faktor ekonomi sosial pada kesakitan dan kematian
Post on 27-Nov-2015
165 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dugaan bahwa lingkungan dan perilaku berperan penting dalam
epidemiologi penyakit baik itu penyakit menular maupun penyakit yang tidak
menular, telah ada lama sebelum pengetahuan mengenai penyebab penyakit itu
sendiri. Merupakan suatu kenyataan yang diterima bahwa jenjang pekerjaan,
status sosial dan ekonomi mempunyai hubungan yang jelas dengan kematian dan
kesakitan. Namun sayangnya hanya sedikit usaha yang dilakukan untuk
mengetahui lebih jauh faktor-faktor sosial ekonomi apa saja yang mempengaruhi
kesakitan dan kematian, dan diantara faktor-faktor tersebut yang mana yang
paling menentukan hubungan ini.
B. TUJUAN
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah agar mahasiswa dapat
mengetahui faktor-faktor sosial-ekonomi apa saja yang berpengaruh pada
kesakitan dan kematian.
C. MANFAAT
Dengan mengetahui faktor-faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi
kesakitan dan kematian, diharapkan dapat mengambil sikap maupun kebijakan
yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menurunkan angka kesakitan
(morbiditas) dan angka kesakitan (mortalitas).
D. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana faktor sosial-ekonomi dapat mempengaruhi kesakitan dan
kematian.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. KEMATIAN (MORTALITAS)
Mortalitas atau kematian merupakan salah satu dari tiga komponen
demografi selain fertilitas dan migrasi, yang dapat mempengaruhi jumlah dan
komposisi umur penduduk.Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan
kematian sebagai suatu peristiwa menghilangnya semua tanda-tanda kehidupan
secara permanen, yang bisa terjadi setiap saat setelah kelahiran hidup.
Mortalitas adalah ukuran jumlah kematian (umumnya, atau karena akibat
yang spesifik) pada suatu populasi, skala besar suatu populasi, per dikali satuan.
Mortalitas khusus mengekspresikan pada jumlah satuan kematian per 1000
individu per tahun, hingga, rata-rata mortalitas sebesar 9.5 berarti pada populasi
100.000 terdapat 950 kematian per tahun. Mortalitas berbeda dengan morbiditas
yang merujuk pada jumlah individual yang memiliki penyakit selama periode
waktu tertentu.
Mortalitas atau kematian dapat menimpa siapa saja, tua, muda, kapan dan
dimana saja. Kasus kematian terutama dalam jumlah banyak berkaitan dengan
masalah sosial, ekonomi, adat istiadat maupun masalah kesehatan lingkungan.
Indikator kematian berguna untuk memonitor kinerja pemerintah pusat maupun
lokal dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Penyebab kematian dewasa umumnya disebabkan karena penyakit menular,
penyakit degeneratif, kecelakaan atau gaya hidup yang beresiko terhadap
kematian. Kematian bayi dan balita umumnya disebabkan oleh penyakit sistim
pernapasan bagian atas (ISPA) dan diare, yang merupakan penyakit karena infeksi
kuman. Faktor gizi buruk juga menyebabkan anak-anak rentan terhadap penyakit
menular, sehingga mudah terinfeksi dan menyebabkan tingginya kematian bayi
dan balita di sesuatu daerah.
Faktor sosial ekonomi seperti pengetahuan tentang kesehatan, gizi dan
kesehatan lingkungan, kepercayaan, nilai-nilai, dan kemiskinan merupakan faktor
individu dan keluarga, mempengaruhi mortalitas dalam masyarakat (Budi
2
Oetomo, 1985). Tingginya kematian ibu merupakan cerminan dari ketidaktahuan
masyarakat mengenai pentingnya perawatan ibu hamil dan pencegahan terjadinya
komplikasi kehamilan.
B. KESAKITAN (MORBIDITAS)
Kesakitan atau morbiditas dalam arti sempit dimaksudkan sebagai peristiwa
sakit atau kesakitan sedangkan dalam arti luas, morbiditas selain mencakup
statistik dan peristiwa kesakitan juga meliputi berbagai faktor yang
mempengaruhinya (determinant factors) seperti faktor ekonomi, sosial dan
budaya. Pembahasan ini menekankan morbiditas dalam arti sempit. Sakit (illness)
merupakan suatu kondisi ‘tidak sehat’. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO),
‘sehat’ didefinisikan sebagai suatu keadaan sejahtera fisik, mental serta sosial dan
tidak sekadar bebas dari cacat dan penyakit (McMahon and Pugh, 1970). Dalam
praktiknya, definisi ini selalu disesuaikan dengan kemampuan diagnostik yang
tersedia umumnya lebih menitikberatkannya pada pengukuran penyakit (disease)
secara klinik.
C. TEORI FAKTOR SOSIAL EKONOMI PADA KESEHATAN
1. Dahlgren dan Whitehead, 1991
Menurut Dahlgren dan Whitehead, 1991, memberikan konsep faktor sosial
ekonomi sebagai salah satu penentu kesehatan dan penyakit. Dari gambar 1,
umur, jenis kelamin dan keturunan akan mempengaruhi gaya hidup perorangan
(individual lifestyle). Gaya hidup perorangan ini akan membentuk kelompok
sosial (social and community influences) yang sangat berpengaruh terhadap
kondisi kehidupan dan pekerjaan orang lain (living and working conditions)
sehingga membentuk suatu keadaan sosial ekomomik, budaya dan kondisi
lingkungan (general socioeconomic, cultural and environmental conditions).
Jadi, jika banyak individu yang memiliki kebiasaan hidup sehat akan
mempenaruhi keadaan sosial ekonomi suatu daerah ataupun bangsa.
3
Gambar 1. Konsep Faktor Sosial Ekonomi terhadap Kesehatan menurut
Dahlgren dan Whitehead, 1991
2. Turrell et al. 1999
Menurut Turrell et al. 1999, memberikan konsep banyak faktor yang
menyebabkan risiko kesakitan dan kematian seseorang. Faktor penentu
kesehatan (determinants of health) seperti faktor sosial ekonomi, fisik, dan
lingkungan mempengaruhi pendidikan seseorang (education), pekerjaan,
kondisi bekerja, pendapatan, lingkungan perumahan, yang kemudian akan
mempengaruhi kesehatannya baik itu tingkat kesakitan (morbidity), tingkat
kematian (mortality), harapan hidup (life expectancy) dan kualitas hidup
(quality of life) seseorang.
4
Gambar 2. Konsep Faktor Sosial Ekonomi terhadap Kesehatan menurut
3. Tony Blakely, 2001
Menurut Tony Blakely, 2001, memberikan konsep tentang hubungan dari
faktor sosial ekonomi dengan kematian (mortality), lihat gambar 3. Pendidikan
merupakan dasar dari segala hal. Pendidikan (education) akan mempengaruhi
status pekerjaan seseorang, begitu seterusnya hingga dapat mrmpengaruhi
risiko kematian seseorang.
5
Gambar 3. Konsep Tentang Hubungan Dari Faktor Sosial Ekonomi Dengan
Kematian (Mortality) menurut Tony Blakely, 2001,
Tingkat sosial ekonomi yang rendah mempunyai resiko terkena penyakit
infeksi sedangkan tingkat sosial ekonomi yang tinggi mempunyai resiko terkena
penyakit hipertensi, penyakit jantung koroner, gangguan kardiovaskuler dll,
karena pada dengan tingkat sosial ekonomi yang tinggi mempunyai
kecenderungan untuk terjadinya perubahan pola konsumsi makanan dengan kadar
kolesterol tinggi.
1. Gambaran pola penyakit penyebab utama kematian di Indonesia dari hasil
SKRT 2001 telah menunjukkan perubahan dari penyakit infeksi menjadi
penyakit degeneratif.
2. Gambaran transisi epidemiologi beragam menurut daerah tempat tinggal
(desa-kota). Transisi demografi tampak lebih nyata dalam kurun waktu 10
tahun di pedesaan daripada di perkotaan. Transisi di perdesaan secara nyata
6
terjadi pada tahun 2000 (hasil SKRT 2001), sedangkan di perkotaan proses
transisi sudah dimulai pada tahun-tahun sebelumnya dan perubahan dominasi
terjadi pada tahun 1994.
3. Permasalahan kesehatan yang dihadapi oleh pemerintah saat ini adalah beban
ganda (double burden) yaitu penyakit infeksi dan non-infeksi/degeneratif, dan
berat beban di perkotaan dan pedesaan tidak sama. Di perkotaan prioritas
penanganan ditujukan terhadap penyakit degeneratif tanpa mengabaikan
beberapa penyakit infeksi yang masih tinggi seperti tuberkulosis dan hepatitis
virus. Di pedesaan, prioritas penanganan ditujukan kepada penyakit infeksi
dan sirkulasi.
D. FAKTOR SOSIAL
Menurut Julianne Holt-Lunstad (tahun 2000), melalui data penelitian
sebanyak 308.849 orang, diikuti selama rata-rata 7,5 tahun, menunjukkan bahwa
individu dengan hubungan sosial yang memadai memiliki kemungkinan 50%
lebih besar untuk bertahan hidup dibandingkan dengan mereka yang hubungan
sosial yang buruk atau tidak cukup. Besarnya efek ini sebanding dengan keadaan
berhenti merokok dan itu lebih banyak faktor risiko untuk kematian (misalnya,
obesitas, aktivitas fisik). Temuan ini juga mengungkapkan variabilitas yang
signifikan dalam memprediksi variabel hubungan sosial, dengan penilaian
multidimensi integrasi sosial yang optimal ketika menilai risiko individu terhadap
kematian dan bukti bahwa isolasi sosial memiliki pengaruh yang sama pada
kematian untuk ukuran lain dalam hubungan sosial. Efek keseluruhan tetap
konsisten di sejumlah faktor, termasuk usia, jenis kelamin, status kesehatan awal,
tindak lanjut periode, dan penyebab kematian, menunjukkan bahwa hubungan
antara hubungan sosial dan kematian mungkin umum, dan upaya untuk
mengurangi risiko tidak seharusnya diisolasi untuk sub kelompok tertentu seperti
pengelompokkan orang tua.
Untuk menggambarkan, beberapa dekade yang lalu tingkat kematian tinggi
diamati pada bayi dalam perawatan kustodian (yaitu, panti asuhan), bahkan ketika
mengendalikan untuk kondisi kesehatan yang sudah ada dan perawatan medis.
7
Kurangnya kontak manusia meramalkan kematian. Profesi medis terkejut
mengetahui bahwa bayi akan mati tanpa interaksi sosial. Temuan sederhana ini,
bertanggung jawab untuk perubahan dalam praktek dan kebijakan yang nyata
dalam menurun angka kematian untuk pengaturan perawatan kustodian.
Kedokteran kontemporer juga bisa mendapatkan manfaat dari mengetahui data:
hubungan sosial mempengaruhi hasil kesehatan dari orang dewasa.
Dokter, tenaga profesional, pendidik, dan media publik menelitil faktor
risiko dari merokok, diet, dan berolahraga, serta faktor hubungan sosial Dengan
mengetahui hal tersebut, evaluasi medis dan pemeriksaan secara rutin dapat
mencakup variabel kesejahteraan sosial; perawatan medis bisa merekomendasikan
jika tidak langsung meningkatkan hubungan sosial, seperti di rumah sakit dan
klinik dapat melibatkan jaringan dukungan pasien dalam menerapkan dan
memantau rejimen pengobatan dan kepatuhan, kebijakan kesehatan perawatan dan
inisiatif kesehatan masyarakat juga dapat memperoleh manfaat dari faktor sosial
dalam upaya yang bertujuan untuk mengurangi risiko kematian.
Penelitian ini menegaskan morbiditas (kesakitan) yang memiliki hubungan
negatif dengan kesejahteraan ekonomi. Di sisi lain, wanita yang lebih tua, orang
yang belum menikah, tinggal di daerah perkotaan dan tidak memiliki partisipasi
dalam kegiatan sosial dan keagamaan mempunyai risiko lebih tinggi mengalami
masalah kesehatan dan morbiditas (kesakitan). Seorang individu dari usia muda
harus dilatih untuk mengadopsi kebiasaan makan yang sehat dan berolahraga
teratur sehingga menjadi gaya hidup yang dapat membuat umur panjang dan
sehat.
Program sekolah dapat disesuaikan untuk membentuk pikiran generasi
muda yang sehat, sedangkan untuk kelompok usia yang lebih tua kampanye sadar
akan kesehatan harus lebih banyak dilakukan. Selain memakan makanan dengan
menu seimbang, kita juga harus berolahraga secara teratur. Ini akan membantu
untuk menjaga kesehatan fisik. Untuk memastikan pikiran dan jiwa yang sehat,
maka kegiatan sosial politik dan agama perlu didorong. Orang yang lebih tua,
yang masih memiliki kapasitas untuk berpikir dan membuat keputusan, akan
dapat berpartisipasi aktif dan tidak terhalang oleh keadaan fisik yang menurun.
8
Namun yang paling penting, jika keadaan ekonomi orang tersebut itu baik maka
akan menentukan kapasitasnya untuk membeli medis dan perawatan kesehatan,
menyediakan asuransi kebutuhan sehari-hari, dan lain-lain. Dana pensiun
kemungkinan besar menurun, oleh karena itu, kita harus merencanakan sejak usia
muda untuk menabung, berinvestasi sehingga masa pensiun menjadi nyaman.
E. FAKTOR SOSIAL EKONOMI MEMPENGARUHI MORTALITAS
DAN MORBIDITAS PADA BAYI BARU LAHIR
Faktor-faktor yang meningkatkan risiko bayi baru lahir menderita diare,
ispa, pneumoni adalah pendidikan ibu tidak sekolah/tidak tamat SD, pendapatan
keluarga menengah ke bawah, tinggal di pedesaan, tidak mendapatkan pelayanan
kunjungan neonatal pertama. Faktor-faktor yang meningkatkan risiko bayi baru
lahir (neonatal) meninggal adalah berat badan lahir rendah dan pendidikan ibu
tidak sekolah/tidak tamat SD. Untuk meningkatkan kelangsungan hidup bayi baru
lahir perlu dilakukan upaya berikut:
1. Pendidikan perempuan, karena dengan pendidikan yang baik akan mengubah
perilaku ibu sehingga lebih mampu menjaga kehamilannya, memilih
penolong persalinan yang tepat, dan merawat bayi lebih baik.
2. Peningkatan status ekonomi masyarakat, sehingga pendapatan keluarga
meningkat dan keluarga mampu mampu memenuhi gizi yang cukup untuk ibu
hamil dan keluarga serta menggunakan pelayanan kesehatan yang
profesional.
3. Peningkatan keterampilan dan penyegaran keilmuan untuk bidan desa, bidan
puskesmas, dan bidan rumah sakit untuk mendeteksi gangguan kesehatan ibu
secara dini, menangani kasus risiko tinggi, menangani gang-guan pernapasan
pada bayi lahir dan menangani bayi BBLR.
4. Penilaian kinerja Puskesmas dengan kualifikasi Pela-yanan Obstetrik
Neonatal Emergensi Dasar (PONED) dan rumah sakit kabupaten dengan
kualifikasi Pelayanan Obstetrik Neonatal Emergensi Komprehensif
(PONEK), serta Rumah Sakit Gerakan Sayang Ibu.
9
5. Pemberian dana bantuan untuk rakyat miskin difokuskan pada peningkatan
pelayanan kesehatan seperti pemenuhan gizi ibu hamil dan menyusui,
penanganan infeksi kronis pada ibu hamil, serta penanganan kasus bayi lahir
dengan BBLR secara komprehensif.
F. FAKTOR SOSIAL EKONOMI MEMPENGARUHI KESAKITAN DAN
KEMATIAN AKIBAT TUBERKULOSA
Dugaan bahwa lingkungan berperan dalam epidemiologi dari penyakit
tuberkulosa telah ada lama sebelum pengetahuan mengenai penyebab penyakit itu
sendiri. Merupakan kenyataan bahwa jenjang pekerjaan dan status ekonomi
mempunyai hubungan yang jelas dengan kematian akibat tuberkulosa, seperti juga
dengan kesakitannya. Ada beberapa hal yang menyebabkan tingginya penularan
tuberkulosa yaitu kepenuh-sesakan, keadaan rumah yang tidak memadai,
rendahnya gizi, terlalu lelah bekerja, dan semakin dekat dengan sumber penularan.
Namun sangat sulit untuk memisahkan faktor-faktor ini, karena kelompok yang
keadaan ekonominya rendah biasanya merupakan buruh kasar yang harus bekerja
keras menderita pula akibat kepenuhsesakan, keadaan rumah yang buruk dan
kurang gizi.
Dari hasil-hasil penelitian yang disajikan, menunjukkan bahwa orang-orang
yang berada pada tingkat hidup yang lebih baik memiliki kesehatan yang lebih
baik pula dibandingkan dengan mereka yang hidup dalam kemiskinan,
ketebelakangan, kepenuhsesakan dan terlupakan dalam hal sanitasi. Dari hasil
penelitian, untuk menanggulangi masalah penyakit tuberkulasa, Indonesia perlu
lebih banyak bergantung pada perkembangan ilmu kedokteran, khususnya
penemuan obat-obatan baru yang lebih cepat menyembuhkan, dari semata-mata
menggantungkan diri pada pertumbuhan dan perbaikan ekonomi. Hal ini tidak
bertentangan dengan kenyataan yang ada, karena jasa-jasa kesehatan telah cukup
ampuh dalam menanggulangi penyakit menular. (Fuchs, 1962).
10
BAB III
PENUTUP
Tingkat sosial ekonomi yang rendah mempunyai resiko terkena penyakit
infeksi, karena higiene dan sanitasi lingkungannya sangat rendah, sedangkan
tingkat sosial ekonomi yang tinggi mempunyai resiko terkena penyakit hipertensi,
penyakit jantung koroner, gangguan kardiovaskuler dll, karena pada tingkat sosial
ekonomi yang tinggi mempunyai kecenderungan untuk terjadinya perubahan pola
konsumsi makanan dengan kadar kolesterol tinggi.
1. Gambaran pola penyakit penyebab utama kematian di Indonesia dari hasil
SKRT 2001 telah menunjukkan perubahan dari penyakit infeksi menjadi
penyakit degeneratif.
2. Gambaran transisi epidemiologi beragam menurut daerah tempat tinggal
(desa-kota). Transisi demografi tampak lebih nyata dalam kurun waktu 10
tahun di pedesaan daripada di perkotaan. Transisi di perdesaan secara nyata
terjadi pada tahun 2000 (hasil SKRT 2001), sedangkan di perkotaan proses
transisi sudah dimulai pada tahun-tahun sebelumnya dan perubahan dominasi
terjadi pada tahun 1994.
3. Permasalahan kesehatan yang dihadapi oleh pemerintah saat ini adalah beban
ganda (double burden) yaitu penyakit infeksi dan non-infeksi/degeneratif, dan
berat beban di perkotaan dan pedesaan tidak sama. Di perkotaan prioritas
penanganan ditujukan terhadap penyakit degeneratif tanpa mengabaikan
beberapa penyakit infeksi yang masih tinggi seperti tuberkulosis dan hepatitis
virus. Di pedesaan, prioritas penanganan ditujukan kepada penyakit infeksi
dan sirkulasi.
11
DAFTAR PUSTAKA
Blakely, T., Kennedy, B., & Kawachi, I. 2001. Socio-economic inequality in voting participation and self-rated health. Am J Public Health, 91, 99-104.
Dahlgren, G., & Whitehead, M. 1991. Policies and Strategies to Promote SocialEquity in Health. Institute for Future Studies. Stockholm.
Fuchs, Victor R. 1972. The Contribution of Health Service to the American Economy. Essay in the Economic of Health and Medical Care. National Bureau of Economic Research. New York.
Prijono T, Budhi S. 2008. Ekonomi Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta
Turrell, G., Oldenburg, B., McGuffog, I., & Dent, R. (1999). Socioeconomic determinants of health: towards a national research program and a policy andintervention agenda. Centre for Public Health Research, School ofPublic Health, Queensland University of Technology (in association with theHealth Inequalities Research Collaboration). Canberra.
12
top related