hanya pulang keinginan saya, bang!
Post on 22-May-2015
437 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
1
Erlian Rista Aditya [Aan], Rekam Jejak Pendampingan Pekerja Seks Perempuan di Batam, 2009
“Hanya Pulang Keinginan Saya, Bang!” Perdagangan Perempuan dan Pros.tusi di Kepulauan Riau
Jual-‐beli manusia adalah salah satu bentuk perbudakan modern. Perdangan perempuan
hanya salah satu variannya. Varian lain adalah perdagangan anak. Ini adalah bentuk ke;dakadilan jender paling kasat mata yang bisa kita saksikan hari ini.
Diskursus tentang perdagangan orang sendiri sudah berdengung sejak pertengahan abad 17. Namun baru tahun 1990-‐an PBB mengeluarkan resolusi menentang perdagangan perempuan dan anak. Dan baru tahun 2002, Indonesia mempunyai sebuah Rencana Aksi Nasional (RAN) untuk Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak melalui Keputusan Presiden. Akhirnya tahun 2007, Indonesia mengeluarkan UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO). Terlambat, tetapi jauh lebih baik daripada ;dak ada.
Meskipun secara umum konsep perdagangan orang bisa dipahami, namun untuk kepen;ngan pendampingan, penyelamatan dan pembelaan hukum ternyata membutuhkan definisi yang lebih aplika;f.
Definisi Menurut UU No. 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO), perdagangan orang didefinisikan sebagai:
”Proses perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi tertentu, penjeratan utang, atau menerima bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereskploitasi”.
Definisi ini sangat mirip dengan definisi yang dikeluarkan Protokol Palermo tahun 2000
(protokol PBB untuk mencegah, menekan dan menghukum perdagangan orang). Hal ini, oleh banyak ak;vis penentang perdagangan orang, dianggap sebagai
langkah berani Indonesia mengakui situasi yang sebenarnya.
Namun demikian, pada banyak kasus, definisi ini ternyata masih belum memadai juga
2
untuk mengatakan apakah seseorang itu diperdagangkan atau ;dak dan oleh karenanya adalah korban perdagangan.
ACIL dan ICMC, dua LSM internasional yang ak;f bekerja untuk isu ini memberikan tawaran kerangka kerja untuk memudahkan pengklasifikasian perdagangan orang atau bukan (Rosenberg, 2003):
Proses + Cara TujuanPerekrutan
atauPemindahan
atau Pemindahtanganan
atauPenampungan
atauPenerimaan
Dan
Ancamanatau
Kecuranganatau
Penculikanatau
Pemalsuanatau
Penipuanatau
Jeratan utangatau
Penyalahgunaan kekuasaan
Dan
PelacuranAtau
Pornografiatau
Kekerasan/eksploitasi seksualatau
Kerja paksaatau
Prak;k-‐prak;k serupa perbudakan
atau Diambil organ tubuhnya
!Persetujuan*dari*orang*yang*diperdagangkan*tidaklah*relevan*
Menurut kerangka kerja ini, jika minimal satu kondisi dari masing-‐masing ke;ga kategori di atas (proses, cara dan tujuan) ada dan bertemu, maka hasilnya adalah prak;k perdagangan orang. Persetujuan korban menjadi ;dak relevan, jika ada salah satu cara di atas.
Komisi Nasional An; Kekerasan Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat angka perdagangan wanita pada tahun 2003 meningkat dras;s. Jika pada tahun 2002 tercatat 320 kasus perdagangan wanita, pada tahun 2003 jumlahnya bertambah menjadi 800 kasus. Termasuk diantaranya kasus yang ditemukan di daerah Batam sebanyak 166 kasus. Jumlah ini hanyalah jumlah yang dilaporkan Diperkirakan jumlah yang ;dak dilaporkan jauh lebih besar lagi. Fenomena perdagangan perempuan (women trafficking) di Indonesia bagai fenomena gunung es.
Penanganan masalah perdagangan perempuan ini ;dak dapat mengandalkan kepada satu lembaga saja, tetapi memerlukan kerjasama antar berbagai lembaga terkait
baik pemerintah, swasta maupun organisasi sosial yang ada di masyarakat. Lembaga atau organisasi itu antara lain Departemen Tenaga Kerja, Departemen Sosial, Departemen Hukum, Departemen Pendidikan, Departemen Kesehatan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan lembaga lainnya.
Tiga UnsurMenurut wacana yang berkembang pada resolusi-‐resolusi PBB, praktek perdagangan orang terdiri dari ;ga unsur yang berbeda yaitu: perekrutan, pemindahan dan kerja paksa.
3
Unsur-‐unsur ini mempertegas penentuan apakah perempuan telah menjadi korban perdagangan orang atau ;dak.
Jadi pen;ng pen;ng untuk menentukan apakah mereka direkrut degan tujuan eksploitasi seks atau kerja tertentu, apakah mereka dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain, dan apakah mereka disuruh memberikan tenaga atau jasa yang ;dak
sesuai dengan keinginannya. Ini adalah sinyal dini bahwa perdagangan orang (khususnya perempuan) telah terjadi.
TemporalitasKeadaan ”diperdagangkan” seringkali bersifat sementara. Awalnya, mungkin seseorang menjadi korban perdagangan, tetapi pada akhirya dia dapat menerima keadaan tersebut. Ada banyak contoh, misalnya seorang korban trafiking ;dak merasa bahwa situasi yang dia hadapi sebagai situasi yang eksploita;f. Sebaliknya, sebuah perekrutan, pemindahan, dan suasana kerja yang legal seiring
waktu dapat berubah menjadi pengurungan dan kerja paksa (Sugiar;, 2006). Pada kasus seper; ini, protes dan pengaduan korban menjadi landasan ber;ndak yang pertama bagi para pegiat pemberantasan perdagangan orang. Landasan ;ndakan yang lain adalah adanya proses penyidikan dan keputusan aparat hukum tentang situasi ini.
Migrasi, Penyelundupan dan PerdaganganBeberapa praktek perpindahan orang sering mengacaukan pengiden;fikasian dan penanganan perdagangan orang, khususnya perempuan. Praktek-‐praktek itu antara lain migrasi dan penyelundupan.
Migrasi adalah proses dimana orang atas kesadaran mereka
sendiri memilih untuk meninggalkan satu tempat dan pergi ke tempat lain. Migrasi yang dilakukan secara diam-‐diam tanpa mengindahkan hukum yang berlaku di daerah asal dan tujuan dimaknai sebegai penyelundupan (orang).
Sementara perdagangan perempuan adalah bentuk migrasi dengan tekanan, yaitu orang yang diperdagangkan direkrut dan dipindahkan ke tempat lain secara paksa, ancaman kekerasan atau penipuan. Perdagangan perempuan atas kemauan sendiri adalah hal yang kontradik;f. Dalam pembelaan hukum, kemauan sendiri bisa diabaikan.
Kaitan migrasi, penyelundupan dan perdagangan perempuan adalah seper; tampak pada bagan di halaman berikut ini.
Dari bagan tersebut terlihat bahwa tujuan bisa saja sama antara perempuan yang melakukan migrasi, penyelundupan dan perdagangan.
Namun prosesnya berbeda: kemauan sendiri atau dipaksa. Pada konteks ini, proses menjadi pembeda dan penanda adanya prak;k perdagangan.
4
4"
"("Dari"bagan"di"atas"terlihat"bahwa"tujuan"bisa"saja"sama"antara"perempuan"yang"melakukan"migrasi,"penyelundupan"dan"perdagangan."Namun"prosesnya"berbeda:"kemauan"sendiri"atau"dipaksa."Pada"konteks"ini,"proses"menjadi"pembeda"dan"penanda"adanya"praktik"perdagangan.""(Namanya'Yani.'Entah'nama'sebenarnya'atau'nama'samaran'di'Batam.'Asli'Sunda,'Indramayu.'Sebelumnya,'pernah'setahun'bekerja'di'industri'konveksi'KBN'Tanjung'Priok.'Janda.'Beranak'satu.'('”Di'mana'suami'kamu,'Yan?”'“'Cari'perempuan'lain,'Bang!”—jawabnya'tanpa'kesedihan'dan'penyesalan'lagi'ketika'ditanya'penulis.'''Awalnya'adalah'PHK'besarNbesaran'di'pabriknya,'Juli'2000.'Ada'ratusan'temannya'yang'lain'di'bagian'jahit'dan'pengepakan'yang'kena'PHK'juga.'Setelah'PHK,'perempuan'berusia'23'tahun'ini'tak'putus'asa.'Bersama'temannya'ia'menjadi'kernet'angkot'selama'tiga'bulan'untuk'tetap'menghidupi'anaknya'di'kampung'yang'ikut'bibinya.'''Bang'Kajim,'sang'sopir'yang'menawari'dia'untuk'menjadi'kernet'adalah'orang'yang'sudah'dikenalnya'cukup'lama.'Ia'bahkan'berlangganan'angkotnya'waktu'pulangNbalik'dari'kerja'di'pabrik'konveksi'itu.'Merasa'kasihan'pada'Yani,'Kajim'menawari'Yani'untuk'bekerja'di'sebuah'restoran'yang'baru'dibuka'milik'saudaranya'di'Batam.'Kajim'meminta'Yani'menulis'surat'lamaran,'membawa'seluruh'suratNsurat'yang'diperlukan'untuk'pendaftaran'di'restoran'itu.'Yani'mengiyakkan'tanpa'keraguan'sedikitpun.'''Cerita'selanjutnya'sudah'bisa'ditebak:'Yani'berangkat'diantar''Kajim'sampai'di'Batam.'Masuk'Samyong'(lokalisasi'terbesar'di'Batam—pen)'dengan'alasan'singgah'sebentar.'Ditinggal'diamNdiam,'dan'ternyata'Kajim'menjualnya'pada'bos'Bar'Cobra.'Yani'laku'2,5'juta,'dan'segera'dihitung'hutang'oleh'maminya.'Ditambahkan'dengan'biaya'perlengkapan'kamar,'gaun'kerja,'keamanan'dan'biaya'iniNitu'hutangnya'menjadi'4'juta.'
Migrasi"
Penyelundupan"
Perdagangan""
Kerja seks, kerja domestik, kerja pabrik, perkawinan
(istri pesanan)
Imigran gelap
Kemauan"sendiri"
Tanpa"dokumen"
Prostitusi paksa, kerja paksa,
kawin palsu "
Dipaksa"
""P"E"L"A"R"I"A"N""
5
Namanya Yani. Entah nama sebenarnya atau nama samaran di Batam. Asli Sunda, Indramayu. Sebelumnya, pernah setahun bekerja di industri konveksi KBN Tanjung Priok. Janda. Beranak satu.
”Di mana suami kamu, Yan?”“ Cari perempuan lain, Bang!”—jawabnya tanpa kesedihan dan penyesalan lagi keMka ditanya penulis.
Awalnya adalah PHK besar-‐besaran di pabriknya, Juli 2000. Ada ratusan temannya yang lain di bagian jahit dan pengepakan yang kena PHK juga.
Setelah PHK, perempuan berusia 23 tahun ini tak putus asa. Bersama temannya ia menjadi kernet angkot selama Mga bulan untuk tetap menghidupi anaknya di kampung yang ikut bibinya.
Bang Kajim, sang sopir yang menawari dia untuk menjadi kernet adalah orang yang sudah dikenalnya cukup lama. Ia bahkan berlangganan angkotnya waktu pulang-‐balik dari kerja di pabrik konveksi itu.
Merasa kasihan pada Yani, Kajim menawari Yani untuk bekerja di sebuah restoran yang baru dibuka milik saudaranya di Batam.
Kajim meminta Yani menulis surat lamaran, membawa seluruh surat-‐surat yang diperlukan untuk pendaTaran di restoran itu. Yani mengiyakkan tanpa keraguan sedikitpun.
Cerita selanjutnya sudah bisa ditebak: Yani berangkat diantar Kajim sampai di Batam.
Masuk Samyong (lokalisasi terbesar di Batam—pen) dengan alasan singgah sebentar.
DiMnggal diam-‐diam, dan ternyata Kajim menjualnya pada bos Bar Cobra. Yani laku 2,5 juta, dan segera dihitung hutang oleh maminya. Ditambahkan dengan biaya perlengkapan kamar, gaun kerja, keamanan dan biaya ini-‐itu hutangnya menjadi 4 juta.
Terpaksa ia harus Mnggal untuk melunasi hutang-‐hutangnya.
Dua minggu pertama hari kerjanya ia sakit keras memikirkan semua kejadian yang menimpa dirinya. Hanya dalam waktu beberapa jam ia telah menjadi lonte di Samyong. Mami mengobaMnya, membawanya ke dokter, bukan karena baik haM tetapi agar anak buahnya yang baru ini dapat segera “berproduksi”.
Ditambah dengan biaya pengobatan ini, hutang Yani telah dibulatkan dengan gampangnya menjadi 5 juta rupiah. Lengkap sudah keberadaannya di Samyong.
Pertama kali menerima tamu adalah masa-‐masa paling menyiksa bagi Yani. “Waktu itu saya Mdak tahu tarif saya, Bang, jadi seMap ada tamu saya suruh bayar langsung ke mami. Saya nggak tahu apakah penghasilan saya pada minggu-‐minggu pertama saya kerja, sudah masuk dalam hitungan pelunasan hutang saya”. Sekarang dua bulan sudah ia di Samyong. Dan hutangnya belum lunas juga. Bahkan dia Mdak tahu secara pasM Mnggal berapakah hutangnya saat ini. Yang ada
dibenaknya saat ini: hidup seirit mungkin, cari tamu sebanyak mungkin, dan pulang secepat mungkin.
“Hanya pulang keinginan saya saat ini, Bang”, ujarnya dengan dengan mata yang mulai basah (wawancara penulis).
Ada ratusan cerita lain seper; ini di Batam dan Kepri umumnya. T e r l a l u b a n y a k . S a k i n g banyaknya menjadi “biasa” bagi yang pernah mendengarnya. Klise. Tetapi ini adalah cerita manusia yang sesungguhnya. Manusia yang dijual seharga TV 14 inch.
Saat ini diperkirakan ada 10.520 pekerja seks perempuan (PSP) di Kepri yang tersebar di ;ga pulau besar: B intan, Batam dan K a r i m u n ( K o m i s i Penanggulangan AIDS, 2006). Em p a t p u l u h p e r s e n n y a diperkirakan mempunyai kisah serupa Yani: korban trafiking.
PSP sejumlah itu, 60%-‐nya berada di Batam dan sisanya tersebar di pulau-‐pulau lain di Kepri. Mereka terkonsentrasi di 10 lokasi dan 150 tempat hiburan (FHI, 2008). Menurut ICMC, sekitar 10-‐25% dari total pekerja seks perempuan (PSP) di Kepri adalah pekerja seks anak di bawah 18 tahun.
Pekerja seks anak merupakan i n d i k a s i m u d a h a d a n y a perdagangan orang. Seorang anak d i bawah 18 t ahun kebanyakan diajak, dibujuk, dipindahkan dan dipekerjakan untuk pros;tusi dalam situasi yang lebih leluasa (dimanipulasi) dari pada perempuan dewasa.
6
Fenomena Gunung EsMeskipun potensi permasalahan perdagangan perempuan besar, namun jumlah kasus terlaporkan cukup kecil. Beberapa LSM lokal melaporkan telah menyediakan layanan shelter dan layanan lainnya bagi 237 orang perempuan korban perdagangan di Kepri, 130 diantaranya adalah PSP.
Jika dibandingkan dengan populasi PSP yang ada, jumlah korban perdagangan yang tercatat bisa dibilang kecil. Seper; gunung es di tengah laut, jumlah kasus yang tercatat ini hanyalah puncak gunungnya. Sementara tubuh gunung permasalahan yang sesungguhnya tersembunyi di bawah air.
Fenomena gunung es ini sejalan dengan kesimpulan penulis, 1:10. Dari pengamatan penulis selama 8 tahun terakhir di Batam, jika ada 1 kasus perdagangan perempuan terlaporkan, paling ;dak ada 10 kasus lainnya yang sebenarnya telah terjadi. Ini adalah kasus yang manifes (terjadi dan diketahui masyarakat umum
atau aparat), nyata, tetapi belum dapat dibongkar. Jika ditambahkan kasus yang laten (terjadi tapi ;dak diketahui masyarakat dan aparat hukum) mungkin perbandingannya akan naik 3 kali lipat, 1:30.
“Sudah lama sebenarnya saya ingin kabur, tapi karena banyak teman yang ingin ikut lari juga saya akhirnya mengurungkan niat. Sampai akhirnya dua bulan lewat. Saya enggak tahan lagi, jadi kabur sendiri. Masih ada sekitar 30-‐an teman saya di sana yang diperlakukan kayak hewan. Dikasi makan, suruh Mdur, suruh dandan, melayani tamu dan Mdak boleh kemana-‐mana”. (Wawancara dengan korban perdagangan perempuan, Yayasan
Kaseh Puan, 2006).
Daerah Asal Korban Trafiking“Lebih dari separuh teman satu bar saya dari Indramayu. Beberapa cuma mengaku dari Indramayu, biar ikutan laris. Tapi saya tahu mana yang bohong dan Mdak. Banyak yang satu kecamatan sama saya, bisa bahasa Sunda. Jadi sekitar 23 orang orang Indramyu dari semua cewek-‐cewek di sini yang sekitar 50-‐an orang. (Wawancara dengan PSP di Vila Garden, Tanjang Balai Karimun, Yayasan Kaseh Puan, 2006). Berdasarkan kasus yang terlaporkan, 55% asal korban adalah Jawa, dengan Jawa Barat sebagai penyumbang terbesar. Penyumbang
lainnya secara berurutan adalah Jawa Tengah, Jawa Timur Jakarta dan Banten. Sementara 32% dari total korban berasal dari Sumatera dengan Sumatera Utara sebagai daerah penyumbang terbesar, diiku; Lampung, Aceh, Kepri sendiri, Jambi dan Sumbar. Sisanya dari berbagai daerah lain di Indonesia.
Jawa Barat sejak lama diketahui sebagai daerah asal banyak PSP, terutama Indramayu, Subang dan Tasikmalaya. Tidak mengherankan jika mayoritas asal korban di Jawa berasal dari Jawa Barat.
Sementara Sumut diantara provinsi lain di Sumatera sudah dikenal juga sebagai daerah asal dan tujuan mobilitas PSP.
7
Rute Perdagangan Sebagai daerah tujuan, Kepri memperolah “pasokan” dari daerah lain. Rute tradisional yang sejak dulu ditempuh untuk mengirimkan pasokan perdagangan orang adalah:
7"
"'' "'
"Dengan"semakin"banyaknya"altenatif"penerbangan,"maka"jalur"udara"juga"digunakan."""Modus'Operandi'Untuk" trafiking" domestik," para" pelaku" perdagangan" perempuan" di" Kepri" biasanya"memanfaatkan" agen" untuk" merekrut" perempuan" dari" desa'desa" terpencil" dengan"menawarkan"pekerjaan"menarik" dan" gaji" besar"di" Kepri," khususnya"di" Batam."Namun,"begitu" mereka" sampai" di" Batam," tak" pelak" lagi" para" perempuan" ini" langsung" digiring"memasuki"prostitusi."""Agen"trafiking"bisa"siapa"saja"antara"lain:""• Mucikari/germo"prostitusi"di"Batam"• Calo"suruhan"mucikari"yang"ditugaskan"memang"untuk"merekrut"• Calo"di"daerah"asal"korban"• Teman"korban,"biasanya"yang"telah"bekerja"di"Batam"• Keluarga"korban,"termasuk"orang"tua,"suami"atau"pacar"• Kenalan"korban""Beberapa"agen"ini"bahkan"tidak"menyadari"jika"dirinya"telah"menjadi"agen"perdagangan"orang."Biasanya"karena"niat"membantu."Namun"demikian"manipulasi" informasi"hampir"selalu"digunakan"oleh"para"agen'agen"ini"untuk"membujuk"korban'korbannya."""Yang"menarik,"karena"banyak"mucikari"dan"calo"berasal"dari"daerah"yang"sama"dengan"daerah"asal"korban,"sering"terjadi"pertukaran"korban"diantara"mereka."Sebagai"contoh,"mucikari" di" Kepri" bisa" mengontak" temannya" sesama" mucikari" di" Indramayu" atau"Bandung"untuk"saling"bertukar"anak"buah."Di"sini"pemindahan"secara"paksa"jelas"sekali"terlihat."Sebab"rata'rata"korban"tidak"bersedia"di"rolling"dengan"cara"demikian."""Strategi"pertukaran" ini"ditempuh"sebagai" cara"mempetahankan"konsumen"dan"pangsa"pasar." Istilah" ”barang" baru" stok" lama”" sesunguhnya" berawal" dari" praktek" ini." Dengan"terus" memperkenalkan" ”barang" baru”" mucikari" dapat" mempertahankan" tingkat"kunjungan"konsumen"ke"lokasi"atau"tempat"hiburan"yang"dikelolanya."Jaringan" pertukaran" ini" ada" yang" sistematis" dan" teratur." Namun" banyak" juga" yang"sporadis" dan" tidak" teroganisir." Seperti" halnya"musim," bisnis" perdagangan" perempuan"untuk"tujuan"pelacuran"mengenal"”masa"paceklik”."Umumnya"terjadi"pada"dan"selama"bulan" puasa" atau" awal" tahun," dimana" perekrutan" PSP" ”benar'benar" baru”" cenderung"sulit" dilakukan" atau" karena" terbongkarnya" modus" operandi" mereka" oleh" aparat" atau"keluarga."""
Semua"pelabuhan"besar""di"Jawa"dan"Sumatera""" Batam' Bintan,"Karimun"dll'
Dengan semakin banyaknya altena;f penerbangan, maka jalur udara juga digunakan.
Modus OperandiUntuk trafiking domes;k, para pelaku perdagangan perempuan di Kepri biasanya memanfaatkan agen untuk merekrut perempuan dari desa-‐desa terpencil dengan menawarkan pekerjaan menarik dan gaji besar di Kepri, khususnya di Batam. Namun, begitu mereka sampai di Batam, tak pelak lagi para perempuan ini langsung digiring memasuki pros;tusi.
Agen trafiking bisa siapa saja antara lain: • Mucikari/germo pros;tusi di Batam
8
• Calo suruhan mucikari yang ditugaskan memang untuk merekrut
• Calo di daerah asal korban• Teman korban, biasanya yang telah bekerja di Batam
• Keluarga korban, termasuk orang tua, suami atau pacar
• Kenalan korban
Beberapa agen ini bahkan ;dak menyadari jika dirinya telah menjadi agen perdagangan orang. Biasanya karena niat membantu. Namun demikian manipulasi informasi hampir selalu digunakan oleh para agen-‐agen in i untuk membujuk korban-‐korbannya.
Yang menarik, karena banyak mucikari dan calo berasal dari daerah yang sama dengan daerah asal korban, sering terjadi pertukaran korban diantara me reka . S ebaga i c on toh , mucikari di Kepri bisa mengontak temannya sesama mucikari di Indramayu atau Bandung untuk saling bertukar anak buah. Di sini pemindahan secara paksa jelas sekali terlihat. Sebab rata-‐rata korban ;dak bersedia di rolling dengan cara demikian.
Strategi pertukaran ini ditempuh sebagai cara mempetahankan konsumen dan pangsa pasar. Is;lah ”barang baru stok lama” sesunguhnya berawal dar i praktek in i . Dengan terus memperkenalkan ”barang baru” mucikari dapat mempertahankan ;ngkat kunjungan konsumen ke lokasi atau tempat hiburan yang dikelolanya.Jaringan pertukaran ini ada yang sistema;s dan teratur. Namun banyak juga yang sporadis dan ;dak teroganisir. Seper; halnya musim, bisnis perdagangan
pe rempuan un tuk t u j uan pelacuran mengenal ”masa paceklik”. Umumnya terjadi pada dan selama bulan puasa atau awal tahun, dimana perekrutan P S P ” b e n a r -‐ b e n a r b a r u ” cenderung sulit dilakukan atau karena terbongkarnya modus operandi mereka oleh aparat atau keluarga.
Trafiking InternasionalTrafiking domes;k ke Kepri kadangkala hanyalah bagian dari s u a t u r e n c a n a t r a fi k i n g internasional ke Singapura dan Malaysia. Ada 3 cara yang mungkin terjadi (Sugiatri, et.al, 2006):1. Saat mereka ;ba untuk
transit di Kepri, mereka (korban) ;dak dikirim ke luar negeri seper; dijanjikan, tetapi mereka dipaksa untuk bekerja di Kepri sebagai PRT atau PSP.
2. Sete lah ;ba d i tempat t u j u a n , p e r e m p u a n -‐pe rempuan y ang a kan dipekerjakan seagai PRT di Malaysia dan Singapura, t e r l e b i h d a h u l u d i t e s k e s e h a t a n d a n k e t e r amp i l a n n y a , d a n d inyatakan gaga l . La lu mereka dikirim kembali ke Kepri dan dipekerjakan sebagai PRT tanpa gaji atau dipaksa memasuki pros;tusi.
3. Para perempuan tersebut di;pu dengan menawari mereka bekerja sebagai PRT, atau dengan janji akan ditempat di Malaysia atau Singapura. Sesampainya di tempat itu, mereka dipaksa m em a s u k i p r o s ; t u s i . S e b a g i a n d a r i me r e k a berhasil kabur. Banyak yang ;dak karena dokomen-‐
dokumen mereka biasanya ditahan agen.
Kondisi Kerja dan EksploitasiAnis Hamim dalam risetnya di Kepri tentang perdagangan perempuan, mengemukakan situasi kerja dan eksploitasi ini. Menurutnya, bekerja tanpa dibayar, utang yang besar, larangan bergerak dan siksaan fisik adalah tragedi yang dialami p e r e m p u a n y a n g diperdagangkan. ”Saya diancam akan dibunuh waktu menolak melayani tamu (laki-‐laki klien PSP—pen). Saya dipaksa melayani tamu selama seminggu dan mami mengambil uangnya.” (Wawancara dengan p e r e m p u a n y a n g diperdagangkan, Yayasan Kaseh Puan, 2006).
Pa ra pe rempuan i n i j uga mengalami pengurungan.
”Saya ditempatkan di lantai dua. Saya Mdak diperbolehkan keluar. Saya Mdak pernah dibayar k a r e n a t am u m emb a y a r langsung ke mami. Dia Cuma kasih saya makan dua kali sehari, dan satu lagi, saya juga harus membayar. Untuk bayar itu semua besoknya saya harus terima tamu.”(Wawancara dengan perempuan yang diperdagangkan, Yayasan Kemala Bintan, 2005).
Respon yang Lebih BesarUntuk merespon persoalan ini, pemerintah termasuk beberapa pemda di kota/kab di Kepri telah melakukan beberapa upaya.
Pertama, kebijakan satu pintu. Pemerintah dan Depnakertrans telah menetapkan hanya
9
Batam sebagai satu-‐satunya pinta keluar untuk mengirimkan buruh migran perempuan ke Malaysia dan Singapura. Kebijakan satu pintu yang lain adalah satu pusat la;han. PJTKI hanya memberikan pembekalan awal dan pembekalan selanjutnya termasuk ser;fikasi lulus dan ;dak lulus hanya dilakukan satu lembaga yakni Batam Interna;onal Training Centre.
Kedua, pembentukan Gugus Tugas An; Trafiking di Batam. Keempat, Dinsos mendapat tugas khusus untuk melakukan pemulangan korban trafiking ke daerah asal. Dan kelima, penyediaan shelter untuk korban-‐korban yang membutuhkan untuk sementara waktu.
LSM juga melakukan upaya-‐upaya yang krea;f meskipun skalanya lebih kecil, antara lain: penyediaan shelter, advokasi dan li;gasi, pendampingan korban, riset, dan layanan pemulangan.
Untuk mengatasi persoalan perdagangan perempuan di Kepri, ternyata dibutuhkan respon yang lebih besar dari yang ada saat ini. Konsistensi pelaksanaan kebijakan oleh Pemda masih kurang op;mal. Bantuan luar negeri belum dimanfaatkan secara strategis untuk memperkuat respon yang ada.
Dari kasus dan telah literatur tentang topik ini, beberapa fakta mendasar dapat kemukakan, yakni: • UU PTPPO dan kerangka kerja perdagangan orang belum menjadi instrumen yang kuat dalam mencegah dan menangani praktek perdagangan perempuan untuk tujuan pelacuran.
• Pencegahan praktek perdangan perempuan lebih efek;f jika dilakukan secara simultan di daerah asal, daerah transit dan daerah tujuan.
• Rute dan modus operandi perdagangan perempuan semakin beragam dan terorganisir. • Ada kaitan khas antara trafiking domes;k dan trafiking internasional.
Apa yang perlu dilakukan ke depan?• Sosialisasi lebih intens UU PTPPO kepada aparat pemerintah terkait, calon TKW, dan masyarakat di daerah asal dan transit.
•Melanjutkan dan memperkuat penerapan kebijakan three by one: satu pintu keluar, satu pintu pela;han dan satu pintu pemulangan. • Memperkuat kerja sama lintas sektor untuk pencegahan, penanganan dan pemulangan korban perdagangan perempuan. •Penjajakan lebih dalam untuk mengetahui jaringan-‐jaringan dan modus operandi baru perdagangan perempuan untuk tujuan pelacuran.
10
Referensi
Rosenberg, Ruth, Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia, ACILS dan ICMC, Jakarta, 2003.
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, EsMmasi Populasi Rawan Penularan HIV, Jakarta, 2006.
Family Health Interna;onal-‐Kepri, Laporan Mapping Fisik dan Sosial Wanita Pekerja Seks di Kepri Oleh LSM Mitra Kerja, 2008. Tidak dipublikasikan.
Kaseh Puan, Yayasan, Laporan Kegiatan NaraMf Yayasan Kaseh Puan, 2006. Tidak dipublikasikan2006
Kemala Bintan, Yayasan, Laporan Kegiatan NaraMf Kemala Bintan, 2005. Tidak dipublikasikan.
Sugiar;, Keri Lasmi (ed), KeMka Mereka Dijual: Perdagangan Perempuan dan Anak di 15 Provinsi di Indonesia, ICMC, Jakarta, 2006.
Aditya, Erlian Rista, Catatan Harian Petugas Lapangan, 2001. Tidak dipublikasikan. Kepres RI No. 88 Tahun 2002 tentang, Perdagangan Perempuan dan AnakUU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
(PTPPO) www.wikipedia.org
top related