geothermal (studi kasus: data sintetik)
Post on 12-Nov-2021
10 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
Pemodelan Tomografi Seismik Waktu Tempuh Dengan Model Konseptual Area
Geothermal (Studi Kasus: Data Sintetik)
Kris H P David a, Cahli Suhendi
a, R M Rachmat Sule
b, Riskiray Ryannugroho
c
a Teknik Geofisika, Institut Teknologi Sumatera
b Kelompok Penelitian Seismologi Eksplorasi dan Rekayasa, Fakultas Teknik
Pertambangan dan Perminyakan, Institut Teknologi Bandung
c Teknik Geofisika, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan, Institut
Teknologi Bandung
*Corresponding E-mail: krisdavid98@gmail.com / kris.12116133@student.itera.ac.id
ABSTRAK
Dalam eksplorasi geothermal seringkali digunakan metode mikroseismik untuk
mengetahui karakteristik saturasi fluida di dalam reservoar. Pencitraan tomografi
seismik waktu tempuh merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk
mengetahui kondisi reservoar tersebut. Parameterisasi model yang baik sangat
diperlukan untuk mendapatkan hasil data seismik yang optimal. Untuk itu, diperlukan
suatu pemodelan sintetik untuk melihat hubungan parameterisasi model terhadap jalur
rambat gelombang, waktu tiba gelombang, dan tomogram hasil inversi waktu tempuh.
Pada penelitian ini dilakukan forward modeling dan inverse modeling menggunakan
perangkat lunak first arrival seismic tomography (FAST). Data yang digunakan adalah
data sintetik hasil forward modeling. Metode yang digunakan adalah persamaan eikonal
dengan metode beda hingga (finite difference) untuk menentukan waktu tiba yang
selanjutnya dilakukan inversi waktu tempuh dengan menggunakan regularized
inversion. Hasil yang didapat menunjukan bahwa parameterisasi model sangat
berpengaruh terhadap jalur rambat gelombang, waktu tempuh, dan tomogram hasil
inversi.
Kata kunci: Geothermal, Tomografi seismik waktu tempuh, Data sintetik.
2
Travel time Seismic Tomography Modeling with Geothermal Area Conceptual
Modeling (Case Study: Synthetic Data)
Kris H P David a, Cahli Suhendi
a, R M Rachmat Sule
b, Riskiray Ryannugroho
c
a Geophysical Engineering, Institut Teknologi Sumatera
b Exploration and Engineering Seismology Research Group, Faculty Of Mining and
Petroleoum Engineering, Institut Teknologi Bandung
c Geophysical Engineering, Faculty Of Mining and Petroleoum Engineering, Institut
Teknologi Bandung
*Corresponding E-mail: krisdavid98@gmail.com / kris.12116133@student.itera.ac.id
ABSTRACT
In geothermal exploration, microseismic methods are often used to determine the fluid
saturation characteristics in the reservoir. Travel time seismic tomography imaging is a
method that can be used to determine the reservoir condition. A good model
parameterization is necessary to obtain optimal seismic data results. For this reason, a
synthetic modeling is needed to see the relationship between model parameterization to
the wave propagation path, the arrival time of the wave, and the travel time inversion
result. In this study, forward modeling and inverse modeling were carried out using first
arrival seismic tomography (FAST) software. The data used is synthetic data from
forward modeling. The method used is the eiconal equation with the finite difference
method to determine the arrival time which is then carried out by inversion of the travel
time using a regularized inversion. The results obtained indicate that the model
parameterization is very influential on the wave path, travel time, and the inversion
tomogram.
Keywords: Geothermal, Travel time seismic tomography, Synthetic data.
3
Pendahuluan
Tomografi seismik waktu tempuh
merupakan salah satu teknik inferensi
data yang memanfaatkan informasi yang
terkandung pada gelombang seismik
yang baik digunakan untuk mencitrakan
interior bumi secara lokal, regional, dan
global. Tomografi seismik global dan
regional telah berhasil diaplikasikan
untuk mencitrakan zona subduksi pada
interior bumi [1], [2]. Studi tomografi
seismik lokal berhasil mengidentifikasi
struktur internal bawah gunung Merapi
dan gunung api Anak Krakatau [3], [4].
Tomografi seismik lokal juga dapat
diaplikasikan pada lapangan panas bumi
(geothermal) untuk mengetahui
karakteristik saturasi fluida di dalam
reservoar yang juga telah berhasil
diaplikasikan di sejumlah area di dunia.
Sistem panas bumi yang telah berhasil
dijelaskan karakteristiknya dengan studi
tomografi seismik diantaranya: sistem
dominasi uap, sistem dominasi air, dan
zona sesar [5]-[7].
Keunggulan dari tomografi seismik
waktu tempuh, yaitu data masukkan
yang digunakan hanya waktu tempuh
gelombang pertama yang di terima oleh
penerima (first break). Hal tersebut
menjelaskan bahwa gelombang lainnya
seperti gelombang refleksi, refraksi,
ataupun noise tidak perlu
dipertimbangkan lebih lanjut. Sehingga
kesalahan dalam penentuan data
masukkan dapat diminimalisir.
Gambaran geologi dan properti fisis dari
batuan di bawah permukaan bumi dapat
dipelajari apabila dilakukan
menggunakan data yang baik dan teknik
yang tepat, salah satunya tomografi
seismik waktu tempuh. Kualitas data
yang baik didapatkan dari instrumen
yang digunakan dan teknik akuisisi yang
tepat. Beberapa parameter yang dapat
mempengaruhi kualitas dari hasil
tomografi adalah geometri sumber dan
penerima, dan ukuran grid pada proses
pengolahan data. Oleh karena itu,
diperlukan suatu pemodelan sintetik
untuk melihat pengaruh parameterisasi
model terhadap jalur rambat gelombang
yang dapat berpengaruh pada tomogram
hasil inversi. Pemilihan parameter model
yang baik diharapkan menghasilkan
tomogram yang baik, sehingga
pencitraam model kecepatan bawah
permukaan dengan tomografi seismik
waktu tempuh semakin optimal.
Sistem Panas Bumi
Sistem panas bumi (geothermal) adalah
salah satu bentuk energi panas alami
yang dihasilkan dari dalam bumi dengan
fluida yang terkandung di dalamnya.
Sumber daya energi panas bumi pada
umumnya berkaitan dengan mekanisme
pembentukan magma dan kegiatan
vulkanisme, mekanisme tersebut
diakibatkan karena adanya pergerakan
lempeng yang terjadi di batas lempeng
[8]. Energi panas yang di transfer secara
konduktif pada lingkungan tektonik
lempeng diperbesar oleh gerakan magma
dan sirkulasi hidrotermal yang
membentuk zona reservoar hidrotermal.
4
Suhu bumi akan mengalami peningkatan
yang konstan seiring dengan
bertambahnya kedalaman, dimana
perubahan suhu bumi ini biasa disebut
gradient panas bumi [8]. Rata-rata
peningkatan temperatur pada kerak bumi
memiliki ukuran sekitar 25°C/km hingga
30°C/km, namun hal tersebut mencakup
secara global dan masih terdapat
kemungkinan untuk adanya perbedaan
antara satu tempat dengan tempat
lainnya, seperti contoh pada daerah
vulkanik mempunyai gradient panas
bumi yang lebih tinggi di kedalaman
dangkal dibandingkan daerah lainnya
pada kedalaman yang sama. Terdapat
lima komponen idael yang harus dimiliki
dalam sistem panas bumi yaitu [9]:
1. Sumber Panas (Heat source)
2. Impermeable rock (Clay cap)
3. Struktur Geologi (Patahan, Sesar)
4. Zona Reservoar
5. Recharge Area
Gambar 1. Sistem Panas Bumi [9].
Metode Mikroseismik
Metode mikroseismik adalah salah satu
metode yang digunakan untuk
mengidentifikasi gempa kecil dengan
magnitudo ≤ 3 [10]. Kejadian sumber
gempa mikro berhubungan dengan
pergerakan rekahan yang terjadi secara
alami, ataupun terinduksi secara artifisial
yang menghasilkan deformasi rekahan.
Emisi akustik sumber seismik pasif
dapat diamati dengan cara melakukan
pengamatan mikroseismik menggunakan
instrumen seismometer.
Pada lapangan panas bumi, informasi
hiposenter mikroseismik dapat
digunakan untuk melihat kecenderungan
arah aliran air injeksi dan
menggambarkan struktur geologi berupa
rekahan dan/atau sesar yang merupakan
zona dengan permeabilitas relatif tinggi
untuk penentuan sumur produksi baru
[11]. Mikroseismik juga merupakan
suatu teknik yang dapat memberikan
gambaran informasi akibat proses
hydraulic fracturing, antara lain:
1. Orientasi rekahan, beserta panjang
dari setiap arah.
2. Bentuk rekahan yang terstimulasi.
3. Area dan volume rekahan yang
distimulasi.
4. Peningkatan permeabilitas dari
reservoar.
Tomografi Seismik
Tomografi seismik adalah suatu proses
rekonstruksi suatu objek atau model dari
observasi besaran fisis interior bumi
berdasarkan efek penjalaran suatu radiasi
gelombang melalui benda yang diamati.
Hasil penjalaran radiasi gelombang
tersebut dapat merepresentasikan
keadaan suatu objek tersebut. Konsep
dasar pada inversi tomografi seismik
waktu tempuh adalah melakukan
pemodelan ke depan (forward modeling)
dan pemodelan ke belakang (inverse
modeling).
5
Penelitian ini menggunakan program
first arrival seismic tomography (FAST)
yang dikembangkan oleh Zelt dan
Barton (1998) [12]. Perangkat lunak ini
menggunakan penyelesaian persamaan
eikonal dengan metode beda hingga
(finite difference) untuk proses
pemodelan kedepan yang menghasilkan
waktu tempuh [13]. Penyelesaian
pemodelan ke belakang dilakukan
dengan menggunakan regularized
inversion. Persamaan eikonal
ditunjukkan pada persamaan 1, dan
penyelesaian pemodelan ke belakang
dengan regularized inversion
ditunjukkan pada persamaan 2. Analisa
akhir yang digunaan dalam pengambilan
keputusan adalah nilai travel time
residual (T-rms) yang ditunjukkan pada
persamaan 3, serta nilai normalisasi chi-
square digunakan sebagai pendukung
analisa akhir yang ditunjukkan pada
persamaan 4, dengan nilai yang baik
adalah nilai yang mendekati satu [12].
( )
(1)
( )
[
] (2)
√∑ (
)
(3)
∑ (
)
(4)
Keterangan persamaan 1:
= fungsi waktu
C = kecepatan
Keterangan Persamaan 2:
m = vektor model
= matriks data kovarian
= parameter trade-off.
( ) = vektor data residual
dan = Kekerasan matriks arah
horzontal dan vertikal.
Keterangan Persamaan 3 dan 4:
= travel time pengamatan
lintasan ke-j
= travel time perhitungan
lintasan ke-j
N = Jumlah lintasan gelombang
= standar deviasi pada lintasan ke-j
Metodologi Penelitian
Data yang digunakan adalah data
sintetik 2D, dibuat melalui perangkat
lunak first arrival seismic
tomography (FAST). Ukuran model
sintetik adalah 5 km x 3 km, dengan
jumlah sumber mikroseismik adalah
99 event dan receiver sebanyak 20
yang diasumsikan lokasi tersebut
mutlak/valid. Model kecepatan awal
gelombang P (Vp) dan gelombang S
(Vs) 1 dimensi menggunakan model
kecepatan hasil penelitian Armi, R.,
dan Santosa B. J. (2014) yang juga
merupakan penelitian di wilayah
panas bumi, dapat dilihat pada tabel
1.
Table 1. Model Kecepatan Latar Belakang
[6].
KEDALAMAN
(KM)
VP
(KM/S)
VS
(KM/S) VP/VS
0 2,694 1,633 1,73
5 6,063 3,700 1,73
Model kecepatan latar belakang
gelombang P (Vp) dan gelombang S
(Vs) masing-masing bergradasi secara
6
linear dari 2,694 km/s sampai 6,063
km/s dan 1,633 km/s sampai 3,700
km/s, dari permukaan hingga
kedalaman 5 Km. Namun model latar
belakang yang digunakan pada studi
ini adalah hingga kedalaman 3 km
saja yang dapat dilihat pada gambar
2.
Gambar 2. Model Kecepatan Latar Belakang,
Gelombang P (Vp) (kiri) dan Gelombang S
(Vs) (kanan).
Pada percobaan ini dilakukan
pembuatan model sintetik kecepatan
gelombang P (Vp) dan gelombang S
(Vs) dengan memperlihatkan geologi
konseptual area geothermal. Model
sintetik diasusmsikan terdiri dari clay
cap, sesar (fault), igneous rock low
permeability, zona tersaturasi uap,
dan zona tersturasi air, dimana
masing-masing nilai kecepatannya
dapat dilihat pada tabel 2.
Table 2. Model data Sintetik
MODEL VP
(KM/S)
VS
(KM/S) VP/VS
CLAY CAP 3,0 1,7 1,8
SESAR
(FAULT) 2,4 1,8 1,65
IGNEOUS
ROCK LOW
PERMEABILITY
3,1 1,8 1,8
ZONA
TERSATURASI
UAP
3,1 1,8 1,65
ZONA
TERSATURASI
AIR
2,3 1,6 1,8
Model kecepatan gelombang P (Vp),
gelombang S (Vs), dan Vp/Vs dalam
tabel 2 dapat dilihat pada gambar 4.
Konseptual model yang digunakan
adalah konseptual model dari wilayah
panas bumi Iceland yang memiliki
strukur geologi berupa graben
(gambar 3) [14]. Lokasi hiposenter
mikroseismik diletakan secara acak
dengan mempertimbangkan daerah
yang rentan dengan adanya
pergerakan (dekat area sesar) dan area
reservoar dengan asumsi kejadian
(event) mikroseismik terjadi akibat
proses produksi uap. Sedangkan
lokasi stasiun pengamat diletakkan
pada permukaan dengan
mempertimbangkan daerah tersebut
adalah daerah yang melingkupi area
geothermal.
Gambar 3. Model Konseptual Area Panas
Bumi Iceland [13]
B
.
7
Gambar 4. Model anomali sintetik, A. Model
anomali dan konfigurasi sumber dan penerima,
B. Model anomali Vp true, C. Model anomali Vs
true, dan D. Model anomali Vp/Vs true.
Parameterisasi Model Sintetik
Pada penelitian ini dilakukan
parametersisasi model sintetik ukuran
grid 2D. Penentuan jumlah dan besarnya
ukuran grid dibuat menjadi 2 model grid,
yaitu:
1. Jumlah grid 125 x 75, ukuran tiap
grid 40 m x 40 m.
2. Jumlah grid 50 x 30, ukuran tiap grid
100 m x 100 m.
Hasil dan Pembahasan
Pemodelan ke depan (forward
modeling)
Berdasarkan hasil penjejakan sinar dari
pemodelan ke depan, diperoleh raypath
dan waktu tempuh kalkulasi (tcal)
perambatan gelombang di sepanjang
segmen lintasan gelombang P dan
gelombang S. Hasil ray tracing
gelombang P dan gelombang S pada
model percobaan ditunjukan pada
gambar 5.
Gambar 5. Raypath gelombang P (A. Ukuran
grid 40 m x 40 m, B. Ukuran grid 100 m x 100
m) dan Raypath gelombang S (C. Ukuran grid
40 m x 40 m, D. Ukuran grid 100 m x 100 m.
Uji Resolusi
Pada penelitian ini, uji resolusi atau
Checkerboard resolution test (CRT)
dilakukan pada konfigurasi data sumber
mikroseismik dan penerima yang sama.
Model checkerboard didapat dengan
mengalikan anomali ±10% terhadap
model kecepatan awal. Uji ini dilakukan
setiap grid 40 m x 40 m dan 100 m x 100
m. Model checkerboard ini berukuran
100 m x 100 m.
Gambar 6. Model Latar Belakang (kiri) (A, C)
dan hasil perturbasi Checkerboard resolution test
(kanan) (B, D).
Keterangan
Gambar A
A B
D C
A B
D C
A B
D C
8
Hasil uji resolusi menggunakan metode
regularized inversion ditunjukan pada
gambar 7. Daerah yang memiliki
resolusi baik adalah daerah yang
memiliki gambaran anomali positif dan
anomali negatif dengan jelas yang dapat
menyerupai bentuk perturbasi anomali
pada gambar 6. Proses inversi dilakukan
dengan iterasi sebanyak 15 kali pada
gelombang P dan gelombang S. Pada uji
resolusi grid 40 m x 40 m, iterasi
berhenti dengan T-rms sebesar 2,004 ms
dan 2,007 ms. Pada uji resolusi grid 100
m x 100 m, iterasi berhenti dengan T-
rms sebesar 1,999 ms dan 2,356 ms.
Gambar 7. Tomogram hasil dari uji resolusi
checkerboard (regularized inversion). (A, B)
Perturbasi Gelombang P dan gelombang S grid
40 m x 40 m, dan (C, D) Perturbasi Gelombang P
dan gelombang S grid 100 m x 100 m.
Tomogram Hasil Inversi
Gambaran tomogram hasil inversi
perturbasi kecepatan gelombang P (Vp),
gelombang S (Vs), dan nilai absolute
Vp/Vs pada grid 40 m x 40 m dan 100 m
x 100 m, serta kurva nilai travel time
residual (T-rms) dan kurva normalisasi
chi-square diperlihatkan pada gambar 8
sampai gambar 11.
Gambar 8. Tomogram hasil inversi grid 40 m x
40 m (kiri: model true, kanan: hasil inversi), A.
Model gelombang P (Vp), B. Model gelombang
S (Vs), dan C. Model Vp/Vs.
Gambar 9. Kurva T-rms dan chi-square hasil
inversi grid 40 m x 40 m. (A, B) Kurva T-rms
gelombang P dan gelombang S, (C, D) Kurva
chi-square gelombang P dan gelombang S pada
setiap iterasi.
Pada gambar 8 inversi tomografi sintetik
memberikan hasil adanya perturbasi
anomali positif dan anomali negatif.
Perturbasi anomali negatif dan anomali
positif yang berkisar -1% sampai -6%
dan 1% sampai 6%, dan nilai absolut
Vp/Vs berkisar dari 1,6 sampai 1,85.
Kurva travel time residual (T-rms) dan
A B
D C
A
B
C
A B
D C
9
normalisasi chi-square pada gelombang
P memiliki kestabilan perubahan nilai
pada iterasi ke-10, dimana nilai yang
berubah sudah tidak terlalu signifikan,
sedangkan pada gelombang S memiliki
kestabilan perubahan nilai pada iterasi
ke-7.
Hasil nilai statistik pada grid 40 m x 40
m, didapatkan nilai travel time residual
(T-rms) gelombang P dan gelombang S
sebesar 0,993 ms dan 1,000 ms, serta
nilai normalisasi chi-square sebesar
0,9781 dan 1,0024. Hasil nilai
normalisasi chi-square yang didapatkan
menunjukkan nilai yang baik.
Gambar 10. Tomogram hasil inversi grid 100 m
x 100 m (kiri: model true, kanan: hasil inversi),
A. Model gelombang P (Vp), B. Model
gelombang S (Vs), dan C. Model Vp/Vs.
Gambar 11. Kurva T-rms dan chi-square hasil
inversi grid 100 m x 100 m. (A, B) Kurva T-rms
gelombang P dan gelombang S, (C, D) Kurva
chi-square gelombang P dan gelombang S pada
setiap iterasi.
Pada gambar 10 inversi tomografi
sintetik memberikan hasil adanya
perturbasi anomali positif dan anomali
negatif. Perturbasi anomali negatif dan
anomali positif yang berkisar -1%
sampai -8% dan 1% sampai 8%, dan
nilai absolut Vp/Vs berkisar dari 1,6
sampai 1,85. Kurva travel time residual
dan normalisasi chi-square pada
gelombang P memiliki kestabilan
perubahan nilai pada iterasi ke-8, dimana
nilai yang berubah sudah tidak terlalu
signifikan, sedangkan pada gelombang S
memiliki kestabilan perubahan nilai pada
iterasi ke-9.
Hasil nilai statistik pada grid 100 m x
100 m, didapatkan nilai travel time
residual gelombang P dan gelombang S
sebesar 1,408 ms dan 2,223 ms, serta
nilai normalisasi chi-square sebesar
1,9860 dan 4,9477. Hasil nilai
normalisasi chi-square yang didapatkan
menunjukkan nilai yang tidak terlalu
baik.
A
B
C
A B
D C
10
Analisis Kedua Hasil
Kurva hasil nilai travel time residual dan
kurva normalisasi chi-square gelombang
P dan gelombang S pada grid 40 m x 40
m dan 100 m x 100 m dengan iterasi
sebanyak 15 kali menunjukkan
terjadinya penurunan nilai yang semakin
kecil dan konvergen. Berdasarkan hasil
nilai statistik pada grid 40 m x 40 m,
didapatkan nilai travel time residual
gelombang P dan gelombang S yang
lebih kecil jika dibandingkan dengan
grid 100 m x 100 m. Nilai normalisasi
chi-square yang baik adalah nilai yang
mendekati 1 (satu), maka grid 40 m x 40
m memiliki hasil nilai normalisasi chi-
square yang lebih baik daripada grid 100
m x 100 m.
Tomogram hasil inversi menunjukan
adanya anomali negatif dan anomali
positif pada zona yang diasumsikan
sebagai clay cap, sesar (fault), igneous
rock low permeability, zona tersaturasi
uap, dan zona tersaturasi air. Pada zona
sesar, geometri pencitraan pada grid 40
m x 40 m dapat terlihat dengan jelas
adanya anomali negatif pada gelombang
P dengan gambaran batas bidang zona
anomali positif. Pada ukuran grid 100 m
x 100 m zona sesar juga dapat terlihat,
namun pembesaran pada ukuran grid
menyebabkan zona terlihat lebih blocky
dan tidak smooth sehingga dapat
mempersulit proses interpretasi. Pada
zona tersaturasi uap dan zona tersaturasi
air, geometri anomali yang tercitrakan
dapat telihat dengan baik.
Perbedaan pada tomogram hasil inversi
di setiap grid juga disebabkan oleh
jumlah ray density pada masing-masing
grid berbeda. Pada grid berukuran lebih
besar (100 m x 100 m) menunjukkan
perturbasi anomali positif dan anomali
negatif yang lebih tinggi, dimana hal
tersebut disebabkan oleh banyaknya
jumlah ray density pada suatu grid,
sedangkan pada grid berukuran lebih
kecil (40 m x 40 m) menunjukkan
anomali positif dan anomali negatif
rendah yang disebabkan jumlah ray
density pada suatu grid sedikit. Hasil
penelitian pemodelan tomografi waktu
tempuh data sintetik pada konseptual
model area geothermal menunjukan
hasil yang baik. Penelitian ini dapat
berguna sebagai studi awal sebelum
melakukan akuisisi data dilapangan.
Kesimpulan
Penelitian ini menggunakan model
sintetik untuk mengetahui pengaruh
parameter model berupa besaran grid
terhadap jalur rambat gelombang
seismik, waktu tempuh, dan tomogram
hasil inversi. Berdasarkan hasil
pengolahan data sintetik, diperoleh hasil
sebagai berikut:
1. Tomogram hasil inversi grid 40 m x
40 m dan 100 m x 100 m dapat
mencitrakan anomali sintetik
berukuran besar dengan baik, namun
pada grid 100 m x 100 m anomali
berukuran kecil seperti sesar (fault)
tidak dapat tercitrakan dengan baik.
2. Hasil tomogram dengan parameter
model grid berukuran lebih besar
dapat membuat model menjadi
terlihat blocky dan tidak smooth
sehingga dapat mempersulit proses
interpretasi.
11
3. Rendah atau tinggi anomali pada
tomogram hasil inversi dipengaruhi
oleh jumlah ray density yang
diterima oleh suatu grid.
4. Parameterisasi model berupa ukuran
grid dapat mempengaruhi jalur
rambat gelombang seismik, waktu
tempuh, dan tomogram hasil inversi
pada suatu grid terhadap jumlah
sumber dan jumlah penerima yang
digunakan untuk mencitrakan
anomali.
5. Konfigurasi antara sumber (source)
dan penerima (receiver) yang
digunakan pada penelitian ini
berhasil mencitrakan zona anomali
yang diasumsikan.
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Bapak Rachmat Sule, Bapak
Cahli Suhendi, dan Mas Riskiray yang
telah membantu penelitian ini sehingga
penelitian ini dapat diselesaikan dengan
baik, serta Mr. Zelt dan Mr. Barton
sebagai pembuat perangkat lunak.
Daftar Pustaka
[1] S. Widiyantoro and R. Van Der
Hilst, “Structure and evolution of
lithospheric slab beneath the Sunda arc,
Indonesia,” Science, vol. 271, no. 5255,
pp. 1566–1570, 1996.
[2] S. Widiyantoro, “Subduction zone
shear structure in the Western Pacific,”
Meteorol. Geophys. Fluid Dyn. a B. to
Commem. Centen. birth Hans Ertel, p.
321, 2004.
[3] A. W. Sari and G. B. Suparta,
“Imaging Of 3-D Seismic Tomography
For Internal Structure Under The
Mountain Merapi Using The Lotos-10
Software,” J. Fis. dan Apl., pp. 105–116,
2018.
[4] I. S., “Identifikasi Tubuh Magma
Gunung Api Anak Krakatau
Berdasarkan Struktur Kecepatan Seismik
3D Menggunakan Tomografi Gempa
Lokal,” Institut Teknologi Sumatera,
2020.
[5] D. S. Mahartha, A. D. Nugraha,
and R. M. R. Sule, “3D Vp, Vs, and
Vp/Vs microseismic tomography
imaging on „mA‟ geothermal field: Fluid
saturation condition analysis,” J. Phys.
Conf. Ser., vol. 1204, no. 1, 2019.
[6] R. Armi and B. J. Santosa,
“Reservoir Lapangan Panasbumi
Wayang Windu Dengan Metode Inversi
Tomografi Dari Data Microearthquake
(MEQ),” J. Tek. Pomits, vol. 1, no. 1,
pp. 1–8, 2014.
[7] U. Muksin, K. Bauer, and C.
Haberland, “Seismic Vp and Vp/Vs
structure of the geothermal area around
tarutung (north sumatra, indonesia)
derived from local earthquake
tomography,” J. Volcanol. Geotherm.
Res., vol. 260, pp. 27–42, 2013.
[8] E. Barbier, “Nature and technology
of geothermal energy: A review,”
Renew. Sustain. Energy Rev., vol. 1, no.
1–2, pp. 1–69, 1997.
[9] B. Berkovski, “Energy
Engineering Learning Package,” in
Unesco Energy Engineering Series,
12
Unesco Ene., M. H. Dickson and M.
Fanelli, Eds. 1995.
[10] J. R. Kayal, Microearthquake
Seismology and Seismotectonics of
South Asia. New Delhi: Springer, 2008.
[11] A. Anissofira, “Penentuan Struktur
Patahan Di Lapangan Panas Bumi „X‟
Dengan Menggunakan Metode Relokasi
Relatif Kasus Gempa Mikro,”
Universitas Pendidikan Indonesia, 2013.
[12] C. A. Zelt and P. J. Barton,
“Three-dimensional seismic refraction
tomography: A comparison of two
methods applied to data from the Faeroe
Basin,” J. Geophys. Res., vol. 103, no. 4,
pp. 7187–7210, 1998.
[13] J. Vidale, “Finite-difference
calculation of travel times,” Bull. -
Seismol. Soc. Am., vol. 78, no. 6, pp.
2062–2076, 1988.
[14] W. A. Elders and G. Ó.
Friðleifsson, “The Science Program of
the Iceland Deep Drilling Project
(IDDP): a Study of Supercritical
Geothermal Resources,” Proc. World
Geotherm. Congr. 2010, no. April, pp.
25–29, 2010.
top related