icaserd working paper no -...
Post on 12-Sep-2019
1 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ICASERD WORKING PAPER No.40
PEMBERDAYAAN PETANI DAN KELEMBAGAAN AGRIBISNIS LOKAL DALAM PERSPEKTIF GENDER : Kasus di Desa-desa di Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta
Endang Lestari Hastuti
Maret 2004
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianDepartemen Pertanian
ICASERD WORKING PAPER No.40
PEMBERDAYAAN PETANI DAN KELEMBAGAAN AGRIBISNIS LOKAL DALAM PERSPEKTIF GENDER : Kasus di Desa-desa di Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta
Endang Lestari Hastuti
Maret 2004
Working Paper adalah publikasi yang memuat tulisan ilmiah peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian mengenai hasil penelitian, gagasan ilmiah, opini, pengembangan metodologi, pengembangan alat analisis, argumentasi kebijakan, pandangan ilmiah, dan review hasil penelitian. Penanggung jawab Working Paper adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, dengan Pengelola : Dr. Handewi P. Saliem, Dr. A. Rozany Nurmanaf, Ir. Tri Pranadji MSi, dan Dr. Yusmichad Yusdja. Redaksi: Ir. Wahyuning K. Sejati MSi; Ashari SP MSi; Sri Sunari, Kardjono, dan Edi Ahmad Saubari. Alamat Redaksi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No.70 Bogor 16161, Telp. 0251-333964, Fax. 0251-314496, E-mail : caser@indosat.net.id
No. Dok.043.40.3.04
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic Research and Development)Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianDepartemen Pertanian
1
PEMBERDAYAAN PETANI DAN KELEMBAGAANAGRIBISNIS LOKAL DALAM PERSPEKTIF GENDER:
Kasus di Desa-desa di Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta
Endang Lestari HastutiPusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian
Jl. A. Yani No.70 Bogor 16161
ABSTRAK
Dalam kegiatan agribisnis baik pria maupun wanita seharusnya mempunyai peran yang sama-sama penting. Pria lebih berperan di dalam kegiatan produksi, sedang wanita dalam kegiatan pengolahan dan pemasaran. Terdapat suatu lembaga yang membatasi pria dalam kegiatan pemasaran. Organisasi-organisasi yang seharusnya mendukung perkembangan agribisnis ternyata belum dapat berperan secara optimal. Akses dan kontrol wanita terhadap organisasi pendukung agribisnis lebih rendah dibanding pria. Hal ini disebabkan masih kentalnya budaya yang membatasi wanita. Pemberdayaan petani di dalam kelembagaan dan organisasi lokal yang berperspektif gender dapat dilakukan dengan cara meningkatkan keterampilan sesuai dengan peran gender yang nyata. Peningkatan akses dan kontrol terhadap permodalan dan kelembagaan agribisnis dapat dilakukan melalui kelompok-kelompok kecil di tingkat dusun, yang mempunyai tingkat solidaritas tinggi. Kebijakan berperspektif gender perlu diimplementasikan mulai dari tingkat pusat sampai desa.
Kata kunci : kelembagaan, agribisnis, gender.
PENDAHULUAN
Jumlah penduduk Indonesia tercatat 201,3 juta jiwa, dan lebih dari 60 persen
tinggal di daerah pedesaan. Sedang proporsi penduduk wanita mencapai 49,9 persen
(BPS, 2000). Jumlah penduduk wanita yang cukup banyak itu merupakan aset yang
dapat diberdayakan untuk pembangunan. Namun demikian tenaga kerja wanita yang
tinggal di pedesaan pada umumnya bekerja di sektor pertanian dengan kualitas
pendidikan rendah, dan hanya merupakan pekerja keluarga yang pada umumnya tidak
mendapat upah/dinilai secara ekonomis atas jerih payahnya (Syarif, 1995).
Dari berbagai hasil penelitian ditemukan bahwa wanita mempunyai kontribusi
nyata dalam kegiatan yang menghasilkan produk pertanian, dan sekaligus hampir
menanggung seluruh beban pekerjaan rumahtangga (Hart, 1978; Pujiwati, 1987; Hastuti
et al., 1999). Di bidang agribisnis wanita mempunyai peranan yang cukup besar mulai
dari tingkat penyediaan benih sampai dengan pemasaran. Bahkan wanita terpaksa harus
berperan pada kegiatan yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan, seperti kegiatan
penyemprotan hama dan penyakit. Hal ini dilakukan karena sebagian besar pria
bermigrasi musiman ke kota untuk mencari tambahan penghasilan rumahtangga. Oleh
2
karena itu di daerah di mana pria atau suami terpaksa harus merantau, wanita dituntut
harus mampu berperan ganda yaitu bekerja di bidang “rumahtangga” sekaligus di bidang
“pencari nafkah” khususnya di bidang produksi pertanian.
Peranan lingkungan fisik, sosial, maupun ekonomi dapat mengubah peran gender
secara efektif. Misalnya, wanita transmigran yang berasal dari Jawa di daerah pedesaan
NTB, terpaksa harus ikut berburuh mencangkul. Secara sosial kegiatan mencangkul
jarang dilakukan di daerah asalnya, karena dianggap tidak pantas dilakukan oleh wanita
(Pranadji et al., 2000). Di lain pihak keterlibatan wanita di dalam institusi lokal relatif
terbatas pada kegiatan kelembagaan/institusi yang sesuai dengan kodrat wanita seperti
PKK, Posyandu, dan sebagainya. Partisipasi wanita dalam kelembagaan yang
menunjang agribisnis seperti KUD, BRI, Kelompok Tani, masih relatif sangat rendah.
Meskipun kontribusi wanita pada kegiatan pertanian dan lingkungan sangat
nyata, pengalaman menunjukkan bahwa idiologi gender seringkali menyebabkan peran
wanita diabaikan/kurang diakui secara ekonomis maupun sosial. Pada gilirannya peran
wanita kurang mendapat perhatian dalam kegiatan pembangunan pertanian maupun
pedesaan. Hingga saat ini, masih terdapat perbedaan pandangan mengenai hubungan
pria dan wanita di dalam masyarakat agraris, dimana wanita dipandang lebih berperan
dan berpengaruh di dalam “dunia rumahtangga”, sedangkan pria lebih berperan dan
berpengaruh di “dunia luar rumah tangga” (pada kegiatan pertanian dan kegiatan
“ekonomi” lainnya) sekaligus dianggap pantas menguasai hampir semua posisi
kekuasaan terutama dalam kelembagaan formal yang ada di masyarakat. Baik secara
birokratis maupun idiologi masyarakat pria diakui sebagai “kepala rumahtangga” dan
dianggap mampu mewakili dalam semua kegiatan pembangunan ekonomi, sosial, adat,
maupun politik. Sedang wanita dianggap lebih pantas/mampu bergerak di bidang
organisasi/kelembagaan yang khusus berhubungan dengan peran biologis/
reproduktifnya, yaitu di bidang kewanitaan, khususnya ke”rumahtanggaan” (White dan
Endang, 1980).
Suatu idiologi/pandangan yang membedakan peranan pria sebagai “pencari
nafkah” dan wanita “ibu rumahtangga” menyebabkan partisipasi nyata wanita dalam
mencari nafkah hanya dianggap sebagai peran sekunder. Hal ini seringkali disahkan
dengan tegas sebagai idiologi yang meliputi semua tingkat baik negara, masyarakat,
maupun rumah tangga. Bahkan pandangan tersebut sangat berpengaruh di dalam
3
membuat kebijakan pembangunan pedesaan, khususnya pembangunan petani dan
kelembagaan lokal.
Sesungguhnya wanita berperan baik secara biologis, sosial, dan produktif.
Secara biologis wanita dikodratkan untuk menghasilkan keturunan, kemudian secara
sosial wanita diposisikan untuk mengurus dan mendidik seluruh anggota keluarga, dan
secara ekonomis wanita pun dituntut untuk dapat mengelola bahkan mencari tambahan
pendapatan untuk mencukupi kebutuhan rumahtangga, terutama bagi wanita yang
berasal dari rumah tangga kurang mampu. Kemiskinan memaksa baik pria maupun
wanita harus mampu berperan dalam berbagai macam kegiatan untuk dapat
mempertahankan kelangsungan hidup keluarga tanpa ada pembatas yang jelas mana
yang merupakan tugas biologis, sosial, maupun ekonomis produktif.
Gender berarti perbedaan pria-wanita yang bukan disebabkan oleh faktor biologis
dan kodrat Tuhan, namun behavioral differences/ perbedaan perilaku antara pria-wanita
yang disebabkan oleh faktor ekonomi, sosial, dan lingkungan, yang socialy constructed
(terbentuk secara sosial). Perbedaan tersebut bukan kodrat atau ciptaan Tuhan,
melainkan tercipta baik oleh kaum laki-laki maupun perempuan (masyarakat) melalui
proses sosial-budaya yang panjang. Caplan (1987) menegaskan bahwa perbedaan
perilaku antara pria-wanita selain karena faktor biologis, sebagian besar justru terbentuk
melalui proses sosial dan kultural yang panjang. Oleh karena itu gender dapat
berubah/berbeda dari waktu ke waktu, tempat ke tempat, bahkan dari kelas sosial
ekonomi yang berbeda. Sedangkan jenis kelamin (sex) yang disebabkan oleh faktor
biologis tidak dapat berubah/tetap. Analisis gender memusatkan perhatian pada
ketidakadilan struktural yang disebabkan oleh gender.
Perbedaan gender yang selanjutnya melahirkan peran gender sebenarnya tidak
menimbulkan masalah. Namun seringkali gender yang masih banyak dikonotasikan
dengan peran biologis/peran tradisional wanita dinilai lebih rendah/bahkan sama sekali
tidak mempunyai nilai dibanding peran gender pria. Peran gender juga menimbulkan
ketidakadilan di dalam membuat kebijakan, sehingga terjadi marginalisasi (pemiskinan
ekonomi) terhadap wanita (Fakih, 1996).
Terjadinya subordinasi pada salah satu sex yang umumnya wanita, misalnya di
dalam rumah tangga, masyarakat, maupun negara banyak kebijakan dibuat tanpa
menganggap penting wanita. Anggapan karena wanita toh nantinya akan “ke dapur”
sehingga mengapa harus sekolah tinggi? Anggapan wanita “emosional” maka dia tidak
4
dapat/tepat untuk memimpin partai atau menjadi manager? Atau karena alasan agama
wanita tidak boleh memimpin apapun, termasuk masalah keduniawian, tidak dipercaya
memberikan kesaksian, bahkan mendapat warisan yang lebih kecil. Proses subordinasi
dan diskriminasi yang memarginalisasikan wanita itulah yang menjadi permasalahan,
karena justru menghasilkan kebijakan yang tidak hanya merugikan wanita namun juga
merugikan kepentingan bangsa.
Tujuan penelitian ini adalah menyusun alternatif model pemberdayaan petani dan
institusi agribisnis lokal dalam perspektif gender. Hasil penelitian diharapkan dapat
dijadikan masukan untuk perencanaan pembangunan pedesaan, khususnya
pembangunan pertanian.
METODE PENELITIAN
Dampak yang berbeda dari suatu proses pembangunan memerlukan pendekatan
“gender” (GAD = Gender and Development). Hal ini disebabkan karena pria dan wanita
mempunyai posisi yang berbeda dalam keluarga, memainkan peran yang berbeda dalam
masyarakat, sehingga mempunyai kebutuhan yang berbeda pula dalam kaitannya
dengan kebijakan pembangunan, khususnya pembangunan pertanian di daerah
pedesaan. Hal ini sangat jauh dengan pandangan yang masih banyak dianut, yaitu
bahwa “pria dan wanita” mempunyai kepentingan yang sama, sehingga manfaat
pembangunan yang ditujukan pada pria pada akhirnya sekaligus akan bermanfaat bagi
wanita atau bagi keduanya. Padahal posisi, peran, dan kebutuhan bagi wanita dan pria
tidak selalu sama seperti norma-norma yang ada, namun dapat berbeda baik antar
waktu, tempat, generasi, dan kelas sosial ekonomi masyarakat.
Dalam upaya pendekatan topik yang berkaitan dengan penelitian pertanian
hendaknya dikenali berbagai faktor pembatas produktivitas yang berkaitan dengan
gender. Beberapa diantara faktor pembatas tersebut menurut Licuanan (1996) adalah
status sosial, hambatan memperoleh pekerjaan, status pekerjaan, dan beban ganda
wanita.
Beberapa unsur yang menjadi dasar analisis gender adalah pembagian kerja
(alokasi waktu) antara pria dan wanita, akses dan kontrol (penguasaan dan pengaturan)
terhadap sumber daya (tanah, sosial, dan keterampilan), partisipasi dalam kegiatan
kelembagaan/institusi, dan analisis dampak dan manfaat program-program
5
pembangunan/perekayasaan. Pemberdayaan institusi lokal berarti meningkatkan akses
dan kontrol petani terhadap kelembagaan agribisnis pertanian, baik bagi pria maupun
wanita.
Analisis gender dilakukan pada tingkat pembuat kebijakan di tingkat pusat,
daerah, dan lokal (di tingkat rumah tangga dan masyarakat luas). Pengamatan lapangan
dipusatkan pada kasus desa, baik secara visual maupun wawancara dengan berbagai
jenis responden yang mencakup tokoh dan aparat pemerintah, tokoh masyarakat,
lembaga pelaku dan penunjang agribisnis, pedagang dan pengolah hasil pertanian,
penguasa aset agribisnis, dan petani. Penelitian dilakukan di daerah Jawa Tengah dan
D.I Yogyakarta1).
Analisa data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif, untuk menjelaskan
tentang:
1. Peran pria dan wanita dalam kegiatan dan kelembagaan agribisnis.
2. Struktur dan fungsi kelembagaan agribisnis lokal.
3. Akses dan kontrol pria dan wanita dalam kelembagaan agribisnis lokal.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Peran Gender Dalam Kegiatan dan Kelembagaan Agribisnis Lokal
Peran gender dalam kegiatan agribisnis dapat dilihat dari pembagian kerja antara
pria dan wanita mulai dari tingkat persemaian sampai dengan tingkat pemasaran (Tabel
1–9). Dari data pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa baik pria maupun wanita secara
nyata mencurahkan tenaganya untuk menghasilkan produk pertanian. Kegiatan
agribisnis tidak sepenuhnya dilakukan oleh tenaga dalam keluarga, namun diupahkan
pula kepada tenaga luar keluarga. Di desa-desa penelitian di Jawa Tengah kegiatan
sambatan atau gotong royong di dalam kegiatan agribisnis sudah lama hilang, dan
diganti oleh tenaga upahan. Sebagian besar diupah dengan upah harian lepas. Sedang
di desa-desa penelitian di D.I. Yogyakarta masih terdapat sistem gotong royong atau
dengan kerja kelompok. Namun demikian jenis-jenis kegiatan yang dibantu oleh tenaga
luar keluarga pada umumnya hanya dalam kegiatan produksi, terutama pengolahan
tanah, tanam, dan panen.
1 Merupakan salah satu bagian dari penelitian Perekayasaan Sosio Budaya Dalam Percepatan Transformasi
Masyarakat Pedesaan.
6
Kegiatan pengolahan dan pemasaran cenderung dilakukan oleh tenaga dalam
keluarga terutama wanita. Untuk pengolahan hasil masih dalam taraf sederhana, yaitu
penggilingan padi, atau pembuatan tepung dari padi, singkong atau jagung. Di D.I.
Yogyakarta telah terdapat beberapa kelompok pengrajin, baik untuk membuat makanan
jadi atau kerajinan dari kayu. Namun demikian untuk mengusahakan secara
berkelompok belum dapat berhasil, karena terbentuk pada kesibukan individu dalam
keluarga. Dengan demikian kegiatan kelompok masih terbatas pada kegiatan
pemupukan modal bersama. Untuk kegiatan pemasaran terdapat dua kategori/ volume
pemasaran. Wanita pada umumnya lebih banyak terlibat dalam pemasaran dalam
volume kecil, sedang pria cenderung dalam volume besar atau penjualan produk
pertanian yang berupa kayu-kayuan atau ternak besar seperti kambing, domba dan sapi.
Hampir semua lembaga pengolahan hasil dan pemasaran tidak formal. Hal ini
mencerminkan kurang berkembangnya perekonomian desa. Jenis komoditas yang
dipasarkan hampir semuanya berupa produk pertanian bahan mentah, dengan nilai
tambah ekonomi yang relatif rendah. Volume produk pertanian yang dipasarkan relatif
sedikit dan bersifat musiman.
Struktur dan Fungsi Kelembagaan Agribisnis Lokal
Struktur dan fungsi berbagai kelembagaan agribisnis lokal dapat dilihat pada
gambar 1. Terdapat perbedaan antara organisasi dan lembaga yang terdapat di daerah
pedesaan (Tjondronegoro, 1984). Organisasi dibentuk dalam rangka untuk mencapai
suatu tujuan, sedangkan lembaga dibentuk terutama untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat desa.
Dari hasil penelitian ini ditemukan gejala organisasi seperti berikut:
1. Di desa-desa penelitian di Jawa Tengah, KUD, BRI, penyuluhan yang dibentuk dan
diperkenalkan oleh pemerintah ternyata belum dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat secara optimal. KUD baru dapat berperan dalam menyalurkan KUT.
Menurut informasi KUT-pun baru sekali diterima oleh masyarakat. Karena masih
mempunyai tunggakan terpaksa masyarakat di desa penelitian tidak memperoleh
jatah KUT kembali. Di desa Gondang Legi justru pupuk yang disalurkan kepada
masyarakat mematikan tanaman.
7
Lembaga
K e b u t u h a n K a i t a n
a n K
t e i k a E S u K a D o A s r a g a a n n i s a s i
Modern/Mutakhir Modern/MutakhirTradisional Tradisional
D U K UU U H
Gambar 1. Struktur Kelembagaan dan Organisasi di Tingkat Lokal dan Desa Dalam Masyarakat Agribisnis di Pedesaan
BRI
KUDPenyu-luhan
Seko-lah
Bank
BPDPasar
Pem. Desa
Du-sun
PKKDu-sun
RukunanGotong-royong
Du-sun
Kel.Tani
Du-sunKel.
Tani
Pengajian
Yasinan
8
Meskipun kematian tanaman telah dilaporkan “ke atas”, namun tidak mendapat
tanggapan. Bahkan para petani terpaksa harus menanggung hutang karena
kegagalan panen. BRI, hanya dapat terjangkau oleh masyarakat yang mempunyai
sertifikat. Padahal sebagian besar masyarakat belum memiliki sertifikat tanah, karena
sulit dan mahalnya pembuatan sertifikat tersebut. Namun demikian beberapa
penduduk dapat menjangkau BRI dengan cara tanggung renteng, dengan
menggunakan “girik” tanah. Penyuluhan pertanian pun belum dapat melayani
masyarakat secara optimal, karena kendala sarana dan prasarana kerja. Ternyata
pula bahwa pria lebih mempunyai akses dan kontrol terhadap kelembagaan KUD,
BRI, dan Penyuluhan.
2. Pemerintahan desa meskipun dibentuk dan diperkenalkan oleh pemerintah, namun di
dalam pelaksanaannya dipilih oleh masyarakat. Meskipun demikian seringkali fungsi
pemerintahan desa lebih sebagai perpanjangan kekuasaan dari atas, sehingga
kurang dapat memberikan pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat
bawah. Bahkan kasus yang ditemukan di Jawa Tengah, Kades seringkali merugikan
atau bahkan kurang memikirkan tugasnya sebagai kepala desa. Struktur
pemerintahan desapun tidak lengkap sehingga tidak dapat menjalankan fungsinya
dengan baik. Kasus pemerintahan desa di D.I. Yogyakarta yang dijabat oleh wanita
ternyata dapat memotivasi wanita untuk berperan di bidang pemerintahan dan
pembangunan. Meskipun pada permulaan tugasnya mendapat sedikit hambatan,
namun dengan menunjukan kemampuannya akhirnya dapat diterima baik oleh
masyarakat maupun pejabat pria lainnya. Salah satu hambatan bagi wanita untuk
dapat berperan adalah kemampuan untuk bekerja siang dan malam. Namun hal ini
dapat disubstitusi oleh pamong desa yang lain. Di dalam pelaksanaannya kepala
desa dibantu oleh kepala dusun (Kadus) yang bertugas untuk membina dan
memberikan pelayanan bagi warga dusunnya. Di dalam dusun-dusun inilah
solidaritas masyarakat masih cukup kuat. Misalnya dalam kaitannya dengan program
pengembangan kecamatan (PPK) yang merupakan salah satu bentuk rekayasa
pemerintah, tiap kelompok pada masing-masing dusun mengajukan program-
program pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Ternyata pada
tingkat dusun baik pria maupun wanita lebih berani untuk mengajukan pendapat/usul
dibanding dalam forum/komunitas yang lebih tinggi, misalnya desa.
9
3. Kelompok tani merupakan salah satu organisasi yang dibentuk oleh pemerintah,
sebagai sarana untuk melaksanakan perekayasaan di bidang agribisnis. Namun
rupanya baru menekankan pada aspek produksi, terutama untuk meningkatkan
keterampilan petani dalam berusaha tani. Terdapat beberapa kelompok yang dapat
melembaga dalam masyarakat, sehingga dapat dijadikan wadah untuk menyalurkan
teknologi. Namun terdapat pula kelompok yang hanya dapat berfungsi dalam
penyaluran kredit yang relatif kecil, yang berupa kegiatan arisan. Kasus yang
ditemukan di D.I. Yogyakarta, kelompok tani yang terdapat di tiap dusun dapat
digunakan sebagai wadah untuk melakukan usaha tani bersama, namun masih
terbatas dalam hal menyewakan tenaga kerja; dan menyisihkan sebagian hasilnya
untuk keperluan pemupukan modal kelompok. Selain itu juga terdapat kelompok tani
yang berusaha di bidang peternakan, kerajinan, pertukangan, dan pembuatan kue.
4. PKK merupakan salah satu bentuk organisasi yang khusus ditujukan bagi wanita.
Dalam kegiatannya dibentuk dasa wisma, yang merupakan kelompok kecil di tingkat
dusun sebagai wadah untuk melakukan berbagai macam kegiatan pembangunan.
Dinamika kelompok PKK sangat tergantung pada keaktifan ketua. Di Jawa Tengah
kegiatan PKK kurang dinamis, namun di D.I. Yogyakarta dapat berfungsi lebih baik.
Misalnya di Desa Katongan yang tidak mendapat sentuhan dari luar justru PKK dapat
berusaha baik di bidang pembangunan pertanian, maupun non pertanian. Bahkan
pria pun diajak untuk berpartisipasi dalam kegiatan ini. Salah satu pendorong
kemajuan kelompok PKK adalah adanya peningkatan keterampilan dan permodalan
bagi anggota maupun pemimpinnya. Namun tidak jarang segelintir anggota
memanfaatkan organisasi ini untuk kepentingan pribadinya. Meskipun demikian di
dalam kelompok-kelompok yang relatif kecil, kontrol terhadap anggota lebih mudah
dilaksanakan.
5. Pasar merupakan salah satu lembaga agribisnis yang sangat penting. Di tingkat lokal
pedagang pengumpul memegang peranan yang sangat penting. Dari hasil
pengamatan di lapang ditemukan kenyataan bahwa hampir semua pedagang
pengumpul adalah wanita. Di Jawa Tengah pedagang pengumpul, atau tengkulak
lebih dikenal dengan nama “eber-eber”. Mereka pada umumnya berdagang di jalan-
jalan desa, pada hari-hari pasar atau musim panen (Gambar 2 & 3). Selain itu
terdapat pula yang berdagang di “warung” yang merupakan tempat penjualan atau
pembelian kebutuhan rumah tangga dan sarana produksi. Di dalam sistem
10
pemasaran ini baik pembeli maupun penjual tidak mempersoalkan masalah
kualitas/mutu hasil pertanian. Demikian pula dalam hal penentuan harga tergantung
pada kesepakatan antara penjual dan pembeli. Setelah produk pertanian terkumpul,
selanjutnya dibawa oleh eber-eber ke pasar terdekat. Pada umumnya mereka sudah
mempunyai langganan untuk menjual hasil pertanian tersebut. Untuk mendapatkan
modal, eber-eber seringkali meminjam pada Bank Bukopin atau Bank Titil yang
beroperasi di tingkat lokal. Prosedur peminjaman sangat mudah, hanya
menggunakan KTP. Menurut informasi pedagang lebih mudah meminjam kredit
dibanding petani. Hal ini disebabkan karena pedagang mempunyai pendapatan yang
relatif stabil dan kontinyu dibanding petani. Sedang petani pada umumnya meminjam
kredit kepada para pedagang, dan pengembalian pinjaman pada umumnya tidak
dalam bentuk uang namun dalam bentuk produk pertanian atau ternak. Dalam
hubungan ini hanya dengan sistem kepercayaan. Pada musim mareng hasil hanya
1,5 sampai 2 ton/ha.
Gambar 2. Jalur Pemasaran Jagung di Desa Gondang Legi Kabupaten Boyolali,Jawa Tengah
Pasar Prapat berdiri sejak tahun 1960, dengan bangunan non permanen. Akan
tetapi pada hari pasar sangat sibuk dan intensif. Pria dan wanita berperan, namun peran
wanita lebih besar, sedang pria dialokasikan/secara normatif sebagai petani. Kalau pergi
ke pasar, siapa yang akan berusahatani. Namun ada pria yang mengaku “malu” untuk
menjual produk pertanian, karena secara normatif merupakan tugas wanita.
Luas tanah 600 m2
ditanami jagung
Disimpan 300 kg,Antara lain untuk
Pakan ternak
Dijual di rumah1,25 ton (750/kg)Jagung Bima MH
Jagung Arjuna dijualDi rumah Rusti Tinem(Rp 600 – Rp 650/kg
Agus (agen pemasaran
gelar teknologi jagungBima)
Ke pasar1. Bringin2. Solotigo3. Tanggong
11
Catatan: Rusti pedagang desa yang cukup berhasil. Kondisi rumah cukup bagus, dibangun dari kayu jati.
Gambar 3. Jalur Pemasaran Kacang Tanah di Desa Gondang Legi, Kabupaten Boyolali, JawaTengah
Di Desa Gondang Legi kurang lebih terdapat 10 orang eber-eber yang semuanya
adalah wanita. Sebagai kasus Ibu Surti yang sudah berdagang semenjak kecil. Karena
orang tuanya tidak mampu. Dahulu dia hanya berjualan pelas yang dijajakan sepanjang
desa. Namun sekarang dapat menjadi eber-eber yang cukup berhasil. Dalam musim sepi
Ibu Surti dapat membeli produk pertanian dari petani yang datang ke jalan dimana dia
berjualan.
Pada musim panen gaplek dapat memperoleh 300 kg/hari, jagung 50 kg, kedelai
10-20 kg, pohung 100 kg. Hasil dagangan dibawa ke pasar Juwati Karanggede, karena
sudah langganan, diangkut dengan angkot Rp 2000 bila partai kecil, dan memborong Rp
5000 – Rp 20.000 bila partai besar. Selain ke pasar Karanggede juga ke pasar di Solo.
Bila musim ramai dapat memperoleh untung Rp 100.000 – Rp 200.000 per hari.
Suami sebagai penebas, dengan modal Rp 500.000 produk pertanian apa saja,
yang dijual di pasar Tretes/Klego atau ke Solo. Untuk mencari modal pinjam dari Bank
Bukopin misalnya Rp 400.000 dan pembayarannya dengan cara dicicil. Setiap kali
meminjam harus menabung Rp 6000. Besar cicilan Rp 50.000 – Rp 100.000 tergantung
kemampuan. Pinjam dari Bukopin karena lokasinya dekat desa, dan prosedurnya
Rumah(produ-
sen)
RustiTinem
(ped.pe-ngumpul)
Beringin, Solotigo, Tanggong
Pasar PrapatHari pasar
Pon & Kliwon
Pasar Kalimalinglebih laku karena ada jalur bis
Hari pasar: Senin & Kliwon
12
gampang, cukup pakai KTP saja. Pedagang lebih mudah cari modal, karena
perputarannya cepat.
Untuk penjualan ke warung, pada umumnya dalam volume yang relatif kecil,
sekaligus menukar dengan keperluan konsumsi rumah tangga. Tidak jarang pula ibu-ibu
rumahtangga meminjam pupuk, misalnya yang akan dibayar pada waktu panen.
Penjualan ternak ayampun sering dilakukan melalui lembaga pemasaran “warung”. Bagi
pria peran sebagai agen pemasaran pada umumnya dalam bentuk tebasan, dan dalam
volume yang lebih besar. Menjadi pedagang tidaklah mudah untuk dipelajari. Menurut
informasi kemahiran berdagang dilalui melalui proses sosialisasi yang panjang pula.
Seringkali para pedagang memang berasal dari keluarga pedagang. Dengan demikian
semenjak kecil mereka sudah belajar tidak dengan teori, namun langsung praktek.
Sistem pemasaran ternak dilakukan oleh Blantik, yang berperan sebagai
perantara antara penjual dan pembeli. Pada umumnya blantik adalah pria. Jenis ternak
yang dipasarkan melalui sistem blantik ini hanya ternak besar, yaitu kambing, domba,
kerbau, atau sapi. Sedang ayam tidak termasuk dalam kegiatan blantik. Blantik akan
mendapat "komisi” baik dari penjual maupun pembeli ternak. Ternyata blantik ini hanya
dapat dilakukan oleh beberapa orang, bahkan dalam satu desa hanya terdapat satu
blantik.
Rukunan merupakan salah satu lembaga yang telah menjadi nilai masyarakat
yang sangat kuat. Setiap anggota masyarakat akan merasa “sangat malu” bila tidak
dapat melakukan kegiatan rukunan baik dengan tetangga maupun dengan warga desa
atau kerabatnya. Karena dengan tidak melakukan rukunan akan mendapat sangsi sosial
yang sangat berat, yaitu dikucilkan oleh masyarakat. Namun demikian kegiatan rukunan
ini berdampak cukup kuat terhadap kegiatan agribisnis, karena memerlukan korbanan
ekonomi yang cukup besar. Hal ini baik secara langsung maupun tidak langsung akan
mengurangi biaya pengeluaran baik untuk kegiatan produk pertanian maupun untuk
kegiatan ekonomi rumah tangga yang lain. Seorang responden mengatakan bahwa
masyarakat lebih merasa malu berhutang dalam hal untuk rukunan daripada berhutang
untuk kegiatan agribisnis. Rukunan ini merupakan kewajiban baik bagi pria maupun
wanita. Namun terdapat perbedaan di dalam perilaku, dimana wanita pada umumnya
membawa “sumbangan” dalam bentuk natura seperti beras, gula, teh, makanan dan lain-
lain, sedang pria menyumbang dalam bentuk uang dan tenaga kerja (gotong royong)
pada waktu hajatan. Kalau dahulu sifat sumbangan sukarela, namun sekarang sudah
13
berubah lebih ekonomis, dimana jumlah dan macam sumbangan dicatat secara formal.
Diharapkan nanti dapat dikembalikan dalam jumlah yang sama pada kesempatan yang
lain. Meskipun telah banyak usaha untuk mengubah struktur rukunan, namun ternyata
masih cukup banyak anggota masyarakat yang berusaha untuk mempertahankan.
KEBIJAKAN PEMERINTAH YANG BELUMPEKA “GENDER”
Program-program pembangunan di tingkat daerah bersifat umum, dan tidak
dipilah menurut gender. Padahal pada tahun-tahun sebelumnya banyak program-
program pembangunan yang disusun berdasar pertimbangan gender, dan sampai
sekarangpun masih terdapat program-program lanjutan yang berwawasan gender
khususnya program-program/perekayasaan yang ditujukan untuk wanita. Bila dikaitkan
dengan peran gender di lapangan, khususnya di bidang agribisnis memang terdapat
perbedaan peran gender. Misalnya kepala dinas pertanian di Boyolali, Jawa Tengah
mengungkapkan bahwa wanita mempunyai peran penting di bidang hortikultura.
Demikian pula di D.I. Yogyakarta didapat informasi bahwa wanita sangat berperan di
bidang pengolahan dan pemasaran. Bahkan seorang responden di Jawa Tengah
memberikan informasi bahwa pria yang mencampuri urusan pemasaran produk
pertanian akan mendapat julukan “ceraki, cupar, atau kecuk”. Istilah ini sangat
memalukan bagi pria. Oleh karena itu urusan pemasaran secara normatif menjadi urusan
wanita. Seperti telah dijelaskan penelitian gender pada khususnya merupakan riset aksi
untuk perempuan (Wijaya, 1996), yaitu penelitian yang mencakup kebutuhan, minat, dan
pengalaman perempuan, sebagai instrumen yang ditujukan untuk meningkatkan status
kehidupan atau kesejahteraan hidupnya. Demikian pula halnya dengan kebijakan yang
sensitif gender, adalah kebijakan yang mencerminkan kepentingan laki-laki dan
perempuan secara setara (Hetifah, 1996). Oleh karena itu berbagai program kebijakan
semenjak dari pusat harus telah ditelaah sesuai dengan peran gender yang nyata di
dalam masyarakat khususnya di bidang agribisnis pertanian. Norma-norma yang selama
ini seringkali menjadi acuan di dalam membuat kebijakan perlu ditinjau kembali dengan
kenyataan yang terdapat di dalam masyarakat. Dengan demikian berbagai kebijakan
pembangunan pertanian diharapkan dapat memenuhi sasarannya dengan tepat.
Penyeragaman kebijakan tidak dapat diterapkan untuk pembangunan pedesaan
14
khususnya pembangunan agribisnis pertanian, karena peran gender berbeda baik antar
tempat, generasi, maupun kelas sosial ekonomi masyarakat.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKSANAAN
Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa baik pria maupun wanita
mempunyai kontribusi nyata dalam kegiatan agribisnis di tingkat lokal. Pria cenderung
lebih banyak terlibat dalam kegiatan produksi produk pertanian, terutama dalam lembaga
pengolahan tanah. Sedang wanita cenderung lebih banyak terlibat dalam kegiatan
lembaga pengolahan dan pemasaran hasil pertanian, terutama dalam volume yang relatif
kecil. Dalam kegiatan agribisnis dalam volume besar pria cenderung lebih banyak
terlibat. Di tingkat lokal keterlibatan wanita dalam kegiatan pengolahan dan pemasaran
tidak dapat diabaikan. Namun demikian tingkat keterampilan dan permodalan merupakan
kendala yang sangat dirasakan. Selain itu jalur pemasaran produk pertanian yang
sebagian besar masih merupakan produk bahan mentah merupakan kendala yang
memerlukan pemecahan.
Kelembagaan penunjang agribisnis seperti lembaga permodalan (BRI), KUD, dan
penyuluhan belum dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat tani secara optimal.
BRI misalnya, mensyaratkan berbagai agunan yang belum dapat dipenuhi masyarakat
golongan kurang mampu karena sertifikasi lahan yang belum sempurna. Selain itu
masyarakat tani pada umumnya takut mempunyai hutang ke BRI karena takut tidak
dapat melunasi. KUD yang seharusnya dapat memberikan pelayanan dalam penyaluran
sarana produksi dan pemasaran, justru sedikit beralih fungsi bergerak di bidang non
pertanian seperti pembayaran listrik. Selain itu struktur dan fungsi KUD masih banyak
memerlukan pembenahan, terutama dari segi ketrampilan dan kejujuran para pengurus.
Organisasi penyuluhan masih mengalami hambatan terutama dari segi sarana dan
prasarana penyuluh.
Beberapa faktor kritis yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan
agribisnis dengan menggunakan perspektif gender:
1. Status Sosial
Status gender wanita, terutama yang berkaitan dengan tingkat pendidikan,
kesehatan dan posisi dalam proses pengambilan keputusan umumnya memberikan
dampak tertentu dalam produktivitas kerja mereka. Jurang lebar yang terjadi antara
15
pencapaian pendidikan kaum pria dan wanita disertai kenyataan bahwa kaum wanita
secara umum kurang memperoleh akses yang sama terhadap sumber daya pendidikan
dan pelatihan, telah menciptakan konsekuensi terhadap wanita dalam peran produktif
dan reproduktif mereka.
2. Hambatan Memperoleh Pekerjaan
Peluang gender tertentu guna memperoleh pekerjaan sering dihubungkan
dengan norma tradisional. Umumnya pekerjaan wanita selalu dikaitkan dengan kegiatan
rumahtangga. Pekerjaan wanita juga sering dinilai berkarakter rendah, bersifat marginal
dan mudah disingkirkan. Selain itu gender wanita menghadapi hambatan mobilitas relatif.
Dalam hal ini kaum wanita seringkali enggan untuk bekerja karena secara fisik mereka
diharapkan selalu berada bersama anak-anaknya. Status pekerjaan seringkali
pembedaan posisi untuk gender berbeda. Kaum wanita sering memperoleh posisi yang
lebih rendah dari kaum pria. Demikian juga sering terjadi imbalan yang berbeda untuk
pekerjaan dan posisi yang sama. Dari segi teknologi gender tertentu seringkali
mengalami lebih banyak dampak negatif daripada dampak positifnya.
3. Beban Ganda
Kaum wanita memiliki peran ganda yang jauh lebih banyak dibandingkan kaum
pria. Masalah mempersatukan keluarga dengan pekerjaan bagi kaum wanita jauh lebih
rumit dibandingkan dengan pria, karena kaum wanita secara tradisional selalu
diasumsikan untuk selalu berada dekat dengan anak-anaknya sepanjang hari, sekaligus
mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Sebagai akibatnya wanita pekerja memiliki
tuntutan peran simultan dari pekerjaan dan keluarga, sementara kaum pria hanya
memiliki tuntutan peran sekuental.
Dalam rangka memberdayakan petani dan institusi lokal yang berspektif gender,
perlu melakukan kebijakan sebagai berikut:
1. Berbagai program rekayasa di bidang pertanian yang selama ini lebih menekankan
dalam aspek produksi, perlu mempertimbangkan pula program/ rekayasa yang dapat
meningkatkan aspek pengolahan dan pemasaran hasil. Peningkatan ketrampilan
(skill) di bidang pengolahan disamping dapat meningkatkan nilai produk pertanian,
juga akan dapat meningkatkan nilai produk pertanian, juga akan dapat meningkatkan
peran wanita tanpa meninggalkan peran utamanya yaitu pemeliharaan/kegiatan
16
rumah tangga. Bidang pemasaran merupakan salah satu kegiatan agribisnis yang
perlu mendapat perhatian, terutama dalam hal penentuan harga dan permodalan.
2. Berbagai macam bentuk organisasi yang menunjang agribisnis seperti KUD, BRI,
PPL, dan sebagainya yang dibentuk oleh pemerintah, ternyata belum dapat
memberikan pelayanan yang optimal sesuai dengan fungsi yang diharapkan. Oleh
karena itu pembenahan baik dalam hal struktur maupun fungsi pada
kelembagaan/organisasi tersebut sangat perlu diintensifkan, sehingga akses dan
kontrol masyarakat desa dapat lebih ditingkatkan.
3. Kelompok-kelompok kecil yang berada di tingkat dusun, ternyata dapat
dimanfaatkan sebagai wadah untuk pemberdayaan petani baik bagi pria maupun
wanita. Dalam kelompok-kelompok kecil seperti ini asas demokrasi masih dapat
diwujudkan, dimana baik pria maupun wanita berani mengajukan usul/pendapat
yang sesuai dengan kebutuhannya. Pemberian kesempatan kepada wanita untuk
menjadi pemimpin, ternyata dapat meningkatkan kesadaran wanita mengenai
potensinya. Tanpa memberikan iklim yang kondusif bagi wanita untuk berperan
dalam kegiatan pembangunan, agak mustahil dapat meningkatkan peran wanita. Hal
ini disebabkan karena kentalnya penilaian budaya, bahwa tugas wanita di bidang
“rumah tangga” dan pria sebagai “pencari nafkah”. Padahal budaya ini sangat jauh
dari kenyataan yang ada di dalam masyarakat.
4. Kebijakan/perekayasaan yang berperspektif gender, perlu dilakukan mulai dari
pusat. Dalam hal ini penyadaran gender masih perlu ditekankan, baik bagi para
pembuat kebijakan di pusat, daerah, maupun lokal. Meskipun secara biologis bidang
kegiatan reproduksi merupakan bidang wanita, namun secara sosial tugas “ke-
rumahtanggaan” dapat dilakukan bersama oleh pria/suami maupun wanita. Sampai
saat ini masih cukup banyak anggota masyarakat yang belum sadar gender, yang
menganggap bahwa kegiatan rumah tangga adalah kewajiban bagi wanita dan
mencari nafkah adalah kewajiban pria. Namun kenyataan yang ada di dalam
masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan ternyata bahwa baik pria maupun
wanita bersama-sama berperan dalam kegiatan yang menghasilkan pendapatan
khususnya dalam kegiatan agribisnis. Penyadaran gender bagi pria untuk dapat
berperan gender di dalam kegiatan “rumah tangga” merupakan tantangan
pembangunan yang perlu dipertimbangkan. Disamping itu teknologi yang dapat
meringankan beban kerja di dalam kegiatan rumah tangga perlu dipikirkan. Dengan
17
demikian pria dan wanita dapat mempunyai peluang yang sama dan setara baik
dalam hal mengerjakan kegiatan rumah tangga maupun dalam kegiatan mencari
nafkah/masyarakat yang lebih luas.
5. Diperlukan pendekatan dan pemecahan dalam berbagai hierarki. Dikaitkan dengan
hierarki program pengembangan sektoral diperlukan pendekatan kebijaksanaan
pengembangan kelembagaan dan peran gender, serta pembangunan yang
berkaitan dengan pengembangan peran gender. Pendekatan dan kebijaksanaan
merupakan pendekatan kelompok pengambil kebijakan guna meningkatkan
pemahaman atas pentingnya peran gender dalam program pembangunan pertanian.
Dukungan kebijaksanaan perlu diberikan untuk mempekerjakan dan menghargai
keahlian gender disertai dengan imbalan dan kondisi kerja yang memadai.
Pendidikan keahlian hendaknya ditingkatkan dan diarahkan untuk meningkatkan
produktivitas. Wanita pedesaan hendaknya juga diberi kesempatan untuk
mengenyam pendidikan dan keahlian yang dibutuhkan untuk mempercepat laju
perkembangan pertanian modern.
DAFTAR PUSTAKA
Biro Pusat Statistik. 1997. Penduduk Indonesia. Hasil Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS).
Caplan. 1987. The Cultural Construction of Sexuality. Dalam Fakih M. 1996. Gender Sebagai Alat Analisis Sosial. Edisi 4/Nopember. Akatiga Banding, dalam Herawati, Rina. 1996.
Hesti R. Wijaya. 1996. Penelitian Berspektif Gender. Jurnal Analisis Sosial. Edisi 4/ November 1996.
Hetifah Sjaifudin. 1996. Sensitifitas Gender Dalam Perumusan Kebijakan Publik. Jurnal Analisis Sosial. Edisi 4/November 1996.
Hart, Gillian. 1978. Labor Utilization Strategies of Rural Javanese Household. Ph.D. desertation. Cornel University.
Hastuti. et al., 1999. Studi Peranan Wanita Dalam Pengembangan Usaha Pertanian Spesifik Lokasi. PSE. Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. 1980.
Suradisastra., K. 1998. Perspektif Keterlibatan Wanita di Sektor Pertanian. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume No.2 Desember 1998.
Mansour Fakih. 1996. Gender Sebagai Alat Analisis Sosial. Dalam Analisis Gender Dalam Memahami Persoalan Perempuan. Jurnal Analisis Sosial. Edisi 4/ November 1996.
18
Pranadji, T., et al., 2000. Perekayasaan Sosial Budaya dalam Percepatan Transformasi Pertanian Berkelanjutan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian -ARMP II. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
White and E.L.Hastuti. 1980. Pola Pengambilan Keputusan Dalam Rumah Tangga dan Masyarakat Luas di Dua Desa Penelitian di Jawa Barat. SDP/SAE, Bogor.
22
Tabel 10. Jenis Komoditas, Harga Beli dan Harga Jual yang Dipasarkan
Jenis komoditas Harga beli Harga jual
Gaplek
Jagung
Kedelai
Pohung/gaplek
10 kg @ Rp 350
10 kg @ Rp 750
10 kg @ Rp 2000
25 kg @ Rp 150
Rp 400
Rp 800
Rp 2100
Rp 400
19
Tabel 1. Rata-rata Jam Kerja Pria dan Wanita/ha pada Musim Hujan dalam Kegiatan Agribisnis di Desa Gondang Legi, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Tahun 1999
P r i a W a n i t aJKDK JKLK Total JKDK JKLK TotalJenis kegiatan
NRata-rata
NRata-rata
NRata-rata
NRata-rata
NRata-rata
NRata-rata
PersemaianPengolahan tanahPenanamanPemasangan tiangPengawasanPenyianganPemupukan PenyemprotanPanenAngkutPenjemuranSortirPengolahanPemasaran
21817
-4
18169
189
14-67
8.0041.867.34
-15.5026,537,204,46
10,205,46
12,18-
7,836,18
067-0500410-00
-15,3814,90
--
11,21--
18,502,00
----
21818
-4
18169
189
14-67
6,0046,9912,73
-15,5029,647,204,46
14,315,68
12,18-
7,836,18
-9
15-1
1412
-173
15-6
12
-29,966,57
-14,0019,094,60
-7,615,56
10,15-
8,174,68
-04-010-100-00
--
13,25--
1,00--
23.33-----
-9
16-1
1412
-173
15-6
12
-29,969,47
-14,0019,164,60
-8,995,56
10,15-
8,174,68
Tabel 2. Rata-rata Jam Kerja Pria dan Wanita/ha pada Musim Kemarau I dalam Kegiatan Agribisnis di Desa Gondang Legi, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Tahun 1999
P r i a W a n i t aJKDK JKLK Total JKDK JKLK TotalJenis kegiatan
NRata-rata
NRata-rata
NRata-rata
NRata-rata
NRata-rata
NRata-Rata
PersemaianPengolahan tanahPenanamanPemasangan tiangPengawasanPenyianganPemupukan PenyemprotanPanenAngkutPenjemuranSortirPengolahanPemasaran
51613
-4
15156
158
13157
7,7327,476,22
-14,5023,396,504,06
10,713,99
11,9314,296,126,41
067-0400820010
-11,7918,51
--
6,55--
17,3012,67
--
23,33-
51614
-4
15156
158
13157
7,7331,8915,03
014,5025,146,504,08
19,937,16
11,9314,2910,796,41
-9
12-1
139-
132
13-49
-22,296,57
-14,0020,514,71
-7,204,339,37
-6,483,13
-10-000-000-00
-1,67
------------
-9
12-1
139-
132
13-49
-22,476,37
-14,0020,514,71
-7,204,339,37
-6,483,13
Tabel 3. Rata-rata Jam Kerja Pria dan Wanita/ha pada Musim Kemarau II dalam Kegiatan Agribisnis di Desa Gondang Legi, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, tahun 1999
P r i a W a n i t aJKDK JKLK Total JKDK JKLK TotalJenis kegiatan
NRata-rata
NRata-rata
NRata-rata
NRata-rata
NRata-rata
NRata-rata
PersemaianPengolahan tanahPenanamanPengawasanPenyianganPemupukan PenyemprotanPanenAngkutPenjemuranSortirPengolahanPemasaran
-44-641735-30
-28,756,67
-16,316,332,00
11,554,09
17,08-
20,56-
-20-100000-00
-18,17
--
16,67--------
-44-641735-30
-37,836,67
-19,096,332,00
11,554,09
17,08-
20,56-
--4-42-725-24
--
8,67-
10,726,67
-9,033,63
15,89-
20,007,74
--1-00-000-00
--
16,67----------
--4-42-725-24
--
12,83-
10,726,67
-9,033,63
15,89-
20,007,74
20
Tabel 4. Rata-rata Jam Kerja Pria dan Wanita/ha pada Musim Hujan dalam Kegiatan Agribisnis di Desa Gunungsari, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, tahun 1999
P r i a W a n I t aJKDK JKLK Total JKDK JKLK TotalJenis kegiatan
NRata-rata
NRata-rata
NRata-rata
NRata-rata
NRata-rata
NRata-Rata
PersemaianPengolahan tanahPenanamanPemasangan tiangPengawasanPenyianganPemupukan PenyemprotanPanenAngkutPenjemuranSortirPengolahanPemasaran
92523
-8
2525182511214
118
6,5580,159,45
-74,0845,9010,293,86
20,689,77
20,3610,006,916,80
0115-0410600000
-8,79
15,60
--
25,133,00
-16,63
----
92524
-8
2525182511214
118
6,5584,0212,30
-74,0849,9310,413,86
24,679,77
20,3610,006,916,80
-1120
-3
20151
244
2527
14
-94,9810,51
-70,2040,168,862,00
19,599,50
19,023,006,866,78
-29-0300400000
-14,0014,20
--
965,81--
10,43-----
-1223
-3
21151
254
2527
14
-89,4014,69
-70,20
176,228,682,00
20,489,50
19,023,006,866,78
Tabel 5. Rata-rata Jam Kerja Pria dan Wanita/ha pada Musim Kemarau I dalam Kegiatan Agribisnis di Desa Gunungsari, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, tahun 1999
P r i a W a n i t aJKDK JKLK Total JKDK JKLK TotalJenis kegiatan
NRata-rata
NRata-rata
NRata-rata
NRata-rata
NRata-rata
NRata-Rata
PersemaianPengolahan tanahPenanamanPemasangan tiangPengawasanPenyianganPemupukan PenyemprotanPanenAngkutPenjemuranSortirPengolahanPemasaran
12252116
2424152410203
1012
10,4174,5611,421,60
62,1443,237,293,84
19,275,64
18,423,786,194,75
010400410511010
-10,2913,75
--
21,157,00
-17,843,20
15,00-
17,50-
12252116
2524152411203
1012
10,4178,6714,041,60
62,1444,897,583,84
22,995,42
19,173,787,944,75
2122112
20141
205
2116
12
8,0086,1910,031,60
81,4335,817,474,80
20,397,56
16,242,006,278,37
01600410201010
-12,0012,05
--
10,507,00
-12,75
-15,00
-17,50
-
2122212
21141
205
2116
12
8,0087,1912,961,60
81,4336,117,974,80
21,677,56
16,952,009,188,37
Tabel 6. Rata-rata Jam Kerja Pria dan Wanita/ha pada Musim Kemarau II dalam Kegiatan Agribisnis di Desa Gunungsari, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, tahun 1999
P r i a W a n i t aJKDK JKLK Total JKDK JKLK TotalJenis kegiatan
NRata-rata
NRata-rata
NRata-rata
NRata-rata
NRata-rata
NRata-rata
PersemaianPengolahan tanahPenanamanPengawasanPenyianganPemupukan PenyemprotanPanenAngkutPenjemuranSortirPengolahanPemasaran
17
103952
1057123
2,00116,23
23,49140,00
51,9814,997,00
33,2524,9722,884,00
58,751,27
0000000212010
-------
12,2517,5023,50
-17,50
-
17
103952
1057123
2,00116,23
23,49140,00
51,9814,997,00
35,7028,4729,594,00
67,501,27
-35174-
1017135
-221,67
20,53200,00
82,4312,50
-38,1516,6721,074,00
214,1712,21
-01000-101000
--
12,50----
7,00-
7,00---
-36174-
1017135
-221,67
19,19200,00
82,4312,50
-38,8516,6722,074,00
214,1712,21
21
Tabel 7. Rata-rata Jam Kerja Pria dan Wanita/ha pada Musim hujan dalam Kegiatan Agribisnis di Desa Katongan, Kabupaten Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta, tahun 1999
P r i a W a n i t aJKDK JKLK Total JKDK JKLK TotalJenis kegiatan
NRata-rata
NRata-rata
NRata-rata
NRata-rata
NRata-rata
NRata-rata
Persemaian
Pengolahan tanah
Penanaman
Pemasangan tiangPengawasan
Penyiangan
PemupukanPenyemprotan
Panen
AngkutPenjemuran
Sortir
PengolahanPemasaran
6
50
46
157
55
5717
55
4239
20
4125
7,40
39,01
18,22
2,00168,49
38,16
14,426,23
20,58
13,8634,63
8,03
12,865,61
0
19
8
00
5
00
13
100
0
60
-
61,78
70,75
--
20,13
--
35,39
16,75-
-
20,74-
6
54
49
157
56
5717
56
4739
20
4225
7,40
57,85
28,65
2,00166,49
39,28
14,426,23
28,43
15,9534,63
8,03
15,325,61
-
20
47
-9
46
161
50
2550
26
3130
-
31,56
16,97
-156,91
31,68
4,4010,00
19,62
10,5428,56
7,97
10,299,30
-
0
10
-0
3
00
4
00
1
10
-
-
30,79
--
15,73
--
26,78
--
16,00
80,00-
-
20
49
-9
46
161
50
2550
26
3130
-
31,56
22,57
-156,81
32,71
4,4010,00
21,77
10,5428,56
8,59
12,879,30
Tabel 8. Rata-rata Jam Kerja Pria dan Wanita/ha pada Musim Kemarau I dalam Kegiatan Agribisnis di Desa Katongan, Kabupaten Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta, tahun 1999
P r i a W a n i t aJKDK JKLK Total JKDK JKLK TotalJenis kegiatan
NRata-rata
NRata-rata
NRata-rata
NRata-rata
NRata-rata
NRata-rata
PersemaianPengolahan tanahPenanamanPemasangan tiangPengawasanPenyianganPemupukan PenyemprotanPanenAngkutPenjemuranSortirPengolahanPemasaran
642433
5252499
523934114223
8,8025,9318,163,00
118,5935,169,409,94
20,4719,8936,6112,7612,366,15
05
1000600
1470050
-14,6321,65
--
16,06--
42,4412,01
--
14,36-
644483
5252499
534234114323
8,8026,4120,783,00
118,5937,019,409,94
31,2920,4736,6112,7613,746,15
-1941
-5
418-
472043243133
-37,2514,20
-92,6029,324,17
-18,2021,0625,8410,3812,7115,45
-08-030-300030
--
35,78--
15,73--
9,05---
45,33-
-1941
-5
418-
472043243133
-37,2521,18
-92,6030,484,17
-18,7821,0625,8410,3817,1015,45
Tabel 9. Rata-rata Jam Kerja Pria dan Wanita/ha pada Musim Kemarau II dalam Kegiatan Agribisnis di Desa Katongan, Kabupaten Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta, tahun 1999
P r i a W a n i t aJKDK JKLK Total JKDK JKLK TotalJenis kegiatan
NRata-rata
NRata-rata
NRata-rata
NRata-rata
NRata-rata
NRata-Rata
PersemaianPengolahan tanahPenanamanPengawasanPenyianganPemupukan PenyemprotanPanenAngkutPenjemuranSortirPengolahanPemasaran
-22-212222221
-9,145,57
-24,7112,0093,5733,435,575,575,575,57
14,29
-10-100100210
-50,00
--
50,00--
50,00--
39,004,00
-
-22-212222221
-34,145,57
-49,7112,0093,5758,435,575,57
44,577,57
14,29
121-21-21-211
4,009,144,00
-24,7112,00
-33,434,00
-5,574,00
14,29
000-00-00-000
-------------
121-21-21-211
4,009,144,00
-24,7112,00
-33,434,00
-5,574,00
14,29
top related