indeks pendidikan multikultural pada sekolah …
Post on 18-Nov-2021
3 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
INDEKS PENDIDIKAN MULTIKULTURAL PADA SEKOLAH UMUM DIINDONESIA
(Studi pada Sekolah Setingkat SLTA di Daerah Istimewa Yogyakarta)
Oleh
Tim Peneliti Pendidikan Agama dan Keagamaan
BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN AGAMA SEMARANG
2016
2
DAFTAR ISIhlm
DAFTAR ISI.................................................................................................. i
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang masalah............................................................... 1
1.2. Rumusan maalah ......................................................................... 8
1.3. Tujuan penelitian......................................................................... 9
1.4. Manfaat penelitian....................................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORITIK
2.1. Kajian Pustaka.............................................................................11
2.2. Kerangka teoriktik.......................................................................12
2.2.1. Pendidikan multicultural .................................................12
2.2.2. Sikap toleran dan intoleran..............................................16
2.2.3. Kategori perkotaan dan pedesaan....................................17
2.2.4. Kerangka pikir .................................................................19
BAB III METODE PENELITIAN................................................................22
3.1. Pendekatan Penelitian .................................................................22
3.2. Populasi dan sampel penelitian ...................................................22
3.3. Variable penelitian ......................................................................23
3.4. Teknik pengumpulan data ...........................................................23
3.5. Instrument penelitian...................................................................24
3.6. Analisis data ................................................................................28
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Selayang Pandang D.I. Yogyakarta............................................30
4.2. Lembaga pendidikan Setingkat SLTA di DIY............................32
4.3. Hasil Penelitian ...........................................................................34
4.3.1. Indeks Pendidikan Multikultural pada lembaga pendidikan
setingkat SLTA di DIY ...................................................36
4.3.1.1. Indeks multicultural lembaga pendidikan dilihat perKota/
Kabupaten.................................................................37
3
4.3.1.2. Uji perbedaan implementasi pendidikan multikultural pada
lembaga pendidikan setingkat SLTA ......................3
4.3.1.3. Sikap toleransi peserta didik sebagai akibat dari imple-
mentasi pendidikan multikultural di satuan pendidikan39
4.4. Pembahasan.................................................................................45
BAB V PENUTUP.........................................................................................52
5.1. Simpulan.....................................................................................52
5.2. Rekomendasi ...............................................................................53
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................54
Lampiran-lampiran
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Diakui atau tidak, Indonesia adalah sebuah negara multikultural terbesar di
dunia (Kusumohadidjojo, 2000:45). Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-
kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Tercatat lebih dari 300
kelompok etnik besar seperti Jawa, Bugis, Makassar, Melayu dan lain sebagainya
maupun kecil seperti dayak, Sunda dan lain sebagainya dengan budaya dan adat
kebiasaan berbeda-beda di negara Indonesia. Etnis besar dan kecil tersebut
menghuni sekitar 13.000 pulau baik besar dan kecil. Selain itu juga bangsa
Indonesia menganut agama yang beragam seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha,
dan Konghucu serta berbagai aliran kepercayaan lain (Yakin, 2005:3). Mereka
harus dilindungi hak-haknya sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945.
Keanekaragaman yang ada pada bangsa Indonesia pada satu sisi dapat
menjadi potensi integrasi tetapi disisi lain dapat menyebabkan disintegrasi bangsa.
Dalam bahasa psikologi sosial, etnik-etnik yang terpisah secara geografis dan
sosial budaya yang berbeda, mempunyai dan mengembangkan pengalaman
psikologis masing-masing, yang pada gilirannya menghasilkan identitas etnik
masing-masing juga. Keterikatan pada identitas etnik akan menimbulkan saling
prasangka antaretnik yang bisa menghambat proses akulturasi bangsa (Sarwono,
2007:31). Kerusuhan yang disebabkan permasalahan agama, perang antar
kampung, tawuran pelajar maupun perlakuan diskriminatif yang masih sering
terjadi dalam masyarakat Indonesia merupakan benih-benih disintegrasi bangsa.
Marcia, sebagaimana dikutip Jari-Erik Nurmi dalam Lerner (Lerner,
ed.2004: 109), pembentukan identitas etnis berdasarkan proses eksplorasi dan
komitmen yang diterapkan pada nilai-nilai, keyakinan, dan tujuan dalam berbagai
kehidupan yang utama. Dari proses tersebut, menurut Marcia akan dihasilkan
empat status identitas etnik sebagai berikut: (a) gerakan Identitas (Identify
Achievement), menunjuk pada individu yang mengalami proses eksplorasi dan
5
berbagai aftematif yang ada dengan baik, b) penundaan (moratorium), menunjuk
pada individu yang telah mengalami proses eksplorasi akut namun belum sampai
pada komitmen, bila tampak memiliki komitmen, komitmen tersebut belum jelas.
(c) penutupan (foreclosure), menunjuk pada individu yang tidak pernah
mengalami proses eksplorasi, tetapi memiliki komitmen. Komitmen ini diperoleh
bukan melalui proses pencarian atau eksplorasi akan tetapi diperoleh dari orangtua
atau orang lain, d) difusi Identitas (identity diffusion), menujuk pada individu
tidak pernah atau belum mengalami proses eksplorasi identitas, sehingga tidak
pernah membuat suatu komitmen. Adapun status identitas etnik seseorang, di
dalam relasi sosial khususnya relasi etnis akan mempengaruhi bagaimana orang
lain merespon individu. Ada dua aspek yang mungkin berlangsung dalam relasi
sosial, khususnya relasi etnik, yaitu aspek yang menyenangkan (pleasant aspect)
seperti daya tarik (attraction), keintiman (altruisme) dan aspek yang tidak
menyenangkan (unpleasant aspect) seperti prasangka (prejudice) dan agresi
(agression) (Myers, 1996; 387; Betty, dkk, 1992; 299).
Dari kerangka model relasi tersebut, pada saat individu atau kelompok
memandang individu atau kelompok lain pasti akan timbul kognisi tentang
persamaan dan perbedaan di antara mereka. Dalam studi lintas budaya, perbedaan
biasanya dipandang sebagai kekurangan (differences lead to their being viewed as
deficiencies) atau dengan bahasa lain disebut sebagai etnosentrisme (Berry, dkk,
1992: 8; Segaill, dkk, 1990: 316).
Kondisi keberagaman masyarakat dan budaya, secara positif
menggambarkan kekayaan potensi sebuah masyarakat yang bertipe pluralis,
namun secara negatif orang merasa tidak nyaman karena tidak saling mengenal
budaya orang lain. Terjadinya tidak saling mengenal identitas budaya orang lain,
bisa mendorong meningkatnya prasangka terhadap orang lain, berupa sikap
antipati yang didasarkan pada kesalahan generalisasi yang diekpresikan sebagai
perasaan. Prasangka juga diarahkan kepada sebuah kelompok secara keseluruhan,
atau kepada seseorang hanya karena itu adalah anggota kelompok tertentu. Bennet
dan Janet (1996) mengungkapkan bahwa prasangka memiliki potensi dalam
mengkambinghitamkan orang lain melalui stereotip, diskriminasi dan penciptaan
jarak sosial.
6
Suku, budaya, primodialisme agama, stereotip etnik menjadi potensi
konflik yang besar jika tidak dikelola dengan baik. Sikap primordial yang
berlebihan yang kemudian lazim disebut etnosentris sering menimbulkan konflik
berkepanjangan. Hal ini dikarenakan setiap anggota masyarakat mayoritas akan
mengukur keadaan atau situasi berdasarkan nilai dan norma kelompoknya. Sikap
ini menghambat terjadinya integrasi sosial atau integrasi bangsa. Primordialisme
harus diimbangi tenggang rasa dan toleransi. Sikap etonosentris dalam masyarakat
majemuk sering diikuti oleh stereotip etnik yaitu pandangan umum suatu
kelompok etnis yang menganggap kelompoknya lebih baik daripada etnis lain
(Horton & Hunt: 1984:65).
Beberapa contoh bentuk disintegratif akibat primodialisme, stereotip etnik
sebagai akibat etnosentrisme antara lain konflik Dayak dan Madura di Kalimantan
(Republika February 2001), Konflik Jawa dan Aceh tahun 1975-2005
(Kompasiana 2014), konflik Papua, serta konflik Lampung yang melibatkan suku
Bali dan Suku Lampung (Kompas Oktober 2012) dan lain sebagainya. Konflik-
konflik merupakan bentuk kurang terbinanya multikultural di Indonesia.
Pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, konflik-
konflik antaraetnik dapat diatasi dengan kekuatan militer yang selalu melakukan
tindakan represif terhadap benih-benih perpecahan yang mengarah pada
disintegrasi bangsa. Namun setelah dibukanya pintu demokrasi pada era
kepemimpinan Presiden Habibie tindakan represif oleh militer tidak lagi sesuai
untuk mengatasi konflik antar etnis (Wibowo, 2015:8).
Gelombang demokrasi yang semakin terbuka berdampak pada tuntutan
masyarakat atas penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM) serta
eksistensi kelompok masyarakat mengandung bahaya perpecahan suatu negara.
Hal ini telah diramalkan oleh Samuel P. Huntington dalam the Clash of
Civilization sebagaimana dikutip Mahfud (2006:viii) potensi disintegrasi dapat
disebabkan oleh kebebasan berdemokrasi, yang mengarah pada tuntutan
persamaan hak berpolitik, social, budaya, ekonomi, kesukuan, bahkan agama.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Wahid Institut (2007) menyebutkan
saat ini toleransi masyarakat di Indonesia sudah pada taraf “lampu kuning”.
Artinya, memerlukan perhatian sangat serius serta program-program lebih terarah
7
untuk bisa segera menyelamatkan, sebelum nantinya jatuh ke dalam situasi yang
semakin buruk. Ini tanggung jawab kita bersama dalam berbangsa. Sebab, kalau
sampai muncul konflik antarmasyarakat, maka 36,3 persen kesalahan akan
ditimpakan kepada tokoh agama, kemudian 35,6 persen kepada pemerintah, 7,4
persen kepada presiden, dan 6 persen kepada polisi (Qadari dalam Wahid Institut,
Juni 2007).
Lembaga pendidikan sebenarnya merupakan wadah yang strategis dan
potensial untuk mengenalkan multikuluralisme di Indonesia. Hal ini dikarenakan
sekolah menyediakan ruang bagi penanaman dan pengimplementasian nilai-nilai
etika dan kebajikan. Pendidikan bukan hanya sekedar transfer knowledge tetapi
juga transfer of value.Transfer of value dimaksudkan untuk pewarisan nilai-nilai
etis-religius-humanis dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya. Hal ini
sejalan dengan pendapat Paulo Freire (Kiftiah, 2011), pendidikan bukan
merupakan "menara gading" yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya.
Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang
terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan
prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.
Sekolah merupakan lembaga yang tepat dalam membumikan pendidikan
multikultural ditengah-tengah kekhawatiran akan bahaya disintegrasi bangsa.
Dalam pendidikan multikultural yang diselenggarakan disekolah, seluruh elemen
sekolah memiliki peran yang cukup sentral. Seorang guru tidak hanya dituntut
untuk menguasai dan mampu secara profesional mengajarkan mata pelajaran yang
diajarkan. Lebih dari itu, seorang pendidik juga harus mampu menanamkan nilai-
nilai inti dari pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme, dan
pluralisme atau menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif pada peserta
didik. Selain guru, kepala sekolah juga mempunyai peranan yang cukup vital
dalam pendidikan multikultural dimana kebijakan-kebijakan yang dihasilkannya
dapat menuntun ke dalam suatu kondisi yang sangat menuntut pemahaman kepada
perbedaan dan keragaman yang ada. Melalui pendidikan multikultural disekolah,
subjek belajar dapat mencapai kesuksesan dalam mengurangi prasangka dan
diskriminasi (Banks, 1996).
8
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu wilayah terkecil
di Indonesia yang memiliki luas 3.185,80 km2 dengan 5 Kabupaten/ Kota, dan
merupkan terkecil kedua setelah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta yang memiliki
luas 740,29 km2. Meskipun kecil namun DIY merupakan miniatur Indonesia,
bermacam suku bangsa Indonesia dengan perbedaannya tinggal di wilayah
tersebut. DIY memiliki lebih kuranag 120 perguruan tinggi baik negeri, swasta
setingkat Universitas sampai dengan akademi sehingga daerah ini disebut juga
dengan Kota Pelajar. Banyak Pelajar dari luar Jawa menimba ilmu di DIY mulai
tingkat SMA sampai dengan perguruan Tinggi.
Pelajar-pelajar dari berbagai daerah yang menuntut ilmu di DIY pada
umumnya tergabung dalam organisasi-organisasi kedaerahan, seperti Ikatan
Pelajar Papua, Ikatan Pelajar Bugis, Ikatan Pelajar Makassar, Ikatan Pelajar Riau,
Ikatan Pelajar Batak, Minangkabau dan lain sebagainya. Bahakan pelajar dari
Jawa sendiri juga bergabung dalam ikatan pelajar yang berbau kedaerahan seperti,
Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Tegal, Serulingmas, Madura, dan lain sebagainya.
Kondisi multikultural sebagaimana diuraikan pada latar belakang di atas
jika tidak dikelola dengan baik maka dapat menimbulkan potensi konflik berupa
intoleransi terhadap keragaman yang ada. Berangkat dari latar belakang di atas,
penelitian ini hendak mengkaji sejauhmana persepsi peserta didik terhadap
implementasi pendidikan multikultural di Sekolah lanjutan Tingkat Atas.
Persepsi peserta didik terhadap implementasi pendidikan multikultural di
sekolah pada akhirnya akan memunculkan kecerdasan psikomotorik yaitu sikap
dan perilaku. Sikap dan perilaku tersebut dapat berupa sikap toleransi dan
intoleransi sebagai akibat multikulturalisme. Pendidikan multikultural di berupa
hidden kurikulum yaitu menempel pada seluruh mata pelajaran di sekolah.
1.2. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang di atas penelitian ini hendak mengkaji
implementasi pendidikan multikultural pada lembaga pendidikan setingkat SLTA
(SMA, SMK, dan MA) di D.I. Yogyakarta. Secara operasional rumusan masalah
tersebut diturunkan dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut.
9
1. Berapakah indeks multikulturalisme pada lembaga pendidikan setingkat
SLTA (SMA, SMK, MA) di D.I. Yogyakarta dilihat dari kategori sekolah
perkotaan dan pedesaan?
2. Adakah perbedaan pendidikan multikultural pada lembaga pendidikan
setingkat SLTA (SMA,SMK, dan MA) terhadap persepsi peserta didik pada
level perkotaan dan pedesaan terhadap level jenis sekolah (SMA, SMK, dan
MA).
3. Bagaimanakah sikap toleransi peserta didik sebagai akibat dari pendidikan
multikultural di satuan pendidikan masing masing (SMA,SMK, MA)
1.3. Tujuan Penelitian
Berangkat dari rumusan masalah di atas penelitian ini bertujuan untuk
mengkaji implementasi pendidikan multikultural pada lembaga pendidikan
setingkat SLTA (SMA, SMK, dan MA) di D.I. Yogyakarta. Secara operasional
rumusan masalah tersebut diturunkan dalam beberapa pertanyaan penelitian
sebagai berikut.
1. Untuk melihat indeks multikulturalisme pada lembaga pendidikan setingkat
SLTA (SMA,SMK, MA) di D.I. Yogyakarta dilihat dari kategori sekolah
perkeotaan dan pedesaan?
2. Untuk melihat perbedan pendidikan multikultural pada lembaga pendidikan
setingkat SLTA (SMA,SMK, dan MA) terhadap persepsi peserta didik pada
level perkotaan dan pedesaan terhadap level jenis sekolah (SMA, SMK, dan
MA).
3. Untuk melihat sikap peserta didik sebagai akibat dari pendidikan multikultural
di satuan pendidikan masing masing (SMA,SMK, MA)
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik secara prkatis
maupun teoritik. Manfaat praktis yang diharapkan dapat diambil dari penelitian ini
adalah terukurnya indeks multikulturalisme dan potensi-potensi yang muncul di
D.I. Yogyakarta yang dapat dijadikan salah satu bahan perumusan kebijakan
Kementerian Agama terkait dengan regulasi pendidikan di Lembaga setingkat
10
SMA. Sedangkan secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan
sumbangan referensi ilmiah tentang metodologi penelitian indeks, yang
selanjutnya dapat dikembangkan untuk penelitian-penelitian indeks dengan fokus
kajian yang berbeda.
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORITIK
2.1. Kajian Pustaka
Penelitian Wibowo dkk (2015) berjudul Pendidikan Multikultural di Pulau
Dewata menyebutkan, pendidikan agama berbasis multikultural merupakan
keniscayaan yang harus diterapkan dalam lembaga pendidikan di Indonesia.
Pendidikan agama berbasis multikultural akan melahirkan generasi-generasi yang
siap bergaul, berinteraksi, bekerjasama, saling isi mengisi, saling harga
menghargai, hormat menghormati sesama manusia tanpa harus saling menyakiti
atau menganggap salah ajaran agama, budaya orang lain.
Dewi Indrapangastuti (2014) dalam Jurnal Pembangunan dan pendidikan
volume 2 No 1, berjudul Praktek dan Problematik Pendidikan Multikultural Di
SMK mengasilkan temuan pendidikan multikultural adalah sebuah konsep yang
dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi
semua peserta didik yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok
budaya. Melalui pendidikan multikultural peserta didik diharapkan dapat dengan
mudah memahami, menguasai, memiliki kompetensi yang baik, bersikap dan
menerapkan nilai-nilai demokratis, humanisme dan pluralisme di sekolah dan di
luar sekolah.
Penelitian Rochmaniyah (2014) berjudul Implementasi Pendidikan
Multikultural pada sekolah Inklusi di Yogyakarta mengungkapkan model
pendidikan multukultural pada sekolah inklusi terbilang sangat baik karena semua
unsur dalam sekolah tersebut mampu bekerjasama dalam proses pendidikan.
Dalam menerapkan pendidikan multikultural sekolah inklusi melakukan inovasi
kritis serta kreasi terhadap kurikulum yang ada dengan cara memasukan unsure
multikulturalisme dalam semua kegiatan belajar mengajar baik intra kurikuler
maupun ekstrakurikuler dan metode pembelajaran. Sekolah inklusi mampu
menghargai peserta didik yang berkebutuhan khusus dengan cara memberikan
ruang gera yang massif, dalam proses pembelajaran, memberikan guru
pendamping yang mencakup kognitif, afekstif dan psikomotorik. Sehingga peserta
12
didikmemiliki sikap saling menghargai, toleransi, terbuka, dalam berfikir,
membangun kepercayaan diri, dan interdepedens.
2.2. Kerangka Teoritik
2.2.1. Pendidikan Multikultural
Proses pendidikan di sekolah formal memiliki peran strategis dalam usaha
menanamkan pendidikan multikultural pada peserta didik. Namun menjadi sebuah
pertanyaan besar bagi kita apakah prinsip-prinsip pendidikan serta fungsi
pendidikan sebagaimana tercantum dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional telah terimplementasi pada tataran praktis di lembaga-
lembaga pendidikan formal di Indonesia.
Terkait dengan pelayanan pendidikan, bentuk pelayan yang dilakukan
Pemerintah republic Indonesia Penyelenggaraan pendidikan diuraikan dalam
Undang-Undang Sisdiknas No 20 Tahun 2003 yang memuat enam prinsip sebagai
mana tercantum dalam pasal 4 yaitu demokratis berkeadilan dan tidak
diskriminatif, sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna, pembudayaan dan
pemberdayaan peserta didik, keteladanan, mengembangkan budaya membaca
menulis dan berhitung, melibatkan semua komponen masyarakat.
Multikulturalisme” pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian
dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan
penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang
terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami
sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik
(Azra, 2007).
Pendidikan multikultural sebagai sebuah kebijakan sosial yang didasarkan
pada prinsip-prinsip pemeliharaan budaya dan saling memiliki rasa hormat antara
seluruh kelompok budaya di dalam masyarakat. Pendidikan multikultural pada
dasarnya merupakan program pendidikan bangsa agar komunitas multikultural
dapat berpartisipasi dalam mewujudkan kehidupan demokrasi yang ideal bagi
bangsanya (Banks, 2007). Lebih lanjut Banks mengatakan bahwa pendidikan
multikultural dapat didefinisikan menurut tiga hal, yaitu ide atau konsep, gerakan
reformasi, dan proses berkelanjutan. Sebagai ide, pendidikan multikultural
13
mengandung makna bahwa semua peserta didik, tanpa memperhatikan gender,
status sosial, suku, ras atau karakteristik budaya, wajib memperoleh kesempatan
yang sama untuk belajar di sekolah. Sebagai gerakan reformasi, pendidikan
multikultur dirancang untuk membuat perubahan di sekolah dan isntitusi
pendidikan sehingga seluruh peserta didik dari semua kelas sosial, gender, ras,
dan kelompok budaya dapat memperoleh kesempatan yang sama untuk belajar.
Sebagai proses berkelanjutan, pendidikan multikultural adalah proses terus
menerus diterapkan di segala aspek pendidikan di sekolah dengan tujuan
persamaan hak memperoleh pendidikan dan meningkatkan prestasi akademik
untuk mencapai potensi tertinggi dirinya sebagai manusia yang mungkin tidak
pernah tercapai sempurna tapi tetap terus diupayakan (Banks, 2007, p.82).
Sleeter, Grant dan Smith dalam zamroni (2011:144) mendefinisikan
pendidikan multikultural sebagai suatu pendekatan progresif untuk melakukan
transformasi pendidikan yang secara holistik memberikan kritik dan menunjukkan
kelemahan-kelemahan, kegagalan-kegagalan dan diskriminasi yang terjadi di
dunia pendidikan (saat ini). Pendidikan multikultural sebagai suatu bentuk
pendidikan yang bertumpu pada keadilan sosial, kesetaraan pendidikan dan suatu
dedikasi guna memberikan pengalaman pembelajaran di mana seluruh peserta
didik dapat mencapai perkembangan secara optimal (Zamroni, 2011:144).
Lebih lanjut Zamroni mengungkapkan, pendidikan multikultural bukan
sekedar perubahan di bidang kurikulum atau perubahan dalam proses
pembelajaran, melainkan dikonseptualisasikan sebagai gerakan reformasi
pendidikan untuk menghilangkan penindasan dan ketidakadilan sehingga terwujud
keadilan dan kesetaraan dalam pendidikan, yang menjamin semua peserta didik
akan berhasil mencapai prestasi maksimal, sesuai dengan minat, bakat, dan
ketertarikannya (Zamroni, 2011:145).
Nieto dalam Noel (2000: 300) mengemukakan karakteristik dasar
pendidikan multikultural adalah sebagai berikut: 1) pendidikan multikultural
adalah pendidikan anti rasis, 2) pendidikan multikultural adalah pendidikan dasar,
3) pendidikan multikultural adalah penting untuk seluruh peserta didik, 4)
pendidikan multikultural adalah pervasive (spektrumnya luas), 5) pendidikan
multikultural adalah untuk social justice (keadilan sosial), 6) pendidikan
14
multikultural adalah suatu proses, dan 7) pendidikan multikultural adalah critical
pedagogy (pedagogi kritis).
Tujuan pendidikan multikultur menurut Banks (2002:1-2) adalah: 1) untuk
membantu individu mendapatkan pemahaman diri yang lebih besar dengan
melihat diri dari sudut pandang budaya lain; 2) untuk memberikan peserta didik
suatu alternatif budaya dan etnis; 3) untuk menyediakan keterampilan, sikap, dan
pengetahuan yang dibutuhkan semua peserta didik untuk berfungsi dalam budaya
etnis mereka, dalam budaya mainstream, dan dalam dan lintas budaya etnis
lainnya; serta 4) untuk mengurangi rasa sakit dan diskriminasi bahwa pengalaman
anggota dari beberapa kelompok etnis dan ras karena karakteristik unik mereka
ras, fisik, dan budaya.
Zamroni (2011:152) mengemukakan beberapa tujuan yang akan
dikembangkan pada diri peserta didik dalam proses pendidikan multikultural,
yaitu:
1. Peserta didik memiliki critical thinking yang kuat, sehingga bisa mengkaji
materi yang disampaikan secara kritis dan konstruktif.
2. Peserta didik memiliki kesadaran atas sifat curiga atas pihak lain yang dimiliki,
dan mengkaji mengapa dan dari mana sifat itu muncul, serta terus mengkaji
bagaimana cara menghilangkan sifat curiga tersebut.
3. Peserta didik memahami bahwa setiap ilmu bagaikan sebuah pisau bermata
dua, ada sisi baik dan ada sisi buruk. Semua tergantung pada yang memiliki
ilmu tersebut.
4. Peserta didik memiliki keterampilan untuk memanfaatkan dan
mengimplementasikan ilmu yang dikuasai.
5. Peserta didik bersifat sebagai a learning person, belajar sepanjang hayat masih
di kandung badan.
6. Peserta didik memiliki cita-cita untuk menempati posisi sebagaimana ilmu
yang dipelajari. Namun, juga menyadari bahwa posisi tersebut harus dicapai
dengan kerja keras.
7. Peserta didik dapat memahami keterkaitan apa yang dipelajari dengan kondisi
dan persoalan yang dihadapi bangsa.
15
Pendidikan multikultural menghendaki rasionalisasi etis, intelektual, sosial
dan pragmatis secara interrelatif yaitu mengajarkan ideal-ideal inklusivisme,
pluralism, dan saling menghargai semua orang – dan kebudayaan merupakan
imperative humanistic yang menjadi prasyarat bagi kehidupan etis dan partisipasi
sipil secara penuh dalam demokrasimultikulturaldan dunia manusia yang
beragam. (Baidhawy, 2005:8).
Pendidikan multikultural diartikan sebagai proses pendidikan yang
memberikan peluang sama pada seluruh anak bangsa tanpa membedakan
perlakuan karena perbedaan etnik, budaya, dan agama dalam upaya memperkuat
persatuan persatuan dan kesatuan, identitas nasional dan citra bangsa di mata
dunia internasional. Pendidikan multikultural mempersiapkan peserta didik untuk
aktif sebagai warga negara dalam masyarakat yang secara etnik, kultural, dan
agama beragam. Pendidikan multikultural diperuntukkan bagi semua peserta didik
tanpa memandang latar belakang suku, agama, dan budayanya. Konsep
pendidikan multikultural sangat relevan diterapkan di Indonesia yang plural
dengan beragam suku, agama, dan budaya, dalam rangka memupuk jiwa toleransi
pada peserta didik dalam menyikapi realita kemajemukan yang ada di setiap
pergaulannya.
Pendidikan multikultural mempersiapkan peserta didik untuk aktif sebagai
warga negara dalam masyarakat yang secara etnik, kultural, dan agama beragam.
Pendidikan multikultural ini diperuntukan untuk semua peserta didiktanpa
memandang latar belakang agama, etnisitas, dan kebudayaan.
Berdasarkan pendapat dari para ahli di atas, dapat dikatakan bahwa
pendidikan multikultural adalah sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk
menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua peserta didik yang
berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Tujuan penting
lainnya dari konsep pendidikan multikultural adalah untuk membantu semua
peserta didik agar memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan yang
diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat
demokratik-pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan
komunikasi dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan
masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.
16
2.2.2. Sikap Toleran dan Intoleran
Kata “toleransi dalam Webster’s World Dictionary of American
Language,kata berarti “sikap membiarkan,mengakui, dan menghormati keyakinan
orang lain tanpa memerlukan persetujuan”. Sedangkan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia dijelaskan, toleransi adalah sifat atau sikap toleran, yaitu
bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan,membolehkan)
pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan) yang berbeda
atau bertentangan dengan pendirian sendiri, misalnya toleransi agama (ideologi,
ras, dan sebagainya) (Poerwdarminta, 2005:1204). Toleransi ini erat kaitannya
dengan masalah kebebasan atau kemerdekaan hak asasi manusia dalam tata
kehidupan bermasyarakat, sehingga mengizinkan berlapang dada terhada padanya
perbedaan pendapat dan keyakinan dari setiap individu. Toleransi adalah
kerukunan dalam perbedaan” “kesediaan untuk menghargai, menerima, atau
menghormatisegala sesuatu yang ditolak atau ditentang oleh seseorang” (Mujani,
2007:162). Lorens Bagus menjelaskan, toleransi adalah sikap seseorangyang
bersabar terhadap keyakinan filosofis dan moral orang lain yang dianggap
berbeda, dapat disanggah,atau bahkan keliru. Dengan sikap itu ia juga tidak
mencoba memberangus ungkapan-ungkapan yang sah keyakinan-keyakinan orang
lain tersebut. Sikap semacam ini tidak berarti setuju terhadap keyakinan-
keyakinan tersebut. Juga tidak berarti acuh tak acuh terhadap kebenaran dan
kebaikan, dan tidak harus didasarkan atas agnostisisme, atau skeptisisme,
melainkan lebih pada sikap hormat terhadap pluriformitas dan martabat manusia
yang berbeda (Lorens, 1996:1111-1112).
Sikap toleran itu bukan hanya membutuhkan kesadaran, tetapi juga
semangat, gairah, perjuangan dalam bersikap toleran demi hidup bersama yang
lebih baik. Dalam hubungannya dengan agama dan kepercayaan, toleransi berarti
menghargai, membiarkan, membolehkan kepercayaan, agama yang berbeda itu
tetap ada, walaupun berbeda dengan agama dan kepercayaan seseorang. Toleransi
tidak berarti bahwa seseorang harus melepaskan kepercayaannya atau ajaran
agamanya karena berbeda denganyang lain, tetapi mengizinkan perbedaan itu
tetap ada.
17
Toleran merupakan satu sikap keberagamaan yang terletak antara dua titik
ekstrim sikap keberagamaan, yaitu eksklusif dan pluralis. Berangkat dari beberapa
penjelasan mengenaipengertian toleransi beragama tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa toleransi beragama adalah kesadaran seseorang untuk
menghargai, menghormati, membiarkan, dan membolehkan pendirian, pandangan,
keyakinan, kepercayaan, serta memberikan ruang bagi pelaksanaan
kebiasaan,perilaku, dan praktik keagamaan orang lain yangberbeda atau
bertentangan dengan pendirian sendiri dalamrangka membangun kehidupan
bersama dan hubungan sosialyang lebih baik.
Dari teori-teori tentang pendidikan multikultural dan sikap toleransi
sebagaimana diuraikan tersebut di atas maka dapat ditarik sebuah benang merah
bahwa tujuan pendidikan multikultural adalah sebagai berikut:
1. Mengkonstruksi pikiran kritis untuk hidup saling percaya
2. Membangun hidup bersama dalam perbedaan
3. Menghilangkan rasa curiga dengan memelihara saling pengertian
4. Terbuka dalam berfikir atas faham-faham yang berbeda
5. Menjunjung sikap saling menghargai (mutual respect),
6. Menghargai pendapat orang lain
7. Resolusi konflik tanpa kekerasan.
8. Bekerja keras demi kemajuan bangsa.
2.2.3. Kategori Perkotaan dan Pedesaan
Kota merupakan kawasan pemukiman yang secara fisik ditunjukkan oleh
kumpulan rumah-rumah yang mendominasi tata ruangnya dan memiliki berbagai
fasilitas untuk mendukung kehidupan warganya secara mandiri.
Kota dibedakan secara kontras dari desa ataupun kampung berdasarkan
ukurannya, kepadatan penduduk, kepentingan, atau status hukum. Desa atau
kampung didominasi oleh lahan terbuka bukan pemukiman. Menurut UU No. 32
Tahun 2004 kota merupakan Daerah Otonom, bagian daerah kabupaten yang
memiliki ciri perkotaan, bagian dari 2 atau lebih daerah yang berbatasan langsung
dan memiliki ciri perkotaan. Dalam sudut pandang geografi, kota merupakan
suatu daerah yang memiliki wilayah batas administrasi dan bentang lahan luas,
18
penduduk relatif banyak, adanya heterogenitas penduduk, sektor agraris sedikit
atau bahkan tidak ada, dan adanya suatu sistem pemerintahan.
Suatu daerah dinamakan kota jika memenuhi syarat seperti Heterogenitas
penduduk, Pusat peradaban, Pemerintahan, Stratifikasi sosial lebih besar,
Individualis, Kontak sosial lebih banyak, Mata pencaharian : Non agraris
heterogen, rumah dengan tempat kerja : Jauh – terpisah, Kepadatan penduduk :
Tinggi, dan Kepadatan rumah Tinggi.
Sedangkan Pengertian desa menurut Undan-Undang No 6 tahun 2014
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat
setempat berdasrkan prakarsa masyarakat, hak asal usul dan atau hak tradisional
yang diakui dan dihormati dalam system pemerintahan Negara Kesatuan republic
Indonesia. Ciri-ciri masyarakat desa adalah sebagai berikut
1. Kehidupan tergantung pada alam
2. Toleransi sosialnnya kuat
3. Adat-istiadat dan norma agama kuat
4. Kontrol sosialnya didasarkan pada hokum informal
5. Hubungan kekerabatan didasarkan pada Gemeinssehaft (paguyuban)
6. Pola pikirnya irrasional
7. Struktur perekonomian penduduk bersifat agraris.
Terkait dengan lokus penelitian yaitu D.I. Yogyakarta, untuk menentukan
apakah wilayah di D.I. Yogyakarta termasuk dalam kategori perkotaan atau
pedesaan, dipergunakan buku peraturan Kepala Badan Pusat Statistik No 37 tahun
2010 tentang klasifikasi perkotaan dan pedesaan di Indonesia.
Daerah perkotaan, adalah suatu wilayah administratif setingkat
desa/kelurahan yang memenuhi persyaratan tertentu dalam hal kepadatan
penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan sejumlah fasilitas perkotaan,
sarana pendidikan formal, sarana kesehatan umum, dan sebagainya (BPS,
2010:11).
Daerah perdesaan, adalah suatu wilayah administratif setingkat
desa/kelurahan yang belum memenuhi persyaratan tertentu dalam hal kepadatan
penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan sejumlah fasilitas perkotaan,
19
sarana pendidikan formal, sarana kesehatan umum, dan sebagainya
(BPS,2010:11).
Tentang pembagian wilayah di DIY apakah masuk kota dan desa dapat
dilihat dalam lampiran.
2.3. Kerangka Pikir
Dalam tataran teori, pendidikan karakter bagi siswa-siswa di bangku
sekolah sangat menjanjikan dalam menjawab persoalan pendidikan di Indonesia.
Namun dalam tataran praktik, seringkali terjadi bias dalam penerapannya. Salah
satu butir karakter yang terpenting di lingkungan siswa dewasa setingkat SLTA
adalah rasa toleransi. Sebagai sebuah upaya keras yang dilakukan oleh para
pendidik membekali peserta didik mengembangkan karakter toleransi adalah tidak
mudah. Seperti yang diungkapkan pada latar belakang laporan ini, bahwa rasa
toleransi bagi siswa setingkat sekolah lanjutan atas adalah sangat erat
hubungannya dengan konsep multicultural. Dimana ada perbedaan terkait dengan
multicultural disitu harus berkembang dengan yang namanya toleransi.
Bagi masyarakat pendidikan setingkat SLTA di wilayah Daerah Istimewa
Yogyakarta, sangatlah kompleks keberadaanya terhadap konsep multikultiral.
Yogyakarta merupakan wilayah mini Indonesia, dimana masyarakat didik yang
ada di sana datang dari berbagai suku, berbagai latar belakang agama, berbagai
lapisan ekonomi di seluruh wilayah Indonesia. Oleh karena sangat kompleksnya
lapangan maka konsep pendidikan karakter tentang toleransi telah diperjuangkan
oleh para guru. Heterogenitas data tidak hanya ada pada peserta didik, namun juga
para pendidiknya pun datang dari berbagai wilayah di Indonesia.
Peserta didik yang berada di lingkungan SMA memiliki karakteristik yang
masih bersifat general (umum), bagi siswa MA memiliki karakteristik hamper
homogeny dalam bidang keagamaan, dan bagi siswa SMK memiliki karakteristik
yang menjurus pada bidang vokasional. Oleh karena mereka harus hidup bersama
berdampingan masing-masing harus berjuang memperoleh cita-cita
pendidikannya yang dilingkupi oleh masing-masing kurikulumnya, adanya aturan-
aturan dalam bentuk kebijakan sekolah yang multicultural, dan pada waktunya
akan dilakukan monitoring dan evaluasi dalam hidup kebersamaannya maka mau
20
tidak mau akan terbentuk rasa toleransi yang tinggi diantara mereka (indeks
toleransinya tinggi).
Kadar kualitas toleransi bagi masing-masing peserta didik yang
dihasilkannyapun ada perbedaan. Bagi peserta didik SMA, mereka masih punya
pemikiran yang umum ada cita-cita studi lanjut mereka butuh komunikasi yang
lebih luas. Bagi peserta didik SMK yang lebih banyak berorientasi pekerjaan,
mereka akan pilih-pilih dalam berkomunikasi. Selanjutnya bagi peserta didik MA
yang lebih homogen dalam hal agama, mereka cenderung lebih inklusif dalam
mengebangkan komunikasi.
Kadar kualitas toleransi peserta didik ditinjau dari letak geografinyapun
ada perbedaan bagi peserta didik yang berasal dari desa maupun berserta dari
kota. Peserta didik yang berasal dari kota, mereka sudah lebih kompleks akan
kebutuhan hidupnya. Mereka sudah lebih banyak dipengaruhi oleh kemudahan
komuniksi lewat jejaring social, bila disbanding yang berasal dari desa. Bagi
peserta didik yang berasal dari desa mereka lebih banyak dipengaruhi oleh
kebersamaan, kegotongroyongannya. Tentu mereka yang dari desa akan lebih
tinggi bila disbanding dengan yang berasal dari kota.
Berdasarkan pemikiran di atas peneliti dapat menyimpulkan sementara
yang bersifat hipotetik adalah: terdapat perbedaan kadar toleransi ditinjau dari
jenis sekolah. Toleransi SMA lebih tinggi disbanding dari MSK dan yang terakhir
MA. Terdapat perbedaan kadar toleransi bila dilihat dari letak geografi.
Masyarakat desa lebih toleran dari pada dari luar. Pemikiran di atas dapatlah
digambarkan diagram pemikirannya adalah sebagai berikut:
21
22
BAB IIIMETODE PENELITIAN
3.1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan mixed method perpaduan antara kuantitatif
dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan untuk memperoleh data tentang
indeks pendidikan multikultural pada lembaga pendidikan setingkat SMA (SMA,
SMK, MA) di DIY. Indeks sendiri diperoleh dengan statistic deskripitf yaitu
mencari rata-rata perhitungan statistic dan mengkategorikannya dalam kategori
yang sudah disepakati. Metode kuantitatif juga dipergunakan untuk mengetahui
hubungan klasifikasi Perkotaan dan pedesaan terhadap pendidikan multikultural di
SMA (SMK, SMA, MA).
3.2. Populasi dan sampel Penelitian
Populasi penelitian indeks multikultural pada sekolah menegah atas ini
adalah seluruh SMA, SMK dan MA di DIY baik swasta maupun Negeri. Sampel
satuan pendidikan yang dipakai dalam penelitian ini adalah purposive sampling
yaitu satuan pendidikan yang ada di perkotaan dan pedesaan. Masing-masing
satuan pendidikan yang mewakili pedesaan dan perkotaan. Untuk pengambulan
sampel di tingkat satuan pendidikan digunakan error sampling sebesar 10% yang
mewakili keterwakili SMK, SMA, MA dengan menggunakan Pengambilan
sampel dilakukan secara acak pada SMA-SMA di masing-masing wilayah
Kota/kabupaten di DIY. Penentuan jumlah sampel penelitian dilakukan dengan
menggunakan rumus Slovin:
Dimana n adalah jumlah sampel, N adalah jumlah populasi, dan e adalah error
(tingkat kesalahan).
Pengambilan peserta didik sebagai responden digunakan model stratified
random sampling, yaitu dengan mengambil peserta didik pada kelas X, XI, dan
XII. Pengambilan peserta didik sebagai responden penelitian juga
mempertimbangkan agama yang berbeda (untuk sekolah umum), jenis kelamin
23
yang berbeda, dan suku yang berbeda (jika memungkinkan). Berikut data populasi
dan sampel penelitian.
Tabel 3.1 Proporsi Sampel berdasarkan perhitungan Slovin
WilayahSMA SMK MA
Populasi Sampel Populasi Sampel Populasi Sampel
Yogyakarta 42 9 32 5 6 3
Sleman 43 10 57 10 18 8
Bantul 35 8 49 8 14 6
KulonProgo 16 4 37 6 4 2
Gn Kidul 22 5 46 10 10 4
Jumlah 158 36 221 39 52 23
3.3. Variable penelitian
Penelitian indeks pendidikan multikutural di Indonesia studi pada
sekolah setingkat SLTA memiliki 3 variabel yaitu variable dependen, independen
dan variable control. Variable independen dalam penelitian ini adalah
implementasi pendidikan multicultural di sekolah. Variable independen dalam
penelitian ini adalah jenis sekolah yang meliputi SMA, SMK, dan MA. Variabel
control dalam penelitian ini adalah wilayah sekolah yang meliputi sekolah di
perkotaan dan di pedesaan.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan empat
macam teknik, yaitu wawancara, observasi, dokumen, dan kuesioner.
1. Wawancara
Dalam penelitian ini, teknik wawancara digunakan untuk mengumpulkan
data tentang peran kepala SMA, tenaga pendidik dan kependidikan, dan peserta
didik terkait pandangan mereka pada penerapan pendidikan agama berwawasan
multikultural. Kesiapan yang dimaksud berupa budaya sekolah berwawasan
multikultural, kesiapan menyusun kurikulum, serta faktor pendukung dan
penghambatnya. Wawancara dengan peserta didik dilakukan untuk menggali data
tentang pemahaman mereka terhadap multikulturalisme.
24
2. Observasi
Teknik pengamatan digunakan untuk mengamati antara lain pelaksanaan
budaya sekolah pendukung multikulturalisme, proses pembelajaran di kelas
sebagai bentuk implementasi kurikulum, serta perilaku peserta didik sehari-hari di
sekolah. Teknik ini digunakan untuk mengamati sarpras dan fasilitas yang
mendukung terhadap pendidikan agama berwawasan multikultural.
Dalam penelitian ini observasi yang digunakan adalah bentuk observasi
terstrukstur, yakni observasi yang telah dirancang secara sistematis tentang apa
yang akan diamati, kapan dan dimana tempatnya (Sugiyono, 2013:230).
Sedangkan observasi yang diterapkan adalah non participant observation yakni
peneliti tidak terlibat langsung dengan aktivitas orang-orang yang sedang diamati,
peneliti hanya sebagai pengamat independen.
3. Studi Dokumen
Studi dokumen adalah metode penelitian untuk mencari data mengenai
hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah,
prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya (Arikunto, 2010:274). Dalam
penelitian ini metode dokumen digunakan untuk mendapatkan data-data penting
yaitu profil sekolah meliputi sejarah berdirinya sekolah, visi misi, kondisi guru,
dan tenaga kependidikan, kondisi peserta didik, struktur kurikulum pendidikan
agama, struktur organisasi sekolah, kondisi sarana prasarana sekolah.
4. Kuesioner (Angket)
Kuesioner dipergunakan untuk mengetahui sikap pernyataan peserta didik
terhadap contoh-contoh kasus-kasus yang diberikan. Kuesioner berisi pernyataan-
pernyataan yang berhubungan dengan multikulturalisme dan pluralism dalam
kehidupan beragama. Adapun skala pengukuran yang digunakan adalah skala
sikap. Skala sikap yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala likert. Skala
likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau
sekelompokorang tentang fenomena sosial. Dalam penelitian, fenomena sosial ini
telah ditetapkan secara spesifik oleh peneliti.
25
3.5. Instrumen Penelitian
James Banks (2002:113) menyusun sebuah Benchmarks Multikultural
untuk melihat multikultural atau tidaknya lembaga pendidikan. Benchmark
Multikultural berpijak pada 5 dimensi multikultural sebagaimana tersebut pada
kerangka teoritik meliputi (1) Kebijakan pendidikan yang mendukung
keragaman, (2) sikap positif tenaga kependidikan terhadap keberagaman peserta
didik, (3) kurikulum yang transformasional dan tindakan terfokus pada konsep
keberagaman, (4) strategi pembelajaran yang konstruktifistik menarik, kooperatif
dengan mengakomodasi peserta didik yang berbeda agama, etnik, jenis kelamin
dan status social, (5) monitoring terhadap proses pendidikan multikultural oleh
pengawas sekolah.
Teknik skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan
skala likert yaitu 1 sampai dengan 5. Angka satu merupakan nilai terendah dan
nilai 5 adalah nilai tertinggi.
Tabel 3.2 Variabel Benchmark Pendidikan Multikultural
Dimensi Indikator
Kebijakan Sekolah yangmendukung Ke beragaman
Budaya Sekolah Yang Universal: (Mengkonstruksipikiran kritis untuk hidup saling percaya dalamMembangun hidup bersama dalam perbedaanPeserta didik dari beragam, suku, dan agama dan jeniskelamin yang berbedaPerayaan Hari besar Keagamaan
Sikap Positif TenagaKependidikan
Seluruh Staff dan Tenaga kependidikanmenggambarkan perbedaanPelayanan staf yang adil tanpa memandang perbedaanSikap staff kepada peserta didik yang berbeda etnik,maupun agama
Kurikulum YangTransformationalpembelajaran yangkonstruktifistik (menarik,kooperatif mengakomodasi
Menghilangkan rasa curiga dengan memelihara salingpengertian (Prinsip bagaimana bersikap dengan orangdi luar budaya, agama, dan kelompok yang diajarkanoleh guru)Resolusi konflik tanpa kekerasan (Konsep perbedaanAgama, budaya, dan kelompok dalam pembelajaranoleh Pendidik, Keberterimaan peserta didik terhadapbudaya, agama di luar dirinya)Perilaku positif tentang perbedaan kelompokkarakteristik dari sikap rasial peserta didikpeserta didik bersifat kooperatif daripada kompetitif,individu mengalami status yang sama;kontak antara rasial, beda agama disetujui olehotoritas(orang tua)
26
perbedaan agama, etnik, jeniskelamin dan status social)
penggunaan beragam gaya mengajar yang konsistendengan banyaknya gaya belajar di dalam berbagaikelompok budaya dan ras.Menjunjung sikap saling menghargai (mutual respect)Terbuka dalam berpikir atas faham-faham yangberbeda (Menghargai pendapat orang lain)cara memfasilitasi prestasi akademis dari peserta didikdari berbagai kelompok ras, budaya, dan kelas social
monitoring terhadap prosespendidikan multikultural olehpemerintah
praktik pengelompokan dan penamaan partisipasi olahraga, prestasi yang tidak proporsional, dan interaksistaf, dan peserta didik antar etnis dan rasBekerja keras demi kemajuan bangsa
Sumber: Banks, 2002: 131
Kisi-kisi instrument tersebut di atas akan dijabarkan dalam dalam bentuk
pernyataan-pernyataan peserta didik yang terdiri dari item pernyataan favorable
dan unfavorable yang nantinya akan dijawab oleh peserta didik. Adapun butir-
butir favorable dan unvaforable item butir kuesioner dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 3.3 Kisi-Kisi Instrumen Penelitian
IndikatorButir ke-
Favorable UnfavorableKebijakan Sekolah yangmendukung keberagaman
1,3,4,5,6,7,8,11,13 2, 9,10
Sikap Positif Tenaga Kependidikan 14,15,16, 18,19,20, 22 17,21,23Kurikulum Yang Transformationalpembelajaran yang konstruktifistik
22,23,24,25,26,27,28,29,30,31,32,33
Evaluasi terhadap prosespendidikan multicultural olehpemerintah
34,35,36, 40, 46 37,38,39,41,42, 43,44,45
Sikap toleransi siswa 50,52,53, 56,59 47,48,49,51,54,55, 57,58
Jawaban peserta didik kemudian akan dicari nilai rata-ratanya kemudian
dihubungkan dengan kategori multikultural yang sudah ditentukan sebagaimana
kategori di bawah ini.
Tabel 3.4 Kategori Multikultural Lembaga Pendidikan
Nilai rata-rata Konversi ke nilai 100 Kriteria1 – 1.81.9 – 2.72.8 – 3.63.7 – 4.54.6 – 5
20 - 3738 - 5556 - 7374 - 9192 - 100
Sangat Tidak MultikulturalKurang MultikulturalCukup MultikulturalMultikulturalSangat maultikultural.
27
1. Uji Reliabilitas
Instrument yang digunakan dalam penelitian ini terlebih dahulu
diujicobakan pada beberapa peserta didik SMA. Hasil uji coba dianalisis untuk
menguji validitas dan reliabilitas instrumen. Uji reliabilitas instrumen
menggunakan rumus Alpha Cronbach. Sebuah instrument dinyatakan reliable
adalah ketika hasil perhitungan reliabelitas diperoleh nilai lebih besar dari 0,600.
Uji reliabelitas terhadap 138 responden pada peserta didik SMA, SMK,
dan MA. Dengan menggunakan rumus alfa cronbach pada perhitungan statistic
dengan alat bantu SPSS versi 20 diperoleh nilai alpha cronbach sebagai berikut.
Tabel 3.5 Uji Reliabilitas Instrumen
Case Processing SummaryN %
CasesValid 138 100.0Excludeda 0 .0Total 138 100.0
a. Listwise deletion based on all variables inthe procedure.
Tabel 3.5. Koefisien Alpha Cronbach
Cronbach's Alpha N of Items
.904 59
Dari perhitungan statistik di atas diperoleh nilai alpha cronbach sebesar
0,904. Dengan demikian instrument penelitian telah memenuhi kriteria reliable,
artinya dapat dipergunakan pada pengambilan data.
2. Uji validitas
Validitas instrument dalam penelitian ini dilakukan dengan model validitas
isi (content validity) yaitu validitas yang diperhitungkan melalui pengujian
terhadap isi alat ukur dengan analisis rasional. Pertanyaan yang dicari jawabannya
dalam validitas ini adalah sejauh mana item-item dalam suatu alat ukur mencakup
keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur oleh alat ukur yang
bersangkutan. Dalam validitas isi ini melibatkan beberapa rater (penilai) yang
dipandang kompeten untuk memberikan penilaian terhadap instrumen. Hasil
penilaian tersebut selanjutnya dicari rata-ratanya.
28
Untuk melihat valid tidaknya sebuah item pertanyaan dapat dilihat dengan
membandingkan hasil perhitungan statistic validitas dengan nilai r tabel.
Ketentuan Pengujian Validitas sebuah instrumen apabila angka penghitungan
koefisien korelasi pada setiap item kuesioner lebih besar dari angka pembanding
pada Tabel r Kritik Product Moment ( r > r tabel), maka item kuesioner tersebut
dapat dinyatakan valid; dan sebaliknya apabila perhitungan koefisien korelasi
pada setiap item kuesioner lebih kecil dibandingkan dengan r tabel maka item
kuesioner dinyatakan tidak valid.
Dengan responden 138 responden (df-2) diperoleh nilai r tabel sebesar
1,41. Dari 59 item kuesioner tersebut diperoleh item-item yang nilainya dibawah r
tabel yaitu sebagai berikut.
Tabel 3.6 Hasil Uji Validitas Instrumen
Butir valid Butir tidak valid
1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,13,14,15,16,17,18,19,20,21,23,24,25,27,28,29,30,31,32,33,34,35,38,39,40,41,42,43,44,45,46,47,48,49,51,54,55,57,58,59
26,36,37,50,52,53,56
Tindakan yang dilakukan terhadap item pertanyaan yang tidak valid adalah
dilakukan perbaikan apabila pertanyaan tersebut cukup penting untuk menggali
data responden dan ada yang dihapus. Item kuesioner yang dihapus adalah item
yang sekiranya tidak penting atau sudah terwakili oleh item kuesioner yang valid.
Dari 59 item pertanyaan pada uji coba intrumen setelah dilakukan
perbaikan maka tersusun menjadi 56 item pertanyaan kuesioner.
3.6. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan dua model yaitu
kualitatif dan kuantitatif. Analisis tersebut dipergunakan untuk menjawab
pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan. Analisis kuantitatif digunakan untuk
menjawab pertanyaan pertama dan kedua sedangkan analisis kualitatif
dipegunakan untuk menjawab pertanyaan ke tiga.
Terkait dengan pertanyaan penelitian pertama maka rumus untuk
menghitung indeks pendidikan multicultural dalam penelitian ini adalah dengan
membagi nilai total jawaban peserta didik dibagi dengan total nilai maksimal.
29
Sedangkan untuk menjawab pertanyaan penelitian kedua adalah dengan
menggunakan anova dua jalur. Anova dua jalur dipergunakan untuk melihat
apakah terdapat perbedaan antara wilayah, jenis sekolah dan interaksi antara
wilayah dan jenis sekolah baik itu pendidikan multicultural di SMA, SMK,
maupun MA penelitian ini menggunakan alat uji anova dua jalur, dengan diagram
weiner 2X3 berikut.
Tabel 3.7 Desain faktorial penelitian pendidikan Multikultural pada Peserta didikSMA
Tingkatan Kelas
SMK SMA MA
KategoriSekolah
Perkotaan A1 A2A3
PedesaanB1 B2 B3
Keterangan:
A1 = peserta didik SMK PerkotaanA2 = peserta didik SMA PerkotaanA3 = peserta didik MA PerkotaanB1 = peserta didik SMK pedesaanB2 = peserta didik SMA pedesaanB3 = peserta didik MA pedesaan
Ada 3 hipotesis nol (H0) untuk menguji perbedaan pendidikan
multicultural pada sekolah setingkat SLTA (SMA,SMK, MA) sebagai berikut.
1. Tidak ada perbedaan pendidikan multikultural pada wilayah sekolah di
perkotaan maupun pedesaan.
2. Tidak terdapat perbedaan pendidikan multikultural pada jenis sekolah SMA,
SMK, dan MA
3. Tidak terdapat interaksi antara wilayah sekolah di perkotaan dan pedesaan
terhadap jenis sekolah.
Untuk menjawab pertanyaan penelitian ketiga digunakan analisis
kualitatif, yaitu menganalisis data-data yang bersifat deskriptif dan
mengkategorikan data tersebut sehingga dapat ditarik kesimpulan mengenai
30
potensi toleran (multikultural) dan potensi intoleran pendidikan multikultural pada
sekolah umum di D.I. Yogyakarta.
31
BAB IV
HASI PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Selayang Pandang D.I. Yogyakarta
D.I. Yogyakarta merupakan salah satu daerah setingkat provinsi di
Indonesia yang merupakan peleburan Negara Kesultanan Yogyakarta dan Negara
Kadipaten Paku Alaman. D.I. Yogyakarta terletak di bagian selatan Pulau Jawa,
dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah dan Samudera Hindia. D.I. yang
memiliki luas 3.185,80 km2 ini terdiri atas satu kotamadya, dan empat kabupaten,
yang terbagi lagi menjadi 78 kecamatan, dan 438 desa/kelurahan. Menurut sensus
penduduk 2010 memiliki populasi 3.452.390 jiwa dengan proporsi 1.705.404 laki-
laki, dan 1.746.986 perempuan, serta memiliki kepadatan penduduk sebesar 1.084
jiwa per km2.1
Tabel 4.1 Pembagian Wilayah Administrative D.I. Yogyakarta
No. Kabupaten/KotaPusat
pemerintahanKecamatan
Kelurahan/desa
Luas(km2)
Jumlahpenduduk
1. Kab. Bantul Bantul 17 -/75 506,86 911.503
2.Kab.Gunungkidul
Wonosari 18 -/144 1.485,36 748.119
3.Kab. KulonProgo
Wates 12 1/87 586,27 470.520
4. Kab. Sleman Sleman 17 -/86 574,82 1.093.110
5. Kota Yogyakarta - 14 45/- 32,50 636.660
Sumber: Peraturan Kepala BPS no 37 tahun 2010
Walau secara geografis merupakan daerah setingkat provinsi terkecil
kedua setelah DKI Jakarta, D.I. Yogyakarta ini terkenal di tingkat nasional, dan
internasional, terutama sebagai tempat tujuan wisata andalan setelah Provinsi
Bali.
Pariwisata merupakan sektor utama bagi pemerintah D.I. Yogyakarta.
Banyaknya objek, dan daya tarik wisata di D.I. Yogyarakarta telah menyerap
kunjungan wisatawan, baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan
1 ILPPD Pemprov D.I. Yogyakarta Tahun 2010
32
nusantara. Pada 2010 tercatat kunjungan wisatawan sebanyak 1.456.980 orang,
dengan rincian 152.843 dari mancanegara, dan 1.304.137 orang dari nusantara.2
Bentuk wisata di D.I. Yogyakarta meliputi wisata budaya, wisata alam, wisata
minat khusus, dan berbagai fasilitas wisata lainnya, seperti resort, hotel,
dan restoran. Tercatat ada 37 hotel berbintang, dan 1.011 hotel melati di seluruh
D.I. Yogyakarta pada 2010. Keanekaragaman upacara keagamaan, dan budaya
dari berbagai agama serta didukung oleh kreativitas seni, dan keramahtamahan
masyarakat, membuat D.I. Yogyarakrta mampu menciptakan produk-produk
budaya, dan pariwisata yang menjanjikan. Pada tahun 2010 tedapat 91 desa wisata
dengan 51 di antaranya yang layak dikunjungi.
Secara geografis, D.I. Yogyakarta juga diuntungkan oleh jarak antara
lokasi objek wisata yang terjangkau dan mudah ditempuh. Sektor pariwisata
sangat signifikan menjadi motor kegiatan perekonomian D.I. Yogyakarta yang
secara umum bertumpu pada tiga sektor andalan yaitu: jasa-jasa; perdagangan,
hotel, dan restoran; serta pertanian. Dalam hal ini pariwisata memberi efek
pengganda (multiplier effect) yang nyata bagi sektor perdagangan disebabkan
meningkatnya kunjungan wisatawan. Selain itu, penyerapan tenaga kerja, dan
sumbangan terhadap perekonomian daerah sangat signifikan.
Terkait dengan penyebaran sekolah di D.I. Yogyakarta memiliki semua
jenis jenjang pendidikan dimulai dari pendidikan dasar, menengah dan perguruan
tinggi. Gambaran tentang penyebaran jenjang pendidikan tersebut dapat dilihat
sebagaimana tabel berikut.
Tabel 4.2 lembaga pendidikan di D.I. Yogyakarta
Jenis Sekolah Jumlahlembaga
JumlahGuru/dosen
Guru/dosen yang telahmemenuhi kualifikasi
SD/MI 2035 24093 3900SMP/MTs/SMP terbuka 529 12971 3939SMA/MA/SMK 381 15067 4.826Universitas/institute/sekolahtinggi/ politeknik/akademi
136 9736 9736 Dosen
Sumber: ILPPD Pemprov D.I. Yogyakarta Tahun 2010
Dilihat suku bangsa yang menempati wilayah D.I. Yogyakarta,
berdasarkan data Biro Pusat Statistik tahun 2000 suku bangsa di D.I. Yogyakarta
dapat dilihat berdasarkan sajian tabel dibawah ini.
2 ILPPD Pemprov D.I. Yogyakarta Tahun 2010
33
Tabel 4.3 Suku Bangsa yang Mendiami D.I. Yogyakarta
Nomor Suku Bangsa Jumlah Persentase
1 Jawa 3.020.157 96,82%
2 Sunda 17.539 0,56%
3 Melayu 10.706 0,34%
4 Tionghoa 9.942 0,32%
5 Batak 7.890 0,25%
6 Minangkabau 3.504 0,11%
7 Bali 3.076 0,10%
8 Madura 2.739 0,09%
9 Banjar 2.639 0,08%
10 Bugis 2.208 0,07%
11 Betawi 2.018 0,06%
12 Banten 156 0,01%
13 Lain-lain 36.769 1,18%
Sumber: BPS, 2010
4.2. Lembaga Pendidikan setingkat SLTA di D.I. Yogyakarta
Lembaga pendidikan setingkat SLTA yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, dan Madrasah
Aliyah baik negeri maupun swasta yang berada berlokasi di D.I. Yogyakarta
yaitu di Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Bantul, Gunungkidul dan
Kulonprogo.
Ketika melakukan penelusuran tentang jumlah sekolah setingkat SLTA
peneliti menemukan beberapa perbedaan antara data yang diperoleh secara on line
(melalui website www.pendidikan-diy.go.id), secara manual yaitu dengan
meminta data secara langsung ke kantor dikpora provinsi, maupun data di
lapangan.
Perbedaan tersebut adalah diantaranya masih dimasukannya beberapa
SMA yang sebenarnya sudah tutup atau tidak ada peserta didiknya. Sebuah missal
adalah SMA Swasta Budaya di Prenggan Kotagede Kota Yogyakarta. Peneliti
menngambil sekolah itu karena merupakan sampel yang teracak secara random.
Namun ketika peneliti mendatangi tempat tersebut SMA tersebut sudah tidak ada.
Juga masih ada sekolah lainnya yang tidak ada gedungnya atau bergabung dengan
sekolah lain karena jumlah siswanya sedikit.
34
Untuk memudahkan dalam mengambil data dan menentukan sampel
akhirnya peneliti menggunakan data yang diperoleh secara resmi melalui kantor
Dikpora Provinsi D.I. Yogyakarta yang di dukung dengan data dari Dikpora
masing masing Kota/kabupaten di Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman,
Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul, dan Kabupaten Kulonprogo.
Hasilnya diperoleh jumlah populasi sekolah setingkat SLTA sebagaimana tabel di
bawah ini.
Tabel 4.4 Jumlah Populasi Sekolah Setingkat SLTA di D.I. Yogyakarta
Wilayah PopulasiSMA SMK MA
Yogyakarta 42 32 6Sleman 43 57 18Bantul 35 49 14KulonProgo 16 37 4Gn Kidul 22 46 10Jumlah 158 221 52
Dari jumlah populasi sekolah setingkat SLTA tersebut di atas kemudian
dijadikan patokan untuk menentukan jumlah sampel penelitian. Sampel penelitian
ini bersifat purposive yaitu menentukan sekolah setingkat SLTA yang ada di
perkotaan dan pedesaan sebagai indicator untuk menguji beda pendidikan
multicultural pada sekolah setingkat SLTA di D.I. Yogyakarta. Dari jumlah
populasi tersebut di atas diperoleh jumlah sampel berdasrkan proporsi SMA,
SMK dan MA sebagaimana berikut.
Tabel 4.5 Proporsi Sampel berdasarkan perhitungan Slovin
WilayahSMA SMK MA
Populasi Sampel Popuplasi Sampel Populasi SampelYogyakarta 42 9 32 5 6 3Sleman 43 10 57 10 18 8Bantul 35 8 49 8 14 6KulonProgo 16 4 37 6 4 2Gn Kidul 22 5 46 10 10 4Jumlah 158 36 221 39 52 23
Penentuan satuan pendidikan tersebut berada di daerah perkotaan dan
pedesaan ditentukan secara random dengan menggunakan indicator kota dan
pedesaan dari Biro Pusat Statistik tahun 2010. Untuk wilayah Kota Yogyakarta
semua satuan pendidikan yang dijadikan sampel penelitian merupakan wilayah
perkotaan.
35
Untuk Kabupaten Kulonprogo satuan pendidikan setingkat SLTA yang
mewakili perkotaan terdapat di wilayah kecamatan Wates dan Pengasih.
Sedangkan satuan pendidikan yang mewakili wilayah pedesaan meliputi satuan
pendidikan yang berada di Kecamatan Sentolo, Nanggulan, Samigaluh, Teon, dan
Galur.
Untuk Kabupaten Gunung Kidul satuan pendidikan yang termasuk dalam
wilayah perkotaan berada di Kecamatan Wonosari dan sebagian Playen.
Sedangkan yang masuk dalam kategori satuan pendidikan di wilayah pedesaan
adalah satuan pendidikan yang berada di Kecamatan Tanjungsari, Girisubo,
sebagian Playen, Ngawen, Semin, Karangmojo, Tepus, dan Ponjong.
Untuk Kabupaten Sleman satuan pendidikan yang termasuk dalam wilayah
perkotaan berada di Kecamatan Depok, Tempel, Turi, Sleman, Prambanan,
Berbah, Kalasan, Seyegan, Moyudan, Mlati, Gamping, Ngemplak, Pakem, dan
Ngaglik. Sedangkan satuan pendidikan setingkat SLTA yang masuk dalam
kategori sekolah di pedesaan meliputi sekolah di sebagian Kecamatan Tempel,
dan sebagian Kecamatan Sleman.
Untuk Kabupaten Bantul satuan pendidikan yang termasuk dalam wilayah
perkotaan berada di Kecamatan Jetis, Sedayu, Imogiri, Kasihan, Sewon,
Trirenggo, Pandak, Bantul, Banguntapan, Piyungan, Bambanglipuro, dan Pleret.
Sedangkan yang masuk dalam kategori satuan pendidikan di wilayah pedesaan
adalah satuan pendidikan yang berada di sebagian Kecamatan Jetis, yaitu SMK
Pemanahan.
4.3. Hasil Penelitian
Jumlah total sampel dalam penelitian ini adalah 2823 responden yang
terdiri dari peserta didik dari SMA, SMK, dan MA di 5 kota/kabupaten baik
mewakili perkotaan maupun pedesaan di DIY. Jika dituangkan dalam tabel
gambaran sampel peserta didik yang mewakili masing-masing wilayah adalah
sebagai berikut.
36
Tabel 4.6 Jumlah Responden Peserta didik Berdasarkan Jenis Sekolah
Jenis SekolahFrequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid
SMA 1050 37.2 37.2 37.2SMK 1187 42.0 42.0 79.2MA 586 20.8 20.8 100.0Total 2823 100.0 100.0
Dari tabel di atas terlihat bahwa jumlah sampel terbanyak adalah peserta
didik SMK disusul SMA dan Madrasah Aliyah (MA). Hal ini merupakan
cerminan dari pengambilan sampel berdasrkan rumus slovin. Jika digambarkan
dalam diagram pie distribusi sampel berdasrkan jenis sekolah dapat dilihat dalam
diagram berikut.
Gambar 4.1 Komposisi Sampel Penelitian Berdasarkan Jenis Sekolah
Jika dilihat dari wilayah maka persebarannya sampel dalam penelitian ini
dapat dilihat sebagaimana tabel dibawah ini.
Tabel 4.7 Deskripsi Satuan Pendidikan Berdasarkan Wilayah Kota/Desa
Frequency Percent ValidPercent
CumulativePercent
Valid
sekolahperkotaan 2291 81.2 81.2 81.2
sekolahpedesaan 532 18.8 18.8 100.0
Total 2823 100.0 100.0
Dari tabel di atas terlihat bahwa jumlah sampel terbanyak berada
diwilayah perkotaan yaitu 81,2 persen sisanya bersekolah di pedesaan. Hal ini
37
dikarenakan rata-rata Desa/kelurahan berdasar pada peraturan Kepala BPS no 37
tahun 2010 bahwa wilayah D.I. Yogyakarta adalah masuk dalam kategori
perkotaan. Jika digambarkan dalam diagram pie distribusi sampel berdasarkan
wilayah dapat dilihat dalam diagram berikut.
Gambar 4.2 Komposisi Sampel Penelitian Berdasarkan Wilayah Desa/Kota
4.3.1. Indeks Pendidikan Multikultural Pada Lembaga Pendidikan
Setingkat SLTA (SMA, SMK, MA) di D.I. Yogyakarta.
Indeks multikultural yang dimaksud dalam penelitian ini rerata dari
perolehan nilai instrument indeks pendidikan multicultural yang meliputi 5
indikator pendidikan multicultural yaitu Kebijakan sekolah, sikap positif pegawai
(tata usaha), kurikulum transformasional, monitoring pendidikan multicultural,
dan sikap toleransi peserta didik.
Indeks pendidikan multikultural di D.I. Yogyakarta dapat diketahui
dengan mencari rerata dari total jumlah jawaban siswa, diperoleh:
= 3,86028
38
Nilai 3,806147 jika dikonversikan ke nilai 100 maka indeks multicultural di D.I.
Yogyakarta adalah sebagai berikut.
= 77,20559Berpegang pada nilai kategori indeks pendidikan multicultural maka dapat
disimpulkan bahwa secara umum lembaga pendidikan setingkat SMA, SMK, dan
MA di D.I. Yogyakarta masuk pada kategori multicultural.
4.3.1.1. Indeks multicultural lembaga pendidikan dilihat perKota/
Kabupaten
Dengan menggunakan rumus indeks pendidikan multicultural tersebut di
atas peneliti mencoba menghitung indeks pendidikan multicultural untuk masing-
masing kota/kabupaten. Hasilnya dapat dilihat pada tabel perhitungan indeks
pendidikan multicultural sebagaimana berikut.
Tabel 4.8 Rata-Rata Indeks Multikultural Per kota/kabupaten
Kota/Kab Nilai rata-rataDikonversike nilai 100
Kategori
Kab. Kulon Progo 4.018542 80 Multikultural
Kab. Gunung Kidul 3.9291 79 Multikultural
Kab. Sleman 3.835407 77 Multikultural
Kota Yogyakarta 3.821273 76 Multicultural
Kab. Bantul 3.795887 76. Multikultural
Berdasarkan tabel tersebut di atas maka dapat dilihat bahwa implementasi
pendidikan multicultural pada sekolah setingkat SLTA (SMA, SMK, dan MA dari
yang tertinggi ke yang paling kecil adalah satuan pendidikan di Kab. Kulonprogo,
Gunung Kidul, Sleman, Kota Jogjakarta dan kab Bantul. Jika digambarkan dalam
diagram batang maka implementasi pendidikan multicultural pada sekolah
setingkat SLTA di DIY dapat dilihat dalam diagram batang berikut.
39
Gambar 4.3 Indeks Pendidikan Multikultural Berdasarkan Kaupaten/Kota
4.3.1.2. Uji perbedaan implementasi pendidikan multikultural pada lembaga
pendidikan setingkat SLTA (SMA,SMK, dan MA)
Uji perbedaan implementasi pendidikan multicultural pada lembaga
pendidikan setingkat SLTA (SMA, SMK, dan MA) dapat dilakukan dengan
analisis Two Way Anova (anova dua jalur). Uji perbedaan pendidikan
multicultural pada sekolah setingkat SLTA (SMA,SMK, MA) terkait dengan
perbedaan sekolah yang berada di perkotaan dan sekolah yang berada di pedesaan.
Hipotesis untuk menguji perbedaan dalam penelitian ini adalah
H0 menyatakan bahwa tidak ada perbedaan pendidikan multikultural pada
sekolah setingkat SLTA (SMK, SMA, MA) dengan faktor wilayah yaitu sekolah
di perkotaan dan pedesaan. Terdapat tiga hipotesis nol (H0) untuk menguji
perbedaan pendidikan multicultural di sekolah setingkat SLTA di DIY yaitu
1. Tidak terdapat perbedaan antara sekolah yang berada di wilayah perkotaan dan
di pedesaan
2. Tidak terdapat perbedaan pendidikan multicultural antara SMA, SMK, dan MA
3. Tidak terdapat interaksi antara wilayah sekolah dan jenis sekolah
Dengan menggunakan spss versi 20, alat uji anova dua jalur diperoleh
hasil perhitungan sebagaimana disajikan pada tabel berikut.
40
Tabel 4.9 Tabel Two Way ANOVA
Dependent Variable: Nilai_multikulturalSource Type III Sum
of SquaresDf Mean Square F Sig.
Corrected Model 296566.264a 5 59313.253 103.635 .000Intercept 57566863.279 1 57566863.279 100584.017 .000wilayah 42931.330 1 42931.330 75.012 .000jenis_sekolah 62352.788 2 31176.394 54.473 .000wilayah *jenis_sekolah
16501.814 2 8250.907 14.416 .000
Error 1612242.768 2817 572.326Total 121873792.000 2823Corrected Total 1908809.033 2822a. R Squared = .155 (Adjusted R Squared = .154)
Perhitungan uji anova dua jalur di atas diperoleh hasil perhitungan
signifikansi pada variabel wilayah (sekolah di perkotaan dan pedesaan) sebesar
0,000. Nilai signifikansi hasil uji statistik tersebut jika dibandingkan dengan taraf
signifikanis alpha 5% (confidence level at 95%) adalah lebih kecil sehingga H0
ditolak. Maka diperoleh kesimpulan bahwa terdapat perbedaan pendidikan
multicultural pada sekolah setingkat SLTA (SMA,SMK, MA) yang berada di
perkotaan dan di pedesaan.
Perhitungan anova untuk variabel jenis sekolah (SMK/SMA/MA)
diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,000. Jika nilai ini dibandingkan dengan taraf
signifikansi alfa 5% (confidence level at 95%) maka nilai signifikansi jenis
sekolah lebih kecil dari nilai alpha. Hal ini berarti hipoteisis nol (H0) yang
berbunyi tidak terdapat perbedaan jenis sekolah SMA, SMK, MA ditolak. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa untuk variabel jenis sekolah terdapat
perbedaan multicultural pada peserta didiknya.
Pada nilai signifikansi interaksi antara wilayah dengan jenis sekolah
diperoleh hasil perhitungan 0,011. Jika dibandingkan dengan taraf signifikansi
alfa 5% (Confidence level at 95%) maka nilai signifikasni hasil perhitungan lebih
kecil. Dengan demikian maka H0 yang berbunyi tidak terdapat interaksi antara
wilayah dan jenis sekolah ditolak. Artinya antara wilayah sekolah dan jenis
sekolah saling mempengaruhi terhadap multikultrualisme.
41
4.3.1.3. Sikap toleransi peserta didik sebagai akibat dari implementasi
pendidikan multikultural di satuan pendidikan
Sikap toleransi peserta didik dapat dilihat dari jawaban pertanyaan yang
diberikan peserta didik kepada peneliti. Ada 11 pertanyaan terkait dengan
multikulturalisme peserta didik meliputi sifat kedaerahan, sifat keagamaan, sikap
curiga terhadap bantuan social, kekerasan atas nama agama, egoisme, dan
pergaulan sesame teman. Adapun uraian tentang sikap toleransi peserta didik
dijabarkan sebagai berikut.
1. Sikap kedaerahan
Sikap toleransi peserta didik terkait dengan sikap kedaerahan diwakili oleh
4 pertanyaan yakni; (1) saya akan membela teman satu suku atau satu daerah jika
terjadi perselisihan diantara teman teman saya, (2) saya akan tertawa ketika ada
orang berdialek “Ngapak” (banyumasan) atau Madura berbicara karena terkesan
kampungan, (3) saya lebih senang berteman dengan orang yang berasal dari suku
saya, dan (4) kalau nanti saya bekerja di luar daerah saya akan minta dipindahkan
kembali ke daerah saya. Hasilnya dapat dilihat pada diagram pie berikut ini.
Gambar 4.4 Persentase sikap peserta didik jika terjadi perselisihan
Dari diagram tersebut terlihat bahwa sikap toleransi peserta didik dilihat
dari apakah ia akan membela teman satu suku apabila terjadi perselisihan diantara
teman-teman yang beda suku terlihat bahwa sebanyak 62% peserta didik akan
42
membela teman satu sukunya jika terjadi perselisihan sesame teman 21%
menjawab ragu-ragu dan 17 % menjawab tidak setuju.
Gambar 4.5 Persentase sikap peserta didik terhadap Dialek Daerah
Dari diagram tersebut terlihat bahwa sikap toleransi peserta didik jika
melihat atau mendengar dialek Ngapak (banyumasan) dan orang Madura
berbicara akan tertawa karena terkesan kampungan sebesar 58%, dan 22% tidak
akan tertawa serta 21% ragu-ragu untuk mengambil sikap.
Gambar 4.6 Persentase sikap peserta didik terhadap pertemanan suku
Dari diagram tersebut terlihat bahwa sikap toleransi peserta didik apakah
ia lebih senang berteman dengan orang satu suku sebanyak 62% responden senang
43
jika berteman dengan orang satu suku, 19% menjawab tidak senang jika hanya
berteman dengan satu suku, 19% menjawab ragu-ragu.
Gambar 4.7 Persentase sikap kedaerahan peserta didik
Dari diagram tersebut terlihat bahwa sikap toleransi peserta didik apakah
ia akan meminta dipindahkan kembali ke daerah asla ketika kelak dipekerjakan di
luar daerahnya sebanyak 52% responden akan meminta dikembalikan lagi
kedaerahnya, 19% menjawab tidak akan meminta dikembalikan, 29% menjawab
ragu-ragu.
2. Sikap keagamaan
Sikap toleransi peserta didik terkait dengan sikap keagamaan diwakili oleh
pertanyaan yakni: (1) pembelaan terhadap teman satu agama jika terjadi
perselisihan di antara teman teman, (2) saya tidak setuju terhadap kekerasan atas
nama agama (3) saya berpegang teguh dengan agaa saya namun saya tetap harus
menghormati pemeluk agama lain. Hasilnya dapat dilihat pada diagram pie
berikut ini.
44
Gambar 4.8 Persentase sikap peserta didik dalam konteks perselisihan
Dari diagram tersebut terlihat bahwa sikap toleransi terkait keagamaan
berupa apakah ia akan membela teman satu agama jika terjadi perselisihan 76%
responden akan membela teman satu agama, 15% menjawab tidak akan membela
dan 19% menjawab ragu-ragu.
Gambar 4.9 Persentase sikap peserta didik terkait khutbah/ceramah yang
menjelekkan umat lain
Dari diagram tersebut terlihat bahwa sikap toleransi terkait keagamaan
berupa khutbah atau ceramah yang menjelekkan agama lain 64 % responden tidak
setuju jika ada khutbah atau ceramah yang menjelekkan agama lain, 21 %
menjawab setuju, dan 14% menjawab ragu-ragu.
45
Gambar 4.10 Persentase sikap peserta didik terkait kekerasan atas nama agama
Dari diagram tersebut di atas terlihat bahwa sebanya 64% responden tidak
meneytujui terhadap tindak kekerasan atas nama agama, 21% menyetujui, 14%
menjawab ragu-ragu.
Gambar 4.11 Persentase sikap peserta didik terkait menghormati agama lain
Dari diagram tersebut terlihat bahwa sikap toleransi terkait memengang
teguh ajaran agama sendiri namun tetap menghormati pemeluk lain 93% akan
berpegang teguh terhadap ajaran agama dan tetap menghormati pemeluk agama
lain, 3% menjawab tidak setuju, dan 4% menjawab ragu-ragu.
3. Kegiatan sosial
Sikap toleransi peserta didik terkait dengan sikap social diwakili oleh 2
pertanyaan yakni: (1) curiga atas bantuan social atas nama agama di deaerah
46
bencana, dan (2) kerjabakti membersihkan tempat ibadah lain. Hasilnya
sebagaimana diagram pie di bawah ini.
Gambar 4.12 Persentase sikap peserta didik terkait kegiatan sosial
Dari diagram tersebut terlihat bahwa sikap toleransi terkait kegiatan social
berupa kerjabakti membersihkan tempat ibadah umat lain, sebanyak 37%
responden menjawab setuju, 32% ragu-ragu, dan 27% tidak setuju jika harus
melakukan kerjabakti membersihkan tempat ibadah umat lain.
Gambar 4.13 Persentase sikap peserta didik terkait rasa curiga terhadap bantuansosial
Dari diagram tersebut terlihat bahwa sikap toleransi terkait kegiatan social
berupa curiga atas bantuan social yang mengatasnamakan agama di daerah
bencana sebanyak 51% responden menjawab curiga atas bantuan yang
47
mengatasnamakan agama, 35% ragu-ragu, dan 14% tidak menaruh curiga apabila
ada bantuan social yang mengatasnamakan agama di daerah bencana.
4. Egoisme
Sikap toleransi peserta didik terkait dengan tidak bersifat egois diwakili
oleh 1 pertanyaan yakni: (1) dalam belajar kelompok akan mempertahankan
pendapat pribadi yang diyakini benar. Hasilnya dapat dilihat pada diagram pie
berikut ini.
Gambar 4.14 Persentase sikap peserta didik terkait egoisme
Dari diagram tersebut terlihat bahwa sikap toleransi terkait dengan
keegoisan berupa akan mempertahankan pendapat dalam diskusi sebanyak 53%
responden menjawab akan mempertahankan pendapat dalam diskusi, 18% tidak
akan mempertahankan pendapat dalam diskusu dan 29% menjawab ragu-ragu
apakah akan tetap mempertahankan pendapat dalam diskusi jika ia yakin jika
pendapatnya yang paling benar.
4.4. Pembahasan
4.4.1. Indeks Pendidikan Multikultural DIY
Temuan penelitian sebagaimana dipaparkan di atas menunjukan bahwa
secara indeks, pendidikan multicultural di DIY dapat dilihat sebagaimana tabel
dibawah ini.
48
Tabel 4.10 Indeks pendidikan multicultural DIY
Kota/Kab Nilai rata-rata
Dikonversike nilai 100
Kategori
Kab. Kulon Progo 4.018542 80 Multikultural
Kab. Gunung Kidul 3.9291 79 Multikultural
Kab. Sleman 3.835407 77 Multikultural
Kota Jogjakarta 3.821273 76 Multikultural
Kab. Bantul 3.795887 76 Multikultural
Pemaparan hasil indeks pendidikan multicultural sebagaimana dituangkan
di atas terlihat bahwa secara rata-rata indeks pendidikan multicultural di DIY
seluruh kota kabupaten di DIY termasuk dalam kategori multicultural. Namun
demikian jika dilihat dari indeksnya, ternyata kabupaten Kulonprogo dan
Gununkidul menempati urutan pertama dan kedua dalam hal kemultikulturalan,
sedangkan Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul
menduduki peringkat ketiga, keempat, dan kelima.
Jika dilihat dari monografinya pusat-pusat keramaian dan perkotaan
berada di Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul. Ketiga
wilayah tersebut hampir dikatakan memiliki karakter yang sama, karena wilayah
tersebut saling berdekatan atau berbatasan langsung dengan Kota Yogyakarta.
Sedangkan Kulonprogo dan Gunungkidul bisa dikatakan jauh dari pusat ibu kota
propinsi.
Berdasarkan analisis peneliti, ada beberapa sebab mengapa wilayah
Kulonprogo dan Gunung Kidul memiliki multikulturalitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan Sleman, Kota Yogyakarta, dan Bantul. Pertama, karena di
dua kabupaten tersebut tidak banyak ditemukan kelompok-kelompok, ikatan atau
organisasi yang bersifat kedaerahan. Tercatat untuk Kota Yogyakarta terdapat
73 asrama bersifat kedaerahan. Asrama daerah tersebut statusnya milik
Pemerintah Daerah masing-masing (Salehuddin,2013:20).3 Jumlah ini tentu akan
bertambah banyak jika menyisir dan menginventarisir keberadaan asrama daerah
yang berada di Kabupaten Sleman dan tiga kabupaten lainnya. Jumlah ini akan
terus bertambah jika kita memasukkan asrama daerah yang dibentuk oleh pihak-
3 Salehuddin, Ahmad, 2013. Dilema Asrama daerah dalam membentuk kesadaran multicultural,laporan penelitian individual Dosen, UIN Sunan Kalijaga.
49
pihak yang terpanggil untuk mendukung putra daerahnya melanjutkan pendidikan
di Yogyakarta, sebagaimana terjadi dengan Asrama Madura, yang pendiriannya
diinisiasi oleh persatuan guru-guru di Madura, serta “Asrama Daerah” yang secara
tidak langsung dibentuk oleh mahasiswa-mahasiswa daerah, seperti
ngontrak bersama, dan lain sebagainya. Jika dicermati, keberadaan asrama daerah
baik yang diinisiasi oleh pemerintah maupun non pemerintah tersebut memiliki
tujuan yang sama, yaitu selain untuk memfasilitasi pelajar daerah melanjutkan
studinya, juga sebagai representasi kehadiran daerah asal di Yogyakarta dan
sebagai representasi daerah dan etnis, keberadaan asrama daerah juga untuk
menjaga eksistensi budaya daerah asal. Hal ini dapat dilihat pada program kerja
masing-masing asrama daerah, baik yang bersifat internal, yaitu program kerja
yang dipersiapkan secara eksklusif untuk warga asrama daerah, maupun kegiatan
yang bersifat eksternal, yaitu kegiatan yang diadakan untuk masyarakat umum.
Namun pelajar-pelajar dari berbagai daerah yang menuntut ilmu di DIY
dan tergabung dalam organisasi-organisasi kedaerahan, seperti Ikatan Pelajar
Papua, Ikatan Pelajar Bugis, Ikatan Pelajar Makassar, Ikatan Pelajar Riau, Ikatan
Pelajar Batak, Minangkabau, dan lain sebagainya. Bahkan pelajar dari Jawa
sendiri juga bergabung dalam ikatan pelajar yang berbau kedaerahan seperti,
Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Tegal, Serulingmas, Madura, dan lain sebagainya.
Sebagian organisasi tersebut lebih senang bergabung, berteman dengan orang
yang satu suku daerah dibandingkan dengan yang lain. Bahkan peneliti melihat
untuk beberapa asrama yang bersifat kedareahan cenderung lebih ekslusif.
Ekslusufitas sebagaimana peneliti sebutkan di atas memungkinkan proses
multicultural tidak berjalan dengan baik.
Keberadaan organisasi yang bersifat kedaerahan tersebut idealnya harus
lebih terbuka, karena ini merupakan langkah yang strategis tidak saja untuk
mensosialiasi kekayaan tiap-tiap etnis, tetapi juga untuk menumbuhkan kesadaran
multikultur dikalangkan masing-masing etnis yang hadir dan hidup di Yogyakarta.
Salah satu caranya adalah dengan cara memperbanyak ruang bertemu antaretnis,
sehingga sikap etnosentrisme dapat di konversi menjadi sikap bangga menjadi
bagian dari taman permadani keragaman budaya Indonesia.
50
Kondisi di tiga wilayah tersebut di atas (Sleman, Yogyakarta, dan Bantul)
sangat jarang ditemui di dua Kulonprogo dan Gunungkidul. Dilihat dari kultur
budayanya dua kabupaten ini masih memiliki kultur masyarakat agraris. Dimana
kultur budaya pada masyarakat agraris memiliki beberapa ciri memiiki jiwa
semangat gotong royong, setiap warganya mempunyai hubungan yang lebih
mendalam dan erat bila dibandingkan dengan warga masyarakat di luar batas-
batas wilayahnya.
4.4.2. Perbedaan wilayah dan jenis sekolah terhadap Pendidikan
Multikultural
Dari hasil uji beda pendidikan multicultural pada satuan pendidikan
setingkat SLTA (SMA,SMK, MA) di wilayah perkotaan dan pedesaan
sebagaimana uji anova di atas terbukti bahwa terdapat perbedaan pendidikan
multikultural pada level jenis sekolah, terdapat perbedaan pada tingkat wilayah
(perkotaan dan pedesaan), serta terdapat interaksi antara wilayah dan jenis
sekolah.
Jika dilihat dari deskripsi statistic hasil uji beda terlihat bahwa memang
terlihat perbedaan pada nilai rata rata mean baik dilihat dari wilayah maupun
jenis sekolahnya. Nilai rata-rata jawaban peserta didik tersebut dapat dilihat dari
tabel di bawah ini.
Tabel 4.11 Descriptive StatisticsDependent Variable: Nilai_multikulturalWilayah jenis_sekolah Mean Std.
DeviationN
Perkotaan
SMA 213.4884 23.85225 860SMK 205.0229 25.90202 918MA 186.4834 21.72224 513Total 204.0493 26.27794 2291
Pedesaan
SMA 215.6211 24.54417 190SMK 217.3309 22.13540 269MA 206.0137 17.29763 73Total 215.1673 22.72111 532
Total
SMA 213.8743 23.98115 1050SMK 207.8121 25.61317 1187MA 188.9164 22.16908 586Total 206.1445 26.00775 2823
51
Jika dilihat per jenis pendidikan dan wilayah terlihat bahwa rata-rata nilai
multicultural SMA diperkotaan adalah 213,48884 sedangkan SMA di pedesaan
adalah 215,6211. Meskipun perbedaan itu terlihat kecil namun membuktikan
bahwa nilai multicultural peserta didik SMA di pedesaan lebih tinggi
dibandingkan dengan SMA di perkotaan.
Pada satuan pendidikan SMK di perkotaan diperoleh nilai multicultural
sebesar 205,0229 sedangkan SMK di pedesaan diperoleh nilai rata-rata 217,3309.
Ini juga membuktikan bahwa nilai multikulturalitas peserta didik SMK di
pedesaan juga lebih tinggi dibandingkan peserta didik SMK di perkotaan.
Pada satuan pendidikan Madrasah Aliyah terlihat bahwa nilai multicultural
pada MA diperkotaan adalah 186,4384 sedangkan MA di pedesaan nilai-rata-rata
multikulturalnya adalah 206.0137. ini juga membuktikan bahwa nilai
multicultural peserta didik MA di pedesaan lebih tinggi dibandingkan dengan
peserta didik MA di perkotaan.
Jika dibandingkan antara SMA, SMK, dan MA terlihat secara rata-rata
nilai multicultural peserta didik SMA lebih tinggi dibandingkan SMK dan MA.
Hal ini dapat dimaklumi karena pelajaran di SMA memang banyak berkenaan
dengan mata pelajaran umum sedangkan di SMK lebih banyak pelajaran pelajaran
yang bersifat vocasional.
Untuk Madrasah Aliyah juga dapat di maklumi karena selain jenis peserta
didiknya secara keseluruhan adalah Islam mata pelajaran di MA adalalah berbasis
agama islam. Namun demikian dilihat dari nilai multikulturalitasnya peserta didik
MA tergolong multicultural.
4.4.3. Toleransi Peserta didik terhadap sesuatu di luar dirinya.
Nilai-nilai toleransi peserta didik sebagaimana temuan penelitian di atas
dapat terlihat pada butir 45 sampai dengan 56. Dari 11 item pertanyaan tersebut
bermuara pada satu pertanyaan yaitu tentang berpegang teguh pada ajaran agama
yang di anut nmun tetap menghormati dan menghargai orang yang berlaianan
agama. Dari 2823 responden menjawab sebanyak 93 % responden menjawab akan
berpegang teguh terhadap ajaran agama yang dianut dan tetap menghormati dan
menghargai pemeluk lain, 4 % menjawab ragu dan 3 persen tidak akan
52
menghormati pemeluk lain. Ini artinya mayoritas peserta didik telah memiliki
prinsip-prinsip dan nilai multicultural yaitu anti rasis.
Kemultikulturalan peserta didik tersebut diperkuat dengan 64 % dari total
responden yang menyatakan tidak setuju dengan kekerasan yang di
mengatasnamakan dan khutbah-khutbah atau ceramah yang menjelekkan agama
lain. dimungkinkan pemahaman-pemahaman tentang ajaran kasih sayang dan
hormat-menghormati terhadap orang lain telah terimplementasi dalam mata
pelajaran.
Akan tetapi ketika suatu ketika terjadi kekerasan dan kekerasan tersebut
menyentuh pada ranah yang bersifat pribadi seperti agama dan kesukuan maka
akan terjadi kekerasan atas nama agama atau suku. Hal tersebut dapat terlihat dari
jawaban-jawaban yang diberikan responden terkait persoalan tersebut. Dari 2823
responden sebanyak 62 % menjawab bahwa ia lebih senang berteman dengan
teman satu suku dan akan membela teman satu suku jika terjadi perselisihan, dan
jika terjadi perselisihan sebaganyak 76 % responden akan membela teman satu
agama.
Pembelaan terhadap sesuatu yang menyentuh ranah pribadi responden
seperti kesukuan dan kedaerahan bisa saja dimaklumi sebagai salah bentuk
solidaritas. Oleh karena itu sebaiknya pendidikan multicultural sebaiknya juga
menyentuh pada persoalan inklusifitas dan menyadarkan kita bahwa di luar diri
kita masih terdapat budaya, agama, dan suku lain yang harus kita ketahui tentang
persoalan yang dapat menganggu keharmonisan dalam pergaulan sehari-hari.
Secara umum nilai-nilai toleransi dan multikulturalisme yang dimiliki
peserta didik dimungkinkan sebagai hasil dari pendekatan progresif pendidikan di
sekolah dalam dalam menanamkan rasa keadilan social di dalam masyarakat.
Seperti halnya yang dikemukakan Nieto dalam Noel dalam Zamroni (2000: 300)
bahwa sesungguhnya karakteristik dasar pendidikan multikultural adalah
merupakan proses pendidikan dasar yang menanamkan anti rasisme dan social
justice (keadilan sosial).
Pendidikan multicultural sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri
ataupun melekat pada mata pelajaran lain sebenarnya bertujuan untuk membantu
individu mendapatkan pemahaman diri yang lebih besar dengan melihat diri dari
53
sudut pandang budaya lain, memberikan peserta didik suatu alternatif budaya dan
etnis, untuk menyediakan keterampilan, sikap, dan pengetahuan yang dibutuhkan
semua peserta didik untuk berfungsi dalam budaya etnis mereka, dalam budaya
mainstream, dan dalam dan lintas budaya etnis lainnya, serta untuk mengurangi
rasa sakit dan diskriminasi bahwa pengalaman anggota dari beberapa kelompok
etnis dan ras karena karakteristik unik mereka ras, fisik, dan budaya pendidikan
(Banks 2002:1-2).
Nilai toleransi peserta didik sebagaimana data di atas jika dikaitkan
dengan perbedaan geografis anatar sekolah di perkotaan dan pedesaan juga saling
berkaitan dimana toleransi peserat didik di pedesaan lebih baik dibandingkan
dengan peserta didik yang bersekolah di perkotaan. Hal tersebut karena
5heterogenitas sekolah diperkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan yang di
pedesaan.
Jika dikaitkan dengan teori heterogenitas masyarakat perkotaan, terbukti
bahwa masyarakat perkotaan cenderung dalam sikap hidup mereka cenderung
lebih individualisti dibandingkan dengan masyarakat pedesaan. Dilihat dari
tingkah lakunya masyarakat perkotaan lebih kreatif, radikal dan dinamis
dibandingkan dengan masyarakat pedesaan. Dan dari sisi perwatakannya
masyarakat perkotaan cenderung lebih materialistis dibandingkan dengan
masyarakat pedesaan (Cholil, 1990:107).
54
BAB V
PENUTUP
5.1. SimpulanPemaparan pada IV terdapat 3 kesimpulan yang dapat di tarik sebagai
berikut.
1. Indeks multikulturalisme pada lembaga pendidikan setingkat SLTA (SMA,
SMK, MA) di D.I. Yogyakarta secara umum adalah 77,20559 (Multikultural).
Sedangkan untuk masing-masing Kota/ kabupaten berturut turut adalah
Kulonprogo 80,37083 (multicultural), Gunungkidul 78,58201 (multicultural),
Sleman 76,70815, kota Yogyakarta 76,42546 (multicultural) dan Bantul
75,91774 (multicultural).
2. 2a. Terdapat perbedaan pendidikan multicultural dilihat dari jenis sekolah
dimana Siswa MA lebih toleran dibandingkan siswa SMK dan MA.
2b. Terdapat perbedaan pendidikan multicultural antara sekolah yang berada di
perkotaan dan pedesaan, dimana sekolah di pedesaan lebih toleran
dibandingkan sekolah di pedesaan.
2c. Terdapat interaksi antara jenis pendidikan dan wilayah terhadap pendidikan
multicultural. Artinya jenis sekolah dan wilayah sekolah (pedesaan dan
perkotaan saling mempengaruhi atau saling memberikan kontribusi pada
hasil toleransi siswa.
3. 3a. Secara umum toleransi peserta didik pada sekolah setingkat SLTA sudah
multicultural. Hal ini diketahui dari pernyataan mereka tentang memegang
teguh ajaran agama namun tetap menghormati dan menghargai ajaran
agama lain, namun demikian jika terjadi perselisihan dengan orang lain
menyangkut kesukuan atau kedaerahan maupun pada ranah agama mereka
(peserta didik) akan mebela teman satu agama atau satu suku atau satu
daerah.
3b. sikap peserta didik masyarakat pedesaan lebih toleran dibandingkan dengan
peserta didik perkotaan.
3c. sikap toleran peserta didik SMA lebih toleran dibandingkan dengan SMK
dan MA.
55
5.2. RekomendasiBerdasarkan simpulan di atas maka rekomendasi yang dapat diberikan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Sudah saatnya pendidikan multicultural dijadikan sebagai salah satu mata
pelajaran di tingkat satuan pendidikan didukung oleh kurikulum yang
standar
2. Kementerian Agama menyusun modul tentang pendidikan multicultural
untuk kepala sekolah dan guru agama baik di madrasah maupun sekolah
umum.
3. Kementerian Agama melakukan sosialisasi dalam bentuk workshop
pendidikan multicultural dengan mengundang kepal sekolah serta guru
agama.
4. Berdasarkan ekslusifitas organisasi kedaerahan yang ada seyogyanya
Kementerian agama bersama sama dengan kemendikbud dan dinas
pariwisata membuat event pentas seni budaya dengan peserta didik sebagai
pesertanya untuk mengenalkan budaya yang ada di Indonesia.
5. Pemerintah perlu memberikan dukungan materiil dan akademis guna
meningkatkan kualitas multicultural dengan memperhatikan perbedaan
jenis sekolah dan perbedaan georafis.
6. Satuan pendidikan agar menyusun visi misi yang mencerminkan semangat
multikulturalisme
7. Organisasi yang bersifat kedaerahan agar lebih inklusif dan bergaul
dengan masyarakat yang ada disekitar mereka.
8. Perlu dibedakan porsi pendidikan multicultural antara di perkotaan dan di
pedesaan.
56
DAFTAR PUSTAKA
Archer, Sally. L. (1983). Intervensions for Identity Development. California:SAGE Publication Inc Arifin Al, Ahmad Hidayatullah, implementasipendidikan multikultural Dalam praksis pendidikan di Indonesia, JurnalPembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi, Volume 1, Nomor 1,Juni, 2012
Azra, Azyumardi, 2007. “Identitas dan Krisis Budaya, MembangunMultikulturalisme Indonesia”,Error! Hyperlink reference not valid.
Baidhawy, Zakiyudin, 2005. Pendidikan agama berwawasan multikultural,Erlangga, Jakarta
Banks, James A. (1993). Teaching strategies for ethnic studies. Boston: Allyn andBacon Inc.
------------------(2002). An introduction to multikultural education. Boston: Allyn& Bacon.
------------------,(2007). Educating citizens in a multikultural society. New York:Teacher College Press.
Banks, James A. & Cherry McGee Banks, (eds). (2001). Multikultural educationissues and perspectives. New York: John Wiley and Sons.
Billings, G.L. & Gillborn, D. (2004). The routledge falmer reader in multikulturaleducation. London & New York: RoutledgeFalmer.
Gollnick, Donna M. (1983). Multikultural education in a pluralistik society.London: The CV Mosby Company.
Horton, Paul B. & Hunt, Chester. L. (1984). Sosiologi, Jilid II edisi keenam.Jakarta: Erlangga
Indrapangastuti, Dewi (2014) Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi danAplikasi Volume 2, Nomor 1, 2014
Kusumohamidjojo, B. (2000). Kebhinnekaan Masyarakat Indonesia: SuatuProblematik Filsafat Kebudayaan. Jakarta: Grasindo.
Lerner, RichardM, 2004. Hand Book of Adolescent Psychology (second edition),Jari erik Nurmi,Socialization And Self Development,Chapter 4,New York-John Willey & Sons Inc
Lorens, Bagus, 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.Mansyur, Cholil. 1990, Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa, Surabaya, Usaha
Bersama.Marcia, J. E (et.al). (1993). Ego Identity. A Hand Book for Psychological
Research. New York: Springer VerlagMujani, Syaiful, 2007. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi,
danPartisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru. Jakarta: GramediaPustakaUtama. 2007. hlm. 162.
Mahfud, Choirul. 2008. Pendidikan Multikultura, Yogyakarta : Pustaka PelajarMoleong, Lexy, J. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif. Bandung. Remaja
Rosdakarya.Mujani, Syaiful, 2007. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan
Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru. Jakarta: GramediaPustakaUtama. 2007. hlm. 162.
57
Myers, David G. (1996). Social Psycology. New York: The MC Graw-HillCompanies Inc
Noel, Jana. (2000). Multikultural education. Connecticut: The McGraw-HillCompanies.
Rochmaniyah, Siti, 2014. Implementasi Pendidikan Multikultural Di SekolahInklusi SMP Tumbuh Yogyakarta, Skripsi, UIN Yogyakarta.
Sarwono, 2007. Psikologi Prasangka Orang Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindoPersada
Toleransi Masyarakat Sudah "Lampu Kuning, Rabu, 27 Juni 2007 06:54"http://www.wahidinstitute.org/v1/Programs/Detail/?id=117/hl=id/Toleransi_Masyarakat_Sudah_Lampu_Kuning diakses tanggal 15 Agustus2016
Wibowo, A.M, 2015. Pendidikan Multikultural di Pulau Dewata, Sebuah BungaRampai Tentang Pendidikan Multikultural pada SMA di Provinsi Bali,Yogyakarta, CV Arti Bumi Intaran.
Zamroni. (2011). Pendidikan demokrasi pada masyarakat multikultural.Yogyakarta: gavin Kalam Utama.
58
Lampiran-Lampiran
Lampiran 1. Uji Coba Instrumen
Scale: ALL VARIABLESCase Processing Summary
N %
Cases
Valid 138 100.0
Excludeda 0 .0
Total 138 100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the
procedure.
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha N of Items
.904 59
Item-Total Statistics
Scale Mean if
Item Deleted
Scale Variance if
Item Deleted
Corrected Item-
Total Correlation
Cronbach's Alpha
if Item Deleted
VAR00001 214.5797 539.078 .372 .903
VAR00002 216.0362 516.400 .507 .901
VAR00003 214.6884 535.676 .413 .903
VAR00004 214.6522 531.396 .509 .902
VAR00005 214.7101 535.653 .388 .903
VAR00006 214.9058 528.655 .394 .903
VAR00007 215.2681 535.395 .288 .904
VAR00008 215.0290 534.291 .372 .903
VAR00009 215.9638 523.845 .424 .902
VAR00010 216.0217 523.481 .451 .902
VAR00011 215.2246 531.883 .449 .902
VAR00012 216.6594 539.029 .208 .905
VAR00013 215.6884 537.296 .257 .904
VAR00014 215.0000 532.540 .491 .902
VAR00015 214.8841 533.140 .515 .902
VAR00016 215.4638 527.243 .510 .901
VAR00017 215.5290 521.959 .464 .902
VAR00018 215.3188 529.956 .574 .901
VAR00019 215.1957 532.947 .514 .902
VAR00020 215.2246 531.183 .571 .901
VAR00021 215.8188 522.982 .512 .901
VAR00022 215.2174 536.858 .391 .903
VAR00023 215.7246 535.471 .276 .904
59
VAR00024 214.4638 545.652 .165 .904
VAR00025 214.3768 545.755 .190 .904
VAR00026 214.6812 546.452 .136 .905
VAR00027 214.5942 538.009 .413 .903
VAR00028 214.6377 539.488 .405 .903
VAR00029 214.8986 537.304 .354 .903
VAR00030 215.1377 529.185 .488 .902
VAR00031 215.2464 531.676 .468 .902
VAR00032 214.6377 541.430 .352 .903
VAR00033 214.7246 537.208 .441 .903
VAR00034 214.8841 533.621 .408 .902
VAR00035 215.2899 534.324 .463 .902
VAR00036 216.1449 550.373 .006 .906
VAR00037 216.1377 547.433 .073 .906
VAR00038 215.8333 539.206 .206 .905
VAR00039 216.1449 512.271 .556 .900
VAR00040 215.4928 540.675 .210 .904
VAR00041 215.5652 538.831 .205 .905
VAR00042 215.3478 527.207 .427 .902
VAR00043 215.4203 533.968 .328 .903
VAR00044 215.4638 518.805 .542 .901
VAR00045 215.2826 529.124 .425 .902
VAR00046 214.9420 535.413 .432 .902
VAR00047 215.7246 520.610 .539 .901
VAR00048 215.6087 521.101 .512 .901
VAR00049 215.7246 529.675 .381 .903
VAR00050 215.7029 543.948 .122 .905
VAR00051 215.6957 531.629 .395 .903
VAR00052 215.4565 551.739 -.031 .908
VAR00053 214.9348 545.872 .104 .905
VAR00054 215.5435 529.841 .407 .902
VAR00055 215.8333 519.585 .504 .901
VAR00056 215.8116 547.847 .046 .906
VAR00057 215.5362 523.652 .467 .902
VAR00058 215.6667 542.443 .158 .905
VAR00059 214.2899 542.441 .303 .904
60
Lampiran 2 r tabel
df-2 t tabel 0.05 r tabel 0.05 df-2 t tabel 0.05 r tabel 0.051 6.31 0.988 78 1.66 0.1852 2.92 0.9 79 1.66 0.1843 2.35 0.805 80 1.66 0.1834 2.13 0.729 81 1.66 0.1825 2.02 0.669 82 1.66 0.1816 1.94 0.621 83 1.66 0.187 1.89 0.582 84 1.66 0.1798 1.86 0.549 85 1.66 0.1789 1.83 0.521 86 1.66 0.17610 1.81 0.497 87 1.66 0.17511 1.8 0.476 88 1.66 0.17412 1.78 0.458 89 1.66 0.17413 1.77 0.441 90 1.66 0.17314 1.76 0.426 91 1.66 0.17215 1.75 0.412 92 1.66 0.17116 1.75 0.4 93 1.66 0.1717 1.74 0.389 94 1.66 0.16918 1.73 0.378 95 1.66 0.16819 1.73 0.369 96 1.66 0.16720 1.72 0.36 97 1.66 0.16621 1.72 0.352 98 1.66 0.16522 1.72 0.344 99 1.66 0.16523 1.71 0.337 100 1.66 0.16424 1.71 0.33 101 1.66 0.16325 1.71 0.323 102 1.66 0.16226 1.71 0.317 103 1.66 0.16127 1.7 0.311 104 1.66 0.16128 1.7 0.306 105 1.66 0.1629 1.7 0.301 106 1.66 0.15930 1.7 0.296 107 1.66 0.15831 1.7 0.291 108 1.66 0.15832 1.69 0.287 109 1.66 0.15733 1.69 0.283 110 1.66 0.15634 1.69 0.279 111 1.66 0.15635 1.69 0.275 112 1.66 0.15536 1.69 0.271 113 1.66 0.15437 1.69 0.267 114 1.66 0.15338 1.69 0.264 115 1.66 0.15339 1.68 0.26 116 1.66 0.152
61
40 1.68 0.257 117 1.66 0.15241 1.68 0.254 118 1.66 0.15142 1.68 0.251 119 1.66 0.1543 1.68 0.248 120 1.66 0.1544 1.68 0.246 121 1.66 0.14945 1.68 0.243 122 1.66 0.14846 1.68 0.24 123 1.66 0.14847 1.68 0.238 124 1.66 0.14748 1.68 0.235 125 1.66 0.14749 1.68 0.233 126 1.66 0.14650 1.68 0.231 127 1.66 0.14551 1.68 0.228 128 1.66 0.14552 1.67 0.226 129 1.66 0.14453 1.67 0.224 130 1.66 0.14454 1.67 0.222 131 1.66 0.14355 1.67 0.22 132 1.66 0.14356 1.67 0.218 133 1.66 0.14257 1.67 0.216 134 1.66 0.14258 1.67 0.214 135 1.66 0.14159 1.67 0.213 136 1.66 0.14160 1.67 0.211 137 1.66 0.1461 1.67 0.209 138 1.66 0.1462 1.67 0.207 139 1.66 0.13963 1.67 0.206 140 1.66 0.13964 1.67 0.204 141 1.66 0.13865 1.67 0.203 142 1.66 0.13866 1.67 0.201 143 1.66 0.13767 1.67 0.2 144 1.66 0.13768 1.67 0.198 145 1.66 0.13669 1.67 0.197 146 1.66 0.13670 1.67 0.195 147 1.66 0.13571 1.67 0.194 148 1.66 0.13572 1.67 0.193 149 1.66 0.13473 1.67 0.191 150 1.66 0.13474 1.67 0.19 151 1.66 0.13375 1.67 0.189 152 1.65 0.13376 1.67 0.188 153 1.65 0.13377 1.66 0.186 154 1.65 0.132
62
Lampiran 3
Univariate Analysis of Variance
Between-Subjects Factors
N
jenis_sekolah
1 1050
2 1187
3 586
wilayah1 2291
2 532
Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Nilai_multikultural
Source Type III Sum of
Squares
df Mean Square F Sig.
Corrected Model 296566.264a 5 59313.253 103.635 .000
Intercept 57566863.279 1 57566863.279 100584.017 .000
jenis_sekolah 62352.788 2 31176.394 54.473 .000
wilayah 42931.330 1 42931.330 75.012 .000
jenis_sekolah * wilayah 16501.814 2 8250.907 14.416 .000
Error 1612242.768 2817 572.326
Total 121873792.000 2823
Corrected Total 1908809.033 2822
a. R Squared = .155 (Adjusted R Squared = .154)
63
Post Hoc Tests
jenis_sekolah
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Nilai_multikultural
Scheffe
(I)
jenis_sekolah
(J) jenis_sekolah Mean
Difference (I-J)
Std. Error Sig. 95% Confidence Interval
Lower
Bound
Upper
Bound
12 6.0622* 1.01353 .000 3.5800 8.5443
3 24.9579* 1.23359 .000 21.9368 27.9790
21 -6.0622* 1.01353 .000 -8.5443 -3.5800
3 18.8957* 1.20782 .000 15.9377 21.8538
31 -24.9579* 1.23359 .000 -27.9790 -21.9368
2 -18.8957* 1.20782 .000 -21.8538 -15.9377
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 572.326.
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Homogeneous Subsets
Nilai_multikultural
Scheffe
jenis_sekolah N Subset
1 2 3
3 586 188.9164
2 1187 207.8121
1 1050 213.8743
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Based on observed means.
The error term is Mean Square(Error) = 572.326.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 856.818.
b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is
used. Type I error levels are not guaranteed.
c. Alpha = 0.05.
64
Profile Plots
65
Lampiran 4
66
Daftar Klasifikasi Desa/Kelurahan Di Kabupaten Kulonprogo
Kecamatan Temon[ 001 ] jangkaran perdesaan[ 002 ] sindutan perdesaan[ 003 ] palihan perdesaan[ 004 ] glagah perdesaan[ 005 ] kali dengen perdesaan[ 006 ] plumbon perdesaan[ 007 ] kedundang perdesaan[ 008 ] demen perdesaan[ 009 ] kulur perdesaan[ 010 ] kaligintung perdesaan[ 011 ] temon wetan perdesaan[ 012 ] temon kulon perdesaan[ 013 ] kebonrejo perdesaan[ 014 ] janten perdesaan[ 015 ] karang wuluh perdesaanKecamatan wates[ 001 ] karang wuni perdesaan[ 002 ] sogan perdesaan[ 003 ] kulwaru perdesaan[ 004 ] ngestiharjo perkotaan[ 005 ] triharjo perkotaan[ 006 ] bendungan perkotaan[ 007 ] giri peni perkotaan[ 008 ] wates perkotaanKecamatan panjatan[ 001 ] garongan perdesaan[ 002 ] pleret perdesaan[ 003 ] bugel perdesaan[ 004 ] kanoman perdesaan[ 005 ] depok perdesaan[ 006 ] bojong perdesaan[ 007 ] tayuban perkotaan[ 008 ] gotakan perkotaan[ 009 ] panjatan perkotaan[ 010 ] cerme perdesaan[ 011 ] krembangan perdesaanKecamatan galur[ 001 ] karang sewu perdesaan[ 002 ] banaran perdesaan[ 003 ] kranggan perdesaan[ 004 ] nomporejo perdesaan[ 005 ] brosot perkotaan[ 006 ] pandowan perkotaan[ 007 ] tirta rahayu perdesaanKecamatan lendah[ 001 ] wahyuharjo perdesaan[ 002 ] bumirejo perdesaan[ 003 ] jatirejo perkotaan[ 004 ] sidorejo perdesaan[ 005 ] gulurejo perdesaan[ 006 ] ngentakrejo perdesaanKecamatan sentolo[ 001 ] demangrejo perdesaan[ 002 ] srikayangan perdesaan[ 003 ] tuksono perdesaan[ 004 ] salamrejo perdesaan[ 005 ] sukoreno perdesaan[ 006 ] kaliagung perdesaan[ 007 ] sentolo perkotaan[ 008 ] banguncipto perdesaanKecamatan pengasih
67
[ 001 ] tawangsari perdesaan[ 002 ] karangsari perkotaan[ 003 ] kedungsari perdesaan[ 004 ] margosari perkotaan[ 005 ] pengasih perkotaan[ 006 ] sendangsari perdesaan[ 007 ] sidomulyo perdesaanKecamatan kokap[ 001 ] hargomulyo perdesaan[ 002 ] hargorejo perdesaan[ 003 ] hargowilis perdesaan[ 004 ] kalirejo perdesaan[ 005 ] hargotirto perdesaanKecamatan girimulyo[ 001 ] jatimulyo perdesaan[ 002 ] giripurwo perdesaan[ 003 ] pendoworejo perdesaan[ 004 ] purwosari perdesaanKecamatan nanggulan[ 001 ] banyuroto perdesaan[ 002 ] donomulyo perdesaan[ 003 ] wijimulyo perdesaan[ 004 ] tanjungharjo perdesaan[ 005 ] jati sarono perdesaan[ 006 ] kembang perdesaanKecamatan kalibawang[ 001 ] banjararum perdesaan[ 002 ] banjarasri perdesaan[ 003 ] banjarharjo perdesaan[ 004 ] banjaroyo perdesaanKecamatan samigaluh[ 001 ] kebon harjo perdesaan[ 002 ] banjarsari perdesaan[ 003 ] purwoharjo perdesaan[ 004 ] sidoharjo perdesaan[ 005 ] gerbosari perdesaan[ 006 ] ngargosari perdesaan[ 007 ] pagerharjo perdesaan
Daftar Klasifikasi Desa/Kelurahan Di Kabupaten BantulKecamatan srandakan[ 001 ] poncosari perkotaan[ 002 ] trimurti perkotaanKecamatan sanden[ 001 ] gadingsari perkotaan[ 002 ] gadingharjo perdesaan[ 003 ] srigading perkotaan[ 004 ] murtigading perkotaanKecamatan kretek[ 001 ] tirtohargo perdesaan[ 002 ] parangtritis perdesaan[ 003 ] donotirto perkotaan[ 004 ] tirtosari perdesaan[ 005 ] tirtomulyo perkotaanKecamatan pundong[ 001 ] seloharjo perkotaan[ 002 ] panjangrejo perkotaan[ 003 ] srihardono perkotaanKecamatan bambang lipuro[ 001 ] sidomulyo perkotaan[ 002 ] mulyodadi perkotaan[ 003 ] sumbermulyo perkotaanKecamatan pandak[ 001 ] caturharjo perkotaan
68
[ 002 ] triharjo perkotaan[ 003 ] gilangharjo perkotaan[ 004 ] wijirejo perkotaanKecamatan bantul[ 001 ] palbapang perkotaan[ 002 ] ringin harjo perkotaan[ 003 ] bantul perkotaan[ 004 ] trirenggo perkotaan[ 005 ] sabdodadi perkotaanKecamatan jetis[ 001 ] patalan perdesaan[ 002 ] canden perkotaan[ 003 ] sumber agung perkotaan[ 004 ] trimulyo perdesaanKecamatan imogiri[ 001 ] selopamioro perdesaan[ 002 ] sriharjo perdesaan[ 003 ] kebon agung perdesaan[ 004 ] karang tengah perdesaan[ 005 ] girirejo perdesaan[ 006 ] karangtalun perkotaan[ 007 ] imogiri perkotaan[ 008 ] wukirsari perkotaanKecamatan dlingo[ 001 ] mangunan perdesaan[ 002 ] muntuk perdesaan[ 003 ] dlingo perdesaan[ 004 ] temuwuh perkotaan[ 005 ] jatimulyo perdesaan[ 006 ] terong perdesaanKecamatan pleret[ 001 ] wonokromo perkotaan[ 002 ] pleret perkotaan[ 003 ] segoroyoso perkotaan[ 004 ] bawuran perdesaan[ 005 ] wonolelo perdesaanKecamatan piyungan[ 001 ] sitimulyo perkotaan[ 002 ] srimulyo perkotaan[ 003 ] srimartani perkotaanKecamatan banguntapan[ 001 ] tamanan perkotaan[ 002 ] jagalan perkotaan[ 003 ] singosaren perkotaan[ 004 ] wirokerten perkotaan[ 005 ] jambidan perkotaan[ 006 ] potorono perkotaan[ 007 ] baturetno perkotaan[ 008 ] banguntapan perkotaanKecamatan sewon[ 001 ] pendowoharjo perkotaan[ 002 ] timbulharjo perkotaan[ 003 ] bangunharjo perkotaan[ 004 ] panggungharjo perkotaanKecamatan kasihan[ 001 ] bangunjiwo perkotaan[ 002 ] tirtonirmolo perkotaan[ 003 ] tamantirto perkotaan[ 004 ] ngestiharjo perkotaanKecamatan pajangan[ 001 ] triwidadi perdesaan[ 002 ] sendangsari perdesaan[ 003 ] guwosari perkotaanKecamatan sedayu
69
[ 001 ] argodadi perdesaan[ 002 ] argorejo perkotaan[ 003 ] argosari perkotaan[ 004 ] argomulyo perkotaan
Daftar klasifikasi desa/kelurahan di kabupaten GunungkidulKecamatan panggang[ 006 ] giriharjo perdesaan[ 007 ] giriwungu perdesaan[ 008 ] girimulyo perdesaan[ 009 ] girikarto perdesaan[ 010 ] girisekar perdesaan[ 011 ] girisuko perdesaanKecamatan purwosari[ 001 ] girijati perdesaan[ 002 ] giriasih perdesaan[ 003 ] giricahyo perdesaan[ 004 ] giripurwo perdesaan[ 005 ] giritirto perdesaanKecamatan paliyan[ 001 ] karang duwet perdesaan[ 002 ] karang asem perdesaan[ 003 ] mulusan perdesaan[ 004 ] giring perdesaan[ 005 ] sodo perdesaan[ 006 ] pampang perdesaan[ 007 ] grogol perdesaanKecamatan sapto sari[ 001 ] krambil sawit perdesaan[ 002 ] kanigoro perdesaan[ 003 ] planjan perdesaan[ 004 ] monggol perdesaan[ 005 ] kepek perdesaan[ 006 ] nglora perdesaan[ 007 ] jetis perdesaanKecamatan tepus[ 005 ] sidoharjo perdesaan[ 006 ] tepus perdesaan[ 007 ] purwodadi perdesaan[ 008 ] giripanggung perdesaan[ 009 ] sumber wungu perdesaanKecamatan tanjungsari[ 001 ] kemadang perdesaan[ 002 ] kemiri perdesaan[ 003 ] banjarejo perdesaan[ 004 ] ngestirejo perdesaan[ 005 ] hargosari perdesaanKecamatan rongkop[ 007 ] melikan perdesaan[ 010 ] bohol perdesaan[ 011 ] pringombo perdesaan[ 012 ] botodayakan perdesaan[ 013 ] petir perdesaan[ 014 ] semugih perdesaan[ 015 ] karangwuni perdesaan[ 016 ] pucanganom perdesaanKecamatan girisubo[ 001 ] balong perdesaan[ 002 ] jepitu perdesaan[ 003 ] karangawen perdesaan[ 004 ] tileng perdesaan[ 005 ] nglindur perdesaan[ 006 ] jerukwudel perdesaan[ 007 ] pucung perdesaan
70
[ 008 ] songbanyu perdesaanKecamatan semanu[ 001 ] pacarejo perdesaan[ 002 ] candirejo perdesaan[ 003 ] dadapayu perdesaan[ 004 ] ngeposari perdesaan[ 005 ] semanu perkotaanKecamatan ponjong[ 001 ] gombang perdesaan[ 002 ] sidorejo perdesaan[ 003 ] bedoyo perdesaan[ 004 ] karang asem perdesaan[ 005 ] ponjong perdesaan[ 006 ] genjahan perdesaan[ 007 ] sumber giri perdesaan[ 008 ] kenteng perdesaan[ 009 ] tambakromo perdesaan[ 010 ] sawahan perdesaan[ 011 ] umbul rejo perdesaanKecamatan karangmojo[ 001 ] bendungan perdesaan[ 002 ] bejiharjo perdesaan[ 003 ] wiladeg perdesaan[ 004 ] kelor perdesaan[ 005 ] ngipak perdesaan[ 006 ] karangmojo perdesaan[ 007 ] gedang rejo perdesaan[ 008 ] ngawis perdesaan[ 009 ] jati ayu perdesaanKecamatan wonosari[ 001 ] wunung perdesaan[ 002 ] mulo perdesaan[ 003 ] duwet perdesaan[ 004 ] wareng perdesaan[ 005 ] pulutan perdesaan[ 006 ] siraman perkotaan[ 007 ] karang rejek perkotaan[ 008 ] baleharjo perkotaan[ 009 ] selang perdesaan[ 010 ] wonosari perkotaan[ 011 ] kepek perkotaan[ 012 ] piyaman perdesaan[ 013 ] karang tengah perdesaan[ 014 ] gari perdesaanKecamatan playen[ 001 ] banyusoco perdesaan[ 002 ] plembutan perdesaan[ 003 ] bleberan perdesaan[ 004 ] getas perdesaan[ 005 ] dengok perdesaan[ 006 ] ngunut perdesaan[ 007 ] playen perdesaan[ 008 ] ngawu perkotaan[ 009 ] bandung perdesaan[ 010 ] logandeng perkotaan[ 011 ] gading perdesaan[ 012 ] banaran perdesaan[ 013 ] ngleri perdesaanKecamatan patuk[ 001 ] semoyo perdesaan[ 002 ] pengkok perdesaan[ 003 ] beji perdesaan[ 004 ] bunder perdesaan[ 005 ] nglegi perdesaan
71
[ 006 ] putat perdesaan[ 007 ] salam perdesaan[ 008 ] patuk perdesaan[ 009 ] ngoro oro perdesaan[ 010 ] nglanggeran perdesaan[ 011 ] terbah perdesaanKecamatan gedang sari[ 001 ] ngalang perdesaan[ 002 ] hargo mulyo perdesaan[ 003 ] mertelu perdesaanKecamatan gedang sari[ 004 ] tegalrejo perdesaan[ 005 ] watu gajah perdesaan[ 006 ] sampang perdesaan[ 007 ] serut perdesaanKecamatan nglipar[ 001 ] kedung keris perdesaan[ 002 ] nglipar perdesaan[ 003 ] pengkol perdesaan[ 004 ] kedungpoh perdesaan[ 005 ] katongan perdesaan[ 006 ] pilang rejo perdesaan[ 007 ] natah perdesaanKecamatan ngawen[ 001 ] watu sigar perdesaan[ 002 ] beji perdesaan[ 003 ] kampung perdesaan[ 004 ] jurang jero perdesaan[ 005 ] sambirejo perdesaan[ 006 ] tancep perdesaanKecamatan semin[ 001 ] kalitekuk perdesaan[ 002 ] kemejing perdesaan[ 003 ] semin perdesaan[ 004 ] pundung sari perdesaan[ 005 ] karang sari perdesaan[ 006 ] rejosari perdesaan[ 007 ] bulurejo perdesaan[ 008 ] bendung perdesaan[ 009 ] sumberrejo perdesaan[ 010 ] candi rejo perdesaan
Daftar Klasifikasi Desa/Kelurahan Di Kabupaten SlemanKecamatan moyudan[ 001 ] sumberrahayu perdesaan[ 002 ] sumbersari perkotaan[ 003 ] sumber agung perkotaan[ 004 ] sumberarum perkotaanKecamatan minggir[ 001 ] sendang mulyo perdesaan[ 002 ] sendang arum perkotaan[ 003 ] sendang rejo perkotaan[ 004 ] sendangsari perdesaan[ 005 ] sendangagung perkotaanKecamatan seyegan[ 001 ] margoluwih perkotaan[ 002 ] margodadi perkotaan[ 003 ] margomulyo perkotaan[ 004 ] margoagung perkotaan[ 005 ] margokaton perkotaanKecamatan godean[ 001 ] sidorejo perdesaan[ 002 ] sidoluhur perkotaan[ 003 ] sidomulyo perkotaan
72
[ 004 ] sidoagung perkotaan[ 005 ] sidokarto perkotaan[ 006 ] sidoarum perkotaan[ 007 ] sidomoyo perkotaanKecamatan gamping[ 001 ] balecatur perkotaan[ 002 ] ambarketawang perkotaan[ 003 ] banyuraden perkotaan[ 004 ] nogotirto perkotaan[ 005 ] trihanggo perkotaanKecamatan mlati[ 001 ] tirtoadi perkotaan[ 002 ] sumberadi perkotaan[ 003 ] tlogoadi perkotaan[ 004 ] sendangadi perkotaan[ 005 ] sinduadi perkotaanKecamatan depok[ 001 ] catur tunggal perkotaan[ 002 ] maguwoharjo perkotaan[ 003 ] condong catur perkotaanKecamatan berbah[ 001 ] sendang tirto perkotaan[ 002 ] tegal tirto perkotaan[ 003 ] jogo tirto perkotaan[ 004 ] kali tirto perkotaanKecamatan prambanan[ 001 ] sumber harjo perkotaan[ 002 ] wukir harjo perdesaan[ 003 ] gayam harjo perdesaan[ 004 ] sambi rejo perdesaan[ 005 ] madu rejo perkotaan[ 006 ] boko harjo perkotaanKecamatan kalasan[ 001 ] purwo martani perkotaan[ 002 ] tirto martani perkotaan[ 003 ] taman martani perkotaan[ 004 ] selo martani perkotaanKecamatan ngemplak[ 001 ] wedomartani perkotaan[ 002 ] umbulmartani perkotaan[ 003 ] widodo martani perkotaan[ 004 ] bimo martani perkotaan[ 005 ] sindumartani perkotaanKecamatan ngaglik[ 001 ] sari harjo perkotaan[ 002 ] sinduharjo perkotaan[ 003 ] minomartani perkotaan[ 004 ] suko harjo perkotaan[ 005 ] sardonoharjo perkotaan[ 006 ] donoharjo perdesaanKecamatan sleman[ 001 ] catur harjo perkotaan[ 002 ] triharjo perkotaan[ 003 ] tridadi perkotaan[ 004 ] pandowo harjo perkotaan[ 005 ] tri mulyo perkotaanKecamatan tempel[ 001 ] banyu rejo perkotaan[ 002 ] tambak rejo perdesaan[ 003 ] sumber rejo perkotaan[ 004 ] pondok rejo perdesaan[ 005 ] moro rejo perkotaan[ 006 ] margo rejo perkotaan[ 007 ] lumbung rejo perkotaan
73
[ 008 ] merdiko rejo perdesaanKecamatan turi[ 001 ] bangun kerto perkotaan[ 002 ] donokerto perkotaan
[ 003 ] giri kerto perdesaan[ 004 ] wono kerto perdesaanKecamatan pakem[ 001 ] purwo binangun perkotaan[ 002 ] candi binangun perkotaan[ 003 ] harjo binangun perkotaan[ 004 ] pakem binangun perkotaan[ 005 ] hargo binangun perkotaanKecamatan cangkringan[ 001 ] wukir sari perkotaan[ 002 ] argo mulyo perdesaan[ 003 ] glagah harjo perdesaan[ 004 ] kepuh harjo perdesaan[ 005 ] umbul harjo perdesaan
Daftar Klasifikasi Desa/Kelurahan Kota YogyakartaKecamatan mantrijeron[ 001 ] gedongkiwo perkotaan[ 002 ] suryodiningratan perkotaan[ 003 ] mantrijeron perkotaanKecamatan kraton[ 001 ] patehan perkotaan[ 002 ] panembahan perkotaan[ 003 ] kadipaten perkotaanKecamatan mergangsan[ 001 ] brontokusuman perkotaan[ 002 ] keparakan perkotaan[ 003 ] wirogunan perkotaanKecamatan umbulharjo[ 001 ] giwangan perkotaan[ 002 ] sorosutan perkotaan[ 003 ] pandeyan perkotaan[ 004 ] warungboto perkotaan[ 005 ] tahunan perkotaan[ 006 ] muja muju perkotaan[ 007 ] semaki perkotaanKecamatan kotagede[ 001 ] prenggan perkotaan[ 002 ] purbayan perkotaan[ 003 ] rejowinangun perkotaanKecamatan gondokusuman[ 001 ] baciro perkotaan[ 002 ] demangan perkotaan[ 003 ] klitren perkotaan[ 004 ] kotabaru perkotaan[ 005 ] terban perkotaanKecamatan danurejan[ 001 ] suryatmajan perkotaan[ 002 ] tegal panggung perkotaan[ 003 ] bausasran perkotaanKecamatan pakualaman[ 001 ] purwo kinanti perkotaan[ 002 ] gunung ketur perkotaanKecamatan gondomanan[ 001 ] prawirodirjan perkotaan[ 002 ] ngupasan perkotaanKecamatan ngampilan[ 001 ] notoprajan perkotaan[ 002 ] ngampilan perkotaanKecamatan wirobrajan
74
[ 001 ] patangpuluhan perkotaan[ 002 ] wirobrajan perkotaan[ 003 ] pakuncen perkotaanKecamatan gedong tengen[ 001 ] pringgokusuman perkotaan[ 002 ] sosromenduran perkotaanKecamatan jetis[ 001 ] bumijo perkotaan[ 002 ] gowongan perkotaan[ 003 ] cokrodiningratan perkotaanKecamatan tegalrejo[ 001 ] tegalrejo perkotaan[ 002 ] bener perkotaan[ 003 ] kricak perkotaan[ 004 ] karangwaru perkotaan
top related