humor dalam kumpulan cerpen senja dan cinta yang...
Post on 14-Dec-2020
16 Views
Preview:
TRANSCRIPT
HUMOR DALAM KUMPULAN CERPEN SENJA DAN CINTA
YANG BERDARAH KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA DAN
IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA
INDONESIA DI SMA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Ajeng Restiyani
NIM.1113013000009
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020
2
i
ABSTRAK
Ajeng Restiyani, NIM: 1113013000009. “Humor dalam Kumpulan Cerpen
Senja dan Cinta yang Berdarah Karya Seno Gumira Ajidarma dan Implikasinya
terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di SMA.” Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen Pembimbing: Ahmad Bahtiar, M.Hum.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan analisis humor dalam
kumpulan cerpen Senja dan Cinta yang Berdarah karya Seno Gumira Ajidarma
yang terfokus pada kajian tiga cerpen yaitu Helikopter, Guru Sufi Lewat ... dan
Karangan Bunga dari Menteri serta implikasinya terhadap pembelajaran sastra di
SMA. Penelitian ini menggunakan analisis humor klasifikasi Freud, Raskin dan
Brunvand dengan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Hasil
analisis menunjukkan bahwa terdapat jenis humor berdasarkan motivasi, teknik
dan topik. Jenis humor berdasarkan motivasi terdiri dari humor, comic, wit,
unintended humor, dan intended humor. Jenis humor berdasarkan teknik
diwujudkan melalui teknik ridicule, riddle, dan pun. Topik yang diangkat
berkaitan dengan etnik, politik dan agama. Analisis ini memiliki implikasi pada
pembelajaran sastra di SMA sebagai bahan ajar untuk memahami unsur intrinsik
dan nilai-nilai kehidupan. Humor dapat diterapkan pada peserta didik dalam
upaya membaca kritis, kemampuan berpikir analitis dan kepekaan terhadap
lingkungan. Keterkaitan humor dalam proses pembelajaran salah satunya dalam
bentuk komunikasi guru dengan peserta didik dalam menjelaskan pesan-pesan
dengan teknik komedi atau humor.
Kata kunci: Sastra, humor, Kumpulan Cerpen Senja dan Cinta yang Berdarah.
ii
ABSTRACT
Ajeng Restiyani, NIM: 1113013000009. “Humor in Senja dan Cinta yang
Berdarah by Seno Gumira Ajidarma and its implications on the learning of
indonesian literature in high school. Department of Indonesian Language and
literature education, Faculty of educational sciences. Syarif Hidayatullah State
Islamic University Jakarta. Advisor: Ahmad Bahtiar, M. Hum.
This research aims to describe the humor analysis of Senja dan Cinta yang
Berdarah by Seno Gumira Ajidarma which focuses on three stories namely
Helikopter, Guru Sufi Lewat ..., and Karangan Bunga dari Menteri, as well as its
implications on literary learning in high school. The design of the research is the
humor classification analysis by Freud‟s, Raskin‟s, and Brunvand‟s. The results
have shown that there are some types of humor in the stories based on motivation,
techniques, and topics. Motivational-based humor consists of humor, comic, wit,
unintended humor, and intended humor. Techniques-based humor manifested by
ridicule, riddle, and pun. The topics raised are related to ethnic, political and
religious topics. This analysis has implications on literature learning in high
school as teaching materials to understand the intrinsic elements and values of
life. Humor can be applied to learners in critical reading, analytical thinking, and
environmental sensitivity. One of the relationships of humor in the learning
process is the teachers communication with the students in explaining the
messages through comedy or humor
Keywords: literature, humor, Senja dan Cinta yang Berdarah.
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang selalu memberikan rahmat,
hidayah dan karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Humor dalam Kumpulan Cerpen Senja dan Cinta yang Berdarah
Karya Seno Gumira Ajidarma dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra
Indonesia di SMA.” Selawat dan salam senantiasa tercurah kepada baginda Nabi
besar Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat dan in syaa Allah kepada para
pengikutnya hingga akhir zaman. Penyusunan skripsi ini bertujuan untuk
memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan pada Program
Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan skripsi ini membutuhkan bimbingan, dukungan, dan doa dari
berbagai pihak. Sebagai ungkapan rasa hormat, penulis sampaikan ucapan terima
kasih kepada:
1. Dr. Sururin, M.Ag., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Dr. Makyun Subuki, M.Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
3. Novi Diah Haryanti, M. Hum., Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
4. Ahmad Bahtiar, M.Hum., sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan arahan, dan motivasi penyusunan skripsi ini. Terima kasih,
bapak, sudah selalu sabar menanti perjuangan menyelesaikan skripsi ini.
Semoga bapak selalu sehat dan bahagia.
5. Djoko Kentjono, M.A. (alm). Salam hormat dan alfatihah untuk bapak,
terima kasih atas ilmu, buku-buku referensi yang telah bapak pinjamkan,
yang selalu menyemangati. Semoga skripsi ini menjadi hadiah untuk
bapak di surga sana dan menjadi amal jariah. Saya merindukan bapak.
iv
6. Rosida Erowati, M.Hum. Terima kasih, ibu. Pesan ibu sewaktu saya
hendak menikah sangat terkenang dan akan terus diingat dan dijadikan
motivasi.
7. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
8. Seluruh guru-guru MAN 1 Lebak khususnya Pak Aria, Ibu Sutarti dan Pak
Dudi. Mereka adalah ladang dan kucuran mata air ilmu bagi penulis.
9. Keluarga; salam hormat, cinta dan penuh penghargaan kepada orang tua
tercinta, bapak Aryani dan Ibu Sunariah beserta adik-adik tercinta, Dede
Dikri dan Aruna Dipta Cahyani.
10. Salam hormat dan salam sayang kepada ibu dan bapak mertua yang amat
penulis cintai, Appa Entoy dan Emah Khodijah serta para kakak dan adik,
Fita Fatimah.
11. Sahabatku Rodlita Bintana, Ahmad Kholiyi dan Maisya Zaqiyah. Paling
puisi.
12. Ennike Setia Ningrum dan Radita Milati serta teman-teman LST yang
amat penulis banggakan dan keluarga besar Pojok Seni Tarbiyah, terima
kasih atas pembelajarannya.
13. Teman-teman seperjuangan: Desi, Tika, Wini, Teh Ulfa, Atun botoh yang
selalu menelurkan tawa.
14. Teman-teman PBSI 2013, khususnya Tri Wibowo, M Ilhamul Qolbi,
Rijaluddin, Ria, Nunu.
15. Terakhir sekali, sampai tua sampai surga, suamiku, Taufik Soleh. Terima
kasih telah selalu menemani, kebaikanmu banyak sekali. Terima kasih atas
setara dan cinta yang bertubi-tubi.
Ciputat, Februari 2020
Penulis
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK ...................................................................................................... i
ABSTRACT ..................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................. v
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ...................................................................... 7
C. Batasan Masalah ............................................................................ 7
D. Rumusan Masalah ......................................................................... 7
E. Tujuan Penelitian .......................................................................... 8
F. Manfaat Penelitian ........................................................................ 8
G. Metodologi Penelitian .................................................................. 9
BAB II KAJIAN TEORI
A. Hakikat Cerpen .............................................................................. 13
B. Hakikat Humor ............................................................................... 22
C. Pembelajaran Sastra ....................................................................... 34
D. Penelitian yang Relevan ................................................................. 36
vi
BAB III BIOGRAFI PENGARANG
A. Biografi Seno Gumira Ajidarma ................................................... 39
B. Pandangan Hidup .......................................................................... 41
BAB IV PEMBAHASAN
A. Analisis Unsur Intrinsik ................................................................ 48
B. Analisis Humor .............................................................................. 89
1. Analisis Humor pada Cerpen Helikopter ................................. 90
2. Anlisis Humor pada Cerpen Guru Sufi Lewat .......................... 118
3. Analisis Humor pada Cerpen Karangan Bunga dari Menteri..131
C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di SMA ......................... 142
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 146
B. Saran .............................................................................................. 147
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 149
LAMPIRAN-LAMPIRAN
LEMBAR UJI REFERENSI
PROFIL PENULIS
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kritik teks sudah menjadi rangkaian pasti disiplin keilmuan dalam
mengkaji suatu teks. Teks terus berkembang sebagai monumen
sumbangsih keilmuan, termasuk teks dalam karya sastra. Kritik teks pada
karya sastra berhubungan erat salah satunya dengan realitas sosial
masyarakat—yang bisa dikemas melalui teks-teks serius, sindiran, maupun
humor.
Karya sastra tidak hanya mengandung nilai estetika,
kebermanfaatan, moralitas sosial, lebih dari itu—mampu menumbuhkan
aktivitas kehidupan. Bicara tentang aktivitas kehidupan, maka tak akan
lepas dari peran masyarakat di dalamnya. Eksistensi diri dalam sebuah
kehidupan bermasyarakat bisa dilihat dari sejauh mana respons masyarakat
dalam menangkap gejala-gejala sosial melalui berbagai hal, salah satunya
humor.
Humor merupakan salah satu sarana berkomunikasi antar manusia.
Humor berfungsi untuk menunjukkan eksistensi diri, mencairkan
ketegangan atau kekakuan suasana, menyampaikan pesan pada
masyarakat. Pada umumnya, manusia menggemari humor karena mereka
mencari hiburan. Namun, lebih dari itu, humor dapat mengungkapkan
kenyataan hidup sehari-hari. Selain itu, humor mendidik masyarakat untuk
memahami secara kritis keadaan sekitarnya.1
Kebutuhan humor dalam masyarakat cenderung meningkat tatkala
gejala-gejala sosial makin merebak dan membutuhkan tanggapan atau
kritik. Humor bukan hanya bicara tentang komedi atau hiburan semata,
humor adalah bagian dari citra aktivitas kehidupan. Humor bertindak
sebagai respons paling unik atas proses berpikir manusia. Dalam humor,
1 Sari Endahwarni, Kosa Kata dan Ungkapan Humor Srimulat, (Depok: Fakultas Sastra
Universitas Indonesia, 1994), h. 17.
2
kita bisa melihat lelucon-lelucon dijadikan nilai-nilai sosial, kejiwaan,
politik, ekonomi dan lain-lain.
Kedudukan humor sebagai aktivitas kehidupan tidak kalah
pentingnya dibandingkan dengan aktivitas kehidupan yang lain. Karena itu
penelitian yang mendalam juga penting artinya, terutama dalam upaya
mengembangkan dan meningkatkan apresiasi masyarakat dalam
memahami humor.2 Humor sebagai bagian dari kualitas insani memiliki
dampak positif bagi kesehatan fisik dan mental manusia. Banyak temuan
penelitian yang membuktikan manfaat humor. Humor dapat mengurangi
tingkat kecemasan dan stres individu, meningkatkan kesehatan mental,
serta berkaitan erat dengan kreativitas dan kepribadian matang.3
Dalam nada yang sama, Wilson dalam Danandjaja menyebutkan
bahwa humor dapat berbuat lebih banyak daripada Liga Bangsa-bangsa,
untuk menjaga perdamaian dunia, karena dengan humor, kita dapat
membebaskan diri dari beban kecemasan, kebingungan, kekejaman, dan
kesengsaraan.4 Pada pandangan yang sama, Freud menyebut humor
sebagai proses pertahanan diri yang tertinggi. Humor sebagai starategi
coping juga dikemukakan oleh ahli lain yaitu Allport yang menyatakan
bahwa orang neurotik, yang belajar menertawakan diri sendiri
kemungkinan mendapatkan cara untuk mengelola diri dan cara untuk
sembuh. Lain halnya dengan May dalam Martin dan Lefcourt humor
berfungsi sebagai pemeliharaan sense of self yaitu cara sehat yang
dilakukan seseorang untuk marasakan "jarak" antara dirinya dengan
masalah5
2 Ibid.
3Iwan Marwan, “Rasa Humor dalam Perspektif Agama”, Al-Turāṡ, Vol. XIX No. 1, 2013, h. 268
4 James Danandjaja, Humor Mahasiswa, (Jakarta: Pusataka Sinar Harapan, 2002), h. 30
5 Nida Ul Hasanat dan Subandi, “Pengembangan Alat Kepekaan terhadap Humor”, Jurnal
Psikologi Universtias Gadjah Mada, No.1, 1998, h. 18
3
Humor dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan atau fungsi,
diantaranya sebagai pelengkap dalam keterampilan kepemimpinan, untuk
memfasilitasi komunikasi, memfasilitasi proses terapi, dan untuk
mengurangi tingkat stres.6 Selanjutnya, berkaitan dengan wacana humor,
Wardaugh dalam Abdul Chaer mengungkapkan bahwa selain berfungsi
sebagai alat komunikasi verbal, bahasa juga mempunyai fungsi-fungsi
lain. Salah satu fungsi lain itu adalah fungsi entertainment atau fungsi
hiburan. Fungsi hiburan itu dapat diwujudkan dalam bentuk narasi, puisi,
nyanyian, dan wacana-wacana yang bersifat humor. Wacana-wacana yang
bersifat humor itu dapat juga dalam bentuk narasi, puisi, nyanyian, dialog-
dialog singkat, teka-teki singkat, dan lain-lain.7
Begitu banyak fungsi humor—selain daripada sebagai fungsi
hiburan, terapi, komunikasi dan lain-lain, humor tumbuh menjadi sebuah
aktivitas yang dibutuhkan kehadirannya. Humor mampu memperlihatkan
proses berpikir kritis menyoal hal apa saja termasuk gaya hidup—yang
menjadi sorotan dalam penelitian ini. Gaya hidup kerap kali menjadi topik
hangat di era milenial ini, sehingga penulis tertarik menyoroti isu gaya
hidup melalui analisis humor yang dalam hal ini diramu dalam tiga cerpen
karya Seno Gumira Ajidarma yang menjadi objek penelitian.
Penelitian ini merujuk pada sastra kontemporer yakni cerita pendek
yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma, seorang cerpenis, novelis, esais,
wartawan, pekerja teater, dan segala macam sebutannya. Seno
mengungkapkan kenyataan yang sedang berlangsung pada masa itu (baca:
orde baru dan reformasi) melalui karya-karyanya. Ia menyusun narasi
bergaya komedi yang kritis sehingga nilai-nilainya relevan sampai masa
kini dan masa yang akan datang.
J.J Errington mencatat bahwa Seno dikenal luas dengan cerpen-
cerpennya yang menghibur dan sering berkaitan dengan politik dan
6P. Tommy Y. S. Suyasa, Identify Type of Humor: Funny, Funny, and Funny, Fakultas Psikologi
Universitas Tarumanagara dipresentasikan dalam Temu Ilmiah Nasional Psikologi Jakarta, 5
Agustus 2010, h. 2 7 Abdul Chaer, Ketawa-Ketiwi Betawi, (Depok: Masup Jakarta, 2007), h. V.
4
masyarakat selama era Orde Baru di Indonesia. Korrie Layun Rampan
dalam bunga rampai fiksi kontemporer Indonesia, menganggap Seno
sebagai bagian signifikan dari kelompok yang disebut sebagai “Angkatan
2000”. Pilihan-pilihan karya Seno yang dipakai dalam bunga rampai itu
tidak benar-benar mencerminkan isu-isu yang justru paling banyak
diangkat oleh Seno. Rampan menghubungkan aspek-aspek posmodern
dalam karya-karya Seno dengan tradisi lisan Indonsesia. Rampan
mengklaim bahwa setelah menempatkan Seno di bagian terdepan jajaran
penulis cerpen kontemporer Indonesia—dia telah “memperbaharui
toleransi lahan estetisnya dengan cara berekspresi yang baru”.8
Seno Gumira Ajidarma yang selanjutnya disingkat menjadi SGA
dalam penelitian ini, memiliki karya-karya yang patut dinikmati, dikaji,
dan dianalisis. Pemaknaan dan simbol-simbol yang tercermin dalam
karyanya merupakan buah pemikirannya pada keadaan sosial melalui gaya
humor yang diciptakannya dalam setiap cerita. SGA dengan sangat apik
merangkai cerita menjadi kisah yang „hidup‟ dalam batin pembaca.
Rampan dalam Fuller memuji adanya humor dalam karya-karya
fiksi Seno. Karya fiksi Seno menerjemakan kejadian-kejadian dengan
satire dan ironi. Lagi-lagi, tidak ada contoh yang diberikan, tapi ada
elemen-elemen humor dalam cerita seperti Helikopter atau Semangkin (d/h
Semakin).9
Penelitian ini menyelisik cerpen-cerpen SGA yang dimuat di
Harian Kompas terhitung sejak tahun 1978-2013 yang dikumpulkan dan
diramu dalam sebuah kumpulan cerpen Senja dan Cinta yang Berdarah,
terdiri dari 85 cerpen dibagi tiga periode yakni 1978-1981, 1982-1990, dan
1991-2013. Banyaknya cerpen yang dimuat di Harian Kompas ini
membuktikan kontribusi SGA dalam dunia sastra Indonesia, sekaligus
pemaknaan batin dan sosial pengarang terhadap kritik sosial yang terjadi
di negeri ini. Tema-tema dalam kumpulan cerpen ini diacak oleh
8 Andy Fuller, Sastra dan Politik: Membaca Karya-karya Seno Gumira Ajidarma, (Yogyakarta:
INSIST Press, 2011), h. 62 9 Ibid.,
5
penyunting yakni Andina Dwifatma (Novelis, Pemenang sayembara
menulis Novel DKJ 2012), dengan tujuan agar diketahuinya minat
kepenulisan SGA dan pergeseran idealisme tokoh-tokoh ceritanya sebagai
„wayang‟ buatan SGA yang direpresentasikan dari keadaan Indonesia.
Rampan dalam Fuller menyebutkan bahwa kekuatan karya Seno
terletak pada tokoh-tokohnya yang nyata—walaupun Seno tidak membuat
contoh ataupun perbandingan—bahwa tokoh-tokoh tersebut merupakan
orang-orang biasa yang terlibat dalam kejadian-kejadian yang biasa:
“walaupun kenyataan yang dia ciptakan ada kalanya surealistis dan absurd,
tokoh-tokoh Seno terasa nyata, karena mereka diciptakan dari
kenyataan.”10
Berdasarkan fokus penelitian yakni analisis humor, maka dengan
berbagai pertimbangan dan melihat adanya benang merah serta adanya
nuansa humor penuh ironi, maka dipilihlah tiga cerpen dengan lintas
periode artinya, mengambil tiap periode dengan tujuan menganalisis
struktur cerita maupun ide cerita dan persoalan yang terjadi di dalamnya
hingga kesesuaian bentuk humor dan kejenakaannya yang menggelitik
realitas sosial. Tiga cerpen itu yaitu Helikopter (1988/1993), Guru Sufi
Lewat ... (1990/1995), dan Karangan Bunga dari Menteri (2011).
Pada cerpen Helikopter, SGA menampilkan cerita penuh kritis
dengan tokoh Saleh sebagai tokoh utamanya. Pada cerpen ini berisi
tentang eksistensi kesederhanaan hidup melalui alur yang berwacanakan
humor—ditampilkannya sisi-sisi ketamakan manusia dengan narasi yang
tiap paragrafnya dibubuhi unsur komedi, sehingga pembaca dibawa untuk
mengkritisi keadaan sosial dengan cara yang lebih santai. Andy Fuller
menjelaskan humor cerita itu terletak pada penyangkalan akan bagaimana
pembaca mengharapkan seseorang dengan reputasi seperti Saleh akan
bertindak.11
Ciri humor pada Helikopter terlihat pada berubahnya sikap
tokoh Saleh di awal pengenalan alur cerita. Saleh sebagai seorang yang
10
Ibid., 11
Ibid., h. 83
6
dikenal baik, menyengaja membeli helikopter di wilayahnya. Hal ini
memunculkan ketamakan, tapi dibungkus dalam nuansa humor.
Sedangkan pada cerpen Guru Sufi Lewat ..., SGA menampilkan sisi
religiusitas dengan membubuhi tampilan-tampilan anekdot yang
merupakan bagian dari analisis humor. Terakhir, pada cerpen Karangan
Bunga dari menteri, SGA menampilkan unsur humornya melalui kekhasan
bahasa Betawi yang sebenarnya penuh sindiran.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis ingin membahas lebih
mendalam unsur humor apa saja yang disampaikan SGA dalam cerpen-
cerpennya, karena belum adanya penelitian sastra terkait dengan kumpulan
cerpen Senja dan Cinta yang Berdarah karya SGA yang dianalisis
menggunakan kajian humor. Selain itu, alasan lain menggunakan
kumpulan cerpen Senja dan Cinta yang Berdarah karya SGA adalah untuk
mengajak para pengajar memperkenalkan karya sastra ini sebagai referensi
bacaan yang berkualitas guna menambah bahan bacaan pada pembelajaran
sastra di kelas.
Selain itu, pada pembelajaran Sastra Indonesia di SMA, keterkaitan
humor dengan proses pembelajaran terletak pada cara siswa dalam
memahami humor melalui cara membaca teks-teks cerpen ini dengan kritis
dan mendapatkan kesan mendalam tentang humor dalam cerpen karya
SGA ini. Dari segi verbalnya, humor juga bisa berkaitan dengan
komunikasi guru dengan peserta didik dalam proses pembelajaran. Nuansa
komunikasi humor yang dilakukan guru dan peserta didik bisa melalui
pilihan media seperti kata, gambar, musik, rekaman cerita dan lain-lain.
Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis
tertarik mengangkat penelitian berjudul “Humor dalam Kumpulan Cerpen
Senja dan Cinta yang Berdarah Karya Seno Gumira Ajidarma dan
Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di SMA.”
7
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasikan
beberapa masalah sebagai berikut:
1. Belum ada penelitian sastra mengenai analisis humor pada kumpulan
cerpen Senja dan Cinta yang Berdarah karya Seno Gumira Ajidarma.
2. Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap humor sehingga humor
dianggap hanya hiburan.
3. Belum banyak humor atau komedi dijadikan sebagai salah satu teknik
pembelajaran sastra di SMA.
4. Kurangnya minat siswa dalam kegiatan pembelajaran sastra khususnya
pembelajaran cerpen, karena metode pembelajaran dan media yang
digunakan terasa monoton, kaku dan tidak menarik minat siswa.
C. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah ini diharapkan agar pembahasan dalam
penelitian tidak menyimpang dari masalah yang telah ditetapkan, juga agar
masalah yang diteliti menjadi lebih terarah. Adapun pembatasan masalah
dalam penelitian ini, yaitu analisis unsur humor yang terkandung dalam
kumpulan cerpen Senja dan Cinta yang Berdarah karya Seno Gumira
Ajidarma dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan
pembatasan masalah yang telah diuraikan di atas, maka masalah dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana analisis humor yang terkandung dalam cerpen Helikopter,
Guru Sufi Lewat ... dan Karangan Bunga dari Menteri pada kumpulan
cerpen Senja dan Cinta yang Berdarah karya Seno Gumira Ajidarma?
2. Bagaimana implikasi analisis humor dalam cerpen Helikopter, Guru Sufi
Lewat ... dan Karangan Bunga dari Menteri, pada kumpulan cerpen Senja
8
dan Cinta yang Berdarah karya Seno Gumira Ajidarma pada
pembelajaran bahasa dan sastra di SMA?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan analisis humor yang terkandung dalam cerpen
Helikopter, Guru Sufi Lewat ... dan Karangan Bunga dari Menteri
pada kumpulan cerpen Senja dan Cinta yang Berdarah karya Seno
Gumira Ajidarma
2. Mendeskripsikan implikasi analisis humor yang terkandung dalam
cerpen Helikopter, Guru Sufi Lewat ... dan Karangan Bunga dari
Menteri pada kumpulan cerpen Senja dan Cinta yang Berdarah karya
Seno Gumira Ajidarma pada pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia sehingga cocok digunakan sebagai bahan ajar di SMA.
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu
pengetahuan pembelajaran sastra Indonesia, khususnya mengenai
masalah sosial masyarakat dalam dimensi humor.
2. Manfaat Praktis
Pembahasan dalam penelitian ini diharapkan dapat membantu
kemajuan ilmu sastra khususnya cerpen di Indonesia, penulis juga
berharap melalui penelitian ini dapat membantu kemajuan Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah khususnya di bidang ilmu sastra
Indonesia selaku lembaga tempat penulis menimba ilmu. Selain itu,
penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber bagi penelitain
selanjutnya dan acuan atau tolok ukur pembelajaran sastra di SMA.
9
G. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah serangkaian hukum, aturan, dan tata cara
tertentu yang diatur dan ditentukan berdasarkan kaidah ilmiah dalam
menyelenggarakan suatu penelitian dalam koridor keilmuan yang hasilnya
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.12
Metode adalah cara-cara
atau strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk
memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya.13
Metode penelitian
adalah pembahasan mengenai konsep teoretik berbagai metode, kelebihan
dan kelemahannya, yang dalam karya ilmiah dilanjutkan dengan pemilihan
metoda yang digunakan.14
Metode pada penelitian ini menggunakan metode kualitatif
deskriptif. Secara harfiah, penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang
temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur kuantifikasi.
Kualitatif berarti sesuatu yang berkaitan degan aspek kualitas, nilai dan
makna yang terdapat di balik fakta.15
Penelitian kualitatif bersifat
interpretatif (menggunakan penafsiran) yang melibatkan banyak metode
dalam menelaah masalah penelitiannya.16
Penelitian kualitatif memiliki
dua tujuan utama yakni pertama, menggambarkan dan mengungkap;
kedua, menggambarkan dan menjelaskan.17
Peneliti melakukan analisis mendalam terhadap tiga cerpen dalam
kumpulan cerpen Senja dan Cinta yang Berdarah karya Seno Gumira
Ajidarma. Penelitian ini menggunakan teknik analisis deskritif kualitatif,
berdasarkan teori-teori humor sebagai alat analisisnya. Ciri deskriptif
maksudnya adalah data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata,
gambar dan bukan angka-angka. Hal itu disebabkan oleh adanya metode
12
Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial. (Jakarta: Salemba
Humanika, 2012), h. 3 13
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2015.), h. 34 14
Sedarmayanti dan Syarifudin Hidayat, Metodologi Penelitian, (Bandung: CV. Mandar Maju,
2011), h. 1 15
Imam Gunawan. Metode Penelitian Kualitatif. (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h. 82. 16
M. Djunaedi Ghony dan Fauzan Almanshur (Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: AR-
RUZZ Media, 2016), h. 26 17
Ibid., h. 29 Ghony
10
kualitatif. Dengan demikian, laporan penelitian akan berisi kutipan-
kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut.18
Metode kualitatif lebih bersifat deskriptif. Data yang terkumpul berbentuk
kata-kata atau gambar, sehingga tidak menekankan pada angka.19
Penelitian ini berfokus pada analisis unsur humor pada kumpulan
cerpen Senja dan Cinta yang Berdarah karya Seno Gumira Ajidarma
yakni pada kata-kata atau teks. Penelitian bersifat deskriptif analitik. Data
yang diperoleh (berupa kata-kata, gambar, perilaku) tidak dituangkan
dalam bentuk angka statistik, melainkan tetap dalam bentuk kualitatif.20
Dalam penelitian ini, peneliti meneliti naskah cerpen dengan
menganalisis unsur intrinsik, unsur humor dan implikasinya terhadap
pembelajaran sastra di SMA.
1. Sumber Data
Nyoman Kutha Ratna dalam bukunya menyampaikan bahwa
metode kualitatif dalam ilmu sastra sumber datanya adalah karya,
naskah, data penelitiannya, sebagai data formal adalah kata, kalimat
dan wacana.21
Sumber data dalam penelitian ini dibedakan menjadi
dua, data primer dan data sekunder.
Data primer bersumber dari kumpulan cerpen Senja dan Cinta
yang Berdarah karya Seno Gumira Ajidarma. Senja dan Cinta yang
Berdarah merupakan Antologi Cerita Pendek karya Seno Gumira
Ajidarma di Harian Kompas 1978-2013. Cetakan pertama diterbitkan
oleh Penerbit Buku Kompas, tahun 2014, dengan tebal buku 822
halaman, dan dimensi buku 13 cm x 19 cm. Sedangkan sumber data
sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku, jurnal, artikel di situs
internet serta jurnal-jurnal yang berkaitan dengan objek penelitian.
18
Lexy J Maleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), h. 11 19
Ibid., h. 15. 20
S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, ( Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), h. 39 21
Nyoman Kutha Ratna. Teori Metode dan Teknit Penelitian Sastra. (Pustaka Pelajar:Yogyakarta,
2015), h. 47.
11
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu studi pustaka melalui pembacaan, penyimakan, dan pencatatan
secara saksama terhadap sumber data primer dan sumber data sekunder.22
Studi pustaka ialah teknik pengumpulan data dengan mengadakan
penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur dan laporan-laporan
yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.23
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik studi pustaka
menggunakan sumber-sumber tertulis dengan membaca, memahami,
mengidentifikasi dan mencatat hal-hal yang mendukung penelitian.
Selanjutnya teknik simak dan catat digunakan sebagai media atau alat
dalam melakukan kegiatan penelitian secara fokus dan cermat terhadap
sumber data. Sumber-sumber data yang telah diperoleh akan
diklasifikasikan sesuai dengan tujuan dan masalah kajian penelitian karya
sastra yang sedang diteliti.
3. Teknik Analisis Data
Tahap-tahap analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Menganalisis unsur-unsur intrinsik pada cerpen Helikopter,
Guru Sufi Lewat ..., dan Karangan Bunga dari Menteri berupa
tema, alur, latar, sudut pandang, gaya bahasa, tokoh dan
penokohan serta amanat.
b. Menganalisis cerpen Helikopter, Guru Sufi Lewat ..., dan
Karangan Bunga dari Menteri melalui klasifikasi humor Freud,
Raskin, dan Brunvand yang terbagi menjadi motivasi, teknik,
dan topik. Kemudian dianalisis berdasarakan jenis ujaran
humor tokoh utama, jenis ujaran tokoh tambahan, dan
penggambaran latar untuk mendapatakan ujaran-ujaran humor
22
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta. 2015), h.
225 23
Suwardi Endaswara. Metodologi Penulisan Sastra Bandingan. (Jakarta: Bukupop, 2011), h. 2.
12
tiap tokoh utama dan tokoh tambahan serta latar yang
digambarkan pada masing-masing cerpen.
c. Membuat kesimpulan dan saran dari keseluruhan hasil
penelitaian. Kesimpulan di sini berupa unsur-unsur humor dari
ketiga cerpen dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di
SMA dengan cara menghubungkan materi cerpen sesuai
dengan kompetensi dasar yang hendak dicapai serta
menjadikan teknik humor sebagai media pembelajaran.
13
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Hakikat Cerpen
1. Pengertian Cerpen
Cerpen adalah suatu cerita yang menggambarkan sebagian kecil
dari keadaan, peristiwa kejiwaan, dan kehidupan. Krisis yang terjadi
tidak usah menyebabkan terjadinya perubahan nasib.24
Cerpen dalam
bahasa Inggris disebut short story, dan dalam bahasa Prancis disebut
nouvelle atau conte. Sedangkan dalam bahasa Indonesia dikenal dan
lazim disebut dengan cerpen, yaitu cerita rekaan yang memusatkan diri
pada satu tokoh dalam satu situasi pada satu saat, hingga memberikan
kesan tunggal terhadap pertikaian yang mendasari cerita tersebut.25
Cerita pendek terdiri dari kata cerita dan pendek. Tidak semua
cerita yang pendek bisa diklasifikasikan cerpen—sebagai sebuah
ciptasastra. Orang awam sering keliru menyangka apa yang dibacanya
adalah cerpen padahal sebenarnya masih merupakan sebuah kisah atau
sketsa semata.26
Sementara Edgar Allan Poe dalam Burhan Nurgiyantoro,
mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca
dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua
jam—suatu hal yang kiranya tak mungkin dilakukan untuk sebuah
novel. Panjang cerpen bervariasi, ada cerpen yang pendek, bahkan
mungkin pendek sekali: berkisar 500-an kata; ada cerpen yang
24
Ni Nyoman Karmini, Teori Pengkajian Prosa Fiksi dan Drama, (Bali: Pustaka Larasan, 2011),
h. 102 25
Dewan Redaksi Ensiklopedi Sastra Indonesia, Ensiklopedi Sastra Indonesia, (Bandung: Titian
Ilmu, 2004) h. 158 26
Putu Arya Tirtawirya, Apresiasi Puisi dan Prosa. (Flores: Penerbit Nusa Indah, 1983), h. 65
14
panjangnya cukupan, serta ada cerpen yang panjang, yang terdiri dari
puluhan (atau bahkan beberapa puluh) ribu kata.27
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa
cerita pendek atau yang lebih dikenal dengan cerpen merupakan
karangan fiksi yang ditulis dengan singkat, dan padat tetapi tetap
memberi kesan mendalam kepada pembaca.
Ciri-ciri Khas Cerpen
Seperti karya sastra jenis prosa lainnya, cerpen juga memiliki ciri-ciri
khas yang tidak dimiliki jenis prosa lainnya. Ni Nyoman Karmini
menyebutkan ciri utama cerpen yakni singkat, padu dan intensif serta
unsur utamanya terdiri dari adegan, tokoh, dan gerak. Cerpen memiliki
bahasa yang tajam, sugestif, menarik perhatian serta mengandung
interpretasi penulis tentang konsepsinya mengenai kehidupan, baik
langsung maupun tidak. Ciri khas lain dari cerpen yaitu menimbulkan
hanya satu efek dalam pikiran pembaca dan menimbulkan perasaan pada
pembacanya bahwa jalan ceritanyalah yang pertama-pertama menarik
perasaan serta baru kemudian menarik pikiran. Cerpen mengandung detail
dan insiden yang dipilih dengan sengaja, dan yang bisa menimbulkan
pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran pembaca. Selain itu, cerpen
mempunyai seorang pelaku utama, memberikan impresi tunggal dan satu
kebetulan efek serta menyajikan satu emosi.28
2. Unsur Intrinsik Cerpen
Unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun
karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya
sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan
dijumpai jika orang membaca karya sastra.29
Segi intrinsik ialah segi
27
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: UGM Press, 2012), h. 10. 28
Karmini, op. cit., h. 106. 29
Nurgiyantoro, op. cit., h. 23
15
yang membangun ciptasastra dari dalam yakni hal-hal yang
berhubungan dengan struktur.30
a. Tema
Tema adalah sesuatu yang menjadi pikiran, sesuatu yang
menjadi persoalan bagi pengarang. Tema merupakan persoalan
yang diungkapkan dalam ciptasastra.31
Tema dalam sebuah karya
sastra hanyalah merupakan salah satu dari sejumlah unsur
pembangun cerita yang lain, yang secara bersama membentuk
sebuah kemenyeluruhan.32
Hartoko dan Rahmanto dalam Nurgiyantoro
mengungkapkan tema merupakan gagasan dasar umum yang
menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks
sebagai struktur semantis dan menyangkut persamaan-persamaan
atau perbedaan-perbedaan. Untuk menemukan tema sebuah karya
fiksi haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya
berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita.33
b. Tokoh dan Penokohan
Tokoh dapat ditelaah dalam hubungannya dengan kisah.
Tokoh mempunyai fungsi sebagai lakuan. Apabila membicarakan
tokoh, kita menekankan bahwa lakuan mempunyai tujuan.34
Sudjiman dalam Budianta mengatakan tokoh adalah individu
rekaan yang mengalami peristiwa atau berkelakuan dalam berbagai
peristiwa dalam cerita.35
Istilah tokoh mengacu pada orangnya, pelaku cerita.
Sedangkan watak, perwatakan, karakter, mengacu kepada sifat dan
30
Mursal Esten, Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah ( Bandung: CV Angkasa, 2013), h. 17 31
Ibid., h. 20 32
Nurgiyantoro, op. cit., h. 74 33
Ibid., h. 68 34
Jan Van Luxemburg, Michle Bal, Willem G. Weststeijn, Tentang Sastra, (Jakarta: Intermasa,
1989), h. 139. 35
Melani Budianta, dkk., Membaca Sastra, (Magelang: Penerbit Indonesia Tera, 2006). h. 8
16
sikap para tokoh.36
Tokoh-tokoh perlu digambarkan ciri-ciri lahir
dan sifat serta sikap batinnya agar wataknya juga dikenal oleh
pembaca. Watak sama dengan penokohan yakni usaha pengarang
untuk menampilkan para tokoh dengan karakter atau watak seperti
sifat dan tingkah lakunya. Watak ialah kualitas tokoh, kualitas
nalar dan jiwanya yang membedakannya dengan tokoh lain.37
Bentuk penokohan yang paling sederhana adalah pemberian
sebutan. Hal itu semacam memberikan kepribadian secara
tersirat.38
Selain itu, Nurgiyantoro menggungkapkan bahwa
berdasarkan kategori pada pentingnya dan peran tokoh-tokoh
dalam cerita fiksi tokoh bisa dibagi menjadi tokoh utama dan tokoh
tambahan. Berdasarkan fungsi penampilan tokoh dapat dibagi
menajadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Terakhir,
berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh-
tokoh cerita dalam sebuah cerita, tokoh dapat dibedakan menjadi
tokoh statis dan tokoh berkembang.39
c. Plot/Alur
Plot pada cerpen pada umumnya tunggal, hanya terdiri dari
satu urusan peristiwa yang diikuti sampai cerita berakhir. Plot,
merupakan penyajian secara linear tentang berbagai hal yang
berhubungan dengan tokoh, maka pemahaman kita terhadap cerita
amat ditentukan oleh plot.40
Brooks dalam Tarigan menyatakan
36
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, ( Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2013), h. 247 37
Panuti Sudjiman,. Memahami Cerita Rekaan. (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1992), h. 23 38
Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2014), h.264-265. 39
Nurgiyantoro., op.cit., h. 258-272 40
Nurgiyantoro, op. cit., h. 75
17
alur atau plot adalah struktur gerak yang terdapat dalam fiksi atau
drama.41
Alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam
sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas pada peristiwa-
peristiwa yang terhubung secara kasual saja. Peristiwa kasual
merupakan peristiwa yang menebabkan atau menjadi dampak dari
berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena akan
berengaruh pada keseluruhan karya.42
Plot merupakan unsur penting bahkan ada yang
menganggap unsur terpenting di antara berbagai unsur fiksi.
Forster dalam Ni Nyoman Karmini , mengungkapkan plot adalah
peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada adanya
hubungan kualitas. Stanton menyatakan plot adalah cerita yang
berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan
sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan
terjadinya peristiwa yang lain.43
Abrams dalam Karmini menjelaskan secara teoritis-
kronologis tahap-tahap pengembangan struktur plot menurut
Aristoteles terdiri atas tahap awal (beginning), tahap tengah
(middle), dan tahap akhir (end).44
1) Tahap awal, disebut sebagai tahap pengenalan, yang berisi
sejumlah informasi penting berkaitan dengan berbagai hal
yang akan dikisahkan dalam tahap-tahap berikutnya.
Misalnya, berupa penunjukan dan pengenalan latar, seperti
nama tempat, suasana alam, waktu kejadian, yang pada
dasarnya berupa pengenalan setting. Selain itu tahap ini
juga digunakan untuk memperkenalkan tokoh cerita, seperti
41
Henry Guntur Tarigan,. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. (Bandung: Penerbit Angkasa, 1993), h.
126 42
Robert Stanton, Teori Fiksi,( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 26 43
Karmini, op. cit., h. 52 44
Ibid., h. 64-65
18
deskripsi tokoh dan perwatakannya. Fungsi pokok tahap
awal adalah memberikan informasi dan penjelasan
seperlunya berkaitan dngan latar dan penokohan.
2) Tahap tengah, disebut juga tahap pertikaian, menampilkan
pertentangan atau konflik yang sudah dimunculkan pada
tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakin
menegangkan. Konflik yang dikisahkan bisa berupa konflik
internal (konflik yang terjadi dalam diri tokoh), dan konflik
eksternal (konflik antartokoh)
3) Tahap akhir, disebut juga sebagai tahap peleraian,
menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks.
Bagian ini berisi bagaimana kesudahan sebuah cerita.
d. Latar
Latar, dalam cerpen tidak memerlukan detail-detail khusus
tentang keadaan latar, misalnya yang menyangkut keadaan tempat
dan sosial. Cerpen hanya memerlukan pelukisan secara garis besar
saja, atau bahkan hanya secara implisit, asal telah mampu
memberikan suasana tertentu yang dimaksudkan.45
Latar
merupakan tempat, saat, dan keadaan sosial yang menjadi wadah
tempat tokoh melakukan dan dikenai suatu kejadian. Latar bersifat
memberikan “aturan” permainan terhadap tokoh, dan karenanya
akan mempengaruhi pemilihan teman. Atau sebaliknya, tema yang
(sudah) dipilih akan menuntut pemilihan latar dan tokoh yang
sesuai dan mampu mendukung.46
Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yitu
tempat, waktu, dan sosial.47
1) Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang
45
Nurgiyantoro, op. cit., h. 13 46
Ibid., h. 75 47
Ibid., h. 271-234
19
dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama
tertentu, inisial tertentu, atau lokasi tertentu tanpa nama jelas.
Tempat-tempat yang bernama adalah tempat-tempat yang
dijumpai dalam dunia nyata, misalnya Magelang, Yogyakarta,
dan lain-lain. Tempat dengan inisial tertentu, biasanya berupa
huruf awal (kapital) nama suatu tempat tertentu, tetapi pembaca
harus memperkirakan sendiri, misalnya kota M, S, T. Latar
tempat tanpa nama jelas biasanya hanya berupa penyebutan
jenis dan sifat umum tempat-tempat tertentu, misalnya desa,
sungai, jalan, hutan, kota, kecamtaan, dan lain-lain.
2) Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu
faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan
peristiwa sejarah. pengetahuan dan persepsi pembaca terhadap
waktu sejarah itu kemudian dipergunakan untuk mencoba
masuk ke dalam suasana cerita.
3) Latar sosial, menyarankan pada hal-hal yang berhubungan
dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tenpat
yang diceritakan dakan karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial
masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang
cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat,
tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan
bersikap. Di samping itu latar sosial juga berhubungan dengan
status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah,
menengah, atau atas.
e. Sudut Pandang (Point Of View)
Sudut pandang, point of view, viewpoint, merupakan salah satu
unsur fiksi yang oleh Stanton dalam Nurgiyantoro digolongkan
sebagai sarana cerita. Pemilihan sudut pandang, akan berpengaruh
20
terhadap penyajian cerita. Sudut pandang dalam karya fiksi
mempersoalkan: siapa yang menceritakan, atau: dari posisi mana
(siapa) peristiwa dan tindakan itu dilihat.48
Sudut pandang merupakan strategi, teknik, siasat yang sengaja
dipilih pengarang untuk megungkapkan gagasan dan ceritanya
untuk menampilkan pandangan hidup dan tafsirannya terhadap
kehidupan yang secara keselurahan disalurkan melalui sudut
pandang tokoh.49
Siswanto membahas sudut pandang sebagai titik pandang yaitu
tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah
sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, dan waktu.50
f. Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah cara seorang pengarang menyampaikan
gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan
harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasan yang sampai
menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.51
Gaya bahasa
diadopsi dari kata style atau stile, diartikan sebagai kajian terhadap
kebahasaan khususnya mengenai teks-teks kesastraan atau aktivitas
yang mengeksplorasi kreativitas penggunaan bahasa.52
Gaya bahasa adalah bahasa yang bermula dari bahasa yang biasa
digunakan dalam gaya tradisional dan literal untuk menjelaskan objek.
Dengan menggunakan gaya bahasa, pemaparan menjadi lebih segar
dan berkesan. Gaya bahasa mencakup berbagai figur bahasa antara lain
metafor, simile, antitesis, hiperbola dan paradoks.53
Goys Keraf dalam
Nurgiyantoro membedakan bahwa gaya bahasa berdasarkan langsung
48
Ibid., h. 246. 49
Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2013), h. 88 50
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 151 51
Ibid., h. 158-159 52
Minderop, op. cit., h. 90. 53
Ibid., h. 51
21
tidaknya makna ke dalam dua kelompok, yaitu gaya bahasa retoris dan
kiasan.54
Berikut uraian macam-macam majas.
1) Majas simile, adalah majas yang merujuk pada adanya
perbandingan langsung dan eksplisit. Majas simile umumnya
menggunakan kata-kata tugas tertentu yang berfungsi sebagai
penanda keeksplisitan pembandingan, misalnya seperti,bagai,
bagaikan, laksana dan lain-lain.
2) Majas metafora, adalah majas yang paling sering ditemukan
dalam berbagaai teks kesastraan. Metafora merupakan gaya
perbandingan yang bersifat tidak langsung dan implisit.
3) Majas personifikasi, adalah majas yang memberi sifat-sifat
benda mati dengan sifat-sifat kemanusiaan.
4) Majas hiperbola, adalah makna yang ditekankan atau dilebih-
lebihkan yang sering menjadi tidak masuk akal untuk ukuran
nalar yang biasa
5) Majas paradoks, adalah majas yang cara penekanan
penuturannya sengaja menampilkan unsur pertentangan di
dalamnya.
6) Majas litotes, adalah majas yang berkebalikan makna dengan
majas hiperbola. Majas ini justru dimaksudkan untuk
mengecilkan fakta yang sesunggunya ada.
7) Majas ironi dan sarkasme, majas ini lazimnya dipergunkan
menampilkan sesuatu yang bersifat ironis, misalnya untuk
menyindir dan mengkritik. Jika sindiran itu rendah
intensitasnya, maka majas yang dipakai adalah ironi.
Sedangkan jika sindirannya yang tajam biasanya menggunakan
majas sarkasme.
8) Majas metonimi, adalah majas yang menunjukkan adanya
pertautan atau pertalian yang dekat.55
54
Nurgiyantoro., op. cit., h. 399 55
Ibid., h. 399-404
22
g. Amanat
Amanat atau pesan moral adalah ajaran tentang baik buruk
yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan
sebagainya; akhlak, budi pekerti, susila. Moral pada karya sastra
biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang
bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran dan hal
yang ingin disampaikannya kepada pembaca.56
B. Hakikat Humor
1. Pengertian Humor
Flugel dalam James Danandjaja menjelaskan humor berasal dari
istilah Inggris yaitu humor, yang pada mulanya mempunyai beberapa
arti. Namun semua berasal dari istilah yang berarti cairan. Arti ini
berasal dari doktrin ilmu faal kuno mengenai empat macam cairan,
seperti darah, lendir, cairan empedu kuning, dan cairan empedu hitam.
Keempat cairan tersebut untuk beberapa abad dianggap menentukan
temperamen seseorang.57
Sejalan dengan Danandjaja, Mahmud dalam Humor di dalam
Sastra Klasik Sulawesi Selatan menyebutkan bahwa jika dilacak asal
usulnya, humor berasal dari kata latin umor yang berarti cairan. Sejak
tahun 400 SM Yunani kuno beranggapan bahwa suasana hati manusia,
dalam arti keseimbangan temperamen manusia, ditentukan oleh empat
macam cairan dalam tubuh, yakni darah (sanguis), dahak (phlegm),
empedu kuning (choter), dan empedu hitam (melancholy).58
Calley menyebutkan perkembangan humor di Inggris sudah
terlembaga sejak abad ke-16. Pada masa tersebut, terdapat penulis dan
56 Nurgiyantoro, op. cit.,h. 429-43 57
James Danandjaja, Humor Mahasiswa, (Jakarta: Pusataka Sinar Harapan, 2002), h. 14. 58
Mahmud, dkk., Humor di dalam Sastra Klasik Sulawesi Selatan, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, 1994), h. 2
23
pemain teater humor yang sering disebut pemain komedi. Komedian
yang terkenal yaitu Ben Johnson, yang satu karyanya berjudul Man
Out of His Humor.59
Sedangkan di Indonesia, Widjaja menyebutkan secara informal,
humor juga sudah menjadi bagian dari kesenian rakyat, seperti ludruk,
ketoprak, lenong, wayang kulit, wayang golek, dan sebagainya. Unsur
humor di dalam kelompok kesenian menjadi unsur penunjang, bahkan
menjadi unsur penentu daya tarik. Humor yang dalam istilah lainnya
sering disebut dengan lawak, banyolan, dagelan, dan sebagainya,
menjadi lebih terlembaga setelah Indonesia merdeka, seperti
munculnya grup-grup lawak Atmonadi Cs, Kwartet Jaya, Loka Ria,
Srimulat, Surya Grup, dan lain-lain. Kusmartiny dalam Rahmandji
menjelaskan perkembangan lain terjadi pada media massa cetak, baik
majalah maupun surat kabar. Tahun 60-an terbit beberapa majalah
humor, namun tidak bertahan lama.60
Goldstein dan McGhee dalam Bakhrum Yunus, dkk, menjelaskan
humor agaknya lebih dulu muncul dalam sejarah peradaban manusia
sebelum munculnya gejala-gejala kejiwaan yang lebih rumit dan
kompleks. Semua masyarakat tampaknya memanfaatkan humor untuk
berbagai macam tujuan, baik implisit maupun eksplisit.61
Humor tidak lagi menjadi media hiburan melainkan menjadi sarana
komunikasi seperti menyatakan hal-hal yang sulit dijelaskan secara
formal. Adapun humor adalah kejenakaan yang menimbulkan kesenangan;
kecakapan melihat, memakai, atau mengutarakan sesuatu yang
menyenangkan, yang menimbulkan tertawa; terjadi terutama dari
pengenalan dan pengutaraan keanehan, kemustahilan dalam suasana atau
lakuan tertentu; tidak selamanya menimbulkan gelak meskipun selalu
59
Didiek Rahmanadji, “Sejarah, Teori, dan Fungsi Humor.” Seni dan Desain Fakultas Sastra
Universitas Negeri Malang, No. 2, 2007, h. 215 60
Rahmanadji, op.cit., h. 216 61
Bakhrum Yunus, dkk., Jenis dan Fungsi Humor dalam Masyarakat Aceh, (Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1997), h. 1.
24
mampu mengatakan apa yang menyenangkan atau menggelikan.
Poerwadarminta dalam Yunus menambahkan bahwa humor merupakan
kemampuan “merasai” sesuatu yang lucu atau yang menyenangkan, selain
itu humor juga dapat diartikan sebagai keadaan dalam cerita yang
menggelikan hati.62
Wijana dalam Chaer menjelaskan bahwa humor adalah rangsangan
verbal atau visual yang secara spontan dimaksudkan dapat memancing
senyum dan tawa pendengar atau orang yang melihatnya.63
Encyclopaedia
Britanica Inc 5 dalam Sari Endahwarni, humor adalah segala bentuk
rangsangan yang cenderung secara spontan menimbulkan senyum dan
tawa para pendengar atau pembacanya.64
Rangsangan-rangsangan itu adalah segala bentuk tingkah laku
manusia, baik verbal maupun non-verbal, yang dapat menimbulkan rasa
gembira, geli, lucu, di pihak pendengar, penonton, dan pembaca lewat
pendengaran atau penglihatan.Tingkah laku manusia yang verbal berwujud
kata-kata, bentuk kebahasaan yang secara sengaja dikreasikan sedemikian
rupa oleh penuturnya sehingga menimbulkan kelucuan. Tingkah laku
manusia non-verbal merupakan tingkah laku fisik. Humor bukan sekedar
lelucon, dagelan, atau tertawa-tawa belaka. Humor memiliki nilai makna
jauh lebih luas dan lebih berbobot daripada itu. Humor adalah kemampuan
untuk merasakan, menilai, menyadari, mengerti, dan mengungkapkan
sesuatu yang lucu, ganjil, jenaka, atau menggelikan. Ungkapan tersebut
dapat berupa ucapan, tulisan (verbal), atau gerakan (nonverbal).65
Dapat disimpulkan bahwa humor itu identik dengan segala sesuatu
yang menimbulkan kelucuan dan membuat orang tertawa. Meskipun
humor terdapat dalam semua masyarakat di dunia ini, penerimaan humor
62
Anis, Muhammad Yunus. “Humor dan Komedi dalam Sebuah Kilas Balik Sejarah Sastra Arab.”
Jurnal CMES. Volume VI. Nomor 2, 2013. h. 200 63
Abdul Chaer, Ketawa Ketiwi Betawi, (Jakarta: Masup Jakarta, 2007), h. V. 64
Sari Endahwarni, Kosa Kata dan Ungkapan Humor Srimulat, (Depok: Fakultas Sastra
Universitas Indonesia, 1994), h. 18. 65
Endahwarni, op. cit., h. 18-19.
25
dalam masing-masing masyarakat tidaklah sama. Ada masyarakat yang
amat terbuka kepada semua jenis humor dan ada pula yang masyrakat
yang bersifat selektif atau bahkan membatasi humor.
Gauter dalam Rahmanadji menyatakan humor dapat juga memberikan
suatu wawasan yang arif sambil tampil menghibur. Humor dapat pula
menyampaikan siratan menyindir atau suatu kritikan yang bernuansa tawa.
Humor juga dapat sebagai sarana persuasi untuk mempermudah masuknya
informasi atau pesan yang ingin disampaikan sebagai sesuatu yang serius
dan formal66
2. Fungsi Humor
Fungsi humor memang sebagai penghibur, tetapi tidak berarti
harus dikesampingkan. Hiburan merupakan kebutuhan mutlak bagi
manusia untuk ketahanan diri dalam proses pertahanan hidupnya,
humor sebenarnya dapat memberikan lebih layak daripada sekedar
hiburan. Sebuah bentuk hiburan, humor dapat juga memberikan suatu
wawasan yang arif dalam bentuk ungkapan, sambil tampil menghibur.
Suatu karya humor dapat menyampaikan pula siratan menyindir, kritik
sosial berlapis tawa, sebagai sarana persuasi, untuk mempermudah
masuknya informasi atau pesan yang ingin disampaikan sebagai
sesuatu yang serius.67
Fungsi humor pada umumnya, baik yang bersifat seks maupun
protes sosial, utamanya berfungsi sebagai penglipur hati pendengarnya
atau penceritanya yang sedang lara. Hal ini disebabkan karena humor
dapat menyalurkan ketegangan batin mengenai ketimpangan norma-
norma masyarakat.68
Tawa atau gelak yang terjadi karena mendengar, membaca atau
menyaksikan humor dapat memelihara keseimbangan jiwa dan
66
Didiek Rahmanadji, “Sejarah, Teori, dan Fungsi Humor.” Seni dan Desain Fakultas Sastra
Universitas Negeri Malang, No. 2, 2007, h. 213-214 67
Mahmud, op. cit., h. 3. 68
Danandjaja, op. cit., h. 29-30.
26
kesatuan sosial dalam menghadapi keadaan yang tidak tersangka-
sangka atau perpecahan dalam masyarakat.69
Bliss dalam James
Danandjaja menjelaskan tawa akibat mendengar humor dapat
memelihara keseimbangan jiwa dan kesatuan sosial dalam menghadapi
keadaan yang bertentangan (incongruous), keadaan yang tak
tersangka-sangka, atau percakapan masyarakat.70
Raskin menjelaskan suatu tindakan lucu (humor act) ditunjang oleh
enam faktor. Pertama, dalam suatu tindakan lucu harus ada partisipan
(peserta). Dalam tindakan lucu yang verbal harus ada penutur
(speaker) dan satu atau lebih dari satu pendengar (hearer). Penutur
dalam tindakan lucu verbal ini dapat juga digantikan oleh penulis,
penyiar radio/televisi, atau sesuatu yang dapat menggantikan penutur.
Pendengar juga dapat digantikan oleh pembaca, pendengar radio, atau
pemirsa televisi dan lain-lainnya. Dalam hal ini yang disebut sebagai
partisipan adalah manusia yang terlibat dalam tindakan lucu. Mungkin
saja partisipan menemukan sesuatu atau mendapat rangsangan lucu
dari keadaan sekelilingnya yang bukan manusia (non-human),
meskipun ada beberapa penulis humor yang menganggap itu tidak
mungkin, karena hanya manusia saja yang dapat melucu.71
Dari definisi di atas, penulis menyimpulkan bahwa humor adalah
suatu rangsangan yang diawali atau dibangkitkan oleh verbal maupun
non-verbal, visual maupun audio-visual yang secara sengaja diujarkan
(dalam bentuk bahasa lisan atau tulisan), untuk membuat orang
menjadi tersenyum atau tertawa. Humor sudah banyak ditampilkan
oleh berbagai kalangan—menjadi konsumsi publik sebagai ajang
melucu dan kritik sosial.
69
Ibid. 70
Danandjaja. loc. cit. 71
Endahwarni, op. cit., h. 20
27
3. Teori Humor
Ada tiga macam teori tentang humor, yakni teori psikologi, teori
antropologi, dan teori kebahasaan.
a) Teori Psikologi
1) Teori Evolusi
Teori ini dikemukakan oleh McDogall (1922), Menon
(1931), dan Dearborn (1900). Goldstein dan McGhee
menjelaskan teori berpendapat bahwa potensi tertawa dan
melucu merupakan bawaan (bult – in) dalam sistem mekanisme
syaraf dan mempunyai fungsi adaptif (menyesuaikan diri dan
menjaga keseimbangan). Humor dianggap telah muncul sejak
awal kehidupan manusia, sebelum proses kognitif yang
kompleks terbentuk. Humor merupakan fenomena universal
yang mempunyai manfaat. Humor dianggap baik dan berguna
untuk tubuh karena humor dapat menjaga keseimbangan,
menstabilkan tekanan darah, memudahkan pencernaan,
melonggarkam sistem syaraf dan menciptakan perasaan sehat.
2) Teori Superioritas
Menurut teori ini asal atau sumber humor adalah
“kelebihan” atau “keunggulan” atas orang atau pihak lain.
Kegembiraan akan timbul bila seseorang membandingkan
dirinya dengan orang lain yang lebih tidak menguntungkan
posisinya. Adanya sindiran, hinaan, atau tertawaan terhadap
tindakan yang bodoh atau memalukan diri orang lain
merupakan hal yang bersifat sentral dalam teori ini.
3) Teori Inkongruitas
Humor terjadi bila ada “pertemuan” antara ide-ide atau
situasi yang bertentangan atau bertolak belakang sehingga
terjadi penyimpangan dari ketentuan-ketentuan yang lazim.
Menurut Spencer, humor akan terjadi bila ada peningkatan
28
inkongruitas; bila sebaliknya yang terjadi, yang akan muncul
bukan humor, melainkan rasa heran.
4) Teori Kejutan (Surprise Theory)
Teori ini beranggapan bahwa “kejutan”, “pendadakan”,
atau “ketiba-tibaan” merupakan kondisi yang dapat
menimbulkan humor. Ada sedikit persamaan antara teori
inkongruitas dan teori kejutan. Keduanya mengandung
penyimpangan dari hal-hal yang rutin yang terjadi secara tiba-
tiba.
5) Teori Ambivalensi
Teori ambivalensi menekankan adanya perasaan atau emosi
yang berbeda atau bertolak belakang. Bila timbul emosi atau
perasaan yang bertentangan (misalnya dengan perasaan
pertama), situasi ini potensial untuk melahirkan humor.
6) Teori Kelepasan (Release) dan Keringanan (Relief)
Fungsi humor, menurut teori ini, membebaskan orang dari
keterkungkungan dan dari perasaan yang tidak enak atau
penderitaan; atau, dengan kata lain, melepaskan manusia dari
“tekanan” yang berlebihan.
7) Teori Konfigurasi
Jika dibandingkan dengan teori inkongruitas, teori ini
mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaannya ialah
teori inkongruitas dan teori konfigurasi menekankan aspek-
aspek kognitif dan perseptual humor. Perbedaannya, pada teori
inkongruitas adanya ketidakterkaitan (disjointedness)
merupakan sumber humor, sedangkan pada teori konfigurasi
adanya keterkaitan (falling into place) sebagai penyebab
humor. Menurut teori ini, adanya peningkatan pemahaman
terhadap situasi yang ada akan memunculkan apresisi secara
tiba-tiba. Ketika disajikan, materi (bahan) tersusun dalam satu
cara, tetapi kemudian tampak tersusun dalam cara lain.
29
8) Teori Psikoanalisis
Teori ini dikemukakan oleh Sigmund Freud. Menurut
Freud, hal-hal yang menyenangkan cenderung untuk menjurus
kepada pelepasan energi kejiwaan. Bila energi terbentuk,
misalnya karena pikiran diarahkan ke objek tertentu, tetapi
energi tersebut tak dapat dimanfaatkan, maka energi tersebut
mungkin dapat dilepaskan melalui humor.
Freud membedakan komik, humor, dan wit, berdasarkan
motivasi yang melahirkan. Komik merupakan lelucon tanpa
motivasi karena kelucuan didapatkan dari teknik melucu saja.
Humor dan wit digolongkan ke dalam lelucon yang
bermotivasi, misalnya motivasi untuk menggoda atau
menertawakan orang. Humor lebih sederhana dan lebih mudah
ditangkap, sedangkan wit merupakan humor yang
membutuhkan daya intelektual.
b) Teori Antropologi
Humor pada umumnya terjadi di antara sekelompok
manusia, setidak-tidaknya di antara dua orang insan. Humoris
dan pendengar humor haruslah berada dalam situasi atau ikatan
tertentu agar humor itu dapat terjadi.
c) Teori Kebahasaan
Victor Raskin menulis sebuah artikel berjudul “Jokes”
dalam majalah Phsychology Today telah mengemukakan
sebuah teori humor yang berdasarkan linguistik (ilmu
kebahasaan). Teori tersebut bernama Script-based semantic
throry (teori semantik berdasarkan skenario). Berdasarkan teori
ini, tingkah laku manusia ataupun kehidupan pribadinya telah
terpapar dan terekam dalam sebuah “peta semantis”,
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada peta tersebut
30
akan merusak keseimbangan dan akan menimbulkan
kelucuan.72
4. Klasifikasi Humor
a. Klasifikasi Freud
Freud dalam Endahwarni membagi tindakan lucu
berdasarkan dua kriteria yaitu motivasi dan topik. Berdasarkan
motivasinya, Freud membagi lagi tindakan lucu menjadi tiga
macam, yakni, (a) comic, (b) humor, (c) wit. Berdasarkan
topiknya, tindakan lucu juga dibagi tiga, yakni, (a) sexual, (b)
ethnic, dan (c) political.73
Comic adalah tindakan lucu yang umumnya tidak
mengandung motivasi untuk mengolok-olok, mengejek, atau
menyinggung perasaan. Kelucuannya hanya diperoleh melalui
teknik melucu saja, seperti permainan kata yang berupa teka-teki.74
Humor adalah tindakan lucu yang memakai motivasi, karena
humor dipakai sebagai pelepasan emosi.75
Wit adalah tindakan lucu
yang memiliki motivasi tetapi wit umumnya mengandung sifat
yang lebih intelek dan dengan demikian membutuhkan kecerdasan
serta ketangkasan berpikir cepat dari mereka yang mendengar atau
membacanya. Kegagalan menangkap maksud yang terselip dalam
wit ini akan mengakibatkan tindakan lucu ini tidak terungkap
kelucuannya.76
Berdasarkan topiknya, humor terdiri dari seks, etnik, dan
politik. Humor seks yaitu yang topiknya menyangkut seks dengan
segala perilaku orang-orang yang terlibat di dalamnya. Humor
etnik yaitu humor yang topiknya adalah suku bangsa, bangsa atau
72
Yunus, op. cit., h. 6-11 73
Sigmund Freud, “Humour”, International Journal of Psychoanalysis, Vol.9, 1928, h. 1-6 74
Endahwarni, op. cit., h. 24 75
Ibid., 76
Ibid., h. 25
31
tokoh tertentu dari suatu bangsa. Humor politik yaitu humor yang
topiknya mengenai topik politik, tokoh pemerintahan atau
kehidupan masyarkat di bawah pemerintahan atau rezim.77
b. Klasikasi Raskin
Raskin membagi tindakan lucu berdasarkan motivasi dan
teknik. Seperti dinyatakan sebelumnya, berdasarkan motivasi
Freud membagi tindakan lucu menjadi tiga, yakni, comic, humor,
dan, wit. Raskin yang juga memakai istilah motivasi, membagi
tindakan lucu menjadi dua, yakni, unintended humor dan intended
humor. Sedangkan humor berdasarkan teknik terdiri dari ridicule,
riddle, conundrum atau punning riddle, pun, dan suppression atau
repression humor.
Untintended humor adalah humor yang natural, spontan,
dan yang dirasakan. Humor ini terjadi apabila seseorang
melakukan suatu tindakan verbal maupun non-verbal yang
kemudian dirasakan oleh yang mendengar ataupun yang
mengamati sebagai suatu tindakan lucu, biasanya tanpa diduga
oleh pelaku atau pembicara bahwa tindakan itu lucu; jadi
pembicara tidak mempunyai maksud untuk melucu.78
Sedangkan,
intended humor adalah tindakan lucu yang terjadi karena pelaku
atau pembicara memang bermaksud melucu dan berupaya untuk
melucu; jadi tindakan lucu ini memang sengaja diciptakan.
Tindakan lucu yang sengaja diciptakan ini bertujuan untuk
mengejek, mencemoohkan, dan menertawakan.79
Ridicule adalah humor yang berisi ejekan, tertawaan,
cemoohan dan sebagainya. Ridicule dibagi menjadi dua yaitu non-
verbal dan verbal. Riddle adalah teknik humor yang berisi teka-teki
77
Yuyun Yuniarsih, “Unsur Humor dalam Buku „Ibtasim Karya „Aidh Al-Qarni”, Skripsi pada
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Program Studi Arab. Depok, 2011. h. 19 78
Endahwarni, op. cit., h. 30-31 79
Ibid.,
32
dengan jawaban yang tidak diharapkan, sehingga menimbulkan
kelucuan. Conundrum atau punning riddle adalah teka-teki yang
bersifat permainan kata. Pun adalah permainan kata-kata yang
murni, bukan berupa teka-teki yang ada pada beberapa
kebudayaan. Suppression atau repression humor adalah suatu
tindakan lucu yang timbul karena ada penekanan dan penindasan.80
c. Klasifikasi Brunvand
Brunvand membagi tindakan lucu berdasarkan topiknya
yang terdiri dari tiga bagian yakni (a) jokes about sex (humor seks),
(b) jokes about nationalities (humor suku bangsa) dan (c) jokes
about religions (humor agama).81
5. Penyajian Humor
a. Humor dapat disajikan dalam bentuk gerak-gerik saja seperti yang
dilakukan pelawak Charlie Chaplin dan Mr. Bean; serta para badut
lainnya. Hanya para badut biasanya dilengkapi dengan kostum
tertentu.
b. Humor yang disajikan dalam bentuk gambar, baik dilengkapi
dengan teks dialog maupun tidak. Humor dalam bentuk gambar
saja tanpa teks dialog ditemukan dimuat di koran Media Indonesia
sewaktu masyarakat demam sepak bola dunia Juni-Juli 2006.
Penyajian humor dalam bentuk gambar dan teks dialog atau
komentar verbal dapat kita jumpai dalam berbagai surat kabar dan
majalah. Seperti Kompas Minggu, Media Indonesia, Poskota,
Harian Terbit, dan lain-lain.
c. Humor yang disajikan dengan gerak-gerik dan dialog; kiranya
dilengkapi pula dengan kostum yang aneh-aneh. Model ini lazim
80
Ibid., 31-33 81
Endahwarni, Op., cit., h. 23-34.
33
dilakukan oleh para pelawak di atas panggung, maupun melalui
layar televisi.
d. Humor yang disajikan dalam bentuk narasi dan cerita, baik
dilengkapi dengan dialog maupun tidak. Di dalam buku ini, model
humor inilah yang banyak ditemui.
e. Humor yang disajikan dalam bentuk dialog singkat atau tanya-
jawab singkat.
f. Humor yang disajikan dalam bentuk drama komedi. Model ini
banyak disajikan oleh stasiun televisi yang ada di Jakarta, seperti
komedi Bajaj Bajuri.
g. Humor yang disajikan dalam bentuk grafiti, yaitu coret-coret di
dinding atau tempat lain. Model ini mencoba mengotak-atik huruf
sedemikian rupa sehingga mengundang senyum.82
Berdasarkan tiga jenis klasifikasi humor yang telah dikemukan di
atas yakni klasifikasi Freud, Raskin dan Brunvand. Ketiga klasifikasi
tesebut memiliki persamaan dan perbedaannya. Pada klasifikasi Freud,
humor dibagi berdasarkan motivasi dan topik. Sedangkan pada klasifikasi
Raskin, humor dibagi berdasarkan motivasi dan teknik. Dari sini dapat
terlihat persamaan antara klasifikasi Freud dan Raskin yakni sama-sama
membagi humor berdasarkan motivasi pelakunya (pembicara atau penulis
humor). Selain pembagiannya berdasarkan motivasi, Freud membagi
humor berdasarkan topik, sedangkan Raskin berdasarkan teknik dan inilah
yang menjadi perbedaannya. Selain klasifikasi Freud dan Raskin, ada juga
klasifikasi Brunvand yang membagi humor berdasarkan topiknya. Dalam
hal ini, ada persamaannya dengan klasifikasi Freud yang juga membagi
humor berdasarkan topiknya. Perbedaannya adalah pada klasifikasi Freud
membagi tiga topik yaitu tentang seks, etnik, dan politik. Sedangkan
Brunvand membagi topik menjadi seks, suku bangsa/etnik dan agama.
82
Chaer, op.cit., h. xviii-xx.
34
Demikian klasifikasi humor di atas yang akan penulis gunakan
sebagai analisis di BAB IV pembahasan mengenai jenis-jenis humor
dalam kumpulan cerpen Senja dan Cinta yang Berdarah karya SGA.
Dalam penelitian ini untuk mempermudah menganalisis, penulis akan
membagi klasifikasi humor berdasarkan bentuk humornya (motivasi),
tekniknya dan topik humornya yang dirangkum dari klasifikasi Freud,
Raskin dan Brunvand menjadi sebuah sistem klasifikasi acuan yang akan
penulis gunakan sebagai acuan model menganalisis data serta disesuaikan
dengan isi cerpen sebagai data atau objek kajiannya. Dalam penyajian
struktur pada analisisnya akan dibagi ke dalam 3 (tiga) bagian yakni jenis
ujaran humor berdasarkan tokoh utama, tokoh tambahan dan
penggambaran latar, yang kemudian di dalamnya dibahas motivasi, teknik
dan topik humor.
C. Pembelajaran Sastra
Pembelajaran sastra yang dilakukan di sekolah memberikan
kesempatan kepada siswa untuk berpikir kritis, analitis dan pemecahan
masalah. Model pembelajaran, pendekatan, strategi dan sarana terbaik
yang diberikan kepada siswa, tentu akan semakin menujang siswa untuk
fokus tentang apa yang sedang dipelajari. Siswa bisa mendapatkan
pelajaran yang bisa diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Sastra mampu membuat peserta didik berpikir kritis dan memiliki
kepekaan terhadap gejala sosial.
Manfaat dalam pengajaran sastra salah satunya yaitu membantu
keterampilan berbahasa. Terdapat keterampilan dalam berbahasa, di
antaranya menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Dengan
pengajaran sastra dalam kurikulum berarti akan membantu siswa berlatih
keterampilan membaca, menyimak, berbicara, dan menulis yang masing-
masing memiliki kaitan yang erat. Siswa berlatih keterampilan menyimak
dengan mendengarkan suatu karya sastra yang dibacakan oleh guru atau
35
teman di kelas. Siswa juga dapat berlatih berbicara dengan ikut berperan
dalam suatu drama. Siswa dapat meningkatkan keterampilan membaca
dengan membacakan puisi atau prosa. Kemudian, siswa juga dapat
mendiskusikannya dengan mencatat hasil diskusi tersebut sebagai latihan
keterampilan menulis dalam pembelajaran sastra.83
Apabila kita dapat merangsang siswa untuk memahami fakta-fakta
dalam karya sastra, lama-kelamaan siswa itu akan sampai pada realisasi
bahwa fakta-fakta itu sendiri tidak lebih penting dibanding dengan
keterkaitannya satu-sama-lain sehingga dapat saling menopang dan
memperjelas apa yang ingin disampaikan lewat karya sastra.84
Pembelajaran sastra tentu akan menarik jika menggunakan strategi
pembelajaran yang tepat. Sastra mampu membuat peserta didik mengolah
masalah-masalah dalam sebuah teks sehingga didapatkan nilai-nilai moral
yang tentu saja relevan dengan kehidupan bermasyarakat.
Sapardi D. Damono menyarankan agar apresiasi sastra dimulai dari
membaca karya sastra. Apresiasi berarti penghargaan berdasarkan
penghayatan; tersirat makna hubungan langsung antara pembaca dan karya
sastra sebab apresiasi tidak tercapai tanpa hubungan seperti itu. Semua itu
dapat terwujud jika guru mampu memberikan dorongan kepada siswa
untuk mau mengenal sastra. Memberikan pengertian bahwa sastra sebagai
hal menyenangkan, bukan suatu yang pelik.85
Setiap guru hendaknya selalu menyadari bahwa setiap siswa adalah
seorang individu dengan kepribadiannya yang khas, kemampuan, masalah
dan kadar perkembangannya masing-masing yangkhusus. Oleh karena itu
penting sekali kiranya memandang pengajaran sebagai proses
pengembangan individu secara keseluruhan.86
83
B. Rahmanto. Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 17.
84Ibid.,
85Sapardi Djoko Damono, “Sastra di Sekolah”, Susastra 5 Jurnal Ilmu Sastra dan Budaya, Vol.3,
No.5, 2007, h.7-5 86
Rahmanto, Ibid., h. 19
36
Secara terinci tujuan pengajaran sastra terbagi menjadi dua bagian
yaitu jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan jangka pendek yaitu agar
siswa mengenal cipta sastra dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
terkait dengannya serta mampu memberi tanggapan, menanyakan,
menyelesaikan tugas, mengunjungi kegiatan sastra, dan menyatakan
ketertarikan dengan memilih kegiatan sastra di antara kegiatan lain yang
disediakan. Sedangkan untuk tujuan jangka panjang yaitu terbentuknya
sikap positif terhadap sastra dengan ciri siswa mempunyai apresiasi tinggi
dan menerapkannya dalam fase kehidupannya.87
Jadi, kesimpulannya bahwa karya sastra selain dapat memberikan
wawasan dan kelimuan kepada para peserta didik, pembelajaran sastra
juga mampu menanamkan nilai-nilai karakter yang baik melalui teks-teks
sastra. Selain itu, peserta didik akan terlatih untuk bersikap kritis dan
kemampuan merasa terhadap teks sastra yang dibacanya—harapannya
sikap kritis dan responsif ini juga berlaku di kehidupan sehari-hari saat
para peserta didik menangkap gejala-gejala sosial dalam aktivitas
kesehariannya.
D. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang pertama, yakni penelitian berjudul Konflik Sosial
dalam Kumpulan Cerpen Senja dan Cinta yang Berdarah Karya Seno
Gumira Ajidarma Periode 2002-2013. Penelitian ini disusun oleh Lia
Novita Sari pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah
Malang. Penelitian ini mengangkat persoalan konflik sosial pada cerpen
Senja dan Cinta yang Berdarah karya Seno Gumira Ajidarma
menggunakan pendekatan Sosiologi Sastra. Data yang didapatkan berupa
gambaran konflik sosial pada cerpen periode 2002-2013. Hasil penelitian
87
Esti Ismawati, Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Ombak, 2013), h. 30.
37
ini berupa bentuk-bentuk konflik sosial antarpribadi, antar kelompok, dan
antarkelas sosial.88
Penelitian yang kedua, yakni penelitian yang berjudul Kritik
Adjidarma dalam empat cerpen: Tentang Gender dan Keliyanan.
Penelitian ini disusun oleh Resti Nurfaidah, Balai Bahasa Jawa Barat.
Penelitian ini membahas tentang kritik sosial Seno Gumira Ajidarma pada
empat cerpen yaitu “Pelajaran Mengarang”, “Sepotong Senja untuk
Pacarku”, “Telinga”, dan “Maria” yang berfokus pada konsep konflik
gender dan keliyanan. Berlandaskan pada konsep gender Holmes dan
keliyanan Callavaro, hasil penelitian ini berupa konflik gender tertuju pada
inferioritas dan superioritas.89
Penelitian yang ketiga, yakni penelitian yang telah dilakukan oleh Sari
Endahwarni dalam tesisnya yang telah diterbitkan oleh Fakultas Sasrtra
Universitas Indonesi yang berjudul Kosa Kata Ungkapan Humor Srimulat.
Tesis yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku ini pun menjadi referensi
penulis selama menyusun tugas akhir ini—sebagai suatu referensi
terutama di bagian landasan teori. Endahwarni menulis penelitian ini
menggunakan jenis-jenis humor berdasarkan klasifikasi Freud dan Raskin
dalam menganalisis dialog-dialog humor Srimulat.90
Penelitian yang keempat, yakni penelitian yang berjudul Unsur Humor
dalam Buku ‘Ibtasim Karya Aidh Al-Qarni. Penelitian ini disusun oleh
Yuyun Yuningsih, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Sama
halnya dengan Endahwarni, penelitian yang dilakukan oleh Yuyun
menggunakan klasifikasi Freud, Raskin dan Brunvand (Endahwarni tidak
menggunakan ini). Penelitian ini mengkaji humor yang terdapat dalam
88
Lia Novita Sari, “Konflik Sosial dalam Kumpulan Cerpen Senja dan Cinta yang Berdarah Karya
Seno Gumira Ajidarma Periode 2002-2013”, Skripsi pada Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah
Malang, 2015. 89
Resti Nurfaidah, “Kritik Adjidarma dalam Empat Cerpen: Tentang Gender dan Keliyanan.”
Jurnal Suar Betang. Volume 12. Nomor 2, 2017. 90
Sari Endahwarni, Kosa Kata dan Ungkapan Humor Srimulat, (Depok: Fakultas Sastra
Universitas Indonesia, 1994).
38
buku Ibtasim ‘Karya Aidh Al-Qarni menggunakan analisis klasifikasi
Freud, raskin dan Brunvand serta penyebab terjadinya humor.91
Berdasarkan pemaparan tersebut, penulis tidak menemukan penelitian
yang khusus menganalisis Humor dalam Kumpulan Cerpen Senja dan
Cinta yang Berdarah karya Seno Gumira Ajidarma . Maka dari itu,
penulis akan mendeskripsikan unsur-unsur humor berdasarkan motivasi,
teknik dan topik yang terdapat dalam kumpulan cerpen tersebut. Peneliti
juga menganalisis unsur-unsur intrinsik yang terkandung dalam kumpulan
cerpen tersebut. Penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif
kualitatif.
91
Yuyun Yuniarsih, “Unsur Humor dalam Buku „Ibtasim Karya „Aidh Al-Qarni”, Skripsi pada
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Program Studi Arab. Depok, 2011. h. 19
39
BAB III
BIOGRAFI PENGARANG DAN PANDANGAN HIDUP
A. Biografi Pengarang
Seno Gumira Ajidarma (SGA) dilahirkan di Boston, Amerika
Serikat, pada tanggal 19 Juni 1958. Ia menulis sejak duduk di bangku
SMA tahun 1974. Tulisan pertamanya berupa puisi yang dimuat pada
majalah Aktuil asuhan Remi Sylado. Ia juga mengirimkan puisinya ke
majalah Horison dan dimuat. Cerpennya yang pertama berjudul “Sketsa
dalam Satu Hari” dimuat di surat kabar Berita Nasional. Seno
menyelesaikan studi sarjananya di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) jurusan
Film.92
Dengan menggunakan nama Mira Sato ia sempat menerbitkan
kumpulan puisi Granat dan Dinamit (1975, bersama Ajie Sudarmadji
Mukhsin), Mati Mati Mati (1975), Bayi Mati (1978), Catatan-catatan
Mira Sato (1978).93
Seno Gumira Ajidarma yang selanjutnya dalam
penelitian ini disebut SGA, dibesarkan di Yogyakarta, dan memulai
kegiatan berkeseniannya saat berusia 17 tahun dengan bergabung bersama
Teater Alam pimpinan Azwar A.N. Sejak itu, ia terlibat serius di dunia
kesenian, khususnya kesusastraan dengan menghasilkan karya tulis dalam
bentuk puisi, cerita pendek, dan esai. Tahun 1977, SGA hijrah ke Jakarta
dan kuliah di Departemen Sinematografi Lembaga Kesenian Jakarta (kini
Institut Kesenian Jakarta).94
Sambil kuliah, SGA juga bekerja sebagai wartawan lepas beberapa
surat kabar ibukota, antara lain, harian Merdeka. Selanjutnya, SGA juga
menerbitkan majalah kampus Cikini, majalah film Sinema Indonesia
(1980), dan mingguan Zaman (1983—1984). Ia pun pernah menjabat
92
Ricky A. Manik, “Pengaruh Karya Seno Gumira Ajidarma pada Cerpen Agus Noor”, Mlangun
Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan, Vol. 12, 2016, h. 523 93
Korrie Layun Rampan,. Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Jakarta: PT Grasindo, 2000, h.
611 94
Ensiklopedia Sastra Indonesia (Jilid 3 R-Z)
40
sebagai redaktur pelaksana majalah Jakarta (1985—1992). SGA
melanjutkan studi S2 di program pascasarjana, Fakultas Ilmu Budaya, UI
dengan Jurusan Filsafat dan selesai pada tahun 2002. Kemudian, ia
melanjutkan studi doktornya di FIB-UI hingga lulus dengan
mempertahankan disertasinya tentang komik Indonesia (2006).95
Kumpulan sajaknya: Granat dan Dinamit (bersama Ajie Sudarmaji
Muksin, 1975) , Mati Mati Mati (1975), Bayi Mati (1978), dan Catatan-
Catatan Mira Sato (1978). Kumpulan cerpennya Manusia Kamar (1987),
Penembak Misterius (1993), Saksi Mta (1994), Dilarang Menyanyi di
Kamar Mandi (1995), Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (1996), Negeri
Kabut (1996), Iblis Tidak Pernah Mati (1999), dan Atas Nama Cinta
(1999), Dunia Sukab (2001). Bukunya yang lain: Jazz, Parfum, dan
Insiden (novel, 1996), Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara
(esai, 1997), dan Wisanggeni Sang Buronan (2000).
Kumpulan cerita pendek Saksi Mata (1995) memperoleh
penghargaan penulisan karya Sastra dari Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa. Tahun 1997, SGA menerima Hadiah Sastra
ASEAN (South East Asia Write Award) untuk kumpulan cerpennya
Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi. Cerpennya yang berjudul Pelajaran
Mengarang terpilih sebagai cerpen terbaik dari seluruh cerpen yang dipilih
Kompas pada tahun 1993. Cerpen ini mendapat perhatian banyak
pengamat sastra. Cerpen-cerpennya yang lain menjadi langganan terpilih
sebagai cerpen pilihan Kompas.96
Atas prestasinya di bidang penulisan cerita pendek, SGA mendapat
penghargaan dari Radio Arif Rahman Hakim (ARH) untuk cerpennya
Kejadian (1977), dari majalah Zaman untuk cerpennya Dunia Gorda
(1980) dan Cermin (1980, dari harian Kompas untuk cerpennya Midnight
Express (1990) dan Pelajaran Mengarang (1993), dan dari harian Sinar
Harapan untuk cerpennya Segitiga Emas (1991). Novel Seno yang
95
Manik. loc. cit. 96
Ensiklopedia Sastra Indonesia (Jilid 3 R-Z)
41
berjudul Negeri Senja (2003) berhasil mendapatkan Khatulistiwa Literary
Award (2004), dan satu tahun kemudian SGA juga mengulang sukses
yang sama lewat novelnya Kitab Omong Kosong (2004) mendapatkan
hadiah Khatulistiwa (2005).97
Kiprahnya di dunia literasi, membawa SGA mendapatkan beberapa
banyak penghargaan, seperti cerpen berjudul “Saksi Mata” mendapat
penghargaan Dimny O'Hearn Prize for Translation, di Australia, tahun
1977. Cerpen berjudul “Midnight Express” dan “Pelajaran Mengarang”
mendapat penghargaan dari Harian Kompas, pada tahun 1990 dan 1993.
Selain itu, SGA mendapat penghargaan atas cerpennya berjudul “Saksi
Mata” sebagai Penulisan Kreatif dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, di Jakarta, tahun 1995.
Kumpulan cerpennya “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi” mendapat
penghargaan South East Asia Write Award,di Bangkok, Thailand, tahun
1997, hingga memperoleh penghargaan dari Chatulistiwa Literary Award
tahun 2005 dan lain-lain.98
B. Pandangan Hidup
SGA dikenal sebagai seorang tokoh masyarakat yang multitalenta:
seniman, budayawan, sastrawan, akademisi, dan lain-lain. Karya-karyanya
selalu berkualitas prima dengan tingkat kedalaman aspek intrinsik yang
luar biasa. Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kritik
pada pemerintahan masa itu (Orde Baru) selalu muncul dalam karya SGA.
Namun, kritik tersebut tersembunyi di balik kepiawaiannya dalam
mengolah dan merangkaikan kata menjadi cerita atau karya lain yang
berkualitas prima.99
97
Manik, op. cit., h. 524 98
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia, Kategori Pengarang, , 2018, h. 20.
(http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Seno_Gumira_Ajidarma) 99
Manik, loc. cit
42
Karya-karya Seno meliputi laporan jurnalistik, cerpen, kritik, film,
puisi dan novel. Tema dan gaya karya-karyanya beragam dan kompleks,
kerap menggabungkan genre-genre yang secara tradisional terpisah.
Seperti yang ditulis Pam Allen, gaya Seno “bertukar-tukar antara realisme,
fantasi, dan reportase, seringkali dalam tradisi posmodernisme, menyusun
beragam gaya dalam satu karya.100
Tokoh-tokoh dalam beberapa cerita SGA bersifat posmodern. Ciri-
ciri utama penokohan dalam fiksi posmodern yaitu kepribadian yang tidak
stabil atau bergeser, kurangnya kedalaman psikologis, dan kepribadian
yang membingungkan atau paradoks. Teori posmodern dalam penokohan
telah menegaskan prinsip dasar yang dimiliki masing-masing tokoh, dan
bukan berupa diri yang tunggal, bersatu, dan koheren. Ada tahapan
berbeda berkenaan dengan masalah “tokoh” dalam fiksi posmodern.
Tokoh yang datar dan berkepribadian bebas berarti posmodern, sedangkan
tokoh yang perilaku dan pikirannya dibatasi oleh intervensi pengarang
merupakan contoh sebuah teks posmodern, tapi bukan secara khusus sifat
posmodern itu sendiri. Tetap memungkinkan bagi pengarang untuk
mengeksplorasi sebuah kepribadian dan identitas tokoh hanya untuk
menghalangi kebebasan dasar si tokoh dangan cara yang mengarahkan
pembaca pada ide cerita.101
Dalam dunia cerita pendek Seno, segalnya bisa
terjadi. Pendekar yang berloncatan dari atap rumbia,
percintaan semalam di kamar hotel merah dengan
pemandangan lampu-lampu kotak kisah romantis dari balik
seorang pekerja seks komersial yang di temboknya
tertempel poster Rhoma Irama, cerita anak perempuan
seorang pelacur yang bingung ketika harus menulis
karangan tentang pekerjaan ibunya, sampai pemandangan
100
Andy Fuller, Sastra dan Politik: Membaca Karya-karya Seno Gumira Ajidarma, (Yogyakarta:
INSIST Press, 2011), h. 10 101
Ibid., h. 81
43
senja yang dalam bahasa Seno adalah “indah, begitu indah,
bagaikan tiada lagi yang lebih indah.”102
SGA telah menguasai beberapa kaidah fiksi modern dengan
menggunakan penokohan yang identitasnya mengalir. Dia
menunujukan pluralitas pribadi-pribadi.103
Pada periode pertama (1978-1981). Seno alias Mira Sato
(nama pena yang kemudian jarang ia sebut-sebut lagi) menyukai
tema-tema eksistensial, seperti tampak dalam “Manusia Kamar.”
Tokoh cerita adalah seseorang yang telah menyerap begitu banyak
pengetahuan dari buku-buku seperti spons, sampai akhirnya
menjadi muak pada peradaban dan enggan bertemu dengan
manusia lain. SGA juga senang bermain-main dengan interplay
identitas pengarang dan tokoh.104
Sudah sejak dulu, SGA menggemari gaya open-ending. Di
satu sisi, ia memberi kesempatan bagi pembaca untuk kreatif
berimajinasi mengakhiri cerita sesuai selera. Di sisi lain, pembaca
senang didongengi sampai tuntas akan bersungut-sungut karena
merasa cerita itu terasa menggantung atau nanggung. Gambaran
awal minat SGA pada persoalan sosial juga telah tampak dalam
cerpen-cerpen seperti “Tetangga” dan “Malam Panjang No19”105
Sejak awal membaca ragam karya SGA, peneliti acap kali
disuguhkan cerita bernuansa humor. Humor seperti tubuh dalam
cerita-cerita SGA. Meskipun cerita bertema sosial, kemanusiaan
bahkan kepribadian tokoh, rupanya SGA senang sekali
membungkusnya dengan humor yang tersirat. Melalui humor, SGA
102
Seno Gumira Ajidarma, Senja dan Cintra yang Berdarah, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2014), h. xii-xiii 103
Ibid., h. 87-88 104
Ibid., 105
Ibid., h. xiv
44
menyuguhkan kritik sosial yang membuat kita „berpikir ulang‟
lantas mengiyakan realitas.
Pada periode kedua kepengarangannya (198-1990), Seno masih
bertahan pada tema-tema eksistensialisme. Hal ini dibuktikan adalah
cerpen “Sarman”106
Selain itu, tema-tema eksistensialisme ditemukan pula
pada cerpen yang akan peneliti bahas yakni “Helikopter”, “Guru Sufi” dan
“Karangan Bunga.”. Tema eksistensialisme bermuara tentang eksistensi
seorang tokoh—sudut yang paling mencolok dan keakuan, sekaligus
melalui perwatakan tokoh-tokohnya menjadi refresentasi orang-orang
Indonesia: SGA menuliskan ketiga cerpen ini dengan nada sindiran penuh
ironi meski dibalut nuansa humor.
Kemampuan Seno dalam menampilkan kompleksitas
pengalaman “menjadi orang Indonesia” melalui gaya
bahasanya yang lugas. Karakter-karakternya misterius dan
kerap terkucil dari lingkungan mereka. Cerita-cerita SGA
melahirakan banyak emosi, gagasan, dan tradisi saling
bertentangan yang terdapat dalam apa yang saya bayangkan
sebagai Indonesia.107
Cerpen-cerpen Seno, baik yang berupa eksprolasi metafisik (seperti
Negeri Kabut, Manusia Kamar) maupun kritik sosial atas Indonesia
kontemporer (seperti Saksi Mata, Iblis Tak Pernah Mati) menyediakan
titik awal yang sangat baik untuk memahami sastra Indonesia mutakhir.
Karya-karyanya dipublikasikan di berbagai koran, majalah, jurnal
nasional, dan memperoleh sambutan yang positif dari para kritikus.
Marshall Clark melihat betapa Seno mampu menyelipkan “komentar sosial
tajam”, baik dalam cerpen-cerpen realis maupun antirealis karyanya. Ia
memiliki imajinasi surealis yang sangat liar, kemampuan menarik gagasan
secara terampil, baik dari tradisi lokasl maupun budaya populer asing, dan
106
Ibid., h. xiv 107
Fuller, op. cit., h. 9
45
kemampuan mengkritik penguasa otoriter dengan bahasa yang seringkali
nyaring terkadang lebih subtil dan tidak langsung.108
SGA sangat piawai menggunakan gaya kepenulisan fragmentaris,
dan inilah yang membuat cerpen-cerpennya selalu meninggalkan kesan
mendalam. Ibarat masakan, potongan-potongan adegan dalam cerpen Seno
diramu dengan bumbu keteganagan dan romantisme yang pas sehingga tak
berlebihan. Beberapa kritikus menyebut cerpen-cerpen SGA sebagai
“cerpen suasana” atau “sastra koran”.109
SGA memang lebih umum dikenal sebagai seorang cerpenis,
kiprahnya dalam dunia literasi tidak diragukan lagi.
“Boleh bisa apa saja, termasuk menulis. Boleh tidak bisa
apa saja, kecuali menulis”
Itulah jawaban Seno Gumira Ajidarma ketika suatu hari
saya iseng bertanya bagaimana cara jadi pengarang hebat.
di antara obrolan kami seputar dunia kepenulisan, kalimat
ini yang paling saya ingat. Saya baru menyadari, kalimat
tersebut rupanya tentang konsistensi. Apa pun pekerjaan
kita, menulis adalah soal memberi makna eksistensi dan
nasihat ini tidak hanya ia brikan untuk seseorang yang baru
belajar menulis, tetapi juga untuk dirinya sendiri.110
Selain itu pada buku terbarunya Obrolan Sukab, SGA menulis
kolom—yang ia sebut “skestsa masyarakat”. Seperti pada kutipan di buku
tersebut.
Tulisan dalam kumpulan ini dimaksudkan sebagai kolom, yang
pernah muncul tiga minggu sekali dalam rubrik “Udar Rasa” di
Harian Kompas. Sejak awal 2016 sampai awal 2018. Bahwa
bentuknya speerti fiksi, karena acuannya memang sub-genre kolom
yang dikenal sebagai “sketsa masyarakat”: pengungkapan santai,
kadang jenaka, tentang suatu topik, yang bisa saja serius, misalnya
kebijakan pemerintah, atau situasi politik, dengan latar belakang
kehidupan sehari-hari.111
108
Ibid., h. 10-11 109
Ajidarma, op. cit., h. xvi-xvii 110
Ibid., h. xi 111
Seno Gumira Ajidarma, Obrolan Sukab. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2019. h. vii
46
Secara garis besar, karya-karya fiksi Seno Gumira Ajidarma
terbagi dalam dua kategori. Pertama, berupa karya-karya yang cenderung
tidak terbebani oleh fungsi referensialnya atau karya yang tidak perlu
dihubung-hubungkan dengan dunia ekstra-tekstual; dan kedua, karya-
karya yang cenderung dominan akan pemanfaatan fungsi referensialnya,
acuan realitasnya, atau peristiwa historisnya. Cerpen-cerpennya yang
terdapat dalam antologi Penembak Misterius, Saksi Mata, Matinya
Seorang Penari Telanjang, Iblis Tidak Pernah Mati, dan Dunia Sukab
memiliki kecederungan memanfaatkan acuan peristiwa-peristiwa realitas
sebagai dasar penceritaannya. Demikian halnya pada roman Jazz, Parfum
& Insiden.112
Karya fiksi Seno telah dijadikan sumber penelitian oleh banyak
akademisi. Micheal Bodden dan Marshall Clark telah “meluangkan
tempat” untuk memahami karya fiksi Seno. Clark telah membahas
mikronarasi dan hubungan sosial Seno dalam “Seno Gumira Ajidarma: An
Indonesian Imagining East Timor”. J.Joseph mendeskripsikan perlawanan
Seno terhadap Orba berdasarkan cerita Semangkin (d/h Semakin).113
SGA pernah menyebut bahwa ia banyak menulis cerpen karena
hanya itu yang bisa diupayakan di sela-sela pekerkerjaannya yang padat.
Jika punya waktu lebih panjang, ia akan menulis novel atau roman,
terbukti dalam Jazz, Parfum dan Insiden (1996). Seno memberi kesan
seolah-olah panjang atau pendek cerita hanyalah soal teknis.114
Karya-karya SGA memiliki dimensi yang bisa dikaji oleh berbagai
pendekatan. Salah satunya humor. Selain menjadi pendekatan dan analisis,
humor seakan menjadi hal yang „ada‟ dalam cerpen-cerpen humor, meski
112
Nurhadi. “Aspek Kekerasan Sebagai Refleksi Kondisi Sosial Politik dalam Karya-karya Fiksi
Seno Gumira Ajidarma.” Artikel nomor 60 disampaikan pada ujian terbuka S3 di Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: 2010, h. 1 113
Fuller, op. cit., h. 57 114
Seno Gumira Ajidarma, Senja dan Cintra yang Berdarah, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2014), h. xvi
47
demikian kehadirannya bisa tersirat maupun tersurat. Humor adalah cara
SGA menampilkan kritik-kritik tajam pada kondisi sosial, moral, dan
kajian psikoanalisis yang sifatnya eksistensial.
146
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada Kumpulan
Cerpen Senja dan Cinta yang Berdarah karya Seno Gumira Ajidarma
yang terfokus pada tiga cerpen yakni Helikopter (HK), Guru Sufi Lewat
(GSL) dan Karangan Bunga dari Menteri (KBDM), maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada tiga cerpen karya
SGA yakni HK, GSL, dan KBDM, didapatkan hasil analisis unsur
intrinsik dan unsur-unsur humor. Analisis unsur humor menggunakan
jenis-jenis humor berdasarkan motivasi, teknik, dan topik yang
didasarkan pada sistem atau model klasifikasi yang penulis rangkum
dari Freud, Raskin dan Brunvand. Dalam penyajian struktur pada
analisisnya dibagi ke dalam 3 (tiga) bagian yakni jenis ujaran humor
berdasarkan tokoh utama, tokoh tambahan dan penggambaran latar,
yang kemudian di dalamnya dibahas motivasi, teknik dan topik humor.
2. Dalam penelitian ini jenis-jenis humor disesuaikan dengan kutipan-
kutipan ketiga cerpen tersebut. Pada ketiga cerpen yang diteliti,
semuanya memiliki jenis ujaran humor berdasarkan tokoh utama, jenis
ujaran humor berdasarkan tokoh tambahan dan jenis ujaran humor
berdasarkan penggambaran latar. Cerpen HK untuk jenis ujaran tokoh
utama dan tokoh tambahan memiliki jenis humor berdasarkan
motivasinya, teknik, dan topik. Sedangkan jenis ujaran humor
berdasarkan penggambaran latar hanya ada berdasarkan motivasinya.
Cerpen GSL untuk jenis ujaran tokoh utama hanya memiliki jenis
humor berdasarkan motivasinya dan pada jenis ujaran tokoh tambahan
memiliki jenis humor motivasi dan tekniknya. Sedangkan pada
penggambaran latar hanya terdiri dari berdasarkan motivasinya. Pada
cerpen KBDM, jenis ujaran humor tokoh utama terdiri dari motivasi
dan topik. Jenis ujaran humor berdasarkan tokoh tambahan hanya
terdiri dari humor berdasarkan motivasi dan pada jenis ujaran humor
berdasarkan penggambaran latar terdiri dari humor berdasarkan
motivasi dan teknik. Jadi, pada aspek intrinsik hanya didapatkan jenis
ujaran humor berdasarkan tokoh utama, tokoh tambahan dan
penggambaran latar yang menjadi tempat munculnya humor.
3. Implikasi pembelajaran sastra yang dapat diterapkan mengenai
penelitian mengenai “Humor dalam Kumpulan Cerpen Senja dan
Cinta yang Berdarah karya Seno Gumira Ajidarma” di sekolah
terutama di SMA, salah satunya adalah kemampuan analitis dalam
menganalisis sebuah cerpen. Selain itu kemampuan membaca kritis,
dan pemecahan masalah dapat dilakukan melalui kegiatan
menganalisis isi dan kebahasaan dalam cerpen HK, GSL, dan KBDM.
Ketiga cerpen tersebut bisa membuat peserta didik membaca kritis dan
cermat dalam menemukan unsur-unsur humor yang pada akhirnya bisa
meluruhkan ketegangan batin. Lebih dari itu, peserta didik diharapkan
mampu menemukan nilai-nilai kebaikan dalam cerpen-cerpen tersebut
dan menerapkannya di kehidupan sehari-hari. Dari segi verbalnya,
humor juga bisa berkaitan dengan komunikasi guru dengan peserta
didik dalam proses pembelajaran. Komunikasi merupakan bagian
aspek penting dalam pembelajaran. Nuansa komunikasi humor yang
dilakukan guru dan peserta didik bisa melalui pilihan media seperti
kata, gambar, musik, rekaman cerita dan lain-lain.
B. Saran
Berdasarkan simpulan yang telah diuraikan ada beberapa saran
yang diajukan oleh penulis:
1. Pengajar mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia hendaknya
membantu meningkatkan minat baca peserta didiknya terhadap karya
sastra dengan menciptakan rangsangan pembelajaran yang didasarkan
pada strategi belajar yang menarik.
2. Melalui penelitian ini, diharapkan peserta didik mampu memahami
ketiga cerpen yang diteliti ini, baik dari segi unsur intrinsik maupun
analisis unsur humor. Lebih dari itu, diharapkan mampu menerapkan
amanat atau pesan moral dalam ketiga cerpen tersebut di kehidupan
sehari-hari.
3. Pembaca umum di berbagai kalangan, diharapkan penelitian ini
menjadi salah satu sumbangsih keilmuan di bidang humor dan sastra
pada penelitian berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ajidarma, Seno Gumira. Senja dan Cinta yang Berdarah. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2014.
Ajidarma, Seno Gumira. Obrolan Sukab. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2019.
Ambarwati, Ari. “Penulisan Cerita Humor Melayu Indonesia untuk Anak Usia 7-
11 Tahun.” Universitas Islam Malang.
Anis, Muhammad Yunus. “Humor dan Komedi dalam Sebuah Kilas Balik Sejarah
Sastra Arab.” Jurnal CMES. Volume VI. Nomor 2, 2013.
Arianti, “Urgensi Lingkungan Belajar yang Kondusif dalam Mendorong Siswa
Belajar Aktif”, Didaktika Jurnal Kependidikan, Jurusan Tarbiyah STAIN
Watampone, Vol. 11, No. 1, 2017, h.43
Asyura, Muhammad, dkk., “Makna dan Fungsi Humor dalam Kumpulan Cerita
Abu Nawas.” Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan
PBS FKIP Untan
Budianta, Melani, dkk., Membaca Sastra. Magelang: Penerbit Indonesia Tera,
2006.
Chaer, Abdul. Ketawa-ketiwi Betawi. Jakarta: Masup Jakarta, 2007.
Danandjaja, James. Humor Mahasiswa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002.
Darmasyah. Strategi Pembelajaran Menyenangkan dengan Humor. Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2010.
Eggen, Paul dan Don Kauchak, Strategi dan Model Pembelajaran. Jakarta: PT
Indeks, 2012.
Emzir. Metodologi Penelitian Kualitatif Analisis Data. Jakarta: Rajawali Pers,
2010.
Endahwarni, Sari. Kosa Kata Ungkapan Humor Srimulat. Depok: Fakultas Sastra
Universitas Indonesia, 1994.
Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2012.
Esten, Mursal. Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: CV
Angkasa, 2013.
Freud, Sigmund. Humour. International Journal of Psychoanalysis, Vol.9, 1928, h.
1-6
Fuller, Andy. Sastra dan Politik: Membaca Karya-karya Seno Gumira Ajidarma.
Yogyakarta: INSIST Press, 2011.
Ghony, M. Djunaedi dan Fauzan Almanshur. Metode Penelitian Kualitatif.
Yogyakarta: AR-RUZZ Media, 2016
Gunawam, Imam. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Bumi Aksara, 2013.
Hasanat, Nida Ul dan Subandi. Pengembangan Alat Kepekaan terhadap Humor.
Jurnal Psikologi Universtias Gadjah Mada , No.1, 1998, h. 18
Herdiansyah, Haris. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial.
Jakarta: Salemba Humanika, 2012.
Karmini, Ni Nyoman. Teori Pengkajian Prosa Fiksi dan Drama. Bali: Pustaka
Larasan, 2011.
Khanifatul. Pembelajaran Inovatif. Yogyakarta: AR-RUZZ Media, 2013.
Luxemburg, Jan Van, dkk., Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa, 1989.
Mahmud, dkk., Humor di dalam Sastra Klasik Sulawesi Selatan. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1994.
Margono, S. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005.
Marwan, Iwan. Rasa Humor dalam Perspektif Agama. Al-Turāṡ, Vol. XIX No. 1,
2013,
Minderop, Albertine. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2013.
Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2014.
Manik, Rizky A. “Pengaruh Karya Seno Gumira Ajidarma pada Cerpen Agus
Noor.” Mlangun Jurnal Ilmiah Kebahasaan & Kesastraan. Volume 12. Nomor 2,
2016.
Mulawati. “Sufisme dalam Dodolitdodolitdodolibret: Cerpen Karya Seno Gumira
Ajidarma.” Jurnal Sawerigading. Volume 20. Nomor 3, 2014.
Nurfaidah, Resti. “Kritik Adjidarma dalam Empat Cerpen: Tentang Gender dan
Keliyanan.” Jurnal Suar Betang. Volume 12. Nomor 2, 2017.
Nurhadi. “Aspek Kekerasan Sebagai Refleksi Kondisi Sosial Politik dalam
Karya-karya Fiksi Seno Gumira Ajidarma.” Artikel nomor 60 disampaikan pada
ujian terbuka S3 di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta:
2010.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2012.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2013.
Rampan, Korrie Layun. Perjalanan Sastra Indonesia Kritik dan Esai. Jakarta:
Gunung Jati, 1983.
Rampan, Korrie Layun. Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Jakarta: PT
Grasindo, 2000.
Rahmanadji, Didiek. “Sejarah, Teori, dan Fungsi Humor.” Seni dan Desain
Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang, No 2. 2007.
Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1988.
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2015.
Sungkar, Yuslam dan Partini, “Sense Of Humor sebagai Langkah Meningkatkan
Kepercayaan Diri Guru PPL dalam Proses Belajar Mengajar”, Jurnal Indigenous,
Vol. 13, No. 1, Mei 2015, h,93
Suyasa, P. Tommy Y. S., Identify Type of Humor: Funny, Funny, and Funny,
Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara dipresentasikan dalam Temu Ilmiah
Nasional Psikologi Jakarta, 5 Agustus 2010
Strauss, Anselm dan Juliet Corbin. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Shoddiq, Muhammad dan Imam Muttaqien, Basics Of Qualitative Research
Sedarmayanti dan Syarifudin Hidayat. Metodologi Penelitian. Bandung: CV.
Mandar Maju, 2011.
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. jakarta: PT Grasindo, 2008.
Stanton, Robert. Teori Fiksi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Sudjiman, Panuti. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya,
1992.
Tarigan, Henry Guntur. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Penerbit
Angkasa, 1993.
Tirtawirya, Putu Arya. Apresiasi Puisi dan Prosa. Flores: Penerbit Nusa Indah,
1983.
Yunus, Bakhrum. Jenis dan Fungsi Humor Masyarakat Aceh. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1997.
Yuningsih, Yuyun. “Unsur Humor dalam Buku „Ibtasim Karya „Aidh Al-Qarni”,
Skripsi pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Program Studi Arab. Depok:
2011.
Yustarini, Rizka. “Konflik Batin Tokoh Utama dalam Kumpulan Cerpen Matinya
Seorang Penari Telanjang Karangan Seno Gumira Ajidarma: Suatu Kajian
Psikologi Sastra.” Jurnal Arkhais. Volume 07. Nomor 2, 2016
BIODATA PENULIS
Ajeng Restiyani lahir di Lebak, 23 Agustus 1995.
Penulis menyelesaikan pendidikan di SD Negeri
Cimangeunteung, lalu melanjutkan ke MTsN 1
Lebak dan MAN 1 Lebak. Kemudian penulis
melanjutkan program S1 di Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan, Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia angkatan 2013 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Penulis pernah aktif menyutradarai beberapa
pementasan teater Lingkar Sastra Tarbiyah Pojok Seni Tarbiyah, FITK. Penulis
juga menulis beberapa buku anak salah satunya Dongeng Profesi (2016). Kini,
penulis sedang mendalami ilmu kesehatan herbal untuk diri sendiri, keluarga dan
harapannya untuk khalayak, sambil berisiap-siap mewujudkan kembali cita-cita
yang sempat tertunda. Penulis bisa dihubungi melalui gmail pribadinya:
aryanissativa23@gmail.com.
top related