iii. kerangka pemiklran - repository.ipb.ac.id · dirurnuskan kerangka penclilian untuk mcnjc\askun...
Post on 13-Mar-2019
212 Views
Preview:
TRANSCRIPT
III. KERANGKA PEMIKlRAN
3.1. KenDgka Pelaksanaan Penelitian
Berdasarkan tujuan-tujuan penelitian yang telah ditetapkan, maka perlu
dirurnuskan kerangka penclilian untuk mcnjc\askun tahapun-tuhapnn pcnc\ilian yang
akan dilakukan sebagaimanan diuraikan pada Gambar 9.
3.2. Kondisi Kemiskinan
Selama periode 1976-1996, jumlah penduduk miskin tu[un secara draslis, dimana
pada tahun 1976 sebesar 54.2 juta jiwa (40.1%) menjadi 40.6 juta jiwa (26.9%) pada
tahun 1981, turulliagi menjadi 27.2jutajiwa (15 .1 %) pada tahun 1990, dan menjadi 22.5
juta jiwa (11.3%) pada tahun 1996. Pada masa krisis ekonomi, angka kemiskinan
tertinggi terjadi pada akhir tahun 1998 yaitu sebesar 49.S juta jiwa (24.2%), dengan
penyebaran sebanyak 17.6% di wilayah perkotaan dan 31.9% di wilayah pcdesmm. Pada
tahun 2002 penduduk miskin adalah 37.7 juta jiwa (17.9%), yang terdistribusi sebanyak
14.3% di perkotaan dan 20.5% di pedesaan (Tim KPPPKPK, 2002).
Berdasarkan data BPS tuhun I tJ99, sckilar 75.7'Yu rumah lallgga miskin tm:n\ll'ul
sektor usaha bel."8.da di pedesaan dengan mengandalkan pada sumber penghasilan di
sektor pertanian, sedangkan di perkotaan sebesar 75.0% rumah tangga miskin perkotaan
memperoleh penghaSiian utama dari IU<lr sektor pcrlaninn dun hanya 24.0% yang
mengandalkan sektor pertanian. Hal ini menunjukkun buhwa kcmiskimm di Indol1l!sia
terlihat sebagai fenomena pedesaan (Tim KPPPKPK, 2002). Kondisi ini diperparah
dengan minimnya infrastruktur (sarana dan parasarana) pedesaan sehingga pcngeiuaran
Pemerintah untuk penanggulangan kemiskinan scyogyanyn juga llntuk Illcningkalkan
prasarana pedesaan seperti pembangunan jalan, samoa pClldidikan dan kcsdmlun.
Permasalahan kemiskinan dapat dilihat dari bebcrapa aspck scpcrti pCl1lclluhan
hak dasar, bcban kcpl.:nJudukull, kctidakmlilan. Kcgag .. lan Pl'llll..'lluh'lIl ha~ d;lsar
disebabkan antara lain terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, tcrbatasnya akscs dan
rendahnya mutu layanan kesehulan dan pcndidikan, tcrbalasnya kcscmpntan kc~ia dan
berusaha, terbatasnya akses layanun perul11r1han d.m sunill.lsi, Icmahnya kl:rastian
kepem:likan dan penguasaan lanah, memburuknya kondisi lingkungan hidup dall slllllb~r
daya alam, serta terbatasnya akses musyarakal tcrhadap slIlllbcr daya nlmn, Icmahnya
jaminan rasa aman (Anonimous, 2005).
Latar hclnkang : • l'l:tnunfautlUl SOl-! untuk p~mballgunml
clwnlllni IIHSiullill • Pemanraatlll1 SDH lem)'~la tidak
mellwillhternkllll masvarakal sekilar bulan
Jdcnlifikasi MaslJah : • Kemi5kinan dan kctidakmcrutallfl pcndapatan di
s.:k ilar hUlIIn • KebijuklUI I'embangunan kchul:nuu\ lidak
d iarahkan S!carlI I angsung pada pcngenlllSan kemislcinUl
• SDH yang diolah lidak dinilcmali oleh masyarakal selcmpat kurena OO::nYIl kebocornn
\)al a d;1II I n Ii 'nll.l~i :
Tujuan Penelitian : • Mengunalisis dampak kebijnl(an pcmban8unan
kehutW1~'n pnda kesejahtcraan mDsyamkal miskin II i scI. iHlr hllt.UI
Metode I>enclilian _ • Model SNSE • Anatisis Kcbijakan
• Sch.\rnn dan hUl~ hUlnn • SNSE I'rt'~insi K'lllim
2003
Gambar 9. Kcrangka PCllclitiun
();IIllp"k I >i_,trihusi Kcscjahtcmall pada Mnsy;uakat miskin
43
44
3.3. KeblJakan Pembarigunan Kehutanan
Dalam pelaksanaan pembangunan kehutanan, ada beberapa kebijakan yang
ditetapkan Pemerilltah mempunyai dampak baik langsung maupun tidak langsung
kepada kesejabteraan masyarakat, termasuk masyarakat yang hidup di sekitar hutan.
Adapun kebijakan-kebijakan tersebut adalah :
1. Pengurangan Jatah Pr(,~uksi Tahunan dari Hutan Alam (sufi landing) : kebijakan
im dilakukan dengan melakukan pengurangan Jatah Produksi Tahunan (Annual
Allowable Cut I AAC) pada hutan alam secara bertahap yang dimulai sejak tahun
2003 sarnpai pengurangannya sekitar 50% dari tebangan tahun 2002. Pengurangan
AAC ini mempunyai implikasi terhadap menurunnya produksi kayu dari hutan
alarn dan selanjutnya mengurangi pasokan kayu terhadap induslri kchutamm (lIPI I
dan industri JX:ngolahan kayu). Penycsuaian AAC ini dimaksudkall agar imluslri
kehutanan dapat melakukan penyesuaian kapasitasnya, sehingga apabila tcrjadi
pengurangan pasokan bahan baku akibat berkurangnya tebangan, tidak
mengak:batkan "shock landing" pada industri tersebut yang impJikasinya sangat
berbahaya terutama pada aspek finansial perusahaan dan aspek sosial. Disamping
itu, industri perkayuan akan menuju kebangkrutan jika dihadapkan pada
pengurangan pasokan bahan baku secara drastis.
2. Pelarangan ekspor kayu bulat (log) : kebijakan ini dimaksudkan agar kayu bulat
dopat mt'ningknt nilui tambahnya dcng:m dioluh mclalui industri-illdustri
pengolaban kayu domestik seperti industri kayu lapis, induslri kayu gcrgajian,
industri pulp, industri kertas. Implikasi dari kebijakan ini adalah meningkatnya
P&okan kayu bulat untuk industri pengolahan kayu domestik.
3. Restukturisasi sektor (industri) .kehutanan : restrukturisasi sektor kehutanan
ditujukan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumberdaya
hutan yang meliputi restrukturisasi sub-sistem sumberdaya seperti sistem
pengelolaan hutan alam dan hutan tanaman scrtl.1 suh-sistcm pcmunfl.latan y .. itll
industri pengolahan hasil hutan. Dalam kaitannya dengan upaya restrukturisasi
industri. penurunnn kapasitas dun pcnutupan industri kchutanan. pcnanganannya
akan dilakukan dalam kerangka meningkatkan daya saing industri kchutanan
tersebut.
45
4. Pemberian insentif untuk pembangunan hutan tanaman : kebijakan ini ditujukan
untuk mendorong pembangunan hutan tan4man yang produksi kayunya diharapkan
dapat men.substitusi produksi kayu dari hutan a1am melalui pemanfaatan Dana
Reboisasi (DR) untuk pembiyaaan hutan tanaman.
Disamping itu, beberapa kebijakan yang terkait dengan pemberdayaan
masyarakat di sekitar hutan untuk pengentasan kemiskinan yang telah dilakukun
pemerintah Orde Bam dan pada era reformasi antura lain adatah (1) Program prosperity
approach yang dikembangkan Perhutani di Jawa pada awal tahun 1970-an, (2)
Pembangunan ~hsyarakat Desa Hutan (PMDH) yang dikembangkan Perhutani pacta
tahun 1980-an, (3) Hak Pengusahaan Hutan (HPH) Bina Desa dan PMDH yang
dicanangkan Pemt!rintah pada tahun 1991 khususnya di wilayah sckitar HPJI, (4) lillIan
Kemasyarakatan (HKm) yang dikcmbangkan pada tahun 1995 di dahllll kawas4.l1l hllian
produksi atau hutan lindung yang sedang tidak dikelola oleh HPH atau Hak Pengusahaan
Hutan Tanaman lndustri (HPHTl), (5) Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)
yang dikembangkan Perhutani setelah 1998, (6) Sod,,/ FOr£~.\'II:V yang dilullcurkan
Departemen Kehutanan pada tahun 2003.
3.4. Kebijakan Otonolfli Dacrah di Indonesia
Dewasa ini Indonesia sedang menjalani suatu proses pcrllbahan mcndasar d<lll
reformasi demokrasi, termasuk berkembangnya hubungan pcmerintah dan masyarakat
yang lehih kuat. Fase transisi ini. bersama dengun dampak ckollol1li dan sosial <.lkihat
krisis ekonomi I ~97-199d, telah menyebabkan situasi yang labil dan ceapat berubah.
Gerakan reformafoi yang terjadi ternyata dapat mendorong pcrbuikan kchidupull politik.
Sebagai contoh, upaya unluk I11cncgakkan kcduul'ltan Ilusionul dan mcningka\kan pl'rall
para pihak (siakeh"lders) diikuli olch pengllrungan clominasi pClllcrinlah Sl.!cara p()litik.
NilIllUIl, rcformasi ini scbcnarnya adaluh proses jnngk,l panjang, karcna lidak hanYil
memerlukan peraturan perundangan tetapi juga pembentukun institusi dUll m<'lllajl'llll'll
publik yang memadai.
Gcrakan reformasi yang dimu)ai pada tahun 1998 dianlamnya ' tclah mcnJonlng
implementasi de!lentralisasi pemcrintahan dalam waktu singkaL Pcruhahan y.lIlg ccpat
pada sistem pemerintahan mungkin juga mengacu pada sejamh bangs,l ini. Sl'iak
kcmcrdekaannya pada hllnln 1945, sistcm pcmcrintahan telah bcrubah hchcrapa bli.
yang tidak kurang dari enam kali, mulai dari sentralistik menjadi desentralistik dan
46
sebaliknya. Sistem yang digunakan saat ini dan didukung oleh kesepakatan politik adalah
desentralisasi dengan didasarkan pada terbitnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999
Y.lIlg bcrkalu sccam rcsmi pm!.l h.lri pcrtamn Januari 2001. Namun, perumusan
pl.!rutumn pl:rundangan yang dilaksanukun sccara cepat dun daium kondisi transisi scrta
diikuLi nich bcrganlinya rcjim pcmcrintahan, telah menyebabkan Undang-Undung
tersebut kurang iengkap dan kurang sesuai untuk mendukung proses yang sedang
berjaiall pada saat itu.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor :S Tahun
1999 telah mengnt1..1r desentralisasi kewenangan pada sebagian besar aspek
pemerintahan. Transformasi dari pemerintahan yang sentralistik menjadi desentralistik
tidak semudah istilah "desentralisasi" yang digunakan, dimana terdapat interpretasi yang
berbeda pada masing-masing, pihak. Pada sektor kehutanan, beberapa Pemerintah Daerah
mengintcrpretasikan desenlralisasi sebagai kebebasan untuk mclakukan apapun yang
mercka rasakan !'esuai pada sumbcrdaya hutan yang ada di wilayahnya, Kesalahpahaman
ini dapal membahayakan kcberndaan sumberdaya hutan sebagai sistem penyangga
kdlidupall yang lilia!.; Ill\.'llgl'nal hulas kcwilayalulIl. Scbaliknya dcngan Illcngabaiknn
ckscs negatif yung tcrjadi. maka desentralisasi sebagai kesepakatan politik tcluh
mencapai posisi y.mg tidak dapat diulang kembali (point (~l no return) dan olch
karenanya harus ter,IS bcrjulan. Scbagai konsckuensi, proses dcscntralisasi yang
bertahap pad a sektor kehulanan saell ini menjadi prioritas untuk diwujudkan scgcra,
dimana hal ini memerlukan komunikasi, koordinasi dan kerjasama yang intensif an tara
pihak-pihak terkait.
Undang-Undang No, 22 dan 25 Tahun 1999 mengharuskan pelaksanaan
deselltralisasi daJam aspek kcpclllcrintahan. Pcrubahan dari sentralislis ke desentralistis
ditafsirkan bcrbeda olch pihak-pihak yang bcrbcda. Di scktor kchutamm, bchcrapa
Pemda mellafsirkan desentralisasi sebagai suat.! kebebasan mutlak untuk berbuat apapull
tcrhadnr !mmhcr dnyn hUlan di wilayahnyn sesuai dengan keinginan. Ilcragamnya
pcnafsiran yang bcrbcdu scjatinya mcmbahayakan kebcradaan sumbcr dnya hlltan
sebagai sistem penyanggu kehidupan yang tidak dapat dibatnsi oleh batas administrasi.
Dilain pihak, dengan lllcnafikall dampak negatit: sebagai suatu komitmen politik
dcscntrnlisasi telah menjadi suatu titik yhng tidak dapat kcmbali, dan oleh karemmyu, hal
tersebut harus terus berproses. Konsekuensinya, percepatan proses desentralisasi sektor
kehutanan telah menajdi suatu prioritas untuk segera dilaksanakan. Hal tersebut
memerlukan k(lmunikasi, koordinasi dan kolaborasi yang intensif diantara para pihak.
47
Sebagai scbuah akibat dal'i pcrsepsi dan pcmahaman yang bcrbcdu dabm
memandang desentralisasi, konflik dalam pengelolaan sumber daya alam letap lerjuJi,
terutama dalam hRI perDturan yang kontradiktif. Gap kebijakan antara UU No. 22 Tuhun
1999 mengenai Pemerintahan Daerah dan UU No. 41 Tahun 1999 mengenai Kehutanan
perlu dipecahkan untuk mengklarHikasi pihak yang bcrlanggung jawah dabm
pcngclolaan hulan sccnm Icsluri di tingk.lt pUS<.lt lian li'lcruh. Ilerlu mlanya dikllsi dalalll
kerangka kedaulatan negum untuk rnenciptakan sinergitas kedua UU tersebut.
Pada dasarnya, belJasarkan UU No. 22 Tahun 1999. Pemerintah Dacrah
berwenang untuk melaksan~kan scmua tugas Pemerintah Pusal kccuali hal-hal yang
terkait dengan rna salah nasional dan intemasional seperti hubungan luar ncgcri.
pertahanan dan keamanan nasional, kehakiman, pajak dan keuangan. Penjelasan lebih
lanjut menyebutkan bahwa pemanfaatan sumber daya a1am termasuk hutan, konservasi
sumber daya alam dan standardisasi lctap menjadi tanggung jawab Pemerintuh Pusat.
Pernyataan bahwa pengelolaan sumbcr daya alam di daerah adalah wewenang masing
masing Pemerintall Daerah dan mereka bertanggung jawab dalam mcmclihma
kelestarian lingkungan mengaeu kcpada hukum dan peraturan yang <Ida mendorong
penafsiran yang berbeda dan ketidaksepahaman dalam pengelolaan sumber daya alam
termasuk hutan.
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 sebagai pcngganli Undung-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 mcngalur hubungan dalam bidang pcmanfaatan sumber d<lya
alam dan sumber daya lainnya nntara pcmcrintah (Pusat) dan pcmcrintahan dacrah,
sebagaimana Pasal 17 ayat 1 dan 2, yang meliputi (1) kewenangan, tanggung jawab,
pemanfaatan, p~meliharaan, pengcndalian dampak, budidaya, dun pelestarian; (2) bagi
hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan surnbcr daya lainnya; dan (3) rcnycrasian
lingkungan dan tala ruang serta rchabilitas lahan. Lchill lanjut jug" diatul" huhllllgan
terse but antar pemerintahan daerah yang meliputi (1) pelaksunaun pcmnufaatan slIIlIhcr
daya alam dan sumber daya lainny" yang menjadi kcwcnungan dacruh~ (2) ker;a sanw
dan bagi hasil atas pcmo'1faatan sumbcr daya almn dan ~umhcr duya lainnya anl,ll'
pemerintahan daerah; dan (3) pengeioiaan perijinan bersama dalam pemannmlan sumbcr
daya alam dan ~umber daya lainnya.
Kebijakan yang dipilih dan ditetapkan dalam pcmbangunan kchutanan baik okh
pemcrintnh pusat . mauplin pcmerintah daerah hcndaknya sclaras dcngan VIS]
pembangunan kehutanan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan yaitu "terwujudnya penyelenggaraan kchutanan lIlltuk Illcnjamin
4X
kelestarian hutan dan peningkatnn kemakmuran rakyal". Olch karcna itu. kcbijakan
pembangunan keh'Jtanan hendaknya dapat juga menigkatkan kesejahteraan masyarakat
tennasuk masyarakat miskin yang hidup di dalam dan di sekitar kawasan hutan.
Kebijakan pembangunall kehutanun, yang merupakan impiclllcntasi <.Inri
peraturan perundungan scktor kchlltanan dan scktor terkait lainnya, akan mcmpllnyai
dampak yang berbeda ketika diterapkan sebelum desentralisasi diberlakukun dan sctchlh
desentralisasi. Olch karcna ilu, untuk mcngkaji dampak kcbijakan pembangunan
kehutanan pada pendapalan masyarakat miskin di Kalimantan Timur dapat dibedakun
pada kondisi sebelum desentralisasi dilaksanakan dan setelah desentralisasi, sehingga
dapat diperoleh gambaran yang memadai tentang efektivitas impeiementasi kebijakan
pembangunan kehutanan khususnya di Propinsi Kalimantan Timur.
3.5. Hipothesis
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, dapat disusun hipotesis
sebagai berikut :
1. Persentase rumah tangSa miskin di sekitar kawasan hulan Kalimc.mlan Timur sangat
tinggi.
2. Pengurang.m produksi tahunan hutan alam berpengaruh signifikan terhadap
kemiskinan rum.lh tangga di Kalimantan Timur.
3. Eksploitasi hulull lidak mcmpunyai pcng • .lrllh nY'lta ualam pCllingk.llan pcntiapatan
masyarakat miskin.
4. Perubahan kchij'lkun pcmhangunan kchutunan dapat Illcningkatkan pcndapalan
masyarakat miskin di Kalimantan Timur.
5. Sektor kehutanan memiliki multiplier effect terhadap output, pcndapatan dan lcnaga
kerja dalam per~konomian dilcrnh (wilayah).
top related