ii. tinjauan pustaka a. kersen (muntingia calabura l.)eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1368/2/bab...
Post on 01-Nov-2020
11 Views
Preview:
TRANSCRIPT
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kersen (Muntingia calabura L.)
Tanaman kersen merupakan tumbuhan tropis yang tersebar di berbagai
dataran tropis. Tanaman ini dapat tumbuh subur di tanah yang tandus dan toleran
terhadap asam dan basa. Buah yang matang memiliki rasa manis dan dimakan
dalam kondisi segar. Di Meksiko, buah kersen dijual di pasar lokal. Buah kersen
dapat diolah menjadi selai atau sebagai hiasan di kue tart dan seduhan daun
diminum seperti minumah teh (Lim, 2012).
Gambar 1. Tanaman kersen (Muntingia calabura L.)
Tanaman kersen memiliki pertumbuhan yang cepat dan proporsinya
ramping. Tanaman ini asli dari Benua Amerika dan banyak dibudidayakan
didaerah yang hangat seperti di Asia. Tanaman ini memiliki nama lain: pohon
6
strawberry, cherry Jamaican (Inggris), cherry cina atau cherry jepang (India) dan
cherry chettu (Telugu). Tananan kersen merupakan tanaman perdu yang tingginya
mencapai 2-10 m dengan daun yang berderet dan dahan menjuntai.Daun memiliki
ciri bentuk daun lanset, permukaan bulunya halus, ujung daun runcing, pangkal
daun tumpul, tepi daun bergerigi dengan panjang 4–14 cm dan lebar 1–4 cm,
daging daun kersen menyerupai kertas dengan tulang daun mennyirip. Mahkota
bunganya berbentuk bulat telur terbalik dan berwarna putih (Lim, 2012).
Dalam sistematika taksonomi tumbuhan, tanaman kersen (Muntingia
calabura L.) diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae (tumbuhan)
Sub kingdom : Tracheobionta (berpembuluh)
Super divisi : Spermatophyta (berbiji)
Divisi : Magnoliophyta (berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub kelas : Dilleniidae
Bangsa : Malvales (Culumniferae)
Suku : Elaeocarpaceae
Marga : Muntingia
Jenis : Muntingia calabura L.
Nilai gizi per 100 g bagian yang dapat dimakan dari buah kersen
mengandung : 77,8 g air, 0,32 g protein, 1,56 g lemak, 4,6 g serat, 1,14 g abu, 124
7
mg kalsium, 84 mg fosfor, 1,18 mg besi, 0,019 g karoten, 0,065 mg thiamine,
0,037 g riboflavin, 0,554 mg niacin, dan 80,5 g vitamin C (Morton 1987; Lim,
2012).
Senyawa volatil yang telah diidentifikasi berjumlah 42 senyawa di dalam
ekstrak buah kersen masak. Senyawa didominasi oleh alkohol (44,7%), ester
(26,5%) dan senyawa karbonil (23,3%) (Wong dkk, 1996 ; Lim, 2012). Ekstraksi
distilasi uap mengidentifikasi 56 senyawa, diantaranya ester (31,4%), alkohol
(15,9%), senyawa fenolik (11,3%), seskuiterpenoid (10,6%) dan turunan furan
(8,3%) secara kuantitatif. Senyawa aroma yang yang terdeteksi adalah 2-asetil-1-
pirroline (1,3%) (Lim, 2012).
Ekstrak metanol daun kersen (Muntingia calabura L.) menunjukkan daya
pereduksi kuat dan aktivitas antioksidan yang signifikan (shiddiqah dkk. 2010 ;
Lim, 2012). Dalam pengukuran aktivitas antioksidan dengan metode DPPH, nilai
IC50 dari ekstrak ditemukan sebesar 22 µg/ml. Kandungan total fenolik ditemukan
sebesar 0,903 untuk asam galat dengan dibandingkan dengan 2,9000 tannic acis
calibration standar (Preethi et al. 2010; Lim, 2012).
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa pada batang, akar, dan daun
mengandung zat anti kanker berupa flavonoid yang memiliki efek cytotoxic
(Kaneda et. all, 1991; Lim, 2012).
Daun dan buah dari Muntingia calabura L. Merupakan bagian yang aman
untuk dikonsumsi dan memiliki efek antioksidan. Hal ini sesuai dengan klaim
bahwa daun dikonsumsi langsung sebagai minuman seperti teh di Peru, sementara
buah segar dimakan atau disiapkan sebagai hiasan kue tart atau selai di Meksiko.
8
Penggunaan daun untuk mempelajari anti-inflamasi, antipiretik, antiulcer, dan
kegiatan antiproliferatif dari tanaman kersen yang bersamaan dengan klaim
tradisional potensi daun untuk mengobati sakit kepala dan demam, ulkus
lambung, dan pembengkakan kelenjar prostat (Mahmood dkk, 2014).
Secara kualitatif diketahui bahwa senyawa yang dominan dalam daun
kersen adalah flavonoid yang menunjukkan aktivitas antioksidan (Zakaria et al,
2007). Senyawa flavonoid sangat bermanfaat dalam makanan karena berupa
senyawa fenolik yang bersifat antioksidan kuat. Flavonoid memiliki kemampuan
untuk menghilangkan dan secara efektif menyapu spesies pengoksida yang
merusak (Heinrich, 2009).
B. Pengolahan Daun Kersen (Muntingia calabura L.)
Menurut Yustika (2015), pengolahan daun kersen diawali dengan
pemilihan daun. Daun kersen diperoleh dari wilayah Bantul, daun kersen segar
disortasi basah dengan proses pemilihan daun yang sudah tua (berwarna hijau
tua), kemudian daun dipetik. Pembuatan “teh” daun kersen, diawali dengan
pencucian daun, proses pelayuan, setelah selesai, kemudian dilakukan proses
pengeringan.
Proses pengeringan dilakukan dengan cepat dan menggunakan suhu yang
tidak terlalu tinggi. Pengeringan yang dilakukan dengan waktu yang lama dan
dengan suhu tinggi akan mengakibatkan perubahan kimia pada kandungan
senyawa aktifnya pada sampel (Prasetyo dan Entang, 2013). Tahapan pengolahan
bubuk daun kersen adalah sebagai berikut :
9
1. Sortasi basah
Pada penelitian ini, daun kersen yang digunakan adalah daun yang sudah
tua yang ditandai dengan warna hijau tua. Pemilihan daun kersen tua
dilakukan karena pada daun kersen tua menghasilkan aktivitas antioksidan
yang lebih tinggi daripada daun kersen muda (Kuntorini dkk, 2013). Daun
tersebut dipetik kemudian dilakukan sortasi basah.
Menurut Prasetyo dan Entang (2013), sortasi basah dilakukan untuk
memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing lainnya dari bahan
simplisa. Misalnya pada simplisa yang dibuat dari akar, bahan-bahan asing
seperti tanah, kerikil, rumput, batang, serta kotoran lain harus dibuang. Hal
tersebut bertujuan untuk merngurangi jumlah mikrobia awal dan menjaga
mutu bahan baku.
2. Pencucian bahan
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan kotoran lain yang melekat pada
bahan baku. Pencucian dilakukan menggunakan air bersih dan dalam air
yang mengalir. Serta dalam waktu yang sesingkat mungkin (Prasetyo dan
Entang, 2013).
Cara sortasi dan pencucian sangat mempengaruhi jenis dan jumlah
mikroba awal bahan. Misalnya jika air yang digunakan untuk pencucian
kotor, maka jumlah mikroba pada permukaan bahan bahan dapat
10
bertambah dan dapat mempercepat pertumbuhan mikrobia pada bahan
tersebut (Prasetyo dan Entang, 2013).
3. Pelayuan
Proses pelayuan dilakukan untuk menurunkan kandungan air dari daun,
Proses ini, umumnya dilakukan dengan menempatkan daun dirak-rak
dalam gedung dan pelayuan dilakukan selama 16-24 jam (Siswoputranto,
1978; Kusumo, 2010).
Menurut Kusumo (2010), pada pelayuan dikenal 2 perubahan pokok, yaitu
perubahan fisika dan perubahan kimia. Perubahan fisika yang terjadi
adalah melemasnya daun akibat menurunnya kadar air dan perubahan
kimia selama pelayuan antara lain :
a. Kenaikan aktifitas enzim
b. Terurainya protein menjadi asam amino bebas seperti : alanin, leucin,
isoleucin, valin dan lain-lain
c. Kenaikan kandungan kafein
d. Kenaikan kadar karbohidrat yang dapat larut
e. Terbentuknya asam organik dari unsur-unsur C, H dan O
f. Pembongkaran sebagian klorofil menjadi feoforbid
4. Pengeringan
Pengeringan merupakan salah satu cara dalam teknologi pangan yang
dilakukan dengan tujuan pengawetan. Manfaat (kegunaan) lain dari
pengeringan adalah memperkecil volume dan berat bahan disbanding
11
kondisi awal sebelum pengeringan. Sehingga akan menghemat ruang
pengepakan dan memudahkan pengangkutan (Rukmana, 2005). Tujuan
dari pengeringan adalah untuk mendapatkan simplisa yang tidak mudah
rusak sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Dengan
mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi enzimatik akan dicegah
penurunan mutu atau perusakan simplisa (Prasetyo dan Entang, 2013).
Pengeringan menghilangkan kelembaban dan air dari makanan, sehingga
bakteri, kapang, dan jamur tidak dapat tumbuh dan merusak makanan.
Pengeringan juga memperlambat reaksi enzimatik, tapi tidak
menginaktivasi enzim tersebut. Karena pengeringan menghilangkan
sebagian air pada bahan pangan, makanan menjadi lebih kecil dan ringan
(Harrison dkk, 2010).
Pengeringan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pengeringan alami
dan pengeringan buatan. Pengeringan alami banyak dipraktekkan oleh
petani, yang dilakukan dengan penyinaran matahari secara langsung
(penjemuran). Sementara, pengeringan buatan merupakan cara
pengeringan yang dilakukan dengan menggunakan alat yang
memanfaatkan sumber panas sinar matahari (energi surya), kompor,
maupun tenaga listrik (Rukmana, 2005).
Pengeringan model lain adalah secara mekanis yaitu menggunakan alat
pemanas. Dengan alat ini pengeringan dapat dilakukan dimanapun dan
kapanpun, baik kondisi panas maupun hujan. Bentuk alat pengering
mekanis yang sudah dikenal adalah bentuk terowongan (tunnel dryer) dan
12
bentuk almari (cabinet dryer). Ada pula alat pengering mekanis berupa
vacuum dryer dan rotary dryer (Djarijah, 1995). Pada penelitian kali ini,
alat pengering yang digunakan adalah almari pengering (cabinet dryer).
Secara sederhana, mekanisme kerja alat pengering mekanis adalah sebagai
berikut; panas yang dipancarkan dari kompor atau tungku atau sumber
panas lain di alirkan masuk ke ruangan pengering yang dilengkapi dengan
rak. Karena aliran panas tersebut, suhu udara dalam ruangan pengeringan
meningkat. Selanjutnya, aliran udara panas tersebut akan menguap melalui
lubang-lubang pengeluaran (Djarijah, 1995).
Makin tinggi suhu dan kecepatan aliran udara pengering makin cepat pula
proses pengeringan berlangsung. Makin tinggi suhu udara pengering
makin besar energi panas yang dibawa udara sehingga makin banyak
jumlah massa cairan yang diuapkan dari permukaan bahan yang
dikeringkan. Jika kecepatan aliran udara pengering makin tinggi maka
makin cepat pula massa uap air yang dipindahkan dari bahan ke atmosfir
(Taib et al., 1988; Ishak, 2013).
Kecepatan pengeringan maksimum dipengaruhi oleh percepatan pindah
panas dan pindah massa selama proses pengeringan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kecepatan pindah panas dan massa tersebut adalah sebagai
berikut (Estiasih, 2009; Ishak, 2013) :
a. Luas permukaan
Pada pengeringan umumnya, bahan pangan yang akan dikeringkan
mengalami pengecilan ukuran, baik dengan cara diiris, dipotong, atau
13
digiling. Proses pengecilan ukuran akan mempercepat proses
pengeringan. Hal ini disebabkan pengecilan ukuran akan memperluas
permukaan bahan, air lebih mudah berdifusi, dan menyebabkan
penurunan jarak yang harus ditempuh oleh panas
b. Suhu
Semakin besar perbedaan suhu antara medium pemanas dengan bahan
pangan semakin cepat pindah panas ke bahan pangan dan semakin
cepat pula penguapan air dari bahan pangan. Apabila udara
merupakan medium pemanas, maka faktor kecapatan pergerakan
udara harus diperhatikan. Pada proses pengeringan, air dikeluarkan
dari bahan pangan dapat berupa uap air. Uap air tersebut harus segera
dikeluarkan dari atmosfer di sekitar bahan pangan yang dikeringkan.
Jika tidak segera keluar, udara di sekitar bahan pangan akan menjadi
jenuh oleh uap air sehingga memperlambat penguapan air dari bahan
pangan yang memperlambat proses pengeringan.
Semakin tinggi suhu udara, semakin banyak uap air yang dapat
ditampung oleh udara tersebut sebelum terjadi kejenuhan. Faktor lain
yang mempengaruhi kecepatan pengeringan adalah volume udara.
c. Kecepatan pergerakan udara
Semakin cepat pergerakan atau sirkulasi udara maka proses
pengeringan akan semakin cepat. Prinsip ini menyebabkan beberapa
proses pengeringan menggunakaan sirkulasi udara atau udara yang
bergerak seperti pengering kabinet, dan tunnel dryer.
14
d. Kelembaban udara
Semakin kering udara (kelembaban semakin rendah) maka kecepatan
pengeringan semakin tinggi. Kelembaban udara akan menentukan
kadar air akhir bahan pangan setelah dikeringkan. Proses penyerapan
akan terhenti sampai kesetimbangan kelembaban nisbi bahan pangan
tercapai.
e. Tekanan atmosfer
Pengeringan pada kondisi vakum menyebabkan pengeringan lebih
cepat atau suhu yang digunakan untuk suhu pengeringan dapat lebih
rendah. Suhu rendah dan kecepatan pengeringan yang tinggi
diperlukan untuk mengeringkan bahan pangan.
f. Penguapan air
Penguapan atau evaporasi merupakan penghilangan air dari bahan
pangan yang dikeringkan sampai diperoleh produk kering yang stabil.
Penguapan yang terjadi selama proses pengeringan tidak
menghilangkan semua air yang terdapat dalam bahan pangan.
g. Lama pengeringan
Pengeringan dengan suhu tinggi dalam waktu yang pendek dapat lebih
menekan kerusakan bahan pangan dibandingkan waktu pengeringan
yang lebih lama dan suhu lebih pendek.
5. Sortasi kering
Sortasi kering pada dasarnya merupakan tahap akhir pengolahan daun
kersen. Tujuannya untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian-
15
bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotoran lain yang masih
tertinggal pada simplisia kering. Sortasi dapat dilakukan dengan atau
secara mekanik (Anonim, 1985 ; Riata, 2010).
6. Pembuatan bubuk daun kersen
Daun kersen yang sudah kering kemudian dihaluskan dengan blender.
Permukaan daun kersen berbulu menyebabkan partikel-partikel serbuk
daun kersen dapat saling berikatan dan menggumpal sehingga proses
pengayakan tidak dapat dilakukan (Sentat dan Susiyanto, 2016).
7. Pengepakan dan penyimpanan
Bahan pengemas harus sesuai dengan simplisia yang dikemas. Misalnya
simplisia yang mengandung minyak atsiri jangan dikemas dalam wadah
plastik, karena plastik akan menyerap bau bahan tersebut. Bahan
pengemas yang baik adalah karung goni atau karung plastik. Simplisia
yang ditempatkan dalam karung goni atau karung plastik praktis cara
penyimpanannya, yaitu dengan ditumpuk. Selain itu, cara menghandelnya
juga mudah serta cukup menjamin dan melindungi simplisia di dalamnya.
Pengekemas lainnya digunakan menurut keperluannya. Pengemas yang
dibuat dari aluminium atau kaleng dan seng mudah melapuk, sehingga
perlu dilapisi dengan plastik atau malam atau yang sejenis dengan itu
(Kurnia, 2011).
Penyimpanan harus teratur, rapi, untuk mencegah resiko tercemar atau
saling mencemari satu sama lain, serta untuk memudahkan pengambilan,
pemeriksaan, dan pemeliharaannya. Simplisia yang disimpan harus diberi
16
label yang mencantumkan identitas, kondisi, jumlah, mutu, dan cara
penyimpanannya. Adapun tempat atau gudang penyimpanan harus
memenuhi syarat antara lain harus bersih, tentutup, sirkulasi udara baik,
tidak lembab, penerangan cukup bila diperlukan, sinar matahari tidak
boleh leluasa masuk ke dalam gudang, konstruksi dibuat sedemikian rupa
sehingga serangga atau tikus tidak dapat Ieluasa masuk, tidak mudah
kebanjiran serta terdapat alas dari kayu yang baik (hati-hati karena balok
kayu sangat disukai rayap) atau bahan lain untuk meletakkan simplisia
yang sudah dikemas tadi (Kurnia, 2011).
C. Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses penarikan komponen aktif yang terkandung dalam
tanaman menggunakan bahan pelarut yang sesuai dengan kelarutan komponen
aktifnya (Yuliani dan Suyanti, 2012). Ekstraksi dapat dilakukan menggunakan
beberapa cara yaitu menggunakan pelarut, distilasi uap, ekstraksi
berkesinambungan, superkritikal karbondioksida, ekstraksi ultrasonic, dan
ekstraksi tenaga listrik (Anonim, 2000). Pada penelitian ini, dilakukan ekstraksi
menggunakan pelarut.
Menurut Anonim (2000), ekstraksi menggunakan pelarut dibagi menjadi
beberapa cara yaitu :
1. Cara Dingin
a. Maserasi
17
Maserasi adalah proses pengekstraksi simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengadukan pada temperatur ruangan.
b. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut sampai sempurna
(exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur
ruangan. Proses ini terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap
maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetasan/penampungan
ekstrak).
2. Cara Panas
a. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik
didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang
relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan
pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga
dapat termasuk proses ekstraksi sempurna.
b. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang umumnya
dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu
dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
c. Digesti
Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinu pada temperatur
yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum
dilakukan pada temperatur 40-50ºC.
18
d. Infus
Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati
dengan air mendidih (96-98ºC) selama waktu tertentu (15-20 menit).
e. Dekok
Dekok adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia
nabati dengan air pada waktu yang lebih lama ± 30 menit dan
temperatur sampai titik didih air.
D. Pelarut
Menurut Ashfar Kurnia (2011), dalam memilih pelarut yang akan dipakai
harus diperhatikan sifat kandungan kimia (metabolit sekunder) yang akan
diekstraksi. Sifat yang penting adalah sifat kepolaran, dapat dilihat dari gugus
polar senyawa tersebut yaitu gugus OH, COOH. Senyawa polar lebih mudah larut
dalam pelarut polar, dan senyawa non polar akan lebih mudah larut dalam pelarut
non polar. Derajat kepolaran tergantung kepada ketetapan dielektrik, makin besar
tetapan dielektrik makin polar pelarut tersebut.
Keberhasilan penentuan senyawa aktif biologis dari bahan tanaman sangat
bergantung pada jenis pelarut yang digunakan dalam prosedur ekstraksi. Sifat
pelarut yang baik dalam ekstraksi tanaman meliputi, toksisitas rendah, kemudahan
penguapan pada api rendah, penyerapan fisiologis yang cepat dari ekstrak,
tindakan pengawet, ketidakmampuan menyebabkan ekstrak menjadi kompleks
atau terdisosiasi (Tiwari dkk, 2011).
19
Menurut Tiwari dkk (2011), faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan
pelarut adalah jumlah fitokimia yang akan diekstraksi, laju ekstraksi, keragaman
berbagai senyawa yang diekstraksi, keragaman senyawa penghambat yang
diekstraksi, kemudahan penanganan ekstrak, toksisitas pelarut dalam proses
bioassay, potensi kesehatan. bahaya dari ekstrak. Pemilihan pelarut dipengaruhi
oleh apa yang dimaksudkan dengan ekstrak. Karena produk akhir akan berisi
bekas pelarut sisa, pelarut harus tidak beracun dan tidak boleh mengganggu.
Pilihan juga akan tergantung pada senyawa yang ditargetkan untuk diekstraksi.
Berbagai pelarut yang digunakan dalam prosedur ekstraksi adalah:
1. Air
Air bersifat universal, digunakan untuk mengekstrak produk tanaman
dengan aktivitas antimikroba. Banyak obat tradisional menggunakan
pelarut air, tapi ekstrak tumbuhan dari pelarut organik telah ditemukan
untuk memberikan aktivitas antimikroba yang lebih konsisten
dibandingkan dengan ekstrak air. Juga flavonoid yang mudah larut dalam
air (terutama antosianin) tidak memiliki kepentingan antimikroba dan
fenolat larut air hanya penting sebagai senyawa antioksidan.
2. Aseton
Aseton melarutkan banyak komponen hidrofilik dan lipofilik dari dua
tanaman yang digunakan, dapat larut dengan air, mudah menguap dan
memiliki toksisitas rendah terhadap bioassay yang digunakan. Sebuah
penelitian melaporkan bahwa ekstraksi tannin dan fenolat lainnya lebih
baik pada aseton berair daripada pada metanol berair.
20
3. Alkohol
Aktivitas ekstrak etanol yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak air
dapat dikaitkan dengan jumlah polifenol dalam jumlah yang lebih banyak
dibandingkan dengan ekstrak air. Ini berarti bahwa mereka lebih efisien di
dinding sel dan degradasi benih yang memiliki karakter unpolar dan
menyebabkan polifenol dilepaskan dari sel. Penjelasan yang lebih berguna
untuk penurunan aktivitas ekstrak air dapat dianggap berasal dari enzim
polifenol oksidase, yang menurunkan polifenol dalam ekstrak air,
sedangkan pada metanol dan etanol, mereka tidak aktif. Selain itu, air
adalah media yang lebih baik untuk terjadinya mikroorganisme
dibandingkan dengan etanol.
4. Kloroform
Terpenoid lactones telah diperoleh dengan ekstraksi berturut-turut dari
kulit kering dengan heksana, kloroform dan metanol dengan aktivitas
berkonsentrasi pada fraksi kloroform. Kadang-kadang tanin dan terpenoid
akan ditemukan dalam fase berair, namun lebih sering diperoleh dengan
perlakuan dengan pelarut polar yang kurang.
E. Senyawa Fenolik
Senyawa fenolik adalah senyawa yang memiliki satu atau lebih kelompok
hidroksil yang menyusun sebuah cincin aromatic. Struktur senyawa fenol dapat
dilihat pada gambar 2. Cincin aromatik pada senyawa fenol adalah benzene.
Dalam banyak hal, senyawa fenol mirip dengan alcohol. Dimana, struktur alifatik
21
kelompok hydrixyl melekat pada rantai karbon, kelompok fenolik hidroksil,
namun dipengaruhi oleh kehadiran cincin aromatik. Karena cincin aromatik
hidrogen dari hidroksil phenolik labil, hal tersebut mebuat fenol menjadi asam
lemah (Vermerris dan Ralp, 2009).
Fenol, fenol atau polifenolik (atau ekstrak polifenol) adalah komponen
kimiawi itu sebagai pigmen warna alami yang bertanggung jawab untuk warna
buah tanaman. Fenolat pada tanaman sebagian besar disintesis dari fenilalanin
melalui aksi Fenilalanin amonia lyase (PAL). Mereka sangat penting bagi
tanaman dan memiliki banyak fungsi. Peran terpenting dalam pertahanan tanaman
terhadap patogen dan herbivora Predator, dan dengan demikian diterapkan dalam
pengendalian infeksi patogen manusia. Mereka dikelompokkan menjadi asam
fenolik dan polifenol flavonoid (Flavonon, flavon, xanthone dan katekin) dan
polyphenol non-flavonoid (Doughari, 2012).
Gambar 2. Senyawa Fenol
Pholyphenols merupakan senyawa yang memiliki lebih dari satu fenolik
gugus hidroksil yang melekat pada salah satu cincin benzene atau lebih. Senyawa
22
fenolik pada tanaman biasanya ditemukan sebagai ester atau glikosida daripada
senyawa bebas (Vermerris dan Ralp, 2009).
Substansi fenolik cenderung larut dalam air dan terletak di vakuola sel.
Diantara beberapa ribu struktur senyawa fenolik alam yang diketahui, flavonoid
lah yang membentuk kelompok terbesar. Beberapa kelompok penting dari bahan
polimer pada tanaman yang lain adalah lignin, melanins, tanin, polifenol, dan unit
fenolik sesekali ditemui dalam protein, alkaloid, dan diantara terpenoid (Harbone,
1998).
Senyawa fenolik memiliki aktivitas biologik yang beraneka ragam, dan
banyak digunakan dalam reaksi enzimatik oksidasi kopling sebagai substrat donor
H. Reaksi oksidasi kopling, selain membutuhkan suatu oksidator juga
memerlukan adanya suatu senyawa yang dapat mendonorkan H. Senyawa fenolik
merupakan contoh ideal dari senyawa yang mudah mendonorkan atom H
(Hasanah, 2011).
Senyawa fenolik mempunyai struktur yang khas, yaitu memiliki satu atau
lebih gugus hidroksil yang terikat pada satu atau lebih cincin aromatik benzena.
Ribuan senyawa fenolik di alam telah diketahui strukturnya, antara lain fenolik
sederhana, fenil propanoid, lignan, asam ferulat, dan etil ferulat (Hasanah, 2011).
Senyawa fenolik merupakan senyawa bahan alam yang cukup luas
penggunaannya saat ini. Kemampuannya sebagai senyawa biologik aktif
memberikan suatu peran yang besar terhadap kepentingan manusia. Sudah banyak
penelitian diarahkan pada pemanfaatan senyawa fenolik pada berbagai bidang
industri. Pada industri makanan dan minuman, senyawa fenolik berperan dalam
23
memberikan aroma yang khas pada produk makanan dan minuman, sebagai zat
pewarna makanan dan minuman, dan sebagai antioksidan. Pada industri farmasi
dan kesehatan, senyawa ini banyak digunakan sebagai antioksidan, antimikroba,
antikanker dan lain-lain, contohnya obat antikanker (podofilotoksan), antimalaria
(kuinina) dan obat demam (aspirin). Selain itu, senyawa ini juga banyak
digunakan sebagai insektisida dan fungisida. Selain itu, senyawa fenolik sangat
penting untuk pertumbuhan dan reproduksi tanaman, di mana diproduksi sebagai
respon untuk mempertahankan tanaman dari serangan terhadap patogen (Hasanah,
2011).
Senyawa fenolik mempunyai struktur yang khas, yaitu memiliki satu atau
lebih gugus hidroksil yang terikat pada satu atau lebih cincin aromatik benzena,
sehingga senyawa ini juga memiliki sifat yang khas, yaitu dapat teroksidasi.
Kemampuannya membentuk radikal fenoksi yang stabil pada proses oksidasi
menyebabkan senyawa ini banyak digunakan sebagai antioksidan. Manfaat asam
fenolik yang paling penting yaitu anti-penuaan yang berhubungan dengan anti-
oksidan yang mengurangi aktivitas dan mencegah pertumbuhan sel abnormal.
Asam fenolat berguna dalam mengendalikan peradangan, meningkatkan sistem
kekebalan tubuh, dan meningkatkan sirkulasi darah, semua yang menghasilkan
signifikan manfaat anti penuaan dalam tubuh (Hasanah, 2011).
F. Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa-senyawa yang dapat menghambat, menunda,
atau mencegah terjadinya oksidasi lemak atau senyawa-senyawa lain yang mudah
24
teroksidasi (Santoso, 2016). Definisi lain antioksidan adalah zat-zat yang apabila
ada dalam konsentrasi yang lebih rendah daripada konsentrasi zat-zat yang dapat
dioksidasi, secara nyata dapat menunda atau menghambat oksidasi substrat
tersebut (Halliwel dan Gutteridge, 1989; Santoso, 2016).
Antioksidan telah lama digunakan. Dan antioksidan ada yang bersifat
alami seperti asam askorbat, tokoferol, lignin, dan lain-lain. Dan ada pula yang
merupakan antioksidan sintetis seperti BHA, BHT, dan TBHQ. Beberapa sumber
antioksidan alam ialah kulit tipis apel, cengkih, kakao, bawang putih, lada, oat, air
kelapa, kunir putih, teh, dan merica (Santoso, 2016).
Dalam sistem pangan, antioksidan yang paling efektif berfungsi dengan
menghentikan (menginterupsi) reaksi berantai radikal bebas. Disamping itu, ada
antioksidan yang berfungsi sebagai pengurai peroksida-peroksida (Santoso, 2016).
Radikal bebas dapat didefinisikan sebagai setiap spesies yang mampu berada
secara independen dan memiliki satu atau lebih elektron tak berpasangan
(Santoso, 2016).
Radikal bebas dapat menginduksi penyakit kanker, arteriosklerosis, dan
penuaan yang disebabkan oleh kerusakan jaringan karena oksidasi, sehingga
diperlukan suatu antioksidan yang mampu menangkap radikal bebas tersebut
sehingga penyakit-penyakit yang terkait dengan radikal bebas ini dapat dicegah
(Kikuzaki dkk., 2002; Suranto, 2016). Menurut Susanto (2016), mekanisme
antioksidan digambarkan pada Gambar 3.
25
Gambar 3. Mekanisme kerja antioksidan
Antioksidan memiliki fungsi untuk menghentikan atau memutuskan reaksi
berantai dari radikal bebas yang terdapat didalam tubuh, sehingga dapat
menyelamatkan sel-sel tubuh dari kerusakan akibat radikal bebas (Hernani dan
Rahardjo, 2005; Fathurrachman, 2014).
G. Hipotesis
Suhu pengeringan dan konsentrasi pelarut etanol diduga berpengaruh
terhadap total fenol dan aktivitas antioksidan bubuk daun kersen kering.
top related