fakultas psikologi universitas kristen satya...
Post on 13-Feb-2019
228 Views
Preview:
TRANSCRIPT
STRES AKADEMIK ANTARA ANAK TAMAN KANAK-KANAK
YANG MENDAPAT PENGAJARAN MEMBACA DAN TIDAK
MENDAPAT PENGAJARAN MEMBACA
OLEH
MYRNA ARINDA JOSEPHINE SINAGA
802010098
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
STRES AKADEMIK ANTARA ANAK TAMAN KANAK-KANAK
YANG MENDAPAT PENGAJARAN MEMBACA DAN TDAK
MENDAPAT PENGAJARAN MEMBACA
Myrna Arinda Josephine Sinaga
Berta E.A. Prasetya
Heru Astikasari S.Murti
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan stres akademik antara anak taman
kanak-kanak yang mendapat pengajaran membaca dan tidak mendapat pengajaran membaca.
Penelitian ini dilakukan pada 60 anak yang berusia 5-6 tahun melalui teknik purposive
sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan The Academic Stress Scale
(ASS), dikembangkan oleh Hesketh dkk (2010) dan Principal Component Analysis (PCA)
dari Scale For Assessing Academic Stress (SAAS), yang kemudian dimodifikasi oleh peneliti.
Stres akademik antara anak taman kanak-kanak yang mendapat pengajaran membaca dan
tidak mendapat pengajaran membaca diuji menggunakan Independent Sample Test dan
diperoleh bahwa nilai t-test sebesar 3,745 dengan signifikansi 0,001 (p<0,05), sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada perbedaan perbedaan stres akademik antara anak taman kanak-kanak
yang mendapat pengajaran membaca dan tidak mendapat pengajaran membaca.
Kata kunci : stres akademik, anak, taman kanak-kanak.
Abstract
This study aimed to examine the differences in academic stress among kindergarten children
who get reading lesson and not. This study was conducted towards 60 children aged 5-6
years old through purposive sampling technique. Data collected by using The Academic
Stress Scale (ASS), developed by Hesketh et. al (2010) and Principal Component Analysis
(PCA) from Scale For Assessing Academic Stress (SAAS), modified by researcher. The
differences between academic stress tested with independent sample test. The result reveal
that the t-test value is 3,745, with a significance of 0,001 (p<0,05), so that it can be
concluded that there are differences in Academic stress among kindergarten children who get
reading lesson and not.
Keywords : academic stress, children, kindergarte
1
PENDAHULUAN
Papalia (1995), seorang ahli perkembangan menyatakan bahwa anak
berkembang dengan cara bermain. Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Dengan
bermain anak-anak menggunakan otot tubuhnya, menstimulasi indra-indra tubuhnya,
mengeksplorasi dunia sekitarnya, menemukan seperti apa lingkungan yang ia tinggali
dan menemukan seperti apa diri mereka sendiri. Berdasarkan pandangan secara umum,
dunia anak adalah dunia impian yang hanya dipenuhi oleh berbagai kesenangan dan
ketenangan.
Namun fakta membuktikan bahwa selain hal-hal yang menyenangkan,
kehidupan anak-anak sekarang ini juga telah dipenuhi oleh berbagai persoalan dan
tekanan, sama seperti yang dialami oleh orang dewasa pada umumnya. Hal ini sejalan
dengan pendapat Pratanti (2008) bahwa stres tidak hanya terjadi pada orang dewasa,
tetapi juga pada anak-anak.
Menurut Irzal (2010), seorang anak yang stres dapat diidentifikasi dengan
memperhatikan tingkah lakunya. Reaksi-reaksi psikosomatik, termasuk problem
pencernaan, sakit kepala, kelelahan, gangguan tidur, dan mengompol mungkin
merupakan tanda-tanda bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Respons anak-anak
terhadap situasi tertentu dapat berbeda-beda. Ada situasi yang dianggap menegangkan
bagi anak yang satu, tapi tidak untuk anak lain.
Stres pada anak biasanya disebabkan oleh situasi baru yang terasa asing atau
tidak terduga, harapan-harapan yang tidak pasti terpenuhinya, antisipasi terhadap
sesuatu yang tidak menyenangkan (sakit dan sebagainya), ketakutan akan gagal
(prestasi belajar ataupun dalam pergaulan), memasuki tahap penting dalam kehidupan
(meninggalkan TK masuk SD, dan sebagainya) (Widyarini, 2010). Selain itu, anak-anak
2
juga bisa mengalami stres karena kegiatan sehari-harinya, salah satunya adalah dari
sekolah, seperti beratnya beban yang diberikan pihak sekolah dalam meningkatkan
prestasi belajar anak. Rasa tertekan jelas menimbulkan dampak negatif pada anak, baik
secara fisik maupun psikis (Wibisono, 2009). Hal ini sejalan dengan pendapat dari
Santrock (2002) yang menyatakan bahwa banyak peristiwa yang dapat membuat anak-
anak mengalami stres, beberapa di antaranya adalah faktor-faktor kognitif, peristiwa-
peristiwa kehidupan, percekcokan sehari-hari, faktor sosial budaya, dan status sosial
ekonomi.
Stres telah menjadi topik penting dalam lingkup akademik. Banyak peneliti di
bidang ilmu perilaku telah melakukan penelitian yang luas pada stres dan hasilnya
menyimpulkan bahwa topik ini membutuhkan lebih banyak lagi perhatian (Agolla
dalam Purna, 2009). Stres dalam institusi akademik dapat memiliki efek positif jika bisa
dikelola dengan baik, dan memiliki efek negatif jika tidak dikelola dengan baik
(Stevenson & Harper, 2006). Institusi akademik memiliki pengaturan kerja yang
berbeda jika dibandingkan dengan yang bukan akademik, berbeda baik dari segi gejala,
penyebab, dan efek stres (Chang & Lu, 2007).
Para peneliti telah mengidentifikasi stressor dari stres akademik, yaitu terlalu
banyak tugas sekolah, persaingan dengan teman, kegagalan dan hubungan yang buruk
dengan teman dan guru (Fairbrother & Warn, 2003). Pelajar melaporkan sumber
pengalaman stres akademik terbesar yang mereka alami setiap semester adalah dari
belajar untuk ujian, persaingan nilai, dan harus menguasai pelajaran yang banyak dalam
waktu yang singkat (Abouserie, 1994). Ketika stres dianggap negatif atau menjadi
berlebihan, siswa akan mengalami gangguan secara fisik maupun psikologis.
3
Dalam budaya Confucian Heritage Culture (CHC) seperti di negara Cina,
Macau, Korea, Jepang, dll, para orang tua biasanya sangat menanamkan pentingnya
pendidikan anak-anak mereka, dan memberikan tuntutan yang signifikan agar anak
mereka memiliki aspirasi yang tinggi untuk hasil akademik (Tan & Yates, 2007).
Berdasarkan alasan ini, peneliti menemukan bahwa anak-anak bisa memiliki
pengalaman stres akademik yang tinggi, terkait stres yang memiliki efek negatif bagi
perkembangan anak. Sebagai contoh, dalam studi investigasi dampak dari stres
akademik di China, Hesketh dkk (2010) menemukan bahwa stres akademik dengan
level yang tinggi dialami juga oleh anak Sekolah Dasar, baik dalam rumah dan
lingkungan sekolah, sehingga anak ditempatkan dalam tekanan yang mengganggu
kesehatan dan kesejahteraan mereka.
Maksood (dalam Setiawati, 2010) menyatakan bahwa reaksi stres atau
kekecewaan pada diri anak dan remaja sering menyebabkan timbulnya kasus bunuh diri.
Didukung oleh Seto (dalam Sindo, 2010) yang menyatakan bahwa stres yang
berlebihan, bisa karena faktor keluarga, lingkungan, hingga sekolahnya, karena guru
mungkin membebani pekerjaan rumah yang berlebihan atau tuntutan prestasi yang
terlalu tinggi juga dapat menjadi penyebab seorang pelajar nekat bunuh diri. Hakikatnya
bunuh diri yang dilakukan anak adalah akumulasi dari berbagai stres yang dialaminya.
Stres ini menimbulkan rasa frustrasi, lalu timbul depresi sampai pada tahap anak
memutuskan untuk bunuh diri (Sumarsih, 2008). Berdasarkan efek negatif pada
perkembangan anak tersebut, maka penelitian bagi stres akademik anak sangat
didukung (Yorke, 2013).
Salah satu contoh fenomena yang terjadi saat ini adalah perbedaan kurikulum
antar beberapa Taman Kanak-Kanak yang ada di Indonesia dalam hal pemberian
4
pengajaran membaca kepada para siswanya. Beberapa TK sudah memberikan
pengajaran membaca, sedangkan TK yang lain tidak. Perbedaan tersebut
dilatarbelakangi alasan dan prinsipnya masing-masing.
Saat ini masih banyak perdebatan yang kontroversial antara kelompok yang pro
dan kontra mengenai pemberian pengajaran membaca tersebut di usia pra sekolah.
Apalagi saat ini beberapa sekolah sudah ada yang mengharuskan anak sudah bisa
membaca dan berhitung saat masuk SD menyebabkan beban akademik yang kini
ditanggung anak jauh lebih berat.
Hal ini bertentangan dengan dasar dari Peraturan pemerintah No. 17 tahun 2010
pasal 69 dan pasal 70. Dalam PP tersebut diatur untuk masuk sekolah dasar (SD) atau
sederajat tidak didasarkan pada tes baca, tulis, hitung atau tes lainnya. Tidak ada alasan
bagi penyelenggara pendidikan tingkat SD atau sederajat untuk menggelar tes masuk
bagi calon peserta didiknya. Berikut isi PP No. 17 tahun 2010 pasal 69 ayat 5, yaitu
Penerimaan peserta didik kelas 1 (satu) SD/MI atau bentuk lain yang sederajat tidak
didasarkan pada hasil tes kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, atau bentuk tes
lain.
Pada dasarnya membaca merupakan kemampuan menghubungkan antara bahasa
lisan dengan tulisan, dalam kaitannya dengan kemampuan membaca permulaan,
keterampilan penguasaan kosa kata sangatlah penting bagi anak. Menurut Bowman
dan Bowman (1991), membaca merupakan sarana yang tepat untuk
mempromosikan suatu pembelajaran sepanjang hayat (life-long learning). Dengan
mengajarkan kepada anak cara membaca berarti memberi anak tersebut sebuah masa
depan yaitu memberi suatu teknik bagaimana cara mengekplorasi “dunia” mana pun
yang dipilih dan memberikan kesempatan untuk mendapatkan tujuan hidup.
5
Aulina (2010) memaparkan bahwa membaca pada usia anak sebelum SD berarti
memaksakan anak untuk memiliki kemampuan yang seharusnya baru diajarkan di SD.
Hal ini mengakibatkan waktu bermain, yang seharusnya adalah aktivitas dominan di
usia mereka akan berkurang atau bahkan terabaikan, sehingga dikhawatirkan akan
menghambat perkembangan potensi dan kemampuan anak secara optimal di kemudian
hari. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Hainstock (2002), yang menyatakan bahwa
anak secara mental belum siap membaca hingga berusia paling tidak enam tahun, dan
orangtua diingatkan bahwa dalam keadaan apapun seharusnya tidak mengajarkan anak
membaca sebelum usia tersebut.
Yuliyono (2012) juga menyatakan bahwa banyak praktek di Pendidikan Anak
Usia Dini (PAUD), demi mengejar kemampuan membaca, menulis, dan berhitung
(calistung), guru sering menggunakan teknik hafalan dan latihan yang mengandalkan
kemampuan kognitif, abstrak dan tidak terkait langsung dengan kehidupan anak.
Akibatnya, kepentingan anak terkalahkan oleh tugas-tugas skolastik yang semestinya
belum saatnya.
Aulina (dalam Arist 2012) Komnas Pelindungan Anak mencatat terjadi 2.386
kasus pelanggaran dan pengabaian terhadap anak sepanjang tahun 2011. Angka ini naik
98% dibanding tahun sebelumnya. Mayoritas anak-anak ini stres karena kehilangan
masa bermainnya. Anak-anak sudah disibukkan dengan banyak aktifitas seperti les,
sekolah, dan kursus bahkan sejak usia balita. Menurut Arist, negara telah gagal memberi
jaminan perlindungan kepada anak-anak jika ditinjau dari sistem kurikulum di PAUD,
anak-anak harus dapat membaca, menulis dan berhitung agar bisa masuk SD. Padahal
seharusnya anak usia dini itu hanya dikenalkan dengan konsep-konsep dasar kehidupan
saja seperti bersosialisasi dan bergaul.
6
Hal ini didukung oleh Piaget (dalam Santrock, 2008), bahwa pelajaran membaca
secara tidak langsung dilarang untuk diperkenalkan pada anak-anak di bawah usia tujuh
tahun. Piaget beranggapan bahwa pada usia di bawah tujuh tahun anak belum mencapai
fase operasional konkret, fase ketika anak-anak dianggap sudah bisa berpikir terstruktur.
Sementara itu, kegiatan belajar calistung sendiri didefinisikan sebagai kegiatan yang
memerlukan cara berpikir terstruktur, sehingga tidak cocok diajarkan kepada anak-anak
TK yang masih berusia balita. Piaget khawatir otak anak-anak akan terbebani jika
pelajaran membaca diajarkan pada anak-anak di bawah tujuh tahun.
Pendapat-pendapat ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh para ahli di
Amerika dan Inggris yang melarang pengajaran membaca dan menulis bagi anak yang
otaknya belum siap. Mereka berpendapat bahwa pembelajaran pada usia dini memang
bermanfaat, tetapi bukan berarti pendidikannya bersifat akademis. Dr. Susan Johnson,
seorang Dokter ahli spesialis perilaku dan perkembangan anak di Amerika selama 17
tahun telah meneliti anak-anak, menyatakan bahwa jika PAUD, TK, serta UU
pemerintah yang menetapkan standar pendidikan dapat mendukung kegiatan fisik dan
berhenti mencoba mengajarkan baca tulis kepada anak-anak yang masih sangat muda,
beliau yakin bahwa pada usia 8-9 tahun anak dapat mendengarkan, fokus, duduk diam,
menulis, membaca, memperhatikan, dan belajar dengan mudah (“Indonesia Educate”,
2013).
Namun pada kenyataannya beberapa tahun belakangan ini, banyak SD,
khususnya sekolah dasar favorit memberikan beberapa persyaratan masuk misalnya,
dengan tes psikologi dan terutama adalah anak harus bisa membaca. Dampaknya,
persyaratan yang diberikan membuat guru TK sibuk mencari cara untuk
mengajarkan muridnya belajar membaca. Padahal, di TK tidak ada kewajiban anak
7
belajar membaca, kecuali hanya ajang sosialisasi prasekolah. Demikian pula dengan
orangtua yang kebingungan dan menuntut di TK anak harus diajarkan untuk
membaca dan berhitung, seringkali orangtua dengan sengaja memberikan les privat agar
anak bisa membaca (“Media Indonesia”).
Persyaratan anak harus bisa membaca tersebut diberikan terutama dengan
adanya penelitian terhadap kemampuan membaca anak SD-MI kelas satu yang
menunjukkan bahwa pada umumnya siswa yang pernah masuk Taman Kanak-kanak
kemampuan membacanya lebih baik dibandingkan dengan siswa yang tidak dari Taman
Kanak-kanak. Hal ini disebabkan karena kesiapan belajar membaca, pengenalan huruf
dan sosialisasi antar anak lebih baik dari siswa yang tidak dari Taman Kanak-
kanak (“Managing Basic Education”, 2004). Supriadi (dalam Ranis, 2013) dengan
tegas mendukung hal ini, bahwa anak usia dini dapat diajari membaca, menulis, dan
berhitung. Bahkan menurutnya anak usia dini dapat diajar tentang sejarah, geografi, dan
lain-lainnya.
Hal ini jugalah yang mendorong lembaga pendidikan penyelenggara PAUD
maupun orangtua secara aktif untuk mengajarkan kemampuan membaca, menulis dan
berhitung dengan cara-cara pembelajaran di SD yang tidak sesuai dengan tingkat
perkembangan anak. Oleh karena itu, PAUD yang seharusnya menjadi taman yang
indah, tempat anak-anak bermain dan berteman, mulai beralih menjadi sekolah kanak-
kanak yang hanya memenuhi target kemampuan calistung, kegiatan ini berakibat
adanya penugasan-penugasan yang harus diselesaikan di rumah biasa disebut Pekerjaan
Rumah (PR), seperti layaknya proses pembelajaran di SD.
Doman (1991) berpendapat bahwa waktu terbaik untuk belajar membaca
kira-kira bersamaan waktunya dengan anak belajar bicara, di mana masa pekanya
8
terjadi pada rentang umur tiga tahun sampai lima tahun, yaitu ketika kemampuan anak
untuk belajar membaca sedang di puncak. West dan Egley (dalam Seefeldt dkk, 2008)
menyatakan bahwa meskipun pelajaran membaca formal biasanya dimulai di kelas satu,
TK banyak mengembangkan banyak keterampilan yang mempersiapkan mereka untuk
belajar membaca. Anak-anak yang rutinitas dan kegiatan sehari-harinya memberi
kesempatan membaca akan mulai mengidentifikasi tulisan-tulisan lingkungan.
Lingkungan yang kaya dengan buku dan tulisan membantu anak untuk mulai
membedakan makna tulisan itu.
Durkin telah mengadakan penelitian tentang pengaruh membaca dini pada anak-
anak. Dia menyimpulkan bahwa tidak ada efek negatif pada anak-anak dari membaca
dini. Anak-anak yang telah diajar membaca sebelum masuk SD pada umumnya lebih
maju di sekolah dari anak-anak yang belum pernah memperoleh membaca dini. Selain
itu, Steinberg telah berhasil dalam eksperimennya yang mengajar membaca dini untuk
anak-anak berusia antara 1-4 tahun. Dia juga menemukan bahwa anak-anak yang telah
mendapatkan pelajaran membaca dini pada umumnya lebih maju di sekolah (dalam
Nurbiana dkk, 2009).
Berdasarkan pemaparan hasil-hasil penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa
pemberian materi pengajaran membaca awal pada usia TK tidak selalu membuat anak
mengalami stres akademik. Hal ini mengartikan bahwa ada beberapa pendapat
menyatakan bahwa tidak masalah mengajarkan anak membaca pada usia pra sekolah
asal diberikan metode yang tepat dan menyenangkan bagi anak (Hidayati, 2010).
Namun pendapat lain menyatakan bahwa mengajarkan membaca pada anak di
usia pra sekolah berarti mengakibatkan waktu bermain, yang seharusnya adalah
aktivitas yang dominan di usia mereka akan berkurang atau bahkan terabaikan (Aulina,
9
2010). Oleh karena itu, maka penulis tertarik untuk meneliti apakah ada perbedaan stres
akademik pada anak TK yang mendapat dan tidak mendapat pendidikan membaca
permulaan?
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Stres Akademik
Stres yang terjadi di lingkungan sekolah atau pendidikan biasanya disebut
dengan stres akademik. Olejnik dan Holschuh (2007) menggambarkan stres akademik
ialah respon yang muncul karena terlalu banyaknya tuntutan dan tugas yang harus
dikerjakan. Stres akademik mengacu pada perasaan yang dialami siswa ketika tuntutan
pendidikan dan sistem sekolah melebihi kemampuan mereka untuk mengatasinya
(Kapri dkk, 2013). Stres akademik adalah stres yang muncul karena adanya tekanan-
tekanan untuk menunjukkan prestasi dan keunggulan dalam kondisi persaingan
akademik yang semakin meningkat, sehingga pada siswa semakin terbebani oleh
berbagai tuntutan (Alvin, 2007). Menurut Gusniarti (2002), stres akademik yang dialami
siswa merupakan hasil persepsi yang subjektif terhadap adanya ketidaksesuaian antara
tuntutan lingkungan dengan sumber daya aktual yang dimiliki siswa.
Melalui hasil pengujian Hesketh dkk (2010) di Vietnam dan China, stres
akademik memiliki tujuh indikator, yaitu enjoyment of school, worry about exams,
pressure to dwell, difficulty completing homework, fear of punishment of teachers, and
being physically bullied or corporally punished at home. Skor stres akademis dibagi
menjadi selalu, kadang-kadang, dan tidak pernah. Selain itu, menurut Principal
Component Analysis (PCA) dari Scale For Assesing Academic Stress (SAAS), stres
akademik memiliki lima aspek, yaitu cognitive, affective, physical, social/interpersonal,
motivational.
10
Kurikulum Taman Kanak-Kanak
Kurikulum TK yang Mendapat Pengajaran Membaca
Beberapa Taman Kanak-Kanak menggunakan kurikulum nasional dan
kurikulum yang dibuat sendiri oleh pendidik, disetujui oleh kepala sekolah, dan
diketahui oleh yayasan. Proses belajar mengajar didasarkan pada critical thingking dan
multiple intelligences, untuk mengembangkan kecerdasan anak. Multiple intelligences
tersebut meliputi beberapa aspek, yaitu bahasa, agama, intra, inter, musik, visual-
spasial, sains, logical math, dan multimedia (Gardner, 1983). Berdasarkan instruksi
membaca, TK ini menggunakan bottom-up process anak-anak mempelajari komponen-
komponen individu suatu bacaan (mengidentifikasi huruf, korespondensi suara-huruf),
dan meletakkannya bersamaan untuk memperoleh suatu makna.
Pengajaran membaca pada TK ini terbagi ke dalam tiga metode, yaitu:
1. Phonics Method, metode ini mengandalkan pada pembelajaran alphabet yang
diberikan kepada anak dengan mempelajari nama-nama huruf dan bunyinya.
Setelah mempelajari bunyi huruf mereka mulai merangkum beberapa huruf
tertentu untuk membentuk kata-kata (contoh: b-a-kr-a- k p-a kt-a- k).
2. Flashcard, metode ini menggunakan kartu-kartu yang berisi gambar yang
merangsang siswa untuk berpikir dan melakukan sesuatu.
3. Journal, yaitu bercerita menggunakan bahasa inggris dalam 4 kata. Anak akan
menulis dan membacakan ceritanya berdasarkan gambar yang disediakan.
Masing-masing metode ini diberikan kepada siswa selama satu kali dalam seminggu
dan semuanya menggunakan bahasa Inggris. Selain itu, mata pelajaran Bahasa
Indonesia akan diberikan dua kali dalam seminggu, pada mata pelajaran ini anak
11
diberikan stimulus dari gambar yang ada, untuk menulis dan membaca apa yang
dilihatnya.
Kurikulum TK yang Tidak Mendapat Pengajaran Membaca
Berdasarkan kurikulum yang ditetapkan oleh Permendiknas No.58 Tahun 2009
tentang standar PAUD, setiap anak diberi kesempatan untuk mengembangkan diri
sesuai potensi masing-masing. Pendidik bertugas membantu, jika anak membutuhkan.
kurikulum TK berisi pengembangan nilai agama dan moral, fisik-motorik, kognitif,
bahasa, sosial-emosional, dan seni.
Berdasarkan kurikulum yang digunakan di TK, pembelajaran membaca belum
diajarkan di TK, melainkan pembelajaran pramembaca, yaitu siswa diharapkan mampu
mendengarkan, berkomunikasi secara lisan, memiliki perbendaharaan kata, dan
mengenal simbol-simbol yang melambangkannya, seperti dapat menceritakan gambar
(pramembaca), bercerita tentang gambar yang disediakan atau dibuat sendiri,
mengurutkan dan menceritakan isi gambar seri sederhana (3-4 gambar), dan
menghubungkan gambar/ benda dengan kata. Selain itu, dapat menceritakan gambar
(pramembaca), bercerita tentang gambar yang disediakan atau dibuat sendiri,
mengurutkan dan menceritakan isi gambar seri sederhana (3-4 gambar),
menghubungkan gambar/ benda dengan kata (Permendiknas, 2013).
Perbedaan Stres Akademik Antara Anak Taman Kanak-Kanak Yang Mendapat
Pengajaran Membaca dan Tidak Mendapat Pengajaran Membaca
Menurut Purbo (2010) mengharuskan semua anak TK untuk bisa membaca
tampaknya menjadi hal yang kurang bijaksana mengingat setiap anak memiliki
kemampuan dan kesiapan belajar membaca yang berbeda satu sama lainnya.
12
Sebenarnya masih banyak hal-hal lain yang penting untuk dapat diajarkan pada anak TK
daripada hanya terfokus pada kemampuan membaca, misalnya penanaman disiplin,
kemandirian, tanggung jawab serta budi pekerti yang baik. Stimulasi terhadap
kecerdasan intelektual anak seperti pada kegiatan membaca memang penting. Namun,
perlu diupayakan jangan sampai stimulasi terhadap kecerdasan intelektual terlalu
berlebihan sehingga cenderung memaksakan anak dan melupakan aspek-aspek
kecerdasan lain yang juga perlu mendapat stimulasi seperti kecerdasan sosial dan
emosional yang semuanya sangat diperlukan agar dapat menjadi bekal bagi anak dalam
menghadapi masa depannyan kelak.
Membaca pada usia anak sebelum SD berarti memaksakan anak untuk memiliki
kemampuan yang seharusnya baru diajarkan di SD. Sehingga waktu bermain, yang
seharusnya adalah aktifitas dominan di usia mereka akan berkurang atau bisa saja
menjadi terabaikan. Hal ini dikhawatirkan akan menghambat perkembangan potensi dan
kemampuan anak secara optimal dikemudian hari (Aulina, 2010).
Yuliyono (2012) juga menyatakan bahwa banyak praktek di Pendidikan Anak
Usia Dini (PAUD), demi mengejar kemampuan membaca, menulis, dan berhitung
(calistung), guru sering menggunakan teknik hafalan dan latihan yang mengandalkan
kemampuan kognitif, abstrak dan tidak terkait langsung dengan kehidupan anak.
Akibatnya, kepentingan anak terkalahkan oleh tugas-tugas skolastik yang semestinya
belum saatnya
Selain itu, Pawitasari (2012) menyebutkan bahwa usia yang paling tepat bagi
anak untuk mulai belajar membaca dan menulis adalah tujuh tahun. Diterangkan lebih
lanjut bahwa mengajar anak membaca dan menulis sebelum anak siap bisa merusak
13
otak anak. Selain itu, memaksa anak untuk menguasai kemampuan kognitif akan
membuat mereka stres karena anak-anak usia dini seharusnya lebih banyak bermain dan
bereksplorasi. Mengingat TK bukan sekolah seperti layaknya SD, SMP, dan SMA atau
lembaga-lembaga pendidikan lainnya, maka baik isi program kegiatan belajar (topik)
maupun bentuk penyelenggaraan kegiatan belajarnya harus diciptakan dalam suasana
bermain sambil belajar. Oleh karena itu, di TK tidak diajarkan menulis, membaca, dan
berhitung (matematika). Berdarakan hal tersebut, TK melaksanakan berbagai kegiatan
pengembangan sebagai upaya meletakkan kemampuan dasar yang dapat memfasilitasi
anak untuk memiliki kesiapan membaca, menulis, dan berhitung. Dengan demikian,
program pendidikan TK tidak menjadi prasyarat untuk memasuki SD (Nugraha,dkk.,
2007).
Namun kenyataannya saat ini sudah banyak TK yang memberikan pengajaran
membaca kepada siswanya. Hal ini didasarkan pada penelitian tentang pengaruh
membaca dini pada anak-anak. Durkin (dalam Nurbiana dkk, 2009) menyimpulkan
bahwa tidak ada efek negatif pada anak-anak dari membaca dini. Anak-anak yang telah
diajar membaca sebelum masuk SD pada umumnya lebih maju di sekolah dari anak-
anak yang belum pernah memperoleh membaca dini. Ketika anak diberikan pengajaran
membaca, ketika para orang tua menuntut anak mereka agar bisa membaca, anak akan
merasa tertekan dan memicu stres akademik. Sehingga penulis tertarik untuk meneliti
apakah ada perbedaan tingkat stres akademik pada siswa taman kanak-kanak yang
mendapat pengajaran membaca dan tidak mendapat pengajaran membaca.
14
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan yang
signifikan stres akademik antara anak TK yang mendapat dan tidak mendapat
pengajaran membaca.
METODE PENELITIAN
Populasi dalam penelitian ini adalah anak TK yang berusia 5-6 tahun.
Selanjutnya sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 60 anak.
Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling, yaitu pengambilan
sampel secara sengaja sesuai dengan persyaratan sampel yang diperlukan. Dalam
penelitian ini, karakteristik subjeknya adalah anak-anak yang berada di kelas TK B,
lokasi penelitian di beberapa TK yang ada di Salatiga, berusia 5-6 tahun yang berjenis
kelamin berbeda. Anak ada yang berada di TK yang memberikan pengajaran membaca
dan ada yang berada di TK yang tidak memberikan pengajaran membaca.
Pengambilan data menggunakan try out atau uji coba terpakai yang berarti data
dari subjek yang digunakan untuk try out juga digunakan untuk penelitian. Untuk
memperoleh data dari penelitian ini, peneliti melakukan wawancara langsung kepada
masing-masing anak berdarkan skala academic stress yang ada. Skala academic stress
dalam penelitian ini disusun oleh peneliti berdasarkan indikator academic stress
menurut Hesketh dkk (2010) dan juga berdasarkan aspek academic stress menurut
Principal Component Analysis (PCA) dari Scale For Assessing Academic Stress
(SAAS).
Skala academic stress terdiri dari 43 item pertanyaan yang tersusun dari 6
indikator dari academic stress itu sendiri, yaitu academic stress yaitu enjoyment of
15
school, worry about exams, pressure to dwell, difficulty completing homework, fear of
punishment of teachers, and being physically bullied or corporally punished at home.
Selain itu peneliti juga menggunakan 5 aspek dari academic stress, yaitu cognitive,
affective, physical, social/ interpersonal, motivational. Skala ini memiliki dua pilihan
jawaban yaitu Y (Ya) dan T (Tidak). Hal ini untuk mengantisipasi anak usia 5-6 tahun
diperkirakan belum mampu memahami makna pilihan jawaban lainnya. Untuk item
favorable diberi nilai sebagai berikut : Y diberi nilai 1 dan T diberi nilai 0. Untuk item
unfavorable adalah kebalikannya, yaitu Y diberi nilai 0 dan T diberi nilai 1.
Tabel 1
Item Valid dan Gugur pada Skala Stres Akademik
Setelah dilakukan uji diskriminasi item pada Academic Stress Scale, dari 43 item
yang diujikan terdapat 26 item yang dapat digunakan, karena memiliki koefisien item
total korelasi ≥ 0,25. Pengujian validitas alat ukur dilakukan sebanyak tiga putaran,
didapatkan hasil akhir koefisien seleksi item yang bergerak antara 0,252 sampai dengan
0,446 dan memiliki realibilitas Alpha’s Cronbach sebesar α = 0,901.
No Indikator Enjoyment of
school
Worrying
about exam,
difficulty
completing
homework
Feelings of
pressure to
do well
Fear of
punishment
of teacher
Corporal
punishment
at home
1. Cognitive 1,3 10 17*,18* 26,27 34*
2. Affective 2*,42,43 11*,12 19*,20* 28*,29,30* 35,36,37*
3. Physical 4,5,6 13 21*,22 31 38
4. Social/ Interpersonal 7* 14 23,24* 32 39,40*
5. Motivational 8,9* 15,16* 25 33 41
TOTAL ITEM VALID 26 ITEM
Ket: Item dengan tanda (*) adalah item yang gugur setelah dilakukan uji coba atau memiliki koefisien
korelasi yang kurang dari 0,25 (Azwar, 2012)
Aspek
16
HASIL PENELITIAN
Untuk mendapatkan hasil dari penelitian ini, diperlukan beberapa bentuk uji data
yang akan dijelaskan sebagai berikut.
1. Hasil Deskriptif
Berdasarkan perhitungan data penelitian yang telah dilakukan,
didapatkan hasil analisis deskriptif academic stress dengan nilai minimum 0 dan
nilai maksimum 26. Mean yang diperoleh adalah sebesar 3,37 dan standard deviasi
sebesar 4,647, seperti yang terlihat dalam Tabel 2.
Tabel 2
Kategori Skor Academic Stress
No. Interval Kategori Frekuensi Persentase Mean Standar
deviasi
1. 17,2 ≤ x ≤ 26 Tinggi 2 3,3%
3,37 4,647 2. 8,6 ≤ x < 17,2 Sedang 4 6,7%
3. 0 ≤ x < 8,6 Rendah 54 90%
Perbedaan kategori skor academic stress antara anak taman kanak-kanak
yang mendapat pengajaran membaca dan tidak mendapat pengajaran membaca
ditunjukkan pada Tabel 3. Skor stres akademik pada anak yang mendapat
pengajaran membaca terbagi menjadi tiga kategori, anak yang memiliki kategori
tinggi berjumlah 2 orang (6,67%), kategori sedang berjumlah 4 orang (13,3%) ,
dan kategori rendah berjumlah 24 orang (80%) . Sedangkan skor stres akademik
pada anak yang tidak mendapat pengajaran membaca seluruhnya termasuk
dalam kategori rendah.
17
Tabel 3
Kategori Skor Stres Akademik antara anak taman kanak-kanak yang
mendapat pengajaran membaca dan tidak mendapat pengajaran membaca
No.
Interval
Kategori
Baca
%
Tidak Baca
%
1. 17,2 ≤ x ≤ 26 Tinggi 2 6,67% 0 0
2. 8,6 ≤ x < 17,2 Sedang 4 13,3% 0 0
3. 0 ≤ x < 8,6 Rendah 24 80% 30 100%
Mean 5,40 1,33
Standar deviasi 5,709 1,668
2. Hasil Uji Analisa
a. Uji Asumsi
Tahap selanjutnya adalah melakukan uji asumsi, yaitu uji normalitas
yang bertujuan untuk mengetahui normal atau tidaknya distribusi data
penelitian pada masing-masing variabel. Data dari variabel uji penelitian
diuji normalitasnya menggunakan metode Kolmograv-Smirnov Test. Data
dapat dikatakan berdistribusi normal apabila nilai p > 0,05.
Table 4
Hasil Uji Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Baca Tidak Baca
N 30 30
Normal Parametersa Mean 5.40 1.33
Std. Deviation 5.709 1.668
Most Extreme
Differences
Absolute .191 .221
Positive .191 .221
Negative -.172 -.212
Kolmogorov-Smirnov Z 1.047 1.212
Asymp. Sig. (2-tailed) .223 .106
a. Test distribution is Normal.
18
Hasil uji normalitas pada Tabel 4 menunjukkan bahwa variabel stres
akademik pada masing-masing kelompok sampel memiliki koefisien
Kolmogrov-Smirnov Test sebesar 1, 047 dan 1,212 dengan probabilitas (p)
atau signifikansi sebesar 0,223 dan 0,106 pada masing-masing kelompok
sampel. Dengan demikian, variabel stres akademik memiliki distribusi data
yang normal karena p > 0,05 pada kedua kelompok yang diteliti.
Uji homogenitas bertujuan untuk melihat apakah sampel dalam
penelitian berasal dari populasi yang sama atau tidak. Data dapat dikatakan
homogen apabila nilai probabilitas p > 0,05.
Tabel 5
Hasil Uji Homogenitas
Test of Homogeneity of Variances
Stres Akademik
Levene Statistic df1 df2 Sig.
10.088 1 58 .002
Dari hasil uji homogenitas pada Tabel 5, menunjukkan bahwa nilai
koefisien Levene Test sebesar 10,088 dengan signifikansi sebesar 0,002 (p <
0,05). Oleh karena nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05, maka dapat
disimpulkan bahwa data tersebut tidak homogen.
b. Uji Komparasi
Setelah kedua tahap ini dilakukan, selanjutnya adalah mengetahui
perbedaan stres akademik antara anak taman kanak-kanak yang mendapat
pengajaran membaca dan tidak mendapat pengajaran membaca, dengan
19
menggunakan perhitungan Independent Sample t-test. Setelah analisis data
dilakukan, maka diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 6
Hasil Uji-t
Group Statistics
B_TB N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
SA 1 30 5.40 5.709 1.042
2 30 1.33 1.668 .305
Tabel 6.1
Independent Samples Test
Levene's Test
for Equality
of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig. (2-
tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
SA Equal
variances
assumed
12.479 .001 3.745 58 .000 4.067 1.086 1.893 6.240
Equal
variances
not
assumed
3.745 33.914 .001 4.067 1.086 1.860 6.274
Hasil perhitungan Independent Sample t-test pada tabel 6.1
menunjukkan bahwa nilai signifikansi untuk perbedaan antara anak taman
kanak-kanak yang mendapat dan tidak mendapat pengajaran membaca
memiliki nilai t-test sebesar 3,745 dengan signifikansi 0,001 (p < 0,05) yang
berarti terdapat perbedaan yang signifikan pada academic stress antara anak
20
taman kanak-kanak yang mendapat dan tidak mendapat pengajaran
membaca. Selain itu hasil perhitungan juga menunjukkan mean academic
stress pada anak yang mendapat pengajaran membaca sebesar 5,40 dan mean
academic stress pada anak yang tidak mendapat pengajaran membaca
sebesar 1,33. Maka, anak yang mendapat pengajaran membaca, memiliki
tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan anak yang tidak mendapat
pengajaran membaca.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis data menggunakan Independent Sample t-test,
diperoleh nilai signifikansi (p) sebesar p = 0,001 (p < 0,05), artinya H0 ditolak dan H1
diterima. Selanjutnya hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa mean academic
stress pada anak yang mendapat pengajaran membaca sebesar 5,40 dan mean academic
stress pada anak yang tidak mendapat pengajaran membaca sebesar 1,33, artinya anak
yang mendapat pengajaran membaca memiliki tingkat stres akademik yang lebih tinggi
dari anak yang tidak mendapat pengajaran membaca. Hal ini juga menunjukkan bahwa
beberapa anak yang mendapat pengajaran membaca termasuk dalam kategori stres
akademik yang tinggi dan sedang, sedangkan anak yang tidak mendapat pengajaran
membaca memiliki skor stress akademik yang rendah.
Hasil penelitian ini juga mendukung pendapat para ahli di Amerika dan Inggris
yang melarang pengajaran membaca dan menulis bagi anak yang otaknya belum siap.
Mereka berpendapat bahwa pembelajaran pada usia dini memang bermanfaat, tetapi
bukan berarti pendidikannya bersifat akademis. Dr. Susan Johnson, seorang Dokter ahli
spesialis perilaku dan perkembangan anak di Amerika selama 17 tahun telah meneliti
21
anak-anak, menyatakan bahwa jika PAUD, TK, serta UU pemerintah yang menetapkan
standar pendidikan dapat mendukung kegiatan fisik dan berhenti mencoba mengajarkan
baca tulis kepada anak-anak yang masih sangat muda, beliau yakin bahwa pada usia 8-9
tahun anak dapat mendengarkan, fokus, duduk diam, menulis, membaca,
memperhatikan, dan bisa belajar dengan mudah (Indonesia Educate, 2013).
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pelajaran
membaca secara tidak langsung dilarang untuk diperkenalkan pada anak-anak di bawah
usia tujuh tahun. Piaget (dalam Santrock, 2008) beranggapan bahwa pada usia di bawah
tujuh tahun anak belum mencapai fase operasional konkret, fase ketika anak-anak
dianggap sudah bisa berpikir terstruktur. Hal ini dikhawatirkan otak anak-anak akan
terbebani jika pelajaran membaca diajarkan pada anak-anak di bawah tujuh tahun. Maka
dapat diartikan bahwa ketika anak diajarkan membaca diusia pra sekolah, maka ada
potensi anak akan mengalami stres, meskipun masih dalam kategori stres yang rendah.
Hainstock (2002) juga menyatakan bahwa anak secara mental belum siap
membaca hingga berusia paling tidak enam tahun, dan orangtua diingatkan bahwa
dalam keadaan apapun seharusnya tidak mengajarkan anak membaca sebelum usia
tersebut. Namun kenyataan yang ditemukan saat ini banyak para orangtua yang
memaksakan anaknya membaca di usia pra sekolah tanpa menyadari kemampuan anak-
anaknya. Hal ini dilatarbelakangi pendapat agar anaknya tidak mengalami kesulitan
ketika masuk SD yang menjadikan kemampuan membaca sebagai tes pada penyaringan
siswa baru yang masuk Sekolah Dasar. Hal ini juga seringkali menyebabkan orangtua
dengan sengaja memberikan les privat agar anak bisa membaca (Media Indonesia,
2012).
22
Meskipun hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan tingkat stres pada
anak, hal ini bukanlah menjadi suatu kesimpulan bahwa anak tidak boleh diajarkan
membaca di usia pra sekolah. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Adelar (2000) yang
menyatakan bahwa anak pada usia empat sampai lima tahun bisa diajarkan membaca,
yang penting adalah orangtua harus melihat bagaimana kemampuan dan minat anak.
Pengajar atau orangtua yang membimbing anak harus menjauhkan cara mengajar yang
sifatnya pemaksaan, kegiatan belajar sebaiknya lebih bersifat menyenangkan. Selain itu,
metode pengajaran juga diharapakan tidak membebani anak, yang dapat menyebabkan
mereka kelihatan murung dan menjadi bingung. Jika hal ini tidak diperhatikan dengan
baik, maka inilah yang membuat anak berpotensi mengalami stres.
Berdasarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Badan Penelitian dan
Pengembangan Pusat Kurikulum dan Perbukuan 2014, anak usia 6 tahun diharapkan
dapat memiliki pengetahuan tentang diri, keluarga, teman, guru, orang sekitar, makhluk
hidup, benda, teknologi, seni dan budaya di lingkungan rumah, tempat bermain. Namun
kenyataan yang ada saat ini, banyak sekolah yang tidak mengikuti kurikulum yang
pemerintah sarankan. Beberapa sekolah memilih untuk membuat kurikulum sendiri,
karena menurut pendapat mereka, kurikulum yang pemerintah buat tidak sesuai dengan
perkembangan dunia, khususnya dunia pendidikan saat ini.
Hasil penelitian ini menolak penelitian yang dilakukan oleh Durkin dan
Steinberg (2009), tentang pengaruh membaca dini pada anak-anak. Dia menyimpulkan
bahwa tidak ada efek negatif pada anak-anak dari membaca dini. Anak-anak yang telah
diajar membaca sebelum masuk SD pada umumnya lebih maju di sekolah dari anak-
anak yang belum pernah memperoleh membaca dini. Steinberg menemukan bahwa
23
anak-anak yang telah mendapatkan pelajaran membaca pada usia 1-4 tahun pada
umumnya lebih maju di sekolah (dalam Nurbiana dkk, 2009).
Meskipun ada perbedaan stres akademik antara anak taman kanak-kanak yang
mendapat pengajaran membaca dan tidak mendapat pengajaran membaca, namun
jumlah anak yang mengalami tingkat stres tinggi dan sedang berjumlah sangat sedikit
dibanding dengan anak yang memiliki stres rendah. Hal ini mengartikan bahwa anak
yang diajarkan mambaca pasti akan mengalami stres, tetapi berpotensi mengalami stres
ketika hal tersebut dianggap diluar kemampuannya. Berdasarkan pengamatan peneliti,
tingkat stres akademik anak taman kanak-kanak mayoritas tergolong rendah, khususnya
sekolah yang mengajarkan membaca adalah karena memang metode-metode yang
digunakan oleh para pengajar merupakan metode yang menyenangkan dan tidak
memaksakan anak, sehingga anak tetap merasa nyaman dan bisa menerima pengajaran
tersebut.
Jika dilihat dari jumlah anak yang mengalami stres akademik dengan kategori
yang tinggi namun berjumlah sangat sedikit, membuktikan bahwa tidak semua anak
mengalami stres akademik ketika diajarkan membaca. Penelitian ini memberikan
sumbangan yang positif dan menguatkan teori-teori kontra yang sebelumnya, bahwa
tidak salah bagi orangtua maupun pihak sekolah memberikan pengajaran membaca
kepada anak usia pra sekolah, selama menggunakan metode yang tepat dan tidak
bersifat memaksa bagi anak.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan uraian yang telah disampaikan, maka dapat
ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut :
24
1. Ada perbedaan stres akademik antara anak taman kanak-kanak yang mendapat
pengajaran membaca dan tidak mendapat pengajaran membaca.
2. Stres akademik anak yang mendapat mendapat pengajaran membaca lebih tinggi
dari anak yang tidak mendapat pengajaran membaca.
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dicapai, serta mengingat masih
banyaknya keterbatasan dalam penelitian ini, maka peneliti memberikan beberapa saran
sebagai berikut :
1. Saran bagi orangtua
Orangtua yang memiliki anak pada usia pra sekolah sebaiknya tidak
memaksakan anak mereka agar bisa membaca dengan tujuan supaya bisa masuk
di SD favorit. Selain itu, orangtua juga harus mengawasi dan memperhatikan
perkembangan kemampuan anaknya di sekolah, sehingga dapat memberikan
pengajaran yang tepat sesuai dengan kemampuan anak. Orangtua juga
diharapkan tidak membebani anak dengan berbagai macam les privat membaca
tanpa mengetahui bagaimana keadaan anak sebenarnya.
2. Saran bagi guru
Sebagai guru sebaiknya mengetahui kemampuan masing-masing para siswanya,
sehingga dapat memberikan cara pengajaran membaca yang tepat pada para
siswa. Selain itu juga memberikan pengajaran membaca permulaan, seperti
pengenalan huruf dengan metode belajar sambil bermain, mengingat adanya
kemungkinan penyebab stres.
25
3. Saran bagi peneliti selanjutnya
Penelitian ini masih terbatas, karena tidak meneliti subjek yang benar-benar
homogen. Selanjutnya agar meneliti jenis sekolah yang memiliki ciri yang sesuai
dengan kriteria dari variabel yang ada. Penelitian selanjutnya juga dapat meneliti
efek stres dari pengajaran membaca pada anak usia pra sekolah, meneliti subjek
anak SD yang berada di sekolah yang mewajibkan membaca dan tidak
mewajibkan membaca.
26
DAFTAR PUSTAKA
Agolla, J.E. (2009). Occupational stress among police officers. The case of Botswana
police service. Journal of Bus Manage. 2 (1), 25-35.
Alvin, N.O. (2007). Handing study stress: Panduan agar anda bisa belajar bersama
anak-anak anda. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Andriani, S. (2006). Perbedaan efektivitas metode lembaga kata serta metode struktural
analisis dan sintesis (sas) dalam meningkatkan kemampuan membaca
permulaan. Tesis pada FP Universitas Diponegoro Semarang: tidak diterbitkan.
Apriani., Cicilia., Kasiyati., & Tarmansyah. (2013). Efektifitas metode kupas rangkai
suku kata dalam meningkatkan kemampuan membaca permulaan bagi anak
kesulitan membaca. Pendidikan Khusus, 2,(3), 735-844.
Aulina, C.N. (2012). Pengaruh permainan dan penguasaan kosakata terhadap
kemampuan membaca permulaan anak usia 5-6 tahun. Pedagogia, 1, (2), 131-
143.
Berry, L.M. (2008). Psychology at Work: New York: Mc-GrawHill.
Bimba-aiueo. (2013). Bolehkah Belajar Membaca dan Menulis Bagi Anak Usia Dini.
Jakarta.
Burts, D.C., Andrea Y.R., & Sarah, H.P. (1999). Observed stress behavior of children
participacing in more and less developmentally appropriate activities. Available
(Online).
Catootjie, W. (2007). Stres pada anak gejala, penyebab, dampak, dan
penanggulangannya. Available (Online): (11 Juli 2008).
Chang K., & Lu, L. (2007). Characteristics of organisational culture, stressors and
wellbeing: The case of Taiwanese organizations. Journal of Manage Psychol.
22 (6), 549-568.
Fairbrother, K., & Warn, J. (2003). Workplace dimensions, stress and job satisfaction.
Journal of Managerial Psychology 18(1), 8-21.
Feldman, R.S. (1989). Adjustment: Applying psychology in complex world. New York:
Mc Graw-Hill.
Gardner, H. (2003). Multiple intelligence: Kecerdasan majemuk, teori dan praktek.
Batam: Interaksara.
Hardjana, A.M. (1994). Stres tanpa distres (seni mengolah stress). Jakarta: Kanisius.
27
Hainstock, E.G. (2002). Montessori untuk anak prasekolah. Jakarta: Pustaka Delaprasta.
Harnowo, P.A. (2012, 21 Maret). Pelajaran calistung sejak paud bikin anak jadi stress.
Detik Health, h. 5.
Hesketh, T., Zhen, Y., Lu, L., Dong, Z., Jun, Y., Xing, Z. (2010). Stress and
psychosomatic symptoms in Chinese school children: cross sectional survey.
Journal of Arch Dis Child, 95, 136-140. Retrieved October 13, 2014, from
http://group.bmj.com
Ibung, D. (2008). Stres pada anak (usia 6-12 tahun). Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo.
Kapri, C.U., Ahmad, J., & Rani, N. (2013). A study of creative stimulation school
environment and academic stress with respect to underachievers in science at
secondary school level. Journal of Teacher Education, 1(1), 1-7.
Looker, T.O. (2005). Managing Stress. Yogyakarta: BACA.
Mahsun. (2004). Bersahabat dengan stres. Yogyakarta: Prisma Media.
Nabillah, R. (2013). Status sosial ekonomi keluarga peserta didik. Skripsi pada FP
Universitas Pendidikan Indonesia: tidak diterbitkan.
National Association of School Psychologists. (2012). Stress in children and
adolescents: Tips for parents. West Highway: Bethesda.
Nandamuri, P.P., & Ch, G. (2011). Sources of academic stress- a study on management
students. Journal of ITM Business School, India.
Nugraha, A., & Ganjar, U. (2007). Kurikulum dan Bahan Belajar di TK. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Nurbiana, D. (2009). Metode pengembangan bahasa. Jakarta: Universitas Terbuka.
Olejnik, S.N., & Holschuh, J.P. (2007). College rules! 2nd
Edition How to study, survive,
and succeed. New tork. Ten Speed Press. [Online].
Pawitasari, E. (2012, 20 Januari). Masuk SD usia 5 tahun. Suara Islam Edisi 127, h.19.
Pranadji, D.K., & Nurlaela. (2009). Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat stres pada
anak usia sekolah dasar yang sibuk dan tidak sibuk”. Jurnal Ilmu Keluarga dan
Konsumen, 2, (1), 57-63.
Purbo, A. (2010. Haruskah anak TK bisa membaca dan menulis. Diunduh pada 17
Desember 2010 dari http://www.parentsguide.co.id/smf/index.
Santoso, S. (2008). Panduan lengkap menguasai spss 16. Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo.
28
Santrock, J.W. (2007). Perkembangan anak jilid 2 edisi 11. Jakarta: Erlangga.
Solihat, R.U. (2009). stres dan coping stres pada guru bantu. Skripsi pada FP
Universitas Gunadarma: tidak diterbitkan.
Stainback, W. 1999. Anak anda berhasil di sekolah. Yogyakarta: Kanisius.
Stevenson, A., & Harper, S. (2006). Workplace stress and the student learning
experience. Journal of Qual. Assur. Education, 14(2), 167-178.
Trisumarsih. (2008). Bunuh Diri dan Percobaan Diri Pada Anak.
Yorke, L. (2013). validation of the academic stress scale in the Vietnam school survey
round 1. Journal of Young Lives. 1, 2-10.
Yuliyono. (2012). Dipaksa calistung saat paud, anak bisa jadi tak suka baca saat besar.
GoodreadsIndonesiadiscussion. [Online]. Tersedia
http://www.media-indonesia.com/media/spacer.gif
http://kidshealth.org/parent/emotions/feelings/stress.html#
http://www.sekolahdasar.net/2012/06/peraturan-pemerintah-yang-melarang-
tes.html#ixzz2szqd2jD6
top related