identifikasi single nucleotide polymorphism kodon 76 …digilib.unila.ac.id/55470/3/skripsi full...
Post on 20-Jan-2020
15 Views
Preview:
TRANSCRIPT
IDENTIFIKASI SINGLE NUCLEOTIDE POLYMORPHISM KODON 76
GEN PfCRT PADA PENDERITA MALARIA FALCIPARUM DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS HANURA KABUPATEN PESAWARAN
PROVINSI LAMPUNG
(Skripsi)
Oleh
SYFA DINIA PUTRI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
IDENTIFIKASI SINGLE NUCLEOTIDE POLYMORPHISM KODON 76
GEN PfCRT PADA PENDERITA MALARIA FALCIPARUM DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS HANURA KABUPATEN PESAWARAN
PROVINSI LAMPUNG
Skripsi
Oleh
SYFA DINIA PUTRI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
SARJANA KEDOKTERAN
Pada
Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
Judul Skripsi : IDENTIFIKASI SINGLE NUCLEOTIDE
POLYMORPHISM KODON 76 GEN PfCRT
PADA PENDERITA MALARIA
FALCIPARUM DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS HANURA KABUPATEN
PESAWARAN
PROVINSI LAMPUNG
Nama Mahasiswa : Syfa Dinia Putri
NPM : 1518011119
Program Studi : Pendidikan Dokter
Fakultas : Kedokteran
MENYETUJUI
1. Komisi Pembimbing
Dr. dr. Jhons Fatriyadi Suwandi, S.Ked., M.Kes dr. Dian Isti Angraini, S. Ked., M.P.H.
NIP 197608312003121003 NIP 198308182008012005
2. Dekan Fakultas Kedokteran
Dr. dr. Muhartono, S.Ked., M.Kes., Sp.PA
NIP 19701208 200112 1 001
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua : Dr. dr. Jhons Fatriyadi Suwandi, S.Ked., M.Kes .........................
Sekretaris : dr. Dian Isti Angraini, S. Ked., M.P.H. .........................
Penguji
Bukan Pembimbing: Dr. dr. Betta Kurniawan, S.Ked., M.Kes .........................
2. Dekan Fakultas Kedokteran
Dr. dr. Muhartono, S.Ked., M.Kes., Sp.PA
NIP 19701208 200112 1 001
Tanggal Ujian Skripsi: 23 Januari 2019
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya, bahwa:
1. Skripsi dengan judul “IDENTIFIKASI SINGLE NUCLEOTIDE
POLYMORPHISM KODON 76 GEN PfCRT PADA PENDERITA
MALARIA FALCIPARUM DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
HANURA KABUPATEN PESAWARAN PROVINSI LAMPUNG”
adalah hasil karya sendiri dan tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan
atas karya penulis lain dengan cara tidak sesuai tata etika ilmiah yang berlaku
dalam masyarakat akademik atau yang disebut plagiarism.
2. Hak intelektual atas karya ilmiah ini diserahkan sepenuhnya kepada
Universitas Lampung.
Atas pernyataan ini, apabila di kemudian hari ternyata ditemukan adanya
ketidakbenaran, saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang diberikan
kepada saya.
Bandar Lampung, 11 Januari 2019
Pembuat pernyataan
Syfa Dinia Putri
NPM 1518011119
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, Lampung pada 29 Oktober 1997, sebagai
anak kedua dari dua bersaudara, dari Bapak Drs. H. Supardi dan Ibu Hj. Sofyeni,
S.E.,M.Kes, AAK. Kakak penulis yaitu Sondika Ragani.
Penulis menyelesaikan pendidikan di Taman Kanak-kanak (TK) Al-Azhar Bandar
Lampung pada tahun 2003, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD Al-Azhar 1
Bandar Lampung pada tahun 2010, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP
Negeri 21 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2012, dan Sekolah
Menengah Atas (SMA) di SMA Al-Kautsar Bandar Lampung diselesaikan pada
tahun 2015.
Pada tahun 2015, penulis terdaftar sebagai mahasiswa pada Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung (FK Unila). Pada masa perkuliahan penulis mengikuti
lembaga kemahasiswaan yaitu Forum Studi Islam Ibnu Sina (FSIIS) Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung, serta menyelesaikan Kuliah Kerja Nyata
(KKN) di Desa Negeri Tua, Kabupaten Lampung Timur pada tahun 2018.
PERSEMBAHAN
Segala puji kehadiran Allah SWT yang telah memberikan Karunia, Rahmat dan
Ampunan-Nya kepada penulis. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan
kepada Rasulullah SAW beserta keluarga dan para sahabat beliau
“EVEN IF YOU DON’T SEE A WAY ALLAH WILL MAKE A WAY”
Dengan penuh syukur kupersembahkan karya sederhana ini teruntuk
“Ibu, Ayah, Abangku yang tersayang”
Yang selalu memberi dukungan, nasihat, dan saran dalam setiap proses
pembelajaran hidup yang membuat diriku menjadi lebih baik.
SANWACANA
Puji dan syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Sholawat serta salam semoga selalu
tercurahkan kepada Nabi Muhammad S.A.W.
Skripsi dengan judul “Identifikasi Single Nucleotide Polymorphism Kodon 76
Gen PfCRT Pada Penderita Malaria Falciparum Di Wilayah Kerja Puskesmas
Hanura, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung” adalah salah satu syarat
untuk memperoleh gelar sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P., selaku Rektor Universitas
Lampung.
2. Dr. dr. Muhartono, S.Ked., M.Kes, Sp.PA., selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung.
3. Dr. dr. Jhons Fatriyadi Suwandi, S.Ked., M.Kes., selaku Pembimbing Utama
yang selalu bersedia menyempatkan waktu untuk membimbing,
mengarahkan, memberi masukan dan nasihat selama proses penyelesaian
penelitian serta ilmu yang begitu bermanfaat selama penelitian skripsi ini.
4. dr. Dian Isti Angraini,S.ked, M.P.H. selaku Pembimbing Kedua atas
kesabaran dan kesediaan memberikan bimbingan, ilmu, saran, dan nasihat
dalam proses penyelesaian skripsi ini.
5. Dr. dr. Betta Kurniawan S.Ked., M.Kes., selaku Penguji Utama dan
Pembimbing Akademik untuk masukan dan saran-saran yang telah diberikan
pada proses perkuliahan dan penyelesaian skripsi ini.
6. Terima kasih kepada relawan yang telah bersedia ikut serta dalam penelitian
ini dengan memberikan darahnya untuk dijadikan sampel penelitian.
7. Terima kasih kepada para laboran Laboratorium Biomolekular FK Unila,
Mbak Yani dan Ibu Nuriyah, atas seluruh bantuan kesabaran serta
bimbingan dalam pelaksanaan penelitian ini. Mudah-mudahan kedisiplinan
yang diajarkan akan selalu kami praktikkan dalam kehidupan.
8. Terimakasih kepada laboran Laboratorium Mikrobiologi dan Parasitologi
FK Unila, Mbak Romi yang selalu membantu kami dalam pelaksanaan
penelitian untuk sterilisasi alat.
9. Terimakasih kepada mas oji & mbak roro yang dengan kelapangan hati
selalu menunggu kami penelitian hingga sore.
10. Seluruh staf dosen dan civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung atas ilmu dan waktu yang telah diberikan selama perkuliahan.
11. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Ayah (Supardi), Ibu (Sofyeni),
Abang (Sondika Ragani.) yang selama ini telah memberikan doa, segala
kasih sayang, perhatian, dukungan, motivasi dan nasihat serta setiap doa
yang telah dipanjatkan selama ini. Terima kasih atas perjuangan kalian
selama ini selalu memberikan yang terbaik untukku. Semoga Allah SWT
selalu memberikan kesehatan dan lindungan dan menjadikan ladang pahala.
12. Seluruh Keluarga Besar yang telah membantu dalam berbagai hal, doa,
dukungan dan motivasi.
13. Terima kasih kepada teman seperjuangan, Puji Indah Permatasari dan Fitria
Putridewi Abidin atas perjalanan dan pengalaman penelitan selama ini.
Terima kasih untuk doa, waktu, tenaga dan seluruh dukungan serta semangat
yang telah diberikan.
14. Terima kasih kepada sahabatku A6in aja, teman seperjuanganku, Shafa,
Aliezsa, Fadila, Maya, Icha ,Pita, Mega, Puji.
15. Terimakasih kepada teman seperbimbingan 1 dan 2 Sri Janahtul (yati),
Dianti, F.Dea, Edmundo, Agtara, Lidya, Khalis, Sonia (nenek) yang selalu
memberi masukkan dalam penyelesaian skripsi ini.
16. Terimakasih kepada kak rahman dan kak ade yang dengan sabar menjawab
pertanyaan-pertanyaan penulis saat proses penelitian.
17. Terimakasih kepada Darna, Chintya dina, Almira trihantoro, Zihan, Dhea
yang telah membantu dalam berbagai hal dan mendukung penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini.
18. Terimakasih kepada Amirah dumasari, Niken Ayuningtyas, Reyhan Kurnia,
Anggi ATH, Salwa Kamilah, Yunda ekamarta, Giffara Larasati, Adam
Jordan, Bagas, Latifah, Tisya, Bella, Fika untuk dukungannya selama ini
kepada penulis.
19. Terimakasih kepada Nyoman tri santi, Bang Rio, Sekeluarga di Desa Negeri
Tua dan teman-teman satu Kecamatan di Marga Tiga atas kerjasama selama
penulis di Lampung Timur.
20. Keluarga Besar FK Unila 2015 (Endom15ium) yang tidak bisa disebutkan
satu persatu atas kekompakan, canda, tawa, proses pembelajaran yang telah
memberikan warna serta makna tersendiri. Semoga kebersamaan dan
kekompakkan selalu terjalin baik sekarang maupun ke depan nanti.
21. Kakak-kakak dan adik-adik tingkat saya (angkatan 2002-2018) yang sudah
memberikan semangat kebersamaan dalam satu kedokteran.
Penulis menyadari skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan. Namun, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat
dan pengetahuan baru kepada setiap orang yang membacanya. Semoga segala
perhatian, kebaikan dan keikhlasan yang diberikan selama ini mendapat balasan
dari Allah SWT. Aamiin.
Bandar Lampung, 26 Januari 2019
Penulis,
Syfa Dinia Putri
1518011119
ABSTRACT
IDENTIFICATION OF CODON 76 PfCRT GENE SINGLE NUCLEOTIDE
POLYMORPHISM ON MALARIA PATIENTS IN PESAWARAN
DISTRICT, LAMPUNG PROVINCE
By
Syfa Dinia Putri
Background: Malaria is one of the priorities of global health problems.
Plasmodium falciparum causes a dangerous complication which is resistant to
chloroquine antimalarial drugs due to genetic mutations. The presence of Single
Nucleotide Polymorphism codon 76 of PfCRT gene can be a genetic marker of
drug resistance. The PfCRT gene is a gene located on chromosome 7. This gene
encodes a putative transporter protein as long as 425 amino acids are closely
related to a decrease in the nature of resistance.
Method: Research used a survey design with descriptive method. There are 22
Archived Biological Materials (ABM) used as sample. The examination was
carried out using the PCR method, followed by sequencing to detect
polymorphism.
Results: The results of the study is 13 from 22 samples had been successfully
Nested PCR and sequenced. The characteristic of codon 76 PfCRT gene are
proved mutant-type in all sample.
Conclusion: The conclusion of this study is showed there are single nucleotide
polymorphism of codon 76 PfCRT gene in all sample.
Keywords: Single nucleotide polymorphism, PfCRT, codon 76.
ABSTRAK
IDENTIFIKASI SINGLE NUCLEOTIDE POLYMORPHISM KODON 76
GEN PfCRT PADA PENDERITA MALARIA FALCIPARUM DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS HANURA KABUPATEN PESAWARAN
PROVINSI LAMPUNG
Oleh
Syfa Dinia Putri
Latar Belakang: Penyakit malaria merupakan salah satu prioritas masalah
kesehatan global. Plasmodium falciparum menyebabkan suatu komplikasi yang
berbahaya yang resisten terhadap obat antimalaria klorokuin disebabkan adanya
mutasi genetik. Adanya single nucleotide polymorphism kodon 76 gen PfCRT
dapat menjadi penanda genetik resistensi obat. Gen PfCRT merupakan gen yang
terletak pada kromosom 7. Gen ini menyandi suatu protein transporter putative
sepanjang 425 asam amino berhubungan erat dengan penurunan sifat resistensi.
Metode: Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian survei dan bersifat
deskriptif. Menggunakan 22 sampel Bahan Biologi Tersimpan (BBT).
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan metode PCR yang dilanjutkan
dengan sekuensing untuk mendeteksi polimorfisme.
Hasil: Hasil penelitian menunjukan bahwa sebanyak 12 dari 22 sampel telah
berhasil dilakukan Nested PCR dan sekuensing dengan hasil kodon 76 gen
PfCRT pada sampel bersifat mutant-type.
Kesimpulan: Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat Single Nucleotide
Polymorphism (SNP) kodon 76 gen PfCRT pada seluruh sampel.
Kata Kunci: Single nucleotide polymorphism, PfCRT, Kodon 76.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .......................................................................................................... i
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ iv
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 6
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................... 6
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................. 6
1.4.1 Manfaat Keilmuan .................................................................... 6
1.4.2 Manfaat bagi Peneliti ................................................................ 6
1.4.3 Manfaat bagi Pemerintah .......................................................... 7
1.4.4 Manfaat bagi Masyarakat ......................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 8
2.1 Malaria Secara Umum ....................................................................... 8
2.2 Gejala Klinik .................................................................................... 14
2.3 Diagnosis dan Pencegahan Malaria ................................................. 15
2.4 Klorokuin Sebagai Antimalaria ....................................................... 17
2.5 Resistensi Plasmodium falciparum Terhadap Klorokuin ................ 19
2.6 Gen PfCRT pada Malaria Plasmodium falciparum ......................... 20
2.7 PCR .................................................................................................. 21
2.8 Kerangka Teori ................................................................................ 22
2.9 Kerangka Konsep ............................................................................. 23
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 24
3.1 Jenis Penelitian ................................................................................ 24
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian .......................................................... 24
3.3 Subjek Penelitian dan Sampel .......................................................... 24
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ........................................................... 25
3.5 Definisi Operasional ........................................................................ 25
3.6 Alat dan Bahan ................................................................................. 25
3.7 Prosedur Penelitian .......................................................................... 28
ii
3.8 Cara Pengolahan dan Analisis data .................................................. 34
3.9 Alur Penelitian ................................................................................. 34
3.10 Etik Penelitian .................................................................................. 35
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 36
4.1 Hasil Penelitian ................................................................................ 36
4.2 Pembahasan Hasil Penelitian ........................................................... 40
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 44
5.1 Kesimpulan ...................................................................................... 44
5.2 Saran ................................................................................................ 44
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Trofozoit Plasmodium falciparum (CDC, 2018) ............................................ 11
2. Bentuk Skizon Plasmodium falciparum (CDC, 2018) .................................... 11
3. Gametosit Plasmodium falciparum (CDC, 2018) ........................................... 12
4. Siklus Hidup Plasmodium (CDC, 2015) ......................................................... 14
5. Struktur Kimia Klorokuin (PubChem, 2005) .................................................. 18
6. Mekanisme Kerja Klorokuin (Okpako, 1991). ............................................... 18
7. Letak gen PfCRT pada Plasmodium falciparum (NCBI, 2018) ..................... 20
8. Kerangka Teori Penelitian............................................................................... 22
9. Kerangka Konsep Penelitian ........................................................................... 23
10. Alur Penelitian ................................................................................................ 34
11. Hasil Elektroforesis PCR nested 1 pada penderita malaria falciparum di
wilayah kerja Puskesmas Hanura Kabupaten Pesawaran, Provinsi
Lampung. ........................................................................................................ 37
12. Hasil Elektroforesis 1_2 pada penderita malaria falciparum di wilayah
kerja Puskesmas Hanura Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung ............. 38
13. Hasil Analisis Sekuensing basa gen PfCRT pada penderita malaria
falciparum di wilayah kerja Puskesmas Hanura Kabupaten Pesawaran
Provinsi Lampung ........................................................................................... 39
14. Hasil Analisis Sekuensing asam amino Gen PfCRT pada penderita
malaria falciparum di wilayah kerja Puskesmas Hanura Kabupaten
Pesawaran Provinsi Lampung ......................................................................... 40
iv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Primers PfCRT ................................................................................................ 27
2. Suhu Amplifikasi Pertama dan Kedua ............................................................ 32
3. Tabel kondisi PCR CRT1_2 ........................................................................... 32
v
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Persetujuan Etik
Lampiran 2 Surat Peminjaman Lab
Lampiran 3 Daftar Data Hasil BLAST Primer
Lampiran 4 Dokumentasi Penelitian
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit malaria merupakan salah satu prioritas masalah kesehatan global.
Malaria secara global diperkirakan sekitar 3,2 miliar penduduk dunia beresiko
terinfeksi malaria dan 1,2 miliar memiliki risiko tinggi dengan API > 1 per
seribu penduduk (WHO, 2014). Penemuan kasus malaria secara global tahun
2016 sebesar 216 juta kasus dengan 445.000 kematian. Kasus malaria terberat
ditemukan di kawasan Afrika dengan estimasi kematian sebesar 90% dari
penemuan dan 78% kematian pada anak balita (WHO, 2017).
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi
malaria di Indonesia pada tahun 2013 adalah 6,0%. Terdapat 5 provinsi yang
mempunyai insidensi dan prevalensi tertinggi yaitu Papua, Nusa Tenggara
Timur, Papua Barat, Sulawesi Tengah dan Maluku. Beberapa provinsi di
wilayah Kalimantan, Sulawesi, Sumatera merupakan provinsi dengan kategori
sedang sementara provinsi di Jawa dan Bali masuk dalam kategori rendah
(Riskesdas, 2013).
Provinsi Lampung merupakan daerah endemis malaria di kawasan barat
Indonesia dengan nilai API 0,47 per 1000 penduduk. Secara umum
berdasarkan kategori endemisitas malaria yang dikeluarkan oleh Kementerian
2
Kesehatan Republik Indonesia dikategorikan termasuk status endemisitas
rendah yaitu API kurang dari 1 per 1000 penduduk (Dinas Kesehatan Provinsi
Lampung, 2016).
Pada sebagian daerah Provinsi Lampung merupakan daerah endemis yang
berpotensi untuk berkembangnya penyakit malaria, Salah satu kabupaten
dengan tingkat endemisitas yang tinggi di Provinsi Lampung adalah
Kabupaten Pesawaran. Data Dinas Kesehatan Kabupaten Pesawaran
menunjukkan angka Annual Parasite Incidence (API) malaria yang
berfluktuatif selama rentang waktu 5 tahun di Kabupaten Pesawaran yaitu
pada tahun 2011-2015. Pada tahun 2011 API malaria di Kabupaten Pesawaran
adalah 4,76 per 1000 penduduk dan pada tahun 2012 menunjukkan penurunan
menjadi 1,00 per seribu penduduk tahun 2013 mengalami peningkatan hingga
4,77 per seribu penduduk, tahun 2014 terus mengalami peningkatan hingga
7,26 per seribu penduduk dan kembali menurun menjadi 6,36 per seribu
penduduk pada tahun 2015. Serta ditemukannya 1 kasus kematian yang terjadi
di Puskesmas Hanura pada tahun 2015 (Dinkes Pesawaran, 2016).
Malaria pada manusia disebabkan oleh Plasmodium falciparum, Plasmodium
vivax, Plasmodium malariae, Plasmodium ovale, Plasmodium knowlesi. Dari
kelima spesies yang bisa menginfeksi manusia, 95% disebabkan oleh
Plasmodium vivax dan Plasmodium falciparum. Untuk Plasmodium
falciparum menyebabkan suatu komplikasi yang berbahaya, sehingga disebut
juga dengan malaria berat (Mackintosh, Beeson & Marsh, 2004; Putra, 2011).
3
Plasmodium falciparum cenderung menyebabkan malaria berat yang semakin
parah dengan bertambahnya jumlah dan sebaran plasmodium dalam tubuh.
Demam periodik, pembesaran limpa (splenomegaly) dan anemia merupakan
gejala umum yang ditimbulkan dari infeksi Plasmodium falciparum.
Sementara komplikasi yang ditimbulkan berupa malaria serebral, gangguan
ginjal akut, demam kencing hitam (black water fever), anemia berat, dan
gangguan fungsi hati (WHO, 2014; Manumpa, 2017).
Salah satu tantangan terbesar dalam upaya pengobatan malaria di Indonesia
adalah terjadinya penurunan efikasi pada penggunaan beberapa obat anti
malaria. Penurunan efikasi ini yang menyebabkan adanya resistensi terhadap
obat antimalaria (Tuti, Dewi & Prasetyorini, 2003; Dirjen P2PI, 2011).
Penyebab resistensi terutama adalah karena adanya mutasi pada gen-gen dari
Plasmodium. Ada tiga faktor yang mempengaruhi kecepatan terjadinya
resistensi. Faktor tersebut adalah pertama: faktor operasional misalnya dosis
subterapik, kepatuhan inang yang kurang, kedua: faktor farmakologik dan
ketiga adalah faktor transmisi malaria, termasuk intensitas, drug pressure dan
respon imun inang (Simamora & Fitri, 2007).
Mutasi disebut sebagai perubahan materi genetik (gen atau kromosom) suatu
sel yang diwariskan kepada keturunannya. Mutasi dapat disebabkan oleh
kesalahan replikasi materi genetika selama pembelahan sel oleh radiasi, bahan
kimia (mutagen), atau virus, atau dapat terjadi selama proses meiosis. Mutasi
gen ialah perubahan kimiawi pada satu atau beberapa pasangan basa dalam
satu gen tunggal yang menyebabkan perubahan sifat individu tanpa perubahan
4
jumlah dan susunan kromosomnya. Mutasi gen dapat terjadi melalui berbagai
cara, diantaranya penggantian/substitusi pasangan basa yang terjadi karena
penggantian satu nukleotida dengan pasangannya di dalam untaian DNA
komplementer dengan pasangan nukleotida lain (Yuwono, 2011).
Obat anti malaria yang mengalami resisten contohnya adalah klorokuin. Di
sebagian besar wilayah dunia, Plasmodium falciparum telah resisten terhadap
klorokuin, sehingga obat ini tidak digunakan lagi untuk pengobatan Malaria
falciparum. Hal ini dapat disebabkan karena penggunaan obat anti malaria
yang tidak rasional. Kasus resistensi parasit malaria terhadap klorokuin
ditemukan pertama kali di Kalimantan Timur pada tahun 1973 untuk
Plasmodium falciparum. Sejak tahun 2004 obat pengganti klorokuin untuk
malaria falciparum adalah obat kombinasi derivat Artemisinin yang dikenal
dengan Artemisininbased Combination Therapy (ACT). Kombinasi
artemisinin dipilih untuk meningkatkan mutu pengobatan malaria yang sudah
resisten terhadap klorokuin (Dirjen P2Pl, 2011).
Klorokuin merupakan obat anti malaria golongan 4-aminokuinolin yang
bersifat skizontisida darah terhadap semua jenis plasmodia pada manusia dan
gametosida untuk Plasmodium vivax, Plasmodium malariae, Plasmodium
ovale. Secara farmakologis klorokuin bekerja dengan mengikat
feriprotoporfirin IX yaitu suatu cincin hematin yang merupakan hasil
metabolisme hemoglobin didalam parasit. Ikatan feriprotoporfirin IX-
klorokuin ini bersifat melisiskan membran parasit sehingga parasit mati
dikarenakan sifat toksik (Fidock et al., 2010; Kublin et al., 2003).
5
Gen PfCRT merupakan gen yang terletak pada kromosom 7, spans 3.1kb dan
memiliki 13 exons dengan ukuran mulai dari 45-269 bp , menghasilkan 1,275
bp cDNA dimana gen ini menyandi suatu protein transporter putative
sepanjang 425 asam amino yang terletak pada membran vakuola makanan
parasit. Gen PfCRT pada Plasmodium falciparum berhubungan erat dengan
penurunan sifat resistensi melalui uji genetic crossing, dan diperkirakan
berperan dalam influks dan effluks obat ke dan dari dalam vakuola makanan
serta berperan dalam pengaturan pH intra vakuola. Pada resistensi klorokuin
telah terjadi single nucleotide polymorphism (SNP) gen PfCRT 76T, sehingga
membuat obat yang terperangkap didalam membran vakuola makanan parasit
tidak terakumulasi dalam vakuloa makanan parasit (Krogstad et al., 1987;
Simamora & Fitri, 2007; Awasthi & Das, 2013; Triwani, 2013;
Kombonglangi, 2015).
Penggunaan klorokuin yang sudah dihentikan lebih dari 10 tahun sebagai obat
antimalaria menyebabkan tidak adanya paparan klorokuin (CQ) terhadap
plasmodium. Hal ini memungkinkan adanya spesies Plasmodium falciparum
wild-type yang rentan terhadap kloroquin untuk muncul kembali setelah tidak
adanya paparan.
Berdasarkan pemaparan yang telah disampaikan, peneliti ingin
mengidentifikasi adanya single nucleotide polymorphism kodon 76 gen
PfCRT pada penderita malaria falciparum yang terdapat di daerah endemis,
Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung untuk mengetahui adanya
6
kemungkinan munculnya kembali Plasmodium falciparum wild-type yang
rentan terhadap kloroquin.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, penulis merumuskan
pertanyaan penelitian sebagai berikut :
“Apakah ditemukan Single Nucleotide Polimorphism kodon 76 gen PfCRT
pada penderita malaria falciparum di wilayah kerja Puskesmas Hanura
Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung?”
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi adanya Single
Nucleotide Polymorphism kodon 76 gen PfCRT pada penderita malaria
falciparum di daerah endemis, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini dapat dijadikan baseline data SNP kodon 76 gen
PfCRT yang terdapat di Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.
1.4.1 Manfaat Keilmuan
Penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi peneliti lain dalam
pengembangan keilmuan parasitologi khususnya di bidang biologi
molekuler dan parasitologi.
1.4.2 Manfaat bagi Peneliti
Penelitian ini dapat meningkatkan ilmu pengetahuan dan pemahaman
peneliti dalam melakukan penelitian khususnya dalam bidang
7
parasitologi molekuler tentang Plasmodium falciparum.
1.4.3 Manfaat bagi Pemerintah
Penelitian ini dapat dijadikan rekomendasi kebijakan dalam
penatalaksanaan farmakoterapi pada penderita malaria falciparum.
1.4.4 Manfaat bagi Masyarakat
Penelitian ini dapat memperluas pengetahuan masyarakat tentang
malaria falciparum khususnya bagi masyarakat di Kabupaten
Pesawaran, Provinsi Lampung.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Malaria Secara Umum
Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh protozoa intraseluler
obligat dari genus plasmodium (Irianto, 2013). Penyakit malaria disebabkan
oleh plasmodium yang ditularkan melalui vektor nyamuk Anopheles betina.
Spesies plasmodium yang ada di Indonesia yaitu Plasmodium falciparum,
Plasmodium vivax, Plasmodium malariae, Plasmodium ovale dan
Plasmodium knowlesi. Trias epidemiologi menjelaskan konsep terjadinya
penyakit ditentukan oleh tiga faktor antara lain pejamu (host), penyebab
penyakit (agent) dan lingkungan (environment). Demikian halnya dengan
penularan malaria, manusia sebagai pejamu dengan perilakunya, keberedaan
plasmodium dalam tubuh nyamuk betina, dan lingkungan sebagai tempat
perindukan dan peristirahatan vektor, ketiga faktor inilah yang menentukan
risiko penularan malaria, dengan demikian dalam upaya pencegahan
penularan malaria harus memperhatikan ketiga faktor perilaku manusia,
keberadaan agen, dan lingkungan (Paisal & Indriyati, 2014; Arsyad, 2015;
Purba, Sitorus & Camelia, 2016).
World Health Organization (WHO) melaporkan lebih dari 2400 juta
penduduk atau sekitar 40% penduduk dunia tinggal di daerah endemis
9
malaria, dengan prevalensi antara 300 - 500 juta penduduk setiap tahun.
Indonesia sebagai salah satu negara endemis malaria telah melaksanakan
berbagai program dalam upaya menurunkan morbiditas malaria, namun tetap
saja penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan utama di masyarakat
khususnya di daerah endemis. Data hasil riset kesehatan dasar menyebutkan
insidens malaria pada penduduk Indonesia sebesar 1,9 % ini menurun dari 2,7
% di tahun 2007, sedangkan prevalensi malaria adalah 6,0 %. Data hasil
Riskesdas juga menyebutkan ada lima propinsi di Indonesia dengan insiden
dan prevalen tertinngi, diantaranya Papua (9,8 % dan 28,6 %), Nusa Tenggara
Timur (6,8% dan 23,3%), Papua Barat (6,7% dan 19,4%), Sulawesi Tengah
(5,1% dan 12,5%), dan Maluku (3,8% dan 10,7%). Provinsi yang memiliki
prevalensi malaria di atas angka nasional ada sebanyak 15 propinsi diantara
33 provinsi di Indonesia, mayoritas berada di Indonesia Timur (Riskesdas,
2013).
Di Indonesia penyakit malaria ditemukan tersebar di seluruh kepulauan
terutama di kawasan timur Indonesia. Malaria termasuk penyakit yang dapat
menular kembali secara massal/ penyakit reemeging. Setiap tahun sekitar 2,5
juta orang meninggal dunia, terutama anak-anak berumur di bawah lima
tahun. Angka statistik yang tepat tidak diketahui karena banyak kasus terjadi
di daerah pedesaan masyarakat tidak memiliki akses ke rumah sakit atau tidak
mendapat pelayanan kesehatan, akibatnya banyak kasus yang tidak
terdokumentasi (Arsunan, 2012; Yunarko, 2014).
Penyakit malaria disebabkan oleh parasit plasmodium yang dibawa oleh
nyamuk Anopheles. Terdapat beberapa spesies plasmodium penyebab malaria
10
pada manusia yaitu Plasmodium falciparum peyebab malaria tropika,
Plasmodium vivax Penyebab malaria tertiana/vivax, Plasmodium malariae
menyebabkan malaria malariae/quartana, dan Plasmodium ovale
menyebabkan malaria ovale. Plasmodium knowlesi yang selama ini dikenal
hanya ada pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), ditemukan pula
ditubuh manusia. Penelitian yang dimuat dalam jurnal international Clinical
Infectious Diseases menunjukkan hasil tes terdeteksi pada 266 (27,7%) dari
960 sampel dari rumah sakit Sarawak, 41 (83,7%) dari 49 dari Sabah, dan 5
dari Pahang. Dalam penelitian tersebut, ditemukan 4 orang meninggal dunia
disebabkan infeksi plasmodium knowlesi (Mackintosh, Beeson & Marsh,
2004; Cox-Singh et al., 2008; Putra, 2011).
Plasmodium falciparum menyebabkan malaria falciparum atau malaria
tertiana maligna/malaria tropika/malaria pernisiosa (Welch, 1897).
Klasifikasinya adalah:
Filum : Apicomplexa
Kelas : Sporozoa
Sub kelas : Cocidiidae
Ordo : Eucoccidiidae
Sub ordo : Haemosporidiidae
Famili : Plasmodiidae
Genus : Plasmodium
Spesies : Plasmodium falciparum
Morfologi plasmodium terdiri dari bentuk trofozoit, skizon, dan gametosit.
11
Bentuk trofozoit, seperti cincin dengan inti yang kecil dan sitoplasma halus,
sering ditemukan bentuk cincin dengan dua inti. Pada trofozoit dewasa,
sitoplasma berbentuk ovale dan tidak teratur, pigmen berkumpul menjadi satu
kelompok dan berwarna hitam. Trofozoit dewasa biasanya ditemukan pada
infeksi berat (Sridhar, Droll & Schref, 2016; CDC, 2018).
Gambar 1. Trofozoit Plasmodium falciparum (CDC, 2018)
Bentuk skizon jarang ditemukan, biasanya ditemukan dengan trofozoit
dewasa yang berjumlah banyak. Bentuknya kecil, sitoplasma pucat, pigmen
berwarna gelap. Pada skizon dewasa terdapat merozoit yang berjumlah 20
(Kemenkes RI, 2017).
Gambar 2. Bentuk Skizon Plasmodium falciparum (CDC, 2018)
Bentuk gametosit berbentuk seperti pisang, pigmen tersebar sampai ke ujung,
terdapat balon merah dipinggir parasit. Bentuk gametosit dapat ditemukan
12
bersamaan dengan bentuk trofozoit (Dirjen P2PI, 2017; Wildani, Siregar &
Zein, 2017).
Gambar 3. Gametosit Plasmodium falciparum (CDC, 2018)
Siklus hidup Plasmodium terdiri dari 2, yaitu siklus sporogoni (siklus
seksual) yang terjadi pada nyamuk dan siklus skizogoni (siklus aseksual)
yang terdapat pada manusia. Siklus ini dimulai dari siklus sporogoni yaitu
ketika nyamuk mengisap darah manusia yang terinfeksi malaria yang
mengandung plasmodium pada stadium gametosit. Setelah itu gametosit akan
membelah menjadi mikrogametosit (jantan) dan makrogametosit (betina).
Keduanya mengadakan fertilisasi menghasilkan ookinet. Ookinet masuk ke
lambung nyamuk membentuk ookista. Ookista ini akan membentuk ribuan
sprozoit yang nantinya akan pecah dan sprozoit keluar dari ookista.
Sporozoit ini akan menyebar ke seluruh tubuh nyamuk, salah satunya di
kelenjar ludah nyamuk. Dengan ini tunas ekstrinsik atau siklus sporogoni
telah selesai (Hakim, 2011; CDC, 2018).
Siklus skizogoni terdiri dari 2 siklus, yaitu siklus eksoeritrositik dan siklus
eritrositik. Dimulai ketika nyamuk menggigit manusia sehat. Sporozoit akan
masuk kedalam tubuh manusia melewati luka tusuk nyamuk. Sporozoit akan
13
mengikuti aliran darah menuju ke hati, sehingga menginfeksi sel hati dan
akan matang menjadi skizon. Siklus ini disebut siklus eksoeritrositik. Pada
Plasmodium falciparum dan Plasmodium malariae hanya mempunyai satu
siklus eksoeritrositik, sedangkan Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale
mempunyai bentuk hipnozoit (fase dormant) sehingga siklus eksoeritrositik
dapat berulang. Selanjutnya, skizon akan pecah mengeluarkan merozoit yang
akan masuk ke aliran darah sehingga menginfeksi eritrosit dan di mulailah
siklus eritrositik. Merozoit tersebut akan berubah morfologi menjadi trofozoit
belum matang lalu matang dan membentuk skizon lagi yang pecah dan
menjadi merozoit lagi. Diantara bentuk trofozoit tersebut ada yang menjadi
gametosit dan gametosit inilah yang nantinya akan dihisap lagi oleh nyamuk.
Begitu seterusnya akan berulang-ulang terus. Gametosit tidak menjadi
penyebab terjadinya gangguan klinik pada penderita malaria, sehingga
penderita dapat menjadi sumber penularan malaria tanpa diketahui (Jones &
Good, 2006; CDC, 2017).
14
Gambar 4. Siklus Hidup Plasmodium (CDC, 2015)
2.2 Gejala Klinik
Biasanya sebelum timbul demam, penderita malaria akan mengeluh lesu,
sakit kepala, nyeri pada tulang dan otot, kurang napsu makan, rasa tidak enak
pada perut, diare ringan dan kadang-kadang merasa dingin dipunggung.
Umumnya keluhan seperti ini timbul pada malaria yang disebabkan oleh
Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale sedangkan pada malaria yang
disebabkan oleh Plasmodium falciparum dan Plasmodium malariae, keluhan
tersebut tidak jelas. Serangan demam yang khas pada malaria terdiri dari tiga
stadium, yaitu :
1. Stadium dingin
Stadium tersebut mulai dengan menggigil dan perasaan yang sangat
dingin. Penderita biasanya menutupi tubuhnya dengan segala macam
pakain dan selimut yang tersedia. Nadi cepat tetapi lemah, bibir dan jari-
jari pucat atau sianosis, kulit kering dan pucat, penderita mungkin muntah
15
dan pada anak-anak sering terjadi kejang. Stadium tersebut berlangsung
antara 15 menit sampai 1 jam.
2. Stadium demam
Stadium tersebut penderita merasa kepanasan, muka merah, kulit kering
dan terasa sangat panas seperti terbakar, sakit kepala, mual serta muntah.
Nadi menjadi kuat, sangat haus dan suhu badan dapat meningkat sampai
41°C. Stadium tersebut berlangsung antara 2-12 jam, demam disebabkan
karena pecahnya skizon darah yang telah matang dan masuknya merozoit
darah ke dalam aliran darah.
3. Stadium berkeringat
Stadium tersebut penderita berkeringat banyak sekali, sehingga tempat
tidurnya basah, kemudian suhu badan menurun dengan cepat, kadang
sampai dibawah normal. Penderita dapat tidur dengan nyenyak, badan
terasa lemas setalah bangun. Stadium ini berlangsung 2-4 jam. Gejala
tersebut tidak selalu ditemukan pada setiap penderita, dan ini tergantung
pada spesies parasit, umur dan tingkat imunitas penderita (Sucipto, 2015;
Kemenkes RI, 2017)
2.3 Diagnosis dan Pencegahan Malaria
Mengingat bervariasinya manifestasi klinis malaria maka anamnesis riwayat
perjalanan ke daerah endemis malaria pada setiap penderita dengan demam
harus dilakukan. Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit
lainnya berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium (Dirjen P2PI, 2017).
16
Manifestasi klinis malaria dapat bervariasi dari ringan sampai membahayakan
jiwa. Gejala utama demam sering didiagnosis dengan infeksi lain: seperti
demam typhoid, demam dengue, leptospirosis, chikungunya, dan infeksi
saluran nafas. Adanya thrombositopenia sering didiagnosis dengan
leptospirosis, demam dengue atau typhoid. Apabila ada demam dengan
ikterik bahkan sering diintepretasikan dengan diagnosa hepatitis dan
leptospirosis. Penurunan kesadaran dengan demam sering juga didiagnosis
sebagai infeksi otak atau bahkan stroke. Pada malaria yang disebabkan oleh
Plasmodium falciparum dapat menyebabkan malaria serebral karena
terjadinya penyumbatan pembuluh darah di otak dan menyebabkan koma
(Acharya., et al., 2009; Kemenkes RI, 2011).
Untuk malaria berat diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria WHO. Untuk
anak <5 tahun diagnosis menggunakan MTBS namun pada daerah endemis
rendah dan sedang ditambahkan riwayat perjalanan ke daerah endemis dan
transfusi sebelumnya. Pada MTBS diperhatikan gejala demam dan atau pucat
untuk dilakukan pemeriksaan sediaan darah. Diagnosis pasti malaria harus
ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan darah secara mikroskopis atau uji
diagnostik cepat Rapid Diagnostic Test=RDT (Dirjen P2PI, 2017).
Upaya pencegahan malaria adalah dengan meningkatkan kewaspadaan
terhadap risiko malaria, mencegah gigitan nyamuk, pengendalian vektor dan
kemoprofilaksis. Pencegahan gigitan nyamuk dapat dilakukan dengan
menggunakan kelambu berinsektisida, repelen, kawat kasa nyamuk dan
lainlain. Obat yang digunakan untuk kemoprofilaksis adalah doksisiklin
17
dengan dosis 100mg/hari. Obat ini diberikan 1-2 hari sebelum bepergian,
selama berada di daerah tersebut sampai 4 minggu setelah kembali. Tidak
boleh diberikan pada ibu hamil dan anak dibawah umur 8 tahun dan tidak
boleh diberikan lebih dari 6 bulan (Rubianti, Agung & Solikhah, 2009).
2.4 Klorokuin Sebagai Antimalaria
Obat antimalaria adalah senyawa yang digunakan untuk pencegahan dan
pengobatan malaria yang disebabkan oleh protozoa yaitu Plasmodiunm sp
yang masuk ke dalam tubuh tuan rumah (host) melalui gigitan nyamuk
Anopheles betina. Obat antimalaria yang ideal adalah obat yang efektif
terhadap semua jenis dan stadium parasit, menyembuhkan infeksi akut
maupun laten, efek samping ringan, dan toksisitas rendah (Syamsudin, 2005).
Berdasarkan struktur kimianya klorokuin fosfat merupakan turunan dari 4-
aminokuinolin. Turunan 4-aminokuinolin mempunyai aktifitas antimalaria
yang relatif tinggi disbandingkan kinin. Toksisitasnya relatif rendah,
pemakaian jangka panjang dengan dosis besar dapat mempengaruhi
pendengaran dan penglihatan. Klorokuin fosfat merupakan obat pilihan untuk
pencegahan dan pengobatan serangan akut malaria. Kombinasi dengan
primakuin digunakan untuk pencegahan serangan semua jenis malaria.
Rumus bangun dari klorokuin adalah sebagai berikut :
18
Gambar 5. Struktur Kimia Klorokuin (PubChem, 2005)
Klorokuin juga digunakan untuk pengobatan chlonorchiasis dan infeksi
amuba hepatic berhubungan dengan keradangan, seperti rematik arthritis.
Penyerapan obat dalam saluran cerna cepat dan hampir sempurna, kadar
serum tertinggi dicapai dalam 1-2 jam, kemudian obat akan dikumpulkan
pada jaringan tertentu, seperti hati, paru dan ginjal dan tetap tinggal dalam
waktu yang lama karena terikat secara kuat dalam sel-sel yang mengandung
melanin (Dewi, 2003; Tjitra, 2004).
Gambar 6. Mekanisme Kerja Klorokuin (Okpako, 1991).
19
Klorokuin bersifat basa lemah dan aktifitasnya di dalam Plasmodium terjadi
dalam vakuola makanan parasit stadium aseksual. Klorokuin yang dimakan
per oral diabsorbsi melalui saluran cerna ke dalam plasma darah kemudian
berdifusi ke dalam sitoplasma parasit karena adanya perbedaan tekanan dan
konsentrasi. Di dalam sitoplasma parasit, klorokuin dimasukkan (uptake) ke
dalam vakuola makanan melalui aktifitas suatu protein carrier pada membran
vakuola makanan yang homolog dengan protein carrier pada manusia yang
disebut p-glikoprotein homolog-1 (Pgh1) yang berfungsi sebagai pompa
(ATP binding transport protein). Selain itu aktifitas Pgh1 juga berfungsi
mengeluarkan klorokuin (efflux) kembali dari vakuola makanan ke sitoplasma
(Bayoumi et al., 1994). Namun kecepatan uptake yang terjadi lebih besar
daripada kecepatan efflux sehingga tercapai konsentrasi obat yang tinggi
dalam vakuola makanan (Krogstad et al., 1987; Muti’ah, 2012).
Vakuola makanan bersifat asam maka klorokuin (yang berada dalam bentuk
basa) akan terprotonisasi menjadi bentuk dikationik yang dianggap tidak
dapat larut dalam lipid sehingga klorokuin akan terperangkap di dalam
vakuola makanan kecuali sedikit yang dikeluarkan oleh Pgh1 (Triwani,
2015).
2.5 Resistensi Plasmodium falciparum Terhadap Klorokuin
Resistensi P. falciparum terhadap klorokuin bersifat multigenik karena
mutasi terjadi pada gen yang mengkode plasmodium falciparum chloroquine
resistant transporter (PfCRT) transporter pertama dan plasmodium
falciparum multidrug resistant (PfMDR-1) transporter kedua (White, 2004).
20
Sejumlah laporan penelitian terbaru memprediksi bahwa resistensi parasit
terhadap klorokuin terjadi karena adanya peningkatan pada PfCRT dan
PfMDR-1. PfMDR-1 merupakan kontributor utama parasit menjadi resisten
terhadap klorokuin. Melalui percobaan secara in vitro kedua transporter
tersebut terkait dengan tingkat resistensi. Di Malawi penggunaan klorokuin
sudah dihentikan sejak 1993 karena prevalensi dari PfCRT mengalami
penurunan dari 85% pada tahun 1992 menjadi 13% pada tahun 2000 (White,
2004; Simamora & Fitri, 2007).
2.6 Gen PfCRT pada Malaria Plasmodium falciparum
Gen PfCRT merupakan gen yang terletak pada kromosom 7 parasit
Plasmodium falciparum dengan spans 3.1kb dan memiliki 13 exons dengan
ukuran mulai dari 45-269 bp , menghasilkan 1,275 bp cDNA ternyata
berhubungan erat dengan penurunan sifat resistensi melalui uji genetic
crossing (Fidock et al., 2010; Wellems & Plowe, 2001).
Gambar 7. Letak gen PfCRT pada Plasmodium falciparum (NCBI, 2018)
21
Gen ini menyandi suatu protein transporter putatif sepanjang 425 asam
amino yang terletak pada membran vakuola makanan parasit dan diperkirakan
berperan dalam influks dan efluks obat ke dan dari dalam vakuola makanan
serta berperanan pengaturan pH intra-vakuola. Saat ini telah dipetakan
delapan SNP titik pada gen PfCRT yang menyebabkan perubahan asam
amino; M74I, N75I, K76T, A220S, Q271E, N326S, I356T dan R371I yang
bertanggungjawab terhadap munculnya resistensi terhadap Klorokuin. Pada
penelitian dengan metode genetic complementation, kodon 76 dibuktikan
berperanan penting dalam kejadian resitensi terhadap klorokuin. Analisis
terhadap isolat P. falciparum yang resisten dari berbagai belahan penjuru
dunia memperlihatkan semua isolat resisten tersebut membawa alel yang
resisten sebagaimana tersebut di atas (Kublin et al., 2003; Triwani, 2011;
CDC, 2018).
Hasil translasi dari gen PfCRT adalah protein transmembran multi-domain
yang berada di vakuola makanan parasit sehingga diperkirakan berperan
dalam keseimbangan osmolit dengan arus balik melintasi vakuola makanan.
Klorokuin yang masuk tidak menyebabkan toksik karena tidak
terakumulasinya klorokuin dalam vakuola makanan (Fidock et al.,2010; Bir,
Verdier-Pinard & Fidock, 2002; Chege et al., 2015).
2.7 PCR
Polymerase Chain Reaction atau PCR adalah suatu metode enzimatis untuk
amplifikasi DNA dengan cara in vitro. Pada proses PCR diperlukan beberapa
komponen utama, yaitu DNA cetakan, oligonukleotida primer,
22
Deoksiribonukelotida trifosfat (dNTP), Enzim DNA Polimerase, dan
Komponen pendukung lain adalah senyawa buffer. Pada proses PCR
menggunakan menggunakan alat termosiklus. Sebuah mesin yang memiliki
kemampuan untuk memanaskan sekaligus mendinginkan tabung reaksi dan
mengatur temperatur untuk tiap tahapan reaksi. Ada tiga tahapan penting
dalam proses PCR yang selalu terulang dalam 30-40 siklus dan berlangsung
dengn cepat yaitu denaturasi, anneling, dan pemanjangan untai DNA. Produk
PCR dapat diidentifikasi melalui ukurannya dengan menggunakan
elektroforesis gel agarosa. Teknik PCR dapat dimodifikasi ke dalam beberapa
jenis diantaranya : PCR- RFLP, PCR – RAPD, nested- PCR,
QuantitativePCR, RT- PCR dan inverse – PCR. Keunggulan PCR dikatakan
sangat tinggi. Hal ini didasarkan atas spesifitas, efisiensi dan keakuratannya
(Yusuf, 2010).
2.8 Kerangka Teori
Kerangka teori pada penelitian ini dijelaskan pada gambar dua.
Gambar 8. Kerangka Teori Penelitian
P.falciparum
Infeksi Malaria
Klorokuin
Perubahan materi
genetik
Resistensi
Klorokuin
Pemberian ACT
tahun 2004
Pemaparan
Klorokuin (-)
Wild-type
P.falciparum Gambaran
Polimorfisme akan
berubah
khususnya pada
kodon 76
23
2.9 Kerangka Konsep
Gambar 9. Kerangka Konsep Penelitian
Sampel darah penderita malaria dalam
Bentuk BBT pada populasi free
klorokuin selama 12 tahun dari
Puskesmas Hanura Kabupaten
Pesawaran, Provinsi Lampung
Identifikasi wild-type pada
penderita malaria falciparum
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
rancangan penelitian survei yaitu penelitian yang tidak memberikan perlakuan
apapun kepada variabel, hanya mengumpulkan data menggunakan instrumen
yang telah dibakukan, seperti angket, tes serta penelitian ini bersifat deskriptif
yaitu penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa,
kejadian yang terjadi pada saat ini (Sugiyono, 2012). Teknik pengambilan
sampel dalam penelitian ini adalah total sampling dengan populasi terjangkau
yaitu penderita malaria falciparum di wilayah kerja Puskesmas Hanura
Kabupaten Pesawaran untuk mendeteksi adanya SNP Kodon 76 gen PfCRT.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Biologi
Molekuler Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dan dilaksanakan pada
bulan Oktober- Desember 2018.
3.3 Subjek Penelitian dan Sampel
Subjek penelitian adalah warga di Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung
yang menderita malaria di Puskesmas Hanura berdasarkan pemeriksaan
mikroskopis. Pengambilan sampel darah dilakukan pada tahun 2016 dari
25
Puskesmas Hanura di Pesawaran. DNA dari sampel telah diisolasi dan saat ini
tersimpan dalam ruangan Bahan Biologi Tersimpan (BBT). Jumlah BBT yang
tersedia sebanyak 22 sampel DNA.
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Bahan Biologi Tersimpan yang akan digunakan pada penelitian ini adalah
BBT yang telah memenuhi kriteria inklusi berupa DNA sampel yang masih
dapat digunakan untuk PCR dan volume darah yang mencukupi, serta kriteria
eksklusi berupa DNA sampel yang terkontaminasi bahan kimia lain.
3.5 Definisi Operasional
a. Genotipe adalah susunan genetik yang dimiliki oleh makhluk hidup.
Diberi simbol dengan dua huruf, bisa homozigot bila genotipenya terdiri
dari gen-gen yang sama dari tiap jenis gen (misalnya CC), atau heterozigot
bila genotipenya terdiri dari gen-gen yang berlainan dari tiap jenis gennya
(misalnya CA). Alel adalah bentuk pasangan alternatif dari gen yang
menempati satu lokus pada kromosom.
Pada penelitian ini didapatkan satu variabel, yaitu SNP kodon 76 gen
Plasmodium falciparum Chloroquine Resistensi Transporter (PfCRT).
3.6 Alat dan Bahan
Pada penelitian ini dilakukan dengan melalui tiga tahapan yaitu isolasi DNA,
amplifikasi gen PfCRT menggunakan PCR konvensional dan elektroforesis.
Alat dan bahan yang digunakan dibedakan sesuai dengan tahapan yang akan
dilakukan.
26
Pada tahapan isolasi DNA, molekul DNA dalam suatu sel dapat diekstraksi
atau diisolasi untuk berbagai macam keperluan seperti amplifikasi dan analisis
DNA melalui elektroforesis. Isolasi DNA merupakan suatu prosedur yang
bertujuan untuk memisahkan materi genetik suatu mahluk hidup dari materi
yang ada disekitarnya. Prinsip utama dalam isolasi DNA ada tiga yakni
penghancuran (lisis), ektraksi atau pemisahan DNA dari bahan padat seperti
selulosa dan protein, serta pemurnian DNA. Isolasi DNA dapat dilakukan
menggunakan dua cara yaitu bahan-bahan yang digunakan didapatkan secara
terpisah atau dengan menggunakan bahan yang sudah ada dalam satu kemasan
atau lebih dikenal dengan sebutan kit. Di dalam kit seluruh prosedur serta
bahan yang diperlukan dalam isolasi DNA sudah tersedia termasuk
penggunaan setiap bahan, baik pengenceran dan cara penggunaan.
Pada penelitian ini isolasi DNA menggunakan QIAamp® DNA Kit. Bahan-
bahan yang diperlukan dalam isolasi DNA adalah QIAmp® DNA Kit yang
terdiri dari; Proteinase K; Buffer AL; Buffer AW1; Buffer AW2; dan Buffer
AE, Etanol (100%), sampel darah, dan air murni (aquabidest). Adapun alat
yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah pulse-vortexing, spindown,
QIAamp spin column, collection tube 2 ml, centrifuge, microcentrifuge tube,
makropipet berukuran 100-1000µl maupun mikropipet berukuran 10-100 µl,
blue tips, yellow tips, stopwatch, dan waterbath 56°C.
Setelah melakukan tahapan isolasi DNA. Hasil dari isolasi DNA dari akan
dilanjutkan dengan tahapan berikutnya yaitu amplifikasi. Proses amplifikasi
ini bertujuan untuk memperbanyak fragmen DNA target yang telah diisolasi.
27
Proses amplifikasi pada penelitian ini menggunakan teknik nested Polymerase
Chain Reaction (PCR) secara konvensional. Alat PCR yang digunakan adalah
Rotor-Gene®. Penelitian ini menggunakan MyFi™ DNA Polymerase
(Bioline). Amplifikasi bahan yang dibutuhkan adalah aqua for Injection, DNA
template, primer DNA target (forward dan reverse primer).
Primer yang digunakan pada penelitian ini akan dijelaskan pada tabel 1:
Tabel 1. Primers PfCRT
Nama
Primer Sequence Primer
Panjang
Produk
PCR
(bp)
Kondisi Cycling
PCR
Outer
Forward P1 5’-CCGTTAATAATAAATACACGCAG
546
35 siklus pada
suhu 94ºC selama
30 detik; 56ºC
selama 30 detik;
dan 62ºC selama
1 menit;
kemudian 62ºC
selama 5 menit Outer
Reverse P2 5’-CGGATGTTACAAAACTATAGTTACC
Nested
Forward D3 5’-AGGTTCTTGTCTTGGTAAATTTGC
164
30 siklus pada
suhu 94ºC selama
30 detik; 56 ºC
selama 30 detik;
dan 65 ºC selama
1 menit,
kemudian 65 ºC
selama 5 menit Nested
Reverse D2 5’-CAAAACTATAGTTACCAATTTTG
(Sumber: Humphreys et al., 2007)
Adapun alat yang dibutuhkan dalam proses amplifikasi adalah rotor-Gene®,
mikropipet 0,5-10 µl dan mikropipet 10-100 µl, small tips dan yellow tips
ukuran 0,2 µl, microsentrifuge tube, nampan, rak dingin, ice box ataupun
lemari pendingin, vortex, dan spindown.
28
Tahapan terakhir adalah elektroforesis. Elektroforesis merupakan suatu cara
untuk membaca atau menginterpretasikan hasil dari proses PCR. Prinsip
elektroforesis adalah teknik pemisahan asam nukleat protein berdasarkan
perbedaan medan listrik, molekul dan partikel bermuatan akan bergerak ke
arah elektrode yang memiliki muatan berlawanan di bawah pengaruh medan
listrik.
Bahan yang diperlukan untuk melakukan elektroforesis adalah agarose gel 1%
(agarose 1 gr dengan TBE 1× 100 ml), loading dye 6×, TBE 1×, red gel,
aquabidest. Adapun alat yang digunakan dalam elektroforesis pada penelitian
ini yaitu berupa satu set alat elektroforesis, solatip atau parafilm, tabung
erlenmayer, hot plate, stabillizer, mikropipet berukuran 0,5-10 µl, small tips,
dan uv transluminator.
3.7 Prosedur Penelitian
Terdapat beberapa tahapan untuk melakukan prosedur Genotyping Gen
PfCRT. Tahapan tersebut meliputi isolasi DNA, amplifikasi PfCRT
menggunakan PCR dan elektroforesis.
a. Isolasi DNA
1. Memasukan 20µl qiagen Protease (atau K Proteinase) ke dalam 1.5 ml
microcentrifuge tube;
2. Menambahkan 200µl sampel ke microcentrifuge tube;
3. Menambahkan 200µl buffer AL ke dalam sampel, kemudian di vortex
selama 15 detik;
4. Menginkubasi selama 10 menit dalam suhu 56°C pada waterbath;
29
5. Melakukan spindown 1.5 ml microcentrifuge tube untuk
menghilangkan cairan yang terdapat pada tutup tube;
6. Menambahkan 200µl etanol (100%) ke dalam sampel, kemudian
divortex menggunakan pulse-vortexing selama 15 detik. Setelah itu,
kembali melakukan spindown untuk menghilangkan cairan yang
terdapat pada tutup tube;
7. Campuran larutan tersebut dipindahkan ke QIAamp Spin Column (2 ml
collection tube) tanpa membasahi pinggiran tube, menutup tube, lalu
dicentrifuge dalam 6000 x g (8000 rpm) selama satu menit. Kemudian
membuang hasil filter yang terdapat pada collection tube;
8. Menambahkan 500µl buffer AW1 pada QIAamp Spin Column tanpa
membasahi pinggiran tabung. Tutup, lalu lakukan centrifuge dalam
6000 x g (8000rpm) selama satu menit. Membuang hasil filter yang
terdapat pada collection tube;
9. Menambahkan 500µl buffer AW2 pada QIAamp Spin Column tanpa
membasahi pinggiran tabung. Tutup, lalu lakukan centrifuge dalam
kecepatan penuh 20000 x g (14000rpm) selama tiga menit;
10. Meletakkan QIAamp Spin Column kedalam 1.5ml microcentrifuge
tube dan menyingkirkan collection tube yang terdapat filter.
menambahkan 200µl buffer AE pada QIAamp Spin Column.
Menginkubasi dalam suhu ruangan (15-25°C) selama satu menit, lalu
melakukan centrifuge dalam 6000 x g (8000rpm) selama satu menit;
11. Membuang QIAamp Spin Column dan menutup 1,5 ml microsentrifuge
tube, hasil ekstraksi dapat disimpan pada lemari pendingin.
30
b. Persiapan amflipikasi pertama PfCRT menggunakan PCR
1. Membuat campuran reaksi dengan perhitungan: 25 μL per reaksi ×
(total nomor reaksi + 1);
2. Menghitung jumlah setiap bahan yang dibutuhkan pada setiap reaksi,
volume setiap bahan dikalikan dengan reaksi (total nomor reaksi + 1).
Volume yang dibutuhkan pada setiap kit, berikut rincian volume pada
masing-masing kit:
3. MyFi™ DNA Polymerase (Bioline) :
a) 5X MyFi Reaction Buffer : 5 µL
b) 20 µM Forward Primer : 0,5 µL
c) 20 µM Reverse Primer : 0,5 µL
d) DNA Template : 1 µL
e) MyFi DNA Polymerase : 1 µL
f) Aqua for Injection : 17 µL;
PCR 1_2
MyFi™ DNA Polymerase (Bioline) :
1. 5X MyFi Reaction Buffer : 5 µL
2. 10 µM Forward Primer : 0,25 µL
3. 10 µM Reverse Primer : 0,25 µL
4. DNA Template : 1 µL
5. MyFi DNA Polymerase : 1 µL
6. Aqua for Injection : 17 µL
4. Mencampurkan setiap bahan dengan volume sesuai dengan
perhitungan total reaksi ke dalam microsentrifuge tube, kecuali DNA
31
tamplate. Selama pengerjaan, seluruh bahan diletakkan pada nampan
dan rak dingin, untuk menjaga suhu;
5. Melakukan aliquot campuran reaksi tersebut sebanyak 24 μL pada
setiap 0,2 ml microsentrifuge tube;
6. Menambahkan DNA tamplate sebanyak 1 μL pada setiap tube
7. Menempatkan tube ke dalam rotor, kemudian memasukkan rotor ke
dalam Rotor-Gene®;
8. Menjalankan reaksi PCR sesuai dengan kondisi PCR yang telah
ditentukan.
c. Persiapan amflipikasi kedua (Nested) PfCRT menggunakan PCR
1. Melakukan kembali langkah satu sampai empat seperti pada
amplifikasi pertama;
2. Menambahkan 1 μL hasil amplifikasi pertama pada setiap tube;
3. Menempatkan tube ke dalam rotor, kemudian memasukkan rotor ke
dalam Rotor-Gene®;
4. Menjalankan reaksi PCR sesuai dengan kondisi PCR yang telah
ditentukan.
d. Cycling parameter pada PCR
Pada tahap ini, terjadi tiga proses utama yaitu denaturasi, annealing dan
extension dari materi genetik sampel. Setiap tahapan pada PCR ini
membutuhkan suhu tertentu yang berbeda-beda. Suhu serta waktu yang
dibutuhkan pada setiap tahapan, baik pada amplifikasi pertama dan kedua
dijelaskan pada tabel kedua.
32
Tabel 2. Suhu Amplifikasi Pertama dan Kedua
No Proses Suhu (ºC) Waktu Jumlah Siklus
Amplifikasi Pertama
1
2
3
4
5
Predenaturasi
Denaturasi
Annealing
Extension
Final ekstension
95
94
56
72
72
5 menit
1 menit
1 menit
1 menit
5 menit
1 kali
35 kali
35 kali
35 kali
1 kali
Amplifikasi kedua
1
2
3
4
5
Predenaturasi
Denaturasi
Annealing
Extension
Final ekstension
95
94
56
72
72
5 menit
1 menit
1 menit
1 menit
5 menit
1 kali
35 kali
35 kali
35 kali
1 kali
Tahap denaturasi, anneling dan extension diulangi sebanyak 35 siklus pada
amplifikasi pertama dan 35 siklus pada amplifikasi kedua dengan
menggunakan PCR Kit. Pada penggunaan MyFi™ DNA Polymerase
Bioline, dilakukan pengulangan sebanyak 30 siklus baik pada amplifikasi
pertama ataupun amplifikasi kedua. Setelah selesai seluruh tahapan, hasil
dapat didiamkan pada suhu ruangan atau disimpan pada lemari pendingin
(Snounou dan Färnet, 2013).
Tabel 3. Tabel kondisi PCR CRT1_2
No Proses Suhu (ºC) Waktu Jumlah Siklus
1
2
3
4
5
Predenaturasi
Denaturasi
Annealing
Extension
Final ekstension
95
94
56
72
72
5 menit
1 menit
1 menit
1 menit
5 menit
1 kali
30 kali
30 kali
30 kali
1 kali
e. Pembuatan gel agarose untuk elektroforesis
1. Gel agarose dibuat dengan konsentrasi 8%.
2. Pembuatan gel dimulai dengan mencampurkan 8 gram gel agarose
dengan 100 ml 1 × TBE
33
3. Kemudian campuran dididihkan dalam microwave selama 25 menit
pada ± 80˚C. Campuran dibiarkan hingga suhunya turun sampai
dengan 55˚C.
4. Selagi menunggu turunnya suhu agarose, dipersiapkan bilik
elektroforesis dengan memasang pembatas pada setiap sisi baki
sebagai pencetak agarose.
5. Setelah mencapai suhu yang sesuai, agarose dituangkan ke dalam baki
tersebut dan di letakkan comb pada salah satu ujung sisi baki (pada
kutub negatif). Agarose dibiarkan hingga mengeras menjadi gel yang
padat. Setelah mengeras sempurna, comb lalu dicabut.
6. Kemudian pembatas baki pada setiap sisi dilepaskan dan baki
diletakkan ke dalam bilik elektroforesis yang telah terisi larutan buffer
(The biotechnology education company, 2003; Lucchi et al., 2012).
f. Elektroforesis
1. Menyiapkan kertas parafilm atau solatip pada meja;
2. Meletakkan 2 μL loading dye pada parafilm atau solatip;
3. Mengambil 3 μL hasil amplifikasi kedua, kemudian
mencampurkannya dengan loading dye;
4. Mengambil 5 μL hasil campuran tersebut, kemudian memasukkannya
ke dalam sumur pada gel agarose;
5. Menyambungkan alat elektroforesis dengan sumber listrik dengan
pengaturan pada alat elektroforesis, yaitu 100 V, 50 Watt dan 250 mA
selama 55 menit;
34
6. Setelah selesai, didiamkan beberapa saat dan mengangkat agarose dari
bilik elektroforesis dan meletakkannya pada alat UV transilluminator
untuk divisualisasikan (Snounou dan Färnet, 2013).
3.8 Cara Pengolahan dan Analisis data
Data disajikan secara naratif deskriptif dan pengolahan data dilakukan
menggunakan perangkat lunak komputer Mega X versi 10.0.5 .
3.9 Alur Penelitian
Gambar 10. Alur Penelitian
Pembuatan surat izin untuk melakukan penelitian di Laboratorium
Biokimia, Fisiologi, dan Biologi molekuler Fakultas Kedokteran
Univesitas Lampung
Persiapan alat dan bahan penelitian
Isolasi DNA pada 22 sampel darah dari BBT
Melakukan amplifikasi dengan metode Nested PCR pada sampel
DNA hasil isolasi
Melakukan Elektroforesis
Analisis Data 13 Sampel dan Pengolahan Data
35
3.10 Etik Penelitian
Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan dari Komisi Etik Penelitian
Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dengan nomor surat
persetujuan etik 3732/UN26.18/PP.05.02.00/2018.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut.
Terdapat single nucleotide polymorphism kodon 76 gen PfCRT pada
penderita malaria falciparum di Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.
5.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan terkait penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Sampel yang digunakan sebaiknya dari daerah yang berbeda-beda untuk
mengetahui demografis polimorfisme nukleotida tunggal di setiap wilayah.
2. Sampel penelitian sebaiknya dilakukan fotometri agar kandungan DNA
pada masing-masing sampel dapat diseragamkan.
DAFTAR PUSTAKA
Acharya P, Pallavi R, Chandran S, Chakravarti H, Middha S, Acharya J, et al.
2009. A glimpse into the clinical proteome of human malaria parasites
Plasmodium falciparum and Plasmodium vivax. Proteomics Clin. Appl.
3: 1314–1325
Arsunan AA. 2012. Malaria di Indonesia Tinjauan Aspek Epidemiologi. Makasar:
Masagena Press Anggota Ikapi
Arsyad G. 2015. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian malari di desa
tongoa kecamatan palolo kabupaten sigi. JIK. 1(19): 935-1014.
Ashmy HA. Das S. Chandra SP. Padhi S. 2016. Sequence analysis of PfCRT and
pfmdr1 genes and its association with chloroquine resistance in Southeast
Indian Plasmodium falciparum isolates. Elsevier Inc.
Awasthi G, Das A. 2013. Genetics of chloroquine-resistant malaria: a haplotypic
view. Mem Inst Oswaldo Cruz. 108(8): 947-961
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2013. Penyajian pokok-pokok
hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas). Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Bayoumi RAL, Babiker HA, Arnot DE. 1994. Uptake and efflux of chloroquine
by chloroquine resistant Plasmodium falciparum clones recently isolated
in Africa. Acta Tropica. 58:141-9.
Bir A, Verdier-Pinard, Fidock D. 2002. Chloroquine Resistance in Plasmodium
falciparum Malaria Parasites Conferred by PfCRT Mutations.PMC.
298(5591): 210–213Centers for Disease Control and Prevention (CDC).
2015. Malaria. Atlanta, Georgia: Centers for Disease Control and
prevention.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2018. [Online Journal]
[diakses pada 30 Agustus 2018] Tersedia dari:
https://www.cdc.gov/parasites/malaria/index.html
Chahar M. Mishra N. Anvikar A. Dixit R. Valecha N. 2017. Establishment and
application of a novel isothermal amplification assay for rapid detection
46
of chloroquine resistance (K76T) in Plasmodium
falciparum.Scientificreports.
Chege W, Wangai L, Agola E, Kimani F, Hungu C. 2015. Chloroquine
sensitivity: diminished prevalence of chloroquine‑resistant gene marker
PfCRT‑76 13 years after cessation of chloroquine use in Msambweni,
Kenya.Malar J. 14: 328.
Cox-Singh J, Davis T, Lee K, Shamsul S, Matusop A, Ratnam S, et al. 2008.
Plasmodium knowlesi malaria in humans is widely distributed and
potentially life-threatening. PMC. 46(2): 165–171
Dewi K. 2003. P-drug malaria. [skripsi]. Bandung: Universitas Kristen
Maranatha.
Dinas Kesehatan Kabupaten Pesawaran. 2016. Profil kesehatan Kabupaten
Pesawaran. Pesawaran: Dinas Kesehatan Kabupaten Pesawaran.
Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. 2016. Profil Data Kesehatan Provinsi
Lampung. Lampung: Dinas Kesehatan Provinsi Lampung.
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Departemen
Kesehatan RI. 2017. Pedoman Teknis Pemeriksaan Parasit Malaria.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan RI. 2017. Buku saku menuju eliminasi malaria.
Jakarta: Departemen Kesehatan.
Fidock DA, Nomura T, Talley AK, et al. 2010. Mutations in the p. falciparum
digestive vacuole transmembrane protein PfCRT and evidence for their
role in chloroquine resistance. PMC. 6(4): 861–871.
Griffin CE, Hoke JM, Samarakoon U. 2012. Mutation in the Plasmodium
falciparum CRT protein determines the stereospecific activity of
antimalarial Cinchona alkaloids. Antimicrobial Agents and
Chemotherapy. 56(10):5356–5364.
Hakim L. 2011. Malaria epidemiologi dan diagnosis. Aspirator. 3(2): 109-112.
Handayani D. 2013. Identifikasi Mutasi Gen PfCRT Pada Plasmodium
Falciparum Yang Berhubungan Dengan Terjadinya Resistensi Klorokuin
Di Sumatera Selatan. FK Unsri.
Handayani L, Pebrorizal, Soeyoko. 2008. Faktor risiko penularan malaria vivax.
Berita Kedokteran Masyarakat. 24(1): 38-43.
Humphreys GS, Merinopoulos I, Ahmed J, Whitty C, Mutabingwa T, Sutherland
C, et al. 2007. Amodiaquine and artemether-lumefantrine select distinct
47
alleles of the Plasmodium falciparum mdr1 gene in Tanzanian Children
Treated for Uncomplicated Malaria.Tanzania: American Society for
Microbiology.
Ibraheem Z, Madjid RA, Noor SM, Sedik R, Basir. 2014. Role of different PfCRT
and pfmdr-1 mutations in conferring resistance to antimalaria drugs in
Plasmodium falciparum. Malaria Research and Treatment. 1(1):1–17.
Irianto K. 2013. Epidemiologi penyakit menular dan tidak menular panduan
klinis. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Kamelia M. Supargiyono.Agus MW. 2010. Study on Chloroquine Resistance
Transporter (PfCRT) Gene Polymorphism of Plasmodium falciparum in
Malaria Patients in Lampung. 1(1): 47-53.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Malaria. Jakarta: Pusat Data
dan Informasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Malaria. Jakarta: Pusat Data
dan Informasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Kombonglangi RS. 2015. Manajemen terapi malaria falciparum yang resisten
terhadap klorokuin. J Majority. 4(6): 29-30.
Krogstad DJ, Glusman IY, Kyle DE, Cooper RA, Dzekunov SM, Ferdig MT, et
al. 1987. Efflux of chloroquine from Plasmodium falciparum: mechanism
of chloroquine resistance. Science.6(235): 331-6.
Kublin JG, JF Cortese, EM Njunju, RA Mukadama, JJ Wirima, PN Kazembe,
AA. Djimde, B Kouriba, and CV Plowe. 2003. Reemergence of
Chloroquine-Sensitive Plasmodium falciparum Malaria after Cessation of
Chloroquine Use in Malawi. J. Infect. Dis; 187(12): 1870–1875.
Jones MK, Good MF . 2006. Life cycle of malaria infection. Reproduced with
permission from. Malaria parasites up close. Nat Med. 12:170-171.
Lucchi NW, Poorak M, Oberstaller J, Debarry J, Srinivasamoorthy G, Goldman I,
et al. 2012. A new single-step PCR assay for the detection of the zoonotic
malaria parasite plasmodium knowlesi. PLoS ONE. 7(2):1–7.
Mackintosh CL, Beeson JG, Marsh K. 2004. Clinical features and pathogenesis of
severe malaria.Trends in Parasitology. 20(12):597-603.
Manumpa S. 2017. Pengaruh Faktor Demografi dan Riwayat Malaria Terhadap
Kejadian Malaria (Studi di Puskesmas Moru, Kecamatan Alor Barat
Daya, Kabupaten Alor – NTT). Jurnal Berkala Epidemiologi. 4(3): 340.
48
Muti’ah R. 2012. Penyakit malaria dan mekanisme kerja obat-obat antimalaria.
Alchemy. 2(1):80–91
Okpako DT. 1991. Principles of Pharmacology: A Tropical Approach. Cambridge
University.
Paisal. Indriyati L. 2014. Gambaran Plasmodium Knowlesi pada manusia. Jurnal
Buski. 5(2): 87-96.
Purba IG, Sitorus RJ, Camelia A. 2016. Promosi kesehatan pencegahan penularan
penyakit malaria pada masyarakat di desa ibul besar i. Palembang: Jurnal
Pengabdian Sriwijaya.
Putra TRI. 2011. Malaria dan permasalahannya. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala.
11(2): 103-104.
Rajeev K, Fryauff D, Dorsey G, Mattera G, Baird J, Kazura JW., et al. 2008.
Discordant patterns of genetic variation at two chloroquine resistance loci
in worldwide populations of the malaria parasite Plasmodium falciparum.
Antimicrobial Agents and Chemotherapy. 6(52):2212–2222.
Rubianti I, Agung T, Solikhah. 2009. Faktor-faktor risiko malaria di wilayah kerja
puskesmas paruga kota bima nusa tenggara barat. Kes Mas. 3(3): 182-
183.
Saleh I, Handayani D, Anwar C. 2014. Polymorphisms in the PfCRT and pfmdr1
genes in Plasmodium falciparum isolates from South Sumatera,
Indonesia. Med J Indones. 23(1): 3-6.
Simamora D, Fitri LE. 2007. Mechanism and the role of antimalarial drug
resistance. Jurnal Kedokteran Brawijaya. 23(2):82–92.
Snounou G, Färnet A. Genotyping of Plasmodium falciparum parasites. Dalam:
Moll K, Kaneko A, Scherf A, Wahlgren M. 2013. Methods in malaria
research. Edisi ke-6. UK: EVIMalar Glasgow.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian . Jakarta. Alfabeta
Sucipto CD. 2015. Manual lengkap malaria. Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Sridhar S, Droll D, Scherf A. 2016. Translational regulation in blood stages of the
malaria parasite Plasmodium spp.: systems-wide studies pave the way.
Wiley Periodicals, Inc. 7:772–792.
Syafrudin, D., P.B.S. Asih, G.J. Casey, J. Maguire, J.K. Baird, H.S. Nagesha, A.F.
Cowman, and J.C. Reeder. 2005. Molecular Epidemiology of
Plasmodium falciparum Resistance to Antimalarial Drugs in Indonesia.
49
Am. J. Trop. Med. Hyg. 72(2):174–181. Syamsudin. 2005. Mekanisme
obat antimalaria. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia. 3(1): 38-39.
Tinto H, Guekoun L, Zongo I, Guiquemde RT, Alessandro U, Ouedraogo JB.
2008. Chloroquine-resistance molecular markers (PfCRT T76 and
Pfmdr-1 Y86) and amodiaquine resistance in Burkina Faso. Trop Med Int
Health. 13(2):238-40.
Tjitra E. 2004. Pengobatan Malaria dengan Kombinasi Artemisin. Bul Penel.
Kesehatan. 33(2): 53-61
Triwani. 2015. Deteksi resistensi plasmodium falciparum terhadap klorokuin
dengan marka situs polimorfik lys76tyr gen PfCRT menggunakan pcr-
rflp. Palembang : Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Tuti S, Dewi RM, Prasetyorini. 2009. Penurunan efikasi klorokuin dan
sulfadoksin/pirimetamin untuk pengobatan malaria falciparum ringan di
pulau bintan provinsi kepulauan riau tahun 2003. Jurnal Ekologi
Kesehatan. 8(3): 1015-1024.
Wellems TE, Plowe CV.2011. Chloroquine resistant malaria. The Journal of
Infectious Disease; 184:770-6.
White, NJ. 2004. Antimalarial drug resistance. United Kingdom: The Journal of
Clinical Investigation.
Wildani I, Siregar S, Zein U. 2017. Jenis dan Morfologi Plasmodium Pada
Penderita Malaria di Desa Gerunggang Kecamatan Kuala Kabupaten
Langkat Sumatera Utara Tahun 2015.Jurnal Kedokteran Methodist. 7(7):
580
World Health Organization. 2014. World malaria report: 2014. Switzerland:
WHO Press.
World Health Organization. 2017. Malaria [Online Jurnal] [diakses pada tanggal
27 Agustus 2018] Tersedia dari : http://www.who.int/malaria/en/
Yunarko R. 2014. Respon imun terhadap infeksi parasit malaria. Jurnal Vektor
Penyakit. 8(2): 45-46.
Yusuf ZK. 2010. Polymerase chain reaction (pcr). Saintek. 5(6): 1-5.
Yuwono T. 2011. Biologi molekuler. Jakarta: Erlangga
top related