hubungan gizi lebih dengan derajat keparahan … · demam berdarah dengue pada anak di rsud kota...
Post on 10-Mar-2019
226 Views
Preview:
TRANSCRIPT
HUBUNGAN GIZI LEBIH DENGAN DERAJAT KEPARAHAN
DEMAM BERDARAH DENGUE PADA ANAK
DI RSUD KOTA SURAKARTA
Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Pendidikan
Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Oleh:
TANTRI MUTMAINNNA SAFRI
J500130016
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017
1
HUBUNGAN GIZI LEBIH DENGAN DERAJAT KEPARAHAN
DEMAM BERDARAH DENGUE PADA ANAK
DI RSUD KOTA SURAKARTA
Abstrak
Status gizi terbukti berhubungan dengan status infeksi virus dengue. Anak dengan
gizi lebih akan menderita penyakit demam berdarah dengue derajat yang lebih
parah dibandingkan anak dengan status gizi baik. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui adakah hubungan antara gizi lebih dengan derajat keparahan
demam berdarah dengue pada anak di RSUD Kota Surakarta. Penelitian ini
menggunakan metode observasional analitik dengan rancangan Cross sectional.
Penelitian dilakukan di Poli Gizi RSUD Kota Surakarta. Sampel diambil dengan
cara teknik purposive sampling, dengan total sampel sebanyak 88 pasien yang
telah disesuaikan dengan kriteria restriksi. Data dianalisis menggunakan uji Chi-
Square dengan program SPSS 17.0 for Windows. Hasil penelitian dengan
menggunakan uji chi square menunjukkan bahwa pasien anak status gizi baik
dengan diagnosis DBD derajat 1 dan 2 (ringan) 72,7%, status gizi baik diagnosis
DBD derajat 3 dan 4 (berat) 27,3%, status gizi lebih diagnosis derajat 1 dan 2
(ringan) 81,8%, status gizi lebih diagnosis DBD derajat 3 dan 4 (berat) 18,2%.
Hasil uji analisis Chi-Square menunjukkan nilai p=0,309 (p>0,05). Tidak
terdapat hubungan status gizi dengan derajat keparahan demam berdarah dengue
pada anak di RSUD Kota Surakarta.
Kata Kunci : DBD, Gizi Lebih
Abstract
The nutritional status shown to be associated with the status of dengue virus
infection. The children who more nutritious compared of the children who well
nutritious. The children who more nutritious would be wore if expousure dengue
homorrhagic fever between the children who well nutritious. The purpose of this
study was to determine the relationship between more nutrition is there more to
the severity of dengue fever to children in general hospitals of Surakarta. This
research used analytic observational with cross sectional design. The research we
do in the nutrition unit general hospital of Surakarta. Sampel taken by using
purposive sampling tecnique. The total sampel this study 88 patients with the
restriction criteria. Data analyzing by Chi-Square with SPSS 17 for Windows. The
results using the chi square test showed patients good nutritious with a diagnosis
of DHF grade 1 and 2 (mild) 72,7%, patiens good nutritious with a diagnosis of
DHF grade 3 and 4 (severe) 27,3%, and patients more nutritional with a
diagnosis of DHF grade 1 and 2 (mild) 81,2%, patients more nutritional with a
diagnosis of DHF grade 3 and 4 (severe) 18,2%. The result of Chi-Square
analysis shows value p=0,309 (p>0,05). It can be concluded that there is no
2
relationship between more nutritious status to the severity of dengue hemorrhagic
fever to children in general hospital of Surakarta.
Keywords : Dengue Hemorrhagic Fever, children with more nutritious
1. PENDAHULUAN
Demam Berdarah Dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan
subtropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan
pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu,
terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization
(WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi
di Asia Tenggara. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih
merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia.
Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya semakin bertambah seiring
dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk. Demam Berdarah di
Indonesia pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun 1968, dimana
sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia
(Angka Kematian (AK) : 41,3 %) dan sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas
ke seluruh Indonesia (Kemenkes, 2010).
Pada tahun 2014 jumlah penderita DBD yang dilaporkan sebanyak
100.347 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 907 orang (IR/Angka
kesakitan=39,8 per 100.000 penduduk serta CFR angka kematian=0,9%).
Selama tahun 2014, 7 kabupaten/kota di 5 provinsi yang melaporkan terjadinya
Kejadian Luar Biasa (KLB) yaitu di Kabupaten Dumai (Provinsi Riau),
Kabupaten Belitung dan Kabupaten Bangka Barat (Provinsi Bangka Belitung),
Kabupaten Karimun (provinsi Kepulauan Riau), Kabupaten Sintang dan
Kabupaten Ketapang (Provinsi Kalimantan Barat) serta Kabupaten Morowali
(Provinsi Sulawesi tengah) (Kemenkes, 2014).
Data dari Direktorat Pengendalian Penyakit Tular dan Zoonosis
Kementrian Kesehatan hingga akhir Januari tahun 2016, KLB penyakit DBD
dilaporkan terdapat 9 Kabupaten dan 2 Kota dari 7 Provinsi di Indonesia yaitu
Kabupaten Tangerang, (Provinsi Banten), Kota Lubuklinggau (Provinsi
Sumatera Selatan), Kota Bengkulu (Provinsi Bengkulu), Kota Denpasar dan
3
Kabupaten Gianyar (Provinsi Bali), Kabupaten Bulukumba, Pangkep, Luwu
Utara, dan Wajo (Provinsi Sulawesi Selatan), Kabupaten Gorontalo (Provinsi
Gorontalo) serta Kabupaten Kaimana (Provinsi Papua Barat) (Kemenkes,
2016).
Penyakit DBD masih merupakan permasalahan serius di Provinsi Jawa
Tengah, terbukti terdapat 35 kabupaten/kota sudah pernah terjangkit penyakit
DBD. Angka kesakitan/Incidence Rate (IR) DBD di Provinsi Jawa Tengah
pada tahun 2014 sebesar 36,2/100.000 penduduk, lebih rendah dibanding tahun
2013 (45,53/100.000 penduduk). Hal ini berarti bahwa IR DBD di Jawa
Tengah lebih rendah dari target nasional yaitu <51/100.000 penduduk, namun
lebih tinggi jika dibandingkan dengan target RPJMD (< 20/100.000).
Sedangkan angka kematian/Case Fatality Rate (CFR) DBD tahun 2014 sebesar
1,7%, lebih tinggi dibanding tahun 2013 (1,21%), dan masih lebih tinggi
dibandingkan dengan target nasional maupun RPJMD (<1%). Angka
kesakitan/Incidence Rate (IR) DBD di Kota Surakarta sendiri pada tahun 2014
sebesar 50,91/100.000 (Dinkes, 2014).
Beberapa aspek mengenai DBD telah diteliti untuk mengetahui faktor-
faktor yang mempengaruhi berat ringannya infeksi virus dengue. Beberapa
penelitian menghubungkan status gizi dengan kejadian Sindrom Syok Dengue
(SSD) pada anak. Status gizi merupakan faktor resiko terjadinya infeksi virus
dengue (Permatasari et al., 2015).
Pada tahun 2013 prevalensi gemuk secara nasional di Indonesia adalah
11,9 %, yang menunjukkan terjadi penurunan dari 14,0 % pada tahun 2010.
Terdapat 12 provinsi yang memiliki masalah anak gemuk di atas angka
nasional dengan urutan prevalensi tertinggi sampai terendah, yaitu : (1)
Lampung, (2) Sumatera Selatan, (3) Bengkulu, (4) Papua, (5) Riau, (6) Bangka
Belitung, (7) Jambi, (8) Sumatera Utara, (9) Kalimantan Timur, (10) Bali, (11)
Kalimantan Barat, dan (12) JawaTengah (Riskesdas, 2013).
Pada hasil uji statistik yang menilai hubungan status gizi dengan derajat
infeksi dengue menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
status gizi dengan derajat infeksi dengue (Permatasari et al., 2015).
4
Penelitian yang dilakukan di Thailand menemukan jika SSD lebih sering
terjadi pada anak dengan status gizi kurang daripada anak yang berstatus gizi
normal (Pichainarong et al., 2006).
Penelitian yang dilakukan di enam rumah sakit di Jakarta saat kejadian
luar biasa pada tahun 2004, mendapatkan 1818 kasus DBD pada anak usi 0-15
tahun. Penelitian ini mendapatkan sebagian besar pasien memiliki status gizi
baik 42,3% dan 1,4% pasien DBD yang memiliki status gizi buruk (Citraresmi
et al., 2009).
Hasil penelitian tersebut berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Hakim (2012) yang menunjukkan bahwa pasien dengan status gizi tidak
normal (kurang atau lebih) berisiko 1,250 kali lebih berisiko untuk sindrom
syok dengue dibandingkan pasien dengan status gizi normal (Hakim & Asep,
2012).
Oleh karena itu, peneliti akan mengadakan penelitian yang bertujuan
untuk mengetahui hubungan gizi lebih dengan derajat keparahan demam
berdarah dengue pada anak di RSUD Kota Surakarta.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian observasional, dengan
rancangan penelitan Cross Sectional. Tempat penelitian dilakukan di Poli Gizi
RSUD Kota Surakarta yang dilakukan pada bulan Desember 2016.
Pengambilan sampel penelitian menggunakan teknik purposive sampling.
Dengan metode purposive sampling didapatkan jumlah sampel sebesar 88
pasien. Kriteria sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah Data pasien
anak yang terdiagnosis pasti DBD yang dirawat di instalasi rawat inap anak
RSUD Kota Surakarta periode bulan Agustus 2015 sampai dengan Agustus
2016, pasien DBD anak berumur 1-14 tahun dengan status gizi baik dan status
gizi lebih. Teknik pengambilan data dalam penelitian ini dengan menggunakan
data rekam medik pasien yang berisi umur serta berat badan pasien. Analisis
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji hipotesis Korelatif yaitu
dengan uji uji chi-square jika sebaran data normal dan apabila sebaran datanya
tidak normal maka digunakan uji fisher.
5
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil Penelitian
Sebanyak 88 sampel memenuhi kriteria inklusi yang digunakan
dalam penelitian ini dan sampel diambil dengan menggunakan teknik
purposive sampling. Dari 88 sampel tersebut diperoleh data sebagai
berikut:
3.1.1 Analisis Deskriptif.
Tabel 1. Sebaran Sampel
Pasien Anak Jumlah Sampel Presentase
Gizi Baik 44 50%
Gizi Lebih 44 50%
Total 88 100%
Sumber: Data Sekunder, 2016
Dari data tabel diatas diketahui jumlah setiap masing-masing
kelompok penelitian sejumlah 44 pasien dengan demikian jumlah
responden penelitian adalah 88 pasien anak. Jumlah tiap kelompok
sebelumnya telah ditentukan dengan rumus estimasi besar sampel yaitu
sampel minimal 31 orang.
Tabel 2. Distribusi berdasarkan jenis kelamin
Jenis kelamin DBD Ringan DBD Berat Total
Frekuensi % Frekuensi % Frekuensi %
Laki-laki 28 71,8 11 28,2 39 100
Perempuan 40 81,6 9 18,4 49 100
Sumber: Data Sekunder, 2016
Subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin dari 88 pasien
didapatkan hasil yaitu pasien anak perempuan yang terdiri dari 49 orang
yang menderita DBD derajat ringan 40 (81,6%) orang dan 9 (18,4%) orang
menderita derajat berat, serta 39 orang anak laki-laki yang terdiri dari 28
(71,8%) osssssrang menderita DBD derajat ringan dan 11 (28,2) orang
yang menderita DBD derajat berat, dengan retang umur 1-14 tahun.
6
Sehingga diperoleh hasil pada penelitian ini menunjukkan jika anak laki-
laki lebih banyak terkena DBD derajat berat dibandingkan dengan anak
perempuan.
Tabel 3. Distribusi berdasarkan umur
Umur Dbd Ringan Dbd Berat Total
Frekuensi % Frekuensi % Frekuensi %
1-5 tahun 25 83,3 5 16,7 30 100
6-14 tahun 43 74,1 15 13,2 58 100
Sumber: Data Sekunder, 2016
Berdasarkan penggolongan umur, subjek penelitian pada penelitian
ini didominasi oleh anak berumur 6-14 tahun sebanyak 58 orang yang
terdiri dari 43 (71,4%) orang yang menderita DBD derajat ringan dan 15
(13,2%) orang yang menderita DBD derajat berat, selanjutnya kelompok
umur 1-5 tahun sebanyak 30 orang terdiri dari 25 (83,3%) orang yang
menderita DBD derajat ringan dan 5 (16,7%) orang pasien yang menderita
DBD derajat berat.
Tabel 4 . Distribusi berdasarkan status gizi
Umur Dbd Ringan Dbd Berat Total
Frekuensi % Frekuensi % Frekuensi %
Gizi lebih 36 81,8 8 18,2 44 100
Gizi baik 32 72,7 12 27,3 44 100
Sumber: Data Sekunder, 2016
Berdasarkan penggolongan status gizi, dari 44 pasien anak dengan
gizi baik terdapat 32 (72,2%) anak yang menderita DBD derajat ringan dan
12 (27,3%) anak yang menderita DBD derajat berat sedangkan dari 44
pasien anak dengan status gizi lebih 36 (81,8%) orang menderita DBD
derajat ringan dan 8 (18,2%) orang menderita DBD derajat berat.
3.1.2 Analisis Bivariat
Penelitian ini menggunakan analisis data Chi-Square untuk
mengetahui apakah terdapat hubungan antara gizi lebih dengan derajat
7
keparahan demam berdarah dengue pada anak di RSUD Kota Surakarta.
Tabel yang digunakan 2x2 sehingga menggunakan uji Chi-Square dilihat
pada tabel 7.
Tabel 7. Distribusi pasien DBD dengan status gizi lebih dan gizi baik yang
mengalami DBD derajat ringan dan DBD derajat berat.
DBD Ringan DBD Berat Total P
N % N % N % 0,309
Gizi baik 32 72,7 12 27,3 44 100
Gizi lebih 36 81,8 8 18,2 44 100
Sumber: Data Sekunder, 2016
Nilai Significancy menunjukkan angka 0,309 oleh karena p > 0,05
maka dapat diambil kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan antara gizi
lebih dengan derajat keparahan demam berdarah dengue pada anak di
RSUD Kota Surakarta.
3.2 Pembahasan
Penelitian ini adalah penelitian tentan hubungan gizi lebih dengan
derajat keparahan demam berdarah dengue pada anak di RSUD Kota
Surakarta. Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2016 bertempat
di bagian Poli Gizi RSUD Kopta Surakarta. Desain penelitian ini berupa
observasional analitik dengan pendekatan cross sectional dimana kedua
variabel dinilai dalam satu waktu yang sama. Subjek dipilih berdasarkan
kriteria retriksi yang sudah ditetapkan. Setiap kelompok terdiri dari 44
pasien DBD anak sehingga total jumlah subjek penelitian ini sebanyak 88
pasien DBD anak.
Hasil uji Chi-Square pada tabel 7 merupakan analisi data yang telah
dilakukan untuk menjawab hipotesis yang telah ditetapkan. Didapatkan
nilai tidak signifikan p=0,309 sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis
pada penelitian ini tidak terbukti. Pada penelitian ini tidak didapatkan
hubungan antara gizi lebih dengan derajat keparahan demam berdarah
dengue pada anak di RSUD Kota Surakarta.
Hasil pada penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Hakim (2012) yang menunjukkan bahwa pasien dengan
8
status gizi tidak normal (kurang atau lebih) berisiko 1,250 kali lebih
berisiko untuk sindrom syok dengue dibandingkan pasien dengan status
gizi normal (Hakim & Asep, 2012).
Dengue syok sindrom lebih sering terjadi pada anak imunokompeten
dan status gizi baik, sangat jarang pada malnutrisi sebab status gizi baik
berhubungan dengan respon imun yang baik yang dapat menimbulkan
DBD berat (Raihan et al., 2010).
Berdasarkan teori imunologi, satus gizi baik mempengaruhi derajat
berat ringannya penyakit yaitu gizi baik dapat meningkatkan respon
antibodi, reaksi antigen dan antibodi dalam tubuh akibat infeksi virus
menyebabkan infeksi virus dengue lebih berat, sedangkan beberapa faktor
yang mempengaruhi mordibitas dan mortalitas DBD di berbagai negara
antara lain status umur penduduk, kepadatan vektor, jenis kelamin, tingkat
penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus dengue dan kondisi
meteorologis (Elmy et al., 2009).
Usia merupakan salah satu faktor yang memengaruhi kepekaan
terhadap infeksi virus dengue, pada penelitian yang dilakukan di Bangkok,
anak usia muda terbukti yang banyak mengalami kasus dengue berat
sedangkan di Indonesia anak yang terkena DBD atau DSS berkisar usia 5-
9 tahun (Mariko et al., 2014). Makin muda usia pasien makin tinggi pula
mortalitasnya, karena pada anak yang lebih muda endotel pembuluh darah
kapiler lebih rentan terjadi pelepasan sitokin sehingga terjadi peningkatan
permeabilitas kapiler (Raihan et al., 2010). Selain itu perubahan transmisi
dari transmisi di rumah beralih ke fasilitas publik bisa menjadi salah satu
faktor yang menyebabkan anak usia >5 tahun lebih banyak menderita
DBD (Pangaribuan el al., 2014).
Pada penelitian yang dilakukan di Kota Semarang hasil uji statistik
yang menilai hubungan antara jenis kelamin anak dengan derajat infeksi
Dengue menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara jenis
kelamin dengan derajat infeksi dengue, responden dengan jenis kelamin
perempuan memiliki peluang 3,333 kali lebih besar menderita DBD
9
daripada laki-laki (Permatasari et al., 2015). Pendapat lain mengatakan
terdapat perbedaan secara imunologis antara anak perempuan dan laki-
laki, anak perempuan memiliki respon imun yang kuat dan permeabilitas
kapiler yang lebih tinggi sehingga lebih cepat mengalami syok
(Pangaribuan et al., 2014).
Jenis infeksi sekunder merupakan infeksi terbanyak pada SSD dan
DBD yaitu lebih dari 50% kasus (Elmy et al., 2009). Pada penelitian yang
dilakukan oleh Pichainarong et al didapatkan kejadian infeksi sekunder
90,5% pada SSD dan 88,6% pada DBD. Anak dengan infeksi sekunder
berisiko 10 kali atau lebih dibanding dengan anak dengan infeksi primer
(Rizal, 2011). Infeksi sekunder atau infeksi ulang dengan berbagai serotipe
virus Dengue merupakan faktor risiko utama timbulnya demam berdarah
dengue dan sindrom syok dengue yang dipacu oleh peranan antibody-
dependent enhancement (Soegijanto, 2006).
Pada wabah yang meluas biasanya terdapat suatu jenis atau serotipe
virus Dengue baru, hal tersebut terkait dengan kerentanan imunologis
suatu populasi terhadap virus tersebut dan virulensinya yang berperan pada
beratnya penyakit (Rizal, 2011). Indonesia pada tahun 1973-2010 hampir
selalu menunjukkan dominasi serotipe DENV-3, hal tersebut sesuai
dengan penelitian yang dilakukan di RS Dr. Hasan Sadikin Bandung
didapatkan dominasi serotipe virus dengue DENV-3 (13 kasus), DENV-2
(8 kasus), DENV-4 (4 kasus) dan DENV-1 (2 kasus), setiap infeksi karena
serotipe virus Dengue dapat menyebabkan manifestasi klinis dan profil
epidemiologi yang bervariasi, serotipe DENV-2 dan DENV-3
menyebabkan manifestasi klinis yang lebih berat dibandingkan dengan
serotipe lainnya (Andriyoko et al., 2012).
Selain itu pasien DBD yang tidak mengalami syok cenderung datang
berobat lebih awal dibandingkan dengan pasien yang mengalami syok,
pada pemberian dan manajemen cairan yang cukup pada awal penyakit
dapat mengurangi risiko kematian pada pasien dengan DBD (Raihan et al.,
2010). Penelitian yang dilakukan di RSUP Dr. Sardjito pada pasien dengan
10
gejala syok yang dapat diketahui secara awal dan mendapat terapi cairan
secara adekuat akan mengalami perbaikan secara cepat dan angka
kematian yang rendah 0,2%, pasien DBD dengan perdarahan dan
hemokonsentrasi akan mengalami tanda syok lebih dini, tetapi dengan
manajemen cairan intravaskular untuk mempertahankan hemodinamik
yang stabil sehingga dapat mencegah perkembangan ke arah syok
(Pangaribuan et al., 2014).
Keterbatasan penelitian ini adalah data umur dan berat badan pasien
yang ada di poli gizi RSUD Kota Surakarta yang tidak lengkap tetapi
kelemahan ini dapat dikurangi dengan mengambil data pasien yang
lengkap saja.
4. PENUTUP
Kesimpulan dari penelitian ini yang dilakukan di Poli Gizi RSUD Kota
Surakarta pada bulan Desember 2016 bahwa tidak ada hubungan yang
bermakna secara statistik antara gizi lebih dengan derajat keparahan demam
berdarah dengue pada anak di RSUD Kota Surakarta (p = 0,309 p>0,05).
PERSANTUNAN
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih yang tulus
kepada direktur utama RSUD Kota Surakarta yang telah memberikan izin untuk
melakukan penelitian ini sehingga dapat berjalan dengan lancar dan baik. Kepada
DR. Dr. E. M. Sutrisna, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Surakarta, Dr. Erna Herawati., Sp.KJ selaku Kepala Biro Skripsi,
Dr. Mohammad Wildan, Sp.A selaku pembimbing utama skripsi, Dr. M. Shoim
Dasuki, M.Kes selaku ketua penguji skripsi, Dr. Nur Mahmudah, M.Sc selaku
anggota penguji, segenap dosen dan staff Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Surakarta, Keluarga tercinta, dan semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan naskah publikasi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Andriyoko B., Ida P., Anna T., Leni L., 2012. Penentuan Serotipe Virus Dengue
Dan Gambaran Manifestasi Klinis Serta Hematologi Rutin Pada Infeksi
Virus Dengue. MKB. 44:253-260
11
Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan. 2013. Riset Kesehatan Dasar.
Jakarta : KEMENKES RI 212-213
Citraresmi E., Hadinegoro S. R., Akib A. A. P., 2009. Diagnosis Dan Tatalaksana
Demam Berdarah Dengue Pada Kejadian Luar Biasa Tahun 2004 Di Enam
Rumah Sakit Di Jakarta. Sari Pediatri. 3:8-14
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2014. Buku Profil Kesehatan Provinsi
Jawa Tengah Tahun 2014. Semarang: DINKES 35-37
Elmy S., Arhana B.N.P., Suandi I.K.G., & Sidiartha I.G.L., 2009. Obesitas
Sebagai Faktor Risiko Sindrom Syok Dengue. Sari Pediatri. 11:238-242
Hakim L., & Asep J.K., 2012. Hubungan Status Gizi Dan Kelompok Umur
Dengan Status Infeksi Virus Dengue. Aspirator. 4:34-45
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2015. Profil Kesehatan Indonesia
2014. Jakarta: KEMENKES RI. 153-155
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi:
Demam Berdarah Dengue. Jakarta: KEMENKES RI. 1-2
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Wilayah Kejadian Luar Biasa Demam
Berdarah Dengue Ada 11 Kabupaten Atau Kota, www.depkes.go.id ,21
Agustus 2016
Mariko R., Sri R. S. H., Hindra I. S., 2014. Faktor Prognosis Terjadinya
Perdarahan Gastrointestinal Dengan Demam Berdarah Dengue Pada Dua
Rumah Sakit Rujukan. Sari Pediatri. 15:361-368
Pangaribuan A., Endy P. P., Ida S. L., 2014. Faktor Prognosis Kematian Syok
Dengue. Sari Pediatri. 13: 332-340
Permatasari D.Y., Galuh R., & Andra N., 2015. Hubungan Status Gizi, Umur, dan
Jenis Kelamin Dengan Derajat Infeksi Dengue Pada Anak. Jurnal
Kedokteran Muhammadiyah. 2:25-28
Pichainarong N., Mongkalangoon N., Katayanarooj S., Chaveepojnkamjorn W.,
2006. Relationship between body size and severity of dengue hemorrhagic
fever among children aged 0-14 years. Suthlast Asia J Trop Med Public
Health. 37:283-288
Raihan., Sri R, S, H., Alan R, T., 2010. Faktor Progbosis Terjadinya Syok Pada
Demam Berdarah Dengue. Sari Pediatri. 12:47-52
top related