implementasi pembayaran uang iwadh di pengadilan …€¦ · sebagaimana diatur dalam pma no. 02...
Post on 29-Oct-2020
7 Views
Preview:
TRANSCRIPT
IMPLEMENTASI PEMBAYARAN UANG IWADH
DI PENGADILAN AGAMA CIBINONG
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
OLEH :
ZULFIKAR AWALUDIN HELMI
NIM 1111044100052
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1436 H/2015 M
IMPLEMENTASI PEMBAYARAN UANG IWADH
DI PENGADILAN AGAMA CIBINONG
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Zulfikar Awaludin Helmi
Nim 1111044100052
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing
Drs. Wahyu Widiana, MA
NIP. 195209181978031003
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1436 H/2015 M
LEMBARAN PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta
Ciputat, Juni 2015
Zulfikar Awaludin Helmi
ABSTRAK
Zulfikar Awaludin Helmi. NIM (1111044100052) “Implementasi Pembayaran
Uang Iwadh di Pengadilan Agama Cibinong” Konsentrasi Peradilan Agama,
Program Study Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2015M/1436H, ix+68+38.
Khulu‟ merupakan suatu perceraian dimana seorang isteri membayar
sejumlah uang sebagai iwadh (penggangti) kepada suaminya. Iwadh merupakan
rukun yang harus ada apabila ingin melakukan khulu‟. Dalam hadist yang mengatur
tentang khulu‟ disebutkan bahwa iwadh ini diberikan kepada suami, namun
prakteknya di pengadilan agama tidak mesti di serahkan kepada suami. tujuan yang
ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1)Untuk mengetahui penerimaan dan
penyaluran uang iwadh di Pengadilan Agama Cibinong, 2)Untuk mengetahui
bagaimana pandangan hukum Islam mengenai implementasi pembayaran uang iwadh
tersebut. Dari penelitian ini penlis berfokus pada penerimaan dan penyaluran uang
iwadh di Pengadilan Agama Cibinong.
Penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan jenis penelitian normatif
empiris, dengan metode kualitatif dengan cara wawancara agar mendapatkan
informasi terkait penulisan skripsi ini. Sedangkan sumber datanya berasal dari
Pengadilan Agama Cibinong dan dokumen-dokumen yang lain tentang uang iwadh.
Analisis yang dipakai adalah analisis kualitatif dengan cara mendeskripsikan
dokumen atau berkas pelaporan uang iwadh yang didapat dari Pengadilan Agama
Cibinong dan menghubungkan dengan hasil wawancara terhadap hakim dalam
menerapkan pelaksanaan uang iwadh tersebut,sehingga dapat ditarik kesimpulan
untuk menjawab permasalahan. Penulis belum menemukan penelitian tentang uang
iwadh ini adapun penelitian-penellitian yang penulis temukan membahas tentang
khulu‟ tidak berfokus pada uang iwadh.
Temuan dari penelitian penulis bahwa implementasi penerimaan dan
penyaluran uang iwadh (tebusan) di Pengadilan Agama Cibinong tidak menyalahi
aturan yang berlaku. Dalam prakteknya uang iwadh tersebut tidak diberikan kepada
suami tetapi diberikan kepada Badan Kas Masjid Pusat untuk kepentingan ibadah
sosial yang besarannya Rp. 10.000. Sebagaimana diatur dalam PMA No. 02 tahun
tahun 1990 Pasal 11 jo Peraturan Menteri Agama No. 23 tahun 2007 Pasal 23 jo
KMA No. 441 tahun 2000.
Dalam hukum Islam tidak terjadi perbedaan pendapat mengenai penyerahan
uang iwadh tersebut diserahkan kepada selain suami, namun harus melalui suami
terlebih dahulu atau suami telah setuju diberikan kepada yang lain demi kepentingan
ibadah dengan alasan qawaid fiqhiyah:
همشروطالمسلمىن على
Karena uang iwadh di pengadilan agama dilakukan apabila adanya pelanggaran
taklik talak.
Kata kunci: khulu’, uang iwadh, Pengadilan Agama Cibinong
Pembimbing: Drs. H. Wahyu Widiana, MA
Tahun Daftar Pustaka: 1974-2015
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan nikmat sehat jasmani dan rohani sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan karya ilmiah ini. Sholawat serta salam tidak lupa juga penulis panjat
kepada junjungan baginda alam Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya,
kepada sahabatnya, serta kepada kita semua selaku umatnya semoga akan
mendapatkan syafaatnya di akhirat nanti.
Alhamdulillah, penulis telah menyelesaikan skripsi dengan judul
“Implementasi Pembayaran Uang Iwadh di Pengadilan Agama Cibinong” sebagai
syarat kelulusan untuk menerima gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Fakultas Syariah
dan Hukum di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari dalam penyelesaian penulisan skripsi ini banyak mendapat
bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu sudah sepatutnya penulis
mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada:
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, Dr. Asep Saepudin Jahar, MA.
2. Ketua Jurusan Prody Ahwal As-Sakhsiyah Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. H. Abdul Halim, M.Ag
Beserta Sekretaris Jurusan Prody Ahwal As-Sakhsiyah Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Arip Purqon, MA.
3. Drs. H. Wahyu Widiana, MA, selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan
waktunya untuk memberikan bimbingan, pengarahan serta petunjuk-petunjuk
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
vi
4. Afwan Faizin, MA, selaku dosen pembimbing akademik, yang telah meluangkan
waktunya untuk memberikan bimbingan dalam menentukan judul dan penulisan
proposal skripsi.
5. Kedua orang tua penulis ayah Safrudin Helmi, S.Pd.I dan ibu Yoyoh Istiharah.
Dan juga kepada kedua adik penulis yaitu Rizal Fahrudin dan Nazwa Hilmina
Putri, dan juga kepada bibi penulis Leli Budiawati S.Pd Serta keluarga yang
lainnya yang telah memotivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
6. Dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
HIdayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu serta pengarahan kepada
penulis sewaktu menempuh perkuliahan.
7. Penjaga perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum serta Perpustakaan Utama
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan pelayanan jepada
penulis dengan mengadakan referensi-refensi yang dibutuhkan dalam
menyeesaikan skripsi ini.
8. Kepada teman-teman Peradilan Agama angkatan 2011, khususnya kepada Didi
Nahtadi. Kepada sahabat KKN Chanvash 2014 khususnya yang terbentuk dalam
kelompok belajar Ratih Karina, Fadriani, Riski Abdul Basith. Kepada Keluarga
Besar Mahasiswa Peradilan Agama (KBPA). Kepada Pelatih serta teman-teman
dari Kelatnas Indonesia Perisai Diri. Kepada sahabat dan sahabati PMII
Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum (komfaksyahum). Kepada dulur-dulur
HIMABO (Himpunan Mahasiswa Bogor).
9. Juga kepada seluruh yang telah mencurahkan ide, fikiran, saran, bimbingan serta
motivasi kepada penulis tanpa pamrih, mohon maaf penulis tidak dapat
vii
menyebutkannya satu-persatu namun tidak mengurangi rasa hormat dan terima
kasih dari penulis.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT, penulis serahkan semoga pihak-
pihak yang telah membantu dalam penyusan skripsi ini dibalas segala
kebaikannya dengan berlipat ganda. Dan yang terakhir semoga skrip ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya, umunya bagi para pembaca. Untuk itu penulis
mengharapkan masukan atau kritikan yang membangun agar dapat memperbaiki
kekurangan-kekurangan dalam penulisan skripsi ini atau penulisan-penulisan yang
lain.
Ciputat, Juni 2015
Penulis
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.………………………..….……… 1
B. Identifikasi Masalah…….………………………….……… 7
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah….…………….......... 8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian……….………..…..…….. 9
E. Study Ilmu Terdahulu…………………...…………..……… 9
F. Metode Penelitian……………………………….….......... 11
G. Sistematika Penulisan………………………………. ……... 13
BAB II KHULU‟ DAN UANG IWADH
A. Pengertian Khulu‟ dan Uang Iwadh……………...………14
B. Dasar Hukum Khulu‟……………………………….……... 16
C. Tujuan dan Hikmah………………………………… ……... 19
D. Rukun dan Syarat ………………………………….. ……... 21
E. Akibat Khulu……………………….. …………………….. 27
BAB III CERAI GUGAT DI PENGADILAN AGAMA CIBINONG
A. Profil Pengadilan Agama Cibinong………………… ……... 30
B. Visi dan Misi………………………………………. ……... 32
C. Yurisdiksi…………………………………........................ 33
D. Struktur Pengadilan Agama Cibinong…………........……... 37
ix
E. Cerai Gugat di Pengadilan Agama Cibinong……... ……... 40
BAB IV PENERIMAAN DAN PENYALURAN UANG IWADH DI
PENGADILAN AGAMA CIBINONG
A. Penerimaan dan Penyaluran Uang Iwadh………… ……... 48
B. Pandangan Hukum Islam…………………………... ……... 61
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………. ……………………... 62
B. Saran-saran…………………………………….………….. 63
DAFTAR PUSTAKA…………………………...…………………. ……... 65
LAMPIRAN
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan suatu kebutuhan sosial sebagaimana seseorang
membutuhkan kepuasan rohani tidak hanya mengejar kepuasan jasmani saja.
Untuk itu melalui perkawinan kita dapat memenuhi kepuasan rohani kita. Karena
dengan adanya perkawinan itu persetubuhan yang diharamkan menjadi halal.
Perkawinan menurut bahasa ialah berkumpul, sedangkan menurut ahli
ushul ialah akad yang dengan akad ini menjadi halal hubungan kelamin antara
pria dan wanita. Dan menurut ulama fikih adalah akad yang diatur oleh agama
untuk memberikan hak kepemilikan pria dalam penggunaan faraj isteri.1 Hukum
asal suatu perkawinan adalah mubah, namun bisa berubah menjadi wajib, haram,
dan sunnah,2 adapun yang menyatakan hukumnya makruh.
3
Sudah kita ketahui di mana ada perkawinan mungkin ada perceraian,
adalah suatu hal yang mungkin terjadi. Karena dalam menjalani hidup pasti ada
cobaan, begitupun dalam perkawinan pasti ada cobaan-cobaan. Memang pada
dasarnya tujuan dari perkawinan itu adalah untuk menciptakan keluarga yang
sakinah, mawaddah, warahmah. Tetapi dalam menggapai tujuan itu kadang kala
terasa sulit, sehingga terjadilah perceraian.
1 Hosen, Ibrahim, Fiqh Perbandingan dalam Masalah Perkawinan, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2003), h. 115-116. 2 Sholeh, Asrorun Ni‟am, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta eLSAS,
2008), h. 6. 3 Muhammad, Syaikh bin Shalih al-„Utsaimin, Shahih Fiqih Wanita Menurut Al-Qur‟an dan
As-Sunnah. Penerjemah:Faisal Saleh, Yusuf Hamdani, (Jakarta: Akbar Media, 2010), h. 284.
2
Perceraian dalam bahasa Arabnya disebut “talak” yang artinya
lepasnya ikatan atau pembebasan4. Menurut istilah perceraian adalah melepas
tali perkawinan pada waktu sekarang atau pada waktu yang akan datang5.
Menurut istilah fiqih, thalaq disebut juga khulu‟, artinya melepaskan dan
menghilangkan,6 atau membuka sesuatu jika yang minta cerai itu pihak isteri.
Perceraian merupakan suatu yang dapat memutuskan pernikahan. Jadi dengan
perceraian itu status suami isteri yang mereka dapat melalui perkawinan tidak
lagi didapatkan.
Khulu‟ adalah suatu perceraian di mana seorang isteri membayar
sejumlah uang sebagai iwadh (penggangti) kepada suaminya. Inipun masih
tergantung pada kesediaan suami untuk menerima iwadh, karena tanpa
persetujuannya tidak akan terjadi khulu‟.7
Sebagaimana dalam Hadist yang menceritakan bahwa isteri Tsabit bin
Qais datang menemui Rasululah SAW, dan ia mengemukakan alasannya untuk
bercerai, maka Rasulullah bertanya apakah engkau bersedia mengembalikkan
apa yang telah ia berikan, kemudian ia menjawab “ya”, dan Rasulullah
memerintahkan Tsabit bin Qais untuk menerimanya dan menceraikannya.8
4 Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam 9. Penerjemah Abdul Hayyie Al-Kattani (Jakarta: Gema
Insani, 2011), h. 318. 5 Sopyan, yayan, Islam Negara, (Jakarta: PT. Semesta Rakyat Merdeka, 2012), h. 173.
6 Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam 9. Penerjemah Abdul Hayyie Al-Kattani (Jakarta: Gema
Insani, 2011), h. 418. 7 Ahmad, Zaini Noeh, Peradilan Agama Islam di Indonesia, (Jakarta PT Intermasa, 1979), h.
210. 8Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Hadis No. 1000, Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, (Kairo: Dar-el
hadith, 1423H).
3
Adapun Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Perkawinan ialah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa9. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
disebutkan bahwa perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan yaitu
akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliidzan untuk mentaati perintah Allah
dan melaksanakannya merupakan ibadah10
.
Selain itu untuk melakukan perkawinan harus terpenuhi rukun dan syarat
perkawinan, sebagaimana dalam KHI Pasal 14 mengatur tentang rukun
perkawinan11
, sedangkan syarat perkawinan itu sendiri diatur dalam Bab II UU
No. 1 Tahun 1974.12
Sedangkan talak dalam KHI adalah ikrar suami di hadapan sidang
pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Talak
terbagi menjadi talak raj‟i, dan talak ba‟in. Talak raj‟i adalah talak satu atau dua
dan boleh rujuk selama masih dalam masa iddah. Sedangkan talak bain itu terbagi
dua, yaitu talak bain sughra dan kubra13
. Talak bain sughra yaitu talak yang
berupa talak satu atau dua dan tidak dapat rujuk tetapi dapat menikah kembali
dengan akad yang baru, dan talak bain kubra adalah talak yang dijatuhkan ketiga
9 Subekti, R. S. Tjitrosudibio, R. KUHPer dengan tambahan UUPA dan Undang-undang
Perkawinan. ,(Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2013), h. 537. 10
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam. (Jakarta: Akademika Presindo, 2010), h. 144. 11
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam. (Jakarta: Akademika Presindo, 2010), h. 116. 12
Subekti, R. S. Tjitrosudibio, R. KUHPer dengan tambahan UUPA dan Undang-undang
Perkawinan. (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2013), h. 539. 13
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam. (Jakarta: Akademika Presindo, 2010), h. 141.
4
kalinya.14
Pada talak bain sughra yang mengajukan perceraian ialah dari pihak
isteri yang diajukan ke pengadilan yang kemudian apabila gugatannya diterima
maka hakim akan memutus perceraian tersebut dan memerintahkan suami untuk
menjatuhkan talak ataupun dapat juga pihak isteri harus menyerahkan uang
tebusan (iwadh) agar suami dapat menceraikannya, dalam Islam lebih dikenal
khulu‟. Dalam talak bain sughra suami isteri tidak dapat rujuk selama dalam masa
iddah, tetapi apabila mereka ingin kembali harus dengan akad yang baru,
sedangkan dalam talak bain kubra suami isteri tidak dapat rujuk selama dalam
masa iddah dan juga tidak boleh menikah dengan akad yang baru sampai si isteri
itu menikah lagi dengan laki-laki lain dan bercerai, setelah masa iddah dengan
laki-laki itu habis maka isteri boleh dinikahi kembali dengan suami pertamanya
dengan akad yang baru.
Oleh Karena itu khulu‟ adalah perceraian yang terjadi dalam bentuk
mengurangi jumlah talak dan tidak dapat dirujuk,15
Hal ini berdasarkan KHI Pasal
161. Jika seorang isteri tidak mempunyai sesuatu apapun yang dapat digunakan
untuk menebus dirinya, atau ia memiliki sesuatu tetapi suami tidak mau
menerimanya dan ingin mempertahankannya sebagai isteri, sedangkan masih
melakukan penganiayaan, dalam masalah ini Islam telah membentangkan jalan
bagi isteri untuk mengadukan kasus tersebut kepada hakim, dan megajukan
masalah tersebut dengan jelas dan lengkap dengan bukti-bukti yang ada.16
14
Ramulyo, M. Idris, Tinjauan Beberapa Pasal UU No. 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum
Perkawinan Islam. (Jakarta: Ind-Hillco 1990), h. 80-81. 15
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 78. 16
Djaelani, Abdul Qadir, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT Bina Ilmu,1995), h.327.
5
Berkenaan dengan cerai gugat, gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau
kuasanya kepada pengadilan agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat
tinggal penggugat. Hak untuk memohon memutuskan ikatan perkawinan ini
dalam hukum Islam di sebut khulu‟, yaitu perceraian atas keinginan isteri tetapi
suami tidak menghendaki. Tentunya dalam mengajukan gugatan itu setidaknya
harus terpenuhi satu alasan-alasan perceraian17
sebagaimana tercantum dalam
Undang-Undang Perkawinan atau Peraturan Pemerintah atau Kompilasi Hukum
Islam.
Perceraian dengan jalan khulu‟ di pengadilan agama harus disertai adanya
alasan perceraian atau pelanggaran taklik talak dari pihak suami. Adapun yang
dimaksud taklik talak berarti “penggantungan talak”. Taklik talak menurut
pengertian di Indonesia ialah semacam ikrar yang dengan ikrar itu suami
menggantungkan terjadinya suatu talak atas isterinya apabila ternyata dikemudian
hari melanggar salah satu atau semua yang telah diikrarkannya.18
Bagi masyarakat Indonesia telah tersedia seperangkat hukum positif yang mengatur
perceraian19
, baik itu yang di lakukan oleh suami atau isteri yang di ajukan ke
pengadilan. Dan mengenai uang iwadh dalam KHI di terangkan dalam Pasal 14820
,
yaitu:
17
Nuruddin, Amiur, dan Tarigan, Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1 tahun 1974 Sampai KHI), (Jakarta: Prenada
Media 2004), h. 232-233. 18
Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000), h. 246. 19
Farida, Anik, Perempuan dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di Berbagai
Komunitas dan Adat, Departemen Agama RI Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta
2007,h. 26. 20
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam. (Jakarta: Akademika Presindo, 2010), h. 148.
6
1. Seorang isteri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khuluk‟,
menyanpaikan permohonannya kepada pengadilan agama yang mewilayahi
tempat tinggalnya disertai alasan atau alasan-alasannya.
2. Pengadilan agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil isteri dan
suaminya untuk didengar keterangannya masing-masing.
3. Dalam persidangan tersebut pengadilan agama memberikan penjelasan
tentang akibat khulu‟, dan memberikan nasehat-nasehatnya.
4. Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadh atau tebusan,
maka pengadilan agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami
untuk mengikrarkan talaknya di depan sidang pengadilan agama. Terhadap
penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi.
5. Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam pasal
131 ayat (5).
6. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya iwadh atau tebusan
pengadilan agama memeriksa dan memutusk sebagai perkara biasa.
Besarnya uang iwadh diatur dalam Keputusan Menteri Agama No. 441
tahun 2000 yang besarnya adalah Rp. 10.000,00.21
Namun di Indonesia ini kita
ketahui perceraian itu harus dilakukan di depan pengadilan, maka perceraian yang
diajukan oleh isteripun harus diputus di depan pengadilan begitupun dengan
adanya tebusan (uang iwadh) itu diserahkan melalui pengadilan tidak langsung
kepada suami. Beranjak dari sini maka penulis akan mengangkat permasalahan
21
Keputusan Menteri Agama No. 441 tahun 2000
7
tersebut dalam penulisan skripsi dengan judul “IMPLEMENTASI
PEMBAYARAN UANG IWADH DI PENGADILAN AGAMA CIBINONG”.
B. Identifikasi Masalah
Sebagaimana telah dipaparkan dalam latar belakang di atas maka
muncullah permasalahan-permasalahn yang telah ada sebelumnya atau bahkan
permasalahan yang baru setelah adanya penelitian-penelitian. Untuk itu dari latar
belakang di atas dapat di jabarkan beberapa identifikasi masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana implementasi pembayaran uang iwadh di Pengadilan Agama
Cibinong ?
2. Bagaimana pendapat hakim mengenai implementasi pembayaran uang iwadh
tersebut ?
3. Siapa saja yang berhak menerima uang iwadh tersebut ?
4. Apakah ada kesepakatan dalam penentuan besarnya uang iwadh tersebut ?
5. Bagaimana persamaan hak-hak suami isteri dalam perkawinan mengenai
pembayaran uang iwadh tersebut ?
6. Bagaimana pandangan hukum Islam mengenai implementasi pembayaran
uang iwadh dalam cerai gugat di Pengadilan Agama ?
C. Pembatasan dan Perumusah Masalah
1. Pembatasan Masalah
Sebagaimana telah dipaparkan dalam latar belakang dan identifikasi
masalah di atas dan untuk mempertajam pembahasan, maka penulis
membatasi masalah tentang uang iwadh untuk mengetahui bagimana
iplementasi dan pandangan hukum Islam mengenai pembayaran uang iwadh
8
tersebut di Pengadilan Agama Cibinong dalam periode tahun kemarin antara
tahun 2012-2015.
2. Perumusan Masalah
Di Indonesia perceraian itu harus dilakukan di pengadilan dan suami
atau isteri berhak mengajukan perceraian tersebut tentunya dengan alasan-
alasan yang di atur dalam KHI Pasal 11622
jo PP No. 09 tahun 197523
agar
pemohonan atau gugatan yang diajukan dapat di terima. Namun peraturan di
Indonesia tidak mengatur secara rinci mengenai uang iwadh, padahal dalam
kasus di Indonesia cerai yang dilakukan oleh pihak isteri semakin banyak
yang akan menimbulkan adanya uang iwadh sebagai tebusan. Uang iwadh
tersebut hanya diatur mengenai jumlahnya tidak kepada siapa uang iwadh itu
berhak diberikan. Tetapi dalam hadist sudah di jelaskan bahwa uang iwadh
diserahkan kepada suami tetapi pada praktiknya di pengadilan tidak
sepenuhnya dilakukan sebagaimana dalam hadist tersebut. Untuk itu yang
menjadi perumusan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah:
a. Bagaimana implementasi pembayaran uang iwadh dalam cerai gugat di
Pengadilan Agama Cibinong ?
b. Bagaimana pandangan hukum Islam mengenai implementasi pembayaran
uang iwadh dalam cerai gugat di Pengadilan Agama Cibinong ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan yang ingin di capai dalam penelitian ini adalah:
22
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam. (Jakarta: Akademika Presindo, 2010), h. 141. 23
PP No. 09 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan
9
1. Untuk mengetahui penerimaan dan penyaluran uang iwadh di Pengadilan
Agama Cininong
2. Untuk mengetahui bagaimana pandangan hukum Islam mengenai
implementasi pembayaran uang iwadh tersebut.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Dapat mengetaui bagaimana penerimaan dan penyaluran uang iwadh di
Pengadilan Agama.
2. Dapat menambah keilmuan dalam bidang perkawinan khusunya dalam
praktik uang iwadh.
E. Study Ilmu Terdahulu
Setahu penulis belum ada penelitian yang membahas secara khusus
tentang uang iwadh, namun karena uang iwadh bertalian dengan khulu‟, maka
penulis membandingkannya dengan penelitian mengenai khulu‟ tersebut, dari
sini penulis akan mengemukakan perbedaan-perbedaan dari apa yang akan
penulis tulis:
No. Nama/Judul/Universitas/Tahun Substansi Perbedaan
1 Erni Purwaningsih “Psikopat
sebagai alasan khulu (analisis
putusan perkara no.
23/Pdt.G/2011/PA.JB) UIN
Jakarta 2013
Apakah psikopat
dapat dijadikan
sebagai alasan
khulu dan
bagaimana
pendapat hakim
Lebih membahas
mengenai
pembayaran uang
iwadhnya sebagai
syarat untuk
melakukan khulu
10
mengenai
puutusan tersebut
(cerai gugat)
2 Ma‟mun “konsekuensi khulu
sebagai solusi konflik dalam
perkawinan” (analisis putusan
perkara no.
50/Pdt.G/2008/PA.TNG) UIN
Jakarta 2010
Apakah
konsekuensi
khulu sebagai
solusi konflik
dalam
perkawinan dan
bagaimana
pendapat hakim
mengenai
putusan tersebut
Bagaimana uang
iwadh tersebut
apakah harus
diberikan kepada
suami atau boleh
kepada selain
suami (baitul
mal)
Dari hasil penelitian-penelitian diatas sudah jelas terlihat perbedaannya
dengan penelitian yang akan penulis lakukan. Penelitian di atas dilakukan untuk
mengetahui apakah psikopat dapat dijadikan alasan khulu‟ serta konsekuensi
khulu‟ sebagai solusi konflik dalam perkawinan dengan analisis putusan, jadi
dapat kita ketahui dari penelitian diatas lebih focus pada konteks khulu‟ dan
putusan. Berbeda dengan penulis yang berfokus pada implementasi pembayaran
uang iwadh pada saat cerai gugat atau khulu‟.
F. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode sebagai berikut :
1. Jenis penelitian
11
a. Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah jenis normatif empiris
dengan pendekatan kualitatif dengan cara wawancara agar mendapatkan
informasi terkait penulisan skripsi ini.
2. Sumber data dan proses pengumpulan data
a. Data primer
Data primer adalah yang berbentuk dokumen atau berkas yang berisi
laporan pembayaran uang iwadh yang didapat dari Pengadilan Agama
Cibinong dan hasil wawancara terhadap hakim Pengadilan Agama
Cibinong.
b. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen-dokumen
lain di Pengadilan, buku-buku, jurnal, internet dan beberapa penelitian
yang berhubungan dengan uang iwadh.
c. Alat pengumpul data
Alat pengumpul data diperoleh dari:
1. Wawancara dengan hakim mengenai implementasi pembayaran
uang iwadh tersebut.
2. Dokumentasi berupa berkas-berkas atau dokumen-dokumen
tetang pelaporan uang iwadh atau yang lainnya yang di dapatkan
dari Pengadilan Agama Cibinong.
d. Analisa data
Analisa data penulisan skripsi ini dilakukan dengan analisa kualitatif
yaitu dengan mendeskripsikan dokumen atau berkas pelaporan uang iwadh
12
yang di dapat dari Pengadilan Agama Cibinong dan menghubungkan
dengan hasil wawancara terhadap hakim dalam menerapkan pelaksanaan
uang iwadh tersebut,sehingga dapat ditarik kesimpulan untuk menjawab
permasalahan.
G. Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan. Dengan memuat diantaranya: Latar Belakang, Identifikasi
Masalah, Pembatasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian, Study Ilmu Terdahulu, Metode Penilitian, dan Sistematika
Penulisan.
BAB II Khulu‟ dan Uang Iwadh. Akan membahas tentang: Pengertian Khulu‟
dan Uang iwadh, Dasar Hukum, Tujuan dan Hikmah, Rukun dan
Syarat, Akibat Khulu‟.
BAB III Cerai Gugat di Pengadilan Agama Cibinong: Akan membahas tentang:
Profil Pengadilan Agama Cibinong, Visi dan Misi, Yurisdiksi,
Struktur Organisasi, Cerai gugat di Pengadilan Agama Cibinong.
BAB IV Penerimaan dan Penyaluran Uang Iwadh di Pengadilan Agama
Cibinong: Akan membahas tentang Penerimaan dan Penyaluran Uang
Iwadh di Pengadilan Agama Cibinong, Pandangan Hukum Islam.
BAB V Penutup: Berisi Kesimpulan dan Saran.
13
BAB II
KHULU’ DAN UANG IWADH
A. Pengertian Khulu’ dan Uang Iwadh
Khulu‟ secara harfiyah berarti “lepas” atau “copot”.24
Kalimat khulu‟
bermakna pemberian ganti rugi oleh seorang wanita atas talak yang
diperolehnya. Khulu‟ ialah pemberian seorang isteri kepada suami atas semua
harta yang pernah diberikan suami kepadanya.25
Sedangkan secara istilah khulu‟
adalah terjadinya perpisahan hubungan suami-isteri atas keridhaan kedua belah
pihak dengan konpensasi (tebusan) yang diberikan isteri kepada suami.26
Khulu‟ bukanlah talak dalam arti yang khusus atau fasakh atau semacam
sumpah, tetapi khulu‟ adalah semacam perceraian yang mempunyai unsur-unsur
talak, fasakh dan sumpah. Khulu‟ dikatakan mempunyai unsur talak karena
suamilah yang menentukan jatuh atau tidak khulu‟ tersebut. Isteri hanyalah
orang yang mengajukan permohonan kepada suaminya agar mengkhuluknya.
Sedangkan unsur fasakh dalam khulu‟ adalah sama halnya dengan fasakh maka
permohonan khulu dari pihak isteri kepada suami adalah disebabkan timbulnya
rasa kurang senang, tidak suka atau benci sehingga isteri menginginkan
perceraian dengan suaminya. Shigat khulu‟ mengandung pengertian
24
Syarifudin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqih,( Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 131. 25
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid Buku II Jilid 3 & 4.
Penerjemah:Abdul Rasyad Shidiq, (Jakarta: Akbar Media, 2013), h. 161. 26
Kamal, Abu Malik bin Salim, As-Sayyid, Shahih Fiqh Sunnah. Penerjemah: Khairul Amru
Harahap, Faisal Shaleh,( Jakarta: Pustaka Azzam 2009), h. 539.
14
“penggantungan” dan ganti rugi oleh pihak isteri dengan membayar
iwadh yang telah disepakati jumlahnya.27
Keuntungan khulu‟ tidak tergantung pada adanya ta‟lik atau syarat-syarat
lain menurut fiqih, tetapi ruginya harus membayar tebusan. Inipun masih
tergantung pada kesediaan suami untuk menerima iwadh itu, karena tanpa
persetujuannya tidak akan terjadinya khulu‟. Khulu‟ ini berasal dari kebiasaan
masyarakat Arab sebelum Islam, yang semula merupakan pengembalian
maskawin atau pemberian-pemberian sewaktu bercerai.28
Dari beberapa pemaparan diatas dapat penulis simpulkan bahwa khulu‟
adalah suatu hak seorang isteri yang dapat mengajukan gugatan cerai kepada
suaminya dengan disertai tebusan (uang iwadh) yang telah disepakati.
Khulu‟ tidak dapat lepas dari iwadh atau tebusan, Tebusan (iwadh)
adalah apa yang diambil oleh suami dari isterinya sebagai imbalan pelulusan
gugatan cerainya.29
Iwadh merupakan ciri khas dari khulu‟, Selama iwadh belum
diberikan oleh pihak isteri kepada suami, maka selama itu pula tergantungnya
perceraian. Setelah iwadh diserahkan oleh pihak isteri kepada pihak suami
barulah terjadi perceraian.30
27
Muchtar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), h. 182-183. 28
S. Lev, Daniel, Islamic Courts In Indonesia.Penerjemah: Zaini Ahmad Noeh, (Jakarta: PT
Inetrmasa, 1986), h. 210. 29
Kamal, Abu Malik bin Salim, As-Sayyid, Shahih Fiqh Sunnah. Penerjemah: Khairul Amru
Harahap, Faisal Shaleh,( Jakarta: Pustaka Azzam 2009),h. 556. 30
Muchtar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), h. 171
15
Iwadh atau tebusan harus mempunyai nilai, dan jumlahnya boleh sama,
kurang atau lebih dari mahar. Segala sesuatu yang dapat dijadikan mahar dapat
dijadikan iwadh atau tebusan.31
B. Dasar Hukum Khulu’
Khulu‟ itu perceraian dengan kehendak isteri. Hukumnya boleh atau
mubah.32
Dasar dari kebolehannya dari Al-Qur‟an adalah firman Allah dalam
surat Al-Baqarah ayat 299:
229. Talak (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi
kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka,
kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum
Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim. (Q.S. al-
Baqarah:299).33
Adapun dasar dari As-Sunnah adalah hadist dari Ibnu Abbas, yaitu:
31
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fikih Lima Mazhab: Ja‟fari, Hanafi, Maliki, Syafi‟I, dan
Hambali. Penerjemah:Masykur A.B, dkk, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 1999), h. 457. 32
Syarifudin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqih,( Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 131. 33
Al-Qur‟an
16
ل الله، ثابت بن قيس عن ابن عباس أن امرأة تابت بن قيس أتت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: يارسى
فرفي الاءسلام. فقال رسىل الله صلى لله عليه وسلم: أتردين ماأعتب عليه في خلق ولادين، ولكني أكره الك
عليه حديقة وطلقها تطليقة.
Hadist yang menceritakan bahwa isteri Tsabit bin Qais datang menemui
Rasululah SAW, dan ia mengemukakan alasannya untuk bercerai, maka
Rasulullah bertanya apakah engkau bersedia mengembalikkan apa yang telah ia
berikan, kemudian ia menjawab “ya”, dan Rasulullah memerintahkan Tsabit
bin Qais untuk menerimanya dan menceraikannya.34
Khulu‟ yang terdapat dalam Al-Qur‟an dan As-Sunnah diatas yaitu
seorang wanita yang membenci suaminya dan meminta cerai. Lalu dia
mengembalikan mahar atau sebagainya sebagai tebusan atas dirinya, seperti
uang tebusan atas tawanan.35
Hadist diatas memberi petunjuk mengenai
beberapa hal yang harus diperhaitikan jika ingin melakukan khulu‟ oleh isteri.
Hadist ini telah jelas meletakkan isteri sebagai subjek hukum yang mempunyai
kewenangan memberi ketentuan. Melalui hadist ini Rasulullah menghargai
inisiatif dengan segala pertanggung jawaban dan pertimbangan yang jika
diperhatikan lebih lanjut ada persesuaian dengan ajaran yang diajarkan Tuhan
kepada beliau melalui ayat 28 surat Al-Ahzab36
34
Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Hadis No. 1094, Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Pustaka
al-Hidayah. 35
Taimiyah, Ibnu, Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah. Penerjemah:Abu Fahmi Huaidi dan
Syamsuri An-Naba, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), h. 245. 36
Kuzari, Ahmad, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 1995), h. 122-123.
17
28. Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian
mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, Maka Marilah supaya
kuberikan kepadamu mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.
Adapun dasar pemberian iwadh adalah bahwa isteri waktu akad nikah
telah rela menjadi isteri dari suaminya dengan kesediaan menerima mahar sesuai
dengan jumlah yang telah disepakati. Karena isteri minta di khulu‟ maka isteri
harus mengembalikan sebagian atau seluruh apa yang telah diterima dari
suaminya itu.37
Seperti halnya maskawin merupakan pengekangan bagi pihak
yang menghendaki perceraian jika yang menghendaki perceraian pihak suami
maka isteri berhak mengambil maskawin, tetapi jika yang menghendaki itu
pihak isteri, maka suami berhak mengambil kembali maskawin itu.38
Para ulama telah sepakat, kecuali Abu Bakar bin Abdullah Al-Muzanniy
yang berpendapat bahwa tidak bolehnya khulu‟, bahkan bila dilakukan maka
yang berlangsung adalah talak bukan khulu‟. Alasannya karena khulu‟ yang pada
hakikatnya si suami mengambil kembali mahar yang telah dikembalikannya
kepada isterinya dalam bentuk iwadh pada ayat tersebut telah di nasakh oleh
ayat 20 surat an-Nisa39
, yaitu:
20. Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain,
sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang
37
Muchtar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), h. 182-183. 38
Rusdiana, Kama, dan Aripin, Jaenal, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta
Press 2007), h. 29-30. 39
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikih Munakahat dan
Undang-Undang, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2009), h. 233.
18
banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang
sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan
yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?.40
Sedangkan Ibnu Sirin dan Abi Qalabah mengatakan bahwa tidak boleh
khulu‟ kecuali bila jelas si isteri telah hamil dalam arti dia sudah membuat suatu
perbuatan keji41
, sebagaimana dalam surat an-Nisa yat 19:
19. .janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil
kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila
mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata.42
C. Tujuan dan Hikmah
Tujuan dibolehkannya khulu‟ adalah untuk menghindarkan isteri dari
kesulitan dan kemudharatan yang dirasakannya bila perkawinan dilanjutkan
tanpa merugikan pihak si suami karena ia sudah mendapat iwadh dari isterinya
atas permintaan cerai dari isterinya itu. Sedangkan hikmahnya adalah
tampaknya keadilan Allah sehubungan dengan hubungan suami isteri. Bila
suami berhak melepaskan diri dari hubungan dengan isterinya menggunakan
cara talak, isteri juga mempunyai hak dan kesempatan bercerai dari suaminya
dengan menggunakna cara khulu‟. Hal ini didasarkan pandangan fiqih bahwa
40
Al-Qur‟an 41
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikih Munakahat dan
Undang-Undang, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2009), h. 233. 42
Al-Qur‟an
19
perceraian itu adalah hak mutlak seorang suami yang tidak dimiliki oleh
isterinya, kecuali dengan cara lain.43
Khulu‟ disyariatkan sebagai kebijakan preventif guna menghindari
tindakan pelanggaran ketentuan hukum-hukum Allah bagi suami-isteri, berupa
kewajiban saling menggauli dengan baik, melaksanakan hak dan kewajiban
masing-masing terhadap pasangannya, disertai penegasan serupa pada hak-hak
dan kewajiban melaksanakan apa yang dituntut oleh kepemimpinan laki-laki
(suami) atas perempuan (isteri), beserta konsekuensi yang mengharuskan isteri
untuk mengurus urusan rumah, merawat dan mengasuh anak, serta tidak
mempersulit suami (dengan segala macam beban dan tuntutan).44
Dengan demikian khulu‟ disyariatkan untuk menghilangkan dharar
(bahya/ketidaknyamanan) dari isteri ketika harus mempertahankan hubungan
perkawinannya dengan suami, sementara ia membencinya. Kemudian pada
tingkatan selanjutnya khulu‟ memberikan maslahat bagi suami dan upaya
menghilangkan dharar darinya.45
D. Rukun dan Syarat
Khulu‟ adalah suatu penghentian perkawinan dengan izin dan atas
keinginan isteri yang dalam hal itu setuju untuk memberikan ganti rugi kepada
43
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikih Munakahat dan
Undang-Undang, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2009), h. 234. 44
Kamal, Abu Malik bin Salim, As-Sayyid, Shahih Fiqh Sunnah. Penerjemah: Khairul Amru
Harahap, Faisal Shaleh,( Jakarta: Pustaka Azzam 2009), h. 540. 45
Kamal, Abu Malik bin Salim, As-Sayyid, Shahih Fiqh Sunnah. Penerjemah: Khairul Amru
Harahap, Faisal Shaleh,( Jakarta: Pustaka Azzam 2009), h. 540.
20
suami untuk pembebasannya dari ikatan perkawinan.46
Dari pengertian itu dapat
disimpulkan yang menjadi rukun dalam khulu‟ adalah:
1. Isteri yang meminta cerai dengan jalam khulu‟
2. Suami yang bersedia menceraikan Isterinya dengan jalam khulu‟
3. Adanya tebusan (uang iwadh) yang disepakati antara suami dan isteri
4. Adanya sighat khulu‟.47
Dari unsur-unsur di atas terdapat beberapa syarat diantaranya:
1. Isteri yang meminta cerai
Seseorang bisa disebut penggugat cerai jika memenuhi syarat-syarat
berikut:
a. Berstatus sebagai isteri yang sah
Sebab tujuan khulu‟ adalah melepaskan diri dari ikatan perkawinan,
dan ikatan ini dijalin dalam sebuah akad perkawinan yang sah dan
menjadikan isteri yang sah.48
Para ahli fiqh sepakat bahwa isteri yang dapat dikhulu‟ adalah istri
yang mukallaf dan telah terikat dengan akad perkawinan yang sah
dengan suaminya. Adapaun isteri-isteri yang tidak atau belum mukallaf
46
Mahmudunnasir, Syekh, Islam Konsepsi dan Sejarahnya. Penerjemah:Adang Afandi,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), h. 430-431. 47
Kamal, Abu Malik bin Salim, As-Sayyid, Shahih Fiqh Sunnah. Penerjemah: Khairul Amru
Harahap, Faisal Shaleh,( Jakarta: Pustaka Azzam 2009), h. 540 48
Kamal, Abu Malik bin Salim, As-Sayyid, Shahih Fiqh Sunnah. Penerjemah: Khairul Amru
Harahap, Faisal Shaleh,( Jakarta: Pustaka Azzam 2009),h. 551
21
yang berhak mengajukan permintaan khulu‟ kepada pihak suami ialah
walinya.49
Isteri yang sedang menjalani iddah talak raj‟i dengan isteri yang
sedang menjalani iddah talak ba‟in. Status isteri yang berada dalam talak
raj‟i masih sama ststusnya dengan isteri dalam rumah tangga normal
karena talak raj‟i tidak menghilangkan kehalalan dan kepemilikan,
sehingga masih berhak mengajukkan gugatan cerai dengan membayar
kompensasi atas keterlepasan dari ikatan suami isteri.50
Sementara isteri yang dalam masa iddah talak ba‟in tidak memiliki
hak cerai gugat, karena suami sudah tidak memiliki otoritas apa-apa
lagi terhadapnya. Ini adalah pendapat kalangan mazhab Syafi‟i dan
Hambali. Sedangkan kalangan mazhab Hanafi dan Maliki menyatakan
bahwa seorang isteri yang sedang dalam iddah talak ba‟in tetap sah
melakukan gugat cerai, namun ia tidak harus membayar kompensasi,
sebab tujuan pemberian kompensasi adalah untuk memperoleh
pembebasan tunai sementara hal itu sudah diperolehnya.51
b. Memiliki kemampuan untuk membelanjakan harta
Para ulama sepakat bahwa isteri yang pintarlah yang boleh
melakukan khulu‟ untuk dirinya. Sementara budak perempuan tidak
boleh melakukan khulu‟ untuk dirinya kecuali dengan izin tuannya.
49
Muchtar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), h. 170. 50
Muchtar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), h. 551. 51
Kamal, Abu Malik bin Salim, As-Sayyid, Shahih Fiqh Sunnah. Penerjemah: Khairul Amru
Harahap, Faisal Shaleh,( Jakarta: Pustaka Azzam 2009), h. 551-552.
22
Begitupula tidak boleh bagi isteri yang bodoh berikut walinya. Menurut
Imam Malik, seorang ayah boleh mengadakan khulu‟ untuk anak
perempuannya yang masih kecil, sebagaimana ia boleh menikahkannya.
Begitupula untuk anak lelakinya yang masih kecil, karena menurutnya
ayah juga boleh menceraikan atas namanya.52
Sedangkan menurut Imam Syafi‟i dan Abu Hanifah, ayah tidak
boleh mengadakan khulu‟ atas namanya, karena menurut mereka ayah
tidak boleh menjatuhkan talak atas namanya,53
Sebab ayah tidak
memilikki urusan apapun. Karena penghalalan hubungan intim tidak
dapat dinilai dengan materi, adapun penggantinya adalah materi yang
memiliki nilai tertentu.54
2. Suami yang bersedia menceraikan
Para fuqaha sepakat bahwa tergugat cerai mesti memenuhi syarat
sebagai pihak yang memiliki kuasa menceraikan. Karena itu jumhur ulama
kalangan mazhab Maliki, Syafi‟i dan Hambali, membolehkan gugatan cerai
atas suami yang “mahjur alaih” (orang yang dibekukan kemampuannya
dalam bertranksaksi) lantaran pailit, idiot, atau berstatus budak, sebab
bagaimanapun juga mereka tetap memiliki kuasa talak. Akan tetapi uang
52
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid Buku II Jilid 3 & 4.
Penerjemah:Abdul Rasyad Shidiq, (Jakarta: Akbar Media, 2013),h. 164 53
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid Buku II Jilid 3 & 4.
Penerjemah:Abdul Rasyad Shidiq, (Jakarta: Akbar Media, 2013),h. 164 54
Kamal, Abu Malik bin Salim, As-Sayyid, Shahih Fiqh Sunnah. Penerjemah: Khairul Amru
Harahap, Faisal Shaleh,( Jakarta: Pustaka Azzam 2009),. 552.
23
kompensasi tidak boleh diserahkan kepada tergugat yang “mahjur alaih”
sebab ia dibekukan kemampuannya dalam penggunaan harta tersebut.55
Syarat suami yang menceraikan isterinya dalam bentuk khulu‟
sebagaimana yang berlaku dalam talak adalah seorang yang dapat
diperhitungkan secara syara‟, yaitu akil baligh, dan bertindak atas
kehendaknya sendiri dan dengan kesengajaan. Berdasarkan syarat ini, bila
suami masih belum dewasa atau suami sedang dalam keadaan gila, maka
yang menceraikannya dengan khulu‟ adalah walinya. 56
3. Tebusan
Mayoritas ulama menempatkan iwadh (tebusan) sebagai rukun yang
tidak boleh ditinggalkan untuk sahnya khulu‟.57
Iwadh merupakan cirri khas
dari khulu‟. Selama iwadh belum diberikan oleh pihak isteri kepada suami,
maka selama itu pula tergantungnya perceraian. Setelah iwadh diserahkan
oleh pihak isteri kepada pihak suami barulah terjadi perceraian.58
Iwadh atau tebusan berfungsi untuk mengingatkan isteri bahwa ketika
perkawinan berlangsung, suami memberikan mahar, dan memberikan
55
Kamal, Abu Malik bin Salim, As-Sayyid, Shahih Fiqh Sunnah. Penerjemah: Khairul Amru
Harahap, Faisal Shaleh,( Jakarta: Pustaka Azzam 2009), h. 549. 56
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikih Munakahat dan
Undang-Undang, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2009),h. 235. 57
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikih Munakahat dan
Undang-Undang, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2009), h. 235. 58
Muchtar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), h. 171
24
nafkah. Maka sesuatu yang wajar jika isteri menuntut cerai dengan jalan
khulu‟ dengan memberikan tebusan.59
Bentuk iwadh sama dengan bentuk mahar, dengan demikian benda
yang dijadikan mahar dapat pula dijadikan iwadh. Mengenai jumlah iwadh
yang terpenting adalah persetujuan suami dan isteri, apakah jumlah yang
disetujui itu kurang, atau sama, atau lebih dari jumlah mahar yang pernah
diberikan oleh suami kepada isteri di waktu akad nikah.60
Ketentuan ini
tidak disebutkan dalam Al-Qur‟an dan hadist, hanya disebutkan secara
umum saja, firman Allah:
229. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah
hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa
yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang
zalim. (Q.S. al-Baqarah:299).61
4. Shigat Khulu‟
Shigat atau ucapan cerai yang disamakan suami yang dalam
uangkapannya dinyatakan “uang ganti” atau “iwadh”. Tanpa penyebutan itu
59
Umam, Khairul. “Khuluk Sebagai Penyelesaian Sengketa Perkawinan Akibat Pelanggaran
Taklik Talak (Studi Kasus di Pengadilan Agama Jakarta Selatan). Skripsi S1 Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006, h. 19-20. 60
Muchtar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), h. 171 61
Al-Qur‟an
25
ia hanya menjadi talak biasa. Dalam hal shigat ini terdapat perbedaan
pendapat di kalangan ulama, diantarnya:
a. Menggunakan lafadz yang jelas dan terang atau sharih. Contonhya:”saya
khulu‟ kamu dengan iwadh sebesar Rp 10.000”
b. Menggunakan lafadzh kinayah yaitu lafadz lain yang tidak langsung
berarti perceraian tetapi dapat digunakan untuk itu. Terjadinya khulu‟
dengan lafadz kinayah disyaratkan dengan harus adanya niat.
Contonhya:”pulanglah kamu kepada orang tuamu dengan membayar
iwadh Rp. 10.000”
Ada diantara ulama yang tidak menempatkan shigat sebagai rukun
khulu‟ yaitu pendapat dari imam Ahmad. Alasan yang digunakan, yaitu
peristiwa yang terjadi tentang Tsabit bin Qais yang dalam cerainya tidak
mengucapkan apapun setelah menerima tebusan dari isterinya.62
E. Akibat Khulu’
Bila telah diucapkan shigat khulu‟ oleh suami atas kehendak sendiri dan
telah pula memberikan tebusan, maka perkawinan putus dalam bentuk talak bain
sughra dan dalam arti tidak boleh rujuk, namun dibolehkan melangsungkan
perkawinan sesudah itu tanpa muhallil63
.64
Dari penjelasan ini kita tahu di
Indonesia khulu‟ sama dengan cerai gugat karena pada hakikatnya sama yaitu
yang meminta cerai adalah pihak isteri.
62
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikih Munakahat dan
Undang-Undang, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2009), h. 236-237. 63
Muhallil adalah seorang pria yang menikahi wanita agar ia dapat menikah dengan mantan
suaminya setelah jatuh talak tiga 64
Syarifudin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqih,( Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 133.
26
Dalam hal akibat khulu‟, terdapat persoalan apakah perempuan yang
menerima khulu‟ dapat diikuti dengan talak atau tidak. Imam Malik berpendapat
bahwa khulu‟ itu tidak dapat diikuti dengan talak, kecuali jika pembicaraanya
bersambung. Sedangkan Imam Hanafi mengatakan bahwa khulu‟ dapat diikuti
dengan talak tanpa memisahkan antara penentuan waktunya, yaitu dilakukan
dengan segera atau tidak. Jumhur fuqaha telah sepakat bahwa suami yang telah
menjatuhkan khulu‟ tidak dapat merujuk mantan isterinya pada masa iddah.65
Mengenai masa iddah khulu‟ terdapat dua pendapat yang kedua-duanya
pendapat Imam Ahmad. Pertama, cukup dengan satu kali suci dari haid. Kedua,
harus menunggu tiga kali bersih dari haid.66
Karena di Indonesia khulu‟ sama dengan cerai gugat, maka akibatnyapun
sama yaitu merupakan talak bain sughra, sebagimana dalam KHI Pasal 119 ayat
(1), yaitu: talak Ba`in Shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh
akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah. Talak Ba`in
Shughraa sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah :
a. Talak yang terjadi qabla al dukhul
b. Talak dengan tebusan atau khulu‟
c. Talak yang dijatuhkan oleh pengadilan agama.67
Sedangkan waktu iddahnya diatur dalam Pasal 155 yaitu waktu tunggu
yang putus perkawinannya karena khulu‟ yaitu sama dengan masa iddah talak.
65
Tihami, M.A, dan Sahrani, Sohari, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap,(Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada, 2009), h.315-316. 66
Taimiyah, Ibnu, Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah. Penerjemah:Abu Fahmi Huaidi dan
Syamsuri An-Naba, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), h. 251. 67
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam. (Jakarta: Akademika Presindo, 2010), h.141-142.
27
Dan Pasal 161 mengatakan bahwa akibat khulu‟ adalah mengurangi jumlah
talak dan tidak dapat dirujuk.68
Ada persamaan dan perbedaan antara khulu‟ cerai gugat di pengadilan
agama. Persamaannya, yaitu khulu‟ dan cerai gugat sama-sama dimintakan oleh
isteri, sedangkan perbedaannya, yaitu khulu‟ harus disertai dengan uang iwadh
(tebusan) serta harus dengan alasan pelanggaran taklik talak, tetapi cerai gugat
tidak mesti disertai dengan uang iwadh (tebusan) dan tidak mesti dengan alasan
pelanggaran taklik talak.69
Maka dalam putusan pengadilan dibedakan antara perceraian karena
khulu‟ dan cerai gugat biasa. Dalam cerai gugat karena khulu‟ putusannya akan
di hukumkan talak satu khul‟i, sedangkan dalam cerai gugat biasa di hukumkan
dengan talak bain shugra.70
68
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam. (Jakarta: Akademika Presindo, 2010), h. 151. 69
Wawancara Pribadi dengan Bpk. Muhtar Ali, M.Hum. Jakarta 01 juni 2015 70
Wawancara Pribadi dengan Bpk. Muhtar Ali, M.Hum. Jakarta 01 juni 2015
28
BAB III
CERAI GUGAT DI PENGADILAN AGAMA CIBINONG
A. Profil Pengadilan Agama Cibinong
Pengadilan Agama Cibinong berkedudukan di jalan Bersih Komplek
Pemda Kecamatan Cibinong Kabupatrn Bogor, Tlp. (021) 87907651, Fax (021)
8790765. Gedung Pengadilan Agama Cibinong dibangun diatas tanah seluas
1650 m dengan luas bangunan tanah 419, 70 m terdiri dari dua lantai yang
dibangun pada tahun 2002.71
Sejarah kelahiran Pengadilan Agama Cibinong erat kaitannya dengan
sejarah pembentukan pengadilan agama pada umumnya di seluruh Indonesia
khususnya di daerah Bogor Jawa Barat. Dasar hukum pembentukan Pengadilan
Agama Cibinong adalah berdasarkan Kepres No. 85 Tahun 1996 tentang
Pembentukan Sembilan Pengadilan Agama.72
Pengadilan Agama Cibinong terbentuk sejalan dengan perjalanan singkat
Kabupaten Bogor yang dibentuk tahun 1075, dimana pemerintahan pusat
menginstruksikan bahwa Kabupaten Bogor harus memiliki pusat pemerintahan
wilayah sendiri dan pindah dari pusat pemerintahan Kota Madya Bogor. Atas
dasar tersebut, Pemerintah Tingkat II Bogor mengadakan penelitian di beberapa
wilayah Kabupaten Tingkat II Bogor untuk dijadikan sebagai calon Ibu Kota
sekaligus berperan sebagai pusat pemerintahan. Alternatif lokasi yang akan
dipilih di antaranya Ciawi (Rancamaya), Leuwiliang, Parung, dan Kecamatan
71
Profil Pengadilan Agama Cibinong, Cibinong 2007, h. 3 72
Profil Pengadilan Agama Cibinong, Cibinong 2007, h.6.
29
Cibinong (Desa Tengah), maka dari hasil penelitian tersebut sidang pleno
DPRD Kabupaten daerah Tingkat I Bogor pada tahun 1980 ditetpakan bahwa
calon Ibu Kota Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor terletak di Desa Tengah
Kecamatan Cibinong.73
Penetapan calon Ibu Kota diusulkan kembali ke Pemerintahan Pusat dan
mendapat persertujuan serta dikukuhkan dengan PP No. 06 tahun 1982 yang
menegaskan bahwa Ibu Kota Pusat Pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II
Bogor berkedudukan di Desa Tengah Kecamatan Cibinong di wilayah
Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor. Atas dasar tersebut pengadilan agama
dibentuk berdasarkan Kepres No. 85 Tahun 1996 Tanggal 1 November 1996
dimana pengoperasiannya diresmikan oleh Bapak Direktur DIRBIN BAPERA
ISLAM pada tanggal 25 Juni 1997.
Adapun dasar hukum pembentukan daerah Tingkat II di wilayah
Pengadilan Agama Cibinong Kabupaten Bogor adalah:
1. PP No. 2 Tahun 1995 tentang Perubahan Batas Wilayah Kota Madya dan
Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor.
2. Kemendagri No. 49 Tahun 1989 tentang Pedoman Perubahan Batas Wilayah
Kota Madya Daerah Tingkat II Bogor.
3. Keputusan DPRD Kabupaten Daerah Tingkst II Bogor No.
650/03/KPTS/DPRD/1986 tanggal 03 Juli 1986 tentang Persetujuan Prinsip
Terhadap Rencana Perluasan Wilayah Kota Madya Daerah Tingkat II Bogor.
73
Profil Pengadilan Agama Cibinong, Cibinong 2007, h. 6-7
30
4. Surat Keputusan Pimpinan DPR tanggal 12 Oktober Kabupaten Daerah
Tingkat II Bogor No. 650/SK Pem 21/DPRD/1990 tanggal 12 Oktober 1990
tentang Persetujuan Pengembangan Bogor Raya.
5. Kesepakatan Bersama antara Pemerintah Kota Madya Daerah Tingkat II
Bogor dan Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor.74
B. Visi dan Misi
Pengadilan Agama Cibinong merefleksikan peranan dan kondisi yang
ingin di wujudkan adalah melalui visi sebagai berikut;
''Mewujudkan Peradilan Agama Yang Mandiri, Bersih Dan Berwibawa Dalam
Memberikan Pelayanan Hukum Kepada Masyarakat Pencari Keadilan Sesuai
Azas Sederhana, Cepat Dan Biaya ringan''
Dalam rangka mewujudkan visi tersebut, maka misi yang ditetapkan adalah:
1. Meningkatkan profesionalisme aparatur Pengadilan Agama Cibinong.
2. Meningkatkan kualitas pelayanan hukum.
3. Meningkatkan penyeleggaraan managemen Peradilan dan Administrasi
Umum.
4. Meningkatkan sarana dan prasarana.
5. Meningkatkan pengawasan internal.75
C. Yurisdiksi
Yang dimaksud wilayah yuridiksi adalah kekuasaan mengadili, lingkup
kuasa kehakiman, lingkungan hak dan kewajiban serta tanggung jawab disuatu
74
Profil Pengadilan Agama Cibinong, Cibinong 2007, h.6-7. 75
Diakses pada 11 mei 2015 dari http/::www.pa-cibinong.go.id
31
wilayah atau lingkungan kerja tertentu.76
Pada pembahasan ini bermuara pada
istilah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan suatu perkara bagi pengadilan.
Dalam istilah “kewenangan” sinonim dari kata “kekuasaan”. Adapun yang
dimaksud kewenangan dan kekuasaan itu terdapat dalam HIR yang dikenal
dengan istilah kompetensi.77
Adapun pembahasan kompetensi ini terbagi pada
dua aspek, yaitu:
1. Kompetensi absolut, yaitu kewenangan atau kekuasaan pengadilan yang
berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan perkara atau tingkat
pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan
atau pengadilan lainnya.78
UU No. 03 Tahun 2006 jo UU No. 07 Tahun 1998
tentang Pengadilan Agama disebutkan dalam Pasal 49 mengenai kekuasaan
pengadilan, yaitu pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang:
a. Perkawinan
b. Waris
c. Wasiat
d. Hibah
e. Zakat
f. Infak
76
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) 77
Sari, Ade Puspita, “Penyelesaian Perkara Wali „Adal di Pengadilan Agama Cibinong”,
Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008,
h. 25. 78
Roihan, A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Rajawali Pers,1991), h. 27.
32
g. Shadaqah
h. Ekonomi Syariah.79
Semua kompetensi yang disebutkan di atas diatur berdasarkan Undang-
Undang Perkawinan, Kewarisan, dan Perwakafan yang berlaku.
2. Kompetensi relatif, yaitu berhubungan dengan daerah hukum suatu
pengadilan, baik pengadilan tingkat pertama maupun pengadilan tingkat
banding. Artinya, cakupan dan batasan kekuasaan relative pengadilan ialah
meliputi daerah hukumnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.80
Kewenangan atau kekuasaan untuk memeriksa, memutus, dan meyelesaikan
perkara bagi pengadilan yang berhubungan dengan wilayah atau domisili
pihak-pihak pencari keadilan. Hal tersebut terdapat dalam ketentuan sebagai
berikut:
a. HIR Pasal 118 ayat 1, 2, 3, dan 4 jo 142 R.Bg
b. UU No. 03 Tahun 2006 jo UU No. 07 Tahun 1998 tentang Undang-
Undang Peradilan Agama Pasal 66 ayat 1-5 dan Pasal 1-3 tentang
kompetensi relative. Adapun kompetensi relatif Pengadilan Agama
Cibinong adalah melingkupi 39 wilayah kecamatan, 423 Desa dan 7
Kelurahan. Wilayah kecamatan terdiri dari desa dan keurahan sebagai
berikut:
1. Kecamatan Ciawi 13 Desa
2. Kecmatan Cisarua 09 Desa
79
UU No. 03 tahun 2006 tentang Peradilan Agama 80
Djalil, Basiq, Peradilan Islam, (Jakarta Amzah, 2012), h. 202.
33
3. Kecamatan Caringin 11 Desa
4. Kecamatan Cijeruk 12 Desa
5. Kecamatan Taman Sari 18 Desa
6. Kecamatan Ciomas 11 Desa
7. Kecamatan Cibinong 12 Desa
8. Kecamatan Dramaga 10 Desa
9. Kecamatan Gunung Putri 10 Desa
10. Kecamatan Citereup 12 Desa
11. Kecamatan Babakan Madang 03 Desa
12. Kecamatan Sukaraja 13 Desa
13. Kecamatan Mega Mendung 10 Desa
14. Kecamatan Sukamakmur 14 Desa
15. Kecamatan Jonggol 12 Desa
16. Kecamatan Cileungsi 09 Desa
17. Kecamatan Klapa Nunggal 20 Desa
18. Kecamatan Cariu 09 Desa
19. Kecamatan Parung 10 Desa
20. Kecamatan Ciseeng 09 Desa
21. Kecamatan Kemang 16 Desa
22. Kecamatan Bojong Gede 06 Desa
23. Kecamatan Ranca Bungur 10 Desa
24. Kecamatan Gunung Sindur 19 Desa
25. Kecamatan Leuwiliang 15 Desa
34
26. Kecamatan Pamijahan 13 Desa
27. Kecamatan Rumpin 15 Desa
28. Kecamtan Cibungbulang 19 Desa
29. Kecamatan Ciampea 15 Desa
30. Kecamatan Jasinga 09 Desa
31. Kecamatan Tenjo 11 Desa
32. Kecamatan Parung Panjang 11 Desa
33. Kecamatan Nanggung 09 Desa
34. Kecamatan Sukajaya 09 Desa
35. Kecamatan Cigudeg 15 Desa
36. Kecamatan Leuwisedang 08 Desa
37. Kecamatan Tajur Halang 07 Desa
38. Kecamatan Tenjolaya 57 Desa
39. Kecamatan Cigombong 08 Desa.81
D. Struktur Pengadilan Agama Cibinong
Adapun susunan Pengadilan Agama Cibinong adalah sebagai berikut:
1. Daftar nama Hakim di Pengadilan Agama Cibinong
No. Nama Jabatan
01 Drs. H. M. Hasany Nasir, SH, MH. Hakim/Ketua
02 Dra. Ernida Basry, MH Hakim/Wakil Ketua
03 Drs. H. Hasan Basri, SH, MH Hakim
81
Profil Pengadilan Agama Cibinong, Cibinong 2007, h. 10-11.
35
04 Dra. Sulkha Harwiyanti, SH Hakim
05 Ahmad Bisri, SH, MH Hakim
06 Drs. H. A. Baidowi, MH Hakim
07 Drs. H. Subarkah, SH, MH Hakim
08 Drs. H. Yusri Hakim
09 H. S. Solahudin, SH, MH Hakim
10 Drs. H. Fikri Habibi, SH, MH Hakim
11 Dr. Nasich Salam Suharto, Lc, LLM. Hakim
2. Daftrar nama pejabat Kepaniteraan di Pengadilan Agama Cibinong
No. Nama Jabatan
01 Drs. Harun Al-Rasyid Panitera
02 Pupu Syaripudin, S.Ag Wakil Panitera
03 Nani Nuraeni, SH Panitera Muda Gugatan
04 Nuryani, S. Ag Panitera Muda
Permohonan
05 Rachmat Firmansyah, S. Ag Panitera Muda Hukum
06 Fina Agustina, S. Kom Panitera Muda
Permohonan
07 Choirul Cholid, S. Ag Panitera Muda
Permohonan
08 Suryadi, S. Ag Panitera Pengganti
09 Hidayah, S. Ag Panitera Pengganti
36
10 Hj. Tati Sunengsih, SH, MH. Panitera Pengganti
11 Dra. Hj. Siti Zulaikha, MH. Panitera Pengganti
12 Dra. Siti Maryam Adam Panitera Pengganti
13 Helda Fitriyah, SH. Panitera Pengganti
3. Daftar nama pejabat Kesekretariatan di Pengadilan Agama Cibinong
No Nama Jabatan
01 Suprianto, SE. Wakil Sekretaris
02 Indra Ari Setiawan Kasubag Keuangan
03 Retno Sulis Setyani, SHI. Kasubag Keuangan
04 Dicky Mulyawan, Amd Kasubag Kepegawaian
05 Marwan Hasbialloh, SHI Kasubag Umum
4. Daftar nama pejabat Kejurusitaan di Pengadilan Agama Cibinong
No Nama Jabatan
01 Holid, SH Juru Sita
02 Bahrun Kostiawan Juru Sita
03 Supartini, SH Juru Sita Pengganti
04 Abdullah As‟ad, SH Juru Sita Pengganti
05 Rukmini Damyah, SH Juru Sita Pengganti
06 Fina Agustina, S. Kom Juru Sita Pengganti
07 Choirul Cholid, S. Ag Juru Sita Pengganti
37
Gambar struktur organisasi di Pengadilan Agama Cibinong.82
E. Cerai Gugat di Pengadilan Agama Cibinong
Terdapat dua bentuk perkara yang diajukan kepada pengadilan, yaitu
perkara permohonan dan perkara gugatan. Pada dasarnya perkara
permohonan merupakan perkara yang tidak mengandung sengketa yang
diajukan oleh seorang atau lebih secara bersama kepada pengadilan untuk
minta ditetapkan sesuatu hak bagi dirinya atau tentang kedudukan hukum
82
Diakses pada 11 mei 2015 dari http/::www.pa-cibinong.go.id
38
tertentu. Sedangkan gugatan merupakan suatu perkara yang mengandung
sengketa atau konflik antara pihak-pihak, yang menuntut pemutusan dan
penyelesaian pengadilan. Dalam suatu gugatan terdapat pihak-pihak seorang
atau lebih yang merasa haknya telah dilanggar oleh pihak lain seorang atau
lebih, mengajukkan gugatan kepada pihak yang melanggar hak itu. Pihak
yang mengajukan gugatan itu disebut penggugat sedangkan pihak yang
digugat disebut tergugat.83
Tata cara mengajukan gugatan diatur dalam Pasal 73 UU No. 07
tahun 1989 yang artinya bahwa gugatan itu diajukan oleh isteri atau kuasanya
kepada pengadilan yang mewilayahi tempat tinggal penggugat.84
Dalam
mengajukan gugatannya harus disertai dengan alasan-alasan perceraian
sebagaimana tertera dalam pasal 19 PP No. 09 tahun 197585
jo KHI pasal
116, yang mana dalam KHI ini ada penambahan alasan perkawinan pada poin
(g) dan (h) yang isinya adalah suami melanggar taklik talak dan peralihan
agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam
rumah tangga.86
Perkara cerai gugat yang masuk ke Pengadilan Agama Cibinong
tahun 2012, adalah sebagai berikut:
N
o
Bulan Sisa
Perkara
Bulan
Perkara
yang
Masuk
Perkara
yang
dikabulk
Perkara
yang
ditolak
Perkara
yang
digugurka
83
Bisri, Cik Hasan, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2003), h. 244-245. 84
UU No. 07 tahun 1989 tentang Peradilan Agama 85
PP No. 09 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 01 tahun 1974 tentang Perkawinan 86
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam. (Jakarta: Akademika Presindo, 2010),h. 141.
39
Lalu an n
01 Januari 308 133 114 00 03
02 Februari 321 132 104 02 02
03 Maret 342 116 128 00 05
04 April 319 127 104 00 00
05 Mei 334 124 105 00 00
06 Juni 353 117 117 02 00
07 Juli 351 45 129 00 00
08 Agustus 264 66 62 00 00
09 September 263 180 88 00 00
10 Oktober 346 157 130 00 04
11 Nopember 366 133 149 00 02
12 Desember 345 132 98 00 02
13 Jumlah 3.912 1.462 1.328 04 18
Perkara cerai gugat yang masuk ke Pengadilan Agama Cibinong
tahun 2013, sebagai berikut:
N
o
Bulan Sisa
Perkara
Bulan
Lalu
Perkara
yang
Masuk
Perkara
yang
dikabulka
n
Perkara
yang
ditolak
Perkara
yang
digugurka
n
01 Januari 374 183 149 01 01
02 Februari 401 138 151 00 00
03 Maret 383 128 171 00 00
04 April 339 157 203 01 03
40
05 Mei 288 179 155 01 04
06 Juni 297 142 147 01 01
07 Juli 282 101 154 02 01
08 Agustus 218 109 82 00 01
09 September 238 185 123 01 02
10 Oktober 293 158 137 03 03
11 Nopember 294 147 147 00 04
12 Desember 281 130 114 00 01
13 Jumlah 3.688 1.757 1.733 10 21
Perkara cerai gugat yang masuk ke Pengadilan Agama Cibinong
tahun 2014, sebagai berikut:
No Bulan
Sisa
Perkara
Bulan
Lalu
Perkara
yang
Masuk
Perkara
yang
dikabulkan
Perkara
yang
ditolak
Perkara
yang
digugurkan
01 Januari 292 160 132 00 04
02 Februari 312 160 142 00 05
03 Maret 321 170 141 02 01
04 April 340 238 178 02 04
05 Mei 385 170 149 00 02
06 Juni 397 154 180 01 04
07 Juli 349 79 134 00 07
08 Agustus 279 82 128 00 02
09 September 216 252 168 01 08
41
10 Oktober 262 221 210 00 06
11 Nopember 232 222 171 03 09
12 Desember 234 192 179 02 09
13 Jumlah 3.619 2.100 1.906 11 60
Perkara cerai gugat yang masuk ke Pengadilan Agama Cibinong
tahun 2015, sebagai berikut:
No Bulan
Sisa
Perkara
Bulan
Lalu
Perkara
yang
Masuk
Perkara
yang
dikabulkan
Perkara
yang
ditolak
Perkara
yang
digugurkan
01 Januari 194 208 166 00 08
02 Februari 200 209 152 00 05
03 Maret 235 239 186 01 08
04 April 254 224 220 00 10
05 Mei 215 234 139 04 05
06 Jumlah 1.098 1.114 863 05 36
Dari data di atas dapat kita lihat perceraian karena cerai gugat di
Pengadilan Agama Cibinong cukup banyak. Setiap bulannya sisa perkara
jauh lebih banyak dari pada data yang masuk, sisa perkara setiap tahunnya
sekitar 3000an lebih sedangkan perkara yang masuk setiap tahunnya 1000an
lebih. Jadi dapat disimpulkan setiap bulannya sisa perkara mencapai 250an
dan perkara yang masuk mencapai 83an. Sedangkan perkara yang dikabulkan
setiap tahunnya sekitar 1000an lebih, perkara yang ditolak sekitar 30an, dan
42
perkara yang digugurkan sekitar 135an, maka setiap bulannya dapat
disimpulkan perkara yang di putus mencapai 83an, perkara yang ditolak
mencapaai 2, dan perkara yang digugurkan mencapai 11an.
Ini baru data perceraian karena gugatan cerai dari isteri belum lagi
apabila ditambah dengan perkara cerai talak dari suami, jumlah perkara akan
bertambah banyak. Nampaknya ini menjadi pekerjaan yang cukup sulit bagi
instansi yang terkait untuk mengurangi jumlah perceraian yang terjadi di
Indonesia khususnya di Pengadilan Agama Cibinong, segala upaya telah
dilakukan namun apa dayanya setiap perceraian tidak dapat dipaksakan untuk
tidak bercererai karena cobaan akan selalu datang dalam kehidupan.
Contoh kasus yaitu penggugat yang bernama Ibu NN 45 tahun
melawan tergugat bapak MM 55 tahun yang beralamat di Jl. Alternatif
Cileungsi-Cibubur, Kp. Kaum, Kec. Cileungsi, Kab. Bogor. Penggugat telah
mengajukan gugatannya ke Pengadilan Agama Cibinong dengan alasan-
alasan sebagai berikut:
1. Penggugat dan tergugat telah menikah dan telah menjalin hubungan rumah
tangga selama 29 tahun.
2. Penggugat dan tergugat telah dikaruniai 6 orang anak selama pernikahan.
3. Awal mula pertengkaran penggugat dan tergugat terjadi sejak tahun 2005.
4. Penggugat sudah tidak suka kepada tergugat.
5. Tergugat selalu perfikiran negative kepada penggugat.
6. Keluarga tergugat bersikap dingin kepada penggugat.
7. Tergugat selalu menjelek-jelekan penggugat.
43
8. Penggugat dan tergugat selalu bertengkar (syiqaq).
Dengan alasan-alasan di atas penggugat memohon kepada majelis
hakim untuk mengabulkan gugatan penggugat dengan menjatuhkan talak bain
sughra dari pihak tergugat kepada penggugat.
Namun tergugat tidak mau menceraikan penggugat karena alasan-
alasan:
1. Karena perceraian itu dilarang agama.
2. Menjaga anak-anak agar aman, tentram, karena masih punya anak yang
masih kecil berumur 06 tahun.
Tenggugat mengakui bahwa telah terjadi pertengkaran dengan
penggugat pada tahun 2005, karena penggugat telah melakukan
perselingkuhan. Tergugat merasa cemburu karena penggugat selalu kumpul
bersama teman-teman reuni.
Dalam perkara ini hakim mengabulkan gugatan penggugat dengan
talak bain sughraa, dengan alasan bahwa benar penggugat dan tergugat telah
terjadi pertengkaran pada tahun 2005, penggugat masih tetap teguh pada
pendiriannya dengan tetap ingin bercerai dengan tergugat, karena tergugat
tidak dapat membawa saksi maka tergugat dinyatakan tidak menolak alasan-
alasan penggugat untuk bercerai.
44
Namun dalam putusan ini tergugat merasa di dzalimi karena tergugat
tidak diberi tahu harus membawa saksi pada saat pembuktian sehingga
tergugat kalah dalam persidangan karena tidak adanya saksi.87
87
Wawancara pribadi dengan Penggugat dan Tergugat, Cileungsi tanggal 05 Juli 2015.
45
BAB IV
PENERIMAAN DAN PENYALURAN UANG IWADH DI PENGADILAN
AGAMA CIBINONG
A. Penerimaan dan Penyaluran Uang Iwadh
Uang iwadh merupakan suatu keharusan yang harus dikeluarkan oleh
isteri apabila ia mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khulu‟. Namun di
pengadilan agama hanya mengenal dua bentuk perceraian, yaitu cerai talak dari
pihak suami dan cerai gugat dari pihak isteri.88
Perceraian dengan jalan khulu‟ dalam peraturan perundang-undangan di
Indonesia baru ada setelah di berlakukannya Kompilasi Hukum Islam (KHI)
yang diberlakukan dengan Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 yang
sebelumnya tidak ditemukan dalam Undang-Undang atau Peraturan yang
lainnya. Sebelumnya seorang isteri jika ingin memutuskan ikatan perkawinan
dengan suaminya ia bisa menggugat suaminya melalui pengadilan yang akan
memutuskan perkawinan keduanya. Maka di dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) seorang isteri juga bisa mengajukan perceraian dengan jalan khulu‟.89
Namun berlakunya perceraian dengan jalan khulu‟ tidak melahirkan jenis
perkara perceraian yang baru di pengadilan agama, karena perceraian dengan
jalan khulu‟ menjadi bagian dari perkara cerai gugat dengan tambahan putusan
88
Bintania, Aris, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 133. 89
Bintania, Aris, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 133.
46
mengenai tebusan yang harus bibayar oleh isteri dan perceraian terjadi
dengan jatuhnya talak khulu‟ dari suami.90
Akan tetapi, perceraian dengan jalan khulu‟ tidak mempermudah seorang
isteri untuk memutuskan hubungan perkawinan dengan suaminya, ia harus tetap
memiliki alasan-alasan sebagaimana yang harus ia buktikan dalam cerai gugat
biasa, bahkan konsekuensinya ia harus membayar tebusan kepada suaminya dan
ia tidak berhak atas nafkah selama iddah yang dijalaninya.91
Jelaslah seorang isteri lebih memilih dengan mengajukan gugatan cerai
biasa yang tidak mempersulit dan tidak membebani dirinya dengan keharusan
membayar tebusan kepada suaminya dan ia tetap akan mendapat nafkah selama
dalam masa iddah dari suaminya ketimbang mengajukan cerai dengan jalan
khulu‟ yang harus mengeluarkan tebusan serta tidak akan mendapatka nafkah
sewaktu masa iddah.92
Laporan pembayaran uang iwadh di Pengadilan Agama Cibinong dalam
dua tahun yang lalu, yaitu antara tahun 2012-2013, yaitu:
Laporan pertanggung jawaban uang iwadh di Pengadilan Agama Cibinong tahun
2012.
Penerimaan Pengeluaran
No Bulan
Jumlah
Perkara
Jumlah
Uang
Iwadh No Bulan
Jumlah
Perkara
Jumlah
Uang
Iwadh
Diberikan
Kepada
Bintania, Aris, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 142. 91
Bintania, Aris, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 133-134. 92
Bintania, Aris, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 133-144.
47
(Rp) (Rp)
1 Januari 1 10.000 1 Januari Nihil Nihil
Badan
Kas
Masjid
Pusat
2 Februari Nihil Nihil 2 Februari Nihil Nihil
3 Maret 2 20.000 3 Maret Nihil Nihil
4 April Nihil Nihil 4 April Nihil Nihil
5 Mei 6 60.000 5 Mei Nihil Nihil
6 Juni 6 60.000 6 Juni 3 30.000
7 Juli 5 50.000 7 Juli 8 80.000
8 Agustus 1 10.000 8 Agustus 9 90.000
9 September 4 40.000 9 September Nihil Nihil
10 Oktober 5 50.000 10 Oktober Nihil Nihil
11 Nopember 3 30.000 11 Nopember 13 130.000
12 Desember Nihil Nihil 12 Desember Nihil Nihil
Jumlah 33 330.000
Jumlah 33 330.000
Laporan pertanggung jawaban uang iwadh di Pengadilan Agama Cibinong tahun
2013
Penerimaan Pengeluaran
No Bulan
Jumlah
Perkara
Jumlah
Uang
Iwadh
(Rp) No Bulan
Jumlah
Perkara
Jumlah
Uang
Iwadh
(Rp)
Diberikan
Kepada
1 Januari Nihil
1 Januari Nihil Nihil
Badan
Kas
Masjid
Pusat
2 Februari 12 120.000 2 Februari Nihil Nihil
3 Maret 3 30.000 3 Maret Nihil Nihil
4 April 11 120.000 4 April Nihil Nihil
5 Mei 2 20.000 5 Mei 19 200.000
6 Juni 4 50.000 6 Juni Nihil Nihil
7 Juli 3 50.000 7 Juli Nihil Nihil
8 Agustus Nihil Nihil 8 Agustus 17 200.000
9 September Nihil Nihil 9 September Nihil Nihil
10 Oktober Nihil Nihil 10 Oktober Nihil Nihil
11 Nopember Nihil Nihil 11 Nopember Nihil Nihil
12 Desember Nihil Nihil 12 Desember Nihil Nihil
Jumlah 36 400.000
Jumlah 36 400.000
48
Laporan pertanggung jawaban uang iwash di Pengadilan Agama Cibinong tahun
2014
Penerimaan Pengeluaran
No Bulan
Jumlah
Perkara
Jumlah
Uang
Iwadh
(Rp) No Bulan
Jumlah
Perkara
Jumlah
Uang
Iwadh
(Rp)
Diberikan
Kepada
1 Januari 19 190.000 1 Januari 19 190.000
Badan
Kas
Masjid
Pusat
2 Februari Nihil Nihil 2 Februari Nihil Nihil
3 Maret Nihil Nihil 3 Maret Nihil Nihil
4 April Nihil Nihil 4 April Nihil Nihil
5 Mei Nihil Nihil 5 Mei Nihil Nihil
6 Juni Nihil Nihil 6 Juni Nihil Nihil
7 Juli Nihil Nihil 7 Juli Nihil Nihil
8 Agustus Nihil Nihil 8 Agustus Nihil Nihil
9 September Nihil Nihil 9 September Nihil Nihil
10 Oktober Nihil Nihil 10 Oktober Nihil Nihil
11 Nopember Nihil Nihil 11 Nopember Nihil Nihil
12 Desember Nihil Nihil 12 Desember Nihil Nihil
Jumlah 19 190.000
Jumlah 19 190.000
Laporan pertanggung jawaban uang iwadh di Pengadilan Agama Cibinong tahun
2015
No Bulan
Jumlah
Perkara
Jumlah
Uang
Iwadh
(Rp) No Bulan
Jumlah
Perkara
Jumlah
Uang
Iwadh
(Rp)
Diberikan
Kepada
1 Januari Nihil Nihil 1 Januari Nihil Nihil Badan
Kas
Masjid
Pusat
2 Februari Nihil Nihil 2 Februari Nihil Nihil
3 Maret Nihil Nihil 3 Maret Nihil Nihil
4 April Nihil Nihil 4 April Nihil Nihil
5 Mei Nihil Nihil 5 Mei Nihil Nihil
Jumlah 00 00
Jumlah 00 00
49
Dilihat dari tabel diatas mengenai laporan uang iwadh di Pengadilan
Agama Cibinong, dapat disimpulkan bahwa cerai gugat di pengadilan agama
dengan jalan khulu‟ tidak begitu banyak karena perceraian dengan jalan khulu‟
itu lebih memberatkan kepada isteri yang harus membayar dengan iwadh itu
sendiri sebagai tebusan. Isteri lebih banyak mengajukan cerai gugat biasa dari
pada cerai gugat dengan jalan khulu‟. Pada hakikatnya dalam cerai gugat
dengan jalan khulu‟ harus disertai alasan-alasan sebagaimana dalam cerai gugat
biasa, untuk itu isteri lebih memilih dengan jalan perceraian melalui cerai gugat
biasa dibandingkan cerai gugat dengan jalan khulu‟.
Karena khulu‟ di pengadilan agama itu harus disertai dengan adanya
pelanggaran taklik talak. Taklik talak sebagai perjanjian yang digantungkan
kepada syarat dengan tujuan untuk melindungi isteri dari tindakan sewenang-
wenang suami.93
Adapun taklik talak itu sebagaimana dalam buku nikah adalah
sebagai berikut: “Sesudah akad nikah, saya…..bin….berjanji dengan sesungguh
hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan
pergauli isteri saya bernama….binti….dengan baik (mu‟asyarah bilma‟ruf)
menurut ajaran syariat Islam.
Selanjutnya saya membaca shigat taklik atas isteri saya sebagai berikut:
Sewaktu-waktu saya:
1. Meninggalkan isteri saya dua tahun berturut-turut
2. Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya
93
Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000), h. 247.
50
3. Atau apabila saya menyakiti badan jasmani isteri saya
4. Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) isteri saya enam bulan
lamanya.
Kemudian isteri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada pengadilan
agama dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan tersebut,
dan isteri saya membayar uang sebesar Rp. 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah)
sebagai iwadh (pengganti) kepada saya maka jatuhlah talak satu kepadanya.
Kepada pengadilan tersebut saya kuasakan untuk menerima uang iwadh itu
dan kemudian menyerahkan kepada Direktorat Jendral Bimbingan
Masyarakat Islam Cq. Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan
Syariah untuk keperluan ibadah sosial.94
Maka sebagaimana dalam taklik talak tersebut, uang iwadh dapat
diberikan kepada selain suami.95
Namun apabila dalam besaran uang iwadh
tersebut tidak terdapat kesepakatan maka perceraian tersebut diputus dengan
cerai gugat biasa96
tidak dengan jalan khulu‟, kecuali dalam uang iwadh tersebut
sepakat maka dapatlah diputus dengan cerai gugat dengan jalan khulu‟. tetapi
isteri harus dapat membuktikan bahwa suami telah membacakan taklik talak
tersebut, karena apabila taklik talak tersebut tidak dibacakan, maka taklik talak
itu dianggap tidak ada.97
94
Buku Nikah, Departemen Agama Republik Indonesia. 95
Wawancara pribadi dengan bapak H. Yusri, Cibinong tanggal 12 mei 2015 96
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam. (Jakarta: Akademika Presindo, 2010),h. 149. 97
Wawancara pribadi dengan bapak H. Yusri, Cibinong tanggal 12 mei 2015.
51
Mengenai uang iwadh itu sendiri di pengadilan agama dapat di berikan
kepada suami atau selain suami yang pada intinya uang tersebut telah
dikuasakan kepada hakim untuk di pergunakan bagi kepentingan ibadah sosial
sebagaimana disebutkan dalam taklik talak yang bunyinya: “Maka apabila saya
melanggar salah satu dari janji saya tersebut, sedang isteri saya tidak ridha dan
mengadukannya hal kepada pengadilan agama atau pengadilan yang serupa atau
sederajat dengan itu atau instansi lainnya yang mengurus pengaduan itu, dan
pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh Pengadilan, apabila isteri saya
membayar uang sebesar Rp. 10.000 sebagai iwadh maka jatuhlah talak saya satu
kepada isteri saya itu. Kepada pengadilan atau petugas tersebut saya kuasakan
untuk menerima uang iwadh itu dan memberikannya untuk kepentingan ibadah
sosial”.98
Namun apabila bila si suami datang dalam sidang tersebut maka uang
iwadh itu tidak perlu dikuasakan kepada hakim dan tidak perlu diberikan kepada
baitul mal atau yang lainnya demi keperluan ibadah sosial, tetapi jika suami
berkehendak untuk memberikannya untuk kepentingan ibadah sosial maka dapat
di berlakukan sesuai keinginan suami tersebut sebaagaimana yang tercantum
dalam taklik talak.
Mengenai uang iwadh yang besarannya di atas Rp. 10.000, penulis
temukan paling besar yaitu Rp. 20.000, sedangkan iwadh yang di atas Rp.
20.000 tidak penulis temukan di Pengadilan Agama Cibinong. Namun iwadh itu
98
Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000), h. 246.
52
di pengadilan agama ada yang lebih besar dari Rp. 10.000, tetapi bukan di
Pengadilan Agama Cibinong tetapi di Mahkamah Syariah di Aceh yang
besarnya mencapai Rp. 2.000.000, Rp. 5.000.0000 bahkan disamakan dengan
mahar contohnya 3 kg emas.99
Jadi implementasi di Pengadilan Agama Cibinong itu sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang ada di Indonesia dan tidak ada kesalahan
dalam implementasinya dalam penerimaan uang iwadh tersebut karena uang
iwadh tersebut digunakan untuk kepentingan ibadah sosial. Sebagaimana taklik
talak itu telah dirumuskan oleh Menteri Agama Republik Indonesia, dalam Pasal
11 ayat 4 Peraturan Menteri Agama No 2 tahun 1990100
jo Pasal 23 ayat 3
Peraturan Menteri Agama No 07 tahun 2007101
bahwa taklik talak itu diterapkan
oleh Menteri Agama. Dan juga mengenai besaran uang iwadh tersebut diatur
dalam KMA No. 441 tahun 2000 yang besarannya Rp. 10.000.102
B. Pendapat Hukum Islam
Mengenai pembayaran uang iwadh di pengadilan agama yang
implementasi uang iwadh tersebut di serahkan kepada baitul mal atau badan
yang lainnya demi kepentingan ibadah sosial bukan diberikan kepada suami,
perlu kita ketahui bahwa di pengadilan agama, uang iwadh itu dapat terjadi
apabila adanya pelanggaran taklik talak serta si suami harus telah menanda
99
Wawancara pribadi dengan Bapak. Yusri, tanggal 07 Juli 2015 100
Peratuan Menteri Agama No 2 tahun 1990 101
Peraturan Menteri Agama No 23 tahun2007 102
KMA No. 441 tahun 2000
53
tangani taklik talak dalam buku nikah karena itu merupakan syarat yang harus
terpenuhi apabila akan mengajukan perceraian dengan jalan khulu‟.
Terdapat persamaan dan perbedaan antara cerai gugat di pengadilan
agama dengan cerai gugat dalam hukum Islam, persamaanya adalah bahwa cerai
gugat di pengadilan agama dan cerai gugat dalam Islam sama-sama diminta oleh
isteri, namun perbedaannya adalah tidak serta merta cerai gugat yang diminta
oleh isteri harus disertai dengan uang iwadh (tebusan) berbeda dengan cerai
gugat dalam Islam yang harus disertai dengan uang iwadh (tebusan).
Begitupun khulu‟ di pengadilan agama dengan khulu‟ dalam Islam, ada
persamaan dan perbedaanya, khulu‟ di peradilan agama harus dengan alasan
pelanggaran taklik talak103
, sedangkan khulu‟ dalam Islam dapat di lakukan
dengan alasan apa saja bahkan tanpa alasan tidak mesti dengan pelanggaran
taklik talak.
Sedangkan dasar hukum khulu‟, yaitu surat Al-Baqarah ayat 229:
229. Talak (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi
kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka,
kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum
103
Wawancara pribadi dengan bapak H. Yusri, Cibinong tanggal 12 mei 2015
54
Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum
Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim. (Q.S. al-
Baqarah:299).104
Apabila dasar hukumnya Al-Qur‟an sama, maka dasar hadistnyapun
begitu, dalam hadist Ibnu Abbas, yaitu:
ل الله، عن ابن عباس أن امرأة تابت بن قيس أتت النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: يارسى
سىل ثابت بن قيس ماأعتب عليه في خلق ولادين، ولكني أكره الكفرفي الاءسلام. فقال ر
الله صلى لله عليه وسلم: أتردين عليه حديقة وطلقها تطليقة.
Artinya:
“Dari Ibnu Abbas RA, dia berkata, “Istri Tsabit bin Syammas datang
kepada Nabi SAW dan berkata, „Wahai Rasulullah, aku tidak benci kepada
Tsabit dalam hal agama dan akhlaknya, hanya saja aku takut kekufuran.”
Rasulullah SAW bersabda, “Apakah engkau bersedia mengembalikan kebunnya
kepadanya?” Dia berkata, “Ya.” Maka dia mengembalikan kepadanya, dan
beliau memerintahkan Tsabit, lalu dia pun menceraikannya”.105
Dari hadist diatas di sebutkan bahwa “Maka dia mengembalikan
kepadanya”, dari kata ini dapat dikatakan bahwa iwadh tersebut diberikan
kepada Tsabit itu sendiri karena ia sebagai suaminya bukan kepada selain suami
sebagaimana halnya di pengadilan agama. Namun di pengadilan agama tidak
demikian karena adanya pelanggaran taklik talak, dan taklik talak itu
dirumuskan oleh Menteri Agama Republik Indonesia, dan peraturan di Indonesia
104
Al-Qur‟an 105
Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Hadis No. 1094, Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Pustaka
al-Hidayah.
55
itu yang diakui di Indonesia adalah hukum tertulis, maka dalam hal khulu‟ dalam
pelanggaran taklik talak itu sebagaimana dalam taklik talak tersebut dapat
diserahkan kepada selain suami untuk kepentingan ibadah sosial.106
Adapun qawaid fiqiyah yang di pakai untuk dasar hukum tersebut yaitu:
همشروطالمسلمىن على : orang-orang Islam itu terikat selama perjanjian itu tidak
menyalahi hukum Allah”.107
Jelaslah apabila tidak adanya pelanggaran taklik
talak itu sendiri, maka cerai gugat itu diputus dengan cerai gugat biasa tanpa
adanya tebusan. Begitupun dalam surat Al-Maidah ayat 1, yaitu:
1.Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.(QS. Al-
Maidah, ayat 1).108
Dari ayat di atas surat Al-Maidah ayat 1 dapat disimpulkan bahwa,
apabila ada suatu perjanjian maka hendaklah perjanjian itu diterapkan. Dalam
hal ini dapat dikaitkan dengan taklik talak yang merupakan perjanjian suami
apabila ia melanggar taklik talak tersebut akan menguasakan kepada hakim
untuk memutus dan menerima uang iwadh (tebusan) untuk diberikan demi
kepentingan ibadah sosial apabila isteri mengajukan cerai gugat.
Walaupun ulama berbeda pendapat mengenai uang iwadh (tebusan),
namun perbedaan itu hanya pada apakah uang iwadh (tebusan) itu harus
sama, atau lebih atau kurang dari jumlah mahar yang diberikan di waktu
106
Kamal, Abu Malik bin Salim, As-Sayyid, Shahih Fiqh Sunnah (penerjemah:Khairul Amru
Harahap, Faisal Shaleh), Pustaka Azzam Jakarta 2009, h. 558. 107
Wawancara Pribadi dengan Bpk. Muhtar Ali, M.Hum. Jakarta 01 juni 2015 108
Al-Qur‟an
56
akad. Namun ahli fikih berbeda pendapat mengenai kadar iwadh tersebut,
yaitu terbagi menjadi tiga pendapat, diantaranya:
a. Tidak disunahkan melebihi apa yang telah diberikan suami kepada isteri. Ini
adalah pendapat dari kalangan Hambali. Menurut kalangan ini khulu‟ tetap
sah jika melebihi mahar, namun hukumnya makruh. Mereka berpegang pada
tamaban kompensasi yang terdapat dalam hadist tentang isteri Tsabit bin Qais
yang berbunyi: “Nabi SAW lalu memerintahkannya untuk mengambil kebun
dan tidak meminta tambahan”.
b. Konpensasi boleh kurang atau lebih dari apa yang dulu diberikan suami
selama ada kerelaan di antara kedua belah pihak. Ini adalah pendapat jumhur
di antaranya Imam Malik, Syafi‟i, Ibn Hazm, Ibnu Abbas, Ibnu Umar,
Mujahid, Ikrimah, An-Nakhai, dengan alasan sebagai berikut: Firman Allah
SWT “…maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan
oleh isteri untuk menebus dirinya…(QS. Al-Baqarah, 299) Mengenai ayat di
atas itu bersifat umum, meliputi apa yang ditebuskan oleh isteri, baik sesuai
dengan kadar yang dulu diberikan suami, kurang, atau lebih banyak.
c. Kadar iwadh yang berkaitan dengan nusyuz. Ini merupakan pendapat dari
kalangan Hanafi, mereka mengatakan:
1. Jika nusyuz bersumber dari suami, maka hukumya makruh dan mendekati
haram baginya untuk mengambil sesuatu dari istrinya109
, dengan dasar
firman Alllah SWT
109
Kamal, Abu Malik bin Salim, As-Sayyid, Shahih Fiqh Sunnah. Penerjemah:Khairul Amru
Harahap, Faisal Shaleh, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009),h. 558-561.
57
20. dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain,
sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka
harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari
padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya
kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung)
dosa yang nyata ?110
Adapun alasan yang lainnya, karena suami telah menterornya
dengan perceraian, sehingga ia tidak boleh lebih menterornya dengan
mengambil hartanya.
2. Jika nusyuz bersumber dari isteri, maka suami boleh mengambil
konpensasi yang diberikan isteri meskipun melebihi apa yang telah
diberikan kepadanya dulu.111
Begitupun para ulama berbeda pendapat mengenai khulu‟ tanpa
adanya tebusan (iwadh), ini terbagi menjadi dua, diantaranya:
a. Khulu‟ tanpa iwadh sah. Ini adalah pendapat dari kalangan mazhab
Hanafi, Maliki, dan Imam Ahmad, dengan alasan sebagai berikut:
1. Khulu‟ adalah bagian pemutus perkawinan, maka sama haknya
dengan talak ia pun sah tanpa tebusan.
2. Asal muasal disyariatkannya khulu‟ adalah rasa tidak suka di
dalam diri isteri terhadap suaminya dan menginginkan
berpisah darinya, lalu ia meminta kepada suaminya untuk
menceraikannya. Jika si suami menyanggupinya maka
110
Al-Qur‟an 111
Kamal, Abu Malik bin Salim, As-Sayyid, Shahih Fiqh Sunnah (penerjemah:Khairul Amru
Harahap, Faisal Shaleh), Pustaka Azzam Jakarta 2009, h. 558-561.
58
tercapailah maksud khulu‟ dan ia pun sah walaupun tanpa uang
iwadh.
b. Khulu‟ tidak sah tanpa tebusan. Ini adalah pendapat Imam Syafi‟i,
dengan alasan sebagai berikut:112
1. Allah mengaitkan khulu‟ dengan uang tebusan dengan
Firmannya “maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya”
2. Ketika isteri Tsabit bin Qais ingin mengguat cerai suaminya,
Nabi SAW bersabda: “kembalikan kebunnya kepadanya?”ia
menjawab, “ya” ia pun mengembalikan kepadanya, dan Nabi
memerintahkan Tsabit untuk menerimanya dan menceriakan
isterinya.113
Dari perbedaan pendapat tersebut masing-masing mempunyai dasar
hukum, namun dalam hal uang iwadh itu di berikan kepada suami atau selain
suami tidak ada perbedaan pendapat, karena pada dasarnya uang iwadh itu
harus di berikan pada suami baik itu di terima secara langsung atau tidak
kecuali adanya kesepakatan yang lain seperti dalam taklik talak.
112
Kamal, Abu Malik bin Salim, As-Sayyid, Shahih Fiqh Sunnah. Penerjemah:Khairul Amru
Harahap, Faisal Shaleh, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009),h. 557 113
Kamal, Abu Malik bin Salim, As-Sayyid, Shahih Fiqh Sunnah. Penerjemah:Khairul Amru
Harahap, Faisal Shaleh, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009),h. 557
59
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Implementasi penerimaan dan penyaluran uang iwadh (tebusan) di
Pengadilan Agama Cibinong tidak menyalahi aturan yang berlaku. Dalam
prakteknya uang iwadh tersebut tidak diberikan kepada suami tetapi
diberikan kepada Badan Kas Masjid Pusat untuk kepentingan ibadah sosial
yang besarannya Rp. 10.000. Sebagaimana diatur dalam PMA No. 02 tahun
tahun 1990 Pasal 11 jo Peraturan Menteri Agama No. 23 tahun 2007 Pasal
23 jo KMA No. 441 tahun 2000.
Perceraian dengan jalan khulu di pengadilan agama tidak banyak yang
melakukannya karena isteri lebih memilih dengan cerai gugat biasa yang
tidak adanya kewajiban untuk mengeluarkan uang iwadh (tebusan) dan tetap
menerima nafkah iddah, sedangkan alasan yang dipakai sama saja. Begitupun
hakim lebih memutus dengan cerai gugat biasa walaupun adanya pelanggaran
taklik talak apabila adanya alasan lain yang dapat dijadikan alasan perceraian
karena itu tidak memberatkan pihak isteri.
2. Dalam hukum Islampun tidak terjadi perbedaan pendapat mengenai
penyerahan uang iwadh tersebut diserahkan kepada selain suami, namun
harus melalui suami terlebih dahulu atau suami telah setuju diberikan kepada
yang lain demi kepentingan ibadah dengan alasan qawaid fiqhiyah:
همشروطالمسلمىن على
60
Karena uang iwadh di pengadilan agama dilakukan apabila adanya pelanggaran
taklik talak. Serta taklik talak tersebut harus dapat dibuktikan bahwa telah dibaca
dan atau ditanda tangani, apabila tidak ditanda tangani maka uang iwadh tersebut
tidak berlaku kecuali disepakati oleh kedua belah pihak.
Dan mengenai surat Al-Baqarah ayat 229 yang menjadi dasar hukum terjadinya
khulu‟ dan di ayat ini disebutkan isteri boleh membayar kepada suami dan tidak
menjelaskan suami berhak menerimanya secara langsung atau dapat di wakilkan.
Begitupun dengan hadist dari Ibnu Abbas, mengenai isteri Tsabit bin Qais,
walaupun dalam hadist tersebut di katakana isteri sabit mengembalikan
kepadanya (suaminya), tetapi tidak disebutkan apakah harus di terima secara
langsung oleh suami atau dapat diwakilkan.
B. Saran-Saran
1. Bagi Pengadilan Agama
Dalam praktek pembayaran uang iwadh sudah sesuai dengan peraturan dan
tidak ada penyimpangan, namun sebaiknya dalam pembayaran uang iwadh ini
harus ebih terbuka lagi, bukan hanya di cantumkan dalam buku laporan
perbulan atau pertahun saja, namun hendaknya di muat juga dalam web
pengadilan agama tersebut.
2. Bagi suami isteri
Bagi isteri yang hendak mengajukan khulu hendaknya dipertimbangkan
kembali karena sudah ada cerai gugat biasa yang lebih tidak memberatkan
pihak isteri dengan tidak harus mengeluarkan uang iwadh serta masih
61
mendapat nafkah iddah. Begitupun bagi suami hendaknya apabila diajukan
khulu hendaknya tebusan itu tidak memberatkan isteri.
3. Bagi masyarakat
Bagi masyarakat yang hendak melakukan perkawinan, hendaknya dipelajari
mengenai peraturan-peraturan yang berlaku di Indonesia ini agar cakap dalam
hukum khususnya dalam beracara di peradilan agama.
62
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur‟an
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam.( Jakarta: Akademika Presindo, 2010).
Ahmad, Zaini Noeh, Peradilan Agama Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Intermasa,
1979).
Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Hadis No. 1000, Bulughul Maram min Adillatil Ahkam,
(Kairo: Dar-el Hadith, 1423H).
Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam 9. Penerjemah Abdul Hayyie Al-Kattani (Jakarta:
Gema Insani, 2011)
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006)
Bintania, Aris, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012)
Bisri, Cik Hasan, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003)
Buku Nikah, Departemen Agama Republik Indonesia.
Diakses pada 11 mei 2015 dari http/::www.pa-cibinong.go.id
Djaelani, Abdul Qadir, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT Bina Ilmu,1995)
Djalil, Basiq, Peradilan Islam, (Jakarta Amzah, 2012)
Farida, Anik, Perempuan dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di Berbagai
Komunitas dan Adat, Departemen Agama RI Balai Penelitian dan
Pengembangan Agama, Jakarta 2007.
63
Hosen, Ibrahim, Fiqh Perbandingan dalam Masalah Perkawinan, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2003), h. 115-116.
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
Kamal, Abu Malik bin Salim, As-Sayyid, Shahih Fiqh Sunnah. Penerjemah: Khairul
Amru Harahap, Faisal Shaleh,( Jakarta: Pustaka Azzam 2009)
Keputusan Menteri Agama No. 441 tahun 2000
Mahmudunnasir, Syekh, Islam Konsepsi dan Sejarahnya. Penerjemah:Adang Afandi,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005)
Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000).
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fikih Lima Mazhab: Ja‟fari, Hanafi, Maliki, Syafi‟I,
dan Hambali. Penerjemah:Masykur A.B, dkk, (Jakarta: PT Lentera
Basritama, 1999),
Muchtar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1974)
Muhammad, Syaikh bin Shalih al-„Utsaimin, Shahih Fiqih Wanita Menurut Al-
Qur‟an dan As-Sunnah. Penerjemah:Faisal Saleh, Yusuf Hamdani,
(Jakarta: Akbar Media, 2010)
Nuruddin, Amiur, dan Tarigan, Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1 tahun
1974 Sampai KHI, (Jakarta: Prenada Media 2004)
Peratuan Menteri Agama No. 02 tahun 1990
Peraturan Menteri Agama No. 23 tahun 2007
64
PP No. 09 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 01 tahun 1974 tentang
Perkawinan
Profil Pengadilan Agama Cibinong, Cibinong 2007
Ramulyo, M. Idris, Tinjauan Beberapa Pasal UU No. 1 Tahun 1974 Dari Segi
Hukum Perkawinan Islam. (Jakarta: Ind-Hillco 1990)
Roihan, A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Rajawali Pers,1991)
Rusdiana, Kama, dan Aripin, Jaenal, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN
Jakarta Press 2007)
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid Buku II Jilid 3 & 4.
Penerjemah:Abdul Rasyad Shidiq, (Jakarta: Akbar Media, 2013)
S. Lev, Daniel, Islamic Courts In Indonesia.Penerjemah: Zaini Ahmad Noeh,
(Jakarta: PT Inetrmasa, 1986)
Sari, Ade Puspita, “Penyelesaian Perkara Wali „Adal di Pengadilan Agama
Cibinong”, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
Sholeh, Asrorun Ni‟am, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta
eLSAS, 2008)
Sopyan, yayan, Islam Negara, (Jakarta: PT. Semesta Rakyat Merdeka, 2012)
Subekti, R. S. Tjitrosudibio, R. KUHPer dengan tambahan UUPA dan Undang-
undang Perkawinan. ,(Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2013).
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fikih Munakahat
dan Undang-Undang, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2009)
…………………, Garis-Garis Besar Fiqih,( Jakarta: Prenada Media, 2003),
65
Taimiyah, Ibnu, Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah. Penerjemah:Abu Fahmi Huaidi dan
Syamsuri An-Naba, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002)
Tihami, M.A, dan Sahrani, Sohari, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah
Lengkap,(Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009),
Umam, Khairul. “Khuluk Sebagai Penyelesaian Sengketa Perkawinan Akibat
Pelanggaran Taklik Talak (Studi Kasus di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan). Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006
UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
UU No. 07 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
UU No. 03 tahun 2006 tentang Peradilan Agama
Wawancara Pribadi dengan Bapak. Muhtar Ali, Jakarta 01 juni 2015
Wawancara pribadi dengan Bapak Yusri, Cibinong tanggal 12 mei 2015
……………………………………………, Cibinong tanggal 07 Juli 2015
Wawancara pribadi dengan Penggugat dan Tergugat, Cileungsi tanggal 05 Juli 2015.
66
LAMPIRAN-LAMPIRAN
67
68
69
70
71
72
Wawancara Pribadi dengan Hakim Drs.H Yusri di Pengadilan Agama Cibinong, 12
Mei 2015
Gambar.1
Gambar.2
73
Gambar.3
top related