evaluasi kebijakan pembangunan sumber daya air … · berdasarkan penjelasan mengenai berbagai...
Post on 07-Mar-2019
228 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
© 2005 Sjofjan Bakar Posted 2 Desember 2005 Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS 702) Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana/S3 Institut Pertanian Bogor Dosen: Prof.Dr.Ir.Rudy C.Tarumingkeng
EVALUASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN
SUMBER DAYA AIR (IRIGASI) BERWAWASAN LINGKUNGAN HIDUP
Oleh:
Sjofjan Bakar P.062040284
sofjan_bakar@yahoo.com
I. PENDAHULUAN
Permasalahan lingkungan hidup pada sebagian besar negara
berkembang, termasuk Indonesia seringkali menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari proses pembangunan itu sendiri. Perkembangan
kegiatan pembangunan yang tidak terkendali pada gilirannya
menyebabkan persoalan pencemaran lingkungan hidup dan keberlanjutan
sumber daya menjadi terancam. Hal ini antara lain disebabkan terlalu
besarnya porsi kegiatan pembangunan dalam mencapai indikator-indikator
2
ekonomi dibandingkan parameter lingkungan hidup yang seringkali
terabaikan.
Kondisi tersebut sangat dirasakan dalam perjalanan kegiatan
pembangunan di Indonesia, termasuk dalam kegiatan pembangunan
sumber daya air Irigasi. Permasalahan yang ditemukan selama ini adalah
penggunaan sumberdaya air sektor irigasi masih belum optimal
memberikan input bagi kebutuhan air tanaman. Hal ini disebabkan antara
lain oleh fluktuasi ketersediaan air irigasi yang tidak sesuai dengan
kebutuhan tanaman baik dari segi ketepatan jumlah, waktu, dan kualitas.
Selain itu juga semakin tingginya tingkat pencemaran kualitas air oleh
limbah industri (Ditjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, 2004: 1)
dan banyaknya pemanfaat air irigasi selain untuk sektor pertanian
menambah permasalahan berkaitan dengan kuantitas dan kualitas air
Irigasi (Siskel dan Hutapea, 1995: 10).
Kondisi demikian dijelaskan oleh Budhi Santoso (2005: 3) bahwa
potensi air tawar, khususnya di Pulau Jawa mencapai sebesar 4.5% dari
total nasional, sedangkan penduduk Pulau Jawa sendiri sebanyak 65%
dari total penduduk Indonesia. Ketersediaan air di Pulau Jawa mencapai
sebesar 1.750 m3/kapita/tahun (atau berada di bawah standar kecukupan
yaitu sebesar 2.000 m3/kapita/tahun). Apabila tidak ada upaya yang
serius, maka sampai tahun 2020 di Pulau Jawa hanya akan tersedia
sebesar 1.200 m3/kapita/tahun.
3
Berdasarkan fenomena tersebut tentunya diperlukan pendekatan
kegiatan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Menurut
Sumarwoto (2003: 1), dalam perspektif tersebut lahirlah konsep eco-
development yang di Indonesia dikenal dengan pembangunan
berwawasan lingkungan. Artinya pembangunan diperlukan dan harus
dilaksanakan dengan tidak boleh merusak lingkungan hidup serta harus
berkelanjutan.
Dikemukakan pula oleh Sumarwoto bahwa dalam Laporan Komisi
Sedunia Lingkungan Hidup dan Pembangunan (Komisi Brundtland)
berjudul “Hari Depan Kita Bersama” (our common future), konsep
pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang
berusaha memenuhi kebutuhan kita sekarang tanpa mengurangi
kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Penjelasan tersebut mempunyai makna bahwa pembangunan harus selalu
memperhatikan kebutuhan dan kepentingan generasi pada masa
mendatang dengan cara tidak menghabiskan sumber daya yang tersedia
dan lingkungan yang rusak.
Secara umum pembangunan berkelanjutan bertumpu pada ekonomi,
lingkungan hidup, dan sosial budaya. Oleh karena itu pertumbuhan
ekonomi saja tidak cukup memenuhi syarat pembangunan berkelanjutan.
Syarat lain yang harus dipenuhi adalah pembangunan itu harus
berwawasan lingkungan atau ramah lingkungan hidup. Dalam konteks
4
tersebut, Pemerintah Indonesia sudah menetapkan suatu kebijakan yang
mengatur lingkungan hidup melalui Undang-Undang No. 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Kebijakan lingkungan hidup tersebut merupakan salah satu langkah
preverentif Pemerintah dalam mengendalikan dan mengarahkan
pembangunan yang berwawasan lingkungan. Mengingat kegiatan
pembangunan merupakan salah satu upaya dalam mengoptimalisasi
sumber daya, maka pada tingkat penyelenggaraannya dilakukan secara
berkelanjutan. Demikian pula halnya dengan pembangunan sumber daya
air Irigasi merupakan unsur lingkungan hidup yang perlu dikelola secara
oprimal dalam rangka dalam pencapaian perubahan pelaksanaan kegiatan
pembangunan yang ramah lingkungan hidup dan berorientasi pada
kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.
II. PERKEMBANGAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SUMBER DAYA AIR IRIGASI
Pembangunan dan pengembangan sumber daya air irigasi mulai
diselenggarakan secara nyata pada periode tahun 1965 – 1985.
Penyelenggaraan kegiatan pembangunan dan pengembangan irigasi
tersebut menghasilkan peningkatan luas lahan beririgasi dari 1,5 juta ha
menjadi 5 juta ha, dan menciptakan swasembada pada tahun 1984.
Instrumen kebijakan yang mendukung hal tersebut ditetapkan oleh
Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1982 tentang
5
Irigasi sebagai turunan dari Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 tentang
Pengairan.
Sejalan dengan perkembangannya, kemudian terdapat
permasalahan dimana pembiayaan kegiatan Operasi dan Pemeliharaan
(O&P) jaringan irigasi tidak lagi dapat ditanggulangi oleh Pemerintah
sebagai akibat dari menurunnya harga minyak dunia, sehingga dibutuhkan
pengelolaan sumber daya air irigasi secara lebih efektif dan efisien.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka pada tahun 1987 ditetapkan suatu
kebijakan mengenai operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi, yang pada
akhirnya menjadi dasar dari beberapa proyek-proyek besar yang dibiayai
dari pinjaman Bank Dunia, ADB, dan donor-donor lainnya.
Perubahan yang cukup tajam dirasakan sejak krisis moneter pada
tahun 1997 dimana Pemerintah Indonesia mengalami kesulitan dalam
perekonomian nasional. Untuk mengantisipasi hal tersebut, Pemerintah
telah memulai suatu program besar untuk reformasi kelembagaan,
dengan tujuan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan serta
pemerintahan yang lebih efektif, efisien dan dapat dipertanggung-
jawabkan.
Pemantapan kelembagaan menjadi salah satu agenda utama
reformasi kebijakan termasuk dalam bidang pengelolaan irigasi.
Reformasi kelembagaan pengelolaan irigais tidak hanya dilakukan pada
tingkat pemerintahan melainkan juga pada kelembagaan masyarakat.
Fokus utamanya adalah meningkatkan peran para penerima manfaat
6
(masyarakat petani dan pengguna lainnya), dan merubah peran
kelembagaan pemerintah dari “provider” barang/jasa dan prasarana
menjadi “enabler” bagi masyarakat dalam rangka mobilisasi sumber daya
dan kemampuannya untuk memecahkan berbagai permasalahan yang
dihadapi dalam pembangunan sumberdaya irigasi.
Demikian pula halnya dalam bidang pengelolaan irigasi, sebuah
kebijakan telah dicanangkan dan dirumuskan melalui konsultasi publik
secara luas dan melibatkan berbagai pihak baik di kalangan pemerintah
maupun unsur non pemerintah, termasuk universitas dan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM). Kebijakan pembangunan sumber daya air
Irigasi diupayakan oleh upaya Pemerintah melalui pembaharuan kebijakan
pembangunan bidang irigasi melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 3
Tahun 1999 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Pengelolaan Irigasi
(PKPI). Kebijakan tersebut merupakan sikap reformatif Pemerintah
Republik Indonesia dalam mengantisipasi perubahan di bidang keirigasian
di masa depan.
Secara umum PKPI tersebut meliputi 5 (lima) butir pokok kebijakan
sebagai berikut:
(1) Pengaturan kembali tugas dan tanggung jawab lembaga
pengelola irigasi.
(2) Pemberdayaan masyarakat petani pengelola air melalui
pengembangan kelembagaan Perkumpulan Petani Pemakai Air
(P3A).
7
(3) Pengaturan Penyerahan kewenangan Pengelolaan Irigasi (PPI)
secara bertahap dari Pemerintah kepada Perkumpulan Petani
Pemakai Air (P3A).
(4) Pengaturan kembali pembiayaan pengelolaan irigasi.
(5) Menjaga keberlanjutan sistem irigasi dan pencegahan alih fungsi
lahan beririgasi.
Butir-butir kebijakan di atas satu sama lain saling terkait, yang
didalamnya antara lain bermuatan upaya peningkatan kapasitas aparatur
pemerintah dan partisipasi masyarakat petani melalui organisasi
Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dalam pengelolaan irigasi.
Hubungan yang baik antara pemerintah dan masyarakat petani serta
upaya penguatan kemampuan kelembagaannya dalam rangka
pelaksanaan kebijakan pengelolaan irigasi pada gilirannya diharapkan
dapat menjaga keberlanjutan fungsi jaringan irigasi dalam mendukung
prouktivitas usaha pertanian.
Mengingat sedemikian kuatnya arus reformasi pengelolaan irigasi
secara partisipatif, maka Pemerintah menetapkan suatu kebijakan melalui
Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 2001 Tentang Irigasi. Kebijakan
tersebut ditetapkan untuk menggantikan Peraturan Pemerintah No. 23
Tahun 1982 tentang Irigasi yang sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan
reformasi. Untuk mendukung implementasi kebijakan tersebut, kemudian
ditetapkan beberapa keputusan Menteri Terkait, yaitu sebagai berikut :
8
● Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No.
529/KPTS/M/2001 tentang Pedoman Penyerahan Kewenangan
Pengelolaan Irigasi Kepada Perkumpulan Petani Pemakai Air.
● Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 50 Tahun 2001 tentang
Pedoman Pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air.
● Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 22 Tahun 2003 tentang
Pedoman Pengaturan Wewenang, Tugas, dan Tanggung Jawab
Lembaga Pengelola Irigasi Provinsi dan Kabupaten/Kota.
● Keputusan Menteri Keuangan No. 298KMK.02/2003 tentang
Pedoman Penyediaan Dana Pengelolaan Irigasi Kabupaten/Kota.
Pelaksanaan kebijakan pengelolaan irigasi tersebut tentunya harus
dapat memberikan pengaruh terhadap sasaran baik pada tingkat
pemerintah maupun masyarakat petani pemakai air. Hal senada
dikemukakan oleh William Walters seperti yang dikutip oleh Jones (1996:
295) bahwa “masalah yang penting dalam implementasi kebijakan publik
adalah hal memindahkan suatu keputusan ke dalam kegiatan atau
pengoperasian dengan cara tertentu. Cara tersebut adalah bahwa apa
yang dilakukan memiliki kemiripan nalar dengan keputusan tersebut serta
berfungsi dengan baik di dalam lingkup lembaganya”.
Dalam proses implementasi kebijakannya, PP 77/2001 tentang
Irigasi tersebut mengalami polemik di kalangan masyarakat ketika
Pemerintah menetapkan Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang
9
Sumber Daya Air. Materi kebijakan tersebut sebagian diantaranya
bertentangan dengan materi yang terdapat dalam PP 77/2001 khususnya
yang berkaitan dengan kewenangan pengelolaan irigasi. Untuk
mengantisipasi hal tersebut, maka dirumuskan suatu kesepakatan
bersama antara Bappenas, Departemen Dalam Negeri, Departemen
Kimpraswil (sekarang Departemen PU), dan Departemen Pertanian. Inti
dari kesepakatan tersebut adalah implementasi kebijakan PP 77/2001
masih tetap berjalan sepanjang materinya tidak bertentangan dengan UU
7/2004.
Mengingat UU 7/2004 sudah ditetapkan secara hukum oleh
Mahkamah Konstitusi untuk tetap menjadi produk kebijakan publik, maka
diperlukan penyesuaian materi yang terdapat dalam PP 77/2001 dan
produk kebijakan pelaksanaannya. Perkembangan yang terjadi saat ini
sudah disusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) maupun
Peraturan Menteri terkait dalam Pengembangan Pengelolaan Sistem
Irigasi Partisipatif. Status terakhir, RPP dan Peraturan Menteri terkait
tersebut sedang dalam proses untuk penetapannya sebagai produk
kebijakan Pemerintah Indonesia dalam reformasi kebijakan pengelolaan
irigasi pada masa mendatang. Secara umum perkembangan kebijakan
pembangunan sumber daya air irigasi dapat dilihat pada Gambar 1.
10
UU 11 TAHUN 1974 TENTANG
PENGAIRAN
● KepMen Kimpraswil No. 529/KPTS/M/2001 tentang Pedoman Penyerahan Kewenangan Pengelolaan Irigasi Kepada Perkumpulan Petani Pemakai Air.
● KepMenDagri No. 50 Tahun 2001 tentang Pedoman Pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air.
● KepMenDagri No. 22 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengaturan Wewenang, Tugas, dan Tanggung Jawab Lembaga Pengelola Irigasi Provinsi dan Kabupaten/Kota.
● KepMenKeu No. 298KMK.02/2003 tentang Pedoman Penyediaan Dana Pengelolaan Irigasi Kabupaten/Kota
PP 23 TAHUN 1982 TENTANG
IRIGASI
INPRES 3 TAHUN 1999
TENTANG
PP 77 TAHUN 2001 TENTANG
IRIGASI
UU 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER
DAYA AIRRPP IRIGASI (2005)
RANCANGAN PERATURAN MENTERI TERKAIT (2005) : ● Pedoman Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif. ● Pedoman Pengaturan Wewenang, Hak, Dan Tanggung Jawab
Lembaga Pengelola Irigasi ● Pedoman Pembiayaan Pengelolaan Irigasi ● Pedoman Pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air. ● Pedoman Pembentukan Komisi Irigasi Dan Penyelenggaraan Forum
Koordinasi Antarkomisi Irigasi Dan Forum Koordinasi Daerah Irigasi
Gambar 1. Perkembangan Kebijakan Pembangunan Sumber Daya Air Irigasi
11
III. EVALUASI KEBIJAKAN
Secara konseptual, pengertian kebijakan diberi penjelasan yang
berbeda-beda sesuai sudut pandang dan disiplin ilmu tertentu.
Sebagaimana yang dikutip oleh Islamy (1997: 15-16), Lasswell dan
Kaplan memberikan pengertian kebijakan sebagai “a projected program of
goals, values and practices” (suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai
dan praktek-praktek yang terarah). Pengertian kebijakan sebagaimana
yang dikemukakan oleh Anderson adalah “a purposive course of action
followed by an actor or set of actors in dealing with a problem or matter of
concern” (serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang
diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku
guna memecahkan suatu masalah tertentu).
Kebijakan merupakan suatu taktik dan stratregi yang diarahkan untuk
mencapai suatu tujuan tertentu. Oleh karena itu, suatu kebijakan dapat
memuat 3 (tiga) elemen penting, yaitu sebagai berikut:
(1) Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai;
(2) Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang
diinginkan; dan
(3) Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara
nyata dari taktik atau strategi tersebut.
Seperti halnya dengan pengertian kebijakan, definisi yang
menjelaskan tentang kebijakan publik dari berbagai disiplin ilmu juga
12
cukup banyak dikemukakan oleh para ahli. Menurut pandangan Dye
(1995) kebijakan publik dapat dipahami sebagai apa saja yang dilakukan
dan tidak dilakukan oleh pemerintah. Dalam konteks tersebut, pengertian
kebijakan merupakan upaya untuk memahami dan mengartikan:
(1) apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh Pemerintah mengenai
suatu masalah;
(2) apa yang menyebabkan atau yang mempengaruhinya;
(3) apa pengaruh serta dampak dari kebijakan publik tersebut.
Berdasarkan penjelasan mengenai berbagai definisi yang telah
dikemukakan menyangkut pengertian kebijakan publik, Islami (1997: 20-
21) menyimpulkan secara sederhana terhadap pengertian kebijakan
publik sebagai serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan
atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau
berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat.
Pengertian kebijakan publik tersebut mempunyai beberapa implikasi
sebagai berikut:
(1) Kebijakan publik dalam bentuk perdananya berupa penetapan
tindakan-tindakan pemerintah;
(2) Kebijakan publik tidak cukup hanya dinyatakan tetapi dilaksanakan
dalam bentuknya yang nyata;
(3) Kebijakan publik baik untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu itu mempunyai dan dilandasi dengan maksud dan tujuan
tertentu; dan
(4) Kebijakan publik harus senantiasa ditujukan bagi kepentingan seluruh
anggota masyarakat.
13
Analisis kebijakan publik selain merupakan metode untuk
memahami apa dan bagaimana suatu kebijakan terjadi, juga menyediakan
alat yang bermanfaat bagi praktisi yang terlibat dalam proses perumusan
kebijakan (Kartasasmita, 1995: 1). Analisis kebijakan itu sendiri menurut
Lasswell sebagaimana yang dikutip Dunn (1994) merupakan aktivitas
menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan
kebijakan. Lebih jauh, Dunn (1994) memberikan pengertian analisis
kebijakan sebagai upaya untuk menghasilkan dan mentransformasikan
informasi yang dibutuhkan untuk suatu kebijakan, dengan menggunakan
berbagai metode penelitian dan pembahasan dalam suatu kondisi tertentu
untuk menyelesaikan suatu masalah.
Analisis kebijakan dapat diharapkan untuk menghasilkan informasi
dan argumen-argumen yang masuk akal mengenai tiga macam
pertanyaan, yaitu: (1) nilai yang pencapaiannya merupakan tolak ukur
utama untuk melihat apakah masalah telah teratasi; (2) fakta yang
keberadaannya dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian nilai-
nilai; dan (3) tindakan yang penerapannya dapat menghasilkan
pencapaian nilai-nilai.
Analisis kebijakan publik lebih banyak memberi perhatian kepada
teknik yang dapat digunakan untuk menganalisis dan mengevaluasi
kebijakan, dalam kaitannya dengan masukan, keluaran, hasil,
pengorbanan dan lain sebagainya, yang berkaitan dengan kebijakan
publik, dan bukan kepada substansi dari kebijakan itu sendiri (Waldo,
14
1992). Menurut Tjokroamidjojo, pembentukan kebijakan publik dapat
meliputi 7 (tujuh) tahapan (Sunggono, 1994: 57), yaitu sebagai berikut:
(1) policy germination, tahap penyusunan konsep pertama dari suatu
kebijakan;
(2) policy recommendation, tahap rekomendasi mengenai suatu
kebijakan;
(3) policy analysis, tahap analisis kebijakan, dimana berbagai informasi
dan penelaahan dilakukan terhadap adanya suatu rekomendasi
kebijakan, yang biasanya juga mempertimbangkan berbagai alternatif
implikasi pelaksanaannya;
(4) policy formulation, tahap formulai atau perumusan kebijakan;
(5) policy decision, tahap pengambilan keputusan atau persetujuan formal
terhadap suatu kebijakan, yang biasanya hal ini kemudian disahkan
dalam bentuk peraturan perundang-undangan;
(6) policy implementation, tahap pelaksanaan kebijakan; dan
(7) policy evaluation, tahap evaluasi atau penilaian pelaksanaan
kebijakan.
Demikian pula halnya dengan analisis kebijakan pembangunan
sumberdaya air irigasi perhatiannya ditujukan terhadap teknik yang dapat
digunakan untuk menganalisis dan mengevaluasi kebijakan. Dalam
mengevaluasi kebijakan pembangunan sumberdaya air irigasi antara lain
perlu dilihat dari penilaiannya terhadap pelaksanaan kebijakan itu sendiri.
Berdasarkan pengalaman pembelajaran dari implementasi kebijakan
pembangunan sumber daya air irigasi sebagaimana yang telah diuraikan
sebelumnya tedapat beberapa keberhasilan dan kegagalan yang
ditemukan pada tingkat implementasi kebijakannya. Salah satu
15
keberhasilan yang mencolok adalah mulai diwujudkannya pendekatan
partisipatif dalam penyelenggaraan kegiatan pengembangan dan
pengelolaan irigasi. Masyarakat pengguna air irigasi, khususnya
masyarakat petani pemakai air diberikan peluang yang cukup besar dalam
setiap pengambilan keputusan pengelolaan irigasi sesuai kewenangannya.
Selain itu juga terdapat perubahan paradigma dari sentralistik menuju
desentralisasi yang didukung oleh Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah.
Selain keberhasilan yang dicapai terdapat pula beberapa kegagalan
yang terlihat dari indikasi-indikasi sebagai berikut :
● Kegagalan Pasar. Pasar implementasi kebijakan pembangunan
sumberdaya air irigasi adalah seluruh pelaku lembaga pengelola
irigasi yang terkait dengan pengelolaan irigasi. Selama ini terjadi
deviasi pada tingkat sasaran dimana pengaturan kelembagaan
pengelolaan irigasi masih terlihat tumpah tindih. Hal ini berkaitan
dengan pembagian peran (role sharing) antara lembaga pengelola
irigasi yang masih belum jelas. Indikasinya antara lain terlihat dari
penguatan kelembagaan pengelola irigasi pada tingkat masyarakat
petani yang seringkali tumpang tindih diantara Dinas Pemerintah
Daerah (Satuan Kerja Perangkat Daerah) baik Dinas Pertanian
maupun Dinas Pengairan (atau sejenisnya). Selain itu juga
pemahaman masyarakat petani pemakai air terhadap perkembangan
kebijakan pembangunan sumber daya air irigasi masih belum tercapai
16
secara menyeluruh. Hal ini disebabkan sosialisasi kebijakan masih
terkonsentrasi pada tingkat ”elit petani” (pengurus P3A/GP3A/IP3A),
dan belum sampai sebarannya pada tingkat masyarakat petani.
Kondisi demikian menyebabkan hanya sebagian besar pengurus yang
mempunyai akses informasi terhadap perkembangan kebijakan yang
terjadi selama ini.
● Kelembagaan Tingkat Pemerintah Daerah. Sejalan dengan era
otonomi daerah, cukup banyak terjadi kewenangan atau peran Kepala
Daerah tidak sejalan dengan kebutuhan pencapaian kinerja
pembangunan sumber daya air. Hal ini terlihat dari penempatan
personel (aparatur pemerintah) dalam menduduki jabatan struktural
seringkali tidak mengindahkan ”backround” keahlian dan pendidikan
yang sesuai dengan bidangnya. Selain itu juga cukup banyak
ditemukan petugas Juru/Mantri Pengairan yang ditarik dari lokasi
daerah irigasi ke struktural yang ada dalam dinas sebagai staf.
Kondisi demikian menyebabkan komunikasi dalam bidang
pengelolaan irigasi kurang terwujud dengan baik antara masyarakat
petani dengan Pemerintah Daerah.
● Kelembagaan Tingkat Petani (P3A/GP3A/IP3A). Penguatan
kelembagaan masyarakat petani (P3A/GP3A/IP3A) dalam
pengelolaan irigasi juga terlihat masih berjalan kurang optimal.
Pemberdayaan masyarakat petani pemakai air masih berjalan
pendekatan lama, dan kurang memperhatikan aspirasi, partisipasi dan
17
kebutuhan setempat. Mekanisme seperti tersebut memungkinan
pencapaian kinerja program kurang sejalan dengan amanah reformasi.
Selain itu juga, pemberdayaan masyarakat petani seringkali berjalan
tanpa arah yang jelas, sehingga pencapaian tujuan akhir berupa
kemandiarian petani dalam pengelolaan irigasi belum tercapai secara
optimal.
IV. ALTERNATIF SOLUSI: KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SUMBER DAYA AIR IRIGASI BERWAWASAN LINGKUNGAN
Sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang No. 7
Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, khususnya Pasal 2, Pasal 3 dan
Pasal 4 bahwa pengelolaan sumberdaya air, termasuk sumber daya air
irigasi haruslah didasarkan pada asas kelestarian, kesiembangan,
kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian
serta transparansi dan akuntablitas (Pasal 2). Pada tingkat
pengelolaannya harus dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan
berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan mewujudkan sumberdaya
air irigasi yang berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
(Pasal 3). Selain itu juga pengelolaan sumberdaya air harus mempunyai
fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi yang diselenggarakan dan
diwujudkan secara selaras (Pasal 4).
Tujuan pencapaian kesejahteraan masyarakat dari upaya
pengelolaan sumberdaya air juga dikemukakan oleh Budi Wignyosukarto
(2005: 2) bahwa pengelolaan sumberdaya air tidak lepas dari
18
permasalahan ketersediaan air dan kebutuhan terhadap air yang perlu
dikelola secara terpadu (Gambar 2).
Dalam konteks pembangunan sumber daya air irigasi, defisit
ketersediaan air sangat berpengaruh terhadap kebutuhan air sektor irigasi.
Sekarang ini, ketersediaan air irigasi tidak hanya dimanfaatkan oleh
kepentingan produktivitas pertanian an sich, melainkan juga untuk
kebutuhan lainnya (sektor rumah tangga dan industri). Kondisi demikian
menuntut pengelolaan irigasi dilaksanakan secara lebih baik lagi untuk
mengantisipasi kemungkinan konflik kepentingan alokasi air irigasi yang
akan terjadi pada masa mendatang.
Secara khusus kebutuhan air irigasi untuk kepentingan pertanian
tidak hanya sekedar peningkatan produktivitas saja, melainkan juga
diharapkan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat petani dan
upaya pengembangan diversifikasi pola tanam. Secara umum,
KE
TE
RSE
DIA
AN
AIR
SIKLUS HIDROLOGI
YANG DINAMIS (ketidakpastian)
PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR
TERPADU (prioritas kebutuhan pembagian alokasi,
konservasi dan pengendalian pencemaran)
KE
TE
RSE
DIA
AN
AIR
Rumah tangga, irigasi, ekosistem
air, industri, tenaga listruk, air kemasan, pariwisata, transportasi
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Gambar 2. Pengelolaan Sumberdaya Air
DAYA DUKUNG LINGKUNGAN
19
kepentingan air irigasi untuk usaha pertanian dapat digambarkan sebagai
berikut (Gambar 3).
Berdasarkan skema kepentingan air irigasi untuk sektor pertanian
tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa potensi sumberdaya air irigasi
memberikan peluang tidak hanya pada kesejahteraan masyarakat petani
saja melainkan juga dapat membuka lapangan kerja dan memberikan
kontribusi positif terhadap ketahanan pangan. Dengan demikian potensi
Kesempatan lapangan kerja
Ketahanan Pangan
Kesejahteraan Petani
Usaha Pertanian
Ketersediaan air irigasi
Ketersediaan Sumberdaya air
(DAS/SUBDAS)
Gambar 3. Kepentingan Irigasi Untuk Sektor Pertanian Secara Umum
KELESTARIAN LINGKUNGAN
HIDUP
KELESTARIAN LINGKUNGAN
HIDUP
KEBERLANJUTAN KEMANFAATAN
20
sumberdaya air irigasi mempunyai peran yang sangat penting dalam
pencapaian kesejahteraan masyarakay, khususnya masyarakat petani
yang sebagian besar tinggal di perdesaan dengan mata pencaharian di
sektor pertanian.
Untuk menunjang pencapaian tujuan kesejahteraan masyarakat
tersebut diperlukan reorientasi kebijakan pasar melalui sosialisasi yang
berjenjang dan penguatan kelembagaan baik di tingkat Pemerintah
Daerah maupun masyarakat petani secara terpadu. Pengembangan
sosialisasi dapat diwujudkan melalui model pada Gambar 4, Gambar 5,
dan Gambar 6 sebagai berikut.
Gambar 4. Sosialisasi Kebijakan Berjenjang
KEBIJAKAN PEMBANGUNAN SUMBER DAYA AIR IRIGASI
SOSIALISASI
APARATUR PEMERINTAH ANGGOTA DEWAN (DPRD)
PENGURUS ORGANISASI P3A/GP3A/IP3A
MASYARAKAT PETANI PEMAKAI AIR IRIGASI
21
SATUAN KERJA PERANGKAT DINAS (SKPD)
KOMISI IRIGASI
DEWAN SUMBER DAYA AIR
KELOMPOK PENDAMPING LAPANGAN (KPL) : ● JURU/MANTRI PENGAIRAN
● PPL ● KECAMATAN
● DESA
MASYARAKAT PETANI PEMAKAI AIR (P3A/GP3A/IP3A) PADA SUATU DAERAH IRIGASI
Gambar 5. Komunikasi dan Koordinasi Pembangunan Sumber Daya Air Irigasi antara Lembaga Pengelola Irigasi
22
PENGAMBILAN PENGAMBILAN KEPUTUSANKEPUTUSAN
PERSENTASE IPI
PERSENTASE IPI
TERKUMPUL
TERKUMPUL
USAHA EKONOMI
USAHA EKONOMI
PRODUKTIF
PRODUKTIF
(inc. USAHA TANI)
(inc. USAHA TANI)
‘‘SHARING’ O&P
SHARING’ O&P
(SEK./PRIM.)
(SEK./PRIM.)
KEGIATAN O
&P (R?)
KEGIATAN O
&P (R?)
(PELA
YANAN
(PELA
YANAN
KEBUTUHAN
KEBUTUHAN
ANGGOTA)
ANGGOTA)
•• PUBLIC AWARENESS (SOSIALISASI, DLL.)PUBLIC AWARENESS (SOSIALISASI, DLL.)
•• PEMBENTUKANPEMBENTUKAN
•• PENGEMBANGANPENGEMBANGAN
•• PELATIHANPELATIHAN
•• PENDAMPINGANPENDAMPINGAN
•• FASILITASI BANTUAN STIMULANFASILITASI BANTUAN STIMULAN
•• DLL.DLL.
Internal (kemampuan
dan kemauan)
Eksternal(support
regulasi dan kebijakan)
PENGAMBILAN PENGAMBILAN KEPUTUSANKEPUTUSAN
PERSENTASE IPI
PERSENTASE IPI
TERKUMPUL
TERKUMPUL
USAHA EKONOMI
USAHA EKONOMI
PRODUKTIF
PRODUKTIF
(inc. USAHA TANI)
(inc. USAHA TANI)
‘‘SHARING’ O&P
SHARING’ O&P
(SEK./PRIM.)
(SEK./PRIM.)
KEGIATAN O
&P (R?)
KEGIATAN O
&P (R?)
(PELA
YANAN
(PELA
YANAN
KEBUTUHAN
KEBUTUHAN
ANGGOTA)
ANGGOTA)
•• PUBLIC AWARENESS (SOSIALISASI, DLL.)PUBLIC AWARENESS (SOSIALISASI, DLL.)
•• PEMBENTUKANPEMBENTUKAN
•• PENGEMBANGANPENGEMBANGAN
•• PELATIHANPELATIHAN
•• PENDAMPINGANPENDAMPINGAN
•• FASILITASI BANTUAN STIMULANFASILITASI BANTUAN STIMULAN
•• DLL.DLL.
Internal (kemampuan
dan kemauan)
Eksternal(support
regulasi dan kebijakan)
Gambar 6. Model Pemberayaan P3A/GP3A/IP3A
23
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan tersebut, maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut :
● Pembangunan sumberdaya air irigasi sangat tergantung pada
ketersediaan air dan kebutuhan pemanfaatan air oleh berbagai sektor
atau pemanfaat air dengan daya dukung lingkungan kebijakan yang
kondusif.
● Sumberdaya air irigasi mempunyai kemanfaatan sedikitnya dalam
meningkatkan intensitas tanam, produktivitas hasil usahatani,
diversifikasi pola tanam dan peningkatan pendapatan petani.
● Potensi sumberdaya air irigasi mempunyai peluang peningkatan
kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat petani di perdesaan yang
sebagian besar mempunyai mata pencaharian di sektor pertanian.
● Kebijakan pembangunan sumber daya air irigasi dalam pencapaian
tingkat kesejahteraan masyarakat diupayakan dengan memperhatikan
kelestarian lingkungan hidup.
● Perwujudan pembangunan sumber daya air irigasi yang berwawasan
llingkungan perlu diwujudkan melalui daya dukung kebijakan pasar
yang jelas dan penguatan kelembagaan aparatur pemerintah dan
masyarakat petani pemakai air (P3A/GP3A/IP3A).
24
5.2. Saran
Berdasarkan beberapa kesimpulan tersebut, maka dapat disarankan
beberapa hal sebagai berikut :
● Pembangunan sumberdaya air irigasi perlu ditunjang melalui upaya
mempertahankan ketersediaan dan kualitas air yang dilakukan dengan
program konservasi lahan dan air di daerah tangkapan air,
pencegahan pencemaran air dan menjaga kerusakan hutan serta
pengembangan hutan yang lestari.
● Perlu adanya pengelolaan sumberdaya air irigasi secara lebih baik
dengan melibatkan partisipasi masyarakat petani pemakai secara lebih
aktif dalam setiap pengambilan keputusan pengelolaan irigasi dalam
menunjang intensitas tanam, produktivitas hasil usahatani, diversifikasi
pola tanam dan peningkatan pendapatan petani.
● Perlu adanya reorientasi kebijakan pasar yang jelas dan
berkesinambungan, serta dukungan penguatan kelembagaan pada
tingkat aparatur Pemerintah Daerah dan masyarakat petani pemakai
air (P3A/GP3A/IP3A).
● Perlu adanya kebijakan yang mengatur pengelolaan sumberdaya air
irigasi melalui penetapan Peraturan Pemerintah tentang Irigasi dan
pedoman pelaksanaan kebijakan pembangunan sumber daya air
irigasi yang ramah lingkungan hidup dan menunjang kesejahteraan
masayarakat secara berkelanjutan.
25
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Sunggono. 1994. Hukum dan Kebijaksanaan Publik. Sinar Grafika, Jakarta.
Budhi Santoso. 2005. Journalist Workshop on Water Policy Issues in Indonesia. Paper disampaikan dalam Workshop dengan Asian Development Bank.
Budhi Wignyosukarto. 2005. Air dan Pertanian. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Charles O. Jones. 1996. Pengantar Kebijakan Publik (Public Policy). PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Direktorat Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Lahan. 2004. Kebijakan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Untuk Kelestarian Hutan dan Lahan Serta Penataan Ruang Wilayah. Ditjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan, Jakarta.
Ginandjar Kartasasmita. 1995. Kebijaksanaan Publik Dalam Pembangunan: Sebuah Tinjauan Mengenai Lingkungan Kebijakasanaan (Policy Environment). LAN Universitas Padjadjaran, Bandung.Waldo, 1992).
Irfan M. Islamy. 1997. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara. Bumi Aksara, Jakarta.
Otto Sumarwoto. 2003. Dualisme Propenas dan Agenda 21. Harian Kompas, PT Gramedia, Jakarta.
Suzzane E. Siskel dan S.R. Hutapea. 1995. Irigasi di Indonesia: Peran Masyarakat dan Penelitian. LP3ES, Jakarta.
Thomas R. Dye. 1995. Understanding Public Policy. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
William N Dunn. 1994. Analisis Kebijakan Publik. PT Handika Offset, Yogyakarta.
Dokumen Peraturan Perundangan: ● Undang-Undang No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan.
● Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1982 tentang Irigasi.
26
● Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
● Instruksi Presiden (Inpres) No. 3 Tahun 1999 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Pengelolaan Irigasi (PKPI).
● Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 2001 Tentang Irigasi.
● Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 529/KPTS/M/2001 tentang Pedoman Penyerahan Kewenangan Pengelolaan Irigasi Kepada Perkumpulan Petani Pemakai Air.
● Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 50 Tahun 2001 tentang Pedoman Pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air.
● Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 22 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengaturan Wewenang, Tugas, dan Tanggung Jawab Lembaga Pengelola Irigasi Provinsi dan Kabupaten/Kota.
● Keputusan Menteri Keuangan No. 298KMK.02/2003 tentang Pedoman Penyediaan Dana Pengelolaan Irigasi Kabupaten/Kota.
● Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air.
● Undang Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
top related