icaseps working paper no. 94 -...
Post on 21-Aug-2019
213 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ICASEPS WORKING PAPER No. 94
ANALISIS KETERBATASAN PEMILIKAN ASSET, POLA PENGELUARAN DAN PENDAPATAN RUMAHTANGGA PETANI MISKIN DI WILAYAH PFI3P KABUPATEN TEMANGGUNG, JAWA TENGAH :Suatu Upaya Peningkatan Kondisi Sosial Ekonomi Jangka Panjang
Iwan Setiajie Anugrah
Agustus 2008
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies)Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianDepartemen Pertanian
1
ANALISIS KETERBATASAN PEMILIKAN ASSET, POLA PENGELUARAN DAN PENDAPATAN RUMAHTANGGA PETANI MISKIN DI WILAYAH PFI3P
KABUPATEN TEMANGGUNG, JAWA TENGAH :Suatu Upaya Peningkatan Kondisi Sosial Ekonomi Jangka Panjang
Iwan Setiajie Anugrah
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan PertanianJalan Ahmad Yani No, 70, Bogor 16161
ABSTRAK
Pada dasarnya kemiskinan adalah ketidaksanggupan seseorang atau sekelompok orang untuk dapat memenuhi dan memuaskan kebutuhan materialnya, karena itu ukuran apapun yang dipakai untuk mengatur tingkat kemiskinan dan dimanapun ukuran itu diterapkan, meski menunjuk pada indikasi bahwa tingkat pendapatan, pemilikan dan penguasaan sumberdaya ekonomi seseorang serba terbatas untuk bisa memenuhi kebutuhan dasarnya. Ketidak sepakatan yang cukup menonjol dalam menjelaskan konsep kemiskinan sebenarnya bukan terletak pada penetapan ukuran kemiskinan ataupun indikator kuantitatif kemiskinan, melainkan pada penyebab seseorang atau sekelompok orang masuk dalam kategori miskin serta faktor-faktor penyebabnya. Hal ini yang meneyebabkan rekomendasi yang diajukan untuk memecahkan persoalan kemiskinan pun akan berbeda pula. Tulisan ini mencoba menggambarkan satu kegiatan sinergis antara keterbatasan rumahtangga petani miskin dengan upaya yang dilakukan oleh PFI3P dalam rangka peningkatan kondisi sosial ekonomi melalui tiga dasar pendekatan ( system approach, decision making model dan structural approach) yang menjadi latar belakang terjadinya kemiskinan sebelumnya. Sinergisitas dari upaya jangka panjang ini, secara bertahap diharapkan dapat mendorong percepatan proses kearah tujuan penanggulangan kemiskinan wilayah maupun nasional yang direncanakan.
Kata kunci : kemiskinan, keterbatasan asset, pendapatan dan rumahtangga petani
PENDAHULUAN
Pembangunan pertanian sebagai salah satu indikator penting dalam upaya
menjadikan dasar bagi pembangunan nasional, nampaknya tidak hanya cukup puas
menjadi sektor yang berperan tangguh pada persoalan-persoalan pembangunan
perekonomian semata. Walau dalam masa krisis ekonomi dan moneter menunjukkan
angka pertumbuhan yang positif diantara sektor-sektor lainnya yang menurun, namun
demikian peran dan fungsi sektor pertanian sebagai leading sector perekonomian saat
ini, pada kenyataannya masih banyak dipertanyakan berkaitan dengan realitas peta
kemiskinan yang ada saat ini.
Secara nasional data BPS (2003) menunjukkan bahwa berdasarkan lapangan
pekerjaan utama baik yang dilakukan oleh kepala rumah tangga maupun secara
individu, persentase penduduk miskin sebagian besar berada pada sektor pertanian,
2
yaitu mencapai diatas 50 persen dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin di
lapangan pekerjaan lainnya. Begitu pula dengan data BPS (2003) lainnya menunjukkan
bahwa penyebaran penduduk miskin berdasarkan lapangan pekerjaan pada 30 propinsi
yang ada menunjukkan bahwa penduduk yang bekerja di sektor pertanian lah yang
menempati persentase cukup besar dibandingkan dengan sektor pekerjaan lainnya
(Tabel Lampiran 1,2 dan 3).
Berbagai macam persoalan dan latar belakang terjadinya proses kemiskinan
telah banyak dikemukakan oleh para ahli dan pemerhati sosial lainnya, namun secara
umum terdapat tiga pendekatan yang mencoba untuk menjelaskan penyebab terjadinya
kemiskinan itu sendiri. Tiga pendekatan yang menjadi latar belakang terjadinya
kemiskinan, yaitu : system approach, decision making model dan structural approach.
Pendekatan pertama lebih menekankan adanya keterbatasan pada aspek-aspek
geografi, ekologi, teknologi dan demografi. Kondisi kemiskinan yang disebabkan oleh
faktor-faktor tersebut dianggap lebih banyak menekan warga masyarakat yang tinggal di
wilayah pedesaan atau pedalaman.
Dalam konteks anggapan penyebab kemiskinan tersebut, maka pendekatan ini
menyarankan dilakukannya intervensi tertentu untuk meningkatkan kemampuan daya
dukung lingkungan alam melalui introduksi teknologi baru yang memiliki kemampuan
dan kapasitas lebih besar dalam mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumberdaya
ekonomi sehingga dapat tercapai surplus produksi serta dapat meningkatkan nilai
tambah hasil produksi. Kemudian juga harus diupayakan untuk membangun dan
memperbaiki prasarana dan sarana transportasi serta komunikasi publik yang
memungkinkan daerah tersebut menjadi terbuka sehingga memudahkan arus
pertukaran barang dan jasa serta diterapkannya program untuk mengerem laju
pertumbuhan penduduk.
Pendekatan kedua menekankan pada kurangnya pengetahuan, keterampilan
dan keahlian sebagian warga masyarakat dalam merespon sumberdaya ekonomi, baik
yang berasal dari dalam maupun dari luar. Dengan kata lain pendekatan ini melihat
bahwa sebagian warga masyarakat kurang memiliki kemampuan inovasi atau tidak
memiliki empati dan jenis kewirausahaan untuk mengelola dengan baik, efisien dan
efektif unit-unit usaha yang dimiliki/dikuasai, kurang mempunyai kemampuan untuk
memperbaharui teknologi serta menciptakan dan memperluas pasar komoditi.
Berdasarkan kondisi di atas, maka pendekatan ini menghendaki ditingkatkannya
kemampuan, yaitu keahlian dan keterampilan sumberdaya manusia seperti
3
pembentukan dan pengembangan motivasi, mendorong mobilitas serta peningkatan
pendidikan supaya memiliki jiwa-jiwa yang inovatif, kreatif, responsif dan proaktif dalam
persaingan.
Pendekatan ketiga, melihat bahwa kemiskinan terjadi karena adanya
ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan faktor-faktor produksi seperti tanah,
teknologi dan bentuk kapital lainnya. Di sini wajah kemiskinan memiliki dimensi
struktural yang merupakan akibat dari adanya ketimpangan dalam pemilikan dan
penguasaan asset ekonomi atau kapital lainnya. Dalam kondisi tersebut, menginginkan
dilakukannya suatu transformasi pada struktur dan politik yang tidak lagi didominasi
kelompok elite tetapi diarahkan pada pemilikan orang-orang miskin, dengan cara
memberikan akses dan terutama kontrol atas sumber-sumber kapital bagi tumbuhnya
peluang berusaha dan kesempatan bekerja yang layak bagi orang-orang miskin yang
bersangkutan.
Berdasarkan pada pendekatan dan langkah-langkah yang harus dilakukan dalam
kaitannya dengan alur kemiskinan di atas, Badan Litbang Pertanian melalui Proyek
Peningkatan Pendapatan Petani Miskin Melalui Inovasi (PFI3P) telah mencoba
mendorong pembangunan sistem agribisnis di lahan marjinal melalui pemberdayaan
petani, pengembangan kelembagaan desa dan perbaikan sarana/prasarana pendukung
di desa secara partisipatif, disertai inovasi teknologi dan peningkatan akses pada
jaringan informasi. Selama lima tahun ke depan akan diarahkan pada empat komponen
kegiatan yang meliputi : (1) pemberdayaan petani; (2) pengembangan sumber informasi;
(3) dukungan pengembangan inovasi pertanian dan desiminasi; dan (4) manajemen
proyek.
Melalui kegiatan ini diharapkan salah satu atau ketiga akar kemiskinan di atas,
seyogyanya dapat dijadikan suatu perencanaan yang konkrit sebagai upaya ikut serta
dalam program-program pengentasan kemiskinan di sektor pertanian secara nasional ke
depan. Untuk mengetahui lebih jelas kondisi kemiskinan yang ada di lokasi kegiatan
PFI3P Kabupaten Temanggung maka secara komprehensif akan dikemukakan dalam
tulisan ini dan secara tidak langsung memberikan gambaran faktual kondisi lokasi dan
karakteristik petani miskin dalam pengelolaan sumberdaya serta program investasi yang
diperlukan untuk mendukung pola pemberdayaan petani/wilayah dari kemiskinan yang
ada saat ini dan ke depan.
4
KARAKTERISTIK KEMISKINAN
Kemiskinan berdasarkan makna dari Oscar Lewis dalam Radjab (2005), adalah
ketidaksanggupan seseorang atau sekelompok orang untuk dapat memenuhi dan
memuaskan keperluan dasar materialnya. Dalam konteks pengertian Lewis itu,
kemiskinan adalah ketidak cukupan seseorang untuk bisa memenuhi kebutuhan-
kebutuhan primernya, seperti pangan, sandang dan papan untuk kelangsungan hidup
dan meningkatkan posisi sosial ekonominya. Karena itu, ukuran apapun yang dipakai
untuk mengatur tingkat kemiskinan dan dimanapun ukuran itu diterapkan menurut
Lewis, meski menunjuk pada indikasi bahwa tingkat pendapatan serta pemilikan dan
penguasaan sumberdaya ekonomi seseorang sangat serba terbatas untuk bisa
memenuhi kebutuhan dasarnya apalagi kebutuhan sekunder dan tersier.
Batasan tentang kemiskinan juga sebenarnya telah banyak dikemukakan oleh
para ahli seperti; Sumodiningrat (1999); Kartasasmita (1999); Prasetyawan (1998);
Pakpahan, Hermanto, Sawit dan Taryoto (1995); Kasryno dan A. Suryana (1992);
Otsuko (1991) World Bank (1990) serta berbagai institusi, seperti BPS, BKKBN,
DEPSOS dan lainnya. Berbagai batasan dan pendapat para ahli yang berkaitan dengan
masalah kemiskinan seperti diatas, hingga saat ini juga telah banyak dikemukakan dan
banyak menumbuhkan silang pendapat diantara batasan-batasan yang ada. Ketidak
sepakatan yang paling menonjol dalam menjelaskan konsep kemiskinan sebenarnya
bukan terletak pada penetapan ukuran kemiskinan itu, serta bukan pada indikator
kuantitatif kemiskinan, melainkan pada penyebab seseorang atau sekelompok orang
masuk dalam kategori miskin serta faktor-faktor penyebabnya.
Perbedaan tentang penjelasan hal itu menyebabkan rekomendasi yang diajukan
untuk memecahkan persoalan kemiskinan pun berbeda. Dengan demikian tentunya
implikasi yang muncul dari implementasi program penanggulangan kemiskinan pun
akan berbeda pula. Untuk keperluan tulisan ini, maka batasan tingkat kemiskinan
didasarkan pada besarnya pendapatan perkapita sebagaimana telah diuraikan dalam
Project Administration Memorandum (PAM) dimana batasan petani miskin ditetapkan
dengan pendapatan perkapita kurang dari Rp. 1 juta setahun. Namun dengan adanya
penyesuaian harga yang berbeda untuk setiap lokasi (kemampuan daya beli dan tingkat
harga barang dan jasa), maka BPS (2003) menetapkan batas garis kemiskinan nasional
untuk setiap kabupaten termasuk beberapa kabupaten PFI3P, yaitu untuk Kabupaten
Temanggung adalah Rp. 1.113.624/kapita/tahun atau Rp. 92.802/kapita/bulan, sehingga
5
diperoleh sejumlah 45 orang responden dari 5 lokasi kajian PFI3P secara proporsional
dari 152 responden masyarakat secara keseluruhan wilayah kajian PFI3P tahun 2003.
KERAGAAN SOSIAL EKONOMI PETANI
Kondisi sosial ekonomi petani dan masyarakat secara umum berdasarkan
batasan BPS adalah ketidakmampuan untuk memenuhi standar tertentu dari kebutuhan
dasar baik makanan dan bukan makanan perhari ditambah nilai pengeluaran untuk
kebutuhan dasar bukan makanan yang paling pokok (Nugroho, 1995 dalam Nurmanaf,
2002). Sementara data mikro ukuran kemiskinan BKKBN pada indikator-indikator
penentuan keluarga Pra Sejahtera dan keluarga Sejahtera I, diantaranya meliputi lantai
masih dari tanah, dinding kayu dan kondisi kelengkapan sosial lainnya masih menjadi
salahsatu acuan yang dipergunakan untuk mengukur tingkat sosial di masyarakat
pedesaan khususnya.
Karakteristik Rumah Tangga
Struktur Rumah Tangga Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin
Struktur rumah tangga berdasarkan umur menunjukkan bahwa hampir di semua
desa contoh, kepala keluarga sebagai responden berada pada tingkat usia produktif
bekerja baik dimana secara rata-rata usia kepala keluarga berada pada rataan 37,93
tahun hingga mencapai usia 49,93 tahun dengan kisaran umur antara 21 tahun hingga
76 tahun. Kemudian berdasarkan jumlah angota keluarga dari masing-masing
rumahtangga contoh, terlihat berada pada kondisi jumlah keluarga yang masih terbatas
antara 2 orang hingga 5 orang atau dengan rata-rata jumlah anggota keluarga 3 hingga
5 orang. Dari gambaran jumlah keluarga contoh tersebut, berdasarkan jenis kelamin
relatif bervariasi. Jumlah anggota keluarga yang berjenis kelamin perempuan, secara
umum relatif lebih besar diantara anggota rumah tangga dengan jenis kelamin laki-laki,
kecuali pada desa contoh Sukomarto dan Pagersari, jumlah anggota rumah tangga per
KK perempuan relatif lebih kecil dari jumlah jiwa per KK laki-laki.
Perbedaan struktur umur maupun jumlah anggota keluarga serta jenis kelamin
dalam satu kesatuan rumah tangga, pada dasarnya untuk beberapa desa contoh tidak
6
menunjukkan perbedaan yang nyata dalam beberapa hal. Namun demikian dalam
kegiatan rumah tangga terutama yang berkaitan dengan perolehan pendapatan maupun
pengeluaran rumah tangga dengan unit analisa rumah tangga akan banyak
menggambarkan kondisi sosial ekonomi keluarga itu sendiri. Secara umum jumlah
anggota rumah tangga miskin relatif lebih besar sehingga secara tidak langsung akan
berpengaruh pada kondisi sosial ekonomi rumah tangga tersebut.
Lebih lanjut, distribusi anggota rumah tangga berdasarkan usia masing-masing
anggota rumah tangga terlihat bahwa proporsi anggota rumah tangga di desa Gilingsari
sebagian besar berada pada kelompok umur 25-54 tahun mencapai 52 persen, sisanya
tersebar pada kelompok usia 0-14 tahun (26,09%); kelompok 14-24 (17,39%) serta pada
kelompok di atas 55 tahun (4,35%). Secara umum distribusi anggota rumah tangga
berdasarkan struktur usia masing-masing rumah tangga contoh berada pada usia
produktif 25-54 tahun, dengan persentase lebih besar dari kelompok usia lainnya,
seperti pada Tabel 1.
Struktur Rumah Tangga Berdasarkan Pendidikan dan Jenis Pekerjaan
Berdasarkan tingkat pendidikan kepala keluarga di lima desa contoh, terlihat
bahwa pendidikan yang pernah dicapai berkisar antara 0 sampai dengan 17 tahun.
Secara rinci rata-rata pendidikan kepala keluarga di lima desa contoh antara 6 sampai
dengan 8,5 tahun atau setingkat dengan pendidikan SD hingga SMP. Tingkat
pendidikan rata-rata berdasarkan, menunjukkan bahwa secara umum tingkat pendidikan
kepala keluarga relatif rendah. Sebagai gambaran riil tingkat pendidikan kepala keluarga
di desa Gilingsari, Donorejo, Kranjan, Pagersari dan Sukomerto, masing-masing
menunjukkan 6,6 tahun; 4,87 tahun; 5,73 tahun; 6,38 dan 7,5 tahun. Dengan gambaran
mikro ini memberi indikasi bahwa tingkat pendidikan pada beberapa desa contoh
menunjukkan angka relatif rendah, sehingga diperkirakan bahwa pendidikan merupakan
salah satu indikator terhadap kondisi sosial ekonomi rumah tangga yang bersangkutan,
selain jumlah anggota keluarga yang besar (Tabel 1).
7
Tabel 1. Karakteristik Rumah Tangga Contoh di Kabupaten Temanggung, 2004
No. Uraian Gilingsari Donorojo Krajan Pagersari Sukomarto
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Usia KK (tahun)- Kisaran- Rataan
Pendidikan KK (tahun)- Kisaran- Rataan
Pekerjaan Utama KK (%)- On Farm- Off Farm- Non Farm
Pekerjaan Sampingan KK (%)- On Farm- Off Farm- Non Farm
Jumlah Anggota RT (jiwa/KK)- Kisaran- Rataan
Jumlah Anggota RT (jiwa/KK)- Laki-laki- Perempuan
Distribusi Anggota RTMenurut Usia (%) :
0-1414 – 2425 – 54
> 55
40-5346
6-96,6
100,00--
80,0020,00
-
3-74,6
2,22,4
26,0917,3952,174,35
30-7649,93
2-64,87
100,00--
33,3326,6720,00
3-64,40
2,02,4
24,2419,7036,3619,70
29-6544,73
0-95,73
100,00--
36,36-
27,27
4-85,00
2,272,73
27m2720,0043,649,09
24-6238,13
6-96,38
100,00--
12,50--
3,64,00
2,251,75
18,7521,8850,009,38
33-5441,67
6-127,50
100,00--
16,6716,67
-
4,65,33
3,002,33
34,3812,5043,759,38
Sumber: Data Primer diolah,. 2004.
Begitu pula halnya dengan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh masing-masing
kepala keluarga, menunjukkan bahwa secara umum kepala keluarga miskin, hampir
semuanya atau 100 persen pendapatan diperoleh dari on farm (pertanian) sebagai
pekerjaan utama kepala keluarga, kecuali untuk kasus di desa contoh Pagersari, dimana
pada tingkat pendapatan tinggi pun sumber pendapatan kepala keluarga seluruhnya dari
kegiatan on farm. Data pada Tabel 1 juga menunjukkan bahwa pendapatan kepala
keluarga selain dari kegiatan on farm juga beberapa lokasi desa kajian, sumber
pendapatan kepala keluarga diperoleh dari kegiatan off farm maupun non farm,
terutama di desa Donorojo relatif bervariasi antar sumber pendapatan kepala keluarga.
Dengan adanya variasi sumber pendapatan, selain dari kegiatan on farm sangat
dimungkinkan bahwa sumber pendapatan akan sangat berpengaruh terhadap totalitas
pendapatan rumah tangga, sehingga tidak menutup kemungkinan akan mempengaruhi
8
juga terhadap kondisi sosial ekonomi rumah tangga itu sendiri, disamping dukungan
pendapatan anggota keluarga lainnya dalam satu kesatuan rumah tangga, dimana
secara teoritis menunjukkan bahwa semakin banyak anggota rumah tangga yang
bekerja dan menghasilkan pendapatan, sangat dimungkinkan bahwa kemampuan
rumah tangga secara finansial juga akan lebih besar.
Keadaan Tempat Tinggal
Berdasarkan pada indikator kemiskinan yang dikeluarkan oleh BKKBN, kondisi
tempat tinggal merupakan salah satu bagian dari cerminan tingkat kemiskinan yang ada
pada suatu kelompok atau rumah tangga. Berdasarkan indikator kondisi tempat tinggal
maka akan tercermin pula kondisi sosial ekonomi suatu rumah tangga, walaupun pada
kasus-kasus tertentu tidak semua indikator tempat tinggal mempunyai korelasi positif
dengan kemampuan suatu rumah tangga. Gambaran keadaan tempat tinggal di lima
desa contoh menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki rumah sendiri,
begitu pula halnya dengan lahan yang menjadi lokasi perumahan yang dimilikinya.
Kemudian jenis dinding rumah relatif bervariasi antar responden di lima desa contoh.
Secara umum pada rumahtangga miskin, 73,3 persen dinding rumahnya terbuat dari
kayu dan 26,7 persen lainnya terbuat dari bambu.
Jenis lantai terluas berdasarkan klasifikasi bahan yang ada, menunjukkan bahwa
sebagian besar rumah tangga mempunyai lantai rumah (terluas) yang terbuat dari
semen. Namun demikian untuk sebagian besar rumah tangga pada lokasi desa contoh
Donorojo dari semua responden sebagian besar lantai rumah masih beralaskan tanah,
seperti halnya rumah tangga di desa Pagersari, 50 persen rumah tangga masih
beralaskan tanah.
Kondisi yang sama, juga terlihat pada kelompok rumah tangga di desa contoh
Krajan (27,3%), Pagersari (50,0%); desa Sukomarto (33,3%) serta Donorojo (93,3%).
Sebaliknya indikator kesejahteraan melalui lantai atau alas rumah juga terlihat pada
sebagian responden yang ada pada setiap lokasi desa contoh, dimana pada beberapa
responden di desa Gilingsari terdapat 20 persen rumah tangga petani miskin masih
9
berlantai tanah. Kondisi yang hampir sama juga bisa dilihat pada lokasi desa Pagersari,
Krajan maupun Sukomarto walaupun masih terdapat 20,0 persen rumah tangga di desa
Donorojo telah memakai keramik sebagai lantai rumah. Data tentang indikator lantai
rumah berdasarkan jenis lantai terluas dapat dilihat pada Tabel 2.
Indikator lain yang berkaitan dengan kondisi tempat tinggal sebagai gambaran
kemampuan rumah tangga, adalah jenis atap yang dipergunakan sebagai kelengkapan
rumah. Berdasarkan data responden di lima desa contoh, menunjukkan bahwa hampir
sebagian besar atap rumah responden telah menggunakan genteng, serta seng (26,7%
dan 20,0%) dan 13,3 persen ijuk yang terdapat pada responden yang berada di desa
Donorejo (Tabel 2).
Untuk kebutuhan air bagi kehidupan rumah tangga di lima desa contoh,
pemenuhannya relatif bervariasi walaupun dilihat secara persentase, sebagian besar
dipenuhi dari sumber mata air serta sumur. Pemenuhan kebutuhan air bagi sebagian
responden lainnya adalah dari air hujan, sungai serta sumber lainnya. Begitu pula
dengan kelengkapan rumah tangga lainnya, seperti sanitasi relatif bervariasi antar
rumah tangga. Kelengkapan sanitasi pada rumah tangga pendapatan rendah di Desa
Gilingsari telah dilengkapi dengan kamar mandi serta MCK umum atau bahkan masing
di sungai. Pada dua desa lain (Donorojo dan Krajan) persentase tersebar pada MCK
umum sebagai kelengkapan sanitasi keluarga. Variasi kelengkapan sanitasi pada lima
desa contoh berdasarkan jenis sanitasi yang dipergunakan, seperti pada Tabel 2.
10
Tabel 2. Keadaan Tempat Tinggal Rumah Tangga Contoh di Kabupaten Temanggung, 2004
No. Uraian Gilingsari Donorojo Krajan Pagersari Sukomarto
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Luas Pekarangan (m2)- Kisaran- Rataan
Luas Bangunan (m2)- Kisaran- Rataan
Status Rumah (%)- Milik- Sewa- Kontrak- Numpang- Lainnya
Status Tanah untuk Rumah (%)- Milik- Sewa- Kontrak- Numpang- Lainnya
Jenis Dinding Terluas (%)- Rumbia- Bambu- Kayu- Setengah tembok- Tembok semen- Seng- Lainnya
Jenis Lantai Terluas (%)- Tanah- Kayu- Bambu- Semen- Ubin Teraso/keramik
90-400225,40
45-9877,40
80,0
20,0
80,0
20,0
100,0
80,020,0
70-300167,0
35-14498,87
86,7
13,3
86,7
13,3
26,773,3
93,3
6,7
80-304163,04
54-208106,27
72,7
9,118,2
72,7
9,118,2
9,1
90,9
27,3
54,518,2
63-375230,13
63-200106,225
87,5
12,5
87,5
12,5
25,0
75,0
50,0
25,025,0
80-400220,50
80-400189,67
100,0
100,0
16,7
33,3
50,0
33,0
50,016,7
7.
8.
9.
Jenis Atap (%)- Genteng- Seng- Ijuk- Lainnya
Sumber Air (%)- Sumur- Mata air- Air hujan- Sungai- Lainnya
Sanitasi (%)- Alam- Sungai- Kamar mandi- MCK pribadi- MCK umum- Lainnya
100,0
100,0
20,060,0
20,0
66,720,013,3
13,360,06,913,36,7
20,0
6,766,76,7
100,0
90,9
9,1
9,1
81,89,1
87,5
12,5
25,075,0
37,512,5
50,0
100,0
16,783,3
10. Penerangan (%)- Sentir- Lampu Templok- Listrik PLN- Listrik generator- Accu- Lainnya
100,0
6,7
86,7
6,7
9,1
90,9 100,0 100,0
Sumber: Data Primer diolah, 2004.
11
Pemenuhan kebutuhan penerangan bagi rumah tangga responden di lima desa
contoh sebagian besar telah mempergunakan listrik PLN, sekalipun dalam jumlah kecil
masih terdapat responden yang mempergunakan sentir, serta generator sebagai
sumber penerangan keluarga. Rumah tangga yang masih menggunakan alat
penerangan sentir 6,7 persen berada di Desa Donorojo dan 9,1 persen pada kelompok
rumah tangga di Desa Krajan. Masih adanya kondisi rumah tangga yang berada pada
penggunaan sentir khususnya pada kelompok rumah tangga miskin, memberi gambaran
bahwa penerangan yang bersumber dari PLN belum sepenuhnya terjangkau oleh
beberapa lapisan masyarakat di pedesaan, di tengah-tengah program pemerataan
pembangunan listrik masuk desa. Gambaran tentang kondisi rumah tangga contoh
berdasarkan sumber penerangan seperti pada Tabel 2.
Struktur Penguasaan Asset
Struktur penguasaan asset rumah tangga petani responden, secara umum
meliputi kelengkapan peralatan sarana rumah tangga serta pemilikan rumah tangga
akan ternak, alsintan serta asset lahan sebagai modal dalam kegiatan usahatani
keluarga. Dalam kondisi tertentu penguasaan asset pada setiap rumah tangga di setiap
desa contoh relatif bervariasi satu sama lain dan biasanya asset kelengkapan sarana
tersebut sangat berkaitan dengan kebutuhan riil kehidupan rumah tangga, walaupun
disisi lain kelengkapan tersebut merupakan suatu pembuktian prestise atas klasifikasi
tingkat sosial ekonomi antar rumah tangga di pedesaan.
Gambaran kondisi rumah tangga di lima desa contoh berkaitan dengan
pemilihan asset peralatan rumah tangga seperti radio menunjukkan bahwa hampir di
seluruh desa, rumah tangga petani telah memiliki alat komunikasi radio/tape recorder.
Sebagai contoh, pemilikan radio di beberapa desa yang termasuk rumah tangga petani
miskin, masing-masing di desa Gilingsari (60,0%); desa Donorejo (46,7%); desa Krajan
(36,4%); Pagersari dan Sukomarto, masing-masing 62,5 persen dan 50,0 persen serta
sisanya tidak memiliki peralatan tersebut.
Berdasarkan sumber perolehan, secara umum radio/tape recorder tersebut
berasal dari hasil pembelian, seperti pada beberapa rumah tangga di desa Gilingsari,
Donorejo, Pagersari dan Sukomarto. Sebaliknya terjadi pada kondisi di desa Krajan,
dimana 66,7 persen berasal dari pemberian seperti di desa Sukomarto mencapai 4,55
persen. Sementara pemilikan sarana TV berwarna, relatif cukup besar dibandingkan
dengan pemilikan TV hitam putih. Dari kondisi ini nampaknya tuntutan perubahan untuk
memenuhi kebutuhan informasi yang lebih baik telah membawa pergeseran selera
rumah tangga untuk melengkapi sarana komunikasi yang lebih menarik. Dengan
demikian secara nyata terlihat bahwa persentase pemilikan TV hitam putih relatif rendah
(Tabel 3).
12
Tabel 3. Kelengkapan Peralatan Rumah Tangga Contoh di Kabupaten Temanggung, 2004
No. Uraian Gilingsari Donorojo Krajan Pagersari Sukomarto
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Radio / Tape Recorder- Pemilikan (%)- Sumber Perolehan (%)
- Beli- Pemberian- Kombinasi
Televisi Hitam Putih- Pemilikan (%)- Sumber Perolehan (%)
- Beli- Pemberian- Kombinasi
Televisi Berwarna- Pemilikan (%)- Sumber Perolehan (%)
- Beli- Pemberian- Kombinasi
V C D- Pemilikan (%)- Sumber Perolehan (%)
- Beli- Pemberian- Kombinasi
Kulkas- Pemilikan (%)- Sumber Perolehan (%)
- Beli- Pemberian- Kombinasi
Pompa Listrik- Pemilikan (%)- Sumber Perolehan (%)
- Beli- Pemberian- Kombinasi
Pompa Tangan- Pemilikan (%)- Sumber Perolehan (%)
- Beli- Pemberian- Kombinasi
Kompor Minyak Tanah- Pemilikan (%)- Sumber Perolehan (%)
- Beli- Pemberian- Kombinasi
60,0
100,00
0,0
100.00
80,0
100,00
40,0
100,00
20,0
100,00
0,0
20,0
100,00
40,0
100,00
46,7
100,00
20,0
100,00
20,0
100,00
6,7
100,00
0,0
0,0
0,0
0,0
36,4
33,366,7
18,2
100,00
72,7
100,00
9,1
100,00
0,0
0,0
0,0
27,3
30,0070,00
62,5
100,00
37,5
100,00
37,5
100,00
25,0
100,00
0,0
0,0
0,0
37,5
37,562,5
50,0
100,00
50,0
0,0
66,7
100,00
16,7
100,00
0,0
33,3
100,00
0,0
66,7
100,00
13
Tabel 3. (Lanjutan)
Sumber: Data Primer diolah, 2004.
Tingkat pemilikan peralatan rumah tangga yang hampir merata dimiliki oleh
setiap rumah tangga di lima desa contoh adalah jenis peralatan kompor minyak tanah,
kecuali di desa Donorejo. Berdasarkan sumber perolehan, sebagian alat-alat tersebut
berasal dari pembelian disamping sebagian lainnya berasal dari hasil pemberian, seperti
terjadi pada rumah tangga di desa Krajan dan desa Pagersari (Tabel 3). Kepemilikan
mesin jahit walaupun persentasenya kecil, terbatas pada sebagian rumah tangga di
desa Donorejo, Krajan dan Sukomarto dengan kepemilikan yang diperoleh semuanya
dari hasil pembelian. (Tabel 3).
Walaupun jaringan listrik dari PLN telah menjangkau hampir semua desa yang
ada, namun masih terdapat beberapa responden yang memiliki lampu petromak, kecuali
pada kelompok rumahtangga di desa Gilingsari dan Donorejo. Pemilikan peralatan ini
No. Uraian Gilingsari Donorojo Krajan Pagersari Sukomarto
9.
10.
11
Kompor Gas- Pemilikan (%)- Sumber Perolehan (%)
- Beli- Pemberian- Kombinasi
Mesin Jahit- Pemilikan (%)- Sumber Perolehan (%)
- Beli- Pemberian- Kombinasi
Lampu Petromak- Pemilikan (%)- Sumber Perolehan (%)
- Beli- Pemberian- Kombinasi
20,0
100,00
0,0
20,0
100,00
0,0
20,0
100,00
13,3
100,00
0,0
9,1
100,00
0,0
25,0
100,00
0,0
0,0
0,0
100,00
33,3
100,00
0,0
12.
13.
Diesel- Pemilikan (%)- Sumber Perolehan (%)
- Beli- Pemberian- Kombinasi
Meubelair- Pemilikan (%)- Sumber Perolehan (%)
- Beli- Pemberian- Kombinasi
0,0
100,00
100,00
0,0
73,3
100,00
0,0
100,00
100,00
0,0
100,00
100,00
0,0
100,00
100,00
14
pada dasarnya hanya dipergunakan sebagai cadangan apabila sewaktu-waktu terjadi
pemadaman aliran listrik dan bukan merupakan keperluan pokok.
Pemilikan jenis peralatan mebelaer pada setiap rumah tangga relatif merata,
walaupun berdasarkan sumber perolehannya relatif beragam baik dari hasil pembuatan
sendiri ataupun dari hasil pembelian ataupun pemberian. Jenis peralatan yang relatif
baru dan masuk kategori sekunder/tersier seperti Magic jar telah dimiliki oleh rumah
tangga responden di setiap desa contoh yang diperoleh dengan cara pembelian.
Persentase pemilikan alat rumah tangga pada masing-masing desa contoh, seperti pada
Tabel 3.
Pembahasan mengenai kepemilikan asset penting lainnya yang sangat erat
kaitannya dengan aktivitas sebagian besar rumah tangga responden dalam kegiatan
usaha pertanian, adalah mengenai kepemilikan asset lahan/tanah yang selama ini
diusahakan. Berdasarkan agroekosistem pada setiap desa contoh, jenis kepemilikan
lahan cenderung bervariasi dari satu desa dengan desa lainnya. Namun demikian
secara umum kajian dilakukan untuk semua jenis lahan yang ada di lima desa contoh,
sehingga meliputi lahan sawah baik tadah hujan maupun sawah irigasi, kepemilikan
ladang, kebun, kolam serta pekarangan.
Hasil analisis data primer di tingkat responden menunjukkan bahwa rata-rata
luas penguasaan lahan pekarangan pada setiap desa contoh relatif kecil yaitu berkisar
antara 0,01; 0,02 ataupun 0,03 hektar dengan status milik pada sebagian besar
responden. Luas penguasaan lahan sawah di desa Pagersari, dimana berdasarkan
agroekositemnya cukup beragam dan dengan jenis lahan sawah yang dominan, rata-
rata penguasaannya antara 0,2 hingga 0,37. Status penguasaan lahan yang relatif
cukup luas bagi rumahtangga relatif beragam, dimana selain milik sendiri juga dilakukan
dengan sistem sewa, sakap serta sistem lainnya.
Gambaran penguasaan lahan di desa Donorejo, dengan agroekosistem lahan
kering dataran tinggi yang cukup dominan, menunjukkan bahwa pemilikan rata-rata
lahan ladang dan kebun relatif cukup luas. Sekalipun demikian terdapat pula beberapa
rumah tangga yang melakukan kegiatan pertanian di lahan sawah, dengan ukuran
cukup luas yang dilakukan melalui dengan status penguasaan milik maupun sewa.
Penguasaan lahan Pertanian di desa Krajan yang mempunyai agroekosistem lahan
kering dataran rendah, sawah tadah hujan dan sebagian lahan sawah pada lahan
sekitar rencana investasi, memberi gambaran bahwa penguasaan lahan dengan status
milik luasnya antara 0,17 dan 0,23 hektar.
15
Desa Pagersari dengan agroekosistem dataran tinggi yang subur, pemilikan
lahan juga cukup variatif antara jenis lahan sawah maupun ladang, dengan status milik
maupun sewa. Luasan pemilikan lahan antara 0,22 dan 0,70 hektar. Kondisi
agroekosistem dataran rendah dimana sebagian besar lokasi wilayah di dominasi oleh
lahan persawahan dan lahan tegalan maka penguasaan dua lahan jenis tersebut relatif
cukup luas di desa Sukomarto, dengan status lahan sebagian besar telah merupakan
milik rumah tangga responden.
Secara umum, luas penguasaan lahan yang dipergunakan sebagai tempat
berusahatani yang dimiliki oleh sebagian besar responden pada lima desa contoh, rata-
rata pemilikannya hampir merata, dimana setiap rumah tangga responden yang memiliki
lahan hanya memiliki satu persil pada setiap agroekosistem. Persentase keragaan
tentang rata-rata luas penguasaan lahan oleh masing-masing rumah tangga di lima
desa contoh dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Rata-rata Penguasaan Lahan Pertanian pada Rumah Tangga Contoh di Kabupaten Temanggung Berdasarkan Jenis lahan, 2004 (hektar)
Desa Status Peka-ranganSawah
Tadah HujanSawah Irigasi
Ladang Kebun
Pagersari
Sukomarto
Jumlah Persil Milik Sewa Sakap Lainnya Total
Jumlah Persil Milik Sewa Sakap Lainnya Total
1,090,01
---
0,01
1,000,02
---
0,02
1,250,18
---
0,18
------
2,000,23
---
0,23
------
1,170,17
---
0,17
2,130,730,25
-0,700,76
------
------
Gilingsari
Donorojo
Krajan
Jumlah Persil Milik Sewa Sakap Lainnya TotalJumlah Persil Milik Sewa Sakap Lainnya Total
Jumlah persil Milik Sewa Sakap Lainnya Total
1,000,03
---
0,031,070,01
---
0,01
1,170,02
---
0,02
2,000,200,20
--
0,401,000,50
---
0,50
1,00,43
---
0,42
1,250,37
-0,25
-0,34
------
1,00,52
---
0,52
------
1,240,500,25
--
0,48
------
------
1,000,25
---
0,25
------
Sumber: Data Primer diolah, 2004.
16
Pemilikan asset rumah tangga contoh pada kegiatan peternakan relatif terfokus
pada beberapa jenis ternak yang biasa dipelihara oleh masyarakat pedesaan pada
umumnya, seperti ternak besar, ternak kecil maupun jenis unggul lainnya. Pada
beberapa rumah tangga contoh, jensi ternak besar yang dipelihara terbatas pada jenis
ternak sapi, baik dengan status milik sendiri atau dilakukan dengan sistem gaduhan.
Pola tersebut juga berlaku pada pemeliharaan ternak kecil, seperti kambing maupun
domba dengan persentase yang cukup merata pada setiap rumahtangga desa contoh.
Sementara jenis ternak unggas yang biasa dipelihara sebagai ternak keluarga adalah
jenis ternak ayam (ras maupun buras) dan sebagian jenis itik (Tabel 5).
Tabel 5. Persentase Pemilikan Ternak Rumah Tangga Contoh di Kabupaten Temanggung, 2004
Sumber : Data Primer, diolah (2004)
Pemeliharaan jenis ternak-ternak tersebut dimaksudkan tidaksaja untuk hewan
ternak yang membantu pengolahan lahan juga pada beberapa rumahtangga,
pemeliharaan ternak dilakukan dengan tujuan sebagai tabungan untuk menutupi
kebutuhan biaya rumahtangga sehari-hari, baik untuk konsumsi atau kebutuhan lain
yang lebih bersifat mendesak.
Asset lain yang dimiliki oleh sebagian besar rumah tangga contoh, terutama
yang erat kaitannya dengan kegiatan usaha pertanian adalah kepemilikan Handsprayer
dimana secara persentase menunjukkan bahwa sebagian besar telah memilikinya pada
setiap lokasi desa contoh. Pemilikan alat pertanian ini secara hampir merata, mengingat
bagi sebagian besar petani sangat membantu, khususnya pada saat dilakukan
penyemprotan hama dan penyakit pada setiap tanaman yang diusahakan oleh masing-
masing petani responden di lima desa contoh. Jenis pemilikan alat pertanian lain yang
dimiliki dengan persentase yang relatif kecil adalah bajak singkal, pompa air dan traktor
No. Jenis Ternak Gilingsari Donorojo Krajan Pagersari Sukomarto1.2.3.4.5.6.7.8.9.
10.11.
SapiKerbauKudaKambingDombaBabiAyam RasAyam BurasItikKelinciAnjing
---
40,0---
60,0---
6,67--
53,3333,33
-6,7
26,67---
27,27--
27,2727,2727,27
-9,09
---
---
87,5012,50
------
16,67--
16,67---
50,0-
16,67-
17
walaupun pemilikannya bukan merupakan asset murni rumahtangga petani di desa
Gilingsari maupun Sukomarto. Gambaran tentang pemilikan asset alat dan mesin
pertanian pada rumahtangga contoh dapat dilihat pada Tabel 6.
Pemilikan asset kendaraan bermotor sebagai sarana transportasi yang dimiliki
oleh rumahtangga contoh, di lima desa sebagian terbatas pada pemilikan sepeda
motor,. Tersedianya sarana prasarana jalan telah mendorong aksessibilitas masyarakat
di desa Gilingsari, Sukomarto dan desa contoh lainnya untuk memiliki sarana
transportasi sendiri atau digunakan untuk jasa angkutan dari desa ke beberapa pusat
kegiatan di kecamatan maupun ke tingkat kabupaten. Selain pemilikan sepeda motor,
pada beberapa rumahtangga i di desa Pagersari telah memiliki kendaraan mobil.
Persentase rumahtangga yang memiliki di desa Gilingsari 12,5 persen. Persentase
pemilikan sarana transportasi baik motor, mobil dan sepeda sebagai alat transportasi di
beberapa desa contoh, dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Persentase Pemilikan Alsintan dan Alat Transportasi Pada Rumah Tangga Contoh di Kabupaten Temanggung, 2004
Sumber : Data Primer, diolah (2004)
No. Jenis Ternak Gilingsari Donorojo Krajan Pagersari Sukomarto
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Hand traktor
Thresher
Pompa air
Hand sprayer
Bajak/Singkal
Lainnya
Mobil
Sepeda motor
Sepeda
Becak
Delman
Gerobak
Lainnya
20,0
-
-
20,0
-
-
-
20,0
-
-
-
-
-
-
-
-
33,33
-
-
-
6,67
6,67
-
-
-
-
-
-
-
18,18
9,09
4,55
-
9,09
9,09
-
-
-
-
-
-
-
37,50
-
-
12,5
37,5
12,5
-
-
-
-
-
-
-
83,33
-
-
-
66,67
33,33
-
-
-
-
18
Struktur Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga
Struktur Pendapatan Rumah Tangga (on-farm, off-farm, non-farm)
Distribusi pendapatan yang diperoleh rumah tangga responden di lima desa
relatif cukup beragam, terutama sangat erat kaitannya dengan latar belakang
agroekosistem pada masing-masing desa contoh. Sumber pendapatan rumah tangga
petani tidak saja dari kegiatan usaha pertanian (on-farm) tetapi juga diperoleh dari
kegiatan off-farm dan kegiatan dari luar sektor pertanian (non-farm). Seperti telah
dijelaskan sebelumnya
Berdasarkan data sumber penerimaan rumah tangga pada Tabel 7 terlihat
bahwa sumber pendapatan rumah tangga petani sebagian besar hanya dari kegiatan
usahatani di lahan sawah, dengan persentase mencapai 86,34 persen, sisanya dari
hasil peternakan (3,73%) dan buruhtani (5,77%) serta buruh bangunan (4,16%).
Analisa sumber pendapatan pada rumah tangga responden terlihat bahwa
usahatani di lahan tegalan merupakan sumber penerimaan yang cukup besar (44,13%),
kemudian kegiatan sawah (18,64%), peternakan (17,50%) serta buruh tani (12,03%),
sisanya tersebar pada sumber penerimaan lainnya. Sumber penerimaan rumah tangga
di desa Krajan sebagian besar diperoleh dari usaha dagang (23,33%), kemudian
usahatani di lahan sawah (29,04%) dan dari hasil peternakan (16,78%).
Sumber pendapatan rumah tangga di desa Pagersari, sumber sebagian berasal
dari kegiatan usahatani di lahan tegalan (49,72%) begitu pula untuk rumah tangga
petani yang berpendapatan rendah (79,28%). Sumber penerimaan lain yang cukup
besar pada kelompok pendapatan tinggi juga diperoleh dari usahatani di lahan sawah
(20,88%) dan usaha dagang (12,48%). Sementara penerimaan yang cukup besar
lainnya pada kelompok pendapatan rendah diperoleh dari kegiatan berburuh tani
(11,98%). Gambaran sumber penerimaan rumah tangga di desa Sukomarto dengan
agroekosistem lahan sawah, memberikan konstribusi penerimaan sebesar 82,15
persen. Sementara sumber pendapatan lain, diperoleh dari PNS (7,93%) serta buruh
tani (6,39%). Data sumber penerimaan pada lima desa contoh secara rinci dapat dilihat
pada Tabel 7.
19
Tabel 7. Struktur Penerimaan Rumah Tangga per Tahun Berdasarkan Sumber dan Spesifikasi Penerimaan di Kabupaten Temanggung, 2004
Gilingsari Donorejo Krajan Pagersari SukomartoNo.
Sumber dan Spesifikasi Penerimaan Rumah Tangga Responden Rp 000 % Rp 000 % Rp 000 % Rp 000 % Rp 000 %
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Petani sawah
Petani tegal
Petani kebun
Peternak
Buruh tani
Usaha industri
Tukang bangunan
Buruh bangunan
Usaha jasa transportasi
Usaha dagang
Pemberian
PNS/TNI/dan lain-lain
Lainnya
2695,18
-
290,69
900,00
-
-
650,00
-
-
-
-
-
-
86,34
-
3,73
5,77
-
-
4,16
-
-
-
-
-
-
1547,94
1832,46
660,45
1249,00
-
200,00
-
-
-
-
600,00
1950,00
450,00
18,64
44,13
17,50
12,03
-
0,48
-
-
-
-
1,44
4,70
1,08
1477,42
1086,75
853,66
1500,00
-
900,00
1500,00
1080,00
3980,00
-
-
-
375,00
29,04
8,01
16,18
7,37
-
2,21
3,69
2,65
29,33
-
-
-
0,92
933,90
1912,57
405,00
-
-
-
-
-
550,00
-
-
-
-
5,53
79,23
11,98
-
-
-
-
-
3,26
-
-
-
-
3108,41
-
267,50
1450,00
-
-
-
-
-
-
1800,00
-
-
82,15
-
3,53
6,39
-
-
-
-
-
-
7,93
-
-
Rata-rata Jumlah 1734,14 100,00 1221,33 100,00 1356,79 100,00 1206,92 100,00 2063,90 100,00
Sumber : Data Primer, diolah (2004)
20
Struktur Pengeluaran Rumah Tangga
Struktur pengeluaran dalam suatu rumah tangga pada satu periode pengeluaran,
biasanya dapat dijadikan indikator bagi upaya analisa tingkat kemampuan rumah tangga
terhadap pemenuhan kebutuhan dan sekaligus dapat merepleksikan tingkat sosial
rumah tangga dalam suatu lingkungan komunitas berada. Secara teoritis, bagi sebagian
rumah tangga yang mempnyai pendapatan rendah maka hampir sebagian atau seluruh
pendapatannya akan dibelanjakan untuk pemenuhan kebutuhan primer.
Berdasarkan kondisi empirik ditingkat responden, seperti halnya di desa Gilingsari
proporsi pengeluaran rata-rata rumah tangga pertahun, 19,79 persen dialokasikan untuk
pemenuhan konsumsi lauk-pauk; 17,71 persen untuk pendidikan dan 15,17 persen
pengeluaran untuk pemenuhan konsumsi beras. Gambaran pola konsumsi rumah
tangga di desa Donorojo sebagian besar (20,88%) adalah untuk pemenuhan kebutuhan
lauk-pauk, pakaian (13,22) dan untuk beras sebesar 13,34 persen. Di desa Krajan,
Pagersari dan Sukomarto, nampaknya persentase pengeluaran untuk lauk-pauk
menempati urutan jumlah yang cukup besar pada rumahtangga petani miskin, seperti
pada Tabel 8 dan 9.
Tabel 8. Struktur Pengeluaran Rumah Tangga Contoh per Tahun Berdasarkan JenisPengeluaran di Kabupaten Temanggung, 2004 (dalam %)
No. Uraian Gilingsari Donorejo Krajan Pagersari Sukomarto
1.
2.
PANGAN- Beras- Kopi/gula/teh/susu- Lauk-pauk/sayuran- Rokok/tembakau- Lainnya
NON PANGAN- Sabun cuci/mandi/pasta gigi- Kosmetika- Pendidikan- Pakaian- Kesehatan- Rekreasi- Sosial- Perbaikan rumah- Listrik- BBM- Lainnya
15,176,1419,790,940,71
7,730,9817,717,830,880,2011,820,985,242,141,76
13,3412,0720,887,220,15
7,960,544,8913,222,300,0011,161,624,500,150,00
18,537,8517,095,520,43
4,871,0010,7311,671,700,0010,713,493,972,440,00
16,2812,0617,263,790,00
9,940,757,518,280,240,009,610,635,595,402,66
15,097,3812,472,690,59
5,811,7811,8410,646,670,0018,350,176,144,490,87
Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00Sumber: Data Primer diolah,. 2004.
21
UPAYA PEMBERDAYAAN
Permasalahan yang cukup penting dari gambaran keterbatasan asset yang
merupakan kondisi kemiskinan struktural yang dimiliki oleh rumahtangga miskin
tersebut, adalah bahwa pada dasarnya adanya keterbatasan dalam memperoleh
sumber pendapatan bagi rumahtangga. Keterbatasan pemilikan dan pengusahaan lahan
pertanian sebagai sumber mata pencaharian utama rumahtangga, kemudian
diversifikasi sumber mata pencaharian yang relatif terbatas telah membatasi upaya
untuk meningkatkan produktivitas yang bisa memperoleh pendapatan bagi pemenuhan
kebutuhan hidup keluarga, disisi lain kegiatan di sektor pertanian bagi sebagian
masyarakat telah dilakukan selama bertahun-tahun secara turun temurun, sekaligus
merupakan modal kuat untuk ditingkatkan selama menjadi sumber mata pencaharian
utama yang bisa memberikan hasil yang cukup bagi individu petani, juga secara
kewilayahan da-pat mendorong suatu pemikiran ke arah pemberdayaan secara
berasama-sama memperbaiki kekurangan yang berhubungan dengan aksessibilitas
yang menunjang peningkatan pendapatan individu di wilayah bisa tercapai.
Dengan kata lain pemberdayaan yang harus dilakukan dalam keterbatasan ini,
tidak hanya ditingkat individu petani/rumahtangga miskin, tetapi secara bersama-sama
pada skala wilayah yang lebih luas dimana komunitas kelompok rumahtangga miskin
tersebut berada. Dengan demikian secara bersamaan, proses dan upaya
pengentasannya dilakukan. Proses tersebut tidak akan berhasil apabila hanya
didasarkan oleh upaya individu rumahtangga miskin sendiri tetapi harus ada upaya dari
luar baik dari lembaga pemerintah, swasta dan partisipan lain untuk ikut serta terlibat
dalam tujuan diatas secara sistematis berjalan pada peran dan fungsi masing-masing.
Dari sisi individu masyarakat, melalui upaya partisipatif berupaya untuk dapat
meningkatkan kegiatan usahatani maupun diversifikasi usaha di kegiatan off-farm
maupun non-farm, sementara ditingkat institusi luar berperan untuk memperbaiki dan
sekaligus memfasilitasi kebutuhan masyarakat berdasarkan skala prioritas kebutuhan
yang berkaitan langsung dengan kegiatan yang dilakukan masyarakat di wilayahnya.
Pemberdayaan melalui kegiatan PFI3P telah mendorong wilayah di tingkat
institusi, dengan membangun sarana prasarana yang dibutuhkan masyarakat/wilayah
miskin dengan catatan agar mengurangi keterbatasan dan permasalahan yang selama
ini menjadi kendala dalam upaya peningkatan usaha dan pencapaian pendapatan
rumahtangga miskin yang dilatarbelakangi dengan potensi sumberdaya alam yang
cukup untuk untuk ditingkatkan.
22
Secara fisik kegiatan PFI3P telah melakukan pembangunan sarana jalan
usahatani, jembatan, membangun dan memperbaiki saluran irigasi, pasar serta akses
komunikasi lainnya dengan tujuan untuk mempercepat peningkatan aksessibilitas
wilayah dan sekaligus mendorong pergerakan perekonomian wilayah potensial serta
membuka wilayah miskin kearah tatanan sosial yang lebih luas sebagai upaya mencari
umpan balik bagi perkembangan sosial ekonomi ke dalam wilayah miskin tersebut.
Diharapkan secara bertahap upaya yang dilakukan oleh PFI3P menjadi pembuka
bagi perbaikan kondisi sosial ekonomi rumahtangga petani miskin, sekaligus terjadi
peningkatan informasi teknologi yang bisa mendorong upaya-upaya perbaikan sistem
usahatani yang dilakukan oleh individu petani masing-masing selama ini. Sehingga
melalui proses ini juga secara tidak langsung dapat memperbaiki peningkatan struktur
asset petani yang dimiliki serta terjadi peningkatan pendapatan rumahtangga petani
secara keseluruhan.
PENUTUP
Secara individu, keterbatasan sumber pendapatan dan pemilikan asset
nampaknya masih merupakan cermin tingkat kemiskinan rumahtangga petani selama
ini. Dilihat secara kewilayahan keterbatasan sarana prasarana yang mendukung
aksessibilitas wilayah miskin juga menjadi kendala dalam upaya mencari alternatif
pemecahan atas ketidakmampuan secara finansial wilayah untuk mengupayakan
perbaikan kondisi sosial ekonomi komunitasnya dengan dunia luar yang selama ini
menjadi beban langsung masyarakat atas keterbatasan yang dimiliki wilayah. Terjadinya
kegiatan ekonomi biaya tinggi dan tidak adanya interaksi sosial dengan dunia luar akan
semakin mendorong wilayah/rumahtangga miskin ”terbenam” pada persoalan-persoalan
kemiskinan secara turun temurun, dengan segala keterbatasan komunitas.
Kebutuhan perbaikan sosial ekonomi yang tumbuh secara partisipatif melalui
pengalaman usahatani yang selama ini telah dilakukan secara turun temurun menjadi
modal kuat untuk perbaikan kedepan. Sementara introduksi teknologi melalui sarana
prasarana wilayah yang dibangun diharapkan menjadi media untuk mendorong kearah
percepatan pemberdayaan rumahtangga/wilayah miskin dengan dunia luar. Bila kedua
upaya ini secara sinergis berjalan pada satu tujuan yang sama, maka secara bertahap
proses peningkatan kondisi sosial ekonomi akan tercapai sehingga tujuan
penaggulangan kemiskinan yang diupayakan secara nasional melalui pendekatan
system approach, decission making model dan structural approach dalam jangka
panjang, secara bertahap akan bisa terwujud.
23
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2000. Lampiran Undang-undang Republik Indonesia No.25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) tahun 2000-2004.
Anonimous. 2002. Pedoman Umum Bantuan Langsung Masyarakat Tahun 2002. Jakarta. Departemen Pertanian.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2003. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2003 (Buku I Provinsi dan Buku II Kabupaten). CV. Nasional. Jakarta.
BPS dan Bappeda Kabupaten Temanggung. 2003. Temanggung Dalam Angka Tahun 2003. BPS dan Bappeda Kabupaten Temanggung.
Kasryno, F. And A.Suryana, 1992. Long Term Planning for Agricultural Development Related to Poverty Alleviation in Rural Areas dalam Pasandaran , E. et al., (Eds.). Poverty Alleviation with Sustainable Agricultural and Rural Development in Indonesia. Proceedings of National Seminar and Workshop, Bogor. Indonesia.
Nurmanaf, A.R., S. Wahyuni, H. Maryowani, V. Darwis, C. Muslim dan Sugiarto. 2002. Laporan Hasil Penelitian : Strategi Penanggulangan Kemiskinan Dalam Perspektif Pembangunan Partisipatif di Wilayah Agroekosistem Marjinal. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Departemen Pertanian. Bogor.
PFI3P. 2003. Konsep Awal Inovasi Teknologi Mendukung Pengembangan Agribisnis Pertanian Lahan Marginal. Jakarta.
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. 1993. Rangkuman Hasil Penelitian Identifikasi Wilayah Miskin di Indonesia dan Alternatif Upaya Penanggulangan-nya 1992/1993. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Rachman, A. Abdurachman dan S. Sukmana. 1990. Pengaruh Berbagai Teknik Konservasi Tanah terhadap Erosi, Aliran Permukaan dan Hasil Tanaman Pangan pada Tanah Typic Eutropept di Ungaran. Makalah disampaikan pada pembahasan hasil penelitian pertanian lahan kering dan konservasi tanah, Tugu-Bogor.
Semodiningrat, G. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Zakaria, A.K., B. Irawan dan D.K. Swastika. 2003. Laporan Akhir Sosio-Economic Baseline Survey for Poor Farmers’ Income Improvement Through Innovation Project (PFI3P) in Temanggung, Central Java. Kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian dengan Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Miskin melalui Inovasi (Poor Farmers’ Income Improvement Through Innovation Project/PFI3P).
24
Lampiran 1. Kerangka Berpikir Kegiatan PFI3P
1. Membentuk kelompok tani
2. Meningkatkan peran serta perempuan dan petani miskin dalam kelompok tani
3. Menyediakan fasilitator4. Menumbuhkan proses
partisipatif dalam pengambilan keputusan
1. Membentuk VPIC yang berfungsi sebagai badan di tingkat desa
2. Membentuk PIVF di tingkat kecamatan
3. Membentuk DCC sebagai forum untuk dukungan teknis investasi desa
4. memformalkan ketiga kelembagaan diatas dalam struktur administratif kabupaten
1. Memanfaatkan kelompok tani dalam proses partisipatif untuk investasi desa mendukung inovasi
2. Membangun kemitraan antara kelompok tani dengan swasta untuk investasi dan adopsi inovasi
3. Mengusulkan biaya investasi desa
1. Meningkatkan ruang lingkup sistem informasi harga pasar untuk memenuhi kebutuhan di 4 propinsi PFI3P pada tahun ke empat
2. Menyediakan informasi harga pasar secara umum di tingkat produsen dan pasar
3. Mengembangan sistem informasi secara nasional setelah proyek berakhir
4. Memutakhirkan informasi pertanian secara reguler dan dapat dioperasikan pada tahun ke 4.
5. Membangun website informasi pertanian dan agribisnis
6. Memanfaatkan website pertanian untuk kegiatan bisnis pada tahunkedua setelah websiteoperasional.
7. Membangun pusat-pusat informasi di tingkat kabupaten dan dapat operasional pada tahun ketiga
1. Melaksanakan outreachprogram untuk penyebaran teknologi tepat guna
2. Melaksanakan program penelitian spesifik untuk lahan marginal
3. Mengembangkan metode produksi dan pemasaran pertanian
4. Menyelenggarakan kegiatan diseminasi hasil litkaji
MobilisasiKelompok
PengembanganKelembagaan
InvestasiDesa
Pengembangan Website Pertanian Nasional dan Pengembangan Pusat
Informasi Lokal
Pengembangan dan Diseminasi Inovasi
Pertanian
PERBAIKAN SARANA DAN PRASARANAMENINGKATNYA AKSES
INFORMASI
REORIENTASI PENELITIAN PERTANIAN
LAHAN MARGINAL
MENINGKATNYA INOVASI DALAM PRODUKSI DAN PEMASARAN HASIL PERTANIAN
OLEH PETANI MISKIN GOAL
MANFAAT
INPUT/ KEGIATAN
LUARAN
top related