkembangan
bayi/ anak
- Riwayat terapi epilepsi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologik
Hal-hal yang perlu diperiksa antara lain adanya tanda-tanda dari gangguan
yang berhubungan dengan epilepsi, misalnya trauma kepala, infeksi telinga atau
sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, kecanduan
alkohol atau obat terlarang, dan kanker.
3. Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan bukti-bukti klinik dan/atau
indikasi, serta bila keadaan memungkinkan untuk pemeriksaan penunjang.
- Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG)
Indikasi EEG :
Membantu menegakkan diagnosis epilepsi
Menentukan prognosis pada kasus tertentu
Pertimbangan dalam penghentian OAE
Membantu dalam menentukan letak fokus
4
Bila ada perubahan bentuk bangkitan (berbeda dengan bangkitan
sebelumnya).
Rekaman EEG sebaiknya dilakukan pada saat bangun, tidur, dengan stimulasi
fotik, hiperventilasi, stimulasi tertentu sesuai pencetus bangkitan (pada
epilepsi reflex). Kelainan epileptiform EEG interiktal (di luar bangkitan) pada
orang dewasa dapat ditemukan sebesar 29-38%; pada pemeriksaan ulang
gambaran epileptiform dapat meningkat menjadi 59-77%. Bila EEG pertama
menunjukkan hasil normal sedangkan persangkaan epilepsi sangat tinggi,
maka dapat dilakukan EEG ulangan dalam 24-48 jam setelah bangkitan atau
dilakukan dengan persyaratan khusus, misalnya dengan mengurangi tidur
(sleep deprivation) atau dengan menghentikan obat anti-epilepsi (OAE).
- Pemeriksaan pencitraan otak (brain imaging)
Indikasi:
Semua kasus bangkitan pertama yang diduga ada kelainan struktural
Adanya perubahan bentuk bangkitan
Terdapat defisit neurologik fokal
Epilepsi dengan bangkitan parsial
Bangkitan pertama di atas usia 25 tahun
Untuk persiapan tindakan pembedahan
Magnetic Resonance Imaging (MRI) : merupakan prosedur pencitraan pilihan
untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik disbanding dengan
CT- scan. MRI dapat mendeteksi sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal,
tumor dan hemangioma kavernosa. Pemeriksaan MRI diindikasikan untuk
epilepsi yang sangat mungkin memerlukan terapi pembedahan.
- Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah, meliputi Hb, leukosit, trombosit, hematokrit, sediaan
hapus darah tepi, elektrolit (natrium, kalsium, kalium, magnesium), kadar
gula, fungsi hati (gamma GT, SGOT, SGPT, alkali fosfatase), ureum,
kreatinin, dan lain lain atas indikasi.
Pemeriksaan cairan serebrospinal bila curiga ada infeksi SSP.
Pemeriksaan-pemeriksaan lain dilakukan atas indikasi misalnya ada
kelainan.
Gambaran klinik :
5
1. Bangkitan umum lena 3
- Gangguan kesadaran secara mendadak (absence), berlangsung beberapa detik
- Selama bangkitan kegiatan motorik terhenti dan pasien diam tanpa rekasi
- Makin memandang jauh ke depan
- Mungkin terdapat automatisme
- Pemulihan kesadaran segera terjadi tanpa perasaan bingung
- Sesudah itu pasien melajutkan aktivitas semula.
Aura 4
Serangan grandmal atau serangan psikomotor dapat ditandai oleh aura. Aura
adalah perasaan yang dialami pada permulaan serangan epilepsi sebelum kesadaran
menghilang. Bentuk aura bermacam-macam :
Merasa sakit perut atau tidak enak di perut
Merasa ada sesuatu di perut, yang kemudian naik ke dada dan kepala
Merasa sesuatu yang aneh, yang sukar dilukiskan oleh penderitanya
Merasa semutan atau baal atau nyeri diberbagai bagian badan
Nyeri kepala
Merasa ada yang bergerak di anggota gerak
Pandangan kunang-kunang
Telinga berdengung
Merasa puyeng, tidak stabil
Membaui bau yang tidak sedap, atau bau busuk.
Umumnya aura berlangsung sangat singkat. Bila aura berlangsung agak lama,
maka hal ini dapat dimanfaatkan oleh penderita untuk mencari tempat yang aman,
untuk menghindari dirinya dari cedera.
2. Bangkitan umum tonik klonik 3
- Dapat didahului prodromal seperti jeritan, sentakan, mioklonik
- Pasien kehilangan kesadaran, kaku (fase tonik) selama 10-30 detik, diikuti
gerakan kejang kelojotan pada kedua lengan dan tungkai (klonik) selama 30-60
detik, dapat disertai mulut berbusa
- Selesai bangkitan pasien menjadi lemas
6
- Pasien sering tidur setelah bangkitan
3. Bangkitan parsial sederhana 3
- Tidak terjadi perubahan kesadaran
- Bangkitan dimulai dari tangan, kaki atau muka (unilateral/ fokal) kemudian
menyebar pada sisi yang sama ( Jacksonian march)
- Kepala mungkin berpaling ke arah bagian tubuh yang mengalami kejang
(adversif)
4. Bangkitan parsial kompleks 3
- Bangkitan fokal disertai terganggunya kesadaran
- Sering diikuti oleh automatisme yang stereoti[ik seperti mengunyah, menelan,
tertawa dan kegiatan motorik lainnya tanpa tujuan yang jelas
- Kepala mungkin berpaling ke arah bagian tubuh yang mengalami kejang
(adversif)
5. Bangkitan umum sekunder 3
- Berkembang dari bangkitan parsial sederhana atau kompleks yang dalam waktu
singkat menjadi bangkitan umum
- Bangkitan parsial dapat berupa aura
- Bangkitan umum yang terjadi biasanya bersifat kejang tonik klonik.
V. PENATALAKSANAAN3
Tujuan utama terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien,
sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun mental yang
dimiliknya.
Prinsip Terapi Farmakologi:
OAE mulai diberikan bila:
o Diagnosis epilepsi telah dipastikan
o Setelah pasien dan keluarganya menerima penjelasan tentang tujuan pengobatan
o Pasien dan atau leuarganya telah diberitahu tentang kemungkinan efek samping
OAE yang akan timbul.
7
Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis
bangkitan (tabel 1), jenis sindrom epilepsi.
Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan bertahap sampai dosis efektif
tercapai atau timbul efek samping, kadar obat dalam plasma ditetukan bila bangkitan
tidak terkontrol dengan dosis efektif (tabel 2).
Bila dengan dosis maksimum obat pertama tidak dapat mengontrol bangkitan, maka
perlu ditambahkan OAE kedua. Bila OAE telah mencapai kadar terapi, maka OAE
pertama diturunkan bertahap (tapering off).
Penambahan obat ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat diatasi
dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama.
Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk diberi terapi bila:
o Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG.
o Pada CT Scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi dengan bangkitan,
misalnya neoplasma otak, AVM (arterio-venous malformation), abses otak,
ensefalitis herpes.
o Pada pemeriksaan neurologik dijumpai kelainan yang menegah pada adanya
kerusakan otak.
o Ada riwayat epilepsi pada saudara kandung.
o Riwayat bangkitan simtomatik.
o Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadaran, stroke,
infeksi SSP.
o Bangkitan pertama berupa status epileptikus.
Efek samping OAE perlu diperhatikan (tabel 4 dan 5), demikian pula halnya dengan
interaksi farmakokinetik antar OAE.
8
Jenis Obat Epilepsi :
Tabel 1. Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan
Jenis Bangkitan OAE Lini
Pertama
OAE Lini
Kedua
OAE lain yang
dapat
dipertimbangkan
OAE yang
sebaknya
dihindari
Bangkitan Umum
Tonik Klonik
Sodium valproat
Lamotrigine
Topimirat
Carbamazepin
Clobazam
Levetiracetam
Oxcarbazepin
Clonazepam
Phenobarbital
Phenytoin
Acetazolamide
Bangkitan Lena Sodium valproat
Lamottrigine
Clobazam
Topimirat
Carbamazepin
Gabapentin
Oxcarbazepin
Bangkitan
Mioklonik
Sodium valproat
Topimirate
Clobazam
Topimirat
Levetiracetam
Lamottrigine
Piracetam
Carbamazepin
Gabapentin
Oxcarbazepin
Bangkitan Tonik Sodium valproat
Topimirate
Cobazam
Levetracetam
Topimirate
Phenobarbital
Acetazolamid
Carbamazepin
Oxcarbazepine
Phenitoin
Bangkitan Atonik Sodium valproat
Topimirate
Bangkitan Fokal
dengan/tanpa
Umum Sekunder
Carbamazepin
Oxcarbamazepin
Sodium valproat
Topimirate
Lamotrigine
Clobazam
Gabapentin
Levetiracetam
phenitoin
Clonazepam
Phenobarbital
Acetazolamida
9
Tabel 2. dosis obat antiepilepsi untuk orang dewasa
OBAT Dosis
Awal
Dosis
Rumatan
Jumlah Dosis/ Hari Waktu
Paruh
Plasma
Tercapainya
Steady state
(hari)
Carbamazepin 400-600 400-1600 2-3x (untuk yang CR 1-2x) 15-35 2-7
Phenitoin 200-300 200-400 1-2x 10-80 3-15
Valproat acid 500-1000 500-2500 2-3x (untuk yang CR 1- 2x) 12-18 2-4
Phenobarbital 50-100 50-200 1 50-170
Clonazam 1 4 1 / 2 20-60 2-10
Clobzam 10 10-30 2-3x (untuk yang CR 2x) 10-30 2-6
Oxcarbazepin 600-900 600-3000 2-3x 8-15
Levetiracetam 1000-2000 1000-3000 2x 6-8 2
Topimirate 100 100-400 2x 20-30 2-5
Gabapentin 900-1800 900-3600 2-3x 5-7 2
Lamotrigine 50-100 20-200 1-2x 15-35 2-6
CR: contolled Release
Tabel.3 Efek samping obat anti epilepsi klasik
OBAT Efek Samping
Terkait Dosis Idiosinkrasi
Carbamazepin Diplopia, dizziness, nyeri kepala, mual,
mengantuk, netropenia, hiponatremia
Ruam morbiliform, agranulosis, anemia
aplastik, efek hepatotoksik, sindrom
Stevens-Johnson, efek tertogenik
Phenitoin Nistagmus, ataksia, mual, muntah,
hipertrofi gusi, depresi, mengantuk,
paradoxical incresase in seizure, anemia
magaloblastik
Jerawat, coarse fasies, hirsustism,
lupus-like sindrom, ruam, sindrom
Stevens-Johnson, Dupuytr contracture,
udem perifer
Valproat acid Tremor, berat badan bertambah,
dyspepsia, mual, muntah, kebotakan,
teratogenik
Pancreatitis akut, efek hepatotoksik,
trombositopenia, ensefalopati, udema
perifer
Phenobarbital Kelelahan, restlegless, depresi, insomnia
(anak), distractability (anak),
Ruam makulopapular, eksfoliasi,
nekrosis epidermal toksik, efek
10
hiperkinensia, irritability (anak) hepatotoksik, atrhitic changes,
Dupuytren’s conctracture, efek
teratogenik
Clonazepam Kelelahan, sedasi, mengantuk,
dizziness, agresi (anak), hiperkinesia
(anak).
Ruam, trombositopenia
Tabel . 4 Efek samping obat antiepilepsi baru
OBAT Efek Samping Utama Efek Samping yang lebih
serius namun jarang
Levetiracetam Somnolen, asthenia, sering muncul ataksia,
penurunan ringan jumlah sel darah merah, kadar
hemoglobin dan hematokrit
Gabapentin Somnolen, kelelahan, ataksia, dizziness, gangguan
saluran cerna
Lamotrigine Ruam, dizziness, tremor, ataksia, diplopia, nyeri
kepala, gangguan cerna
Sindrom Steven-Johnson
Clobazam Sedasi, dizziness, tremor, ataksia, diplopia, nyeri
kepala, gangguan saluran cerna
Oxcarbazepin Dizziness, diplopia, ataksia, nyeri kepala,
kelemahan, ruam, hiponatremia
Topiramate Gangguan kognitif, tremor, dizziness, ataksia, nyeri
kepala, kelelahan, gangguan saluran cerna, batu
ginjal
PENGHENTIAN OAE
Syarat umum penghentian OAE adalah sebagai berikut:
o Bebas dari bangkitan selama minimal 2 tahun
o Gambaran EEG “normal”
o Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap
bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan.
o Penghentian dimulai dari satu OAE yang bukan utama.
11
Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinan makin tinggi
o Epilepsi simtomatik
o Gambaran EEG yang abnormal
o Semakin lama adanya bangkitan sebelum dapat dikendalikan
o Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita; sangat jarang pada sindrom
epilepsi benigna dengan gelombang tajam pada derah sentrotemporal, 5-25 %
pada epilepsi lena masa anak kecil, 25-75% epilepsi parsial
kriptogenik/simtomatis, 85-95% pada epilepsi mioklonik pada anak.
o Penggunaan lebih dari satu OAE
o Masih mendapatkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi
o Mendapat terapi 10 tahun atau lebih
Kemungkinan untuk kambuh lebih kecil pada pasien yang telah bebas dari bangkitan
selama 3-5 tahun, atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka
gunakan dosis efektif terakhir, kemudian dievaluasi kembali.
VI. STATUS EPILEPTIKUS
a. Definisi
Status epileptikus (SE) adalah bangkitan yang berlangsung lebih dari 30
menit, atau adanya dua bangkitan atau lebih dimana diantara bangkitan-bangkitan tadi
tidak terdapat pemulihan kesadaran. Namun demikian penanganan bangkitan harus
dimulai dalam 10 menit setelah awitan suatu bangkitan.
b. Klasifikasi :
SE konvulsif (bangkitan umum tonik klonik)
SE non-konvulsif (bangkitan bukan umum tonik klonik)
c. Protokol penanganan SE
Tabel 5. Penanganan status epileptikus konvulsivus
Stadium Penatalaksanaan
Stadium I (0-10 menit) Memperbaiki fungsi kardio-respirasi
12
Memperbaiki jalan nafas, pemberian
oksigen, resusitasi
Stadium II (1-60 menit) Pemeriksaan status neurologic
Pengukuran tekana darah , nadi, suhu
EKG
Memasang infuse pada pembuluh darah besar
Mengambil 50-100 cc darah untuk pemeriksaan lab
Pemberian OAE emergensi; diazepam 10-20 mg iv
(kecepatan pemberian ≤ 2-5 mg/menit / rectal dapat diulang
15 menit kemudian)
Memasukan 50 cc glukosa 50% dengan atau tanpa tiamin
250 mg iv
Menangani asidosis
Stadium III
(0-60/90 menit)
Menentukan etiologi
Bila kejang berlangsung terus selam 30 menit setelah
pemberian diazepam pertama, beri fenitoin iv 15-18
mg/kgbb dengan kecepatan 50 mg/menit
Memulai terapi dengan vasopresor bila diperlukan
Mengoreksi komplikasi
Stadium IV
(30-90 menit)
Bila kejang tetap tidak teratasi selama 30-60 menit, transfer
pasien ke ICU, beri propofol (2 mg.kgbb bolus iv, diulang
bila perlu) atau thiopntone (100-250 mg bolus iv pemberian
dalam 20 menit, dilanjutkan dengan bolus 50 mg setiap 2-3
menit), dilanjutkan sampai 12-24 jam setelah bangkitan
klinis atau bangkitan EEG terakhir, lalu tappering off.
Memantau bangkitan dan EEG, tekanan intrakranial,
memulai pemberian OAE dosis rumatan
VII. EPILEPSI REFRAKTER3
Seseorang yang telah mengalami bangkitan berulang, meski telah dicapai
kadar terapi OAE dalam satu tahun terakhir setelah awitan (onset). Bangkitan tersebut
benar- benar akibat kegagalan OAE untuk mengontrol focus epileptik, bukan karena dosis
13
yang tidak tepat, ketidaktaatan minum OAE, kesalahan pemberian atau perubahan dalam
formulasi.
Penanganan Epilepsi Refrakter :
Terapi bedah
Stimulasi nervus vagus
Modifikasi tingkah laku
Relaksasi
Mengurangi dosis OAE.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Gilroy, J. Basic Neurology. McGraw Hill corp. USA: 2000. p85-122.
2. Hausser, S. Harrisson: Neurology in Medicine. McGraw Hill Corp. USA : 2006.
3. PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Edisi kedua.PERDOSSI Bagian Neurologi
FKUI/RSCM. Jakarta: 2006.
4. Lumbantobing, SM. Eplepsi (Ayan). Balai Penerbit FK UI. Jakarta: 1994. p2, 7-8.
15
top related