fakultas hukum...pendidikan budaya anti korupsi cetakan pertama - 2018 pendidikan budaya anti...
Post on 25-Dec-2020
6 Views
Preview:
TRANSCRIPT
FAKULTAS HUKUM
Pendidikan BUDAYA ANTI KORUPSI
Cetakan Pertama - 2018
Dr. Agus Surono, SH, MH Dr. Maslihati Nur Hidayati, SH, MH
PENDIDIKAN BUDAYA ANTI KORUPSI
Cetakan Pertama - 2018
PENDIDIKAN BUDAYA ANTI KORUPSI
Fakultas Hukum
Dr. Agus Surono, SH, MH Dr. Maslihati Nur Hidayati, SH, MH
ISBN : 978-602-0974-09-5
KATA PENGANTAR .................................................................................................
DAFTAR ISI................................................................................................................
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
BAB V
BAB VI
BAB VII
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN..................................................................................
TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN...................
PENANAMAN NILAI NILAI KEJUJURAN DAN PENDIDIKAN
ANTI KORUPSI....................................................................................
NILAI - NILAI ANTI KORUPSI DALAM PENDIDIKAN.............
STRATEGI PEMBERANTASAN KORUPSI MELALUI BUDAYA
ANTI KORUPSI......................................................................................
PENGATURAN TENTANG BUDAYA ANTI KORUPSI MENU-
RUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA...........................................
PENUTUP ...............................................................................................
iii
i
iii
1
9
17
23
39
51
97
101
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat dan ketertiban merupakan dua hal yang berhubungan sangat erat bagaikan
dua sisi dari satu mata uang. Sulit untuk mengatakan adanya masyarakat tanpa ada suatu
ketertiban. Ketertiban dalam masyarakat diciptakan bersama-sama oleh berbagai lembaga,
seperti hukum dan tradisi. Oleh karena itu dalam masyarakat juga dijumpai berbagai macam
norma yang masing-masing memberikan peranan dalam menciptakan ketertiban itu.1 Korupsi
sebagai bentuk penyalahgunaan kedudukan (jabatan), kekuasaan, kesempatan untuk memenuhi
kepentingan diri sendiri dan atau kelompoknya yang bertentangan dengan kepentingan
masyarakat.2
Indonesia merupakan negara yang berada dalam satu posisi penguasaan trihibrid, yaitu
posisi dimana terdapat tiga aspek yang berbeda sifatnya, yaitu politik, hukum dan korupsi yang
menyatu. Korupsi merupakan kontruksi sosial bersifat struktural, dan diduga korupsi kalangan
masyarakat bawah sebagai kontruksi sosial terkait pengaruh korupsi kalangan masyarakat atas
(elite sosial ekonomi), seperti pemimpin dan tokoh masyarakat lainnya.3
Dua faktor penyebab timbulnya tindak pidana korupsi dipengaruhi faktor-faktor obyektif
yang mendorong perbuatan korupsi antara lain tidak adanya ketertiban dalam segala bidang,
lemahnya organisasi aparatur pemerintahan, aparatur penegak hukum dan peradilan maupun
aparatur perekonomian negara, lemahnya pengawasan, dan sebagainya. Disamping faktor-faktor
obyektif tadi, faktor subyektif yang mendorong perbuatan korupsi adalah sifat-sifat perorangan:
mental yang lemah, moral yang rendah dan nafsu duniawi yang tidak terkendali.4 Korupsi sudah
menjadi bagian dari “sistem” yang ada, karenanya usaha maksimal bagi penegakan hukum ,
khususnya pemberantasan tindak pidana korupsi, harus dilakukan dengan pendekatan sistem
1 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000. Hlm. 13.2 RB. Soemanto, dkk. Pemahaman Masyarakat tentang Korupsi, Jurnal Yustisia, Vol. 88, (April, 2014). Hlm.
80.3 Ibid.,4 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya),
(Bandung: PT. Alumni, 2007), hlm. 2.
2
yang dikaitkan dengan peranan institusi peradilan yang sangat menentukan sebagai salah satu
institusi penegakan hukum dalam proses akhir pemberantasan korupsi.5
Sistem haruslah ditelaah sebagai suatu kesatuan yang meliputi tindakan re-evaluasi,
reposisi dan pembaharuan (reformasi) terhadap struktur (Structure), substansi (Substance)
hukum dan khususnya budaya hukum (Legal Culture) sebagai cermin etika dan integritas
penegakan hukum. Systemic Approach sebagai bahan untuk memecahkan persoalan hukum
(legal issue) atau penyelesaian hukum (legal solution), maupun pendapat hukum (legal opinion).
Legal Culture (budaya hukum ) merupakan aspek signifikan yang melihat bagaimana masyarakat
menganggap ketentuan sebagai civic-minded sehingga masyarakat akan selalu taat dan sadar
pentingnya hukum sebagai suatu regulasi umum. Persoalan korupsi sebagai budaya hukum ini
berkaitan erat dengan etika, moral masyarakat, khususnya pejabat penegak hukum. Pendekatan
struktur dan Substansif tidak akan berhasil apabila tidak diikuti secara bersamaan dengan
pendekatan budaya dan etika dari penegak hukum itu sendiri yang sering terkontaminasi dengan
soal suap.6
Selanjutnya, tindakan secara terintegrasi dari lembaga penegak hukum harus memiliki
suatu balanced and equal of power, suatu kewenangan yang berimbang dan sama diantara para
penegak hukum. Hal ini untuk menghindari diskriminasi kewenangan lembaga yang justru akan
melemahkan penegakan hukum terhadap korupsi, selain itu justru diskrimansi kewenangan akan
menimbulkan disintegrasi penegakan hukum. Kewenangan diskriminatif antara KPK disatu sisi,
dengan Kejaksaan Agung/Polri disisi lain harus ditiadakan. Pendekatan system up-down dalam
pemberantasan korupsi merupakan karakter representasi keseriusan Negara dalam
pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi, sebagaimana Konvensi PBB 1985, harus
dimulai dari upper power class dan upper economic class dengan memperhatikan prinsip-prinsip
praduga tidak bersalah.7
Berdasarkan beberapa permasalahan diatas, sangat berarti peran kebijakan kriminal
(criminal policy) melalui pendekatan non-penal, yaitu dengan meningkatkan langkah kampanye
anti korupsi seperti sebagai bagian dari pencegahan tindak pidana korupsi, antara lain melalui
pendekatan antara masyarakat khususnya dunia pendidikan dari berbagai level mulai dari SD,
5 Ibid.,6 Ibid., Hlm. 68.7 Ibid. Hlm. 69.
3
SMP, SMA, Mahasiswa, pers (sebagai social power) dan institusi kenegaraan (sebagai political
power), mengingat masalah korupsi di Indonesia sekarang ini sudah tidak dapat dikatakan lagi
sebagai persoalan eksekutif saja, tetapi sudah terkontaminasi sebagai institusi kenegaraan
lainnya, baik itu legislatif, yudikatif maupun institusi negara non departemen.
Pengertian pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dijelaskan dalam Pasal 1 angka 3
Bab Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002:
“Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah
dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor,
penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan
peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Memperhatikan definisi tentang pemberantasan tindak pidana korupsi di dalam Pasal 1
angka 3 Bab Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 disebutkan tentang
pengertian pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu serangkaian tindakan untuk mencegah
dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor,
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, bahkan lebih luas
lagi pendefinisian tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dengan adanya peran serta
masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan ketentuan Pasal 41 dan Pasal 42 Bab V
tentang Peran Serta Masyarakat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Pasal 41 dinyatakan
bahwa:
1) Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana korupsi
2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk:
a. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah
terjadi tindak pidana korupsi.
b. Hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan
informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak
hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi.
4
c. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada
penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
d. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang
diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;
e. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal;
1) Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c;
2) Diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan disidang
pengadilan sebagai saksi pelapor.
3) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak dan tanggung jawab
dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
4) Hak dan tanggungjawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan
dengan berpegang teguh pada asas-asas atau ketentuan yanng diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama dan norma sosial
lainnya.
5) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Selanjutnya Pasal 42,dinyatakan bahwa:
1) Pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa
membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi.
2) Ketentuan mengenai penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Tindak pidana korupsi di Indonesia telah digolongkan sebagai kejahatan luar biasa atau
extraordinary crimes, karena alasan-alasan sebagai berikut:
Pertama, masalah korupsi di Indonesia sudah berakar dalam kehidupan kita berbangsa
dan bernegara, sehingga penegakan hukum secara konsisten dan pemberantasan KKN harus
dilakukan.8 Kedua, korupsi yang telah berkembang demikian pesatnya bukan hanya merupakan
8 Ibid. Hlm, 29.
5
masalah hukum semata-mata melainkan sesungguhnya merupakan pelanggaran atas hak-hak
ekonomi sosial masyarakat Indonesia.
Ketiga, kebocoran APBN selama 4 (empat) Pelita sebesar 30% telah menimbulkan
kemiskinan dan kesenjangan sosial yang besar dalam kehidupan masyarakat karena sebagian
terbesar rakyat tidak dapat menikmati hak yang seharusnya ia peroleh.9 Keempat, penegakan
hukum terhadap korupsi dalam kenyataannya telah diberlakukan secara diskriminatif baik
berdasarkan status sosial maupun berdasarkan latar belakang politik seorang tersangka atau
terdakwa.10 Kelima, korupsi di Indonesia dalam era perdagangan global dewasa ini merupakan
hasil kolaborasi antara sektor publik dan sektor swasta.11
Untuk melakukan penanggulangan tindak pidana korupsi maka masyarakat dapat
berperan serta aktif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Peran serta masyarakat
sebelumnya telah diatur dalam Pasal 8 ayat 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor. 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi,
Nepotisme, yang menyatakan bahwa peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan Negara
merupakan hak dan tanggungjawab masyarakat untuk ikut mewujudkan penyelenggaraan Negara
yang bersih12. Bentuk peran serta masyarakat telah pula diatur lebih lanjut dalam Pasal 2
Peraturan Pemerintah RI No.68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta
Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara, yang menyatakan bahwa peran serta masyarakat
dalam penyelenggaraan Negara untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih
dilaksanakan dalam bentuk :
a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi mengenai penyelenggara
Negara;
b. hak memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari Penyelenggara Negara ;
c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab terhadap kebijakan
penyelenggara Negara;dan d. hak memperoleh perlindungan dalam hal :
9 Ibid.,
10 Ibid.,
11 Ibid. Hlm. 30.12. Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor.75.
6
1). Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c;
2). Meminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan
sebagai saksi pelapor, saksi atau saksi ahli sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dalam beberapa ketentuan tersebut di atas telah secara jelas diatur bentuk peran serta
masyarakat dalam pemberantasan dan pencegahan tindak pidana korupsi, meskipun Peraturan
Pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 41 Undang-Undang RI Nomor 31. Tahun
1999 di atas belum diterbitkan. Selanjutnya paragraf 12 penjelasan Undang-Undang Nomor. 31
Tahun 1999 menyatakan bahwa undang-undang ini juga memberi kesempatan yang seluas-
luasnya kepada masyarakat berperan serta untuk membantu upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi, dan terhadap anggota masyarakat yang berperan serta
tersebut diberikan perlindungan hukum dan penghargaan.
Namun demikian, dalam pelaksanaannya peran serta masyarakat dinilai belum mampu
secara optimal berperan dalam usaha pencegahan tindak pidana korupsi di Indonesia. Disisi lain,
keberadaan peraturan yang ada juga belum mampu mengoptimalkan kedudukan masyarakat dan
bentuk peran serta masyarakat dalam menjadikan pencegahan tindak pidana korupsi sebagai
sebuah budaya anti korupsi yang semestinya dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan yang lebih
nyata. Pengaturan tentang budaya anti korupsi masih belum secara eksplisit terdapat dalam
berbagai jenis peraturan perundang-undangan sector pendidikan dan juga pengaturan tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi. Secara lebih khusus didalam UU No. 31 Tahun 1999 jo
UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi belum memberikan
amanat yang lebih eksplisit terkait budaya anti korupsi, dimana pengaturan tentang persoalan
korupsi lebih cenderung mengatur mengatur tentang hokum materielnya dan juga tentang
pemberantasannya. Padahal penyelesaian persoalan korupsi tidak hanya dapat diselesaikan dari
aspek pemberantasannya saja, namun justru semestinya harus secara lebih jelas dan terstruktur
diatur tentang pencegahannya yang dalam hal ini mengatur tentang peran serta masyarakat dan
juga stakeholder terkait dalam membudayakan budaya anti korupsi sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dalam pendidikan anti korupsi. Buku ini merupakan hasil penelitian tentang budaya
anti korupsi dengan judul “Pendidikan Budaya Anti Korupsi Di Indonesia”.
7
B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan tentang pendidikan budaya anti korupsi di Indonesia menurut
peraturan yang berlaku?
2. Bagaimanakah peran pemerintah dalam pendidikan budaya anti korupsi di masyarakat
guna mendukung dan mendorong pencegahan tindak pidana korupsi di Indonesia?
3. Bagaimana implementasi pengaturan pendidikan budaya anti korupsi di Indonesia dalam
pencegahan tindak pidana korupsi di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini antara lain meliputi:
1. Untuk mengkaji dan menganalisis tentang pengaturan tentang pendidikan budaya anti
korupsi di Indonesia menurut peraturan yang berlaku.
2. Untuk mengkaji dan menganalisis tentang peran pemerintah dalam pendidikan budaya
anti korupsi di masyarakat guna mendukung dan mendorong pencegahan tindak pidana
korupsi di Indonesia.
3. Untuk mengkaji dan menganalisis tentang implementasi pengaturan pendidikan budaya
anti korupsi di Indonesia dalam pencegahan tindak pidana korupsi di Indonesia.
8
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN
A. Tinjauan Kepustakaan
Penelitian tentang “Analisis Tentang Pengaturan Pendidikan Budaya Anti Korupsi Di
Indonesia: Suatu Pendekatan Perbandingan Hukum” yang didahului dengan penelitian
sebelumnya yaitu menumbuh kembangkan budaya anti korupsi bagi siswa dan mahasiswa di
lingkungan Pendidikan YPI Al Azhar dan dari penelusuran yang peneliti lakukan belum ada yang
melakukan penelitian dengan tema tersebut di atas.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Agus Surono dalam Judul Analisis Yuridis
Pengaturan Mengenai Cost Recovery Dalam Industri Migas di Indonesai (Tahun 2012)
menjelaskan bahwa Bagi Indonesia, pengaturan mengenai cost recovery menjadi sangat penting
mengingat bahwa hal tersebut merupakan insentif yang paling utama yang dapat pemerintah
berikan kepada kontraktor migas di Indonesia sebagai dorongan untuk melakukan proses
investasi di Indonesia. Walaupun proses pemberian insentif ini dapat berbeda antara negara satu
dengan yang lainnya, tetapi tujuan utama dari pemberian insentif ini adalah untuk
memaksimalkan pendapatan dengan resiko finansial yang seminimal mungkin. Dengan latar
belakang inilah menjadi salah satu sebab pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun
2010 yang lebih dikenal dengan PP cost recovery.
Dapat dikatakan cost recovery dianggap sebagai katalis untuk mencapai tujuan
penambahan pendapatan negara. Memang sederhananya adalah para kontraktor minyak tersebut
menyediakan modal dan teknologi. Namun pada prinsipnya, mereka menyediakan “pelayanan”
pengadaan untuk dan atas nama pemerintah serta diri mereka sendiri, baik modal maupun
teknologi. Pemerintah menggunakan cost recovery sebagai pelindung agar mereka tidak
menempatkan sumber daya terbatas yang mereka miliki dalam resiko, sementara di sisi lain
mereka berharap akan adanya keuntungan yang pemerintah dapatkan dari setiap eksplorasi yang
berhasil. Di sisi lain, pemerintah tidak diharuskan mengeluarkan modal di muka akan tetapi
dengan resiko keberhasilan yang masih probabilitas. Mengingat bahwa bisnis dalam industri
10
migas resiko kegagalannya dapat dikatakan lebih besar dibandingkan keberhasilannya. Sehingga
negara tidak dihadapkan pada kondisi yang merugi atas bisnis yang gagal.
Adapun aspek positif yang diperoleh Indonesia dalam konteks cost recovery adalah
sebagai berikut:
a. Resiko bisnis tetap di tanggung oleh kontraktor, tetapi pemerintah juga dapat menikmati
keuntungan apabila terdapat eksplorasi migas yang berhasil.
b. Perusahaan kontraktor (dalam banyak kasus) hanya berhak mengklaim biaya yang berada
di bawah kontrak PSC yang berasal dari bagian produksi dari area subjek di dalam
kontrak.
c. Biaya plafon desain untuk memastikan negara mendapatkan bagian keuntungan atas
minyak ketika produksi dimulai. Keuntungan ini penting karena apabila dilakukan setelah
balik modal, maka secara politik sulit untuk dibenarkan.
d. Batasan atas biaya yang dapat ditagihkan melindungi pemerintah atas perilaku semboro
oleh perusahaan kontraktor.
e. PSC memiliki rezim fiskal yang relatif sederhana dibandingkan dengan sistem
royalti/konsesi, dengan demikian, perintah biasanya tidak perlu menghabiskan waktu dan
sumber daya merancang peraturan perpajakan yang kompleks.
Namun disisi lain, ada aspek negatif dari sistem cost recovery mengingat cost recovery
dirancang untuk menguntungkan negara tuan rumah. Namun, bahkan dengan biaya pemulihan,
potensi bagi pemerintah membayar lebih kepada perusahaan minyak asing adalah nyata. Rezim
fiskal yang tersusun secara tidak baik seringkali digunakan oleh kontraktor. Hal ini telah terjadi
di banyak negara-negara berkembang yang mana industri minyak bumi sedikit memberikan
manfaat dalam hal memacu pertumbuhan ekonomi. Ditambah lagi dengan perusahaan minyak
asing yang inefisien, manajemen sumber daya yang buruk dan kurangnya kesadaran sosial serta
lingkungan akan menjadi bencana bagi Indonesia.
Lebih jauh dikatakan bahwa struktur cost recovery dapat menyebabkan kontraktor besar
menetapkan biaya di saat harga minyak tinggi yang kemudian bisa menyebabkan perselisihan
kontrak dengan pemerintah yang memang bertekad menemukan cara-cara untuk membatasi
perusahaan minyak asing.
11
Dengan segala perdebatan yang muncul, apakah sistem cost recovery ini dapat menjadi
solusi atas permasalahan dalam industri migas di Indonesia adalah lebih penting dibahas.
Mengingat bahwa sistem apapun yang digunakan dapat secara nyata memberikan kontribusi
positif atas pendapatan negara dengan optimalisasi berbagai sumber daya yang ada di dalamnya.
Mengingat bahwa permasalahan mendasar dalam pengelolaan industri migas di Indonesia adalah
keterbatasan modal, teknologi dan sumber daya manusia dimana ketiga hak tersebut dapat
dikatakan dimiliki oleh negara-negara maju yang selama ini mengingcar keberadaan migas di
Indonesia sejak lama.
Sehingga dengan demikian, titik tolak pengelolaan industri migas di Indonesia, terlepas
mekanisme apapun yang digunakan, dapat secara nyata menyadari kelemahan yang dimiliki.
Namun disisi lain, dengan potensi minyak dan gas bumi yang besar, hendaknya ada upaya-upaya
yang dilakukan dalam konteks pengelolaannya agar anugrah minyak dan gas bumi tersebut dapat
memberikan kebermanfaatan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan segala tantangan yang dihadapi dalam industri minyak dan gas bumi, harapan
terbesar dalam industri ini semakin membesar seiring pertumbuhan investasi yang diharapkan
akan mendorong kegiatan eksplorasi untuk menambah cadangan dan mempertahankan produksi
migas. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan pemberian insentif bagi para
kontraktor melalui mekanisme cost recovery seperti yang telah dijelaskan di atas. Pemberian
insentif lainnya adalah dengan menyediakan iklim perundang-undangan yang stabil.
Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Fathur Rahman (2011) tentang Kajian
Evaluatif Implementasi Problem Based Learning Dalam Pendidikan Antikorupsi Di Beberapa
Perguruan Tinggi Yogyakarta, berusaha melakukan eksplorasi dan identifikasi proses
pembelajaran kelas yang terdiri dari model dan metode pembelajaran, interaksi dosen dan
mahasiswa, serta level partisipasi mahasiswa, berusaha untuk mengetahui persepsi mahasiswa
terhadap kinerja pembelajaran di kelas, relevansi materi dengan keterlaksanaan dan ketercapaian
pembelajaran serta kinerja dosen dalam proses pembelajaran. Dari penelitian ini dapat dihasilkan
dari 435 mahasiswa yang menjadi responden dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta
menyatakan bahwa partisipan menilai bahwa pembelajaran antikorupsi dengan model kasus
dapat dikatakan memadai (34,5 %). Walaupun demikian, sebagian besar partisipan menganggap
bahwa model PBL dapat membantu mereka dalam meningkatkan kesadaran kolektif tentang
12
dampak-dampak yang diakibatkan oleh tindakan korupsi. Beberapa hal penting yang dapat
disimpulkan dari penelitian ini, yaitu sebagian besar partisipan menilai bahwa pembelajaran
antikorupsi dengan model kasus dapat dikatakan memadai (sedang; 34,5%). Namun, jika dilihat
berdasarkan perbandingan rata-rata empiris dan hipotetik per-variabel, angkat yang diperoleh
menunjukkan hasil evaluasi yang tinggi terhadap model PBL yang dimaksud. Adapun rata-rata
tiap variabel adalah: Aspek pengajaran (26.64), antusiasme pengajar (19.94), relasi dosen-
mahasiswa (28.51), pengelolaan kelas (27.59), luas cakupan materi (46.52), dan interaksi
antarkelompok (26.07).
Sebagian besar partisipan juga menganggap bahwa model PBL dapat membantu mereka
dalam meningkatkan kesadaran kolektif tentang dampak-dampak yang diakibatkan oleh tindakan
korupsi dan membantu mereka untuk mendesain ulang cara belajar yang lebih berorientasi pada
apa yang akan dipelajari oleh mereka sendiri secara mandiri dan berkelompok.
Selain itu, dalam penelitian yang dilakukan oleh Febri Diansyah, Emerson Yuntho dan
Donal Fariz (tahun 2011) yang berjudul tentang Penguatan Pemberantasan Korupsi Melalui
Fungsi Koordinasi dan Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjelaskan bahwa
Disadari atau tidak, pemberantasan korupsi tidak dapat digantungkan semata-mata pada
penindakan tersangka oleh KPK. Semangat kerja pemberantasan korupsi juga harus ditularkan
KPK kepada institusi penegak hukum lainnya. Sebab, keberadaan KPK sesuai dengan semangat
pembentukannya adalah dalam rangka mengisi kosongan kepercayaan masyarakat pada lembaga
penegak hukum yang ada.13
Terkait hal itu, ada dua mandat pokok yang dimiliki KPK. Pertama, melaksanakan tugas-
tugas penindakan yang juga menjadi kewenangan lembaga penegak hukum lainnya. Tugas ini
dikerjakan dalam rangka memenuhi harapan masyarakat agar para koruptor dihukum. Kedua,
tugas yang jauh lebih penting, yaitu bagaimana KPK mengkoordinir sekaligus mensupervisi
lembaga-lembaga penegak hukum yang ada agar menjadi lembaga yang kuat dan mampu
menjalankan tugas penegakan hukum dengan baik. Koordinasi dan supervisi yang dilakukan
KPK juga mencakup mengambil langkah-langkah untuk mendorong dilakukannya percepatan
reformasi di tubuh kejaksaan dan kepolisian.14
13 Laporan Hasil Penelitian, hlm. 60.
14 Ibid.,
13
Pada akhirnya, fase pemberantasan korupsi kita akan masuk pada tingkatan yang lebih
tinggi, dimana KPK, Kepolisian dan Kejaksaan berbagi tugas dan bersinergi dalam
pemberantasan korupsi. Laporan penelitian ini menegaskan bahwa efektifitas pemberantasan
korupsi dapat dicapai dengan setidaknya tiga pondasi dasar institusi penegak hukum, selain
peradilan. Ini menegaskan, bahwa meskipun Kepolisian dan Kejaksaan sudah dinilai cukup kuat,
keberadaan KPK tetap punya arti penting dalam pemberantasan korupsi. Satu hal krusial yang
harus diformulasikan ke depan adalh konsep pembagian tugas antara lembaga penegak hukum
(dari segi penindakan), dan pemeliharaan sistem, pengawasan, serta pemantauan yang rutin
terhadap kemungkinan adanya bolong dan celah dalam sistem pemerintahan Indonesia. Hal ini
akan selalu dibutuhkan sampai kapan pun juga. Karena potensi korupsi sesungguhnya melekat
pada kewenangan dan kekuasaan yang ada dalam sistem negara.15
Sementara di sisi lain, kualitas kejahatan juga terus berkembang dan menemukan
jalannya sendiri. Sehingga, upaya pemberantasan korupsi dalam bentuk penindakan,
pembenahan sistem, perawatan dan pengawasan adalah upaya yang tidak pernah berhenti, dan
tidak pernah sampai pada titik paling akhir.
B. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif yakni dengan menggambarkan berbagai
permasalahan secara komprehensif-integratif mengenai budaya hokum khususnya terkait dengan
bagaimana menumbuhkan budaya hukum anti korupsi bagi siswa dan mahasiswa di lingkungan
pendidikan YPI Al Azhar. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif atau
penelitian hukum kepustakaan, karena penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder.
Penelitian ini menggunakan pendekatan konseptual (conseptual approach), sejarah
(historical approach), dan perbandingan (comparative approach), 16 serta hukum yang akan
datang (futuristic approach).17 Pendekatan konseptual diperlukan untuk menganalisis
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang tentang filosofi Hukum budaya
hukum anti korupsi sejak dahulu hingga sekarang, yang dianut dan berkembang di negara-negara
15 Ibid., hal. 61-62.16Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet. 3, Jakarta: Prenada Media Grup, 2005, hlm 93-136.17Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Cet. 2., Bandung: Alumni,
2006, hlm. 144.
14
lain serta pandangan politik hukum sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai
pedoman atau panduan sosialisasi budaya anti korupsi bagi masyarakat oleh stakeholder terkait
di Indonesia.
Pendekatan sejarah diperlukan untuk meneliti perkembangan hukum positif serta arah
politik hukum pada saat peraturan perundang-undangan dibentuk dalam kurun waktu tertentu.
Sejarah hukum berusaha untuk mengadakan identifikasi terhadap tahap-tahap perkembangan
hukum, yang dapat dipersempit ruang lingkupnya menjadi sejarah peraturan perundang-undang
tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia maupun di negara-
negara di dunia. Pendekatan perbandingan diperlukan untuk mengetahui perbandingan umum
mengenai hukum positif dengan membandingkan sistem hukum di satu negara dengan sistem
hukum di negara lainnya. Tujuan perbandingan ini yaitu untuk mengetahui persamaan dan
perbedaan antara sistem negara yang satu dengan yang lainnya.
Perbandingan hukum dilakukan untuk mengkaji bagaimana sistem hukum yang berbeda
menghadapi permasalahan hukum tertentu.18 Proses perbandingan dimaksudkan untuk
memperoleh kesimpulan mengenai perbedaan kararkteristik pada masing-masing sistem hukum
dan atau penggunaan komponen yang sama untuk menghadapi pokok persoalan tertentu.19
Perbandingan juga dilakukan dengan cara penafsiran antisipatif artinya perbandingan dilakukan
untuk mencari hal-hal yang belum terungkap sebelumnya, sebagai bahan-bahan bagi sumber
material yaitu bahan-bahan untuk memperbaharui peraturan perundang-undangan pada masa
yang akan datang (futuristik).20 Pendekatan hukum yang akan datang (futuristic approach)
adalah penelitian mengenai hukum apa yang seyogyanya diciptakan untuk masa yang akan
datang misalnya untuk menyusun suatu rencana pembangunan hukum khususnya dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, khususnya terkait dengan bagaimana
menumbuhkan budaya anti korupsi di Indonesia pada masa yang akan datang.21
Bahan hukum yang dikaji dan dianalisis dalam penelitian hukum normatif terdiri dari:22
18David J. Gerber, Globalization and knowledge: Implications for Comparative Law, 75 Tul. LRev. 949,
2001, hlm. 969.19John C. Reitz, How To Do Comparative Law, 46 Am. J Comp. L 617, 1998, hlm.619.20Matthew S Roalf, A Sheep in Wolf’s Clothing: Why The Debate Surrounding Comparative
Constitutional Law Is Spectaculary Ordinary, 73 Fordham . Rev 1239, 2004, hlm. 1273-1281.21Sunaryati Hartono, Op.Cit., hlm 144.22Ibid., hlm 16..
15
(1) Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat yang
meliputi :
(a) Norma atau kaidah dasar yaitu pembukaan UUD 1945;
(b) Peraturan dasar yaitu batang tubuh UUD 1945
(c) Peraturan perundang-undangan di bidang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001)
(d) Bahan hukum yang tidak dikodifikasi seperti hukum adat
(e) Yurisprudensi
(f) Traktat
(g) Bahan hukum yang merupakan warisan penjajah seperti
faillissementsverordening.
(2) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, seperti risalah Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo UU No.
20 Tahun 2001, hasil penelitian ahli hukum dan lain-lain.
(3) Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus Bahasa Inggris,
Black’s law Dictionary, ensiklopedia dan lain-lain.
Teknik untuk mengkaji dan mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tertier
dilakukan dengan menggunakan studi dokumen. Studi dokumen merupakan studi yang mengkaji
tentang berbagai dokumen-dokumen, baik yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan
maupun dokumen-dokumen yang sudah ada.23 Cara memperoleh data sekunder berupa bahan
hukum atau literatur selain melalui kepustakaan juga dengan memanfaatkan jaringan internet
seperti journal West Law, J. Store, Lexus Nexus dan lain sebagainya. Teknik pengumpulan data
selain melalui studi dokumen atau studi kepustakaan, juga dilakukan dengan teknik wawancara
mendalam yakni memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu.24
Wawancara dilakukan kepada informan dan narasumber yang terkait dengan penelitian ini.
Informan yang dimaksud adalah mereka yang berdasarkan tugas dan fungsinya berkaitan erat
dengan proses pembentukan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, proses
penegakan hukum dan proses penerapan hukum di Indonesia termasuk pihak-pihak yang
23Ibid., hlm 19. 24Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Cet. 6, Jakarta: Rineka Cipta, 2010, hlm 95.
16
berperkara dalam kasus tindak pidana korupsi. Narasumber yang akan diwawancarai adalah
akademisi dan ahli dalam Hukum Pidana Korupsi, Budaya Hukum.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian hukum normatif adalah analisis kualitatif.
Sedangkan metode analisis data yang digunakan bersifat deskripstif analitis yaitu analisis data
yang digunakan adalah analisis kualitatif terhadap data sekunder. Deskriptif tersebut meliputi isi
dan struktur hukum positif yaitu suatu kegiatan yang dilakukan peneliti untuk menentukan isi
atau makna aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum
yang menjadi obyek kajian.25
Tempat diperolehnya data sekunder berupa bahan hukum atau literatur yang berhubungan
dengan obyek penelitian adalah di:
a. Perpustakaan Universitas Indonesia di Depok;
b. Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Depok;
c. Perpustakaan Universitas Al Azhar Indonesia
d. Perpustakaan Mahkamah Agung;
e. Perpustakaan Nasional
f. Badan Legislasi DPR RI di Jakarta;
g. Perpustakaan-perpustakaan pribadi.
25Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Cet. 3, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm 107.
17
BAB III
PENANAMAN NILAI-NILAI KEJUJURAN DAN PENDIDIKAN
ANTI KORUPSI
A. PentingnyaPenanaman Nilai Anti Korupsi
Masalah pemberantasan korupsi di Indonesia merupakan salah satu program reformasi
yang dicetuskan oleh para mahasiswa sejak tahun 1998, sebagai respon atas rezim pada waktu itu
yang dianggap terdapat berbagai penyimpangan dalam berbagai bidang kehidupan berbangsa dan
bernegara. Namun demikian, dalam kenyataannya tindak pidana korupsi hingga saat buku ini
dibuat telah membawa bencana terhadap kehidupan perekonomian nasional dan pada tatanan
kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Upaya pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi ( TPK ) yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai
hambatan sehingga perlu metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan
badan khusus dengan kewenangan luas, independen, serta bebas dari kekuasaan manapun
Oleh karena TPK merupakan suatu kehatan yang luar biasa (extra ordinary crime), maka
dalam upaya pemberantasan TPK, pelaksanaannya harus dilakukan secara optimal, intensif,
efektif, profesional serta berkesinambungan. Pemikiran inilah yang melandasi lahirnya Undang-
undang No. 30 Tahun 2002 tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ).
Selama ini indikator korupsi yang digunakan di tingkat internasional adalah Indeks Persepsi
Korupsi (IPK) yang dikeluarkan tiap tahun oleh Tranparancy Internasional. Skala IPK yang
digunakan adalah 1 hingga 10, dimana semakin besar nilai IPK berarti semakin tidak korup suatu
negara demikian sebaliknya. Untuk tahun 2004, nilai IPK Indonesia adalah sebesar 2,0 dan tahun
2005 sebesar 2,2. Indonesia sendiri menduduki rangking 137 negara terkorup di dunia. Kenaikan
IPK dari 2,0 di tahun 2004 menjadi 2,2 di tahun 2005 menunjukkan bahwa pemberantasan
korupsi di Indonesia belum dapat mendongkrak nilai IPK Indonesia secara maksimal.26
Korupsi adalah salah satu bentuk pelanggaran moral dan oleh sebab itu merupakan tanggung
jawab moral dari pendidikan nasional untuk memberantasnya. Suatu tantangan bagi dunia
pendidikan karena pendidikan mempunyai fungsi menanamkan, mengembangkan, dan
26 Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Jakarta, 2011, Hlm. 109
18
melaksanakan nilai rasional, keberaturan, rajin (diligent), dan sikap produktif yang pada
gilirannya mampu membawa manusia yang memiliki watak mulia, taqwa kepada Tuhan YME,
dan mempunyai nilai-nilai kemanusiaan terhadap sesama. Sebagai proses pembudayaan dan
membudaya, pendidikan diharapkan berperan dalam ikut memberantas korupsi yaitu dengan
menyelenggarakan pendidikan antikorupsi. Jika korupsi merupakan suatu gejala kebudayaan
dalam masyarakat Indonesia maka adalah tanggung jawab moral dari pendidikan nasional untuk
membenahi pendidikan nasionalnya. Hal menarik yang perlu dicermati adalah bahwa di dalam
salah satu laporan badan resmi menunjukkan bahwa Departemen Pendidikan Nasional
menempati peringkat ke-2 terkorup di tingkat pemerintahan setelah Departemen Agama pada
peringkat pertama dan diikuti Departemen Kesehatan peringkat ke-3. Kenyataan ini
menunjukkan masih ada celah bagi pemberantasan korupsi melalui sektor pendidikan apabila
kita bersungguh-sungguh bertekad memberantas korupsi tidak hanya di tingkat lembaga atau
organisasi yang besar tetapi pada tingkat interaktif sesama manusia termasuk di dalam proses
belajar pada generasi muda.27
Korupsi di Indonesia bagaikan suatu “penyakit” yang sukar disembuhkan dan merupakan
suatu fenomena yang kompleks. Untuk memberantas korupsi di Indonesia tidak cukup hanya
dengan melakukan suatu tindakan represif, namun yang lebih mendasar lagi adalah melakukan
tindakan preventif atau pencegahan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan melalui tindakan
preventif ini adalah dengan menumbuhkan kepedulian untuk melawan berbagai tindakan
korupsi, dan sekaligus juga mendidik generasi muda dengan menanamkan nilai-nilai etika dan
moral yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Banyak hal yang dapat dilakukan,
misalnya melalui kampanye publik, maupun melalui penanaman nilai-nilai moral dan etika yang
dapat dimasukkan dalam kurikulum pada berbagai level terutama pada level pendidikan awal
seperti SD, SMP dan SMA. Dengan upaya ini diharapkan mereka dapat tumbuh menjadi
generasi yang “bersih” dan “anti korupsi” sekaligus menjadi contoh bagi generasi sesudahnya
dan sebelumnya. Kesadaran dan kepedulian masyarakat perlu ditumbuhkan melalui berbagai
cara, antara lain dengan mencanangkan ”Gerakan Anti Korupsi”, yang menandai komitmen
berbagai elemen masyarakat dalam memberantas korupsi.
27 H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme Tantangan - Tantangan Global Masa Depan Dalam Tranformasi
Pendidikan Nasional, PT.Grasindo, Jakarta, 2004, hlm.237.
19
Selama ini upaya menumbuhkan generasi yang bersih dan anti korupsi ini telah dilakukan
melalui kerjasama antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku lembaga pemerintah,
Depdiknas dan sekolah sebagai pelaksanaan pasal 13 UU. No. 30 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu bahwa KPK menyelenggarakan program
pendidikan antikorupsi bekerja sama dengan Depdiknas pada setiap jenjang pendidikan melalui
sosialisasi, komunikasi, dan pendidikan. Tujuan pembelajaran pendidikan antikorupsi adalah: 1)
pada saat terjun ke masyarakat siswa telah mendapat bekal yang cukup untuk dapat memahami
etika di setiap level “social leaders” yang dijalaninya, 2) memahami secara komprehensif
pentingnya etika baik di sektor publik maupun di sektor privat, 3) mengenali dan memahami
dampak buruk korupsi terhadap kepercayaan masyarakat dan persaingan di dunia internasional,
dan 4) memiliki keberanian dan kebijaksanaan untuk memberantas korupsi.28
Oleh karena masalah korupsi sangat erat kaitannya dengan moral seseorang, maka
penanaman nilai-nilai anti korupsi terhadap berbagai sektor kehidupan berbangsa dan bernegara
kepada masyarakat luas, baik swasta maupun pemerintah sangatlah penting. Penanaman nilai-
nilai anti korupsi bahkan dapat disampaikan kepada siswa-siswa sejak dini yang dimulai dari
siswa-siswa SD, siswa-siswa SMP, siswa-siswa SMA dan juga terhadap mahasiswa yang
kegiatannya akan diuraikan pada sub bab berikutnya.
B. Kegiatan Penanaman Nilai-Nilai Anti Korupsi
Kegiatan pengabdian tentang penanaman nilai-nilai kejujuran melalui pendidikan anti
korupsi di Lingkungan YPI Al Azhar dengan kegiatan kegiatan ceramah. Ceramah dilaksanakan
di Siswa-siswa SD, SMP, SMA dan juga mahasiswa, khususnya mahasiswa Fakultas Hukum,
sebagai bentuk kegiatan pengabdian kepada masyarakat. Pada kesempatan pengabdian ini,
masing-masing siswa mendapat materi untuk memahami tindak pidana korupsi. Narasumber
tidak memberikan materi secara detail dan terinci, melainkan mengemasnya dalam contoh-
contoh tindak pidana korupsi yang secara sengaja maupun tidak sengaja dilakukan oleh siswa
sekolah pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Sebagai contoh perilaku korupsi antara
lain ketika seorang siswa dan juga mahasiswa menjawab soal ujian dan mengerjakan tugas harus
28 Sjahrudin, …….., 2006
20
dilakukan dengan jujur dan tidak boleh melakukan kecurangan merupakan salah satu bentuk
perilaku yang digolongkan sebagai perilaku anti korupsi.
Sesuai dengan pasal 13 UU No. 30 Tahun 2002, maka KPK memiliki kewenangan untuk
menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan. Upaya
penyelenggaraan program pendidikan antikorupsi ditindaklanjuti dengan dilakukannya
kerjasama antara Universitas Al Azhar dengan Indonesia Corruption Watch yaitu dengan telah
ditandatangani MoU sebagai bentuk upaya pendidikan antikorupsi dan kampanye antikorupsi
melaluii kegiatan sosialisasi, antara lain kegiatan pengabdian penanaman nilai-nilai kejujuran
melalui pendidikan anti korupsi.
Kegiatan pengabdian kepada masyarakat tentang penanaman nilai-nilai kejujuran melalui
pendidikan anti korupsi dimaksudkan untuk melengkapi materi pendidikan antikorupsi yang
telah disisipkan pada setiap mata pelajaran di setiap tingkat pendidikan. Materi budi pekerti
dinilai penting karena pelajaran budi pekerti tidak secara khusus membahas antikorupsi, tetapi
juga mengajarkan keberanian, tanggung jawab, keteguhan, kerja sama, kejujuran, dan hormat-
menghormati. Berdasarkan penelitian di lapangan dengan melakukan wawancara kepada para
responden baik di lingkungan Al Azhar maupun diluar lingkungan Al Azhar, ditemukan hal-hal
sebagai berikut: Pertama, secara umum siswa-siswa ini mempunyai kesadaran (awareness) yang
tinggi atas kasus korupsi yang mereka peroleh dari beberapa media baik media cetak maupun
elektronik. Kedua, pengetahuan (knowledge) tentang korupsi. Pengetahuan mereka hanya
terbatas pada kasus ataupun tempat (locus) terjadinya korupsi namun mereka tidak memiliki
pemahaman yang tepat mengenai definisi dan aturan hukum tentang korupsi. Ketiga, sikap
(attitude). Umumnya responden menunjukkan sikap tidak setuju terhadap tindak korupsi yang
banyak terjadi. Hal ini didukung oleh opini yang muncul yang cenderung bernada negatif,
meskipun sebagian besar opininya masih sangat normatif (sangat terlihat pd kelompok
SMP/SMA). Keempat, tingkah laku (behavior). Awareness, respon terhadap fenomena korupsi
yang terjadi sangat tinggi. Knowledge, responden yang cukup baik menyangkut tempat kejadian
korupsi dan kasus korupsi yang terjadi. Akan tetapi pemahaman menjadi rendah pada bagian
definisi dan aturan hukum mengenai korupsi. Attitude, umumnya responden menunjukkan sikap
tidak setuju thd tindak korupsi yang banyak terjadi. Hal ini didukung oleh opini yang muncul
yang cenderung bernada negatif, meskipun sebagian besar opininya masih sangat normatif
21
(sangat terlihat pd kelompok SMP/SMA). Behavior, responden cenderung memilih bersikap
tidak melakukan apa-apa. Untuk mengatasi kondisi tersebut, maka perlu dikembangkan nilai-
nilai luhur dalam setiap karakter individual yang berperan penting untuk membentuk karakter
sosial suatu bangsa, antara lain: kejujuran, kepercayaan diri, kompetitif, kebersamaan dan saling
berbagi dan menghargai. Materi inilah yang akan termuat dalam pendidikan antikorupsi yang
pada dasarnya berisi penanaman nilai-nilai etika dan moral yang diperlukan dalam kehidupan
bermasyarakat, yang pada gilirannya mampu mewujudkan generasi yang “bersih” dan “anti
korupsi”.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, faktor yang menghambat pelaksanaan pendidikan
antikorupsi di sekolah dan juga di kampus adalah sebagai berikut:
Pertama, Faktor paradigma pendidikan antikorupsi. Hingga saat ini paradigma pendidikan
antikorupsi masih dikembangkan paradigma pendidikan lama yang lebih menitikberatkan pada
aspek kognitif yang bersifat formalitas dengan mengabaikan sikap, moralitas, kecerdasan
emosional dan spiritual, bukan paradigma pendidikan kritis, yakni pendidikan yang dikaitkan
dengan kesadaran yakni perilaku individu dalam memandang dan mengkonseptualisasikan
dunianya sebagaimana wawasan yang mereka miliki. Pendidikan kritis ini meliputi: 1) belajar
tentang kontradiksi sosial, politik, ekonomi, budaya, pengambilan keputusan, dan tindakan untuk
mengatasi unsur-unsur yang bersifat menindas, 2) memunculkan problematik yang mengancam
kehidupan kelompok tertindas yang difantasikan dalam bentuk penindasan untuk dikaji secara
kritis, dan 3) melahirkan aksi bersama untuk mengatasi masalah. Melalui pendidikan antikorupsi
diharapkan dapat terjadi perubahan kondisi struktural lingkungan dan perubahan masyarakat
sesuai dengan nilai dan norma yang harus mereka miliki.
Kedua, Faktor diri pribadi siswa. Kurangnya pemahaman bahwa kebiasaan yang
dianggap wajar dan lumrah oleh siswa-siswa sekolah menengah di kota Semarang, antara lain
sikap suka menerabas (cutting-corner attitude), tidak disiplin dan menyontek merupakan bagian
dari korupsi. Adalah menjadi tugas dari lembaga pendidikan untuk merubahnya. Pada tataran ini
diperlukan adanya pemahaman etika di level sosial leaders yang dijalaninya, pemahaman secara
komprehensif etika di sektor publik dan privat, mengenali dan memahami dampak buruk korupsi
terhadap kepercayaan masyarakat dan persaingan di dunia internasional, serta memiliki
keberanian dan kebijaksanaan untuk memberantas korupsi yang pada akhirnya mampu
22
membangun budaya antikorupsi. Kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) di sekolah-sekolah baik kepada guru-guru maupun kepada para
siswa menyebabkan pendidikan antikorupsi belum banyak dipahami oleh guru dan siswa sekolah
menengah. Keterbatasan modul pendidikan antikorupsi baik dari segi kualitas dan kuantitas yang
dapat digunakan untuk pembelajaran pendidikan antikorupsi. Modul ini harus disesuaikan
dengan situasi dan kondisi pada masing-masing jenjang pendidikan meliputi jenjang pendidikan
pra sekolah (TK), SD, SMP, dan SMA.
Penanaman nilai-nilai anti korupsi dan contoh-contoh penanaman nilai-nilai anti korupsi
dalam berbagai mata pelajaran di TK, SD, SMP, SMA dan juga dalam mata kuliah di Universitas
juga penting sebagai bentuk penanaman nilai-nilai anti korupsi. Bagi siswa TK antara lain dapat
diberikan dalam bentuk berbagai permainan khususnya bagaimana menanamkan nilai-nilai
kejujuran bagi anak-anak siswa TK. Selanjutnya bagi siswa-siswa SD, SMP dan SMA dapat
disampaikan dalam beberapa mata pelajaran seperti pendidikan agama, mata pelajaran PPKn,
dengan menyelipkan materi tentang nilai-nilai anti korupsi. Sedangkan bagi mahasiswa dapat
disampaikan dalam bentuk Mata Kuliah Universitas yang menjadi kekahasan dari universitas
atau bahkan dapat saja menjadi kurikulum wajib nasional. Khusus mengenai dimasukkannya
mata kuliah anti korupsi sebagai mata kuliah wajib kurikulum nasional diperlukan political will
dari pemerintah melalui Kementerian terkait baik Kementrian Pendidikan dan juga melalui
Kemenristekdikti.
23
BAB IV
NILAI-NILAI ANTI KORUPSI DALAM PENDIDIKAN
A. Dimensi Korupsi
Korupsi sebagai suatu fenomena sosial bersifat delicate dan kompleks, sehingga sulit
mendefenisikannya secara tepat tentang ruang lingkup konsep korupsi. Pengamatan dalam
kehidupan sehari-hari fenomena korupsi dapat terjadi secara tidak kentara (subtle) antara
hubungan dua individu sampai dengan hubungan yang kompleks seperti dalam suatu korporasi.
Pada tingkat hubungan antara individu korupsi terjadi ketika salah satu individu melakukan
cheating terhadap individu lainnya. Sejalan dengan hal tersebut diatas, Transparancy
Internasional menyebutkan bahwa korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi
maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau
memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang
dipercayakan kepada mereka. Semua bentuk pemerintah, rentan terhadap korupsi dalam
prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan
pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi
berat.
Istilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi.
Defenisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi
menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seorang administrator yang memamfaatkan
kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para investor (domestic maupun
asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau kewenangannya yang
resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikatagorikan melakukan tindak korupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi mendefenisikan semua peyalahgunaan penggunaan
kewenangan yang menyebabkan kerugian negara dan oleh karena itu dianggap sebagai tindak
pidana. Berdasarkan pada defenisi ini penyalahgunaan kewenangan tersebut berbentuk: Suap
menyuap; Penggelapan dalam jabatan; Perbuatan pemerasan; Perbuatan curang; Benturan
kepentingan dalam pengadaan. Korupsi tidak hanya mempuyai dimensi formal sebagaimana
yang diartikan/dideskripsikan oleh KPK, namun juga memiliki dimensi sosial seperti : ekonomi,
24
sosiologi, dan politik, serta pedagogis. Berikut disajikan empat dimensi korupsi yang bukan
merupakan dimensi formal, dan saling melengkapi antara satu dengan lainnya.
Pertama, Dimensi Ekonomi.
Korupsi sangat menghambat dan mempersulit pembangunan ekonomi serta mengurangi
kualitas pelayanan pemerintah antara lain dengan membuat kekacauan (distorsi) dan ketidak
efesianan yang tinggi. Sebagai contoh dalam sektor publik, korupsi menimbulkan distorsi dengan
mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat dimana suap dan upah tersedia lebih
banyak. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan
hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintah dan
infrastruktur, serta menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
Korupsi pada bidang ekonomi juga menyebabkan persaingan yang tidak kompetitif antar
pelaku ekonomi (pengusaha) karena semua proses harus melalui uang pelicin. Hal ini
mengakibatkan munculnya kekacauan “sektor perniagaan”. Perusahaan yang memiliki koneksi
dilindungi dan terus menerus mendapat keistimewaan dalam mendapatkan proyek-proyek dari
pemerintah. Akibat dari korupsi ini muncul banyak pengemis, penganguran, pemerasan, hingga
pembunuhan yang sumber utamanya adalah uang untuk memenuhi kebutuhan dan
mempertahankan hidup. Inilah yang menyebabkan korupsi di kualifikasikan sebagai pelanggaran
Hak Ekonomi.29
Kedua, Dimensi Sosiologi
Pada prinsipnya sosiologi merupakan cabang Ilmu Sosial yang mempelajari masyarakat
dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia, meliputi sifat, perilaku, dan perkembangan
masyarakat dalam arti pembangunan. Allan Jhonson, mengemukakan bahwa sosiologi adalah
ilmu yang mempelajari kehidupan dan perilaku, terutama dalam kaitannya dengan suatu sistem
sosial dan bagaimana sistem tersebut mempengaruhi orang dan bagaimana pula orang yang
terlibat didalamnya mempengaruhi sistem tersebut.30
Penyimpangan sosial dapat dilakukan secara individu (individual deviation), yaitu tindak
kejahatan atau kerusuhan dengan tidak peduli terhadap peraturan atau norma yang berlaku secara
29 Jaleswari Pramodhawardani, Korupsi = Pelanggaran HAM, https://antikorupsi.org/id/news/korupsi-pelanggaran-ham, diakses pada 14 April 2019 pkl. 13.49
30 Allan G. Jhonson, The Blackwell Dictionary of Sociology : a User's Guide to Sociological Language. Malden, Mass. :Blackwell Publishers, 2000, Hlm.
25
umum dalam lingkungan masyarakat sehingga menimbulkan kerugian, keresahan,
ketidakamanan, ketidaknyamanan atau bahkan menyakiti. Sedangkan penyimpangan yang
berbentuk kelompok atau kolektif (group deviation) merupakan suatu perilaku menyimpang
yang dilakukan oleh kelompok orang secara bersama-sama dengan melanggar norma-norma
yang berlaku dalam masyarakat. Akibat yang ditimbulkannya sama dengan halnya
penyimpangan yang dilakukan secara individu.
Berkaitan dengan korupsi yang merupakan salah satu bentuk penyimpangan sosial, maka
dalam hal ini perlu dilakukan pengendalian sosial melalui sistem mendidik dan mengarahkan
melalui mekanisme tertentu. Mendidik dimaksudkan agar dalam diri seseorang terdapat
perubahan sikap dan tingkah laku untuk bertindak sesuai dengan norma-norma yang berlaku
yaitu bersikap ANTI KORUPSI, yaitu bertujuan mengarahkan agar perbuatan seseorang
didasarkan pada norma-norma yang berlaku dan tidak menurut kemauan individu-individu atau
kelompok yang melakukan korupsi.
Ketiga, Dimensi politik
Salah satu prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik adalah demokrasi.
Untuk memperoleh suatu keputusan yang demokratis, suatu lembaga harus mengikutsertakan
individu untuk memberikan aspirasi. Berdasarkan aspirasi tersebut, setiap individu berhak
bersaing dengan sehat dan rasional untuk mendapatkan suara rakyat, misalnya hak setiap
individu untuk berkampanye dalam rangka pemilihan umum yang bertujuan untuk mendapatkan
simpati dan pengikut yang mendukungnya.
Korupsi dipemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akutanbilitas dan
perwakilan dalam pembentukan kebijaksanaan. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah
sering menguntungkan pemberi suap bukan kepada rakyat luas, misalnya ketika politikus
membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-
perusahaan kecil. Politikus yang “pro-bisnis” ini hanya menolong perusahaan besar yang
memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka. Secara umum, korupsi
mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan
sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikkan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat
26
bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintah dan nilai demokrasi seperti kepercayaan
dan tolenrasi.
Keempat, Dimensi Pedagogis
Ditinjau dari konteks pendidikan, tindakan untuk mencegah, mengurangi dan bahkan
memberantas korupsi adalah keseluruhan upaya untuk mendorong generasi mendatang
mengembangkan sikap tidak bersedia menerima dan memaafkan suatu perbuatan korupsi dan
bahkan menolak secara tegas setiap bentuk tindak korupsi. Perubahan persepsi dari sikap
membiarkan dan menerima ke sikap menolak terhadap korupsi tidak akan pernah terwujud
apabila tidak dilakukan pembinaan secara sadar terhadap kemampuan generasi mendatang untuk
memperbarui system nilai yang diwarisi sesuai dengan tuntutan yang muncul dalam setiap tahap
perjalanan bangsa.
Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
dinyatakan secara eksplisit bahwa: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Dengan demikian pembinaan ANTI KORUPSI pada jalur pendidikan diseluruh satuan
pendidikan (sekolah) merupakan wahana untuk melindungi dan mewujudkan fungsi dan tujuan
pendidikan nasional tersebut. Mengenai perspektif anti korupsi dari segi pendidikan ini akan
dijelaskan lebih lanjut pada bab selanjutnya.
B. Pendidikan Budaya Anti Korupsi Dalam Aspek Kewarganegaraan
Setiap Negara di dunia senantiasa memiliki cara-cara yang tepat menurut Negara atau
bangsa yang bersangkutan untuk mendidik warganegaranya. Warganegara ialah penduduk
sebuah negara atau bangsa yang berdasarkan keturunan, tempat kelahiran, dsb mempuyai
kewajiban dan hak pemilu sebagai warga negara itu. Sedangkan Chandler, Enslen dan Renstrom,
menjelaskan bahwa warganegara atau Citizenship adalah status seseorang yang kepadanya
diberikan seluruh jaminan hak-hak istimewa (privileges) dan dilindungi oleh undang-undang.
27
Siapa warganegara, ditentukan oleh aturan perundang-undangan baik karena kelahiran maupun
melalui naturalisasi. Pendidikan bagi warganegara merupakan sebuah keniscayaan bagi setiap
warganegara atau Civic Education/Citizenship Education. Istilah Pendidikan Kewarganegaraan
yang dikenal dengan nama Civic Education atau Citizenship Education sebagai perluasan dari
Civics (Ilmu Kewarganegaraan). Sebenarnya pada saat pertama kali istilah warganegara
dikenalkan di Greek (Yunani) dikenal dengan nama Civicius yang berarti warga dari sebuah
negara kota (City State) yang pada masa itu hanya berlaku di seputar kota.31
Perkembangan Pancasila dan Kewarganegaraan (PKn) Indonesia sejak kemerdekaan telah
melalui satu perjalanan sejarah yang panjang. Pada dasarnya mata pelajaran tersebut diharapkan
dapat menumbuhkan rasa kebangsaan/nasionalisme yang kuat. Namun perjalanan sejarah bangsa
Indonesia telah diwarnai dengan berbagai perubahan dan gejolak politik yang pada dasarnya
menuntut satu bentuk pendidikan bagi warganegara atau PKn agar setiap individu dan pribadi
dalam masyarakat Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari bangsa yang majemuk atau
masyarakat yang pluralistik yang hanya mungkin terbentuk karena adanya rasa persatuan sebagai
bangsa yang berdaulat yang dinamakan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
1. Paradigma Pendidikan Kewarganegaraan
Adanya perubahan paradigm pendidikan kewarganegaraan telah membawa dan
mengantarkan bangsa Indonesia mengalami pergeseran dengan lebih cenderung berpihak kepada
masyarakat/rakyatnya. Hal ini sesuai dengan tujuan Negara yang salah satunya untuk melindungi
masyarakatnya.
Uraian di atas telah membawa dan mengantarkan Bangsa Indonesia kepada situasi yang
mendorong bangsa ini untuk tidak mengulangi langkah-langkah politik yang keliru yang
cenderung lebih menekankan kepada kekuasaan dengan menomorduakan rakyat dan masyarakat
dalam sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengakuan terhadap hak-hak individu yang
rasa tanggung jawab harus terus ditumbuhkan, penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak
dasar manusia serta lebih menekan lagi pada kemajuan dan kesejahtraan rakyat harus sudah
mulai menjadi dasar-dasar kebijakan nasional dengan senantiasa membuka diri terhadap
perubahan global dan dengan respon yang dilakukan secara cerdas. Semua ini hanya mungkin
31 Hamid Darmadi, Pengantar pendidikan kewarganegaraan, Alfabeta, Bandung 2010, Hlm. 7
28
dapat dicapai jika dilakukan perubahan terhadap PKn. Paradigma baru tersebut menuntut
dilakukannya redefinisi dan revitalisasi implementasi konsep PKn sehingga benar-benar menjadi
sebuah wadah yang dapat membangun dan mengembangkan berbagai kemampuan warganegara
agar lebih sensitiv, proaktif, inovatif, dan kratif, dan cerdas sehingga dapat berpartisipasi secara
aktif dan efektif dalam kehidupannya sebagai warganegara dan warga masyarakat.
Redefinisi dan revitalisasi pengertian serta tujuan PKn akan mendorong lahirnya
paradigma baru PKn tersebut. Paradigma baru tersebut harus disusun di atas pilar-pilar
demokrasi yang akan mendukung nuansa demokrasi yang saat ini telah berkembang di
masyarakat. Atas dasar itu wahab beberapa konsep dimaksud akan mendasari Paradigma Baru
PKn Indonesia adalah Konstitusionalisme, Percaya kepada tuhan yang maha esa, Warganegara
yang cerdas, Kedaulatan perorangan (People Souvereignity), Pers yang bebas, Kekuasaan
Undang-Undang (The Rule of Law), Hak-hak dasar manusia, Pembagian kekuasaan (Division of
Power), Sistem pengadilan yang bebas, Desentralisasi (Decentralization/Local Autonomy),
Kesejahteraan Sosial dan Keadilan Sosial (Social Welfare and Social Justice), Patriotisme dan
Nasionalisme (Patriotism and Nationalism).32
Paradigma baru PKn tersebut menuntut adanya perubahan dalam seluruh aspek
pembelajaran PKn dimulai dari tujuan sampai pada pengembangan bahan ajar, metode mengajar
dan penilaiannya. Warganegara juga dituntut untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan
serta nilai-nilai sosial dan budaya yang berubah itu menyebabkan selain memiliki kemampuan
dan keterampilan juga dibutuhkan pemaknaan yang lebih luas dari arti warganegara yang baik.
Dengan adanya perubahan-perubahan tersebut juga dituntut pengetahuan dan keterampilan yang
lebih dari “sekedar” warganegara yang tahu tentang hak-hak dan kewajibannya tetapi juga
mampu melakukan yang lebih luas daripada itu sebagai akibat dari perubahan-perubahan yang
cepat dalam era reformasi dan globalisasi tersebut.
Menurut Udin kewarganegaraan dalam demokrasi konstitusional berarti bahwa setiap
warganegara : (a) merupakan anggota penuh dan sederajat dari sebuah masyarakat yang
berpemerintahan sendiri dan (b) diberi hak-hak dasar dan dibebani tanggung jawab.
Warganegara hendaknya mengerti bahwa dengan keterlibatnnya dalam kehidupan politik dan
32 Tim Pegembang Ilmu Pendidikan, Ilmu Dan Aplikasi Pendidikan Bagian III: Pendidikan Disiplin Ilmu,
PT. Imperial Bhakti Utama, Bandung 2007, Hal. 155
29
dalam masyarakat demokratis, mereka dapat membantu meningkatkan kualitas hidup di
lingkungan tetangga, masyarakat, dan bangsanya.33
Dalam masa transisi atau proses perjalanan bangsa menuju masyarakat madani (civil
society), pendidikan kewarganegaraan (PKn) sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah perlu
menyesuaikan diri sejalan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat yang sedang berubah.
Proses pembangunan karakter bangsa yang sejak proklamasi kemerdekaan RI telah mendapat
prioritas, perlu direvitalisasi agar sesuai dengan arah dan pesan kontitusi negara RI. Pada
hakekatnya proses pembentukan karakter bangsa diharapkan mengarah pada penciptaan suatu
masyarakat Indonesia yang menempatkan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
sebagai titik sentral. Dalam proses itulah, pembangunan karakter bangsa kembali dirasakan
sebagai kebutuhan yang sangat mendesak dan tentunya memerlukan pola pemikiran atau
paradigma baru.
Secara kebijakan PKn adalah nama salah satu mata pelajaran sebagai muatan wajib dalam
kurikulum pendidikan dasar dan menengah (Pasal 37 ayat 1 UU SPN). Selanjutnya dalam
lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi
ditegaskan bahwa PKn termasuk cakupan kelompok mata pelajaran Kewarganegaraan dan
Kepribadian, dimaksudkan untuk peningkatan kesadaran dan wawasan peserta didik akan status,
hak, dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta
peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia. Kesadaran dan wawasan termasuk wawasan
kebangsaan, jiwa dan patriotism bela negara, penghargaan terhadap hal-hak asasi manusia,
kemajemukan bangsa, pelestarian lingkungan hidup, kesetaraan gender, demokrasi, tanggung
jawab sosial, ketaatan pada hukum, ketaatan membayar pajak, dan sikap serta perilaku anti
korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Oleh kerena itu kehidupan yang demokratis dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan
keluarga, sekolah, masyarakat, pemerintahan dan organisasi-organisasi non-pemerintah perlu
dikenal, dipahami, diinternalisasi, dan diterapkan demi terwujudnya pelaksanaan prinsip-prinsip
demokrasi, selain itu perlu pula ditanamkan kesadaran wawasan kebangsaan, jiwa patriotism dan
bela negara, penghargaan terhadap hak azasi manusia, kemajemukan bangsa, pelestarian
33 Udin S. Winataputra. dkk., Materi dan Pembelajaran PKn SD. Universitas Terbuka, Jakarta, 2009, hlm.
110
30
lingkungan hidup, kesetaraan gender, demokrasi, tanggung jawab sosial, ketaatan pada hukum,
ketaatan membayar pajak, dan sikap serta perilaku anti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa PKn merupakan hasil dari keseluruhan
program sekolah meliputi pembelajaran, model/metode pembelajaran, aktifitas peserta didik,
pengalaman peserta didik, dan fungsi peserta didik sebagai warganegara dengan segala hak dan
tanggungjawabnya dalam suasana demokratis. Dengan demikian PKn bukan hanya mempelajari
materi kewarganegaraan, melainkan harus melakukan sesuatu sesuai dengan hak dan
kewajibannya, dan secara lebih luas meliputi pengaruh belajar di luar kelas/sekolah/masyarakat,
dan pendidikan di rumah. Selanjutnya dengan mempelajari PKn diharapkan setiap peserta didik
dapat menjadi warga Negara yang baik, memahami hak dan kewajibannya yang diwujudkan
melalui partisipasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam suasana
yang demokratis dengan tetap berlandaskan pada pancasila dan UUD 1945.
National Council for the Social Studies atau NCSS merumuskan bahwa PKn merupakan
gabungan dari seluruh hal positif yang menunjukkan peran serta warga Negara terhadap
negaranya. PKn bukan hanya dipelajari peserta didik di dalam kelas, namun dapat dipelajari di
lingkungan masyarakat dari kelompok masyarakat terkecil yaitu keluarga sampai dengan
kelompok masyarakat secara luas yaitu bangsa dan negara.34 Dengan demikian setelah
mempelajari PKn diharapkan peserta didik dapat berpartisipasi secara efektif dalam kehidupan
sehari-hari sebagai warga negara yang baik (good citizenship). Dengan demikian, PKn
merupakan program pendidikan yang digunakan untuk membantu generasi muda (peserta didik)
memperoleh pemahaman tentang hal-hal yang berkaitan dengan negara seperti pemerintahan,
konstitusi, lembaga-lembaga, hak azasi manusia, demokrasi, hukum dan peradilan serta dapat
berpartisipasi aktif secara kritis analitis, bersikap dan bertindak secara demokratis.35
Berdasarkan paparan di atas, dapat dikemukakan bahwa makna PKn adalah
pengorganisasian dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora dengan penekanan pada
pengetahuan dan kemampuan dasar tentang hubungan antar warganegara dengan negara yang
dilandasi keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, nilai luhur dan moral
34 National Council for the Social Studies atau NCSS, 1970, Curriculum Standards for Social Studies.
United States of America, hlm. 10.35 Pembinaan Pendidikan Lalu Lintas Melalui Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) (PLL - PKn) SD/MI
Dan SMP/MTs, Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kegiatan Pembinaan Pendidikan Kewarganegaraan Jakarta, 2012, Hlm. 8
31
budaya bangsa, memiliki rasa kebangsaan (nasionalisme) yang kuat dengan memperhatikan
keragaman agama, sosiokultural, bahasa dan suku bangsa, dan memiliki jiwa demokratis yang
diharapkan dapat diwujudkan dalam perilaku sehari-hari.
Selanjutnya, secara filosofis PKn adalah mengkaji bagaimana warganegara bertindak,
dalam arti melakukan sesuatu berdasarkan apa yang diketahui dan dipahami melalui materi PKn,
dan akhirnya dapat membuat keputusan-keputusan secara demokratis, cerdas dan
bertangungjawab dalam menghadapi berbagai masalah baik pribadi, masyarakat, bangsa, dan
negara.
Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang
memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-
hak dan kewajiban untuk menjadi warga Negara yang memahami dan mampu melaksanakan
hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga Negara yang cerdas, terampil dan berkarakter
sebagaimana yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.
Berdasarkan hal tersebut dapat di simpulkan tujuan PKn dapat diasumsikan bahwa pada
hakekatnya dalam setiap tujuan membekali kemampuan kepada peserta didik dalam hal
tanggung jawabnya sebagai warganegara. Yaitu warganegara yang beriman dan bertaqwa
terhadap Tuhan yang Maha Esa; berpikir kritis, rasional, dan kreatif ; berpartisipasi dalam
kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ; berkembang secara demokratis ; dan
membentuk diri berdasarkan pada karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup
bersama dengan bangsa-bangsa lainnya serta interaksi dengan bangsa-bangsa lain dalam
percaturan dunia dengan memamfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Secara singkat
tujuan PKn adalah membina paserta didik agar menjadi warganegara yang baik (good citizens).
Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang dituangkan dalam UU SPN Pasal 3 yang
telah dipaparkan di atas. Dari pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa pada dasarnya tujuan
PKn mendukung tercapainya tujuan pendidikan nasional, yakni berusaha mengembangkan
potensi peserta didik secara optimal berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan
UUD 1945.
32
Praktik belajar kewarganegaraan dan kepribadian merupakan suatu inovasi pembelajaran
yang dirancang untuk membantu peserta didik memahami teori kewarganegaraan yang dilandasi
karakter bangsa Indonesia melalui pengalaman belajar praktik-empirik. Dengan adanya praktek,
perserta didik diberikan latihan untuk belajar secara kontekstual. Praktik belajar ini dapat
menjadi program pendidikan yang mendorong kompetensi dan tanggungjawab partisipasi peserta
didik, belajar bagaimana menilai dan mempengaruhi kebijaksanaan umum, memberanikan diri
untuk berperan serta dalam kegiatan antar-peserta didik, antar sekolah, dan antar anggota
masyarakat. Pada hakekatnya merupakan suatu aktivitas yang dapat dilakukan oleh perorangan,
kelompok, kelas, atau sekolah dan bermamfaat bagi diri, keluarga, masyarakat, dan negara.
Dengan adanya Praktik Belajar Kewarganegaraan ini diharapkan dapat meminimalisasi
kesenjangan antara teori dan praktik kewarganegaraan. Dengan demikian praktik ini mempuyai
kegunaan praktis bagi peserta didik dalam mendalami konsep dan praktik kewarganegaraan dan
kepribadian. Dengan kata lain peserta didik harus dapat menguasai ilmu tentang
kewarganegaraan (sains) dan mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan
nilai-nilai yang ada di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan negara. Dengan demikian
Pendidikan Kewarganegaraan berkaitan erat dengan pembentukan karakter bangsa yang meliputi
civic knowledge, civic virtue, and civic skill (pengetahuan, karakter kewarganegaraan, dan
keterampilan). Ketiga hal tersebut merupakan karakteristik Mata Pelajaran PKn, sekaligus
merupakan bekal bagi peserta didik untuk meningkatkan kecerdasan multidimensional yang
memadai untuk menjadi warga negara yang baik.36
Civic Knowledge berkaitan dengan pengetahuan tentang kewarganegaraan. Yakni setiap
warga Negara harus memahami terhadap hak-haknya dan kewajiban yang harus dipenuhi
sebagai warga Negara. Civic virtue berkaitan dengan nilai-nilai kebajikan yang diterapkan
melalui sikap warga negara yang harus dimiliki dan ditunjukkan sesuai dengan sistem nilai
bangsa Indonesia. Sistem nilai dimaksudkan adalah keseluruhan norma-norma yang berlaku
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sedangkan civic skill berkaitan
dengan praktik kewarganegaraan yang harus dilakukan berdasarkan sistem nilai dalam bentuk
perilaku-perilaku sehari-hari. Dengan demikian pembelajaran PKn harus dinamis dan mampu
36 Marni Anastasia Tamba, Pendidikan Anti Korupsi Melalui Pendidikan Kewarganegaraan, Prosiding
Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1 2017, Hlm. 517
33
menarik perhatian peserta didik. Sekolah hendaknya memberikan bantuan kepada peserta didik
untuk mengembangkan pemahaman baik materi maupun keterampilan intelektual (thinking
skill), keterampilan sosial (sosial skill) dan partisipatori dalam kegiatan sekolah yang berupa
intra dan ekstrakurikuler.37
Melalui pembelajaran bermakna, peserta didik diharapkan dapat mengembangkan dan
menerapkan keterampilan intelektual, keterampilan tentang arti pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat. Disamping itu peserta didik akan memperoleh keuntungan dan
kesempatan dari pembelajaran yang bermakna untuk berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan (politics) dan peyelenggaraan organisasi yang baik (good governance) pada tingkat
kelas dan sekolah mereka sendiri, berpartisipasi dalam simulasi kegiatan ke parlemen (misalnya:
prosedur dengan pendapat dan judicial di lembaga legislative), mengamati cara kerja di non-
pemerintahan, belajar bagaimana anggota pemerintahan dan organisasi non-pemerintahan
berusaha mempengaruhi kebijaksanaan umum dan/atau Negara, dan bertemu dengan pejabat-
pejabat publik/pemerintahan.
Karakteristik mata pelajaran PKn adalah pengetahuan, keterampilan, dan karakter
kewarganegaraan. Ketiga hal tersebut merupakan bekal bagi peserta didik untuk meningkatkan
kecerdasan multidimensional yang memadai untuk menjadi warga negara yang baik. Karakter
kewarganegaraan, adalah karekater warga Negara yang memahami akan hak dan kewajibannya.
Pendidikan Anti Korupsi juga membina karakter bangsa melaui pendidikan nilai-nilai kebaikan.
Dengan demikian pendidikan anti korupsi dengan PKn memiliki karakteristik yang sama.
Keterkaitan antara Mata Pelajaran PKn dengan Pendidikan Anti Korupsi berdasarkan
standar kompetensi lulusan satuan pendidikan, adalah38:
a. Memahami dan menunjukkan sikap positif terhadap norma-norma kebiasaan, adat istiadat,
dan peraturan, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
b. Menampilkan perilaku yang baik sesuai dengan nilai-nilai pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945
37 Budimansyah, D dan Winataputra. (2007). Civic Education ‘Konteks,Landasan, Bahan Ajar, Dan Kultur
Kelas’ Bandung: Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan Sekolah Pasca Sarjana UPI, Hlm. 21938 Marni Anastasia Tamba, op.cit.
34
c. Menunjukkan sifat positif terhadap pelaksanaan kehidupan demokrasi dan kedaulatan
rakyat
d. Menunjukkan sikap kritis dan apersiatif terhadap dampak globalisasi
e. Memahami prestasi diri untuk berprestasi sesuai dengan keindividuannya (Permendiknas
No.22 Tahun 2006)
2. Implementasi Pendidikan Anti Korupsi pada PKn di Sekolah
Korupsi dilihat dalam konteks pendidikan adalah tindakan untuk mengendalikan atau
mengurangi korupsi, merupakan keseluruhan upaya untuk mendorong generasi-generasi
mendatang mengembangkan sikap menolak secara tegas setiap bentuk tindak korupsi. Korupsi
seakan-akan sudah membudaya di negeri ini, karena sejak sebelum penjajahan belanda (masa
kerajaan di nusantara) korupsi sudah ada. Pasca reformasi, korupsi semakin menggejala dan
semakin tersistem karena banyak melibatkan orang, instansi maupun organisasi sosial serta
LSM. Terbukti di media massa menunjukkan banyak pejabat negara, pimpinan lembaga, LSM
terlibat kasus korupsi dan banyak pula yang sudah di vonis dan dipenjarakan. Namun tindakan
tegas yang dilakukan pemerintah sepertinya tidak memberikan efek jera terhadap pelaku-pelaku
korupsi. Ini menunjukkan bahwa dorongan untuk melakukan korupsi terkait erat dengan sikap
mental seseorang terhadap sistem nilai yang diwarisi. Oleh karena itu Pendidikan Anti Korupsi
(PAK) sangat penting dilakukan melalui jalur pendidikan, dengan harapan agar generasi muda
secara sadar mampu membangun sistem nilai yang baru yaitu anti korupsi.39
Pendidikan anti korupsi melalui jalur pendidikan lebih efektif, karena pendidikan
merupakan proses perubahan sikap mental yang terjadi pada diri seseorang, dan melalui jalur ini
lebih tersistem serta mudah terukur, yaitu perubahan perilaku anti korupsi. Perubahan dari sikap
membiarkan dan memamfaatkan para koruptor ke sikap menolak secara tegas tindakan korupsi,
tidak pernah terjadi jika kita tidak secara sadar membina kemampuan generasi mendatang untuk
memperbaharui sisitem nilai yang diwarisi (korupsi) sesuai dengan tuntutan yang muncul dalam
setiap tahap perjalanan bangsa.
Berdasarkan uraian tersebut, Pendidikan Anti Korupsi memfokuskan pada penanaman
nilai-nilai pada generasi muda, sehingga akan muncul sistem nilai baru yang terinternalisasi pada
39 Ibid.
35
diri generasi muda sebagai pedoman hidup (tidak melakukan korupsi) dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai anti korupsi yang perlu ditanamkan kepada
generasi muda melalui jalur pendidikan yang direkomendasikan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi yaitu tanggung jawab, disiplin, jujur, sederhana, kerja keras, mandiri, adil, berani, dan
peduli.
Selanjutnya, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pada pasal 3 dinyatakan secara eksplisit bahwa; “Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”. Dengan demikian, pembinaan anti korupsi pada jalur
pendidikan (sekolah) merupakan wahana untuk mendukung dan mewujudkan fungsi dan tujuan
pendidikan nasional tersebut.
Untuk mewujudkan Pendidikan Anti Korupsi, pendidikan di sekolah harus dioreantasikan
pada tataran moral action agar peserta didik tidak hanya berhenti pada kompetensi (competence)
saja, tetapi sampai memiliki kemauan (will), dan kebiasaan (habit) dalam mewujudkan nilai-nilai
kehidupan sehari-hari. Likcona, menyatakan bahwa untuk mendidik moral anak sampai pada
tataran moral action diperlukan tiga proses pembinaan yang berkelanjutan mulai dari proses
moral knowing, moral felling, hingga sampai pada moral action. Ketiganya harus dikembangkan
secara terpadu dan seimbang. Dengan demikian diharapkan potensi peserta didik dapat
berkembang secara optimal, baik pada aspek kecerdasan intelektual, yaitu memiliki kecerdasan,
kemampuan membedakan yang baik dan buruk, benar dan salah, serta menentukan mana yang
bermamfaat. Kecerdasan emosional, berupa kemampuan mengendalikan emosi, menghargai dan
mengerti perasaan orang lain, dan mampu bekerja dengan orang lain. Kecerdasaan sosial, yaitu
memiliki kemampuan berkomunikasi, senang menolong, berteman, senang bekerjasama, senang
berbuat untuk menyenangkan orang lain. Kecerdasan spiritual, yaitu memiliki kemampuan iman
yang anggun, merasa selalu diawasi Allah, gemar berbuat baik karena lillahi ta’alah, disiplin
beribadah, sabar, ikhtiar, jujur, pandai bersyukur dan berterima kasih. Sedangkan kecerdasan
kinestetik, adalah menciptakan keperdulian terhadap dirinya dengan menjaga kesehatan jasmani,
36
tumbuh dari rizki yang halal, dan sebagainya. Maka sosok manusia yang mengembangkan
berbagai kecerdasan tersebut, diharapkan siap menghadapi dan memberantas perbuatan korupsi
atau bersikap anti korupsi.40
Menurut Indonesia Corruption Watch pada diskusi tentang pendidikan untuk membasmi
korupsi yang diselenggarakan tanggal 8 februari 2007, bahwa ada tiga gagasan yang
disampaikan, pertama, korupsi hanya dapat dihapuskan dari kehidupan kita secara berangsur-
angsur. Artinya membasmi korupsi di tanah air ini tidak seperti membasmi hama ulat di tanaman
sekali disemprot dengan pestisida, hama ulat akan hilang, tetapi harus dilakukan secara terus-
menerus. Kedua pendidikan membasmi korupsi sebaiknya berupa persilangan (intersection)
antara pendidikan watak (character) dan Pendidikan Kewarganegaraan, dimana pendidikan
watak terkait dengan pembentukan sikap sesuai dengan sistem nilai, sedangkan Pendidikan
kewarganegaraan lebih memfocuskan pada pemahaman sikap dan perilaku warganegara sesuai
hak dan kewajiban seperti amanat Pancasila dan UUD 1945. Ketiga, pendidikan untuk
mengurangi atau memberantas korupsi harus berupa pendidikan nilai, yaitu pendidikan untuk
mendorong setiap generasi menyusun kembali sistem nilai yang diwarisi dari pendahulunya.
Sistem nilai yang tidak cocok segera diperbaharui atau membuat sistem nilai baru. Sistem nilai
warisan inilah seakan-akan korupsi telah membudaya, tidak putus-putusnya korupsi terus
dilakukan dari generasi ke generasi.
Keterkaitan antara Pendidikan Anti Korupsi dengan Pendidikan Kewarganegaraan dapat
ditinjau dari berbagai aspek, antara lain : Pendidikan Anti Korupsi secara konsep merupakan
upaya melalui jalur pendidikan untuk mengendalikan atau mengurangi serta mengembangkan
sikap menolak secara tegas setiap bentuk korupsi. Keterkaitan antara Pendidikan Anti Korupsi
(PAK) dengan Pendidikan PKn sangatlah relevan karena keduanya memfokuskan pada
pembentukan sikap yang sesuai dengan sistem nilai yang diterima oleh masyarakat Indonesia.
Salah satu tujuan Pendidikan Kewarganegaraan di persekolahan adalah berpartisipasi secara aktif
dan bertanggung jawab, bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara termasuk Anti Korupsi. Pendidikan Anti Korupsi adalah tindakan untuk
mengendalikan atau mengurangi korupsi, merupakan keseluruhan upaya untuk mendorong
40 Ibid.
37
generasi-generasi mendatang mengembangkan sikap menolak secara tegas setiap bentuk tindak
korupsi.
38
39
BAB V
STRATEGI PEMBERANTASAN KORUPSI MELALUI BUDAYA
ANTI KORUPSI
A. Peran Budaya Hukum Sebagai Strategi Kebijakan Anti Korupsi
Agenda utama reformasi yang diamanatkan oleh masyarakat Indonesia adalah
pemberantasan korupsi.Tindakan ini telah mengakar begitu kuat dan menjadi bahaya laten yang
kian mengikis perilaku masyarakat. Berbagai macam persoalan terkait korupsi dianggap sebagai
hal yang biasa, karena seringkali persoalan itu muncul di berbagai media masa dan tidak ada
ujung penyelesaianya. Parahnya lagi,penanganan serta hukuman bagi koruptor tidak membuat
jera seseorang untuk melakukan tindakan yang sama. Akibatnya adalah semakin merebaknya
para koruptor yang bermunculan di negeri ini. Kata korupsi berasal dari bahasa Latin
“corruputio” atau “corruptus” yang berarti kerusakan atau kebobrokan. Arti kata korupsi secara
harfiah adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,
penyimpangan dari kesucian.41
Seiring berjalannya waktu, definisi korupsi senantiasa berkembang, baik secara normatif
maupun sosiologis. Perkembangan masyarakat di segala bidang kehidupan menyebabkan
meluasnya tindakan dan perbuatan yang bisa dikategorikan sebagai tindakan korupsi. Robert
Klitgaard, dalam bukunya Membasmi Korupsi mendefinisikan korupsi adalah tingkah laku yang
menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang
yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri) atau melanggar aturan-
aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi. Tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan
oleh Klitgaard, Unesco Courier sebagaimana yang dikutip oleh Harahap mendefinisikan korupsi
sebagai tindakan penyimpangan jabatan publik demi keuntungan pribadi dan golongan (misuse
of office for personal gain). Begitu pula pengakuan KPK, bahwa korupsi adalah setiap perilaku
yang mengarah untuk merugikan masyarakat dan perilaku untuk memperkaya diri sendiri. 42
41 Ma’as Shobirin, Model Penanaman Nilai Antikorupsi Di Sekolah Dasar, Jurnal Ilmiah Pendidikan Dasar
Unissula, Vol. 2 Jilid 1. Tahun 2014 Hlm. 10842 Robert Klitgaard, A Holistic Approach to the Fight against Corruption, 29 January 2008, Hlm. 2
40
Berdasarkan pemahaman pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana yang diubah dengan
UU No. 20 Tahun 2001, korupsi adalah perbuatan secara melawan hukum dengan maksud
memperkaya diri sendiri yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, sehingga
dari sini ada beberapa unsur yang harus dipenuhui agar suatu perbuatan dapat dianggap sebagai
korupsi, yaitu;1) Secara Melawan Hukum; 2) Memperkaya diri sendiri/orang lain; 3) Dapat
merugikan keuangan/ perekonomian negara. Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat
disimpulkan bahwa korupsi adalah tindakan penyalahgunaan wewenang jabatan atau amanah
secara melawan hukum untuk memperoleh keuntungan dan manfaat pribadi atau kelompok
tertentu yang dapat merugikan kepentingan umum. Suyuthi Pulungan menjelaskan bahwa faktor
penyebab tindakan korupsi bersifat internal dan eksternal. Faktor internal bisa meliputi sifat
tamak yang ada dalam diri manusia, moral yang tidak kuat menahan godaan didepan mata, dan
penghasilan yang kurang memadai.Sedangkan penyebab eksternal adalah situasi lingkungan atau
adanya peluang, dan kesempatan yang sangat mendukung. Korupsi merupakan penyelewengan
terhadap wewenang publik yang timbul karena kurangnya kontrol terhadap kekuasaan yang
dimiliki dan terbukanya kesempatan untuk menyelewengkan kekuasaan tersebut.
Disamping itu motif-motif pribadi juga turut mendorong tejadinya tindakan korupsi
sepertihalnya ingin cepat kaya dan memperoleh pengakuan akan status sosial. Adapun alasan
mengenai faktor penyebab terjadinya korupsi, antara lain43:
a. Penegakan hukum tidak konsisten karena penegakan hukum hanya sebagai alat politik
yang sifatnya sementara dan selalu berubah setiap berganti pemerintahan.
b. Penyalahgunaan kekuasaan/wewenang,
c. Langkanya lingkungan yang anti korup; system dan pedoman anti korupsi hanya dilakukan
sebatas formalitas.
d. Rendahnya pendapat penyelenggara Negara. Pendapatan yang diperoleh harus memenuhi
kebutuhan penyelenggara Negara, mampu mendorong penyelenggara Negara untuk
berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
e. Kemiskinan keserakahan;
43 Arya Maheka, Mengenali dan memberantas korupsi, KPK, Jakarta, 2006, hlm. 23-24.
41
f. Masyarakat kurang mampu melaksanakan korupsi karena kesulitan ekonomi, sedangkan
mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan
menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.
g. Budaya member upeti, imbalan jasa dan hadiah
h. Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi; saat tertangkap
bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan
hukumannya.
i. Budaya serba membolehkan, tidak mau tahu: menganggap biasa apabila ada korupsi,
karena sering terjadi. Tidak peduli orang lain, asal kepentingan sendiri terlindungi.
Gagalnya pendidikan agama dan etika; ada benarnya pendapat Franz Magniz Suseno
bahwa agama telah gagal membendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku
masyarakat yang memeluk agama hanya berkutat pada masalah bagaimana cara beribadah saja.
Sehingga agama nyaris tidak berfungsi dalam memainkan peran sosial. Aspek budaya hukum
inilah yang mempunyai peranan yang sangat penting dalam penegakan hukum pidana di
Indonesia. Menurut Lawrence M. Friedman menjelaskan mengenai konsep budaya hukum adalah
sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta
harapannya. Dengan kata lain budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial
yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalah gunakan, tanpa adanya
budaya/kultur hukum maka sistem hukum sendiri tak berdaya44. Unsur budaya hukum ini
mencakup opini-opini, kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan cara bertindak baik
kepemimpinaan dalam hal ini presiden, pejabat penyelenggara Negara, pejabat aparatur Negara,
maupun dari aparat penegak hukum harus memberi tauladan untuk tidak melanggar aturan
hukum seperti melakukan tindak piidana korupsi, maka budaya hukum akan dapat membantu
mengurangi tindak pidana korupsi. Hal ini dikarenakan budaya masyarakat Indonesia suka
mengikuti atau meniru apa yang dilakukan pimpinannya. Tanpa budaya hukum maka sistem
hukum akan kehilangan kekuatannya seperti yang di katakan Lawrence M. Friedman: "without
legal culture, the legal system is meet-as dead fish lying in a basket, not a living fish swimming
44 Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebab dan Solusinya), (Jakarta, Ghalia Indonesia,
2003), hal.9.
42
in its sea". Gambaran mengenai budaya hukum dalam unsur-unsur sistem hukum adalah struktur
hukum diibaratkan sebagai mesin yang menghasilkan sesuatu, substansi hukum diibaratkan
produk yang di hasilkan oleh mesin, dan budaya hukum merupakan apa saja atau siapa saja yang
memutuskan untuk menjalankan mesin serta membatasi penggunaan mesin.45 Menurut
Satjipto Rahardjo bahwa dalam usaha untuk membenahi hukum di Indonesia kita perlu menaruh
perhatian yang seksama terhadap masalah perilaku bangsa, kehidupan hukum tidak hanya
menyangkut urusan hukum teknis, seperti pendidikan hukum tetapi menyangkut soal pendidikan
dan pembinaan perilaku individu dan sosial yang luas.46 Menurut Esmi Warassih bahwa aspek
perilaku (budaya hukum) aparat penegak hukum perlu dilakukan penataan ulang dari perilaku
budaya hukum yang selama ini dilakukan oleh aparat penegak hukum sebelumnya karena
seseorang menggunakan hukum atau tidak menggunakan hukum sangat tergantung pada kultur
(budaya) hukumnya. Telah terbukti bahwa akibat perilaku hukum aparat penegak hukum yang
tidak baik, tidak resisten terhadap suap, konspirasi, dan KKN, menyebabkan banyak perkara
tindak pidana korupsi yang tidak dapat dijerat oleh hukum.47
Korupsi sebagai kejahatan terjadi, apabila dalam diri seseorang terdapat adanya niat,
kemampuan, adanya peluang dan target yang sesuai dengan yang diinginkan. Kelemahan bangsa
kita adalah mengenai mental /moral, budaya latah sering ikut-ikutan , kurang adanya kontrol
terhadap diri sendiri, tidak mempunyai kesadaran terhadap hukum mana yang baik mana yang
tidak baik misalnya dengan menyogok aparat penegak hukum. Seperti dikemukakan Soerjono
Soekanto, bahwa budaya hukum erat hubungannya dengan kesadaran hukum. Jika budaya
hukum merujuk pada penilaian tentang hukum yag baik atau tidak baik (sehingga menentukan
pilihan untuk digunakan atau tidak digunakan) oleh individu dan masyarakat, maka kesadaran
hukum lebih merujuk pada kesadaran atau nilai-nilai yang diharapkan ada. Menurut Sunaryati
Hartono, bahwa kesadaran hukum merupakan abstarksi yang lebih rasional daripada perasaan
hukum yang hidup di dalam masyarakat.48
45 Syafruddin Makmur, Budaya Hukum Dalam Masyarakat Multikultural, Salam: Jurnal Sosial Dan Budaya
Syar’i, Vol 2, No 2 (2015), Hlm. 2246 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008), hal.5.47 Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, (Semarang: Surya Alam Utama, 2005), hal.82
48 Sunaryati Hartono, Peranan Kesadaran Hukum Rakyat dalam Pembaharuan Hukum, Kertas Kerja pada Simposium Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Masa Transisi, (Jakarta : BPHN-Bina Cipta, 1975) hlm. 89-90.
43
Apabila pelaku tindak pidana korupsi ternyata tidak juga diadili berarti ada dukungan dari
aparat penegak hukum itu sendiri dengan menutup-nutupi kasus para koruptor dengan negosiasi
materi atau juga karena ada kepentingan politis untuk suatu kekuasaan. Untuk itu Aparat
penegak hukum yang benar dalam menunaikan tugasnya dapat berperan dalam membangun dan
menata kembali budaya hukum dalam penegakan hukum pidana di Indonesia sesuai sila ke 5
Pancasila yaitu Keadilan seluruh Rakyat Indonesia, tidak memandang kaya atau miskin, pejabat
atau bukan. Hal ini tentunya harus dimulai dari pimpinannya itu sendiri yaitu Presiden dan para
penegak hukum seperti Kapolri, Jaksa Agung, maupun dari Ketua KPK, mereka dituntut untuk
mengambil peran melalui budaya kerja yang tidak melanggar aturan hukum dan mempunyai
sikap mental yang baik dan jujur, tidak dipengaruhi oleh kepentingan pribadi untuk memperkaya
diri sendiri sehingga keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana tercantum dalam
Pancasila dan asas persamaan dalam bidang hukum dapat terwujud dan secara konsisten dapat
dilaksanakan dengan benar.
Dalam rangka menciptakan peran budaya hukum dari sisi aparat hukum maka perilaku
pimpinan dan para aparat penegak hukum mencakup polisi, jaksa, hakim agar dapat
mengembalikan kepercayaannya kepada masyarakat dan menjalankan tugasnya dengan
profesional maka hukum harus dikembalikan kepada akar moralitas, kultural dan religius, dan
mengembalikan rasa keadilan rakyat tanpa diskriminasi.
Meskipun saat ini banyak para pemimpin yang memiliki kekuasaan tertinggi pada
penyelenggara negara bahkan pemimpin partai yang sebelumnya mendengung-dengungkan anti
korupsi, setelah menjabat di pemerintahan ternyata banyak yang melakukan tindak pidana
korupsi bahkan dilakukan oleh para pejabat tinggi yang tidak diragukan ilmu pengetahuan
agamanya, yang seharusnya mereka tahu mana yang benar mana yang salah malah sepertinya
melakukan korupsi sudah dianggap biasa tanpa ada rasa malu dan tanpa merasa bersalah.
Padahal kemajuan dan kesuksesan sebuah bangsa amat ditentukan seberapa kuat budaya malu
memengaruhi perilaku masyarakatnya. Semakin maju dan beradab sebuah bangsa semakin kuat
dan kokoh budaya malunya yang menjadi pijakan dalam kehidupan sehari-hari. Budaya malu
tersebut secara jelas ditunjukkan negara-negara maju.
B. Budaya Malu Sebagai Strategi Kebijakan Anti Korupsi
44
Steven Box mengemukakan bahwa publikasi kejahatan white-collar dapat menjadi sarana
pencegahan ampuh dan berperan sebagai katalisator pe ningkatan keyakinan kultural publik akan
ketidaksetujuan, penolakan dan pence laan terhadap kejahatan white-collar. John Braithwaite
menyatakan bahwa publikasi dapat merupakan strategi ampuh pemberian rasa malu (shaming)
atas diri pelaku. Terdapat bukti-bukti yang meyakinkan bahwa pelaku kejahatan white-collar
merasa khawatir, ngeri apabila kasus dan dirinya dipublikasikan. Benson menemukan bukti-
bukti bahwa para pelaku kejahatan white-collar yang kasusnya dilaporkan merasa sangat malu
dan tercekam berat. Hutter juga melihat bahwa pemanggilan sidang dan publikasi atas diri
pelaku merupakan sumber kegelisahan utama si pelaku.49
Dari cuplikan berbagai pendapat para pakar di atas, tak berkelebihan kiranya apabila
pemberian rasa malu atas diri pelaku kejahatan white-collar patut dipertimbangkan sebagai
sarana penanggulangan terhadap gejala itu. Erat kaitan dengan pemberian rasa malu atas diri
pelaku, menarik untuk dikemukakan pandangan teoritik dari John Braithwaite. Teori Brathwaite
berangkat dari asumsi dasar, masyarakat yang tinggi angka kejahatannya adalah masyarakat
yang warganya kurang efektif mencela kejahatan, dan masyarakat yang rendah kejahatannya
bukanlah masyarakat yang secara efektif menjatuhkan pidana terhadap kejahatan melainkan
masyara kat yang warganya secara efektif bersikap tidak tolerans terhadap kejahatan.50 Sikap
tidak tolerans ini salah satunya berupa pemberian rasa malu atas diri pelaku (shaming), suatu
proses sosial tentang pernyataan pencelaan yang mengakibatkan timbulnya penyesalan paling
dalam dari seseorang yang dipermalukan, atau pencelaan oleh pihak lain yang telah menyadari
hal itu. Pemberian rasa malu (shaming) yang dilaksanakan melalui pendidikan moral tentang
ketidakterpujian perilaku jahat dan pendidikan moral tentang pentingnya pencegahan kejahatan
lewat pencelaan sosial dan pencelaan diri pe-laku yang timbul dari nurani terdalam di kalangan
warga masyarakat, bila beroperasi secara sinergik akan lebih efektif daya tangkalnya
dibandingkan dengan penjatuhan sanksi pidana secara formal dalam pencegahan kejahatan di
masyarakat. Perlu diingat bahwa sikap ketaksetujuan, penolakan dan pencelaan itu mempunyai
lingkup yang luas, tidak sekedar tak setuju atau mencela, namun harus juga ada sikap tak
49 Paulus Hadisuprapto, Pemberian Malu: Alternatif Antisipatif Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme (K.K.N),
Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 1 No. I September 2000, Hlm. 650 Hugh D. Barlow, Crime and Public Policy, Putting Theory to Work, Westview Press, Boulder, 1995 Hlm.
191
45
tolerans serta penolakan dari ma-syarakat terhadap segala hal (materiil, immateriil) yang
diperkirakan berasal dari tindak kejahatan.51
Sikap tak toleran dan penolakan di atas, bila dikaitkan dengan kejahatan korupsi, kolusi
dan nepotisme (KKN), berarti bahwa seluruh lapisan masyarakat harus bersikap tak toleran dan
menolak segala hal yang berbau KKN baik material maupun immaterial. Termasuk dalam hal
itu, sikap isteri dan anak-anak dari suatu keluarga seyogyanya menolak pemberian uang dari
suaminya atau ayahnya apabila ada kecurigaan uang itu hasil korupsi atau kolusi. Seorang
pemborong bangunan menolak pemberian proyek dari pejabat tertentu karena ada kecurigaan
proses “tender”nya berlangsung tak sehat atau karena hubungan kekerabatan. Mungkin ada yang
berpikir bahwa harapan ini sangat musykil dan mustahil, “mimpi” , melihat kondisi masyarakat
yang tengah menggejala dewasa ini. Permasa-lahannya lalu menyangkut proses, pembudayaan
sikap anti korupsi, kolusi dan nepotisme di kalangan masyarakat luas di negeri ini, memerlukan
proses, proses yang mungkin memerlukan waktu lama, tapi ada baiknya mulai dipi-kirkan
kemungkinan-kemungkinan ke arah itu. Sebagai ilustrasi di bawah ini dikemukakan contoh
pembudayaan “antri” yang didukung oleh sikap tak toleran dan penolakan terhadap mental
penerobos.
Seseorang dari Indonesia berada di luar negeri, suatu saat ia membawa surat dan sudah
ditempeli perangko pergi ke kantor pos untuk mengirimnya ke Indonesia. Pikirnya, ia hanya
sekedar menyerahkan surat itu (titip) pada pegawai kantor pos di salah satu loket pengiriman.
Kebiasaan di Indonesia, hal itu dapat dilakukan dengan “nylonong” langsung ke loket
menyerahkan surat itu tanpa harus antri. Namun apa yang terjadi, pegawai di loket menolak dan
mengembalikan suratnya dan meminta agar ia mengikuti antrian yang ada. Pegawai kantor pos
menolak memberikan pelayanan kepada siapa saja yang tidak mau mengikuti antrian. Hal yang
sama juga dialami si orang Indonesia itu ketika ia ingin menggunakan taksi, rupanya budaya
antri pun berlaku dalam hal pertaksian. Ia langsung nylonong ke depan tak mengikuti antrian
yang ada, taksi berhenti, namun pengemudi taksi mempersilahkan seseorang yang berdiri paling
depan di antrian untuk naik, sementara kepada si “penyerobot” diminta untuk antri di belakang.
Kasus di atas memberikan gambaran bahwa budaya antri sudah merupakan kebiasaan yang
kental melekat di kalangan masyarakat di negeri itu, oleh karenanya sikap ketaksetujuan,
51John Braithwaite, Crime, Shame and Reintegration, Cambridge University Press, Cambridge, 1989, Hlm.
100
46
penolakan terhadap mental penerobos antrian pun menjadi begitu kuat melekat dan ditampilkan
dengan kongkrit dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
C. Pendidikan Anti Korupsi Sebagai Strategi Pencegahan Korupsi
Pendidikan antikorupsi melalui jalur pendidikan lebih efektif, karena
pendidikan merupakan proses perubahan sikap mental yang terjadi pada diri seseorang, dan
melalui jalur ini lebih tersistem serta mudah terukur, yaitu perubahan perilaku anti korupsi.
Perubahan dari sikap membiarkan dan memaafkan para koruptor ke sikap menolak secara tegas
tindakan korupsi, tidak pernah terjadi jika kita tidak secara sadar membina kemampuan generasi
mendatang untuk memperbaharui sistem nilai yang diwarisi (korupsi) sesuai dengan tuntutan
yang muncul dalam setiap tahap pernjalanan bangsa.
Pendidikan antikorupsi merupakan tindakan untuk mengendalikan dan mengurangi
korupsi berupa keseluruhan upaya untuk mendorong generasi mendatang untuk mengembangkan
sikap menolak secara tegas terhadap setiap bentuk korupsi. Mentalitas antikorupsi ini akan
terwujud jika kita secara sadar membina kemampuan generasi mendatang untuk mampu
mengidentifkasi berbagai kelemahan dari sistem nilai yang mereka warisi dan memperbaharui
sistem nilai warisan dengan situasi-situasi yang baru. Dalam konteks pendidikan, “memberantas
korupsi sampai ke akar-akarnya” berarti melakukan rangkaian usaha untuk melahirkan generasi
yang tidak bersedia menerima dan memaafkan suatu perbuatan korupsi yang terjadi.
Tujuan pendidikan antikorupsi tersebut dapat dipahami tujuan pendidikan antikorupsi
adalah menanamkan pemahaman dan perilaku antikorupsi. Jika merujuk pada UU No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 4 ayat (3) disebutkan bahwa pendidikan
diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang
berlangsung sepanjang hayat. Atas dasar ini, signifikansi penyelenggaraan pendidikan
antikorupsi lewat jalur pendidikan tidak dapat diabaikan potensinya sebagai salah satu cara untuk
membudayakan antikorupsi di Perubahan dari sikap membiarkan dan menerima ke sikap tegas
menolak praktik korupsi. Dengan adanya pendidikan antikorupsi juga diharapkan membentuk
kesadaran akan bahaya korupsi bagi negara, kemudian bangkit melawannya dan menjadi
pemenang dalam pemberantasan korupsi serta menentang bentuk kemungkaran sosial, kejahatan
kemanusiaan yang komunal dan melibatkan public tersebut dan juga berguna mempromosikan
nilai-nilai kejujuran dan tidak mudah menyerah demi terwujudnya kebenaran hakiki.
47
Pendidikan anti korupsi ini sangat penting bagi perkembangan psikologis peserta didik.
Pola pendidikan yang sistematik akan mampu membuat peserta didik mengenal lebih dini hal-hal
yang berkenaan dengan korupsi temasuk sanksi yang akan diterima kalau melakukan korupsi.
Dengan begitu, akan tercipta generasi yang sadar dan memahami bahaya korupsi dan tahu akan
sanksi yang akan diterima jika melakukan korupsi. Sehingga, masyarakat akan mengawasi setiap
tindak korupsi yang terjadi dan secara bersama memberikan sanksi moral bagi koruptor. Gerakan
bersama anti korupsi ini akan memberikan tekanan bagi penegak hukum dan dukungan moral
bagi KPK sehingga lebih bersemangat dalam menjalankan tugasnya.
Pemahaman mengenai dampak korupsi ini sangat penting untuk dipahami, karena dengan
memahami dampak-dampak yang ditimbulkan oleh korupsi. Maka akan semakin memperbesar
motivasi untuk memberantas korupsi dan pentingnya pendidikan antikorupsi. Pemahaman
tentang dampak korupsi ini sangatlah penting karena hal ini akan menunjukan seberapa
pentingkah pendidikan antikorupsi bagi masyarakat demi terwujudnya Negara yang bersih dari
budaya korupsi. Dalam memaknai pendidikan antikorupsi, tentu tidak lepas dari sebuah nilai
yang ada di dalamnya. Berikut merupakan nilai-nilai antikorupsi yang perlu ditanamkan pada
diri siswa.
Keberhasilan penanaman nilai-nilai anti korupsi dipengaruhi cara penyampaian dan
pendekatan pembelajaran yang dipergunakan. Untuk tidak menambah beban peserta didik yang
sudah cukup berat, perlu dipikirkan secara matang bagaimana model dan pendekatan yang akan
dipilih. Ada tiga model penyelenggaraan pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai anti korupsi
yang dapat dilakukan di sekolah, yaitu;
Pertama, Model Terintegrasi dalam mata pelajaran.
Penanaman nilai anti korupsi dalam pendidikan anti korupsi juga dapat disampaikan secara
terintegrasi dalam semua mata pelajaran. Guru dapat memilih nilai-nilai yang akan ditanamkan
melalui materi bahasan mata pelajarannya. Nilai-nilai anti korupsi dapat ditanamkan melalui
beberapa pokok atau sub pokok bahasan yang berkaitan dengan nilainilai hidup. Dengan model
seperti ini, semua guru adalah pengajar pembelajaran anti korupsi tanpa kecuali. Keunggulan
model ini adalah semua guru ikut bertanggungjawab akan penanaman nilai-nilai anti korupsi
kepada peserta didik. Pemahaman nilai hidup anti korupsi dalam diri peserta didik tidak melulu
bersifat informative-kognitif, melainkan bersifat terapan pada tiap mata pelajaran. Kelemahan
48
dari model ini adalah pemahaman dan persepsi tentang nilai-nilai anti korupsi yang akan
ditanamkan harus jelas dan sama bagi semua guru. Tidak boleh ada perbedaan persepsi dan
pemahaman tentang nilai karena bila hal ini terjadi maka justru akan membingungkan peserta
didik.
Kedua, Model di Luar Pembelajaran Melalui Kegiatan Ekstrakurikuler.
Penanaman nilai antikorupsi dapat ditanamkan melalui kegiatan-kegiatan di luar
pembelajaran misalnya dalam kegiatan ekstrakurikuler atau kegiatan insidental.Penanaman nilai
dengan model ini lebih mengutamakan pengolahan dan penanaman nilai melalui suatu kegiatan
untuk dibahas dan dikupas nilai-nilai hidupnya. Keunggulan model ini adalah peserta didik
sungguh mendapat nilai melalui pengalaman–pengalaman konkrit. Pengalaman akan lebih
tertanam dalam jika dibandingkan sekadar informasi apalagi informasi yang monolog. Peserta
didik-peserta didik lebih terlibat dalam menggali nilai-nilai hidup dan pembelajaran lebih
menggembirakan. Kelemahan model ini adalah tidak ada struktur yang tetap dalam kerangka
pendidikan dan pengajaran di sekolah dan membutuhkan waktu lebih banyak. Model ini juga
menuntut kreativitas dan pemahaman akan kebutuhan peserta didik secara mendalam, tidak
hanya sekadar acara bersama belaka, dibutuhkan pendamping yang kompak dan mempunyai
persepsi yang sama. Kegiatan semacam ini tidak bisa hanya diadakan setahun sekali atau dua
kali tetapi harus berulang kali.
Ketiga, Model Pembudayaan, Pembiasaan Nilai dalam Seluruh Aktifitas dan
Suasana Sekolah.
Penanaman nilai-nilai antikorupsi dapat juga ditanamkan melalui pembudayaan dalam
seluruh aktifitas dan suasa sekolah. Pembudayaan akan menimbulkan suatu pembiasaan. Untuk
menumbuhkan budaya antikorupsi sekolah perlu merencanakan suatu budaya dan kegiatan
pembiasaan. Bagi peserta didik yang masih kecil, pembiasaan sangat penting. Karena dengan
pembiasaan itulah akhirnya suatu aktivitas akan menjadi milik peserta didik di kemudian hari.
Pembiasaan yang baik akan membentuk sosok manusia yang berkepribadian yang baik pula.
Sebaliknya, pembiasaan yang buruk akan membentuk sosok manusia yang berkepribadian yang
buruk pula. Berdasarkan pembiasaan itulah peserta didik terbiasa menurut dan taat kepada
peraturan-peraturan yang beralaku di sekolah dan masyarakat, setelah mendapatkan pendidikan
49
pembiasaan yang baik di sekolah pengaruhnya juga terbawa dalam kehidupan sehari-hari di
rumah dan sampai dewasa nanti. Menanamkan kebiasaan yang baik memang tidak mudah dan
kadangkadang membutuhkan waktu yang lama untuk menanamkan nilai-nilai anti korupsi
melalui pembiasaan pada peserta didik-peserta didik Tetapi sesuatu yangsudah menjadi
kebiasaan sukar pula untuk mengubahnya.
50
51
BAB VI
PENGATURAN TENTANG BUDAYA ANTI KORUPSI MENURUT HUKUM
POSITIF INDONESIA
Maraknya kasus korupsi yang terjadi saat ini memerlukan perhatian serius dari semua
kalangan dalam rangka mengurangi angka korupsi yang terjadi.52 Kasus korupsi yang baru--baru
saja terjadi adalah dugaan kasus korupsi massal yang dilakukan oleh anggota DPRD Tingkat II
Kota Malang yang melibatkan setidaknya hampir 80 % anggota DPRD yang ada.53 Kondisi
demikian mengharuskan adanya upaya yang massif dan terstruktur dari berbagai elemen
masyarakat, khususnya dunia pendidikan dalam rangka menciptakan calon-calon pemimpin
bangsa yang memiliki nilai-nilai luhur agama dan negara serta mampu menjalankan amanah
kepemimpinan yang mereka emban sebagai pejabat publik.54
Berbagai upaya serius harus terus dilakukan oleh seluruh elemen bangsa dalam rangka
mengurangi angka korupsi yang semakin tinggi dan tidak hanya melibatkan pejabat pada tingkat
pusat saja, tetapi juga pejabat-pejabat daerah. Tidak hanya pemerintah saja, tetapi juga
masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat dan lembaga-lembaga lainnya harus mampu menjadi
garda terdepan dalam rangka mengurangi angka korupsi yang semakin merajalela. Selain itu,
institusi pendidikan menjadi salah satu faktor penting dalam rangka menanamkan nilai-nilai
luhur agama dan bangsa dalam menyiapkan agen-agen perubah bangsa dan iron stock bagi
kepemimpinan di masa yang akan datang.55
Selanjutnya, hukum sebagai suatu sistem yang mampu mendukung dan mendorong
perubahan sosial yang ada, harus mampu menjadi alat yang efektif dalam rangka mendorong
upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di tingkat nasional. Budaya anti korupsi
harus mampu di tanamkan sejak dini melalui institusi pendidikan dimana hukum harus mampu
52 Rosida Tiurma Manurung, Pendidikan Anti Korupsi Sebagai Satuan Pembelajaran Berkarakter dan
Humanistik, Jurnal Soioteknologi Edisi 27 Tahun 11, Desember 2012, hlm. 234.53 Korupsi Massal DPRD Kota Malang Jadi Kasus Pertama yang Bikin Lumpuh Lembaga,
https://www.liputan6.com/regional/read/3640942/korupsi-massal-dprd-kota-malang-jadi-kasus-pertama-yang-bikin-lumpuh-lembaga, diakses pada 10 September 2018.
54 Rosida Tiurma Manurung, op.cit., hl,. 234.55 Elpina, Pendidikan Anti Korupsi Di Perguruan Tinggi Untuk Pembentukan Karakter Mahasiswa,
www.usi.ac.id/karya ilmiah dosen, hlm. 2.
52
mendukung pelaksanaan institusi pendidikan sebagai garda terdepan dalam menanamkan budaya
anti korupsi di Indonesia.
Upaya menanamkan budaya antikorupsi merupakan proses yang berkesinambungan dan
dan memerlukan waktu yang panjang dalam mewujudkannya. Keberhasilan pencegahan dan
pemberantasan korupsi tidak hanya tergantung pada faktor penegakan hukumnya semata, tetapi
juga bagaimana aspek pendidikan mampu memainkan peranan penting dalam pendidikan budaya
antikorupsi dalam setiap jenjang pendidikan yang ada, baik formal maupun non formal.
Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam rangka upaya pemberantasan korupsi secara umum
dapat dilakukan melalui 2 (dua) hal, yaitu penindakan dan pencegahan. Dalam hal penindakan,
merupakan ranah aparat penegak hukum dalam melaksanakannya menurut hukum positif
Indonesia, baik yang menagtur secata materil maupun formil. Dalam hal ini, diatur dalam
undang-undang yang mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Undang-
Undang Nomo 31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 serta aturan formil lainnya yang
mengatur seperti Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana maupun aturan khusus lainnya
seperti UU Komisi Pemberantasan Korupsi dan aturan formil lainnya.
Aspek yang tak kalah penting dalam rangka menanamkan budaya antikorupsi adalah
aspek pencegahan. Hal ini dilakukan dalam bentuk memberikan pendidikan budaya antikorupsi
kepada siapa saja, tanpa terkecuali. Dengan demikian, peran institusi pendidikan dalam rangka
menanamkan budaya antikorupsi menjadi sangat penting dalam mewujudkan hal ini. Oleh karena
itu, pentingnya aturan hukum yang dapat menjamin terlaksananya pendidikan budaya antikorupsi
di Indonesia dalam rangka upaya menanamkan budaya antikorupsi sebagai salah satu upaya
pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
1. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam ketata negaraan Indonesia, Pancasila merupakan sumber hukum tertinggi yang
menjadi landasan falsafah dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Sedangkan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan tata urutan peraturan perundang-undangan
tertinggi yang menjadi dasar hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di
bawahnya.
53
Dalam sila pertama Pancasila telah menegaskan mengenai “Ketuhanan Yang Maha Esa”,
hal ini berarti bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus senantiasa berlandaskan
pada nilai-nilai Ketuhanan, agama dan akhlak mulia. Hal ini ditegaskan kembali dalam UUD
1945 yang menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara Ketuhanan yang berbentuk
Republik”.56
Dengan demikian, bahwa hakekat sebagai hamba Tuhan tidak lepas dalam setiap
kehidupan yang ada. Warga negara Indonesia selalu melekatkan diri kepada Tuhan sebagai Zat
yang menciptakan manusia dan tunduk pada aturan-aturan yang telah di tetapkanNya, salah
satunya adalah aspek kejujuran. Aspek kejujuran inilah yang pada akhirnya mendasari budaya
anti korupsi dalam setiap aspek kehidupan.
Selanjutnya di jelaskan bahwa negara Indonesia memiliki tujuan yaitu:57
“…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial …”.
Dengan demikian, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa maka perlu adanya suatu
sistem pendidikan nasional yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan nilai luhur Pancasila dan
UUD 1945.
2. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Pendidikan merupakan upaya yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah dalam
rangka menjamin keberlangsungan hidup dan kehidupan suatu bangsa di masa yang akan datang.
Selanjutnya, pendidikan harus mampu mengantisipasi kondisi di masa depan yang senantiasa
berubah dan kontekstual dengan perkembangan budaya yang ada akibat adanya proses interaksi
yang ada dengan negara-negara lain atau bertemunya dua budaya atau lebih. Pendidikan juga
merupakan adanya proses interaksi mendalam yang terjalin secara erat antara peserta didik
dengan pendidik untuk mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan.
56 Lihat selanjutnya dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat (3).57 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
54
Sebagai amanat dari Undang-Undang Dasar 1945, bahwa pemerintah wajib melaksanakan
suatu pendidikan nasional yang mampu meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa serta akhlak mulia. Selain itu, sistem pendidikan nasional juga harus mampu
menciptakan peserta didik yang dapat menghadapi tantangan dengan tuntutan perubahan
kehidupan lokal, nasional dan global.58
Selanjutnya dijelaskan definisi pendidikan adalah sebagai berikut:59
“…. adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara”.
Berdasarkan hal tersebut di atas, ditegaskan bahwa pentingnya pendidikan sebagai upaya
dalam rangka mengembangkan potensi-potensi spiritual keagamaan, pengendalian diri dan
kepribadian serta akhlak mulia yang didasarkan pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional
Indonesia.60
Selanjutnya dijelaskan bahwa bahwa pendidikan nasional yang ada harus berfungsi dalam
rangka mengembangkan kemampuan dan watak serta peradaban bangsa bagi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak
mulia.61 Kemudian, pendidikan nasional juga harus mampu dilaksanakan dengan tetap
menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan dan nilai kultural.62
Berdasarkan hal tersebut di atas dijelaskan bahwa aturan pendidikan nasional Indonesia
yang di atur melalui UU No.20 Tahun 2003 telah menjadi bagian normatif yang tidak
terpisahkan dalam rangka menjadi bagian sebagai upaya menanamkan nilai-nilai keagamaan dan
budaya bangsa, salah satunya adalah budaya anti korupsi. Nilai-nilai keagamaan dan budaya
58 Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Konsideran
Menimbang.59 Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1 butir 1. 60 Ibid., pasal 1 butir 2 jo pasal 1 butir 3. 61 Ibid., pasal 3. 62 Ibid, pasal 4.
55
luhur bangsa yang menjadi tujuan dilaksanakannya pendidikan nasional di Indonesia harus
mampu dan mendorong upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Korupsi harus dianggap sebagai nilai yang bertentangan dengan nilai agama manapun yang
diakui oleh Indonesia dan bertentangan dengan budaya bangsa Indonesia yang telah diturunkan
secara turun temurun. Oleh karena itu, dalam kurikulum yang diajarkan dalam jenjang
pendidikan yang ada di Indonesia harus mengakomodir pembelajaran anti korupsi di dalamnya,
dalam berbagai jenjang yang ada.
3. Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi
Sebagai salah satu elemen penting dalam sistem pendidikan yang ada di Indonesia,
pendidikan tinggi menjadi salah satu sarana penting dalam rangka menanamkan budaya anti
korupsi di kalangan peserta didiknya (dalam hal ini adalah mahasiswa). Oleh karena itu, dalam
rangka mencapai tujuan yang diinginkan maka keberadaan pendidikan tinggi harus mampu di
topang dengan aturan hukum yang memadai dalam rangka mencapai sistem pendidikan nasional
yang ada.
Sebagai amanat pasal 31 UUD 1945 khususnya ayat (3) menegaskan bahwa
penyelenggaraan suatu pendidikan tinggi harus tetap merujuk pada sistem pendidikan nasional
yang dapat meningkatkan keimanan da ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak
mulia. Keberadaan Perguruan Tinggi harus mampu menjadi garda terdepan dalam mencerdaskan
kehidupan bangsa, dengan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memajuka
kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 63
Keberadaan UU tentang Pendidikan Tinggi ini dalam rangka memastikan bahwa
penyelenggaraan sistem pendidikan nasional yang dapat meningkatkan keimanan, ketakwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta akhlak mulia dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai
agama dalam rangka memajuka ilmu pengetahuan dan teknologi.64 Selanjutnya di jelaskan dalam
pasal 4 bahwa Pendidikan Tinggi berfungsi untuk :65
a. Mengembangkan kemampuan dna membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa;
63 Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, Lembaran Negara Nomor 158 Tahun2012, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5336, Bagian Penjelasan.
64 Ibid., Bagian mengingat.65 Ibid., pasal 3.
56
b. Mengembangkan sivitas akademika yang inovatif, responsive, kreatif, terampil,
berdaya saing, dan kooperatif melalui pelaksanaan Tridharma; dan
c. Mengembangkan Ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan
menerapkan nilai Humaniora.
Kemudian, ditegaskan bahwa pendidikan tinggi bertujuan dalam rangka mengembangkan
potensi mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten dan
berbudaya untuk kepentingan bangsa.66
Sebagai implementasi lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pendidikan Tinggi, maka tiap
institusi Pendidikan tinggi wajib menyusun suatu kurikulum Pendidikan Tinggi yang mengacu
kepada peraturan perundang-undangan yang ada. Kurikulum ini di buat dalam rangka
memastikan bahwa tujuan pendidikan tinggi dapat terwujud dalam serangkaian mata kuliah yang
diberikan kepada peserta didik pada tiap institusi pendidikan tinggi yang ada.
Selanjutnya di tegaskan bahwa dalam pasal 35 ayat 3, menjelaskan bahwa Kurikulum
Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat 1, wajib memuat mata kuliah:
a. Agama;
b. Pancasila;
c. Kewarganegaraan; dan
d. Bahasa Indonesia.
Hal ini menegaskan dengan diberikannya mata kuliah sebagaimana ditegaskan tersebut di
atas dalam rangka tercapainya tujuan hakiki dari pendidikan nasional sebagaimana termaktub
dalam UU Sistem Pendidikan Nasional. Selanjutnya, dijelaskan keberadaan mata kuliah agama
islam sebagai Mata Kuliah Wajib Umum (MKWU), pada dasarnya tidak menjadikan mahasiswa
sebagai ahli di bidang agama Islam, melainkan untuk menjadikan mereka semakin taat
menjalankan perintah agama dengan baik dan benar. Mata kuliah agama, beserta dengan mata
kuliah wajib umum lainnya harus menjiwai pengembangan kurikulum pendidikan tinggi dan
diharapkan dapat menghasilkan lulusan yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia, serta
66 Ibid., pasal 4 ayat 1.
57
kemampuan dalam memecahkan berbagai permasalahan yang datang dan mampu menahan diri
dari berbagai ujian yang datang dari luar dirinya.67
Dalam kontkes pengembangan kepribadian mahasiswa, mata kuliah agama islam
merupakan instrument untuk membentuk pribadi yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia.
Dan untuk selanjutnya, dilaksanakan secara sadar dalam bingkai pemahaman, penghayatan dan
pengamalan ajaran islam bagi seluruh mahasiswa yang mengikutinya.68
Selanjutnya, dalam konteks mata kuliah Pancasila dan/atau mata kuliah kewarganegaraan,
bahwa bangsa Indonesia pada perkembangannya menghadapi tantangan yang cukup berat
dimana peluang dis-integrasi bangsa selalu siap datang kapan saja, sehingga perlu dikuatkan rasa
persaudaraan sebangsa dan setanah air. Salah satu langkah strategis untuk mengatasi hal tersebut
di atas adalah dengan selalu membina rasa kebangsaan dan jiwa patriotism serta kecakapan
partisipasi kewarganegaraan bagi mahasiswa sebagai calon pemimpin bangsa di masa yang akan
datang. Dengan demikian, membina wawasan kebangsaan, jiwa patriotisme dan partisipasi
kewarganegaraan harus terus di kembangkan.
Keberadaan dua mata kuliah ini juga merupakan amanah dari pasal 9 ayat (2) UU No.3
Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, sebagai salah satu bentuk wujud keikutsertaan warga
negara dalam bela negara adalah keikutsertaan warga negara dalam mata kuliah Pancasila
dan/atau kewarganegaraan. Selanjutnya, hal ini ditegaskan kembali dalam Perpres RI nomor 8
tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, dimana bahwa capaian
pembelajaran umum bagi semua jenjang pendidikan adalah berperan sebagai warga negara yang
bangga dan cinta tanah air.69
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pengembangan kurikulum Pendidikan Tinggi harus
berlandaskan pada keberadaan Mata Kuliah Wajib Umum (MKWU) yang tercantum dalam UU
Pendidikan Tinggi dalam rangka mencapai tujuan dari pendidikan nasional Indonesia. Hal ini
tentu saja sejalan dengan upaya menanamkan budaya anti korupsi melalui integrasi dalam sistem
pendidikan nasional Perguruan Tinggi.
67 Panduan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2012 Tentang Pendidikan Tinggi.68 Ibid., hlm. 4.69 Panduan Bimbingan Teknis Dosen Mata Kuliah Pancasila dan/atau Kewarganegaraan di Perguruan
Tinggi, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Direktorar Jenderal Sumber Daya IPTEK dan Pendidikan Tinggi, April 2018.
58
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 tahun 2000 Tentang Tata Cara
Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam rangka menanamkan budaya antikorupsi pada setiap sendi kehidupan, maka yang
tak kalah penting adalah upaya melibatkan masyarakat dalam berperan aktif dan sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dalam proses pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Hadirnya PP ini merupakan amanah dari pasal 41 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam PP ini mengatur mengenai hak bagi setiap orang, organisasi masyarakat atau
Lembaga Swadaya Masyarakat dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi tentang
adanya dugaan tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran-saran yang di perlukan kepada
aparata penegak hukum mengenai perkara tindak pidana korupsi.70 Hal terpenting dari aturan ini
adalah jaminan perlindungan yang diberikan kepada masyarakat yang telah berkontribusi dalam
rangka pencegahan dan pemberantasan korupsi pada suatu kasus tertentu dalam bentuk
perlindungan hukum yang diperlukan baik daam bentuk status hukum maupun rasa aman. Aspek
kerahasiaan identitas juga menjadi penting di lindungi oleh penegak hukum yang melaporkan
adanya dugaan tindak pidana korupsi tertentu.71
Selanjutnya, dijelaskan bahwa bagi setiap orang, organisasi masyarakat , atau Lembaga
Swadaya Masyarakat yang telah berjasa dalam membantu pencegahan dan pemberantasan
antikorupsi di Indonesia berhak atas penghargaan yang dapat berupa piagam atau premi.72
Dengan demikian, keberadaan PP ini dalam rangka mengajak masyarakat dalam rangka terlubat
secara aktif menanamkan budaya antikorupsi dengan menimbulkan kepedulian untuk
melaporkan jika ada dugaan terjadinya tindak pidana korupsi tertentu tanpa adanya kekhawatiran
akan keamanan bagi pelapor.
70 Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 tahun 2000 Tentang Tata Cara
Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3995 pasal 2.
71 Ibid., pasal 3.
72 Ibid., pasal 7.
59
5. Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2012 Tentang Strategi Nasional Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK)
Pada tahun 2012 yang lalu, Pemerintah telah menetapkan aturan dalam rangka acuan
pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Aturan ini merupakan acuan langkah-
langkah strategis Kementerian/Lembaga dan Pemerintahan Daerah untuk memastikan
terwujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi. Aturan ini
dimaksudkan untuk melakukan percepatan upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi
dengan menyusun strategi nasional jangka panjang (2012-2025) dan jangka menengah (2012-
2014).
Adapun yang menjadi visi jangka panjang Stranas PPK adalah “terwujudnya kehidupan
bangsa yang bersih dari korupsi dan didukung nilai budaya yang berintegritas”. Sedangkan yang
menjadi visi jangka menengah adalah “terwujudnya tata kepemerintahan yang bersih dari
korupsi dengan didukung kapasitas pencegahan dan penindakan serta nilai budaya yang
berintegritas”.
Sedangkan yang menjadi misi Stranas PPK adalah sebagai berikut:
a. Membangun dan memantapkan sistem, mekanisme, kapasitas pencegahan, dan
penindakan korupsi yang terpadu secara nasional.
b. Melakukan reformasi peraturan perundang-undangan nasional yang mendukung
pencegahan dan penindakan korupsi secara konsisten, terkonsolidasi, dan
tersistematis.
c. Membangun dan mengonsolidasikan sistem dan mekanisme penyelamatan aset hasil
korupsi melalui kerja sama nasional dan internasional secara efektif.
d. Membangun dan menginternalisasi budaya anti korupsi pada tata kepemerintahan
dan masyarakat.
e. Mengembangkan dan mempublikasikan sistem pelaporan kinerja implementasi
Stranas PPK secara terintegrasi.
Adapun yang menjadi salah satu titik tekan aturan ini adalah bagaimana melakukan
pendidikan dan budaya antikorupsi (PBAK), yang bertujuan dalam rangka memperkuat setiap
60
individu dalam proses pengambilan putusan yang etis dan berintegritas, dalam menciptakan
budaya zero tolerance terhadap peluang korupsi yang ada. Dalam hal ini, masyarakat diharapkan
menjadi pelaku aktif pencegahan dan pemberantasan korupsi sehingga mampu mempengaruhi
keputusan yang etis dan berintegritas di lingkungannya, tidak hanya dirinya.73
Dalam hal ini, yang menjadi fokus kegiatan adalah menyatukan cara pandang dan pola
pikir bahwa korupsi merupakan suatu tindakan yang akan merugikan masyarakat, sehingga perlu
dilakukan upaya integratif yang dilakukan dalam jangka menengah, antara lain:74
a. Melakukan pengembangan sistem nilai dan sikap antikorupsi dalam berbagai pilar
yang ada, yaitu masyarakat, sektor swasta dan aparat pemerintah.
b. Mengembangkan nilai-nilai antikorupsi dalam berbagai aktifitas pendidikan dalam
rangka menciptakan karakter bangsa yang berintegritas melalui kurikulum yang
diajarkan, maupun di luar kurikulum.
c. Kampanye anti korupsi yang massif.
d. Strategi komunikasi, informasi dan edukasi yang jelas dan terencana.
e. Adanya kerjasama dengan media dalam mengembangkan budaya antikorupsi melalui
media kreatif.
f. Keterpaduan manajemen kampanye antikorupsi.
g. Publikasi dan sosialisasi hasil-hasil masukan masyarakat kepada publk
h. Publikais praktek-praktek terbaik antikorupsi.
i. Memperluan ruang partisipasi masyarakat.
Terkait dengan pendidikan antikorupsi, sekurang-kurangnya terdapat 22 rrncana aksi
kebijakan antikorupsi yang dijelaskan dalam 4 (empat) rencana aksi dimana melibatkan peran
perguruan tinggi dalam pelaksanaannya, baik dalam hal konten pembelajaran, hubungan antar
lembaga, pentingnya upaya sosialisasi dan pendidikan non formal.
6. Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi
Diktum kesebelas Butir 7.
73Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi, https://www.ksap.org/sap/strategi-nasional-
pencegahan-dan-pemberantasan-korupsi/, diakses pada 10 September 2018.74 Ibid.,
61
Aturan hukum yang menegaskan mengenai pentingnya pendidikan anti korupsi telah diatur
secara khusus dalam aturan sebagaimana disebut di atas. Dalam aturan tersebut, menyatakan
bahwa Menteri Pendidikan Nasional menyelenggarakan pendidikan yang berisikan substansi
penanaman semangat dan perilaku dalam rangka membudayakan antikorupsi pada setiap jenjang
pendidikan yang ada baik forma maupun nonformal. Harapannya adalah dapat memberikan
bekal yang memadai kepada peserta didik melalui aktivitas pembelajaran yang diberikan. Selain
itu, hal ini bertujuan dalam rangka memberikan pengetahuan yang memadai tentang korupsi
secara keseluruhan dan bagaimana upaya pemberantasannya sebagai upaya menanamkan budaya
antikorupsi.
7. Peraturan Menteri Riset dan Dikti Nomor 44 Tahun 2015 Tentang Standar Nasional
Pendidikan Tinggi
Sebagai salah satu turunan dari UU Pendidikan Tinggi yaitu terdapat Permenristekdikti
No.44 tahun 2015 tentang SN-PT dimana menjelaskan lebih lanjut mengenai standar apa saja
yang harus dipenuhi oleh institusi pendidikan tinggi yang berdiri berdasarkan hukum Indonesia.
Adapun yang menjadi tujuan dari SN Dikti sebagaimana tercantum dalam pasal 3 adalah
sebagai berikut:
a. Menjamin tercapainya tujuan pendidikan tinggi yang berperan strategis dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi
dengan menerapkan nilai humaniora serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa
Indonesia yang berkelanjutan;
b. Menjamin agar pembelajaran pada program studi, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi di seluruh wilayah hukum
Negara Kesatuan Republik Indonesia mencapai mutu sesuai dengan kriteria yang
ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan Tinggi; dan
c. Mendorong agar perguruan tinggi di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan
Republik Indonesia mencapai mutu pembelajaran, penelitian dan pengabdian kepada
msyarakat melampaui kriteria yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan
Tinggi secara berkelanjutan.
62
Selanjutnya dijelaskan bahwa lulusan dari Perguruan Tinggi harus mencerminkan
tercapainya profil lulusan yang memiliki sikap berperilaku benar dan berbudaya sebagai hasil
dari internalisasi dan aktualisasi nilai dan norma yang tercermin dalam kehidupan spiritual dan
sosial melalui proses pembelajaran, pengalaman kerja mahasiswa, penelitian dan/atau
pengabdian kepada masyarakat yang terkait dengan pembelajaran.75 Dengan demikian,
menciptakan profil luusan yang berintegritas menjadi prioritas utama dan tolak ukur keberhasilan
sistem pendidikan yang ada di Indonesia. Pentingnya peran Perguruan Tinggi dalam rangka
pencegahan korupsi di Indonesia, tetapi juga sebagai institusi pendidikan yang mampu menjadi
motor penggerak menanamkan budaya antikorupsi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam
mempersiapkan pemimpin bangsa di masa yang akan datang.
Melawan korupsi melalui jalur formal diharapkan dapat menjadi sarana yang efektif dan
strategi yang jitu membudayakan antikorupsi sejak dini. Para peserta didik tidak hanya dibekali
pengetahuan dan kemampuan dalam rangka menghadapi dunia kerja, tetapi juga berintegrasi
dan memiliki sikap-sikap luhur yang dilandasi nilai-nilai agama khususnya budaya antikorupsi,
termasuk di dalamnya bagaimana melawan korupsi atas dorongan ataupun motivasi akibat
adanya kesempatan yang datang di hadapan.76
Harapannya adalah agar mahasiswa mendapatkann pengetahuan yang cukup tentang seluk
beluk korupsi serta menanamkan budaya antikorupsi. Selain itu,diharapkan juga mampu
berperan aktif dalam setiap gerakan antikorupsi yang dilaksanakan. Tujuan jangka panjangnya
adalah bisa menghasilkan generasi penerus, sarjana lulusan perguruan tinggi yang tidak “catat
nilai”, profesional dan berintegritas serta memiliki komitmen kuat pada upaya pencegahan dan
pemberantasan korupsi di Indonesia.77
Tantangan besar perguruan tinggi kita saat ini adalah mengembalikan pendidikan pada
fungsinya sebagai pembentuk karakter bangsa yang tidak hanya bertugas sebagai wahana
transfer ilmu pengetahuan dan teknologi, penguasaan keterampilan dan seni, tetapi juga
75 Indonesia, Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 44
Tahun 2015 Tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, pasal 6 ayat (1). 76 Yusrianto Kadir, Kebijakan Pendidikan Anti Korupsi di Perguruan Tinggi,
https://www.researchgate.net/publication/322789761/download, diakses pada 9 September 2018.77 Ibid.,
63
membangun semangat dan kompetensinya sebagai agent of change bagi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang bersih dan bebas dari ancaman korupsi.78
Oleh karena itu, telah terdapat capaian pembelajaran lulusan dari aspek sikap yang
terkandug dalam Standar Nasional Pendidikan Tinggi Indonesia, yang meliputi:79
a. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mampu menunjukkan sikap religius;
b. menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dalam menjalankan tugas berdasarkan agama, moral
dan etika;
c. berkontribusi dalam peningkatan mutu kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara,
dan peradaban berdasarkan Pancasila;
d. berperan sebagai warga negara yang bangga dan cinta tanah air, memiliki nasionalisme
serta rasa tanggungjawab pada negara dan bangsa;
e. menghargai keanekaragaman budaya, pandangan, agama, dan kepercayaan, serta pendapat
atau temuan orisinal orang lain;
f. bekerja sama dan memiliki kepekaan sosial serta kepedulian terhadap masyarakat dan
lingkungan; taat hukum dan disiplin dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara
g. menginternalisasi nilai, norma, dan etika akademik;
h. menunjukkan sikap bertanggungjawab atas pekerjaan di bidang keahliannya secara
mandiri;
i. menginternalisasi semangat kemandirian, kejuangan, dan kewirausahaan
Menyikapi fenomena korupsi yang marak terjadi. Pendidikan pun melakukan pembenahan-
pembenahan untuk menjawab tantangan derasnya arus korupsi. Salah satu upaya yang dilakukan
adalah perubahan kurikulum. Perubahan kurikulum yang gencar dibicarakan belakangan ini
adalah masuknya Pendidikan Anti Korupsi pada tingkat pendidikan prasekolah hingga Perguruan
Tinggi.
C. Peran Pemerintah Dalam Rangka Pendidikan Budaya Anti Korupsi Di Masyarakat
78 Ibid.,79 Indonesia, Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 44
Tahun 2015 Tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi,
64
Pada sub judul ini akan diuraikan mengenai peran pemerintah dalam pendidikan budaya
anti korupsi di masyarakat dan peran pemerintah dalam mendukung dan mendorong pencegahan
tindakan korupsi di Indonesia.
1. Peran Pemerintah Dalam Pendidikan Budaya Anti Korupsi di Masyarakat
Korupsi adalah perbuatan melawan hukum, menyalahgunakan wewenang, menyuap
penegak hukum atau pegawai pemerintahan untuk mengambil kebijakan yang menguntungkan,
sehingga dapat melancarkan urusan demi kepentingan pribadi atau kepentingan golongannya.
Untuk memberantas kejahatan korupsi harus diterapkan penataan pemerintahan yang baik (Good
Governance) menjadi acuan untuk menciptakan kualitas pemerintahan yang lebih baik. Asumsi
yang dibangun dengan tata pemerintahan yang baik adalah meningkatnya kualitas pelayanan
publik yang baik akan menurunkan tingkat korupsi serta mendekatkan pemerintah kepada
pemenuhan kepentingan masyarakat. Langkah yang diambil di era tekhnologi saat ini untuk
mencegah tindak korupsi adalah dengan penerapan sistem pengelolaan sumberdaya pemerintah
secara terintegrasi berbasis internet atau yang biasa disebut dengan E-government. Dengan
sistem ini diharapkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme bisa dicegah serta mampu
mengawal perencanaan dan pembangunan baik di Pusat maupun di daerah.
Korupsi merupakan fenomena sosial, ekonomis, dan politis di dalam praktiknya dapat
mengambil pola perilaku dan bentuk yang beraneka macam. Korupsi bisa dilakukan oleh petugas
administrasi tingkat bawah sampai atas. Korupsi (dalam bentuknya yang beragam)80 dapat juga
melibatkan banyak pihak, menggerus keuangan negara, dan meruntuhkan sendi sosial maupun
agama. Penataan pemerintahan yang baik (Good Governance) menjadi acuan untuk menciptakan
kualitas pemerintahan yang lebih baik. Asumsi yang dibangun dengan tata pemerintahan yang
baik adalah meningkatnya kualitas pelayanan publik yang baik akan menurunkan tingkat korupsi
serta mendekatkan pemerintah kepada pemenuhan kepentingan masyarakat.81
80 Syed Hussein Alatas menulis, setidaknya ada tujuh ragam korupsi, yakni, korupsi transaktif (transactve
corruption); pemerasan (extortive corruption); korupsi investif (investive corruption); nepotisme; korupsi defensif (defensive corruption); korupsi otogenik (autogenic corruption); dan korupsi dukungan (supportive corruption). Disarikan dari Syed Hussein Alatas, Korupsi: Sifat, Sebab, dan Fungsi, (Jakarta: LP3ES, Jakarta, 1987), hlm. vii-x.
81 Agus Dwiyanto, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008), hlm. 1.
65
United Nation Development Program merumuskan prinsip tata kelola pemerintahan yang
baik dalam delapan bentuk, sebagai berikut:82
a. Participation, setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik
secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili
kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan
berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif;
b. Rule Of Law, kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa perbedaan, terutama
hukum hak asasi manusia;
c. Transparancy, Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses lembaga
dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi
harus dapat dipahami dan dapat dipantau;
d. Responsivienes, Lembaga dan proses harus mencoba untuk melayani setiap stakeholders;
e. Consensus orientation. Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda
untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, baik dalam hal
kebijakan maupun prosedur;
f. Effectiveness and efficiency, proses dan lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang
telah digariskan dengan menggunakan sumber yang tersedia sebaik mungkin;
g. Accountability, para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sector swasta dan
masyarakat bertanggungjawab kepada public; dan
h. Lembaga Stakeholders, akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan
yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal
organisasi.
Dalam perjalanannya, pemerintah kadang kala menghadapi banyak kesulitan untuk
membentuk kebijakan dan program perbaikan praktik tata kelola pemerintahan yang baik. Hal ini
disebabkan karena, pertama, praktik tata kelola pemerintahan yang baik memiliki dimensi yang
luas sehingga terdapat banyak aspek yang harus diintervensi. Kedua, belum banyak tersedia
informasi mengenai aspek strategis yang perlu memperoleh prioritas untuk dijadikan sebagai
entry point dalam memperbaiki kinerja pemerintahan (governance). Ketiga, kondisi antar daerah
82 Lihat, Husni Thamrin, cetakan II, Hukum Pelayanan Publik di Indonesia, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo,
2013), hlm. 48-49.
66
di Indonesia yang sangat beragam membuat setiap daerah memiliki kompleksitas masalah
pengelolan pemerintahan yang berbeda. Keempat, komitmen dan kepedulian dari berbagai
stakeholders mengenai reformasi pemerintahan berbeda-beda dan pada umumnya masih
rendah.83
Untuk menciptakan penataaan dan pengelolaan pemerintahan yang baik, kesadaran di
antara para pegawai pemerintah mengenai pentingnya mengubah citra pelayanan publik sangat
diperlukan. Akuntabilitas adalah suatu derajat yang menunjukan besarnya tanggungjawab aparat
atas kebijakan maupun proses pelayanan publik yang dilaksanakan oleh birokrasi pemerintah.
Dalam hal ini, ada dua bentuk akuntabilitas, yaitu akuntabilitas eksplisit dan akuntabilitas
implisit. Akuntabilitas eksplisit adalah pertanggungjawaban pejabat atau pegawai pemerintah
manakala dia diharuskan untuk menjawab atau menanggung konsekuensi dari cara-cara yang
mereka gunakan dalam melaksanakan tugas-tugas kedinasan. Sedangkan akuntabilitas implisit
berarti bahwa setiap pejabat atau pegawai pemerintah secara implisit bertanggungjawab atas
setiap kebijakan, tindakan atau proses pelayanan publik yang dilaksanakan. Termasuk di dalam
tanggungjawab implisit yang harus dipikul oleh setiap pegawai atau pejabat pemerintah adalah
menghindari penyakit birokrasi yang senantiasa dikeluhkan masyarakat: korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Penciptaan aparat yang akuntabel adalah sebuah prasyarat mutlak agar sistem
pelayanan publik tidak terjangkit korupsi. 84
Demi mendorong akuntabilitas dan transparansi penyelenggara pemerintahan yang baik,
penggunaan sistem informasi menemukan tempat yang selaras di dalam pegorganisasian organ
pemerintah. Akuntabilitas dan transparansi ini merupakan syarat organisasi sektor publik dapat
dipercaya oleh publik, dimana dapat ditempuh dengan menggunakan teknologi informasi dan
komunikasi yang dipenuhi melalui penerapan electronic government atau e-government (e-
gov).85
Pelayanan publik oleh pemerintah daerah merupakan salah satu perwujudan dari fungsi
pemerintah menurut kemampuan dan kreatifitasnya untuk mengatur dan menentukan sendiri
83 Agus Dwiyanto, Mewujudkan Good Governance..., hlm 2.84 Ibid., hlm 99.
85 Yogi Suprayogi Sugandi, Administrasi Publik: Konsep dan Perkembangan Ilmu di Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), hlm. 193-194.
67
rumah tangganya. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan nuansa legalitas terhadap sistem
pelayanan publik diperlukan suatu instrument yuridis sebagai sarana kontrol terhadap
penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah baik pusat maupun di
daerah.86
Tata pemerintahan yang bersih, efektif, efisien, dan transparan merupakan indikator dari
rendahnya tingkat korupsi di lingkungan birokarasi. Secara umum, salah satu komponen utama
e-gov adalah aplikasi sistem informasi pemerintahan yang mampu memberikan layanan secara
online melalui media internet. Aplikasi ini memberi fasilitas interaksi antara anggota masyarakat
dengan penyelenggara layanan publik tanpa harus bertatap muka secara langsung yang pada
dasarnya tatap muka secara langsung memberi ruang untuk kongkalikong yang menjurus pada
tindakan korupsi.87
Kebijakan melawan korupsi yang sudah dicanangkan Presiden Republik Indonesia
memperoleh sambutan positif dari kalangan pegiat telematika. Hal tersebut diwujudkan dengan
partisipasi aktif mencegah korupsi melalui karya nyata sesuai dengan bidang keahliannya.
Standar modul e-procurement sebagai salah satu komponen e-gov merupakan salah satu
kontribusi yang ditawarkan untuk dapat diterapkan di semua instansi pemerintah. Bagi organisasi
publik, dalam merencanakan sesuatu program biasanya memerlukan dua hal pokok. Pertama,
data mengenai kelengkapan layanan. Kedua, data mengenai kebutuhan layanan di masa
mendatang. Menurut Conyers rencana yang diterapkan untuk membangun Negara-negara
berkembang pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua. Tipe pertama adalah bentuk rencana
yang hanya mencakup satu jenis layanan publik khusus (misalnya rencana pendidikan,
infrastruktur, kesehatan dan perumahan). Rencana semacam ini cenderung memiliki rentang
waktu yang relatif panjang (hingga 5 tahun) dengan persiapan yang memakan waktu berbulan-
bulan guna mencoba melibatkan sebanyak mungkin organisasi dan pejabat terkait. Maka rencana
tipe ini biasanya memuat analisis statistik mengenai situasi yang sedang dihadapi, saran-saran
86 Raharjo, Satjipto, Hukum Progresif: Aksi bukan Teks Dalam Memahami Hukum, (Jakarta: Rajawali Press,
2011), hlm. 3.
87 Husni Thamrin, Hukum Pelayanan Publik Di Indonesia, Aswaja Pressindo, Daerah Istimewa Yogyakarta, 2013, hlm. 55.
68
terhadap isu kebijakan yang besar, serta usulan rinci mengenai perkembangan di masa
mendatang dari setiap aspek layanan yang dimaksudkan.88
Rencana tipe kedua adalah rencana yang terintegrasi ke dalam rencana pembangunan
nasional yang teramat luas. Rencana dengan skala nasional biasanya memiliki sektor atau
bagian-bagian tertentu seperti pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial dan lainnya. Rencana
semacam ini biasanya berjalan relatif rutin dan tidak banyak membutuhkan waktu untuk
membutuhkan banyak waktu untuk mempersiapkannya. Karena telah digabungkan dengan
rencana skala nasional, rencana tipe kedua ini biasanya telah dikoordinasikan dengan rencana
sektor-sektor lain yang terkait. Umumnya rencana semacam ini cenderung lebih realistis dalam
arti bahwa usulan yang dibuat biasanya tidak terlalu ambisius dan sudah diperhitungkan supaya
lebih praktis dan meminimalkan biaya atau tenaga yang terlibat serta kemungkinan terjadinya
permasalahan yang menyangkut faktor politis dan sosial lainnya.
Hampir di semua media massa menyuguhkan informasi mengenai banyaknya pejabat
negara, pimpinan lembaga, tokoh nasional, dan pengusaha terlibat kasus korupsi kemudian
terungkap. Banyak dari sejumlah kasus yang terungkap, para pelakunya dilakukan tindakan
hukum (divonis dan dipenjarakan). Namun tindakan tegas tersebut, seolah tidak berdampak
menimbulkan “efek jera”, justru sebaliknya semakin merajalela. Mirisnya lagi sebagian besar
dari pelaku tindakan korupsi tidak merasa bersalah dan cenderung mengelak serta memberikan
alibi pembenaran karena ia telah menjadi korban konspirasi. Sikap dan perilaku para pelaku
tindakan korupsi juga setelah menjalani hukuman tidak nampak adanya penyesalan dan perasaan
bersalah.
Sepertinya ada yang salah dalam tata nilai, sikap, perilaku dari para pelaku korupsi di
negeri ini. Betapa tidak, mereka justru memperlihatkan senyuman kebanggan dan sering terlihat
melambaikan tangan saat wartawan mengambil foto dirinya. Semakin banyak orang yang
melakukan korupsi, nampaknya membuat lahirnya sebuah pandangan baru akan “pelumrahan
keadaan” sehingga korupsi tidak lagi tabu dan dipandang sebagai sebuah perbuatan negatif atau
kriminal. Fenomena ini menunjukkan bahwa dorongan untuk melakukan korupsi terkait erat
dengan sikap mental seseorang terhadap sistem nilai yang diyakini dan diwarisi sebelumnya.
Oleh karena itu perlu ada langkah preventif untuk kembali membangun tatanan nilai, moral, dan
88 Adrian Sutedi, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagai Permasalahannya, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009), hlm. 210.
69
kebiasaan perilaku positif (kejujuran dan keterbukaan) melalui usaha yang terencana dan
berkesinambungan yaitu melalui pendidikan.
Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu upaya sadar untuk mengembangkan potensi
peserta didik secara optimal. Usaha sadar tersebut tidak boleh dilepaskan dari lingkungan dimana
peserta didik berada terutama dari lingkungan budayanya karena peserta didik hidup dalam
lingkungan tersebut dan bertindak sesuai dengan kaedah-kaedah budayanya. Pendidikan yang
tidak dilandasi oleh prinsip tersebut akan menyebabkan peserta didik tercerabut dari akar
budayanya. Ketika hal ini terjadi maka mereka tidak akan mengenal budayanya dengan baik
sehingga ia menjadi orang “asing” dalam lingkungan budayanya. Selain menjadi orang asing,
yang lebih mengkhawatirkan adalah dia menjadi orang yang tidak menyukainya budayanya.
Budaya yang menyebabkan peserta didik tumbuh dan berkembang dimulai dari budaya di
lingkungan terdekat, kemudian berkembang ke lingkungan yang lebih luas yaitu budaya nasional
bangsanya dan budaya universal yang dianut oleh ummat manusia. Apabila peserta didik
menjadi asing terhadap budaya terdekatnya maka dia tidak mengenal dengan baik budaya
bangsanya dan dirinya sebagai anggota budaya bangsa. Dalam situasi demikian maka dia sangat
rentan terhadap pengaruh budaya luar dan bahkan cenderung untuk menerima budaya luar tanpa
proses pertimbangan.
Dengan demikian peserta didik sebagai anak bangsa dan warganegara Indonesia akan
memiliki wawasan, pola berpikir, pola sikap, dan pola tindak dan menyelesaikan masalah yang
sesuai dengan norma dan nilai ciri ke-Indonesia-annya. Hal ini sesuai dengan fungsi utama
pendidikan yang diamanatkan dalam UU Sisdiknas yaitu “mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa”. Oleh karena itu aturan dasar yang mengatur pendidikan nasional (UUD 1945
dan UU Sisdiknas) sudah memberikan landasan yang kokoh untuk mengembangkan keseluruhan
potensi diri seseorang sebagai anggota masyarakat dan bangsa. Secara kultural pendidikan
berfungsi untuk mewariskan nilai-nilai dan prestasi masa lalu ke generasi muda melalui proses
enkulturasi. Nilai-nilai dan prestasi tersebut akan menjadi kebanggaan bangsa dan pada
gilirannya akan menjadikan bangsa tersebut lebih dikenal oleh bangsa-bangsa lain. Selain
berfungsi mewariskan nilai, pendidikan juga memiliki fungsi untuk mengembangkan nilai-nilai
budaya dan prestasi masa lalu itu menjadi nilai-nilai budaya bangsa yang sesuai dengan
70
kehidupan masa kini dan masa yang akan datang serta mengembangkan prestasi baru yang
menjadi karakter baru bangsa. Oleh karena itu, pendidikan karakter merupakan inti dari suatu
pendidikan.
Pendidikan anti korupsi sangat penting dilakukan melalui jalur pendidikan yang
terencana dan didukung berbagai kebijakan dari pemerintah sebagai regulator, dengan harapan
agar generasi muda bangsa di masa yang akan secara sadar mampu membangun sistem nilai
yang baru yaitu anti korupsi untuk Indonesia yang lebih bersih dan maju. Pendidikan anti korupsi
jika dilihat dalam konteks pendidikan adalah tindakan terencana untuk mengendalikan atau
mengurangi korupsi, merupakan keseluruhan upaya untuk mendorong generasi-generasi
mendatang mengembangkan sikap menolak secara tegas setiap bentuk tindak korupsi.
Pendidikan anti korupsi melalui jalur pendidikan dinilai oleh sejumlah pengamat
pendidikan dan buadayawan lebih efektif, karena pendidikan merupakan proses perubahan sikap
mental yang terjadi pada diri seseorang, dan melalui jalur ini akan lebih tersistematis serta
mudah terukur keberhasilannya, yaitu adanya perubahan sikap dan perilaku anti korupsi.
Perubahan dari awalnya berupa sikap membiarkan dan memaafkan para koruptor ke sikap
menolak secara tegas tindakan korupsi, tidak pernah terjadi jika kita tidak secara sadar membina
kemampuan generasi mendatang untuk memperbaharui sistem nilai yang diwarisi (korupsi)
sesuai dengan tuntutan yang muncul dalam setiap tahap pernjalanan bangsa.
Sistem nilai yang ada sekarang seolah “melumrahkan” tindakan korupsi harus segera
direhabilitasi dengan maksud supaya bisa memperbaharui sistem nilai lama warisan (korupsi) itu
berdasarkan situasi baru yang diupayakan bersamamelalui proses pendidikan. Pada dasarnya
sistem nilai yang lebih baik, datang dari berbagai pengalaman nyata dari perjalanan suatu bangsa
yang bersifat dramatis yang lahir dari kontemplasi mendalam mengenai makna aneka peristiwa
kehidupan yang dijumpai selama suatu kurun waktu tertentu. Misalnya saja lahirnya organisasi
Boedi Oetomo dan deklarasi sumpah pemuda yang menyadarkan bangsa Indonesia akan
pentingnya rasa persatuan dan kesatuan, hingga akhirnya memperoleh kemerdekaan.
Dalam konteks dunia pendidikan, keinginan masyarakat untuk ” mencabut korupsi
sampai se akar-akarnya” berarti melakukan serangkaian usaha untuk melahirkan generasi yang
tidak bersedia menerima dan memaafkan suatu perbuatan korupsi. Oleh karena itu harus
dilakukan usaha-usaha untuk melahirkan perubahan radikal dalam sikap bangsa terhadap
71
korupsi.Pendidikan anti korupsi menfokuskan pada penanaman nilai-nilai pada generasi muda,
sehingga akan muncul sistem nilai baru yang terinternalisasi pada diri generasi muda sebagai
pedoman hidup (tidak melakukan korupsi) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Nilai-nilai anti-korupsi yang perlu ditanamkan kepada generasi mudah melalui jalur
pendidikan yang direkomendasikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yaitu tanggung jawab,
disiplin, jujur, sederhana, kerja keras, mandiri, adil, berani, dan peduli (ada sembilan nilai).
Seorang sosiolog ternama, Franz Magnis Suseno mengemukakan, terdapat tiga sikap
moral fundamental yang akan membuat seseorang menjadi kebal/ kuat terhadap godaan korupsi:
kejujuran, rasa keadilan, dan rasa tanggung jawab. Jujur berarti berani menyatakan keyakinan
pribadi dan menunjukkan siapa dirinya secara terbuka tanpa ditutup-tutupi. Kejujuran adalah
modal dasar dalam menjalin kehidupan bersama. Ketidakjujuran akan menghancurkan jalinan
hubungan komunitas bersama. Siswa atau peserta didik perlu belajar bahwa berlaku tidak jujur
merupakan sesuatu yang amat buruk yang mempengaruhi hubungan pertemanan dengan yang
lainnya.
Adil berarti memenuhi hak orang lain dan mematuhi segala kewajiban yang mengikat diri
sendiri. Masih menurut Magnis yang mennyatakan bahwa seseorang yang bersikap baik tetapi ia
juga melanggar keadilan, itu pun akan berbuah tidak pernah baik. Keadilan adalah tiket utama
menuju kebaikan. Sedangkan tanggung jawab berarti teguh dan tekun melaksanakan
tugas/kewajiban hingga tuntas. Misalnya, peserta didik diberi tanggung jawab mengelola dana
kegiatan olahraga di sekolahnya. Rasa tanggung jawab peserta didik terlihat ketika dana dipakai
seoptimal mungkin menyukseskan kegiatan olahraga. Menurut Magnis, pengembangan rasa
tanggung jawab adalah bagian terpenting dalam pendidikan anak menuju kedewasaan. Menjadi
orang yang bermutu sebagai manusia.
Selanjutnya, dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pada Pasal 3 dinyatakan secara eksplisit bahwa: “Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.” Dengan demikian, pembinaan pendidikan anti korupsi
72
pada jalur pendidikan di seluruh satuan pendidikan (sekolah) merupakan wahana untuk
mendukung dan mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional tersebut.
Langkah awal perwujudan pendidikan anti korupsi tertuang dalam pertemuan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dengan melakukan penandatanganan nota kesepahaman bersama (MoU) tentang Kerja
Sama dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada tahun 2012. Salah satu bentuk
penerapan kerja sama ini adalah pendidikan antikorupsi di sekolah (mulai dari pendidikan dasar,
menengah, sampai atas) dan perguruan tinggi. Konsep pendidikan ini tidak hanya diberlakukan
kepada peserta didik, tetapi juga insan pendidikan termasuk kepala sekolah beserta jajarannya
untuk menonjolkan aspek edukasinya. Adapun ruang lingkup MoU meliputi pendidikan anti
korupsi, penelitian dan pengembangan, pertukaran data dan informasi, dan laporan harta
kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).
Di lapangan praktek pengaplikasian kurikulum anti korupsi masih mencari format dan
terkesan trial and error dan lebih tepat memakai kata “gamang” karena tidak jelas. Di suatu
daerah ada yang menterjemahkan dengan konteks “correlated curriculum” yakni memasukkan
muatan materi pendidikan anti korupsi dalam berbagai mata pelajaran, berbeda di sejumlah
daerah lain berupa mata pelajaran sendiri yang bersifat mulok (muatan lokal), dan umumnya
sebagian besar di berbagai daerah di Indonesia masih kebingungan akan dimulai dari mana untuk
menerapkan kurikulum anti korupsi yang secara resmi mulai dilaksanakan sejak Juli 2012 lalu.89
Kebingungan pengaplikasian kurikulum tahun 2012 mengenai pendidikan anti korupsi
yang tidak jelas akan berimplikasi pada efektifitas pencapaian tujuan dari penyelenggaraan
konsep kurikulum terebut. Ditambah dengan kebijakan peberapan kurikulum tahun 2013
semakin membuat tidak jelas nasib kelanjutan dari konsep pendidikan anti korupsi yang termuat
dalam kurikulum nasional.
Idealnya untuk mewujudkan pendidikan anti korupsi, pendidikan di sekolah harus
diorientasikan pada tataran moral action yang terintegrasi, agar peserta didik tidak hanya
berhenti pada pengetahuan (knowledge) dan kompetensi (competence) saja, tetapi sampai
memiliki kemauan (will), serta kebiasaan (habit) dalam mewujudkan nilai-nilai dalam kehidupan
sehari-hari. Lickona (1991), menyatakan bahwa untuk mendidik moral anak sampai pada tataran
89 Iyan Sofyan, Nasib Kurikulum Pendidikan Anti Korupsi, Wacana Atau Rencana Dalam Kurikulum 2013?,
Reaktualisasi Dan Refleksi Kurikulum, Mandiri Graffindo Press, Yogyakarta, 2013, Hlm. 248
73
moral action diperlukan tiga proses pembinaan yang berkelanjutan mulai dari proses moral
knowing, moral feeling, hingga sampai pada moral action. Ketiganya harus dikembangkan secara
terpadu dan seimbang. Dengan demikian diharapkan potensi peserta didik dapat berkembang
secara optimal, baik pada aspek kecerdasan intelektual, yaitu memiliki kecerdasan, kemampuan
membedakan yang baik dan buruk, benar dan salah, serta menentukan mana yang bermanfaat.90
Praktek dilapangan saat ini banyak sekolah hanya melakukan pendidikan anti korupsi
masih sebatas pada pengetahuan dimana korupsi diajarkan masuk dalam mata pelajaran tertentu.
Ada juga sejumlah sekolah yang mulai menyentuh sampai ke ranah moral action dengan
menyelenggarakan kantin kejujuran. Sayangnya hal itu juga terkesan seperti anjuran dari pihak
sekolah dan faktualnya hanya diapresiasi oleh sebagian siswa saja yang itu pun dilakukan oleh
siswa yang sama setiap harinya. Ada juga kasus kantin kejujuran di sekolah tertentu hanya
mampu terselenggara sesaat karena tidak berjalan sesuai dengan konsep awal, kantin menjadi
merugi dan akhirnya tutup operasional.
Sejumlah perguruan tinggi di berbagai wilayah di Indonesia juga mencoba berlomba-
lomba menjadi pioneer dalammenggagas dan mengaplikasikan pendidikan anti korupsi dalam
proses pendidikan di institusinya, mulai dari dibuatnya mata kuliah anti korupsi hingga
diselenggarakannya pelatihan anti korupsi secara berkala terhadap mahasiswa. Namun
perkembangan kajian dan penelitian akan efektivitas pelaksanaan pendidikan anti korupsi sampai
sekarang belum banyak dan menunjukan hasil yang signifikan.
Kementerian Pendidikan, sepertinya belum membuat konsep pendidikan anti korupsi
dalam bentuk pedoman pelaksanaan secara komprehensif. Keputusan menteri atau aturan serupa
yang mengatur proses dan penyelenggaraan pendidikan anti korupsi untuk setiap tingkat satuan
dan jenjang pendidikan nampaknya belum dibuat juga, sehingga “kegamangan” sekolah dan
perguruan tinggi dalam menyelenggarakan pendidikan anti korupsi menjadi keniscayaan.
Dalam dokumen kurikulum nasional 2013 terbaru yang sudah ditetapkan oleh pemerintah
dan di sejumlah wilayah tertentu di Indonesia mulai diaplikasikan, ternyata materi atau muatan
pendidikan anti korupsi itu “tidak tampak” tertulis. Rupanya kerjasama antara KPK dengan
Depdikbud pada tahun 2012 lalu dan klaim pemerintah yang menyatakan bahwa pendidikan anti
korupsi sudah dimasukan dalam kurikulum tahun 2012 dan dilaksanakan perlu dipertanyakan
90 Ibid, Hlm. 255.
74
ulang. Bukan hanya sekedar pertanyaan biasa melainkan juga sebagai refleksi bagi pemerintah
era sekarang dan di era selanjutnya sejauh mana pemerintah mengupayakan perbaikan generasi
muda di Indonesia agar benar-benar terbina mempunyai sikap dan perilaku anti korupsi melalui
proses pendidikan.91
Peran pemerintah dalam pendidikan budaya anti korupsi di masyarakat dapat tercermin
dalam tata pengelolaan pemerintahan yang diwujudkan dalam prinsip Good Public Governance
(GPG). GPG diperlukan dalam rangka mencapai tujuan nasional yaitu melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut memelihara ketertiban dunia berlandaskan
kedaulatan negara, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan tersebut harus
diwujudkan negara berdaya-saing sehat dan tinggi yang mampu menciptakan nilai tambah secara
berkesinambungan melalui pengelolaan sumberdaya secara bertanggung jawab sehingga
terbangun kredibilitas negara baik secara nasional maupun dalam pergaulan internasional. GPG
memiliki pengaruh yang besar terhadap terwujudnya good governance secara menyeluruh, baik
dalam rangka penyelenggaraan negara itu sendiri, maupun dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat, termasuk penerapan good corporate governance oleh dunia usaha. Di pihak lain
dunia usaha dan masyarakat juga berkepentingan dan memiliki peran dalam mewujudkan GPG.
Oleh karena itu, dalam rangka menciptakan situasi kondusif untuk melaksanakan GPG
diperlukan tiga pilar, yaitu negara, dunia usaha dan masyarakat. Ketiga pilar tersebut perannya
sebagai berikut92:
Pertama, negara harus merumuskan dan menerapkan GPG sebagai pedoman dasar dalam
melaksanakan fungsi, tugas dan kewenangannya. Negara juga berkewajiban untuk menciptakan
situasi kondusif yang memungkinkan penyelenggara negara dan jajarannya melaksanakan
tugasnya dengan baik.
Kedua, dunia usaha harus merumuskan dan menerapkan good corporate governance
(GCG) dalam melakukan usahanya sehingga dapat meningkatkan produktivitas nasional. Dunia
usaha juga berkewajiban untuk berpartisipasi aktif memberikan masukan dalam perumusan dan
91 Pendidikan Anti Korupsi disepakati baru akan dimasukkan ked ala Kurikulum Pendidikan 2019.
https://kumparan.com/@kumparannews/pendidikan-antikorupsi-ditargetkan-masuk-kurikulum-pada-juli-2019-1544518041550928471, diakses pada Tanggal 14 April 2019 Pkl. 17.52
92 Handoko A Hasthoro, Tata Kelola Publik Dan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Di Indonesia, Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Volume XIX No. 1, April 2016, Hlm. 55
75
pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik yang bertalian dengan sektor
usahanya.
Ketiga, masyarakat harus melakukan kontrol sosial secara efektif terhadap pelaksanaan
fungsi, tugas dan kewenangan negara. Masyarakat juga berkewajiban untuk berpartisipasi aktif
memberikan masukan dalam perumusan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan
kebijakan publik. Untuk itu masyarakat harus:
a. Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan untuk dapat melaksanakan kontrol sosial
secara sehat dan bertanggungjawab.
b. Meningkatkan konsolidasi sumberdaya agar dapat memberikan kontribusi secara
maksmimal.
Meskipun negara dalam hal ini pemerintah mempunyai peran yang sangat penting dalam
pendidikan budaya anti korupsi di masyarakat, namun demikian peran ketiga pilar tersebut dalam
pendidikan budaya anti korupsi sangatlah penting. Adapun peran masing-masing pihak tersebut
secara rinci antara lain sebagai berikut93:
Pertama, Negara (pemerintah) yang mempunyai peran sebagai berikut:
a. Menyusun peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik yang
berorientasi pada pelayanan dan perlindungan kepentingan masyarakat dan dunia usaha
atas dasar prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
b. Melakukan proses penyusunan peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik yang
didasari pada kajian yang mendalam serta melibatkan masyarakat dan atau dunia usaha.
c. Melakukan deseminasi dan sosialisasi terhadap perundang-undangan dan kebijakan publik
yang telah ditetapkan.
d. Menciptakan sistem sosial politik yang sehat dan terbuka untuk mewujudkan
penyelenggara negara yang memiliki integritas dan profesionalisme yang tinggi serta
meningkatkan kemampuan warga negara dalam berdemokrasi melalui pendidikan sosial
politik.
e. Memastikan agar dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya, penyelenggara negara
mematuhi dan memberdayakan sistem hukum nasional.
93 Komite Nasional Kebijakan Governance, Pedoman Umum Good Public Governance Indonesia, Tahun
2008, Hlm. 13
76
f. Menerapkan etika penyelenggara negara secara konsisten dan mencegah terjadinya
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
g. Mengupayakan kesejahteraan yang memadai serta menyediakan sarana dan prasarana bagi
penyelenggara negara dan jajarannya untuk memungkinkan pelaksanaan fungsi, tugas dan
kewenangannya dengan baik.
h. Membangun iklim persaingan usaha yang sehat.
i. Menggunakan sumber daya secara efektif dan efisien.
Kedua, Dunia Usaha yang mempunyai peran sebagai berikut:
a. Melaksanakan usaha secara sehat sehingga dapat menunjang pertumbuhan ekonomi secara
berkelanjutan serta meningkatkan kesempatan kerja.
b. Membangun sistem yang dapat memastikan perusahaan mematuhi peraturan perundang-
undangan dan kebijakan publik serta melaksanakan good corporate governance secara
konsisten.
c. Melaksanakan etika bisnis secara konsisten termasuk mencegah dan menghilangkan
perilaku koruptif, kolusif dan nepotisme.
d. Melakukan kajian yang mendalam terhadap peraturan perundang-undangan dan kebijakan
publik yang berdampak terhadap usahanya.
e. Memberikan masukan secara aktif dalam proses penyusunan peraturan perundang-
undangan dan kebijakan publik baik langsung maupun tidak langsung.
Ketiga, Masyarakat yang mempunyai peran sebagai berikut:
a. Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan untuk dapat melaksanakan control sosial
secara sehat dan bertanggungjawab.
b. Meningkatkan konsolidasi sumberdaya agar dapat menata dan menciptakan sistem dan
organisasi masyarakat yang sehat.
c. Mencegah dan menghilangkan sikap dan perilaku koruptif, kolusif dan nepotisme.
d. Melakukan kontrol sosial terhadap pelaksanaan GPG.
e. Memberikan masukan secara aktif dalam proses penyusunan peraturan perundang-
undangan dan kebijakan publik, baik langsung maupun tidak langsung.
f. Memahami dan mematuhi peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik.
77
g. Melaksanakan hak dan kewajibannya secara bertanggungjawab dalam pemilihan
penyelenggara negara.
2. Peran Pemerintah Dalam Mendukung dan Mendorong Pencegahan Tindakan Korupsi
di Indonesia
Friedman, menyatakan bahwa dalam hal pengkajian Sistem Hukum (legal system) dapat
didekati dari tiga komponen, yaitu struktur, substansi, dan kultur (budaya). Komponen struktur
adalah bagian-bagian yang bergerak dalam suatu mekanisme, komponen substansi merupakan
hasil aktual yang dihasilkan oleh sistem hukum dan meliputi kaedah-kaedah hukum yang tidak
tertulis. Sedangkan komponen kultur adalah nilai-nilai dan sikap-sikap yang mengikat sistem
hukum itu secara bersama dan menghasilkan suatu bentuk penyelenggaraan hukum dalam
budaya masyarakat secara keseluruhan.
Komponen kultur (budaya) memegang peranan yang sangat penting dalam penegakan
hukum pidana. Adakalanya tingkat keberhasilan penegakan hukum pada suatu masyarakat tinggi
karena didukung oleh kultur masyarakat, misalnya melalaui partisipasi masyarakat (public
participation) yang sangat tinggi pula dalam pencegahan kejahatan, melaporkan dan membuat
pengaduan terjadinya kejahatan di lingkungannya dan bekerjasama dengan aparat penegak
hukum dalam usaha penanggulangan kejahatan, meskipun komponen struktur dan substansinya
tidak begitu baik, dan bahkan masyarakat tidak menginginkan prosedur formal itu ditetapkan
sebagaimana mestinya.
Sebaliknya komponen struktur dan substansi yang sangat baik atau “modern” dalam
kenyataannya tidak menghasilkan output penegakan hukum yang tinggi, karena kultur
masyarakat tidak mendukung prosedur formal yang telah ditetapkan. Padahal penegakan hukum
akan selalu berinteraksi dan berinterelasi dengan lingkungan sosialnya : pelaksanaannya akan
dapat mencapai tujuan sebagaimana yang telah ditentukan melalui fungsi dari bekerjanya proses
dan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat, yaitu sosial, politik, dan kebudayaan. Dengan
demikian, maka hukum akan menjadi wadah bagi penyaluran proses-proses dalam masyarakat,
yang secara teoritis fungsi demikian itu dapat dilaksanakannya, baik dengan cara memberikan
jalan agar proses-proses berjalan dengan tertib dan teratur, maupun untuk mengalurkannya sesuai
dengan tujuan-tujuan tertentu yang diinginkan.
78
Sebagaimana kejahatan pada umumnya, korupsi dapat terjadi kapan saja dan dimana saja,
dilakukan baik oleh kalangan atas (elit) di pusat dan daerah, maupun oleh kalangan bawah
(pegawai rendahan), seperti : dalam pembuatan KTP, SIM dan berbagai macam perizinan.
Korupsi menggoroti kehidupan masyarakat terutama rakyat kecil yang menanggung beban
ekonomi biaya tinggi, dan melambungnya harga barang-barang kebutuhan pokok ditengah
sulitnya kehidupan. Jajaran birokrasi adalah pelaksana administrasi pemerintahan yang memiliki
wewenang cukup besar dalam mengelola aset publik, memberikan layanan publik, dan
menentukan kebijakan. Kekuasaan yang demikian besar memerlukan kontrol untuk mencegah
penyalahgunaan wewenang dan pedoman untuk terciptanya kualitas pemerintahan yang baik
(good governance). Salah satu kontrol utama yang sekarang menjadi isu adalah etika dan
integritas jajaran birokrasi. Tanpa adanya standar etika dan integritas, maka akan sangat sulit
untuk mencegah penyalahgunaan wewenang, korupsi, dan sejenisnya.
Untuk menegakkan etika dan integritas di jajaran pemerintah, diperlukan tata kelola
pemerintahan yang baik, agar: (i) perilaku jajaran birokrasi sesuai dengan tuntutan tugas dan
fungsinya sebagai pelayan masyarakat; (ii) masyarakat memperoleh layanan publik yang
berkualitas dan dapat diandalkan (reliable); (iii) masyarakat memperoleh perlakuan yang adil
dan non-diskriminatif secara hukum; (iv) asset-aset publik dan kekayaan negara dikelola dan
dimanfaatkan secara efektif, efisien, dan taat azas; dan (v) pengambilan keputusan atau kebijakan
publik bersifat transparan dan terbuka, serta tersedia mekanisme bagi masyarakat untuk
mengkritisinya.94
Dalam rangka penguatan etika dan integritas aparatur pemerintah guna pencegahan korupsi
telah diterbitkan beberapa acuan atau rujukan dalam bentuk TAP-MPR Nomor VI Tahun 2001,
Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004, dan
berbagai Peraturan Menteri. Untuk meningkatkan kinerja birokrasi, sejak tahun 2004, pemerintah
telah mencanangkan pelaksanaan reformasi birokrasi, yang diawali dengan pelaksanaan pilot
project di 3 instansi, yaitu Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa
Keuangan. Untuk mempercepat dan memperluas pelaksanaan reformasi birokrasi instansi
tersebut, telah dibentuk Tim Reformasi Birokrasi Nasional yang dipimpin oleh Menteri Negara
PAN. Dengan berbagai kebijakan nasional tersebut, pada dasarnya setiap kementerian/ lembaga
94Dayat NS Wiranta, Transformasi Birokrasi: Cara untuk Penguatan Etika dan Integritas dalam Pencegahan
Korupsi, Jurnal Lingkar Widyaiswara (www.juliwi.com) Edisi 2 No. 4, Okt – Des 2015, Hlm. 45
79
dan Pemda dapat melakukan reformasi birokrasi di instansinya masing-masing, yang pada
dasarnya terfokus pada penataan organisasi, penataan proses bisnis, dan penataan sumberdaya
manusia.
Sesuai dengan perkembangan jaman, tuntutan masyarakat terhadap jajaran birokrasi
sebagai penyelenggara pemerintahan, dan pelayan masyarakat semakin gencar dan kuat untuk
dapat menyelenggarakan pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan berkualitas. Termasuk di
antaranya adalah memberikan layanan publik yang prima, serta mengelola sumber daya publik
secara akuntabel, dan transparan, dan bebas dari segala bentuk penyalahgunaan. Landasan
utama untuk terbentuknya pemerintahan yang akuntabel, transparan, dan pelayanan prima
tersebut adalah penguatan etika dan integritas jajaran birokrasi. Tuntutan tersebut telah dirasakan
oleh pemerintahan di seluruh dunia, sehinggga Organization for Economic Cooperation and
Development (OECD, 2000) merasa perlu untuk menyusun pedoman yang komprehensif agar
penguatan etika dan integritas di lingkungan jajaran birokrasi dapat berjaan efektif. Pedoman
tersebut dituangkan dalam bentuk 8 infrastruktur etika dan 12 prinsip pengelolaan etika. Kini
pedoman tersebut merupakan rujukan utama yang digunakan oleh berbagai negara di Eropa,
Amerika, Asia, dan Australia, dan dipakai digunakan sebagai acuan untuk mengukur dan menilai
kekuatan etika birokrasi.95
Standar etika pada jajaran birokrasi telah menjadi perhatian pemerintah di banyak negara.
Perkembangan teknologi informasi dan tatanan global yang lebih terbuka mempertanyakan
tradisi-tradisi lama birokrasi yang cenderung tertutup. Globalisasi dan semakin meningkatkanya
tingkat hubungan ekonomi antar bangsa menuntut jajaran birokrasi untuk berkinerja lebih baik
secara transparansi dan akuntabel. Meningkatnya peluang ekonomi dan interaksi antara jajaran
birorasi dengan pihak swasta juga semakin membuka potensi untuk korupsi dan bentuk
penyalahgunaan wewenang lainnya. Pencegahan terhadap penyelahgunaan wewenang adalah
prosedur yang sangat kompleks, dan membutuhkan sistem mekanisme pengawasan secara
terintegrasi, termasuk di dalamnya sistem manajemen etika. Penyalahgunaan yang terjadi di
banyak negara telah menyebabkan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah,
khususnya jajaran birokrasi. Untuk itu pemerintah perlu melakukan evaluasi dan perubahan
terhadap mekanisme pengendalian etika dan perilaku aparat birokrasi.
95 Ibid.
80
Untuk mendalami permasalahan mengenai penguatan etika dan integritas dalam
pencegahan korupsi melalui transformasi birokrasi, maka perlu dikemukakan mengenai etika dan
integritas. Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya
adalah ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu: tempat tinggal yang biasa, padang rumput,
kandang, kebiasaan/ adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, dan cara berpikir. Sedangkan ta etha
berarti adat kebiasaan. Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah
Etika, yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis
(asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang sesuatu yang biasa dilakukan atau ilmu
tentang adat kebiasaan.96
Dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama etika mempunyai arti sebagai: “ilmu
pengetahuan tentang asas-asas akhlak atau (moral)”. Sedangkan kata ‘etika’ dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia yang baru, mempunyai arti97:
a. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
(akhlak);
b. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
c. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Bertens mempertajam definisi etika yang ada dalam Kamus besar Bahasa Indonesia
sebagai berikut98:
a. Nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya. Misalnya, jika orang berbicara tentang etika orang Jawa, etika
agama Islam, etika agama Budha, etika Protestan dan sebagainya, maka yang dimaksudkan
etika di sini bukan etika sebagai ilmu melainkan etika sebagai sistem nilai. Sistem nilai ini
bisa berfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial;.
b. Kumpulan asas atau nilai moral yang sering dikonotasikan sebagai kode etik. Contohnya
adalah Kode Etik Jurnalistik, atau kode etik keanggotaan organisasi tertentu, termasuk
Kode Etik Pegawai Negeri Sipil
c. Ilmu tentang yang baik atau buruk yang dikaitkan dengan asas-asas dan nilai-nilai global
yang diterima sebagai hal yang dianggap baik dan buruk. Etika yang dimaksud dalam
96 Ibid, Hlm. 46.97 Ibid.98 Ibid.
81
definisi ini menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis, atau sering
disebut sebagai filsafat moral.
Etika merupakan pedoman penting dalam birokrasi. Etika akan memberikan alat untuk
mengupayakan agar proses dalam organisasi berjalan dengan baik dan dapat memuaskan banyak
pihak. Ada dua alasan yang dapat dikaitkan dengan hal ini antara lain bahwa: (i) pertama,
masalah yang ada dalam birokrasi semakin lama semakin kompleks sehingga interaksi antar
individu atau tim dapat mengalami konflik karena beberapa sebab terkait dengan budaya, nilai
individu, atau nilai yang dibangun dalam tim/organisasi; dan (ii) . Kedua, keberhasilan
pembangunan yang telah meningkatkan dinamika dan kecepatan perubahan dalam lingkungan
birokrasi. Birokrasi melakukan adjusment (penyesuaian) yang menuntut discretionary power
(kekuatan pertimbangan/ kebijaksanaan) yang besar, sehingga etika organisasi dapat dijadikan
referensi bagi pengambilan kebijakan tertentu.
Pemerintah memiliki pola prilaku yang wajib dijadikan sebagai pedoman atau kode etik
berlaku bagi setiap aparaturnya. Etika dalam birokrasi harus ditimbulkan dengan berlandaskan
pada paham dasar yang mencerminkan sistem yang hidup dalam masyarakat, yang harus menjadi
pedoman serta diwujudkan oleh setiap aparat dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Secara umum nilai-nilai suatu etika yang perlu dijadikan pedoman dan perlu
dipraktekkan secara operasional antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang
Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil.
Kode Etik Pegawai Negeri Sipil adalah pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan
Pegawai Negeri Sipil didalam melaksanakan tugasnya dan pergaulan hidup sehari-hari. Kode
etik bagi Pegawai Negeri Sipil sebagaimana diatur dalam Pasal 7 sampai dengan pasal 12
meliputi etika: dalam bernegara; dalam penyelenggaraan pemerintahan; dalam berorganisasi;
dalam bermasyarakat; serta terhadap diri sendiri dan sesama Pegawai Negeri Sipil.
Integritas atau integrity sesuai kamus kompetensi adalah tindakan yang konsisten dengan
nilai-nilai dan kebijakan organisasi serta kode etik profesi, sekalipun keadaan memberi tantangan
besar dalam melaksanakannya. Dalam pelaksanaannya, perilaku dengan integritas tinggi dapat
diukur dengan beberapa indikator berikut99:
99 Ibid, Hlm. 47.
82
a. Melakukan tindakan yang menunjukkan pemahaman dan pengenalan perilaku sesuai kode
etik, termasuk jujur dalam menggunakan sumber daya dalam lingkup atau otoritasnya dan
meluangkan waktu untuk memastikan bahwa apa yang dilakukannya tidak melanggar kode
etik;
b. Melakukan tindakan yang konsisten dengan nilai dan keyakinannya meskipun sulit
dilaksanakan, mampu menyampaikan kasus ketidaketisan kepada teman dekat atau rekan
kerja secara gamblang sekalipun menyakitkan, jujur dalam berhubungan dengan
pelanggan, dan secara terbuka mengakui telah melakukan kesalahan,
c. Bertindak berdasarkan nilai meskipun ada resiko biaya dan investasi lain yang cukup besar.
Dalam hal ini termasuk mengambil tindakan atas perilaku yang tidak etis, bersedia untuk
mundur atau menghentikan produk, jasa, praktek bisnis yang tidak etis, serta melakukan
perlawanan terhadap pihak-pihak yang memiliki kekuasaan demi menegakkan nilai,
Penanggulangan terhadap kejahatan (termasuk korupsi) pada hakikatnya adalah suatu
policy atau kebijakan yang dipilih oleh penguasa (pemerintah) dalam kerangka kebijakan atau
politik kriminal . (Sudarto) mengemukakan 3 (tiga) arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu100:
a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dan reaksi
terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana ;
b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di
dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi ;
c. Dalam arti paling luas, ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-
undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sosial
dalam masyarakat.
Politik kriminal merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam
menanggulangi kejahatan, dan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social
defence), serta upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu tujuan
akhir dan utamanya adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
100 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Alumni, Bandung, 2010, Hlm
83
Agar penanggulangan korupsi efektif dan efisien, maka perlu diketahui terlebih dahulu
faktor-faktor penyebabnya. Menurut Syed Hussein Alatas faktor-faktor penyebab korupsi
adalah101:
a. Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu
memberikan ilham dan tingkah laku yang menjinakkan korupsi.
b. Kelemahan pengajaran agama dan etika.
c. Kolonialisme, suatu pemerintah asing tidaklah menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang
diperlukan untuk membendung korupsi.
d. Kurangnya pendidikan.
e. Kemiskinan.
f. Tiadanya tindakan hukum yang keras.
g. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi.
h. Struktur pemerintahan.
i. Perubahan radikal, tatkala suatu sistem nilai mengalami perubahan radikal, korupsi muncul
sebagai suatu penyakit transisional.
j. Keadaan masyarakat, korupsi dalam suatu birokrasi bisa memberikan cerminan keadaan
masyarakat keseluruhan.
Dari berbagai faktor penyebab korupsi di atas, sangat erat kaitannya dengan aspek budaya
(hukum), maka perlu suatu gerakan membudayakan nilai-nilai dan sikap-sikap anti korupsi di
tengah masyarakat Indonesia, sehingga akan menjadi motor penggerak bagi bekerjanya hukum.
Seperti dikemukakan Satjipto Rahardjo, dengan mengutip Friedman ; bahwa nilai-nilai dan
sikap-sikap ini dianggap semacam bensin yang akan menggerakkan motor tatanan hukum yang
ada, bahwa tanpa motor penggerak ini maka pranata hukum itu akan menjadi lembaga yang mati
belaka. Unsur nilai-nilai dan sikap-sikap inilah yang kemudian dikenal dengan nama kultur
hukum. Dalam hal nilai-nilai hukum dan sikap-sikap anti korupsi dimaksud adalah agar setiap
warga masyarakat tidak mentolerir segala bentuk pengimpangan yang cenderung korup dan
merugikan pihak lain, seperti: tidak mau menerima dan memberi suap sebagai jalan pintas dalam
mengurus suatu keperluan, melaporkan kepada aparat penegak hukum jika mengetahui adanya
101 Syed Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi: Sebuah Perkenalan Singkat Mengenai Korupsi, Al Ghozie
Usman (Terj), LP3ES, Jakarta, 1975, Hlm. 46.
84
praktek suap atau korupsi dalam segala bentuk, seperti dirumuskan dalam Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, terdapat 30 (tiga puluh)
bentuk/jenis tindak pidana korupsi yang pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Kerugian uang negara ;
b. Suap-menyuap ;
c. Penggelapan dalam jabatan ;
d. Pemerasan ;
e. Perbuatan curang ;
f. Benturan kepentingan dalam pengadaan, dan
g. Gratifikasi.
Bukan rahasia lagi bahwa pengurusan hampir semua keperluan hidup dalam masyarakat,
seperti masuk sekolah, mencari pekerjaan, berbagai macam perizinan, pengasahan hak dan
sebagainya dapat diatur, dalam arti bagi mereka yang mau dam mampu memberi suap urusannya
akan lancar dan sesuai dengan keinginan. Sedangkan bagi mereka yang tidak mau dan tidak
mampu memberi suap urusannya akan tersendat atau resiko ditolak meski telah melengkapi
semua persyaratan yang diperlukan untuk itu. Fakta atau kenyataan ini telah lama berlangsung
namun sampai saat ini belum tersentuh oleh hukum. Seakan-akan hal semacam ini sudah menjadi
hal yang biasa dalam masyarakat. Dengan kata lain sudah menjadi budaya. Keadaan ini tidak
boleh dibiarkan berlarut jika tidak menginginkan bangsa Indonesia semakin terpuruk dan perlu
tindakan reaktif yang tegas dan berkelanjutan (counter act) dari pemerintah dan semua pihak
yang masih memiliki integritas dan moral yang tinggi.
Muladi, mengatakan satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa tidak boleh
mengharapkan terlalu besar tentang peranan sistem peradilan pidana sebagai pengendali
kejahatan, sebab sistem ini hanya merupakan salah satu sarana saja dalam politik kriminal (yang
bersifat penal). Sistem peradilan pidana hanya berfungsi terhadap recorded crimes yang menjadi
masukannya. Fungsinya pun kadang-kadang tidak dapat bersifat maksimal (total anforcement)
sebab demi menjaga keseimbangan antara ketertiban umum (public order) dan hak-hak
85
individual (individual right) maka batas-batas penegakan hukum dibatasi oleh ketentuan-
ketentuan yang ketat.102
Keterbatasan hukum pidana dangan sistem peradilan pidananya mengakibatkan tidak
semua pelaku kejahatan korupsi dapat diajukan ke pengadilan, bahkan tidak jarang meski sampai
ke pengadilan hasilnya adalah putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, karena
syarat-syarat pembuktian yang harus dipenuhi menurut Undang-Undang tidak mencukupi atau
kurang memadainya alat bukti yang ada.
Hal itu menunjukkan betapa pentingnya sarana penanggulangan lainnya yang diharapkan
dapat berfungsi dengan baik, yaitu sarana non penal atau pencegah tanpa menggunakan pidana
(prevention without punishment). Kenyataan tersebut akan lebih memprihatinkan apabila di
tubuh aparat yang seharusnya menegakkan hukum ternyata dapat “diatur” oleh pihak koruptor
dengan diimingi imbalan (suap) untuk mementahkan perkaranya yang dikenal dengan istilah
mafia hukum, makelar kasus dan sebagainya.
Reaksi masyarakat dalam membudayakan anti korupsi terasa hebat ketika peristiwa
kriminalisasi Bibit-Chandra, sehingga telah melahirkan gerakan moral yang dahsyat dan belum
pernah terjadi selama ini, dimana masyarakat luas memberikan dukungan kepada KPK untuk
tetap melaksanakan tugasnya dalam memberantas korupsi. Mengingat korupsi telah menjalar
pada semua bidang kehidupan dan telah dinyatakan sebagai kejahatan luar biasa (exstra ordinary
crime), sehingga untuk menanggulangi korupsi diperlukan cara-cara yang luar biasa pula.
Hal tersebut merupakan momentum bagi seluruh lapisan masyarakat meningkatkan gerakan
anti korupsi dengan membudayakan nilai-nilai dan sikap-sikap anti korupsi pada seluruh lapisan
masyarakat melalui pendidikan baik formal maupun non formal secara berkesinambungan,
dengan menanamkan pemahaman bahwa korupsi dalam segala bentuknya adalah perbuatan yang
merugikan masyarakat dan tercela secara moral, etika, dan agama. Meskipun demikian
penegakan hukum pidana (sistem peradilan pidana) harus terus ditingkatkan dengan melakukan
perbaikan-perbaikan dalam pelaksanaannya. Karena walaupun penegakan hukum pidana dalam
rangka penanggulangan kejahatan (termasuk korupsi) bukan merupakan satu-satunya tumpuan
harapan, namun keberhasilannya sangat diharapkan karena pada bidang penegakan hukum inilah
dipertaruhkan makna dari negara berdasarkan hukum.
102 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang,
1995, Hlm. Viii Dan 18
86
KPK sebagai motivator masyarakat menjadi ujung tombak dalam pencegahan tindak
pidana korupsi mempunyai tugas dan wewenang KPK berdasarkan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002, yang antara lain menyatakan :
Bahwa berdasarkan pasal 6 UU KPK, Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas :
a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi ;
d. Melakukan tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan
e. Melakukan motivator terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Selanjutnya dalam Pasal 13 UU KPK menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas
pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi
berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan sebagai berikut :
a. Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara
negara ;
b. Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi ;
c. Menyelenggarakan program pendidikan anti korupsi pada setiap jenjang pendidikan ;
d. Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana
korupsi ;
e. Melakukan kampanye anti korupsi kepada masyarakat umum ;
f. Melakukan kerjasama bilateral dan multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 huruf d, dan Pasal 13 huruf c, d, dan e terdsebut di atas,
maka jelas bahwa KPK bertugas dan memiliki wewenang untuk menyelenggarakan gerakan anti
korupsi pada semua jenjang pendidikan, dan melakukan kampanye anti korupsi kepada
masyarakat umum dalam rangka melaksanakan tugas pencegahan tindak pidana korupsi,
disamping tugas represif atau penegakan hukum pidana. Dengan demikian diaharapkan suatu
saat nanti timbulnya budaya malu (bukan takut) melakukan korupsi dan budaya anti terhadap
perbuatan korupsi dalam masyarakat Indonesia.
Budaya hukum mengandung unsur penegakan hukum (law inforcement) secara tegas
tanpa pandang bulu dan ketaatan terhadap hukum oleh masyarakat berdasarkan kesadaran.
87
Budaya Hukum harus dibangun agar lembaga negara dan penyelenggara negara dalam
melaksanakan tugasnya selalu didasarkan pada keyakinan untuk berpegang teguh pada ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk itu, setiap lembaga negara dan
penyelenggara negara berkewajiban untuk membangun sistim dan budaya hukum secara
berkelanjutan baik dalam proses penyusunan dan
penetapan perundang-undangan serta kebijakan publik maupun dalam pelaksanaan dan
pertanggungjawabannya. Penetapan perundang-undangan dan kebijakan publik harus dilakukan
atas dasar kepentingan umum dan dilaksanakan secara konsekuen.
Terkait dengan budaya hukum anti korupsi dapat diwujudkan dalam prinsip-prinsip
sebagai berikut:
a. Peraturan perundang-undangan harus dilaksanakan atas dasar prinsip Negara hukum yang
demokratis agar penegakan hukum dapat dilakukan secara benar, adil dan taat asas.
b. Setiap pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan harus dikenakan sanksi sesuai
dengan peraturan yang berlaku secara konsisten dan konsekuen.
c. Penyelenggara negara yudikatif harus melaksanakan fungsi dan tugasnya secara
profesional, jujur dan taat asas serta menghindarkan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.
Berdasarkan uraian tersebut diatas peran pemerintah dalam mendukung dan mendorong
pencegahan tindakan korupsi di Indonesia dapat dilakukan secara nyata melalui berbagai
kebijakan, yang salah satunya melalui sector pendidikan dengan melalui budaya anti korupsi
yang masih perlu ditegaskan kembali dalam berbagai peraturan perundang-undangan, serta
implementasi yang nyata. Upaya tersebut dapat dilakukan oleh berbagai stakeholder baik
pemerintah, masyarakat baik sektor swasta maupun lembaga swadaya masyarakat. Masyarakat
secara luas disini dapat diperankan oleh sector pendidikan baik mulai dari pendidikan anak usia
dini, Sekolah Menegah Pertama, Sekolah Menengah Atas dan juga Perguruan Tinggi yang harus
dapat tercermin dalam kurikulumnya.
D. Implementasi Pengaturan Tentang Pendidikan Budaya Anti Korupsi Di Indonesia
Dalam Pencegahan Budaya Anti Korupsi Di Indonesia
88
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.103
Pendidikan merupakan sebuah proses terus menerus yang tanpa henti, hingga ia menjadi manusia
yang kuat, sempurna dan paripurna. Oleh karena itu, jika pendidikan menghasilkan pribadi-
pribadi yang lemah, tidak bertanggungjawab, tidak bermoral, dan semakin menjadi jauh dari
tujuan pendidikan, maka berarti program pendidikan itu gagal.
Pendidikan Budaya Anti Korupsi bertujuan untuk memberikan pengetahuan yang cukup
tentang seluk beluk korupsi dan pemberantasannya serta menanamkan nilai-nilai anti korupsi.
Tujuan jangka panjangnya adalah menumbuhkan budaya anti korupsi di masyarakat dan
mendorong masyarakat untuk dapat berperan serta aktif dalam upaya pemberantasan korupsi di
Indonesia104.
Korupsi merupakan sebuah masalah pelik yang tiada habisnya diperbincangkan di negeri
ini. Mulai dari pemahaman mengenai apa itu korupsi, bentuk-bentuk tindakan korupsi sampai
pada sanksi hukum atas tindakan korupsi. Namun, perbincangan dari waktu ke waktu itu belum
berbuah maksimal. Masih sangat mudah dijumpai praktek-praktek korupsi di lapangan. Bahkan
apabila kita mau jujur, korupsi sudah sangat telanjang. Menghukum koruptor ternyata juga
bukanlah pekerjaan yang mudah, sempat menjadi viral bagaimana tersangka rompi oranye masih
bisa tersenyum dan bangga ketika difoto. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi telah melanda
wilayah yang diharapkan mampu memberi efek jera pada para koruptor. Begitu besar kekuatan
uang untuk membeli kebebasan para koruptor. Belum lama negeri ini juga dihebohkan dengan
ruang tahanan yang disulap bak hotel berbintang. Kulkas, AC, TV, DVD, dan perlengkapan lain
menghiasi ruangan yang semestinya menciptakan renungan atas perbuatan yang telah dilakukan.
Menurut Mohtar Mas'oed, dalam bukunya Politik, Birokrasi dan Pembangunan (Pustaka
Pelajar, 1999), yang dikutip oleh Indonesian Corruption Watch dalam situs antikorupsi.org105,
103 Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Lembaran
Negara Nomor 78 Tahun 2003 Pasal 1.
104 Dirjen Dikti Kemendikbud, Pendidikan Anti Korupsi Untuk Perguruan Tinggi, Kata Pengantar Editorial, Jakarta, hlm v.
105 Indonesia Corruption Watch, 2005, dalam https://antikorupsi.org/id/news/korupsi-dan-budaya-0, diakses 13 September 2018
89
menjelaskan, masyarakat Indonesia dan Thailand, mempunyai faktor budaya yang dapat
mendorong timbulnya korupsi. Pertama, adanya tradisi pemberian hadiah, oleh-oleh, kepada
pejabat pemerintah. Tindakan seperti itu, di Eropa atau Amerika Utara bisa dianggap korupsi.
Kedua, orang Indonesia dan Thailand lebih mementingkan ikatan keluarga dan kesetiaan
parokial lainnya. Dalam masyarakat Indonesia, kewajiban seseorang pertama-tama adalah
memerhatikan saudara terdekatnya, kemudian trah atau sesama etnisnya. Sehingga, seorang
saudara yang mendatangi seorang pejabat untuk meminta perlakuan khusus, sulit ditolak.
seringkali orang tua tanpa sengaja telah mengajarkan perilaku korupsi kepada anaknya.
Meskipun sebenarnya orang tua tidak bermaksud demikian, namun kita tidak boleh lupa bahwa
anak adalah peniru terbaik, mereka meniru apapun yang dilakukan oleh orang-orang dewasa di
sekitarnya.
Di era reformasi seperti sekarang ini, masih jarang dijumpai masyarakat secara individual
yang memiliki keberanian mengungkap kasus korupsi. Korupsi yang sudah dilakukan secara
sistematis dan terorganisir mungkin adalah salah satu penyebab ketakutan setiap orang untuk
membedah tindak korupsi. Siapa yang berani mengungkap perilaku korupsi malah akan sangat
mungkin tersisihkan. Hal ini tentunya akan berujung pada keterbatasan ruang gerak para penegak
hukum. Salah satu contoh praktek korupsi yang licin untuk dibuktikan adalah saat penerimaan
calon pegawai negeri. Praktek-praktek korupsi terdengar di mana-mana, namun, begitu sulit
untuk dibuktikan di meja hijau. Bahkan kasusnyapun jarang sampai ke gerbang kantor penegak
hukum. Tidak ada seorangpun yang nampaknya berani mengungkap kasus ini. Ironisnya,
sebagian besar masyarakat yang dapat dikategorikan sebagai orang terdidik tidak mampu berbuat
banyak. Bahkan terkesan mengikuti arus permainan. Siapa yang patut dipersalahkan?
Pemerintah, lembaga hukum, ataukah dunia pendidikan yang belum mampu memberikan bekal
‘keberanian’ dan ‘kesetiaan’ akan kejujuran?
Menurut Djabbar106, memerangi korupsi bukan cuma menangkapi koruptor. Sejarah
mencatat, dari sejumlah kejadian terdahulu, sudah banyak usaha menangkapi dan menjebloskan
koruptor ke penjara. Era orde baru, yang berlalu, kerap membentuk lembaga pemberangus
korupsi. Mulai Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, Komisi Empat pada tahun 1970,
Komisi Anti Korupsi pada 1970, Opstib di tahun 1977, hingga Tim Pemberantas Korupsi.
106 Djabbar, Faisal. 2009. Tentang Kurikulum Antikorupsi dalam
http://smk3ae.wordpress.com/2009/02/02/tentang-kurikulum-antikorupsi-2/. Diakses 13 September 2018.
90
Nyatanya, penangkapan para koruptor tidak membuat jera yang lain. Koruptor junior terus
bermunculan. Mati satu tumbuh seribu, kata pepatah.
Salah satu kekeliruan upaya pemberantasan korupsi selama ini adalah terlalu fokus pada
upaya menindak para koruptor. Sedikit sekali perhatian pada upaya pencegahan korupsi. Salah
satunya lewat upaya pendidikan antikorupsi. Terakhir, era reformasi melahirkan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), yang selain diserahi tugas penindakan, juga tugas pencegahan
tindak pidana korupsi, seperti pendidikan antikorupsi kepada masyarakat.
Di sini pendidikan sering menjadi komponen yang paling disoroti. Jika tujuan akhir
pendidikan adalah membentuk manusia cerdas, berakhlak mulia, terampil dan seterusnya, maka
semestinya rumusan itu dijadikan patokan atau alat ukur, sejauh mana bisa dicapai. Jika ternyata
para lulusan pada jenjang tertentu masih menggambarkan penampilan yang belum sebagaimana
dirumuskan dalam tujuan, maka apa salahnya segera dilakukan perbaikan dan bahkan perubahan.
Apa yang telah terjadi sudah selayaknya dijadikan renungan untuk memperbaiki kualitas
pendidikan di negeri ini.
Korupsi adalah masalah bersama yang penuntasannya tidak dapat dilakukan seketika.
Kekuatan hukum dalam menimbulkan efek jera pun terkesan belum maksimal. Banyak pelaku
tindak korupsi yang mendapat hukuman minim dan bahkan lolos dari jerat hukum. Untuk itu,
jalur pendidikan ditilik sebagai wahana terbaik untuk memutus arus korupsi dengan peningkatan
moral generasi penerusnya.
Pertanyaan berikutnya, apakah pengaturan pendidikan budaya antikorupsi di Indonesia
telah berperan positif dalam rangka pencegahan budaya antikorupsi di Indonesia. Menurut
Sondang P Siagian107, pengukuran efektivitas suatu kebijakan ada delapan, yaitu:
1. Kejelasan tujuan yang hendak dicapai hal ini dimaksudkan supaya dalam pelaksanaan
kebijakan tersebut tercapai sasaran yang terarah dan tujuan organisasi dapat tercapai
2. Kejelasan strategi pencapaian tujuan. Strategi pencapaian tujuan merupakan jalan yang
diikuti dalam melaksanakan berbagai upaya untuk mencapai sasaran yang ditentukan agar
implementer tidak tersesat dalam pencapaian tujuan organisasi.
107 Siagian, Sondang., P. (2008). Manajemen Sumber Daya Manusia (Edisi Pertama). Jakarta: Binapura
Aksara, Hlm 77.
91
3. Proses analisis dan perumusan kebijakan yang mantap, berkaitan dengan tujuan yang hendak
dicapai dan strategi yang telah ditetapkan artinya kebijakan harus mampu menjembatani
tujuan tujuan dengan usaha-usaha pelaksanaan kegiatan operasional.
4. Perencanaan yang matang, berarti memutuskan apa yang dikerjakan organisasi di masa yang
akan datang
5. Penyusunan program yang tepat sesuai rencana yang baik masih perlu dijabarkan dalam
program-program pelaksanaan yang tepat sebab apabila tidak, maka para pelaksana akan
kurang memiliki pedoman untuk bertindak dan bekerja.
6. Tersedianya saran dan prasarana kerja, salah satu indikator efektivitas kebijakan adalah
dapat dilaksanakan secara efektif dan maksimal dengan arana dan prasarana yang di
sediakan oleh organisasi.
7. Pelaksanaan yang efektif dan efiien, bagaimanapun baiknya suatu program apabila tidak
dilaksanakan secara efektif dan efiien maka kebijakan tersebut tidak akan mencapai sasaran
dan tujuannya.
8. Sistem pengawasan dan pengendalian yang bersifat mendidik mengingat sifat manusia yang
tidak sempurna maka efektivitas kebijakan menuntut terdapatnya sistem pengawasan dan
pengendalian.
Pada akhirnya, pendidikan diharapkan dapat menjadi salah satu bentuk pendekatan dalam
pencegahan antikorupsi. Secara Internasional, korupsi diakui sebagai masalah yang sangat
kompleks, bersifat sistemik, dan meluas. Centre for Crime Prevention (CICP) sebagai salah satu
organ PBB secara luas mendefiisikan korupsi sebagai : “Missus of (public) power for private
gain”. Korupsi mempunyai dimensi perbuatan yang luas meliputi tindak pidana suap (bribery),
penggelapan (emblezzlement), penipuan (fraud), pemerasan yang berkaitan dengan jabatan
(exortion), penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), pemanfaatan kedudukan seseorang
dalam aktivitas bisnis untuk kepentingan perorangan yang bersifat illegal (exploiting a conflct
interest, insider trading), nepotisme, komisi illegal yang diterima oleh pejabat publik (illegal
commission) dan kontribusi uang secara illegal untuk partai politik. Sebagai masalah dunia,
korupsi sudah bersifat kejahatan lintas negara (trans national border crime), dan mengingat
kompleksitas serta efek negatifnya, maka korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan yang
92
luar biasa (extra ordinary crime) memerlukan upaya pemberantasan dengan cara-cara yang luar
biasa (extra ordinary measure)108.
Pendidikan formal maupun non formal akhirnya menjadi pilihan untuk menjadi salah satu
bentuk pendekatan pencegahan korupsi dari sisi budaya. Secara umum, pendidikan ditujukan
untuk membangun kembali pemahaman yang benar dari masyarakat mengenai korupsi,
meningkatkan kesadaran (awareness) terhadap segala potensi tindak koruptif yang terjadi, tidak
melakukan tindak korupsi sekecil apapun, dan berani menentang tindak korupsi yang terjadi.
Mengacu kepada pendapat Sondang P Siagian di atas, maka untuk mengukur efektif atau
tidaknya suatu kebijakan pendidikan anti korupsi dalam hal pencegahan korupsi dapat dilihat
dalam beberapa kriteria sebagai berikut:
1. Kejelasan Tujuan Yang Hendak Dicapai
Pendidikan Anti Korupsi pada dunia pendidikan bertujuan untuk memberikan
pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk korupsi dan pemberantasannya serta
menanamkan nilai-nilai anti korupsi. Tujuan jangka panjangnya adalah menumbuhkan
budaya anti korupsi di kalangan pelajar dan mahasiswa dan mendorong mereka untuk
dapat berperan serta aktif dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Pendekatan
Pendidikan anti korupsi tidak berlandaskan pada salah satu perspektif keilmuan secara
khusus namun berlandaskan pada fenomena permasalahan serta pendekatan budaya dan
menekankan pada pembangunan karakter anti-korupsi (anti-corruption character
building) pada diri individu.109
2. Kejelasan strategi pencapaian tujuan.
Pendidikan Anti-korupsi yang dilaksanakan oleh setiap institusi pendidikan memiliki
kesamaan tujuan dan kompetensi peserta didik yang ingin dicapai yaitu agar dapat
melahirkan individu yang dapat memberikan solusi yang konkrit bagi masyarakat
disekitarnya.
3. Proses analisis dan perumusan kebijakan yang mantap, berkaitan dengan tujuan yang
hendak dicapai
108 Nyoman Sarikat Putra Jaya, Beberapa pemikiran ke arah pengembangan hukum pidana, Citra Aditya
Bakti, Bandung 2008, hlm 92.
109 Dirjen Dikti Kemendikbud, Pendidikan Anti Korupsi Untuk Perguruan Tinggi, Kata Pengantar Editorial, Jakarta, hlm 4.
93
Pendidikan formal maupun non formal akhirnya menjadi pilihan. Secara umum,
pendidikan ditujukan untuk membangun kembali pemahaman yang benar dari
masyarakat mengenai korupsi, meningkatkan kesadaran (awareness) terhadap segala
potensi tindak koruptif yang terjadi, tidak melakukan tindak korupsi sekecil apapun, dan
berani menentang tindak korupsi yang terjadi.
4. Perencanaan yang matang.
Pelaksanaan pendidikan anti korupsi direncanakan menyesuaikan tingkat peserta didik,
maka kompetensi yang ingin dicapai adalah110;
(1) Peserta Didik mampu mencegah dirinya sendiri agar tidak melakukan tindak korupsi
(individual competence).
(2) Peserta Didik mampu mencegah orang lain agar tidak melakukan tindak korupsi
dengan cara memberikan peringatan orang tersebut.
(3) Peserta didik mampu mendeteksi adanya tindak korupsi (dan melaporkannya kepada
penegak hukum). Adapun penjelasan adalah sebagai berikut :
a. Kompetensi individual dimulai dari diri peserta didik memiliki persepsi negatif
mengenai korupsi dan persepsi positif mengenai anti-korupsi, menguatnya
kesadaran (awareness) terhadap adanya potensi tindak korupsi. Peserta didik
akhirnya memiliki sikap anti-korupsi dalam arti berusaha untuk tidak melakukan
tindak korupsi sekecil apapun.
b. Sikap anti-korupsi ini kemudian memberikan efek-tular ke lingkungan sekitar
dimana peserta didik berani mengingatkan atau mencegah orang lain agar tidak
melakukan tindak korupsi dalam bentuk apapun, termasuk mampu memberikan
informasi kepada orang lain mengenai hal-hal terkait korupsi dan anti-korupsi.
c. Kompetensi selanjutnya adalah peserta didik mampu mendeteksi adanya suatu
tindak korupsi secara komprehensif mulai dari bentuk, proses, peraturan yang
dilanggar, pelaku, kerugian/dampak yang ditimbulkan; selanjutnya mampu
menghasilkan penyelesaian masalah (problem solving). Melaporkan kepada
penegak hukum mungkin saja dilakukan, namun harus memiliki bukti-bukti yang
valid.
110 Ibid, hlm 5
94
5. Penyusunan program yang tepat sesuai rencana yang baik masih perlu dijabarkan dalam
program-program pelaksanaan yang tepat.
6. Tersedianya sarana dan prasarana.
Pengembangan materi pembelajaran pendidikan anti korupsi perlu didukung kurikulum,
silabus, maupun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) atau Satuan Acara
Perkuliahan (SAP) yang khusus mengenai pendidikan anti korupsi di setiap mata kuliah.
7. Pelaksanaan yang efektif dan efisien.
Peran penting pendidikan sebagai salah satu bagian dari wacana pemberantasan korupsi
secara holistik adalah pendidikan antikorupsi sebagai salah satu instrumen
pengembangan kurikulum serta potensi peserta didik menjadi sangat relevan terhadap
perkembangan kurikulum Pendidikan anti korupsi selanjutnya, dimana membentuk
karakter individu yang menentang bentuk kemungkaran sosial, kejahatan kemanusiaan
yang komunal dan melibatkan publik.
8. Sistem pengawasan dan pengendalian yang bersifat mendidik.
Upaya pencegahan korupsi pada pendidikan tinggi, tampak bahwa aspek sikap yang
harus dimiliki oleh lulusan pendidikan tinggi serta memiliki karakter yang kuat, jujur,
sikap orang beriman, berakhlak mulia, berilmu, percaya diri, dan bertanggungjawab.
Sikap-sikap tersebut sejalan dengan upaya penanaman sikap anti korupsi.
Berdasarkan penjelasan diatas, upaya pemberantasan korupsi, upaya pencegahan tindak
pidana korupsi di Indonesia tidak akan pernah berhasil secara optimal jika hanya dilakukan oleh
pemerintah saja tanpa melibatkan peran serta masyarakat luas dan kalangan akademis dan pesrta
didik. Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika lembaga pendidikan, peserta didik dan mahasiswa
sebagai salah satu bagian penting dari masyarakat yang merupakan pewaris masa depan bangsa
diharapkan dapat terlibat aktif dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Keterlibatan
peserta didik dan mahasiswa dalam upaya pemberantasan korupsi tentu tidak pada upaya
penindakan yang merupakan kewenangan institusi penegak hukum. Peran aktif peserta didik dan
mahasiswa diharapkan lebih difokuskan pada upaya pencegahan korupsi
dengan ikut membangun budaya anti korupsi di masyarakat. Peserta didik dan mahasiswa
95
diharapkan dapat berperan sebagai agen perubahan dan motor penggerak gerakan anti korupsi di
masyarakat.
96
97
BAB VII
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut diatas pada sub judul pembahasan dapat disimpulkan sebagai
berikut:
Pertama, bahwa pengaturan tentang pendidikan budaya anti korupsi tersebar dalam
berbagai peraturan perundang-undangan meskipun tidak secara eksplisit mengatur tentang
budaya anti korupsi. Setidaknya terdapat beberapa pengaturan yang dapat diidentifikasi sebagai
berikut: Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 tahun 2000 Tentang Tata Cara
Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi,
Peraturan Menteri Riset dan Dikti Nomor 44 Tahun 2015 Tentang Standar Nasional Pendidikan
Tinggi.
Kedua, bahwa peran pemerintah dalam rangka pendidikan budaya anti korupsi di
masyarakat dalam rangka mendukung dan mendorong pencegahan tindak pidana korupsi di
Indonesia antara lain sebagai berikut:
a. Menyusun peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik yang berorientasi pada
pelayanan dan perlindungan kepentingan masyarakat dan dunia usaha atas dasar prinsip
pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
b. Melakukan proses penyusunan peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik yang
didasari pada kajian yang mendalam serta melibatkan masyarakat dan atau dunia usaha.
c. Melakukan deseminasi dan sosialisasi terhadap perundang-undangan dan kebijakan publik
yang telah ditetapkan.
d. Menciptakan sistem sosial politik yang sehat dan terbuka untuk mewujudkan
penyelenggara negara yang memiliki integritas dan profesionalisme yang tinggi serta
meningkatkan kemampuan warga negara dalam berdemokrasi melalui pendidikan sosial
politik.
e. Memastikan agar dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya, penyelenggara negara
mematuhi dan memberdayakan sistem hukum nasional.
98
f. Menerapkan etika penyelenggara negara secara konsisten dan mencegah terjadinya
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
g. Mengupayakan kesejahteraan yang memadai serta menyediakan sarana dan prasarana bagi
penyelenggara negara dan jajarannya untuk memungkinkan pelaksanaan fungsi, tugas dan
kewenangannya dengan baik.
h. Membangun iklim persaingan usaha yang sehat.
i. Menggunakan sumber daya secara efektif dan efisien.
Ketiga, tidak diaturnya secara eksplisit pengaturan tentang pendidikan budaya anti
korupsi di Indonesia saat ini dalam peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan dan
peraturan lainnya di luar pendidikan belum mampu memberikan peran positif secara nyata dalam
rangka pencegahan tindak pidana korupsi di Indonesia. Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika
lembaga pendidikan, peserta didik dan mahasiswa sebagai salah satu bagian penting dari
masyarakat yang merupakan pewaris masa depan bangsa diharapkan dapat terlibat aktif dalam
upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Keterlibatan peserta didik dan mahasiswa dalam
upaya pemberantasan korupsi tentu tidak pada upaya penindakan yang merupakan kewenangan
institusi penegak hukum. Peran aktif peserta didik dan mahasiswa diharapkan lebih difokuskan
pada upaya pencegahan korupsi dengan ikut membangun budaya anti korupsi di masyarakat.
Peserta didik dan mahasiswa diharapkan dapat berperan sebagai agen perubahan dan motor
penggerak gerakan anti korupsi di masyarakat.
B. Saran
Adapun saran yang dapat dikemukakan dengan memperhatikan uraian pada bab-bab
sebelumnya dapat diberikan saran sebagai berikut:
Pertama, bahwa perlu diatur secara khusus pengaturan dalam peraturan perundang-
undangan di bidang pendidikan yang mengatur tentang budaya anti korupsi.
Kedua, bahwa agar pemerintah dapat secara nyata mempunyai peran dalam pendidikan
budaya anti korupsi maka perlu secara nyata dituangkan dalam kebijakan kurikulum pendidikan
baik mulai pendidikan dasar hingga perguruan tinggi yang dapat diimplementasikan dalam
berbagai mata pelajaran di sekolah dan juga mata kuliah dalam kurikulum perguruan tinggi.
99
Ketiga, bahwa diatur pengaturan teknis tentang pelibatan lembaga pendidikan, guru dan
dosen serta peserta didik dalam penyelenggaraan pendidikan budaya anti korupsi dalam berbagai
jenjang tingkatan pendidikan.
100
101
DAFTAR PUSTAKA
Burhan Ashshofa. 2010. Metode Penelitian Hukum, Cet. 6, Jakarta: Rineka Cipta.
David J. Gerber. 2001. Globalization and knowledge: Implications for Comparative Law, 75 Tul.
LRev. 949.
Indriyanto Seno Adji. 2009. Korupsi dan Penegakan Hukum, Jakarta: Diadit Media.
John C. Reitz. 1998. How To Do Comparative Law, 46 Am. J Comp. L 617,
Lilik Mulyadi. 2007. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Normatif, Teoritis, Praktik dan
Masalahnya. Bandung: PT. Alumni.
Matthew S Roalf. 2004. A Sheep in Wolf’s Clothing: Why The Debate Surrounding Comparative
Constitutional Law Is Spectaculary Ordinary, 73 Fordham . Rev 1239.
Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum, Cet. 3, Jakarta: Prenada Media Grup.
RB. Soemanto, dkk. 2014. Pemahaman Masyarakat tentang Korupsi, Jurnal Yustisia, Vol. 88,
April.
Sunaryati Hartono. 2016. Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Cet. 2.,
Bandung: Alumni.
Zainuddin Ali. 2011. Metode Penelitian Hukum, Cet. 3, Jakarta: Sinar Grafika.
Mahfud MD, Prof. Dr. Moh. 2006. Bunga RampaiPolitik dan Hukum. Semarang: Rumah
Indonesia.
102
Wiyono, S.H., R. 2005. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.
Susetyo, Benny. 2004. Hancurnya Etika Politik. Jakarta: Buku Kompas.
Rasul, Sjahrussin. 2006. Dalam Makalah KPK dalam Seminar Nasional tanggal 13 September
2006.
KPK. 2006. Modul I – Pendidikan Anti Korupsi Bagi Pelajar.
Miles. Matthew B. dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis data Kualitatif. Terjemahan
Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI-Press.
Paton, Michael Quinn. 1989. Qualitative Evaluation Methods. London and New Delhi: Sage
Publication, Inc.
Yin, Robert K. 1997. Studi Kasus Desain dan Metode. Terjemahan M. Djauzi Mudzakir. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Syam, M.Noor.dkk. 1987. Pengantar Dasar-Dasar Kependidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Tilaar, H.A.R. 2004. Multikulturalisme Tantangan - Tantangan Global Masa Depan
Dalam Tranformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: PT.Grasindo.
Undang - Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
top related