implementasi pasal 105 huruf a khi tentang hadhanah … · 2013-04-29 · ditegaskan juga dalam...
Post on 26-May-2020
15 Views
Preview:
TRANSCRIPT
IMPLEMENTASI PASAL 105 HURUF A KHI TENTANG HADHANAH
(Analisis Yuridis Putusan Nomor:666/Pdt.G/2009/PAJB)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy.)
Oleh:
Deni Hamdani
NIM: 207044100261
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H / 2011 M
IMPLEMENTASI PASAL 105 HURUF A KHI TENTANG HADHANAH
(Analisis Yuridis Putusan Nomor:666/Pdt.G/2009/PAJB)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy.)
Oleh:
Deni Hamdani
NIM: 207044100261
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing
Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag.
NIP: 196404121994031004
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H / 2011 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “IMPLEMENTASI PASAL 105 HURUF A KHI TENTANG
HADHANAH (Analisis Yuridis Putusan Nomor:666/Pdt.G/2009/PAJB)” telah
diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 21 Juni 2011. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy.) pada
Program Studi Ahwal al-Syakhshiyyah Konsentrasi Peradilan Agama.
Jakarta, 21 Juni 2011
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. M Amin Suma, S.H.,M.A.,M.M.
NIP: 195505051982031012
Panitia Ujian Munaqasyah
Ketua : Prof. Dr. H. M Amin Suma, S.H.,M.A.,M.M.
NIP: 195505051982031012
Sekretaris : Mufidah, S.Hi.
Pembimbing : Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag.
NIP: 196404121994031004
Penguji I : Prof. Dr. H. M Amin Suma, S.H.,M.A.,M.M.
NIP: 195505051982031012
Penguji II : Drs. Abu Tamrin, S.H.,M.Hum.
NIP: 196509081995031001
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT., atas segala rahmat, hidayah dan
inayahNya yang telah dilimpahkan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan
tugas penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam mudah-mudahan tetap
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW., beserta para keluarganya, sahabat dan
para pengikutnya yang telah berjasa besar kepada kita semua dalam membuka
gerbang ilmu pengetahuan.
Skripsi yang berjudul Implementasi Pasal 105 Huruf a KHI tentang
Hadhanah (Analisis Yuridis Putusan No.666/Pdt.G/2009/PAJB) ini penulis susun
dalam rangka memenuhi dan melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana
Syari’ah (S.Sy.) pada program studi Ahwal Syakhshiyyah, konsentrasi Peradilan
Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Setulusnya dari hati yang paling dalam penulis menyadari, bahwa suksesnya
penulisan skripsi ini tidaklah begitu saja dapat diselesaikan dan bukan semata-mata
atas usaha penulis pribadi, namun juga karena bantuan dan motivasi dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mempersembahkan ucapan terima kasih yang
mendalam kepada:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
ii
2. Drs. H. A. .Basiq Djalil, S.H.,M.A. dan Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag. masing-
masing sebagai Ketua Program Studi Ahwal Syakhshiyyah dan Ketua
Koordinator Teknis Program Non Reguler. Hj. Rosdiana, M.A. dan Mufidah,
S.Hi., yang keduanya adalah Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhshiyyah dan
Sekretaris Non Reguler Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag., dosen pembimbing yang telah membimbing,
memberikan perhatian dan memotivasi yang besar selama proses bimbingan
sehingga penulis dapat segera menyelesaikan skripsi ini.
4. Drs. H. Muhyiddin, S.H., M.H., selaku Hakim Humas yang bersedia untuk
berwawancara dan Adri Syafruddin Sulaiman, S.H., sebagai Panitera Muda
Hukum yang memberikan informasi, fotocopi data dan putusan di Pengadilan
Agama Jakarta Barat tempat mengadakan penelitian.
5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, atas didikan dan curahan ilmu
pengetahuan serta civitas akademika , staf Perpustakaan Utama dan FSH UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pelayanan administrasi,
akademik, fasilitas berupa literatur buku dan referensi untuk penulisan skripsi.
6. Ayahanda H. Zulkipli dan ibunda Darliyeti yang senantiasa memberikan do’a,
pengorbanan, nasihat dan arahan masa depan serta ibunda Sulastri, aa Irfan, uni
Mira, Iskandar atas segala kebaikan. Adik-adikku Rahmi, Faisal, Rahma dan
Keponakanku Maya, Lisa, Rafi yang meluluhkan hati penulis dengan tangisan
dan kenakalan mereka sehingga termotivasi untuk segera menyelesaikan studi.
iii
7. Sahabat seperjuangan di kelas PA Aripin, Aris, DK, Hakim, Indro, Mila, N-din,
pak Tamim, Royhan, Tiram, /rif dan di kelas PH-PS Amin, Ani, bang Syam,
Fadli, UIN, Vina serta sahabat-sahabat lain yang tidak disebutkan dengan tidak
mengurangi rasa persahabatan penulis kepada mereka.
Akhirnya atas jasa dan bantuan semua pihak, baik moril maupun materil yang
telah membantu, penulis ucapkan terima kasih. Penulis berdo’a semoga Allah SWT.
senantiasa mencurahkan rahmat, hidayah dan inayah kepada kita semua. Dengan
selesainya karya tulis ini, penulis tentunya sangat mengharapkan saran dan kritik
yang konstruktif demi meningkatkan kualitas keilmuan penulis. Harapan penulis,
semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca.
Jakarta, 23 Juni 2011
Penulis
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ vi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................... 7
D. Review Studi Terdahulu ................................................................. 8
E. Kerangka Teori ............................................................................... 10
F. Metode Penelitian ........................................................................... 13
G. Sistematika Penulisan ..................................................................... 16
BAB II LANDASAN TEORI .......................................................................... 18
A. Pengertian dan Dasar Hukum Hadhanah ........................................ 18
B. Hadhanah Menurut Fuqaha dan Hukum Positif ............................ 25
C. Syarat dan Hak Hadhanah ............................................................. 29
D. Masa dan Hikmah Hadhanah ........................................................ 34
BAB III PASAL 105 HURUF A KHI ............................................................ 40
A. Latar Belakang Pembentukan KHI ................................................. 40
B. Landasan dan Kedudukan KHI ...................................................... 45
C. Eksistensi KHI di Pengadilan Agama ........................................... 49
v
D. Substansi Pasal 105 Huruf a KHI .................................................. 48
BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISA HASIL PENELITIAN .................... 54
A. Potret Pengadilan Agama Jakarta Barat ........................................ 54
B. Implementasi Pasal 105 Huruf a KHI dalam Putusan No.666/ Pdt.G/
2009/ PAJB ..................................................................................... 57
C. Analisa ............................................................................................ 70
BAB V PENUTUP ........................................................................................... 75
A. Kesimpulan ..................................................................................... 75
B. Saran-Saran ................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 79
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. Lampiran 1 : Lembaran Mohon Data/ Wawancara ......................................... 83
2. Lampiran 2 : Lembaran Mohon Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi
Program Non Reguler ............................................................... 84
3. Lampiran 3 : Lembaran Surat Keterangan Pengadilan Agama Jakarta Barat . 85
4. Lampiran 4 : Lembaran Hasil Wawancara...................................................... 86
5. Lampiran 5 : Lembaran Putusan No.666/Pdt.G/2009/PAJB .......................... 91
vi
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 9 Juni 2011
Deni Hamdani
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia diciptakan oleh Allah SWT mempunyai naluri manusiawi yang
perlu mendapat pemenuhan. Dalam pada itu manusia diciptakan oleh Allah SWT
untuk mengabdikan dirinya kepada Khaliq penciptanya dengan segala aktifitas
hidupnya. Pemenuhan naluri manusiawi manusia yang antara lain keperluan
biologisnya termasuk aktifitas hidup, agar manusia menuruti tujuan kejadiannya,
Allah SWT mengatur hidup manusia dengan perkawinan. Aturan perkawinan
menurut Islam merupakan tuntunan agama yang perlu mendapat perhatian,
sehingga tujuan melangsungkan perkawinanpun hendaknya ditujukan untuk
memenuhi petunjuk agama sehingga kalau diringkas ada dua tujuan orang
melangsungkan perkawinan ialah memenuhi nalurinya dan memenuhi petunjuk
agama.1
Kebahagiaan masyarakat dapat dicapai dengan adanya ketenangan dan
ketentraman anggota keluarga dalam keluarganya. Keluarga merupakan bagian
masyarakat menjadi faktor terpenting dalam penentuan ketenangan dan
ketentraman masyarakat. Ketenangan dan ketentraman keluarga tergantung dari
keberhasilan pembinaan yang harmonis antara suami istri dalam satu rumah
1 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, cet.III, (Jakarta: Kencana, 2008), h.22.
2
tangga. Keharmonisan diciptakan oleh adanya kesadaran anggota keluarga dalam
menggunakan hak dan pemenuhan kewajiban. Allah menjadikan unit keluarga
yang dibina dengan perkawiann antara suami dan istri dalam membentuk
ketenangan dan ketentraman serta mengembangkan cinta dan kasih sayang
sesama warganya.2
Membina sebuah mahligai rumah tangga atau hidup berkeluarga
merupakan perintah agama bagi setiap muslim dan muslimah. Melalui rumah
tangga yang Islami diharapkan akan terbentuk komunitas kecil masyarakat
Islam.3 Dalam bentuknya yang kecil, hidup berkomunitas itu dimulai dengan
adanya keluarga yang mempunyai fungsi-fungsi sosial seperti reproduksi,
ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Karena fungsi keluarga yang
sedemikian itu, sangatlah wajar jika keluarga merupakan gejala kehidupan umat
manusia yang terpenting dan terbentuk oleh paling tidak seorang laki-laki,
seorang perempuan beserta anak-anaknya.4
Perkawinan merupakan cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi
manusia untuk beranak-pinak, berkembang biak dan melestarikan hidupnya
setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam
mewujudkan tujuan perkawinan. Allah tidak menjadikan manusia seperti
2 Ibid., h.31.
3 Hasbi Indra, dkk, Potret Wanita Shalehah (Jakarta: Penamadani, 2004), h.61.
4 Lili Rasyidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung:
Alumni, 1982), h.1.
3
makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan secara
anarkhi tanpa aturan. Demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan
manusia, Allah mengadakan hukum sesuai dengan martabatnya, sehingga
hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan
berdasarkan rasa saling meridhai, dengan upacara ijab qabul sebagai lambang
adanya rasa ridha meridhai dan dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan
bahwa pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat.5
Perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang diliputi rasa saling
mencintai dan rasa kasih sayang antara sesama anggota keluarga. Keluarga
seperti inilah yang merupakan bangunan umat yang dicita-citakan oleh Islam.6
Hal tersebut bertujuan agar masing-masing pihak merasa damai dalam rumah
tangga yang sakinah, mawaddah wa rohmah.
Di antara banyaknya rumah tangga yang bahagia, ada saja rumah tangga
yang mengalami krisis internal sehingga terkadang menimbulkan ketegangan.
Ketegangan suami istri biasanya timbul dari hal kecil seperti perasaan kurang
dihargai bagi istri oleh suaminya maupun sebaliknya. Hal kecil tersebut bila
dibiarkan dan tidak coba dikomunikasikan, maka akan dapat menjadi bom atom
yang sewaktu-waktu dapat meledak sehingga akhirnya terjadi perceraian.
5 Ghozali, Fiqh Munakahat, h.10.
6 Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang,
1974) h.17.
4
Perceraian merupakan alternatif terakhir (pintu darurat) yang dapat dilalui
oleh suami istri bila ikatan perkawinan (rumah tangga) tidak dapat dipertahankan
keutuhan dan kelanjutannya. Sifat alternatif terakhir dimaksud, berarti sudah
ditempuh berbagai cara dan teknik untuk mencari kedamaian di antara kedua
belah pihak, baik melalui hakam (arbitrator) dari kedua belah pihak maupun
langkah-langkah dan teknik yang diajarkan oleh al-Qur’an dan al-Hadits.7
Suatu gugatan perceraian bisa mengundang berbagai macam
permasalahan. Di samping gugatan cerai itu sendiri, muncul pula masalah lain
sebagai akibat dari dikabulkannya gugatan cerai tersebut, seperti masalah
pembagian harta bersama dan bilamana mempunyai keturunan timbul pula
permasalahan tentang siapa yang lebih berhak melakukan Hadhanah
(pemeliharaan terhadap anak).8 Anak yang lahir dari perkawinan itu, tentu
memiliki sejumlah hak dan kewajiban dari dan kepada orang tuanya, terutama
menyangkut hak anak untuk mendapatkan makan dan minum serta pakaian dan
tempat tinggal di samping hak-hak pemeliharaan dan pendidikan. 9
Apabila dua orang suami istri bercerai sedangkan keduanya mempunyai
anak yang belum mumayyiz (belum mengerti kemashlahatan dirinya), maka
istrinya yang lebih berhak untuk mendidik dan merawat anak itu hingga ia
7 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.73.
8 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (Analisis
Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyyah) (Jakarta: Prenada Media, 2004), h.189.
9 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, ed.rev.II, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005), h.26.
5
mengerti akan kemashlahatan dirinya.10
Dalam waktu itu si anak hendaknya
tinggal bersama ibunya selama ibunya belum menikah dengan orang lain.
Meskipun si anak ditinggalkan bersama ibunya, tetapi nafkahnya tetap wajib
dipikul oleh bapaknya.11
Ditegaskan juga dalam pasal 105 huruf a KHI, bahwa dalam hal
terjadinya perceraian: “pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum
berumur 12 tahun adalah hak ibunya”. Pengadilan Agama adalah Institusi yang
akan menerapkan hukum materil dari Kompilasi Hukum Islam ini, terutama
masalah yang berkaitan dengan Hadhanah itu sendiri. Sebab, di Indonesia tidak
ada Undang-Undang yang secara khusus mengatur masalah pemeliharaan anak,
yang ada hanya Undang-Undang yang mengatur masalah kesejahteraan anak,
pengadilan anak, larangan mengeksploitasi anak dan perlindungan terhadap anak.
Jika terjadi perselisihan antara suami dan istri mengenai penguasaan
anak-anak maka dapat diselesaikan melalui jalur musyawarah keluarga ataupun
dengan putusan pengadilan.12
Seyogyanya, Pasal 105 huruf a KHI tersebut,
diimplementasikan dalam putusan di Pengadilan Agama. Letak masalahnya
10
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam: Hukum Fiqh Lengkap, cet.XXXIX (Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2006), h.426.
11
Ibid., h.427.
12
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No. 1 1974 sampai KHI, cet.II, (Jakarta: Kencana,
2004), h.295.
6
adalah bagaimana jika ada sesuatu hal yang menyebabkan Pengadilan Agama
memutuskan bahwa hak pemeliharaan anak berpindah kepada ayahnya.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik mengkajinya dalam
bentuk skripsi dengan judul “IMPLEMENTASI PASAL 105 HURUF A KHI
TENTANG HADHANAH (Analisis Putusan No.666/ Pdt.G/ 2009/ PAJB)”.
Hal yang memotifasi penulis untuk mengadakan penelitian di Pengadilan Agama
Jakarta Barat adalah dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan jawaban
dan penjelasan mengenai status pemeliharaan anak yang belum mumayyiz yang
dipelihara oleh ayahnya, yaitu dengan menganalisis putusan yang ada.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar apa yang dibahas dalam penelitian ini tidak meluas dan simpang
siur, maka penulis memfokuskan penelitian untuk menganalisis
implementasi pasal 105 huruf a KHI tentang Hadhanah dalam putusan di
Pengadilan Agama Jakarta Barat.
2. Perumusan Masalah
Dalam hal terjadinya perceraian pemeliharaan anak yang belum
mumayyiz atau belum berumur 12 tahun pada pasal 105 huruf a KHI,
dijelaskan bahwa hal tersebut merupakan hak ibunya yang melahirkan untuk
mengasuh. Kenyataan yang terjadi, seorang ayah dapat memelihara anaknya
yang belum mumayyiz berdasarkan putusan yang ada di Pengadilan Agama.
7
Adapun rumusan masalah tersebut, penulis rinci dalam bentuk
pertanyaan sebagai berikut:
1) Apa substansi pasal 105 huruf a KHI tentang Hadhanah?
2) Bagaimana implementasinya di Pengadilan Agama Jakarta Barat?
3) Bagaimana pertimbangan Hakim dalam putusan No.666/Pdt.G/2009/
PAJB tentang Hadhanah?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Penelitian ini bermaksud untuk mendeteksi dan menelusuri bagaimana
sesungguhnya realitas hukum yang ada di lingkungan Pengadilan Agama,
khususnya dalam lingkup status pemeliharaan anak di bawah umur 12 tahun
setelah perceraian orang tuanya. Adapun tujuan penulis dari penelitian ini
sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui substansi pasal 105 huruf a KHI tentang Hadhanah.
2) Untuk mengetahui implementasinya di Pengadilan Agama Jakarta Barat.
3) Untuk mengetahui pertimbangan Hakim dalam putusan No.666/ Pdt.G/
2009/ PAJB tentang Hadhanah.
2. Manfaat Penelitian
1) Ingin memberikan gambaran kepada pembaca mengenai substansi pasal
105 huruf a KHI tentang Hadhanah dan implementasinya dalam putusan
di Pengadilan Agama Jakarta Barat.
8
2) Turut berkontribusi dalam memperkaya khazanah ilmu pengetahuan
khususnya dalam bidang pemeliharaan anak.
3) Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan acuan dan
masukan bagi para calon sarjana syari’ah di Universitas, Institut maupun
Perguruan Tinggi.
D. Review Studi Terdahulu
Penulis Judul Skripsi Persamaan Perbedaan
Aziz Angga
Riana pada tahun
2010 di bawah
bimbingan Dr.
H.Azizah,M.A.
dan Hj.
Rosdiana,M.A.
Kewajiban Pembiayaan
Hadhanah Akibat
Perceraian (Studi Kritis
Pasal 105 Poin c Jo
Pasal 156 Poin d KHI)
Studi tentang
Hadhanah
dalam pasal
Kompilasi
Hukum Islam
Analisis
penetapan
hak
Hadhanah
dalam
putusan di
Pengadilan
Agama
Muhammad
Ansory pada
tahun 2010 di
bawah bimbingan
Prof. Dr. H. A.
Sutarmadi
Hak Hadhanah Ibu
Wanita Karir (Analisis
Putusan Perkara
Nomor:458/Pdt.G/2006
/ PADepok)
Hadhanah
dalam putusan
Pengadilan
Agama
Studi pasal
KHI dan
penetapan
Hadhanah
kepada Ayah
9
Khaslaili binti
Lahuri pada tahun
2008 di bawah
bimbingan
Drs.H.A. Basiq
Djalil,S.H.,M.A.
Hak Hadhanah Menurut
Undang-Undang
Keluarga Islam di
Mahkamah Syariah
Negeri Selangor,
Malaysia
Penetapan hak
Hadhanah di
Instansi
pemerintahan
Hak
Hadhanah
menurut KHI
di Pengadilan
Agama
Rizal Purnomo
pada tahun 2008
di bawah
bimbingan
Kamarusdiana,
S.Ag.,M.H.
Gugat Rekonpensi
dalam Sengketa Cerai
Gugat dan Implikasinya
Terhadap Hak
Hadhanah di
Pengadilan Agama
Cerai Gugat
dan Hak
Hadhanah di
Pengadilan
Agama
Studi kritis
terhadap
pasal
Kompilasi
Hukum Islam
Mohd Norman
Shah bin Yaziz
pada tahun 2008
di bawah
bimbingan
Drs.H.A.Basiq
Djalil, SH,MA
Pelaksanaan Sulh dalam
Penyelesaian Sengketa
Hadhanah : Studi Kasus
di Mahkamah Syariah
Wilayah Persekutuan
Kuala Lumpur,
Malaysia
Penyelesaian
sengketa hak
Hadhanah di
Instansi
pemerintahan
Pelaksanaan
hukum
materil
Pengadilan
Agama
10
E. Kerangka Teori
Dalam Islam pemeliharaan anak disebut dengan Hadhanah. Secara
etimologis, Hadhanah berarti “di samping” atau berada “di bawah ketiak”.13
Dalam kitab Fathul Mu’in Hadhanah yaitu mendidik anak yang belum bisa
mengatur dirinya sendiri sampai mumayyiz, yang lebih utama adalah ditangani
oleh ibu yang tidak bersuamikan orang lain, lalu para ibunya ibu dan terus ke
atas, kemudian ayah , lalu para ibunya ayah, kemudian saudara wanita, kemudian
anak wanitanya saudara wanita, kemudian anak wanitanya saudara lelaki,
kemudian saudara wanita ayah.14
Para ahli fiqh memberi definisi bahwa Hadhanah ialah suatu ungkapan
tentang melaksanakan penjagaan anak kecil, laki-laki maupun perempuan atau
yang kurang waras akal fikirannya dan belum cukup umur; Hadhanah ini tidak
berlaku buat orang yang sudah besar, baligh dan berusia dewasa.15
Dalam literatur bahasa Indonesia, kompilasi secara bahasa mengandung
arti kumpulan yang tersusun secara teratur (daftar informasi, keterangan-
keterangan dan sebagainya).16
Berdasarkan keterangan tersebut dapat diketahui
bahwa ditinjau dari sudut bahasa, kompilasi itu adalah kegiatan pengumpulan
13 Ibid., h.292.
14
Aliy As’ad, Terjemah Fathul Mu’in, jil.III, (Yogyakarta: Menara Kudus, 1979), h.246.
15
Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh Wanita Islam. Penerjemah S. Ziyad Abbas, (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1991), h.105.
16
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h.453.
11
dari berbagai bahan tertulis yang diambil dari berbagai buku/ tulisan mengenai
suatu persoalan tertentu. Pengumpulan bahan dari berbagai sumber yang dibuat
oleh beberapa penulis yang berbeda untuk ditulis dalam suatu buku tertentu,
sehingga dengan kegiatan ini semua bahan yang diperlukan dapat ditemukan
dengan mudah.17
Kata hukum barasal dari bahasa arab al-hukm. Kata al-hukm merupakan
bentuk mufradat (singular), jamak (plural)-nya adalah al-ahkam. Al-hukm secara
etimologi berarti ketetapan, keputusan penyelesaian suatu masalah. Kata al-
hukm, merupakan bentuk masdar dari hakama yahkumu. Hakama artinya
memutuskan, menetapkan dan menyelesaikan masalah.18
Islam adalah nama agama yang diberikan oleh Allah SWT; sumber ajaran
Islam adalah wahyu (revelation), bukan hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Oleh
karena itu hakikat agama Islam adalah terjemahan dari ad-Diin ( الدين ), karena
mempunyai ciri khusus yakni bersumber dari wahyu; bukan terjemahan dari kata
religion yang artinya agama, yang mengatur urusan manusia dengan Tuhannya
tetapi bersumber dari cipta, rasa dan karsa manusia (kebudayaan), tidak dari
wahyu.19
17
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet.V, (Jakarta: Akademika
Pressindo, 2007), h.11.
18
Jaenal Aripin dan Azharudin Lathif, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: UIN Press, 2006),
h.11.
19
Ahmad Sutarmadi, Al-Imam al-Tirmidzi (Peranannya dalam Pengembangan Hadits dan
Fiqh) (Jakarta: Logos, 1998), h.1.
12
Hukum Islam merupakan rangkaian dari kata hukum dan Islam. Kedua
kata ini berasal dari bahasa Arab, namun apabila dirangkai menjadi “hukum
Islam”, kata tersebut tidak dikenal dalam terminologi Arab. Kita tidak dapat
menemukan kata itu dalam al-Qur’an, Hadits atau literatur Arab lainnya. Kata
hukum Islam merupakan kata yang sudah melembaga, dipakai secara lumrah di
Indonesia; Apabila didefinisikan, hukum Islam adalah: “seperangkat peraturan
berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasulullah tentang tingkah laku manusia
mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua orang yang beragama
Islam”.20
Dalam literatur Indonesia, ada beberapa istilah yang digunakan untuk
menyebut hukum Islam. Yang terpenting adalah syariah/ syariat Islam, fikih
Islam dan undang-undang Islam. Seperti dikemukakan para ahli ilmu hukum
Islam (ushul fiqh) ialah “Doktrin Allah SWT yang berhubungan dengan tindakan
orang dewasa (mukallaf), baik itu dalam bentuk tuntutan (iqtidha’) maupun
berupa kebebasan untuk memilih (takhyir) antara melakukan atau tidak
melakukan dan/atau dalam bentuk penetapan (wadha’).21
Kompilasi dalam pengertian Kompilasi Hukum Islam ini adalah
merupakan rangkuman dari berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai
20
Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’: Sejarah Pembentukan Hukum Islam, (Depok: Gramata
Publising, 2010), h.7.
21
Muhammad Amin Suma, Kedudukan dan Peranan Hukum Islam di Negara Hukum
Indonesia (Jakarta: t.p., 2009), h.18.
13
kitab yang ditulis oleh para ulama fiqh yang biasa dipergunakan sebagai referensi
pada Pengadilan Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke
dalam satu himpunan.22
Adapun isi dari Kompilasi Hukum Islam adalah kaidah-
kaidah atau garis-garis hukum Islam sejenis, yakni mengenai hukum perkawinan,
hukum kewarisan dan hukum perwakafan yang disusun secara sistematis.
Dalam literatur bahasa Indonesia, pasal secara bahasa mengandung arti
bab, paragraf (bagian dari bab) atau artikel (dalam undang-undang)23
. Sedangkan
huruf adalah unsur abjad yang melambangkan bunyi, aksara24
. Pasal 105 huruf a
KHI, dalam hal terjadinya perceraian: “Pemeliharaan anak yang belum
mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;”25
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Masalah
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu jenis
data yang digunakan bersifat naratif dalam bentuk pernyataan- pernyataan
yang menggunakan penalaran.26
Pendekatan masalah yang digunakan adalah
pendekatan yuridis normatif yaitu mengacu kepada norma-norma hukum
22
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h.14.
23
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h.650.
24
Ibid., h.316.
25
Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan
Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h.397.
26
Yayan Sopyan, Metode Penelitian (Jakarta: t.p., 2009), h.21.
14
yang terdapat dalam Peraturan Perundang-undangan dan putusan Pengadilan
serta norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.27
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu jenis penelitian yang
menggambarkan dan memberikan analisa terhadap kenyataan yang ada di
lapangan serta mengungkapkan Peraturan Perundang-undangan yang
berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian yaitu
putusan Pengadilan dan juga hukum dalam pelaksanaannya di dalam
masyarakat yang berkenaan objek penelitian.
3. Sumber Data
a. Data Primer
1) Putusan No. 666/Pdt.G/2009/PAJB.
2) Wawancara langsung ke tempat objek penelitian untuk memperoleh
informasi yang dikehendaki.
b. Data Sekunder
Penelitian kepustakaan lainnya yang memberikan penjelasan
mengenai sumber data primer, seperti Peraturan Perundang-undangan,
buku, artikel, internet dan karya ilmiah yang berkaitan dengan penelitian.
27
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, cet.II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h.105.
15
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Studi pustaka yaitu pengumpulan data dari berbagai macam literatur yang
relevan dengan pokok masalah yang dijadikan sumber penulisan skripsi.
b. Studi Dokumentasi yaitu pengumpulan data dengan cara mengambil
informasi berupa data dan putusan di Pengadilan Agama Jakarta Barat
yang kesemuanya berhubungan erat dengan persoalan yang dibahas.
c. Wawancara yaitu pengumpulan data dengan cara tanya jawab dengan
pihak yang bersangkutan yaitu Hakim Humas Pengadilan Agama Jakarta
Barat dan staf-staf yang berwenang.
5. Teknik Pengolahan Data
Setelah mengumpulkan data berupa teori dan fakta di lapangan,
kemudian membaca, mengamati dan menganalisa dengan pengamatan
kualitatif secara mendalam, melacak dan menemukan berbagai faktor yang
terkait dengan masalah tersebut. Kemudian menghubungkan antara teori dan
praktek yang menimbulkan masalah. Setelah itu, ditelaah dan dianalisis
sehingga ditemukan kesimpulan yang objektif, logis, konsisten dan sistematis
sesuai yang dikehendaki dalam penulisan karya ilmiah ini.
6. Analisa Data
Berdasarkan sifat penelitian ini yang menggunakan metode penelitian
bersifat deskriptif analitis, analisa data yang dipergunakan adalah pendekatan
kualitatif terhadap data primer dan data sekunder dengan menggunakan
analisa isi (content analisis), yaitu menganalisis isi putusan dengan cara
16
membandingkan teori yang ada dengan praktek di lapangan, serta
menghubungkannya dengan wawancara yang didapatkan dari tempat objek
penelitian, dideskripsikan sehingga akan mendapatkan suatu kesimpulan yang
objektif dan konkret sesuai dengan masalah yang ada.
7. Teknik penulisan
Standar penulisan yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada
Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta 2007.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam
bentuk bab dan sub bab yang secara logis saling berhubungan dan merupakan
suatu dari masalah yang diteliti. Adapun sitem penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut:
Bab pertama berisi pendahuluan, memuat latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi
terdahulu, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua berisi landasan teori, memuat pengertian dan dasar hukum
Hadhanah, Hadhanah menurut fuqaha dan hukum positif, syarat dan hak
Hadhanah serta masa dan hikmah Hadhanah.
Bab ketiga berisi pasal 105 huruf a KHI, memuat latar belakang
pembentukan KHI, landasan dan kedudukan KHI, eksistensi KHI di Pengadilan
Agama dan substansi pasal 105 huruf a KHI.
17
Bab keempat berisi deskripsi dan analisa hasil penelitian, memuat potret
Pengadilan Agama Jakarta Barat, implementasi pasal 105 huruf a KHI dalam
putusan No.666/Pdt.G/2009/PAJB dan analisa.
Bab kelima berisi penutup, memuat kesimpulan dan saran-saran.
Daftar Pustaka
18
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian dan Dasar Hukum Hadhanah
1. Pengertian Hadhanah
Hadhanah ( حضانة ) jamaknya ahdhan ( احضان ) atau hudhun ( حضن),
terambil dari kata hidhn (حضن ) yaitu anggota badan yang terletak di bawah
ketiak hingga al-kayh (bagian badan sekitar pinggul antara pusat hingga
pinggang).1 Hadhanah menurut bahasa berarti meletakkan sesuatu dekat tulang
rusuk atau dipangkuan.2 Burung dikatakan ( manakala (حضن الطائر بيضه
burung itu mengerami telornya karena dia mengumpulkan (mengepit) telornya itu
ke dalam dirinya di bawah (himpitan) sayapnya. Demikian pula sebutan
Hadhanah diberikan kepada seorang perempuan (ibu) manakala mendekap
(mengemban) anaknya di bawah ketiak, dada serta pinggulnya.3
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam dijelaskan, Hadhanah yaitu mengasuh
anak kecil atau anak normal yang belum atau tidak dapat hidup mandiri,
yakni dengan memenuhi kebutuhan hidupnya, menjaga dari hal-hal yang
1 Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h.99
2 Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Ilmu Fiqh,
jil.II, (Jakarta, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,
1984/1985), h.206.
3 Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h.99
19
membahayakan, memberinya pendidikan fisik maupun psikis, mengembangkan
kemampuan intelektual agar sanggup memikul tanggung jawab hidup.4
Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, Hadhanah adalah tugas menjaga atau
mengasuh bayi/ anak kecil yang belum mampu menjaga dan mengatur diri
sendiri. Mendapat asuhan dan pendidikan adalah hak setiap anak dari kedua
orangtuanya. Kedua orangtua anak itulah yang lebih utama untuk melakukan
tugas tersebut, selama keduanya mempunyai kemampuan untuk itu.5
2. Dasar Hukum Hadhanah.
Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya adalah
wajib selama berada dalam ikatan perkawinan. Adapun dasar hukumnya adalah
mengikuti umum perintah Allah SWT untuk membiayai anak dan istri. Firman
Allah SWT Surat al-Baqarah (2) ayat 233:
4 “Hadhanah”, dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk, ed., Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeva, 1997), h.37.
5 “Hadhanah” dalam Harun Nasution, dkk, ed., Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta:
Djambatan, 1992), h. 269.
20
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan dan kewajiban
ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang
ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya
dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya dan jika kamu
ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah
kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang
kamu kerjakan”.
Dengan tuntutan ini, anak yang dilahirkan mendapat jaminan
pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa dengan baik. Bahkan jaminan tersebut
harus tetap diperolehnya walau ayahnya telah meninggal dunia, karena para
warispun berkewajiban demikian, yakni berkewajiban memenuhi kebutuhan ibu
sang anak agar ia dapat melaksanakan penyusuan dan pemeliharaan anak itu
dengan baik. Adapun yang dimaksud dengan para waris adalah yang mewarisi
sang ayah, yakni anak yang disusukan. Dalam arti warisan yang menjadi hak
anak dari ayahnya yang meninggal digunakan antara lain untuk biaya penyusuan
bahkan makan dan minum ibu yang menyusuinya. Ada juga yang berpendapat
bahwa yang dimaksud dengan para waris adalah para ibu yang menyusui itu.
21
Betapapun, ayat ini memberi jaminan hukum untuk kelangsungan hidup dan
pemeliharaan anak.6
Dalam Surat At-Tahrim (66) ayat 6:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap
apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan”.
Pada ayat di atas, orang tua diperintahkan oleh Allah SWT memelihara
keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya
itu melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan Allah,
termasuk anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak.7 Ayat enam di atas
menggambarkan bahwa dakwah dan pendidikan harus bermula dari rumah. Ayat
di atas walau secara redaksional tertuju kepada kaum pria (ayah) tetapi itu bukan
berarti hanya tertuju kepada mereka. Ayat ini tertuju kepada perempuan dan
lelaki (ibu dan ayah) sebagaimana ayat-ayat yang serupa (misalnya ayat-ayat
yang memerintahkan berpuasa) yang juga tertuju pada lelaki dan perempuan. Ini
berarti kedua orang tua bertanggung jawab terhadap anak-anak dan juga
6 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, cet.XI,
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), h.505.
7Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Ilmu Fiqh,
h.208
22
pasangan masing-masing sebagaimana masing-masing bertanggung jawab atas
kelakuannya. Ayah dan ibu sendiri tidak cukup untuk menciptakan suatu rumah
tangga yang diliputi oleh nilai-nilai agama serta dinaungi oleh hubungan yang
harmonis.8
Jumhur ulama berpendapat bahwa hak mengasuh anak kecil diserahkan
kepada ibu, jika suami menceraikannya berdasarkan hadits dari Abu Ayub al-
Anshari, Nabi SAW bersabda:
9 Artinya: ”Dari Abu Abdurrahman al-Hubuliy, dari Abu Ayyub berkata: aku
mendengar Rasulullah SAW, bersabda: „Barangsiapa memisahkan antara
seorang ibu dengan anaknya maka Allah SWT akan memisahkan antara
dirinya dan para kekasihnya pada hari kiamat”(Hadits Hasan Riwayat at-
Tirmidzi/ 1283).10
Karena itu, hendaklah hakim, wali, bekas suami atau orang lain berhati-
hati dalam memberi keputusan atau berusaha memisahkan seorang ibu dengan
8 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: pesan, kesan dan keserasian al-Qur‟an, Cet.VIII,
h.327
9 Abu Isya Muhammad, al-Jami‟u al-Shahih wa huwa Sunan al-Tirmidzi, juz.III, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1974), h.580.
10
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid. Penerjemah Abu Usamah Fakhtur Rokhman, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007), h.112.
23
anaknya mengingatkan ancaman Rasulullah SAW dalam hadits di atas.11
Di
dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud ada
peristiwa, seorang wanita menghadap Rasulullah SAW:
Artinya: ” Dari Abdullah ibnu Amr bahwa ada seorang wanita berkata:
„Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutkulah yang menjadi
tempatnya, payudaraku yang menjadi tempat minumnya dan pangkuanku
menjadi pelindungnya. Sesungguhnya ayahnya telah menceraikan aku dan
dia bermaksud mengambilnya dariku. Maka Rasulullah SAW, bersabda
kepadanya „kamu lebih berhak terhadap anak itu selama kamu belum
menikah‟(dengan orang lain)”. (Riwayat Ahmad dan Abu Daud dan
dishahihkan oleh Hakim)13
Hadits tersebut menegaskan bahwa ibulah yang lebih berhak untuk
memelihara anaknya, selama ibunya itu tidak menikah dengan laki-laki lain.
11
M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2009), h.179.
12
Abu Daud Sulaiman Sajastani, Sunan Abu Daud ( Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1952),
h. 529.
13
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-„Asqalani, Bulughul Maram. Penerjemah Zaid Muhammad, dkk,
(Jakarta: Pustaka al-Sunnah, 2007), h.56.
24
Apabila ibunya menikah, maka praktis hak Hadhanah tersebut beralih kepada
ayahnya. Alasan yang dapat dikemukakan adalah bahwa apabila ibu anak
tersebut menikah, maka besar kemungkinan perhatiannya akan beralih kepada
suaminya yang baru dan mengalahkan atau bahkan mengorbankan anak
kandungnya sendiri.14
Ketika seorang laki-laki menceraikan istrinya dan baginya mempunyai
seorang anak dari istri itu, maka sang istrilah yang lebih berhak merawat si anak
tersebut sampai melewati umur 7 tahun. Kemudian (anak tersebut) diperintahkan
untuk memilih di antara kedua orang tuanya. Maka mana yang dia pilih di antara
keduanya, maka hendaknya diserahkan si anak kepadanya.15
Artinya: “Dari Ziyad ibnu Sa‟d . Abu Muhammad mengatakan, “aku
menduganya Hilal ibnu Abi Maimun dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya
Nabi SAW, menyuruh memilih pada anak kecil antara (ikut) bapaknya dan
(ikut) ibunya. (Hadits Hasan Shahih, diriwayatkan oleh al-Tirmidzi/ hadist
1357)16
14 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet.III, (Jakarta: Raja Grafido Persada, 1998),
h.251.
15
Musthafa Daib al-Bagha, Matan Ghoyah Wattaqrib. Penerjemah Fuad Kauma, (Semarang:
Toha Putra, 1993), h.102.
16
Abu Isya Muhammad, al-Jami‟u al-Shahih wa huwa Sunan al-Tirmidzi, h.638
25
Makna hadist Nabi SAW memutuskan demikian karena kedua orang tua
si anak bercerai, maka beliau menyerahkan pilihan kepada si anak untuk ikut
kepada salah seorang di antara keduanya”.17
Dengan demikian, bagi anak yang
sudah bisa memilih disuruh memilih. Namun pendapat madzhab Hanafiyah
mengatakan bahwa ibu tetap lebih berhak untuk memeliharanya, karena seorang
perempuan lebih besar kasih sayangnya kepada anak.18
B. Hadhanah Menurut Fuqaha dan Hukum Positif
1. Hadhanah Menurut Fuqaha
Para Ulama Fiqh mendefinisikan Hadhanah sebagai tindakan
pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan,
atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang
menjadi kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya,
mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi
hidup dan memikul tanggung jawab.19
Sedangkan para imam madzhab
berikhtilaf20
dalam mengartikan Hadhanah:
17
Muhammad Abid as-Sindi, Musnad Syafi‟i. Penerjemah Bahrun Abu Bakar, cet.III,
(Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2006), h.1107.
18
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h.252
19
M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 215
20
Ikhtilaf ialah perbedaan pendapat di antara ahli hukum Islam (fuqaha) dalam menetapkan
sebagian hukum Islam yang bersifat furu‟iyyah, bukan pada masalah hukum Islam yang bersifat
ushuliyyah (pokok-pokok hukum Islam), disebabkan pemahaman atau perbedaan metode dalam
menetapkan hukum suatu masalah dan lain-lain. Lihat Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar
Perbandingan Madzhab (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h.48.
26
Madzhab Syafi‟i, mengatakan Hadhanah ialah untuk menjaga mereka yang tidak
mampu untuk mengurus diri mereka sendiri.
Madzhab Hambali, mengatakan Hadhanah sebagai menjaga anak-anak kecil atau
orang gila atau orang cacat atau orang tidak sadar.
Madzhab Hanafi, mengatakan Hadhanah untuk mendidik anak-anak yang
sepatutnya mendapat hak penjagaan.
Madzhab Maliki, berpendapat Hadhanah sebagai penjagaan anak-anak dan
menunaikan hak-hak kemashlahatan mereka dan melayani urusan mereka.21
2. Hadhanah Menurut Hukum Positif
Undang-undang perkawinan sampai saat ini belum mengatur secara
khusus tentang penguasaan anak. Bahkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam,
masalah Hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Pengadilan Agama
diberi wewenang untuk memeriksa dan menyelesaikan.22
Kendati demikian, secara global sebenarnya Undang-Undang perkawinan
telah memberi aturan pemeliharaan anak tersebut yang dirangkai akibat putusnya
perkawinan, di dalam pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
21
Mohd Norman Shah, "Pelaksanaan Sulh Dalam Penyelesaian Sengketa Hadhanah (Studi
Kasus di Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur, Malaysia,” (Skripsi S1 Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h.30.
22
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.298
27
Perkawinan dinyatakan: apabila perkawinan putus karena perceraian, maka
akibat itu adalah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak. Bilamana ada perselisihan
mengenai penguasaan anak, Pengadilan memberikan keputusannya.
b. Bapak bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak. Akan tetapi bila bapak dalam kenyataan tidak dapat
memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut
memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bekas istri.23
Menyangkut hak dan kewajiban orang tua terhadap anak dimuat di dalam
Bab X mulai pasal 45-49,24
Pasal 45
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-
baiknya
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai
anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus
meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Pasal 46
(1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang
baik.
23
Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam, h.338
24
Ibid., h.339
28
(2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang
tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bila mereka itu memerlukan
bantuannya.
Pasal 47
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya
selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di
dalam dan di luar Pengadilan.
Pasal 48
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggandakan
barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan
belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila
kepentingan anak itu menghendakinya.
Pasal 49
(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap
seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua
yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang
telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan Pengadilan
dalam hal-hal :
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b. Ia berkelakuan buruk sekali.
(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih berkewajiban
untuk memberi pemeliharaan kepada anak tersebut.
Pasal-pasal di atas, jelas menyatakan kepentingan anak tetap di atas
segala-galanya. Semangat UUP sebenarnya sangat berpihak kepada kepentingan
dan masa depan anak. Hanya saja UUP hanya menyentuh aspek tanggung jawab
pemeliharaan yang masih bersifat material saja dan kurang memberi penekanan
pada aspek pengasuhan non materialnya.25
25
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.301
29
C. Syarat dan Hak Hadhanah
1. Syarat Hadhanah
Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara dua unsur yang
menjadi rukun dalam hukumnya, yaitu orang tua yang mengasuh yang disebut
hadhin dan anak yang diasuh atau mahdhun. Keduanya harus memenuhi syarat
yang ditentukan untuk wajib dan sahnya tugas pengasuhan itu. Dalam masa
ikatan perkawinan, ibu dan ayah secara bersama berkewajiban untuk memelihara
anak hasil dari perkawinan itu. Setelah terjadinya perceraian dan keduanya harus
berpisah, maka ibu dan/atau ayah berkewajiban memelihara anaknya secara
sendiri-sendiri.26
Ayah dan ibu yang akan bertindak sebagai pengasuh, disyaratkan hal-hal
sebagai berikut:
1. Sudah dewasa. Orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan
tugas yang berat itu, oleh karenanya belum dikenai kewajiban dan tindakan
yang dilakukannya itu belum dinyatakan memenuhi persyaratan.
2. Berpikiran sehat. Orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak mampu
berbuat untuk dirinya sendiri dan dengan keadaannya itu tentu tidak akan
mampu berbuat untuk orang lain.
26
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, ed.I.,cet.III, (Jakarta: Kencana, 2009), h.328.
30
3. Beragama Islam. Tugas pengasuhan itu termasuk tugas pendidikan yang akan
mengarahkan agama anak yang diasuh. Kalau diasuh oleh orang yang bukan
Islam dikhawatirkan anak yang akan diasuh akan jauh dari agamanya.
4. Adil. Dalam arti menjalankan agama secara baik. Kebalikan dari adil dalam
hal ini disebut fasiq yaitu tidak konsisten dalam beragama. Orang yang
komitmen agamanya rendah, tidak dapat diharapkan untuk mengasuh dan
memelihara anak yang masih kecil.27
Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh (mahdhun) itu adalah:
1. Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri
dalam mengurus hidupnya sendiri.
2. Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak
dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot. Orang yang
telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada di bawah
pengasuhan siapapun.28
Dalam kitab Kifayatul Akhyar29
, bahwa mengasuh anak setelah
perceraian itu adalah penguasaan atas anak yang diasuh dan ibu lebih utama
daripada ayah karena kasih sayang ibu lebih banyak. Kalau ibu berkeinginan
mengasuh anak setelah perceraian, maka ia harus memenuhi beberapa syarat:
27
Ibid., h.329
28
Ibid., h.330
29
Taqiyuddin Abu Bakar al-Husaini, Kifayatul Akhyar, jil.II. Penerjemah Achmad Zaidun
dan A. Ma‟ruf Asrori (Surabaya: Bina Ilmu, 1997), h.645.
31
1. Berakal.
Ibu yang gila tidak berhak mengasuh anak, baik gilanya terus menerus
maupun terputus-putus. Kalau gilanya kadang-kadang ada masanya tidak
lama. Misalnya, dalam beberapa tahun gilanya satu hari, maka hak asuhnya
tidak batal seperti yang sesekali terjadi lalu hilang.
2. Merdeka
Budak perempuan kemanfaatannya adalah milik tuan pemilik budak itu. Jadi,
ia tidak boleh disibukkan dengan mengasuh anak. Disamping itu, mengasuh
anak termasuk jenis penguasaan sedangkan budak tidak memiliki hak
penguasaan.
3. Beragama Islam
Ibu yang kafir tidak berhak mendidik anaknya yang Islam, sebab si ibu akan
menipu si anak dan si anak akan tumbuh menjadi seperti kebiasaan ibunya.
Disamping itu, mengasuh anak adalah penguasaan terhadap anak tersebut,
padahal orang kafir tidak berhak menguasai orang Islam.
4. Menjauhkan diri dari hal yang tidak baik.
5. Dapat dipercaya.
Ibu yang fasiq tidak berhak mengasuh anak setelah perceraian karena
mengasuh anak berarti menguasai anak tersebut, sedangkan ibu yang fasiq
tidak terjamin amanahnya dalam memelihara anak, serta anak dikhawatirkan
akan tumbuh dewasa meniru cara hidup ibu yang fasiq.
32
6. Ibu tidak menikah lagi.
Kalau istri yang dicerai itu menikah lagi pasti akan sibuk melayani suami
yang baru sehingga akan menyengsarakan anak. Kerelaan suami yang baru
tidak berpengaruh dalam hak asuh ini sebagaimana kerelaan tuan juga tidak
berpengaruh pada hak asuh budak perempuan (yakni walaupun suami yang
baru itu rela, ibu tetap tidak berhak mengasuh anak).
7. Menetap (tidak musafir).
Ibu lebih berhak mengasuh anak setelah perceraian apabila ayah dan ibu
setelah perceraian menetap di suatu negara. Apabila salah satunya akan
bepergian ke negara lain maka dilihat dahulu persoalannya. Kalau
berpergiannya untuk keperluan tertentu seperti haji, maka tidak boleh
membawa anak. Karena biasanya perjalanan seperti ini berbahaya dan banyak
kesulitannya. Maka diasuh oleh ayahnya.
Bila kedua orang tua si anak masih lengkap dan memenuhi syarat, maka
yang paling berhak melakukan Hadhanah atas anak adalah ibu. Alasannya adalah
ibu lebih memiliki rasa kasih sayang dibandingkan dengan ayah, sedangkan
dalam usia yang sangat muda itu lebih dibutuhkan kasih sayang. Bila anak berada
dalam asuhan seorang ibu, maka segala biaya yang diperlukan untuk itu tetap
berada di bawah tanggung jawab si ayah. Hal ini sudah merupakan pendapat
yang disepakati oleh ulama.
33
2. Hak Hadhanah
Para ulama sepakat bahwasanya hukum Hadhanah, mendidik dan
merawat anak wajib. Tetapi mereka berbeda dalam hal, apakah Hadhanah ini
menjadi hak orang tua (terutama ibu) atau hak anak. Ulama madzhab Hanafi dan
maliki misalnya berpendapat bahwa hak Hadhanah itu menjadi hak ibu sehingga
ia dapat saja menggugurkan haknya. Tetapi menurut Jumhur Ulama, Hadhanah
itu menjadi hak bersama antara orang tua dan anak. Bahkan menurut Wahbah al-
Zuhaily, hak Hadhanah adalah hak bersyarikat antara ibu, ayah dan anak. Jika
terjadi pertengkaran maka yang didahulukan adalah hak dan kepentingan si
anak.30
Bila bertemu kerabat dari pihak ibu dan dari pihak ayah dan mereka
semua memenuhi syarat yang ditentukan untuk melaksanakan Hadhanah maka
urutan yang berhak menurut yang dianut oleh kebanyakan ulama31
adalah:
1. Ibu, ibunya ibu dan seterusnya ke atas;
2. Ayah, ibunya ayah dan seterusnya ke atas;
3. Ibunya kakek melalui ibu, kemudian ibunya dan seterusnya ke atas;
4. Ibunya kakek melalui ayah dan seterusnya ke atas;
5. Saudara-saudara perempuan dari ibu;
6. Saudara-saudara perempuan dari ayah.
30
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.293
31
Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h.332
34
Lain dari urutan yang disebutkan di atas, ulama tidak sepakat dalam
keutamaan haknya. Bila ibu yang berhak dan memenuhi syarat melepaskan
haknya, maka ulama berbeda pendapat kepada siapa hak Hadhanah itu beralih.
Sebagian ulama berpendapat hak Hadhanah berpindah kepada ayah. Pendapat
kedua yang dianggap lebih kuat mengatakan bahwa bila ibu melepaskan haknya,
maka hak tersebut pindah kepada ibunya ibu, karena kedudukan ayah dalam hal
ini lebih jauh urutannya.32
D. Masa dan Hikmah Hadhanah
1. Masa Hadhanah
Anak-anak yang masih di bawah umur masih sangat memerlukan
bimbingan dan asuhan serta didikan dari orang tuanya hingga ia menjadi dewasa
dan dapat berdiri sendiri dalam memenuhi keperluannya. Pemeliharaan anak
tersebut pada saatnya akan berakhir dan yang menjadi persoalan adalah sampai
kapankah berakhirnya masa pemeliharaan anak.
Para fuqaha pada umumnya membagi masa usia anak kepada dua yaitu:
1. Masa anak kecil ialah masa sejak anak dilahirkan sampai anak berumur
antara 7 dan 9 tahun. Pada masa ini anak belum dapat mengurus dirinya
sendiri. Ia memerlukan pelayanan, penjagaan dan didikan dari pendidiknya.
32
Ibid., h.333.
35
2. Masa kanak-kanak. Masa ini mulai sejak anak berrmur 7 atau 9 atau 11 tahun.
Pada masa ini anak-anak telah dapat mengurus dirinya sendiri.33
Tidak terdapat ayat-ayat al-Qur‟an dan Hadits yang menerangkan dengan
tegas tentang masa Hadhanah, hanya terdapat isyarat-asyarat yang menerangkan
masa tersebut. Karena itu para ulama melaksanakan ijtihad sendiri-sendiri dalam
menetapkannya dengan berpedoman kepada isyarat-isyarat itu.34
Adapun
pendapat fuqaha sebagai berikut:
a. Menurut madzhab Hanafi, terutama ulama-ulama mereka yang terdahulu
bahwa mengasuh anak kecil laki-laki itu berakhir apabila ia telah sanggup
mengurus keperluannya yang utama seperti makan, berpakaian dan
kebersihannya. Sedangkan untuk anak perempuan berakhir sampai usia
baligh (batas timbul syahwat). Mereka tidak memberi batas yang tegas.
Adapun ulama-ulama Hanafi yang datang kemudian memberi batasnya
berdasarkan ijtihad karena pertimbangan kondisi anak, tempat dan masanya.
Maka mereka menentukan batas usia untuk anak laki-laki berusia 7 tahun dan
untuk anak perempuan berusia 9 tahun.
b. Madzhab Maliki menyatakan bahwa batas usia seorang anak untuk diasuh
ialah sejak anak itu lahir sampai baligh. Untuk anak perempuan ialah sejak
33 Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, h.136.
34
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Ilmu Fiqh,
h.214.
36
lahir sampai ia kawin, bahkan sampai ia dicampuri suaminya, demikian
menurut madzhab ini.35
c. Madzhab Syafi‟i , tidak ada batasan tertentu bagi asuhan. Anak tetap tinggal
bersama ibunya sampai dia bisa menentukan pilihan apakah tinggal bersama
ibu atau ayahnya. Kalau si anak sudah sampai pada tingkat ini, dia disuruh
memilih apakah tinggal bersama ibu ataukah dengan ayahnya; tetapi bila si
anak memilih tinggal bersama ibu dan ayahnya, maka dilakukan undian, bila
si anak diam (tidak memberikan pilihan), dia ikut bersama ibunya.36
d. Madzhab Hambali, masa asuh anak laki-laki dan perempuan adalah 7 tahun
dan sesudah itu si anak disuruh memilih apakah tinggal bersama ibu atau
ayahnya, lalu si anak tinggal bersama orang yang dipilihnya itu.37
Bila anak laki-laki telah melewati masa kanak-kanak yaitu mencapai usia
tujuh tahun, yang dalam fiqh dinyatakan sebagai mumayyiz dan dia tidak idiot,
antara ayah dan ibu berselisih dalam memperebutkan hak Hadhanah, maka si
anak diberi hak pilih antara tinggal bersama ayah atau ibunya untuk pengasuhan
35
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan
Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h.405.
36
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab. Penerjemah Masykur A.B., dkk,
(Jakarta: Lentera Basritama, 1996), h.417.
37
Ibid,. h.418.
37
selanjutnya. Inilah pendapat sebagian ulama di antaranya imam ahmad dan Imam
Syafi‟i.38
Hak pilih diberikan kepada anak bila terpenuhi dua syarat39
, yaitu:
Pertama, kedua orang tua telah memenuhi syarat untuk mengasuh sebagaimana
disebutkan sebelumnya. Bila salah satu memenuhi syarat dan yang lain tidak,
maka si anak diserahkan kepada yang memenuhi syarat, baik ayah atau ibu.
Kedua, si anak tidak dalam keadaan idiot. Bila si anak dalam keadaan idiot,
meskipun telah melewati masa kanak-kanak, maka ibu yang berhak mengasuh;
dan tidak ada hak pilih untuk si anak.
2. Hikmah Hadhanah.
Hikmah Hadhanah (mengasuh anak) dapat dilihat dari dua sisi:
Pertama, sudah menjadi kewajiban seorang lelaki untuk bisa merawat diri dan
keluarganya. Sedangkan, pengasuhan anak menjadi kewajiban wanita.
Pendidikan anak adalah hal utama yang perlu mendapatkan perhatian dimasa
kecilnya, khususnya dari pihak ibu. Karena umumnya, ibulah yang sering
berinteraksi dengan anak.
Kedua, ibu umumnya lebih peduli dan mengasihi anaknya dibanding seorang
ayah. Dengan demikian, sang ibu tidak memiliki banyak waktu untuk
38
Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h.330
39
Ibid., h.331
38
memperhatikan keserasian pakaiannya, makannya, minumnya dan
kesehatannya.40
Hikmah penetapan masa pengasuhan bagi anak laki-laki dalam rentang
waktu 7 tahun pertama dan juga anak wanita dalam 9 tahun pertama, lebih
berdasar bahwa anak laki-laki pada usia 7 tahun umumnya telah siap menerima
pelajaran, ilmu pengetahuan, sastra, keterampilan dan segala hal yang
mengantarkannya kepada kehidupan dunia dan akhiratnya. Berbeda dengan anak
wanita yang terlebih dahulu harus diajarkan bagaimana ia bisa menjaga diri dan
kehidupannya dengan baik. Pada umumnya ibu mampu dan sabar dalam
mendidik anak pada kondisi seperti ini. Setelah masa pengasuhan berlalu, maka
pada saat itulah peran ayah mulai tampak.
Dalam masa pengasuhan, sang ibu mengajarkan anaknya semua hal yang
berkaitan dengan pekerjaan rumah, khususnya bagi putrinya, karena kelak ia
akan menjadi seorang istri. Dengan demikian pada usianya yang kesembilan, ia
telah mampu menjaga dirinya dan mempelajari banyak hal dari ibunya,
khususnya yang berkaitan dengan pengaturan rumah. Masa pengasuhan sembilan
tahun tersebut cukup untuknya untuk memahami apa yang seharusnya
dilakukannya. Bahkan, ia pun bisa mengetahui bagaimana kelak ia mengasuh
anaknya setelah pernikahannya setelah ia melihat semua pekerjaan ibunya
padanya dan juga pada saudaranya.
40
Ali Ahmad al-Jarjawi, Indahnya Syari‟at Islam. Penerjemah Faisal Saleh, dkk, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2006), h.406.
39
Setelah melewati masa pengasuhan, maka mulailah seorang ayah
memegang peranan penting. Ia bertanggung jawab untuk mengajarkan moral dan
agama hingga dengannya anak bisa mendapatkan kemenangan di dunia dan
akhiratnya. Seorang ayah adalah orang yang paling mampu menjaga kesucian
anaknya hingga sang anak kelak akan membangun rumah tangganya dan menjadi
anggota masyarakat yang bisa dibanggakan. Dengan pola inilah, maka
tercapailah kebahagiaan sejati bagi anak.41
41
Ibid., h.407.
40
BAB III
PASAL 105 HURUF A KHI
A. Latar Belakang Pembentukan KHI
Pemikiran pemerintah dalam mengeluarkan Kompilasi Hukum Islam
adalah karena hukum Islam yang dipergunakan oleh peradilan agama untuk
menyelesaikan sengketa yang diajukan ke Pengadilan Agama di masa yang lalu,
terdapat dalam berbagai kitab fiqh yang ditulis oleh para fuqaha beberapa abad
yang lalu. Sebagai kitab fiqh, di dalamnya terdapat perbedaan-perbedaan
pendapat di antara para fuqaha yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan-
perbedaan yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh itu wajar mempengaruhi Hakim
Pengadilan Agama dalam memutuskan sengketa sehingga sering terjadi putusan
hakim pada suatu Pengadilan Agama berbeda dengan putusan hakim pada
Pengadilan Agama yang lain, padahal sengketanya sama. Jadi, maksud
pemerintah mengeluarkan Kompilasi Hukum Islam adalah untuk memberikan
kepastian hukum bagi para pencari keadilan di Pengadilan Agama.1
Kebutuhan akan adanya Kompilasi Hukum Islam bagi peradilan agama
sudah menjadi catatan dalam sejarah Departemen Agama. Keluarnya surat edaran
kepala biro Peradilan Agama Nomor B/1/735 tanggal 18 februari 1958 tentang
1 Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Tanya
Jawab Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Departemen Agama, 1997), h.157.
41
pelaksanaan peraturan pemerintah Nomor 45 tahun 1957 yang mengatur tentang
pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah di luar pulau jawa dan
madura menunjukan salah satu bukti tentang hal tersebut. 2
Dalam lingkungan Peradilan Agama, dari segi Hakim memang sulit
mengetahui madzhab apa yang dianutnya. Namun berdasarkan kitab-kitab yang
dijadikan rujukan dalam mengambil putusan atau ketetapan, sebagian besar para
Hakim merujuk pada kitab-kitab Syafi’iyah.3 Namun, dengan keluarnya
Instruksi Presiden Nomor. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam,
kecendrungan madzhab Syafi’i ini mulai bergeser dari satu madzhab ke multi
madzhab yang terdapat di dunia Islam. Ini tidak berarti madzhab Syafi’i telah
ditinggalkan.4
Dalam rangka inilah, Bustanul Arifin tampil dengan gagasan perlunya
membuat Kompilasi Hukum Islam. Gagasannya didasari oleh pertimbangan-
pertimbangan sebagai berikut:
a. Untuk dapat berlakunya hukum (Islam) di Indonesia, harus ada antara lain
hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum
maupun oleh masyarakat.
2 Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Instruksi
Presiden R.I. Nomor I Tahun 1991: Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1997), h.119.
3 Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta: Ciputat Press, 2005), h.86.
4 Ibid., h.87
42
b. Persepsi yang tidak seragam tentang syari’ah akan dan sudah menyebabkan
hal-hal: (1) Ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut
hukum Islam itu (Maa anzalallahu), (2) Tidak mendapat kejelasan bagaimana
menjalankan syari’at itu (tanfidziyah), dan (3) akibat kepanjangannya adalah
tidak mampu menggunakan jalan-jalan dan alat-alat yang tersedia dalam
Undang-Undang Dasar 1945 dan perundang-undangan lainnya.
c. Di dalam sejarah Islam, pernah di tiga negara, hukum Islam diberlakukan
sebagai perundang-undangan negara: (1) Di India pada masa Raja An Rijeb
yang membuat dan memberlakukan perundang-undangan yang terkenal
dalam fatwa Alamfiri. (2) Di kerajaan Turki Utsmani yang terkenal dengan
nama Majalah al-Ahkam al-Adliyah, dan (3) Hukum Islam pada tahun 1983
dikodifikasikan di Sudan.5
Penyusunan Kompilasi Hukum Islam dilaksanakan oleh sebuah tim
pelaksana proyek yang ditunjuk dengan SKB ketua Mahkamah Agung RI dan
Menteri Agama RI No.7/KMA/1985 dan No.25 Tahun 1985 tanggal 25 Maret
1985. Di dalam SKB tersebut, ditentukan para pejabat Mahkamah Agung dan
Departemen Agama yang ditunjuk dengan jabatan masing-masing, jangka waktu,
tata kerja dan biaya yang digunakan.6
5 Amrullah Ahmad, dkk, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang
65 Tahun Prof. Dr. Busthanul Arifin, S.H. (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h.11.
6 A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum Islam,
Hukum Barat, Hukum Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan
Agama hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh (Jakarta: Kencana, 2006), h.111.
43
Sebagai pemimpin umum pelaksana proyek ini adalah Prof. H. Busthanul
Arifin, S.H., ketua muda Mahkamah Agung RI urusan lingkungan Peradilan
Agama. Disamping ada pelaksana bidang kitab/yurisprudensi, bidang wawancara
dan bidang pengumpul/ pengolah data. Jangka waktu pelaksanaan proyek
ditetapkan selama 2 tahun terhitung sejak saat ditetapkannya SKB. Tata kerja dan
jadwal waktu pelaksanaan proyek telah ditetapkan sebagai lampiran dari SKB.
Sedang biaya dibebankan kepada dana bantuan yang diperoleh dari pemerintah,
Keppres No.191/SOSRROKH/1985 (Bantuan Presiden RI) dan
No.068/SOSRROKH/1985.7
Tugas pokok proyek adalah melaksanakan usaha pembangunan Hukum
Islam melalui Yurisprudensi dengan jalan Kompilasi Hukum Islam. Sasarannya
mengkaji kitab-kitab yang digunakan sebagai landasan putusan-putusan hakim
agar sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia untuk menuju hukum
nasional. Untuk menyelenggarakan tugas pokok tersebut, maka proyek
pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi dilakukan dengan cara:
a. Pengumpulan data, pengkajian kitab-kitab fiqh Islam khususnya ketiga belas
kitab fiqh yang ditetapkan pemerintah menjadi pegangan Hakim Pengadilan
Agama. Para ahli dari sejumlah IAIN merumuskan garis-garis hukum yang
terdapat di dalam kitab-kitab itu disertai dalil-dalil hukumnya yang terdapat
di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
7 Ibid., 112
44
b. Wawancara, dengan para ulama di sepuluh ibukota propinsi di Indonesia.
Para ulama baik secara perorangan maupun sebagai pimpinan organisasi
sosial keagamaan, mengemukakan berbagai pendapat hukumnya mengenai
berbagai hal yang ditanyakan kepada mereka dan menyatakan dukungan
mereka atas usaha pengumpulan atau penghimpunan kaidah-kaidah atau
garis-garus hukum Islam tersebut.
c. Penelitian yurisprudensi Peradilan Agama. Yurisprudensi Peradilan Agama
sejak zaman Hindia Belanda dahulu sampai saat penyusunan Kompilasi
Hukum Islam yang terhimpun dalam berbagai dokumen, dipelajari, dikaji dan
ditarik garis-garis hukum dari padanya.
d. Studi perbandingan ke luar negeri, yakni negara-negara yang penduduknya
beragama Islam, mengenai hukum dan penerapan hukum Islam di negara
tersebut serta sistem peradilan mereka. Hasil-hasil dari seluruh kegiatan
tersebut setelah diolah dan dirumuskan, disetujui dalam lokakarya ulama
Islam Indonesia pada tanggal 2 sampai 5 Februari 1988.8
Proses selanjutnya setelah naskah akhir Kompilasi Hukum Islam yang
terdiri dari buku I tentang Perkawinan, buku II tentang Kewarisan dan buku III
tentang Wakaf mengalami penghalusan Redaksi yang intensif di Ciawi-Bogor
yang dilakukan oleh tim besar proyek untuk selanjutnya disampaikan kepada
Presiden, oleh Menteri Agama dengan surat 14 Maret 1988 No:MA/123/1988
8 Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Tanya Jawab Kompilasi
Hukum Islam, h.157
45
hal: Kompilasi Hukum Islam dengan maksud untuk memperoleh bentuk yuridis
untuk digunakan dalam praktik di lingkungan Peradilan Agama. Kemudian
lahirlah Instruksi Presiden No.1 tahun 1991.9
Menteri Agama sebagai pembantu Presiden, dalam Surat Keputusannya
Nomor 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991, dalam rangka melaksanakan
Instruksi Presiden tersebut, meminta kepada seluruh Instansi Departemen
Agama, termasuk Peradilan Agama di dalamnya dan Instansi pemerintah lainnya
yang terkait agar menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam dimaksud. Dalam
bagian kedua diktum Keputusan Menteri Agama tentang pelaksanaan Instruksi
Presiden itu disebutkan pula bahwa seluruh lingkungan Instansi itu, terutama
Peradilan Agama, agar menerapkan Kompilasi Hukum Islam tersebut di samping
peraturan perundang-undangan lainnya dalam menyelesaikan masalah-masalah di
bidang hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan.10
B. Landasan dan Kedudukan KHI.
1. Landasan KHI
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia merupakan pengembangan dari
Hukum Perkawinan yang tertuang di dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974.
Karena itu, ia tidak dapat lepas dari misi yang diemban oleh Undang-Undang
Perkawinan tersebut, kendatipun cakupannya hanya terbatas bagi umat Islam.
9 A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h.118
10
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), h.294.
46
Antara lain, kompilasi mutlak harus mampu memberikan landasan hukum
perkawinan yang dapat dipegangi oleh umat Islam.11
Landasan dalam artian sebagai dasar hukum keberadaan Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia adalah:
1. Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991; Instruksi Presiden
tersebut dasar hukumnya adalah pasal 4 ayat (1) UUD 1945, yaitu kekuasaan
Presiden untuk memegang kekuasaan pemerintahan negara. Ini adalah
merupakan Instruksi dari Presiden RI kepada Menteri Agama untuk
menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang sudah disepakati tersebut.12
Diktumnya menyatakan:
Pertama : menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari:
a. Buku I tentang Perkawinan.
b. Buku II tentang Kewarisan.
c. Buku II tentang Perwakafan.
sebagaimana telah diterima baik oleh para alim ulama Indonesia
dalam lokakarya di Jakarta pada tanggal 2 sampai 5 Februari 1988
untuk digunakan oleh Instansi pemerintah dan oleh masyarakat
yang memerlukannya.
Kedua : melaksanakan Instruksi ini dengan sebaik-baiknya dan dengan
penuh tanggung jawab.
Sedangkan konsideran Instruksi tersebut menyatakan:
a. Bahwa para Alim Ulama Indonesia dalam Loka Karya yang diadakan di
Jakarta pada tanggal 2 sampai dengan 5 Februari 1988 telah menerima
baik tiga rancangan buku Kompilasi Hukum Islam, yaitu Buku I tentang
Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III
tentang Hukum Perwakafan;
11
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia h.55
12
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h.53.
47
b. Bahwa Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf a oleh Instansi
Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya dapat digunakan
sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang
tersebut;
c. Bahwa oleh karena itu Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf a
perlu disebarluaskan;
2. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia tanggal 22 Juli 1991 No. 154
tahun 1991 tentang pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia No.1
tahun 1991. 13
Konsideran Keputusan ini menyebutkan:
a. Bahwa Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor I Tahun 1991
tanggal 10 Juni 1991 memerintahkan kepada Menteri Agama untuk
menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam untuk digunakan oleh Instansi
Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya.
b. Bahwa penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam tersebut perlu
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh tanggung jawab.
c. Bahwa oleh karena itu perlu dikeluarkan Keputusan Menteri Agama
Republik Indonesia tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor I Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991.
Dalam diktum Keputusan Menteri tersebut disebutkan sebagai berikut:
Pertama: Seluruh Instansi Departemen Agama dan Instansi pemerintah
lainnya yang terkait agar menyebarluaskan Kompilasi Hukum
Islam di bidang Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan
sebagaimana dimaksud dalam diktum Pertama Instruksi Presiden
Republik Indonesia Nomor I Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991
untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah dan masyarakat yang
memerlukannya dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang
tersebut.
Kedua: Seluruh lingkungan Instansi tersebut dalam diktum pertama, dalam
menyelesaikan masalah-masalah di bidang Hukum Perkawinan,
Kewarisan dan Perwakafan sedapat mungkin menerapkan
13
Ibid., h.55.
48
Kompilasi Hukum Islam tersebut di samping peraturan perundang-
undangan lainnya.
Ketiga : Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji
mengkoordinasikan pelaksanaan Keputusan Menteri Agama
Republik Indonesia ini dalam bidang tugasnya masing-masing.
Keempat: Keputusan ini berlaku sejak ditetapkan.
3. Surat Edaran Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam atas nama
Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam tanggal 25 Juli
1991 No.3694/EV/HK.003/AZ/91 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan
Tinggi Agama dan Ketua Pengadilan Agama di seluruh Indonesia tentang
penyebarluasan Instruksi Presiden Ri No.1 tahun 1991 tanggal 10 Juni
1991.14
2. Kedudukan KHI
Berkenaan dengan kedudukan KHI dalam sistem hukum nasional diukur
oleh unsur-unsur sistem hukum nasional;
1. Landasan ideal dan konstitusional KHI adalah Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.
2. KHI dilegalisasi oleh instrumen hukum dalam bentuk Instruksi Presiden yang
dilaksanakan oleh keputusan Menteri Agama, yang merupakan bagian dari
peraturan perudang-undangan yang berlaku.
14
Ibid., h.57
49
3. KHI dirumuskan dari tatanan hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an
dan Sunnah Rasul.
4. Saluran dalam aktualisasi KHI antara lain Pengadilan dalam lingkungan
peradilan agama.15
Kedudukan Kompilasi Hukum Islam ini mempunyai kaitan yang cukup
erat dengan sifat mengikatnya Kompilasi bagi para pihak, baik pihak yang
bersengketa maupun para Hakim. Baik para Hakim maupun pihak-pihak yang
berperkara, dengan berlakunya Kompilasi Hukum Islam ini terikat dan
berkewajiban sepenuhnya melaksanakan isinya; tanpa menutup kemungkinan
bagi para Hakim Peradilan Agama untuk melakukan penemuan hukum.16
C. Eksistensi KHI di Pengadilan Agama.
Upaya pemenuhan kebutuhan akan adanya Kompilasi Hukum Islam bagi
Peradilan Agama merupakan rangkaian pencapaian sebuah cita-cita bangsa
Indonesia yang menyatu dalam sejarah pertumbuhan Peradilan Agama itu
sendiri. Karena itu ia mempunyai titik awal dan titik akhir yang berimpit
dengannya.17
Hukum material yang hendak dikembangkan di Peradilan Agama dalam
Pembangunan Jangka Panjang Kedua adalah hukum perdata Islam mengenai
15
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum
Nasional (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h.9.
16
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h.62.
17
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Instruksi Presiden R.I. Nomor
I Tahun 1991, h.119
50
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah, sesuai dengan
wewenang yang diberikan oleh undang-undang kepada Peradilan Agama untuk
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara dibidang tersebut.
Hukum ini telah dihimpun dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan telah
pula disebarkan sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 melalui
Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991, tanggal
22 Juli 1991. Kompilasi Hukum Islam ini sesuai dengan konsiderans instruksi
Presiden dimaksud bersifat terbuka untuk dikembangkan, sesuai dengan
perkembangan zaman dan pemenuhan kebutuhan hukum umat Islam Indonesia.18
Kompilasi Hukum Islam, disusun dan dirumuskan untuk mengisi
kekosongan hukum substansial (mencakup hukum perkawinan, kewarisan dan
perwakafan), yang diberlakukan pada Pengadilan dalam lingkungan peradilan
agama; dengan demikian secara yuridis hukum Islam di bidang perkawinan,
kewarisan (termasuk wasiat dan hibah) dan perwakafan menjadi hukum positif
tertulis dalam sistem hukum nasional. Ia menjadi dasar untuk pengambilan
keputusan hukum terhadap perkara-perkara yang diajukan ke Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama.19
Dalam hubungan dengan unsur peradilan, KHI dijadikan pedoman dalam
penyelesaian perkara yang diajukan ke pangadilan dalam lingkungan peradilan
18
Mohammad Daud Ali, ed., Hukum Islam dan Peradilan Agama, cet.II, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002), h.376.
19
Bisri, Kompilasi Hukum Islam, h.2
51
agama. Hal itu dilatarbelakangi penyusunan KHI dilakukan untuk mengisi
kekosongan hukum substansial yang dijadikan rujukan dalam penyelesaian
perkara yang diajukan.20
Berkenaan dengan hal itu, hakim sebagai penegak hukum dan keadilan,
merupakan ujung tombak yang akan menerapkan KHI terhadap perkara yang
diajukan kepadanya. Dengan demikian, ia dituntut untuk memahami secara lebih
dalam dan komprehensif tentang substansi dan misi yang diemban oleh KHI.21
Dalam hal eksistensi Kompilasi Hukum Islam, kita dapat melihat
beberapa hal:
1. Segi perjalanannya yang telah berjalan dikalangan Pengadilan Agama jauh
sebelum diinstruksikan. Artinya, apapun namanya toh selama ini telah
berjalan dengan baik.
2. Tokoh hukum tata negara Ismail Sunny, mengakui bahwa Kompilasi Hukum
Islam sebagai hukum tertulis di Indonesia, walaupun tingkat yuridisnya tidak
sampai pada tingkat undang-undang, tetapi tentu akan menuju kesana. Hal ini
didukung oleh tokoh ide Kompilasi Hukum Islam dalam hal ini Busthanul
Arifin.22
20
Ibid., h.14
21
Ibid., h.18
22
Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h.129
52
D. Substansi Pasal 105 Huruf a KHI
Pasal 105 huruf a KHI memuat: “dalam hal terjadinya perceraian,
pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah
hak ibunya;”23
Dalam konteks itu, KHI nampaknya menggunakan alasan
kebiasaan dan kelaziman anak berada dalam asuhan ibunya terutama di bawah
umur 12 tahun.24
Adapun pelaksanaannya, seperti yang dimaksud oleh pasal 105
huruf a KHI, ibu mendapat prioritas utama untuk mengasuhnya selama anak
tersebut belum mumayyiz dan apabila si anak sudah mumayyiz maka anak
disuruh memilih, kepada siapa di antara ayah dan ibunya, dia akan ikut.25
Dalam perumusan KHI, secara substansial dilakukan dengan mengacu
kepada sumber hukum Islam yakni al-Qur’an dan Sunnah Rasul dan secara
hirarkial mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.26
Pemeliharaan anak (hadhanah) merupakan salah satu isu penting yang timbul
dalam perkara perceraian bagi mereka yang telah dikaruniai anak. Peraturan
perundang-undangan Indonesia, seperti antara lain terlihat jelas dalam Kompilasi
Hukum Islam, mengatur pemeliharaan anak sedemikian rupa. Anak dalam KHI,
diidentifikasikan dalam dua kondisi. Pertama, anak di bawah umur (ghair
23
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Instruksi Presiden R.I. Nomor
I Tahun 1991, h.50
24
Arskal Salim, dkk, Mengungkap Sensitifitas Jender Hakim Agama: Sebuah Dokumentasi
Program (Jakarta: Puskumham, 2009), h.64.
25
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia h.250
26
Bisri, Kompilasi Hukum Islam, h.9
53
mumayyiz), yang dalam KHI ditetapkan di bawah 12 tahun dan kedua, anak di atas
12 tahun (mumayyiz). Peraturan pemeliharaan anak dalam KHI, tidak diembel-
embeli dengan syarat-syarat pihak yang berhak atas pengasuhan. Ini berbeda
dengan aturan fiqh yang menetapkan bahwa seorang pengasuh harus memenuhi
beberapa kriteria, jika ia ingin mendapatkan hak asuhnya.27
Pasal-pasal KHI tentang Hadhanah menegaskan bahwa kewajiban
pengasuhan material dan non material merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan. Lebih dari itu, KHI malah membagi tugas-tugas yang harus diemban
kedua orang tua kendatipun mereka berpisah. Anak yang belum mumayyiz tetap
diasuh oleh ibunya, sedangkan pembiayaan menjadi tanggung jawab ayahnya.
Kompilasi Hukum Islam juga menentukan bahwa anak yang belum mumayyiz
atau belum berumur 12 tahun adalah hak bagi ibu untuk memeliharanya,
sedangkan apabila anak tersebut sudah mumayyiz, ia dapat memilih antara ayah
atau ibunya untuk bertindak sebagai pemeliharanya.28
27
Arskal Salim, dkk, Mengungkap Sensitifitas Jender Hakim Agama, h.62
28
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.303
54
BAB IV
DESKRIPSI DAN ANALISA HASIL PENELITIAN
A. Potret Pengadilan Agama Jakarta Barat1
Alamat Kantor Jl. Flamboyan II No.2, Cengkareng Barat, Jakarta Barat.
1. Tanah dan Bangunan.
Gedung Pengadilan Agama Jakarta Barat yang dibangun pada tahun
1994 dan selesai pada tahun 1997 adalah milik PEMDA DKI Jakarta.
Kemudian olehnya di serah terimakan kepada Pengadilan Agama Jakarta
Barat pada tanggal 19 Mei 1997 untuk dipergunakan sebagai tempat kegiatan
Pengadilan Agama Jakarta Barat dalam melaksanakan tugas penegakan
Hukum dan Keadilan. Pada saat ini kondisinya sebagai berikut :
a. Luas Tanah. Luas Tanah Kantor Pengadilan Agama Jakarta Barat
seluruhnya adalah seluas 3.056 M2 yang seluruhnya berupa tanah darat.
b. Luas Bangunan. Luas Bangunan Kantor Pengadilan Agama Jakarta Barat
seluruhnya adalah 2.400 M2 yang terdiri dari :
1) Bangunan Kantor
Lantai I, yang terdiri dari ruang-ruang sebagai berikut : Ruang Ketua,
Ruang Wakil Ketua, Ruang Panitera / Sekretaris, Ruang
Kepaniteraan, Ruang Panitera Muda Hukum, Ruang Sidang Utama,
1 Dika Andrian dan Samino, “Website Resmi Pengadilan Agama Jakarta Barat”, artikel
diakses pada 18 april 2011 dari http://www.pajb.net/?halaman=modul/artikel_static.php&id=4
55
Ruang Sidang I, Ruang Sidang II, Gudang, Kamar Mandi Wanita,
Kamar Mandi Pria.
Lantai II, yang terdiri dari ruang – ruang sebagai berikut : Ruang
Hakim I, Ruang Hakim II, Ruang Hakim III, Ruang Hakim IV, Ruang
Sidang II, Ruang Kesekretariatan & Ruang Kasub Bag Keuangan,
Ruang Panitera Pengganti I, Ruang Panitera Pengganti II. Ruang
Brifing, Ruang Perpustakaan, Mushollah, Kamar Mandi Wanita,
Kamar Mandi Pria.
Lantai III, yang terdiri dari ruang – ruang sebagai berikut : Ruang
Sekretariat Dharma Wanita, Ruang Arsip, Ruang Kantin, Kamar
Mandi.
2) Bangunan lainnya
Bangunan Pos Satpam, seluas 2 x 2 M2 dengan kondisi rusak tanpa
kaca jendela dan pintu.
Bangunan Gardu Listrik, seluas 6 x 12 M2 dengan kondisi pintu
gulung (rolling dor) rusak dan berkarat.
Bangunan tangki Air Minum, seluas 4 x 5 M2 kondisi rusak dan
terjadi kebocoran dinding sehingga air kotor dari luar masuk ke dalam
serta tidak bisa dipakai.
3) Fasilitas Pendukung lainnya
Halaman tempat parkir kendaraan, cukup memadai akan tetapi
halamannya terlalu rendah dari jalan raya, sehingga pada waktu
56
musim hujan, halaman selalu digenang air setinggi lebih kurang 30
cm. Pada tahun anggaran 2004 sekitar 700 m2 (sebagian halaman)
telah ditinggikan dengan proyek (DIP Pengadilan Agama Jakarta
Barat tahun 2006) yang dilaksanakan oleh Pengadilan Agama Jakarta
Barat. Lokasi Kantor Pengadilan Agama Jakarta Barat.
Lokasi Kantor Pengadilan Agama Jakarta Barat terletak dijalan
Flamboyan II No. 2 Cengkareng Barat, Jakarta Barat, tergolong kurang strategis
karena tidak dilewati kendaraan umum atau jarak ± 1500 m. dari jalan Kamal
Raya dan berdampingan dengan Rumah Susun Cengkareng.
2. Status tanah dan bangunan
Status tanah dan bangunan Pengadilan Agama Jakarta Barat adalah
asset Pemda DKI Jakarta.
3. Barang-barang inventaris
Barang-barang inventaris sebagian besar merupakan milik (asset)
Pemda DKI Jakarta. Sesuai dengan berita acara serah terima penggunaan
barang nomor 145 tahun 1998 dan sebagiannya lagi merupakan milik
Pengadilan Agama Jakarta Barat.
57
B. Implementasi Pasal 105 Huruf a Kompilasi Hukum Islam dalam Putusan
No.666/Pdt.G/2009/PAJB
Suatu putusan terdiri dari 4 (empat) bagian yaitu, kepala putusan,
identitas para pihak, pertimbangan hukum dan amar putusan. Mengenai masalah
implementasi pasal 105 huruf a KHI dapat dilihat dari Putusan
No.666/Pdt.G/2009/PAJB, yang terdiri dari:
1. Kepala Putusan
Di lingkungan Pengadilan Agama, tiap penetapan dan putusan dimulai
dengan kalimat “Bismillahirrahmanirrahim” diikuti dengan kalimat “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa” sesuai dengan pasal 57 (2)
UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.2 Kata-kata “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa” memberi kekuatan eksekutorial bagi
putusan-putusan Pengadilan di Indonesia.3
2. Identitas Para Pihak
Identitas para pihak adalah ciri atau karakter yang dimiliki penggugat
dan tergugat, meliputi nama, tempat tinggal, umur, status perkawinan,
pendidikan dan lain-lain yang dipandang perlu. Dalam hal ini, identitas para
pihak harus jelas dan lengkap sehingga berkualitas sebagai perseorangan
pribadi. Bila para pihak berkualitas sebagai badan hukum, maka dalam
2 Kamarusdiana dan Nahrowi, Hukum Acara Perdata (Jakarta: t.p., 2006), h.110.
3 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, cet.I, ed.VII, (Yogyakarta:
Liberty, 2006), h.220.
58
praktik cukup disebut nama badan hukumnya, tempat kedudukan dan alamat
kantornya (Putusan MA RI No. 440 K/Pdt/1986 tanggal 29 Agustus 1986).4
Namun, Pengadilan Agama Jakarta Barat menetapkan kebijakan
bahwa identitas menyangkut nama para pihak, anak serta saksi-saksi dalam
putusan tidak boleh dipublikasikan kepada masyarakat umum. Hal ini,
dipertegas oleh Hakim Humas Pengadilan Agama Jakarta Barat
Drs.H.Muhyiddin,S.H.,M.H. Menurutnya “...Walaupun sidang terbuka untuk
umum, para pihak tidak boleh dipublikasikan, hal ini terkait dengan Undang-
Undang Informasi dan privasi seseorang....”5
Dalam Putusan Nomor : 666/Pdt.G/2009/PAJB, Pengadilan Agama
Jakarta Barat telah memeriksa dan mengadili perkara tingkat pertama ini,
dimana dalam persidangan Majelis Hakim menjatuhkan putusan antara:
a. Penggugat: umur 23 tahun, agama Islam, pendidikan SMK, pekerjaan
Karyawati, tempat tinggal di Jl. H. Saili B. 45 A RT.002 RW.06 No. 45 A
kelurahan Kemanggisan kecamatan Palmerah kotamadya Jakarta Barat;
selanjutnya disebut juga sebagai tergugat rekonpensi.
b. Tergugat: umur 33 tahun, agama Islam, pendidikan STM, pekerjaan
Karyawan, tempat tinggal di Jl. Kemandoran I Gg. Subur RT.002
RW.011 No.28 kelurahan Grogol Utara kecamatan Kebayoran Lama
4 Ibid., h.37
5 Wawancara Pribadi dengan Muhyiddin. Jakarta, 25 April 2011.
59
kotamadya Jakarta Selatan; selanjutnya disebut sebagai penggugat
rekonpensi.
3. Pertimbangan Majelis Hakim
Pertimbangan (considerans) merupakan dasar putusan. Pertimbangan
dalam putusan perdata dibagi 2, yaitu pertimbangan tentang duduk
perkaranya dan pertimbangan tentang hukumnya.6
Pengadilan Agama Jakarta Barat telah mempelajari berkas perkara,
memeriksa dan mendengar keterangan penggugat, tergugat dan saksi-saksi
serta memeriksa bukti-bukti yang dikemukakan di persidangan;
a. Pertimbangan tentang duduk perkaranya
Penggugat telah mengajukan surat gugatan tanggal 16 Juni 2009
yang didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Barat dengan
Nomor: 666/Pdt.G/2009/PAJB, dengan posita sebagai berikut:
1) Telah melangsungkan pernikahan tanggal 12 Juni 2004 di KUA
kecamatan Palmerah Jakarta Barat dengan kutipan Akta Nikah
Nomor: 618/64/VI/2004 tertanggal 14 Juni 2004.
2) Selama pernikahan tersebut, telah hidup rukun sebagaimana layaknya
suami istri dan telah dikaruniai satu orang anak yang lahir 3 maret
2005.
6 Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, h.221.
60
3) Kurang lebih sejak bulan April 2008, ketentraman rumah tangga
mulai goyah setelah tergugat tidak memberikan nafkah lahir dan
bathin kurang lebih 7 bulan, mementingkan hobi bermain burung,
tidak pernah peduli kebutuhan rumah tangga/ belanja.
4) Puncak perselisihan bulan Desember 2008 sehingga penggugat
menderita lahir bathin dan merasa tidak sanggup lagi melanjutkan
rumah tangga.
5) Anak hasil perkawinan dibawa pergi oleh tergugat sehingga
penggugat sulit untuk menemuinya.
Penggugat mengajukan petitum berupa:
1) Pengajuan gugatan perceraian.
2) Permohonan penetapan hak Hadhanah.
3) Biaya Hadhanah Rp.1.000.000,-/ bulan di luar biaya kesehatan dan
pendidikan.
Pertimbangan lain, penggugat mengajukan bukti dalam bentuk
fotokopi yang bermaterai cukup dan telah dicocokkan dengan aslinya
berupa fotokopi KTP DKI Jakarta atas nama penggugat, fotokopi kutipan
akta nikah dan fotokopi kutipan akta kelahiran anak. Selain itu, penggugat
juga telah menghadirkan saksi-saksi yaitu:
1) Ayah kandung penggugat, yang menerangkan bahwa penggugat telah
mempunyai anak dan mengetahui rumah tangga penggugat yang
awalnya rukun kemudian tidak rukun hingga pisah tempat tinggal
61
sejak Desember 2008 dan saksi sudah berusaha menasehati untuk
rukun kembali.
2) Ibu kandung penggugat, saksi menerangkan bahwa anak tersebut
dibawa oleh tergugat ketika penggugat sedang menyanyi, sebelum
dibawa oleh tergugat, saksi yang merawat anak tersebut. Pernah ketika
saksi dan penggugat ingin menengok anak tersebut, malah penggugat
disuruh menandatangani surat diatas materai, tetapi penggugat tidak
mau. Sejak kurang lebih April 2008, saksi sering melihat keributan
tanpa tahu penyebabnya.
Majelis Hakim telah memerintahkan kedua belah pihak untuk
menempuh mediasi pada tanggal 30 Juli 2009 oleh Hakim Mediator
Drs.H.Tb.A.Murtaqi,SY.,S.H. ternyata gagal.
Tergugat juga telah menyampaikan jawabannya tanggal 13
Agustus 2009, dengan posita sebagai berikut:
1) Telah memenuhi kebutuhan papan penggugat selama kurang lebih tiga
setengah tahun.
2) Ketidakharmonisan rumah tangga dimulai sejak bulan September
2008, ketika penggugat membina hubungan dengan suami orang lain.
Awal hubungan mereka, ketika penggugat menjadi penyanyi dangdut
amatiran yang disawer oleh laki-laki tersebut.
3) Tergugat sudah berusaha melarang dan menyuruh untuk berhenti
menjadi penyanyi serta memberi pekerjaan lain yang lebih baik di
62
Koperasi Pegawai Telkom. Awalnya penggugat patuh, tetapi
kemudian hari kembali lagi pada pekerjaannya yang dahulu.
4) Ketika penggugat dikembalikan ke rumah orangtuanya oleh tergugat ,
anak penggugat dan tergugat selalu diasuh oleh orang tua penggugat
ketika penggugat sibuk dengan pekerjaannya sebagai penyanyi
dangdut amatiran.
5) Tergugat mengijinkan penggugat bertemu anaknya ketika liburan
sekolah dan tidak menyulitkan untuk menemuinya.
Tergugat mengajukan petitumnya dalam rekonpensi, yaitu:
1) Permohonan cerai thalak tiga.
2) Permohonan penetapan hak Hadhanah.
3) Kerugian materi selama berumah tangga sebesar Rp.12.000.000,-.
Tergugat juga mengajukan bukti-bukti serta menghadirkan saksi-
saksi, sebagai berikut:
1) Bukti kunci duplikat kost-kostan penggugat, bukti transfer uang,
kronologis kejadian, foto-foto penggugat dengan seorang laki-laki,
nomor-nomor telepon dan surat pernyataan dari penggugat.
2) Mantan istri dari laki-laki selingkuhan penggugat sebagai saksi yang
menerangkan bahwa saksi kenal dengan penggugat yang telah hadir
dan menyebabkan rumah tangganya hancur. Ketika masih terikat
dalam pernikahan, saksi pernah melihat foto penggugat dengan
mantan suaminya di handphone serta menemukan tiket masuk ke
63
ancol untuk dua orang dan saksi juga pernah bertemu dengan
penggugat setelah lebaran Idul Fitri 2009 di rumah mertuanya
(orangtua mantan suaminya).
3) Kakak Ipar tergugat, saksi menerangkan bahwa saksi yang
memasukkan kerja penggugat ke Koperasi agar ia berhenti menjadi
penyanyi dangdut lagi. saksi tahu kebohongan penggugat dan pernah
melihat keributan saat Idul Adha 2008.
b. Pertimbangan tentang hukumnya
Dalam Konpensi,
Menimbang, bahwa berdasarkan pernyataan penggugat dan
pengakuan tergugat serta sebagaimana bukti kutipan Akta Nikah terbukti
bahwa antara penggugat dan tergugat telah terikat dalam ikatan
perkawinan yang sah dan belum pernah bercerai;
Menimbang, bahwa senyatanya penggugat berada di wilayah
hukum Pengadilan Agama Jakarta Barat, maka berdasarkan kepada
ketentuan pasal 49 ayat (1) huruf (a) dan pasal 73 ayat (1) UU No.7
Tahun 1989 yang diamandemen UU No.3 Tahun 2006 maka Pengadilan
Agama Jakarta Barat berwenang menerima, memeriksa dan
menyelesaikan perkara ini;
64
Menimbang, bahwa sebelum pemeriksaan pokok perkara, para
pihak telah diperintahkan untuk menempuh mediasi, sesuai PERMA No.1
Tahun 2008 ternyata gagal atau tidak berhasil didamaikan;
Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah berusaha mendamaikan
sesuai ketentuan pasal 82 ayat (1) dan (4) UU No.7 Tahun 1989 yang
diamandemen UUNo.3 Tahun 2006 jo. Pasal 130 HIR, ternyata tidak
berhasil;
Menimbang, bahwa dalam pemeriksaan perkara ini Majelis Hakim
memandang tidak perlu untuk menggali fakta tentang apa dan siapa yang
menjadi faktor penyebab terjadinya perselisihan dan pertengkaran dalam
rumah tangga penggugat dan tergugat, akan tetapi fakta yang perlu
diungkap adalah tentang pecahnya rumah tangga itu sendiri sebagaimana
maksud Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No.38 K/AG/1990 tanggal
22-8-1991 dan No.266 K/AG/1993 tanggal 25-6-1994 dengan kaidah „jika
alasan perceraian telah terbukti, hal ini semata-mata ditujukan kepada
perkawinan itu sendiri, tanpa mempersoalkan siapa yang salah;
Menimbang, bahwa fakta di persidangan dengan bersiteguhnya
penggugat untuk bercerai dengan tergugat serta Majelis Hakim telah
berusaha mendamaikan. Hal ini mengindikasikan bahwa tujuan dari
perkawinan untuk membentuk rumah tangga yang sakinah mawaddah wa
rahmah telah tidak terwujud, berdasarkan pasal 3 Kompilasi hukum Islam
65
dan pasal 1 UU No.1 Tahun 1974, sebagaimana juga ditegaskan dalam
fiman Allah SWT dalam surat ar-Rum (30) ayat 21 berbunyi:
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir”.
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas terbukti
bahwa dalil-dalil penggugat yang dijadikan dasar untuk perceraian ini
telah memenuhi alasan hukum, maka sesuai ketentuan pasal 39 ayat (2)
UU No.1 Tahun 1974 jo. pasal 19 huruf f KHI oleh karenanya gugatan
cerai penggugat sudah sepatutnya dikabulkan dan sejalan ketentuan pasal
119 huruf c dihukumkan thalak satu bain sughra;
Dalam Rekonpensi,
Menimbang bahwa antara penggugat rekonpensi dan tergugat
rekonpensi tidak ada kesepakatan dalam hal pemeliharaan anak, maka
berdasarkan ketentuan pasal 41 huruf a UU No.1 Tahun 1974, maka
Pengadilan memberi putusan;
Menimbang, bahwa meskipun anak tersebut di bawah umur, tetapi
sejak semula masih dalam pemeliharaan penggugat rekonpensi dan pula
66
anak tersebut tumbuh dan berkembang sesuai dengan usianya serta tidak
terbukti ditelantarkan dan dihalang-halangi untuk tetap berhubungan
dengan ibunya, demi menjaga perkembangan jiwa dan kepentingan anak
sebagaimana ketentuan pasal 2 UU No.23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, maka hak asuh atau pemeliharaan anak tetap berada
di bawah pengasuhan penggugat rekonpensi selaku ayah kandungnya
dengan tidak mengurangi hak-hak tergugat rekonpensi selaku ibunya
untuk tetap menyalurkan kasih sayang terhadap anaknya;
Dalam Konpensi dan Rekonpensi,
Menimbang, bahwa dalam ketentuan pasal 89 ayat (1) UU No.7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diamandemen dengan UU
No.3 Tahun 2006 jo. PP No.53 Tahun 2008 tentang PNPB tanggal 23 Juli
2008, biaya perkara dibebankan kepada penggugat konpensi atau tergugat
rekonpensi;
4. Amar Putusan
Putusan Pengadilan, yakni produk pemikiran hukum yang dikeluarkan
oleh lembaga peradilan, yang putusannya mengikat bagi pihak yang
berperkara.7 Putusan sebagai produk peradilan, sangat erat kaitannya dengan
ijtihad dan fatwa. Dalam Islam, dalam kedua hal tersebut dianjurkan untuk
berijtihad (seseorang yang memenuhi persyaratan). Malah menurut Islam,
7 Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’, h.8.
67
bila seseorang berijtihad tapi hasilnya salah maka ia mendapat satu pahala
dan bila hasil ijtihadnya benar maka ia mendapat dua pahala, yakni satu
pahala ijtihad, satu pahala kebenaran yan didapat.8
Setiap surat gugatan terdapat petitum yang memuat pokok tuntutan
penggugat, karena itu dalam putusan, juga harus memuat amar putusan yang
memuat suatu pernyataan hukum, penetapan suatu hak, lenyap atau timbulnya
suatu keadaan hukum dan isi putusan yang disebut hukuman yang berupa
pembebanan suatu prestasi tertentu.9 Jawaban terhadap petitum daripada
gugatan adalah amar atau dictum. Ini berarti bahwa dictum merupakan
tanggapan terhadap petitum.10
Dalam perkara Nomor: 666/Pdt.G/2009/PAJB, Majelis Hakim
menjatuhkan putusan yang berbunyi:
Dalam Konpensi,
a. Mengabulkan gugatan penggugat konpensi dengan menjatuhkan thalak
satu bain sughra tergugat konpensi terhadap penggugat konpensi;
b. Menolak gugatan penggugat konpensi selain dan selebihnya;
Dalam Rekonpensi,
a. Menetapkan seorang anak berada dibawah pengasuhan dan pemeliharaan
8 A. Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: t.p., 2007), h.3.
9 Kamarusdiana dan Nahrowi, Hukum Acara Perdata, h.112
10
Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, h. 223
68
penggugat rekonpensi selaku ayah kandungnya dengan tidak mengurangi
hak-hak tergugat rekonpensi selaku ibunya untuk tetap menyalurkan kasih
sayang terhadap anaknya;
b. Menolak gugatan penggugat rekonpensi selain dan selebihnya;
Dalam Konpensi dan Rekonpensi,
Membebankan biaya perkara kepada penggugat konpensi.
Demikian diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim
pada hari Kamis tanggal 26 Novenber 2009 M bertepatan dengan tanggal 09
Dzulhijjah 1430 H, oleh Ketua Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Barat Dra. Ida Hamidah, M.A. serta Hakim-hakim anggota
H.Tb.A.Murtaqi,SY,S.H. dan H.M.Ali Syarifuddin, M,Lc.S.H. dalam sidang
terbuka untuk umum, serta dibantu oleh Patimah, S.Ag. sebagai Panitera
Pengganti dengan dihadiri penggugat dan tergugat serta kuasa hukumnya.
Hakim Humas Pengadilan Agama Jakarta Barat Drs.H.Muhyiddin,
S.H.,M.H. mengatakan bahwa “substansi pasal 105 huruf a KHI, pada hakikatnya
ialah bahwa anak yang masih di bawah 12 tahun adalah hak ibunya untuk
mengasuh. Implementasi untuk menentukan itu perlu pertimbangan, tidak semua
anak yang belum 12 tahun jatuh ke ibunya. Bagaimana jika ternyata ibunya
pemadat, pemabuk, pezina. Tidak demikian, maka harus jatuh kepada Ayahnya
dan ibu dalam kasus ini adalah sebagai penyanyi dangdut amatiran yang sering
keluar malam yang dikhawatirkan tidak mampu memelihara anaknya sehingga
dapat mempengaruhi akhlak dan perkembangan anak tersebut”.
69
Muhyiddin melanjutkan : “sebagaimana dijelaskan dalam kitab Fiqh as-
Sunnah jilid 2:
“Jika hak asuh ditentukan ke ibu, dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap
akhlak anak itu”11
Dan di dalam kitab Kifayatul Akhyar ada 7 item yang menjadi syarat seseorang
sebagai pengasuh anak (Hadhanah) yaitu: (1) Berakal, (2) Merdeka, (3)
Beragama, (4) Menjauhkan diri dari hal yang tidak baik, (5) Dapat dipercaya, (6)
Tidak bersuami, (7) Menetap/ bukan Musafir. Kalau ada satu syarat yang tidak
terpenuhi, maka gugurlah hak untuk mengasuh anak. Acuannya adalah
menjauhkan diri dari hal yang tidak baik, karena dikhawatirkan anak akan meniru
cara hidup orang tua yang mengasuhnya. Hal semacam ini tidak bisa masuk ke
ruh pasal 105 huruf a KHI sehingga Majelis Hakim memutuskan implementasi
hak Hadhanah kepada ayahnya”.
Pertimbangan Majelis Hakim dalam kasus ini ialah ayahnya bisa mencari
nafkah dan sejak semula anak tersebut masih dalam pemeliharaan ayahnya serta
anak tersebut tumbuh dan berkembang sesuai dengan usianya serta tidak terbukti
ditelantarkan dan dihalang-halangi untuk tetap berhubungan dengan ibunya, hal
ini semata-mata demi menjaga perkembangan jiwa, akhlak dan kepentingan anak.
11
Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, jil.II (Beirut: Dar al-Kitab al-‟Arabiyyah, 1981), h. 342.
70
C. Analisa
Dalam setiap perkara perdata yang terjadi adalah sebuah wujud antara
teori dan praktek harus dapat dilaksanakan sesuai dengan jalur hukum yang
berlaku di lingkungannya. Dalam hal ini Pengadilan ditunjuk sebagai penegak
keadilan bagi orang yang mencari keadilan. Bagi perkara orang Islam dalam hal
perdatanya seperti perceraian akibat perkawinan yang bermasalah, untuk itu
Majelis Hakim di Pengadilan diminta menjadi penegak atau bisa menjadi juru
damai (Hakamain) sekaligus penegasan hukum yang terjadi pada perkaranya
yang diajukan oleh para pihak tersebut, dengan harapan menemukan keadilan.
Mengamati kasus dalam putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat,
khususnya yang berkaitan dengan hak Hadhanah. Ada beberapa hal yang menarik
perhatian penulis untuk dianalisis yaitu ketika penggugat merasa haknya untuk
mengasuh anak, telah direbut oleh tergugat dengan membawa anak tersebut
kerumahnya dan penggugat juga merasa dihalang-halangi untuk bertemu dengan
anaknya. Penggugat berdalih anaknya masih kecil dan masih membutuhkan kasih
sayang dari ibu yang melahirkannya. Sedangkan tergugat membantah bahwa dia
tidak pernah menyulitkan penggugat untuk menemui anaknya. Mengenai anak
yang tinggal dirumahnya, tergugat berdalih bahwa ketika anak tersebut dalam
asuhan penggugat, penggugat selalu sibuk dengan pekerjaannya sebagai penyanyi
dangdut amatiran sehingga anak selalu diasuh oleh orang tuanya.
Jika benar penggugat adalah seorang ibu yang sibuk dengan pekerjaannya
sebagai penyanyi dangdut amatiran, maka berarti ia tidak mencukupi persyaratan
71
untuk menjadi seorang pengasuh atau tidak layak melakukan Hadhanah terhadap
anak. Pada umumnya penyanyi dangdut amatiran adalah pekerjaan yang sangat
erat kaitannya dengan dunia gemerlap malam dan rentan sekali dengan perilaku
yang menyimpang dari ajaran Islam. Jika si anak dibiarkan diasuh oleh ibunya,
maka dikhawatirkan akan mendekatkan anaknya dari hal yang tidak baik.
Dalam kitab Kifayatul Akhyar disebutkan, salah satu syarat yang harus
dipenuhi oleh seorang ibu sebagai pengasuh adalah menjauhkan anak dari hal
yang tidak baik. Relasinya dengan kasus ini adalah ibu tersebut bekerja dengan
pekerjaan yang menurut khalayak umum adalah pekerjaan yang kurang baik.
Tentunya akan menimbulkan hal yang tidak baik pula sehingga ibu yang seperti
ini, dirasa tidak bisa mengasuh anaknya sendiri.
Seseorang yang dapat menjaga akhlak anak juga menjadi faktor penting
dalam pengasuhan. Seorang ibu harus terjaga akhlaknya dari hal yang tidak baik
sebagai syarat dalam pengasuhan anak, jika tidak maka jatuh kepada orang yang
lebih dekat dengan anak tersebut. Sebagaimana Sayyid Sabiq “mengatakan jika
hak asuh ditentukan ke ibu, dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap akhlak
anak itu”.
Dalam kasus ini orang yang paling dekat dengan anak itu adalah ayahnya.
Ayah tersebut mengambil tindakan dengan membawa si anak ke tempat
tinggalnya. Tindakan seperti ini dirasa wajar, karena sang ayah merasa khawatir
jika si anak dibiarkan tinggal bersama ibunya.
72
Tergugat juga menuduh bahwa penggugat berselingkuh dengan laki-laki
lain. Jika hal ini benar adanya, maka ia tidak lagi dianggap layak dalam
mengasuh anak. Karena sifat seperti itu dikhawatirkan dapat menular kepada
anak yang sedang dalam perkembangan. Dalam mengasuh anak, memerlukan
contoh-contoh positif dari pengasuh. Oleh karena itu, dalam hal ini yang amat
dibutuhkan adalah pembuktian apakah tuduhan itu sungguh-sungguh
kebenarannya ataukah satu kepalsuan belaka.
Penilaian Majelis Hakim bukan pada alasan yang telah dikemukakan para
pihak. Majelis Hakim melihat bahwa apa yang dikemukakan oleh para pihak
tidak akan mengurangi hak mereka untuk melakukan Hadhanah. Hakim melihat
fakta yang terjadi bahwa anak yang sedang diasuh oleh tergugat tumbuh dan
berkembang sebagaimana layaknya seorang anak dan apa yang dituduhkan oleh
penggugat tidak terbukti kebenarannya.
Penulis mengerti bahwa Hakim dalam hal ini menetapkan hukum yang
sudah ada. Karena seorang anak tidak dapat dipaksakan untuk tinggal bersama
ibu atau ayahnya. Jika anak tersebut baik-baik saja di rumah ayahnya, maka tidak
boleh ada paksaan dari siapapun untuk memindahkan hak asuh anak tersebut
kepada ibunya begitu saja. Walaupun pada hakikatnya hal ini bertentangan
dengan pasal dalam KHI. Jika dipaksakan, maka ditakutkan akan menurunkan
mental dari si anak dan hal ini juga melanggar hukum lain tentang perlindungan
anak.
73
Seseorang tidak dapat dipaksa untuk melaksanakan atau tidak
melaksanakan haknya selama tindakannya itu tidak bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan haknya itu. Terserah kepada yang
berhak apakah ia akan melaksanakan atau tidak melaksanakan hak-haknya.
Pihak-pihak yang lain hanya dapat menganjurkan agar seseorang melaksanakan
atau tidak melaksanakan haknya. Apabila anjuran tersebut diterima, berarti yang
mempunyai hak telah menyetujuinya dan merelakan haknya. Demikian pula
halnya dalam Hadhanah, hak anak yang akan diasuh dan hak salah satu orang tua
yang akan mengasuh tidak dapat diabaikan. Implementasi hak Hadhanah hanya
dapat dilakukan setelah ada persetujuan dan kerelaan dari yang mempunyai hak.
Walaupun pada kenyataannya sebagian orang mempertahankan hak
Hadhanahnya hanya semata-mata ingin menang di Pengadilan dan ingin
menunjukkan egonya sebagai orang tua yang lebih pantas memelihara anaknya,
walaupun sampai menyewa advokat demi memenuhi hasrat egonya itu.
Pegangan utama Hakim adalah bagaimana memberi perlindungan kepada anak.
Menjaga mental anak lebih diutamakan ketimbang mencari siapa yang lebih
pantas mengurus mereka. Termasuk bagian hak seorang Hakim pada saat
perselisihan dalam pengasuhan anak, memilih orang yang lebih bermanfaat bagi
anak dan lebih mampu untuk berbuat baik dalam pendidikannya dan
melaksanakan tanggung jawabnya.
Meskipun Hakim memutuskan hak Hadhanah kepada ayah, bukan berarti
ibu tidak berhak mengasuhnya. Bagi yang kalah tetap tidak lepas dari tanggung
74
jawabnya sebagai orang tua yang mendidik dan menuntun anak ke jalan yang
benar. Hadhanah pada umumnya bukanlah hanya semata mengasuh dan
memelihara anak, kewajiban memberi pendidikan dan mengawasi perkembangan
anak, tetap menjadi tanggungjawab bersama sampai mereka dewasa.
Dalam putusan ini, nampaknya seorang Hakim lebih mendahulukan
kepentingan anak yang beban mental karena perceraian orang tuanya. Majelis
Hakim melihat, ibu dari anak tersebut tidak dapat menjaga amanah untuk
memelihara anaknya, disebabkan sibuk dalam pekerjaannya sebagai penyanyi
dangdut amatiran serta menyerahkan pemeliharaan kepada orang tuanya. Hal
tersebut juga demi menjaga akhlak anak yang dikhawatirkan akan meniru gaya
hidup ibunya dan ayah dari anak tersebut memiliki kemampuan dan kesanggupan
untuk memelihara dan memberikan rasa aman kepada anak yang menjadi korban
perceraian dengan membawa anak tersebut ke rumahnya dan tampaknya tidak
ada bukti yang menunjukan anak itu tidak betah di rumah ayahnya.
75
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah menguraikan mengenai pokok-pokok permasalahan yang
berkenaan dengan substansi pasal 105 huruf a KHI tentang Hadhanah serta
implementasinya dalam putusan di Pengadilan Agama Jakarta Barat. Penulis
memperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Substansi pasal 105 huruf a KHI, bahwa dalam hal terjadinya perceraian :
pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun
adalah hak ibunya. KHI menggunakan alasan kebiasaan dan kelaziman anak
berada dalam asuhan ibunya terutama yang masih di bawah umur 12 tahun.
Hal ini juga mempunyai kesamaan hukum dengan Fuqaha dalam memelihara
anak yang belum mumayyiz yaitu kepada ibunya. Fuqaha berbeda pendapat
tentang masa mumayyiz anak yang akan dipelihara tersebut. Ibu yang lebih
berhak melakukan Hadhanah adalah ibu yang memenuhi syarat sebagai
pengasuh. Jika tidak mencukupi syarat maka berpindah kepada urutan yang
lebih dekat untuk mengasuh anak tersebut.
2. Implementasi hak Hadhanah terhadap anak yang belum mumayyiz, timbul
ketika telah terjadi perceraian di antara kedua orang tuanya di Pengadilan
Agama dan mereka berselisih tentang siapa yang berhak memelihara anak
76
tersebut. Untuk menentukan implementasi hak Hadhanah, dapat dilihat dari
situasi dan kondisi anak serta orang tuanya:
a. Anak yang masih kecil dan menyusui. Hak Ibu lebih diprioritaskan untuk
melakukan Hadhanah. Dengan ketentuan ibu memenuhi syarat sebagai
pengasuh. Jika tidak maka jatuh kepada pihak lain yaitu ayahnya yang
juga harus memenuhi syarat sebagai pengasuh anak.
b. Anak yang sudah memasuki usia kanak-kanak maka hal ini dapat dilihat
dari keadaan orang tua mereka. Orang tua yang berhak melakukan
Hadhanah adalah yang memenuhi syarat sebagai pengasuh dan juga dapat
dengan melihat fakta hokum yang terjadi yaitu dengan bukti-bukti yang
menunjukan kemana si anak lebih condong di antara mereka.
Kemanapun jatuhnya hak asuh, anak tetap menjadi tanggung jawab
mereka berdua sampai anak dewasa dan dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya sendiri. Menjaga mental dan akhlak anak ketika diasuh oleh
salah satu di antara mereka juga lebih dikedepankan ketimbang mencari
siapa yang lebih pantas mengurus mereka.
3. Dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan No.666/Pdt.G/2009/PAJB
ini, yang memutuskan ayah sebagai pemegang hak Hadhanah anak yang
masih berusia 5 tahun (belum mumayyiz). Hakim tidak melihat kepada
alasan-alasan yang dikemukakan oleh para pihak. Pertimbangan hakim adalah
karena ayah dari anak tersebut masih dapat mencari nafkah dan memiliki
kemampuan dan kesanggupan untuk memelihara dan memberikan rasa aman
77
kepada anaknya yang menjadi korban perceraian. Hakim melihat fakta
hukum yang senyatanya bahwa anak tersebut sejak semula berada di rumah
ayahnya dan si anak tersebut tumbuh dan berkembang dengan baik sesuai
dengan usianya yang masih kecil. Tampaknya tidak ada bukti yang
menunjukan anak itu tidak betah di rumah ayahnya dan tidak terbukti pula
ditelantarkan dan dihalang-halangi untuk tetap berhubungan dengan ibunya.
Majelis Hakim juga tidak mengurangi hak-hak ibunya untuk tetap
menyalurkan kasih saying terhadap anaknya dan memerintahkan ayah agar
membebaskan ibunya untuk melihat/ mengajak dan membawa anak. Hai ini
demi kepentingan, perkembangan dan memberi perlindungan kepada anak.
B. Saran-saran
1. Meskipun telah terjadi perceraian antara ibu dan ayah, hak Hadhanah harus
disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dialami si anak apakah berat
kemana, tetapi jika umur si anak masih memerlukan asupan gizi berupa ASI
dari si Ibu hendaknya hak Hadhanah diberikan kepada si Ibu secara mutlak,
apabila si Ibu mengajukan haknya untuk mengasuh anak kandungnya.
2. Siapapun yang dimenangkan di Pengadilan untuk memelihara anak mereka,
janganlah semata-mata karena mengedepankan ego masing-masing. Tetapi
pikirkanlah mental anak, sebab ia mempunyai riwayat orang tua yang telah
bercerai karena keegoan keduanya.
3. Diharapkan masyarakat umum disosialisasikan pengetahuan mengenai
Hadhanah baik itu melalui buku maupun melalui ceramah, kuliah subuh, atau
78
diskusi dalam lembaga masyarakat yang ditausiyyahkan oleh ulama setempat.
Mengingat, begitu pentingnya menjaga mental anak yang menjalani
kehidupan yang diikuti dengan riwayat perceraian orang tuanya.
4. Diharapkan pemerintah tetap terus mengupdate Undang-Undang/ Peraturan
yang ada di negeri ini ke arah yang lebih baik, terutama menyangkut hak asuh
dan perlindungan anak.
5. Menetapkan hukum keluarga Islam sebagai kurikulum wajib dalam jenjang
pendidikan, baik dari Tsanawiyah, Aliyah maupun Universitas Islam. Karena
pada fitrahnya setiap orang pasti berkeluarga.
79
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur‟an al-Kariim
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet.V. Jakarta: Akademika
Pressindo 2007.
Ahmad, Amrullah. dkk. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional:
Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. Busthanul Arifin, S.H. Jakarta: Gema Insani
Press, 1996.
Ali, Mohammad Daud (ed.). Hukum Islam dan Peradilan Agama, cet.II. Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002.
______________. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009.
Ali, Zainudin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
______________. Metode Penelitian Hukum, cet.II. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Andrian, Dika dan Samino. “Website Resmi Pengadilan Agama Jakarta Barat”.
Artikel diakses pada 18 april 2011 dari
http://www.pajb.net/?halaman=modul/artikel_static.php&id=4
Aripin, Jaenal dan Lathif, Azharudin. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: UIN Press,
2006.
As‟ad, Aliy. Terjemah Fathul Mu’in, jil.III. Yogyakarta: Menara Kudus, 1979.
„Asqalani, al, al-Hafizh Ibnu Hajar. Bulughul Maram. Penerjemah Zaid Muhammad,
dkk. Jakarta: Pustaka al-Sunnah, 2007.
Bagha, al, Musthafa Daib. Matan Ghoyah Wattaqrib. Penerjemah Fuad Kauma.
Semarang: Toha Putra, 1993.
Bisri, Cik Hasan. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem
Hukum Nasional. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Daly, Peunoh. Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan dalam
Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam. Jakarta: Bulan Bintang,
1988.
80
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang : asy-Syifa, 2000).
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama.
Ilmu Fiqh, jil.II. Jakarta, Departemen Agama RI, 1984/1985.
______________. Instruksi Presiden R.I. Nomor I Tahun 1991: Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam Departemen Agama, 1997.
______________. Tanya Jawab Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1997.
Djalil, A. Basiq. Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum
Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama
Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama hingga Lahirnya Peradilan Syariat
Islam Aceh. Jakarta: Kencana, 2006.
______________. Peradilan Islam. Jakarta: t.p., 2007.
Ghozali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat, cet.III. Jakarta: Kencana, 2008.
“Hadhanah”. Dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk, ed., Ensiklopedi Hukum Islam,
vol.I.Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeva, 1997: h.37.
“Hadhanah” dalam Harun Nasution, dkk, ed., Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta:
Djambatan, 1992), h.269.
Halim, Abdul. Politik Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Ciputat Press, 2005.
Husaini, al, Taqiyuddin Abu Bakar. Kifayatul Akhyar, jil.II. Penerjemah Achmad
Zaidun dan A. Ma‟ruf Asrori. Surabaya: Bina Ilmu, 1997.
Indra, Hasbi. dkk. Potret Wanita Shalehah. Jakarta: Penamadani, 2004.
Jamal, al, Ibrahim Muhammad. Fiqh Wanita Islam. Penerjemah S. Ziyad
Abbas. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991.
Jarjawi, al, Ali Ahmad. Indahnya Syari’at Islam. Penerjemah Faisal Saleh, dkk.
Jakarta: Gema Insani Press, 2006.
Kamarusdiana dan Nahrowi. Hukum Acara Perdata. Jakarta: t.p., 2006.
81
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia, cet.I, ed.VII. Yogyakarta:
Liberty, 2006.
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Madzhab. Penerjemah Masykur
A.B., dkk. Jakarta: Lentera Basritama, 1996.
Muhammad, Abu „Isa. al-Jami’u al-Shahih wa huwa Sunan al-Tirmidzi, juz.III.
Beirut: Dar al-Fikr, 1974.
Mukhtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan
Bintang, 1974.
Nuruddin, Amiur dan Tarigan, Azhari Akmal. Hukum Perdata Islam di Indonesia
:Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No. 1 1974 sampai
KHI, cet.II. Jakarta: Kencana, 2004.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
Rasyidi, Lili. Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia.
Bandung: Alumni, 1982.
Rasyid, Sulaiman. Fiqh Islam: Hukum Fiqh Lengkap, cet.XXXIX. Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2006.
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, cet.III. Jakarta: Raja Grafido Persada,
1998.
Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid. Penerjemah Abu Usamah Fakhtur Rokhman.
Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Sabiq, al-Sayyid. Fiqh al-Sunnah, jil.II. Beirut: Dar al-Kitab al-‟Arabiyyah, 1981.
Sajastani, Abu Daud Sulaiman. Sunan Abu Daud. Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi,
1952.
Salim, Arskal. dkk. Mengungkap Sensitifitas Jender Hakim Agama: Sebuah
Dokumentasi Program. Jakarta: Puskumham, 2009.
Shah, Mohd Norman. "Pelaksanaan Sulh Dalam Penyelesaian Sengketa Hadhanah
(Studi Kasus di Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur,
Malaysia.” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
82
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
cet.XI dan VIII. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Sindi, al, Muhammad Abid. Musnad Syafi’i. Penerjemah Bahrun Abu Bakar,
cet.III. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2006.
Sopyan, Yayan. Metode Penelitian. Jakarta: t.p., 2009.
______________. Tarikh Tasyri’: Sejarah Pembentukan Hukum Islam. Depok:
Gramata Publising, 2010.
Suma, Muhammad Amin. Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan
Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004.
______________. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, ed.rev.II. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005.
______________. Kedudukan dan Peranan Hukum Islam di Negara Hukum
Indonesia. Jakarta: t.p., 2009.
Sutarmadi, Ahmad. Al-Imam al-Tirmidzi (Peranannya dalam Pengembangan Hadits
dan Fiqh). Jakarta: Logos, 1998.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, ed.I.,cet.III. Jakarta: Kencana,
2009.
Tihami, M.A. dan Sahrani, Sohari. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009.
Wawancara Pribadi dengan Muhyiddin. Jakarta. 25 April 2011.
Yanggo, Huzaemah Tahido. Pengantar Perbandingan Madzhab. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1997.
Zein, Satria Effendi M. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer
(Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyyah). Jakarta: Prenada
Media, 2004.
top related