financial inclusion dalam perspektif ekonomi islam:studi kasus investasi ustadz yusuf mansyur dan...
Post on 02-Jan-2016
451 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Financial Inclusion dalam Perspektif Ekonomi Islam:
Studi Kasus Investasi Ustadz Yusuf Mansyur
dan Investasi Emas Berlabel Syariah1
Oleh: Khairunnisa Musari2
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu isu aktual dalam industri perbankan dan keuangan nasional saat ini adalah
financial inclusion. Visi dari program financial inclusion diarahkan untuk mewujudkan akses
seluas-luasnya kepada layanan jasa keuangan, dalam rangka mendorong pertumbuhan
ekonomi, mengurangi tingkat kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan di Indonesia.
Program National Strategy Financial Inclusion (NSFI) di Indonesia sesungguhnya telah
dicanangkan bank sentral sejak 2010. Bahkan, sejak 1965, Indonesia sendiri sudah lama
melaksanakan program yang dapat dikategorikan sebagai financial inclusion, yaitu program
perkreditan untuk mendorong peningkatan pangan sekaligus menanggulangi kemiskinan.
Mengacu survei World Bank tahun 2009, sekitar 32 persen atau 76 juta penduduk
Indonesia belum tersentuh jasa keuangan (financially excluded) dan sekitar 60-70 persen
usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) belum memiliki akses terhadap perbankan.
Financial inclusion menjadi andalan bank sentral sebagai metode mengurangi tingkat
kemiskinan Indonesia melalui peningkatan kemampuan individu dalam mengelola
keuangannya. Konsep ini mengajak masyarakat untuk mengelola uang dan waktunya agar
lebih produktif sehingga hasilnya dapat ditabung dan pada gilirannya akan meningkatkan
kesejahteraan.
Dari 23 butir kebijakan NSFI, semuanya mengerucut pada lima aspek, yaitu kebijakan
penguatan stabilitas moneter, kebijakan mendorong peran intermediasi perbankan,
kebijakan meningkatkan ketahanan perbankan, penguatan kebijakan makroprudensial,
serta penguatan fungsi pengawasan. Melalui financial inclungan, otoritas berharap dapat
meniadakan hambatan akses masyarakat dalam memanfaatkan layanan jasa keuangan
sehingga tujuan akhir dari program ini, yaitu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
serta mengurangi tingkat kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan di Indonesia, dapat
terwujud.
Tabel 1 menunjukkan tingkat pengangguran dan kemiskinan di Indonesia tahun 2011
lebih besar daripada pertumbuhan ekonomi. Mengacu pada target yang diproyeksikan,
secara bertahap, hingga tahun 2014 diharapkan tingkat pengangguran akan turun di bawah
pertumbuhan ekonomi. Sedangkan tingkat kemiskinan, meski belum dapat berada di
1 Makalah ini disampaikan pada kegiatan sosialisasi dan edukasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kerjasama
Risk Management International (RMI), Ikatan Da’i Indonesia (IKADI) Jember, dan Ma’had Tahfizh Qur’an Ibnu
Katsir Jember, tanggal 6 September 2013, dengan tema ”Financial Inclusion: Tugas dan Kewenangan OJK”.
2 Peneliti Tamkin Institute; Peneliti Divisi Syari’ah Risk Management International (RMI).
2
2
bawah tingkat pertumbuhan ekonomi, namun diharapkan terjadi penurunan di bawah satu
digit.
Persoalan pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan, dan ketidakmerataan
pendapatan di Indonesia salah satunya tidak lepas dari belanja negara yang tidak optimal.
Gambar 1 menunjukkan rencana Anggaran Pendapatn dan Belanja Negara (APBN)
kementerian/lembaga (K/L) serta realisasinya sepanjang 2005-2011 yang mengindikasikan
ketidakmampuan menyerap anggaran secara optimal. Rata-rata penyerapan belanja K/L
berkisar 85%. Adapun beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya penyerapan ini
adalah masalah internal K/L, mekanisme pengadaan, mekanisme revisi, pengadaan tanah
serta faktor lainnya seperti iklim, geografis, faktor kehati-hatian serta keterbatasan kapasitas
pihak ketiga di daerah.
Banyak faktor yang menyebabkan pengentasan kemiskinan dan ketidakmerataan
pendapatan di Indonesia masih belum memenuhi harapan. Faktor lain yang turut
menghambat keberhasilan upaya penanganan kemiskinan dan pemerataan di Indonesia,
diantara: (1) Belum meratanya program pembangunan, khususnya di pedesaan, luar Pulau
Jawa, daerah terpencil, dan daerah perbatasan. Padahal, sekitar 63,5 persen penduduk
miskin hidup di daerah pedesaan. Persentase kemiskinan di luar Pulau Jawa termasuk Nusa
Tenggara, Maluku, dan Papua juga lebih tinggi dibanding di Pulau Jawa. (2) Kemiskinan
sangat terkait dengan keterbatasan akses masyarakat miskin terhadap pelayanan dasar. (3)
Masih besarnya jumlah penduduk yang rentan untuk jatuh miskin baik karena guncangan
ekonomi, bencana alam, dan juga akibat kurangnya akses terhadap pelayanan dasar dan
sosial. (4) Kondisi kemiskinan sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga-harga kebutuhan
pokok. Fluktuasi ini berdampak besar pada daya beli masyarakat miskin.
Tabel 1: Target Indikator Makro pada RPJMN 2010-2014
Sumber: Brodjonegoro (2012)
Gambar 1: Rencana dan Realisasi APBN K/L 2005-2011
Sumber: Brodjonegoro (2012)
3
3
Gambar 2 menunjukkan belanja negara untuk sejumlah program prioritas yang
menunjukkan tren peningkatan. Belanja negara untuk Biaya Operasional Sekolah (BOS),
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM), dan Program Keluarga Harapan (PKH) memiliki alokasi anggaran yang terus
meningkat. Hal ini mengindikasikan pemerintah sebagai otoritas fiskal telah berupaya
untuk melakukan pengentasan kemiskinan dan pemerataan pada layanan yang menyentuh
langsung hidup masyarakat.
Dalam mengelola perekonomian negara, maka kebijakan otoritas fiskal dan moneter
merupakan ujung tombak yang tidak bisa terpisahkan. Keduanya harus saling bersinergi
dan bekerja simultan. Salah satu program yang patut menjadi prioritas bagi otoritas
moneter dalam rangka mempertahankan atau meningkatkan pertumbuhan ekonomi,
pengentasan kemiskinan dan pemerataan pendapatan di Indonesia adalah financial inclusion
dengan mengedepankan financial literacy sebagai sarana edukasi yang bersentuhan
langsung dengan masyarakat.
Di Indonesia, tingkat financial literacy masih sangat rendah bila dibanding negara-
negara sekawasan Asia Tenggara. World Bank tahun 2009 mencatat hanya sekitar 33%
penduduk di Tanah Air yang sudah bersentuhan dengan bank. Bila lebih dikhususkan ke
usia produktif, jumlahnya menurun menjadi hanya 20%. Dengan jumlah penduduk yang
sangat besar, upaya untuk meningkatkan financial literacy di Indonesia membutuhkan kerja
yang lebih keras, berkesinambungan, dan waktu lebih panjang. Hal ini juga sekaligus
mengindikasikan bahwa Indonesia masih memiliki potensi yang besar bagi industri
Gambar 2: Belanja Negara untuk Program Prioritas
Sumber: Brodjonegoro (2012)
4
4
keuangan, utamanya perbankan, untuk mengelolanya, terlebih dalam menghadapi
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) untuk perbankan tahun 2020.
Berdasarkan hal tersebut, maka Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter meyakini
program NSFI dalam kurun lima tahun sejak pencanangannya merupakan cara utama
untuk meningkatkan financial literacy guna peningkatan kemampuan individu dalam
mengelola keuangannya. Sebagai bagian dari financial inclusion, maka sektor perbankan
sebagai mayoritas kegiatan jasa keuangan di Indonesia menjadi frontliner bagi program
tersebut. Strategi yang digunakan dalam mencapai tujuan financial inclusion meliputi lima
pilar, yaitu edukasi keuangan, meningkatkan eligibilitas keuangan, regulasi yang
mendukung, peningkatan fasilitasi intermediasi, serta reformasi kebijakan yang meliputi
perlindungan nasabah, agent banking, dan phone banking.
Ke depan, industri keuangan, utamanya perbankan, harus memetakan potensi
masyarakat dan sektor usaha yang menjadi sasaran dari program financial inclusion. Apalagi,
seiring dengan bertambahnya jumlah masyarakat kelas menengah serta masih dominannya
sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang belum mengakses perbankan,
maka dibutuhkan keberpihakan dan strategi yang komprehensif dari industri keuangan
untuk memperluas akses layanan jasa bagi masyarakat, utamanya dalam mempersiapkan
produk-produk yang dapat memenuhi kebutuhan tabungan dan investasi bagi masyarakat.
Tabel 2 menunjukkan jumlah usaha dan kontribusi lapangan kerja di Indonesia
berdasarkan Sensus Ekonomi 2006. Usaha mikro mendominasi seluruh sektor usaha sebesar
83,25% dengan jumlah pekerja di dalamnya hingga 62,51%. Berikutnya sektor usaha kecil
menguasai 15,78% dengan jumlah pekerja di dalamnya sekitar 21,36%. Lalu disusul secara
berturut-turut sektor usaha menengah dan sektor usaha besar.
Kategori Jumlah Usaha Persentase Usaha (%)
Jumlah Pekerja Persentase Pekerja (%)
Usaha Mikro 18,928,220 83.25 31,047,663 62.51
Permanen 10,336,514 45.46 21,447,768 43.18
Tidak Permanen 8,591,706 37.79 9,599,895 19.33
Usaha Kecil 3,587,574 15.78 10,608,535 21.36
Permanen 2,400,168 10.56 8,942,571 18.00
Tidak Permanen 1,187,406 5.22 1,665,964 3.35
Usaha Menengah 164,839 0.72 3,050,067 6.14
Permanen 160,205 0.70 3,038,318 6.12
Tidak Permanen 4,634 0.02 11,749 0.02
Usaha Besar 44,048 0.19 4,761,776 9.59
Permanen 43,459 0.19 4,760,083 9.58
Tidak Permanen 589 0.00 1,693 0.00
Tidak Dapat Diklasifikasikan 12,107 0.05 202,126 0.41
Permanen 12,107 0.05 202,126 0.41
Tidak Permanen 0 0.00 0 0.00
Jumlah 22,736,788 100.00 49,670,167 100.00
Tabel 2: Jumlah Usaha dan Kontribusi Lapangan Kerja
Sumber: Sensus Ekonomi (2006)
5
5
Secara keseluruhan, hal ini mengindikasikan bahwa sektor UMKM mendominasi
sektor perekonomian di Indonesia. Adapun produk jasa lembaga keuangan yang berhasil
diakses UMKM sebagian besar masih berupa kredit modal kerja dan sangat terbatas untuk
kredit investasi. Hal ini disebabkan oleh sulitnya memenuhi persyaratan pinjaman,
meskipun jenis usaha yang digeluti UMKM sebenarnya layak dan memiliki potensi besar.
Tuntutan sektor perbankan terhadap UMKM untuk memenuhi persyaratan bankable
menyebabkan UMKM masih kesulitan dalam mengakses lembaga keuangan. Secara umum,
permasalahan ini timbul karena kedua belah pihak tidak mempunyai standar manajemen
yang sama. Di satu pihak, sebagian besar karakter UMKM bersifat informal atau tidak
memiliki badan hukum resmi, belum menjalankan bisnisnya dengan prinsip-prinsip
manajemen modern, serta memiliki aset yang terbatas. Di lain pihak, dengan tujuan untuk
menekan resiko kredit, lembaga perbankan mensyaratkan para calon nasabahnya untuk
memiliki prinsip-prinsip bisnis atau manajemen modern (formal), antara lain mempunyai
izin usaha resmi, mempunyai aset yang cukup sebagai jaminan kredit serta mempunyai
pembukuan perusahaan yang rapi dan sebagainya.
Untuk mendekatkan jarak antara UMKM dengan perbankan, atau memberikan
kemudahan UMKM dalam mengakses modal, pemerintah sebenarnya telah melakukan
berbagai upaya. Mulai tahun 1973 pemerintah melaksanakan program kredit KIK (kredit
investasi kecil) dan KMKP (kredit modal kerja permanen). Akibat mengalami kredit macet
yang cukup tinggi, pada tahun 1990 program ini dihentikan. Sebagai ganti program
KIK/KMKP, mulai tahun 1990 pemerintah melaksanakan program KUK (kredit usaha kecil).
Pada kenyataannya program inipun tidak berhasil menumbuhkan UMKM seperti yang
diharapkan, dan oleh karenanya pada tahun 1998 program ini juga dihentikan. Setelah
progam KUK dihentikan, sampai saat ini pemerintah belum menggulirkan kebijakan
permodalan yang secara khusus ditujukan untuk UMKM. Jika dulu UMKM yang
mengajukan kredit ke perbankan cukup dengan kelayakan usaha, saat ini mereka harus
menyertakan jaminan minimal 20% dari plafon kredit. Syarat demikian dinilai makin
menyulitkan UMKM.
Bank Indonesia (BI) meyakini bahwa 40 juta usaha kecil tidak mempunyai akses pada
layanan perbankan, terutama bank komersial. Keadaan ini cenderung membuat UMKM
mencari alternatif sumber pembiayaan praktis dan cepat meskipun dengan tingkat bunga
yang lebih tinggi. Lembaga keuangan mikro (LKM), baik yang ditangani secara formal oleh
lembaga perbankan maupun institusi-institusi lain, semestinya makin diperkuat untuk
mengurangi permasalahan yang dihadapi UMKM.
Dalam rangka memberikan landasan hukum yang kuat atas operasionalisasi LKM,
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) pada 11 Desember
2012 telah sepakat mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) LKM menjadi UU
Nomor 1 Tahun 2013 tentang LKM. Ke depan, pembinaan, pengaturan, dan pengawasan
LKM dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan didelegasikan kepada pemerintah
kabupaten/kota. Bila pemerintah kabupaten/kota belum siap, maka OJK dapat
mendelegasikan pembinaan dan pengawasan kepada pihak lain yang ditunjuk. Untuk
menjamin simpanan masyarakat pada LKM, pemerintah daerah dan/atau LKM dapat
membentuk lembaga penjamin simpanan LKM. Selanjutnya, LKM wajib bertransformasi
menjadi bank, jika LKM terkait melakukan kegiatan usaha melebihi 1 wilayah
6
6
kabupaten/kota tempat kedudukan LKM, atau telah memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam Peraturan OJK. Dalam hal ini, OJK, Kementerian Koperasi dan UKM
(Kemenkop UKM) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) juga akan melakukan
inventarisasi LKM yang belum berbadan hukum dan harus diselesaikan paling lambat 2
tahun terhitung sejak UU LKM berlaku.
Berikutnya, dalam rangka memberi perlindungan terhadap konsumen guna
menghindari penipuan berkedok investasi, OJK menerbitkan peraturan Nomor:
1/POJK.07/2013 tentang perlindungan konsumen sektor jasa keuangan untuk melindungi
konsumen dari kecurangan, penyimpangan dan penyesatan dan pengaburan informasi
yang dilakukan pelaku usaha jasa keuangan. Terdapat sejumlah prinsip dan kewajiban yang
harus dipatuhi oleh pelaku usaha jasa keuangan. OJK memberikan sanksi tegas kepada
pelaku usaha ini bila melanggar, baik berupa peringatan tertulis, denda sampai pembekuan
dan pencabutan izin kegiatan usaha.
2. KAJIAN LITERATUR
Ketika krisis keuangan global melanda dunia, salah satu pemikiran yang mengemuka
di kalangan para ekonom adalah apakah penerapan sistem ekonomi syariah merupakan
solusi bagi masalah ini dan apakah ekonomi syariah akan menjadi paradigma baru yang
menggantikan sistem ekonomi kapitalis. Bagi sejumlah ekonom, krisis global yang tengah
terjadi saat ini merupakan pembuktian lemahnya sistem ekonomi kapitalis sekaligus
menjadi momentum kebangkitan ekonomi syariah. Fenomena ini, jika dikaji dengan
pendekatan konsep new institutional economics (NIE), pandangan tersebut mendekati
kebenaran.
Dalam ekonomi Islam, isu pertumbuhan ekonomi serta pengurangan tingkat
kemiskinan dan ketidakmerataan pendapatan merupakan salah satu filosofi yang sudah
digaungkan sejak munculnya Islam. Perintah untuk mendistribusikan kekayaan agar tidak
berputar dalam kelompok masyarakat menjadi legitimasi dalam ekonomi Islam bahwa uang
harus digunakan pada sektor produktif agar dapat menggerakkan perekonomian. Hal ini
pula yang menyebabkan moneter Islam dapat tercermin dari up and down-nya sektor riil
karena menggunakan mekanisme velocity of money. Quantity Theory of Money sesungguhnya
merupakan pemikiran yang berabad-abad sebelumnya telah digagas oleh pemikir muslim,
Taqiyuddin Ahmad Al-Maqrizi. Al-Maqrizi telah mencoba menghubungkan pasokan uang
dengan tingkat inflasi sehingga tercetus bahwa velocity of money adalah jawaban untuk
mereduksi inflasi.
Khalifah Umar bin Khattab pernah mengatakan, “Siapa saja yang memiliki uang,
hendaklah ia menginvestasikannya. Dan siapa saja yang memiliki tanah, hendaklah ia
menanaminya”. Diriwayatkan pula dari A’isyah r.a. bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Barangsiapa yang menghidupkan tanah yang tidak menjadi milik seseorang, maka ia lebih berhak
(atas tanah itu).” Hal ini secara keseluruhan menunjukkan bahwa ekonomi Islam
mengajarkan agar seluruh komponen modal dapat digunakan pada kegiatan produktif
dalam rangka menggerakan perekonomian dan mendorong velocity of money.
7
7
0
5
10
15
20
25
Oct-0
1
Oct-0
2
Oct-0
3
Oct-0
4
Oct-0
5
Oct-0
6
Oct-0
7
Oct-0
8
Oct-0
9
Oct-1
0
Oct-1
1
Oct-1
2
Oct-1
3
Oct-1
4
Oct-1
5
Oct-1
6
Market Share Islamic Banks
early
2013
between
2015-2020
Pemikir Ibnu Khaldun pun pernah menyatakan bahwa kekayaan bangsa-bangsa tidak
ditentukan oleh jumlah uang yang dimiliki bangsa tersebut, tetapi ditentukan oleh produksi
barang dan jasanya serta neraca pembayaran yang sehat, di mana neraca pembayaran yang
sehat adalah konsekuensi alamiah dari tingkat produksi yang tinggi. Hal ini juga kian
menegaskan bahwa ekonomi Islam sangat mendorong agar uang dan sektor riil saling
berinteraksi. Chapra (2000b) menceritakan, di masa lalu, setelah Islam menghapus riba dan
mengorganisasi keseluruhan produksi dan perdagangan berdasarkan mudarabah dan
syirkah, kegiatan ekonomi di dunia Islam saat itu mengalami peningkatan kemakmuran.
Kemampuan mengkombinasi beberapa faktor politik dan ekonomi, termasuk kemampuan
memobilisasi sumber-sumber daya finansial yang memadai, menjadi faktor utama bagi
kemakmuran ini. Mudarabah dan syirkah adalah dua metode mobilisasi yang menjadikan
perdagangan dan industri sebagai keseluruhan mata air sumber moneter bagi dunia Islam
abad pertengahan.
Saat ini, Islamic banking and finance menjadi fenomena yang bersifat lintas negara,
budaya, dan agama. Penerimaan banyak negara nonIslam terhadap kelembagaan ini
menunjukkan bahwa sistem ekonomi dan keuangan Islam bersifat universal. Di Indonesia,
perbankan syariah merupakan motor penggerak sistem ekonomi dan keuangan Islam.
Meski tumbuh lambat, pangsa pasar bank syariah di Indonesia diperkirakan akan mencapai
20% dalam kurun 2015-2020 sebagaimana Gambar 3.
Sebagai negara dengan penduduk muslim mayoritas dan terbesar di dunia, maka
dapat dipastikan bahwa masyarakat muslim di Indonesia mendominasi kantong-kantorng
kemiskinan. Gerakan pengentasan kemiskinan bagi umat Islam akan menurunkan secara
signfikan tingkat kemiskinan di Indonesia. Oleh karena itu, sudah sewajarnya jika
perbankan syariah turut andil dalam menjaring lembaga-lembaga sosial ekonomi
kemasyarakatan untuk bersama-sama mengembangkan kegiatan ekonomi dalam rangka
pemberdayaan masyarakat berbasis ekonomi syariah.
Gambar 3: Future Market Share
Sumber: Ismal (2012)
8
8
Gambar 4 menunjukkan hubungan antara lembaga dalam industri perbankan syariah
di Indonesia. Bank konvensional dimungkin untuk mendirikan unit usaha syariah (UUS).
Bersama dengan bank umum syariah (BUS), UUS dapat melakukan linkage program terhadap
Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dan lembaga keuangan mikro seperti Baitul Mal
Tamwil (BMT). BUS dan UUS juga dimungkinkan untuk berinteraksi langsung dengan
sektor UMKM. Hubungan antara lembaga di Indonesia ini terbilang unik dan tidak dapat
ditemukan dalam industri perbankan di negara lain. LKM mendampingi BUS, UUS, dan
BPRS inilah yang menjadi ujung tombak dalam membumikan sistem ekonomi dan
keuangan Islam di tanah air untuk mengakses masyarakat muslim yang menjadi target
sasaran program financial inclusion dan financial literacy.
Ke depan, OJK bersama Kemenkeu RI dan BI diharapkan dapat terus mendorong
program financial inclusion dan financial literacy di Indonesia, utamanya dalam mendorong
keberpihakan perbankan dan pasar keuangan terhadap sektor riil dengan memberi
kesempatan bagi semua jenis sektor usaha untuk mengakses layanan jasa keuangan. Hal ini
mengingat perbankan pada prakteknya juga memiliki peran dalam ‘menghambat’ proses
penyerapan likuiditas di sektor riil sehingga membiarkan pasar keuangan mengalami
bubble. Gap antara dana asing dengan dana domestik semakin besar akibat iming-iming
suku bunga yang cukup tinggi.
Dalam perspektif ekonomi Islam, mekanisme mengelola lack and excess of liquidity
dalam konteks kekinian dapat menggunakan instrumen penyertaan modal, seperti sukuk,
untuk mengelolanya. Instrumen ini harus mampu menjadi jembatan antara sektor keuangan
dan sektor riil sehingga up and down perekonomian dan pasar keuangan tercermin dari
kinerja sektor riil. Dengan demikian, kekhawatiran akan terjadinya pembalikan arah bila
ekonomi global pulih dan suku bunga negara maju meningkat dapat tereduksi.
Gambar 4: Linkage Among Institutions
Sumber: Ismal (2012)
9
9
Secara keseluruhan, inklusi keuangan dalam perspektif ekonomi Islam sejalan dengan
ekonomi mainstream, namun mekanisme yang digunakan berbeda. Hal ini mengingat
filosofi ekonomi dan keuangan Islam menuntut adanya keseimbangan, keadilan, dan
pemerataan dalam kegiatan perekonomian sehingga tools yang digunakan harus dapat
menjadi alat distribusi untuk memenuhi tujuan tersebut.
3. STUDI KASUS
Tidak bisa dipungkiri, pesatnya perkembangan pasar keuangan dan perbankan
Islam menjadi motor penggerak dibumikannya sistem ekonomi Islam. Namun demikian,
tidak sedikit yang menjadikannya sebagai alat komersil untuk menarik pasar sebesar-
besarnya dengan mengabaikan filosofi yang sesungguhnya. Maraknya produk investasi
yang berlabel syariah sepatutnya diapresiasi sebagai suatu bentuk inovasi untuk
merekonstruksi produk-produk keuangan konvensional. Namun demikian, proses kehati-
hatian tak mustahil untuk terlalaikan. Pasalnya, untuk dapat melahirkan sebuah produk
ekonomi, keuangan, dan perbankan Islam, membutuhkan integrasi pengetahuan tentang
syari’ah Islam dan ekonomi Islam yang memadai. Pada tataran inilah, sangat dimungkinkan
terjadi misleading karena penciptaannya terlahir pada sistem ekonomi kapitalis yang
sistemik yang berpotensi menimbulkan friksi-friksi, bahkan tak jarang diinisiasi oleh itikat
yang tak syar’i.
3.1 Kasus Investasi Ustadz Yusuf Mansyur3
“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan‛ ~Pasal 33 UUD
1945 Ayat 1.
Didasari oleh keinginan Ustadz Yusuf Mansyur (YM) untuk mensejahterakan umat
Islam dan warga negara Indonesia ternyata berujung kontroversi. Gerakan ‘patungan
usaha’ ala Ustadz YM dilatarbelakangi oleh penilaiannya bahwa kondisi perekonomian
Indonesia tidak memberi kesempatan pada masyakarat luas untuk menikmati kue
pembangunan. Kontroversi ‘patungan usaha’ menjadikan Ustadz YM bulan-bulanan.
Setelah Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan menemui Ustadz YM,
gerakan ‘patungan usaha’ kemudian ditutup sementara waktu sembari memperbaiki sistem
dan perijinannya. Meski saat ini gerakan tersebut dihentikan sementara sembari
memperbaiki legalitas, polemik yang muncul di masyarakat masih belum surut. Sejumlah
pihak meragukan kapabilitas bisnis investasi Ustadz YM. Tudingan bahwa bisnis ini bak
investasi bodong, money game atau multi level marketing (MLM) membuat Ustadz YM seolah
dipojokkan. Bahkan, tidak sedikit yang menyayangkan jika seorang tokoh agama
berkecimpung di sektor investasi.
Bisnis investasi dengan konsep patungan usaha ala Ustadz Yusuf Mansyur (YM)
menuai kontroversi. Jika disimak, isu penting yang harusnya dihadirkan adalah perihal
mobilisasi dana masyarakat, yaitu bagaimana memberi perlindungan kepada dana publik
3 Studi kasus ini sudah dimuat di Harian Bisnis Indonesia, 25 Juli 2013. Artikel ini ditulis untuk merespon
polemik di masyarakat, termasuk di dunia maya, terkait bisnis investasi ala Ustadz Yusuf Mansyur (YM). Tulisan
ini mencoba melihat persoalan dari perspektif berbeda.
10
10
tersebut. Di sinilah isu governance muncul, yaitu bagaimana mengelola benturan
kepentingan antara pengelola dana dengan masyarakat yang menyerahkan dananya.
Prinsip yang lazim digunakan adalah TARIF (Trasparency, Accountability, Responsibility,
Integrity, dan Fairness).
Ekonomi Konstitusi
Semangat ‘patungan usaha’ ala Ustad YM sesungguhnya sejalan dengan semangat
ekonomi konstitusi. Setidaknya hal ini tercermin dari ciri-ciri ekonomi Pancasila. Mubyarto
(1981) menyatakan ciri khas ekonomi Pancasila diantaranya adalah: (1) roda perekonomian
digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan moral; (2) adanya kehendak kuat dari
seluruh masyarakat ke arah keadaan pemerataan sosial dan sesuai asas-asas kemanusiaan;
(3) prioritas kebijakan ekonomi adalah penciptaan perekonomian nasional yang tangguh
dimana nasionalisme menjiwai kebijaksanaan ekonomi.
Menurut Bung Hatta (1963), sistem ekonomi Pancasila pada hakikatnya adalah sistem
ekonomi berdasarkan ‘sosialisme religius’ atau sosialisme Indonesia yang timbul dari tiga
faktor. Pertama, karena suruhan agama. Etika agama yang menghendaki adanya rasa
persaudaraan dan tolong-menolong antara sesama manusia dalam pergaulan hidup. Hal ini
pula yang mendasari Ustadz YM yang memunculkan konsep ‘patungan usaha’ berdasarkan
nilai-nilai agama. Sebagai catatan, sosialisme tidak harus merupakan marxisme dan tidak
harus diartikan sebagai hasil hukum dialektika. Sosialisme dalam konteks ini adalah
tuntutan hati nurani untuk memperjuangkan kemakmuran bagi semua orang.
Kedua, sosialisme Indonesia merupakan ekspresi daripada jiwa berontak bangsa
Indonesia yang memperoleh perlakuan yang sangat tidak adil dari si penjajah. Penguasaan
asing atas aset vital di negeri ini bukan isu baru. ‘Patungan usaha’ ala Ustadz YM juga
didasari oleh keresahan atas kaki tangan asing yang menguasai sektor-sektor yang menjadi
hajat hidup orang banyak. Gerakan ini adalah gerakan sosial dan humanisme yang ingin
bangsa Indonesia dapat menjadi tuan di rumah sendiri.
Ketiga, pemimpin Indonesia seyogyanya mencari sumber-sumber sosialisme dalam
masyarakat sendiri. Sosialisme menjadi tuntutan jiwa untuk mendirikan suatu masyarakat
yang adil dan makmur. Sosialisme dipahamkan sebagai tuntutan institusional, yang
bersumber dari lubuk hati yang murni berdasarkan perikemanusiaan dan keadilan sosial
dengan menjadikan agama sebagai penerangnya. ‘Patungan usaha’ ala Ustadz YM secara
jelas memperlihatkan corak kolektif sebagai sendi bangunan usaha sosial ekonominya.
Lebih jauh, model koperasi yang merupakan soko guru perekonomian Indonesia yang
paling mendasar adalah filosofi yang dibangun oleh Ustadz YM dalam menjalankan
‘patungan usaha’. Model ini bukan ide baru. Founding fathers negeri ini telah
menggaungkannya sejak Indonesia merdeka. Pasal 33 UUD 1945 ayat 1 juga menyatakan
bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Sayangnya, sejarah kelahiran dan berkembangnya koperasi di negara maju (barat) dan
Indonesia memang sangat diametral. Di barat, koperasi lahir sebagai gerakan untuk
melawan ketidakadilan pasar. Dengan kekuatannya, koperasi di barat meraih posisi tawar
dan kedudukan penting dalam konstelasi kebijakan ekonomi, termasuk dalam perundingan
internasional.
11
11
Secara keseluruhan, semangat ‘patungan usaha’ Ustadz YM sesungguhnya sudah
sejalan dengan ekonomi konstitusi di negeri ini. Orientasi kemandirian ekonomi yang
dihembuskannya seiring dengan tuntutan riil ekonomi konstitusi. Sebagai seorang muslim,
Ustadz YM juga tengah membumikan ekonomi Islam yang membawa pesan untuk meraih
falah, yaitu kesejahteraan di dunia dan akherat. Perintah untuk mendistribusikan kekayaan
agar tidak berputar dalam kelompok masyarakat tertentu menjadi legitimasi dalam
ekonomi Islam bahwa uang harus digunakan pada sektor produktif agar dapat
menggerakkan perekonomian. Hal ini pula yang menyebabkan moneter Islam dapat
tercermin dari up and down-nya sektor riil karena menggunakan mekanisme velocity of money
dan menggunakan konsep underlying asset.
Dengan tetap mengapresiasi itikat baik yang melatarbelakangi penggalangan dana
yang dilakukan Ustadz YM, tidak bisa dipungkiri, minimnya literasi keuangan bukan saja
menjadi kelemahan Ustadz YM, tetapi juga bagi kebanyakan masyarakat yang berpolemik
tanpa dasar sehingga isu yang mengemuka bak bola liar. Jelas, menyoal kasus ini, literasi
keuangan (financial literacy) yang digaungkan bersama dengan program inklusi keuangan
(financial inclusion) sudah mendesak untuk disosialisasikan secara masif.
Literasi Keuangan
Ilmu keuangan merupakan ilmu dinamis. Prakteknya menjadi keseharian bagi setiap
orang. Literasi keuangan menjadi keniscayaan bagi setiap orang untuk dapat membuat
keputusan keuangan serta mengoptimalkan instrumen dan produk keuangan yang tersedia.
Secara sederhana, literasi keuangan adalah pengetahuan mengenai konsep-konsep dasar
keuangan. Literasi keuangan mencakup beberapa aspek dalam keuangan, yaitu
pengetahuan dasar mengenai keuangan pribadi (basic personal finance), manajemen uang
(money management), manajemen kredit dan utang (credit and debt management), tabungan
dan investasi (saving and investment), serta manajemen risiko (risk management).
Literasi keuangan dibutuhkan agar setiap orang memiliki pengetahuan untuk
mengelola sumber daya keuangan secara efektif demi kesejahteraan hidupnya. Kebutuhan
individu dan produk keuangan yang semakin kompleks menuntut masyarakat untuk
memiliki literasi yang memadai. Minimnya literasi keuangan dapat mengakibatkan
rendahnya akses terhadap lembaga keuangan. Minimnya literasi keuangan juga dapat
mengakibatkan masyarakat mengalami kerugian keuangan karena tidak memahami resiko
yang membayang dari produk atau instrumen keuangan yang dipilih. Ditambah lagi jika
pada saat yang sama terjadi penurunan kondisi perekonomian. Perilaku masyarakat yang
konsumtif juga menambah daya boros dari sistem ekonomi dan keuangan yang ada saat ini.
Hadirnya OJK yang menaungi kegiatan investasi di Indonesia juga menjadi peta baru
bagi masyarakat awam. Literasi keuangan terhadap produk dan regulasi di sektor keuangan
tak semuanya dapat dipahami. Sosialisasi yang dilakukan OJK nyatanya masih belum
cukup untuk mengedukasi masyarakat luas. Hal ini tercermin pula dengan Ustadz YM yang
tidak mengetahui bahwa setiap penarikan dana masyarakat dengan memberikan imbal
hasil adalah bentuk investasi. Sesuai aturan, investasi yang beranggotakan 50 orang ke atas
wajib meminta izin OJK. Bila OJK belum mengeluarkan izin, maka sudah dapat dipastikan
kegiatan investasi tersebut dilarang.
12
12
Edukasi Keuangan
Edukasi keuangan (financial education) menjadi tantangan terbesar untuk
meningkatkan literasi masyarakat dalam rangka inklusi keuangan. Edukasi adalah proses
panjang yang mendorong setiap orang untuk memiliki rencana keuangan di masa depan
demi mendapatkan kesejahteraan yang ingin dicapai. Era konsumsi dewasa ini cenderung
membuat masyarakat menjadi kian tidak rasional dalam memenuhi keinginannya yang
bukan menjadi kebutuhan.
Melalui edukasi keuangan, diharapkan dapat terbangun perilaku keuangan (financial
behaviour). Perilaku keuangan berhubungan dengan bagaimana seseorang memperlakukan,
mengelola, menggunakan, dan memaknai sumber daya keuangan yang ada padanya.
Individu yang memiliki perilaku keuangan akan cenderung untuk memanfaatkan uang atau
aset secara efektif, mulai dari membuat anggaran, menghemat uang, mengendalikan
belanja, berinvestasi, serta membayar kewajiban tepat waktu untuk semua tingkat
penghasilan.
Lebih jauh, edukasi keuangan akan menghasilkan outcome berupa literasi keuangan
yang baik. Tepat kiranya bila OJK memutuskan untuk menjatuhkan sanksi berupa edukasi
aturan pengelolaan dana kepada Ustadz YM atas kegiatan pengelolaan dananya, termasuk
menjanjikan pendampingan dalam hal mengurus legalitas.
Tidak bisa dipungkiri, literasi keuangan adalah hal mendesak dalam melindungi dana
masyarakat. Sistem keuangan yang rentan akan munculnya mobilisasi dana manipulatif
atau spekulatif yang beresiko tinggi menuntut masyarakat untuk paham akan karakter
produk keuangan yang ditawarkan. Beragam jenis produk di pasar keuangan yang sarat
moral hazard serta kerap menghadirkan asymmetric information menuntut literasi keuangan
bagi masyarakat. Yang terpenting, urgensi literasi keuangan adalah sebagai pengetahuan
bagi masyarakat dalam hal menyiasati keterbatasan sumber daya yang dimilikinya untuk
dialokasikan pada berbagai kebutuhan secara efektif untuk memperoleh kesejahteraan yang
diharapkan.
3.2 Kasus Investasi Emas Berlabel Syariah4
Emas memang selalu memikat. Nilainya yang terus meningkat dalam jangka waktu menengah dan
panjang menjadi alasan utama untuk menjadikannya sebagai instrumen investasi. Tak heran jika
terus bermunculan perusahaan-perusahaan yang menawarkan jasa investasi emas. Termasuk pula
salah satunya perusahaan berlabel syariah yang memberi penawaran imbalan hasil yang
menggiurkan bagi investor (www.kontan.co.id, 18 Juni 2012).
Harga emas tercatat mengalami kenaikan cukup tinggi mulai tahun 2001 dengan rata-
rata kenaikan sekitar 17%. Sebelumnya, kenaikan harga hanya di kisaran 6%. Banyak pihak
yang meyakini bahwa emas tengah mengalami bubble. Hal ini didasari oleh kian maraknya
4 Studi kasus ini sudah pernah dimuat di Harian Kontan, 22 Juni 2012. Artikel tersebut ditulis sebagai
respon atas pemberitaan di Harian Kontan berjudul ‚Waspada, investasi emas berimbal hasil selangit!‛ tentang
investigasi Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS) yang merupakan perusahaan investasi emas pertama yang
memperoleh predikat syariah dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
13
13
emas menjadi komoditas dan semakin kuatnya keyakinan masyarakat bahwa emas akan
mengalami kenaikan harga secara permanen melampaui tingkat inflasi.
Dapat dipahami jika investasi emas menjadi tampak menarik karena apresiasinya jauh
lebih besar daripada deposito atau sejenisnya. Gaung emas pun merambah industri jasa
keuangan Islam. Kegiatan rahn dan qardh untuk emas di perbankan syariah menjadi motor
penggeraknya. Hampir semua Bank Umum Syariah (BUS) di Indonesia kini telah
mempunyai layanan gadai emas.
Emas dalam sejarah ekonomi Islam memang mendapat perhatian besar. Wacana mata
uang dinar yang banyak digaungkan para pelaku ekonomi Islam sebagai alat transaksi tidak
lepas dari keunggulan nilai emas yang relatif stabil. Namun, stabil bukan berarti tidak
mengalami inflasi. Nilai emas yang di-back up oleh intrisiknyalah yang menjadi dasar
argumen emas lebih baik daripada fiat money.
Namun demikian, keberadaan emas sebagai alat transaksi atau sebagai instrumen
hedging harus dipisahkan dengan kinerja emas dalam konteks kekinian. Bubble emas yang
tengah berlangsung saat ini terjadi karena adanya spekulan. Pengalaman 2008
menunjukkan perilaku investor dalam mengantisipasi krisis kredit yang menyebabkan
pasar saham anjlok adalah dengan memborong emas. Yang terkini, aksi George Soros yang
menambah portofolio logam mulianya hingga 273,96% pada Mei lalu. Aksi Soros
mengundang pertanyaan mengingat harga emas saat itu sudah jatuh 8,1% per Maret dan
tercatat sebagai penurunan terbesar sejak 2004.
Fluktuasi Emas
Jika sebuah perusahaan investasi emas berlabel syariah berani menawarkan imbal
hasil fixed rate yang cukup tinggi dalam jangka waktu pendek, maka pertanyaan yang
mengemuka adalah ‘benarkah mekanisme yang ada sudah memenuhi prinsip syari’ah’?
Logika ekonomi tentu akan berbicara bahwa investasi emas akan memberi
keuntungan jika harga emas mengalami kenaikan. Jika harga emas turun, maka investor
akan mengalami kerugian. Dalam jangka menengah dan panjang, pengalaman di masa lalu
mungkin dapat menjadi argumen untuk mengatakan harga emas ke depan memiliki tren
kenaikan. Namun, dalam jangka waktu pendek yang kurang dari setahun, pengalaman
menunjukkan bahwa emas juga mengalami fluktuasi yang mengikuti up and down
perekonomian.
Mungkin tak banyak yang mengingat bagaimana volatilitas harga emas bulanan dan
tahunan selama 10 tahun terakhir. Secara bulanan, penurunan harga emas tertinggi pernah
terjadi sebesar 16% di bulan September 2008 ke Oktober 2008. Secara tahunan, penurunan
harga emas tertinggi pernah terjadi hingga 41,5% di tahun 2008 ke 2009. Mei 2012 lalu,
kontrak emas berjangka untuk pengantaran Juni merosot 0,6%. Nilai ini adalah posisi
terendah dalam empat bulan terakhir seiring dengan kekacauan politik yang kian
memburuk di Yunani yang memberi sentimen positif terhadap US Dollar sebagai aset
lindung nilai.
Secara keseluruhan, bukti empirik ini menunjukkan bahwa fluktuasi emas cukup
tajam dalam jangka waktu pendek. Kinerja emas saat ini bukanlah berbasis sektor riil murni
yang dapat dipertanggungjawabkan kealamiahan penawaran-permintaannya. Emas sebagai
14
14
komoditas dan faktor spekulan adalah salah satu variabel laten utama yang mempengaruhi
emas menjadi bubble. Pertanyaannya kemudian, jika yang terjadi ke depan adalah
penurunan harga emas secara signifikan, lalu bagaimana perusahaan jasa investasi emas
berlabel syariah itu dapat memenuhi janjinya untuk memberi bonus hingga 30% untuk
kontrak setahun?
Perspektif Islam
Dalam peta industri jasa keuangan Islam, bisnis investasi emas boleh jadi termasuk
dalam komponen pasar modal syariah. Jika dipetakan, industri jasa keuangan Islam
meliputi tiga komponen utama, yaitu perbankan Islam, pasar modal Islam, dan takaful yang
masing-masing di dalamnya terdiri dari beberapa subkomponen. Kecilnya pasar jasa
keuangan Islam boleh jadi tidak memberi pengaruh signifikan bagi perekonomian. Namun
demikian, tidak dapat dipungkiri, pertumbuhannya yang pesat mendorong banyak sektor
untuk turut menyandang label syariah demi mengakses pasar yang masih sangat besar.
Sebuah kajian tentang dampak pergerakan harga emas kepada Capital Adequacy Ratio
(CAR) individual bank Islam memberikan pesan penting. Skenario penurunan harga emas
sebesar 25% dan 50% ternyata berpotensi menurunkan CAR sejumlah bank Islam hingga di
bawah 8%. Kajian ini mengindikasikan bahwa industri jasa keuangan Islam pun rentan
terhadap fluktuasi harga emas.
Oleh karena itu, dapat dipahami jika iming-iming imbal hasil yang menggiurkan dari
perusahaan investasi emas berlabel syariah menimbulkan dugaan adanya kegiatan
spekulasi yang mengarah pada unsur maysir. Di kalangan ekonom Islam, memang masih
terdapat perdebatan tentang praktek spekulasi berbasis maysir ini. Sebagian berpendapat
bahwa maysir bermakna pengambilan risiko yang tidak mampu ditanggung. Sebagian lain
berpendapat bahwa maysir adalah spekulasi yang tidak meningkatkan agregat pasokan
barang dan jasa. Apapun itu, janji imbal hasil yang cukup tinggi dalam jangka waktu
pendek memberi ruang besar untuk mempertanyakan keabsahan Islamic compliance dalam
mekanisme investasi dan pemberian imbal hasil. Kalau sudah begitu, semoga saja Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dapat segera merespon kegiatan
investasi tersebut melalui fatwanya untuk memperjelas keabsahannya.
DAFTAR PUSTAKA
BI, 2011. Gerai Info. Edisi XV. Juni 2011. Tahun 2. Newsletter Bank Indonesia (BI).
Brodjonegoro, Bambang S., 2013. Branchless Banking Model: A Financial Inclusion Program.
Sebuah paper yang dipresentasikan di pertemuan G 20 di Rusia. Diakses dari
g20russia.ru/load/780988296.
Brodjonegoro, Bambang S., 2012. Alokasi APBN dalam Mendukung Program Memberdayaan
Masyarakat dan Pengentasan Kemiskinan. Sebuah paper yang dipresentasikan di The 1st
International Islamic Financial Inclusion Summit 2012. Surakarta. 18 Juli.
Chapra, M. Umer, 2000a. The Future of Economics: An Islamic Perspective. Islamic Economics
Series: 21. United Kingdom (UK): The Islamic Foundation.
15
15
Chapra, M. Umer, 2000b. Sistem Moneter Islam. Terjemahan dari Towards a Just Monetary
System. Cetakan Pertama. Jakarta: Gema Insani Press-Tazkia Institute. November.
Haritsi, Jaribah bin Ahmad Al-, 2006. Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khathab. Terjemahan dari
Al-Fiqh Al-Iqtishadi: Li Amiril Mukminin Umar ibn Al-Khaththab. Cetakan Pertama.
Jakarta: KHALIFA. Oktober. Hatta, Mohammad, 1963. Persoalan Ekonomi Sosialis
Indonesia. Jakarta: Djambatan. Hlm. 1-29.
Ismal, Rifki, 2012. The Indonesian Islamic Banking: Performance and Outlook. Panel Discussion at
Bakrie University. Jakarta. 6 February.
Ismal, Rifki & Khairunnisa Musari, 2009. New Institutional Economic?. Opini. Harian
Republika. 24 Januari.
Ismal, Rifki & Khairunnisa Musari, 2013. Rentannya Gadai Emas di Bank Syariah. Opini.
Harian Bisnis Indonesia. Hlm. 2.
Mubyarto dan Budiono (ed.), 1981. Ekonomi Pancasila. Yogyakarta: BPFE-UGM. Hlm. 6-7.
Musari, Khairunnisa, 2013. Investasi ala Ustadz Yusuf Mansyur: Mendesaknya Literasi
Keuangan. Opini. Bisnis Indonesia. 25 Juli. Hlm. 2.
Musari, Khairunnisa, 2012. Hasil Investasi Emas yang Menggiurkan. Opini. Harian Kontan. 22
Juni. Hlm. 23.
Perwataatmadja, Karnaen A. & Anis Byarwati, 2008. Jejak Rekam Ekonomi Islam. Cetakan
Pertama. Jakarta: Cicero Publishing. Februari.
Sumber Internet:
http://www.thejakartapost.com/news/2012/10/29/financial-literacy-helping-overseas-
migrant-workers-create-wealth.html.
http://archive.bisnis.com/articles/financial-inclusion-ke-depan-praktiknya-dipimpin-
pemerintah.
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/113944.
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=333063.
top related