evaluasi masalah utama kejadian medication errors … · 2018-01-29 · evaluasi masalah utama...
Post on 12-Feb-2020
7 Views
Preview:
TRANSCRIPT
EVALUASI MASALAH UTAMA KEJADIAN MEDICATION ERRORS FASE ADMINISTRASI DAN DRUG THERAPY PROBLEMS
PADA PASIEN RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA PERIODE AGUSTUS – SEPTEMBER 2008
(Kajian Obat Alergi)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Robertus Bambang Kurniawan NIM : 058114098
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2009
ii
iii
iv
“Tuhan adalah gembalaku,
tak kan kekurangan aku”
(Mazmur 23 : 1)
Kupersembahkan untuk :
Tuhan Yesus Kristus yang selalu membangkitkanku ketika aku jatuh
menguatkanku ketika aku lemah
menghiburku ketika aku sedih
Ayah dan Bundaku yang telah mengasuhku
mendoakanku
mendukungku
menyemangatiku
Almamaterku Tercinta
v
vi
Prakata
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
hanya dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi yang berjudul ”Evaluasi Masalah Utama Kejadian Medication Errors
Fase Administrasi dan Drug Therapy Problems pada Pasien Rumah Sakit
Bethesda Yogyakarta Periode Agustus – September 2008 (Kajian Obat
Alergi)” ini dengan baik.
Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar sarjana farmasi pada program studi Ilmu Farmasi, Jurusan
Farmasi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini bukanlah sesuatu hal yang
mudah, banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan sehingga
penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan lancar. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Direktur Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta yang telah memberikan ijin bagi
penulis untuk melakukan penelitian di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta.
2. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta, dosen pembimbing, dan dosen penguji yang telah
memberikan bimbingan, saran, dan dukungan dalam proses penyusunan
skripsi.
3. Dra. L. Endang Budiati, M.Pharm., Apt. yang telah bersedia menjadi dosen
pembimbing lapangan selama penelitian di Rumah Sakit Bethesda
Yogyakarta.
vii
4. Ibu Catur, Ibu Estri, Bapak Rustamadji, Ibu Endar, Bapak Yudi, Ibu Tabitha
beserta semua perawat yang bertugas di Bangsal Kelas III Rumah Sakit
Bethesda Yogyakarta atas bantuan selama proses pengambilan data
penelitian.
5. Kepala dan Staf Instalasi Rekam Medis Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta
atas bantuan yang diberikan selama penulis melakukan pengambilan data
penelitian.
6. Ayah dan Bunda yang telah membesarkan dan mendidik penulis, selalu
memberikan kasih sayang, perhatian, pengorbanan serta doa yang tulus
sepanjang hidup penulis.
7. Mas Sur, Mas Iyan, Nduk Susi dan Dik Ana yang telah memberikan
dukungan dan semangat selama penyusunan skripsi ini.
8. Welli, Vivi, Siska, Donald, Andien, Stella, Sekar, dan Nolen atas semua
kerjasama, kekompakan, pengorbanan, dan dukungannya selama penelitian
dan penyusunan laporan skripsi ini.
9. Vero, Ragil, Kaka, Lini, Tami, Jerry, Rita, Tinche, Vita, Imel, Bon-Bon,
Maya, Flora dan teman-teman lain yang belum kusebut namanya, yang
selalu memberikan dukungan dan semangat selama melakukan penelitian
dan menyusun laporan skripsi ini.
10. Teman-teman kelas B angkatan 2005 dan teman-teman kelas FKK angkatan
2005, yang telah mendukung dan memberi semangat selama penelitian dan
penyusunan laporan skripsi ini.
viii
11. Agnes, Angela, Monica, Nugroho, Mbak Ari, Mbak Ria, yang telah
membantu penulis selama penelitian dan penyusunan laporan skripsi ini.
12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna di dunia
ini. Keterbatasan pikiran, waktu, dan tenaga membuat penulisan skripsi ini tidak
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar skripsi ini lebih baik lagi. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat
bermanfaat untuk menambah ilmu pengetahuan.
Yogyakarta, 29 Januari 2009
Penulis
ix
x
INTISARI
Medication Errors adalah kesalahan yang terjadi pada proses pengobatan yang sebenarnya dapat dicegah. Drug Therapy Problems adalah setiap kejadian yang tidak diinginkan dalam terapi obat dan akan mengganggu pencapaian tujuan terapi yang diinginkan.
Sebagai kelanjutan penelitian Patient Safety tahun 2007 kerjasama Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dengan RS Bethesda Yogyakarta, diusulkan penelitian yang berjudul Evaluasi Masalah Utama Kejadian Medication Errors Fase Administrasi dan Drug Therapy Problems pada Pasien Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Periode Agustus – September 2008 (Kajian Obat Alergi).
Penelitian ini bertujuan mengetahui masalah utama kejadian medication errors fase administrasi dan drug therapy problems pada penggunaan obat alergi pada pasien di RS Bethesda Yogyakarta periode Agustus – September 2008. Penelitian ini bersifat non eksperimental dengan rancangan deskriptif eksploratif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa obat alergi yang paling banyak digunakan di RS Bethesda Yogyakarta adalah golongan kortikosteroid yaitu methylprednisolone. Medication Errors yang paling banyak adalah dosis keliru. Drug Therapy Problems yang paling banyak adalah dosis terlalu tinggi. Masalah utama kejadian Medication Errors fase administrasi dan Drug Therapy Problems adalah keterbatasan waktu memonitor peresepan dan penggunaan obat pasien oleh apoteker di bangsal rawat inap kelas III RS Bethesda Yogyakarta. Kata kunci : Medication Errors, Drug Therapy Problems, obat alergi
xi
ABSTRACT
Medication Errors are the mistake happened in medication process which is preventable in fact. Drug Therapy Problems are unwanted events in drug therapy process and it will bother therapy target.
As a continuation of Patient Safety research, cooperation between Faculty of Pharmacy Sanata Dharma University Yogyakarta and Hospital Betehsda Yogyakarta at 2007, was proposed a research entitled Evaluation of Main Problem of Medication Errors Event on Administration Phase and Drug Therapy Problems of Patients at Hospital Bethesda Yogyakarta Period August – September 2008 (Analysis of Allergic Drugs).
The purpose of this research is to know the main problem of medication errors event on administration phase and drug therapy problems on the usage of allergic drugs of patient at Hospital Bethesda Yogyakarta. Characteristic of this research is non experimental study with descriptive explorative design.
The result of this research is methylprednisolone as the most of allergic drug used in Hospital Bethesda. The most number of medication errors was wrong dose. The most number of drug therapy problems was dose too high. The main problem of medication errors event on administration phase and drug therapy problems was the limited of monitoring time for prescription and the usage of drugs in patients by pharmacist at Hospital Bethesda Yogyakarta. Key word : Medication Errors, Drug Therapy Problems, allergic drugs
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………......... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………………....... iii
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………........... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ……………………………………........ v
PRAKATA …………………………………………………………........ vii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA …………………………............ x
INTISARI ………………………………………………………….......... xi
ABSTRACT ………………………………………………………............ xii
DAFTAR ISI ………………………………………………………......... xiii
DAFTAR TABEL …………………………………………………......... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………......... xix
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………… xx
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ……………………………………....... 1
1. Permasalahan …………………………………....... 2
2. Keaslian Penelitian ……………………………….. 3
3. Manfaat Penelitian ………………………………... 3
a) Manfaat Teoritis …………………………........ 3
b) Manfaat Praktis ………………………………. 4
B. Tujuan Penelitian …………………………………........ 4
1. Tujuan Umum …………………………………….. 4
2. Tujuan Khusus ……………………………………. 4
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA
A. Medication Errors …………………………………….. 5
B. Drug Therapy Problems ………………………………. 5
C. Alergi ………………………………………………….. 6
D. Obat-obat Alergi ………................................................. 8
xiii
1. Antihistamin ............................................................ 8
2. Kortikosteroid .......................................................... 9
E. Keterangan Empiris ………………………………........ 12
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ………………………. 13
B. Definisi Operasional …………………………………... 14
C. Subyek Penelitian ……………………………………... 15
D. Bahan Penelitian ………………………………………. 16
E. Instrumen Penelitian …………………………………... 16
F. Lokasi Penelitian ……………………………………… 17
G. Tata Cara Penelitian ………………………………....... 17
1. Tahap Orientasi ………………………………........ 17
2. Tahap Pengambilan Data ………………………..... 18
a) Tahap Pengumpulan Data ……………………. 18
b) Tahap Wawancara …………………………… 18
3. Tahap Penyelesaian Data …………………………. 18
H. Tata Cara Analisis Hasil ………………………………. 19
I. Kesulitan Penelitian ………………………………........ 20
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Profil Kasus ………………………………………........ 21
1. Berdasarkan Kelompok Umur ……………………. 21
2. Berdasarkan Jenis Kelamin ……………………….. 21
3. Berdasarkan Tingkat Pendidikan …………………. 22
4. Berdasarkan Pekerjaan ……………………………. 23
5. Berdasarkan Diagnosis …………………………… 24
B. Profil Terapi Kasus ……………………………………. 25
1. Berdasarkan Jumlah Obat ………………………… 25
2. Berdasarkan Jenis Obat ………………………........ 26
a) Penggolongan Obat Secara Umum …………... 27
xiv
b) Penggolongan Jenis Obat Secara Khusus ……. 29
c) Jumlah dan Jenis Obat yang Digunakan …....... 30
3. Berdasarkan Bentuk Sediaan Obat .......................... 30
4. Berdasarkan Aturan Pakai Obat ............................... 33
C. Kejadian ME Fase Administrasi dan DTP ..................... 33
1. Evaluasi Medication Errors Fase Administrasi ....... 33
2. Evaluasi Drug Therapy Problems ……………....... 36
a) Kejadian DTP Dosis Terlalu Tinggi …………. 37
b) Kejadian DTP Interaksi Obat ……………........ 38
c) Kejadian DTP Noncompliance …………......... 38
D. Evaluasi Masalah Utama ME Fase Administrasi dan
DTP ……………………………………………………
44
E. Rangkuman Pembahasan …………………………........ 45
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ……………………………………………. 47
B. Saran …………………………………………………... 48
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………....... 49
LAMPIRAN ……………………………………………………….......... 51
BIOGRAFI PENULIS …………………………………………………... 83
xv
DAFTAR TABEL
Tabel I Penyebab-penyebab DTP ……………………………...... 11
Tabel II Bentuk-bentuk ME ……………………………………… 12
Tabel III Pengelompokan Kasus yang Menggunakan Obat Alergi
di RS Bethesda Periode Agustus –September 2008
Berdasarkan Umur ……………………………………….
21
Tabel IV Pengelompokan Kasus yang Menggunakan Obat Alergi
di RS Bethesda Periode Agustus –September 2008
Berdasarkan Jenis Kelamin ……………………………...
22
Tabel V Pengelompokan Kasus yang Menggunakan Obat Alergi
di RS Bethesda Periode Agustus –September 2008
Berdasarkan Tingkat Pendidikan ……..............................
22
Tabel VI Pengelompokan Kasus yang Menggunakan Obat Alergi
di RS Bethesda Periode Agustus –September 2008
Berdasarkan Pekerjaan ………………..............................
23
Tabel VII Pengelompokan Kasus yang Menggunakan Obat Alergi
di RS Bethesda Periode Agustus –September 2008
Berdasarkan Diagnosis …..................................................
24
Tabel VIII Pengelompokan Kasus yang Menggunakan Obat Alergi
di RS Bethesda Periode Agustus –September 2008
Berdasarkan Jumlah Obat ………………………………..
26
Tabel IX Penggolongan Obat Secara Umum pada Pasien yang
Menerima Obat Alergi di RS Bethesda Periode Agustus
– September 2008 ………..................................................
27
Tabel X Penggolongan Obat Alergi di RS Bethesda Periode
Agustus – September 2008 Berdasarkan Golongan dan
Jenis Obat ………………………………………………..
29
Tabel XI Penggolongan Obat Alergi di RS Bethesda Periode
Agustus – September 2008 Berdasarkan Jumlah Obat
Alergi per Pasien dan Jenis Obat ……..
30
xvi
Tabel XII Penggolongan Obat Alergi di RS Bethesda Periode
Agustus – September 2008 Berdasarkan Bentuk Sediaan
Obat ………………….......................................................
31
Tabel XIII Penggolongan Obat Alergi di RS Bethesda Periode
Agustus – September 2008 Berdasarkan Bentuk Sediaan
dan Jenis Obat ……….......................................................
31
Tabel XIV Penggolongan Obat Alergi di RS Bethesda Periode
Agustus – September 2008 Berdasarkan Jenis, Kekuatan,
Frekuensi dan Durasi Obat ………………………………
32
Tabel XV Persentase Kejadian ME Fase Administrasi pada Pasien
di RS Bethesda yang Menerima Obat Alergi Periode
Agustus – September 2008 ………………………………
34
Tabel XVI Jenis Kejadian ME Fase Administrasi yang Riil Teramati
pada Pasien di RS Bethesda yang Menerima Obat Alergi
Periode Agustus – September 2008 ……………………..
34
Tabel XVII Bentuk ME Fase Administrasi (Kontraindikasi) pada
Pasien di RS Bethesda yang Menerima Obat Alergi
Periode Agustus – September 2008 ……………………..
35
Tabel XVIII Bentuk ME Fase Administrasi (Gagal Mencek Instruksi)
pada Pasien di RS Bethesda yang Menerima Obat Alergi
Periode Agustus – September 2008 ……………………..
35
Tabel XIX Bentuk ME Fase Administrasi (Dosis Keliru) pada
Pasien di RS Bethesda yang Menerima Obat Alergi
Periode Agustus – September 2008 ……………………..
35
Tabel XX Bentuk ME Fase Administrasi (Instruksi Dijalankan
Keliru) pada Pasien di RS Bethesda yang Menerima Obat
Alergi Periode Agustus – September 2008 ……………...
36
Tabel XXI Bentuk ME Fase Administrasi (Pemberian Obat di Luar
Instruksi) pada Pasien di RS Bethesda yang Menerima
Obat Alergi Periode Agustus – September 2008 ………..
36
Tabel XXII Persentase DTP yang Riil Terjadi pada Pasien di RS
xvii
Bethesda yang Menerima Obat Alergi Periode Agustus –
September 2008 ………………………………………….
37
Tabel XXIII Pengelompokan Kejadian DTP pada Pasien di RS
Bethesda yang Menerima Obat Alergi Periode Agustus –
September 2008 ………………………………………….
37
Tabel XXIV Kejadian DTP Dosis Terlalu Tinggi pada Pasien di RS
Bethesda yang Menerima Obat Alergi Periode Agustus –
September 2008 ………………………………………….
38
Tabel XXV Kejadian DTP Interaksi Obat pada Pasien di RS
Bethesda yang Menerima Obat Alergi Periode Agustus –
September 2008 ………………………………………….
39
Tabel XXVI Kejadian DTP Non Compliance pada Pasien di RS
Bethesda yang Menerima Obat Alergi Periode Agustus –
September 2008 ………………………………………….
39
Tabel XXVII Contoh kasus DTP pada Pasien di Bangsal Rawat Inap
Kelas III RS Bethesda yang Menerima Obat Alergi
Periode Agustus – September 2008 ……..........................
40
Tabel XXIII Contoh kasus DTP pada Pasien di Bangsal Rawat Inap
Kelas III RS Bethesda yang Menerima Obat Alergi
Periode Agustus – September 2008 ……………………..
41
Tabel XXIX Contoh kasus DTP pada Pasien di Bangsal Rawat Inap
Kelas III RS Bethesda yang Menerima Obat Alergi
Periode Agustus – September 2008 ……………………..
42
Tabel XXX Contoh kasus DTP pada Pasien di Bangsal Rawat Inap
Kelas III RS Bethesda yang Menerima Obat Alergi
Periode Agustus – September 2008 ……………………..
43
xviii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Cara Kerja Sel Mast pada Proses Alergi .................................... 7
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Rangkuman Hasil Wawancara Apoteker Rawat Inap
Bangsal Kelas III RS Bethesda Yogyakarta …………......
51
Lampiran 2 Rangkuman Hasil Wawancara Dokter Rawat Inap
Bangsal Kelas III RS Bethesda Yogyakarta …………......
52
Lampiran 3 Rangkuman Hasil Wawancara Perawat Rawat Inap
Bangsal Kelas III RS Bethesda Yogyakarta …………......
53
Lampiran 4 Daftar Nama Obat Alergi di Bangsal Rawat Inap Kelas
III RS Bethesda Yogyakarta Periode Agustus -
September 2008 .................................................................
59
Lampiran 5 Subyektif, Obyektif, Penatalaksanaan, Penilaian, dan
Rekomendasi Pasien Rawat Inap Bangsal Kelas III RS
Bethesda Yogyakarta yang Menggunakan Obat Alergi
Periode Agustus – September 2008 ..................................
60
xx
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Alergi merupakan suatu perubahan reaksi, atau respon pertahanan tubuh
yang menolak dan tidak tahan terhadap zat-zat yang sebenarnya tidak berbahaya
bagi tubuh itu sendiri. Kasus alergi memang semakin banyak ditemukan seperti
alergi serbuk sari, alergi udara dingin, alergi makanan, dan juga alergi obat.
Namun, sampai saat ini belum ditemukan adanya penelitian yang spesifik
mengenai alergi di Universitas Sanata Dharma.
Medication Errors (ME) merupakan suatu kesalahan dalam proses
pengobatan yang seharusnya dapat dicegah dan proses tersebut masih berada
dalam pengawasan dan tanggungjawab profesi kesehatan (NCCMERP, 1998).
Drug Therapy Problems (DTP) merupakan suatu kejadian yang tidak
diinginkan, dialami oleh pasien yang terlibat dalam terapi obat, yang akan
mengganggu pencapaian tujuan terapi yang diinginkan (Strand et.al., 2004).
Pada tahun 2007, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta bekerjasama dengan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta telah
menyelesaikan penelitian mengenai Patient Safety. Hal penting yang menarik
untuk diteliti dari penelitian sebelumnya antara lain :
1. pada bulan Juli 2007 terdapat sejumlah 472 kasus penggunaan resep racikan
pada pediatri perlu penyesuaian dosis, 310 kasus perlu penyesuaian indikasi,
dan 233 kasus potensial terjadi interaksi obat.
1
2
2. berdasarkan studi DTP diperoleh 3 dari 32 kasus gangguan GIT pediatri tidak
teridentifikasi DTP, sisanya teridentifikasi potensial terjadi DTP. Pada pasien
gangguan saluran nafas ditemukan 22 kasus obat tanpa indikasi, 7 kasus salah
obat, 20 kasus dosis terlalu rendah, 17 kasus dosis terlalu tinggi, 23 kasus efek
obat merugikan dan interaksi obat.
3. pada pasien di bangsal anak, terdapat berbagai macam kasus ME pada proses
transcribing dan dispensing (Suhadi, dkk, 2007).
Berdasarkan uraian tersebut, diusulkan suatu penelitian berjudul ”Evaluasi
Masalah Utama Kejadian Medication Errors Fase Administrasi dan Drug Therapy
Problems pada Pasien Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Periode Agustus –
September 2008 (Kajian Obat Alergi)”.
1. Permasalahan
Permasalahn utama dalam penelitian ini adalah “apakah yang menjadi
masalah utama terjadinya ME fase administrasi dan DTP pada penggunaan obat
alergi pada pasien di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Periode Agustus –
September 2008?”.
Permasalahan tambahan yang ingin diamati adalah :
a. bagaimana profil pasien yang menggunakan obat alergi meliputi umur, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan diagnosis di Rumah Sakit
Bethesda Yogyakarta Periode Agustus – September 2008?
b. bagaimana profil terapi pasien dengan obat alergi meliputi jumlah obat, jenis
obat, bentuk sediaan obat, aturan pakai obat (meliputi kekuatan obat,
3
frekuensi, dan durasi) pada pasien di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta
Periode Agustus – September 2008?
c. kejadian ME dan DTP apa yang benar-benar terjadi pada pasien Rumah Sakit
Bethesda dalam penggunaan obat alergi Periode Agustus – September 2008
(berdasarkan pengamatan prospektif)?
2. Keaslian Penelitian
Penelitian yang berjudul Evaluasi Masalah Utama Kejadian Medication
Errors Fase Administrasi dan Drug Therapy Problems pada Pasien Rumah Sakit
Bethesda Yogyakarta Periode Agustus – September 2008 (Kajian Obat Alergi)
belum pernah dilakukan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Akan tetapi,
penelitian sebelumnya yang terkait dengan masalah ME dan DTP antara lain :
a. studi Potensial Medication Errors pada Peresepan Bangsal Anak di RS
Bethesda Yogyakarta Periode Februari – April 2003 : ditinjau dari Aspek
Transcribing : Kesulitan Membaca Tulisan pada Resep dan Kesulitan
Membaca Penulisan Angka Desimal oleh Fitri (2005).
b. evaluasi Medication Errors Resep Racikan Pasien Pediatrik di Farmasi Rawat
Jalan RS Bethesda pada Bulan Juli 2007 : tinjauan Fase Dispensing oleh Erlin
(2008).
3. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan
menambah referensi tenaga kesehatan untuk mendeskripsikan ME dan DTP
penggunaan obat alergi yang terjadi pada pasien RS Bethesda Yogyakarta.
4
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
dalam pengambilan keputusan penggunaan obat alergi oleh farmasis dalam
mempraktekkan pharmaceutical care dan menerapkan isu patient safety demi
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di RS Bethesda Yogyakarta.
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui masalah utama kejadian
ME fase administrasi dan DTP penggunaan obat alergi pada pasien Rumah Sakit
Bethesda Yogyakarta periode Agustus – September 2008.
2. Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :
a. mengetahui profil pasien yang menggunakan obat alergi meliputi umur, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan diagnosis di Rumah Sakit
Bethesda Yogyakarta periode Agustus – September 2008
b. mengetahui profil terapi pasien dengan obat alergi meliputi jumlah obat, jenis
obat, bentuk sediaan obat, aturan pakai obat (meliputi kekuatan obat,
frekuensi, dan durasi) pada pasien di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta
periode Agustus – September 2008.
c. mengetahui kejadian ME dan DTP yang benar-benar terjadi pada pasien
Rumah Sakit Bethesda dalam penggunaan obat alergi periode Agustus –
September 2008 (berdasarkan pengamatan prospektif).
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Medication Errors
Medication Errors adalah suatu kesalahan dalam proses pengobatan
yang seharusnya dapat dicegah dan proses tersebut masih berada dalam
pengawasan dan tanggungjawab profesi kesehatan (NCCMERP, 1998), sedangkan
menurut SK Menteri Kesehatan RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 adalah
kejadian yang merugikan pasien, akibat pemakaian obat selama dalam
penanganan tenaga kesehatan yang sebetulnya dapat dicegah. Kejadian ME dibagi
dalam 4 fase, yaitu fase prescribing, transcribing, dispensing dan administration.
Faktor penyebab ME dapat berupa : 1) komunikasi yang buruk baik
secara tertulis dalam bentuk kertas resep atau lisan (antara pasien, dokter dan
apoteker), 2) sistem distribusi obat kurang mendukung (sistem komputerisasi,
sistem penyimpanan obat, dan sebagainya), 3) sumber daya manusia (kurang
pengetahuan, pekerjaan yang berlebihan, dan lain-lain), 4) edukasi kepada pasien
kurang, 5) peran pasien dan keluarganya kurang (Cohen, 1999).
B. Drug Therapy Problems
Drug Therapy Problems adalah kejadian yang tidak diinginkan, yang
dialami oleh pasien yang terlibat atau dicurigai terlibat dalam terapi obat, yang
akan mengganggu pencapaian tujuan terapi yang diinginkan (Strand et.al., 2004).
5
6
C. Alergi
Alergi merupakan suatu perubahan reaksi, atau respon pertahanan tubuh
yang menolak dan tidak tahan terhadap zat-zat yang sebenarnya tidak berbahaya.
Manifestasi alergi dapat berupa demam, gatal, asma, ruam kemerahan pada kulit.
Terjadinya alergi adalah berawal dengan masuknya suatu allergen ke
dalam tubuh. Allergen yaitu suatu bahan yang menyebabkan alergi. Dengan
adanya allergen yang masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan merespon dengan
munculnya berbagai manifestasi seperti demam, gatal, ruam pada kulit.
Mekanisme terjadinya alergi melibatkan kerja sel mast. Sel mast terikat
dengan suatu antibodi imunoglobulin E yaitu suatu antibodi yang
bertanggungjawab terhadap terjadinya alergi. Di dalam sel mast terkandung
senyawa histamin dan juga leukotrien. Senyawa histamin dan leukotrien
merupakan senyawa yang dapat menyebabkan terjadinya pelebaran pembuluh
darah dan juga penyempitan otot-otot halus di jalan nafas paru-paru. Senyawa
histamin dan leukotrien menyebabkan rasa gatal dan bersin-bersin, pembengkakan
pada kulit dan saluran nafas. Akibatnya, timbul benjolan-benjolan merah yang
gatal di kulit, asma dan mampatnya jalan nafas.
Mekanisme singkat terjadinya alergi berawal dengan masuknya suatu
allergen. Setelah allergen masuk, maka sel mast akan pecah dan secara langsung
akan mengeluarkan senyawa histamin dan leukotrien. Dengan keluarnya senyawa
histamin dan leukotrien tersebut, maka dapat terjadi pelebaran pembuluh darah
dan penyempitan otot-otot halus di saluran pernafasan yang kemudian akan
muncul manifestasi seperti rasa gatal, bengkak, dan asma (Davies, 2003).
7
Gambar 1. Cara Kerja Sel Mast pada Proses Alergi (Davies, 2003)
8
D. Obat-obat Alergi
1. Antihistamin
Antihistamin memberikan manfaat potensial pada terapi rhinitis alergi
(hay fever). Antihistamin oral juga dapat mencegah urtikaria dan dapat digunakan
untuk mengatasi ruam kulit pada urtikaria, gatal serta alergi obat (Anonim, 2000).
Contoh obat antihistamin antara lain loratadine, terfenadine, cetirizine
diHCl, fexofenadine HCl (Anonim, 2000; Anonim, 2007; Lacy et.al., 2006) :
a) loratadine
Indikasi
Mengurangi gejala yang berhubungan dengan rhinitis alergi, gejala nyeri seperti hay fever, gejala dan tanda urtikaria kronis dan penyakit dermatologik lain.
Mekanisme aksi Selektiif terhadap antagonis reseptor histamin perifer.
Kontraindikasi Asma akut, hamil, menyusui, hipersensitif atau idiosinkrasi.
Efek samping Lesu, nyeri kepala, sedasi, mulut kering, gangguan GIT, gangguan fungsi hati.
Dosis (dewasa) 10 mg/hari.
b) terfenadine
Indikasi Gejala rhinitis alergi seperti hay fever, urtikaria, rhinitis vasomotor.
Mekanisme aksi Bersaing dengan histamin untuk berikatan dengan sisi aktif reseptor H1 pada saluran gastrointestinal, pembuluh darah, dan saluran pernafasan.
Kontraindikasi
Hipersensitif, gangguan hati yang jelas, menyusui, hipokalemia, pemakaian aritmogenik atau kondisi aritmia, insufisiensi koroner, hipertensi berat, pemberian bersamaan dengan antibiotik makrolida, atau antijamur azole.
Efek samping Sedasi, mulut kering, anoreksia, mual, muntah, tidak enak di perut, insomnia, mudah lelah, ansietas, palpitasi, takikardia.
Dosis (dewasa)
• Untuk rhinitis alergi : 60 mg/hari, bila perlu 120 mg/hari dalam 1-2 dosis terbagi.
• Untuk alergi kulit : 120 mg/hari dalam 1-2 dosis terbagi.
9
c) fexofenadine HCl
Indikasi Alergi rhinitis musiman, urtikaria idiopatik kronis.
Mekanisme aksi
Merupakan metabolit aktif terfenadine yang bersaing dengan histamin untuk berikatan dengan sisi aktif reseptor H1 pada saluran gastrointestinal, pembuluh darah, dan saluran pernafasan. Tidak melewati sawar darah otak sehingga potensi menimbulkan sedasi menurun.
Kontraindikasi Hipersensitif. Efek samping Nyeri kepala. Dosis (dewasa) 1 tablet 1 kali sehari.
d) cetirizine diHCl
Indikasi Gejala rhinitis alergi seperti hay fever, urtikaria, idiopatik kronis.
Mekanisme aksi Bersaing dengan histamin untuk berikatan dengan sisi reseptor H1 pada saluran gastrointestinal, pembuluh darah, dan saluran pernafasan
Kontraindikasi Hamil, menyusui, riwayat hipersensitif terhadap cetirizine.
Efek samping Sedasi, kepala nyeri, agitasi, rasa tidak enak di GIT, mulut kering, reaksi hipersensitivitas (misalnya angioedema).
Dosis (dewasa) 10 mg/hari atau 5 mg 2 kali sehari.
2. Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan obat antialergi dan sekaligus antiinflamasi.
Meskipun tidak menghambat pelepasan histamin dan zat kimia kompleks dari sel
mast, obat ini sangat efektif meredakan radang yang menjadi ciri keadaan kulit
kronis akibat alergi, asma yang cukup parah. Obat ini bekerja pada tingkat gen di
dalam sel, mencegah peningkatan sitokin, yang mempengaruhi sistem kekebalan
tubuh pada tingkat yang sangat mendasar (Davies, 2003).
Mekanisme aksi lain dari kortikosteroid antara lain menghambat
pembebasan asam arakidonat yang mengakibatkan terhambatnya sintesis
10
prostaglandin dan leukotrien, tumor necrosis factor (TNF) dan interleukin-1
(Mansjoer, 2003).
Contoh obat golongan kortikosteroid antara lain methylprednisolone dan
dexamethasone (Lacy et.al., 2006) :
a. methylprednisolone
Indikasi Alergi, inflamasi.
Mekanisme aksi Menurunkan inflamasi dengan menekan migrasi lekosit dan menurunkan permeabilitas kapiler.
Kontraindikasi Hipersensitif.
Efek samping Edema, hipertensi, aritmia, insomnia, vertigo, nyeri kepala, hiperlipid.
Dosis (dewasa) Sebagai antiinflamasi : dosis yang dapat diberikan adalah 10-40 mg yang diberikan dalam beberapa menit, kemudian diulang tergantung kondisi klinis.
b. dexamethasone
Indikasi Antiinflamasi, kondisi alergi, penyakit lain yang responsif terhadap glukokortikoid.
Mekanisme aksi
Menurunkan inflamasi dengan menekan migrasi netrofil, menurunkan produksi mediator inflamasi, menurunkan permeabilitas kapiler, menekan respon imun normal.
Kontraindikasi Hipersensitif, herpes simplek okular, infeksi jamur atau pyogenik.
Efek samping
Edema, hipertensi, aritmia, insomnia, lemah otot, osteoporosis, tukak peptik, gangguan penyembuhan luka, pengeluaran keringat bertambah, sakit kepala, penurunan toleransi terhadap karbohidrat.
Dosis (dewasa) Tablet 0,5-10 mg per hari. Injeksi 4-20 mg i.m atau i.v.
11
Tabel I. Penyebab-penyebab DTP (Strand et.al., 1998)
No Jenis DRP Contoh Penyebab DRP 1. Ada indikasi tetapi
tanpa obat (need for additional drug therapy)
• Timbul kondisi medis memerlukan tambahan obat • Kondisi kronis memerlukan terapi lanjutan terus-
menerus • Kondisi yang memerlukan terapi kombinasi • Pasien potensial timbul kondisi medis baru yang
perlu dicegah atau terapi profilaksis. 2. Ada obat tanpa
indikasi (unnecessary therapy)
• Terapi yang diperoleh sudah tidak valid saat itu • Terapi dengan dosis toksik • Penyalah-gunaan obat, merokok, dan alkohol • Terapi sebaiknya non-farmakologi • Polifarmasi yang sebaiknya terapi tunggal • Terapi efek samping akibat suatu obat yang
sebenarnya dapat digantikan dengan yang lebih aman 3. Pemilihan obat salah
(wrong drug) • Obat yang digunakan bukan yang efektif /paling
efektif • Pasien alergi atau kontraindikasi • Obat efektif tetapi relatif mahal (bukan paling aman) • Obat sudah resisten terhadap infeksi • Kondisi sukar sembuh dengan obat yang sudah
pernah diperoleh perlu mengganti obat • Kombinasi obat yang salah.
4. Dosis terlalu rendah (dose too low)
• Dosis terlalu rendah • Waktu pemberian tidak tepat, misalnya profilaksis
antibiotika untuk operasi • Obat, dosis, rute, formulasi kurang sesuai pada pasien
5. Efek obat merugikan (adverse drug reaction) dan interaksi obat
• Obat diberikan terlalu cepat • Risiko yang sudah teridentifikasi karena obat tertentu • Pasien alergi atau reaksi indiosinkrasi • Bioavalibilitas, efek obat diubah oleh obat
lain/makanan. • Interaksi obat karena induksi atau inhibisi enzim,
penggeseran tempat ikatan, atau dengan hasil laboratorium
6. Dosis terlalu tinggi (dose too high)
• Dosis terlalu besar, kadar obat dalam plasma melebihi rentang terapi yang diharapkan
• Dosis dinaikkan terlalu cepat • Obat akumulasi karena terapi jangka panjang • Obat, dosis, rute, formulasi kurang sesuai pada pasien • Dosis dan interval pemberian misalnya analgesik bila
perlu diberikan terus 7. Ketaatan pasien
(compliance)/ gagal menerima obat
• Pasien gagal menerima obat yang sesuai karena medication error
• Pasien tidak menuruti aturan yang ditetapkan secara sengaja maupun karena tidak mengerti maksudnya
• Pasien tidak sanggup menebus obat karena biaya
12
Tabel II. Bentuk-bentuk ME (Dwiprahasto dan Kristin, 2008)
Prescribing Transcribing Dispensing Administration • Kontraindikasi • Duplikasi • Tidak terbaca • Instruksi tidak
jelas • Instruksi
keliru • Instruksi tidak
lengkap • Penghitungan
dosis keliru
• Copy error • Baca keliru • Instruksi
terlewatkan • Mis-stamped• Instruksi tak
dikerjakan • Instruksi
verbal salah terjemah
• Kontraindikasi • Extra dose • Gagal cek instruksi • Sediaan obat buruk • Instruksi pengguna-
an obat tidak jelas • Salah hitung dosis • Salah memberi label • Salah tulis instruksi • Dosis keliru • Pemberian obat di
luar instruksi • Instruksi verbal
dijalankan keliru
• Administration error • Kontraindikasi • Obat tertinggal di
samping bed • Extra dose • Kegagalan mencek
instruksi • Tidak mencek
identitas pasien • Dosis keliru • Salah menulis
instruksi • Patient off unit • Pemberian obat di
luar instruksi • Instruksi verbal
dijalankan keliru
E. Keterangan Empiris
Penelitian mengenai Evaluasi Masalah Utama Kejadian Medication
Errors Fase Administrasi dan Drug Therapy Problems pada Pasien RS Bethesda
Yogyakarta Periode Agustus – September 2008 (Kajian Obat Alergi) bertujuan
untuk mengetahui masalah utama kejadian medication errors dan drug therapy
problems penggunaan obat alergi pada pasien RS Bethesda Yogyakarta periode
Agustus – September 2008 sehingga diharapkan dapat mengurangi kejadian
medication errors fase administrasi dan drug therapy problems pada penggunaan
obat alergi pada pasien RS Bethesda Yogyakarta.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ”Evaluasi Masalah Utama Kejadian Medication Errors Fase
Administrasi dan Drug Therapy Problems pada Pasien Rumah Sakit Bethesda
Yogyakarta Periode Agustus – September 2008 (Kajian Obat Alergi)” merupakan
jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif eksploratif yang
bersifat prospektif (Pratiknya, 1986).
Penelitian ini dilakukan pada pasien yang menggunakan obat alergi di
Bangsal Rawat Inap Kelas III RS Bethesda Yogyakarta pada Periode Agustus –
September 2008. Pengamatan dilakukan selama pasien dirawat di rumah sakit dan
selama terapi dengan obat jalan di rumah pasien.
Jenis penelitian ini adalah non eksperimental yakni merupakan penelitian
yang observasinya dilakukan terhadap sejumlah ciri atau variabel subyek tanpa
ada manipulasi dari peneliti (Pratiknya, 1986). Rancangan penelitian ini adalah
deskriptif berarti mendeskripsikan, menggambarkan apa yang telah didapatkan.
Penelitian ini bersifat prospektif karena data penelitian diambil dengan mengamati
keadaan pasien secara langsung selama mendapatkan perawatan di rumah sakit
dan mengamati penggunaan obat pada pasien setelah keluar dari rumah sakit yaitu
dilakukan dengan home visit (selama periode penelitian). Selain itu juga dengan
melihat lembar catatan mediknya.
13
14
B. Definisi Operasional
1. Fase administrasi merupakan suatu fase pada waktu obat diberikan dan
kemudian digunakan oleh pasien.
2. Medication Errors dalam penelitian ini merupakan setiap kejadian yang
berupa kesalahan dalam proses pengobatan yang tidak disengaja dan
sebenarnya dapat dicegah oleh tenaga kesehatan.
3. Drug Therapy Problems dalam penelitian ini adalah setiap masalah yang
ditemukan selama masa pengobatan yang dapat mengganggu tercapainya
tujuan terapi (butuh tambahan obat, dosis terlalu rendah, efek samping obat
dan interaksi obat, dosis terlalu tinggi dan kepatuhan pasien).
4. Obat alergi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah obat-obat golongan
antihistamin dan golongan kortikosteroid.
5. Periode Agustus – September 2008 pada penelitian ini dimulai dari tanggal 4
Agustus – 8 Oktober 2008.
6. Kasus dalam penelitian ini adalah pasien yang menerima resep dan
menggunakan obat alergi di Bangsal Rawat Inap Kelas III RS Bethesda
Yogyakarta periode Agustus – September 2008.
7. Kerasionalan obat yang dimaksud adalah frekuensi kejadian ME fase
administrasi dan DTP yang seminimal mungkin.
8. Lembar catatan medik yang dimaksud adalah catatan pengobatan dan
perawatan pasien yang memuat data tentang karakteristik pasien meliputi
umur, jenis kelamin, alamat, diagnosis, instruksi dokter, catatan keperawatan,
catatan penggunaan obat, hasil pemeriksaan laboratorium, lama perawatan dan
15
lembar resume pasien yang menerima obat alergi di RS Bethesda Yogyakarta
periode Agustus – September 2008.
9. Karakteristik pasien yang dimaksud meliputi distribusi umur, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, diagnosis dan penyakit penyerta.
10. Karakteristik peresepan obat meliputi unsur jumlah obat, jenis obat, bentuk
sediaan obat, aturan pemakaian obat, kekuatan, frekuensi pemberian, durasi
pemakaian.
11. Evaluasi dosis dilakukan berdasarkan sumber referensi dari buku Drug
Information Handbook (Lacy et.al., 2006), MIMS Indonesia Petunjuk
Konsultasi (Anonim, 2007).
12. Interaksi obat yang dilihat dalam penelitian ini adalah interaksi antar obat
dalam resep yang diberikan kepada pasien berdasarkan sumber referensi Drug
Interaction Fact (Tatro, 2001).
13. Home visit yang dimaksud adalah pengamatan penggunaan obat dan kondisi
pasien setelah keluar dari rumah sakit tanpa melakukan intervensi, dilakukan
pada pasien yang menyetujui informed consent.
C. Subyek Penelitian
Subyek penelitian adalah pasien yang dirawat inap di Bangsal Kelas III
Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Periode Agustus – September 2008 yang
menerima obat alergi. Kriteria inklusi subyek penelitian ini adalah pasien pria
maupun wanita dewasa yang berumur ≥ 17 tahun yang dirawat inap di Bangsal
Kelas III yaitu di ruang B, C, D, E, F, H, dan J Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta
16
pada periode Agustus – September 2008, yang menerima terapi obat alergi.
Kriteria eksklusi subyek penelitian ini adalah pasien yang tidak bersedia
bekerjasama dan pasien yang meninggal dunia selama periode Agustus –
September 2008 di RS Bethesda Yogyakarta. Jumlah subyek penelitian yaitu 23
(dua puluh tiga) pasien rawat inap dan 4 (empat) pasien home visit.
Untuk subyek wawancara, selain pasien juga apoteker, dokter, dan
perawat. Tetapi pada saat dilakukan home visit, selain pasien juga digunakan
keluarga pasien sebagai subyek wawancara.
D. Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar
catatan medik atau medical record pasien dewasa yang dirawat inap di Bangsal
Kelas III RS Bethesda Yogyakarta yang menerima terapi dengan obat alergi
periode Agustus – September 2008. Data yang diambil dari lembar catatan medik
ini merupakan data mengenai kondisi klinis pasien termasuk hasil pemeriksaan
laboratorium yang ditulis oleh dokter, perawat, apoteker.
E. Instrumen Penelitian
Instrumen dalam penelitian ini meliputi :
1. alat-alat untuk monitoring tanda vital dan data laboratorium sederhana
meliputi alat ukur tekanan darah (tensimeter), alat ukur suhu tubuh
(termometer), alat ukur kadar gula darah one touch, alat ukur kadar kolesterol
darah
17
2. form pemantauan pasien
3. form penggunaan obat pasien
4. panduan wawancara terstruktur.
F. Lokasi Penelitian
Penelitian ”Evaluasi Masalah Utama Kejadian Medication Errors Fase
Administrasi dan Drug Therapy Problems pada Pasien Rumah Sakit Bethesda
Yogyakarta Periode Agustus – September 2008 (Kajian Obat Alergi)” dilakukan
di Bangsal Kelas III RS Bethesda Yogyakarta meliputi bangsal B, C, D, E, F, H,
dan J. Selain di rumah sakit, lokasi penelitian juga mencakup tempat tinggal
pasien untuk pasien yang bersedia dilaksanakannya home visit.
G. Tata Cara Penelitian
1. Tahap Orientasi
Pada tahap orientasi dilakukan pemaparan alur kerja penelitian kepada
pihak Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta yakni pihak Tim Patient Safety Rumah
Sakit Bethesda Yogyakarta yang terdiri dari dokter dan apoteker. Kemudian
dilanjutkan dengan pencarian informasi mengenai penggunaan obat alergi di
Bangsal Rawat Inap Kelas III Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta. Selain itu, juga
dilakukan pencarian informasi mengenai teknik pengambilan data yang sesuai
supaya tidak mengganggu aktivitas di bangsal tersebut. Orientasi dilakukan
selama satu minggu.
18
2. Tahap Pengambilan Data
a) Pengumpulan Data
Pada tahap pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan
langsung pada pasien maupun melalui medical record. Data yang dikumpulkan
meliputi identitas, lama tinggal di rumah sakit, riwayat penyakit, riwayat keluarga,
riwayat pengobatan, data medis berupa diagnosis dan terapi, dan data
laboratoirum sederhana (Rovers et.al., 2003, Tietze, 2004).
b) Tahap Wawancara
Pada tahap wawancara di rumah sakit dilakukan wawancara terhadap
dokter, apoteker, perawat, dan pasien. Sedangkan pada saat penelitian secara home
visit, selain dilakukan wawancara terhadap pasien juga terhadap keluarga pasien.
Namun dalam penelitian ini tidak dilakukan intervensi atau campur tangan peneliti
dalam proses terapi pasien. Data hasil wawancara digunakan sebagai data
penunjang untuk membantu mendeskripsikan hasil penelitian.
3. Tahap Penyelesaian Data
Data yang diperoleh kemudian dievaluasi dengan menggunakan referensi
Drug Information Handbook (Lacy et.al., 2006), MIMS Petunjuk Konsultasi
(Anonim, 2007), Informatorium Obat Nasional Indonesia (Anonim, 2000). Data
yang diperoleh dan telah dievaluasi, digunakan untuk identifikasi ME fase
admininstrasi dan DTP yang mungkin terjadi dan juga untuk identifikasi masalah
utama kejadian ME fase administrasi dan DTP.
19
H. Tata Cara Analisis Hasil
Data dibahas secara evaluatif dengan bantuan tabel :
1. persentase umur kasus dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu kelompok
kasus dewasa (umur 17 sampai ≤ 65 tahun) dan kelompok kasus geriatri (umur
≥ 65 tahun), dihitung dengan cara menghitung jumlah pasien pada tiap
kelompok umur dibagi jumlah pasien yang dirawat dan mendapatkan terapi
obat alergi kemudian dikalikan 100%.
2. persentase jenis kelamin kasus dikelompokkan menjadi kasus dengan jenis
kelamin laki-laki dan perempuan, dihitung dengan cara menghitung jumlah
pasien pada tiap kelompok jenis kelamin dibagi dengan jumlah keseluruhan
pasien yang dirawat dan mendapatkan obat alergi kemudian dikalikan 100%.
3. persentase kasus berdasarkan tingkat pendidikan, dihitung dengan cara
menghitung jumlah pasien pada tiap tingkat pendidikan dibagi dengan jumlah
keseluruhan pasien yang dirawat dan menggunakan obat alergi kemudian
dikalikan 100%.
4. persentase kasus berdasarkan pekerjaan, dihitung dengan cara menghitung
jumlah pasien pada tiap kelompok pekerjaan dibagi dengan jumlah
keseluruhan pasien yang dirawat dan menggunakan obat alergi kemudian
dikalikan 100%.
5. persentase kasus berdasarkan diagnosis.
6. persentase jenis obat alergi, dihitung dengan cara menghitung jumlah pasien
yang menggunakan jenis obat alergi tertentu dibagi dengan jumlah
20
keseluruhan pasien yang dirawat dan mendapatkan obat alergi kemudian
dikalikan 100%.
7. identifikasi ME yang riil terjadi pada fase administrasi yang disajikan dalam
bentuk persentase.
8. identifikasi DTP meliputi butuh obat tambahan, obat tanpa indikasi, obat yang
salah, interaksi obat yang diberikan, efek samping, dosis kurang, dan dosis
berlebih dan disajikan dalam bentuk persentase.
I. Kesulitan Penelitian
Dalam pengambilan data di rumah sakit, kesulitan disebabkan kurangnya
pengalaman peneliti dalam membaca tulisan pada lembar catatan medik, peneliti
kurang mengetahui beberapa istilah atau terminologi medis lokal yang digunakan
di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta yang ditulis pada lembar catatan medik.
Kesulitan tersebut dapat diatasi dengan bertanya pada perawat yang bertugas jaga
di Bangsal Rawat Inap Kelas III Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta saat itu.
Dalam pengambilan data di rumah pasien ketika dilakukan home visit,
kesulitan disebabkan alamat rumah pasien yang kurang diketahui peneliti.
Kesulitan tersebut dapat diatasi dengan menanyakan alamat pasien secara
langsung kepada pasien atau keluarga pasien sebelum dilakukan home visit.
Dalam proses analisis data, yaitu adanya data yang tidak lengkap pada
lembar catatan medik misalnya dosis obat yang diberikan. Kesulitan mengenai
dosis obat dapat diatasi dengan mencari informasi pada buku Formularium Obat
yang digunakan di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta saat itu.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Profil Kasus
Profil kasus yang menggunakan obat alergi di RS Bethesda Yogyakarta
periode Agustus – September 2008 meliputi persentase umur, jenis kelamin,
tingkat pendidikan, pekerjaan, dan diagnosis pasien.
1. Berdasarkan Kelompok Umur
Pengelompokan kasus yang menggunakan obat alergi di RS Bethesda
Yogyakarta periode Agustus – September 2008 berdasarkan umur,
dikelompokkan menjadi dua yaitu dewasa (umur 17 sampai ≤ 65 tahun) dan
geriatri (umur ≥ 65 tahun).
Tabel III. Pengelompokan Kasus yang Menggunakan Obat Alergi di RS Bethesda Periode Agustus –September 2008 Berdasarkan Umur
Kelompok Jumlah kasus (n=23) Persentase (%)
Dewasa 12 52,2 Geriatri 11 47,8
Berdasarkan tabel III didapatkan jumlah kasus yang menggunakan obat
alergi di RS Bethesda Yogyakarta periode Agustus – September 2008 kelompok
dewasa sebanyak 52,2% dan geriatri sebanyak 47,8%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan obat alergi pada kasus
kelompok dewasa lebih banyak dibanding kelompok geriatri.
2. Berdasarkan Jenis Kelamin
Pengelompokan kasus yang menggunakan obat alergi di RS Bethesda
Yogyakarta periode Agustus – September 2008 berdasarkan jenis kelamin,
21
22
dikelompokkan menjadi dua yaitu kelompok jenis kelamin laki-laki dan kelompok
jenis kelamin perempuan.
Tabel IV. Pengelompokan Kasus yang Menggunakan Obat Alergi di RS Bethesda Periode Agustus –September 2008 Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Jumlah kasus (n=23) Persentase (%) Laki-laki 14 60,9 Perempuan 9 39,1
Berdasarkan tabel IV didapatkan jumlah kasus yang menggunakan obat
alergi di RS Bethesda Yogyakarta periode Agustus – September 2008 jenis
kelamin laki-laki sebanyak 60,9% dan jenis kelamin perempuan sebanyak 39,1%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kasus dengan jenis kelamin laki-
laki lebih banyak menerima obat alergi dibanding kelompok perempuan.
3. Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Pengelompokan kasus yang menggunakan obat alergi di RS Bethesda
Yogyakarta periode Agustus – September 2008 berdasarkan tingkat pendidikan,
dikelompokkan menjadi empat yaitu tingkat pendidikan SLTA, SD, belum atau
tidak tamat SD, dan tanpa keterangan.
Tabel V. Pengelompokan Kasus yang Menggunakan Obat Alergi di RS Bethesda Periode Agustus –September 2008
Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan Jumlah kasus (n=23) Persentase (%) SLTA 11 47,8 SD 1 4,3 Belum atau tidak tamat SD 3 13,0 Tanpa keterangan 8 34,8
Berdasarkan tabel V didapatkan jumlah kasus yang menggunakan obat
alergi di RS Bethesda Yogyakarta periode Agustus – September 2008 dengan
23
tingkat pendidikan SLTA sebanyak 47,8%, SD sebanyak 4,3%, belum atau tidak
tamat SD sebanyak 13,0%, dan tanpa keterangan sebanyak 34,8%.
Hasil penelitian menunjukkan kasus dengan tingkat pendidikan SLTA
paling banyak menerima obat alergi pada periode Agustus – September 2008.
4. Berdasarkan Pekerjaan
Pengelompokan kasus yang menggunakan obat alergi di RS Bethesda
Yogyakarta periode Agustus – September 2008 berdasarkan pekerjaan
dikelompokkan menjadi tujuh yaitu PNS, TNI, swasta, pedagang, petani, buruh,
dan tanpa keterangan pekerjaan.
Tabel VI. Pengelompokan Kasus yang Menggunakan Obat Alergi di RS Bethesda Periode Agustus –September 2008 Berdasarkan Pekerjaan
Pekerjaan Jumlah kasus (n=23) Persentase (%)
PNS 5 21,7 TNI 1 4,3 Swasta 1 4,3 Pedagang 1 4,3 Petani 2 8,7 Buruh 4 17,4 tanpa keterangan 9 39,1
Berdasarkan tabel VI didapatkan jumlah kasus yang menggunakan obat
alergi di RS Bethesda Yogyakarta periode Agustus – September 2008 dengan
pekerjaan PNS sebanyak 21,7%, TNI sebanyak 4,3%, swasta sebanyak 4,3%,
pedagang sebanyak 4,3%, petani sebanyak 8,7%, buruh sebanyak 17,4%, dan
tanpa keterangan sebanyak 39,1%.
Hasil penelitian menujukkan bahwa kasus tanpa keterangan pekerjaan
paling banyak menerima obat alergi pada periode Agustus – September 2008.
24
Oleh karena itu, tidak dapat ditentukan profil pasien dengan pekerjaan apa yang
paling banyak menggunakan obat alergi pada periode Agustus – September 2008.
5. Berdasarkan Diagnosis
Pengelompokan kasus dilakukan berdasarkan diagnosis utama dan
sekunder. Namun, sebagian kasus yang tidak terdapat diagnosis utama,
menggunakan diagnosis sementara.
Tabel VII. Pengelompokan Kasus yang Menggunakan Obat Alergi di RS Bethesda Periode Agustus –September 2008 Berdasarkan Diagnosis
Diagnosis Jumlah kasus (n=23) Persentase (%)
Satu macam diagnosis Tumor paru kanan 1 4,3COPD 1 4,3Pneumonia (s) dengan KP 1 4,3Asma 2 8,7Schuomosa Ca paru 1 4,3COPD eksaserbasi akut 1 4,3Trauma capitis 1 4,3Shock cardiogenik 1 4,3Cervical mass (Schwaona/neurinona) 1 4,3Fraktur cervical 3,4,5 1 4,3Abdominal pain 1 4,3Brakialgia 1 4,3
Dua macam diagnosis COPD, Bronchopneumonia 1 4,3Bronchopneumonia, TB paru 1 4,3Obstruksi dispnea, Efusi pleura 1 4,3Trauma capitis, Opthalmic neuropati 1 4,3Rhinosinusitis, Hipertensi 1 4,3Obstruksi febris, Dispnea 1 4,3Obstruksi dispnea, COPD 1 4,3
Tiga macam diagnosis Epistaxis, rhinitis kronis, Hipertensi 1 4,3Ikterik urtikaria, Alergi 1 4,3DM, Eritrodema, Syok septic 1 4,3
Pengelompokan kasus yang menggunakan obat alergi di RS Bethesda
Yogyakarta periode Agustus – September 2008 berdasarkan diagnosis
25
dikelompokkan menjadi tiga yaitu kasus dengan satu macam diagnosis, kasus
dengan dua macam diagnosis dan kasus dengan tiga macam diagnosis.
Berdasarkan tabel VII didapatkan jumlah kasus yang menggunakan obat
alergi di RS Bethesda Yogyakarta periode Agustus – September 2008 dengan satu
macam diagnosis sebanyak 13 kasus, dua macam diagnosis sebanyak 7 kasus, dan
tiga macam diagnosis sebanyak 3 kasus.
Hasil penelitian menujukkan bahwa kasus dengan satu macam diagnosis
paling banyak menerima obat alergi pada periode Agustus – September 2008 yaitu
sebanyak 13 kasus, dengan spesifikasi diagnosis asma merupakan jumlah paling
banyak yaitu sebanyak 2 kasus.
B. Profil Terapi Kasus
Profil terapi kasus yang diamati dalam penelitian ini adalah profil terapi
pasien RS Bethesda Yogyakarta yang dirawat di Bangsal Rawat Inap Kelas III
meliputi bangsal B, C, D, E, F, H, dan J yang menerima obat alergi pada periode
Agustus – September 2008. Selain membahas mengenai obat alergi, juga
dilakukan pembahasan mengenai penggunaan obat selain obat alergi pada pasien
tersebut. Profil terapi pasien yang diamati meliputi jumlah obat, jenis obat, bentuk
sediaan obat, aturan pakai obat (kekuatan obat, frekuensi, dan durasi).
1. Berdasarkan Jumlah Obat
Profil terapi pasien berdasarkan jumlah obat yang digunakan pada pasien
di Bangsal Rawat Inap Kelas III RS Bethesda Yogyakarta yang menerima obat
alergi periode Agustus – September 2008 digambarkan pada tabel VIII.
26
Tabel VIII. Pengelompokan Kasus yang Menggunakan Obat Alergi di RS Bethesda Periode Agustus –September 2008 Berdasarkan Jumlah Obat
Jumlah Obat Jumlah kasus (n=23) Persentase (%)
4 1 4,3 5 1 4,3 6 2 8,7 7 3 13,0 8 1 4,3 9 4 17,4 10 2 8,7 11 4 17,4 12 2 8,7 13 1 4,3 16 1 4,3 24 1 4,3
Berdasarkan tabel VIII didapatkan jumlah obat yang paling sedikit
digunakan oleh pasien di RS Bethesda Yogyakarta yang menerima obat alergi
pada periode Agustus – September 2008 adalah dengan jumlah obat 4 (empat)
macam yaitu sebanyak 1 (satu) kasus dan untuk jumlah obat yang paling banyak
adalah dengan jumlah obat sebanyak 24 (dua puluh empat) macam yaitu sebanyak
1 (satu) kasus.
Hasil penelitian menujukkan bahwa kasus dengan jumlah obat sebanyak
9 (sembilan) macam dan 11 (sebelas) macam merupakan kasus paling banyak
yaitu masing-masing sebanyak 4 (empat) kasus.
2. Berdasarkan Jenis Obat
Pasien yang menggunakan terapi dengan obat alergi, tidak hanya
menerima obat alergi. Oleh karena itu, dilakukan penggambaran profil obat secara
umum (obat yang digunakan secara keseluruhan) maupun secara khusus (spesifik
untuk obat alergi saja).
27
a) Penggolongan Obat Secara Umum
Obat yang digunakan secara umum oleh pasien rawat inap Bangsal Kelas
III RS Bethesda Yogyakarta periode Agustus – September 2008 yang menerima
obat alergi digambarkan pada tabel IX.
Tabel IX. Penggolongan Obat Secara Umum pada Pasien yang Menerima Obat Alergi di RS Bethesda Periode Agustus – September 2008
Jenis Jumlah kasus (n=23) Persentase (%)
AP caps 4 17,4 ambroxol HCl 5 21,7 amlodipine maleate 1 4,3 amoxycillin trihydrate 2 8,7 azithromycin dihydrate 2 8,7 amlodipine besylate 1 4,3 Asam mefenamat 1 4,3 anhydrous theophylline 1 4,3 Asam asetil salisilat 2 8,7 bromhexine HCl 2 8,7 Bellaphen® 2 8,7 Curzil® 1 4,3 carbazochrome Na sulfonate 2 8,7 cetirizine diHCl 5 21,7 ceftriaxone 5 21,7 cefpirome 1 4,3 Combivent® 7 30,4 ceftazidime pentahydrate 4 17,4 captopril 1 4,3 clindamycin 2 8,7 cefixime 3 13,0 Celecoxib 2 8,7 codein 1 4,3 clavulanic acid 1 4,3 citicoline 2 8,7 cefadroxil monohydrate 1 4,3 ciprofloxacin 1 4,3 coenzym Q10 1 4,3 dextromethorphan 4 17,4 dexamethasone 4 17,4 Delladryl® 2 8,7 diphenhidramine HCl 1 4,3 Diazepam 1 4,3 domperidone 1 4,3 Enzyplex® 1 4,3
28
Lanjutan tabel IX ethamsylate 1 4,3 Etambutol 1 4,3 eperisone HCl 2 8,7 furosemide 3 13,0 fluticasone propionate 7 30,4 Fenitoin 1 4,3 fexofenadine HCl 1 4,3 Gracef® 1 4,3 Gentamycin 1 4,3 HP Pro® 2 8,7 Hemobion® 1 4,3 Insulin 1 4,3 isosorbide dinitrate 1 4,3 K I-aspartat 1 4,3 ketorolac tromethamine 6 26,1 Ketoprofen 1 4,3 lansoprazole 2 8,7 loratadine 2 8,7 levofloxacin 3 13,0 Lisinopril 1 4,3 Levonox® 1 4,3 Legres® 1 4,3 methylprednisolone 19 82,6 Moxifloxacin 3 13,0 Mecobalamin 3 13,0 Meloxicam 3 13,0 metoclopramide HCl 3 13,0 Metampiron 3 13,0 Mutivitamin 1 4,3 Manitol 1 4,3 metamizole Na 1 4,3 Metformin 1 4,3 N-asetil sistein 2 8,7 nimodipine 1 4,3 nicergoline 1 4,3 Ofloxacin 1 4,3 Omeprazol 2 8,7 Orciprenalin sulfat 1 4,3 Ondansetron 1 4,3 procaterol HCL hemihydrate 4 17,4 Parasetamol 9 39,1 Pehadoxin 1 4,3 pirazinamide 1 4,3 Polycrol® 1 4,3 Piracetam 4 17,4 pseudoephedrine HCl 1 4,3 pentoxifylline 1 4,3 ranitidine HCl 8 34,8 Rifampisin 1 4,3 Salbutamol sulfat 1 43, Salmeterol 1 4,3 sulbenicillin disodium 1 4,3
29
Lanjutan tabel IX Jenis Jumlah kasus (n=23) Persentase (%)
Stesolid® 2 8,7 Spasmium® 1 4,3 traneksamic acid 14 60,9 terfenadine 3 13,0 tinoridine HCl 2 8,7 triamcinolone acetonide 1 4,3 Tramadol 1 4,3 Tonar® 1 4,3 Vitamin B kompleks 5 21,7 vitamin B1 1 4,3 vitamin C 2 8,7 Vertivom® 1 4,3 Vometa® 1 4,3 Xillo : Della 1 4,3 Yekaneuron® 1 4,3 zafirlukast 1 4,3
b) Penggolongan Jenis Obat Secara Khusus
Obat alergi yang diterima pasien di Bangsal Rawat Inap Kelas III RS
Bethesda Yogyakarta periode Agustus – September 2008 terdiri dari dua golongan
yaitu antihistamin dan kortikosteroid.
Tabel X. Penggolongan Obat Alergi di RS Bethesda Periode Agustus – September 2008 Berdasarkan Golongan dan Jenis Obat
Golongan Jenis Jumlah kasus
(n=23) Persentase
(%) Antihistamin Terfenadine 3 13,0 Loratadine 2 8,7 Cetirizine diHCl 4 17,4 fexofenadine HCl 1 4,3Kortikosteroid methylprednisolone 19 82,6 dexamethasone 3 13,0
Berdasarkan tabel X didapatkan golongan dan jenis obat alergi yang
digunakan pada pasien RS Bethesda Yogyakarta periode Agustus – September
2008 paling banyak adalah golongan kortikosteroid jenis methylprednisolone yaitu
pada 19 (sembilan belas) pasien atau sebanyak 82,6%.
30
c) Jumlah dan Jenis Obat yang Digunakan
Pasien yang menerima obat alergi di RS Bethesda Yogyakarta periode
Agustus – September 2008 dikelompokkan menjadi tiga yaitu pasien yang
menerima satu jenis obat alergi, dua jenis obat alergi, dan tiga jenis obat alergi.
Berdasarkan tabel XI didapatkan penggunaan obat alergi pada pasien
rawat inap Bangsal Kelas III RS Bethesda Yogyakarta periode Agustus –
September 2008 paling banyak adalah methylprednisolone dengan pemberian
tunggal yaitu sebanyak 65,2%.
Tabel XI. Penggolongan Obat Alergi di RS Bethesda Periode Agustus – September 2008 Berdasarkan Jumlah Obat Alergi per Pasien dan Jenis Obat
Jenis Jumlah kasus (n=23) Persentase (%)
Satu jenis obat Methylprednisolosne 15 65,2 Dexamethasone 1 4,3
Dua jenis obat loratadine, methylprednisolone 1 4,3 cetirizine diHCl, dexamethasone 1 4,3 cetirizine diHCl, methylprednisolone 1 4,3 cetirizine diHCl, terfenadine 1 4,3 methylprednisolone, terfenadine 1 4,3
Tiga jenis obat fexofenadine HCl, terfenadine, dexamethasone 1 4,3 cetirizine diHCl, methylprednisolone, loratadine 1 4,3
3. Berdasarkan Bentuk Sediaan Obat
Bentuk sediaan yang digunakan oleh pasien yang menerima obat alergi
di RS Bethesda Yogyakarta periode Agustus – September 2008 ada dua macam
yaitu bentuk sediaan parenteral (injeksi) dan sediaan nonparenteral (oral).
Berdasarkan tabel XII didapatkan penggunaan obat alergi pada pasien
RS Bethesda Yogyakarta periode Agustus – September 2008 bentuk sediaan
31
parenteral (injeksi) sebanyak 82,6% dan bentuk sediaan nonparenteral (oral)
sebanyak 56,5%.
Tabel XII. Penggolongan Obat Alergi di RS Bethesda Periode Agustus – September 2008 Berdasarkan Bentuk Sediaan Obat
Bentuk Sediaan Jumlah kasus (n=23) Persentase (%)
Parenteral (injeksi) 19 82,6 Nonparenteral (oral) 13 56,5
Dari dua macam bentuk sediaan obat alergi yang digunakan pada pasien
RS Bethesda Yogyakarta periode Agustus – September 2008 tersebut, persentase
penggunaan obat dalam bentuk sediaan parenteral (injeksi) lebih banyak
dibanding nonparenteral (oral).
Setelah diketahui persentase antara penggunaan parenteral dan
nonparenteral, kemudian dikelompokkan berdasarkan bentuk sediaan dan jenis
obat alergi yang digunakan pada pasien RS Bethesda Yogyakarta periode Agustus
– September 2008.
Tabel XIII. Penggolongan Obat Alergi di RS Bethesda Periode Agustus – September 2008 Berdasarkan Bentuk Sediaan dan Jenis Obat
Jenis Jumlah kasus (n=23) Persentase (%)
Parenteral (injeksi)
methylprednisolone 16 69,6 dexamethasone 3 13,0
Nonparenteral (oral)
methylprednisolone 9 39,1 terfenadine 3 13,0 loratadine 2 8,7 cetirizine diHCl 4 17,4 fexofenadine HCl 1 4,3
Berdasarkan tabel XIII didapatkan bahwa bentuk sediaan dan jenis obat
alergi yang digunakan pada pasien RS Bethesda Yogyakarta periode Agustus –
32
September 2008 yang paling banyak digunakan adalah bentuk sediaan parenteral
dengan jenis obat methylprednisolone yaitu sebanyak 69,6%.
Tabel XIV. Penggolongan Obat Alergi di RS Bethesda Periode Agustus – September 2008 Berdasarkan Jenis, Kekuatan, Frekuensi dan Durasi Obat
Jenis obat Dosis Frekuensi Durasi (hari)
Jumlah kasus (n=23)
Persentase (%)
1x1 4 1 2,3 2x1 1 1 2,3 2x1 2 1 2,3 2x1 3 1 2,3 2x1 6 1 2,3
4 mg
2-0-1 4 1 2,3 2x2 8 1 2,3 8 mg 3x1 4 1 2,3 2x1 1 1 2,3 16 mg
1-0-0 5 1 2,3 --- 2x1 1 1 2,3
25 mg 1x1 3 1 2,3 1x125 mg 1 1 2,3 1x125 mg 2 1 2,3 1x125 mg 4 1 2,3 1x125 mg 5 1 2,3 2x125 mg 1 1 2,3 2x125 mg 2 3 6,8 2x125 mg 3 1 2,3 2x125 mg 7 2 4,5 2x125 mg 12 1 2,3
2x ½ fl 3 1 2,3 2x1 5 1 2,3
3x125 mg 4 1 2,3
125 mg
4x125 mg 2 1 2,3 1x250 mg 1 1 2,3 250 mg 2x250 mg 1 1 2,3
methylprednisolone
500 mg 1x500 mg 1 1 2,3 2x1 3 1 2,3
3x2 cc 3 1 2,3 dexamethasone 4 mg/ml
3x2 cc 2 1 2,3 2x1 6 1 2,3 3x1 4 1 2,3
terfenadine 40 mg
3x1 8 1 2,3 1x1 4 1 2,3 loratadine 10 mg 1x1 5 1 2,3 1x1 1 1 2,3 1x1 2 1 2,3 1x1 3 1 2,3
cetirizine diHCl 10 mg
1x1 5 1 2,3 fexofenadine HCl 120 mg 1x1 5 1 2,3
33
4. Berdasarkan Aturan Pakai Obat
Profil terapi pasien berdasarkan aturan pakai obat digolongkan
berdasarkan kekuatan obat, frekuensi pemakaian obat, dan durasi pemakaian obat.
Profil terapi pasien di RS Bethesda Yogyakarta periode Agustus – September
2008 berdasarkan aturan pakai obat digambarkan dalam pada tabel XIV.
Berdasarkan tabel XIV didapatkan bahwa jenis obat, kekuatan obat atau
dosis obat, frekuensi obat, dan durasi obat alergi yang paling banyak digunakan
pada pasien RS Bethesda Yogyakarta periode Agustus – September 2008 adalah
jenis obat methylprednisolone dengan kekuatan obat 125 mg, frekuensi pemakaian
2x125 mg, dan durasi pemakaian 2 hari, dengan jumlah kasus yaitu sebanyak tiga
kasus atau sebesar 6,8%.
C. Kejadian ME Fase Administrasi dan DTP
1. Evaluasi Medication Errors Fase Administrasi
Proses evaluasi kerasionalan terapi penggunaan obat alergi pada pasien
RS Bethesda Yogyakarta periode Agustus – September 2008 salah satunya
dilakukan dengan mengidentifikasi medication errors fase administrasi yang
terjadi berdasarkan pengamatan prospektif. Pada penelitian ini dilakukan
pengkajian ME fase administrasi yang terjadi pada kasus yang menggunakan obat
alergi. ME fase administrasi yang ditemukan merupakan ME fase administrasi
yang terjadi selama periode Agustus – September 2008, baik pada saat
pengamatan pasien di bangsal (rawat inap) maupun saat dilakukan home visit
(rawat jalan).
34
Tabel XV. Persentase Kejadian ME Fase Administrasi pada Pasien di RS Bethesda yang Menerima Obat Alergi Periode Agustus – September 2008
Pengelompokan Jumlah kasus (n=23) Persentase (%)
mengalami ME 19 82,6 tidak mengalami ME 4 17,4
Dari data didapatkan 23 (dua puluh tiga) pasien yang menggunakan obat
alergi di RS Bethesda Yogyakarta periode Agustus – September 2008. Hasil
penelitian menunjukkan adanya ME fase administrasi pada 19 (sembilan belas)
pasien atau sebanyak 82,6%.
Kejadian ME fase administrasi yang riil teramati pada pasien RS
Bethesda Yogyakarta periode Agustus – September 2008 yang menggunakan obat
alergi ada sebanyak lima macam yaitu gagal mencek instruksi sebesar 13,0%,
dosis keliru sebesar 60,9%, pemberian obat di luar instruksi sebesar 8,7%,
instruksi dijalankan keliru sebesar 8,7%, dan kontraindikasi sebesar 26,1%. Dari
beberapa macam kejadian ME fase administrasi tersebut, angka kejadian ME yang
paling banyak terjadi adalah dosis keliru yaitu sebesar 60,9%.
Tabel XVI. Jenis Kejadian ME Fase Administrasi yang Riil Teramati pada Pasien di RS Bethesda yang Menerima Obat Alergi
Periode Agustus – September 2008
Kejadian ME Jumlah kasus (n=23) Persentase (%)
Gagal mencek instruksi 3 13,0Dosis keliru 14 60,9Pemberian obat di luar instruksi 2 8,7Instruksi dijalankan keliru 2 8,7Kontraindikasi 6 26,1
35
Tabel XVII. Bentuk ME Fase Administrasi (Kontraindikasi) pada Pasien di RS Bethesda yang Menerima Obat Alergi Periode Agustus – September 2008
Pasien Keterangan
5 Pemberian Rifampisin dan methylprednisolone (Somerol®) secara hampir bersamaan (pagi hari) yang berpotensi terhadap terjadinya interaksi obat dengan signifikansi 1, severitas mayor. Rifampisin akan meningkatkan metabolismo kortikosteroid melalui hati.
15 Pemberian terfenadine (Rhinofed®) kontraindikasi dengan kondisi pasien yaitu hipertensi.
17 Pemberian methylprednisolone (Hexilon®) bersamaan dengan asetosal (Ascardia®) berpotensi terhadap terjadinya interaksi obat.
21 Penggunaan methylprednisolone (Somerol®) + Meloxicam (saat rawat inap) dan methylprednisolone + Meloxicam (saat rawat jalan) berpotensi terhadap terjadinya interaksi obat.
22 Penggunaan methylprednisolone dan Medixon® bersamaan dengan furosemide berpotensi terjadinya interaksi obat.
23 Penggunaan methylprednisolone bersamaan dengan metformin (obat antidiabetes oral) berpotensi terjadinya interaksi obat.
Tabel XVIII. Bentuk ME Fase Administrasi (Gagal Mencek Instruksi) pada
Pasien di RS Bethesda yang Menerima Obat Alergi Periode Agustus – September 2008
Pasien Keterangan
1 Dokter menginstruksikan peningkatan pemberian methylprednisolone (Somerol®) tanggal 9 Agustus 2008, Namur tidak dilakukan.
2 Pemberian injeksi methylprednisolone (Somerol®) tidak sesuai instruksi dokter.
8 Tanggal 14 Agustus 2008 dokter menginstruksikan pemberian loratadine (Claritin®), tetapi tidak dilakukan.
Tabel XIX. Bentuk ME Fase Administrasi (Dosis Keliru) pada Pasien di RS Bethesda yang Menerima Obat Alergi Periode Agustus – September 2008
Pasien Keterangan
1, 2, 3, 5, 6. 8, 9, 10, 11, 16, 18, 19, 22, 23
Dosis methylprednisolone (Somerol®) berlebih. Menurut literatur seharusnya dosis awal 10-40 mg dalam beberapa menit pemberian dan dilakukan pengulangan setiap 4-6 jam. Kemudian diulang tergantung pada respon klinis pasien.
36
Tabel XX. Bentuk ME Fase Administrasi (Instruksi Dijalankan Keliru) pada Pasien di RS Bethesda yang Menerima Obat Alergi
Periode Agustus – September 2008
Pasien Keterangan 10 Tanggal 8 Agustus 2008 dokter menginstruksikan pemberian
methylprednisolone (Somerol®) diturunkan 1 kali tetapi pelaksanaannya tetap 2 kali.
13 Tanggal 11 Agustus 2008 dokter menginstruksikan pemberian injeksi methylprednisolone (Somerol®) 1x125 mg tetapi dalam daftar pemberian obat yang diberikan adalah methylprednisolone (Somerol®) 500 mg.
Tabel XXI. Bentuk ME Fase Administrasi (Pemberian Obat di Luar Instruksi) pada Pasien di RS Bethesda yang Menerima Obat Alergi
Periode Agustus – September 2008
Pasien Keterangan 3 Tidak ada instruksi pemberian injeksi methylprednisolone (Somerol®)
sejak awal catatan instruksi dokter tetapi diberikan injeksi methylprednisolone (Somerol®).
16 Dokter tidak menginstruksikan pemberian injeksi methylprednisolone (Somerol®) tetapi dilakukan pemberian injeksi methylprednisolone (Somerol®).
2. Evaluasi Drug Therapy Problems
Selain menggunakan identifikasi kejadian medication errors fase
administrasi, proses evalusi kerasionalan terapi penggunaan obat alergi pada
pasien di RS Bethesda Yogyakarta periode Agustus – Spetember 2008 juga
dilakukan dengan mengidentifikasi drug therapy problems yang terjadi selama
pengamatan pasien secara prospektif.
DTP yang ditemukaan merupakan DTP yang teramati selama periode
Agustus – Septmber 2008, baik pada saat pengamatan pasien di bangsal (pada
waktu rawat inap) maupun pada saat home visit (ketika pasien menjalani
pengobatan secara rawat jalan).
37
Tabel XXII. Persentase DTP yang Riil Terjadi pada Pasien di RS Bethesda yang Menerima Obat Alergi Periode Agustus – September 2008
Pengelompokan Jumlah kasus (n=23) Presentase (%)
mengalami DTP 17 73,9 tidak mengalami DTP 6 26,1
Dari data didapatkan 23 kasus yang menggunakan obat alergi. Dari 23
(dua puluh tiga) kasus yang menggunakan obat alergi di RS Bethesda Yogyakarta
periode Agustus – September 2008, didapatkan kejadian DTP yang riil terjadi
sebanyak 73,9%.
Tabel XXIII. Pengelompokan Kejadian DTP pada Pasien di RS Bethesda yang Menerima Obat Alergi Periode Agustus – September 2008
Jenis DTP Jumlah kasus (n=23) Presentase (%)
Dosis terlalu tinggi 15 65,2 Interaksi obat 6 26,1 Noncompliance 1 4,3
Berdasarkan tabel XXIII didapatkan kejadian DTP yang riil teramati
pada pasien RS Bethesda Yogyakarta yang menerima obat alergi periode Agustus
– September 2008 sebanyak 3 (tiga) macam yaitu dosis terlalu tinggi sebanyak
65,2%, interaksi obat 26,1% dan noncompliance sebanyak 4,3%.
a) Kejadian DTP Dosis Terlalu TInggi
Profil kejadian DTP dosis terlalu tinggi penggunaan obat alergi pada
pasien RS Bethesda Yogyakarta periode Agustus – September 2008 digambarkan
pada tabel XXIV. Berdasarkan analisis data didapatkan bahwa kejadian DTP
dengan kasus dosis terlalu tinggi terjadi pada 15 (lima belas) pasien yang
menggunakan obat golongan kortikosteroid jenis methylprednisolone.
38
b) Kejadian DTP Interaksi Obat
Profil DTP interaksi obat penggunaan obat alergi pada pasien RS
Bethesda Yogyakarta periode Agustus – September 2008 digambarkan pada tabel
XXVI. Berdasarkan analisis data didapatkan bahwa kejadian DTP dengan kasus
interaksi obat terjadi pada 6 (enam) pasien yang menggunakan obat golongan
kortikosteroid jenis methylprednisolone.
c) Kejadian DTP Noncompliance
Profil DTP noncompliance penggunaan obat alergi pada pasien RS
Bethesda Yogyakarta periode Agustus – September 2008 digambarkan pada tabel
XXVII. Berdasarkan analisis data didapatkan bahwa kejadian DTP dengan kasus
noncompliance terjadi pada pasien yang menggunakan obat golongan antihistamin
jenis loratadine.
Tabel XXIV. Kejadian DTP Dosis Terlalu Tinggi pada Pasien di RS Bethesda yang Menerima Obat Alergi Periode Agustus – September 2008
Pasien Jenis obat Penilaian Rekomendasi 1, 2, 3, 5, 10, 16
methylprednisolone (Somerol®)
Penggunaan Somerol® melebihi dosis lazim. Menurut literatur dosis awal 10-40 mg dalam beberapa menit, diulang tergantung respon klinis.
Injeksi methylprednisolone (Somerol®) perlu diturunkan menjadi 10-40 mg (pemberian beberapa menit), meningkatkan frekuensi setiap 4-6 jam selama 48 jam.
6, 8, 9, 11, 13, 19
methylprednisolone (Somerol®)
Penggunaan methylprednisolone (Somerol®), melebihi dosis lazim.
Injeksi Somerol® perlu diturunkan menjadi 10-40 mg (pemberian beberapa menit), meningkatkan frekuensi setiap 4-6 jam selama 48 jam.
22, 23 methylprednisolone Penggunaan methylprednisolone, melebihi dosis lazim.
Injeksi methylprednisolone perlu diturunkan menjadi 10-40 mg (pemberian beberapa menit), meningkatkan frekuensi setiap 4-6 jam selama 48 jam.
18 methylprednisolone, Medixon®
Dosis dan durasi Medixon® berlebih. Durasi methylprednisolone sudah sesuai tetapi dosis berlebih
Perlu penurunan dosis methylprednisolone (Medixon®) dan frekuensi dinaikkan setiap 4-6 jam selama 48 jam.
39
Tabel XXV. Kejadian DTP Interaksi Obat pada Pasien di RS Bethesda yang Menerima Obat Alergi Periode Agustus – September 2008
Pasien Jenis obat Penilaian Rekomendasi 5 methylprednisolone
(Somerol®) dan Rifampisin
Jenis interaksi farmakokinetik. Mempercepat metabolisme kortikosteroid (mengurangi efek kortikosteroid). Interaksi dengan signifikansi 1 dan severitas mayor.
Penggunaan methylprednisolone (Somerol®) tidak pada pagi hari supaya tidak bersamaan dengan Rifampisin.
10 methylprednisolone (Somerol®) dan Yekalgin®
Jenis interaksi farmakodinamik. Meningkatkan risiko perdarahan dan ulserasi saluran cerna.
Penggunaan methylprednisolone (Somerol®) dan Yekalgin® tidak bersamaan.
17 methylprednisolone (Hexilon®) dan asetosal (Ascardia®)
Jenis interaksi farmakodinamik. Meningkatkan risiko perdarahan dan ulserasi saluran cerna.
Pemberian asetosal (Ascardia®) pada malam hari saja supaya tidak bersamaan.
21 methylprednisolone (Somerol®) dan Meloxicam
Jenis interaksi farmakodinamik. Meningkatkan risiko perdarahan dan ulserasi saluran cerna.
Penggunaan Meloxicam hendaknya pada malam hari supaya tidak bersamaan dengan methylprednisolone (Somerol®)
22 methylprednisolone (Medixon®) dan furosemide
Jenis interaksi farmakodinamik. Meningkatkan risiko hipokalemia, antagonisme efek diuretik.
Penggunaan methylprednisolone (Medixon®) dan furosemide tidak bersamaan.
23 methylprednisolone dan metformin
Jenis interaksi farmakodinamik. Mengakibatkan antagonisme efek hipoglikemia.
Penggunaan metformin dan methylprednisolone tidak bersamaan.
Tabel XXVI. Kejadian DTP Noncompliance pada Pasien di RS Bethesda
yang Menerima Obat Alergi Periode Agustus – September 2008
Pasien Jenis obat Penilaian Rekomendasi 8
loratadine (Claritin®)
Penggunaan loratadine (Claritin®) saat home visit tidak sesuai aturan. Seharusnya pada tanggal 17 Agustus 2008 tersisa 2 tetapi masih tersisa 5.
Perlu penjelasan mengenai penggunaan loratadine (Claritin®).
40
Tabel XXVII. Contoh kasus DTP pada Pasien di Bangsal Rawat Inap Kelas III RS Bethesda yang Menerima Obat Alergi
Periode Agustus – September 2008
Kasus 1
Subyektif Bapak B, nomor RM 00-63-84-46, usia 57 tahun, dirawat di RS selama 10 hari karena keluhan 1 bulan sesak nafas (sakit untuk bernafas). Diagnosa sementara : obstruksi dyspnea → kanker paru. Diagnosa utama : tumor paru kanan.
Obyektif Pemeriksaan tanggal 7/8
Pengukuran Hasil Keterangan Nilai normal Lekosit (ribu/mmk) 10,42 4.10 - 10.90 Eosinofil (%) 1,1 0 - 5.0 Basofil (%) 0,4 0 - 2.0 Segmen (%) 80,0 47.0 - 80.0 Limfosit (%) 11,2 Rendah 13.0 – 40.0 Monosit (%) 7,3 2.0 – 11.0 SGOT (u/l) 26 0 – 37.0 SGPT (u/l) 17 0 – 41.0 Suhu (0C) Sekitar 36,5 Tekanan darah (mm Hg) Sekitar 130/80 Nadi (kali/menit) Sekitar 100 Respirasi (kali/menit) Sekitar 24
Penatalaksanaan Terapi nonparenteral : AP caps (3x1), DMP (3x1), Lasix (1x1), Aspar K (2x1), Adona F (3x1), Ofloxacin 400 mg (2x1). Terapi parenteral : Somerol 125 mg (2x125 mg) selama 12 hari.
Penilaian Penggunaan methylprednisolone untuk kasus sesak nafas (inflamasi) menurut literatur adalah 10 – 40 mg dalam beberapa menit dan diulang pada interval tertentu tergantung pada respon. Pada kasus ini, penggunaan methylprednisolone (Somerol®) sekali injeksi adalah 125 mg. hal ini menyebabkan dosis yang terlalu tinggi. Pemberian selama 12 hari untuk kasus sesak nafas akan menimbulkan akumulasi obat karena terapi jangka panjang. DTP yang riil terjadi : dosis terlalu tinggi.
Rekomendasi Penggunaan methylprednisolone (Somerol®) secara parenteral untuk kasus sesak nafas (inflamasi) perlu diturunkan dalam range 10 – 40 mg dan frekuensinya ditingkatkan. Durasi terapi dengan methylprednisolone perlu dibatasi.
*) DTP yang sama terjadi pada kasus 2, 3, 5, 10, 16
41
Tabel XXVIII. Contoh kasus DTP pada Pasien di Bangsal Rawat Inap Kelas III RS Bethesda yang Menerima Obat Alergi
Periode Agustus – September 2008
Kasus 6
Subyektif Saudari K, nomor RM 01-92-09-51, usia 18 tahun, dirawat di RS selama 4 hari karena keluhan batuk dan sesak nafas + 1 minggu. Penyakit keluarga : bronkolitis. Alergi telur, reaksi gatal-gatal. Diagnosa sementara : Asma brokhiale post sinkope. Diagnosa utama : Asma.
Obyektif Pemeriksaan tanggal 3 Agustus 2008
Pengukuran Hasil Nilai normal Lekosit (ribu/mmk) 9,52 4.10 – 13.00 Eosinofil (%) 2,6 0 – 5.0 Basofil (%) 0,3 0 – 2.0 Segmen (%) 66,9 47.0 – 80.0 Limfosit (%) 26,4 13.0 – 40.0 Monosit (%) 3,8 2.0 – 11.0 SGOT (u/l) 20,3 14 – 56.0 SGPT (u/l) 12,3 9 – 52.0 Suhu (0C) Sekitar 37 Tekanan darah (mm Hg) Sekitar 120/80 Nadi (kali/menit) Sekitar 88 Respirasi (kali/menit) Sekitar 22
Penatalaksanaan Terapi nonparenteral : Mucopect (3x2 cth), Zithromax (1x1), Rantin (2x1), Somerol 4 mg (1x1) selama 4 hari. Terapi parenteral : Somerol 125 mg (2x125 mg) selama 2 hari. Terapi inhalasi : Combivent dan Flixotide (2x1).
Penilaian Penggunaan methylprednisolone untuk kasus sesak nafas (inflamasi) menurut literatur adalah 10 – 40 mg dalam beberapa menit dan diulang pada interval tertentu tergantung pada respon. Pada kasus ini, penggunaan methylprednisolone (Somerol®) sekali injeksi adalah 125 mg. Hal ini menyebabkan dosis yang terlalu tinggi. DTP yang riil terjadi : Dosis terlalu tinggi.
Rekomendasi Penggunaan methylprednisolone (Somerol®) secara parenteral untuk kasus sesak nafas (inflamasi) perlu diturunkan dalam range 10 – 40 mg dan frekuensinya ditingkatkan.
*) DTP yang sama terjadi pada kasus 8, 9, 11, 19
42
Tabel XXIX. Contoh kasus DTP pada Pasien di Bangsal Rawat Inap Kelas III RS Bethesda yang Menerima Obat Alergi
Periode Agustus – September 2008
Kasus 18
Subyektif Bapak S, nomor RM 00-96-40-50, usia 43 tahun, dirawat di RS selama 12 hari karena keluhan ± 1 tahun kaki kiri lemas, tangan kanan dan kiri juga lemas. Riwayat terapi 2005 operasi laminektomi O/K tumor ekstradiral CII. Diagnosa sementara : Obs. Hemiparese S, suspect CVA onset 1 tahun. Diagnosa utama : Cervical mass (Schwaona/Neurinona).
Obyektif
Pengukuran Hasil Ket Nilai normal Lekosit (ribu/mmk) 11,66 Tinggi 4.10 - 10.90 Eosinofil (%) 2,8 0 - 5.0 Basofil (%) 0,3 0 - 2.0 Segmen (%) 71,2 47.0 - 80.0 Limfosit (%) 22,0 13.0 – 40.0 Monosit (%) 3,7 2.0 – 11.0 SGOT (u/l) 27,9 0 – 37.0 SGPT (u/l) 30,9 0 – 41.0 Suhu (0C) Sekitar 36 – 38,5 Tekanan darah (mm Hg) Sekitar 120/80 Nadi (kali/menit) Sekitar 80 – 88 Respirasi (kali/menit) Sekitar 18 - 20
Penatalaksanaan Terapi nonparenteral : Farmasal 100 mg (2x1), Methycobal 250 mg (3x1), Vitamin B1 (3x1), Ciprofloxacin 500 mg (2x1). Terapi parenteral : Ceftriaxone 1 gram (2x1 gram), Vitamin C 200 mg (1x400 mg), Ranitidin 50 mg/2 ml (2x1), Ketorolac 3% (2x1), Ondansetron 8 gram (2x1), Tarontal 100 mg/5 ml (2 ampul/infus), Medixon 125 mg (2x1) selama 5 hari, Methylprednisolone 125 mg (1x125 mg) selama 2 hari.
Penilaian Penggunaan methylprednisolone sebagai imunosupresif menurut literatur adalah 10 – 40 mg dalam beberapa menit dan diulang pada interval tertentu tergantung pada respon. Pada kasus ini, penggunaan methylprednisolone (Medixon®) sekali injeksi adalah 125 mg dan penggunaan lebih dari 48 jam. Hal ini menyebabkan dosis yang terlalu tinggi. DTP yang riil terjadi : Dosis terlalu tinggi.
Rekomendasi Penggunaan methylprednisolone (Somerol®) secara parenteral untuk imonusupresif perlu diturunkan dalam range 10 – 40 mg dan frekuensinya ditingkatkan.
43
Table XXX. Contoh kasus DTP pada Pasien di Bangsal Rawat Inap Kelas III RS Bethesda yang Menerima Obat Alergi
Periode Agustus – September 2008 Kasus 22
Subyektif Ibu I, nomor RM -98-12-94, usia 77 tahun, dirawat di RS selama 4 hari karena keluhan ± 3 hari sesak nafas. Diagnosa sementara : Obs dyspnea cc COPD. Diagnosa utama : -
Obyektif
Pengukuran Hasil Nilai normal Lekosit (ribu/mmk) 8,94 4.10 – 13.00 Eosinofil (%) 0,4 0 – 5.0 Basofil (%) 0,6 0 – 2.0 Segmen (%) 69,8 47.0 – 80.0 Limfosit (%) 23,3 13.0 – 40.0 Monosit (%) 5,9 2.0 – 11.0 SGOT (u/l) 29,1 14 – 56.0 SGPT (u/l) 10,0 9 – 52.0 Suhu (0C) Sekitar 36 – 37 Tekanan darah (mm Hg) Sekitar 140/90 Nadi (kali/menit) Sekitar 88 Respirasi (kali/menit) Sekitar 18 – 22
Penatalaksanaan Terapi nonparenteral : AP caps (3x1), Becombion F (1x1), Meptin (3x ¼), Fluimucil (2x1), Furosemid (1/2-0-0), Medixon 4 mg (2x1) selama 3 hari. Terapi parenteral : AP injeksi (1x), Ceftriaxone (1x1), Methylprednisolone 125 mg (2x ½ flakon) selama 3 hari. Terapi inhalasi : Combivent + Flixotide (3x1)
Penilaian • Penggunaan methylprednisolone (Medixon®) 4 mg (2x1) secara nonparenteral (oral)
selama 3 hari sudah sesuai aturan pemakaian yang lazim untu kasus sesak nafas yaitu 4 – 48 mg per hari.
• Penggunaan methylprednisolone untuk kasus sesak nafas (inflamasi) menurut literature adalah 10 – 40 mg dalam beberapa menit dan diulang pada interval tertentu tergantung pada respon. Pada kasus ini, penggunaan methylprednisolone sekali injeksi adalah 62,5 mg. Selain itu juga mendapatkan Medixon® secara oral. Hal ini menyebabkan dosis yang terlalu tinggi.
• Penggunaan methylprednisolone dan Medixon® bersamaan dengan Furosemid akan menimbulkan interaksi obat.
DTP yang riil terjadi : dosis terlalu tinggi dan interaksi obat.
Rekomendasi Penggunaan methylprednisolone perlu diturunkan dosisnya menjadi 10 – 40 mg dalam sekali pemberian. Hindari pemberian methylprednisolone dan Medixon® secara bersamaan dengan Furosemid. Dan perlu selalu dilakukan monitoring tekanan darah.
*) DTP yang sama terjadi pada kasus 23
44
D. Evaluasi Masalah Utama ME Fase Administrasi dan DTP
Berdasarkan uraian pembahasan mengenai kejadian medication errors
(ME) fase administrasi dan drug therapy problems (DTP) pada penggunaan obat
alergi oleh pasien RS Bethesda Yogyakarta periode Agustus – September 2008
tersebut, dapat dievaluasi mengenai masalah utama yang berpotensi menyebabkan
ME fase administrasi dan DTP pada penggunaan obat alergi pada pasien RS
Bethesda Yogyakarta periode Agustus – September 2008.
Berdasarkan analisis data, kejadian ME fase administrasi yang paling
besar terjadi pada pasien RS Bethesda Yogyakarta yang menerima obat alergi
periode Agustus – September 2008 adalah dosis keliru. Sedangkan kejadian DTP
yang paling besar terjadi pada pasien RS Bethesda Yogyakarta yang menerima
obat alergi periode Agustus – September 2008 adalah dosis terlalu tinggi.
Kejadian DTP dosis terlalu tinggi dan ME dosis keliru sangat erat
hubungannya satu sama lain. Kaitan kedua kejadian tersebut adalah kejadian ME
fase administrasi dosis keliru berupa DTP dosis terlalu tinggi. Dari hubungan
antara ME dan DTP yang terjadi tersebut, dapat ditentukan masalah utama
kejadian ME fase administrasi dan DTP pada penggunaan obat alergi pada pasien
RS Bethesda Yogyakarta periode Agustus – September 2008.
Penggunaan obat alergi pada pasien bangsal rawat inap Kelas III RS
Bethesda Yogykarta periode Agustus – September 2008 dengan dosis terlalu
tinggi disebabkan oleh terbatasnya monitoring peresepan dan penggunaan obat
oleh apoteker di bangsal rawat inap kelas III RS Bethesda Yogyakarta sebelum
obat diberikan kepada pasien dan digunakan untuk terapi.
45
E. Rangkuman Pembahasan
Penelitian ini mengevaluasi masalah utama kejadian medication errors
(ME) fase administrasi dan drug therapy problems (DTP) pada pasien RS
Bethesda Yogyakarta periode Agustus – September 2008 yang menggunakan obat
alergi.
Profil kasus di Bangsal Rawat Inap Kelas III RS Bethesda Yogyakarta
yang menerima obat alergi pada periode Agustus – September 2008 terdapat 23
(dua puluh tiga) kasus. Berdasarkan pengelompokan umur kasus, paling banyak
adalah kelompok dewasa (umur 17 sampai ≤ 65 tahun) sebesar 52,2%.
Berdasarkan pengelompokan jenis kelamin kasus, paling banyak adalah kelompok
jenis kelamin laki-laki sebesar 60,9%. Berdasarkan pengelompokan tingkat
pendidikan kasus, paling banyak adalah kelompok SLTA sebesar 47,8%.
Berdasarkan pengelompokan pekerjaan kasus, paling banyak adalah kelompok
tanpa keterangan pekerjaan sebesar 39,1%. Berdasarkan pengelompokan
diagnosis kasus, paling banyak adalah kelompok dengan satu macam diagnosis
yaitu sebesar 56,5% (spesifikasi asma paling banyak yaitu sebanyak 2 kasus atau
sebesar 8,7%).
Berdasarkan pengelompokan jumlah obat, paling banyak adalah jumlah
obat 9 (sembilan) dan 11 (sebelas) macam yaitu masing-masing sebesar 17,4%.
Berdasarkan pengelompokan golongan dan jenis obat, paling banyak adalah
golongan kortikosteroid dengan jenis obat methylprednisolone yaitu sebesar
82,6%. Berdasarkan pengelompokan bentuk sediaan obat, paling banyak adalah
bentuk sediaan obat parenteral yaitu sebesar 82,6%. Berdasarkan pengelompokan
46
aturan pakai obat, paling banyak adalah methylprednisolone dengan kekuatan 125
mg, frekuensi pemberian 2x125 mg dan durasi pemakaian 2 (dua) hari yaitu
sebesar 6,8%.
Kejadian ME terjadi pada 19 (sembilan belas) pasien atau sebesar
82,6%. Macam-macam ME yang terjadi antara lain gagal mencek instruksi
sebesar 13,0% atau sebanyak 3 (tiga) pasien, dosis keliru sebesar 60,9% atau
sebanyak 14 (empat belas) pasien, instruksi dijalankan keliru sebesar 8,7% atau
sebanyak 3 (tiga) pasien, pemberian obat di luar instruksi sebesar 8,7% atau
sebanyak 6 (enam) pasien.
Kejadian DTP terjadi pada 17 (tujuh belas) pasien atau sebesar 73,9%.
Macam-macam DTP yang terjadi antara lain dosis terlalu tinggi sebesar 65,2%
atau sebanyak 15 (lima belas) pasien, interaksi obat sebesar 26,1% atau sebanyak
6 (enam) pasien, dan noncompliance sebesar 4,3% atau sebanyak 1 (satu) pasien.
Kejadian ME fase administrasi paling besar adalah dosis keliru dan
kejadian DTP paling besar adalah dosis telalu tinggi. Dari kedua kejadian tersebut
dapat ditarik suatu masalah utama terjadinya ME fase administrasi dan DTP pada
pasien RS Bethesda Yogyakarta periode Agustus – September 2008 yaitu karena
keterbatasan tenaga dan waktu untuk monitoring peresepan dan penggunaan obat
alergi di Bangsal Rawat Inap Kelas III RS Bethesda Yogyakarta.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian “Evaluasi Masalah Utama Kejadian
Medication Errors Fase Administrasi dan Drug Therapy Problems pada Pasien
Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Periode Agustus – September 2008 (Kajian
Obat Alergi)”, maka dapat diambil beberapa kesimpulan :
1. kategori umur kasus terbanyak yaitu kategori dewasa sebesar 52,2%; jumlah
kasus terbanyak dengan jenis kelamin laki-laki sebesar 60,9%; jumlah kasus
terbanyak dengan tingkat pendidikan SLTA sebesar 47,8%; jumlah kasus
terbanyak dengan pekerjaan yang tidak diketahui (tanpa keterangan) sebesar
39,1%; jumlah kasus terbanyak dengan satu macam diagnosis sebesar 56,5%
dengan spesifikasi diagnosis asma sebesar 8,7%.
2. kasus paling banyak menerima 9 (sembilan) dan 11 (sebelas) macam obat
masing-masing sebesar 17,4%; kasus terbanyak menerima obat golongan
kortikosteroid jenis methylprednisolone sebesar 82,6%; kasus terbanyak
menggunakan obat dalam bentuk sediaan parenteral sebesar 82,6%; kasus
terbanyak menggunakan obat alergi jenis methylprednisolone dosis 125 mg
dengan frekuensi pemakaian 2x125 mg, dan durasi dua hari sebesar 6,8%.
3. kejadian medication errors fase administrasi yang paling banyak terjadi adalah
dosis keliru sebesar 60,9% dan drug therapy problems yang paling terjadi
adalah dosis terlalu tinggi sebesar 65,2%.
47
48
4. masalah utama kejadian medication errors fase administrasi dan drug therapy
problems pada pasien RS Bethesda Yogyakarta yang menggunakan obat alergi
periode Agustus – September 2008 adalah kurangnya alokasi tenaga dan
waktu untuk melakukan monitoring peresepan dan penggunaan obat alergi
sehingga terjadi penggunaan obat dengan dosis keliru dan dosis terlalu tinggi.
B. Saran
Saran yang dapat disampaikan dari penelitian ini :
1. bagi pihak Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta, perlu dilakukan penambahan
waktu monitoring peresepan dan penggunaan obat alergi oleh apoteker di
Bangsal Rawat Inap Kelas III Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta supaya
program Pharmaceutical Care dan Patient Safety dapat terwujud.
2. bagi pihak Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta, perlu kerjasama yang baik
antara dokter, apoteker, dan perawat dalam merencanakan dan melaksanakan
program terapi pasien.
3. bagi peneliti selanjutnya, perlu komunikasi yang baik antara peneliti dengan
dokter, apoteker, perawat, dan pasien selama melakukan penelitian secara
prospektif untuk menggali informasi yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia, 107-108, 111-114, 119, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta
Anonim, 2007, MIMS Petunjuk Konsultasi, Edisi VII, 93, 161-168, 364-372, PT
Info Master, Jakarta Selatan, Indonesia Cohen, M.R., 1999, Causes of Medication Error, in Cohen, M.R., (Ed.),
Medication Error, Part 1, 1.1, American Pharmaceutical Association, Washington, D.C
Davies, R., 2003, Seri Kesehatan Bimbingan Dokter pada ALERGI, 7-21, Dian
Rakyat, Jakarta Dwiprahasto, Kristin, 2008, Bagian Farmakologi dan Toksikologi/Clinical
Epidemiology & Biostatistics Unit, Fak. Kedokteran UGM/RS. Dr. Sardjito Yogyakarta, Masalah dan Pencegahan Medication Error, http://www.dkkbpp.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=132, diakses tanggal 15 Mei 2008.
KepMenKes Nomor 1207/MENKES/SK/IX/2004, Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta
Lacy, C.F., Armstrong, L.L., Goldman, M.P., Lance, L.L., 2006, Drug
Information Handbook, 14th ed., 442-444, 650, 1039-1040, 1347-1348, Lexi-comp, Ohio.McGraw-Hill Co., New York
Mansjoer, S., 2003, Mekanisme Kerja Obat Antiradang, Fakultas Kedokteran
Bagian Farmasi Universitas Sumatera Utara, http://library.usu.ac.id/download/fk/farmasi-soewarni.pdf, diakses pada tanggal 9 Januari 2009
NCCMERP, 1998, Taxonomy of Medication Errors,
http://www.NCCMERP/pdf/taxo2001-07-31, diakses tanggal 15 Mei 2008.
Pratiknya, A.W., 1986, Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan
Kesehatan, CV Rajawali, Jakarta Rovers, J.P., Currie, J.D., Hagel, H.P., McDonough, R.P., and Sobotka, J.L., 2003,
A Practical Guide to Pharmaceutical Care, 2nd ed., American Pharmaceutical Association, Washington
49
50
Strand, L.M., Morley, P.C., and Cipolle, R.J., 1998, Pharmaceutical Care Practice, 82-83, McGraw-Hill Co., New York
Strand, L.M., Morley, P.C., and Cipolle, R.J., 2004, Pharmaceutical Care
Practice : The Clinican’s Guidep, 2nd ed., 173-178, Mc Graw Hill, Inc., London
Suhadi R., Patramurti C., Widayati A., Linawati Y., 2007, Evaluasi Patient Safety
Terapi dengan Sediaan Racikan pada Pasien di Bangsal Anak RS Bethesda Juli-Agustus 2007 (Kajian Farmasetik, Kimia Analitik, Farmasi Klinik), Laporan Penelitian, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Tatro, D.S. (Ed), 2001, Drug Interaction Facts, 376, Facts&Comparison, Wolters
Kluwer, St. Louis. Tietze, K.J., 2004, Clinical Skills for Pharmacists, A Patient-Focused Approach,
2nd ed., Mosby, St. Louis
51
Rangkuman Hasil Wawancara Apoteker Rawat Inap Bangsal Kelas III RS Bethesda Yogyakarta
No. Pertanyaan Jawaban
1
Seberapaa pentingkah issue medication error bagi Anda sebagai apoteker?
Penting, terapi dengan obat memerlukan ketelitian. Issue ME sebagai perhatian yang penting agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada saat terapi
2
Bagaimana pendapat Anda selaku seorang apoteker jika apoteker terlibat dalam memonitor penggunaan obat?
Diperlukan
3
Apakah Anda melakukan monitoring terhadap penggunaan obat pasien? Jika iya, sejauh mana monitoring yang Anda lakukan?
Ya.
4
Apakah Anda memperhatikan adanya : • interaksi obat • dosis (besar, lama dan
frekuensi pemberian, obat harus habis atau tidak habis)
• kontraindikasi • efek samping dari obat yang diresepkan oleh dokter selama obat digunakan oleh pasien (di bangsal)?
Ya.
5
Kepada siapa informasi tentang penggunaan obat untuk pasien yang dirawat di bangsal rawat inap? Apa saja informasi yang diberikan?
Ya, bila memungkinkan kepada pasien dan keluarganya, atau kepada yang menunggu pasien setiap hari di RS. Nama obat dan indikasi, cara pakai/aturan minum, frekuensi, penyimpanan, efek samping yang mungkin timbul atau hal-hal lain yang diperlukan
6 Bagaimana sistem/cara penyaluran obat hingga obat sampai kepada pasien?
Resep diterima farmasi, interpretasi resep, validasi, negosiasi harga/ kemampuan pasien, etiket, koreksi, penyerahan, konseling.
52
Rangkuman Hasil Wawancara Dokter Rawat Inap Bangsal Kelas III RS Bethesda Yogyakarta
Jawaban
No. Pertanyaan Dokter A Dokter B Dokter C
1
Seberapa pentingkah issue medication error bagi Anda sebagai dokter? Berikan alasan anda.
Sangat penting, karena : Banyak terjadi di RS, dan merupakan bagian dari risiko pelayanan dari prescribing hingga dispensing sehingga akan mudah terjadi kesalahan.
Penting sekali. Tugas dari dokter adalah mendiagnosa, yang kemudian terkait dengan terapi. Medication error merupakan bagian dari terapi, dimana terapi berhubungan langsung dengan pasien.
Sangat penting, karena harus 7 tepat ( indikasi, pasien, dosis obat, waspada efek samping, cara, dan harga)
2
Bagaimana pendapat dokter jika apoteker terlibat dalam memonitor penggunaan obat?
Sangat berterimakasih dan setuju. Error terjadi karena tulisan yang tidak jelas dan kurangnya informasi. Bukti farmasi klinis jika ada apoteker maka error akan turun.
Setuju, karena mereka lebih belajar lebih rinci mengenai obat
Harus seperti memonitoring obat (PMO = pengawas minum obat)
3
Apakah Anda memperhatikan adanya interaksi obat, dosis (besar, lama dan frekuensi pemberian, obat harus habis atau tidak habis) dan kontraindikasi selama obat digunakan oleh pasien (di bangsal) pada saat melakukan monitoring terhadap pasien?
Dipertimbangkan, tetapi tidak tahu interaksi obat ( tidak hafal ) hanya tau yang umum-umum saja.
ya Wajib
53
Rangkuman Hasil Wawancara Perawat Rawat Inap Bangsal Kelas III RS Bethesda Yogyakarta
1. Seberapa pentingkah issue medication error bagi Anda sebagai perawat?
Perawat Jawaban
Perawat A Sangat penting, karena berkaitan dengan nyawa pasien. Kalau obat salah, perawat maupun farmsis kena imbasnya. Jika pasien menuntut urusan panjang.
Perawat B Penting sekali. Ada kaitan dengan patient safety, memberikan obat : memberikan racun. Pemberian obat juga harus sesuai dengan prinsip 10 benar.
Perawat C Penting. Karena pengobatan merupakan salah satu faktor penunjang kesembuhan pasien.
Perawat D Penting sekali, karena dampaknya pada pasien sangat besar, efeknya berat.
Perawat E Penting sekali, demi keamanan pasien, karena dapat membahayakan pasien jika keliru.
Perawat F Penting, karena berhubungan kepada pasien, kita harus tahu tujuan dan alasan biar kita tidak salah kepada pasien.
Perawat G Penting. Agar lebih hati-hati dan lebih teliti dalam memberikan obat kepada klien.
Perawat H Sangat penting untuk meningkatkan ketelitian.
Perawat I Sangat penting, karena bila terjadi akan berakibat fatal atau bisa memperlambat kesembuhan pasien sehingga akan memperpanjang waktu rawat inap.
Perawat J Penting, karena issue ME bisa menyebabkan atau merugikan pasien bahkan bisa fatal.
Perawat K Penting karena berpengaruh pada kesehatan pasien.
Perawat L Sangat penting. Menyangkut nyawa pasien, harus mematuhi 5B /6B.
Perawat M Sangat penting. Karena kita bisa tau bahayanya, bisa lebih bertindak hati-hati.
Perawat N Penting sekali. Karena akibatnya fatal kalau ada kesalahan
2. Bagaimana pandangan perawat jika apoteker terlibat dalam memonitor penggunaan obat?
Perawat Jawaban
Perawat A
Bagus, karena dapat mengurangi beban perawat. Untuk obat-obatan apoteker lebih tahu mengenai efek samping obat, waktu penggunaan, jam pemberian, indikasi, interaksi obat, dll.
Perawat B
Sangat setuju.Karena ada fungsi kontrol dalam tindakan keperawatan khususnya pemberian obat, sehingga dapat saling mengingatkan. Dalam prakteknya masih banyak kesalahan dalam pemberian obat oleh perawat sehingga dibutuhkan fungsi kontrol satu-sama lain baik apoteker maupun perawat.
54
Perawat C
Setuju.Hal itu bisa untuk mementau pemberian obat dari dokter kepada pasien, sehingga akan benar-benar tahu obat yang diberikan kepada pasien. Antara dokter dan apoteker ada komunikasi terkait obat yang diberikan.Disamping itu apoteker juga bisa menjadi sarana untuk ngomong masalah pengobatan kepada dokter.
Perawat D
Pekerjaan perawat menjadi lebih ringan karena obat-obatan mudah tercover (meminimalisir kesalahan). Kalau perawat ngurusi obat selain repot juga kurang menguasai (apoteker lebih mengetahui mengenai konraindikasi, interaksi, dll).
Perawat E Bagus lebih bisa mencek obat, asal tahu batasan-batasan pekerjaannya agar tidak mengganggu perawat.
Perawat F Bagus dan sangat mendukung, karena meminimalkan kesalahan-kesalahan dan pemberian obat bias maksimal sesuai dengan kapasitasnya.
Perawat G Setuju. Meringankan aktivitas perawat di ruangan, seperti dalam membagi dan mengecek obat.
Perawat H Sangat bagus
Perawat I
Setuju, dengan adanya keterlibatan apoteker maka penggunaan obat benar-benar termonitoring, di samping itu pekerjaan perawat yang multifungsi jadi bisa terbantu dalam monitoring obat.
Perawat J Setuju Perawat K Sangat setuju
Perawat L Bagus, sangat bagus (kalau dikelas iya). Karena apoteker memang yang tau tentang obat.
Perawat M Lebih senang. Karena apoteker ikut mengawasi dan membantu melihat obat (tidak Cuma melihat FIO saja). Apoteker membagi-bagi obat lebih baik.
Perawat N Lebih baik. Farmasis bisa mengontrol obat-obat, dimana letak kesalahannya, monitor efek samping obat.
3. Informasi apa sajakah yang Anda dapatkan dari apoteker pada saat pengambilan obat?
(pada saat rawat inap)
Perawat Jawaban
Perawat A Kadang-kadang mengenai penyimpanan di kulkas, dietiket sesudah ayau sebelum makan.
Perawat B Hanya klarifikasi jumlah obat, cek nama obat. Perawat C Cara penyimpanan, aturan pakai.
Perawat D Aturan pakai tapi tidak pernh mendetail, karena ada tertulis di kemasa (untuk secara lisan tidak ada).
Perawat E Jarang dijelaskan, karena dianggap sudah tahu (perawat), namun kalau obat-obat tertentu misalnya kemoterapi baru dijelaskan.
Perawat F Cara pemberian, dosis, efek samping obat.
55
Perawat G
Kadang tidak ada, karena sudah sering di berikan dan umum digunakan. Kalau adapun berupa informasi obat misalnya aturan pemakaian dan efek samping
Perawat H Pemakaian dengan dosis yang tepat, cara pemakaian obat, waktu pemberian obat.
Perawat I 0 Perawat J Jarang ketemu. Perawat K Cara pemakaian / pemberian obat.
Perawat L Jarang ada (lebih banak jarangnya). Kadang-kadang hanya sitostatika.
Perawat M Tidak ada informasi. Perawat N Kadang-kadang. Dalam penyimpanan, pemakaian.
4. Apakah Anda memberikan informasi penggunaan obat terhadap pasien? Jika iya, informasi
apa saja yang Anda berikan?
Perawat Jawaban Perawat A Ya, Informasi mengenai indikasi, nama obat, waktu minum obat.
Perawat B ya,Informasi yang diberikan berupa dosis, cara minum obat (sblum atau setelah makan), sebelum tidur/malam hari, car penggunaan (mis sublingual, tidak boleh digerus).
Perawat C Waktu penggunaan (sebelum/setelah makan), obat-obatan yang bila perlu, obat-obat antibiotik yang aturan minumnya per berapa jam (mis tiap 8 jam, dll).
Perawat D Ya, informasi yang diberikan sesuai dengan aturan obat (misalnya obat diberikan 1 jam sebelum makan), interaksi obat (tapi yang sederhana saja).
Perawat E Iya. Efek samping, cara minum, harus dihabiskan (untuk AB), serta harus sesuai aturan pakai.
Perawat F Iya. Aturan pakai, cara pemberian (sebelum atau sesudah makan) dan jika obat habis segera kontrol.
Perawat G Iya. Fungsi obat, aturan minum, cara minum, kalau meminum obat harus memakai air putih, jika obat habis harus kontrol dan harus rutin mengkonsumsinya dan tidak boleh ada selah (untuk OAT).
Perawat H Ya, waktu kapan obat diminum, cara pemakaian obatnya.
Perawat I Tidak, tetapi kadang-kadang iya.
Perawat J Dosis pemberian obat, cara pemakaian, cara minum obat (sebelum/sesudah/saat makan ), reaksi setelah minum obat.
Perawat K Ya. Cara minum obat, efek samping minum obat, guna obat.
Perawat L Ya. Sebelum/sesudah makan, indikasi obat, ½ jam sebelum makan untuk obat muntah.
Perawat M Iya. Indikasi obatnya. Perawat N Ya. Obatnya sebelum / sesudah makan, obat luar / obat dalam.
56
5. Apakah Anda mengecek ulang trlebih dahulu obat untuk pasien sebelum
menyerahkannya?
Perawat Jawaban Perawat A Ya
Perawat B Selalu dicek dulu. Setiap ganti shift pasti dicek, setelah dicek sudah enar jumlah dan pasiennya maka langsung diberikan.
Perawat C Ya, dicek melalui DPO, dicek obatnya juga, semua obat. Pagi, cek untuk pagi dan siang. Sore, cek sambil membagikan.
Perawat D Ya, lihat dari FIO/DPO, disesuaikan/dicocokkan. Perawat E Iya. Perawat F Iya. Perawat G Iya. Perawat H Iya. Perawat I Iya. Perawat J Iya. Perawat K Iya. Perawat L Iya. Perawat M Iya. Nama pasien, nama obat. Perawat N Ya. Nama obat, aturan pakai, dosis.
6. Apabila terdapat pasien yang tidak memenuhi aturan pakai obat, apa yang Anda lakukan?
Perawat Jawaban Perawat A Merayu/membujuk pasien supaya mau minum obat. Perawat B Beri edukasi tentang pemberian obat. Jika pasien ada kendala, ber tahu
apotekernya. Perawat C Beri tahu cara pemakaian obat lagi. Perawat D Memberi tahu bahwa obat tersebut harus diminum, jika tidak diminum
akan menghambat proses penyembuhan, dan akan menjadi tidak efektif (menegur).
Perawat E Ditegur, kemudian dilbilangin tentang efek obat dan akan sulit sembuh.
Perawat F Dikasih tahu kembali aturan pakai obat. Kalau pasien merasa tidak dapat mengkonsumsi sendiri, perawat dapat membantu dan ditungguin sampai diminum.
Perawat G Menegur, kemudian diterangkan lagi tentang manfaat dan khasiat obat.
Perawat H Kita berikan sendiri atau diberi pengarahan. Perawat I Tidak ada. Perawat J Memberikan informasi akibat-akibat bila tidak memenuhi aturan pakai
dan menganjurkan untuk minum obat yang benar. Perawat K Memberi tahu kalau kepatuhan minum obat adalah untuk kepentingan
pasien (kesembuhan). Perawat L Dinasehati. Dievaluasi mengapa tidak mematuhi aturan pakainya Perawat M Terserah mereka, yang penting sudah memberi tahu. Perawat N Dinasehati, dirayu.
57
7. Pada saat Anda memberikan obat kepada pasien, apakah Anda menunggu/melihat hingga
pasien menggunakan semua obatnya?
Perawat Jawaban
Perawat A Kadang-kadang menunggu. Meminumkan jika pasien tidak bisa minum, kalau bisa minum sendiri, obat diminum sendiri.
Perawat B Tidak selalu. Klo obatnya digerus maka ditunggui.
Perawat C Sering disaat pasien tidak ada keluarga yang menunggu. Jika ada yang menunggu, keluarga yang dipasrahi dalam memastikan obat sudah diminum oleh pasien.
Perawat D Menuggu, kadang-kadang semua diminumkan.
Perawat E Iya, ditungguin atau bahkan diminumkan, kecuali jika pasien tidak mau ditungguin, maka perawat akan meninggalkan ruangan.
Perawat F Ditungguin hingga terminum.
Perawat G Iya ditungguin, bahkan kalau bisa diminumkan. Namun terkadang pasien bilang ke perawat bahwa dia akan meminum obat sebentar lagi sehingga perawat tidak memantau penggunaan obat tersebut.
Perawat H Kadang ya, kadang tidak.
Perawat I Ya.
Perawat J Ya.
Perawat K Kadang-kadang ya
Perawat L Tergantung situasi dan tenaganya. Kalau pasien banyak, ditinggal saja, soalnya ramai.
Perawat M Ya. Langsung diminumkan. Perawat N Diminumkan.
8. Apakah Anda sering menemukan obat pasien yang ketinggalan di bangsal? Kalau iya, apa
yang Anda lakukan?
Perawat Jawaban
Perawat A Kadang-kadang (terutama jika obat yang sudah distop). Ditelepon kalau masih digunakan oleh pasien. Dijadikan 1 dengan obat-obat stok (untuk obat yang telah distop).
Perawat B Ada pernah tapi jarang.
Perawat C Pernah, menelpon pasien tetapi juga tergantung dari jumlah obat, misalnya tertinggal ½ tablet, tidak usah ditelpon/disusulkan.
Perawat D Pernah tapi tidak terlalu sering. Menghubungi pasien/keluarga sedapat mungkin.
Perawat E Iya terutama sirup. Dihubungi jika ada telp dan kalau tidak bisa mengambilnya maka perawat akan mengantar ke rumah.
Perawat F Sering ketinggalan di kotak obat, kalau di ruangan jarang. Kalau ada nomor telepon perawat telepon, jika tidak ada perawat antar ke rumah.
Perawat G
Kadang-kadang. Menghbungi pasien atau keluarga untuk mengambil obat, kalau pasien tidak bisa datang, perawat yang akan membawa kerumah. Kebanyakan obat yang ketinggalan disebabkan karena proses lama di farmasi, sehingga pasien tidak betah untuk menunggu.
58
Perawat H Tidak sering, bahkan sangat jarang, tapi pernah ada yang ketinggalan biasanya kalau alamatnya ada dan mudah dijangkau kita akan antar ke rumah klien.
Perawat I Tidak.
Perawat J Ya, pernah dulu saya telpon humas lalu minta antar ambulance diantar sampai rumah. Pernah juga menelpon keluarganya untuk ambil ke ruangan.
Perawat K Jarang. Perawat L Jarang. Perawat M Tidak.
Perawat N Sering. Ditunggu kalau kontrol lagi Kalau rumahnya dekat, diantar atau ditelepon.
9. Apakah Anda pernah menjumpai obat yang kemungkinan sengaja dibuang atau
disembunyikan oleh pasien? Jika iya, apa yang Anda lakukan?
Perawat Jawaban Perawat A Tidak. Perawat B Belum pernah lihat. Perawat C Belum pernah.
Perawat D Ada, ditegur (jika ada keluarganya diberi tahu).Kadang-kadang ada yang disembunyikan keluarganya juga.
Perawat E Tidak, karena diminumkan. Kecuali obat syrup (OBH), dimana efek sampingnya malah membuat batuk, hal ini yang menyebabkan pasien jarang meminum sesuai aturan.
Perawat F Belum pernah.
Perawat G Ada, namun perbandingannya jarang. Jika pasien masih di rawat di bangsal, maka perawat akan menegur dan menerangkan kembali fungsi obat.
Perawat H Tidak pernah (di RS jiwa sering).
Perawat I Ya, bila memberikan obat langsung diminum kan supaya pasien tidak menyembunyikan atau membuang.
Perawat J Ya, memberi informasi akibat bila tidak memenuhi aturan pakai dan menganjurkan untuk minum obat yang benar.
Perawat K Tidak. Perawat L Sering. Dinasehati. Perawat M Banyak. Sengaja ditaruh dilaci. Tidak melakukan apa-apa. Perawat N Jarang, karena diminumkan langsung, hampir tidak pernah ada.
59
Daftar Nama Obat Alergi di Bangsal Rawat Inap Kelas III RS Bethesda Yogyakarta Periode Agustus – September 2008
Golongan Nama Generik Nama Paten
terfenadine Rhinofed®
loratadine Claritin®
cetirizine diHCl Histrine®Antihistamin
fexofenadine HCl Telfast® OD
Somerol®
Medixon®methylprednisolone Hexilon®Kortikosteroid
dexamethasone Kalmethasone®
60
Subyektif, Obyektif, Penatalaksanaan, Penilaian, dan Rekomendasi Pasien Rawat Inap Bangsal Kelas III RS Bethesda Yogyakarta yang Menggunakan
Obat Alergi Periode Agustus – September 2008
Kasus 1 Subyektif
Bapak B, nomor RM 00-63-84-46, usia 57 tahun, dirawat di RS selama 10 hari karena keluhan 1 bulan sesak nafas (sakit untuk bernafas). Diagnosa sementara : obstruksi dyspnea → kanker paru. Diagnosa utama : tumor paru kanan.
Obyektif Pemeriksaan tanggal 7/8
Pengukuran Hasil Keterangan Nilai normal Lekosit (ribu/mmk) 10,42 4.10 - 10.90 Eosinofil (%) 1,1 0 - 5.0 Basofil (%) 0,4 0 - 2.0 Segmen (%) 80,0 47.0 - 80.0 Limfosit (%) 11,2 Rendah 13.0 – 40.0 Monosit (%) 7,3 2.0 – 11.0 SGOT (u/l) 26 0 – 37.0 SGPT (u/l) 17 0 – 41.0 Suhu (0C) Sekitar 36,5 Tekanan darah (mm Hg) Sekitar 130/80 Nadi (kali/menit) Sekitar 100 Respirasi (kali/menit) Sekitar 24
Penatalaksanaan Terapi nonparenteral : AP caps (3x1), DMP (3x1), Lasix (1x1), Aspar K (2x1), Adona F (3x1), Ofloxacin 400 mg (2x1). Terapi parenteral : Somerol 125 mg (2x125 mg) selama 12 hari.
Penilaian Penggunaan methylprednisolone untuk kasus sesak nafas (inflamasi) menurut literatur adalah 10 – 40 mg dalam beberapa menit dan diulang pada interval tertentu tergantung pada respon. Pada kasus ini, penggunaan methylprednisolone (Somerol®) sekali injeksi adalah 125 mg. hal ini menyebabkan dosis yang terlalu tinggi. Pemberian selama 12 hari untuk kasus sesak nafas akan menimbulkan akumulasi obat karena terapi jangka panjang. DTP yang riil terjadi : dosis terlalu tinggi.
Rekomendasi Penggunaan methylprednisolone (Somerol®) secara parenteral untuk kasus sesak nafas (inflamasi) perlu diturunkan dalam range 10 – 40 mg dan frekuensinya ditingkatkan. Durasi terapi dengan methylprednisolone perlu dibatasi.
61
Kasus 2 Subyektif
Bapak DS, nomor RM -96-03-58, usia 78 tahun, dirawat di RS selama 12 hari karena keluhan sudah 4 hari sesak nafas dan batuk (dahak tidak bisa keluar). Diagnosa sementara : COPD, pneumonia. Diagnosa utama : COPD, bronchopneumonia.
Obyektif Pemeriksaan tanggal 13 Agustus 2008
Pengukuran Hasil Keterangan Nilai normal Lekosit (ribu/mmk) 13,9 Tinggi 4.10 - 10.90 Suhu (0C) Sekitar 37 Tekanan darah (mm Hg) Sekitar 110-180/70-110 Nadi (kali/menit) Sekitar 100 Respirasi (kali/menit) Sekitar 24
Pemeriksaan tanggal 18, 21, 23 Agustus 2008 Hasil Pengukuran 18/8 21/8 23/8 Nilai normal
Lekosit (ribu/mmk) 14,8 (Tinggi)
18,4 (Tinggi)
13,8 (Tinggi)
4.10 - 10.90
Penatalaksanaan Terapi nonparenteral : Bisolvon (3x2 cth), Accolate (2x1), Meptin 0,05 mg (3x ¼), Enzyplex (2x1), Prosogan (1x1), Somerol 4 mg (2x1) selama 2 hari, Cetirizine 10 mg (1x1) selama 1 hari. Terapi parenteral : Ceftriaxon (2x1), Sopiron (2x1 gram), Somerol 125 mg (4x125 mg) selama 2 hari, Somerol 125 mg (3x125 mg) selama 4 hari, Somerol 125 mg (2x125 mg) selama 2 hari. Terapi inhalasi : Combivent dan Flixotide 4x sehari.
Penilaian • Penggunaan methylprednisolone (Somerol®) 4 mg (2x1) secara oral selama 2 hari sudah
sesuai dengan aturan pemakaian yang lazim yaitu 4 – 48 mg per hari. • Penggunaan cetirizine 10 mg (1x1) selama 1 hari sudah sesuai dengan aturan pemakaian
yang lazim yaitu 1 tablet 1 kali per hari. • Penggunaan methylprednisolone untuk kasus sesak nafas (inflamasi) menurut literatur
adalah 10 – 40 mg dalam beberapa menit dan diulang pada interval tertentu tergantung pada respon. Pada kasus ini, penggunaan methylprednisolone (Somerol®) sekali injeksi adalah 125 mg. Hal ini menyebabkan dosis yang terlalu tinggi. Pemberian selama 8 hari untuk kasus sesak nafas akan menimbulkan akumulasi obat karena terapi jangka panjang.
DTP yang riil terjadi : dosis terlalu tinggi.
Rekomendasi Penggunaan methylprednisolone (Somerol®) secara parenteral untuk kasus sesak nafas (inflamasi) perlu diturunkan dalam range 10 – 40 mg dan frekuensinya ditingkatkan. Durasi terapi dengan methylprednisolone perlu dibatasi.
62
Kasus 3 Subyektif
Bapak H, nomor RM 00-91-30-88, usia 73 tahun, dirawat di RS selama 9 hari karena keluhan sesak nafas, pusing dan badan terasa panas. Pernah dirawat pada tahun 2004. Riwayat alergi terhadap udara dingin, debu, asap. Diagnosa sementara : - Diagnosa utama : COPD.
Obyektif Pemeriksaan tanggal 3 Agustus 2008
Pengukuran Hasil Ket Nilai normal Lekosit (ribu/mmk) 26,9 Tinggi 4.10 - 10.90 Basofil (%) 0,3 0 - 2.0 SGOT (u/l) 32,7 0 – 37.0 SGPT (u/l) 28,4 0 – 41.0 Suhu (0C) Sekitar 36,5 Tekanan darah (mm Hg) Sekitar 140/90 Nadi (kali/menit) Sekitar 90 Respirasi (kali/menit) Sekitar 24
Pemeriksaan tanggal 6, 7 Agustus 2008 Hasil Pengukuran 6/8 7/8 Nilai normal
Lekosit (ribu/mmk) 28,20 (Tinggi)
19,90 (Tinggi)
4.10 - 10.90
Penatalaksanaan Terapi nonparenteral : Parasetamol 500 mg (3x1), Avelox 400 mg (1x1), Mucopect (3x1 cth), Dekstromethorphan (3x1), Neurobion 5000 (1x1), Methycobal 250 (3x1). Terapi parenteral : Rantin 50 mg/2 ml (2x1), Ceftazidime (2x1 gram), Somerol 125 mg (2x125 mg) selama 7 hari. Terapi inhalasi : Combivent dan Flixotide 3x4 sehari.
Penilaian Penggunaan methylprednisolone untuk kasus sesak nafas (inflamasi) menurut literatur adalah 10 – 40 mg dalam beberapa menit dan diulang pada interval tertentu tergantung pada respon. Pada kasus ini, penggunaan methylprednisolone (Somerol®) sekali injeksi adalah 125 mg. Hal ini menyebabkan dosis yang terlalu tinggi. Pemberian selama 7 hari untuk kasus sesak nafas akan menimbulkan akumulasi obat karena terapi jangka panjang. DTP yang riil terjadi : dosis terlalu tinggi.
Rekomendasi Penggunaan methylprednisolone (Somerol®) secara parenteral untuk kasus sesak nafas (inflamasi) perlu diturunkan dalam range 10 – 40 mg dan frekuensinya ditingkatkan. Durasi terapi dengan methylprednisolone perlu dibatasi.
63
Kasus 4 Subyektif
Bapak P, nomor RM 00-49-33-80, usia 85 tahun, dirawat di RS selama 4 hari karena keluhan terjadi mimisan dan belum sembuh. Diagnosa sementara : Epistaxis dan hipertensi. Diagnosa utama : Epistaksis, rhinitis kronis, hipertensi.
Obyektif Pemeriksaan tanggal 23 Agustus 2008
Pengukuran Hasil Ket Nilai normal
Lekosit (ribu/mmk) 1,2 Rendah 4.10 – 10.90 Eosinofil (%) 7,0 Tinggi 0 – 5.0 Basofil (%) 1,4 0 – 2.0 Segmen (%) 56,2 47.0 – 80.0 Limfosit (%) 27,7 13.0 – 40.0 Monosit (%) 7,7 2.0 – 11.0 SGOT (u/l) 21,9 0 – 37.0 SGPT (u/l) 11,2 0 – 41.0 Suhu (0C) Sekitar 36,5 Tekanan darah (mm Hg) Sekitar 110-130/60-100 Nadi (kali/menit) Sekitar 88 Respirasi (kali/menit) Sekitar 22
Penatalaksanaan Terapi nonparenteral : Captopril (2x1), Kalnex (3x1), Amdixal (3x1), Lapimox (3x1), Climadan (3x1), Rhinofed (3x1 ) selama 4 hari, Histrine 10 mg (1x1) selama 3 hari. Terapi parenteral : Kalnex (3x500), Dycinon (2x1), Adona (50 mg/infus).
Penilaian Penggunaan Rhinofed (3x1) selama 4 hari sudah sesuai dengan aturan pemakaian yang lazim yaitu 1 -2 tablet 3 kali per hari. Pemakaian Histrine 10 mg (1x1) selama 3 hari sudah sesuai dengan aturan pemakaian yang lazim yaitu 1 tablet per hari.
Rekomendasi Terapi dapat dilanjutkan.
64
Kasus 5 Subyektif
Bapak S, nomor RM 01-92-03-50, usia 66 tahun, dirawat di RS selama 6 hari karena keluhan + 2 minggu sesak nafas, suara nafas mengi, krekel ronchi. Diagnosa sementara : Pneumonia (s) dengan KP. Diagnosa utama : -
Obyektif Pemeriksaan tanggal 4 Agustus 2008
Pengukuran Hasil Ket Nilai normal
Lekosit (ribu/mmk) 10,12 4.10 – 10.90 Eosinofil (%) 0,2 Tinggi 0 – 5.0 Basofil (%) 0,2 0 – 2.0 Segmen (%) 90,2 Tinggi 47.0 – 80.0 Limfosit (%) 6,7 Rendah 13.0 – 40.0 Monosit (%) 2,7 2.0 – 11.0 Suhu (0C) Sekitar 36,5 Tekanan darah (mm Hg) Sekitar 130/80 Nadi (kali/menit) Sekitar 88 Respirasi (kali/menit) Sekitar 22
Pemeriksaan tanggal 8 Agustus 2008
Pengukuran Hasil Ket Nilai normal
SGOT (u/l) 94,2 Tinggi 0 – 37.0 SGPT (u/l) 58,7 Tinggi 0 – 41.0
Penatalaksanaan Terapi nonparenteral : Rifampisin (1x1), Pehadoxin (1x1), Ethambutol 250 mg (1x3), PZA (1x3), HP Pro (1x1). Terapi parenteral : Omeprazole (1x1), Somerol 125 mg (1x125 mg) selama 4 hari.
Penilaian • Penggunaan methylprednisolone untuk kasus sesak nafas (inflamasi) menurut literatur
adalah 10 – 40 mg dalam beberapa menit dan diulang pada interval tertentu tergantung pada respon. Pada kasus ini, penggunaan methylprednisolone (Somerol®) sekali injeksi adalah 125 mg. Hal ini menyebabkan dosis yang terlalu tinggi. Pemberian selama 4 hari untuk kasus sesak nafas akan menimbulkan akumulasi obat karena terapi jangka panjang.
• Penggunaan methylprednisolone (Somerol®) bersamaan dengan Rifampisin akan berpotensi terjadinya interaksi obat.
DTP yang riil terjadi : Dosis terlalu tinggi dan interaksi obat.
Rekomendasi Hindari penggunaan Somerol bersamaan dengan Rifampisin. Penggunaan methylprednisolone (Somerol®) secara parenteral untuk kasus sesak nafas (inflamasi) perlu diturunkan dalam range 10 – 40 mg dan frekuensinya ditingkatkan. Durasi terapi dengan methylprednisolone perlu dibatasi.
65
Kasus 6 Subyektif
Saudari K, nomor RM 01-92-09-51, usia 18 tahun, dirawat di RS selama 4 hari karena keluhan batuk dan sesak nafas + 1 minggu. Penyakit keluarga : bronkolitis. Alergi telur, reaksi gatal-gatal. Diagnosa sementara : Asma brokhiale post sinkope. Diagnosa utama : Asma.
Obyektif Pemeriksaan tanggal 3 Agustus 2008
Pengukuran Hasil Nilai normal Lekosit (ribu/mmk) 9,52 4.10 – 13.00 Eosinofil (%) 2,6 0 – 5.0 Basofil (%) 0,3 0 – 2.0 Segmen (%) 66,9 47.0 – 80.0 Limfosit (%) 26,4 13.0 – 40.0 Monosit (%) 3,8 2.0 – 11.0 SGOT (u/l) 20,3 14 – 56.0 SGPT (u/l) 12,3 9 – 52.0 Suhu (0C) Sekitar 37 Tekanan darah (mm Hg) Sekitar 120/80 Nadi (kali/menit) Sekitar 88 Respirasi (kali/menit) Sekitar 22
Penatalaksanaan Terapi nonparenteral : Mucopect (3x2 cth), Zithromax (1x1), Rantin (2x1), Somerol 4 mg (1x1) selama 4 hari. Terapi parenteral : Somerol 125 mg (2x125 mg) selama 2 hari. Terapi inhalasi : Combivent dan Flixotide (2x1).
Penilaian Penggunaan methylprednisolone untuk kasus sesak nafas (inflamasi) menurut literatur adalah 10 – 40 mg dalam beberapa menit dan diulang pada interval tertentu tergantung pada respon. Pada kasus ini, penggunaan methylprednisolone (Somerol®) sekali injeksi adalah 125 mg. Hal ini menyebabkan dosis yang terlalu tinggi. DTP yang riil terjadi : Dosis terlalu tinggi.
Rekomendasi Penggunaan methylprednisolone (Somerol®) secara parenteral untuk kasus sesak nafas (inflamasi) perlu diturunkan dalam range 10 – 40 mg dan frekuensinya ditingkatkan.
66
Kasus 7 Subyektif
Ibu R, nomor RM 01-92-09-81, usia 53 tahun, dirawat di RS selama 8 hari karena keluhan sesak nafas selama 5 hari, batuk-batuk, dan badan panas. Diagnosa sementara : Febris, Batuk, DD : bronchopneumonia. Diagnosa utama : Broncopneumonia. Diagnosa sekunder : TB paru.
Obyektif Pemeriksaan tanggal 24 Agustus 2008
Pengukuran Hasil Ket Nilai normal Lekosit (ribu/mmk) 15,66 Tinggi 4.10 – 13.00 Eosinofil (%) 0,4 0 – 5.0 Basofil (%) 0,3 0 – 2.0 Segmen (%) 89,0 Tinggi 47.0 – 80.0 Limfosit (%) 5,6 Rendah 13.0 – 40.0 Monosit (%) 4,7 2.0 – 11.0 SGOT (u/l) 24,5 14 – 56.0 SGPT (u/l) 22,1 9 – 52.0 Suhu (0C) Sekitar 36-38 Tekanan darah (mm Hg) Sekitar 120/80 Nadi (kali/menit) Sekitar 88 Respirasi (kali/menit) Sekitar 22
Penatalaksanaan Terapi nonparenteral : Pamol (3x1), Fluimucil (2x1), Avelox (1x1), Neurobion 5000 (1x1), Mobiflex (1x1), Mucopect (3x1 cth), Dextromethorphan (3x1), Cefspan 100 mg (2x1). Terapi parenteral : Ceftazidime (2x1 gram), Kalmethason 4 mg/ml (3x2 cc) selama 3 hari.
Penilaian Penggunaan dexamethasone (Kalmethason®) menurut literatur adalah 4 – 20 mg. Penggunaan dexamethasone (Kalmethason®) dalam kasus ini 4 mg/ml (3x2 cc) selama 3 hari untuk mengatasi sesak nafas sudah sesuai dengan aturan pemakaian yang lazim.
Rekomendasi Terapi dapat dilanjutkan.
67
Kasus 8 Subyektif
Ibu TS, nomor RM 00-61-02-61, usia 66 tahun, dirawat di RS selama 4 hari karena keluhan kedua kaki nyeri, tidak ada selera makan dan opname prokemoseri II ke-5. Diagnosa sementara : Schuomosa Ca paru. Diagnosa utama : Schuomosa Ca paru.
Obyektif Pemeriksaan tanggal 7 Agustus 2008
Pengukuran Hasil Ket Nilai normal Lekosit (ribu/mmk) 15,66 4.10 - 10.90 Suhu (0C) Sekitar 36-37 Tekanan darah (mm Hg) Sekitar 130/80 Nadi (kali/menit) Sekitar 80-100 Respirasi (kali/menit) Sekitar 22
Penatalaksanaan Terapi pada waktu rawat inap : • Terapi nonparenteral : Hemobion (1x1), Dextromethorphan (3x1), Meptin (3x ¼),
Primperan (3x1), Movicox 15 mg (1x1), Celebrex, Claritin 10 mg (1x1). • Terapi parenteral : Delladryl 1 cc, Lasix, Insulatard, Somerol 125 mg (1x125 mg)
selama 1 hari. Terapi pada waktu rawat jalan : • Terapi nonparenteral : Dextromethorphan 15 mg (3x1), Claritin 10 mg (1x1) selama 5
hari, Meptin 0,05 mg (3x ¼), Primperan com (3x1), Hemobion (1x1), Celebrex 200 mg (1x1).
Penilaian • Penggunaan methylprednisolone sebagai imunosupresif menurut literatur adalah 10 –
40 mg dalam beberapa menit dan diulang pada interval tertentu tergantung pada respon. Pada kasus ini, penggunaan methylprednisolone (Somerol®) sekali injeksi adalah 125 mg. Hal ini menyebabkan dosis yang terlalu tinggi.
• Penggunaan Claritin 10 mg (1x1) sudah sesuai aturan pemakaian yang lazim yaitu 1x1 per hari.
DTP yang riil terjadi : Dosis terlalu tinggi.
Rekomendasi Penggunaan methylprednisolone (Somerol®) secara parenteral untuk imonusupresif perlu diturunkan dalam range 10 – 40 mg dan frekuensinya ditingkatkan.
68
Kasus 9 Subyektif
Ibu T, nomor RM 01-92-03-60, usia 63 tahun, dirawat di RS selama 8 hari karena keluhan sesak nafas + 1 minggu, batuk (dahak tidak produktif), kaki kanan nyeri, perut terasa penuh. Diagnosa sementara : Obstruksi Dispnea, efusi pleura. Diagnosa utama : -
Obyektif Pemeriksaan tanggal 4 Agustus 2008
Pengukuran Hasil Ket Nilai normal Lekosit (ribu/mmk) 8,84 4.10 – 13.00 Eosinofil (%) 3,0 0 – 5.0 Basofil (%) 0,0 0 – 2.0 Limfosit (%) 23,0 13.0 – 40.0 Monosit (%) 14,0 2.0 – 11.0 SGOT (u/l) 1230,9 Tinggi 14 – 56.0 SGPT (u/l) 1066,2 Tinggi 9 – 52.0 Suhu (0C) Sekitar 36-38 Tekanan darah (mm Hg) Sekitar 120/80 Nadi (kali/menit) Sekitar 88 Respirasi (kali/menit) Sekitar 22
Pemeriksaan tanggal 5 Agustus 2008 Pengukuran Hasil Ket Nilai normal
HbsAg 0,85 Negatif Anti HAV Negatif Anti HBS 32 Positif CEA 1,2 0 - 3 SGOT (u/l) 39,8 14 – 56.0 SGPT (u/l) 23,2 9 – 52.0
Penatalaksanaan Terapi nonparenteral : Dextromethorphan (3x1), Salbron (3x ½), Mucosolvan (3x1 cth), HP Pro (3x1), Zithromax 500 mg (1x1). Terapi parenteral : Somerol 125 mg (2x125 mg) selama 1 hari.
Penilaian Penggunaan methylprednisolone untuk kasus sesak nafas (inflamasi) menurut literature adalah 10 – 40 mg dalam beberapa menit dan diulang pada interval tertentu tergantung pada respon. Pada kasus ini, penggunaan methylprednisolone (Somerol®) sekali injeksi adalah 125 mg. Hal ini menyebabkan dosis yang terlalu tinggi. DTP yang riil terjadi : Dosis terlalu tinggi.
Rekomendasi Penggunaan methylprednisolone (Somerol®) secara parenteral untuk kasus sesak nafas (inflamasi) perlu diturunkan dalam range 10 – 40 mg dan frekuensinya ditingkatkan.
69
Kasus 10 Subyektif
Ibu W, nomor RM 00-21-55-95, usia 70 tahun, dirawat di RS selama 7 hari karena keluhan sesak nafas, batuk, badan panas ± 3 hari, badan lemes. Diagnosa sementara : COPD, febris. Diagnosa utama : COPD eksaserbasi akut.
Obyektif Pemeriksaan tanggal 4 Agustus 2008
Pengukuran Hasil Ket Nilai normal Eosinofil (%) 0,2 0 – 5.0 Basofil (%) 0,2 0 – 2.0 Segmen (%) 89,7 Tinggi 47.0 – 80.0 Limfosit (%) 5,5 Rendah 13.0 – 40.0 Monosit (%) 4,4 2.0 – 11.0 SGOT (u/l) 34,4 14 – 56.0 SGPT (u/l) 25,2 9 – 52.0 Suhu (0C) Sekitar 37 Tekanan darah (mm Hg) Sekitar 160/90 Nadi (kali/menit) Sekitar 90 Respirasi (kali/menit) Sekitar 22
Pemeriksaan Lekosit Hasil
Pengukuran 8/8 11/8 13/8 Nilai normal
Lekosit (ribu/mmk) 17,600 (Tinggi)
28,200 (Tinggi)
20,800 (Tinggi)
4,10-13,00
Penatalaksanaan Terapi nonparenteral : AP caps (3x1), Seretide syrup (3x2 cth), Sanadryl (3x2 cth), Pamol (3x1), Tensivask (1x1), Yekalgin (3x1). Terapi parenteral : Ceftriaxon (1x1 gram), Somerol 125 mg (2x125 mg) selama 7 hari. Terapi inhalasi : Combivent dan Flixotide (3x1), Seretide (3x2 hisap).
Penilaian • Penggunaan Somerol bersamaan dengan Yekalgin dapat berpotensi terjadinya
interaksi obat. • Penggunaan methylprednisolone untuk kasus sesak nafas (inflamasi) menurut literatur
adalah 10 – 40 mg dalam beberapa menit dan diulang pada interval tertentu tergantung pada respon. Pada kasus ini, penggunaan methylprednisolone (Somerol®) sekali injeksi adalah 125 mg. Hal ini menyebabkan dosis yang terlalu tinggi. Pemberian selama 7 hari untuk kasus sesak nafas akan menimbulkan akumulasi obat karena terapi jangka panjang.
DTP yang riil terjadi : Interaksi Obat dan Dosis terlalu tinggi.
Rekomendasi Hindari penggunaan Somerol bersamaan dengan Yekalgin. Penggunaan methylprednisolone (Somerol®) secara parenteral untuk kasus sesak nafas (inflamasi) perlu diturunkan dalam range 10 – 40 mg dan frekuensinya ditingkatkan. Durasi terapi dengan methylprednisolone perlu dibatasi.
70
Kasus 11 Subyektif
Saudara NR, nomor RM 00-99-02-52, usia 23 tahun, dirawat di RS selama 4 hari karena keluhan sesak nafas, batuk. Diagnosa sementara : Asma brokhiale. Diagnosa utama : Asma.
Obyektif Pemeriksaan tanggal 23 Agustus 2008
Pengukuran Hasil Ket Nilai normal Lekosit (ribu/mmk) 15,56 Tinggi 4.10 – 10.90 Eosinofil (%) 0,1 0 – 5.0 Basofil (%) 0,2 0 – 2.0 Segmen (%) 95,1 Tinggi 47.0 - 80.0 Limfosit (%) 4,2 Rendah 13.0 – 40.0 Monosit (%) 0,4 Rendah 2.0 – 11.0 Suhu (0C) Sekitar 36,5 Tekanan darah (mm Hg) Sekitar 120-150/80-90 Nadi (kali/menit) Sekitar 80 Respirasi (kali/menit) Sekitar 20
Penatalaksanaan Terapi nonparenteral : Codein 10 mg (3x1), AP caps (2x1), Cefspan (2x1), Meptin (3x ¼). Terapi parenteral : Somerol 125 mg (2x125 mg) selama 2 hari. Terapi inhalasi : Combivent dan Flixotide (3x1).
Penilaian Penggunaan methylprednisolone untuk kasus sesak nafas (inflamasi) menurut literature adalah 10 – 40 mg dalam beberapa menit dan diulang pada interval tertentu tergantung pada respon. Pada kasus ini, penggunaan methylprednisolone (Somerol®) sekali injeksi adalah 125 mg. Hal ini menyebabkan dosis yang terlalu tinggi. Pemberian selama 7 hari untuk kasus sesak nafas akan menimbulkan akumulasi obat karena terapi jangka panjang. DTP yang riil terjadi : Dosis terlalu tinggi.
Rekomendasi Penggunaan methylprednisolone (Somerol®) secara parenteral untuk kasus sesak nafas (inflamasi) perlu diturunkan dalam range 10 – 40 mg dan frekuensinya ditingkatkan.
71
Kasus 12 Subyektif
Sdr. TN, nomor RM 01-92-10-36, usia 21 tahun, dirawat di RS selama 8 hari karena keluhan muntah, pusing akibat kecelakaan lalu lintas. Diagnosa Sementara : Trauma capitis. Diagnosis utama : -
Obyektif
Pengukuran Hasil Keterangan Nilai normal Lekosit (ribu/mmk) 19,10 Tinggi 4.10 – 10.90 Eosinofil (%) 0,1 0 – 5.0 Basofil (%) 0,3 0 – 2.0 Segmen (%) 89,0 Tinggi 47.0 – 80.0 Limfosit (%) 6,1 Rendah 13.0 – 40.0 Monosit (%) 4,5 2.0 – 11.0 SGOT (u/l) 13,9 0 – 37.0 SGPT (u/l) 14,1 0 – 41.0 Suhu (0C) Sekitar 36 – 37,5 Tekanan darah (mm Hg) 180/100, 190/120, 120/90, 90/60 Nadi (kali/menit) Sekitar 80 – 88 Respirasi (kali/menit) Sekitar 20
Penatalaksanaan • Terapi nonparenteral : Polycrol 400 mg (3x2), Neurotam (2x1), Nonflamin 50 mg
(3x1), Rhinofed (2x1) selama 6 hari, Kalnex 500 mg (3x1), Clavamox 500 mg (3x1), Yekalgin (3x1), methylprednisolone (2x1) selama 1 hari.
• Terapi parenteral : Ceftriaxone (2x1 gram), Piracetam (2x3), Kalnex (3x500 mg), Ketorolac (2x1 ampul), Ranitidine 50 mg/2 ml (2x1).
Penilaian • Penggunaan terfenadine (Rhinofed®) sudah sesuai dengan aturan pemakaian yang
lazim. • Penggunaan methylprednisolone (2x1) secara oral selama 1 hari sudah sesuai dengan
aturan pemakaian yang lazim.
Rekomendasi Terapi dapat dilanjutkan.
72
Kasus 13 Subyektif
Bapak E, nomor RM 01-92-04-52, usia 45 tahun, dirawat di RS selama 8 hari karena keluhan bengkak di bagian mata, kepala pusing, agak sesak nafas. Diagnosa Sementara : Trauma capitis, asma bronchiale. Diagnosis utama : trauma capitis, opthalmic neuropati.
Obyektif Tidak ada data pemeriksaan laboratorium yang dapat dissajikan.
Penatalaksanaan Terapi rawat inap : • Terapi nonparenteral : Surbex T (multivitamin) (1x1), Bellaphen 0,1 mg (2x1),
Nonflamin 50 mg (2x1), Nimotop 30 mg, Methicobal 500 mcg (2x1), Neurobion (2x1), Cravit 500 mg (1x1), Medixon 16 mg (2x1) selama 1 hari.
• Terapi parenteral : Kedacillin 1 gram, Remopain 3%, Kalnex 50 mg, Nicholin 100 mg, Phenitoin 100 mg, Neurotam, Manitol 20%, Somerol 500 mg (1x500 mg) selama 1 hari.
Terapi rawat jalan : • Terapi nonparenteral : Pamol (bila perlu), Methicobal 250 mg (2x1), Neurobion (2x1),
Medixon 16 mg (1x1) selama 2 hari, Hexilon 8 mg (2x2) selama 8 hari.
Penilaian Pada waktu terapi rawat inap : • Penggunaan methylprednisolone (Medixon®) 16 mg (2x1) untuk kasus sesak nafas dan
inflamasi sudah sesuai dengan aturan pemakaian yang lazim yaitu 4 – 48 mg per hari. Pada kasus, obat yang didapat dalam sehari sebanyak 32 mg.
• Penggunaan methylprednisolone untuk kasus sesak nafas (inflamasi) menurut literatur adalah 10 – 40 mg dalam beberapa menit dan diulang pada interval tertentu tergantung pada respon. Pada kasus ini, penggunaan methylprednisolone (Somerol®) sekali injeksi adalah 500 mg. Hal ini menyebabkan dosis yang terlalu tinggi.
DTP yang riil terjadi : Dosis terlalu tinggi. Pada waktu terapi rawat jalan : • Penggunaan Medixon 16 mg (1x1) selama 2 hari untuk kasus inflamasi sudah sesuai
aturan pemakaian yang lazim yaitu 4 – 48 mg per hari.
Rekomendasi Penggunaan methylprednisolone (Somerol®) secara parenteral untuk kasus sesak nafas (inflamasi) perlu diturunkan dalam range 10 – 40 mg dan frekuensinya ditingkatkan.
73
Kasus 14 Subyektif
Bapak JS, nomor RM 01-92-14-14, usia 27 tahun, dirawat di RS selama 4 hari karena keluhan perut terasa mual dan muntah selama 1 minggu, badan lemas, kulit terasa gatal-gatal (alergi). Diagnosa sementara : ikterik.
urticaria, alergi. Diagnosa utama : --
Obyektif
Pengukuran Hasil Keterangan Nilai normal Lekosit (ribu/mmk) 7.24 4.10 - 10.90 Eosinofil (%) 1.8 0 - 5.0 Basofil (%) 0.7 0 - 2.0 Segmen (%) 33.1 Rendah 47.0 - 80.0 Limfosit (%) 57.5 Tinggi 13.0 – 40.0 Monosit (%) 6.9 2.0 – 11.0 SGOT (u/l) 546.4 Tinggi 0 – 37.0 SGPT (u/l) 1361.1 Tinggi 0 – 41.0 Suhu (0C) Sekitar 36,2 – 37 Tekanan darah (mm Hg) Sekitar 100-110/60-80 Nadi (kali/menit) Sekitar 80 – 86 Respirasi (kali/menit) Sekitar 18 - 24
Penatalaksanaan Terapi nonparenteral : Curcumin, Curzil 10 mg (3x1), Cetirizine 10 mg (1x1) selama 2 hari, Claritin 10 mg (1x1) selama 4 hari, Medixon 4 mg (2-0-1) selama 4 hari. Terapi parenteral : Xillo : Della.
Penilaian • Penggunaan cetirizine 10 mg (1x1) selama 2 hari untuk kasus alergi sudah sesuai
aturan pemakaian yang lazim. • Penggunaan loratadine (Claritin®) 10 mg (1x1) selama 4 hari untuk kasus alergi
sudah sesuai dengan aturan pemakaian yang lazim. • Penggunaan methylprednisolone (Medixon®) 4 mg (2-0-1) untuk kasus alergi sudah
sesuai dengan aturan pemakaian yang lazim yaitu 4 – 48 mg per hari. Rekomendasi
Terapi dapat dilanjutkan.
74
Kasus 15 Subyektif
Bapak RI, nomor RM 00-95-56-02, usia 34 tahun, dirawat di RS selama 2 hari karena keluhan kepala pusing, riwayat sinusitis. Diagnosa Sementara : cephalgia + insomnia Diagnosis utama : rhinosinusitis Diagnosis sekunder : hipertensi
Obyektif
Pengukuran Hasil Keterangan Nilai normal Lekosit (ribu/mmk) 12.70 Tinggi 4.10 - 10.90 Eosinofil (%) 4.1 0 - 5.0 Basofil (%) 0.3 0 - 2.0 Segmen (%) 63.2 47.0 - 80.0 Limfosit (%) 23.2 13.0 – 40.0 Monosit (%) 9.3 2.0 – 11.0 SGOT (u/l) 16.7 0 – 37.0 SGPT (u/l) 22.0 0 – 41.0 Suhu (0C) Sekitar 36 – 37 Tekanan darah (mm Hg) Sekitar 140-190/100-120 Nadi (kali/menit) Sekitar 80 – 88 Respirasi (kali/menit) Sekitar 20
Penatalaksanaan Terapi rawat inap : Terapi nonparenteral : Noperten 5 mg (1x1), Celebrex 100 mg (2x1), Bellaphen 500 mg (3x1), Rhinofed 5 mg (3x1) selama 2 hari, Vertivom 10 mg (3x1), Pondex 250 mg (3x1), Lanama/Pamol 500 mg (3x1), Yekalgin 500 mg (3x1), Avelox 400 mg (1x1), Rantin (2x1). Terapi parenteral : Disudrin 15 mg/5 ml (3x1), Kalmethasone 4 mg/ml (3x2 cc) selama 2 hari, Toradol 30 mg (1 ampul), Stesolid 10 mg/2 ml (1/2 ampul), Remopain/Kaltrofen (3% atau 30 mg ), Rantin 1 gram (1x1), Primperan 10 mg/2 ml (1x1). Terapi inhalasi : Nasacorf nasal spray (pagi-sore) Terapi rawat jalan : Terapi nonparenteral : Telfast OD 120 mg (1x1) selama 5 hari, Pronalges 100 mg (2x1 b/p), Proneuron, Pondex, Noperten 5 mg (2x1), Climadan 150 mg (3x1), Yekalgin (3x1), Rhinofed (3x1) selama 3 hari, Disudrin (3x1), Spasmium (3x1 b/p), Lanzoprazol 30 mg (1x1), Rantin (1x1), Myonal (2x1).
Penilaian Pada waktu terapi rawat inap : Penggunaan terfenadine (Rhinofed®) 5 mg (3x1) selama 2 hari untuk kasus sinusitis sudah sesuai aturan pemakaian yang lazim yaitu 1 – 2 tablet 3x sehari. Penggunaan dexamethasone (Kalmethasone®) 4 mg/ml (3x2 cc) selama 2 hari untuk kasus inflamasi sudah sesuai dengan aturan pemakaian yang lazim yaitu 4 – 20 mg secara IV maupun IM. Pada kasus, sekali injeksi obat yang masuk adalah sebanyak 8 mg. Pada waktu terapi rawat jalan : Penggunaan fexofenadine HCl (Telfast OD®) 120 mg (1x1) untuk kasus sinusitis sudah sesuai aturan pemakaian yang lazim yaitu 1x1 tablet per hari. Penggunaan terfenadine (Rhinofed®) 5 mg (3x1) selama 2 hari untuk kasus sinusitis sudah sesuai aturan pemakaian yang lazim yaitu 1 – 2 tablet 3x sehari.
Rekomendasi Terapi dapat dilanjutkan.
75
Kasus 16 Subyektif
Ibu S, nomor RM 00-28-20-73, usia 55 tahun, dirawat di RS selama 5 hari karena keluhan + 4 hari badan lemes, sesak nafas, mual, nafsu makan kurang, dada berdebar-debar. Diagnosa sementara : Obs. Febris, Dyspnea. Diagnosa utama : -
Obyektif
Pengukuran Hasil Nilai normal Lekosit (ribu/mmk) 6,320 4.10 – 13.00 Eosinofil (%) 7,1 0 – 5.0 Basofil (%) 0,8 0 – 2.0 Segmen (%) 55,2 47.0 – 80.0 Limfosit (%) 26,9 13.0 – 40.0 Monosit (%) 10,0 2.0 – 11.0 SGOT (u/l) 29,2 14 – 56.0 SGPT (u/l) 14,7 9 – 52.0 Suhu (0C) Sekitar 36 – 37,6 Tekanan darah (mm Hg) Sekitar 100-130/60-80 Nadi (kali/menit) Sekitar 80 – 92 Respirasi (kali/menit) Sekitar 18 - 24
Penatalaksanaan Terapi nonparenteral : Pamol 500 mg (3x1), Levofloxacin 500 mg (1x1), Quibron TSR (2x ½), Mucopect syrup (3x1C), Rantin (2x1), Vomitas 10 mg (3x1). Terapi parenteral : Ceftazidime (2x1 gram), Rantin (2x1 ampul), Primperan 10 mg (2x1 ampul), Somerol 125 mg (2x125 mg) selama 3 hari. Terapi inhalasi : Nebulizer (2x1 per hari).
Penilaian Penggunaan methylprednisolone untuk kasus sesak nafas (inflamasi) menurut literature adalah 10 – 40 mg dalam beberapa menit dan diulang pada interval tertentu tergantung pada respon. Pada kasus ini, penggunaan methylprednisolone (Somerol®) sekali injeksi adalah 125 mg. Hal ini menyebabkan dosis yang terlalu tinggi. Pemberian selama 3 hari untuk kasus sesak nafas akan menimbulkan akumulasi obat karena terapi jangka panjang. DTP yang riil terjadi : Dosis terlalu tinggi.
Rekomendasi Penggunaan methylprednisolone (Somerol®) secara parenteral untuk kasus sesak nafas (inflamasi) perlu diturunkan dalam range 10 – 40 mg dan frekuensinya ditingkatkan.
76
Kasus 17 Subyektif
Bapak M, nomor RM 01-92-02-36, usia 80 tahun, dirawat di RS selama 10 hari karena keluhan badan lemas, sesak nafas. Diagnosa sementara : Shock kardiogenik. Diagnosa utama : -
Obyektif
Pengukuran Hasil Nilai normal Lekosit (ribu/mmk) 4,73 4.10 - 10.90 Eosinofil (%) 2,7 0 - 5.0 Basofil (%) 0,4 0 - 2.0 Segmen (%) 69,8 47.0 - 80.0 Limfosit (%) 19,7 13.0 – 40.0 Monosit (%) 7,4 2.0 – 11.0 SGOT (u/l) 34,5 0 – 37.0 SGPT (u/l) 10,8 0 – 41.0 Suhu (0C) Sekitar 36,5 – 38 Tekanan darah (mm Hg) Sekitar 110-150/70-90 Nadi (kali/menit) Sekitar 76 – 88 Respirasi (kali/menit) Sekitar 20
Penatalaksanaan Terapi nonparenteral : Alupent 20 mg, Ascardia 160 mg, Cedocard 5 mg, Serolin, Pamol 500 mg, Cefadroxil 500 mg, Neurotam 800 mg, Hexilon 8 mg (3x1) selama 4 hari. Terapi parenteral : Ranitidin 50 mg/2 ml, Nicholin 250 mg/2 ml, Neurotam 12 gram, Ketorolac 3%, Levonox 0,4 cc, Methylprednisolone 25 mg (1x1) selama 3 hari.
Penilaian • Penggunaan methylprednisolone (Hexilon®) 8 mg secara oral (3x1) sudah sesuai
aturan pemakaian yang lazim yaitu 4 – 48 mg per hari. • Penggunaan methylprednisolone 25 mg (1x1) secara parenteral (injeksi) sudah sesuai
aturan pemakaian yang lazim untuk mengatasi sesak nafas karena inflamasi yaitu 10 – 40 mg dalam beberapa menit dan diulang pada interval tertentu tergantung pada respon. Meskipun penggunaan tidak berulang, dosis sudah terpenuhi dengan adanya penggunaan Hexilon® secara oral.
• Penggunaan methylprednisolone (Hexilon®) bersamaan dengan Ascardia (golongan salisilat) berpotensi terjadinya interaksi obat.
DTP yang riil terjadi : interaksi obat.
Rekomendasi Hindari penggunaan methylprednisolone (Hexilon®) bersamaan dengan Ascardia.
77
Kasus 18 Subyektif
Bapak S, nomor RM 00-96-40-50, usia 43 tahun, dirawat di RS selama 12 hari karena keluhan ± 1 tahun kaki kiri lemas, tangan kanan dan kiri juga lemas. Riwayat terapi 2005 operasi laminektomi O/K tumor ekstradiral CII. Diagnosa sementara : Obs. Hemiparese S, suspect CVA onset 1 tahun. Diagnosa utama : Cervical mass (Schwaona/Neurinona).
Obyektif
Pengukuran Hasil Ket Nilai normal Lekosit (ribu/mmk) 11,66 Tinggi 4.10 - 10.90 Eosinofil (%) 2,8 0 - 5.0 Basofil (%) 0,3 0 - 2.0 Segmen (%) 71,2 47.0 - 80.0 Limfosit (%) 22,0 13.0 – 40.0 Monosit (%) 3,7 2.0 – 11.0 SGOT (u/l) 27,9 0 – 37.0 SGPT (u/l) 30,9 0 – 41.0 Suhu (0C) Sekitar 36 – 38,5 Tekanan darah (mm Hg) Sekitar 120/80 Nadi (kali/menit) Sekitar 80 – 88 Respirasi (kali/menit) Sekitar 18 - 20
Penatalaksanaan Terapi nonparenteral : Farmasal 100 mg (2x1), Methycobal 250 mg (3x1), Vitamin B1 (3x1), Ciprofloxacin 500 mg (2x1). Terapi parenteral : Ceftriaxone 1 gram (2x1 gram), Vitamin C 200 mg (1x400 mg), Ranitidin 50 mg/2 ml (2x1), Ketorolac 3% (2x1), Ondansetron 8 gram (2x1), Tarontal 100 mg/5 ml (2 ampul/infus), Medixon 125 mg (2x1) selama 5 hari, Methylprednisolone 125 mg (1x125 mg) selama 2 hari.
Penilaian Penggunaan methylprednisolone sebagai imunosupresif menurut literatur adalah 10 – 40 mg dalam beberapa menit dan diulang pada interval tertentu tergantung pada respon. Pada kasus ini, penggunaan methylprednisolone (Medixon®) sekali injeksi adalah 125 mg dan penggunaan lebih dari 48 jam. Hal ini menyebabkan dosis yang terlalu tinggi. DTP yang riil terjadi : Dosis terlalu tinggi.
Rekomendasi Penggunaan methylprednisolone (Somerol®) secara parenteral untuk imonusupresif perlu diturunkan dalam range 10 – 40 mg dan frekuensinya ditingkatkan.
78
Kasus 19 Subyektif
Bapak T, nomor RM 01-92-07-39, usia 80 tahun, dirawat di RS selama 4 hari karena keluhan leher sakit, ibu jari kaki kiri luka. Diagnosa sementara : Sus # v. cervical V
V. excersi bawah kiri Dengan damage. Diagnosa utama : # V cervical 3,4,5.
Obyektif
Pengukuran Hasil Nilai normal Lekosit (ribu/mmk) 7,36 4.10 - 10.90 Eosinofil (%) 3,8 0 - 5.0 Basofil (%) 0,8 0 - 2.0 Segmen (%) 63,0 47.0 - 80.0 Limfosit (%) 27,9 13.0 – 40.0 Monosit (%) 4,5 2.0 – 11.0 SGOT (u/l) 29,3 0 – 37.0 SGPT (u/l) 14,3 0 – 41.0 Suhu (0C) Sekitar 36 – 37 Tekanan darah (mm Hg) Sekitar 120/80-90 Nadi (kali/menit) Sekitar 72 – 84 Respirasi (kali/menit) Sekitar 18 - 20
Penatalaksanaan Terapi nonparenteral : Cefspan 100 mg (2x1), Zaldiar (3x1), Nootropil 800 mg (2x1), Neurosanbe (2x1), Q-ten 100 mg (1x1). Terapi parenteral : Nootropil 3 gram, Remopain 3%, Kedacillin 1 gram, Somerol 250 mg (2x250 mg) selama 1 hari, (1x250 mg) selama 1 hari.
Penilaian Penggunaan methylprednisolone untuk kasus sesak nafas (inflamasi) menurut literature adalah 10 – 40 mg dalam beberapa menit dan diulang pada interval tertentu tergantung pada respon. Pada kasus ini, penggunaan methylprednisolone (Somerol®) sekali injeksi adalah 250 mg. Hal ini menyebabkan dosis yang terlalu tinggi. DTP yang riil terjadi : Dosis terlalu tinggi.
Rekomendasi Penggunaan methylprednisolone (Somerol®) secara parenteral untuk kasus sesak nafas (inflamasi) perlu diturunkan dalam range 10 – 40 mg dan frekuensinya ditingkatkan.
79
Kasus 20 Subyektif
Ibu AS, nomor RM 01-92-07-19, usia 69 tahun, dirawat di RS selama 8 hari karena keluhan ± 10 hari perut terasa sakit, muntah, badan lemas. Diagnosa sementara : Obs, abdominal pain dan vomitus.
Urtikaria alergika, DD : APP, ISK/GSK, Adhexitit. Diagnosa utama : Abdominal pain.
Obyektif
Pengukuran Hasil Keterangan Nilai normal Lekosit (ribu/mmk) 27,99 Tinggi 4.10 – 13.00 Eosinofil (%) 1,5 0 – 5.0 Basofil (%) 1,9 0 – 2.0 Segmen (%) 90,0 Tinggi 47.0 – 80.0 Limfosit (%) 3,1 Rendah 13.0 – 40.0 Monosit (%) 3,5 2.0 – 11.0 SGOT (u/l) 17,6 14 – 56.0 SGPT (u/l) 13,2 9 – 52.0 Suhu (0C) Sekitar 36 – 39 Tekanan darah (mm Hg) Sekitar 130/80 Nadi (kali/menit) Sekitar 80 – 92
Penatalaksanaan Terapi nonparenteral : Vometa (3x1), Tonar (3x1). Legres (1x1), Cetirizine 10 mg (1x1) selama 1 hari. Terapi parenteral : Omeprazole (1x1), Gracef, Delladril (2x1), Kalmethasone 4 mg/ml (2x1) selama 3 hari.
Penilaian Penggunaan cetirizine 10 mg (1x1) selama 1 hari untuk kasus alergi sudah sesuai dengan aturan pemakaian yang lazim yaitu 1x1 tablet per hari. Penggunaan dexamethasone (Kalmethasone®) 4 mg/ml (2x1) selama 3 hari sudah sesuai aturan pemakaian yang lazim untuk kasus nyeri (inflamasi) yaitu 4 – 20 mg.
Rekomendasi Terapi dapat dilanjutkan.
80
Kasus 21 Subyektif
Bapak S, nomor RM 01-92-25-11, usia 45 tahun, dirawat di RS selama 4 hari karena keluhan sakit di leher. Diagnosa sementara : Myalgia. Diagnosa utama : Brakialgia.
Obyektif
Pengukuran Hasil Nilai normal Lekosit (ribu/mmk) 10,47 4.10 - 10.90 Eosinofil (%) 1,3 0 - 5.0 Basofil (%) 0,4 0 - 2.0 Segmen (%) 66,2 47.0 - 80.0 Limfosit (%) 25,8 13.0 – 40.0 Monosit (%) 6,3 2.0 – 11.0 Suhu (0C) Sekitar 36,3 – 37 Tekanan darah (mm Hg) Sekitar 130/90 Nadi (kali/menit) Sekitar 80 - 88
Penatalaksanaan Terapi rawat inap : Terapi nonparenteral : Meloxicam 15 mg (1x1), Myonal 50 mg, Somerol 4 mg (2x1) selama 1 hari. Terapi rawat jalan : Terapi nonparenteral : Meloxicam 15 mg (1x1), Myonal (2x1), Methylprednisolone 4 mg (2x1) selama 6 hari, Yekaneuron (2x1).
Penilaian Penggunaan methylprednisolone (Somerol®) 4 mg (2x1) secara nonparenteral (oral) sudah sesuai aturan pemakaian yang lazim untuk mengatasi rasa sakit (nyeri otot) yaitu 4 – 48 mg per hari. Penggunaan methylprednisolone (Somerol®) bersamaan dengan Meloxicam (pada waktu rawat inap) dan methylprednisolone bersamaan dengan Meloxicam (pada waktu rawat jalan) akan menimbulkan interaksi obat. DTP yang riil terjadi : interaksi obat.
Rekomendasi Hindari pemberian methylprednisolone (Somerol®) bersamaan dengan Meloxicam (pada waktu rawat inap) dan methylprednisolone bersamaan dengan Meloxicam (pada waktu rawat jalan).
81
Kasus 22 Subyektif
Ibu I, nomor RM -98-12-94, usia 77 tahun, dirawat di RS selama 4 hari karena keluhan ± 3 hari sesak nafas. Diagnosa sementara : Obs dyspnea cc COPD. Diagnosa utama : -
Obyektif
Pengukuran Hasil Nilai normal Lekosit (ribu/mmk) 8,94 4.10 – 13.00 Eosinofil (%) 0,4 0 – 5.0 Basofil (%) 0,6 0 – 2.0 Segmen (%) 69,8 47.0 – 80.0 Limfosit (%) 23,3 13.0 – 40.0 Monosit (%) 5,9 2.0 – 11.0 SGOT (u/l) 29,1 14 – 56.0 SGPT (u/l) 10,0 9 – 52.0 Suhu (0C) Sekitar 36 – 37 Tekanan darah (mm Hg) Sekitar 140/90 Nadi (kali/menit) Sekitar 88 Respirasi (kali/menit) Sekitar 18 - 22
Penatalaksanaan Terapi nonparenteral : AP caps (3x1), Becombion F (1x1), Meptin (3x ¼), Fluimucil (2x1), Furosemid (1/2-0-0), Medixon 4 mg (2x1) selama 3 hari. Terapi parenteral : AP injeksi (1x), Ceftriaxone (1x1), Methylprednisolone 125 mg (2x ½ flakon) selama 3 hari. Terapi inhalasi : Combivent + Flixotide (3x1)
Penilaian • Penggunaan methylprednisolone (Medixon®) 4 mg (2x1) secara nonparenteral (oral)
selama 3 hari sudah sesuai aturan pemakaian yang lazim untu kasus sesak nafas yaitu 4 – 48 mg per hari.
• Penggunaan methylprednisolone untuk kasus sesak nafas (inflamasi) menurut literature adalah 10 – 40 mg dalam beberapa menit dan diulang pada interval tertentu tergantung pada respon. Pada kasus ini, penggunaan methylprednisolone sekali injeksi adalah 62,5 mg. Selain itu juga mendapatkan Medixon® secara oral. Hal ini menyebabkan dosis yang terlalu tinggi.
• Penggunaan methylprednisolone dan Medixon® bersamaan dengan Furosemid akan menimbulkan interaksi obat.
DTP yang riil terjadi : dosis terlalu tinggi dan interaksi obat.
Rekomendasi Penggunaan methylprednisolone perlu diturunkan dosisnya menjadi 10 – 40 mg dalam sekali pemberian. Hindari pemberian methylprednisolone dan Medixon® secara bersamaan dengan Furosemid. Dan perlu selalu dilakukan monitoring tekanan darah.
82
Kasus 23 Subyektif
Ibu PM, nomor RM 01-90-07-65, usia 68 tahun, dirawat di RS selama 4 hari karena keluhan penurunan kesadaran dan syok septic. Diagnosa sementara : DM dengan eritrodema dengan syok septic. Diagnosa utama : -
Obyektif
Tanggal Pengukuran 21/9 24/9 Nilai normal
Lekosit (ribu/mmk) 22,0 (T) 29,8 (T) 4.10 – 13.00 Eosinofil (%) 2,0 0 – 5.0 Basofil (%) 0 0 – 2.0 Segmen (%) 75 47.0 – 80.0 Limfosit (%) 21 13.0 – 40.0 Monosit (%) 2,0 2.0 – 11.0 SGOT (u/l) 215,5 (T) 14 – 56.0 SGPT (u/l) 67,0 (T) 9 – 52.0 Suhu (0C) Sekitar 37 – 39 Tekanan darah (mm Hg) Sekitar 140/80 Nadi (kali/menit) Sekitar 88
Penatalaksanaan Terapi nonparenteral : Histrine 10 mg (1x1) selama 5 hari, Metformin 5 mg (1x1), Paracetamol 500 mg (3x1), Ambroxol (3x1), Methylprednisolone 16 mg (1-0-0) selama 5 hari, Levofloxacin (1x1). Terapi parenteral : Ceftazidime (2x1 gram), Ranitidine (2x1), Vitamin C (2x200 mg), Methylprednisolone 125 mg (1x125 mg) selama 5 hari, Gentamicin, Kalnex (3x1 ampul). Terapi inhalasi : Combivent + Flixotide (2x1)
Penilaian • Penggunaan cetirizine (Histrine®) 10 mg (1x1) secara oral selama 5 hari untuk kasus
alergi sudah sesuai dengan aturan pemakaian yang lazim yaitu 1x1 per hari. • Penggunaan methylprednisolone 16 mg (1-0-0) selama 5 hari sudah sesuai aturan
pemakaian yang lazim untuk kasus sesak nafas yaitu 4 – 48 mg per hari. • Penggunaan methylprednisolone bersamaan dengan Metformin (Obat antidiabetes
oral) akan berpotensi menimbulkan interaksi obat. • Penggunaan methylprednisolone untuk sebagai imunosupresif menurut literatur
adalah 10 – 40 mg dalam beberapa menit dan diulang pada interval tertentu tergantung pada respon. Pada kasus ini, penggunaan methylprednisolone sekali injeksi adalah 125 mg. Pemberian methylprednisolone selama 5 hari. Selain itu juga mendapatkan methylprednisolone secara oral. Hal ini menyebabkan dosis yang terlalu tinggi.
DTP yang riil terjadi : interaksi obat dan dosis terlalu tinggi.
Rekomendasi Hindari penggunaan methylprednisolone bersamaan dengan Metformin (Obat Antidiabetes Oral). Penggunaan methylprednisolone perlu diturunkan dosisnya menjadi 10 – 40 mg dalam sekali pemberian meningkatkan frekuensi pemberian. Perlu dibatasi durasi pemberiannya.
83
BIOGRAFI PENULIS
Robertus Bambang Kurniawan merupakan anak ketiga
dari pasangan Andreas Avellino Sujadi dan Christiana
Tumiyatmi, lahir di Klaten pada tanggal 20 April 1987.
Pendidikan awal dimulai di Taman Kanak-Kanak Pertiwi
Cucukan pada tahun 1991 – 1993. Dilanjutkan ke jenjang
pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 2 Cucukan pada
tahun 1993 – 1999. Selanjutnya ke jenjang pendidikan Sekolah Menengah
Pertama 1 Prambanan pada tahun 1999 – 2002. Kemudian ke jenjang pendidikan
Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Klaten pada tahun 2002 – 2005. Selanjutnya
pada tahun 2005 melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi di Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan menyelesaikan masa studi pada tahun
2008. Penulis pernah menjadi Asisten Praktikum Kimia Analisis (2007).
top related